0
Kepemimpinan Sufistik Transformasional Di Lembaga Pesantren, Madrasah dan Sekolah Di Kabupaten Bondowoso A. Latar Belakang Masalah Kajian mengenai lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah lama menarik perhatian para peneliti baik peneliti nasional maupun peneliti dari luar negeri, khususnya setelah diundangkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan keluarnya PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama1 dan Pendidikan Keagamaan2. Karena dengan lahirnya produk UndangUndang tersebut eksistensi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional semakin kuat. Khususnya pada Madrasah Diniyah yang dulunya hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan nonformal, saat ini sudah muncul terminologiterminologi baru yakni adanya Diniyah formal dan non formal. Termasuk keberadaan pondok pesantren yang berkembang menjadi pondok pesantren salaf, khalaf dan „ashriyah (modern) atau kombinasi. Namun perkembangan diskursus mengenai lembaga pendidikan Islam selama ini lebih bercorak pesimistik , yakni dengan mengeksplorasi ketertinggalan lembaga pendidikan Islam diberbagai bidang dibandingkan dengan lembaga pendidikan sekuler lainnya. Upaya perbaikan dari problem tersebut lebih banyak diarahkan pada hal-hal yang bersifat operasional seperti perbaikan kurikulum, memperbarui metodologi pembelajaran, menambah fasilitas dan lain sebagainya. Ada banyak hal lain yang bersifat fondasional yang sering kali luput dari perhatian. Pertimbangan fondasional yang dimaksud bisa bersifat preskriptif seperti aspek doktrin keagamaan, aspek filosofis dan aspek yuridis. Bisa juga bersifat deskriptif seperti pertimbangan aspek historis, ekononomis, politis, sosiologis, geografis dan lain sebagainya. Hal semacam ini mutlaq dibutuhkan apabila ingin melakukan upaya pengembangan pendidikan Islam agar tidak kehilangan orientasi. 1
Yang dimaksud pendidikan agama pada peraturan pemerintah tersebut adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajararan agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau mata kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. 2 Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didiknya menjadi orang yang ahli agama.
1 Salah satu contohnya adalah sedikitnya para ilmuwan yang menyoroti aspek kepemimpinan pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan. Akibatnya adalah hampir tidak ada lembaga pendidikan yang mempersiapkan kepemimpinan lembaganya secara serius dan terstruktur secara sistematis. Diantara yang sedikit tersebut adalah penelitian yang sangat inspiratif dari Day, Harris, Hadfield, Tolley, & Beresford (2000) yang mereka beri nama International succesful School Principalship Project (ISSPP), penelitian yang melibatkan tujuh negara yakni Australia, China, Denmark, Ingris, Norwegia, Swedia, dan Amerika ini menghasilkan temuan-temuan penting mengenai karakteristik kepala sekolah yang sukses.3 Namun demikian penelitian ini tetap saja belum memuaskan para pemerhati pendidikan di Indonesia karena mereka tidak melibatkan Indonesia sebagai sampel penelitiannya sehingga tidak bisa digeneralisasi ke dalam konteks nasional. Ada dua karya Disertasi yang secara spesifik membahas kepemimpinan pendidikan dalam konteks Indonesia. Pertama, dilakukan oleh Raihani yang menyelidiki karakteristik dan praktik kepemimpinan di tiga sekolah yaitu SMAN 5 Yogyakarta, SMAN 2 Yogyakarta, dan SMAN 1 Yogyakarta. Karya penelitian ini telah diterbitkan oleh LkiS dengan judul Kepemimpinan Sekolah Transformatif. Kedua, dilakukan oleh Siti Ruchanah, penelitian Disertasi yang dipersembahkan untuk program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (2010) ini diberi judul Kepemimpinan Pendidikan Islam; studi Fenomenologi di MIN Malang I. Dalam penelitian ini diketahui bahwa kepemimpinan pendidikan di MIN I Malang dikategorikan transformasional yang bercorak konstruktivistik. Kedua peneliti tersebut baik Raihani maupun Siti Ruchanah dalam mengkaji konsep kepemimpinan pendidikan lebih banyak menggunakan konsepkonsep
kepemimpinan
para
intelektual
Barat.
Sehingga
ketika
mau
dikontekstualisasikan ke lembaga pendidikan di Indonesia khususnya Madrasah, mengalami kegagalan atau paling tidak cenderung dipaksakan karena terdapat perbedaan yang bersifat fondasional yakni nilai-nilai religius, kultur dan pandangan hidup.
