155
KEPEMILIKAN TANAH TIMBUL DI KAMPUNG CANGKOL UTARA KOTA CIREBON MENURUT HUKUM ISLAM Muhammad Hanafi Zuardi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro E-mail:
[email protected] Abstract In some regions, sometimes there are some lands which are the result of the sea water aberration which is termed „tanah timbul‟ or the arising land. The existence of the land is certainly bringing blessings and benefits for the people living surrounding the area. Most of people used the land for housing, some others used the land for business that in this form of traditional stalls. As north beach area that has a population density rate is high enough, the arising land then became an easy target that is always contested by all community members. This is, of course, makes little noise even caused resentment among them. Research that has been done in the village of Cangkol Utara of the city of Cirebon, is a kind of field research by using descriptive analysis techniques. This study would clarify Islamic legal rules for how exactly the procedures in land use and ownership rules has occurred, as well as whether the community had been doing in utilizing land that has occurred already in accordance with the rules of Islamic law. Keywords: Arising land, Islamic law, ownership A. PENDAHULUAN Kepemilikan atas suatu lahan tanah adalah merupakan salah satu daripada hak azasi manusia yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh setiap orang, dengan suatu ketentuan, bahwa semua hak/kepemilikan atas tanah mempunyai fungsi sosial.1 Hal ini sesuai dengan latar belakang pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan kepada adanya UUD‟45 sebagai pemegang konstitusi tertinggi dan Pancasila sebagai ideologi bangsa, terlihat beberapa amanat yang mewajibkan pemerintah untuk memerangi kemiskinan, sebagaimana dalam pasal 28 dan pasal 33 UUD‟45. Oleh karena itu, dalam usaha untuk memenuhi cita-citanya, tidak jarang diantara manusia terjadi perselisihan yang kadang diakhiri dengan kematian. Untuk menghindari terjadinya suatu perselisihan tersebut, maka perlu dibuat aturan yang normatif-konstitutional dan mampu mengarahkan manusia dalam usaha pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran tersebut. ______________ 1 R.Subekti, KUH Perdata dan UUPA, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h. 459.
1
156
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Demikian pula halnya dengan permasalahan pertanahan khususnya dalam kasus tanah timbul yang berada di wilayah Kampung Cangkol Utara Kelurahan Lemah Wungkuk Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon. Pada wilayah tersebut, tanah timbul merupakan salah satu faktor produksi yang amat penting, terlebih lagi bagi seluruh lapisan masyarakatnya yang mayoritas hidupnya tinggal didaerah perairan lepas pantai. Sebagai
manusia
yang
menginginkan
hidup
secara
bahagia,
menginginkan adanya suatu tempat tinggal yang sekiranya layak huni. Sebagai masyarakat yang tinggal di daerah lepas pantai tentu memiliki calon-calon lahan yang sangat luas baik itu sebagai tempat tinggalnya maupun sebagai ruang kerja/tempat bekerja, sehingga timbullah suatu permasalahan baru bahwa apakah tanah yang digunakannya tersebut memang sudah layak/sesuai di dalam hak kepemilikannya jika dilihat dari segi hukum Islam maupun hukum Agraria yang berlaku. Dalam Al-Qur‟an, ada sebuah keterangan menarik tentang nafsu dan syahwat manusia terhadap tanah adalah sebagaimana yang disebutkan dalam keterangan ayat: 2
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Maksud ayat tersebut adalah bahwa kecintaan manusia pada tanah merupakan masalah klasik, setua umur manusia itu sendiri. Semenjak Indonesia merdeka, persoalan tanah sampai sekarang masih saja merupakan persoalan yang sangat rumit, sensitif, dan seakan-akan tanpa pemecahan. Apalagi bila diingat perbandingan antara lahan-lahan yang tersedia dengan kepadatan penduduk yang semakin senjang menganga. ______________ 2 Ali Imran(3): 14.
