Kepemimpinan Strategik, Organizational Ethos of Virtuousness dan Kinerja Organisasional Teodora Winda Mulia Unika Widya Mandala Surabaya Abstract Ethos of virtuousness mendasari moralitas dalam pembangunan kararter yang baik dimana individu maupun organisasi bertanggung jawab. Karakteristik virtuousness melekat dengan budaya, dengan mengadopsi dan melekatkan kualitas tertinggi dari sistem sosial dan merupakan internalisasi dari aturan moral dimana menghasilkan keselarasan sosial, berkontribusi pembangunan etika anggota organisasi. Pilihan kepemimpinan strategik akan mendukung organizational ethos of virtuousness dan memiliki konsekuensi terhadap perbaikan kinerja karena kesesuaian tipe kepemimpinan terhadap kondisi perusahaan akan mendukung pelaksanaan organization virtuousness dimana keduanya berhubungan terhadap kinerja organisasional. Keywords
: Organizational Ethos of virtuousness, kepemimpinan Strategik : dan Kinerja Organizasional
PENDAHULUAN Beberapa skandal dalam perusahan meningkatkan kesadaran organisasi dalam etika korporasi dan tangung jawab sosial, dimana sejalan dengan fenomena diatas maka organisasi mulai menaruh perhatian lebih pada isu virtues dan virtuousness dalam organisasi (Cameron, 2003). Etos organisasional merupakan orientasi yang berguna bagi organisasi untuk mencapai aspirasi tertinggi manusia, dimana memberikan tuntunan pada masa-masa sulit (Caza, Baker dan Cameron, 2004). Etos virtuousness tidak hanya membantu organisasi menghindari tindakan yang salah namun juga mendorong untuk individu mencapai tingkat tertinggi dan keutungan sosial yang baik. Etos virtuousness harus dibedakan dengan etika dalam pilihan-pilihan yang akan dibuat, bukan hanya dari sudut pandang keterbatasan pada aturan-aturan etika tetapi juga dari perspektif mencapai presetasi tertinggi individu dan komunitas (Arjoon, 2000). Jadi etos virtuousness berbeda dengan standar yang memberikan individu arahan untuk mencapai karakter dan moral yang terbaik (Caza, et al, 2004).
Pembahasan mengenai etos yang merupakan komplementer dari etika didasari atas tiga asumsi yaitu etika tidak dapat memprediksi setiap dilema yang dihadapi manajer dalam lingkungan eksternal yang turbulen, kebanyakan organisasi merupakan fungsin dari kekuatan regulasi untuk mencegah adanya masalah yang timbul sehubungan dengan etika, namun tidak ada satu sistempun yang dapat mengantisipasi atau memberikan arahan mengenai kebenaran moral dalam setiap situasi. Contohnya kasus skandal akuntansi Enron, dimana semua orang merasa membuat keputusan dengan dasar frame of reference yang memiliki legitimasi dan etis dan menyatakan bahwa mereka tidak melakukan yang bertentangan, dalam situasi inilah etos virtuousness berguna sebagai rambu dalam situasi yang dinamis, sehingga memungkinkan perilaku dan keputusan yang muncul lebih mendekati tindakan etis. Kedua, dengan tidak adanya perilaku yang tidak beretika, tidak menjamin tingginya derajat perilaku sesuai dengan prinsip. Standar etika hanyalah mendefinisikan batasan untuk kinerja dan pembuatan keputusan sehingga tindakan diluar standar minimal tidak dapat dipahami jika perilaku dan tindakan diluar batasan tidak tereksplorasi. Cameron (2003) menggambarkan kontinum etik dari
kecenderungan
negatif
yaitu
tidak
beretika
dengan
karakteristik
menghancurkan atau perilaku tidak jujur, tidak efektif dan tidak sehat, sehingga organisasi harus menekankan pada tindakan perbaikan, penyembuhan dan pemecahan masalah karena pada kontinum ini organisasi berada pada perspektif do no harm. Diantara kedua kontinum itu merupakan titik normal atau tindakan yang umum diterima yaitu etis dengan karakteristik sehat, efektif, penuh bantuan dimana pada titik ini organisasi berada pada kondisi yang paling nyaman. Kontinum kecenderungan positif yaitu etos dengan karakteristik organisasi sejahtera, excellence dalam karakter manusianya dan karakter organisasional, dan menghargai atau organisasi berada pada perspektif do good. Ketiga, Beberapa penelitian menemukan bahwa tim yang menekankan pada dinamika sisi positif memiliki kinerja yang lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan kontinum negatif. Emosi positif berhubungan dengan proses pembelajaran kognisi berkaitan dengan informasi dimana orang memberikan
perhatian dan lebih menggunakan kemampuan kognisinya, sedang dengan emosi negatif berhubungan dengan fokus kognisi individual yang lebih sempit. Enz
(1986)
menyatakan
pemimpin
organisasi
membentuk
dan
menentukan pola perilaku yang dapat diterima oleh organisasi. Nilai organisasional dari pimpinan puncak selain penting untuk memahami bagaimana pengaturan perusahaan tapi juga penting untuk memahami hubungan power dalam perusahaan. Pendesain utama
organizational values adalah pemimpin
organisasi. Gordon dalam Yukl (1989) menyatakan value sebagai “constructs representing generalized behaviors or states of afairs that are considered by the individual to be important.” Tidak seperti needs, values dipenuhi oleh beragam perilaku, dan values tidak mendominasi perilaku dalam cara-cara yang memaksa. Values penting karena ia mempengaruhi preferensi, aspirasi dan pilihan Pembahasan ditujukan untuk mencari kontribusi pola kepemimpinan terhadap pencapaian etos organisasional. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana pola kepemimpinan strategik membantu mengarahkan organisasi bergerak mencapai perspektif positif yaitu etos organisasioal yang akan meningkatkan kinerja organisasi.
