Keragaman dan Persatuan Masyarakat di Witihama, Adonara1 Robert H. Barnes (University of Oxford)
Abstract For fourteen months in 2000–2001, I conducted a research in the District of Witihama, eastern Adonara. Witihama is a religiously mixed community, made up of Muslims and Catholics. However, both groups also practice blood sacrifice and carry out ceremonies required by adat. Muslims and Catholics are closely related by ties of marriage and descent. In the recent historical past, as well as in the ancient legendary past, the community has a remembered history of bloody warfare and murder, not linked to questions of modern religious allegiances, which provide incentives to take precautions to maintain community harmony and peace. Mindful of sectarian conflict elsewhere in Indonesia, Catholics and Muslims maintain close ties of cooperation and solidarity. On holidays like Christmas, Easter and Idul Fitri, for example, they hold community meetings to express mutual friendship. Members of the District have suffered from conflict elsewhere in Indonesia, for example during the fighting between Suku Batak and the ‘Flores people’ in 1999 in Batam, in the Moluccas and in the violence in Dili, East Timor. Refugees from these other conflicts came and went while I was there. There have been attempts at sectarian provocation in Witihama by people from elsewhere in the past, leading to their expulsion. There was an unexplained incident in which a hand grenade exploded in Witihama killing one child and injuring two others, causing considerable consternation within the community. Rumors of plans to bomb the Catholic church were taken seriously. Efforts to place East Timorese refugees in the Kabupaten of Flores Timur were strongly resisted on grounds of safety and local peace. Finally the national move toward regional autonomy led to Witihama becoming a separate Kecamatan and resulted in moves to turn Flores and Lembata into a separate Province.
Pendahuluan Selama empat belas bulan dari 2000–2001, saya melakukan riset di Kecamatan Witihama, 1
Tulisan ini adalah penyempurnaan dan terjemahan dari makalah berjudul ‘Community diversity and unity in Witihama, Adonara ’ yang dipresentasikan dalam panel ’How will Eastern Indonesia Maintain “Unity in Diversity”? Responses to Religious-Ethnic Discord, Refugees and Regional Autonomy in East Indonesia’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Adonara bagian timur. 2 Witihama terdiri dari sekelompok desa di bawah suatu pemerintahan INDONESIA ke-3:‘Rebuilding Indonesia, a Nation of “Unity in Diversity”: Towards a Multicultural Society’, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002. 2
Penelitian ini didukung oleh dana dari British Academy, Committee for South East Asian Studies of the British Academy dan Oppenheimer Fund. Penelitian juga dilaksanakan atas sponsor dari Lembaga Ilmu
33
dan jumlah populasinya sekitar 12.000 orang. Masyarakatnya adalah campuran pemeluk agama Islam dan Katolik, yang saling terhubung melalui ikatan pernikahan dan garis keturunan. Selama menetap di sana, Indonesia terus mengalami konflik etnis di wilayah seperti Aceh dan Maluku. Dari waktu ke waktu, saya bertemu orang-orang dari Adonara timur yang dipaksa kembali ke daerah asalnya akibat kerusuhan di Maluku, Timor Timur, dan Batam. Pada tahun 1999 terjadi perseteruan antara orang Sumatra dan orang Flores, termasuk semua buruh migran dari Flores dan pulau-pulau hingga ke daerah timur seperti Alor. Beberapa dari mereka kehilangan harta benda dan menerima ancaman setelah bertahun-tahun tinggal di wilayah yang membuat mereka terusir. Secara tidak langsung, masyarakat Witihama telah terpengaruh oleh kesulitan-kesulitan ini dan cukup menyadari akibat-akibat yang akan muncul dari tumbangnya solidaritas masyarakat. Terlebih lagi, masyarakat Witihama sepenuhnya menyadari konfliknya di masa lalu. Bukti konflik masa lalu tidak hanya berasal dari sejarah yang dapat diingat. Mitos dan legenda tentang asal-muasal beragam suku dipenuhi dengan gambaran kekerasan. Terlepas dari sebuah perang kecil di wilayah tetangga Witihama di bagian selatan Gunung Boleng, Adonara timur adalah tempat yang damai selama saya menetap di sana.
Witihama Desa-desa di Witihama terdiri dari suku-suku patrilineal yang terhubung melalui pernikahan. Bahkan, suku yang lebih besar, seperti Bahi dan Lama Tokan, sebenarnya bersekutu dengan kelompok yang tidak berhubungan, dan semuanya tersebar di daerah (atau wilayah) besar Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saya sangat berterima kasih atas semua bantuan ini dan kepada Menteri Titus Puru Lamablawa dan keluarga serta semua yang telah membantu saya di lapangan.
34
Adonara. Setiap suku memiliki tradisi autochthonous atau berasal dari nenek moyang yang datang dari tempat lain, umumnya Sina Jawa (atau Cina Jawa, namun berarti Jawa Barat), Maluku, atau Timor. Suku-suku dari luar, yang populasinya terbanyak, telah tinggal di Adonara selama berabad-abad hingga terjadi pernikahan dengan suku yang menyatakan ada dengan sendirinya. Mereka juga mengadaptasi bahasa dan budaya lokal sehingga mereka kehilangan bahasa dan budaya asli nenek moyang mereka. Witihama dan kecamatan di dekatnya, seperti Hinga dan Lama Bunga, bersifat homogen dalam bahasa dan budaya, meskipun terpisah dari segi agama. Pada saat ini Witihama diperintah oleh Camat yang telah ditunjuk, namun kepala desa dipilih oleh rakyat, kecuali untuk Desa Wato Ona, yang tidak menginginkan adanya pemilihan kepala desa. Walaupun demikian, di masa lalu Witihama secara keseluruhan dipimpin oleh Kepala Besar, yang posisinya turun-temurun. Kepemimpinan dipegang oleh keluarga keturunan suku Lama Tokan. Keturunan itu kini menyebut diri mereka Goran Tokan setelah sebelumnya disebut Seran Goran. Menurut tradisi, nenek moyang mereka berasal dari Maluku.
