KEPEMIMPINAN DAN PERUBAHAN EKOLOGI; SUATU PEMIKIRAN TENTANG PERUBAHAN EKOLOGI DAN PERAN PEMIMPIN DI MINANGKABAU Afrida
1
Abstract Each society tend had a model of leadership depend on process of history where it happen. In Minangkabau society, there were interaction between leaderships and the land of agricultures. The land could influence the role of leadership, because the land make the role of leader running well as good as we hope. When the land reduced, made the role of leadership become nothing. Keywords: Leadership, Ecology Change, Minangkabau Society, Land of Agricultures
I.
Pendahuluan.
M
asyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang mempunyai banyak keunikan. Keunikannya tidak saja menyangkut dengan bagaimana menarik garis keturunan, tetapi juga bagaimana kepemimpinan di jalankan di dalam masyakat. Dalam hal menarik garis keturunan, orang Minangkabau sangat berbeda dengan suku bangsa yang hidup di sekitar masyarakat Minangkabau itu sendiri. Masyarakat Batak misalnya menarik garis keturunan dari pihak bapak (patrilineal), orang Melayu di RIAU dan Jambi juga bersifat patrilineal, serta sebagian masyarakat yang berdiam di daerah Bengkulu juga menarik garis keturunan dari pihak bapak, kecuali pada dearah tertentu yang mendapat pengaruh dari masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Berbeda dari masyarakat yang di sekitarnya orang Minangkabau menarik garis keturunan dari pihak ibu (matrilineal).
1
Perbedaan dalam hal menarik garis keturunan bukanlah sebuah fakta yang berdiri sendiri, tetapi hal itu berhubungan dengan fakta lain, yaitu dalam hal kepemimpinan. Mengapa hal ini bisa berkaitan seperti itu, tentu hal ini bukan saja membutuhkan suatu penjelasan yang bisa diterima akal, tetapi juga harus didukung dengan bukti-bukti empiris yang dapat ditemukan di lapangan. Hal ini juga menyangkut aspek-aspek yang bersifat sejarah yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan semua proses alamiah yang dapat memaksa seorang individu atau sekelompok orang untuk mencari suatu bentuk masyarakat yang cocok dengan diri mereka serta pengaruh-pengaruh yang ada dari masyarakat lain. Masyarakat Minangkabau juga memiliki banyak karya sastra yang bermutu tinggi. Pantun dan gurindam merupakan sebagian kecil yang bisa disebutkan di sini. Belum lagi kalau kita harus menyebutkan hal yang lebih sepesifik seperti; mamangan,
Penulis adalah dosen tetap jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas, Padang
51 | P a g e
bidal dan kata kiasan yang bersayap yang ikut membentuk jati diri orang Minangkabau. Konon menurut orang Minangkabau semua kearifan yang mereka punyai itu didapatkan sebagai hasil dari interaksinya dengan alam (alam takambang jadi guru). Interaksi yang terus menerus dengan alam menghasilkan suatu kata bijak yang merupakan dan menjadi dasar dari pembelajaran orang Minangkabau dari dahulu hingga sekarang. Suatu pembe lajaran yang membutuh suatu kemampuan dalam membaca dan menyikapi fenomena – fenomena yang terjadi di alam,pada lingkungan sosial dan budaya. Dengan demikian, penggalan kalimat yang mengatakan “alam takambang jadikan guru” bukanlah sebuah kata kosong belaka, tetapi merupakan sesuatu yang harus dipahami dan diinterpretasikan sebagai suatu perintah yang harus ditaati dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Jika hal ini bisa berjalan dengan baik, masyarakat Minangkabau percaya bahwa kehidupan sosial dan budaya akan berjalan dengan baik, tetapi jika hal yang sebaliknya terjadi, kebanyakan orang Minangkabau percaya kesengsaraan dan permasalahan akan timbul, sehingga kehidupan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik. Masyarakat Minangkabau bukanlah masyarakat yang tertutup dan anti terhadap perubahan. Orang Minangkabau mengenal sebuah adegium yang menyatakan “sakali aie gadang sakali tapian barubah,sungguhpun barubah di situ juo”. Perubahan bagi orang Minagkabau merupakan suatu proses yangn dianggap normal dan merupakan suatu proses yang bersifat alamiah. Setiap perubahan cenderung akan membawa suatu pengaruh terhadap setiap elemen sosial, termasuk masalah kepemimpinan di dalam masyarakat.
52 | P a g e
II.
Mitologi Orang Minangkabau.