LATAR BELAKANG TEORETIS Kepemimpinan Strategik Teori kepemimpinan strategik berkembang dari teori dasar yang dikembangkan oleh Hambrick dan Mason (1984) ke studi yang tidak hanya tentang cara-cara instrumental yang mana koalisi dominan berdampak terhadap hasil perusahaan tapi juga simbol-simbol dan konstruksi sosial dari eksekutif puncak. Yukl (1994) membedakan istilah kepemimpinan dengan kepemimpinan strategik. Pertama, teori kepemimpinan berkaitan dengan kepemimpinan pada setiap tingkatan dalam organisasi, sedangkan teori kepemimpinan strategik berkaitan dengan studi dari orang-orang yang berada di pimpinan puncak organisasi. Kedua, fokus penelitian kepemimpinan pada hubungan antara pemimpin dengan bawahannya. Penelitian kepemimpinan strategik yang
fokusnya mikro, berorientasi pada pekerjaan para eksekutif, tidak hanya sebagai aktivitas relasional tapi juga aktivitas strategik dan aktivitas simbolis Penelitian kepemimpinan yang terbukti bermanfaat bagi studi pada tingkatan manajemen puncak adalah penelitian Bass (1985, 1998) yang membangun kerangka kerja kepemimpinan transaksional atau transformasional. Kerangka kerja Bass dibangun dalam konteks organisasional yang lebih luas (Burns, 1978) dan berhasil diterapkan untuk studi manajer puncak (seperti Lowe, Kroeck, dan Sivasubramaniam,1996). Cannella dan Monroe (1997) menunjukkan bahwa bersamaan dengan kemajuan dalam teori kepribadian, maka teori kepemimpinan transformasional dan visioner dapat memberikan kontribusinya untuk mempelajari manajemen puncak secara lebih realistis
Perbedaan Kepemimpinan Transformasional dengan Transaksional Definisi gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional juga didasarkan pada klasifikasi sebelumnya, seperti perbedaan kepemimpinan berorientasi hubungan dengan kepemimpinan berorinetasi tugas (Fiedler, 1967) dan kepemimpinan yang bersifat direktif dengan partisipatif (Heller dan Yukl, 1969). Terdapat juga kepemimpinan transaksional yang mengikuti path-goal theory dari House dan Mitchell (1974) secara lebih dekat dan model kepemimpinan kharismatik, inspirasional atau visioner dari House dan Shamir (1993) serta Westley dan Mintzberg (1989) yang mempunyai banyak kesamaan dengan kepemimpinan tranformasional. Sedangkan Bryman, Stephens, dan Campo (1996) memperluas model kepemimpinan dari Bass dengan membedakan antara kepemimpinan baru dengan kepemimpinan tradisional. Kemudian Egri dan Herman (2000) menyatakan bahwa pemimpin transformasional mempunyai karakteristik kepemimpinan emosional dari Goleman, Boyatzis, dan McKee (2001), kepemimpinan narsistik dari Maccoby (2000) dan kepemimpinan compassionate dari Dutton, Frost, Worline, Lilius dan Kanov (2002). Perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional tidak sesederhana perbedaan antara manajemen dan pemimpin. Kepemimpinan transformasional telah didefinisikan oleh Bass (1985), Burns (1978) serta Tichy
dan Devana (1986) sebagai pemimpin yang melibatkan perubahan organisasi (sebagai perbandingan dari pemimpin yang didesain untuk memelihara status quo). Burns (1978) menunjukkan gaya kepemimpinan trasnformasional dan transaksional sebagai akhir rangkaian yang berlawanan. Tetapi Bass (1985, 1998) memandang keduanya sebagai dimensi yang berbeda, yang mengijinkan pemimpin untuk menjadi transaksional, transformasional, keduanya, atau tidak sama sekali. Kepemimpinan transformasional juga didefinisikan sebagai pemimpin yang melibatkan pemotivasian kepada bawahan untuk bekerja mencapai tujuan yang lebih tinggi melebihi tujuan menengah pribadinya. Kepemimpinan transaksional
didefinisikan sebagai
pemimpin
yang
memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan transaksional juga didefinisikan sebagai pemimpin yang melibatkan proses pertukaran, dengan mana bawahan mendapatkan penghargaan yang nyata untuk menyelesaikan perintah pemimpin (Locke, 1991). Kepemimpinan transaksional memotivasi individu melalui contingent-reward exchange dan active management-by-exception (Bass, 1990). Kepemimpinan transaksional menetapkan tujuan, mengartikulasikan kesepakatan eksplisit tentang apa yang diharapkan pemimpin dari anggota organisasi dan bagaimana anggota organisasi tersebut dihargai untuk upaya dan komitmennya serta memberikan umpan balik untuk mempertahankan setiap orang pada tugasnya (Howell dan Hall-Merenda, 1999).
