KEPUASAN PERKAWINAN PADA ISTRIYANG MENJALANI PERKAWINAN JARAK JAUH
OLEH NAOMI WIDYASWORO 802008601
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Individu dalam memasuki sebuah perkawinan mempunyai harapan jika perkawinan yang di bangun berjalan seumur hidup dan bertahan selamanya. Membangun rumah tangga bersama-sama sehingga mendapatkan kebahagian dalam rumah tangga. Namun tidak jarang, Fenomena yang terjadi dalam kehidupan perkawinan saat ini Istri harus berpisah dari suami karena pekerjaan yang diambilnya sebelum menikah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepuasan perkawinan pada istri yang sedang menjalani perkawinan jarak jauh. Partisipan penelitian ini adalah wanita yang sudah menikah dan perkawinan di tempuh dalam kondisi jarak jauh dimana suami berada di luar pulau jauh dari keberadaan istri. Karakteristik lain yang terdapat pada partisipan adalah usia perkawinan satu sampai lima tahun. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi dengan teknik pengumpulan data menggunakan hasil wawancara dan observasi. penelitian ini menggunakan aspek-aspek kepuasan perkawinan dalam Fowers dan Olson (1989, 1993). Dari hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidak puasaan partisipan dalam hal komunikasi dengan suami yang terkadang membuat masalah dalam rumah tangga, kepercayaan kepada suami membuat keterbukaan, dukungan teman dan keluarga dapat memberi motivasi pada partisipan.
Kata kunci : Kepuasan Perkawinan, Perkawinan Jarak Jauh
Abstract Someone who enters a marriage has hopes that the marriage they built can last for life and forever. They hope that they can get happiness in their marriage. In other hands, the phenomena that occur in life in today's marriages is when wife must be separated from her husband because her husband took a job before their marriage. This study aims to determine marital satisfaction on wife who is undergoing a long-distance marriage. Participants of this study were women who were married and marriage in distance marriage in a state in which the husband was work outside the island away from his wife.Data collection techniques will be undertaken using a qualitative method of interviews and observations. This research uses aspects of marital satisfaction by Fowers and Olson(1989, 1993). The results of this study indicate dissantisfaction in communication sometimes create problems in the family, husband’s trust make openess, the support of friends and family give motivation to the participants. Keyword : marriage satisfaction, long distance marriage
1
PENDAHULUAN Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebergantungan dan saling membutuhkan satu dengan yanglain dan perkawinan merupakan pemersatu antara pria dan wanita dalam sebuah keluarga. Pernikahan merupakan hubungan antara pria dan wanita yang secara sosial diakui dan ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi dalam membesarkan anak dan membangun pembagian peran antara sesama pasangan menurut Duvall &Miller (dalam Wisnuwardani &Fatmawati, 2012). Keluarga sebagai sebuah sistem memiliki karakteristik yang terkait dengan kemampuan keluarga dalam beradaptasi untuk meraih kepuasan hidup keluarga Henry (dalam Lestari, 2012). Dua pribadi yang memasuki jenjang perkawinan merupakan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Meninggalkan rumah menjadi orang dewasa yang hidup sendiri adalah fase pertama dalam siklus kehidupan keluarga dan melibatkan pelepasan. Pelepasan adalah proses orang dewasa muda menjadi orang dewasa dan keluar dari keluarga asalnya.Orang dewasa akan menjadi satu dengan pasangannya dalam membentuk satu rumah tangga yang baru melalui perkawinan. Fase kedua dalam menempuh suatu kehidupan perkawinan adalah fase dimana individu membentuk suatu keluarga baru yaitu individu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk membentuk suatu sistem keluarga yang baru. Fase kedua ini merupakan penyatuan dua sistem keluarga untuk membangun sistem keluarga yang baru, selain itu dalam fase ini pasangan satu sama lain melibatkan diri dalam menjalin relasi dengan keluarga kerabat. Fase yang ketiga dimana pasangan memiliki anak-anak.Kondisi ini menuntut mereka memberikan kasih sayang kepada anak. Selain pasangan harus memahami peran mereka
2
sebagai orangtua itu sehingga dapat berkomitmen yang dapat menyesuaikan diri dalam proses perkembangan anak (Santrock,2002). Perkawinan merupakan penyatuan dua orang yang saling merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling memberi dukungan, dorongan dan saling melayani, semuanya diwujudkan dalam kehidupan yang dinikmati secara bersama (Gunarsa, 2003). Dengan adanya kebersamaan dan saling melengkapi, kepuasan perkawinan dapat tercapai sejauh mana kedua pasangan perkawinan dapat memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing dan sejauh mana kebersamaan, kebebasan dari hubungan yang mereka ciptakan memberikan peluang bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan dan harapan-harapan yang mereka bawa sebelum perkawinan terlaksana (Sudarjoen dalam Wardani, 2012). Kepuasan perkawinan adalah komponen dari penyesuaian perkawinan dan asumsinya, seseorang dengan penyesuaian perkawinan yang baik akan menggambarkan kepuasan yang baik, kebalikannya jika seseorang dengan penyesuaian perkawinan yang buruk dapat menggambarkan ketidakpuasan dalam perkawinan menurut (Spainer dalam Rachmawati, 2013). Kepuasan perkawinan menurut Olson dan Fower (1993) adalah evaluasi secara menyeluruh mengenai kehidupan perkawinan, ada 10 aspek kepuasan perkawinan yang di ungkapan oleh Olson dan Fower (1989) yaitu isu kepribadian, kesamaan peran, komunikasi, aktivitas bersama, orientasi agama, pengelolaan keuangan, solusi masalah, orientasi seksual, anak dan orangtua, keluarga dan teman. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi dalam kepuasan perkawinan (Papalia dalam Wismanto, 2012) antara lain usia saat menikah, agama, dukungan emosional, latar belakang pendidikan dan
