SAPA VOLUME 1, DESEMBER 2011
N E WNSEL W EAlliance TSTLEERT TEEDRI SEIfor DPI SE IRPoverty TPAE M R TAA, MNAO,V NE O MVBEEM R B2E0R1 12 0 1 1 Strategic Alleviation (ALIANSI STRATEGIS UNTUK PENANGGULANGAN KEMISKINAN)
PROMOTING INNOVATION, COORDINATION AND PARTICIPATION IN POVERTY ALLEVIATION PROGRAMS E D I SI 1 , D E SE M B E R 2 0 1 1 | VO LU M E 1 , D E CE MBE R 2011
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT
Advisor Sujana Royat (Kemenko Kesra), Bambang Widianto (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K), Alexander Irwan (Ford Foundation) Chief Editor Katiman Kartowinomo (Kemenko Kesra) Editor Yaury Tetanel (Komite Kemitraan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan – KKIPK), Katiman Kartowinomo (Kemenko Kesra), Luh Nyoman Dewi Triandayani (KKIPK), Fakhrulsyah Mega (KKIPK) Contributors Aceh: Azharuddin North Sumatera: Kominta Sari Purba West Java: Surahmat, Eva Patimah, Umar Alam, Yudi Kurnia, Daden Sukendar, Deden Central Java: Zakaria, Gunung Wiryanto Yogyakarta: Triwahyuni Suci Wulandari South Sulawesi: Mulyadi East Nusa Tenggara: Paul Bali: Luh Debora Murthy West Nusa Tenggara: Siti Sanisah Layout KOMSENI Publisher SAPA Secretariat Address: Jl. Kesehatan IX No. 8, Jakarta, Telephone and fax 62 21 3865213 Website: www.sapa.dev.id Email:
[email protected]
Bersama dengan Badan Pertanahan nasional (BPN), petani miskin di Dusun Kulonbambang, Kabupaten Blitar, Jawa Timur berpartisipasi dalam pengukuran tanah untuk land reform.
Together with the National land Agency BPN, poor farmers in Kulonbambang Village in Blitar District, East Java, participated in the land mapping for land reform.
Dari Redaksi
Tanah: Asset dan Akses Menuju Sejahtera
K
emiskinan memang bisa didefinisikan secara luas, baik fisik maupun non fisik, baik praktis, pragmatis mau pun filosofis. Tapi sebenarnya benang merah yang bisa ditarik dari kemiskinan adalah ketiadaan asset dan akses. Asset bisa diartikan sebagai hak penguasaan terhadap sumber daya yang tangible seperti tanah, dan akses dapat diartikan sebagai hak masyarakat miskin untuk ikut menentukan alokasi sumber daya yang non-tangible seperti bibit dan ternak, dan keuangan dan
pasar yang memungkinkan mere ka mengelola asset mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dalam edisi perdana ini se ngaja sidang redaksi memilih tema terkait dengan pertanahan karena tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis sekaligus vital untuk menanggulangi ke miskinan. Selain itu dari bebe rapa kasus sengketa tanah, yang merupakan fenomena gunung es, tersimpan permasalahan men dasar yang menjadi bom waktu yang seolah menunggu pemicu untuk meledakkan berbagai
1
Dari Redaksi masalah sosial di negeri ini. Masalah pertanahan juga sebe narnya mencerminkan multi problem baik dari sisi ekonomi, keadilan sosial, budaya, good go vernance dan demokrasi. Sebut saja satu masalah yang diang kat dalam salah satu topik, yaitu permasalahan tanah yang terjadi di Blitar, tempat dimana sang Proklamator dan Wakil Presi den kita sekarang lahir dan di besarkan. Issue pertanahan yang dikisahkan oleh Kinan, Dewan Pe nasehat Paguyuban Petani Aryo Blitar, tentang bagaimana tidak berdayanya para pekerja perke bunan yang tadinya adalah pemilik kebun menunjukkan bahwa ketia daan asset dan akses bisa diaki batkan oleh kebijakan yang secara
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
struktural melemahkan mereka. Seiring dengan kemampuan mereka mengorganisir diri un tuk memperjuangkan hak mere ka atas asset dalam bentuk tanah yang dipelopori oleh Kinan, kehi dupan masyarakat di perkebun an tersebut sudah menjadi jauh lebih baik. Apalagi apabila akses terhadap pengambilan keputusan untuk alokasi sumber daya yang intangible juga bisa mereka per oleh. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Garut dan Bandung dimana asset dan akses terhadap tanah diberikan dan dibuka se hingga masyarakat dapat lebih leluasa untuk mengatur kehidup annya dan membebaskan diri dari masalah kemiskinan. Cerita sukses land reform di
Landholdings: Assets and Access to Prosperity
A
definition of poverty can be wide-ranging, because it encompasses both the physical and non-physical, the practical, the pragmatic, and one can even be philosophical about it. In fact, the basic tenet running through a discussion on poverty is that there is a glaring lack of assets and access to resources. Assets can include the rights over tangible resources, such as landholdings. Access could include the rights of poor communities to take part in determining the allocation of non-tangible resources such as seedlings, livestock, financing and market decisions, which could em power them to fulfill their own basic daily needs. 2
In this first edition of this pu blication, the editors have selected the theme of landholdings because land ownership is not only strategic but also vital in the effort for com munities to overcome poverty. Often land dispute cases are like icebergs, with the larger portion of the problem buried out of sight, creating a social time bomb waiting to detonate. Landholding issues are in fact a reflection of a multitude of problems, including ones with an economic, social injustice, cultural, good governance and democracy dimension. One of the topics we have taken up is the one concerning land disputes in Blitar, the place where Indonesia’s first president was
tiga wilayah tersebut menun jukkan bahwa land reform yang sejak dulu diwacanakan dan te lah dicanangkan menjadi pro gram nasional Badan Pertanahan Nasional, bukanlah sesuatu yang ‘menakutkan’ dan tidak masuk akal. Land reform dalam bentuk asset dan akses reform justru menjadi simpul dari benang per masalahan kemiskinan dan ke senjangan yang kusut untuk ke mudian diurai dan menjadi solusi tepat untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat pe tani yang miskin. Tantangan yang harus diha dapi selanjutnya adalah bagai mana mereplikasi upaya-upaya inovasi land reform, yang pada intinya membuka akses and born and raised. The issue raised by Kinan, advisor to the Association of Aryo Blitar Farmers, showed how incapacitated the field workers felt, who in fact were the original owners of the agricultural estate where they toiled as laborers. This case shows how non-ownership of assets and access can be a direct result of policy that by default takes away a community’s power over assets. In tandem with the community’s capability to organize themselves to fight for their land rights with Kinan taking up the cudgels, life for this community has taken a turn for the better. This would be further enhanced once they have gained access to their rights to determine allocation of intangible resources. A similar situation happened in Garut and Bandung regencies, where assets and access to landholdings were opened up, enabling the communities to manage their own