B
erbeda dengan masyarakat lain, orang Minangkabau tidak menghubungkan asal usulnya dengan dewa alam.Cerita ini erat kaitannya dengan sebuah gunung yang memiliki posisi yang sangat strategis di dalam proses asal mula terjadinya negeri. Gunung yang dimaksud dalam konteks ini adalah Gunung Marapi. Dalam kosmologi orang Minang kabau Gunung Marapi menempati posisi yang sangat strategis. Gunung ini merupakan daerah yang diyakini sebagai tempat dimana untuk pertama kali nenek moyang orang Minangkabau berasal. Menurut cerita orang Minangkabau, nenek moyang mereka berasal dari Banua ruhum (Romawi/Roem) atau dari Byzantium. Konon pada zaman dahulu, ketika Gunung Marapi masih sebesar telur itik,berlayar tiga orang putra dari kerajaan Roem ke arah Timur. Karena masa itu air laut masih belum susut,kandaslah kapal mereka di puncak Gunung Marapi dan kapal mereka mengalami kerusakan. Pada masa itu mereka memutuskan untuk tinggal sementara di Puncak Gunung Marapi yang pada masa itu masih berupa pulau kecil. Sambil menunggu memperbaiki kapal mereka pun bermukim sementara di pulau itu. Dalam masa penantian itu ternyata kemudian air menyusut dan pulau kemudian muncul lebih luas. Dalam cerita orang Minangkabau hal ini dikenal dengan sebutan “ air menyentak turun dan bumi menyentak naik. Ketika gunung itu muncul lebih besar dan pada itu pula kapal yang tadinya rusak sudah selesai diperbaiki. Berundinglah ketiga putra raja untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka. Dalam perundingan itu, salah seorang putra raja itu memutuskan untuk tinggal menetap di pulau itu. Dia adalah Sri Maharaja Diraja. Sedangkan dua saudaranya yang lain
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Salah satu diantaranya melanjutkan perjalan ke arah Utara, yaitu Sri Maharaja Depang, yang kemudian menjadi nenek moyang orang Cina dan orang Jepang. Sedangkan yang satu lagi yaitu Sri Maharaja Alif memutuskan untuk kembali ke Romawi dan kemudian ternyata jadi raja di Romawi (Byzantium) menggantikan bapaknya yaitu Alexander Yang Agung atau dalam cerita orang Minangkabau dikenal dengan sebutan Iskandar Zulkarnain. Lama kelamaan air pun semakin surut dan keturunan Sri Mahadiraja pun semakin banyak, akhirnya mereka turun dari puncak gunung yang dulunya hanya sebuah pulau kecil dan bermukim di kaki Gunung Marapi. Daerah tempat pertama mereka bermukim ini kemudian diberi nama Padang Panjariangan. Dari Padang Panjariangan kemudian mereka menyebar ke daerah Pariangan. Di daerah baru ini mereka kemudian mengadakan pesta dan upacara sambil manari-nari di dekat rumpum bambu. Dalam bahasa Minangkabau upacara gembira itu dikenal dengan nama bariangriang sehingga nama itu melekat menjadi nama daerah dan nama sejenis pohon bambu, yaitu Pariangan. Dari daerah Pariangan nenek moyang Minangkabau menyebar ke daerah lain di sekitar Pariangan;yaitu kedaerah Tanah Datar. Daerah ini dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tuo [ Luhak yang Tua]. Kenapa disebut dengan Luhak Tanah Datar? Hal ini disebabkan daerah ini terdiri dari daerah perbukitan dan pegunungan. Kata Luhak dalam bahasa Minangkabau berarti kurang. Oleh karena itu Luhak Tanah Datar artinya kurang tanah yang datar. Daerah penyebaran berikutnya dari nenek moyang orang Minangkabau adalah Luhak Agam. Karena daerah ini merupakan daerah penyebaran yang ke dua dari tiga Luhak, maka daerah ini disebut juga dengan luhak nan tangah [tengah]. Mengapa daerah ini disebut Luhak Agam
sampai sekarang belum ada data yang pasti, tetapi kebanyakan masyarakat mengartikan kata agam sebagai agama.Dengan demikian kata Luhak Agam berarti kurang agama. Tetapi kalau dilihat dalam bahasa Aceh, karena Minangkabau pernah berhubungan pada masa lalu dengan Aceh , Agam artinya laki-laki. Jadi Luhak Agam dapat berarti kurang nya lakilaki. Mana yang benar dari kedua istilah ini sampai sekarang belum ada bukti yang kongkrit, yang jelas daerah Agam termasuk daerah yang agak terlambat mendapat pengaruh agama Islam. Hal ini disebabkan karena penyebaran agama Islam di Minangkabau dimulai dari daerah pesisir di Pantai Barat yang kemudian baru menyebar ke daerah darat [darek] di daerah dataran tinggi Minangkabau. Penyebaran selanjutnya adalah Luhak Lima Puluh Koto. Luhak ini disebut juga dengan nama Luhak Nan Bungsu, Artinya daerah Limo Puluh Koto merupakam daerah penyebaran terakhir dari daerah yang dianggap sebagai daerah asal orang Minangkabau. Luhak Lima puluh Koto berarti juga kurang dari lima puluh koto. Konon menurut perhitungan yang ada sampai sekarang hanya tinggal empat puluh sembilan koto [kampung] dan yang satu lagi ternyata telah bermingrasi ke daerah Malaysia, yaitu di Negeri Sembilan. Penyebaran penduduk dari Luhak Lima Puluh Koto ini termasuk peneyebaran yang cukup luas karena mencakup daerah dari propinsi dan Negara lain, seperti; Malaysia dan daerah Kampar di Propinsi Riau. Semakin lama penduduk semakin berkembang dan dinamika masyarakat semakin hidup,penyebaran penduduk terus berlanjut. Pertambahan penduduk yang terus belanjut membutuhkan tersedianya bahan makan yang cukup agar kehidupan dapat dipertahankan. Seiring dengan hasrat untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, ada diantara penduduk yang kemudian terus menyebar ke daerah lain sehingga 53 | P a g e
membentuk semacam lingkaran penyebaran yang berbentuk lingkaran konsentris. Daerah penyebaran di luar Luhak Nan Tigo ini kemudian dikenal sebagai daerah rantau yang berada di sekeliling daerah luhak. Daerah rantau merupakan daerah pengembangan dari daerah luhak. Daerah ini merupakan daerah periperi yang secara adat dan kekuasaan harus tundud pada kekuasaan pusat yang berada di Pagaruyung. Dengan demikian daerah rantau dan daerah luhak yang dikenal dengan daerah darek merupakan suatu kesatuan. Hal ini dikenal dalam adegium orang Minangkabau sebagai “barantaubadarek”.Artinya rantau adalah daearah penyebaran dan darek adalah daerah asal. Daerah rantau ini terus berkembang dan membentuk pusat-pusat kekuasan baru yang perintahi oleh raja-raja kecil. Raja kecil ini harus tunduk pada kekuasaan raja di Pagaruyung. Raja ini biasanya menguasai nagari-nagari yang ada. Satu raja akan mengusai satu atau lebih nagari. Dengan demikian muncullah istilah “rantau beraja darek bapanghulu”.Raja adalah penguasa daerah rantau dan penghulu mengasai daerah darek. Raja adalah penguasa daerah, sedangkan penghulu adalah penguasa adat.
III.
Mata Pencaharian.
