Kendala Pendidikan Indonesia di dalam Mewujudkan Harmoni dalam Kebhinnekaan Sub Judul : Pancasila dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi SN-DIKTI Jusuf Sutanto1 Vinaya2 F. Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta HP: 081613528921, 081613318092 Email:
[email protected] 1,
[email protected]
Sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yang mengakui “Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa", terkait dengan era gadget sudah menjadi hak setiap individu untuk menggunakan gadget sesuai dengan keinginannya. Kalau Newton (1687) menemukan hukum alam, mengapa planet-planet di angkasa raya menari teratur dalam Milky Way, bukan chaos, masalah utama kini bagaimana supaya pikiran dan informasi yang demikian dahsyat dan tidak ada yang mengontrol mampu membangun harmoni. Bhinneka Tunggal Ika adalah prinsip yang mengatur alam semesta yang menari dari masa lalu tanpa awal menuju masa depan tanpa akhir. Karena itu hidup harmoni dalam kebhinnekaan adalah syarat mutlak. Hal ini baru bisa terjadi kalau manusia memiliki pemahaman tentang pluralism, bukan hanya terkait dengan kuantitatif tapi juga substantive. Bagaimana sesuatu yang bertentangan, misalnya gaya centri-petal (menuju pusat) vs centri-fugal (menjauhi pusat bisa saling melengkapi seperti konsep "contraria sunt complementa" (Niels Bohr 1967) dan CG Jung (1875-1961) “di dalam jiwa ada badan - di dalam badan ada jiwa" atau YIN - YANG, “ di dalam Putih ada Titik Hitam – Di dalam Hitam ada Titik Putih”. Kurangnya pemahaman tentang pluralisme ini, bisa dilihat sebagai kenyataan hasil pendidikan bangsa Indonesia. Masalah utama bangsa Indonesia berasal dari kenyataan Perguruan Tinggi menghasilkan lulusan yang saat bekerja menggunakan cara pandang parsial selama bertahun-tahun sehingga menjadi ahli dalam hal sektoral dan bekerja secara sektoral. Termasuk juga pengajaran Pancasila yang lebih menekankan pada nilai verbal sebagai “food for thought”, tanpa dibarengi mengembangkan kapasitas „body and mind‟ seperti melalui aktivitas bermain
angklung, yang bisa mengembangkan kapasitas otak berkat neuron dan synaps yang sifatnya plastis. Dari otak lahirlah pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasan dan akhirnya karakter.
Keywords: pendidikan, harmoni, kebhinnekaan
Latar Belakang Kalau dunia dianggap sebuah desa dengan penduduk 1000 orang, maka 584 orang Asia 124 Afrika- 95 Eropa Barat dan Timur – 84 Amerika Latin - 55 Eks Rusia – 52 Amerika – 6 Australia dan New Zealand. Mereka semua sulit berkomunikasi karena kendala bahasa. Proporsi bahasa yang digunakan: 165 Mandarin -86 English- 83 Urdu/Hindi- 64 Spanish- 5 Russia- 37 Arab. Jumlahnya hanya setengah dari seluruh penduduk kampung. Sisanya: Bengali, Portugis, Indonesia, Jepang, Jerman, Perancis, dan 200 bahasa lain-lain. Dalam kampung itu muncul berbagai masalah besar dimana tidak ada satu golonganpun yang mempunyai semua resources untuk bisa mengatasinya sendiri, kecuali bekerjasama. Misalnya pangan, kesehatan, lingkungan, pencemaran, kesetaraan, keadilan, dan sebagainya. Selain itu tersimpan kekuatan nuklir yang dapat meledak sewaktu-waktu dan meluluh-lantakkan kampung dalam sejenak. Hanya 100 orang yang memimpin kampung dan memegang kendali peledakannya. Sedangkan 900 sisanya hanya bisa berdoa dan cemas luar biasa mengharapkan agar yang 100 itu dapat hidup rukun. Dalam membelanjakan uang menurut penelitian PBB 16 tahun lalu dan sampai sekarang belum banyak berubah: Basic education $ 6 billion - Cosmetics in USA $ 8 billion - Water and sanitation for all $ 9 billion - Ice cream in Europe $ 11 billion - Reproductive health for all women $ 12 billion- Perfume in Europe and USA $ 12 billion - Basic health and nutrition $ 13 billion- Pet food in Europe and USA $ 17 billlion - Business entertainment in Japan $ 35 billlion - Cigarette in Europe $ 50 billion - Alcoholic drinks in Europe $ 105 billion- Narcotic drugs in the world $ 400 billion - Military spending in the world $ 780 billlion (Irid Agoes, The Dancing Leader, Penerbit Buku Kompas, 2011) Semua kendala ini hanya bisa diatasi dengan pendidikan.