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
memberikan asset tanah kepada petani dan masyarakat miskin, ke wilayah-wilayah lain yang mem punyai tanah potensial untuk ‘di bagikan’ kepada petani. Upayaupaya positif kemitraan yang telah diupayakan oleh BPN, Pemerintah Daerah, dan Swasta menjadi best practices dan lessons learned yang perlu ditularkan seluas-luasnya untuk mempercepat pengurangan kemiskinan. Yang lebih urgen lagi adalah bagaimana melembagakan pola-pola kemitraan yang telah terbukti efektif meningkatkan kesejahteraan rakyat ke dalam kebijakan dan program peme rintah daerah secara reguler. Jadi dalam inovasi land reform ini memerlukan good will sekaligus willingness to do dari pemerintah,
baik pusat maupun daerah, swasta dan kelompok lainnya. Program SAPA yang didu kung oleh berbagai stakeholders berupaya menjadi katalisator agar good will dan willingness dari semua pihak terkait refor ma agraria dapat tumbuh dan terjembatani dalam jejaring ke mitraan yang saling mengun tungkan. Upaya-upaya tersebut diantaranya dengan mengem bangkan resource center di 15 kabupaten/kota sebagai basis data kemiskinan yang akan di perkaya oleh pemerintah dae rah masing-masing untuk mem pertajam target kebijakan dan program daerah. Yang lebih pen ting lagi adalah resource center akan menjadi salah satu early
lives and free themselves from poverty. The success stories of land re form in the three areas are strong evidence that the notion for land ownership, long a favourite discour se of the National Land Agency is nothing to be “scared” about, nor is it an improbable one to make it real. Land reform in the form of asset and access reform can in fact be the central solution to poverty alleviation and social gaps, and it can empower and create prosperity for poor farming communities. The biggest challenge ahead is replicating the innovative efforts for land reform, the central point to open up access and provision of land assets to farmers and poor communities, in areas with enough land to be redistributed to farmers. Effective partnerships created between the National Land Agency, local governments, and the private
sector can produce best practices and lessons learned to be spread far and wide to reduce poverty. Even more urgent is the need to institutionalize those partnerships that have proven effective in increas ing the prosperity of communities, by the creation of policies and go vernment programs. Land reform innovations urgently need good will and political will on the part of both local and the central governments, as well as actors in the private sector and NGOs. The SAPA program participated by various stakeholders aims to be come a catalisator for goodwill and willingness of all parties involved in agrarian reform. We hope this reform will grow and create bridges between partners and networks, and be of benefit to all. These efforts include the establishment of resource centers in 15 cities/ regencies as the repository for
From The Editor warning system terhadap per masalahan-permasalahan sosial yang mungkin akan muncul dan memerlukan penanganan yang cepat. Yang pasti penang gulangan kemiskinan memerlu kan upaya yang konsisten dan terus menerus. Banyak cara dan jalan bisa ditempuh menuju ke sana, dan reforma agraria men jadi satu kunci sukses untuk me wujudkannya. Selamat membaca. Katiman Kartowinomo, Pemimpin Redaksi
poverty databases. This data can then be enhanced by the local governments in each locale to enrich their policy targets and local programs. More importantly, the resource centers can act as an early warning system for social problems that can emerge at any moment, needing rapid and careful handling. Poverty alleviation needs consistent and constant efforts. There are many roads and avenues that can be taken, and agrarian reform is one of the key solutions that could lead to the pathway of success. Happy reading, Katiman Kartowinomo, Editor in Chief 3
Data
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
Konversi Lahan, Pembangunan Pertanian, dan Kemiskinan di Indonesia Oleh, Yauri G.P Tetanel
I
ndonesia sejak lama telah mendeklarasikan diri nya sebagai negara agraris. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari potensi dan kesuburan lahan yang dimiliki, akan tetapi juga karena sebagian besar penduduknya menggantungkan mata pencahariannya pada bidang pertanian. Walaupun demikian, dalam beberapa dekade terakhir ini, pembangunan sektor pertanian mengalami ketertinggalan dengan pem bangunan sektor lainnya. Contoh yang dapat dilihat secara kasat mata, adalah tidak adanya keberpihakan pemerintah dalam melindungi alih fungsi lahan pertanian. Walaupun telah diterbitkan sejumlah kebijakan dan regulasi untuk mencegah alih funsi lahan pertanian, namun pada kenyataannya alih fungsi lahan pertanian terus meningkat setiap tahunnya. Data BPS menyebutkan terjadi alih fungsi lahan pertanian sebesar 100 ribu hektar per tahun. Berikut ini adalah grafik mengenai perkembangan luas lahan sawah di Indonesia. Grafik 1. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Indonesia (Juta Hektar)
Sumber Data : Luas Lahan & Penggunaannya, BPS
4
Data pada grafik, menunjukkan bahwa jumlah lahan sawah di pulau jawa terus mengalami penurunan dibandingkan dengan luas lahan sawah diluar pulau jawa. Penurunan lahan sawah dipulau jawa sebesar 10,37 juta hektar atau 0,31 % / tahun. Disamping masalah alih fungsi lahan sawah, persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah tanah terlantar.Dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penertiban & Pendayagunaan Tanah Terlantar dise butkan bahwa yang dimaksud dengan obyek pener tiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengankeadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Data BPN menyebutkan bahwa di Indonesia masih ada sekitar 7,2 juta hektar tanah terlantar. Alih fungsi lahan sawah di pulau jawa dipicu juga de ngan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun yang memberikan tekanan pada me ningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman maupun pembangunan infrasruktur lain nya. Meningkatnya alih fungsi lahan pertanian menimbulkan ancaman yang serius terhadap kemampuan negara dalam pe nyediaan pangan. Bahkan pada tahap tertentu, Indonesia mulai dianggap telah kehilangan ke daulatan atas pangan. Sebut saja beberapa komoditi penting per tanian yang menjadi konsumsi masyarakat banyak seperti beras, harus diimpor dari negara lain.
