Topik Utama KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK: ADAKAH ALTERNATIF LAIN? M. Indra al Irsyad, Hartono dan Dwi Rahmasari Pribadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi
[email protected] SARI Dengan harga minyak dunia yang telah menembus USD 100 per barel, pemerintah Indonesia semakin sulit mempertahankan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ada saat ini. Berbagai alternatif telah diwacanakan oleh pemerintah termasuk skema pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil pribadi. Skema tersebut diwacanakan tanpa didukung kesiapan infrastruktur sehingga rawan pelanggaran. Dilain pihak, para ekonom lebih menganjurkan kenaikan harga BBM sebesar Rp 1.000,- sebagai kebijakan yang lebih berkeadilan walaupun belum ada kesepakatan mengenai besarnya dampak negatif yang timbul. Dampak tersebut harus diredam melalui program kompensasi yang tepat yaitu program yang langsung dapat mengurangi pengeluaran masyarakat sehingga secara total pengeluaran masyarakat akan tetap. Pengurangan subsidi BBM perlu dilihat dalam bentuk sebuah langkah untuk meningkatkan perekonomian atas biaya golongan yang mampu membeli BBM dan dengan mencegah pemborosan BBM akibat harga yang murah. Langkah lain yang lebih ramah politik adalah penerapan standar fuel economy (FE) yaitu sebuah regulasi mengenai jumlah jarak minimum yang dapat ditempuh kendaraan setiap liter BBM. Standar FE ini telah sukses dilakukan diberbagai negara dan telah diklaim belum ada kebijakan yang lebih efektif dalam menurunkan konsumsi BBM disebuah negara. Kata kunci : subsidi BBM, standar fuel economy, dampak negatif, kenaikan harga
1. PENDAHULUAN Rencana pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) selalu mengundang pro dan kontra. Kelompok yang pro umumnya menggunakan alasan prinsip ekonomi efisien dimana subsidi BBM diklaim telah mendistorsi pasar sehingga menimbulkan pemakaian yang boros dan membuat investasi infrastruktur energi oleh swasta tidak berkembang akibat pasar yang tidak kompetitif. Alokasi subsidi BBM harus mengorbankan alokasi pendanaan yang dapat digunakan untuk pembangunan daerah tertinggal. Sebaliknya, kelompok yang kontra menggunakan dalih sosial untuk melindungi
40
daya beli masyarakat miskin dan kemampuan industri dalam negeri. Proses industrialisasi yang dimulai pada akhir dekade 1960-an awalnya dimaksudkan untuk mengurangi output mix produk primer namun kini telah menimbulkan ketergantungan terhadap industri baik dalam hal konsumsi maupun sebagai sumber penghasilan. Harga BBM yang murah biasanya diberikan oleh negara berkembang ataupun negara yang mempunyai produksi minyak lebih banyak daripada konsumsinya seperti Saudi Arabia, United Emirate Arab, Mexico, Malaysia, Syria dan Bangladesh sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Sementara negara yang lebih banyak
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama PDRB/kapita (ribu $) Produksi minyak (ratus ribu barel per hari) Konsumsi minyak (ratus ribu barel per hari) Harga solar (sen/lt) Harga bensin (sen/lt)
250 200 150 100 50 0
Gambar 1. Perbandingan harga BBM 2010 diberbagai negara berdasarkan indikator perekonomian (Sumber: GIZ (2011), BP (2011) dan WDI (2011))
mengkonsumsi minyak dibandingkan produksinya umumnya mempunyai harga BBM diatas harga BBM non subsidi minimum internasional yaitu harga retail BBM di Amerika Serikat sebesar 76 sen USD/ liter untuk bensin dan 84 sen USD/liter untuk solar sebagaimana diacu oleh GIZ (2011). Negara yang masuk kelompok ini adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Inggris, Hong Kong, Korea Selatan, Brazil, China dan India. Harga solar Indonesia berada di posisi 18 terendah di dunia sementara harga bensin pada posisi 24 terendah namun 1 tingkat diatas Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena harga tersebut merupakan harga ratarata dari harga premium dan pertamax sehingga sebenarnya posisi Indonesia 15 terendah bila hanya memperhitungkan harga premium yaitu sebesar 50 sen USD/liter. Harga ini bahkan lebih rendah dibandingkan harga minyak mentah dunia yaitu 51 sen USD di 2010 sehingga Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan subsidi BBM sangat tinggi (GIZ, 2011).