O
rang Minangakabau pada dasarnya adalah keturunan petani. Aktifitas bertani ini sudah dilaksanakan semenjak masa awal nenek moyang orang Minangkabau menghuni pulau paco (perca) ini.Keturunan pertama orang Minangkabau dari nenek moyangnya Datuk Sri Maharajo dirajo telah membuka lahan pertanian di aki Gunung Marapi semenjak masa awal kedatangannya. Tersebutlah pada masa awal dari kedatangan mereka satu lahan pertanian yang dikenal dengan istilah “sawah laweh satampang baniah makanan
54 | P a g e
urang tigo luhak”. Sawah yang luas ini juga dapat dianggap sebagai awal dari dimulainya pengolahan lahan yang pertama dan suatu bentuk penguasan atas lahan. Orang Minangkabau kalau dilihat dari cerita-cerita yang hidup dan dipelihara oleh masyarakat, pada masa awal merupakan petani sawah. Tetapi dengan sawah saja tentu tidak akan dapat memenuhi semua kebutuhan penduduk. Maka sesudah memulai dengan sawah kemudian mereka mengembangkan bentuk pertanian yang lain. Mereka kemudian membuka ladang. Karena dengan adanya daerah peladangan sumber makanan lain di luar beras akan dapat dipenuhi. Dengan adanya daerah peladangan akan semakin banyak kebutuhan dapat dipenuhi. Di Ladang beraneka jenis tanaman dapat tumbuh dan ditanam, sehingga ladang kemudian memegang peranan yang lebih besar dibandingkan dengan pertanian yang bertumpu pada lahan basah seperti sawah. Dengan adanya sawah dan ladang kehidupan masyarakat semakin berkembang, jumlah penduduk semakin banyak. Hal ini berakibat kepada munculnya persaingan dalam pengusaan lahan pertanian. Persaingan menyebabkan kemudian adanya perpindahan sebagian penduduk ke daerah lain guna mendapatkan lahan pertanian. Kehidupan masyarakat yang pada awalnya berkelompok kemudian mulai memencar . Pemencaran ini biasanya dilakukan oleh keluarga atau kesatuan dari keluarga. Keluarga yang berpindah ke daerah lain kemudian membentuk suatu kesatuan hidup. Hal ini kemudian dikenal dengan nama suku, yaitu suatu kesatuan keluarga yang berasal dari satu nenek moyang. Akibat yang nyata dari hal ini adalah munculnya orang yang dapat mengatur anggota kelompok supaya kelompok dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian orang yang berpindah ini semakin banyak dan sebagai akibatnya munculah suku-suku lain. Sampai sekarang
orang Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang terdiri dari banyak suku. Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu yang merupakan pemimpin resmi dalam masyarakat Minangkabau. Perkembangan selanjutnya dari mata pencarian penduduk Minangkabau adalah munculnya perniagaan atau perdagangan. Ini mungkin ada hubungananya dengan berkembangnya mata pencarian berladang. Akibat dari penyebaran yang dilakukan penduduk, maka secara otomatis luas lahan perladangan akan semakin meluas pula, begitu juga dengan daerah persawahan. Akibat bertambahnya daerah perladangan dan persawahan, mengakibat kan surplus dalam hasil pertanian. Hasil pertanian yang secara terus menerus berlimpah membutuhkan suatu penyaluran kepada daerah tertentu yang secara relative kekurangan. Akibat dari kelebihan produksi pertanian ini kemudian memunculkan aktifitas perniagan atau perdagangan. Munculnya daerah kolonial akibat dari aktifitas bangsa lain kemudian juga berakibat secara tidak langsung kepada perkembangan mata pencarian masyarakat. Pada masa colonial ini kemudian muncul aktifitas perkantoran yang secara tidak langsung berakibat berkembangnya mata pencarian lain. Dimana pada masa ini ada diantara penduduk yang ditarik bekerja di kantor. Pada masa munculah aktifitas perekonomian menjadi pegawai atau bekerja di perkantoran. Keadaan ini kemudian terus berkembang sampai kepada zaman sekarang.
IV. Kepimimpinan Tradisional di Minang kabau.
D
i Minangkabau sejarah kepemim pinan secara umum dapat ditelusuri dari pantun-pantun, bidal, gurindam dan adegium yang hidup di tengah masyarakat. Dalam hal kepemimpinan dapat
diambil dari salah satunya seperti bunyi adegium berikut “ Inggirih bakarek kuku Panakiak pisau sirauik Ambiak paukie batuang tuo Tuo elok lantai Nagari baampek suku Suku babuah paruik Kampuang batuo Rumah ba tungganai
Dari kata bijak di atas dapat diambil satu petunjuk bahwa di dalam sebuah kesatuan rumah tangga dalam masyarakat Minangkabau akan dipimpim oleh seorang mamak atau tungganai, yaitu seorang lakilaki dewasa yang tertua di satu rumah tangga (rumah gadang). Laki-laki ini bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan di dalam satu rumah tangga. Begitu juga di dalam sebuah kampung ada pemimpinnya, yaitu tua kampung (tuo). Tungganai atau mamak rumah merupakan pemimpin terendah yang dikenal di dalam tatanan masyarakat tradisional Minang kabau. Selanjutnya adalah tua Kampung (tuo) yang memimpin sebuah kampung yang pada dasarnya identik dengan sebuah suku. Oleh karena Tua Kampung juga sering disamakan dengan tetua suku (urang tuo).Urang tuo ini biasanya merupakan semacam mitra kerja dari seorang penghulu karena pada dasarnya mereka terdiri dari orang yang sudah berumur dan banyak mempunyai pengetahuan tentang sejarah suku dan sejarah kampung. Dengan demikian “urang tuo” dapat dianggap sebagai penasehat dari seorang penghulu apabila mereka ingin memutuskan suatu persoalan tertentu. Dalam masyarakat Minangkabau selain tungganai dan urang tuo ada berbagai pemimpin yang lain, mereka adalah pangulu/panghulu, labai/lebai dan dubalang/hulubalang. Pangulu merupakan pemimpin dari sebuah kaum atau suku yang diangkat berdasarkan pertimbangan dan 55 | P a g e