Data
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
Berikut ini adalah beberapa komoditi penting yang harus diimpor Indonesia dari negara lain. Tabel 1. Posisi & Rerata Volume Impor Indonesia Terhadap Bahan Pangan Bahan Pangan Rerata Volume Impor (Ribu Ton) Peringkat
Beras
437,99 13
Jagung
962,24 22
Kedelai
Daging
11
33
1.180,55
13,60
Gula
822,76 2
Sumber Data : USDA, Grain : World Markets & Trade. Desember 2007 dikutip melalui Harian Kompas.
Kebijakan negara yang belum berpihak pada pertanian juga berdampak pada aspek lainnya yaitu tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor per tanian. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun dan menjadi salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya urbanisasi masyarakat desa. Penurunan jumlah tenaga kerja di sektor pertani an akibat alih fungsi lahan serta tidak adanya kebijak an pemerintah yang melindungi produksi hasil perta nian dalam negeri juga menyebabkan dampak serius dalam penanggulangan kemiskinan. Kecenderungan yang terjadi selama ini memang menunjukkan pe
nurunan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun, namun demikian jumlah penduduk mis kin yang tinggal di perdesaan masih cukup tinggi. Bahkan diduga bahwa sebagian penduduk miskin yang berada di perkotaan merupakan juga pendu duk perdesaan yang melakukan urbanisasi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik di per kotaan. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai memfokuskan untuk mendorong implementasi program-program penanggulangan kemiskinan di perdesaan, seperti PNPM (Program Nasional Pem berdayaan Masyarakat). Walaupun demikian, pro gram–program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan belum sepenuhnya menjawab persoalan dasar yang menjadi akar kemiskinan ditingkat desa yaitu masih timpangnya distribusi kepemilikan dan penguasaan lahan. Hampir sebagian besar tenaga kerja pertanian diperdesaan merupakan buruh tani atau penggarap yang bekerja dengan upah yang sangat minim. Kondisi ini tentu saja tidak bisa ha nya diselesaikan dengan menginisiasi program pe nanggulangan kemiskinan, akan tetapi membutuh kan komitmen dan kebijakan politik pemerintah yang konsisten untuk mengakhiri ketimpangan yang berkepanjangan pada sektor pertanian. Berikut ini adalah gambaran mengenai perkembangan kondisi kemiskinan di tingkat perkotaan dan pedesaan.
Grafik 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Perdesaan & Perkotaan (Dalam Juta Jiwa).
Sumber : Data& Informasi Kemiskinan BPS
5
Data
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
Land Conversion, Agrarian Development, and Poverty in Indonesia By Yauri G.P Tetanel
I
ndonesia for quite a long time now has referred to itself as an agrarian country. This of course relates very much to the country’s fertile soil and land potential. But it also refers to the fact that a major portion of the population depends on agriculture for their livelihood. It is ironic then that in the past few decades, agrarian development is lagging far behind when compared to progress enjoyed by other sectors. An outstanding case in point is the fact that the government provides practically no protection against shifts in the usage of agrarian land. Even though policies and regulations exist in abundance to waylay alteration of agrarian land functions, the reality is, agrarian land continues to decrease as years go by. Data by the Bureau of Statistics show that these shifts occur to the tune of 100 thousand hectares per year. Follows is a graph of paddyfield development in Indonesia. Graph 1. Paddy-Field Development in Indonesia
Source: Land Size and Its Usage, Bureau of Statistics
6
The graph shows that the number of paddyfields in Java is on the decline (10.37 million hectares, or 0.31 per cent per year) in comparison to figures of land devoted to paddyfields outside of Java. Besides the matter of shifting of land function, another issue which is just as serious is that of fallow land.Government Regulation No. 11, 2010 governing Order and Utilization ofFallow Land statesthat fallow lands to be put in order include plots furnished with rights bestowed by the State in the form of Right of Ownership,Right of Livelihood Utilization, Right toBuild Upon, Right to Use, and Right to Manage, or basic power over plots not managed for business, not utilized, or land not made use of in line with its condition or characteristics or the aim of the rights and basic power over bestowedby the State.Datafrom the Bureau of Statistics show that some 7.2 million hectares of land are left fallow, or not made good use of.