3
perbedaan harapan. Boettcher (dalam Wismanto, 2012) berpendapat bahwa empati dan keintiman juga menjadi faktor dari kepuasaan perkawinan. Dalam suatu perkawinan menurut Tylor (dalam Wardani, 2012) dibutuhkan komunikasi yang baik diantara pasangan suami istri.Luasnya komunikasi yang intim bagi kedua pasangan memberikan efek yang signifikan pada kedua pasangan dalam tingkat kepuasan relasi mereka.Selain komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan, seksualitas, kejujuran dan kepercayaan, semuanya itu menjadi sangat penting untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan. Setiap kehidupan rumah tangga tidak selalu akan berjalan dengan mulus seperti yang seringkali didambakan setiap pasangan. Ada saja kendala yang dialami oleh pasangan. Menurut Hurlock (1997) kehidupan perkawinan pada awal tahun pertama dan kedua merupakan masa-masa pasangan menyesuaikan satu sama lain. Pasangan suami istri sering kali mengalami permasalahan yang terkadang menimbulkan ketegangan emosional. Dalam kehidupan perkawinan pasangan akan mengalami konflik dan masalah yang harus mereka hadapi dan selesaikan secara bersama sama. Pasangan suami istri pada umumnya menginginkan dapat tinggal bersama dalam tempat tinggal yang sama, namun tidak semua keluarga dapat mewujudkannya. Ada beberapa keluarga yang tidak tinggal dalam satu rumah dikarenakan berbagai alasan. Menurut Scott (2002) Perkawinan jarak jauh adalah pola hubungan jarak jauh yang di tandai jarangnya pertemuan atau tatap muka antara suami istri dan biasanya pasangan tersebut tinggal di kota yang berbeda. Hubungan jarak jauh diartikan sebagai hubungan yang disebabkan oleh sesuatu hal sehingga menyebabkan pasangan suami istri harus
4
tinggal terpisah, mereka yang menjalani perkawinan jarak jauh misal suami di mutasi atau dipindahkan kekota lain oleh tempat kerjanya namun istri tetap tinggal di kota asalnya karena tidak memungkinkan untuk ikut hal ini di kemukakan oleh (Wardani dkk, 2013). Pasangan yang menjalani perkawinan jarak jauh (long distance marriage) tentu saja akan menghadapi masalah yang berbeda dengan pasangan yang tinggal bersama. Masalah utama dilihat dalam komunikasi jika dibanding dengan pasangan yang tinggal serumah (Rachmawati dan Endah, 2013) selain masalah komunikasi, pengambilan keputusan, kelelahan terhadap peran, kurangnya kebersamaan seringkali menjadi masalah dalam menjalani perkawinan jarak jauh. Pasangan yang melakukan perkawinan jarak jauh akan jarang bertemu sehingga ini memungkinkan menimbulkan permasalahan pada pasangan.Menurut Ibrahim (dalam Handayani, 2008) masalah rumah tangga umumnya terjadi karena lunturnya tingkat kepercayaan. Pernikahan yang berkisar 5-10 tahun adalah pernikahan yang rawan karena beradaptasi dengan pasangannya.Pernikahan jarak jauh semakin marak dilakukan oleh pasangan suami istri dan pemenuhan kebutuhan terkadang menjadi alasan utama menjalani pernikahan jarak jauh. Pada hubungan jarak jauh ini terkendala jarak sehingga komunikasi merupakan hal yang penting bagi pasangan. Perkawinan jarak jauh membatasi khususnya dalam aspek komunikasi secara langsung, pemecahan masalah dalam rumah tangga hanya dirasakan oleh salah satu pasangan saja, seperti yang diungkapkan Nova (wawancara pribadi, 5 September 2014), Nova dan suami bertemu hanya 6 bulan sekali karena suami bekerja sebagai pelaut di
5
sebuah kapal pesiar. Ketika anaknya sakit, Nova kewalahan dan sangat membutuhkan suami. Sebagai istri yang juga harus bekerja ia harus mengasuh anak yang menjadi tanggung jawab seorang istri. Menurut Santrock (2002) dalam pengasuhan anak menuntut komitmen sebagai orang tua meliputi
suami dan istri, memahami peran
sebagai orangtua dan mengetahui perkembangan anak secara bertahap, juga menyatakan bahwa tugas-tugas berkaitan pekerjaan dan kehidupan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting dan sangat sulit diatasi. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyaningrum (2006) pada partisipan istri pelaut, mengatakan bahwa keharmonisan hubungan rumah tangga sangat diperlukan untuk menunjang kepuasan dalam pernikahan.Karena kurangnya waktu bertemu yang dialami oleh istri pelaut, maka istri harus pandai menjaga komunikasi dengan suaminya, harus menjaga hubungan dengan mertua dan ipar selain itu juga harus ada penyesuaian seksual yang baik dan penyesuaian keuangan yang mencukupi. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meinatun (2013) penelitian ini mengungkapkan bahwa 1 dan 3 subjek merasakan kepuasan pernikahan ditunjukkan dengan komunikasi, kepercayaan dan kesetiaan, saling pengertian, kerjasama mengasuh anak, pemenuhan materi dan rasa empati. Subjek 2 merasakan kurang puas dengan pernikahannya karena kasih sayang yang diberikan suami kurang dan perasaan kecewa terhadap suami yang kurang peka terhadap subjek, serta kualitas kebersamaan kurang optimal dan juga ada campur tangan keluarga suami dalam rumah tangga subjek. Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa kehidupan berumah tangga membutuhkan adanya kebersamaan antara suami dan istri sehingga dapat
6
mewujudkan kepuasan dalam mencapai pernikahan.Oleh karena itu penelitian tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul kepuasan perkawinan pada istri yang menjalani perkawinan jarak jauh.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian mengunakan penelitian kualitatif fenomonologi menurut Smith & Osborn (2007) fenomonologi adalah metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis.
