KEPEMIMPINAN ASTA BRATA, DALAM DIMENSI KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTUR DI ERA GLOBALISASI Oleh I Ketut Suda Guru Besar Sosiologi Pendidikan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni Universitas Hindu Indonesia Abstrak Artikel ini membahas tentang kepemimpinan asta brata dalam dimensi kehidupan masyarakat yang multikultur di era globalisasi, dengan maksud untuk memberikan pegangan umum kepada para pemimpin, dalam menjalankan kepemimpinannya, sehingga dapat mewujudkan harmonisasi kehidupan beragama, dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Artikel ini membahas tiga masalah pokok yakni (1) Mengapakah harmonisasi kehidupan antar umat beragama di Indonesia akhir-akhir ini sering terusik padahal secara normatif toleransi kehidupan beragama secara tegas telah diatur dalam UUD 1945? (2) Bagaimanakah dinamika kehidupan beragama di Indonesia yang sangat multikultur di tengah dunia yang semakin mengglobal? (3) Apakah sifat-sifat kepemimpinan asta berata dapat menanggulangi konflik kehidupan antar umat beragama di Indonesia? Berdasarkan hasil kajian ini diketahui bahwa meskipun secara normatif toleransi kehidupan bergama di Indonesia telah diatur secara tegas dalam UUD 1945, yakni pasal 29, yang kemudian diejawanrahkan oleh pemerintah ke dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan No 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Namun, dalam kenyataannya di Indonesia akhir-akhir ini sering terjadi benturan kehidupan antar umat beragama, bahkan hampir membawa bangsa ini kejurang perecahan. Selain itu, diketahui pula bahwa pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia dewasa ini belum mampu membangun kesadaran, menggugah nurani, dan membangun sikap spiritual individu dalam keseharian. Oleh karena itu dalam realitasnya sering terjadi tindak kekerasan antar umat beragama dengan mengatasnamakan agama. Untuk menanggulangi hal tersebut konsep kepemimpinan asta brata, sesungguhnya bisa dijadikan pegangan sehingga konflik antar umat beragama di Indonesia setidaknya dapat diminimalisir. Akan tetapi dalam praktiknya sangat sulit mencari pemimpin yang benarbenar mampu menerapkan konsep kepemimpinan asta brata dalam menjalankan kepemimpinannya. Kata-Kata Kunci: harmonisasi, kehidupan beragama, kepemimpinan Asta Brata
I. Pendahuluan
Kepemimpinan asta brata sebagaimana dikatakan dalam Manavadharmasastra yang sering juga disebut Vedasmerti menegaskan bahwa perilaku seorang pemimpin hendaknya seperti perilaku para Deva. Adapun ajaran tersebut dimuat dalam sloka IX.303, yang menyatakan: ‘‘Idrasya arkasya vayosca yamasya varunasya ca, Candrasya agneh prthivvyasca tejo vrtam nrpascaret’’ Artinya: Hendaknya seorang pemimpin berbuat seperti perilaku Deva Indra, Surya, Vayu, Yama, Varuna, Candra, Agni, dan Prthivi.