criteria yang khusus. Seorang pangulu akan menyandang gelar datuk. Dibelakang nama datuk juga akan ditambahkan dengan gelar tertentu yang melambangkan kebesaran suatu kaum. Seorang datauk akan memerintah kaumnya berdasarkan aturan tertentu yang sudah digariskan oleh adat. Mereka akan memiliki sejumlah kewajiban terhadap anggota kaumnya yang sering disebut sebagai kemenakan. Sebagai seorang pemimpin dia harus bersifat bijaksana dan memiliki pertimbangan yang dalam ketika hendak memutuskan suatu perkara. Dalam menjalankan tugasnya seorang datuk juga harus mempunyai berbagai pantangan untuk menjaga agar kepemimpinannya berjalan dengan baik. Seorang datuk atau penghulu tidak diperbolehkan berkata kasar dank eras kepada orang laian atau anggota kaumnya sendiri. Dia juga tidak diperbolehkan memikul beban yang berat di kepala atau pundaknya. Tidak boleh memanjat pohon,tidak boleh berlari-lari,tidak boleh bergelantungan dan tidak duduk dan makan sembarangan. Pendek kata seorang penghulu harus punya etika dan sopan santun yang menggambarkan keluhuran budi dan akhlaknya. Mereka adalah panutan bagi orang banyak dan setiap gerak geriknya adalah tauladan yang harus dipedomani. Seorang penghulu atau datuk disamping memiliki banyak pantangan dan larangan, mereka juga memiliki pakaian khusus yang pada dasarnya melambangkan kebesaran dan keluhuran budinya. Setiap bagian dari pakaian seorang penghulu mempunyai makna yang harus diketahui dan dipatuhi oleh si pemakainya. Salah satu bagian yang cukup penting yang harus diperhatikan oleh seorang penghulu adalah pakainya tidak memiliki saku atau kantong untuk menyimpan sesutau yang berharga, seperti uang atau emas. Hal ini harus dipahami betul oleh seorang penghulu atau 56 | P a g e
datuk karena ini mengandung makna yang dalam dan bersifat simbolis. Saku adalah lambang dari kekayaan atau uang. Setiap penghulu atau datuk dalam menjalankan kepemimpinanya haruslah bersifat tulus dan tidak mengharapkan sesuatu balasan materi dari kemenakan atau orang yang dipimpinnya. Kalau hal ini dilanggar dapat menurunkan kewibawaannya dan penghulu seolah-olah menjadi orang yang diupah. Dengan demikian sifat ikhlas dan sukarelanya menjadi hilang. Tidak hanya dalam pantangan dan pakaian saja seorang penghulu diatur oleh adat. Dalam banyak hal mereka juga mempunyai aturan yang sangat ketat. Dalam hal duduk dan berdiri seorang penghulu juga punya aturan. Begitu juga dalam hal makan dan minum seorang penghulu juga punya aturan. Demikian banyaknya aturan, pantangan dan larangan yang harus dipatuhi seorang penghulu menjadikan beban tugas dan beban social yang harus ditanggungnya menjadi berat. Bak kata pepatah orang Minangkabau “beban berat singgulung batu”. Dalam menjalankan tugas seorang penghulu dia dibantu oleh seorang wakil yang biasa disebut panungkek. Panungkek mempunyai tugas apabila seorang penghulu berhalangan, Halangan ini bisa bersifat sementara dan bisa bersifat lama. Bersifat sementara seperti kalau seorang penghulu sakit atau tidak berada ditempat, maka seorang penghulu akan melimpahkan kewenanganya kepada sang panungkek atau wakil. Kalau bersifat lama umpanya kalau sang penghulu bermukim di daerah lain yang jauh, tugas penghulu sehari-hari akan dilaksanakan oleh sang panungkek atau wakil. Tentu saja tidak semua tugas bisa dilimpahkan, terutama menyangkut hal yang sangat prinsipil ,seperti menyangkut perkara harta pusaka dengan pihak lain. Disamping dibantu oleh seorang wakil atau panungkek, seorang penghulu dalam bidang keagamaan juga didampingi
oleh seorang labia (lebai) dan seorang pakiah (fakih). Lebai dan fakih merupakan suluh bendang dalam kaum yang bertugas member pencerahan dalam bidang keagamaan. Jika di dalam suatu kaum terjadi peristiwa kematian, maka lebai dan fakih akan bertanggung jawab terhadap semua proses penyelenggaraan jenazah mulai dari memandikan jenazah, mengafani,menguburkan dan sampai kepada penyelenggaraan upacara-upacara kematian yang biasanya masih dilaksanakan di sebagian kampung. Hulubalang atau dubalang adalah seorang yang bertugas membantu seorang penghulu dalam hal keamanan kampung. Kalau terjadi keributan atau keramaian maka hulubalang harus bisa mengatasinya agar keributan itu jangan sampai mengganggu ketenteraman masyarakat. Karena tugasnya berhubungan dengan masalah keamanan, maka seorang hulubalang biasanya diangkat dari orang memiliki keberanian atau memiliki kepandaian dalam bidang bela diri. Dari paparan yang disampaikan di atas,dapat dilihat bahwa pada dasarnya suatu kaum atau suatu suku merupakan suatu kesatuan yang sangat mendasar dan juga merupakan sumber dari semua kemajuan yang ada di dalam masyarakat. Semua unsur yang terlibat dalam suku ini merupakan sumber dari segala ketertiban yang ada di dalam suatu nagari. Walau pun ada jenis peminpin yang lain, seperti wali nagari beserta perangkat-perangkatnya, tidak banyak membawa pengaruh di dalam masyarkat. Mereka lebih banyak berperan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah dibandingkan dengan fungsi dan perannya di dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini masalah pemimpin yang berbasis dari kekuasaan pemerintahan ini tidak akan dibahas lebih lanjut.
V.