Organization Ethos of Virtuousness Istilah virtuousness berasal dari kata latin yaitu virtus yang berarti strength atau excellence. Plato dan Aristotle mendeskripsikan virtues sebagai hasrat dan tindakan yang menghasilkan barang personal dan sosial. Akhir-akhir ini virtuousness dideskripsikan sebagai kondisi manusia yang terbaik, perilaku dan keluaran yang paling mulia, kesempurnaan dan esensi kemanusiaan dan aspirasi tertinggi kemanusiaan. (Comte-Sponville, 2001; MacIntyre, 1984; Tjeltveit, 2003 dalam Cameron, 2003). Virtuousness mengacu pada etos atau kondisi ideal kesempurnaan karakter manusia atau organisasional sedang virtues adalah manifestasi spesifik tipe tertentu karakter kesempurnaan. Ethos of virtuousness
mendasari moralitas dalam pembangunan kararter yang baik dimana baik individu maupun organisasi bertanggung jawab. Schudt (2000) menyatakan virtuousness ditunjukan dalam tingkat individual dan level kolektif. Riset dalam bidang ini mendefinisikan virtuousness merupakan karakteristik yang melekat dengan budaya, dimana dengan menjadi virtuous berarti mengadopsi dan melekatkan kualitas tertinggi dari sistem sosial menjadi salah satu bagiannya (Jordan dan Meara, 1990; Hillelfarb, 1996). Jadi Virtuousness merupakan internalisasi dari aturan moral dimana menghasilakan keselarsan sosial, berkontribusi untuk pembangunan etika anggota organisasi. Bright, Cameron dan Cazza (2005) mengidentifikasi atribut yang berhubungan dengan organizational virtuousness yaitu human impact, kebaikan moral dan unconditional social betterment. Karakteristik pertama berhubungan dengan kemanusiaan, karakter moral, kekuatan manusia, pengendalian diri, tujuan hidup yang berarti dan prinsip-prinsip transendental. Keinginan dan tindakan tanpa dampak kemanusiaan positif bukanlah virtuous. Karakteristik kedua, berhubungan dengan kebaikan moral yang menunjukan apa yang baik dan berguna yang ditanamkan. Kebanyakan perdebatan yang terjadi berkaitan dengan hal-hal apa saja yang termasuk dalam kebaikan (goodness), meskipun semua masyrakat dan kebudayaan menganggap kebaikan sebagai berbudi luhur dan patut dipuji (Park dan Peterson, 2003). Apa yang dikatakan sebagai baik didefinisikan dalam lingkup pengelolaan komunitas, dan kebaikan secara umum dicapai ketika seseorang
berkontribusi
kepada
semua
komunitasnya
dengan
segala
kemampuannya dan dengan legitimasi dari pihak lainnya (Arjoon, 2000). Konsepsi kebaikan moral yang universal diberikan oleh bidang psikologi positif, yaitu kulminasi dalam jumlah kebaikan dan kekuatan yang mengintegrasi ide-ide dari banyak budaya, sejarah, dan tradisi spiritual dunia (Peterson dan Seligman, 2004). Ketiga,
virtousness
dikarakteristikkan
oleh
unconditional
social
betterment yang melampaui keuntunggan diri sendiri dan mencipatakan nilai-nilai sosial yang melebihi keinginan-keinginan instrumental dari masing-masing orang. Keadaan tanpa syarat (unconditionality) ini juga membedakan virtuousness dari
etika tradisional, perilaku citizenship, dan pertanggungjawaban sosial perusahaan selama aktivitas-aktivitas ini dimotivasi oleh keuntungan instrumental atau hubungan perdagangan.
Organizational Virtuousness Seperti yang disebutkan sebelumnya, virtuousness dipahami sebagai pernyataan individu dan kolektif. Pada level kolektif, organizational virtuousness meliputi dua bentuk: kebaikan dalam organisasi dan kebaikan melalui organisasi. Virtuousness in organizations berkaitan dengan perilaku individu dalam organizational settings yang membantu seseorang berkembang sebagai manusia (Fowers dan Tjeltveit, 2003). Virtuousness through organization berkaitan dengan orang-orang dalam organisasi yang memungkinkan untuk membantu perkembangan dan mengabadikan kebaikan. Ketika hal itu terjadi dalam organisasi, maka sekelompok orang akan bertindak dalam cara-cara yang menunjukkan kebaikan, dimana tindakan-tindakan tersebut meliputi tindakan yang tidak akan mungkin dilakukan jika dilakukan secara individu. Pengaruh kebaikan kolektif mendukung kondisi dimana dorongan untuk mencari kesempurnaan sebagai manusia menjadi bagian dari budaya organisasi. Meskipun organizational virtuousness tidak dimotivasi oleh keluaran instrumental, terdapat alasan yang mengharapkan bahwa virtuousness menghasilkan banyak keluaran organisasi yang positif.