Indonesia, negara kepulauan terdiri dari 17.000 pulau, garis pantai 81.000 kilometer, dihuni 300 kelompok etnis dan hampir 1000 bahasa daerah, bisa dibandingkan dengan negara berpenduduk terbesar di dunia seperti Tiongkok dengan hanya 56 etnis. Di satu sisi, sistem yang digunakan di seluruh dunia untuk mengambil keputusan sudah beralih dari kerajaan menjadi demokrasi dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Karena itu membangun bhinneka tunggal ika – unity in diversity menjadi masalah berdimensi global. E. Renan (1882) berpendapat bahwa “Nation adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual…Ia adalah suatu kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan oleh orang-orang yang bersangkutan bersedia dibuat di masa depan. Nation mempunyai masa lampau, tetapi ia melanjutkan dirinya pada masa kini melalui kenyataan yang jelas yaitu: kesepakatan, keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama”. Oleh karena itu suatu nation tidak tergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, atau hal-hal lain yang sejenis. Kehadiran suatu nation adalah seolah-olah suatu kesepakatan bersama yang terjadi setiap hari”.
Pikiran E. Renan ini menginspirasi
Soempah Pemoeda 1928 dan melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 dengan Pembukaan UUD 1945 "Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa". Setelah era gadget menjadi "Hak Setiap Orang".. Hubungan People to People menguat dan membuat peran negara melemah sehingga terjadi borderless world. Tahun 1960 Bung Karno dalam pidatonya “To Build The World A New” di Perserikatan Bangsa Bangsa sudah mengantisipasi hal ini dengan konsep “Nasionalisme dalam Tamansari Internasionalisme” Tahun 1960 memang telah terjadi peristiwa penting di dunia dan juga di Indonesia seperti halnya efek ilmu fisika gelombang. Dalam ilmu kosmologi, untuk pertama kalinya National Aeronautics and Space Administration NASA Amerika merelease foto planet BUMI diambil dari angkasa oleh astronaut. Kita bisa melihat bahwa bumi bukan pusat tapi seperti perahu kecil tanpa sekat perbedaan etnis, agama dan negara yang sedang berlayar di alam raya. (Weiming Tu, 2006). Semenjak itu ilmu astro fisika telah berkembang dan menemukan bahwa alam semesta ternyata terdiri dari multi galaksi yang menari bersama kait mengkait yang disebut Milky Way. Hal ini pada gilirannya menimbulkan pertanyaan “Siapa sebenarnya manusia, darimana asalnya dan kemana tujuan hidupnya – Sangkan Paraning Dumadi”. Sebagai bagian dari alam, tidak bisa lepas karena menjadi bagian dari unity in diversity. Pada saat dilahirkan sampai kematiannya,
setiap manusia tidak bisa hidup mandiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain: mulai dari mengadakan makanan sampai ketika mati tidak bisa mengubur dirinya sendiri. Terjadi evolusi besar dalam cara pandang mengenai materi yang semula bersifat atomistic „benda terkecil yang tidak bisa dipecahkan lagi‟ dan saling membentuk ikatan kohesi dengan sesama. Memerlukan perekat dari luar (adhesive) bila mau membentuk ikatan dengan benda lain sebagai awal cara pandang „basic bulding block‟ Newtonian. Setelah ditemukan phenomena elektrolisa, maka ilmu pengetahuan mengenai menyatunya senyawa bermuatan positif dan negatif disebut an-organic - chemistry. Dengan berkembangnya ilmu sub-atomic, maka yang membuat ikatan adalah hanya electron di kulit terluar seperti yang terjadi dalam bahan organic. Ilmu pengetahuan terus berkembang sampai menemukan kenyataan bahwa dalam sub-atomic sebagian besar terdiri dari ruang kosong dan elemennya bergetar saling mempengaruhi. Cara pandang Newton „basic building block‟ berubah menjadi hubungan antar gelombang yang saling mempengaruhi. Pengertian „bhinneka tungga ika‟ menjadi