Jika delapan sikap dan sifat kepemimpinan yang tertuang dalam ajaran asta brata ini benar-benar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata oleh para pemimpin di negeri ini, tentu negara Indonesia yang secara faktual, terdiri atas beraneka ragam suku bangsa, agama, dan adat istiadat akan dapat hidup berdampingan secara harmonis dan saling menghormati satu sama lain. Namun, dalam kenyataannya banyak tokoh agama di negeri ini yang terjebak pada sikap ‘pundamentalisme’ dan eksklusifisme, sehingga sedikit saja mengalami gesekan dengan mudah dapat tersambar oleh api emosi dan sensitivitas keagamaan dapat bermuara pada tindakan anarkhis. Keberadaan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk (multikultur), dalam hal agama, suku bangsa, dan
adat-istadat merupakan sebuah realitas yang tidak dapat
dipungkiri. Terhadap fenomena ini, seorang sosiolog Amerika Serikat Hildred Geertz, (dalam Ismail, 2002:229) secara tegas menggambarkan bahwa, di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda dengan identitas budayanya masingmasing dan lebih dari 250 bahasa daerah dipakai di antara mereka. Berangkat dari kenyataan ini Geertz membangun sebuah pemahaman baru bahwa konsep kemajemukan
tersebut bermula dari konsep furnival, yakni sebuah konsep kemajemukan yang dipahami sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang berdiri sendiri tanpa ikatan kesatuan politik. Mencermati agama-agama yang berkembang di Indonesia dengan latar belakang kelahirannya masing-masing, seharusnya membuat siapapun orang Indonesia mampu hidup bersama dengan sikap kebersamaan dan rasa persaudaraan yang tinggi, dan saling menghormati satu sama lain. Boleh setiap orang menganut aliran kepercayaan atau agama yang berbeda satu sama lain, akan tetapi pada realitasnya mereka menyembah satu kekuatan di luar dirinya yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, setiap agama sebaiknya tidak secara eksklusif
mengklaim hanya agamanya paling sejati
berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanya konstruksi manusia berdasarkan akal sehat. Untuk menangkal jangan sampai hal ini menjadi benih bagi terbentuknya sikap pundamentalisme dan eksklusifisme dalam bidang keagamaan, yang dapat bermuara pada konflik horizontal antar umat beragama di Indonesia, maka perlu ada keteladanan dan pemberian pemahaman oleh pemimpin agama mengenai hakikat keagamaan dan sifat
kepemimpinan yang perlu dicontoh kepada umatnya masing-masing. Terkait
dengan hal tersebut dalam pandangan Hindu terdapat suatu ajaran yang sarat dengan nilai-nilai kepemimpinan yang tertuang dalam ajaran ‘’Asta Brata’’. Namun, dalam kenyataannya dewasa ini sangat sulit mencari pemimpin yang benar-benar mampu menghayati, apalagi mengamalkan kedelapan sifat kepemimpinan Hindu yang tertuang dalam konsep kepemimpinan Asta Brata, yang mungkin dapat diaplikasikan dalam konteks toleransi kehidupan beragama. Jika kedelapan sifat kepemimpinan ini dapat diresapi dan diaplikasikan oleh setiap pemimpin dalam kehidupannya sehari-hari, maka sentiment keagamaan yang dimiliki oleh masing-masing individu tidak mudah terprovokasi ke arah konflik horizontal yang berlatarkan agama,
yang belakangan ini sering menimpa kehidupan umat beragama di negeri ini. Dalam realitasnya banyak pemimpin sekarang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan golongannya, sehingga tidak mampu memberikan rasa keadilan pada semua golongan, agama, etnisitas, dan suku bangsa yang ada di tanah air. Akibatnya, akhir-akhir ini sering terjadi ketegangan antar pemeluk agama yang ada, yang acap kali bermuara pada tindakan kekerasan, yang dapat membawa kerugian bagi persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Jika saja kepemimpinan Hindu yang disebut Asta Brata ini dapat dijalankan dengan baik dan benar, niscaya di negeri ini akan terwujud apa yang disebut masyarakat madani yang adil dan makmur. Dengan mengacu pada latar belakang masalah di atas maka dalam kajian ini ada beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan antara lain: 1. Mengapakah harmonisasi kehidupan antar umat beragama di Indonesia akhirakhir ini sering terusik padahal secara normatif toleransi kehidupan beragama secara tegas telah diatur dalam UUD 1945 ? 2. Bagaimanakah dinamika kehidupan beragama di Indonesia, yang sangat multikultur di tengah dunia yang semakin mengglobal dewasa ini? 3. Bagaimanakah implementasi kepemimpinan asta berata dalam kehidupan beragama di Indonesia?