3
Dikutif dari Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm.2
2 Oleh karenanya diperlukan sebuah penelitian mendalam mengenai kepemimpinan pendidikan Islam yang melibatkan institusi pendidikan Islam secara integral, baik lembaga pendidikan Islam yang formal seperti Madrasah maupun lembaga pendidikan Islam yang non formal seperti pondok pesantren. Hal yang sering dilupakan para peneliti adalah bahwa madrasah secara historis merupakan pengembangan dari pondok pesantren. Sehingga kajian mengenai madrasah tidak bisa dilepaskan dari kajian pondok pesantren. Ketika membahas pondok pesantren maka banyak hal yang bersifat spesifik dan unik yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh karenanya KH. Abdurrahman Wahid
menyebut pesantren sebagai Subkultur4 , dikatakan
demikian karena terdapat sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya; adanya daya tarik keluar sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternative ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri; dan berkembangnya suatu proses pengaruh-memengaruhi dengan masyarakat di luarnya, yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal diterima oleh kedua pihak. Dari beberapa keunikan tersebut, maka tidak semua lembaga pendidikan Islam baik yang berbentuk kelembagaan yang mapan maupun yang sebatas pengajian bisa dikatakan pesantren. Setidaknya ada enam elemen dasar yang menjadi ciri khas tradisi pesantren yaitu; pertama, pondok (asrama), kedua, masjid, ketiga, santri, keempat, pengajaran kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning), kelima, kyai,5dan keenam, Pengamalan ajaran tasawuf.6 Khusus mengenai eratnya kaitan pesantren dan tasawuf, Ahmad Gunaryo menjelaskan secara panjang lebar. Yang jelas meskipun dalam prakteknya tidak semua pesantren mengajarkan ilmu tasawuf secara formal, namun orientasi, pengelolaan, interaksi di dalamnya, kepemimpinan dan sebagainya merupakan hasil refleksi dari ajaran tasawuf.7 4
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta:LkiS,2010), hlm.3 Komponen kesatu sampai kelima disampaikan oleh Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:LP3ES,1994), hlm. 44 6 Pengamalan tasawuf menjadi ciri khas pesantren disampaikan oleh banyak pakar diantaranya Prof. H.Toha Hamim, Ph.D dan juga Achmad Gunaryo dengan tulisannya yang berjudul “Pesantren dan Tasawuf” dalam buku Tasawuf dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001),hlm.145 7 Ahmad Gunaryo, Ibid, hlm.166 5
3 Sekedar untuk contoh, dalam dunia tasawuf kita mengenal konsep maqamat dan ahwal. Keduanya adalah sarana dan pengalaman spritual seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang ada di jagad raya ini. Hal itu juga merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi.8 Apabila nilai-nilai moral yang terdapat dalam konsep maqamat dan ahwal tersebut mewarnai dalam konsep kepemimpinan khususnya di bidang pendidikan tentu akan menjadi model alternatif yang sangat layak untuk diperhitungkan, sehingga kajian mengenai kepemimpinan lembaga pendidikan Islam mestinya tidak melupakan aspek sufistik tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tasawuf di era moderen ini mengalami tarik menarik yang cukup kuat antara modernisme dengan praktek mistisisme lokal dengan segala pernak-perniknya. Kebobrokan moral, kekeringan spritual dan penggunaan akal yang terlalu berlebihan adalah sebagian dari problem modernisme. Sementara praktek mistisisme lokal yang sering kali terjebak pada fatalisme dengan ritus-ritus yang jauh bahkan terasing dari dimensi sosial masyarakatnya juga menjadi problem tersendiri. Dari dua suasana yang paradoksal tersebut kemudian muncul gerakan neo-sufisme9 yang mengarah pada penggalian nilai-nilai tasawuf sebagai landasan moralitas moderen. Diantara karakateristik gerakan ini adalah “puritanis-aktivis”.10 Sikap puritanis melakukan upaya pemurnian tasawuf dari praktek-praktek tahayul kaum mistik lokal, sedangkan sikap aktivis menolak pandangan fatalistik kaum sufi tradisional. Dari paparan tersebut maka kami tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mengenai “Kepemimpinan Sufistik Di Lembaga Pendidikan Islam Bondowoso”. Hal ini merupakan sebuah langkah kajian inter-disipliner antara ilmu tasawuf, ilmu pendidikan, ilmu dan manajemen. Penelitian ini akan dilakukan di tiga lembaga pendidikan Islam yang memiliki kekhasan dalam kepemimpinan sufistiknya dikarena format institusi 8
Imam Taufiq, “Maqamat dan Ahwal (Tinjauan Metodologis)” di dalam buku Tasawuf dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),hlm. 128 9 Fazlur Rahman mengartikan neo-sufisme sebagai tasawuf yang telah diperbarui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta:Kencana),hlm.119 10 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufsme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Press, 2000),hlm. 250
4 yang berbeda. Pertama, Pondok Pesantren Al-Hasani Al-Latathifi Kauman Bondowoso yang merupakan representasi lembaga pendidikan Islam salaf di Bondowoso. Kedua, Madrasah Aliyah Negeri Bondowoso sebagai representasi lembaga pendidikan islam moderen di Bondowoso. Ketiga, Pondok Pesantren Al Ishlah Dadapan sebagai representasi lembaga pendidikan Islam integratif (perpaduan salaf dan moderen) di Bondowoso.
B. Rumusan Masalah Deskripsi di atas memberi indikasi gambaran bahwa kemajuan lembaga pendidikan Islam sangat bergantung aspek kepemimpinannya. Desain kepemimpinan pendidikan tersebut akan efektif manakala tetap berpijak pada nilai-nilai etis religius, filosofis, yuridis dan historis. Oleh karena itu secara spesifik rumusan masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Bagaimana adaptasi nilai-nilai sufistik dalam kepemimpinan di Pesantren, Madrasah dan Sekolah di Bondoswoso? 2. Mengapa nilai-nilai sufistik di adaptasi dalam kepemimpinan di Pesantren, Madrasah dan Sekolah Bondowoso? 3. Bagaimana model kepemimpinan sufistik di lembaga pendidikan Islam Bondowoso? 4. Bagaimana kontribusi kepemimpinan sufistik dalam upaya pengembangan Lembaga Pesantren, Madrasah dan Sekolah Bondowoso?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan mengkaji praktek kepemimpin sufistik di lembaga pendidikan Islam Bondowoso. Secara spesifik tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep kepemimpinan pendidikan yang terdapat dalam ilmu tasawuf dan proses adaptasinya di Lembaga Pendidikan Islam Bondowoso. b. Untuk mengetahui dan menganalisis argumentasi pengadaptasian nilai-nilai tasawuf pada kepemimpinan Lembaga Pendidikan Islam Bondowoso. c. Untuk mengetahui dan menganalisis model kepemimpinan sufistik di Lembaga Pendidikan Islam Bondowoso.
5 d. Untuk mengetahui dan menganalisis kontribusi kepemimpinan sufistik dalam upaya pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Bondowoso.