Indicators of Virtuousness Peterson dan Seligman (2004) berupaya mengoperasionalisasikan virtuousness dengan mensistesiskan konsepsi universal dari kebaikan dan kekuatan manusia. Park dan Peterson (2003) menyatakan bahwa kebaikan dapat digambarkan dalam dua jenis kebaikan yaitu tonic virtues atau phasic virtues. Tonic virtuousness merupakan kondisi yang umum, sedangkan phasic virtuousness tergantung pada peristiwa eksternal. Tonic virtuousness dapat terjadi setiap waktu (misal, integritas dapat hadir secara konstan), sedangkan phasic
virtuousness terjadai hanya ketika suatu peristiwa menciptakan kebutuhan untuk hal tersebut (misal, keadaan sakit hati personal memotivasi rasa pengampunan). Tonic virtuousness dalam organisasi berkaitan dengan lingkungan yang merepresentasikan asumsi normatif tentang apa yang seharusnya dilakukan, mempengaruhi nilai-nilai yang menyertai, dan mempromosikan perilaku-perilaku spesifik (Schein, 1992). Dalam virtuous organizations, anggota-anggota organisasi dimungkinkan untuk mengekspresikan kebaikan yaitu penuh pengharapan, rendah hati, adil, sopan, dan lainnya. Dalam beberapa penelitian terakhir, harapan, rendah hati dan kesederhanaan, integritas, kindness, dan virtuous purpose digunakan sebagai indikator dari tonic oerganizational virtuousness. Harapan didefinisikan sebagai kapasitas untuk melihat, mengharapkan, mempercayai atau secara emosional mengantisipasi yang terbaik untuk ekspektasi masa depan (Snyder, Rand dan Sigmon, 2002). Rendah hati dan kesederhanaan atau yang disebut sebagai quiet virtue oleh Tangney (2002), seringkali disalahartikan sebagai rasa percaya diri yang rendah (Klein, 1992). Seorang yang rendah hati atau sederhana adalah seseorang yang mampu mempertahankan perspektif yang tajam tentang dirinya (Richards, 1992). Kerendahan hati melibatkan rasa penerimaan diri yang mencakup suatu pemahaman baik terhadap kekuatan dan pencapainnya maupun kelemahan dan keterbatasannya atau disebut juga sebagai keterbukaan untuk belajar. Kepemimpinan yang sederhana seringkali dikaitkan dengan keberhasilan ekonomik dalam organisasi (Collins, 2001). Integritas terwujud dengan mempertahankan standar yang konsisten, kepercayaan, dan kejujuran (Harter, 2002). Integritas membutuhkan pemikiran, waktu, kebijaksanaan, dan empati dalam mengekspresikan apa yang diyakini seseorang sebagai kebenaran (Lerner, 1993). Integritas memfasilitasi hubungan interpersonal yang produktif, kerjasama tim yang berhasil, pembuatan keputusan yang efektif, partisipasi yang lebih baik, dan iklim organisasi yang positif (Lerner, 1993). Kindness didefinisikan sebagai karakteristik manusia yang melibatkan perhatian empati terhadap orang lain. Kindness dalam organisasi memfasilitsi rasa
kemanusiaan, membantu penyembuhan, dan memelihara hubungan interpersonal (Dutton et al., 2002). Virtuous
purposes
berkaitan dengan pertanyaan umum
terhadap
kesempurnaan atau kebaikan, yang dikaitkan juga dengan rasa berarti dalam organisasi.
Virtuous purpose merupakan suatu kondisi dalam mana individu
mendefinisikan pekerjaannya secara personal mempunyai arti, signifikansi, atau selaras dengan apa yang mereka perhatikan secara mendalam. Ketika virtuous purpose atau rasa terpanggil telah dikembangkan dalam organisasi, maka pengalaman bekerja dan kepuasan hidup meningkat, komitmen terhadap organisasi menguat, konflik berkurang, kepercayaan meningkat terhadap manajemen, kerja tim semakin sehat, hubungan dengan rekan sekerja semakin baik, dan keterlibatan seseorang dalam lingkungan kerja semakin meningkat dibanding dalam organisasi normal Phasic virtuousness terjadi hanya ketika kondisi tertentu muncul, seperti peristiwa kejutan. Phasic virtuousness dimanifestasikan melalui perilaku kebaikan yang terjadi dalam merespon suatu peristiwa. Pengampunan (forgiveness) merupakan tindakan spesifik yang terjadi ketika seseorang membuang perasaan negatif, sakit psikis, atau keinginan untuk balas dendam yang diikuti dengan tindak kekerasan atau bertahan (McCullough, 2000; McCullough Pergament dan Thorsen, 2000). Pertanggungjawaban juga merupakan phasic virtue dalam mana individu mengakui adanya kesadaran dan akuntabilitas yang menyebabkan kesulitan dan kekerasan bagi orang lain melalui tindakan dan keputusan yang dibuat. Pertanggungjawaban memfokuskan pada tindakan yang terbaik untuk kepentingan umum daripada untuk kepentingan diri sendiri (Seligman, 2002).