Pertimbangan lain dalam pemberian subsidi adalah kondisi perekonomian yang digambarkan oleh gross domestic product per capita (GDP/ capita) atau disebut juga pendapatan domestik bruto per kapita (PDRB/kapita). PDRB/kapita biasa digunakan sebagai indikator perekonomian sebuah negara sehingga negara dengan PDRB/ kapita rendah cenderung memberi berbagai macam subsidi untuk meningkatkan produktivitas masyarakatnya. Namun kebijakan ini banyak dikritik tidak tepat sasaran karena penerima langsung subsidi BBM adalah masyarakat yang mempunyai kendaraan yang bermotor yang identik dengan orang mampu (Kosmo, 1989; Reddy, 1981; Krapels, 1985; Birol dkk, 1995; Brown dan Yucel, 1999). Agustina, dkk (2008) bahkan memberikan bukti empiris bahwa lebih dari 90% subsidi BBM di Indonesia dinikmati oleh orang bukan miskin dan bahkan 44% subsidi BBM dinikmati 10% orang terkaya sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak...................... ; M. Indra al Isyad, Hartono, Dwi Rahmasari P
41
Topik Utama
Gamber 2. Distribusi subsidi BBM ke tiap golongan masyarakat (Sumber: Agustina dkk (2008)) Beberapa dampak negatif lain subsidi BBM yang telah diestimasi dalam berbagai penelitian adalah sebagai berikut : – Menyebabkan sifat boros BBM (Birol dkk, 1995; Morgan, 2007; Cologni dan Manera, 2008); – Menurunkan nilai tukar mata uang domestik (Birol dkk, 1995). Indonesia harus membeli BBM dari luar negeri (impor) sehingga kondisi fiskal Indonesia akan sangat bergantung pada harga internasional. Ketergantungan impor tersebut juga mempengaruhi neraca keuangan Indonesia (Brown dan Yucel, 1999); – Membebani pengeluaran negara (Birol dkk, 1995; Clements dkk, 2007); – Menghambat pembangunan infrastruktur listrik baru (Birol dkk, 1995; Mourougane, 2010) dan perkembangan teknologi energi baru terbarukan (Varangu dan Morgan, 2002); – Menimbulkan praktek korupsi dan penyelundupan (Clements dkk, 2007). Global Subsidies Initiative (2010) mengidentifikasi 6 area kecurangan yaitu pembayaran royalti yang lebih rendah, pemberian lisensi ekstraksi migas,
42
–
irregularity di BUMN migas, distribusi keuntungan KPS dan eksploitasi loopholes di skema subsidi baru. Berdasarkan data BPH Migas, penyelundupan BBM bersubsidi ke industri mencapai 10 - 15%; Mendorong peningkatan gas rumah kaca (Varangu dan Morgan, 2002).