II. Pembahasan A. Analisis terhadap Beberapa Faktor Penyebab Terjadinya Intoleransi dalam Kehidupan Beragama di Indonesia Meskipun Secara Normatif Telah Diatur dalam UUD 1945
Meskipun secara normatif kehidupan beragama di Indonesia telah diatur dengan tegas dalam pasal 29 UUD 1945. Namun, dalam kenyataanya banyak terjadi gesekan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan mengatasnamakan
agama. Padahal pasal 29 ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan ayat (2)-nya menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya masing-masing dan
beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu. Apa yang
diamanatkan oleh ketentuan pasal 29 UUD 1945, oleh pemerintah kemudian diejawantahkan ke dalam peraturan pemerintah pelaksana undang-undang, yakni dalam bentuk Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 9 dan No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Pasal 2 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 9 dan No.8 Tahun 2006, menegaskan bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintah daerah, dan pemerintah. Demikian juga pasal 3 (1) peraturan tersebut menegaskan bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur; sedangkan ayat (2) menyebutkan pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen agama provinsi. Selanjutnya pasal 4 (1) peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri ini menegaskan bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota. Sedangkan ayat (2) peraturan ini mengatakan pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kapala kantor departemen agama kabupaten/kota. Dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, maka masyarakat Indonesia apapun agamanya seharusnya dapat menikmati kebebasan dan
keleluasaan dalam menjalankan kehidupan beragama. Hal demikian disebabkan pemeliharaan kerukunan umat beragama secara normatif telah diberi jaminan oleh negara mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah kabupaten/kota sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tadi. Namun, dalam kenyataannya belakangan ini harmonisasi dalam kehidupan beragama di Indonesia tampak mulai terganggu, bahkan tidak jarang gesekan kecil yang terjadi menyangkut sentiment keagamaan dengan cepat dapat
menyebar
menjadi masalah besar, bahkan hamper membawa bangsa ini ke jurang perpecahan. Adanya serentetan kerusuhan yang bernuansa SARA akhir-akhir ini, seperti kasus Temanggung dan Jepara sekitar bulan april 1997, kasus Banjarmasin bulan Mei 1997, kasus Sampit tahun 1999, (Ma’arif, 2005:4) dan kasus yang paling hangat terkait dengan persoalan SARA adalah penyerangan warga Syiah di Sampang Madura, Agustus 2012, merupakan bukti nyata bahwa kerukunan hidup beragama di Indonesia mulai terusik (Bali Post, 27 Agustus 2012:1). Terhadap fenomena di atas, dapat dianalisis beberapa faktor penyebanya antara lain: pertama, tesis Derrida tentang keberadaan negara serta pengaruhnya terhadap ikatan-ikatan komunal dalam bukunya Politics of Frienship (1977) tampaknya dapat dijadikan acuan untuk menganalisis persoalan ini. Menurut Derrida bahwa masyarakat politik selalu bersifat paradoks dalam arti, setiap masyarakat politik melalui konstitusi dan undang-undang negara yang dibuat berupaya mempersatukan berbagai komunitas berbeda dalam satu kesatuan politik. Namun, di sisi lain ditariknya komunitas komunal ke dalam kesatuan masyarakat yang lebih luas, yakni negara berakibat ikatan-ikatan komunitas tradisional menjadi longgar bahkan cenderung terputus. Oleh karenanya sebuah masyarakat politik pada esensinya dapat dikatakan mempersatukan dan sekaligus juga mencerai-beraikan (Ujan dalam Sarwiji (ed.).,2009:ix).
Kedua, paradoks seperti itu, dialami dalam berbagai masyarakat politik termasuk masyarakat Indonesia. Akibat tekanan konstitusi dan hukum sebagai standar umum budaya publik, maka ikatan-ikatan tradisional yang umumnya berbasis etnoreligius pada masyarakat tradisional cenderung merenggang. Akibat lainnya, kebutuhan akan identitas serta pengakuan publik terhadap identitas masyarakat tradisional, tampaknya ikut terancam ketika kekhususan warga negara tergerus oleh perlakuan yang sama dengan mengabaikan ruang perbedaan yang sesungguhnya harus mendapat perhatian (Ujan, 2009). Berangkat dari pandangan Derrida dan Ujan di atas dapat dikembangkan sebuah pemahaman baru mengenai paradoks antara kehidupan negara dengan kehidupan komunitas tradisional yakni, ‘’ketegangan antara tuntutan komunitas akan pentingnya pengakuan identitas diri dengan tekanan negara pada kepentingan umum berpotensi menimbulkan perpecahan ketika atas nama kepentingan umum hak berbagai komunitas untuk ‘’berbeda’’ justru tidak diberikan ruang yang memadai oleh negara’’. Ketiga, pemahaman yang tidak jauh berbeda dikembangkan pula oleh tokoh kontroversial, Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remarking of World Order, (dalam Triguna, 20011:1). Dalam pandangannya itu, Huntington menegaskan bahwa setelah berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dengan Unisoviet, yang diintroduksi sebagai perang dingin babak kedua, maka semakin besar peluang terjadinya benturan peradaban dunia, termasuk dalam makna itu benturan antaragama. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan Huntington berpandangan bahwa Islam dan Konfusianisme sebagai wakil dua peradaban Timur akan berbenturan secara diametral dengan peradaban Barat, terutama peradaban dan kebijaksanaan Amerika Serikat sebagai simbol beradaban Barat.