Goran Tokan Haji Muktar Lebu Kelake Kei menceritakan kelompoknya kepada saya. Dahulu ada dua saudara tidak yakin yang mana yang lebih tua dan yang mana yang lebih muda, salah satunya memiliki benang pemimpin untuk mengikat umpan pada kail. Menurut cerita versi Pater Stevanus Kopong Keda Lamahoda, kepemimpinan (dalam versinya umpan) merupakan milik si kakak. Yang tidak lazim, benang itu terbuat dari emas. Untuk sebuah keperluan, salah satu saudara meminjam dari yang lainnya untuk mencari ikan. Ia pergi ke laut dengan sampannya dan mengeluarkan kailnya. Tak lama kemudian kail tersebut direbut oleh ikan hiu. Kail itu patah, dan si hiu mengambil umpan
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
serta benangnya. Si pembawa kail kembali ke daratan dan mengatakan pada saudaranya bahwa umpannya rusak dan diambil oleh ikan. Pemiliknya menerima kabar ini dengan tidak bersemangat. Ia mengatakan: ‘Kembalikan benangku dan umpannya, jangan menggantinya dengan yang lain.’ Ia menginginkan kail yang sama dengan kondisi sebelum dipinjam. Jika tidak dikembalikan seperti semula, ia mengancam akan berperang. Saudara yang meminjam kail tidak dapat tidur malam itu, khawatir akan akibat hilangnya kail tersebut. Pada pagi buta ia pergi ke laut dengan sampannya. Ia mengenali tempat hilangnya kail itu dan menarik jangkarnya di sana. Ia berpikir, ‘Hidupku tidak berguna. Lebih baik kupertaruhkan untuk mendapatkan kail itu kembali.’ Ia memanjat tali jangkar hingga ke dasar laut. Di sana ia menemukan sebuah desa. Di dekat desa itu ada sebuah sumur. Banyak pria dan wanita mengambil air dari sumur tersebut. Ia terkejut dan berpikir bahwa mungkin mereka sedang mengadakan pesta. Ia bertanya, ‘Apakah kalian sedang berpesta?’ Para wanita menjawab, ‘Kami tidak sedang berpesta. Raja kami sakit. Setiap orang berkumpul dan kami menimba air untuk minum mereka.’ Ia sadar, ini bukanlah sebuah desa biasa. Ia memberitahukan mereka, ‘Mungkin aku dapat menyembuhkan raja dengan menggunakan obatku.’ Para wanita tersebut kembali dan mengatakan kepada para sesepuh bahwa ada seseorang di sumur yang mengaku bisa menyembuhkan raja, namun mereka tidak mempercayainya. Saat itu malam hari dan ia mencari tempat untuk tidur. Ada sebuah kuil desa dan tempat pertemuan, kemudian ia berpikir, ‘Baiklah, aku akan tidur di sana.’ Di dekatnya ada pohon lontar yang digunakan untuk membuat anggur. Pohon lontar itu adalah milik seorang pria bernama Ika Kelepak (nama sejenis ikan). Saat menjelang fajar si saudara laki-laki melenguh sebagai ekspresi kegundahannya. Orang
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
mendengarnya dan mengira itu adalah Ika Kelepak. Mereka berkata, ‘Sang raja sedang sakit. Mengapa kau mengetuk-ngetuk dan begitu berisik?’ Ika Kelepak menjawab, ‘Saya tidak mengetuk.’ ‘Lalu siapa?’ ‘Seseorang sedang tidur di kuil.’ Mereka mengelilingi kuil dan bertanya, ‘Siapa kau? Mengapa kau tidur di sini? Mengapa kau begitu berisik saat raja kami sedang sakit?’ Ia menjawab, ‘Maaf, saya tidak tahu. Jika saya beri ia obat, ia akan sembuh.’ Mereka pergi ke istana dan berkata kepada para tetua, ‘Ada seseorang di kuil yang mengaku bisa menyembuhkan raja.’ Mereka menambahkan, ‘Ini benar, kemarin kami mendengar seseorang dapat menyembuhkan raja, tetapi kami tak percaya. Panggillah dia.’ Mereka memanggilnya ke istana. Saat datang, ia mengatakan, ‘Saya dapat menyembuhkannya, tetapi saya harus memeriksanya terlebih dahulu.’ Para penduduk mengerumuni raja. (Sang raja, ternyata, berbentuk seperti ikan hiu). Saudara itu berkata kepada semua pria dan wanita yang berkerumun, ‘Maaf, tetapi kalian tak bisa melihat obatku, silakan keluar dulu. Jika obatku cocok, aku dapat menyembuhkannya.’ Saat mereka pergi, ia mulai memeriksa kepala ikan hiu yang bengkak. Ia membuka mulutnya dan menemukan benang emas. Ia memanggil orang kembali dan mengatakan bahwa obatnya cocok dengan penyakit sang raja. ‘Saya akan pergi untuk mengumpulkan bahan-bahan.’ Ia pergi mengumpulkan akar-akar dan daun tradisional. Ia juga mengambil duri dari limau berduri dan menyembunyikannya di tempat lain. Ia kemudian kembali ke istana dan berkata, ‘Aku sudah menemukan obatku, mohon pergi ke luar saat aku mengobati raja.’ Semuanya pergi. Ia sudah menunjukkan daun-daun dan akarakaran yang dikumpulkannya. Ia kemudian mengeluarkan duri dan mengeluarkan kailnya. Ia mengambil benang emas dan menyembunyikannya. Mereka semua bahagia. Ia menunjuk-
35
kan duri dan mengatakan bahwa inilah penyebab penyakit raja. Sang Hiu telah berhasil disembuhkan. Saat ia pamit untuk pergi, warga desa itu menahannya karena mereka belum punya kesempatan untuk menyiapkan hadiah. Ia berkata bahwa ia memiliki segala sesuatu yang ia butuhkan. Sang raja tidak setuju ia pergi dengan tangan hampa. Di daratan ia melihat sekumpulan tanaman taro dengan daun besar yang dapat dimakan. Mereka berkata, ‘Jika kau ingin ambil semuanya, boleh saja.’ Ia menjawab, ‘Tidak. Saya hanya akan mengambil satu.’ Jadi, mereka memberikan tanaman itu untuknya. Ia pun berangkat dan memanjat tali jangkarnya. Ia berlayar ke daratan dan menyimpan berbagai benda di rumahnya. Ia menanam tanaman taro. Setelah beberapa tahun, tanaman itu berkembang dan daun-daunnya menjadi besar. Suatu hari para wanita mengambil air di sumur saat sedang hujan deras. Mereka mencari pelindung. Putri pemilik pohon mengambil sebuah daun, sebagaimana mereka memotong daun pisang untuk dijadikan payung. Si pemilik tanaman sedang berada di sawah dan tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya. Saat kembali, ia sadar bahwa satu daun telah hilang. Ia bertanya kepada wanita yang mengambil air tentang siapa yang memotong daunnya. Mereka menjawab, ‘putrimu’. Karena tidak percaya kepada para wanita, ia menjadi marah dan memaksa agar tanaman itu dikembalikan ke bentuk aslinya, tetapi tentu saja tidak mungkin. Dari insiden ini perang meletus dan membuat sekelompok orang meninggalkan Maluku.3 3
Dalam versi cerita ini, yang direkam oleh Stevanus Kopong Keda Lamahoda, yang mengambil daun serta akhirnya menyebabkan perang adalah sang saudara lakilaki, maka narasi akan lebih masuk akal: ‘Suatu hari kakak laki-lakinya pergi ke pantai untuk memindahkan kudanya. Dia terjebak di dalam hujan. Karena dia tidak mempunyai perlindungan, dia memotong sehelai daun talas untuk digunakan sebagai payung. Ketika dia pulang, adik laki-lakinya melihat daun talas itu sudah
36
Kelompok ini dipimpin oleh tujuh saudara yang berlayar ke Lembata dan Adonara. Salah seorang menjadi pemimpin daerah Lewotolok di Lembata. Saudara tertua menjadi raja pertama di Desa Adonara (kini Muslim), memelopori keturunan yang nantinya menjadi kelompok yang kuat di pulau tersebut saat penjajahan Belanda. Saudara termuda, Jou Boli Ama, adalah satu-satunya yang belum menikah saat mereka menetap di Adonara. Ia memberitahu kakak-kakaknya bahwa ia ingin mencari istri di Adonara (atau ia diperintahkan untuk melakukannya, menurut versi lain). Ia mencari ke seluruh Adonara barat namun tidak berhasil, sampai akhirnya ia datang ke Desa Terong dan Lamahala yang disebut Lambahi di antara pantai selatan (yang kini Muslim). Di sana ia bertemu dengan pemimpin suku Bahi bernama Kopon Lusi Mau Molan yang sedang membuat kapal. Orang itu bertanya dari mana ia datang dan mengundangnya untuk singgah sejenak dan mengunyah sirih. Jou Boli menjawab, ‘(Desa) Adonara.’ Ia kemudian ditanyai ke mana akan pergi.Ia menjawab bahwa ia mencari seorang pendeta (mau molan). Jawaban ini ternyata disalahartikan oleh Kopon Lusi Mau Molan bahwa ia sedang mencari istri. Saat mereka sedang duduk, Kopon Lusi Mau Molan memanggil saudara kembarnya, Peni Iheq Karabau, untuk membawakan sirih.4 Saat Jou Boli melihatnya, ia menginginkannya untuk terpotong. Adiknya pun marah dan memaksa agar daun tersebut direkatkan kembali ke batangnya. Semuanya harus diperbaiki seperti semula. Ini merupakan permintaan yang sulit, tetapi tidak sebanding dengan permintaan kakak laki-lakinya perihal pengait yang hilang. Karena dia tidak bisa memenuhi permintaan ini dan karena dia merasa malu, kakak laki-laki tersebut pun berperang dengan adiknya. Sebagai hasil akhir perang tersebut, beberapa orang dari pihak adik lakilakinya bergabung dengan orang-orang di Pulau Seran dan berniat untuk pindah ke pulau lain, meninggalkan kampung halamannya.’ 4
Dalam beberapa versi Peni Iheq Karabau adalah anak perempuan dari Kopon Luis Mau Molan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
dijadikan istri. Ia langsung bertanya tentang kemungkinannya dapat menikahi wanita itu. Lamarannya pun diterima. Jou Boli menawarkan banyak seserahan, dan semuanya ditolak karena Kopon Lusi Mau Molan setuju. Haji Muktar mengatakan kepada saya bahwa karena hadiahnya berupa kapal, kelompoknya sendiri tidak dapat memiliki kapal yang tahan lama. Walaupun ia dan kerabat-kerabatnya sering mencoba melakukannya, kapal-kapal mereka tidak pernah bertahan lama. Ia juga mengaku bahwa garis keturunannya masih terhubung dengan suku Bahi yang dinikahi oleh Jou Boli.