Pemerintah Indonesia bukannya tidak menyadari kesalahan konsep subsidi BBM tersebut namun terkesan selalu ragu mengambil keputusan bila melihat dampak politik, sosial dan ekonomi yang mungkin timbul. Sebagaimana terlihat pada Gambar 2, kelompok yang paling menderita apabila BBM naik adalah kelompok berpenghasilan tinggi baik di kota dan di desa mengingat kelompok ini mengkonsumsi BBM lebih banyak. Adapun kelompok berpenghasilan rendah di desa sebagian besar hasil konsumsinya adalah komoditi pertanian yang harganya kurang sensitif terhadap harga BBM. Akan tetapi, kelompok miskin di kota juga menderita karena lebih banyak mengkonsumsi komoditi yang produksinya memerlukan BBM. Selain itu, kelompok ini biasanya bekerja di pabrik yang energy intensive industry (Clements dkk, 2007). Dengan berbagai dampak yang mungkin timbul dari kenaikan harga BBM, tulisan ini
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama mencoba memperkaya diskusi dengan menampilkan berbagai hasil penelitian terkait terhadap dampak yang mungkin timbul akibat kenaikan harga BBM serta memberikan opsi lain yang mungkin lebih bisa diterima secara politik, sosial dan ekonomi. 2. DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI Dampak kenaikan harga BBM selalu menjadi perdebatan para ekonom nasional. Pada 14 19 Maret 2005, harian Kompas menjadi media debat terbuka antara Rina Oktaviani, Anggito Abimanyu, Muhammad Ikshan, Iman Sugema and Muhammad Chattib Basri. Oktaviani (14/3), peneliti di Fakultas Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), berbekal hasil simulasi computable general equilibrium (CGE) recursive dynamic memulai debat dengan menyatakan bahwa pengurangan subsidi BBM di 2005 menyebabkan kenaikan inflasi 3,02% dan tingkat kemiskinan sebesar 5%. Program bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan pemerintah diestimasi hanya menurunkan inflasi dan tingkat kemiskinan menjadi 2,97% dan 2%. Namun, Abimanyu (15/ 3), Kepala Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerja Sama Internasional (BAPPEKI) - Kementerian Keuangan saat itu, menjawab dengan mengatakan bahwa BLT tetap lebih baik daripada subsidi BBM yang mendistorsi pasar. Pernyataan ini didukung oleh Ikshan (16/3), Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) - UI, yang menyatakan tingkat kemiskinan berkurang 13,7% akibat program BLT berdasarkan simulasi micro-macro model cooperating CGE model yang dilakukannya. Hal ini mengundang kritik Sugema (17/3), Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), yang menanyakan kredibilitas model yang digunakan LPEM. Direktur LPEM, Basri (18/ 3), menjawab bahwa model telah divalidasi dengan data historikal kemiskinan dan inflasi saat terjadi pengurangan subsidi BBM tahun 2002 dan 2003. Debat diakhiri oleh Oktiviani (19/ 3) yang menawarkan transparansi model antar institusi penelitian.
Kesuksesan program BLT tahun 2005 sebenarnya banyak didukung oleh publikasi akademik internasional (Beaton dan Lontoh, 2010; Hastuti dkk, 2006). Namun berbagai keberhasilan program kompensasi di negara lain juga perlu ditiru oleh pemerintah. Mexico, walau tidak terkait dengan penurunan subsidi BBM, sukses membantu rakyat miskin melalui conditional cash transfer (CCTs) yang mensyaratkan keluarga penerima bantuan untuk memperbaiki kualitas hidup seperti menyekolahkan dan menjaga kesehatan anak. Program ini dimulai tahun 1997 untuk 300.000 keluarga namun meningkat menjadi 5 juta keluarga di 2009 (Fiszbein dan Schad, 2009). Di Yordania, dampak pengurangan subsidi BBM pada tahun 2008 dikompensasi dengan kebijakan kenaikan upah minimum regional baik dipemerintahan, swasta maupun pensiunan (Brown dan Yucel, 1999). Di tahun yang sama, pemerintah Thailand memberikan listrik gratis bagi warga yang mengkonsumsi listrik tidak lebih dari 80 kWh dan pembebasan biaya penggunaan 800 bis dan kereta ekonomi (Kojima, 2009). Kebijakan moneter yang dapat dilakukan adalah menjaga kestabilan tabungan masyarakat melalui pengaturan suku bunga. Krisis ekonomi Amerika pada oil shock 1970's tidak akan sebesar yang terjadi jika bank sentral Amerika (the Fed) mampu mencegah ekspansi moneter besar-besaran saat itu (Cologni dan Manera, 2008). Saat harga BBM naik, PDRB riil akan turun, kemudian suku bunga dan harga naik. Kenaikkan harga dan penurunan PDRB riil akan pada magnituda yang sama sehingga PDRB nominal akan relatif konstan (Brown and Yucel,1999). 3. STANDAR FUEL ECONOMY Walau dikompensasi dengan kebijakan lain, keputusan mengurangi subsidi BBM tetap bukan kebijakan populer. Hingga saat ini, pemerintah terus membahas alternatif lain yang tidak menimbulkan konflik sosial politik. Salah satu
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak...................... ; M. Indra al Isyad, Hartono, Dwi Rahmasari P
43
Topik Utama skema yang sempat diusulkan adalah pembatasan penggunaan BBM bersubsidi di mobil pribadi, kendaraan dinas dan taksi mewah. Pembatasan ini dilakukan dengan memaksa mobil pribadi untuk menggunakan BBM nonsubsidi (Pertamax) dengan pilihan lain memasang converter kit untuk kemudian menggunakan CNG ataupun LGV.