2. Kegunaan Penelitian Sebagai karya akademis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi banyak kalangan, baik secara teoritik, empirik, maupun normative. a. Secara teoritik, hasil penelitian ini nantinya diharapkan berguna untuk memperkenalkan perspektif baru dalam kajian kepemimpinan pendidikan. Konsep ini akan menjadi rujukan semua pihak sebagai bahan dalam upaya melahirkan kebijakan pengembangan pendidikan Islam. Karena tidak bisa dipungkiri, lembaga pendidikan Islam telah ikut serta dalam membesarkan negeri ini melalui para guru dan para murid serta alumninya. Kepemimpinan sufistik juga akan menjadi perbincangan ilmiah dikalangan ilmuan sosial yang selama ini banyak menyandarkan teorinya pada setting wilayah Eropa dan masih miskin dengan setting wilayah lokal khas nusantara. b. Secara empirik, hasil penelitian ini nantinya diharapkan berguna untuk rujukan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam. Karena selama ini banyak lembaga pendidikan Islam yang kebingungan mencari format pengembangan yang tidak tercerabut dari akar religiositas, filosofis dan historisitasnya. c. Secara normative, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkokoh normanorma keislaman dan keilmuan di lembaga pendidikan Islam.
E. Kajian Pustaka Pada bagian ini akan direview beberapa hasil penelitian terdahulu baik mengenai kepemimpinan pendidikan di Indonesia secara umum maupun penelitian mengenai lembaga pendidikan Islam Bondowoso khususnya di Pondok Pesantren Al-Hasani Al-Latifi Kauman, Madrasah Aliyah Negeri Bondowoso, dan Pondok pesantren Sayyid Muhammad bin Alwi Al-maliki. Karena dalam penelitian ini melibatkan pesantren sebagai salah satu variabel, maka mereview hasil-hasil penelitian mengenai pondok pesantren juga dirasa penting. Hal tersebut dilakukan untuk mempertegas perbedaan dan memperjelas posisi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
6 Ada dua karya Disertasi yang secara spesifik membahas kepemimpinan pendidikan dalam konteks Indonesia. Pertama, dilakukan oleh Raihani untuk mendapatkan gelar Doktor dari The University of Melbourne Australia, dia menyelidiki karakteristik dan praktik kepemimpinan di tiga sekolah yaitu SMAN 5 Yogyakarta, SMAN 2 Yogyakarta, dan SMAN 1 Yogyakarta. Karya penelitian ini telah diterbitkan oleh LkiS dengan judul Kepemimpinan Sekolah Transformatif.11 Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ketiga kepala sekolah menjalankan kepemimpinan transformasional, yang memadukan tiga dimensi; menetapkan arah, membangun Sumber Daya Manusia, dan mendesain ulang organisasi. Selain itu mereka juga mengartikulasikan nilai-nilai dan keyakinan yang kuat, dan sadar akan kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan konteks sekolah
mereka
masing-masing.
Adapun
keputusan-keputusan
sekolah
berorientasi pada akuntabilitas dimanifestasikan dengan keinginan kuat mereka untuk melibatkan dan bekerjasama dengan berbagai stakeholder sekolah berkenaan dengan proses-proses sekolah.12 Kedua, dilakukan oleh Siti Ruchanah, penelitian Disertasi yang dipersembahkan untuk program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (2010) ini diberi judul Kepemimpinan Pendidikan Islam; studi Fenomenologi di MIN Malang I. Dalam penelitian ini diketahui bahwa kepemimpinan pendidikan di MIN I Malang dikategorikan transformasional yang bercorak konstruktivistik, yaitu
sebuah
model
kepemimpinan
dimana
kepala
madrasah
dapat
mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya dengan melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan melalui konstruksi pengalaman secara berkelanjutan. Sedangkan gaya kepemimpinan pendidikan di MIN 1 Malang dikategorikan dengan demokratis teologis konstruktifistik, konstruktivistik model uswah hasanah, dan konstruktifistik model humanis teologis. Setelah dilacak belum ada penelitian tentang kepemimpinan kyai di Pondok Pesantren Al-Hasani Al-Latifi Kauman Bondowoso dan Pondok Pesantren Sayyid Muhammad bin Alwi Al-maliki. Untuk di MAN Bondowoso sudah ada beberapa penelitian Tesis mengenai MAN Bondowoso yang perlu direview pada bagian ini untuk memperjelas posisi Disertasi ini yakni;pertama, Sutaryo (2005) menulis tesis 11 12
Lihat Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm.97-272 Ibid, hlm.322-323
7 untuk program pasca sarjana Universitas Darul Ulum Jombang dengan judul Implementasi program S3Q (Salat, Salam, Silaturrahim dan Membaca Al-qur‟an) di MAN Bondowoso. Penelitian ini lebih bersifat eksploratif sehingga tidak banyak penjelasan yang bersifat mendalam. Kedua, Bambang Jayadi (2008), menulis tentang “Peran kepala madrasah dalam inovasi budaya Islam ; Studi Kasus di Madarasah Aliyah Negeri Bondowoso” sebuah tesis untuk program pasca sarjana Institut Agama Islam Ibrahimy Sukorejo Situbondo. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa bentuk inovasi budaya Islami seperti program S3Q (Sholat, Salam, Silaturrahim dan Al-Qur‟an), single sex class, dan budaya infaq. Namun tidak ada penjelasan yang memadai mengenai landasan dari program tersebut, makna yang terkandung di dalamnya, terinspirasi dari mana dan apa pengaruhnya terhadap pengembangan pendidikan di MAN Bondowoso. Pada penelian tersebut juga disimpulkan bahwa budaya Islami tersebut bisa berjalan karena kepemimpinan kepala madrasah yang bersifat karismatik dan pengelolaan lembaganya bersifat open manajemen. Kesimpulan ini juga terkesan simplistik, karena melihat kemajuan yang dialami MAN Bondowoso, sangat dimungkinkan kepala sekolahnya memiliki kepemimpinan yang tidak semata-mata karismatik dan pengelolaan lembaga dengan model-model tertentu yang berbeda dengan lembaga lainnya. Ketiga, Jamal Bafadal (2008) yang juga menulis tesis mengenai peran kepala madrasah yakni dengan judul “Peran kepala madrasah dalam meningkatkan mutu guru; studi kasus di MAN Bondowoso”.Tesis untuk Program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Ibrohimy Sukorejo Situbondo. Kesimpulan akhir dari penelitian ini lebih bersifat umum (global) yaitu bahwa kepala MAN Bondowoso mempunyai peran yang penting dalam meningkatkan mutu guru. Adapun peran yang dilakukan oleh kepala madrasah adalah dengan memberikan keteladanan. Keempat, Ibrahim (2010) tesis berjudul “Manajemen Kegiatan Keagamaan di Madrasah Aliyah Negeri Bondowoso” ini adalah penelitian terakhir yang telah dilakukan. Tesis ini diajukan untuk Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember. Penelitian inipun diakhiri dengan kesimpulan bahwa kegiatan keagamaan di Madrasah Aliyah Negeri Bondowoso telah relatif sesuai dengan teori manajemen dan fungsi – fungsinya yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan, walaupun demikian
8 ada aspek – aspek tertentu masih perlu ditingkatkan, namun peneliti tidak memperjelas hal-hal yang perlu ditingkatkan tersebut. Adapun beberapa karya penelitian mengenai pondok pesantren yang dapat dilacak adalah sebagai berikut; Adalah Karel A. Steenbrink (1974) yang ikut mempelopori kajian mengenai pesantren di nusantara. Melalui penelitian disertasi yang berjudul “Pesantren, Madrasah, Sekolah: Recente Ontwikkelingen In Indonesisch Islamonderricht yang dipersembanhkan kepada Universitas Katolik Nijmegen Leiden, Belanda. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam edisi Indonesia dengan judul Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen (1986). Penelitian tersebut lebih banyak menyoroti perkembangan pesantren dari masa kolonial Belanda sampai kemerdekaan Indonesia. Dengan pendekatan histories Steenbrink megarahkan penelitiannya pada perkembangan pesantren ketika masih murni dengan cirri khasnya yang menggunakan metode sorogan dan bandongan sampai dikembangkannya model-model moderen seperti madrasah dan sekolah umum. Peneliti nasional yang tergolong menggemparkan blantika ilmu social adalah Zamakhsyari Dhofier (1980). Melalui karya disertasi yang dipersembahkan untuk The Department of Anthropology And Sociology Australian National University, Canberra, yang berjudul: The Pesantren Tradition: A Study Of The Role Of The Kyai In Maintenance Of The Tradisional Ideology Of Islam In Java telah diterbitkan oleh LP3ES dengan judul Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (1982) dan telah mengalami beberapa kali cetak. Buku tersebut sampai sekarang termasuk buku langka dikalangan mahasiswa tarbiyah dan ilmu-ilmu social lainnya.Bahkan karena muatan keagamaan dalam buku Tradisi Pesantren tersebut yang cukup intens, maka Profesor Michael Morony13 dari UCLA memberi komentar bahwa karya Dhofier juga layak dimasukkan dalam wilayah studi keislaman (Islamic Studies). Keunggulan Zamakhsyari Dhofier dibandingkan peneliti lain di eranya yang juga mengkaji pesantren adalah kejeliannya meneropong pesantren dari dalam dengan pendekatan antropologis sehingga kesimpulannya dirasa paling tepat oleh orang-orang yang pernah berkecimpung di dunia pesantren. Berbeda dengan peneliti
13
Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi (Yogyakarta:LkiS,2004), hlm.1-2
9 lainnya seperti Deliar Noer yang meneropong pesantren dari luar sehingga dinilai banyak mengalami kesalahan memahami pesantren secara utuh. Karya penelitian pesantren yang juga sering menjadi rujukan adalah Disertasi milik Manfred Ziemek (1983) untuk Johan Wolfgang Goethe Universitat, Frankfurt Jerman Barat yang berjudul :Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel dan telah diterjemahkan dalam edisi Indonesi dengan judul Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Penelitian ini mengkaji bahwa pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan Islam an sich tetapi juga sebagai lembaga pengembangan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan di berbagai bidang kehidupan baik social, politik, budaya maupun keagamaan. Peneliti berikutnya adalah Hiroko Horikoshi (1976) juga melalui karya disertasinya untuk The Graduate Collage of The University Of Illinois at UrbanaChampaign, USA yang berjudul A Traditional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama’ in west Java dan telah dipublikasikan dengan bahasa Indonesia “Kyai dan Perubahan Sosial” (1987). Kesimpulan umum yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah bahwa Kiyai berperan kreatif dalam perubahan social karena perubahan social adalah sunnatullah yang mesti terjadi. Kyai tidaklah berkeinginan meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justru mempelopori perubahan social dengan caranya sendiri yakni menawarkan perubahan nyata yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Dari McGill University, Kanada USA, Iik Arifin Mansurnoor (1987) telah mengkaji tentang Islam in an Indonesian World: Ulama’ of Madura. Berbicara mengenai kedudukan dan peran ulama‟ di Madura dalam struktur masyarakat pedesaan Madura yang senantiasa berubah dalam menghadapi perubahan pusat-pusat kekuasaan. Sebagai akibat dari kondisi alam yang miskin, untuk waktu yang lama, pengaruh pemerintah pusat kurang terasa di masyarakat pedesaan Madura. Kondisi ini memungkinkan para ulama Madura menempati posisi sentral kepemimpinanm masyarakat local. Ini pula yang menjadi penjelas mengapa masyarakat Madura sangat fanatik pada ulama‟ (Kyai). Dari Australian National University kembali melahirkan penelitian yang cukup berkualitas mengenai dunia pesantren, yaitu karya disertasi Endang Turmudi pada tahun 1993 yang berjudul Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang. Karya ini baru dipublikasikan sebelas tahun kemudian yaitu tahun 2004 oleh LKiS Yogyakarta dengan judul Perselingkuhan Kiyai dan