Kowa Bala Cabang lain Lama Tokan disebut Kowa Bala yang berasal dari pasangan bernama Kelake Ado Pehan (laki-laki) dan Kewae Sole Boleng (perempuan). Kelompok ini mengaku bahwa mereka orang pribumi (authochthonous). Mereka melihat dua nenek moyang mereka sebagai kakak beradik yang muncul dari gunung berapi Boleng. Mitos ini mempengaruhi pandangan mereka tentang tanah yang mereka tempati. Akan tetapi, kelompok Goran Tokan menyangkal versi mitos ini dan mengatakan bahwa Kelako Ado Pehan berasal dari pulau seberang dan bertemu Kewae Sole Boleng untuk pertama kalinya saat ia mendaki gunung. Arndt (1940:149) memberikan versi mitos yang berbeda dengan menyebutkan bahwa Kelako Ado Pehan berasal dari daratan (berarti bahwa ia datang dari seberang). Ia juga menjelaskan bahwa kedua kelompok Lama Tokan ini masih berbeda pendapat mengenai strata yang lebih tinggi dan lebih rendah. Hal ini masih terjadi saat riset saya berlangsung. Saat saya tiba, Witihama sedang membangun kuil desa untuk pertama kalinya dalam seabad. Ribuan orang berpartisipasi di bawah kepemimpinan Haji Muktar. Tetapi kelompok Kowa Bala menolak untuk datang meskipun diundang, karena mereka merasa kelompok
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Goran Tokan menantang kekuasaan mereka. Harap diperhatikan pula bahwa umat Katolik dan Muslim dari kedua suku berpartisipasi dengan gembira dalam ritual kurban kambing dan babi. Haji Muktar menjelaskan kepada saya bahwa di masa lalu masyarakat Adonara hidup berdasarkan hukum rimba dan Kelake Ado Pehan tidak cukup tangguh dalam berperang. Saat kelompok yang kini disebut Goran Tokan datang ke Tana Oloq, tempat tinggal kelompok Kelake Ado Pehan, mereka ingin memberikan kekuasaan kepada Jou Boli. Namun Jou Boli menolak dan mengatakan, ‘Kakak-kakak saya belum tiba. Saat mereka datang, Anda bisa memberikan kekuasaan itu.’ Namun masyarakat Kowa Bala mengatakan, ‘Kau yang memakai celana pendek dan baju tangan pendek, duduklah di sana. Kami akan berikan kekuasaan padamu tanpa syarat.’ Setelah itu mereka tinggal bersama di Tana Oloq, yang terletak beberapa kilometer dari lokasi Witihama saat ini. Barulah beberapa lama kemudian mereka pindah ke Witihama. Komentar mengenai celana pendek dan duduk di kursi itu akan dijelaskan di sini. Sebelum Perang Dunia II, pemimpin Witihama memakai pakaian mahal seperti celana, dan dalam situasi formal duduk di kursi, sedangkan kelompok Kowa Bala memakai pakaian yang lebih tradisional dan duduk di batu suci. Seorang anggota Kowa Bala memberitahu saya bahwa kursi punya kedudukan penting karena dianggap kursi pemerintahan, tetapi duduk di batu berarti kepemilikan tanah. Kowa Bala mempertahankan haknya berkuasa, walaupun hak itu dijalankan oleh Goran Tokan. Jika Haji Muktar atau nenek moyangnya duduk di batu, itu berarti Witihama adalah milik mereka, tetapi jika ia duduk di kursi, itu berarti sebaliknya. Kedua pihak setuju bahwa pemimpin-pemimpin Witihama duduk di kursi dan memakai busana mahal, sedangkan pemimpin-pemimpin Kowa
37
Bala memakai pakaian kasar dan duduk di batu suci, yang tentu saja lebih rendah. Namun terdapat ketidaksepahaman mengenai interpretasi pengaturan ini. Bagi Goran Tokan duduk di tempat yang lebih tinggi merupakan simbol superioritas politik mereka dan busana adalah simbol kemakmuran. Bagi Kowa Bala, duduk di tempat yang lebih rendah adalah tanda kekuasaan tertinggi dan hak menggunakan tanah yang berasal dari mereka.