Teknik PengumpulanData Menurut Moleong (2010) sumber data yang utama dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata yaitu wawancara dan observasi. Tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain sebagainya.Untuk mendapatkan gambaran kepuasan dari partisipan, penelitian yang dilakukan dengan menggunakan aspek-aspek kepuasan perkawinan dari Fower dan Olson (1989;1993).Beberapa tahap dalam analisis data yakni membahas seluruh data yang diperoleh, melakukan reduksi data, melakukan kategorisasi dan penafsiran data. Untuk pengujian keabsahan data dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi untuk pemeriksaan melalui sumber lain ( Moleong, 2010).
7
Teknik Analisis Teknik analisis Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) menurut Smith & Osborn (2007)mengunakan tahapan sebagai berikut reading and reading , initial noting, developing emergent Themes, Searching for connection a cross emergent themes, Moving the next case, Looking for pattern accross area. Gambaran Umum Partisipan Partisipan 1 lahir di Salatiga 15 Januari 1986, partisipan 1 adalah orang asli Salatiga, pendidikan terakhir partisipan 1 adalah SMK, partisipan adalah seorang wiraswasta yang sehari-hari membuka salon. Partisipan 1 sudah menikah selama 3 tahun dan sudah dikaruniai seorang putri yang berumur 2,5 tahun. Suami partisipan 1 bekerja di pertambangan Kalimantan sejak mereka masih berpacaran.perbedaan usia suami dan partisipan 1 adalah 3 tahun. Setelah menikah dengan suami partisipan 1 tinggal dengan mertuanya di Salatiga. Partisipan 2 lahir di Salatiga 6 Januari 1988, partisipan 2 merupakan orang asli Salatiga. Pendidikan terakhir partisipan 2 adalah SMK, partisipan adalah seorang ibu rumah tangga dan wiraswasta dengan membuka warung kelontong. Partisipan 2 sudah menikah selama 2 Tahun dan di karuniai seorang anak laki-laki berumur 12 bulan. Suami partisipan 2 bekerja di sebuah perusahaan garmen yang berada dibatam , usia perkawinan partisipan 2 dan suami adalah 2 tahun, saat ini partisipan 2 tinggal bersama orangtuanya di Salatiga.
8
HASIL PENELITIAN Isu Kepribadian Berdasarkan hasil penelitian partisipan 1, terlihat komunikasi yang cukup lancar antara partisipan 1 dan suami yang bekerja diluar pulau, karena dilakukan setiap hari melalui telepon. Meskipun demikian seringkali terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi tersebut. Yang terjadi adalah suami merasa jengkel dengan beberapa perilaku istri misalnya pada saat istri tidak mengangkat telpon darinya karena sedang sibuk bekerja atau sedang mengurus anak atau ketika maksud dari suami tidak dapat ditangkap baik oleh istri. Hal ini membuat istri merasa tidak puas dengan sikap suami yang cenderung ingin di perhatikan terus menerus dan tidak sabaran saat menjalani perkawinan jarak jauh. Ya kadang ada sih mbak, kalo misal saat suami ngomong dia gak denger atau saat dia ngomong akunya gak denger karena ngurus anak gitu kan sering salah paham (106-109 P1 W1) Pada partisipan 2 terlihat komunikasi yang kurang baik antara ia dan suami. Suami jarang sekali menghubungi partisipan 2. Komunikasi hanya terjadi pada saat suami akan mengirim uang dan apabila suami ingin menanyakan kondisi anak saja hal ini di sebabkan karena suami kesal dengan istri yang selalu mengeluh dengan kondisinya yang capek setelah bekerja atau mengurus anak. Hal tersebut membuat istri merasa jengkel dan tidak mengalami kepuasan dalam perkawinannya khususnya pada sikap dan perilaku suami yang tidak memperdulikan partisipan 2. “aku pengennya itu namanya orang berumah tangga kan dimanapun kapanpun sedikit punya waktu untuk menghubungi, tapi kan suamiku gak pernah
9
menghubungi , bok ya tanya kabarku atau kabar anak tpi kan suamiku tanggapannya lain gitu (P2 W2 77-79)