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
│
157
Berdasarkan keterangan dan beberapa penjelasan ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa bumi dan segala isinya adalah karunia Allah Swt, yang tak ternilai, meskipun negara memiliki hak menguasai atasnya. Sehingga kepemilikan individu maupun kolektif diperbolehkan selama memenuhi persyaratan kepemilikan yang telah ditentukan dan tidak melampaui batas. Namun terkadang keberadaan hukum ini tidak dijadikan sebagai landasan pokok dalam menyikapi setiap permasalahan yang timbul di masyarakat. Banyak permasalahan seperti misalnya terjadinya perselisihan antar sesama masyarakat hanya karena sebidang tanah. Ketika si A mengatakan bahwa tanah disekitar wilayahnya adalah hak beliau, yang kemudian nampak oleh pihak si B bahwa beliaupun berhak memiliki sebidang tanah tersebut dengan alasan bahwa si B belum memiliki sepeserpun sebidang tanah dan dengan mengatas namakan keadilan atas seluruh umat manusia serta hak asasi manusia untuk memperoleh kehidupan yang layak, maka si B berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan sebidang tanah yang diinginkannnya. Jika seperti ini tradisi yang harus dipertahankan, maka bagaimanakah kehidupan masyarakat yang selanjutnya? Maka dari itu perlunya penelitian yang mengedepankan rumusan masalah yang pertama adalah bagaimana ketentuan yang berlaku dalam kepemilikan tanah timbul di Kampung Cangkol Utara Kota Cirebon, yang dipahami oleh masyarakat sebagai milik sendiri karena berhubungan langsung dengan tanah mereka sehingga menyebabkan tanah mereka bertambah luas dari ukuran semula, kemudian yang kedua adalah bagaimana cara memperoleh suatu lahan tanah menurut hukum Islam, dan yang ketiga adalah bagaimana pandangan hukum Islam tehadap anggapan kepemilikan tanah timbul yang berlaku di Kampung Cangkol Utara Kota Cirebon itu sendiri. Jenis penelitian yang dilakukan adalah lapangan (field research), dimana sifat penelitiannya adalah deskriptif analitik. Pengumpulan data yang telah ditempuh adalah dengan cara; observasi yang mengedepankan metode parcipatory study, interview dan dokumentasi. Setelah itu melakukan
158
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
klasifikasi
data,
menganalisa,
generalisasi,
menyimpulkan
dan
menyusunnya secara sistematis menggunakan analasis secara deskriptif. Untuk mengambil kesimpulan penelitian, menggunakan metode deduksi dan induksi. B.
KAJIAN TEORI 1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Milik Atas Tanah a. Pengertian Dalam kaedah bahasa Arab, hak diistilahkan dengan "“ حقjamaknya “ "
حقو قyang berarti hak (lawan bathil), kebenaran, kepunyaan.3 Menurut M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya “Pengantar Fiqh Mu‟amalat” mengatakan bahwa makna hak adalah:
جمموعةالقواعد والنصوص الشرعية اليت تنتظم على سبيل الزام على الق الناس من حيث االشخا ص واالموا ل 4
Sedangkan kata milkiyah berasal dari kata milk dan malakiyah, asal kata dari malakah, yang juga salah satu maknanya, milk.5 Milik menurut lughah adalah: “Memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya.” Sedangkan menurut istilah adalah : 6 “Suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syara‟ yang membenarkan si pemilik ikhtisas yang bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang.” Dalam fiqih muamalah, milik juga dapat didefinisikan sebagai berikut: 7
اختصا ص ميكن صاحبه شرعامن ان يستبد بالتصرف واالنتفاع عند عدم املانع الشرعي ______________ 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Cet.VII (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 106. 4 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu‟amalat, Cet. III, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1989 ), h. 108. 5 Ibid., h. 7. 6 Ibid., h. 8. 7 Zahri Hamid, Harta Dan Milik Dalam Hukum Islam, cet.1.( Yogyakarta: Bina Usaha ,1995 ), h. 14.
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
│
159
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa hak milik adalah hak untuk menguasai sesuatu dan menggunakannya atau tidak menggunakannya secara bebas yang dapat dipertahankan oleh pemilik selama tidak ada penghalang. Maka, hubungan antara manusia, dan benda-benda miliknya adalah hubungan antara pemilik dan yang dimiliki, yang dalam fiqh Islam disebut hubungan mamlukiyah ditinjau dari bendanya. Membicarakan milik dalam perspektif ajaran Islam, menegaskan bahwa kepemilikan secara mutlak adalah milik Allah SWT. Firman Allah: 8
هلل ملك السماوات واألرض Pada hakikatnya pemilik mutlak atas alam semesta ini hanyalah Allah, milik
ini
tidak
membawa
konsekuensi
apa-apa,
tetapi
hanya
untuk
merealisasikan dua tujuan pokok: 9 Pertama: agar tidak seorangpun ada yang hatinya tertipu dikala ia mendapatkan harta yang berlimpah dan jangan pula hidupnya hanya untuk mengejar harta saja. Kedua: tiap-tiap orang harus senantiasa terikat dirinya dengan undangundang syari‟at yang bersangkutan dengan hak milik serta dapat menyesuaikan segala tindakannya dengan apa yang dikehendaki oleh Maha Pemilik kerajaan seluruhnya ini yakni Allah „Azza Wa jalla. Adapun makna tanah itu sendiri adalah; permukaan/lapisan bumi yang diatas sekali, keadaan bumi, permukaan bumi yang diberi batas dan daratan. 10 Dalam bahasa arab, tanah diistilahkan dengan " " ارضjamaknya "ارضون " واراضو نatau " "خال ف البحرyang berarti bumi, tanah, daratan.11 Secara istilah adalah.