semakin kompleks. Ini membuahkan Revolusi Teknologi Informasi dan berdampak terjadinya Globalisasi. Kemajuan ini memungkinkan orang yang menggenggam gadget di tangannya, bisa menghubungi dan dihubungi langsung oleh siapa saja sehingga sangat sulit untuk membendung arus informasi. Jika mempelajari sub atomic akan terlihat model-model atom menyatakan pemahaman yang sama dengan model yang berbeda-beda, unsur-unsur pokok materi dan gejala-gejala yang berpautan saling berhubungan, saling terkait dan tergantung, dan tidak dapat dipahami sebagai kesatuan yang terpisah namun sebagai bagian yang terintegrasi dari keseluruhan. Prinsip integrasi ini sudah banyak dilakukan di luar negeri (Joesoef, 2002). Sekat pemisahan disiplin ilmu tradisional menjadi semakin tidak menonjol. Hasil penelitian di dalam neuro sains menemukan prinsip-prinsip yang dapat meningkatkan kemampuan manusia di dalam mewujudkan harmoni di dalam kebhinnekaan. Perkembangan Neuro Sains yang memastikan bahwa setelah usia 60 tahun otak manusia akan mengkerut dan berakhir dengan demesia/pikun. Kini melalui berbagai stimulus multi sensorik ternyata masih bisa tumbuh Olahraga tinju (berpusat self survival) akan menghasilkan manusia yang berbeda dengan main angklung dan penari Saman (berpusat pada tim) adalah contoh dari Unity in Diversity in Action. Mendengar musik berirama metal akan menghasilkan manusia yang berbeda dengan klasik, keroncong, mocopatan.
Lantaran mempengaruhi otak yang akan
menghasilkan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan dan membentuk karakter (Dalai Lama). Jadi ada hubungan keterkaitan antara telinga, otak dan perilaku. Dalam ilmu pertanian terjadi hal yang sama seperti proses gotong royong terjadinya benih dan penyebarannya (Sadjad, 2006) dan hama penyakit tanaman HPT bersifat soil-, seed- dan airborne. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak lagi bisa dibendung karena mempunyai sistem feed back seperti “black box” dalam pesawat terbang untuk terus memperbaiki diri dan perangkat teknologi informasi untuk menyebarluaskan. Semua organisasi yang masih bekerja dengan pendekatan basic building block, akan menghadapi masalah besar untuk mengantisipaso dorongan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan dan manfaat Tujuan penelitian ini mengetahui kendala pendidikan di dalam mewujudkan harmoni di dalam kebhinnekaan dan alternative kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Manfaat penelitian ini bisa dijadikan rujukan untuk membuat kebijakan terkait dengan kebhinnekaan. Titik Balik Peradaban Capra, F.(1983) menyebut saat ini sebagai Era Titik Balik Peradaban, integrasi antara ilmu pengetahuan (omega) dengan kearifan lokal yang berdimensi universal (alfa) Pergeseran kerangka dasar konseptual manusia berhadapan dengan alam dan terpisah dari padanya (human being as against and apart from nature) ke manusia sebagai bagian dari alam (human being as part of nature) (Sudarminto, 2002) Persoalan kebhinekaan dalam kehidupan manusia telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu hingga saat ini dengan segala bentuk dan modusnya. Hal itu dapat terdeteksi dari berbagai cara pandang yang telah dituangkan dalam berbagai buku dan cerita-cerita dan kini menunjukkan adanya keterkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern : “Ketika menengadah ke atas, kita melihat Langit – Ketika menunduk ke bawah kita melihat Bumi. Di antaranya kita melihat segala isinya. Langit mengirim embun dan hujan supaya kehidupan di Bumi bisa berkembang; Ketika kekeringan, giliran Bumi mengirim uap air ke Langit. Setelah menjadi awan dan bertemu gunung, turun kembali menjadi hujan dan airnya meresap ke dalam tanah dan mengalir ke sungai untuk bertemu lagi menjadi samudera.