Data
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
Shifts in usage of agrarian land on the island of Java is triggered by yearly population increases which create huge demands for housing areas and other types of infrastructure. This shift in agrarian land usage has created major pressures on the country’s ability to ensure food security. On a certain level, Indonesia is now perceived as having lost its food sovereignity. Several staple agricultural commodities, such as rice, now has to be imported. Follows is a graph that shows important staples that Indonesia imports from other countries. Table 1. Position and Average Food Import Volumes by Indonesia Food Type Average Import Volumes (in thousand Tons) Levels
Rice
Husk Corn
Soy
Meat
Sugar
437,99
962,24
1.180,55
13,60
822,76
13
22
11
33
2
Source: USDA, Grain: World Markets & Trade, Dec. 2007, quoted by Kompas daily
Policies that do not support growth in the agriculture sector also have impact on another aspect, that of the absorption of people working in that sector. Statistics show a definite decline on the numbers of people working in agriculture through the years, and this is one of the main factors behind the migration of village communities to urban centers.
The decline in numbers of the workforce in the agriculture sector is a direct result of changes in land usage, as well as the fact that the government pro vides no protective policies towards domestic agri culture products. This in turn has created serious poverty challenges. Statistics show that even though poor communities are on the decline in Indonesia, the number of poor populations in villages are still quite high. It is estimated that figures for portions of the poor in urban centers are also the self-same figures for poor communities in villages who have migrated to the city to seek out better livelihoods. In recent years, the government has focused on poverty alleviation programs, such as the PNPM (the National Community Empowerment Program) in village areas. Yet, these programs have not touched on the inherent cause of poverty at the village level, i.e. the glaring gaps in distribution of ownership and access to landholdings. A big number of the agricultural workforce in villages are field labourers or hired help who work for a very basic minimum wage. This state of affairs obviously cannot be solved by a mere initiation of poverty alleviation programs. They need real commitment and consistent goverment policies to end longstanding gaps in the agriculture sector. Follows is a graph on the development of poverty growth in urban centers and villages.
Graph 2. Development of Poor Populations in Villages and Urban Centers (in millions)
Source: Poverty Data and Information, Bureau of Statistics
7
Data
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
Apa Manfaat Sistem Informasi Desa (SID) Sejarah SID Gagasan pengembangan Sistem Informasi Desa (SID) yang dioperasikan oleh perangkat desa pertama kali muncul di tahun 2008 di Desa Terong di Ban tul, Yogyakarta. Pemerintah desa ingin membangun sistem layanan publik di desa yang baik, lengkap, dan cepat berdasarkan data berbasis computer yang akurat. Pemerintah Desa Terong, yang telah mengenal COMBINE Resource Institution (CRI) melalui pengelolaan jaringan radio komunitas di Yogyakarta, meminta bantuan NGO tersebut untuk membangun sistem informasi pengelolaan sumber daya komunitas. SID di Desa Terong mulai dibangun pada perte ngahan tahun 2009. Pada akhir tahun 2011 ini, SID telah diujicobakan di sejumlah desa di Yogyakarta, Jawa tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, meliputi:
• Bantul, Yogyakarta : • Gunungkidul, Yogyakarta : • Klaten, Jawa Tengah : • Magelang, Jawa Tengah : • Temanggung, Jawa Tengah : • Pacitan, Jawa Timur : • Tasikmalaya, Jawa Barat :
3 desa 2 desa 8 desa 2 desa 1 desa 1 desa 1 desa
What a Village Information System (SID) is For History of SID The notion to develop a Village Information System (SID) operated by the village administration was first sounded out in 2008 at the Terong Village in Bantul, Yogyakarta. Village administrations had a dire need to establish good public service systems that were comprehensive and rapid, and ones that used accurate computer-based data. The Terong Village administration, already familiar with the Combine Resource Institution (CRI) through a community radio network project in Yogyakarta, requested NGO assistance to push through the idea of establishing a community resource information mana gement system. SID in Terong Village began to be established in 8
Setelah berhasilnya ujicoba SID di berbagai desa tersebut, sekarang CRI, IDEA (Institute for Deve lopment and Economic Analysis, Yogyakarta) dan FORMASI (Forum Masyarakat Sipil, Kebumen), seba gai bagian dari SAPA, bekerjasama untuk secara ber tahap membangun SID di seluruh desa di Kabupaten Gunung Kidul dan Kebumen. Untuk tahap pertama, di Gunung Kidul SID dibangun di Desa Nglegi dan Girikarto. Kedua desa tersebut dipilih menjadi loka si awal pengembangan SID karena disana IDEA dan PKM (Peningkatan Keberdayaan Masyarakat), dalam kerangka program SAPA, telah memfasilitasi dilaku kannya Analisis Kemiskinan Desa Partisipatif (AKDP). AKPD kemudian diintegrasikan ke dalam SID supaya perencanaan dan pengambilan keputusan desa bisa responsif terhadap kebutuhan orang miskin.
Apa isi SID SID mempunyai tiga basis data utama, yakni basis data kependudukan desa, basis data keuangan desa, dan basis data sumber daya desa. Basis data kependudukan desa adalah bagian pertama yang dibangun untuk menjadi data dasar yang bisa dijadikan rujukan bagi pengembangan data dan informasi lainnya. Basis data kependudukan ini menyimpan data dasar keluarga yang mencakup data kependudukan berdasarkan data Kartu Keluarga (KK) dan data individu per Nomor Induk Kependudukan (NIK). mid-2009. By the end of 2011, the SID had already been tried and tested on a number of villages in Yogyakarta, Central Java, East Java and West Java, covering: Bantul, Yogyakarta Gunungkidul, Yogyakarta Klaten, Jawa Tengah Magelang, Jawa Tengah Temanggung, Jawa Tengah Pacitan, Jawa Timur Tasikmalaya, Jawa Barat
: : : : : : :
3 villages 2 villages 8 villages 2 villages 1 villages 1 villages 1 villages
After a successful SID trial run in all those villages, CRI, the Institute for Development and Economic Ana lysis (IDEA) in Yogyakarta, and the Forum for Civil So ciety (Formasi) in Kebumen, members of SAPA, are now working together in steps to form SID in all the villages throughout the Gunung Kidul and Kebumen Regencies.