10 Kekuasaan. Buku ini berfokus pada kajian kiai dan pesantren khususnya pada relasi kiai dengan situasi social dan politik yang lebih luas. Kiyai dalam kajian Endang Turmudi ini dipilah menjadi tiga ategori yakni kiyai pesantren, kiyai tarekat, dan kiyai yang terlibat dalam politik. Salah satu kesimpulan yang menarik dari penelitian ini adalah sebagi pemegang otoritas keagamaan, kiyai didudukkan pada posisi yang terhormat sehingga mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para pengikutnya. Namun demikian dalam situasi tertentu, pengaruh kiyai dapat tidak bermakna ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari yang seharusya. Hal lain yang juga menjadi kesimpulan penelitiannya adalah bahwa pengaruh kiyai dalam wilayah politik tidak sekuat dalam bidang social dan kemasyarakatan. Selain karya penelitian yang dipersembahkan untuk perguruan tinggi luar negeri sebagaimana ulasan di atas. Juga banyak karya-karya penelitian pesantren yang dipersembahkan untuk perguruan tinggi nasional. Beberapa diantaranya yang sempat terbit adalah Disertasi Mastuhu (1989) untuk Institut Pertanian Bogor yang berjudul Dinamika System Pendidikan Pesantren yang baru terbit pada tahun 1994 oleh INIS. Penelitian yang dilakukan di enam pesantren yakni; pesantren An-Nuqoyah di Guluk-Guluk Sumenep, pesantren Salafiyah Safi‟iyah Sukorejo Situbondo, pesantren Blok Agung di Genteng Banyuwangi, pesantren Karangasem Muhammadiyah di Paciran Lamongan, pesantren Moderen Darussalam Gontor Ponorogo. Penelitian ini menyoroti unsure-unsur yang terdapat dalam system pendidikan pondok pesantren dan mengungkap tentang nilai-nilai luhur yang dikandung dalam unsur-unsur tersebut; mana diantaranya yang perlu dikembangkan lebih lanjut, dipertahankan, diubah, disempurnakan atau diperbaiki lebih dahulu sebelum dikembangkan dalam system pendidikan nasional. Dari IAIN Sunan Kalijaga yang sekarang berubah menjadi UIN Yogyakarta lahir beberapa karya penelitian diantaranya yang dilakukan oleh M. Ridwan Nasir melalui karya disertasinya yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Studi di Pondok-Pondok Pesantren Kabupaten Jombang Jawa Timur pada tahun 1995 dan baru diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta pada tahun 2005 dengan judul Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Di Tengah Arus Perubahan.
11 Meskipun secara sepintas penelitian M. Ridlwan Nasir ini hampir sama dengan penelitiannya Mastuhu, namun memiliki perbedaan yang mendasar sebagaimana yang diakui oleh M. Ridwan Nasir sendiri yaitu; penelitian ini menggunakan multi-case study14 terhadap enam pondok pesantren sebagai obyek studinya, yaitu: Pondok Pesantren Mambaul Ma‟arif di Denanyar Jombang, Pondok Pesantren Darul Ulum di Rejoso Paterongan Jombang, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah Tebu Ireng Jomang dan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang. Sedangkan penelitian Mastuhu menggunakan multi-site study15. Penelitian lainnya yang juga lahir dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah disertasinya Abdul Halim Soebahar yang berjudul Pondok Pesantren di Madura : Studi Tentang Proses Transformasi Kepemimpinan Akhir Abad XX. Penelitian ini dilakukan di lima pondok pesantren yaitu: Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Pondok Pesantren At-taroqqi Sampang, Pondok Pesantren Banyuan di Pamekasan, Pondok Pesantren An-Nuqoyah di Sumenep dan Pondok Pesantren Al-amien di Sumenep. Adapun focus kajiannya lebih banyak pada kompetensi kepemimpinan dan pengaruhnya terhadap inovasi system pendidikan yang dikembangkan di pondok pesantren di Madura. Selain beberapa karya tersebut di atas yang lebih banyak bersifat penelitian akademis, juga banyak karya berisi isu kontemporer seperti; Karya Abdurrahman Wahid tentang Bunga Rampai Pesantren (CV. Dharma Bakti Jakarta, 1978), Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren (LKiS Yogyakarta, 2001), Karya Dawam Rahardjo tentang Pergulatan Pesantren (P3M Jakarta, 1985), karya Manfred Oepen dan Karcher Wolfgang tentang The Impact of Pesantren : Pesantren in Education and Community Development In Indonesia (P3M Jakarta, 1998), karya Martin Van Bruinessen tentang Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Mizan Bandung, 1995), karya Nurcholish Majid tentang Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Paramadina Jakarta, 1997), dan karya Abdul A‟la tentang Pembaruan Pesantren (LKiS Yogyakarta, 2006).
14
Model kajian dengan cara setiap sistem pendidikan di masing-masing pondok pesantren ditelaah dinamikanya sebagai asas, langsung dianalisis, dan hasil dari analisis tersebut disatukan pada kesimpulan. 15 Model kajian dengan cara setiap hal, misalnya tujuan, kurikulum, kyai, santri langsung dikomparasikan antar pondok, direkap dan dianalisis.