Perubahan Ekologi
K
alau dirujuk semenjak zaman antah berantah ketika gunung Marapi sebesar telur itik, ketika air mulai menyentak turun dan gunung menyentak naik, ketika manusia ranah bundo ini baru mulai berkembang, banyak perubahan yang terjadi. Ketika itu penduduk masih sedikit, belum banyak lahan yang digarap. Pada masa itu beredarlah cerita-cerita tentang perjuangan dan usaha keras dari nenek moyang orang Minangkabau bagaimana mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Dari zaman itu cerita kemudian berkembang kepada kisah penyebaran orang Minangkabau dan terbentuknya luhak-luhak dan daerah perantauan serta terbentuknya kerajaan di Pagaruyung, sampai pula kepada datangnya penjajahan Belanda dan jJepang, serta zaman kemerdekaan, telah banyak perubahan yang terjadi. Dikatakan perubahan karena apa yang ada dahulu tidak lagi dijumpai pada masa sekarang. Apa yang dilakukan oleh nenek moyang orang Minangkabau masa itu, sudah tidak lagi dilakukan oleh para penerus dan pewarisnya. Ini adalah suatu fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri, walaupun kebanyakan orang di Minang kabau ini tidak terbiasa menuliskan sejarahnya. Mereka hanya bisa bercerita dan bertutur dari mulut ke mulut. Tentu saja apa yang dituturkan sudah tidak lagi lengkap karena sudah tidak banyak lagi yang bisa diingat, dan sebagian sudah hilang bersamaan dengan meninggalnya sang penutur. Jadi apa yang ditulis di sini hanyalah berupa penggalan-penggalan yang tidak lagi utuh. Daerah Minangkabau pada dasarnya merupakan suatu daerah yang dijumpai banyak gunung dan daerah perbukitan. Dengan demikian dari segi topografi, negeri orang Minangkabau dilintasi oleh Bukit Barisan yang seolah-olah 57 | P a g e
menjadi tulang punggung dari negeri ini, yang memanjang dari utara ke selatan. Luas daerahnya kira-kira 42.000 kilometer persegi, yang terdiri dari dataran tinggi dan dataran rendah di dekat pantai yang sempit menghadap ke Samudera Hindia (Naim, 1984:14). Dataran tingginya bergunung-gu nung dengan tujuh buah puncak gunung berapi berjajar dari Utara ke Selatan, yang kebayakan masih aktif. Darah ini kebanyakan ditutupi oleh rimba hujan (torrential rain forest) dengan lembah dan ngarai yang curam dan elevasi yang menanjak. Di sana-sini terhampar dataran tinggi yang subur yang cocok daerah persawahan dan bercocok tanam palawija. Daerah ini disebut juga sebagai jantungnya Minangkabau. Daerah ini terbagi atas tiga luhak; Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Koto.. sebelum terjadinya perluasan daerah Minagkabau ke daerah dataran rendah, setiap luhak mempunyai tanah rantau yang berse belahan. Luhak Agam mempunyai rantau yang disebut dengan rantau Pasaman yang terletak di sebelah Utaranya. Luhak Tanah Datar memiliki rantau Solok yang berada di sebelah Selatannya. Begitu juga Luhak Lima Puluh Koto mempunyai daerah rantau ke daerah Kampar di sebelah Timurnya (Ibid). Dengan topografi yang bergununggunung yang diiringi dengan lembah yang terjal, menurut perhitungan sebayak 2/3 dari daerah ini tidak bisa diolah dan dihuni. Hanya sekitar 1/3 dari seluruh wilayah yang layak dan bisa diolah dah dihuni. Dari kenyataan tersebut, secara ekologis daerah Minangkabau merupakan suatu daerah cukup sempit, namun banyak ditemui panorama yang indah. Tidak banyak tanah yang bisa dijadikan lahan pertanian dan untuk dijadikan tempat pemukiman. Namun sebaliknya dari segi jumlah penduduk terus mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Menurut data yang ada, menurut sensus yang dilakukan oleh penjajah Belanda pada 58 | P a g e
tahun 1930 jumlah orang Minangkabau berkisar sekitar 1.717.031 jiwa, ini merupakan jumlah orang Minangkabau yang masih bermukim di daerah asalnya (tidak termasuk yang merantau). Kemudian menurut data statistik tahun 1971 jumlah orang Minangkabau yang ada di Sumatera Barat berjumlah sekitar 2.788.388 jiwa. Berdasarkan perkiraan pada saat sekarang diperkirakan jumlah penduduk Sumatera Barat yang berasal dari suku bangsa Minangkabau lebih dari 4.500.000 jiwa. Dengan demikian kelihatan angka tersebut sangat signifikan dan dapat membawa dampak yang serius terhadap kehidupan sosial dan budayanya. Terutama hal seperti ini juga dapat membawa akibat terhadap pola kepemimpinan yang ada, khususnya kepemimpinan yang bersifat tradisional seperti kepemimpinan suku. Kepimpinan di dalam masyarakat tradisional dapat dimungkinkan berjalan dengan baik karena disokong oleh tersedianya tanah pertanian yang cukup luas. Dalam masyarakat tradisional tumpuan ekonominya berbasis kepada tersedianya lahan pertanian. Aktifitas pertanian yang baik, akan menghasil produk yang baik dan berlimpah. Dengan adanya limpahan dari hasil pertanian, anggota masyarakat dapat minikmati surplus yang ada. Surplus hasil pertanian ini memungkinkan orang yang tidak terlibat langsung dengan pertanian juga akan dapat menikmatinya. Artinya, surplus hasil pertanian memungkinkan sebagian orang untuk melakukan aktifitas lain. Salah satunya aktifitas itu adalah dimungkinkannya kepemimpinan yang ada di dalam masyarakat itu dapat berlangsung melalui semacam upeti yang harus dibayarkan kepada penguasa. Di dalam masyarakat tradisional seperti masyarakat Minangkabau hal yang semacam ini dapat ditemukan. Penghulu sebagai pemimpin dari suatu kelompok masyarakat yang disebut dengan sebutan kaum atau suku, dapat menjalankan tugas