Data
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
Data dalam SID dapat diolah secara statistik dan juga dapat dijadikan data dasar pengolahan dokumen. Catatan bukti kegiatan administrasi dan keuangan di tingkat desa terekam pula dalam sistem ini. Kegiatan urusan ke uangan desa yang bersifat ha rian, bulanan, dan tahunan da pat disimpan dan dipanggil kembali datanya dalam format standard yang telah diatur oleh pemerintah kabupaten. Modul keuangan dalam aplikasi SID ini dapat mencetak secara langsung laporan kas buku kecil sebagai bukti transaksi keuangan desa hingga jurnal.
Staf Pemerintah Kabupaten Bangka Barat berkunjung ke Desa Terong di Bantul untuk mempelajari SID.
Staf of West Bangka District Government visited Terong village in Bantul to learn about Village Information System (SID).
Siapa yang mengumpulkan dan melakukan updating data? Data awal SID Terong dibangun dengan mengguna kan hasil survei Data Dasar Keluarga – Profil Desa yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri di awal tahun 2010 yang merupakan kerjasama an tara pemerintah desa dengan lembaga masyarakat desa seperti dusun, RT, dan Karang Taruna. Proses input data 1605 Kepala Keluarga (KK) ke dalam SID At the beginning, the Gunung Kidul SID was established in the villages of Nglegi and Girikarto. The two villages were selected because it was there that IDEA and Association of Community Empowerment (ACE), as part of SAPA Program, facilitated a Participatory Village Poverty Ana lysis, or AKDP. This AKPD was later on integrated into the SID, to ensure all village planning and decisionmaking were responsive to the needs of the poor.
What Are SID’s Contents? SID contains three main databases, i.e. the village population figures, the village’s fiscal database, and information on the village’s resources. The village population database was the first part to be established to become the basic data for reference when creating further databases and information systems. Population data covered basic family data including population details, family data, and data on the individuals based
dilakukan oleh pemerintah desa dengan bantuan tim Karang Taruna selama 3 minggu. Untuk selanjutnya, proses pengelolaan data dan update data dilakukan oleh staf pemerintah Desa Terong. Sekarang SID Desa Terong sudah bisa diakses melalui internet di http://terong-bantul.web.id. Sedang SID Nglegi dan Girikarto bisa diakses di http://nglegi.sidesa.co.cc dan http://girikarto.sidesa.co.cc. on their Population Central Number (NIK). Data in SID can be crunched statistically, and can also be used as basic data to organize documents. Ad ministrative and fiscal village documents are recorded into the system. Fiscal activity of the village, from the daily, monthly and yearly records can be filed and retrie ved in standard format as organized by the regency ad ministration. Financial modules when applying SID can be printed directly into the ledgers as proof of monetary transactions right up to when they are recorded in the village’s journal.
Who compiles and updates data for SID? Initial Terong village SID data was constructed using survey results on Basic Family Data from the Village Profile published by the Ministry of Internal Affairs in early 2010, a joint-program between village adminis trations and village agencies, including hamlets, RT and 9
Data Update data dilakukan berbarengan dalam fungsi SID untuk pelayanan publik. Setiap hari dalam proses pelayanan publik kepada warga desa, staf pemerintah desa akan selalu menerima update perubahan atau koreksi data dari warga yang datang ke kantor desa untuk melakukan urusan administrasi. Perubahan, ko reksi, dan pembaruan data dapat dilakukan saat itu juga. Warga dapat melihat hasil update data itu me lalui satu komputer di ruang tunggu kantor desa atau melalui website. Jika ada data yang salah, warga dapat melaporkannya secara langsung atau melalui sms. Apa manfaat SID
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Gunung Kidul sangat mengapresiasi inovasi SID dan mempersilahkan data tersebut digunakan sebagai dasar pelaksanaan program daerah di dua desa tersebut. Rencananya, SID akan diagregasikan dengan sistem yang ada di tingkat kecamatan dan kabupaten. Sistem ini tidak hanya memungkinkan pemerintah yang lebih tinggi untuk memonitor proses yang terjadi di tingkat desa, tapi setiap Dinas Karang Taruna. Data input processing of 1605 Heads of Households into the SID was conducted by the village administration with the help of Karang Taruna members for three weeks. In the next step, data management and updating will be carried out by administrative staff of Terong Village. The Terong Village SID can now be accessed on http://terong-bantul.web.id. Nglegi and Girikarto SID can be accessed on http://nglegi.sidesa. co.cc and http://girikarto.sidesa.co.cc. Data updates can be carried out in tandem with the SID function of servicing the public. Each day in the process of servicing the village public, village adminis tration staff will keep on receiving alterations or data corrections from village members visiting their office. These alterations and corrections can be done right there and right away. The community can see the updates as they are processed into the computer in the waiting room of the office, or on the website. Incorrect data can be reported directly or through short messaging texts using cell phones.
Why SID is Needed The Local Poverty Alleviation Coordination Team (TKPKD) of Gunung Kidul has shown much appreciation 10
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
juga akan bisa memanfaatkan SID untuk menentukan prioritas dan penyaluran program-program mereka. Dengan demikian, program-program mereka akan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa, terutama penduduk miskinnya. Sinkronisasi sistem juga akan memungkinkan pemerintah kebupaten menampilkan berbagai doku men kebijakan perencanaan dan penganggaran se perti Pagu Indikatif Kecamatan (untuk sistem tingkat kecamatan) dan Pagu Indikatif SKPD yang berbasis Dinas (untuk sistem tingkat kabupaten). SID juga akan menawarkan sistem sms gateway yang me mungkinkan warga untuk mengirimkan data hasil monitoring yang mereka lakukan sendiri terhadap program-program pembangunan yang ada. Sistem informasi interaktif pengembangan SID saat ini se dang terus dikembangkan dalam sebuah sistem online di alamat http://lumbungkomunitas.net. Keber adaan sistem yang interaktif ini dapat mendorong terlaksananya program pengentasan kemiskinan yang efektif dan efisien.