12 Dari hasil penelusuran terhadap beberapa karya kajian akdemis maupun yang kontemporer tersebut, belum ada diantaranya yang membahas kepemimpinan sufistik di Lembaga pendidikan Islam.
F. Metode dan Prosedur Penelitian 1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan menggunakan paradigma interpretivisme. Sebuah sudut pandang yang mengandalkan kekuatan interpretasi peneliti terhadap data penelitian. Adapun pendekatan yang akan digunakan adalah fenomenologi. Karena peristiwaperistiwa, pesan-pesan ataupun focus masalah yang akan diteliti akan diperlakukan sebagaimana apa adanya. Landasan fenomenologis dalam pandangan Edmund Husserl sendiri memandang obyek ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), lebih dari itu mencakup fenomena-fenomena lain seperti persepsi, pemikiran, kemauan dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luar obyek, sesuatu yang transenden, disamping yang aposterik16. Epistemologi fenomenologi menuntut bersatunya subyek peneliti dengan subyek pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan, menghayatinya menjadi salah satu cirri utama penelitian fenomenologi17. Penelitian ini akan dikerjakan dengan model perpaduan kajian literatur (library research) dan penelitian lapangan multi situs (multi-sites studies) yang bersifat kualitatif.
2. Perspektif Teori Penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan Teori Konstruksi Moral Tasawuf yaitu; Purgativa (takhalli), proses mengeluarkan sifat-sifat negatif , Contemplativa (tahalli), proses memasukkan sifat-sifat positif, dan Illuminativa (tajalli), manifestasi asma‟ dan sifat-sifat Allah pada diri manusia.18 Teori tersebut juga akan dipadukan dengan Teori Konstruksi Sosialnya Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Yang dimaksud konstruksi sosial di sini adalah suatu istilah untuk menggambarkan proses dimana melalui tindakan dan interaksinya 16
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, Edisi IV, 2002), hlm.17 17 Ibid, hlm.218 18 Baca Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1986), hlm.101
13 orang menciptakan secara terus menerus, yang dialami secara faktual objektif dan penuh arti secara subjektif. Dengan kata lain bahwa objektivitas ilmiah merupakan suatu struktur relevansi tertentu yang dapat diterapkan oleh seorang individu dalam kesadarannya.19 Bertolak dari pemikiran tersebut Berger menyampaikan pandangan bahwa antara perilaku sosial yang merupakan dunia sosial objektif dan inti kepribadian manusia yaitu kesadaran dan kebebasannya yang merupakan dunia subjektif tidak dapat dipisahkan. Karena Objektivitas dari kenyataan sosial merupakan hasil dari penegasan berulang yang diberikan orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Teori Berger ini diharapkan mampu memberi panduan secara komprehensif dalam menganalisis realitas sosial dari fenomena yang tampak. Dalam hal ini Berger menggunakan pendekatan Obejktivitisnya Emile Durkheim dan Subyektifitasnya Max Weber. Dalam pandangan Durkheim, struktur sosial objektif memiliki karakter sendiri, sedang Weber adalah sebaliknya dengan menempatkan subyektifitas di atas objektifitas. Durkheim menilai bahwa posisi masyarakat di atas individu, sedangkan menurut Weber sebaliknya bahwa individu di atas masyarakat. Kedua pandangan ini diakomodasi oleh Berger dengan menempatkan objektifitas dan subjektifitas sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan karena dalam kehidupan masyarakat keduanya selalu ada.20 Secara operasional teori konstruksi sosial ini digunakan untuk menjelaskan adanya dialektika antara diri (self) dengan dunia sosio-kultural. Dialektika tersebut berlangsung dalam proses dengan tiga momen secara simultan, yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia. Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Sedangkan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembagalembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya. Dialektika ketiga konsep tersebut akan melahirkan gambaran hubungan antara masyarakat dan individu. Eksternalisasi menggambarkan kegiatan kreatif manusia. Objektivasi menggambarkan sebuah proses sehingga hasil aktivitas kreatif 19
Peter L.Berger dan Hansfried Kellner, Sosiologi Ditafsirkan Kembali: Esai Tentang Metode dan Bidang Kerja, ter. Herry Joediono (Jakarta:LP3ES,1985), hlm.55 20 Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, ter. Hasan Basri (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 28-29
14 manusia mengkonfrontasi individu sebagai kenyaatan objektif. Internalisasi menggambarkan proses sehingga kenyataan sosial menjadi bagian dari kesadaran subjektif individu. Melihat karakteristik dua teori tersebut yakni teori konstruksi moral tasawuf dan teori konstruksi sosial, terdapat banyak sisi kesamaan. Konsep vurgatifa (takhalli) dalam tasawuf hampir sama dengan konsep eksternalisasi dalam kstruksi sosial. Konsep contemplativa (tahalli) hampir sama dengan objektivasi. Sedangkan konsep illuminativa (tajalli) hampir sama dengan konsep internalisasi. Oleh karenanya kedua teori tersebut akan digunakan secara integratif dalam menganalisa fenomena kepemimpinan Sufistik di lembaga pendidikan Islam Bondowoso. Teori sosial yang juga relefan dengan penelitian ini adalah interaksionisme simboliknya Herbert Mead. Yaitu salah satu teori untuk memahami tindakan yang subyektif dan interpretatif, kemudian dijelaskan beberapa hal yang terkait dengan makna.21 Herbert Mead juga membagi tindakan manusia terdiri dari tindakan fisik (over aspects) dan tindakan yang samar-samar atau tersembunyi (cover aspects).22 Interaksionisme
simbolik
mempelajari
tindakan
sosial
dengan
mempergunakan teknik instropeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatar belakangi tindakan sosial dari sudut aktor. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan orang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh karenanya interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau menemukan makna tindakan orang lain.23 Terdapat tiga kunci utama dalam memahami kehidupan sosial melalui teori ini yaitu; individualisme, interaksionalisme dan interpretasi. Teori ini mencoba membongkar makna sebuah tindakan tertentu dengan menangkap niat dan keinginan pelaku. Teori interaksionisme simboliki ini akan digunakan untuk melihat pengaruh kepala,pengasuh lembaga pendidikan Islam pada perilaku sosial bawaha/murid di masing-masing lembaga pendidikan Islam.