"ماالميكن نقله وحتويله من مكن ايل اخر
12
Menurut konteks Islam, Pemilikan (hak milik) mengandung kaidahkaidah substansial yang memuat dimensi-dimensi keadilan dari pemerataan ______________ 8 As-Syurã (42) : 49. 9 Musthafa Husni Assiba‟I, Kehidupan Sosial Menurut Islam, alih bahasa M. Abda‟I Ratomy, cet.III, (Bandung, CV. Diponegoro, 1998), h. 151-152. 10 W.J.S.Poerwodarminto, Kamus Umum..., h. 106. 11 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, (Krapyak Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 19.
160
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
kekayaan, sebab Allah sebagai pemilik mutlak sekaligus sebagai pemberi fasilitas untuk dimanfaatkan oleh manusia, hak perseorangan adalah relatif dan terikat oleh hukum-hukum Allah, yang mengatur agar kekayaan dari Allah tidak terakumulasi pada segelintir orang atau orang kaya saja. Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hak atas tanah adalah kekuasaan wewenang untuk menguasai tanah sekedar diperlukan untuk penggunaan tanah sesuai dengan ketentuan hukum. b. Dasar Hukum Hak Milik dalam Islam Banyak nash yang mengatakan bahwa orang Islam diperintahkan untuk selalu berpijak pada hukum Islam. Firmannya: 13
ِ ك ُ ُم الظَّلالِ ُمو َن َ … َوَم ْنن َْن َْن ُك ْنم ِِبَا َ ََنزل اللَّلهُ َ ُول Sedangkan yang berkaitan dengan segala harta benda, dan segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, seperti: bumi, lautan, matahari dan bahkan semuanya semata-mata milik Allah Swt. Sebagaimana disebutkan dalam AlQur‟an: 14
َّلم َ َواْنل َق َمَر َ ااِبََب ْن ِ َو َس َّلخَر لَ ُك ُم اللَّلْني َل َوالنَّلَب َ َار َو َس َّلخَر لَ ُك ُم الش ْن Para
ahli
bahkan
menerangkan,
bahwa
kata-kata
“sakhkhara”
memudahkan atau menundukkan ialah sesuatu yang dapat kita tundukkan atau kita taklukkan, baik ia seorang pelayan maupun seekor binatang, tanpa mengeluarkan biaya ataupun harga sebagai upahnya. Dalam ayat lain Allah berfirman : 15
ِ السماو ِ ات َواأل ْنَر ض ُ َ َْن تََب ْن لَ ْنم َّلَن اللَّلهَ لَهُ ُم ْنل َ َ ك َّل Walaupun segala yang ada dilangit dan dibumi semata-mata hanya milik Allah, namun dalam Islam mengakui hak milik pribadi, tetapi tidak mutlak. Dan itu merupakan tanggung jawab sosial. Firman Allah : 16 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh…, h. 153. Al-Māidah (5): 45. 14 Ibrahim (14) : 33. 17 Al-Baqarah (2) : 107. 12 13
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
│
161
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َّلن األَر َ ض للَّله يُوِرثَبُ َ ا َم ْنن يَ َشااُ م ْنن عبَا َوالْن َاابَةُ ل ْنل ُمتَّلق َ ْن Ayat lain juga mengatakan: 17
ِ لِلَّل ِه م ْنلك َّل ِ األر ض َوَما ِي ِ َّلن َوُ َو َعلَى ُ ِّلل َش ْني ٍا اَ ِد ٌير ُ ُ الس َم َاوات َو ْن Dengan demikian hukum Islam mempunyai asumsi, bahwa Allah Swt. sebagai pencipta adalah pemilik tunggal (mutlak) atas alam semesta ini sedangkan manusia hanya berfungsi sebagai pengambil manfaat dari segala yang ada dilangit dan bumi selama tidak merugikan orang lain dan atau kepentingan umum. Dengan kata lain alam semesta ini diciptakan bukan untuk diri-Nya, tetapi diperuntukkan manusia, sebagaimana firman-Nya: 18
ِ َِ ض ِ األر َجي ًا ُ َو الَّلذي َخلَ َق لَ ُك ْنم َما ِ ْن Juga hak milik Allah adalah mutlak, sedangkan hak milik manusia adalah relatif (nisbi). Dan ini berarti bahwa manusia hanya memperoleh kuasa. Oleh karena itu manusia wajib memperhatikan bagaimana membelanjakannya, sebagaimana firman-Nya: 19
ِ ِ ِ َّل ِِ ِ اعةٌ َوالْن َكا ُِرو َن َ آمنُوا َنْنف ُقوا ِمَّلا َرَزْناَبنَا ُ ْنم م ْنن اََبْنب ِل ْنَن يَْنِِتَ يََب ْنوٌم ال بََبْني ٌع يه َوال ُخلَّلةٌ َوال َش َف َ ين َ يَا َيَبُّ َ ا الذ ُ ُم الظَّلالِ ُمو َن
Dari uraian dan pemikiran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hak
milik dalam Islam adalah merupakan suatu kewenangan atau hak yang dimiliki seseorang atas suatu benda, sehingga ia dapat mempergunakan dan mengambil manfaat dari benda tersebut, sehingga tertutup bagi orang lain kemungkinan (wewenang) selama tidak ada larangan syari‟at Islam serta dilakukan dengan cara-cara yang sah menurut syar‟i.