Apa yang dikembangkan Huntington mengenai dinamika antarperadaban dan antarumat beragama yang terjadi di penghujung abad ke-20 ini, ternyata menujukan nilai kebenarannya dalam potret kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Bangsa Indonesia yang secara historis memang merupakan bangsa yang sangat multikultur, di zaman dulu terkenal memiliki sikap yang ramah, toleransi yang tinggi, dan anti pada sikap kekerasan, namun kini tampak mulai berubah. Berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA sebagaimana digambarkan dalam uraian di atas, yang melanda Indonesia membuktikan bahwa betapa bangsa Indonesia dewas ini tidak lagi menunjukan jati dirinya sebagai bangsa yang memiliki karakter dan sikap yang sangat humanis, yakni ramah-tamah, sopan-santun, bertoleransi tinggi, dan lain-lain. Akan tetapi, kini gambaran tentang romantisme kehidupan bangsa Indonesia sebagaimana digambarkan tadi tampaknya telah berubah 180%. Dimana bangsa Indonesia sekarang seakan telah menjadi bangsa yang beringas, suka akan kekerasan, dan mudah terprovokasi ke arah sentimen anti kelompok etnis dan kelompok agama sebagai manifestasi dari adanya fanatisme dan rasialisme.
B. Dinamika Kehidupan Beragama di Indonesia di Tengah Dunia yang Semakin Mengglobal Istilah Global yang kemudian lebih familiar dengan sebutan ‘’globalisasi’’ sebenarnya merupakan sebuah istilah yang bersifat ‘’massal’’. Dalam arti,
banyak
kalangan telah menjadikan globalisasi sebagai bahan diskusi di seluruh dunia, mulai dari kalangan akademsi di kampus, para elite politik di gedung DPR, sampai kalangan buruh di warung kopi dan di pinggir jalan. Namun demikian, sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara mereka dalam menafsirkan istilah globalisasi. Ada yang menyebut globalisasi sebagai pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu
keseluruhan (Robertson, 1992:8). Demikian pula Kohane dan Nye
(2000:105)
mengatakan bahwa globalisasi adalah meningkatnya jejaring interdependensi antar umat manusia pada tataran benua-benua. Sedangkan Giddens, (1990:64) menegaskan bahwa globalisasi
merupakan
intensifikasi
relasi-relasi
sosial
seluas
dunia
yang
menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga pristiwa di satu tempat ditentukan oleh prsitiwa lain yang terjadi bermil-mil dari situ dan sebaliknya. Apapun batasan yang diberikan oleh para ahli tentang globalisasi, yang menarik untuk dikaji dalam konteks ini adalah bahwa globalisasi telah memunculkan fenomena universal dalam kehidupan masyarakat yang ditandai dengan meluasnya integrasi pasar, baik di kalangan negara-negara berkembang atau negara-negara maju, maupun di antara keduanya. Akibat lanjutan dari fenomena ini adalah terjadinya perubahan perilaku masyarakat dalam hal komsumsi. Dalam arti, di era daulat pasar sekarang ini, sebagian besar masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia telah terjerat dengan apa yang disebut politik konsumsi. Politik konsumsi mengandung maksud bahwa masyarakat memaknai konsumsi sebagai ideology, dalam arti hakikat dan makna kehidupan, aktualisasi serta eksistensi diri diperoleh melalui tindakan konsumsi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kecenderungan masyarakat dewasa ini yang memaknai aktivitas konsumsi tidak sebatas menghabiskan nilai utilitas, akan tetapi dimaksudkan pula untuk mengonsumsi symbol status dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam kehidupan masyarakat sekarang muncul semboyan baru, yakni ‘’saya membeli maka saya ada’’ (Nugroho dalam Swarji, ed., 2009:2). Adanya pergerseran