Kesamaan Peran Selama menjalani perkawinan jarak jauh partisipan 1 melakukan peran ganda yang membuat ia sangat membutuhkan kehadiran suami khususnya pada saat ia mengalami kerepotan dalam bekerja di salon, megerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak dan ketika anak sedang dalam keadaan sakit. Ia merasa puas pada saat suami pulang dan membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menemani anak bermain, membantu dalam memasak dan juga mengantar jemput anak dan menemani anak saat ia harus bekerja di salon. “jadi pas anakku lepas ASI itu dia kan mengalami tantrum mbak, marah-marah sendiri terus nangis gitu kan repot banget mbak, tak gendong aku kan juga capek to, ya tapi mau gimana suami jauh dari rumah gak bisa bantu, ya aku urus sendiri tapi lama-lama ya terbisa to mbak gak nangis lagi (P1 W2 199-203)” Tidak hanya dalam mengasuh anak saja partisipan sangat mengharapkan kehadiran suami untuk mendampinginya melalui masa-masa sulit mengatasi anak yang tantrum akibat lepas ASI. Namun jarak yang jauh membuat suami hanya dapat menunjukkan dukungannya dengan mendengarkan, menghibur dan memotivasi istri untuk lebih sabar menghadapi anak. Hal yang sama juga dirasakan partisipa 2 dalam menjalankan peran ganda. Tidak mudah bagi partisipan 2 karena selain mengurus anak ia pun harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,dan saat-saat seperti ini ia sangat mengharapkan
10
kehadiran suami. Karena kelelahan fisik, maka partisipan 2 memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus pada mengasuh anak. Partisipan 2 merasa tidak puas karena tidak ada keterlibatan suami dalam mengurus anak mereka. Komunikasi Partisipan 1 menggunakan media telepon dalam berkomunikasi dengan suami yang berada diluar pulau. Komunikasi melalui telepon ini dilakukan setiap hari. Suami sering menghubungi istri saat ia sedang tidak bekerja dan selalu memperhatikan keadaan istri, sebaliknyapun demikian partisipan 1 juga selalu menanyakan keadaan suami dan pekerjaannya disana. Ada keterbukaan yang terjadi antara suami dan partisipan 1. Setiap kali berkomunikasi partisipan 1 selalu menceritakan segala sesuatu yang ia alami, baik itu masalah yang ia hadapi dengan mertua maupun anak mereka, sebaliknya suami pun selalu menceritakan keadaannya dengan terbuka mengenai masalah pekerjaan yang sedang di hadapi. Keterbukaan antara partisipan 1 dengan suami dirasa semakin berkembang semenjak pacaran sehingga partisipan 1 makin mengenal suami. Keterbukaan dengan suami juga membuat partisipan 1 merasa dekat dengan suaminya walaupun mereka terpisah jarak. Keterbukaan ini menimbulkan kepuasanan partisipan 1 dalam perkawinannya. “mbak karena aku setuju apa gak suami setuju apa gak gitu jadi kita ngomongnya di bicarakan dulu, ini ada yang mau dibahas, nah kalo kita berdua sepakat kamu setuju aku setuju gimana baiknya gitu mbak (P1 W2 68-71)”
11
Pada partisipan 2, tidak terlihat komunikasi yang baik antara ia dan suami, hal ini tampak dalam jarangnya komunikasi yang terjadi antara suami dan partisipan 2. Ada masalah yang melatarbelakanginya, yaitu saat sebelum suami kembali untuk bekerja ke luar pulau, didapati suami masih menghubungi mantan pacarnya, hal ini memicu kemarahan besar partisipan 2, namun tidak keluar sedikitpun penjelasan dari sang suami. Masalah yang tidak terselesaikan ini membuat hubungan partisipan 2 dan suami kurang harmonis, setiap berkomunikasi hanya berakhir dengan pertengkaran sehingga membuat suami enggan untuk berkomunikasi dengan istri. Partisipan 2 menyadari hal tersebut namun suami sudah tidak mau lagi berkomunikasi dengannya. Komunikasi seperti ini membuat partisipan 2 merasa tidak puas dengan keadaannya. “gak puas to mbak, pastinya kan kalo kelurga ada kerja capek, dia walaupun gak sama suami, suami masih menanyakan, ya gak usah nanyakan istri nanyakan anak aja aku dah seneng mbak, gimana kabarnya gimana kabar kondisi anak. Gak usah dia itu mau atau egois, tapi kan dia yang di timbulkan egois, ya istri kan juga jengkel mbak (P2 W2 160-163)”
Aktivitas Bersama Jarak yang memisahkan partisipan 1 dan suami tidak membuat suami berhenti mengingatkan istri agar selalu sholat bersama. Partisipan 1 senang karena mengetahui suaminya pun melakukan waktu ibadah yang teratur. Hal ini diperkuat oleh kesaksian adik partisipan 1 yang tinggal satu kota dengan suami karena dari adik itu juga partisipan 1 dapat mengetahui semua yang dilakukan suami. Quality time juga terbangun apabila suami partisipan 1 pulang, mereka menghabiskan waktu bersama dengan makan bersama bertiga atau dengan berbelanja kebutuhan bersama.