Kepemimpinan Strategik dan Organizational Ethos of Virtuousness Enz (1986), pemimpin berperan penting dalam membangun values. Pemimipin menggunakan values yang ditetapkannya untuk menciptakan budaya dan membenarkan pengaruhnya dalam organisasi.
Ott (1989) menyatakan organizational culture dapat didefinisikan secara fungsional dan pragmatis sebagai kekuatan soisal yang mengendalikan pola dari perilaku organisasional dengan membentuk kognisi anggota dan persepsi dari arti dan realitas, memberikan energi yang mempengaruhi untuk mobilisasi dan mengidentifikasi siapa yang mempunyai dan siapa yang tidak. Gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional berperan penting dalam
eksplorasi
dan
ekploitasi.
Terdapat
sejumlah
kontinjensi
yang
membutuhkan perhatian, yang masing-masing berdampak terhadap peneliti dan manajemen. Implikasinya adalah baik peneliti maupun manajer diharapkan untuk menguatkan nilai kepemimpinan yang menjadi pilihan sesuai karakteristik organisasi dalam organizational virtuousness. Mengacu pada perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dan kesesuainnya untuk melaksanaka semangat organizational virtuousness maka kepemimpinan transformasional yang melibatkan perubahan organisasi dibanding kepemimpinan transaksional dimana pemimpin didesain untuk memelihara status quo. Apabila kita membedakan. etos virtuousness dengan standar yang memberikan individu arahan untuk mencapai karakter dan moral yang terbaik (Caza, et al, 2004), maka dapat dianalogikan bahwa kepemimpinan tranformasional berkesuaian dengan etos virtuousness sedang kepemimpinan transaksional lebih berhubungan dengan standar, sehingga kepemimpinan
transformasional
lebih
mempunyai
kesesuaian
dengan
organizational virtuousness yang menekankan pada proses internal individu dalam organisasi untuk do good, namun hal diatas sesuia apabila kita mengacu pada
pendapat
Burns
(1978)
yang
menunjukkan
gaya
kepemimpinan
trasnformasional dan transaksional sebagai akhir rangkaian yang berlawanan. Tetapi apabila kita mengacu pada pendapat Bass (1985, 1998) yang memandang keduanya sebagai dimensi yang berbeda, yang mengijinkan pemimpin untuk menjadi transaksional, transformasional, keduanya, atau tidak sama sekali maka melaksanakan organizational virtuousness menjadi kontijensi. Situasi kontijensi tersebut karena kepemimpinan transformasional melibatkan pemotivasian kepada bawahan untuk bekerja mencapai tujuan yang lebih tinggi
melebihi tujuan menengah pribadinya sedang kepemimpinan transaksional melibatkan proses pertukaran, dengan mana bawahan mendapatkan penghargaan yang nyata untuk menyelesaikan perintah pemimpin (Locke, 1991). Karakteristik kepemimpinan tipe ini berkesesuaian dengan karakteristik, berkaitan dengan virtuousness in organization yaitu perilaku individu dalam organizational settings yang membantu seseorang berkembang sebagai manusia (Fowers dan Tjeltveit, 2003) Sedangkan kepemimpinan transaksional memotivasi individu melalui contingent-reward exchange dan active management-by-exception (Avolio, Bass, dan
Jung,
1999).
Kepemimpinan
transaksional
menetapkan
tujuan,
mengartikulasikan kesepakatan eksplisit tentang apa yang diharapkan pemimpin dari anggota organisasi dan bagaimana anggota organisasi tersebut dihargai untuk upaya dan komitmennya serta memberikan umpan balik untuk mempertahankan setiap orang pada tugasnya (Bass dan Avolio, 1993; Howell dan Hall-Merenda, 1999). Karakteristik kepemimpinan tipe ini berkesesuaian dengan karakteristik virtuousness through organization yang berkaitan dengan orang-orang dalam organisasi
yang
memungkinkan
untuk
membantu
perkembangan
dan
mengabadikan kebaikan. Ketika hal itu terjadi dalam organisasi, maka sekelompok orang akan bertindak dalam cara-cara yang menunjukkan kebaikan, dimana tindakan-tindakan tersebut meliputi tindakana yang tidak akan mungkin dilakukan jika dilakukan secara individu. Pengaruh kebaikan kolektif mendukung kondisi dimana dorongan untuk mencari kesempurnaan sebagai manusia menjadi bagian dari budaya organisasi.