umum. Dengan kata lain, belum ada kompensasi terhadap kenaikan harga barang yang akan terjadi. Selain itu, subsidi masih salah sasaran karena masih banyak masyarakat yang lebih miskin daripada para pemilik motor. Alternatif lain yang lebih tepat dan harus dimulai dari sekarang adalah penerapan standar fuel economy (FE) atau lebih dikenal dengan corporate average fuel economy (CAFE). CAFE adalah batasan konsumsi BBM maksimum untuk setiap kendaraan baru yang masuk ke pasar pada tahun tersebut dan dinyatakan dalam satuan kilometer per liter BBM. Pelaksanaan CAFE telah diwajibkan di Amerika Serikat sejak 1978 dan terus diperketat hingga saat ini sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Langkah Amerika ini telah ditiru dalam berbagai bentuk kebijakan sejenis oleh negara lain yaitu Australia, Canada, China, Eropa, Japan, Swiss, Korea Selatan dan Taiwan.
Dampak yang timbul dari kebijakan ini sebenarnya tidak lebih baik dari kenaikan harga BBM mengingat pemilik mobil pribadi harus membeli BBM tidak bersubsidi kecuali mau berinvestasi ke converter kit. Harga pertamax saat ini mencapai 2 kali lipat harga premium dan ini merupakan biaya baru bagi masyarakat yang menjalankan aktivitas bisnisnya. Industri pun akan menghadapi kenaikan biaya setidaknya dalam distribusi produknya. Biaya-biaya tersebut kemudian terakumulasi dalam kenaikan harga barang dimasyarakat sebagaimana halnya pada kebijakan kenaikan harga. Dampak dari kebijakan ini bisa lebih meningkatkan angka kemiskinan karena tidak adanya program pendamping BLT. Pemerintah hanya mengkompensasi dengan tetap menyediakan BBM bersubsidi untuk motor dan kendaraan
Standar CAFE di Amerika Serikat dimulai dari angka 18 mile per gallon (mpg) atau sekitar 7,65 km/liter untuk mobil berpenumpang. Sedangkan untuk truk, CAFE awalnya terpisah menjadi 2 kategori yaitu truk 2WD dan 4WD yang nilainya
30 25 20 15
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2003
2002
2001
2000
Truk Gabungan Truk 4WD
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
0
1979
5
1991
Mobil Penumpang Truk 2 WD
2004
10
1978
Fuel Economy (mile per gallon)
35
Tahun Keluaran
Gambar 3. Historikal nilai standar CAFE di Amerika Serikat (Sumber: http://www.nhtsa.gov/fuel-economy)
44
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama masing-masing 17,2 mpg dan 15,8 mpg. Namun, pada 1992 kedua jenis ini disamakan pada angka 20,2 mpg. Saat ini, standar CAFE untuk mobil berpenumpang adalah 30,2 mpg dan terus akan ditingkatkan menjadi 56 mpg di 2025. Selain memberikan batasan minimum FE dalam CAFE, pemerintah Amerika Serikat juga memberi informasi yang jelas mengenai seberapa hemat mobil-mobil yang diperdagangkan melalui labelisasi fuel economy and environment (Gambar 4). Label ini memberikan informasi yang komprehensif kepada konsumen mengenai efisiensi kendaraan serta manfaat ekonomi dan lingkungan yang didapat. Sebagai contoh adalah kendaraan hybrid (plug-in hybrid vehicle electricity - gasoline) mempunyai