Pascaperang dunia II Perang Dunia II dan perjuangan menuju kemerdekaan di Indonesia memiliki efek lokal yang signifikan. Tokoh bernama Buang Duran merupakan cucu dari pemimpin Witihama terdahulu yang menjadi guru sekolah Katolik sebelum pindah ke agama Islam. Kemudian ia membentuk kelompok untuk menolak kembalinya Belanda di Indonesia Timur sesudah perang. Oleh karena itu, ia dipenjara oleh Belanda. Setelah dilepaskan, ia membentuk gerakan kaum tani Marxis di tahun 1946 yang disebut ‘Persatuan Kaum Tani Indonesia’. Belanda memenjarakannya lagi di tahun 1947. Republik Indonesia melepaskannya pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada awalnya ia bekerja di militer untuk menulis laporan tentang unsur-unsur yang berhubungan dengan orientasi kolonialisme. Ia mencatat adanya unsur feodalisme pada mantan pemimpin Witihama, Kelake Kei (ayah Haji Muktar), dan pemimpin kuat lainnya di Adonara Timur yang memiliki ikatan politik dan pernikahan dengan Kelake Kei. Ia akhirnya memimpin pemberontakan Persatuan Kaum Tani Indonesia pada tahun 1950–1951 dan berakhir dengan pertumpahan darah. Ia akhirnya dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Indonesia. Ia dibebaskan dari penjara pada tahun 1965. Namun, tak lama setelah itu ia ditangkap lagi oleh tentara di Adonara sehubungan dengan peristiwa G30S PKI pada tahun 1965 dan
38
akhirnya dieksekusi (Barnes 2003). Salah satu ambisi Buang Duran adalah dihapuskannya larangan orang biasa memakai perhiasan yang dipakai oleh keluarga pemimpin Witihama. Kesuksesannya mungkin diragukan, tetapi dalam banyak peristiwa di tahun 1950 dan 1960an, pemerintah Indonesia dalam berbagai tingkatan merasa terganggu dengan praktikpraktik ‘feodal’. Hasil akhirnya, budaya yang menempatkan masyarakat Goran Tokan sebagai golongan yang superior hanya ada dalam kenangan. Namun, kenangan ini terekam dengan jelas. Di antara kenangan yang berhubungan dengan kehidupan masa sekarang adalah rangkaian peperangan sepanjang sejarah sampai tahun 1965. Ada beberapa insiden kecil sejak saat itu, tetapi orang yang mengalami masa 1940, 1950, dan awal 1960-an membuktikan bahwa Adonara timur tidak aman dan tetap mempertahankan reputasi yang diperolehnya di tahun 1920-an sebagai ‘Pulau Pembunuhan’. Pada awalnya disebutkan dalam sebuah penerbitan tahun 1932 (Vatter 1932:157) bahwa stereotip ini masih tertanam dalam pikiran masyarakat setempat. Kenyataan ini dibenarkan oleh daerah tetangga dan terkadang diakui oleh masyarakat Adonara, dan menjadi subjek penulisan kaum intelektual Adonara (lihat Lewokeda 2002). Saya pernah berkomentar kepada mantan anggota parlemen dari Witihama tentang anehnya pulau yang paling subur dalam pemerintahan yang memiliki reputasi mengerikan. Menurutnya, mungkin pulau itu subur karena banyak darah yang telah membasahinya. Pantas atau tidaknya Adonara mendapatkan reputasi tersebut mungkin dapat dipertanyakan, karena kekerasan juga terjadi di tempat lain. Selain insiden di daerah Gunung Boleng Selatan yang menyebabkan kematian dua orang dan terbakarnya rumah-rumah, selama tahun 2000 dan 2001 Adonara sangat
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
aman, terutama jika dibandingkan dengan wilayah konflik lainnya di Indonesia, Eropa Tengah, dan Timur Dekat (Near East). Warga setempat dan pengunjung dapat berjalan-jalan di Adonara saat ini tanpa khawatir terjadi kekerasan atau permusuhan, yang konon tidak ditemukan pada tahun 1950-an. Desa-desa di Witihama yang ada saat ini dahulu saling berperang dalam beberapa kesempatan, dan perang ini adalah memori yang selalu diingat. Beberapa di antaranya adalah perang antara Honi Hama dan Wato Ona, Witihama dan Redon Tena, Noten dan Balawelin, serta antara desa-desa Oringbele dan Wato Ona. Jarak antara desa-desa yang saling berperang tidak perlu diperhitungkan dan tidak pernah lebih dari satu atau dua kilometer. Pola permusuhan biasanya berakhir pada pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah. Ini mengganggu ketenteraman hidup sehari-hari, namun hilangnya nyawa tidak pernah menimbulkan kesedihan yang sangat panjang. Pembunuhan massal akibat Pemberontakan G30S/PKI tidak mencapai Witihama sampai tahun 1966. Dilaporkan 700 orang terbunuh di Kabupaten Flores Timur. Tiga puluh tiga orang di antaranya datang dari Witihama dan dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Keberadaan militer dan berbagai cara represif dapat mengatasi kekacauan. Sejak jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1997, cara-cara represif sudah dihapuskan, namun ada tanda-tanda akan kembalinya pola kebiasaan lama.
Demon dan Paji Selain perbedaan antara suku yang berdiri sendiri dan suku yang nenek moyangnya berasal dari luar, di Kabupaten Flores Timur terdapat pemisahan antarteritori yang disebut Demon. Demon, dahulu merupakan sekutu Raja Larantuka dan disebut Paji yang bersekutu dengan Raja Adonara (Arndt 1938). Di antara kelompok-kelompok yang muncul belakangan
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
terdapat beberapa pedesaan Muslim kecil di pantai yang sebelumnya merupakan kerajaankerajaan kecil yang membentuk perserikatan bernama Solor Watan Lema atau Lima Pantai Solor. Desa-desa berikut ini termasuk dalam periode sejarah, seperti Desa Adonara, Terong, dan Lamahala di Adonara, juga Lahayong serta Lamakera di Solor, walaupun kadang desa lainnya seperti Labala di Lembata juga disebutkan. Lima pedesaan pantai tersebut kadang bekerjasama dengan Perusahaan Hindia Belanda (Dutch East Indies Company) setelah perusahaan tersebut merebut benteng Portugis di Solor pada tahun 1613. Setelah pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih wilayah tersebut di bawah kepemimpinan Raja Larantuka dari Portugis pada tahun 1851, hubungan Belanda dengan Raja Adonara semakin kuat, dan pengaruh serta kekuasaannya pun semakin meluas pada pertengahan akhir abad ke-19. Solor Watan Lema juga memiliki hubungan dengan persekutuan yang serupa dengan pedesaan Muslim pantai di Pantar dan Alor bernama Galiau Watan Lema (Barnes 1987, 2001). Semua desa di pantai ini terbentuk dari berbagai macam suku bangsa yang umumnya adalah para pedagang, pengrajin, dan nelayan. Sangatlah tidak mungkin untuk mengetahui awal perpisahan antara Demon dan Paji, tetapi perpisahan tersebut telah disebutkan oleh pendatang Portugis yang datang pertama kali pada abad ke-17 (de Sa 1956:484; Santa Catharina 1733:792–793). Arndt menceritakan beberapa legenda mengenai asal-usul perpisahan Demon dan Paji, yang menyiratkan kunonya kisah mereka, tetapi ia juga memberikan penjelasan tentang perang antara dua bersaudara Igo dan Enga, putra dari Pati Golo Arakian, 5 Raja di Larantuka (Arndt 5
Menurut silsilah keluarga, ayah mereka adalah Sira Napan, yang merupakan keturunan dari Pati Golo (Dietrich 1997:111).