Kepemimpinan Strategik dan Kinerja Organisasional Kinerja yang buruk merupakan sumber bagi pembaruan strategik karena hal itu dihubungkan dengan tekanan yang muncul dari keterbatasan nyata yang melekat dalam strategi perusahaan sekarang (Huff et al., 1992). Kinerja yang buruk umumnya membuat organisasi lebih mau menerima perubahan status quo (Boeker, 1989). Kepemimpinan transformasional akan lebih sesuai dalam kinerja yang
buruk
dan
akan
memotivasi
proses
untuk
memampukan
dan
mengimplementasikan perubahan. Perusahaan yang berhasil, di lain pihak, umumnya kurang motivasi untuk mengejar strategi baru dan kompleks (Miller, 1993),
sehingga
mereka
cenderung
menggantungkan
pada
pemimpin
transaksional. Keberhasilan perusahaan dan pemimpin transaksional dapat membawa
budaya,
sistem,
dan
porses
perusahaan
bersifat
monolitis
(penyederhanaan dan semua serba tunggal) yang merintangi kemampuan organisasi untuk mengadaptasi lingkungan yang kompleks. Kepemimpinan strategik memberikan pengaruh yang besar, mendorong moral, mendorong keterlibatan karyawan. Perilaku kepemimpinan transaksional menjadi sangat penting karena pemimpin meredam kekacauan dan ambiguitas dengan memformalkan dan menstandarkan cara kerja sekarang. Pemimpin transaksional mendukung, menguatkan dan memurnikan rutinitas sekarang dan membangun
program
aktivitas
yang
meniru
kesuksesan
sebelumnya.
Kepemimpinan transformasional dapat memperbaiki kinerja perusahaan yang buruk. Perusahaan yang berhasil adalah perusahaan dengan tim manajemen puncak yang dapat mencapai pembaruan tanpa memicu krisis, karena munculnya krisis akan menyebabkan proses pembinasaan yang kreatif (Hurst, 1995)
Organizational Ethos of Virtuousness dan Kinerja Organisasional Dilema yang dihadapi organisasi berkaitan dengan organizational ethos of virtuousness adalah tanpa menunjukan kinerja definitif maka hanya berhenti pada tataran konsep, tanpa bisa memberikan aplikasi apapun untuk kontribusi organisasi. Fenomena yang timbul adalah prinsipal akan menuntut para agennya untuk menunjukan kinerja mereka dalam ukuran laba bottom line, peningkatan kemakmuran pemilik melalui perbaikan harga saham dan peningkatan nilai perusahaan dan seperangkat ukuran finansial lainnya. Stakeholder mengharapkan pemecahan masalah instan dan perbaikan kinerja dramati akan diperoleh, sedangkan organizational ethos of virtuousness bersifat holistik. Terdapat beberapa dukungan empiris yang menyoroti hubungan antara virtuousness dalam organisasi mempunyai hubungan positif terhadap kinerja. Dukungan tersebut dapat kita temukan dalam litertur yang berkembangan yang
menemukan bahwa virtue of forgiveness berkaitan dengan hubungaan sosial yang lebih luas dan lebih kaya, kepuasan yang lebih tinggi, persaan diberdayakan yang lebih besar, berkurangnya sakit fisik, pemulihan yang lebih cepat dari sakit dan hukuman dan berkurangnya depresi (McCullough, 2000; Hope, 1987, Fitzgibbons, 1986; Enright, 1994; Wittvliet, Ludwig dan Van Derr Lann; 2002 dalam Cameron, 2003). Virtues of optimism and hope berhubungan dengan kinerja yang lebih baik, lebih tekun dan dengan mood yang lebih baik ditempat kerja (Peterson, 2000 dalam Cameron, 2003) Lebih lanjut Cameron (2003) menginventaris karakteristik berkaitan keluaran individual, ditemukan bahwa individu yang optimis memiliki hubungan sosial yang lebih baik sehingga akan berdampak pada kinerja fisik dan akademik yang lebih tinggi, tolerasi, self efficacy dan fleksibilitas dalam berpikir. Individu yang memiliki belas kasih menunjukan perilaku membantu yang lebih besar, penjelasan moral, keterkaitan dan hubungan interpersonal yang lebih kokoh sehingga akan mengurangi depresi mengabaikan mood dalam bekerja. Individu yang memiliki integritas memiliki kepercayaan diri yang lebih besar, penghargaan dan memberi dampak positif bagi sekeliling sehingga menunjukan hubungan interpersonal yang produktif, teamwork, pengambilan keputusan yang efektif, partisipasi dan iklim positif dalam organisasi. Sedangkan virtuousness lainnya menunjukan dampak positif bagi individu dan organisasi. Karena hubungan positif antara virtuousness dan keluaran individual , maka akan virtuousness juga akan terjadi dalam
level organisasi, dimana
hubungan positif ditemukan dalam keluaran organisasional. Dukungan empiris diberikan oleh Cameron et al (2004) yang melakukan studi empiris terhadap 18 organanisasi menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara virtuousness dan ukuran persepsian dan obyektif dari kinerja organisasional. Temuan lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat dua fungsi utama dalam organizational virtuousness yaitu fungsi amplifying untuk membentuk self reinforcing yang positif dan fungsi buffering untuk melindungi organisasi dari kejutan. Diskusi dari penelitian ini, adalah perbaikan keluaran kinerja tampak pada inovasi, customer retention, turnover, kualitas, dan profitability.