towards the SID innovation, and has allowed their data to be used as the base for implementation of regional programs in the two villages. According to plan, SID will be aggregated into the Sub-district and Regency systems. The system does not only make it possible for higher offices to monitor processes occurring on the ground at village level, it also provides inputs for each Government Agency to examine priority issues and decide appropriate programs. Finally, programs created will be responsive to the community’s needs, in particular the needs of the poor in that community. Synchronization of the system will also make it possible for Regency Administration to present policy and budgeting documents such as the Sub-district Budget Platform and the SKPD Budget Platforms. SID can also offer a gateway equipped with short messaging system that would make it possible for community members to send personal monitoring results on existing development programs. Interactive information systems to develop SID are currently being designed into an online system on http://lumbungkomunitas.net. The existence of an interactive system can really push forward the implementation of effective and efficient poverty alleviation programs.
Inovasi
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
Kerjasama Multi Pihak dalam Pelaksanaan Reforma Agraria:
Sebuah Jalan Keluar Baru dalam Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Garut dan Bandung
J
awa Barat sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, sehingga ketika dari tahun ke tahun luas tanah garapan semakin ber kurang, isu kepemilikan tanah menjadi topik hangat. Disinyalir, semakin banyak orang menjadi miskin ka rena tidak lagi memiliki lahan untuk digarap. Mereka yang dahulu petani pemilik sawah, beralih menjadi buruh tani atau petani penggarap. Di daerah-daerah seperti Kabupaten Garut dan Bandung, kemiskinan tidak dapat terlepas dari masalah kepemilikan tanah. Maka ketika Pemerintah mengeluarkan program re forma agraria yang merupakan perpaduan antara asset reform dan access reform, disambut baik oleh semua pihak, utamanya petani tanpa tanah. Asset reform yang merupakan penataan kembali penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan peman faatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan pertanahan, mencakup redis tribusi tanah dan legalisasi aset. Sedangkan access
reform merupakan proses penyediaan akses bagi pe nerima manfaat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik serta partisipasi ekonomi politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan kapa sitas dan kemampuan yang memungkinkan petani untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan. Asset reform tanpa diikuti access reform tidak akan berhasil membuat petani keluar dari kemiskinan. Sebaliknya, asset reform yang diikuti dengan access reform akan menjadi jalan keluar ba gi petani untuk keluar dari kemiskinan , seperti yang terjadi di Kabupaten Garut dan Bandung.Sesungguh nya, reforma agraria bukanlah sesuatu yang baru yang dapat dikategorikan sebagai sebuah inovasi. Tetapi reforma agraria menjadi sebuah inovasi ketika dalam pelaksanaannya menggunakan dan melahirkan me tode baru yang mendatangkan keberhasilan. Dalam reforma agraria saat ini, ia tidak hanya sekedar asset reform, tetapi juga diikuti access reform.
Working Together to Implement Agrarian Reform:
Innovations in Poverty Alleviation in Garut and Bandung
A
large portion of the population in West Java relies on farming for their livelihood. This makes the issue of ever-decreasing landholdings over the years a hot topic for discussion. Many people became destitute for no longer having land to farm on. Many former paddy-field owners had to become field laborers, working on land owned by other parties. In areas such as Garut and Bandung, poverty is very much related to the issue of land ownership. Thus, when the government declared an agrarian reform program, i.e. a combination of asset reform and access reform, the move was applauded by stakeholders, especially landless farmers. Asset reform, which is a reorganization of owner ship and the right of use over land based on law and by-laws, also includes redistribution of land and lega lization of assets. Access reform is the process of providing beneficiaries an access to economic and
political resources, giving them access to capital, the market, technology, assistance, capacity building, and participation in political economy, and increasing their capability to develop land as their source of livelihood. Asset reform without access reform is of no use to farmers embroiled in poverty. On the other hand, the combination of the two re forms has provided a way out of destitution for farm ers in Garut and Bandung. Agrarian reform, of course, is nothing new, and cannot even be dubbed as inno vative. But it is innovation if in its implementation, new methodologies are enacted with successful end results. The current agrarian reform program does not only deal with the issues of assets and access, it also involves all stakeholders, encompassing the central and local governments, the private sector and NGOs, and of course the landless farmers. 11
Inovasi
12
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
Dalam pelaksanaannya pun melibatkan seluruh pihak, tidak hanya pemerintah (pusat atau daerah), tetapi juga swasta dan lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat penerima tanah (petani tanpa tanah). Keterlibatan multi pihak ini membutuhkan koordinasi satu dengan lainnya, agar reforma agraria dapat berjalan dengan baik. Maka pembagian peran masing-masing menjadi sebuah keharusan. Secara umum, pembagian peran yang terjadi adalah: BPN berperan dalam proses asset reform (redistribusi dan legalisasi tanah), ada kalanya swasta juga berperan dalam asset reform, yakni ketika memberikan tanah mereka untuk diredistribusikan. Pemerintah Daerah dan LSM lebih banyak berperan dalam access reform, walaupun dalam lingkup kegiatan yang berbeda. Pemerintah Daerah berperan dalam pemberian mo dal serta peningkatan kapasitas dan keahlian dalam rangka membuka akses ekonomi bagi petani pene rima tanah. LSM berperan dalam pengorganisasian dan peningkatan kapasitas petani, sehingga mereka mampu mengelola modal yang akan mereka terima bersamaan dengan pemberian tanah.