39
1938:46). Legenda ini terkenal dan ada beberapa sumber mengenai legenda itu (Dietrich 1995). Versi yang paling dikenal adalah bahwa Enga mencuri istri Igo saat Igo sedang memimpin perang di Sikka. Igo kembali dan mengalahkan Enga, yang akhirnya mundur ke Pulau Adonara. Setelah itu, tidak diketahui apakah ia atau keturunannya yang pertama kali sampai ke Desa Adonara. Ada pertentangan mengenai apakah ia sampai di sana sebelum, pada saat yang sama, atau sesudah para leluhur raja-raja Adonara. Walaupun demikian, garis keturunan Enga tetap menjadi kelompok politik nomor dua yang terpenting di Adonara dan memiliki kantor di Kapitan. Pada masa pemerintahan Belanda mereka berdua berperan sebagai raja. Adik lakilaki yang lebih muda dari Arakian Kamba Kei Helu (Ama Nuen Ape) yang kedua juga menyatakan bahwa Igo dan Enga adalah penyebab perpisahan tersebut. Keturunan Igo melanjutkan garis keturunan raja di Larantuka. Meskipun ada perpisahan, saat ini keluarga Raja Larantuka yang terakhir dan keluarga Ama Nuen Ape tetap dekat, meskipun kelompok Larantuka memeluk agama Katolik dan keluarga Ama Nuen Ape memeluk agama Islam. Di masa lalu, sering terjadi perang dan perburuan kepala antara daerah Demon dan Paji, yang disebut ‘perang antara tikar dan bantal’ karena penyebab awal kebencian antara Igo dan Enga. Hal ini terus berlanjut sampai abad ke-20, dan membuat Belanda mengambil langkah keras untuk mengalahkan mereka. Selama Perang Dunia II, para petugas lokal berjuang untuk menghentikan kebencian, dan usaha ini membuahkan beberapa keberhasilan. Hubungan antara daerah Demon dan Paji ini akhirnya tidak selalu tegang. Beberapa perserikatan terbentuk antara desa-desa di Demon dan Paji. Desa Demon yang bernama Kiwang Ona, contohnya, bersekutu dengan Raja Adonara yang mendampingi mereka saat menghancurkan desa Libu yang saat itu sedang
40
berperang dengan mereka. Pada perang Hinga tahun 1904, desa Paji di Hinga dikalahkan oleh Belanda dan Raja Adonara. Pemimpinpemimpin dari Hinga pindah ke Kiwang Ona untuk meminta perlindungan. Perang Hinga menunjukkan pola lain, yaitu perang antardaerah di wilayah Paji. Perang tersebut muncul karena ada pria di Hinga yang ingin menikahi wanita di daerah Lambunga, tetapi ternyata Raja Adonara juga menginginkannya. Kejadian ini menimbulkan perselisihan antara Lambunga dan Hinga, yang baru berakhir setelah ada intervensi militer dari Raja Adonara dan Belanda. Pola lain yang berkaitan dengan perang Hinga adalah perang yang disebabkan oleh perselisihan dalam keluarga. Puru Duli dan anak lelaki saudaranya, Kei Tokan dari keluarga Goran Tokan, berperang satu sama lain dalam rangka pembuktian kekuatan. Perang ini tidak hanya memisahkan keluarga Goran Tokan, tetapi juga suku sekutu seperti Lamablawa. Kei Tokan memenangkan perang dan membuat Puru Duli dan pengikutnya pergi ke Hinga. Oleh karena itu, anggota keluarga Goran Tokan dan Lamablawa tinggal di Hinga dan bergabung dalam perang Hinga. Walaupun demikian, Witihama secara keseluruhan memihak Raja Adonara.
Ritual yang berkaitan dengan perang dan pembunuhan Kebudayaan tradisional kaya dengan beragam bentuk ritual, beberapa di antaranya adalah ritual untuk menjamin keberhasilan dalam perang atau pembunuhan dan ritual untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Penyebab yang paling sering muncul adalah pertikaian yang disebabkan oleh tanah atau wanita. Pembunuhan atau peperangan yang direncanakan, yang tidak terjadi karena spontanitas atau pembunuhan tak terencana, membutuhkan proses ritual. Lewokeda (2002)
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
memberikan informasi yang lengkap mengenai ritual ini. Agar tujuan tercapai, pihak yang akan membunuh harus berkumpul di pondok ritual mereka. Seorang ahli upacara adat (mua méa) kemudian mengubur batu-batu untuk ritual di dalam tanah dan mendirikan tongkat bambu tempat terdapatnya tujuh cabang yang telah terpotong diletakkan sejauh beberapa inci dari tongkat tersebut. Perlengkapan-perlengkapan ini digunakan untuk membuat hubungan antara surga (Rera Wulan, Matahari Bulan) dan dunia (Tana Ekan, Bumi Tanah), yang melambangkan aspek-aspek laki-laki dan perempuan dari kedewaan. Kemudian ahli ritual akan memeriksa telur mentah dengan cara memecahkan sedikit cangkangnya, lalu melihat ke dalamnya untuk mencari penyebab ketidakberuntungan dan watak nenek moyang mereka. Dia akan memberikan koda atau alasan dari kemarahan mereka dan meminta restu Tuhan untuk langkah-langkah yang telah direncanakan. Kemudian sang ahli harus berpuasa, melewatkan beberapa tidur malam, dan bermimpi untuk mencaritahu apakah restu telah diberikan. Jika berencana untuk berperang, ia akan mengetahui dengan tepat berapa banyak orang yang akan terbunuh dan berapa banyak yang akan kabur keesokan harinya. Saat jumlah ramalan orang yang terbunuh sudah terbukti, perang harus dihentikan. Pihak yang mendapat jumlah korban paling banyak adalah pihak yang kalah. Jika terdapat pembunuhan tambahan, maka orang yang membunuhlah yang harus bertanggungjawab. Setelah perang usai, tidak ada lagi usaha untuk balas dendam terhadap pihak yang telah membunuh keluarganya, kecuali dalam perang yang lain. Jika berencana untuk membunuh, sang ahli akan menentukan tempat dan waktu untuk pembunuhan tersebut. Korban sudah pasti akan muncul di tempat dan waktu yang telah ditentukan, walaupun dia tidak mengetahui sama sekali mengenai usaha pembunuhan tersebut. Pembunuhan hanya bisa
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
berlangsung pada saat-saat tertentu, yaitu pada dini hari dan sore hari. Pembunuhan tidak mungkin terjadi pada siang hari. Seseorang yang berniat membunuh orang lain tidak boleh makan bersama-sama dengan korbannya. Saat para prajurit kembali dari medan perang, harus ada upacara perayaan. Kemudian, harus ada festival ‘pemberian makan pada tentara’ atau ‘pemberian makan pada warga desa’ sebagai rasa terima kasih kepada prajurit dan sekutu dari desa lain yang telah membantu. Setelah melakukan pembunuhan, harus ada upacara untuk menangkal darah. Jika upacara tidak dilakukan, darah sang korban akan diwariskan kepada anak-anak dan keturunannya. Sang pembunuh harus menyayat jarinya dengan batu tajam agar darah dapat ke luar. Darah dibayar dengan darah. Hubungan antara kedua pihak akan terputus. Mereka tidak diperbolehkan untuk makan bersama atausaling mengunjungi kecuali upacara perdamaian telah dilaksanakan. Jika peraturan ini dilanggar, dapat menyebabkan kecelakaan, sakit, atau kematian. Selanjutnya, sampai perdamaian terlaksana, pihak yang menyerang adalah target sasaran balas dendam. Sering terlihat pria-pria yang membawa tombak karena ada kejadian di masa lalu mereka yang belum terselesaikan. Lamahoda (t.b. [tak bertanggal]) menyatakan pada bulan Mei 1959 para penduduk desa Noten kembali ke desa mereka sebulan setelah pihak yang berperang dari desa tetangga dan telah membakar desa mereka. Dia berkomentar, ‘Seharusnya kita tidak perlu terkejut bahwa mereka kembali sangat cepat, karena di Adonara, pihak yang kalah perang memiliki keuntungan lebih daripada musuh mereka. Pihak yang menanglah yang harus berhati-hati, agar mereka tidak diserang dengan tiba-tiba.’ Setelah melakukan perang atau pembunuhan, harus ada upacara untuk mengambil kembali batu-batu keramat dan merubuhkan tongkat bambu untuk mengembalikan restu Tuhan.
