BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perkawinan adalah suatu peristiwa dimana sepasang calon suami istri
dipertemukan secara formal di hadapan penghulu/kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami istri dengan upacara dan ritual tertentu (Kartono, 2006). Perkawinan dini adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan usia remaja. Remaja adalah usia 10-19 tahun dimana masa remaja merupakan masa peralihan yang sesungguhnya yaitu dari kanak-kanak menjadi dewasa (Steve, 2007). Angka kejadian pernikahan dinidi Indonesia tahun 2002 usia 15 tahun berkisar 11%, sedangkan yang menikah di saat usia 18 tahun sekitar 35%.Praktek pernikahan usia dini paling banyak terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara didapatkan data bahwa sekitar 10 juta anak usia di bawah 18 tahun telah menikah, sedangkan di Afrika diperkirakan 42% dari populasi anak, menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat mereka berusia 18 tahun. Kasus pernikahan usia dini tertinggi tercatat di Nigeria (79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%) (Eddy, 2009). Di Indonesia terutama di daerah-daerah pedesaan masih banyak perkawinan di bawah usia. Kebiasaan ini berasal dari adat yang berlaku sejak dahulu dan masih terbawa sampai sekarang. Ukuran perkawinan di masyarakat seperti ini adalah kematangan fisik belaka (haid, bentuk tubuh yang yang sudah menunjukkan tandatanda seksual sekunder) atau bahkan hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya
Universitas Sumatera Utara
dengan pengantin misalnya masa panen, utang piutang antarorang tua, dan sebagainya (Rifka, 2011). Anak perempuan merupakan pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini yang juga mengalami sejumlah dampak buruk. Plan Indonesia yang merupakan suatu organisasi pengembangan masyarakat yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan Indonesia mencatat 33,5% anak usia 13-18 tahun pernah menikah dan rata-rata usia mereka 15-16 tahun. Penelitian ini dilakukan selama Januari-April 2011 di 8 kabupaten yaitu Indramayu (Jawa Barat), Rembang (Jawa Tengah), Tabanan (Bali), Dompu (NTB), serta Timor Tengah Selatan, Sikka dan Lembata (NTT). Data dari Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5% dari 2.049.000 perkawinan di Indonesia tahun 2008 adalah perkawinan anak. Berdasarkan data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) tahun 2005, lebih dari 20% masyarakat Indonesia menikahkan anak-anaknya dalam usia dini. Rata-rata anak yang dinikahkan adalah usia 10-18 tahun dan didominasi oleh perempuan. Perbandingan jumlah angkanya bisa mencapai tiga kali lipat dari jumlah anak laki-laki yang dinikahkan dini. Data statistik tahun 2005, jumlah perempuan yang menikah usia dini mencapai 1600 orang sedangkan laki-laki sekitar 500 orang. Persentasi ini membuktikan masih sangat banyak masyarakat yang tidak mengetahui dampak dan sebab akibat pernikahan dini tersebut (Downix, 2010). Berdasarkan data BkkbN di Malang tahun 2007 lalu, usia perkawinan dini (interval usia 16-18 tahun) diketahui lebih dari 5000 pasangan. Interval usia tersebut berdasarkan daftar nikah Departemen Agama Kabupaten untuk usia istri.
Hal
tersebut juga dinilai memicu pertumbuhan penduduk sebesar 1.09%. Di daerah
Universitas Sumatera Utara
pedesaan dan perkotaan perempuan melakukan perkawinan di bawah umur tercatat masing-masing 47,79% dan 21,75%. Perempuan Indonesia yang melakukan perkawinan pertamanya usia 17 tahun yaitu sebanyak 21,5%. Persentase terbesar kawin muda terdapat di propinsi Jawa Timur (40,3%). Dan diperkirakan 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya (Sarwono, 2011). Perkawinan dini berdampak buruk pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan yang berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar selama kehamilan dan melahirkan dibandingkan anak perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan meninggal dua kali lebih besar. Wanita yang hamil pada usia kurang dari 20 tahun memiliki risiko yang tinggi terhadap kehamilan, proses persalinan, dan keadaan bayinya (Indiarti, 2007). Secara mental, wanita usia kurang dari 20 tahun dinilai belum siap, sehingga dapat menyebabkan kurangnya kesadaran diri untuk memeriksakan kehamilannya dan berakibat timbulnya masalah kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher rahim, bayi BBLR, kematian bayi dan abortus 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari wanita yang berusia lebih dari 25 tahun (Bobak, 2004). Data SDKI 2002-2003 menyatakan angka kematian perinatal pada ibu yang melahirkan berusia <20 tahun menempati posisi kedua (30/1000 kelahiran hidup) setelah kelompok ibu yang melahirkan usia >40 tahun (54/1000 kelahiran hidup). Berdasarkan data SDKI tahun 2007, kematian bayi yang dilahirkan oleh ibu usia <20 tahun adalah sebanyak 56/1000 kelahiran hidup. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kematian bayi yang dilahirkan oleh ibu usia 20-29 tahun yaitu sebanyak 32/1000 kelahiran hidup (BPS, BkkbN, Depkes dan USAID, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Remaja perlu mendapat perhatian khusus untuk menurunkan risiko kelahiran prematur dan BBLR yang dapat meningkatkan risiko kematian bayi dan abortus karena semakin muda usia kehamilan remaja maka semakin tinggi insiden kematian bayi dan BBLR. Menurut Rachmawaty dari laporan Save The Children tahun 2004, satu dari sepuluh persalinan dialami oleh ibu yang masih anak-anak berusia 11-12 tahun yang menimbulkan komplikasi kehamilan dan persalinan sehingga membunuh 70.000 remaja putri tiap tahun. Kalaupun selamat maka akan menderita injuri permanen. Estimasi bayi yang dilahirkanpun 1 juta meninggal dalam tahun pertama kehidupannya. Risiko kematian lebih tinggi 50% daripada bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia >20 tahun (Rachmawaty, 2011). Usia yang ideal untuk hamil dan melahirkan adalah usia 20-30 tahun. Lebih atau kurang dari usia itu adalah berisiko. Kesiapan untuk hamil dan melahirkan ditentukan oleh kesiapan fisik, kesiapan mental/emosi/psikologis serta kesiapan sosial ekonomi. Usia 20 tahun secara fisik dianggap sudah siap. BkkbN memberikan batasan menikah yang ideal adalah pada usia 20 tahun karena hubungan seksual yang dilakukan pada usia di bawah 20 tahun berisiko terjadinya kanker leher rahim serta penyakit menular seksual (BkkbN, 2011). Rendahnya pendidikan dan pengetahuan orangtua, anak dan masyarakat menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. Para orangtua ada yang ingin mempercepat pernikahan anaknya untuk melepaskan beban ekonomi, dimana rata-rata satu keluarga memiliki banyak anak (keluarga besar). Sehingga tak heran jika masih ada para orangtua sudah saling menjodohkan anak-anaknya sejak masih balita (Alfiyah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Data BPS Simalungun tahun 2010 menyebutkan bahwa di Kabupaten Simalungun, jumlah penduduk yang melakukan perkawinan pertamanya usia kurang dari atau sama dengan 18 tahun adalah sebanyak 17,53%. Sementara data yang didapatkan dari Kecamatan Bandar Huluan tahun 2010, jumlah penduduk yang menikah dini (di bawah usia 20 tahun) di kecamatan tersebut sebanyak 36,32%. Survei awal telah dilakukan di SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten
Simalungun
tahun
2012
yang
jumlah
siswanyasebanyak
301
orang.Jumlah siswa perempuan kelas VII dan VIII adalah sebanyak 104 orang. Dari 8 orang siswa perempuan yang diwawancarai, ternyata seluruhnyamenyatakan tidak mengetahui dampak perkawinan usia dini pada kehamilan dan persalinan, namun 75% mengatakan bahwa menikah usia dini itu adalah hal yang wajar. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pengetahuan tentang dampak perkawinan dini pada kehamilan dan persalinan dengan sikap remaja putri terhadap perkawinan dini di SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Hulan Kabupaten Simalungun tahun 2012.
1.2.
Perumusan Masalah Dari permasalahan yang telah dikemukakan maka dirumuskan masalah yaitu
“Tingginya persentase remaja putri yang menganggap perkawinan dini adalah hal yang wajar diduga terkait dengan rendahnya pengetahuan remaja putri tentang dampak perkawinan dini pada kehamilan dan persalinan di SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun Tahun 2012” .
Universitas Sumatera Utara
1.3.
Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum Untuk menganalisis hubungan pengetahuan tentang dampak perkawinan dini pada kehamilan dan persalinan dengan sikap remaja putri terhadap perkawinan dini di SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun Tahun 2012. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Mengetahui
tingkat
pengetahuan
remaja
putri
tentang
dampak
perkawinan dini pada kehamilan dan persalinan di SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun Tahun 2012. 2.
Mengetahui sikap remaja putri terhadap perkawinan dinidi SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun Tahun 2012.
3.
Mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang dampak perkawinan dini pada kehamilan dan persalinan dengan sikap remaja putri terhadap perkawinan dini di SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun Tahun 2012.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi bagi sekolah khususnya siswa perempuan di SMP Budi Utomo Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun agar mengetahui dampak perkawinan dini pada kehamilan dan persalinan dan menghindari perkawinan usia dini. 2. Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan perkawinan dini dan dampaknya pada kehamilan dan persalinan.
Universitas Sumatera Utara