SIMPULAN Secara umum kepemimpinan strategik, organizational ethos of virtuousness dan kinerja perusahaan merupakan bagian yang saling berkaitan. Kepemimpinan strategik
yang sesuai
virtuousness
memiliki
mendukung pelaksanaan hubungan
positif
virtuousness, sedangkan
terhadap
perbaikan
kinerja
organisasional. Selain itu kepemimpinan strategik juga berhubungan secara positif dengan kinerja organisasional. Sehingga menghubungkan ketiga konstrak tersebut lebih memberikan penjelasan yang lebih kokoh dan menyeluruh. Pilihan
antara
kepemimpinan
transaksional
dan
transformasional
merupakan permasalah paradigma, apakah menganggap kedua konsep tersebut sama sekali berbeda satu dengan lainnya ataukan menganggap keduanya bersinergi dan kontinjensi dengan kondisi organisasi. Namun beberapa studi menunjukan bahwa keterkaitan antara kepemimpin strategik dan kinerja berkaitan dengan kondisi dan kinerja perusahaan sebelumnya, apakah dalam kondisi yang buruk atau baik. Pilihan kepemimpinan strategik berkaitan dengan organizational ethos of virtuousness maka kita akan melihat kesesuaian tipe kepemimpinan terhadap bentuk organization virtuoussness. Virtuousness in organization berkesesuaian dengan kepemimpinan transformasional dan virtuousness trough organization berkesesuaian dengan kepemimpinan transaksional. Pilihan kepemimpinan strategik maupun mengadopsi organization virtuousness memiliki konsekuensi terhadap perbaikan kinerja karena kesesuaian tipe kepemimpinan terhadap kondisi perusahaan akan mendukung pelaksanaan organization virtuousness dan kedua variabel tersebut akan berdampak pada perbaikan kinerja organisasional.
DAFTAR PUSTAKA Arjoon, S. 2000. Virtue Theory As a Dynamic Theory of Business, Journal of Business Ethics, 28 (2): 159-178 Bass, B. M. 1985. Leadership and performance beyond expectations. New York: Free Press. Bass, B. M. 1998. Transformational leadership: Industry, military, and educational impact. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Bass, B. M., & Avolio, B. J. 1993. Transformational leadership: A response to critiques. In M. M. Chemers & R. Ayman (Eds.), Leadership theory and research: Perspectives and directions: 49-80. New York: Academic Press. Boeker, W. 1989. Organizational change: The effects of founding and history. Academy of Management Journal, 32: 489-515. Bright, David, Kim Cameron dan Arran Cazza. 2005. The Ethos of Virtousness in dowzised Organizations, Working paper Bryman,A.,Stephens, M., dan Campo,C. 1996. The impotance of context: Qualitative research and the stufy of leadership. Leadership Quarterly, 7: 353-370. Burns, J.M. 1978. Leadership, Harper & Row, New York. Cameron, K.S, David Bright dan Arran Caza, 2004. Exploring Relationships Between Organizational Virtuousness and Performance, American Behavioral Scientist, 46 (6): 766-790 Cameron, Kim. 2003. Organizational Virtuousness and performance in Cameron K.S., Dutton J.E dan Quinn R.E. Positive Organizational Scholarship, Oxford Berret Koehler, San Fransico, 48-65 Canella, A. J., & Monroe, M. J. 1997. Contrasting perspectives on strategic leaders: Toward a more realistic view of top managers. Journal of Management, 23:213-237. Caza, Arran, B. Baker, K. Cameron. 2004, Ethics and Ethos: The Amplifying and Buffering Effects of Ethical Behavior and Virtuousness, Journal of Business Ethics, 52: 169-178 Collins, J. 2001. Good to Great: Why some Companies Make the Leap and others Don’t, Harper Collins, New York
Dutton, J. E., Frost, P. J., Worline, M. C., Lilius, J. M., & Kanov, J. M. 2002. Learning in times of trauma. Harvard Business Review, 80(1): 54-61. Egri, C. P., & Herman, S. 2000. Leadership in the North American environmental sector: Values, leadership styles, and contests of environmental leaders and their organizations. Academy of Management Journal, 43: 571-604. Enright, R.D. and the human Development study Group,1994. Piaget on the moral development of Forgiveness: Identity and Reciprocity, Human Development, 37:63-80 Enz, C. 1986. Power and shared values in the corporate culture. Michigan: Umi Research Press. Fiedler, F. 1967. A theory of leadership effectiveness. New York: McGraw-Hill. Fitzgibbons,R.P. 1986. The Cognitive and Emotive Uses of Forgiveness in the treatmentof Anger, Psycotherapy, 23 (4):629-633 Fowers B.J. dan A.C. Tjeltveit, 2003, Virtue