Al-„Arāf (7) : 128. Al-Māidah (5) : 120. 20 Al-Baqarah (2) : 29. 21 Al-Baqarah (2) : 254. 18 19
162
2.
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Cara-cara Memperoleh Hak Milik Atas Tanah dan Fungsinya. Manusia yang memperoleh kuasa dari Allah, dibenarkan memiliki
sesuatu yang diperoleh menurut Islam dengan dua macam jalan utama: a. Dengan jalan hibah (pemberian), hadiah, wasiat atau pembagian pusaka (warisan). Jalan ini tentulah tidak dengan usaha atau bekerja. Inilah jalan yang dibenarkan oleh syari‟at dan agama bahkan aliran perekonomian. b. Dengan jalan berusaha dan bekerja. Cara bekerja bagaimanapun juga sifatnya oleh Islam diperkenankan. Sementara Ahmad Azhar Basyir, M.A., dalam karyanya “Garis Besar Sistem Ekonomi Islam” menyebutkan lima cara dalam memperoleh hak milik yang antara lain: 20 a. Menguasai benda-benda mubah atau benda-benda bebas, yaitu benda-benda yang belum dimiliki oleh seseorang, dengan jalan menghidupkan tanah mati, berburu dan menguasai harta karun dan tambang. b. Perikatan (akad) pemindahan hak milik. Cara ini banyak macamnya, seperti jual beli, hibah, shadaqah dan wasiat dan sebagainya. Dalam hal ini Islam menegaskan adanya unsur kerelaan dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam mewujudkan aqad tersebut. Tidak dengan cara yang bathil, termasuk didalamnya terdapat unsur paksaan, c.
Warisan dan hak-hak keagamaan lainnya, hukum Islam menyatakan bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka benda-benda miliknya baik yang tetap maupun yang bergerak menjadi harta peninggalan yang dengan kekuatan hukum pindah menjadi milik ahli warisnya, atau yang masih ada hubungan dengannya.
d. Syuf‟ah, terjadi dalam “Syirkah Milk” yang berupa persekutuan antara dua orang / lebih untuk memiliki sesuatu benda, dan para anggota persekutuan berhak atas benda persekutuan tersebut sebesar sahamnya. Hak syuf‟ah dapat berlaku terhadap benda tetap dan ______________ 22 Musthafa Husni Assiba‟I, Kehidupan…, h. 169-170.
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
│
163
benda bergerak, tetapi pada dasarnya hanya dikenakan terhadap benda-benda yang tidak mungkin dibagi, seperti rumah dan seterusnya. Berbeda halnya dengan pekarangan yang cukup luas yang dapat diadakan batas-batas yang jelas antara milik para anggota, dan jalan keluar masuk pekarangan dapat dibelokkan kearah lain; dalam hal ini Syuf‟ah tidak berlaku e.
Iqtha‟(pemberian hak guna pakai oleh pemerintah dan hadiah-hadiah yang lain). Menurut Musthafa Husni Assiba‟I, secara umum iqtha‟ diartikan sebagai pemberian dari imam kepada seseorang akan sebidang tanah yang dimiliki oleh negara, karena orang tersebut besar jasanya diwaktu dinasnya dalam kesentaraan atau karena orang tersebut berjasa dan berbakti kepada bangsa dan tanah air. Berdasarkan penjelasan diatas, secara Garis Besar Dalam Hukum Islam
terdapat beberapa cara dalam memperoleh hak milik, yaitu dengan cara, menguasai benda-benda mubah, aqad pemindahan hak milik, Warisan dan Iqtha‟. Sedangkan tanah dalam hak milik mempunyai fungsi sosial, selain berfungsi untuk diri sendiri juga untuk orang lain, walaupun tanah tersebut milik individu, akan tetapi orang lain dapat mengambil manfaat dari tanah tersebut, yang dikenal dengan istilah milik manfaat. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam kepemilikan tanah terdapat fungsi sosial, artinya selalu memperhatikan kesejahteraan masyarakat, bukan kepentingan pribadi semata. 3. Penggunaan dan Batas Hak Milik Atas Tanah Tanah dapat dinilai sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanen dan dapat dicadangkan untuk kehidupan manusia di masa datang. Tanah adalah suatu tempat pemukiman dari sebagian besar umat manusia, disamping sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan.