Kemudian menguap menjadi awan dan seterusnya. Dalam siklus besar abadi ini kehidupan semua mahluk hidup di muka bumi ini berkelanjutan . Manusia bukan pusat, hanya menjadi bagian dari tarian abadi maha besar dari masa lalu tanpa awal menuju masa depan tanpa akhir” Dari cerita di atas menunjukkan bahwa eksistensi manusia terjadi ketika berada dan menyatu bersama dinamika alam semesta dan makhluk lain termasuk manusia sesamanya. Cerita-cerita kuno memberikan pesan bahwa manusia arif ketika ia mampu hidup berharmoni bersama lingkungan alamnya. Kearifan India menyebutnya sebagai tarian Syiva Nataraja, Sang Dewa Penari atau Dewa Ilmu Pengetahuan. Tugas manusia adalah menari bersama dengan menjalankan Tri Hita Karana, menjaga harmoni antara dirinya dengan Tuhan – Alam Semesta dan Sesama Manusia. Sedangkan di Tiongkok kearifan kuno menyatakan bahwa manusia melihat Langit sebagai Ayah dan Bumi sebagai Ibu sehingga segenap isi dunia sebagai saudara dan sahabatnya”. Kemudian mempelajari hukum-hukum yang menyebabkan semua perubahan abadi sehingga bisa ikut berselancar bersamanya. Hasilnya ditulis dalam Kitab tentang Perubahan I CHING ditulis 3000 tahun SM. Sedangkan di Jawa kita mengenal ajaran “hamemayu hayuning bawana”. Ada yang menafsirkan manusia merasa mendapat ‘amanah’ memelihara dan mempercantik Alam Semesta – Ada juga yang „bisa merasa „ bahwa mempercantik dirinya akan tergantung pada cantiknya dunia; Cantiknya dunia tergantung pada cantiknya seluruh alam semesta” Kearifan Sunda mengingatkan manusia dalam hubungan dengan sesama diajarkan untuk saling: “Silih Asih – Asah – Asuh dan Wangi” dan kemudian melahirkan konsep “musyawarah untuk mencapai mufakat” Dalam ajaran agama pun manusia juga telah diingatkan agar “Mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri” (Kristen) dan dalam ajaran Islam “Menjadi Rahmat bagi Seluruh Alam Semesta” Dengan uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa kebhinekaan itu pada galibnya memang sudah ada sejak manusia lahir ke dunia apapun latarbelakang keyakinan agama ataupun budayanya. Kebhinnekaan sebagai fitrah dan rahmat telah diterima dan menjadikan manusia bisa hidup dalam perbedaan. Aku dan Perjalanan Hidupku (Dandanggula Kijuru Martani 1615) “Di dalam kita menjalani hidup ini sesuai kodratNya,
Kita hanya melaksanakan dharma, kewajiban sesuai kodrat sebagai manusia. Karena itu dalam setiap perbuatan, kita harus menyadari untuk bekerja tanpa pamrih. Kita berbuat sesuatu tapi tidak merasa membuat sesuatu yang kita harapkan hasilnya. Semua yang ada ini bekerja, bahkan Tuhan pun bekerja, menghidupi dunia ini tanpa henti. Matahari, bulan, angin, bumi, air, api, semuanya bekerja demi kelangsungan hidup tanpa pamrih. Dasarnya hanya kewajiban” Banyak yang belum memahami bahwa masalah utama kita selama ini berasal dari Perguruan Tinggi yang menghasilkan lulusan yang saat bekerja menggunakan cara pandang yang parsial selama bertahun-tahun sehingga menjadi ahli dalam hal sektoral dan bekerja secara sektoral seperti kata Naisbitt "bagi anak yang memegang Palu, maka segala sesuatu dianggap sebagai paku". (Purnawan Junadi, The Dancing Leader hal 695)