karena ada semacam asuransi trasional yang menopong kekuasaannya. Seorang penghula yang diangkat oleh sebuah kaum tidak saja akan dituntut untuk melakukan tugasnya sebagai seorang pemimpin, tetapi mereka juga akan diberikan suatu asuransi berupa sebidang lahan pertanian, yang biasanya berupa sawah dan ladang. Walaupun sawah dan ladang ini seringkali tidak digarap sendiri oleh sang penghulu, tetapi hasilnya diperuntukan bagi mereka. Sawah dan ladang yang dikuasai oleh penghulu biasanya disebut sebagai tanah kagadangan atau tanah abuan. Tanah ini hanya boleh dikuasai selama sang penghulu menjabat. Kalau penghulu yang bersangkutan meninggal dunia atau mereka mengundurkan diri sebagai penghulu, maka sawah atau ladang ini harus dikembalikan kepada kaum atau suku. Sealajutnya tanah atau lahan ini akan dikuasai oleh penghulu yang baru. Bagi kaum atau suku tertentu yang banyak punya kekayaan, asuransi berupa tanah ini tidak hanya diberikan kepada penghulu saja, tetapi juga kepada para pembantunya, seperti; lebai, fakih dan dubalang. Namun kebanyakan hanya kepada penghulu saja. Akibat semakin berkembangnya penduduk, tentusaja akan membawa pengaruh terhadap tersedianya makanan dan perumahan. Dalam masyarkat Minangkabau harta kekayaan kaum beruapa sawah dan ladang adalah milik komunal atau milik bersama yang disebut juga dengan tanah ulayat kaum. Semua anggota kaum yang ada berhak menikmati harta tersebut, baik sudah ada maupun anggota dari kaum yang akan lahir nanti. Dengan demikian, jika anggota kaum bertambah, maka tanah pertanian yang ada harus dibagi atau dipecah supaya semua anggota bisa diberi makan. Disamping itu mereka harus diberikan tanah perumahan. Seabagai akibatnya, lahan atau tanah yang tadinya luas semakin hari akan terasa semakin sempit karena harus menopang
kehidupan anggota suku yang semakin banyak. Lahan pertanian yang tadinya terasa luas, semakin hari akan terasa semakin sempit, tidak saja karena terus dipecah, tetapi sebagian sudah berubah fungsi menjadi tanah perumahan. Di pihak lain, pada beberapa dasa warsa ini, banyak ditemukan kasus terjadi pemindahan hak atas tanah. Baik terjadi karena proses pagang gadai atau diperjualbelikan kepada pihak lain di luar sukunya, atau mungkin saja juga kepada orang lain di luar daerahnya sendiri. Sebagian ada yang harus diserahkan secara terpaksa karena menyangkut proyekproyek pemerintah untuk membangun fasilitas jalan dan sekolah atau kantor-kantor instansi tertentu, tetapi sebaliknya justru diperjualbelikan kepada pihak pengusaha untuk dijadikan bangunan sebagai sarana bisnis. Sebagai akibatnya tanah yangsudah sempit akibat terjadinya pemecahan antara anggota kaum akan terasa semakin sempit karena telah diperjualbelkikan. Dalam proses pemindahan hak atau jual beli tanah ini tidak saja menyangkut dengan tanah-tanah yang dikuasai oleh keluarga-keluarga luas yang ada di dalam kaum itu, tetapi juga telah melebar kepada tanah yang dikuasai oleh penghulu. Pada dasarnya tanah itu hanya lah berupa tanah atau lahan yang berstatus sebagai hak pakai bagi penghulu yang bersangkutan, kenyataannya ada sebagian dari oknum penghulu itu yang merasa hal itu sebagai hak miliknya. Karena sudah merasa sebagai hak milik, maka tanah ini kemudian dijual atau digadaikan kekapa pihak lain di luar kaumnya. Akibat dari proses jual beli dan pagang gadai ini akan cenderung membuat kehidupan ekonomi suatu kaum menjadi semakin berkurang. Tanah yang tadinya berupa lahan pertanian yang hijau kemudian berubah menjadi bangunan atau tiang-tiang beton yang menjulang tinggi. Kalau dilihat dari luas daerah Minangkabau yang masuk Propinsi 59 | P a g e
Sumatera Barat yang hanya berkisar sekitar 42.000 kilometer persegi dan hanya sekitar 1/3 nya yang bisa untuk diolah dan didiami, maka hanya sekitar 15.000 kilometer persegi saja tanah di daerah ini yang dianggap sebagai lahan yang bisa diolah. Kalau jumlah penduduk Minangakabau berjumlah sekitar 4.5 juta jiwa, maka untuk 1,5 kilometer persegi akan dihuni oleh 4.500 jiwa. Ini merupakan jumlah yang cukup padat untuk daerah yang baru berkembang. Keadaan seperti yang dilukiskan di atas tentu saja akan membawa dampak yang tidak sedikit kedalam masalah social dan budaya masyarakat Minangkabau, tidak saja pada saat ini,tetapi juga pada masa datang. Dampak yang paling jelas adalah kepada mata pencaharian penduduk yang secara trasional berbasis kepada pertanian dan juga kepada aspek lain seperti kepada aspek kepemimpinan trasional yang pada dasarnya dari awal sejarahnya disokong oleh ketersedian tanah pertanian. VI. Peran Kepemimpinan Perubahan Ekologi.
K
dan
epemimpinan dalam masyarkat Minangkabau dikenal dengan sebutan “tali tiga sepilin, tungku tiga sejarangan”. Mereka adalah penghulu (ninik mamak), urang tuo (cerdik pandai), dan alim ulama (lebai dan fakih). Pemimpin ini dalam sebuah nagari merupakan himpunan dari pemimpin suku atau kaum yang ada di dalam sebuah nagari. Mereka bersqatu membentuk satu majelis yang nanti akan menentukan berjalannya pemerintahan di sebuah nagari. Baik buruk dan maju mundurnya sebuah nagari sang tergantung pada kebijakan yang mereka buat. Oleh karena itu peranan mereka sebagai motivator dan eksekutor meduduki tempat yang sangat strategis. Berbicara tentang peranan mau tidak mau, tidak dapat dilepaskan dari status yang mereka sandang. Dalam sebuah suku, terutama, mereka berstatus sebagai 60 | P a g e
pemimpin. Mereka secara resmi diangkat dan diberhentikan oleh anggota kaumnya. Meraka tidak bisa berbuat semena-mena menurut kehendak hatinya, tetapi mereka harus menjalankan perannya sebagaimna yang sudah digariskan di dalam aturan adat. Berjalan lurus berkata benar itulah yang dikehendaki oleh adat.Meraka dalam menjalankan perannya diawasi oleh orang banyak. Siang bersuluh matahari dan bergelanggang mata orang banyak. Dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin, jika terjadi penyim pangan, para pemimpin akan mendapat teguran dari kaumnya. Jika penyimpangan kemudian ternyata sudah tidak dapat lagi ditoleransi, mereka bisa dipanggil kedalam permusyawaratan kaum. Apabila pemimpin yang menyimpang di dalam majelis itu tidak mau untuk merubah kesalahan yang mereka perbuat, mereka dapat perhentikan dengan tidak hormat. Artinya, yang berbuat kesalahan dan telah mencoreng nama baik kaum akan diturunkan dari pangkatnya. Kalau dirujuk kembali keatas, seorang pemimpim, seperti; penghulu, lebai dan orang tua kaum dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin, mereka tidak menerima gaji seperti halo rang yang bekerja di sebuah perusahaan atau instansi pemerintah. Dengan status yang mereka sandang, pada dasarnya ada sumbersumber pendapatan yang mereka peroleh. Secara resmi idealnya menurut kebiasaan dan aturan dari adat, para pemimpin yang diangkat dan diberhentikan oleh sebuah kaum, dalam menjalakan tugas dan perannya, akan memperoleh sumber kehidupan yang dapat membantu meringankan usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Biasanya mereka akan diberikan sebidang ntanah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan. Tanah ini biasanya akan diolah dengan dibantu oleh orang suruhan dari penghulu, lebai atau orang tua kaum. Hasilnya dari tanah pertanian