164
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Allah Swt. Menciptakan langit dan bumi diperuntukkan bagi manusia selaku khalifah dimuka bumi agar dapat memanfaatkan apa-apa yang diberikan Allah selaku pemilik mutlak apa yang di langit dan dibumi. Firmannya:21
ض َ َ ا لِ نَ ِام َ ض َو َ األر َو ْن
Dalam pandangan Islam, tanah adalah merupakan harta benda yang dapat dimiliki oleh seseorang yang pada hakikatnya adalah milik Allah Swt,
diamanatkan kepada manusia (pemilik benda) agar benda tersebut digunakan dan dibelanjakan yang diridhai oleh-Nya.22 Maka, dalam perspektif ini bahwa signifikansi kepemilikan terhadap tanah merupakan bagian integral dalam fungsi manusia sebagai khalifah dalam rangka tanggung jawab dalam mengemban amanat (memakmurkan) kehidupan didunia ini. Untuk merealisasikan kearah tersebut dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah, perlu adanya pendistribusian untuk menegakkan keadilan sosial
atau
mewujudkan
kesetaraan
sosial
dan
selalu
memperhatikan
kemaslahatan umat. Dalam penggunaannya Islam lebih mengutamakan pada hal-hal yang lebih positif dan melarang kepada hal-hal yang bersifat negatif seperti pembangunan lokalisasi (pelacuran) dan lain-lain. Mengenai pembatasan hak atas tanah, Islam tidak membenarkan apabila harta itu hanya berputar dalam satu kelompok kecil yang terbatas dikalangan masyarakat. Allah Swt. berfirman: 23
ُ الر ُس َ ْني َال يَ ُكو َن ُولَةً بََب ْن َ ْناأل ْنَغنِيَ ِاا ِمْنن ُك ْنم َوَما آَتَا ُ ُم َّل َول َ ُخ ُذوُ َوَما نََب َ ا ُ ْنم َعْننهُ َانْنَبتََب ُ وا َواتَّلَب ُقوا اللَّله ِ يد الْن ِ َق اا ُ ِ َّلن اللَّلهَ َش ِد
Pengakuan Islam akan batas hak milik umum merupakan pangkal
keamanan yang dapat mengendalikan keinginan naluriah manusia untuk memiliki. Ditinjau dari segi manapun, hal ini memberi kesempatan yang cukup bagi penyelenggaraan bermacam-macam pelajaran kepada penduduk dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan generasi, oleh karena itu diakui adanya pembatasan hak milik atas tanah. ______________ 23 Ar Rahmán (55) : 10. 24 Masjfuk Zuhdi, Masail Diniah Ijtima‟iyyah, cet.I (Jakarta: Haji Masagung, 1994), h. 200.
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
│
165
Salah satu hal yang memperkuat bolehnya mengadakan pembatasan pemilikan tanah itu, sebagaimana yang disepakati para ahli fiqh ialah dengan bersendikan
qaidah
“Menutup
jalan
yang
menyebabkan
timbulnya
kemafsadatan atau kerusakan”.24 Kepemilikan seseorang menurut kadar yang ditentukan hukumnya mubah (boleh) dan ini mengenai tanah dan lain-lain. Oleh sebab itu apabila Imam merasa perlu membuat Undang-undang bahwa seseorang tidak diperkenankan memiliki tanah yang lebih luas dari sekian, sebagaimana yang ditentukan, maka perintah Imam itu wajib ditaati, sesuai dengan siasat syari‟at Islam dan sesuai dengan kemaslahatan umat yang berdasarkan pada prinsip: 25
تصرف االمام علىالرعية منوط باملصلحة Dengan demikian kehidupan rakyat semakin meningkat dan akan terlindungi dari penindasan para hartawan, dan kekayaan yang diberikan Allah dapat bermanfaat bagi kemaslahatan hidup umat manusia dimuka bumi ini dan tidak dikuasai oleh beberapa orang tertentu saja. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Dasar Hukum Kepemilikan Tanah Timbul. Dasar hukum kepemilikan tanah timbul adalah : 26
ِ السماو ِ ات َواأل ْنَر ض ُ َ َْن تََب ْن لَ ْنم َّلَن اللَّلهَ لَهُ ُم ْنل َ َ ك َّل Walaupun segala yang ada di langit dan bumi semata-mata hanya milik Allah, Islam tetap mengakui hak milik pribadi, tetapi tidak mutlak, yang mana hal itu merupakan tanggung jawab sosial. Firman Allah :27
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َّلن األَر َ ض للَّله يُوِرثَبُ َ ا َم ْنن يَ َشااُ م ْنن عبَا َوالْن َاابَةُ ل ْنل ُمتَّلق َ ْن Al-Hasyr (59) : 7. h.197. 27 Al-Imam Jalaludin As-Suyuti, Al-Asbahwa An-Nadair, (Indonesia : Qadir Munawir Semarang, t.t.), h.83. 28 Al-Baqarah (2): 107. 29 Al-„Araaf(7) : 128. 25