41
Perdamaian dapat dicapai melalui upacaraupacara ‘berjabat tangan’ dan ‘berbaikan’. Perwakilan dari kedua belah pihak meminum anggur palem dan melakukan pertukaran keranjang sirih. Dalam upacara-upacara ini, alasan, cara, dan korban yang mereka bunuh harus diakui di depan umum. Biasanya para pembunuh ingin mengadakan proses perdamaian secepat mungkin, namun pihak keluarga korban enggan melakukannya, walaupun saat ini masyarakat kurang antusias untuk mengakui pembunuhan karena mereka takut polisi mengetahuinya. Banyak para pembunuh yang belum mewujudkan hubungan yang normal, dan memang banyak pembunuh yang masih belum diketahui dan hanya terungkap melalui kesialan yang mereka timbulkan.
Upacara pembelahan kelapa Tentu saja pembunuh atau pihak yang kalah perang akan membuat pihak yang selamat mencoba mencaritahu mengapa mereka mengalami musibah tersebut. Kematian akibat pembunuhan atau peperangan masuk dalam kategori kematian yang disebut mate kanekat, ‘kematian akibat dipotong-potong’. Kategori ini juga meliputi kematian yang tak terduga, seperti jatuh dari pohon, atau kecelakaan lainnya, digigit ular, jatuh dari kursi atau tempat tidur, bunuh diri, meminum racun, dan kematian bayi yang baru lahir. Pada jaman dahulu, lelaki yang meninggal karena mate kanekat akan dibungkus dengan tikar sulam yang terbuat dari daun lontar, sementara yang wanita akan dibungkus dengan kain dan diikat dengan benang katun. Dalam keadaan yang lain, mereka dikubur tanpa memakai peti mati. Mate Kanekat adalah kebalikan dari mate layo ‘kematian karena telah mencapai batas’ [dari takdir seseorang], yaitu kematian akibat sakit atau usia tua. Kematian mate kanekat membutuhkan upacara untuk mencari tahu mengapa musibah
42
tersebut terjadi. Upacara ini disebutlewak tapo, yang artinya ‘memotong batok kelapa’. Sebelum upacara dilakukan, ahli ritual yang memiliki keahlian untuk menemukan sebab musibah akan berkonsultasi dengan keluarga yang tertimpa musibah, kemudian bermimpi. Tujuan upacara pemecahan batok kelapa adalah untuk menentukan sudah tepat atau belumnya penyebab musibah. Saya pernah diundang beberapa kali untuk mengikuti ritual tersebut. Pada suatu kesempatan, sang ahli mengatakan bahwa ia telah melakukan lebih dari dua puluh sesi untuk mencari penyebab yang mungkin terjadi, melalui tiap anggota keluarga. Butuh waktu pencarian yang lama untuk mengetahui asalmuasal penyebab musibah tersebut. Kasus ini melibatkan seorang bujangan tua yang telah bekerja di Tanjung Pinang dan Riau dari tahun 1960 sampai dengan 1999. Ia jatuh sakit dan harus dibawa pulang ke rumah karena dia terlalu sakit untuk bepergian sendirian. Ia tidak hanya sakit parah, dia juga menjadi buta dan tuli akibat penyakitnya. Pada tanggal 25 Juni tahun 2000, para penghuni sebuah rumah di sebuah kota kecil dekat Witihama, tempat orang ini tinggal pada waktu itu, pulang setelah jamuan makan di Witihama. Mereka melihat ada seseorang yang berputar-putar di kebun pisang dan meminta pertolongan. Kemudian ia bersedia untuk mencaritahu. Ia memanggil orang tersebut beberapa kali, namun tak ada sahutan. Mengira ia sedang berhadapan dengan hantu atau orang yang berniat jahat, dia menusuk sebuah sosok dalam kegelapan di dadanya dan kemudian memanggil para tetangga untuk membawakan senter agar dapat melihat orang tersebut. Saat menyorotkan senternya, ia menemukan bahwa adik ibunyalah yang baru ia bunuh. Keluarga tersebut kemudian menunggu hingga keesokan harinya untuk memanggil polisi dan staf rumah sakit agar melakukan penyelidikan. Sang pembunuhnya
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
kemudian mengaku. Dia terbukti bersalah dan dihukum penjara, walau hukumannya tidak akan lama karena dia tidak berniat melakukan pembunuhan tersebut. Saat ia keluar dari penjara, akan ada sebuah upacara untuk menciptakan kembali perdamaian antara kedua keluarga, tetapi hal itu takkan bisa dilaksanakan sebelum ia keluar dari penjara. Pembunuhan tidak sengaja ini ditujukan kepada seorang leluhur yang meninggal pada tahun 1940-an. Kematian seorang lelaki tua telah diatur oleh para leluhur sebagai sebuah pertanda bahwa suatu kesalahan harus diperbaiki. Hukuman bagi kesalahan macam ini dapat diturunkan selama tujuh generasi. Kemudian mereka menemukan seorang leluhur mereka, menikahkan anak perempuan dari kakak lelakinya dengan seseorang meskipun itu bukan hak dia untuk melakukannya. Ia membunuh kakaknya kemudian membuang barang-barangnya selayaknya itu barangnya sendiri. Ia kemudian melakukan hal yang sama kepada keponakan dari sang ayah. Ia tak pernah memberitahukan kepada anggota keluarganya mengenai hal ini, tetapi setelah kematiannya orang lain akan mengingatnya. Tujuan upacara pemecahan kelapa adalah untuk menguji apakah para leluhur mengetahui bahwa diagnosis seperti ini benar. Keluarga para almarhum memberikan penjelasan di Lamaholot mengenai penyebab kematian yang dapat dipercaya, kemudian sang ahli mengorbankan seekor ayam sebelum melakukan pemecahan kelapa yang menggunakan pisau ladang. Dalam upacara ini, sang ahli ritual berusaha untuk membelah kelapa, namun tidak terbelah sepenuhnya, yang menyimbolkan bahwa pengakuannya belum lengkap. Keluarga tersebut dan sang ahli kemudian beranjak pergi menuju sebuah rumah untuk berkonsultasi lebih jauh lagi. Saat kelapa yang kedua dicoba untuk dibelah, kelapa tersebut terbelah menjadi dua, yang mengindikasikan bahwa penyebab
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