Metode Metode penelitian yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil Menurut Joesoef (2002), Kelahiran pengetahuan ilmiah modern telah didahului dan dibarengi oleh suatu perkembangan pemikiran filosofis yang menjurus ke sebuah perumusan ekstrem tentang dualism dari jiwa-materi. Muncul di abad XVII filosofi Rene Descartes (15961650) yang membagi alam atas dua bidang terpisah dan mandiri: bidang nalar (Res cogitans) dan bidang materi (Res extensa). Pembagian cartesian memperlakukan materi sebagai mati serta benar-benar terpisah dari mereka sendiri dan melihat dunia materi sebagai sejumlah besar obyek yang benar-benar dirakit ke dalam sebuah mesin raksasa. Pandangan dunia serba mekanistik ini dimiliki juga oleh Newton yang menjadi dasar bagi ilmu fisika klasik. Namun dalam fisika atom, menyadari bahwa keterlibatan pengamat tidak dapat sebagai pengamat obyektif, tapi terlibat dengan yang diamati begitu rupa sehingga mempengaruhi cirri-ciri khas obyek yang diamati. John Wheeler mengusulkan supaya „pengamat‟observer bagi peneliti diganti dengan „peserta‟ participator. Ilmu alam tidak semata-mata memaparkan dan menjelaskan alam, tetapi juga merasa bagian interplay‟ antara alam dan diri sendiri. Semakin jauh ilmuwan menyusup alam,
alam samasekali tidak menunjukkan basic building blocks, seperti kata Descartes, tapi jaringan yang njelimet hubungan antar berbagai bagian dari suatu keseluruhan. Manusia pengamat ini dianggap sebagai final link di dalam mata rantai proses pengamatan yang hanya dapat dipahami di dalam term interaksi objek yang bersangkutan dengan sang pengamat. Hal ini berarti bahwa alam tidak dapat dipahami hanya secara objektif saja. Paham Cartesian ini juga mengarahkan orang-orang Barat untuk menyamakan identitas mereka dengan nalar dan bukan dengan keseluruhan organism merek, sehingga, orang Barat cenderung melihat diri mereka sebagai substansi yang berbeda dengan badan mereka masing-masing. Pendekatan ini berbeda dengan Jawa „hamemayu hayuning bawana‟ dan Sunda „silih asih-asahasuh-wangi‟ yang holistic/menyeluruh. Demi mendapatkan pemahaman itu, pendekatan pluri dan interdisipliner saja tidak memadai. Dibutuhkan pendekatan transdisipliner, penalaran yang tidak lumpuh di perbatasan antara berbagai disiplin. Sebuah gejala harus dilihat sebagai gejala multidisipliner yang beraspek psikis, sosiologis, ekonomis, historis, demografis yang saling menunjang, artinya juga menurut Joesoef (2002), objek yang paling fisik sekalipun tidak mungkin terpisahkan dari subjek yang mengetahui, yang berakar dari konteks sejarah dan budaya tertentu. Karena itu tugas pemimpin adalah menjadi “specialist for the construction of the whole”. Cara pandang ini penting karena perannya pada yang dipimpin seperti angin, kemanapun bertiup, ke situlah rumput akan rebah‟ (Konfusius). Seng Ts‟an (606) berpendapat “When you see everything through your personal bias, your view of reality is clouded. Truth simply as it is, But the clouded mind cannot grasp it”. Matapelajaran dan latihan menjernihkan pikiran perlu diajarkan di Sekolah Kepemimpinan. Gelar, alat teropong dan komputer super canggih sekalipun tanpa pikiran yang jernih akan menghasilkan kesimpulan yang bias. Orang yang pekerjaannya sebagai koki mengerti bahwa mengatur dosis sangat penting. Yang terlalu banyak akan diturunkan, yang kurang akan ditambah. Di dapur ada banyak orang bekerja, tapi tidak semua bisa disebut koki sebelum menguasai ilmu meramu diversity menjadi unity dan dirasakan lezat utamanya oleh yang makan, bukan menurut kokinya. Analogi tersebut juga sama dengan fakta lulusan di Indonesia. Pendidikan Pancasila yang diajarkan di dalam pendidikan di Indonesia lebih dalam bentuk konsep teoritis sebagai “food for thought” ibarat menuangkan satu gentong air ke dalam cangkir. Sudah saatnya kita mengembangkan manusia Pancasila melalui latihan dan perbuatan