26 Ibid.,
166
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
ِ لِلَّل ِه م ْنلك َّل ِ األر ض َوَما ِي ِ َّلن َوُ َو َعلَى ُ ِّلل َش ْني ٍا اَ ِد ٌير ُ ُ الس َم َاوات َو ْن
28
Hukum Islam mempunyai asumsi bahwa Allah sebagai pencipta langit dan bumi adalah pemilik tunggal (mutlak) atas alam semesta ini. Sedangkan manusia hanya befungsi sebagai pengambil manfaat dari segala yang ada di langit dan bumi selama tidak merugikan orang lain dan atau kepentingan umum. Dengan kata lain alam semesta ini diciptakan bukan untuk diri-Nya, tetapi diperuntukkan manusia Kepemilikan tanah timbul di Kampung Cangkol Utara Kelurahan Lemah Wungkuk Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon adalah merupakan suatu kewenangan atau hak yang dimiliki oleh tiap-tiap individu yang berkeinginan sehingga dapat dipergunakan dan diambil manfaat dari benda tersebut, sehingga tertutup bagi orang lain kemungkinan (wewenang) selama tidak ada larangan syari‟at Islam serta didukung dengan cara-cara yang sah menurut syar‟i. 2. Tipologi Kepemilikan Tanah Timbul a. Pemanfaatan tanah timbul ditinjau dari segi kepemilikannya Dalam hukum Islam, ada beberapa pendapat untuk memperoleh/cara memiliki tanah mati untuk dibuka menjadi lahan hidup. Jumhur ulama berpendapat bahwa untuk dapat memilki hak membuka tanah mati harus ada izin dari Imam/negara. Tetapi siapa saja yang lebih dahulu membuka tanah baru lalu dirawatnya dan menghasilakan sebagaimna mestinya maka dialah yang berhak yang memilikinya.29 Hal ini sesuai dengan firman Allah yang mengatakan bahwa Allah Swt. menyediakan tanah dengan meratakannya untuk makhluknya sepanjang cara pemanfaatannya tidak aniaya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa izin imam atau pemerintah setempat dalam rangka membuka tanah baru memang diperlukan, sebab kalau tidak demikian maka banyak orang yang memperebutkan tanah ______________ 30 Al-Māidah (5) : 120. 31 Mustafa as-Siba‟I, Kehidupan Sosial…, h. 42.
│
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
167
tersebut dan tentunya mereka akan saling bunuh atau setidak-tidaknya akan timbul percekcokan atau permusuhan antar mereka yang menginginkan itu. Sebagai ilustrasi, bagaimana kalau ada dua orang masing-masing hanya menginginkan satu tempat yang dianggap baik yang satu tidak mau mengalah kepada yang lain, kalau hal ini terjadi siapakah yang diantara kedua orang itu yang dianggap lebih berhak memilikinya. Tujuan dari Abu Hanifah berpendapat demikian adalah dalam rangka untuk menghidari adanya pertengkaran yang semata-mata antar orang yang ingin membukanya. Dengan demikian, maka kiranya imam sudah mengizinkan seseorang boleh
membuka tanah baru tersebut dan seandainya imam tidak
boleh mengizinkan maka seseorang tidak boleh membuka tanah baru/timbul tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghidari bahaya yang timbul. Berdasarkan kedua pendapat diatas, kiranya pendapat Abu Hanifah yang sesuai dengan pengertian negara dan wewenangnya zaman ini, sebab baik tanah itu ada yang menyenangi ataupun tidak pada hakikatnya tanah tersebut adalah milik negara. Sebenarnya tidak boleh seseorang itu berbuat semaunya bergegas untuk menganggap sebagai miliknya tanpa adanya izin yang diperlukan. Jika dicermati bahwa kepemilikan tanah timbul yang ada disekitar Kampung Cangkol Utara Kota Cirebon dilihat dari aspek kemaslahatannya, tidak selajalan dengan hukum Islam. Karena tidak melalui izin dari pemerintah setempat dan masyarakat setempat hanya mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya, dan beberapa permasalahan yang lain jika bukti dari sebuah izin tersebut adalah kepemilikan sertifikat (tanda bukti tertulis). Padahal jika mangacu kepada kedua pendapat diatas maka pendapat Abu Hanifah yang sangat
memberikan
kemaslahatan.