12
“Paling main gitu bareng-bareng, kalo bertiga aja biasanya makan gitu, gak sering ngajak-ngajak gitu, biasanya bertiga seringnya makan atau waktu belanja begitu. (176-178) “ Pada partisipan 2, partisipan tidak mengetahui kegiatan suami yang tinggal terpisah darinya karena suami tidak pernah menceritakan mengenai pekerjaannya dan aktivitas apa saja yang ia lakukan disana. Kegiatan bersama
partisipan 2 dalam
menghabiskan waktu luang di lakukan bersama kakak dan anaknya seperti berjalanjalan bersama. Kondisi ini membuat partisipan 2 tidak mengalami kepuasan terhadap aktivitas yang sedang di jalani suaminya. “pergi sama anak refreshing ya mainlah sama anak supaya gak sumpek gitu terus anak ya dapet pemandangan hawa yang segar, sama kakak sama keluarga ya gitu (P1 W2 370-372)”
Orentasi Agama Partisipan 1 merasa bahwa suaminya bukan orang yang dalam mempelajari agama terlalu dalam namun suami partisipan 1 punya kemauan mempelajari aturanaturan yang ada didalam agama yang mereka anut. Saat partisipan 1 memutuskan untuk berhijab, suaminya pun mendukung dalam beragama. Suami tidak pernah melarang keputusan partisipan 1 sebaliknya suami mencarikan informasi apa-apa saja yag harus dilakukan dalam proses berhijab sehingga istri merasa puas dengan dukungan yang diberikan suaminya dalam melakukan aturan agamanya. “dalam Islam kan banyak banget itu mbak yang gak boleh kayak gini gak boleh kayak gini ya kita diajarin pelan-pelan dari sebelum berhijab sampai berhijab gitu, ya nanti kalo sudah berhijab tidak terbuka tapi benar-benar tertutup, belajarnya baru
13
awal nah kan ada prosesnya ya InsaAllah lah nanti bisa lebih dalam lagi, suamiku juga kayak gitu disana juga mencoba lebih baik lagi (P1 W2 145-150)” Sedangkan pada partisipan 2, ia merasa bahwa suaminya belum dapat menjadi imam dalam rumah tangga dan teladan yang baik. Hal ini disebabkan suami tidak pernah menuntun istrinya melakukan hal yang benar dan tidak dapat menjadi contoh yang baik bagi anaknya. Dalam hal ini partisipan 2 merasa tidak puas dengan apa yang di lakukan oleh suaminya karena ketidakadaan dukungan suami dalam. “kurang baik mbak bagi aku soalnya belum jadi imam yang baik gitu low (287-288 P2 W2)” Penglolaan Keuangan Dari hasil penelitian partisipan 1, terlihat suami adalah pencari nafkah utama dalam rumah tangga, walaupun istri juga berwirausaha salon, penghasilan dari salon bukan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga mereka. Pengaturan keuangan tiap bulan diserahkan kepada partisipan 1 dan selalu diawali dengan diskusi terbuka dan kesepakatan antara suami dan partisipan 1. Yang dilakukan adalah partisipan sudah mempunyai budget untuk tiap-tiap pengeluaran seperti misalnya berapa untuk anak, untuk ditabung dan untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pembangunan rumah. Partisipan 1 merasa puas karena ada pengaturan yang jelas mengenai keuangan mereka. Hal ini di dukung dengan penjelasan suami yang memang selalu membicarakan mengenai pengaturan keuangan mereka melalui telephone atau saat bertemu secara langsung.
14
“jadi ya ini kan gaji suami nah gaji suami sudah ada pos-pos nya sendiri mbak ini buat ibu ,buat anak ku, sama buat nabung sama ini sisanya buat pengeluaran buat ini kita kan ada tanggungan di bank juga (P1 W1134-136)” Berbeda dengan partisipan 1, partisipan 2 tidak merasa puas dengan pembagian keuangan dalam rumah tangga karena walaupun suami memberi nafkah setiap bulan, namun yang di berikan suami tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan partisipan 2 dan anaknya, sehingga partisipan 2 harus mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ditengah kesibukannya mengurus anak sedangkan membagi perhatian kepada pekerjaan dan anak bukan hal yang mudah bagi partisipan 2. Ia pun merasa suami tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap kesulitan yang ia hadapi. Pengaturan keuangan dilakukannya sendiri tanpa ada pembicaraan dengan suami. “kalo pemberian suami secara finansial ya pastilah kurang mbak, untuk memenuhi kebutuhan susu anak, belum lagi kita hidup bermasyarakat ada sosialisasi ada segala hal yang tidak kita tahu secara tiba-tiba (P2 W2 134136”
Solusi Masalah Semenjak awal perkawinan sampai saat ini Partisipan 1 tinggal satu atap dengan mertua. Itu bukan hal yang mudah bagi partisipan 1, karena ia harus menyesuaikan dengan sifat dan pola hidup mertua. Tidak jarang terjadi pertengkaran kecil antara partisipan 1 dan ibu mertua, dan seringkali yang memicu pertengkaran itu adalah karena ibu mertua yang sering berkomentar negatif dan mencampuri urusannya sehingga membuat partisipan 1 merasa tidak nyaman. Dalam masalah ini, suamilah yang menjadi penengah dan pendamai antara partisipan 1 dan ibu mertua. Konflik lain yang terjadi
15
antara partisipan dan suami adalah dalam proses pembangunan rumah. Seringkali partisipan 1 tidak menangkap dengan baik keinginan suami mengenai rumah mereka, sehingga ia tidak dapat menyampaikan dengan jelas kepada tukang yang mengerjakan. Kondisi seperti ini seringkali menimbulkan pertengkaran antara partisipan 1 dan suami. Namun pertengkaran mereka tidak berlangsung lama karena setelah itu selalu dibicarakan dan diselesaikan. Partisipan 1 merasa puas karena walaupun mereka menjalani perkawinan jarak jauh masalah yang terjadi antara mereka selalu dapat diselesaikan dengan baik karena selalu dibicarakan bersama. “iya puas sie mbak, soalnyakan suamiku nanyain aku gantian gitu loh mbak, kalo gini terus gimana kalo sedang ada masalah, dia keberatan apa gak, dia selalu menanyakan nah kalo misal aku keberatan dia selalu menawarkan