21
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (Yogyakarta,Tiara Wacana1992), hlm.62 Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadiliah dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Teras2011), hlm, 14 23 Zeitlin, Ideology and the Development of sociological theory, 6th Edition (Englewood,N.J. Prentice-Hall1996), hlm.332 22
15 Teori Perilaku Sosial juga dirasa sesuai untuk memahami dan menganalisis pola terjadinya perilaku sosial warga lembaga pendidikan Islam di Bondowosoo. Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan terdiri atas bermacam-macam objek sosial dan objek non sosial. Ada beberapa asumsi teori perilaku sosial yaitu;(1) manusia pada dasarnya tidak mencari keuntungan maksimum, tetapi mereka senantiasa ingin mendapatkan keuntungan dari adanya interaksi yang mereka lakukan dengan manusia lain. (2) manusia tidak bertindak secara secara rasional sepenuhnya, tetapi dalam setiap hubungan dengan manusian lain mereka senantiasa berfikir untung rugi. (3) manusia tidak memiliki informasi yang mencakup semua hal sebagai dasar untuk mengembangkan alternatif, tetapi mereka paling tidak memiliki informasi meski terbatas yang bisa untuk mengembangkan alternatif guna memperhitungkan untung rugi tersebut.(4) manusia senantiasa berada pada serba keterbatasan, tetapi mereka ini tetap berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan dari hasil interaksi dengan manusia lain, tetapi mereka dibatasi oleh sumber-sumber yang tersedia. (5) manusia berusaha memperoleh hasil dalam wujud material, tetapi mereka juga akan melibatkan dan mengsilkan sesuatu yang bersifat non material, mislanya emosi, perasaan suka dan sentimen.24 Untuk menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga pendidikan islam, akan digunakan teori perubahan sosial. Perubahan yang dimaksud dapat terjadi secara cepat ataupun lambat, tergantung kepada situasi lingkungan maupun faktor-faktor lain yang saling berkaitan. Tingkat analisis perubahan sosial yang terkecil adalah individu, kemudian ditambah dengan tingkat interaksi, organisasi, institusi, komunitas, masyarakat, kebudayaan, dan peradaban pada tingkat global.
3. Area dan Informan Penelitian Area penelitian ini adalah lembaga pendidikan Islam di Bondowoso yang memiliki karakteristik sufistik dalam kepemimpinannya. Ada tiga lembaga yang dipilih sebagai lokasi penelitian yakni Pertama, Pondok Pesantren Al-Hasani AlLatifi Kauman Bondowoso yang merupakan representasi lembaga pendidikan 24
Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadiliah dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Teras2011), hlm, 25
16 Islam salaf di Bondowoso. Kedua, Madrasah Aliyah Negeri Bondowoso sebagai representasi lembaga pendidikan islam moderen di Bondowoso. Ketiga, Pondok Pesantren Sayyid Muhammad bin Alwi Al-maliki Koncer Tenggarang Bondowoso sebagai representasi lembaga pendidikan Islam integratif (perpaduan salaf dan moderen) di Bondowoso. Adapun informan penelitian dipilih secara purposive mulai dari pengasuh pesantren, kepala madrasah , wakil kepala madrasah, para guru/ustadz, santri/murid dan tokoh masyarakat Bondowoso.
4.Pengumpulan Data Sesuai dengan kompleksitas masalah penelitian, maka pengumpulan data akan dilakukan dengan menggunakan beberapa metode secara bervariasi yaitu: Observasi partisipan, wawancara mendalam (indepth interview), studi pustaka dan studi dokumenter.
5.
Analisis Data Berdasarkan kerangka penelitian di atas, maka Reflective Thingking (menggabungkan tehnik induktif dan deduktif secara bolak-balik) adalah tehnik analisa yang dirasa paling tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya, pengungkapan data hasil-hasil penelitian dalam proses analisis akan dilakukan dengan menggunakan metode Coding yang dimulai dari Open Coding, Axial Coding dan Selective Coding. Karena penelitian ini merupakan multi-site study, maka setiap komponen kepemimpinan sufistik langsung dikomparasikan antar lembaga pendidikan islam, direkap dan dianalisis.