Karena
hal
ini
dapat
menghindari
perselisihan atau pertengkaran antara pihak yang bermaksud menguasai tanah baru. Argumentasi Abu Hanifah sangatlah rasional dalam hal kepemilikan tanah baru, yang mana hendaknya dilakukan dengan adanya pemberian izin tersebut diharapkan akan memperoleh maslahah yang lebih luas. Dalam hal ini
168
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
kemaslahatan umumlah yang dapat terjamin. Hal ini sesuai denga kaidah fiqih yang berbunyi : 30
مصلحةال ام مقدم على مصلحةاخلاصة Dari kaedah di atas dapatlah dipahami bahwa kepentingan umum adalah merupakan suatu hal yang harus didahulukan atas kepentingan khusus. Dalam konteks ini
bahwa tanah timbul di Kampung Cangkol Utara Kota
Cirebon dalam kepemilikan diharapkan senantiasa memperhatikan kepentingan umum, dan agar kepentingan umum dapat terjaga maka untuk menguasainya diharapkan adanya izin pemerintah setempat. Disamping itu juga dengan adanya izin tersebut diharapkan dapat memberikan maslahah dan menghidarkan kerusakan dan kerusuhan. Maksud kerusakan disini adalah terjadinya pertengkaran- pertengkaran. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi : 31
رااملفاسد مقدم على جلب املصاحل
Disamping itu juga dengan pemberian izin dari pemerintahan setempat yang diberikan kepada para penduduk Kampung Cangkol Utara Kota Cirebon yang bermaksud ingin memiliki tanah timbul tersebut untuk tempat tinggal, persawahan, perkarangan diharapkan adanya izin tersebut dapat saling menjaga diri dan tidak terlalu bernafsu memiliki tanah timbul kartena pada hakekatnya tanah timbul tersebut milik negara atau dengan kata lain untuk kepentingan secara umum bukan untuk perorangan. Oleh karena itu pengelolan tanah timbul dilakukan secara hati-hati karena sesungguhnya bumi yang di anugerahkan oleh Allah Swt. kepada kita adalah merupakan suatu tugas kita untuk memakmurkan dan memeliharanya dengan baik.
______________ 34 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair fi al-Fura, (Beirut, Dar al-Fikr, t.t), h. 283. 35 Ibid., h.278.
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
b. Kepemilikan
Tanah
Timbul
Di
Tinjau
Dari
Segi
│
169
Bentuk
Pengelolaannya Melihat bentuk pengelolaan tanah timbul yang ada di sekitar pinggiran pantai utara laut Jawa oleh masyarakat Kampung Cangkol Utara Kota Cirebon, maka pada prinsipnya dikelola sesuai dengan sistem dan kepentingan serta kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Menghidupkan tanah mati itu adalah dengan mempersiapkan tanah mati itu untuk apa yang diingininya. Jika ia ingin tempat tingggal, maka ia membangun, jika ia ingin kandang ternak maka harus dipagari, jika ingin sawah maka tanahnya harus digaris dahulu, kemudian dialiri air dan baru ditanami.32 Adapun bukti dari kebebasan yang diberikan oleh hukum Islam kepada orang-orang yang bermaksud membuka tanah baru adalah diberi kebebasan pengunaan serta pemamfaatan dalam membuka tanah baru tersebut sesuai dengan kepentingan kebutuhan dari masing-masing orang. Kebebasan yang diberikan oleh Islam dalam hal ini adalah kebebasan yang di dasarkan atas kemaslahatan. Adapun prinsip kemaslahatan disini adalah kemaslahatan yang dapat membawa pengaruh
positif bagi orang
lain
dan
tidak menimbulkan
kemudharatan pada lingkungannya. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh suatu kemudahan dan bukan kesulitan yang didapat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi : 33
املشقة جتلب التيسري
Suatu pemahaman, bahwa beragamnya bentuk-bentuk pengelolaan dalam pengelolaan tanah timbul sebagai cerminan dari keleluasaan yang diberikan tersebut hendaknya harus memperhatikan kemaslahatan lingkungan, sehingga
dengan
adanya
tanah
timbul
tersebut
akan
mendatangkan
kemaslahatan dan bukan kemudaratan c. Kepemilikan tanah timbul ditinjau dari segi akibat kepemilikannya ______________ 37 Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Bin Yusuf, At-Tanbih Fi Fiqh al-Islami, alih bahasa Hafiz Abdullah, cet.1, (Semarang; DV. As-Syifa, 1992), h.190. 38 Ibid., h. 121.