kemudian diserahkan kepada yang bersangkutan. Dalam tulisan ini, supaya pembahasan yang dilakukan tidak terlalu melebar, selanjutnya akan difokuskan kepada peranan dari seorang penghulu dalam memimpimpin suatu kaum, sedangkan peranan dari pemimpin kaum lainnya, seprti lebai dan urang tua kaum di kesampingkan dulu. Hal ini dilakukan supaya pembahasan akan lebih terarah dan tidak lari kemana-mana. Di dalam masyarakat Minangkabau. Peran penghulu sebagai pemimpim menduduki posisi yang sangat sentral sekali. Pemnhulu merupakan pucuk pimpinan di dalam sebuah kaum atau suku. Penghulu adalah orang terbaik yang dipilih berdasarkan alur dan kepatutan. Menurut alur artinya mereka memang berada di dalam garis yang dimungkinkan oleh adat berdasarkan garis nketurunan yang ada dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku di dalam suku atau kaum yang bersangkutan. Patut artinya mereka memenuhi kriteria yang yang disyaratkan adat, yaitu; mereka adalah bertakwa dan beriman secara Islam, mulia karena meraka adalah orang yang berkecukupan secara ekonomi, dan berbudi baik karena mereka selalu menjaga nama baiknya di dalam masyarakat. Sebelum diakui secara adat sebagai seorang penghulu, seorang calon penghulu harus melewati suatu prosesi upacara pengangkatan penghulu. Didalam upacara ini, anggota kaum akan menyediakan seekor kerbau jantan yang sudah berumur cukup dewasa yang ditandai dengan warna bulunya dan bentuk tanduknya yang bagus. Kerbau ini kemudian di sembelih, dagingnya sebagian dimasak untuk menjamu tamutgamu yang datang, dan sebagian lagi dagingnya dibagikan kepada para penghulu lain yang hadir di dalam jamuan ini. Di dalam psosesi upacara ini biasanya dipinpim oleh Ketua Kerapantan Adat di nagari yang bersangkutan. Disini kemudian dibacakan
hak dan kewajiban seorang penghulu, pantangan yang harus dihindarkan dan sang penghulu kemudian disumpah dengan sumpah sati. Selesai upacara ini seorang penghulu baru diakuimoleh masyarakat dan penghulu lain sebagai pemimpin resmi dari suatu kaum atau suku. Di dalam menjalankan peran seorang penghulu sebagai pemimpin, tugasnya yang utama adalah menjaga harta pusaka kaum berupa sawah dan ladang dan menjaga anak kemenakan. Ini adalah utama yang mau tidak mau harus dijalankan oleh seorang penghulu. Kalau ternyata dia tidak menjalankan peran yang telah diamanahkan oleh anggota kaumnya, maka dia akan dimakan kutukan dari sumpah yang telah diikrarkan, dimakan kutuk kalamullah. Kenyataan apa yang dapat dilihat pada saat sekarang ini adalah banyak dari harta pusaka suatu kaum yang telah di pindah tangankan kepada pihak lain, baik kepada pribadi-pribadi tertentu atau kepada instansi pemerintah dan perusahan milik swasta. Melalui proses pemindahan tanganan ini, menyebabakan harta pusaka suatu kaum berupa tanah pertanian, baik sawah maupun ladang mulai berkurang..Menurut perkiraan dari suatu instansi pemerintah, diperkirakan lebih dari 100 hektar lahan pertanian berubah fungsi setiap tahunnya dan sebagian diantara berpindah tangan kepada pihak lain. Lahan yang yang berubah fungsi ini sebagian berubah menjadi jalan, sebagian lagi berubah menjadi bangunan, baik pabrik, ruko, maupun perumahan penduduk, termasuk di dalamnya yang di bangun oleh developer atau pengembang. Dan yang memprihatinkan, sebagian dalam proses pemindahtanganan lahan itu melibatkan peran penghulu sebagai pihak yang menyetujui, bahkan pada kasus-kasus tertentu justru pengalih fungsi lahan ini di dalangi oleh oknum dari penghulu itu sendiri. Tanah yang seharusnya hanya boleh digunakan dan diambil manfaat dari 61 | P a g e
tanah tersebut, karena tanah ini akan digilirkan kepada penghulu berikutnya, telah digadaikan atau dijual oknum penghulu yang bersangkutan. Akibat dari penyalahgunaan kekuasaan ini tentu akan dapat dilihat pada penghulu berikutnya. Dampak yang jelas secara ekologis yang dapatdilihat dari proses pemindahan fungsi dan tataguna lahan ini adalah terjadi perubahan ekologi di dalam masyarakat. Suatu daerah yang pada awal terdiri dari daerah pertanian secara perlahan berubah menjadi bangunan-bangunan baru. Bangunan ini sebagian adalah milik orang lain di luar kaum yang semula sebagai pemiliknya. Dampak secara social dapat lebih parah akibatnya dibandingkan dari dampak perubahan ekologinya. Secara sosial akibat terjadinya pengalihan fungsi lahan dan pemindahtanganan ini dapat bergesernya peran-peran lembaga tradisonal yang ada, baik ini terjadi secara langsung atau tidak langsung Akibat secara langsung yang dapat dirasakan tentu saja pada perubahan sumber mata pencaharian penduduk dari anggota kaum yang bersangkutan. Akibat tanah atau lahan pertanian sudah dijual, anggota kaum yang bersangkutan akan kehilangan mata pencahariannyan dari tanah yang bersangkutan, Dengan demikian jika mereka masih ingin bertani, maka mmereka harus menyewa tanah pertanian orang lain, Jika tidak mau tidak mau mereka harus memncari sumber ekonomim lainnya, seperti menjadi buruh tani atau melakukan aktifitas perdagangan. Hal ini berarti juga kehidupan yang tadinya bersifat mandiri berubah menjadi tergantung dengan pihak lain. Ketergantungan sumber ekonomi dari anggota suatu keum kepda sumbersumber ekonomi yang tadi berbasis kepada pertanian ke bidang lain juga selajutnya membawa pengaruh tidak saja kepada kehidupan anggota kaum itu sendiri, tetapi juga kepada hubungan antara anggota 62 | P a g e