enaknya gimana. Yang penting kita mencari solusi bersama-sama (172-176)” Dalam hal penyelesaian masalah partisipan 2 tidak mendapatkan kepuasan dari suami dalam hal penyelesaian konflik yang sedang mereka alami, karena suami tidak mau terbuka dengan masa lalu nya saat sebelum menikah dengan partisipan 2, sehingga saat partisipan 2 tahu bahwa suaminya masih menghubungi mantan pacar partisipan 2 marah namun suami partisipan tidak mau menyelesaikan atau menjelaskan untuk menyelesaikan masalah. Yang di lakukan suami partisipan 2, suami meminta partisipan 2 mengurus perceraian mereka untuk penyelesaian masalah namun partisipan 2 menolak untuk bercerai. Permintaan suami yang meminta partisipan 2 untuk mengurus surat perceraian di benarkan oleh teman partisipan 2 yang mengatakan hal yang sama. “pernah mbak suamiku bilang, kita akan selesaikan biar cepat selesai kita akhiri aja, kalo kamu lama nunggu aku kamu urus aja sendiri, kamu ngurus
16
surat-suratnya dulu nanti waktu aku pulang tinggal kita urus, nah itu mbak penyelesaiannya dia ingin pisah tapi aku gak ada niat (P2 W2 290-293)”
Orentasi Seksual Dalam membangun hubungan seksual partisipan 1 dan suami, selalu membicarakan mengenai hal tersebut bersama. Terkadang suami meminta foto istri ataupun menyatakan kerinduannya pada istri. Partisipan 1 percaya penuh pada suami dan tidak mencurigai apapun yang dilakukan suami disana. “kalo pas kita telpon ya di bahas itu hahaha... ya gitupuas aja sie mbak selama ini dalam menjalani hubungan intim hehehe (P1 W2 323)” Sedangkan pada partisipan 2, waktu suami ada di didekatnya, ia masih merasakan kehangatan suami, juga dalam hubungan seksual partisipan 2 masih melakukan kewajibannya sebagai istri. Namun setelah ada konflik yang terjadi dan tidak terselesaikan itu partisipan 2 menolak permintaan seksual suami walaupun partisipan 2 pun membutuhkannya. Setelah suami pergi partisipan 2 tidak pernah merasakan relasi seksual dalam bentuk apapun. Partisipan 2 berusaha mengalihkannya dengan menyibukkan diri bekerja dan mengurus anak. Partisipan 2 merasa tidak puas dengan relasi seksualnya dengan suami khususnya pada saat suami pergi kembali bekerja di Batam. “baik-baik aja mbak biasa aja gitu sewaktu dirumah biasa sewajibnya istri melayani suami tapi setelah mau pergi ya beda lagi mbak, kan namanya hati dia mau tapi aku gak mau kan itu, namanya orang jengkel mau diajak apapun ya gak mau (344-347 P2 W2)
17
Anak dan Orangtua Dari hasil penelitian pada partisipan 1, terlihat suami berperan dengan baik, suami dirasa bertanggung jawab dengan perkembangan anak. Hal ini terlihat dari kesediaan suami untuk berdiskusi dengan partisipan 1 mengenai pertumbuhan, masa depan sekolahnya pada saat putri mereka akan masuk PAUD mereka membicarakan bersama dan cara yang tepat dalam mendidik anak. Dalam hal ini partisipan 1 merasa suami melakukan perannya dengan bertanggung jawab sebagai seorang ayah dan suami yang baik sehingga walaupun mereka menjalani perkawinan jarak jauh istri tetap merasa puas. “aku sering mengkomunikasikan itu sama suami, misal kayak rencana mau sekolah gitu. Aku membicarakan dulu, kan anak ku baru masih 2 tahun ya udah tak masukin PAUD, 2 tahun lebih mbak dia masuk PAUD karena udah mau tiga tahun. (P1 W2 226-229)” Pada partisipan 2, suami dirasa kurang bertanggung jawab dalam memainkan peran sebagai seorang ayah. Terlihat dari kurang besarnya perhatian suami terhadap perkembangan anak, karena ia tidak selalu berinisiatif untuk menanyakan kondisi anak maupun mendiskusikan mengenai masa depan bagi sang anak. Peran ayah di gantikan oleh kakak partisipan 2 karena tidak adanya sosok ayah untuk anaknya. Partisipan 2 juga berusaha mendekatkan suami dengan anak dengan menceritakan perkembangan anak mereka juga mengirimkan foto perkembangan anak mereka sehingga suami juga terkadang menanyakan anak, namun sebatas hanya menanyakan saja. Sebagai istri, partisipan 2 pun tidak merasa puas dengan sikap suami tersebut, ditambah suami yang tidak dapat menjadi teladan yang baik bagi dia dan anak. Kehadiran orang ketiga dalam
18
rumah tangga mereka semakin membuat partisipan 2 menjadi tidak puas dengan peran suami perkawinannya. Hal inipun dibenarkan oleh teman partisipan 2 bahwa suami partisipan 2 mempunyai wanita lain selain dia. “gak ada mbak cuman kasih nafkah yang di jatahnya aja udah itu aja, namanya hubungan apa tanya apa apa enggak gak pernah sama sekali gak ada mbak. Malah dia dapatnya dari omnya dari kakakku gitu dianggap seperti anaknya sendiri to, jadi dia tahunya kakaku itu papahnya ayahnya (252-256 P2 W2)”
Keluarga dan Teman Kebutuhan yang kecil akan teman dan keluarga pada partisipan 1 dikarenakan kedekatan dan keterbukaan dengan suami sehingga partisipan 1 lebih suka menceritakan segala sesuatu pada suaminya. Kesenangan akan kehadiran teman dan keluarga pada partisipan 2 sangat membantu membuat partisipan 2 tetap bertahan dan ingin mempertahankan rumah tangganya. Keluarga menyerahkan semua keputusan kepada partisipan 2 namun keluarga dan teman ingin partisipan 2 tetap menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan di bicarakan baik-baik demi anak mereka. Hal tersebut di benarkan oleh teman sekat wanita partisipan 2 yang menjadi teman cerita bagi partisipan 2 selama ini. “mereka ya sama kayak aku, sama kalo bisa dipertahankan, kalo bisa jangan egoislah, soalnya yang menang itu kamu, kamu yang resmi bukan mereka pacar lama kan gitu kan mereka apa-apa, kecuali dia udah nikah sama suamiku nah dia cuman pacaran aja kan mbak..masih menang aku mbak kan gitu (240-244 P2 W2)”
19