“Walk Your Talk – Talk Your Walk”. Untuk mengatasi hal ini bisa membuat disiplin ilmu baru tapi akhirnya membuat kotak baru yang akan menambah persoalan atau mengolah manusia holistik dalam Universitas Kehidupan supaya bisa merubah Pedang Menjadi Bajak seperti patung di PBB. Masalah utama ketegangan dalam pergaulan antar bangsa selama ini adalah ketidakmampuan memahami arti " unity in diversity - diversity in unity" prinsip yang mengatur alam semesta yang menari dari beginningless past menuju endless future. Ilmu pengetahuan seperti Neuro Sains, Psikiatri, Psikolog, Pertanian, Fisika, Kimia dan sebagainya sebagai buah kebudayaan hanya memperjelas hal itu, bukan menciptakan, memandangnya dari berbagai sudut. Pendidikan Nilai Pancasila bertujuan "membangun manusia yang bisa mengatasi masalah, bukan malah membuat masalah ini disebut Tri Wikrama Pancasila sehingga Membangun Bhinneka Tunggal Ika menjadi Masalah Seluruh Dunia. Pendekatan multi disiplin – transdisiplin masih kurang jembar untuk menampung diversity sehingga ilmu masa depan adalah menemukan hubungan tersembunyi (F.Capra “The Hidden Connections – A Science for Sustainable Living”) Tahun 2016 Pemerintah akan menerapkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN DIKTI) yaitu adanya 2 komponen penting yang menentukan mutu lulusan Pendidikan Tinggi: Ijazah dan Surat Keterangan Pendamping Ijazah. Ini bisa menjadi peluang mengembangkan sikap hidup yang kondusif untuk bhinneka tunggal ika. 1. Ijazah menunjukkan kompetensi dalam ilmu yang dipelajari dan sudah mempunyai Index Prestasi IP. Yang tertinggi diberi predikat lulus sangat memuaskan. Tujuannya menghasilkan orang yang memiliki kompetensi dan memang harus „merasa bisa‟. 2. Surat Keterangan Pendamping Ijazah masih terbuka untuk menerima masukan cara mengukurnya. Tujuannya adalah menghasilkan manusia yang „bisa merasa‟ Pendidikan harus dimulai dari diri sendiri, dari raja sampai rakyat jelata seperti ditulis dalam Kitab Thay Hak (Ajaran Besar) sebagai berikut; "Orang zaman dulu yang hendak memperbaiki dunia, ia lebih dulu berusaha mengatur negerinya; Untuk mengatur negerinya, ia lebih dulu membereskan rumah tangganya. Untuk membereskan rumah tangganya, ia lebih dulu meluruskan hatinya. Untuk meluruskan hatinya, ia lebih dulu memantapkan tekadnya.
Untuk memantapkan tekadnya, ia lebih dulu mencukupkan pengetahuannya. Untuk mencukupkan pengetahuannya, ia meneliti hakikat tiap perkara. Dengan meneliti hakikat tiap perkara, maka cukuplah pengetahuannya. Dengan cukup pengetahuannya, akan dapat memantapkan tekadnya. Dengan memantapkan tekadnya, akan dapat meluruskan hatinya. Dengan hati yang lurus, akan dapat membina dirinya sehingga dapat membereskan rumah tangganya dan setelah itu mengatur negaranya sehingga tercapailah damai di dunia. Karena itu, dari raja sampai rakyat jelata, ada satu kewajiban yang sama yaitu: Mengutamakan pembinaan diri sebagai pokok. Adapun dari pokok yang kacau itu tidak pernah dihasilkan penyelesaian yang teratur baik, karena hal itu seumpama: Menipiskan benda yang seharusnya tebal dan menebalkan benda yang seharusnya tipis.Hal ini adalah sesuatu yang belum pernah terjadi.“
Belajar mengembangkan diri menjadi manusia “Learning to be human Learning for the sake of the self, Self is not as isolated atom, Self is not as single, separate individuality, Self as a being in relationship, Self as centre of relationship, Self develops continuously Ever - expanding process, Ever - growing network of human relatedness A truly Self realization” (TU Weiming)
Mulai dengan Langkah Kecil dalam pikiran sendiri. Kosakata ‘Walau’ dan ‘Percuma’ sebagai praktek Bhinneka Tunggal Ika.