pola-pola konsumsi masyarakat dari sekadar
menghabiskan nilai utilitas menuju ke pengkonsumsian nilai-nilai simbolik, ternyata berpengaruh pula terhadap kehidupan sosial-religius masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Pola kehidupan semacam ini diartikulasikan oleh masyarakat ke dalam
berbagai
bentuk perilaku antara lain: (1) Penghayatan agama dalam kehidupan
masyarakat hanya sekadar formalisme (artinya; dalam menjalani kehidupan beragama masyarakat cenderung lebih mementingkan bentuk-bentuk lahiriah dari hidup keberagamaan dibandingkan bentuk batiniahnya); (2) Penghayatan masyarakat terhadap kehidupan keagamaan juga sering hanya bersifat ritualisme (artinya, dalam menjalani kehidupan beragama masyarakat lebih mengutamakan bentuk-bentuk peribadatan dibandingkan berperilaku yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai dan norma-norma sebagaimana diajarkan oleh agama); (3) Dalam menjalankan kehidupan keagamaan sering pula muncul sikap-sikap dalam masyarakat yang hanya bersifat legalisme (dalam arti masyarakat dalam menjalani kehidupan keagamaan cenderung menganut ketaatan buta terhadap hukum-hukum agama, yakni mengaktualisasikan hukum-hukum agama dalam kehidupan praksis secara hitam-putih). Bukan hanya itu, pergeseran pola konsumsi dalam kehiduan masyarakat ternyata berdampak pula pada kehidupan moralitas masyarakat. Misalnya, dalam mengkonsumsi sesuatu banyak masyarakat yang tidak lagi mempertimbangkan apakah sesuatu itu diperoleh melalui kebenaran menurut agama atau tidak. Yang penting apapun yang mereka konsumsi dapat mendongkrak citra mereka dalam struktur sosial masyarakat pasti akan dijalani. Sementara asas kepatutan dalam konteks tindakan konsumsi tidak menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat consumer dewasa ini. Bahkan sifat konsumerisme yang berlebihan pada masyarakat dewasa ini, telah membuat orang menjadi shopacholic dalam arti orang tidak mampu hidup tanpa berbelanja. Bagi kalangan seperti ini, aktivitas berbelanja bukan lagi sekadar gaya hidup, akan tetapi sudah menjadi bagian dari belahan jiwa. Sebab buat mereka tidak ada ritual yang lebih mengasyikan selain ritual berbelanja (Harian Kompas, Minggu 16 Januari 2005).
Fenomena ini telah melanda kehidupan masyarakat, semua golongan termasuk kalangan pemimpin. Dengan demikian tidak mengherankan bila masyarakat makin tidak mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk, dan antara yang benar dengan yang salah. Selain itu, dewasa ini ada kecenderung masyarakat hanya di dorong untuk melakukan pilihan-pilihan yang ditandai oleh nilai manfaat atau kepentingan, bahkan nilai manfaat dan kepentingan sesaat. Sejalan dengan fenomena tersebut Farel Kuto (dalam Bali Post, 17 September 2012:6) mengembangkan sebuah pemahaman bahwa keagamaan masyarakat dewasa ini belum mampu membangun kesadaran, menggugah nurani, dan
membangun sikap
spiritual individu dalam keseharian. Menurutnya hal ini disebabkan adanya kesenjangan antara nilai ajaran agama dengan pemahaman para pemeluknya, adanya kesenjangan antara pendidikan agama dengan budaya damai, dan sebagainya. Meski sesungguhnya agama itu sendiri mengajarkan perdamaian, tetapi dalam kenyataannya dewasa ini agama seakan memberikan peluang atau kesempatan kepada umatnya untuk melakukan tindak kekerasan. Hal ini terbukti akhir-akhir ini banyak kasus kekerasan terjadi dalam masyarakat dengan mengatasnamakan agama. Dengan meminjam gagasan Piliang (2004:256) ketika ketidakpedulian masyarakat terhadap terkikis dan lenyapnya lapisan-lapisan moral, spiritual, dan