170
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Ketika seseorang mengambil ( memanfaatkan ) tanah timbul yang ada yang kemudian merubahnya sesuai dengan apa yang diinginkannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, rupa-rupanya menimbulkan konflik antara para pihak yang menghendaki tanah timbul tersebut. Konfilk kepentingan ini terjadi karena para pihak dalam hal ini masyarakat yang bermukim yang berada disekitar pinggiran pantai utara laut Jawa, merasa berkepentingan untuk memeliki tanah itu. Dengan timbulnya konflik tersebut menimbulkan
terhambatnya komunikasi antara sesama
masyrakat. Berangkat dari fenomena tersebut, maka cara –cara penyelesaian konflik hendaknya dilakukan dengan cara musyawarah, agar tercapainya kata mufakat serta menghindari terjadinya pihak yang merasa dirugikan terhadap adanya suatu keputusan. D. SIMPULAN Dari uraian yang telah disebutkan, dapat diambil kesimpulan Bahwasanya kepemilikan tanah timbul sebagian dari kelompok masyarakatnya melakukan dengan cara langsung. Maksudnya adalah beberapa kelompok mayarakat sekitar Kampung Cangkol Utara Kelurahan Lemah Wungkuk Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon lansung mengklaim bahwa tanah timbul tersebut adalah untuknya. Tujuan pengklaiman itu adalah tiada lain dalam rangka untuk tempat tinggal, pekarangan, persawahan dan berdagang. Meskipun ada juga beberapa masyarakat sekitar yang masih mentaati terhadap peraturan hukum yang berlaku. Adapun pandangan hukum Islam terhadap kepemilikan tanah timbul adalah bahwa penguasaan tanah timbul di Kampung Cangkol Utara Kelurahan Lemah Wungkuk Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon
akan menjadi
bertentangan dengan salah satu prinsip hukum Islam, yaitu hendaknya kepemilikan tanah timbul harus mendapatkan izin
pemerintah atau warga
setempat, hal ini merupakan sesuai dengan prinsip hukum Islam, bahwa dalam membuka tanah tanah baru hendaklah harus adanya izin resmi.
Kepemilikan Tanah Timbul di Kampung Cangkol Utara
│
171
Tanah timbul merupakan rahmatan dari Allah Swt, dan mutlak merupakan miliknya semata serta digunakan untuk kemaslahatan umat manusia selaku hambanya sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku sehingga oleh karena itu untuk menjadi suatu milik pribadi harus memenuhi kriteria/aturan hukum yang berlaku serta diketahui bersama. DAFTAR PUSTAKA A.Munawir W., Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, Krapyak Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren AlMunawwir, 1984. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu‟amalat, (Hukum Perdata Islam), Ed.Revisi, Yogyakarta:Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1990. Ahmad Azhar Basyir, Garis Besar Sistem Ekonomi Islam, cet. I, Yogyakarta: Bag. Penerbitan Fak.Ekonomi UGM, 1987. Al-Gazālī, Abū Hamīd, Al-Mustasfā min Ilm al-Usūl, Beirut: Dār al-kutub al-Ilmiyah, 1983. As-Suyuti, Al-Imam Jalaludin, Al-Asbahwa An-Nadzair, Indonesia : Qadir Munawir Semarang, t.t. Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Pelita IV, tahun I, 1984. Imam Abu Ishaq bin Ali Bin Yusuf Ibrahim, At-Tanbih Fi Fiqh al-Islami, alih bahasa Hafiz Abdullah, cet.1, Semarang; DV. As-Syifa, 1992. Jalaluddin as-Suyuti Abdurrahman, al-Asybah wa an-Nazair fi al-Fura, Beirut, Dar al-Fikr, t.t M.A Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, alih bahasa Drs. M. Nastangin, cet. 1, Yogya, Dana Bhakti Wakaf, 1995. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Cet.VII, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1989. Marsekan, Hak Milik Tanah Dalam Islam, Perpustakaan Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, t.t. Masjfuk Zuhdi, Masail Diniah Ijtima‟iyyah, cet.I, Jakarta: Haji Masagung, 1994. Muhammad „Alī al-Şābūnỹ, Al-tibyān f ī „Ulūm al-Qur‟ān, Beirut: Dār al-Fikr, 1993
172
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Muhammad Abū Zahrah, Ushūl al-Fiqh, Mesir, Dār al-Fikr al-Arabi, 1959. Musthafa Husni Assiba‟I, Kehidupan Sosial Menurut Islam, alih bahasa M. Abda‟I Ratomy, cet.III, Bandung, CV. Diponegoro, 1998. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta; Logos, 1996. R. Subekti, KUH Perdata dan UUPA, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980. Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta; Rineka Cipta, 1992. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta:Andi Offset,1991. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu‟amalat, Cet. III, Jakarta; Bulan Bintang, 1989. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet.VII, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985. Zahri Hamid, Harta Dan Milik Dalam Hukum Islam, cet.1. Yogyakarta: Bina Usaha, 1995.