FE 38 mpg dengan estimasi biaya BBM $ 900 per tahun sementara kendaraan bensin (gasoline vehicle) mempunyai FE 26 mpg dengan estimasi biaya BBM $ 2.150 per tahun. Penjelasan lebih lengkap mengenai standar FE termasuk tata cara pengujian di Amerika Serikat dapat dilihat pada website Environmental Protection Agency (http:/ /www.epa.gov/fueleconomy/ index.htm) dan National Highway Traffic Safety Administration (http://www.nhtsa.gov/ fuel-economy). Kebijakan ini bukannya tanpa kontroversi, setidaknya ada NRC (2002) dan Portney dkk
(2003) yang mengkritik inefisiensi dari kebijakan ini. Keuntungan dari kebijakan ini dirasakan membutuhkan waktu yang lama dan mempunyai kerusakan lingkungan yang lebih besar. Kenaikan harga BBM mempunyai dampak langsung mengurangi demand berpergian sehingga konsumsi BBM akan turun demikian juga emisi dari kendaraan. Sebaliknya, standar FE mempunyai kemungkinan justru menambah demand berpergian karena biaya operasional telah menjadi lebih murah sehingga penurunan total pemakaian BBM (net reduction) dipertanyakan. Akan tetapi, Goldberg (1998), Kleit (2004), , Austin dan Dinan (2005), Parry dkk (2005) dan Hughes dkk (2006), membantah kemungkinan ini bahkan menyatakan kebijakan ini lebih ramah secara politik. Clerides dan Zachariadis (2008) bahkan membandingkan kebijakan ini dengan kebijakan kenaikkan harga BBM menggunakan metoda time series dan unbalanced panel data di 5 negara/region pada periode 1975 - 2003 dan menyimpulkan bahwa penurunan konsumsi BBM dari penerapan FE sama dengan kenaikan harga BBM sebesar 44%. Sayangnya analisis tidak sampai menyentuh dampak kesejahteraan (welfare) masyarakat. Walaupun begitu, Clerides dan Zachariadis (2008) menyatakan bahwa belum ada kebijakan lain yang lebih optimal secara ekonomi dibandingkan penerapan FE.
Gambar 4. Label fuel economy di Amerika Serikat (Sumber : http://www.nhtsa.gov/fuel-economy)
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak...................... ; M. Indra al Isyad, Hartono, Dwi Rahmasari P
45
Topik Utama 4. REKOMENDASI KEBIJAKAN Penggunaan standar FE sebagaimana di Amerika perlu segera dimulai tahun ini mengingat dampak dari kebijakan ini baru bisa dinikmati dalam jangka panjang. Survei Kementerian Perhubungan (2006) di Tabel 1 menunjukkan
bahwa efisiensi konsumsi BBM rata-rata untuk kendaraan penumpang tanpa beban cukup rendah yaitu sebesar 6-7 km/liter atau 16 mpg sementara laju pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 10,6% per tahun sebagaimana pada Gambar 5.
Tabel 1. Pola penggunaan kendaraan di Indonesia Jarak Tempuh Kendaraan Per Liter BBM (Km) 6,06
1
Sedan
67,90
12,44
Rata-2 Muatan Penumpang (Orang) 2,40
2
Minibus
144,86
22,20
8,20
-
7,74
3
Sepeda Motor
48,94
1,75
1,66
-
27,85
4
Bus Sedang
127,81
35,30
24,48
-
3,43
5
Bus Besar
529,35
205,64
50,58
-
3,08
6
Jeep
30,75
6,31
3,06
2,14
5,02
7
Pick Up
87,21
25,59
1,83
6,86
5,36
8
Truk 2 As
203,00
73,27
2,33
18,14
2,98
9
Truk >2 As
147,31
70,19
2,15
40,54
2,40
No.