kemanusiaan di tengah-tengah deru ekonomi kapitalisme global dewasa ini dianggap sesuatu yang tidak membahayakan, ketika keterpesoanaan, ketergiuran, dan kenikamatan hawa nafsu, yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan masyarakat konsumer, dan ketika pembunuhan tidak lagi dianggap sesuatu yang mengerikan, menakutkan, dan menyedihkan, maka menurut hemat penulis dalam kondisi masyarakat seperti ini sangat perlu dibangun dan dikembangkan pemahaman nilai-nilai agama secara lintas agama kepada para generasi penerus, sehingga kebutuhan
masyarakat akan rasa integrasi, baik secara internal maupun eksternal keagamaan dapat ditanamkan pada diri anak dari sejak dini. Salah satu caranya adalah menjadikan pendidikan agama sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama, kemudian direkonstruksi
secara komprehensif
dan dinamis dalam upaya membangun suatu
masyarakat yang bermoral dan beradab. Dalam kaitannya dengan masalah, pendidikan agama yang harus ditanamkan kepada peserta didik di bangku sekolah, seharusnya materi pendidikan agama yang universal, bukan malah pendidikan agama yang eksklusif dan dogmatis seperti yang terjadi selama ini sehingga sedikit banyak telah menyumbang dan mengabadikan konflik internal dan eksternal umat beragama di Indonesia. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa pendidikan agama yang selama ini diberikan di lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah, dinilai oleh sebagian pemerhati pendidikan telah gagal dalam membangun dan menumbuhkembangkan sikap toleransi dalam kehidupan beragama bagi peserta didiknya. Dalam hal ini berbagai pertikaian yang mengatasnamakan agama telah terjadi di berbagai daerah negeri ini dapat dijadikan bukti dari kegagalan pendidikan formal dalam membangun karakter peserta didiknya melalui pendidikan agama. Selain kegagalan pendidikan formal dalam membangun karakter peserta didiknya menuju kearah pembangunan masyarakat adab yang berbudaya, masuknya pengaruh imperialisme dan kapitalisme global ke seluruh plosok dunia, telah menggiring semua bangsa di dunia harus berhadapan pada dua kecenderungan budaya yang berlawanan arah atau bersifat kontradiktif. Kecenderungan dimaksud meliputi dinamika budaya lokal yang cenderung sulit berubah, orisinil dan bersifat adiluhung. Di sisi lain muncul dinamika budaya global yang cenderung bersandar pada nilai-nilai kemajuan, perubahan, difrensiasi, trend, eksploitasi dan hasrat. Dikatakan bersifat kontradiktif sebab, jika
mengikuti dinamika budaya lokal, maka kita akan dicap kuno, ketinggalan jaman, dan sebutan lain yang sejenis. Sebaliknya jika mengikuti dinamika budaya global, maka berbagai ekses negatif sebagaimana telah diuraikan di atas sulit dihindari. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, kecenderungan yang terjadi adalah mengikuti dinamika budaya global, sehingga banyak berbenturan dengan nilai-nilai budaya lokal. Atau dengan kata lain dapat digambarkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Indonesia saat ini telah banyak diwarnai oleh nilai-nilai budaya global, yang cenderung bersifat pragmatis, individualis, dan materialis. Dengan sifat-sifat kehidupan seperti itu, maka nilai-nilai kehidupan tradisional seperti sifat tulung tinulung, podopodo, tenggang rasa atau teposaliro dalam kehidupan masyarakat Indonesia kini telah banyak berubah bahkan bergeser kea rah kehidupan yang individualis, materialis, dan hedonis. Hal ini tidak dapat dihindarkan dari pengaruh kehidupan global yang telah melanda kehidupan masyarakat di seluruh dunia.
