www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XV, Nomor 1 :1-11
ISSN 0216-1877
KEMUNGKINAN BUDIDAYA PORPHYRA ( RHODOPHYTA, BANGIALES ) DI PERAIRAN INDONESIA oleh AGUS M.HATTA 1) ABSTRACT A POSIBILITY ON CULTURING PORPHYRA ( RHODOPHYTA, BANGIALES ) IN INDONESIAN WATERS The occurance of Porphyra in Indonesia is well known, but the period of its vegetative phase is very restricted. In Ambon Island this period takes place from July to September. Apparently this algae is showing a good prospect by having a very high price. Further the outhor considers, especially in Indonesia, only by culturing Porphyra the dried product of this algae can be raised. To support the realization of this culture, some aspects on culturing Porphyra have been discussed, such as the prediction on its phenology, the environmental factors assosiated and the culturing method.
"nori") sekitar 120.000 metrik ton/tahun (= 4 x 109 lembar/tahun). Di kawasan IndoPasifik sayur laut Porphyra juga dikenal dan tentunya dengan nama daerah masing-masing, seperti : limu luau dan limu lipahee dari kepulauan Hawaii; garnet dari provinsi flocos, Filipina; dan sayur laut dari Maluku, Indonesia. Tetapi pemanfaatan di kawasan ini masih belum sebesar di Jepang. Kenapa Porphyra banyak dikonsumsi ?. Ini tentunya tidak lepas dari berbagai faktor, diantaranya adalah : rasanya yang khas, teksturnya yang halus dan lembut dan kandungan nutrieanya yang cukup tinggi (Tabel 1). Dari tabel 1 tersebut tampaknya sayur laut ini sangat ideal sebagai salah satu jenis makanan penunjang seharihari, bahkan lebih baik nutrieanya dari pada
PENDAHULUAN Porphyra sebagai anggota kelompok Rhodophyta ternyata mempunyai nflai ekonomi yang sangat pen ting. Berbeda dengan Eucheuma, Gracilaria dan Gelidium yang nilai ekonomisnya tergantung dari hasil pengolahan ekstrak phycocolloidnya, maka pada Porphyra nilai ekonomisnya diperoleh dari pemanfaatannya sebagai sayur laut. Disamping itu Porphyra dapat juga digunakan dalam bidang medis terutama sebagai "kompres panas" (poultices dan cataplasms). Konsumen terbesar sayur laut ini adalah masyarakat Jepang, dengan tingkat kebutuhannya semakin naik dari tahun ke tahun. Diperkirakan sejak tahun enampuluhan produksi Porphyra kering (lebih dikenal sebagai
1) Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI, Ambon
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
1
www.oseanografi.lipi.go.id
sayuran daratan. Bagi masyarakat Indonesia yang mudah terbiasa memakan sayur-sayuran, tampaknya pengenalan sayur laut ini tidak akan menemui kesulitan.
Adapun jenis yang ditemukan di Pulau Ambon adalah Porphyra marcosii CORDERO. Berbeda dengan jenis-jenis Porphyra dari daerah subtropis yang bisa mencapai panjang 35 cm dan lebar 10 cm, maka jenis yang ditemukan di Pulau Ambon berukuran jauh lebih kecil, yaitu panjang antara 3 - 7 cm serta lebar antara 0,5 — 2 cm. Algae ini tumbuh menempel pada batuan karang di daerah pasang - surut di daerah pantai bertepi terbuka. Untuk mengupayakan budidaya Porphyra ternyata tidaklah semudah membudidayakan Gracilaria, Eucheuma maupun Caulerpa, Belajar dari kesuksesan budidaya Porphyra di Jepang, maka aspek biologi algae ini harus betul-betul dikuasai, yaitu meliputi pola reproduksi dan ekologinya. Disamping itu tentunya tehnik budidayapun harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
Dari segi nilai ekonomi ternyata Porphyra memberikan prospek yang sangat baik sebagai gambaran bila musim sayur laut ini tiba, di Pulau Ambon, harganya bisa mencapai Rp. 15.000,- - Rp. 20.000,- perkilogram berat kering di pasar. Hal ini tentunya memberikan suatu tantangan baru dalam bidang usaha budidaya rumput laut, kehususnya di daerah yang potensial akan jenis sayur laut ini. Berbeda dengan jenis-jenis rumput laut ekonomis penting lainnya yang bisa dijumpai pada periode yang panjang setiap tahun, maka waktu "blooming" Porphyra sangat terbatas. Di Pulau Ambon periode itu berlangsung sekitar bulan Juli — September, dan hanya dijumpai di lokasi-lokasi tertentu yang sulit didatangi orang. Keadaan ini yang menyebabkan produktivitas alamiahnya rendah, dan aspek ini pulalah yang memberi arti penting bagi usaha budidaya Porphyra di Indonesia.