Jenis Kendaraan
Rata-2 Jarak Tempuh Per hari (Km)
Rata-2 Pemakaian BBM Per hari (Liter)
Rata-2 Muatan Barang (Ton) -
Juta
Sumber: Kementerian Perhubungan, 2006
60 50
Mobil Penumpang Truk
Bis Sepeda Motor
40 30 20 10 0
Gambar 5. Jumlah kendaraan di Indonesia (Sumber: www.bps.go.id, diunduh pada tanggal 26 Februari 2012)
46
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama Penerapan standar FE hingga saat ini belum pernah diwacanakan setidaknya di lingkungan Kementerian ESDM. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (DJMG) lebih mempunyai tugas dan fungsi ke arah regulasi penyediaan BBM sementara Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE) masih fokus melakukan konservasi energi di industri dan bangunan. Kementerian Perhubungan juga lebih menangani regulasi transportasi publik/kendaraan umum. Kebijakan yang dapat dikatakan mendekati FE saat ini adalah ambang batas emisi kendaraan (Kepmen LH 141/2003) dan rencana pemberian insentif bagi produk mobil murah ramah lingkungan (Kompas, 3 Maret 2012). Pemberian insentif tersebut harusnya dirubah menjadi kewajiban FE mengingat pemberian insentif tersebut justru membuat harga mobil murah menjadi lebih terjangkau lagi sehingga permintaan mobil akan naik dan akibatnya tujuan pengurangan konsumsi BBM tidak tercapai. Sebagai langkah awal penerapan FE, Indonesia dapat langsung mengadopsi peraturan di Amerika Serikat dan menanyakan kesiapan industri otomotif dalam negeri. Kebijakan ini tentu dapat dikombinasi dengan berbagai kebijakan lain terkait kenaikan harga BBM. Rencana kenaikan harga BBM lebih didukung para ekonom dibandingkan rencana pembatasan BBM bersubsidi yang rawan penyalahgunaan. Dalam sebuah Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan Badan Perlindungan Konsumen Nasional pada tanggal 16 Februari 2012 di Bogor, Anggito Abimanyu menyimpulkan kenaikan BBM sebesar Rp 1.000,- lebih berkeadilan dan menghemat anggaran 8-10 triliun rupiah walaupun kesimpulan ini belum disepakati ekonom lain. Harian Kompas (25 Februari 2012) mencatat perbedaan analisis para ekonom bahwa dampak inflasi yang mungkin timbul yaitu berkisar 0,4 1,2% dengan potensi penghematan anggaran 8 - 38,3 triliun rupiah untuk kenaikan harga sebesar Rp 1.000,-/liter. Besarnya ketidakpastian inflasi dan penghematan yang terjadi akan menyulitkan pemerintah dalam mengambil kebijakan
kompensasi. Beberapa usulan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut : a. Menginformasikan dengan jelas/ transparan mengenai perhitungan subsidi BBM dan dampak negatifnya. Perhitungan subsidi BBM yang selalu dikritik Kwik Gian Gie adalah kenapa tidak diperhitungkannya pendapatan ekspor minyak Indonesia yang mendapat windfall profit dari kenaikan harga minyak global sehingga harga penjualan minyak akan menutup biaya impor minyak (kwikkiangie.com, 2012). Untuk menjawab kritik tersebut, pemerintah harus mampu mendefinisikan dengan baik apa itu subsidi dan apa dampaknya terhadap beban keuangan negara. Beberapa program informasi subsidi BBM di negara lain dapat dilihat pada Tabel 2; b. Mengalokasikan dana penghematan subsidi untuk kegiatan yang langsung menyentuh rakyat. Menaikkan harga BBM dengan alasan hanya untuk menghindari utang baru tentu tidak akan membuat rakyat menerima. Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat langsung mengurangi beban hidup masyarakat. Pelaksanaan kebijakan tersebut dapat memanfaatkan keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti pemberian listrik gratis bagi pelanggan 450VA yang mengkonsumsi listrik maksimum 50 kWh per bulan (PLN), penyediaan beras murah (BULOG), 100% pembebasan biaya sekolah dan kuliah (sekolah dan universitas negeri), asuransi kesehatan bagi rakyat miskin (ASKES), peningkatan fasilitas pengobatan Puskesmas, pemberian kredit bunga rendah bagi usaha kecil dan menengah (BUMN perbankan), pembebasan biaya transportasi di kelas ekonomi (PTKA, ASDP, DAMRI, Transjakarta) dan sebagainya. Program kompensasi tersebut harus diinformasikan secara luas dan terus menerus sehingga masyarakat mampu membandingkan manfaat yang lebih baik antara subsidi BBM dan program tersebut.