C. Implementasi Kepemimpinan Asta Brata dalam Kehidupan Beragama di Indonesia
Harmonisasi kehidupan beragama akhir-akhir ini di Indonesia tampak mulai terusik. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini seperti kasus Bali Nuraga di lampung selatan yang menjadi topik menarik di berbagai media massa di Indonesia beberapa waktu lalu. Berdasarkan analisis para pengamat sosialekonomi dan sosial-politik di Metro TV belum lama ini, faktor utama yang ditengarai menjadi penyebab terjadinya konflik antar kampung di Bali Nuraga, Lampung Selatan adalah kurang berperannya para pemimpin formal di wilayah itu dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah tersebut. Misalnya, dalam hal mengakses sumber daya di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya banyak
penduduk pribumi (baca:lokal) yang tidak bisa menikmati kesamaan haknya dalam bidang : pendidikan, ekonomi, dan dalam bidang sosial budaya. Hal demikian dapat berimplikasi pada munculnya kecemburuan sosial di antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini sejalan dengan pandangan Ma’arif (2005:4—5) yang menegaskan bahwa adanya serentetan kerusuhan yang berbau SARA di Indonesia, di penghujung abad ke-21 ini seperti kasus purwakarta (awal November 1995 dan April 1997); kasus Rengasdengklok (Januari 1997); kasus Temanggung dan Jepara (April 1997) dan banyak lagi kasus lainnya diduga disebabkan karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang dialami oleh masyarakat di wilayah tersebut. Selain karena kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang dialami oleh masyarakat di mana kasus itu terjadi, factor yang lain yang diduga sebagai factor penyebabnya adalah peran pemimpin-pemimpin formal (pemimpin publik) di wilayah bersangkutan belum maksimal dalam hal memberdayakan sumber-sumber daya ekonomi bagi kesejahteraan penduduknya. Akibatnya, munculah rasa perlakukan yang kurang adil dari para pemimpin publik di daerah tersebut kepada anggota masyarakatanya. Untuk memaksimalkan peran pemimpin formal dalam memberdayakan sumber daya yang ada di daerahnya masing-masing ini sebenarnya dalam ajaran Hindu ada konsep dasar kepemimimpin yang dapat dirujuk, yakni konsep kepemimpinan asta brata. Adapun unsur-unsur dari kepemimpinan Asta Brata meliputi (1) Indra Brata yang artinya seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki oleh Dewa Indra, yakni mampu memberikan kemakmuran, kesejahtraan dan keadilan kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya; (2) Yamabrata, artinya seorang pemimpin harus mampu menunjukkan sifat-sifat sebagai Dewa Yama, yakni mampu menegakan supremasi hukum dalam negara yang dipimpinnya; (3) Surya Brata, artinya seorang pemimpin
harus mampu memberikan penerangan (pencerahan) kepada rakyat yang dipimpinnya; (4) Candra Brata, artinya seorang pemimpin harus mampu menunjukan wajah tenang dan berseri dalam keadaan apapun sehingga masyarakat yakin akan kebesaran jiwa pemimpinannya; (5) Bayu Brata, artinya seorang pemimpin selalu ingin mengetahui dan menyelidiki keadaan rakyatnya yang sebenarnya, terutama keadaan masyarakat yang hidupnya menderita; (6) Arta Brata, artinya seorang pemimimpin harus memiliki sikap yang bijak terutama dalam hal penggunaan dana; (7) Baruna Brata, artinya seorang pemimpin harus mampu membersihkan segala penyakit masyarakat yang sering disebut pathologi sosial; (8) Ageni Brata artinya seorang pemimpin harus bersifat kesatria dengan semangat yang tinggi (Ngurah, dkk.2006:194—195). Namun, dalam implementasinya para pemimpin formal di negeri ini, tampaknya belum ada yang mampu menerapkan kedelapan sifat kepemimpinan sebagaimana tertuang dalam ajaran asta brata tersebut secara utuh. Sebab jika kedelapan konsep dasar yang tertuang dalam kepeminpinan Hindu yang bernama asta brata ini dapat diterapkan dalam menjalankan kehidupan sosial keagamaan dan social kemasyarakatan di Indonesia, niscaya konflik antar etnik, dan antar agama yang bernuansa SARA tidak akan terjadi. Namun, karena banyak
pemimpin di negeri ini yang tidak mampu
menerapkan delapan sifat kepemimpinan tersebut dalam menjelankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin, maka hamonisasi dalam kehidupan beragama menjadi sangat terganggu. Bhkan tidak jarang konflik horizontal yang terjadi di antara pemeluk agama yang ada di negeri ini hampir membawa bangsa ini ke jurang perpecahan yang dapat menimbulkan terjadinya disintegrasi bangsa.
Simpulan 1. Secara normatif kehidupan beragama di Indonesia telah diatur dengan tegas dalam pasal 29 UUD 1945 dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 9 dan No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Namun, dalam kenyataannya di Indonesia akhir-akhir ini sering terjadi benturan kehidupan antar umat beragama, bahkan hampir membawa bangsa ini kejurang perecahan. Hal ini disebabkan kurang mampunya pemimpin formal di daerah di mana konflik itu terjadi untuk memberdayakan sumberdaya yang ada seperti sumber daya di bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan sumber daya di bidang budaya secara adil dan merata kepada semua penduduknya. Akibatnya, timbul kecemburuan antara mereka yang berpenghasilan rendah dengan mereka yang berpenghasilan tinggi, yang pada gilirannya dapat bermuara pada konflik horizontal di antarqa mereka yang tidak jarang menjadikan agama atau etnisitas sebagai pemicunya.