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
BIOLOGI PORPHYRA Siklus Hidup Porphyra adalah rumput laut merah yang mempunyai sifat dimorfisme, yaitu dalam siklus hidupnya terdapat dua bentuk morfologi yang berlainan karakternya (Gambar 2). Bentuk pertama adalah bentuk mikroskopis dan biasa disebut fase vegetatif. Fase ini bersifat haploid ( n ), dan bentuk inilah yang akan dimanfaatkan. Bentuk kedua adalah bentuk (semi) mikroskopis, berupa filamen (benang-benang) halus dan kecil yang tumbuh menempel pada permukaan cangkang bivlavia yang sudah mati. Bentuk ini biasa disebut dengan fase konkhoselis serta bersifat diploid (2n). Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa fase vegetatif algae pada umumnya menghasilkan spermatia (spora beta) dan benih telur (karpogonia). Kedua alat reproduksi ini terletak
2
www.oseanografi.lipi.go.id
pada permukaan thallus (lembar algae) dan bisa dibedakan satu dengan yang lain berdasarkan ukuran dan bentuk kelompoknya. Proses reproduksi seksual dimulai dengan lepasnya spermatia, yang kemudian menempel pada karpogonia. Pada tahap berikutnya akan terbentuk saluran kecil, "prototrichogynes", yang memungkinkan terjadinya fusi kedua organ seksual tersebut. Dari hasil proses ini akan terbentuk karpospora (spora alfa) yang akan memulai pembentukan fase konkhoselis. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya kemampuan algae untuk
menghasilkan aplanospora yang bisa berkembang langsung menjadi Thalli dewasa. Karpospora setelah menempel; pada cangkang bivalvia akan berkecambah membentuk algae halus, dan dibedakan atas bagian yang menjalar ("prostrate") dan bagian benang tegak ("erect"). Setelah periode tertentu fase ini menghasilkan konskhospora, yang nantinya akan dilepaskan dan tumbuh sebagai algae vegetatif. Tetapi pada kondisi tertentu fase ini mampu menghasilkan monospora (spora tunggal), dan darinya bisa muncul algae fase konkhoselis baru.
Gambar 1. Porphyra marcosii Gambar 1 A. Morfologi fase vegetatif algae pada bulan Agustus. Gambar 1 B. Perbesaran gerigi halus pada tepi thallus.
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
3
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 2. Siklus hidup anggota Porphyra (WEST & HOMMERSAND, 1981).