Potret keberhasilan petani (dan buruh perke bunan) yang memperoleh kombinasi asset reform dan access reformdalam bentuk tanah, modal (tidak hanya berupa uang), dan ketrampilan melalui peng organisasian yang dilakukan oleh LSM, dapat dilihat di Kabupaten Garut dan Bandung. Di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, buruh perkebunan yang menjadi sasaran pe laksanaan reforma agraria berhasil meningkatkan taraf hidupnya secara signifikan. Sebelum memiliki tanah (kebun karet), mereka bekerja sebagai bu ruh perkebunan dengan upah per bulan sebesar 220.000 rupiah. Setelah memperoleh tanah seluas rata-rata 1 hektar per kepala keluarga dan tana man karet, pendapatan mereka per bulan menca pai 7.000.000 rupiah. Tentunya, mereka dibekali dengan ketrampilan dalam mengelola perkebunan karet dan juga pemasarannya. Pemerintah Daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat bekerjasama dalam pengorganisasian buruh dan peningkatan kemampuan dan ketrampilan mereka.
Obviously, this involvement of multi-stakeholders needs thorough coordination to ensure that reform is carried out well. Each party has their own well-defined role. And so the National Land Agency, and in certain cases the private sector, take care of asset reform when divvying out their land for redistribution. Meanwhile, local governments and NGOs are more involved in access reform, though both holding differing roles. While the local administrations provide capital and expertise to open up economic access to program beneficiaries, NGOs help farmers to organize themselves and assist in capacity building so that farmers can manage their assets and landholdings well once they have received them. Portraits of successful farmers and field laborers, beneficiaries of a combination of assets and access reforms being enacted in the form of provision of land and capital (though not necessarily financial), and increased capacity organized by NGOs, can now be observed in the Bandung and Garut areas.
In the village of Sagara, Cibalong, in Garut, we now can find field laborers beneficiaries of agrarian reform who have improved the quality of their lives significantly. Before obtaining ownership of their rubber plantation land, they had been workers earning monthly salaries of Rp 220,000 (just a little under USD 25). After receiving rubber saplings and land to the amount of one hectare per household, their income multiplied to Rp 7,000,000 (almost USD 800) per month. They were also given trainings in plantation management and marketing techniques. The local government and NGOs had worked closely together to organize these workers to enhance their capacity and provide them with the skills they needed. In Bandung regency, coordination and division of stakeholder roles were key to the success of agrarian reform in the village of Cipelah. Local Government Departments, known as SKPD, defined each of their roles and coordinated with other SKPDs, ensuring that
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
Di Kabupaten Bandung, koordinasi dan pembagian peran para pihak menjadi kunci keberhasilan reforma agraria di Desa Cipelah. Pembagian peran SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) dan koordinasi antar SKPD berjalan dengan baik, sehingga tanah seluas 84,2 hektar berhasil diredistribusi kepada petani penggarap yang sebelumnya menggarap tanah yang dikuasai oleh PT Millenia Indonesia-Cibuni Estate. Beberapa SKPD yang terlibat dan bentuk keterlibatannya dapat dilihat dalam tabel berikut: No
1
2
3
4
5
6
7
SKPD
BKP3
Distanhutbun
Diskoperindag
BPMPD
Dinas SEDAPE
Disnakan
Kepala Desa
Progam Kegiatan
Desa Mandiri Pangan
Penyediaan bibit budi daya tanaman
Pelatihan koperasi
Alokasi Dana Desa (ADD)
Infrastruktur Irigasi
Penyediaan bibit ternak domba/kelinci
Melalui program reforma agraria (asset reform) sebanyak 200 KK memperoleh sertifikat tanah rumah tinggal mereka. Selain itu, tanah yang diobyek reforma agraria dialokasikan untuk pertanian dan pemba ngunan fasiltias umum. Dengan demikian, tanah yang sebelumnya hanya menjadi lahan tidur dapat diman faatkan untuk menanggulangi kemiskinan. Jika berjalan dengan baik, reforma agraria yang memadukan antara asset reform dan access reform dapat menjadi sebuah alternatif solusi dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Keberhasilan pelak sanaan reforma agraria membutuhkan keterlibatan seluruh pihak, baik Pemerintah (Pusat dan Daerah), swasta, maupun LSM, dan tentunya masyarakat yang menjadi sasaran program. Karena melibatkan banyak pihak, maka koordinasi dan sinergi para pihak menjadi sebuah keharusan.
Alokasi Dana Desa
84.2 hectares of land were successfully redistributed among farmers formerly working on land managed by PT Millenia Indonesia-Cibuni Estate. SKPDs and their forms of involvement can be glanced at in the following table: No
Innovation
SKPD (Local Govern ment Department)
Program Activity
1
BKP3
Village Food Sovereignity
2
Forest, Farming and Plantation Office
Provision of horticulture seedlings
3
Cooperatives, Industries and Trade Office
Cooperatives training
4
BPMPD
Village Fund Allocation (ADD)
5
Dinas SEDAPE
Irrigation Infrastructure
6
Animal Husbandry Office
Provision of sheep and rabbit livestock starters
7
Village Head
Village Fund Allocation
In this agrarian reform program, 200 households received certificates for their homes and land of abode. Land dedicated to the reform was allocated for farming and public amenities infrastructure. Thus, plots of land formerly lying fallow are now being utilized to overcome poverty. If all goes well, agrarian reform combining the con cepts of asset reform and access reform can be a solution in the effort to alleviate poverty. Success in this endeavor would need the involvement of all concerned, including local and national government administrations, the private sector, NGOs, and of course the communities targeted in the programs. As a multi-stakeholder effort, solid coordination and synergy among the parties should be an imperative.