Walau tidak sakit, harus memeriksa kesehatan secara teratur
Walau tidak haus, harus banyak minum
Walau ketemu masalah sulit, harus dipecahkan
Walau tidak ada hal yang menyenangkan, harus bahagia
Walau kita berada di pihak yang benar, terkadang kita perlu mengalah
Walau memiliki kekuasaan, tetap harus berkepribadian luhur
Walau tidak merasa lelah, harus tetap istirahat
Walau sudah kaya, harus tetap dapat membatasi diri.
Walau sibuk sekali, harus tetap mementingkan olahraga
Walau tidak terjadi apa-apa, harus tetap saling menyayangi
Bila tidak berbakti pada orang tua, percuma menyembah Tuhan
Bila dengan saudara sendiri tidak rukun, percuma menjalin persahabatan dengan orang lain
Bila hati penuh pikiran jahat, percuma saja mengikuti petunjuk Feng Shui
Bila tindak tanduknya tanpa tatakrama, suka menyakiti orang lain, percuma sekolah tinggi-tinggi.
Bila bersikap angkuh, percuma saja menjadi seorang terpelajar
Bila seenaknya sendiri dalam melakukan segala sesuatu; kepintaran pun percuma karena tidak menjadi bijak
Bila belum tiba saatnya diberi Tuhan, berkolaborasi dengan manusia penentu sekalipun juga percuma
Bila tidak menghargai kesehatan, minum obat pun akan percuma
Bila sembarangan mengambil harta dan HAK orang lain, percuma saja berderma
Bila suka mengumbar hawa nafsu, percuma saja berbuat kebajikan
pemimpin yang katanya
Dalam budaya Jawa dikenal “ngono yo ngono, ning ojo ngono” sehingga selalu lentur dan berada dalam stabilitas yang dinamis..
Simpulan Untuk mengatasi kendala pendidikan di Indonesia, terutama yang terkait dengan sumber daya manusia Indonesia yang dianggap terlalu terkotak-kotak dalam pemikiran, dan kurang mampu untuk melihat dari sudut pandangan yang berbeda, sehingga sulit untuk bisa menciptakan harmoni dengan sesama untuk menciptakan unity in diversity. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan yang bisa membantu melalui system evaluasi. Evaluasi hasil peserta didik bukan hanya didasarkan pada prestasi kognitif semata, namun juga terkait dengan evalusi di dalam
perilaku. Sehingga mulai tahun 2016 SNPT akan menerapkan 2 komponen penting yang menentukan mutu lulusan Perguruan Tinggi, yaitu Ijazah dan SK Pendamping Ijazah.
Daftar Pustaka; Capra, F. (1976). The Tao of Physics. London: Wildwood House. Capra, F.(1983).The Turning Point. London: Wildwood House. Capra, F.( 1989). Uncommon Wisdom Conversation with Remarkable People. London: Flamingo. Capra, F. (1997). The Web of Life. London: Flamingo Capra, F. (2002). The Hidden Connection, Science for the future. London: Harper Collins. Clearly,T. (1996). Zen lessons: “The Art of Leadership” menerjemahkan buku aslinya “Chanlin Baoxun”, awal abad 12, dialhbahasa “ Dua Angin – Seni Kepemimpinan Zen”, Karaniya. Heider, J. (1988). The Tao of Leadership, Leadership Strategis for a New Age. Bantam. Latif, Y. (2011). Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia Latif, Y. (2014). Mata Air Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan Sutanto,J. (2009). The Dance of Change. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Wilhelm, Richard, Baynes, & Cary, F. (2011). The I Ching or Book of Changes, Bollingen, 3rd edition. Princeton: Princeton University Press. Tu Weiming, Jalan Sutera Dialog Peradaban, (2013). Jakarta: Mizan. Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra dalam Revolusi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya pada Kepemimpinan. (2002). Jakarta: Penerbit PPM. Menelusuri Jejak CAPRA, Menemukan Intergrasi Sains, Filsafat, Agama. (2004). Jakarta: Penerbit Kanisius. Jalan Paradoks, Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan dan Kehidupan Modern, (2004) TerajuMizan. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. (2006). Jakarta: Penerbit Buku Kompas . The Dancing Leader.(2011). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.