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
4
www.oseanografi.lipi.go.id
Pada Porphyra ternyata proses reproduksi seksual sangat menonjol, sementara perbanyakan aseksual lewat penggandaan vegetatif (fragmentasi) belum pernah dilaporkan. Dalam budidaya perbanyakan bibit juga harus melalui fase reproduksi seksual. Hal yang menarik dari proses reproduksi ini adalah peranan faktor fisik lingkungan yang meliputi suhu dan lama penyinaran matahari. Di daerah subtropis, sepanjang tahun kedua faktor tersebut mempunyai amplitudo yang sangat besar. Sebaliknya di daerah tropis amplitudo tersebut relatif kecil, tetapi efeknya tetap nyata. Untuk menjelaskan pentingnya pengaruh kedua faktor tersebut KAPRAUN & LEMUS (1987) telah berhasil membuktikannya pada Porphyra spiralis var. Amplifora yang dijumpai di Venezuela, salah satu negara di Amerika Tengah yang masih dipengaruhi oleh iklim tropis Atlantik. Hasil penelitian mereka dilaboratorium menunjukkan bahwa pembentukan dan pelepasan konkhospora dipengaruhi oleh suatu kombinasi antara periode siang yang pendek ( < 12 jam) dan suhu air laut yang tinggi (19—30°C) untuk hal pertama dan suhu air laut rendah (15-23°C) untuk hal yang kedua. Sementara di alam konkhospora melimpah pada bulan September — Oktober pada saat periode siang pendek dan suhu air laut > 25°C. Dalam beberapa minggu konkhospora ini berkembang menjadi thalli dewasa (fase vegetatif) dan mencapai ukuran maksimum pada bulan Februari. Kedua peneliti tersebut juga berpendapat bahwa turunnya suhu air laut sebesar 2 — 3°C cukup untuk memacu pelepasan konkhospora di alam. Berbeda dengan hal di atas, pembentukan karpospora dan spermatia berada pada kisaran suhu dan periode siang yang lebar. Pada jenis-jenis Porphyra yang lain pembentukan kedua organ seksual ini bisa terjadi
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
pada periode siang hari yang pendek (8Jam) maupun panjang (16 jam) dengan kisaran suhu air laut antara 10 - 30°C (KARPRAUN& LUSTER 1980). Meskipun penelitian siklus Porphyra di Indonesia belum pernah ada, tetapi dari fenologi algae ini (khususnya di Pulau Ambon) bisa diperkirakan bagaimana dan kapan proses reproduksi tersebut berlangsung. Pada Gambar 3 penulis mencoba mereka periode-periode fase reproduksi. Rekaart ini didasari atas data-data metecrologi yang diambil dari tahun 1983 dan 1984. Diharapkan suhu rata-rata permukaan air laut pada bulan-bulan bersangkutan masih berada dibawah suhu udara. Fenologi Porphyra di Pulau Ambon menunjukkan bahwa fase lembaran thalli terjadi antara bulan Juli — September. Ukuran thalli maksimum dicapai pada bulan Agustus saat suhu minimum terendah, ke~ mudian perkembangan dihambat oleh naiknya suhu yang melebilii 31°C pada buian Oktober. Pada sampel yang dikoieksi pada bulan Agustus ditemukan adanya spermatia dan karpogonia. Ini menjelaskan bahwa Porphyra di Indonesia cepat mengalami pemasakan seksual. Munculnya lembaran thalli tentunya diawali dengan pelepasan konkhospora. Dan bila proses perkembangannya menjadi vegetatif dewasa berkisar antara 4 — 6 minggu, maka diduga pelepasan konkhospora terjadi sekitar bulan Juni — Juli, dimana suhu maksimum terendah udara dicapai pada bulan Juni. Sedang pembentukan konkhospora diperkirakan mulai terjadi pada bulan Mei, pada saat ini panjang siangnya kurang dari 12 jam dan suhu menurun drastis sebesar 2,65°C dari saat tertingginya (31,9°C) pada bulan Maret. Kondisi pada bulan Mei tersebut sesuai dengan persyaratan pertumbuhan konkhospora.
5
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Hubungan antara kondisi klimatologi dengan rekaan fenologi Porphyra marcosii di Pulau Ambon, (pk) : fase pembentukan konkhospora; (bk) : fase pelepasan konkhospora; (up) : fase lembaran thalli; bidang terarsir tegak = temperatur rata-rata tahunan udara, garis putus-putus = curah hujan. Penjelasan lengkap baca teks.