PEMBAHASAN Perkawinan jarak jauh membuat ketidak hadiran suami di tengah keluarga sehingga tanggung jawab partisipan sebagai istri dalam menjalani perannya menjadi lebih besar. Peran ganda merupakan hal yang harus di jalani partisipan selain mengurus rumah tangga, partisipan juga mempunyai tanggung jawab dalam membesarkan dan mengurus anak di saat suami tidak ada dirumah karena harus bekerja di luar rumah. peran ganda bukanlah sesuatu yang mudah karena selain bekerja di luar rumah partisipan masih mempunyai tanggung jawab dalam mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah sehingga partisipan sangat membutuhkan kehadiran suami dalam pembagian peran. Pada saat suami berada dirumah partisipan merasa sangat terbantu dengan kehadiran suami karena dapat saling berbagi tugas dan tanggung jawab bersama dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak hal ini seperti yang diungkapkan oleh Gunarsa (2003) bahwa dalam perkawinan pasangan saling membutuhkan, saling memberi dukungan, dorongan dan saling melayani, semuanya di wujudkan dalam kehidupan yang dinikmati secara bersama. Sehingga saat mereka saling melayani dan melakukan hal bersama dalam dalam perannya akan membuat istri puas dengan perkawinan mereka. Selain adanya pembagian peran, perkawinan jarak jauh juga membutuhkan waktu dimana pada saat pasangan bertemu dan menghabiskan waktu bersama-sama dengan keluarga hal ini di butuhkan untuk lebih memahami pasangan dan mendekatkan pasangan satu dengan yang lain menurut Baron dan Byrne (dalam Srisusanti, 2013) pasangan yang sering melakukan kegiatan secara bersama-
20
sama diasumsikan akan merasakan kebahagiaan dalam perkawinannya karena mereka akan saling lebih memahami satu sama lain. Pada saat suami partisipan pulang kerumah mereka bersama-sama menghabiskan waktu seperti berbelanja kebutuhan rumah tangga, makan bersama dan ngobrol bersama sehingga partisipan dan suami merasakan adanya kebersamaan bersama yang membuat partisipan menjadi puas dengan kehadiran suami. Keterbukaan komunikasi pada pasangan suami istri sangat di perlukan dalam menjalani perkawinan jarak jauh karena dari keterbukaan pada pasangan dapat menumbuhkan rasa percaya kepada pasangan saat pasangan tidak berada di rumah. Menurut Simanjuntak (2012) mengkomunikasikan permasalahan ataupun kegiatan sehari-hari merupakan wujud dari keterbukaan pada pasangan, keterbukaan dalam komunikasi membuat partisipan merasa semakin dekat dengan suami, sehingga relasi dapat terjaga, dengan adanya kejujuran dan keterbukaan merupakan suatu cara untuk dapat mengerti pasangan. Keterbukaan
partisipan
dengan
suami
membuat
mereka
saling
bisa
mengkomukasikan setiap permasalahan yang ada dalam rumah tangga seperti masalah dengan mertua ataupun masalah pekerjaan dan masalah anak, sehingga walaupun menjalani perkawinan jarak jauh namun partisipan dan suami tetap dapat merasa puas di karenakan adanya rasa saling terbuka sehingga dapat meminimalkan rasa curiga pada pasangan. hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh (Devinto dalam Wisnuwardani & Fatmawati, 2012) dalam hubungan komunikasi interpersonal dapat mengalami pemudaran saat tejadi konflik-konflik kecil yang tidak terselesaikan sampai akhirnya muncul konflik yang cukup besar dan muncul ketidak puasan pada pasangan yang
21
membuat hubungan keduanya menjadi lemah. Berbeda dengan partisipan 2 minimnya komunikasi dengan suami membuat masalah yang ada cenderung tidak terselesaikan dan membuat masalah baru dalam rumah tangga, sehingga membuat partisipan menjadi tidak puas dikarenakan tidak adanya inisiatif dari suami untuk menyelesaikan masalah membuat komunikasi partisipan 2 semakin memburuk. Sehingga pada perkawinan jarak jauh dibutuhkan rasa saling terbuka dan percaya dalam mengkomunikasikan segala sesuatu sehingga dapat terwujud kepuasan dalam perkawinan. Menjalani perkawinan jarak jauh ketaatan kepada agama dapat menolong pasangan dalam membangun rumah tangga menurut (Gymnastiar dalam Srisusanti, 2013) agama merupakan pondasi awal untuk membangun rumah tangga yang penuh dengan ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan. Hal ini terbukti pada saat partisipan merasa puas dalam perkawinannya, karena mendapat bimbingan dari suami dalam menjalankan ajaran agama dan suami juga saling memberi dukungan mengenai agama sehingga istri merasa lebih puas dalam menjalani rumah tangganya. Adanya kehidupan agama yang benar dapat membuat suami partisipanberinisiatif mengambil keputusan yang baik dalam rumah tangga, hal ini sesuai yang diungkapkan oleh (Christiano dalam Julinda, 2009) bahwa agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan norma dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan.
22
Keluarga dan teman dalam kehidupan rumah tangga dapat menolong partisipan dalam menjalani perkawinan jarak jauh karena menurut (Devinto dalam Wisnuwardani & Fatmawati, 2012) manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk berbagi dalam tawa, menangis, merasakan kehangatan, persahabatan dan cinta juga dengan adanya orang lain dapat menumbuhkan pertumbuhan dan perkembangan diri. Adanya teman dan keluarga membuat partisipanmendapat dukungan dalam kehidupan berumah tangga pada saat partisipan sedang mengalami permasalahan. Mempunyai teman yang juga mengalami hal yang sama dapat saling mendukung satu sama lain dan saling berbagi. Namun kedekatan dan keterbukaan suami dalam kehidupan rumah tangga dapat membuat kebergantungan partisipan pada teman dan keluarga berkurang karena suamilah orang yang dapat di percaya, terdekat dan saling berbagi masalah dalam kehidupan rumah tangga mereka.