sesungguhnya telah ditemukan. Alasan mengapa kelapa yang pertama tidak terbelah adalah karena para leluhur belum diberikan pertanyaan apakah ada tindakan sang korban yang menyebabkan kematian mereka. Saat perwakilan dari keluarga tersebut keluar untuk kedua kalinya, kisah selengkapnya yang telah disetujui oleh para leluhur, diperdengarkan kepada semua orang. Percobaan yang dilakukan di dalam upacara-upacara tersebut ditujukan agar kelapa yang sudah dikupas dapat terbelah menjadi dua bagian yang sama dan bersih. Apabila terjadi pukulan yang luput atau retakan menjadi tidak rata pada kelapa, ini mewakili jawaban yang negatif. Ahli untuk masalah yang satu ini tentunya akan menyediakan sebuah kelapa cadangan bila dibutuhkan. Tetapi, beberapa ahli lainnya hanya akan menggunakan satu kelapa. Jawaban yang kurang memuaskan akan membutuhkan penjadwalan ulang sebuah upacara baru. Saya mencurigai bahwa strategi selanjutnya menyebabkan tekanan terhadap keluarga tersebut dalam hal diharuskannya mereka untuk membuat sebuah pengakuan secepat mungkin. Ini bukanlah tempat untuk memberikan sebuah deskripsi lengkap akan upacaraupacara pembelahan kelapa. Namun, biarlah dicatat bahwa upacara semacam itu dibutuhkan setelah sebuah perang atau ketidakberuntungan lainnya. Dari sekian banyak benda yang digunakan oleh para pendeta dalam upacara pembelahan kelapa terdapat butiran-butiran yang terbuat dari bahan mentah katun. Butiranbutiran ini mempunyai banyak fungsi dan dalam hal ini mereka berfungsi untuk membantu berkomunikasi dengan kehidupan di surga dan dunia. Mereka juga digunakan untuk memanggil roh orang yang meninggal dalam perang atau ketidakberuntungan penyebab dilaksanakannya upacara ini. Di mana pun roh tersebut berada, bahkan di negara Amerika sekalipun, ia harus datang. Butiran-butiran ini
43
juga digunakan untuk membuang kesalahankesalahan. Misalnya, apabila seseorang yang tidak boleh memakan daging melanggar larangan ini, dia boleh membuang kesalahan dengan menyeka bibirnya dengan katun tersebut. Para leluhur pun diberi makan dalam upacara ini dan dimintai agar kesalahan tersebut tidak terjadi lagi. Dalam beberapa contoh mereka bisa berkata, ‘daun lontar kami berat (penuh dengan cairan dan siap untuk pemukulan), keranjang ayam juga penuh, maka dari itu kami memanggil[mu]’. Menurut dua ahli upacara kenalan saya yang hanya menggunakan kelapa dalam setiap peristiwa, kelapa mewakili kepala orang yang meninggal. Ketika saya menanyakan tentang perbedaan ini ia mengatakan memang ada variasi, akan tetapi seseorang memang mempunyai satu kepala. Ketika saya menanyakan bagaimana sebuah kelapa bisa dianggap sebagai kepala manusia mereka hanya menjawab itu adalah hal yang mudah. Seseorang harus pergi ke pohon kelapa dan memanggil nama orang yang telah meninggal. Setelah itu seseorang harus naik ke atas pohon untuk memetik buah kelapa tersebut dan membawanya turun tanpa menjatuhkannya. Lalu sang ahli upacara membesar-besarkan bahwa kelapa itu adalah kepala orang yang dimaksud. Dalam beberapa upacara yang saya saksikan ketika kelapa berhasil dibelah dua, para kerabat dekat pun mulai menangis. Pada akhir upacara sang ahli upacara akan memarut daging kelapa dan mencampurnya dengan air. Bahan ini kemudian dioleskan ke kepala kerabat pria dan wanita satu persatu. Setelah upacara selesai, baik sukses maupun tidak, akan diadakan sebuah pesta untuk para tamu yang telah hadir. Semua tamu membawa sumbangan makanan yang dibutuhkan. Untuk perayaan ini mereka tidak membutuhkan piring atau perlengkapan makan lainnya karena mereka menggunakan batok kelapa untuk gelas serta mangkuk dari labu dan
44
daun pisang sebagai piring. Memasak harus dilakukan dengan periuk tanah liat. Salah satu karakteristik perayaan seperti ini adalah banyaknya nasi dan ayam yang dimasak. Pengolahan ayam, yang di mulai dari mencabut bulu, mengeluarkan isi perut, sampai merebus ayam tersebut, menjadi atraksi yang sangat menarik karena dilakukan oleh banyak sekali pemuda sedangkan para wanita memasak nasi. Para pria melayani dan para wanita ada di antara yang dilayani. Dalam perayaan ini wanita memang dilarang untuk melayani. Daun-daun pisang disebar di atas tanah dan makanan diletakkan diatasnya. Sampai upacara ini diadakan para anggota keluarga yang kerabatnya meninggal tragis dilarang memakan daging apa pun, akan tetapi mereka boleh menyantap ikan.
Bom Pada tahun 2001, koran-koran di Indonesia dibanjiri dengan berita mengenai granat tangan yang ditemukan di berbagai tempat dan melukai beberapa orang bahkan juga menyebabkan beberapa kematian rakyat sipil. Insiden ini terjadi pada saat banyak gereja-gereja Katolik dan Protestan dibom serta adanya pembakaran beberapa masjid. Bisa dikatakan rakyat Indonesia diresahkan oleh insiden ini. Di Witihama pada tanggal 4 Mei 2001, tiga anak laki-laki, yang merupakan kerabat dari Haji Muktar, terluka akibat granat tangan yang mereka temukan di sebuah jurang. Granat tersebut secara tidak sengaja diletakkan dalam api di tempat mereka sedang membakar pisang dan tiba-tiba granat itu ikut meledak. Salah satu dari tiga anak tersebut meninggal. Polisi menyatakan bahwa granat tersebut sebenarnya sudah terlalu tua dan hanya dapat meledak bila pinnya dicabut. Pada saat kejadian, granat tersebut meledak akibat dipanaskan. Memang tidak ada konsekuensi langsung kecuali secara personal dari kejadian ini, akan tetapi kejadian ini terjadi
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
bersamaan dengan adanya isu usaha peletakkan bom di gereja Katolik. Walaupun ditemukan kabel misterius di menara lonceng gereja, tidak ada usaha pemboman apa pun selama saya berada di Witihama. Akan tetapi, isu pemboman ini ditanggapi secara serius dan usaha perlindungan pun segera dilaksanakan di gereja tersebut. Isu seperti ini sudah menyebar di daerah tersebut selama beberapa tahun. Dalam insiden serupa di sebuah desa yang sangat saya kenal di pulau seberang, menurut mereka yang ada di dekat gereja yang bersangkutan, komunitas umat Islamlah yang menyatakan akan membentuk penjagaan terhadap gereja dan akan mengatasi siapa pun yang mengancam gereja.