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak...................... ; M. Indra al Isyad, Hartono, Dwi Rahmasari P
47
Topik Utama Tabel 2. Informasi subsidi BBM kepada rakyat diberbagai negara
Pemerintah Nigeria secara reguler mengeluarkan angka perhitungan di website mengenai harga BBM dan komposisi harga. Informasi lebih lanjut di http://www.pppra-nigeria.org/ pricingtemplate.asp.
Pemerintah Afrika Selatan mengatur harga BBM dan merubahnya setiap Rabu pertama disetiap bulannya. Perhitungan harga tersebut ditampilkan dalam website. Informasi lebih lanjut di http://www.energy.gov.za/files/petroleum_frame.ht ml.
(Sumber: GIZ, 2011) c. Untuk mencegah defisit anggaran akibat program kompensasi tersebut maka pemerintah harus melakukan penghematan anggaran di Kementerian/Lembaga (K/L) khususnya di anggaran belanja pegawai. Selain itu, pemerintah harus membuat peraturan yang membatasi persentase anggaran belanja pegawai dari anggaran total. d. Penghapusan subsidi BBM di hari libur. Hari libur seperti hari Sabtu dan Minggu bukan merupakan hari produktif dan lebih banyak digunakan untuk rekreasi. Tidak sepatutnya pemerintah mensubsidi para pemilik mobil (baca: orang kaya) maupun golongan menengah ke bawah untuk rekreasi mengingat rekreasi bukan kebutuhan dasar. Kebijakan ini tentu rawan pelanggaran seperti menimbun BBM di hari Jumat dan menjualnya pada hari Sabtu dan Minggu, ataupun mungkin terjadi antrian panjang di SPBU pada Jumat malam untuk persiapan rekreasi di keesokan harinya. Namun walaupun begitu, hal ini tetap mempunyai dampak pengurangan volume BBM
48
bersubsidi. Setidaknya langkah ini sukses dilakukan pemerintah Brunei Darussalam ketika peringatan hari Energi tanggal 24 Mei 2010 sebagaimana pada Gambar 6. Disaat masyarakat sudah terbiasa, maka hari tanpa subsidi tersebut kemudian diperluas secara bertahap. 5. PENUTUP Kenaikan harga BBM dengan kisaran Rp 1.000, - Rp 1.500,- per liter merupakan pilihan yangdidukung oleh para ekonom dibandingkan alternatif lain yang diwacanakan pemerintah. Hanya saja kebijakan ini memerlukan program kompensasi untuk mengurangi berbagai dampak negatif yang timbul. Program kompensasi dan transparansi perhitungan subsidi perlu disosialisasikan kepada masyarakat secara terus menerus agar masyarakat memahami manfaat pengalihan subsidi BBM ke program lain yang lebih tepat sasaran.
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama 6.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, C., Arze del Granado, J., Bulman, T., Fengler, W. & Ikhsan, M. 2008. Black hole or black gold? The impact of oil and gas prices on Indonesia's public finances. World Bank Policy Research Working Paper, No. 4718. Washington. D.C.: World Bank. Austin, D., and Dinan, T. 2005. Clearing the air: the costs and consequences of higher CAFE standards and increased gasoline taxes. Environmental Economics 50, 562 - 582. Beaton, C., and Lontoh, L. 2010. Lessons learned from Indonesia's attempts to reform fossil-fuel subsidies. Geneva: Global Subsidies Initiative. Gambar 6. Kampanye Brunei Darussalam mengenai tidak adanya subsidi BBM di Hari Energi 2010 (Sumber: GIZ, 2011)
Alasan keraguan pemerintah saat ini adalah adanya argumen yang menyatakan bahwa pengurangan subsidi akan membuat orang miskin semakin menderita (angka kemiskinan naik). Namun, pengurangan subsidi BBM perlu dilihat dalam bentuk langkah untuk meningkatkan perekonomian atas biaya golongan yang mampu membeli BBM dan dengan mencegah pemborosan BBM akibat harga yang murah. Pengurangan subsidi BBM jangka panjang yang dapat diterima secara sosial dan politik adalah penerapan standar fuel economy (FE) yaitustandar minimum efisiensi bahan bakar sebuah kendaraan. Langkah ini telah sukses dilakukan di 9 negara dan telah teruji efektivitasnya dalam menurunkan konsumsi BBM dari skenario business as usual (BaU) negara tersebut.