Obsecured and Retrieved Character, Comunity and Practice in Behavioral Science, American Behavioral Scientist, 47(4):387-394 Goleman, d., Boyatzis, r., & McKee, A. 2001. Primal leadership: The hidden driver of great performance. Harvard Business Review, 79(6): 42-51. Hambrick,D., & Mason, P. 1984 Upper echelons: The organization as a refelction of its top managers. Academy of Management Review, 9: 193-206. Harter, S. 2002. Autenticity in C.R. Snyder and S.J.Lopez. Handbook of Positive Psychology, Oxford University Press, New York, 382-394 Heller, F. A., & Yukl, G. 1969. Participation, managerial decision making, and situational variables. Organizational Behavior and Human Performance, 4: 227-241. Hillelfarb, G. 1996. The De Moralization on Society: From Victorian Virtues to Moderen Values, Vintage, New York Hope, D. 1987. The Healing paradox of Forgiveness, Psychoteraphy,24:240-244 House R.J. dan Mitchell, T.R. 1974.Path Goal Theory of Leadership, Contemporary Business, 3:81-98 House, R. J., & Shamir, B. 1993. Towards the integration of transformational, charismatic and visonary theories. In M. M. Chemers & R. Ayman (Eds.),
Leadership theory and research: Perspectives and directions: 81-107. San Diego: Academic Press. Howell, J., 7 Hall-Merenda, K. 1999. The Ties that bind: The impact of leadermember exchange, transformational and transactional leadership, and distance on predicting follower performance. Journal of Applied Psychology, 84: 680-694. Huff, J. O., Huff, A. S., & Thomas, H. 1992. Strategic renewal and the interaction of cumulative stress and inertia. Strategic Management Journal, 13: 55-75. Hurst, D. 1995. Crisis and renewal: Meeting the challenge of organizational change. Boston: Harvard Business Review Press. Jordan A.E. dan N.M. Maera. 1990. Ethics and Professional Practice of Psychologists: The Role of Virtues and Principles, Professional Psychology Research and Practice, 21:107-114 Klein, D.C. 1992. Managing Humaliation, Journal of Primary Prevention, 12: 255-268 Lerner, H.G. 1993. The Dance of Deception. Harper Collins, New York. Locke, E. A. 1991. The essence of Leadership. Lexington Books. Lowe, K. B., Kroeck, K. G., & Sivasubramaniam, N. 1996. Effectiveness correlates of transformational and transactional leadership: A meta-analytic review of the MLQ literature. Leadership Quarterly, 7; 385-425. Maccoby, M. 2000. Narcissistic leaders: The incredible pros, the inevitable cons. Organizations Science, 2: 71-87 Mc Cullough, M.E. 2000. Forgiveness as Human Strength: Theory, Measurement and Links to well-being, Journal of Social and Clinical Psychology, 19(1):43-55 McCullough,M.E., K.I. Pargament dan C.E. Thorsen, 2000. Forgiveness: Theory Research and Practice, The Guilford Press, New York Miller D. 1993. The architecture of simplicity. Academy of Management Review, 18: 116-138. Ott, J. S. 1989. The organizational culture perspective. Brooks/Cole Publishing Company: California. Park, N. danC.M. Peterson, 2003). Virtues and Organozations, Berrett Koehler, San Fransico, 33-47
Peterson C.M. dan M.E.P.Seligman, 2004. Character Stregth and Virtues: A Hanbook and Classification, Oxford University Press, New York Richards, N. 1992. Humility, Templeton University Press, Philadelphia. Schein, E. H. 1992. Organizational culture and leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Schudt, K. 2000. Taming the corporate Monster: An Aristotelian Approach to Corporate Virtues, Business Ethics Quarterly, 10: 711-723 Seligman, M.E.P. 2002. Positive psycology, positive prevention and Positive therapy in C.R. Snyder and S.J.Lopez. Handbook of Positive Psychology, Oxford University Press, New York, 3-9 Snyder,C.R., K.L. Rand, dan D.R. Sigmon, 2002. Hope Theory: A Member of the positive psychology Family in C.R. Snyder and S.J.Lopez. Handbook of Positive Psychology, Oxford University Press, New York, 257-276 Tangney, J. 2002. Humility, in C.R. Snyder and S.J.Lopez. Handbook of Positive Psychology, Oxford University Press, New York, 411-419 Tichy, N. M., & Devana, M.A, III. 1986. The transformational leader. Sloan Management Review, 26: 59-68. Westley, F., & Mintzberg, H. 1989. Visionary leadership and strategic management. Strategic Management Journal, 10: 17-32. Yukl, G. 1994. Leadership in organizations. Englewood Cliffs, NJ: PrenticeHall.