Kerjasama antaragama Pada tahun 1997 untuk pertama kalinya penyakit rabies ditemukan di Indonesia bagian timur, dan pada tahun 2000 telah mewabah di Flores Tengah. Beberapa kematian terjadi di Witihama dan pemerintah pun menjalankan sebuah program pemusnahan anjing dan kucing. Pada saat itu tersebar isu bahwa umat Islam fanatik telah memperkenalkan penyakit ini dari pulau Jawa. Bahkan muncul isu yang sangat aneh bahwa beberapa orang Jawa sengaja menyuntikkan virus rabies ke pepohonan supaya ketika orang memakan buahnya, mereka akan terjangkit penyakit tersebut. Kepanikan ini bahkan menyebabkan dibunuhnya beberapa laki-laki Jawa oleh gerombolan tak dikenal di Flores Barat. Untungnya, tidak ada insiden seperti ini di Witihama. Di masa lalu, seperti yang saya dengar, seorang Jawa beragama Islam datang ke Witihama dengan pandangan ekstrim yang dianggap mengancam keharmonisan komunitas yang ada. Kerabat Haji Muktar yang beragama Katolik meminta saran darinya. Pada akhirnya orang tersebut diminta untuk meninggalkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Witihama oleh mereka yang beragama Islam. Karakteristik lain dari komunitas ini adalah adanya pola kerjasama antaragama yang berkembang subur. Misalnya para pastur pemimpin agama Katolik membina hubungan yang baik dengan Haji Muktar dan para pemimpin umat Islam lainnya. Pada hari libur seperti Natal, Paskah dan Idul Fitri mereka mengadakan pertemuan publik untuk mengekspresikan persahabatan dengan adanya pidato dari pemimpin umat Katolik dan Islam. Umat Islam pun diundang untuk mengikuti perayaan sesuai dengan konfirmasi anak-anak beragama Katolik (dikonfirmasi oleh Tukan 1999: 36). Semua perayaan dan upacara adat selalu dihadiri baik oleh umat Katolik maupun umat Islam. Tempat duduk pun tidak dipisahkan berdasarkan agama kecuali pada saat makan. Pemisahan alat makan dan piring hanya terjadi bagi yang memakan daging babi dan yang tidak. Akan tetapi, umat Katolik yang mau, boleh duduk dekat dengan umat Islam dan berbagi makanan dengan mereka. Yang tidak diperbolehkan adalah duduk dengan umat Islam dan memakan daging babi di tempat tersebut. Pelarangan ini tidak menyebabkan adanya ketidaknyamanan. Kerja sama seperti ini bukanlah sesuatu yang unik di daerah ini. Merupakan sebuah hal yang lazim apabila umat Islam membantu pembangunan gereja dan umat Katolik membantu pembangunan masjid. Di Larantuka, Flores, prosesi Jumat Agung dilaksanakan tahunan oleh pemuda-pemudi Islam, dan masjid di Kampung Baru menerima subsidi dari gereja Katolik (Tukan 1999:37). Umat Katolik pun ikut menyambut umat Islam yang baru pulang dari tanah suci dan turut dalam perayaan yang diadakan sesudahnya.
Penolakan pengungsi Timor Pada bulan September 2000 tentara Timor Timur menyerang pusat penyaluran makanan
45
PBB di Atambua dan membunuh empat pekerja serta membakar mereka di jalanan. PBB bereaksi dengan menarik para pekerja sukarelawan yang menyediakan makanan bagi para pengungsi. Saya tahu bahwa kejadian ini terjadi ketika pemerintah Flores Timur sedang mempertimbangkan permintaan untuk menempatkan kembali sebagian pengungsi Timor Timur di daerah mereka. Uskup Agung Atambua yang datang dari Adonara menyarankan pemerintah untuk tidak melakukannya. Dia mengirimkan laporan buruk tentang mereka, seperti pencurian dan kekerasan yang disertai intimidasi yang sistematis. Penolakan untuk menerima para pengungsi pun menyebar di daerah tersebut. Masyarakat takut mereka akan bersikap sama di Flores Timur dan membahayakan hubungan antaragama di daerah tersebut. Pada akhirnya, daerah tersebut menolak untuk menerima para pengungsi.
Otonomi daerah Pada tahun 1999 dan 2000, pemerintah pusat berusaha meningkatkan otonomi daerah. Salah satu konsekuensi dari langkah tersebut adalah lepasnya Pulau Lembata dari Kabupaten Flores Timur dan menjadi daerah baru yang mempunyai hak-hak sendiri. Pemimpin politik dari daerah tersebut termasuk mereka yang berada di Jakarta bertemu dan mengumumkan rencana untuk membentuk Provinsi Flores dan Lembata serta melepaskan diri dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam situasi ini kecamatan Adonara Timur dan Barat terpecah menjadi lima kecamatan mandiri. Kecamatan Witihama disahkan oleh Bupati pada tanggal 1 Juni 2001. Perkembangan ini memberikan kemandirian sekaligus kebutuhan kerjasama antara satu dengan yang lain di dalam komunitas yang ada.
46
Kesimpulan Witihama adalah sebuah komunitas yang homogen baik dari segi bahasa maupun budaya. Namun demikian, sejarah perang berkelanjutan tetap ada meskipun jarang terjadi. Legenda dan dongeng menggambarkan insiden kekerasan yang dihubungkan dengan masuknya penduduk pertama pulau tersebut. Ketika pola kekerasan lama sudah mulai ditekan akhir-akhir ini, kenangan tersebut masih hidup sebagai pengingat agar masyarakat terus berhati-hati. Daerah tersebut terbagi oleh agama, sukusuku besar, yang di dalamnya terdiri dari umat Katolik dan umat Islam yang berhubungan erat satu sama lain. Dua komunitas agama ini menyadari dan bersikap hati-hati akan kemungkinan konflik akibat kepicikan atas suatu agama tertentu, dan mengambil langkah untuk menghindari ancaman tersebut secara lokal. Anggota masyarakat Witihama mempunyai ikatan luas dengan dunia luar baik di dalam maupun di luar Republik Indonesia, dan mempunyai niat untuk menambah pengaruh, bahkan di dunia politik Jakarta. Adanya otonomi daerah seharusnya memberi mereka lebih banyak kontrol politik atas urusan lokal mereka daripada selama masa rezim Suharto. Semoga situasi aman yang saya saksikan ini akan berlangsung selamanya dengan baik.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Referensi Arndt, P. 1938 ’Demon und Padzi, die feindlichen Brüder des Solor-Archipels’, Anthropos 33:1–58. 1940 Soziale Verhältnisse auf Ost-Flores, Adonare und Solor (Anthropos Ethnologische Bibliothek, Band IV, 2. Heft) Münster i. W.: Aschendorffschen Verlagsbuchhandlung. Barnes, R.H. 1987 ’Avarice and iniquity at the Solor Fort’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143:2/3:208–236. 2001 ’Alliance and Warfare in an Eastern Indonesian Principality: Kédang in the Last Half of the Nineteenth Century’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 157:2:271– 311. 2003 ’Fransiskus/Usman Buang Duran: Catholic, Muslim, Communist’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159:1:1–29. Dietrich, S. 1995 ’Tjeritera Patigolo Arkian: Struktur und Variation in der Gründungsmythe des Fürstenhauses von Larantuka (Ostindonesien)’, Tribus: Jahrbuch des Linden-Museums 44:112–148. 1997 Kota Rénya, ‘Die Stadt der Königin’: Religion, Identität und Wandel in einer Ostindonesischen Kleinstadt. Stuttgart: Habilitationsschrift der Universität München. Lamahoda, S.K.K. n.d. Peperangan2 dan Dendam. Tidak dipublikasikan. Lewokeda, K.K.M. 2002 ‘Murder Ritual on Adonara, Indonesia: A cultural Analysis , translated from the Indonesian by R. H. Barnes’, Anthropos 97:487–494. de Sá, Artur Basílio (peny.) 1956 História de Maluco no Tempo de Gonçalo Pereira Marramaque e Sancho de Vascincellos...1636. Fundação das Primeiras Cristandades nas Ilhas de Solor e Timor, 1624-1625. (Documentação para a História das Missões do Pradroada Português do Oriente, Insulíndia, vol. 4) Lisbon: Agência Geral do Ultramar. de Santa Catharina, Lucus 1733 Quarte Parte da Historia de S. Domingos. Lisbon: Academia Real. Tukan, J.S. 1999 Aku Dalam Budaya Islam. Jakarta: YPPM (Yayasan Putra-Putri Maria). Vatter, E. 1932 Ata Kiwan: Unbekannte Bergvolker in Tropischen Holland. Leipzig: Bibliographisches Institut AG..
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
47