kaum dan peranan yang di sandang oleh penghulu sebagai pemimpin. Pada sisi anggota kaum atau kemenakan dari seorang penghulu, dipindahtangankannya tanah kepada orang lain, dapat menyebabkan terjadinya perpindahan sebagian anggota kaum ke daerah lain. Mereka terpaksa harus mencari pekerjaan yang jarak seringkali jauh. Dengan demikian hubungannya dengan penghulu sebagai pemimpin mereka menjadi renggang. Pada sisi penghulu, untuk menjalankan perannya sebagai pemimpin akan semakin sulit untuk dilaksanakan. Keselitan ini tidak saja dalam hubungan dengan masalah sumber ekonomi yang digeluti oleh anggota kaum yang dipimpin, yang tidak lagi berbasis tanah pusaka, tetapi juga akibat jarak yang jauh. Ketiadaan harapan akan harta pusaka di kampung asal menyebabkan penghormatan dan ketergantungan seorang anggota sebuah kaum terhadap penghulu menjadi berkurang. Meraka tiap hari tidak lagi merasa diawasi oleh penghulu yang bersangkutann dan mereka juga tidak banyak berurusan lagi dengan penghulu dalam mendiskusikan kehidupannya. Peranperan yang selama ini dipegang oleh penghulu, dapat digantikan oleh lembaga lain yang didirikan pemerintah. Mendidik kemenakan tidak lagi merupakan salah satu peranan yang harus dijalankan penghulu, karena sekarang sudah tersedia sekolahsekolah yang dapat mengajarkan berbagai kepandaian. Penghulu tidak lagi berperan sebagai orang yang bertangung jawab terhadap kehidupan ekonomi kemenakan sebagai anggota dari suatu kaum, karena kemenakan tidak lagi bergantung kepada tanah pusaka. Tanah pusaka sudah menjadi milik orang lain yang tidak dapat lagi menjadi sumber nafkah bagi kehidupan anggota kaum mereka. Untuk generasi kepemimpinan Minagkabau selajutnya, seperti apa yang
bisa diamati oleh banyak orang, bahkan oleh orang yang mengaku awam tentang masalah kepemimpinan di Ranah Minangkabau ini, banyak penghulu yang mengalami kesulitan dalam menjalankan perannya di tengah masyarakat, maupun di tengah anggota kaumnya sendiri.Tanah pusaka yang awalnya tersedia sebagai asuransi guna menunjang peran yang harus dijalankan, kini sudah habis terjual oleh pendahulunya. Anak kemenakan yang harus dibina sudah tidak lagi berada di kampung halaman. Mereka sudah nbanyak berpindah kedaerah lain, karena sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan di kampungh sendiri. Dengan demikian menjadi penghulu pada saat sekarang di Minagkabau sepertinya akan sering menjadi sebuah dilemma. Pada satu sisi, sebuah kaum di haruskan untuk memiliki penghulu, karena dia yang akan diajak untuk bermusyawarah di nagari. Pada sisi lain, menjadi penghulu harus rela untuk hidup susah, karena sudah tidak ada lagi asuransi sosial berupa tanah kagadangan yang akan dapat membantu meringankan beban ekonomi sang penghulu dalam menghidupi keluarganya sendiri. Akhirnya harus rela untuk melanggar semua sumpah satinya, melanggar semua pantangan yang sudah diucapkan dan melanggar semua janji-janji kepada kemenakan bahwa mereka akan menimbang sama berat, mengukur sama panjang, senteng membilai dan kurang menambah. Sekarang apalagi yang bisa dibilai, dan apa yang bisa ditambah kalau perannya sebagai pemimpin sudah tidak bisa berjalan. Sekarang banyak para penghulu sudah tidak bisa menjalankan perannya sebagai orang yang didahulukan selangkah dan ditingikan seranting akibat dari tindakan dari penghulu pendahulunya. Bahkan penulis melansir hal yang sebaliknyan, banyak dari oknum penghulu
masa sekarang yang justru harus dibilai dan harus ditukuk karena banyak yang merasa kekurangan. VII.
Penutup.
D
ari apa yang dipaparkan di atas, menunjukkan semacam kekawatiran dari penulis dari apa yang dilihat dan apa yang dirasakan. Akibat dari semakin berkurangnya luas harta pusaka yang dimiliki oeh sebuah kaum atau suku di Minangkabau . Kekurangan ini tidak saja disebabkan karena ada oknum-oknum di dalam sebuah kaum yang menjual dan mengadaikan, tetapi juga disokong oleh oknum dari penghulu yang bersangkutan, Secara ideal harta pusaka tidak boleh dijual dan digadaikan, namun kenyataannya berbeda sekali, karena banyak harta pusaka yang sudah terjual. Penyebabnya yang utama adalah ada keterlibatan dari penghulu, yaitu orang yang seharus berperan sebagai penjaga dan pelindungnya. Artinya, peran yang dijalankan sekarang lebih banyak bertolak belakang dengan yang seharusnya mereka lakukan. Kekuasaan dan kewibawaan yang dibangun oleh nenek moyang orang Minangkabau selama berabad-abad mulai goyah dan pudar. Penghulu tidak lagi menjadi orang yang ditakuti dan disegani. Rasionalitas masyarakat sudah berkembang dan tidak lagi mau dikungkung oleh mitos kekuasaan irrasional (irrational authority). Oleh karena itu ada benarnya apa yang katakana oleh Fromm (dalam Dananjaya, 1988;78) bahwa orang berfungsi di dalam masyarakat harus menyesuikan diri dengan peran masyarakat mereka, namun untuk itu dia harus membayar mahal, karena harus menyerahkan sebagian dari kemaunnya sendiri, keaslian dan spontanitasnya.
63 | P a g e
Daftar Bacaan Danandjya. James. 1988. Antropologi Psikologi, Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta, Rajawali Press. De Josselin de Jong,P.E. 1960. Minangkabau and Negeri Sembilan. Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta. Bhratara. Esmara, H dan Sjahruddin. 1972. Penduduk Sumatera Barat. Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masjarakat. Padang. Fekon Unand. Geertz, C.1968. Agriculture Involution, Barkeley. Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Orang Minagkabau. Yogyakarta, Penerbit Gadjah Mada Unversity Press.
64 | P a g e