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
6
www.oseanografi.lipi.go.id
Ekologi
pleks, karena bisa meliputi : salinitas, kandungan nutriea (fosfat dan nitrat), kekuatan arus, suhu dan kekeruhan serta kecepatan pengendapannya. Indikator kedua tampaknya lebih menentukan daripada yang pertama. Kesesuaian kombinasi faktor-faktor lingkungan bagi suatu jenis algae sebetulnya bisa diuji dengan indikator pertama. Bila indikator pertama tidak ada dan guna memperoleh kepastian maka dengan jalan pengukuran bisa diperoleh hasil yang lebih pasti dan memudahkan dalam evaluasi. Dari indikator kedua tersebut muncul pertanyaan baru : Apakah kombinasi faktor-faktor lingkungan ini memenuhi persyaratan optimal bagi pertumbuhan thalli Porphyra ?. Jawabannya adalah tidak. Karena salah satu syarat untuk tumbuh maksimal diperlukan suhu air laut permukaan optimal antara 20 - 25°C. Meskipun demikian suhu maksimum air laut permukaan pada bulan-bulan sejuk di Indonesia masih dalam batas toleransi pertumbuhannya. Dari penjelasan di atas, maka terbuka kemungkinan diperairan Indonesia (khususnya Pulau Ambon) untuk melakukan usaha budidaya Porphyra. Dengan suatu catatan bahwa hasil yang diperoleh adalah lembaran thalli berukuran kecil. Karena tingkat pertumbuhan algae tersebut tidak pada kondisi optimal. Hal ini disebabkan oleh tingginya suhu lingkungan perairan tempat algae tersebut hidup. Suatu catatan lain mengenai kedua indikator budidaya di atas adalah bahwa tiadanya bibit pada suatu lokasi bukan berarti budidaya tidak bisa dijalankan. Bila persyaratan lingkungan memenuhi, maka bibit bisa didatangkan dari daerah lain. Usaha budidaya Porphyra marcosii yang akan dijelaskan berikut ini bertujuan untuk memperbesar peluang memperoleh lembaran thalli secara alamiah, memudah-
Meskipun sebaran horizontal Porphyra boleh dikatakan kosmopolitan, mulai dari perairan subtropis sampai daerah tropis, tetapi sebaran vertikalnya sangat terbatas. Pada umumnya di alam algae ini dijumpai di daerah pasang - surut (littoral), tepatnya di supra - littoral. Hidup di atas batuan ka-rang pada pantai yang terbuka serta bersa-linitas tinggi. Meskipun demikian ada pula jenis yang menyukai daerah muara sungai dengan pantai yang agak terlindung (semi-exposed) serta salinitas perairan yang relatif rendah, yaitu Porphyra tenera. Telah disinggung di bagian pendahuluan tentang keberadaan Porphyra di Pulau Ambon. Keterbatasan periode munculnya lembaran thalli di pulau tersebut sejauh ini hanya dikaitkan dengan adanya perubahan kondisi lingkungan fisik akibat perubahan musim. Suatu hal yang perlu diteliti lebih lanjut adalah kemungkinan adanya peranan "local upwelling" di sekitar lokasi algae muncul, mengingat topografi dasar laut di daerah tersebut memungkinkan munculnya fenomena tersebut. USAHA BUDIDAYA
Bisakah Porphyra dibudidayakan di perairan Indonesia ?. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus mengevaluasi paling tidak dua faktor dasar yang merupakan indikator untuk bahan pertimbangan suatu usaha budidaya, yaitu : a).Potensi biologi b).Potensi lingkungan. Indikator pertama secara fisik ditunjukkan oleh tersedianya bibit. Hal ini merupakan suatu indikator yang mudah diamati. Untuk Pulau Ambon hal ini bulan masalah. Indikator kedua sebetulnya sangat kom-
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
7
www.oseanografi.lipi.go.id
memperolehnya. Berdasarkan metode budidaya Porphyra yang dilakukan di Jepang (MIURA 1975), maka di Indonesia bisa diupayakan suatu tehnik untuk meftangkap karpospora tersebut. Caranya adalah dengan menyediakan suatu substrat buatan yang terbuat dari anyaman belahan bambu, suatu bahan konstruksi alami yang mudah diperoleh dan murah. Bentuk konstruksi substrat ini menyerupai krei (penapis sinar matahari) (Gambar 4 a,b) hanya disini ukuran bilah dan jaraknya lebih besar. Ukuran substrat ini dibuat kecil, sekitar 200 cm x 140 cm, untuk memudahkan penggelaran dan kemungkinan untuk memindahkan substrat yang telah ditempeli konkhospora ke lokasi lain yang lebih baik.