Birol F., Aleagha, A.V., and Ferroukhi, R. 1995. The economic impact of subsidy phase out in oil exporting developing countries: a case study of Algeria, Iran and Nigeria. Energy Policy Vol. 23, No. 3, 209 - 215. Brown, S.P.A., and Yucel, M.K. 1999. Oil prices and U.S. aggregate economic activity: a question of neutrality. Federal Reserve Bank of Dallas Economic and Financial Review (Second Quarter), 16 - 23. BP Statistical Review of World Energy. 2011. London. Clements, B., Jung, H-S., and Gupta, S. 2007. Real and distributive effects of petroleum price liberalization: The case of Indonesia. The Developing Economies, 45(2), 220-237. Clerides, S., and Zachariadis, T. 2008. The effect of standards and fuel prices on automobile fuel economy: an international analysis. Energy Economics 30, 2657 - 2672. Cologni, A., and Manera, M. 2008. Oil prices, inflation and interest rates in a structural cointegrated VAR model for G-7 countries. Energy Economics 30, 856 - 888.
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak...................... ; M. Indra al Isyad, Hartono, Dwi Rahmasari P
49
Topik Utama Fiszbein, A. & Schad, N. 2009. Conditional Cash Transfers: Reducing present and future poverty. Policy Research Report. Washington, D.C.: World Bank. GIZ. 2011. International fuel price 2010/2011. Global Subsidies Initiative. 2010. Corruption and fraud in agricultural and energy subsidies: Identifying the key issues. Policy Brief. Geneva: Global Subsidies Initiative of the International Institute for Sustainable Development. Goldberg, P. 1998. The effects of the corporate average fuel efficiency standards in the US. Journal of Industrial Economics, XLVI, 1-33.
Kosmo, M. 1989. Commercial energy subsidies in developing countries: opportunity to reform. Energy Policy Vol. 17, No. 3, 244 253. Krapels, E. 1985. Fuel for the engine of growth: oil pricing in developing countries. Reports for USAID, Washington, DC. kwikkiangie.com, 2012, diakses pada tanggal 1 Maret 2012 Morgan, T. 2007. Energy subsidies: their magnitude, how they affect energy investment and greenhouse gas emissions, and prospect for reform. Menecon Consulting.
Hastuti, Toyamah, N., Usman, S., Sulaksono, B., Budiyati, S., Widyanti, W. D. dkk. 2006. A rapid appraisal of the implementation of the 2005 Direct Cash Transfer Program in Indonesia: A case study in five Kabupaten/ Kota.
Mourougane, A. 2010. Phasing out energy subsidies in Indonesia. OECD Economics Department Working Paper No. 808. Paris: OECD.
Hughes, J.E., Knittel, C.R., and Sperling, D., 2006. Evidence of a shift in the short-run price elasticity of gasoline demand. NBER Working Paper 12530. National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA.
Parry, I.W.H., Fischer, C., and Harrington, W. 2005. Do market failure justify tightening corporate average fuel economy (CAFE) standards?. Resource for The Future, Washington, DC.
Kementerian Perhubungan. 2006. Data survei penelitian efisiensi dan diversifikasi penggunaan energi (BBM) di bidang transportasi.
Reddy, A.A. 1981. Strategy for solving India's oil crisis. Current Science, January.
Kleit, A.N. 2004. Impacts of long-range increases in the fuel economy (CAFE) standard. Econ. Inq. 42, 279-294. Kojima, M. 2009. Government response to oil price volatility: Experience of 49 developing countries. Extractive Industries for Development Series #10. Washington, D.C: World Bank. Kompas harian. 2005. Tanggal 14 - 19 Maret 2005.
50
Kompas harian. 2012. Tanggal 25 Februari 2012 dan 3 Maret 2012.
Varangu, K., and Morgan, T. 2002. Defining and measuring environmentally-harmful subsidies in the energy sector. OECD. World Development Indicators (WDI). 2011. World Bank Statistics. www.bps.go.id, diunduh pada tanggal 26 Februari 2012 www.epa.gov/fueleconomy/ index.htm www.nhtsa.gov/fuel-economy
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012