2. Adanya pergerseran
pola-pola konsumsi masyarakat dari sekadar
menghabiskan nilai utilitas menuju ke pengkonsumsian nilai-nilai simbolik, ternyata berpengaruh pula terhadap kehidupan sosial-religius masyarakat, yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap toleransi kehidupan beragama di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia dewasa ini telah memasuki kehidupan era globalisasi, yang tidak jarang dapat membuat masyarakat terjebak pada roh globalisasi itu
sendiri, yakni ideology kapitalisme global. Ketika masyarakat terjerat pada ideology kapitalisme global, maka nilai-nilai sosial-religius dan nilai moral keagamaan akan digeser oleh nilai-nilai individualis-kapitalis, sehingga t masyarakat menjadi permisif dan eksklusif dan bahkan dalam kehidupannya tidak lagi peduli dengan kehidupan orang lain (mati iba hidup kae).
3. Secara normatif dalam ajaran Hindu
ada delapan konsep dasar
kepemimpinan yang sebaiknya dirujuk oleh para pemimpin, sehingga para pemimpin dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan sukses. Atau dengan bahasa lain seorang pemimpin, jika ingin berhasil, maka dalam menjalankan tugas kepemimpnannya harus memiliki sifat-sifat asta brata sebagaimana diuraikan di atas. Contoh seorang pemimpin harus memiliki kharismatik yang tinggi, sifat peduli terhadap masyarakat, menerapkan rasa keadilan, berani dan jujur serta sikap kepemimpinan lainnya sebagaimana diajarkan dalam ajaran asta brata. Sebab
masyarakat
dewasa ini tidak membutuhkan janji-janji kosong melainkan masyarakat membutuhkan bukti nyata dari kepemimpinannya.
DAFTAR PUSTAKA Darmaningtyas, 1999. Pendidikan pada dan Setelah Krisis. Yogyakarta. Derrida, Jacques, 1977. Politics of Frienship, Translated by George Collin (London, New York. Galtung, Johan. 1999. ‘’Cultural Violence’’ Dalam Manfred B. Steger dan Nancy S. Lind (ed.) An Interdisciplinary Reader, Violence and’ Its Alternatives. New York: ST. Martin’s Press, Hal 39—53. Giddens, Antony, 1990. The Consquences of Modernity. Cambridg: Polity. Harian Bali Post, 27 Agustus 2012 halaman 1 Harian Bali Post, 17 Septemebr 2012 halaman 6 Harian Kompas, Minggu 16 Januari 2005. Khisbiyah, Yayah, et al. 2000. ‘’Mencari Pendidikan yang Menghagai Pluralisme.’’ Dalam Membangun Masa Depan Anak-Anak Kita. Yogyakarat: Kanisius. Kuto Farel, 2012. Membangun Pemahaman Agama, dalam Harian Bali Post, 17 September 2012:6. Ma’arif Syamsul, 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka. Noer Azhari, Kautsar. 1999. ‘’Menyemarakan Dialog Agama (Perspektif Kaum Sufi)’’ dalam Edy A Effendi, Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, Bandung: Zaman Wacana Mulia. Nugroho, Heru, 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nugroho, St. 2009. ‘’Latar Belakang Kebersamaan sebagai Bangsa dalam Tantangan sosial Dewasa ini. Dalam Sarwiji (ed.) Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT IndeksPermata Puri Media. Hal 1—19. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No 8 Tahun 2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Piliang, Yasraf, Amir, 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarat: Jala Sutra. Pustaka Widyatama, 2012. Buku Pintar UUD 1945 dan Amandemen. Yogyakarat: Pustaka Widyatama.
Robertson, R. 1992. Globalization. Sage. Sealy, John , 1985. Religius Education Philoshopical Perspective, London: George Allen&Unwin. Shihab, Alwi, 1999. Islam Inklusif . Bandung: Mizan. Suhartono Suparlan, 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ Media. Sumartana, et al, 2001. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Triguna, Yudha I.B Gd. 2011. Mengapa Bali Unik? Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga. Ujan, Andre Ata, 2009. ‘’Keunikan Budaya, dan Identitas Komunitas’’. Dalam Bambang Sarwiji (ed.) Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT Indeks Permata Puri Media.Hal. ix—xv.