kan pengambilan hasil dan kemungkinan untuk memperluas daerah budidaya. Dalam tulisan ini sengaja metoda budidaya yang ditampilkan masih berpola tradisionil tanpa memerlukan tehnik yang lebih maju, karena sasaran pemakainya adalah masyarakat desa pantai serta tidak diperlukan tersedianya modal yang relatif besar. Budidaya ini terdiri atas tiga tahapan usaha,yaitu : 1. Penangkapan konkhospora, 2. Pembesaran lembaran thalli, dan 3. Pembuatan lembaran thalli kering. Di alam karpospora yang dilepaskan oleh fase konkhoselis akan disebarkan oleh air laut kesegala arah, sehingga sukar untuk
Gambar 4 a. Bentuk substrat buatan penangkap konkhospora, terbuat dari anyaman bambu. Gambar 4 b. Penjelasan susunan bilah bambu substrat.
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
8
www.oseanografi.lipi.go.id
Penggelaran substrat penangkap konkhospora ini sebaiknya dilakukan pada pertengahan Mei, karena pada saat ini konkhospora sudah mulai terbentuk. Pemasangan sebaiknya dilakukan pada saat surut terbesar di perairan yang mempunyai kedalaman sekitar 40 - 50 cm. Tali pengikat sebaiknya tidak terlau panjang, sedemikian rupa sehingga pada waktu air laut pasang besar substrat masih ada di bawah permu-
an air (Gambar 5). Untuk memperbaiki daya apung subtrat, diperlukan tambahan pelampung yang bisa dibuat dari ban vespa bekas. Keberhasilan penangkapan konkhospora ini bisa diamati bila setelah 3-4 minggu tampak adanya kecambah Porphyra. Bila ini terjadi berarti tahap pembesaran thalli segera dimulai.
/»//////////•//////
Gambar 5. Cara penggelaran substrat penangkap konkhospora. Penjelasan baca teks. (ars) : air surut besar; (acp) : air pasang besar; (p) : pelampung; 0) : Jan8" kar (penahan substrat).
20 CmGambar 6. Cetakan kayu untuk membuat lembaran hasil kering.
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
9
www.oseanografi.lipi.go.id
Tahap pembesaran ini bisa dilakukan di tempat penggelaran substrat tanpa merubah tatacara pemasangannya, atau dipindahkan ke lokasi lain yang dipandang lebih baik. Bfla hal terakhir ini akan dilakukan, maka harus dikerjakan dengan hati - hati. Selama pemindahan, substrat bisa digulung tetapi harus tetap basah. Pemindahan sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Pada tahap ini perawatan sangat diperlukan. Di Pulau Ambon lembaran thalli Porphyra biasa ditempel oleh algae merah yang berbentuk seperti rambut dari jenis Eritrotrichia parietalis. Kebetulan sekali epifit ini juga bisa dikonsumsi sebagai sayuran, tetapi lebih baik bila secara teratur keberadaannya bisa dikontrol. Karena bagaimanapun juga epifit akan mengurangi efektifitas tumbuh algae inang. Tahap terakhir adalah pemanenan. Ini bisa dilakukan setelah 4 — 6 minggu atau bila thalli sudah mencapai panjang maksimum sekitar 5 — 7 cm. Kelambatan pemanenan bisa menyebabkan hasil yang diperoleh tidak memuaskan. Karena pada periode panen ini suhu udara akan semakin tinggi sehingga dikhawatirkan bisa menyebabkan kerusakan pada thalli. Pemanenan dilakukan dengan tangan. Lembaran thalli yang diperoleh kemudian dicuci dengan air laut untuk membersihkannya dari benda-benda penempel serta diseleksi. Thalli yang sudah mati (warna merahnya telah hilang) disisihkan, hal ini perlu untuk menjaga kualitas hasil keringnya. Di toko atau di pasar, algae ini biasa dijual sebagai gulungan atau lembaran kering, bentuknya bisa bulat atau persegi dengan berat sekitar 25 gram per lembarnya dalam kemasan isi 4 lembar. Cara pembuatan hasil kering tersebut adalah dengan menuangkan adonan thalli basah kedalam suatu cetakan kayu yang berukuran sekitar 20 x 20 cm , dan bagian sisi bawah cetakan ter-