23
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Adanya kehadiran pasangan menentukan ada tidaknya peran ganda yang di jalani oleh istri sehingga hal ini membuat kepuasan perkawinan ada istri yang menjalani perkawinan jarak jauh. 2. Ketaatan pada agama menentukan ada tidaknya inisiatif dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Sehingga keputusan dalam rumah tangga dapat di bicarakan bersama yang membuat istri merasa puas. 3. Keterbukaan membuat pasangan saling percaya dan dapat mengkomunikasikan masalah secara bersama-sama dapat menjadi hal yang membuat istri merasa puas dalam menjalani perkawinan jarak jauh. 4. Kehadiran keluarga dan temandapat memberikan dukungan dan dorongan bagi istri yang sedang menjalani perkawinan jarak jauh Saran 1. Untuk penelitian selanjutnya dapat diteliti mengenai bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada suami yang menjalani perkawinan jarak jauh. 2. Untuk pasangan yang akan menjalani perkawinan jarak jauh, perlu mempertahankan kehadiran pasangan, ketaatan pada agama dan keterbukaan satu sama lain.
24
DAFTAR PUSTAKA Fower, B. J., & Olson, D. H. (1989). ENRICH marital inventory: A discriminate validity and cross-validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 13, 65-79. http://www.prepare-erich.com/pe_main_site_content/pdf/research/study3.pdf. Diunduh tanggal 13 Agustus 2013 Fower, B. J., & Olson, D. H. (1993). ENRICH marital satisfaction scale: A brief research and clinical tool. Jurnal of Family Psychology, 7, 176-185. http://citesserx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.201.2.Diunduh tanggal 14 Agustus 2013 Gunarsa, D. S. (2003).Psikologi untuk keluarga. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia. Handayani, H . M. (2009). Kualitas cinta pada perkawinan jarak jauh ditinjau dari teori segitiga cinta sternberg. Sekripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW. Hurlock, E. B. (1997). Psikologi perkembangan: suatu sendekatan sepanjangrentang kehidupan. Jakarta:Penerbit Erlangga. Julinda, (2009).Gambaran kepuasan pernikahan istripada pasangan commuter marriage. http://fpsi.www.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/.../Jurnal-Liza-Julinda2.pd.Diunduh tanggal 26 Januari 2014 Lestari, S. (2012).Psikologi keluarga. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group Maleong, L. J. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Meinatun, M. (2013) kepuasan pernikahan pada istri yang menjalani mernikahan jarak jauh (long distance marriage). http://www.eprints.undip.ac.id/38260/. Diunduh tanggal 3 Januari 2014 Rahmawati, D., & Endah, M. (2013).Perbedaan tingkat kepuasan perkawinan ditinjau dari tingkat penyesuaian perkawinan pada istri brigif, marinir TNI-AL menjalani long distance marriage.Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan.Vol 02, No. 01. http://www.journal.unair.ac.id/.../Dwi%20Rachmawati_110810051_ringkasan.p df. Diunduh tanggal 3 Febuari 2014
25
Santrock, J. W. (2002). Life-Span development perkembangan masa hidup. Alih bahasa : Ahmad Chuisairi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Scott,
A.T. (2002) Communication characterizing successful long distance marriages.(Tesis, Louisiana State University). http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0416102-172102/unrestricted/Scott_dis.pdf. Diunduh tanggal 11 Desember 2013
Setyaningrum,V. (2006). Kepuasaan perkawinan istri pelaut. http://www.ebookbrowsee.net/gunadarma-10599233-skripsi-fpsi-pdf-d1570846. Diunduh tanggal 15 September 2014 Simanjuntak, J.,& Roswitha, D. (2012). Keterampilan perkawinanseni merawat cinta dan mewariskan pernikahan. Jakarta: Yayasan Perduli Konseling Nusantara (PELIKAN). Smith, J. A., & Osbron Mike (2007). Qualitative psychology: Interpretative phenomenological analysis. 53-80 http://www. sagepub.com/..../17418_04_smith_2e_ch_04.pdf. Diunduh tanggal 23 September 2015 Srisusanti, S. (2013) Studi deskriptif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan pada istri. Jurnal Universitas Gunadarma,7(6) http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/9039/studi-deskriptif-mengenaifaktor-faktoryang-mempengaruhi-kepuasan-perkawinan-pada-istri.html/. Diunduh pada 20 September 2015 Wardani, N. A. K. (2012). Self Disclosure dan Kepuasan Perkawinan Pada Usia Awal Perkawinan http://www.journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/55.Diunduh tanggal 23 September 2014 Wardani, Zulputri, Rina. M., & Ifani C. (2013) Gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage http://www.sisfo.upiyptk.ac.id/ejournal/ourwork.php. diunduh pada 14 agustus 2014 Wismanto, B. Y. (2012, Oktober).Multi faktor yang mempengaruhi kepuasan pasangan perkawinan jawa tengah.National Conference 30 tahun Fakultas Psikologi, Surabaya 3-4 Oktober 2012. http://eprints.unika.ac.id/230/. Di unduh tanggal 24 Agustus 2014
26
Wisnuwardani, D. & Fatmawati, S. M. (2012) Hubungan interpersonal. Jakarta: Salemba Humanika.