G. Sistematika Pembahasan Pembahasan dalam disertasi ini nantinya saling memiliki keterkaitan secara substansial mulai dari bab pertama sampai dengan bab terakhir. Untuk memberikan gambaran alur pembahasan supaya dapat diketahui logika penyusunan dan koherensi antara satu bagian dengan bagian yang lain maka pembahasan akan disistimatisir sebagai berikut: Bab satu, “Pendahuluan”. Bab ini berupaya mendeskripsikan arah pembahasan disertasi secara umum. Dalam bab ini akan dipaparkan beberapa persoalan mendasar yang menjadi latar belakang masalah penelitian ini, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian. Untuk mempertegas orisinalitas disertasi
17 ini dan yang membedakannya dengan karya ilmiah yang lain, maka pada disertasi ini akan di paparkan kajian pustaka. Selanjutnya akan dideskripsikan secara terperinci
mengenai
metode
dan
prosedur
penelitian
serta
sistematika
pembahasan. Bab dua, akan dipaparkan mengenai “Gambaran Umum Bondowoso” sebagai setting wilayah penelitian. Pada bagian ini akan diuraikan tentang : Selayang pandang Bondowoso, Tradisi keislaman di Bondowoso, dan lembaga pendidikan Islam di Bondowoso. Bab tiga, tentang “Sumbangan Tasawuf Terhadap Pendidikan Islam”. Bab ini akan menguraikan hasil kajian teoritik mengenai dua hal besar yakni tasawuf dan kepemimpinan pendidikan Islam. Yang pertama membahas: tasawuf dalam lintasan sejarah, Isi ajaran tasawuf, dan karakteristik gerakan sufistik. Yang kedua membahas kepemimpinan dalam perspektif Islam, tipologi kepemimpinan, dan kepemimpinan pendidikan. Pada bagian akhir bab ini akan diurai sumbangan tasawuf terhadap kepemimpinan pendidikan Islam. Bab empat adalah hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Adaptasi nilai-nilai sufistik pada lembaga pendidikan islam Bondowoso”. Pada bab ini selain akan diurai mengenai proses adaptasi nilai-nilai sufistik juga sekaligus akan dipaparkan mengenai alasan atau argumentasi pengadaptasian nilai-nilai tersebut. Bagian ini diharapkan akan muncul pemahaman baru mengenai dunia tasawuf dan ajarannya atau yang biasa dikenal dengan istilah neo sufisme. Bab lima adalah hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai “ Model kepemimpinan sufistik di lembaga pendidikan Islam Bondowoso”. Pada bab ini juga sekaligus akan dibahas temuan mengenai kontribusi kepemimpinan sufistik terhadap pengembangan lembaga pendidikan Islam Bondowoso. Bab enam, akan dirumuskan beberapa poin penting sebagai “Kesimpulan dan Rekomendasi”. Bagian ini akan semakin memperjelas temuan-temuan penelitian baik yang bersifat teoritis, metodologis, maupun tipologis. H. Outline Disertasi Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan kegunaan Penelitian
18 D. Kerangka Teoritik E. Penelitian Terdahulu F. Metode dan Prosedur Penelitian G. Sistematika Pembahasan Bab II: Gambaran Umum Bondowoso A. Selayang Pandang Bondowoso B. Tradisi Keislaman di Bondowoso C. Lembaga Pendidikan Islam Bondowoso Bab III: Sumbangan Tasawuf Pada Pendidikan Islam A. Tasawuf 1.
Tasawuf dalam Lintasan Sejarah
2.
Isi Ajaran Tasawuf
3.
Karakteristik Gerakan Tasawuf
B. Kepemimpinan Pendidikan Islam 1.
Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam
2.
Tipologi Kepemimpinan
3.
Kepemimpinan Pendidikan
C. Sumbangan tasawuf pada kepemimpinan pendidikan Islam Bab IV: Adaptasi Nilai-Nilai Sufistik di Lembaga Pendidikan Islam Bondowoso A. Proses Adaptasi B. Alasan Adaptasi
Bab V: Model Kepemimpinan Sufistik di lembaga Pendidikan Islam Bondowoso A. Tipologi Kepemimpinan Sufistik B. Kontribusi Kepemimpinan Sufitik pada pengembangan lembaga Pendidikan Islam Bondowoso Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi
I.Penutup Demikian proposal disertasi ini dibuat untuk mendapat persetujuan riset disertasi. Kami menyadari bahwa proposal disertasi ini masih jauh dari ideal oleh karenanya masukan dan bimbingan dari semua pihak diharapkan untuk perbaikan rencana penelitian ini.
19
JADWAL RISET DILAKUKAN SELAMA 6 BULAN SELAMA BULAN JANUARI-JULI 2013 BIAYA YANG DIPERLUKAN UNTUK RISET SEBESAR Rp. 10.000.000,-
20
Daftar Pustaka Achmad Gunaryo,2001, “Pesantren dan Tasawuf” dalam buku Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar A‟la, Abdul, 2006, Pembaharuan Pesantren, Yogyakarta : LKiS Azra, Azyumardi, 1995, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung : MIZAN Annemarie Schimmel, 1986, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta:Pustaka Firdaus Berger, Peter L., dan Hansfried Kellner, Sosiologi Ditafsirkan Kembali: Esai Tentang Metode dan Bidang Kerja, ter. Herry Joediono, Jakarta:LP3ES Berger, Peter L., dan Thomas Luckman,1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan, ter. Hasan Basri, Jakarta: LP3ES, Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta ; LP3ES Horikoshi, Hiroko, 1987,Kyai danPerubahan Sosial, Jakarta: P3M Imam Taufiq, 2001, “Maqamat dan Ahwal (Tinjauan Metodologis)” di dalam buku Tasawuf dan Krisis Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mastuki, M. Ishom El-Saha (ed),2003, Intelektualisme Pesantren, Jakarta : Diva Pustaka Mansurnoor, Iik Arifin, 1987, Islam in an Indonesian World: Ulama’ of Madura, Yogyakarta : Gajah Mada University Press Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS Mas‟ud, Abdurrahman, 2004, Intelektual Pesantren; Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS Muhadjir, Noeng,2002,Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin Nasir, M.Ridlwan, 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Raihani, 2010, Kepemimpinan Sekolah Transformatif, Yogyakarta: LkiS Rivay Siregar, 2000, Tasawuf dari Sufsme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Rajawali Press Saifuddin Zuhri, 2011, Tarekat Syadiliah dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial, Yogyakarta: Teras Steenbrink, Karel A., 1986, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES Turmudi, Endang, 2004, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS Wahid, Abdurrahman, 2010, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta ; LKiS Zamroni, 1992, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana Zeitlin, 1996, Ideology and the Development of sociological theory, 6th Edition, Englewood,N.J. Prentice-Hall Ziemek, Manfred, 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M