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
buat dari kasa (bisa dari kawat baja atau sintesis) halus. Setelah adonan dituang dengan ketebalan tertentu, maka akan terbentuk lembaran besar, dan ini kemudian dipindahkan ke alas pengering. Setelah musim algae ini berakhir, subtrat sebaiknya dibersihkan dari bendabenda penempel, dikeringkan, digulung dan disimpan di tempat yang terlindung dari matahari untuk digunakan pada musim berikutnya. Sebelum digunakan, tali-tali penganyam yang kendor harus dikencangkan dan bilah-bilah yang rapuh mesti diganti. UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI ALAMI
Usaha untuk meningkatkan stok alami Porphyra ternyata sudah lama dikenal. Prinsipnya adalah mengupayakan sebanyak mungkin fase konkhoselis serta sebanyak mungkin menangkap konkhospora. Oleh karena fase konkhoselis ini sangat spesifik dalam memilih substrat, yaitu pada cangkang bivalvia tertentu yang sudah lama mati, maka sangatlah perlu untuk menyediakan substrat tersebut dalam jumlah yang besar. Dengan menyebarkan cangkang-cangkang tersebut pada dasar laut yang sudah diketahui potensial menghasilkan Porphyra, maka diharapkan pada musim selanjutnya hasil penangkapannya bisa bertambah banyak, dan otomatis hasil lembaran thallinyapun akan meningkat. PENUTUP
Di Jepang usaha budidaya Porphyra sudah dalam fase fabrikasi. Proses pengadaan bibit sampai kepengolahan hasil dilakukan secara mekanis. Hal semacam ini bisa dijadikan motivasi untuk meningkatkan usaha budidaya rumput laut di Indo-
10
www.oseanografi.lipi.go.id
et Coll (Bangiales, Rhodophyta) from Isla de Margarita, Venezuela. Botanica Marina, 301:483-490. KAPRAUN, D.F., and D.G. LUSTER, 1980. Field and culture studies of Porphyra rosengurti Coll et Cox (Rhodophyta, Bangiales) from Nort Carolina. Botanica Marina, 23 : 449 - 457. MIURA, A., 1975. Porphyra cultivation in Japan. Dalam : "Advanced of phycology in Japan". (J. Tokida and H. Hirose eds.). Dr. W. Junk b.v. Publiser. The Hague. Hal.: 273-303. WEST, J.A. and M.H. HOMMERSAND, 1981. Rhodophyta : life histories. Dalam : The biology of seaweeds (C.S. Lobban and M.J. Wynne eds.). Blackwell Scientific Publ., Oxford. Hal. : 133 - 193.
nesia. Meskipun hasil budidaya Porphyra di Indonesia tidak akan menyamai produksi di negara beriklim subtropis, tetapi seti-daknyatidaknya suatu diversifikasi budidaya bisa dilakukan, dan hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pasaran lokal (dalam negeri). DAFTAR BACAAN
BARDACH, J.E., J.H. RYTHER and WD. MCLARNEY, 1972. Aquaculture: The Farming and Husbandry offreswater and Marine Organisms, John Wiley & Sons. Hal.: 790-814. KAPRAUN, D.F., and A.J. LEMUS, 1987. Field and culture studies of Porphyra spiralis var. amplifolia Oliveira Filho
Oseana, Volume XV No. 1, 1990
11