13
Stakeholder’s Opinion
Dodi Kholid Imron (Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah)
S
ebagai Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanah an Nasional Provinsi Jawa Tengah, Bapak Dodi Kholid Imron banyak berkecimpung dalam reforma agraria, terutama karena di Jawa Tengah masalah kemiskinan banyak terkait dengan masalah kepemilikan aset. Dari 4.840.798 KK miskin di Jawa Tengah, sebanyak 1,26 Juta KK tidak memiliki rumah. Keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh ketiadaan kepemilikan asset tersebut mengakibatkan terjadi nya sengketa dan konflik pertanahan yang sistemik. Data Tahun 2011 menampakkan jumlah konflik, sengketa dan perkara di Jawa Tengah mencapai 347 kasus, dengan detil rincian: konflik sebanyak 5 kasus, sengketa sebanyak 102 kasus, dan perkara sebanyak 240 kasus. Permasalahan tersebutlah yang harus dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya oleh Kanwil Badan Per tanahan Nasional Prov Jateng dibawah kepemimpinan Bapak Dodi Kholid Imron. Reforma Agraria, yang merupakan program Badan Pertanahan Nasional menjadi jalan keluar yang efektif bagi permasalahan
Dodi Kholid Imron (Head of Provincial National Land Agency, Province of Central Java)
A
s the Central Java office Head of the National Land Agency, Dodi Kholid Imron is very familiar with agrarian reform issues, especially in light of the fact that in his region, much of the issues of poverty are directly related to the matter of asset ownership. Of 4,840,798 poor households in Central Java, 1.26 million of them do not own housing. Poverty as a result of nonownership of assets has periodically caused systemic conflicts and disputes over landholdings. In 2011, 347 dispute cases were recorded, covering: 5 cases of
14
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
tersebut. Kegiatan reforma agraria di Jateng telah menampakkan hasil yang dapat memberikan jalan keluar dari permasalahan kemiskinan yang ber sumber pada ketiadaan aset. Di Cilacap, melalui proses mediasi denganantara masyarakat dengan PT RSA, tanah seluas 284,12 ha diredistribusikan kepada 5.141 petani penggarap, di Desa Kauripan Kec. Subah Kabupaten Batang, melalui mediasi, konflik pertanahan dapat diselesaikan, dan tanah seluas 32,72 Ha berhasil diredistribusikan untuk kurang lebih 144 petani penggarap, di Desa Trisobo Kecamatan Boja Kabupaten Kendal, melalui mediasi, konflik pertanahan antara masyarakat dan PT. KAL, dan tanah seluas 11,5 Ha berhasil diresdistribusikan untuk kurang lebih 500 petani. Selain dalam bentuk redistribusi tanah, refor ma agraria secara utuh, yang merupakan perpaduan antara asset reform dan access reform juga telah ber hasil dilakukan. Kerjasama terbesar dalam rangka access reform dilakukanmelalui MOU antaraKanwil BPN dengan: Pemprov. Jawa Tengah, Bank Indonesia, Diperindagkop, Dinas Peternakan, Pemkab Semarang, PT. SidoMuncul, Bank BRI, Bank Jateng, PT. Indolakto, PT. Cimori, PT. Sari Husada, danPT. CitaNasional. Access reform tersebut diwujudkan dalam bentuk pengembangan klaster tanaman obat dan sapi perah/ sapi potong.
conflict, 102 cases of land disputes, and legal tussling amounting to 240 cases. These cases had to be provided with solutions. Agrarian Reform, a program under the National Land Agency has been deemed as being the most effective of these solutions. Agrarian Reform in Central Java has been most successful in the alleviation of poverty caused by non-ownership of assets. In Cilacap, a process of mediation between the community and PT RSA company resulted in 284.12 hectares of land being redistributed to 5,141 landless farmers. In the village of Kauripan, Subah, in Batang, mediation resulted in 32.72 hectares being redistributed to around 144 landless farmers. In the village of Trisobo, Boja, Kendal, mediation between the community and PT KAL company resulted in 11.5
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
Stakeholder’s Opinion
Menyadari pentingnya peran dan keterlibatan banyak pihak selain pemerintah, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi Jawa Tengah dibawah kepemimpinan Bapak Dodi, bekerjasama dengan pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli dan memfokuskan kegiatannya pada isu tanah. Oleh karena itu, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi Jawa Tengah menyambut baik kerjasama yang ditawarkan oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) melalui kerangka program SAPA (Strategic
Alliance for Poverty Alleviation) untuk bersamasama mendorong partisipasi petani tidak bertanah dalam pengambilan keputusan pelaksanaan pilot projectreforma agraria di Jawa Selatan. Melalui kerjasama ini, diharapkan reforma agraria di Propinsi Jawa Tengah dapat berjalan semakin baik, sehingga petani yang miskin karena tidak memiliki tanah semakin berkurang, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir dari reforma agraria dapat tercapai.
hectares of land being redistributed to around 500 farmers. Besides showing solid results in the form of redistribution of land, comprehensive agrarian reform, which is a combination of asset reform and access reform, has also been successfully implemented. The biggest joint-effort for access-reform was conducted under an MOU between the Head of the Land Agency and the Provincial Government of Central Java; Bank Indonesia; the Industries, Trade and Cooperatives Department; Animal Husbandry Department; Regency Government of Semarang; PT Sidomuncul; Bank BRI; Bank Jateng; PT Indolakto; PT Cimori; PT Sari Husada and PT Cita nasional. Access reform was created in the form of cluster development for herbs and dairy cattle
and cattle for meat products. Realizing the importance of having a multi-stake holders approach including other parties beside govern ment agencies, the Land Agency of Central Java under Dodi worked in cooperation with the private sector and NGOs committed to land issues. The Central Java office embraced wholeheartedly an intiative to work closely with an Agrarian Reform Consortium (KPA) under the SAPA Program. Participation for non-landholding farmers towards the right of self-determination and decision making was the aim in an agrarian reform pilot project in Southern Java. It was hoped that the jointeffort would result in a decrease in the numbers of very poor farmers, and that community prosperity could be increased substantially.
15
Stakeholder’s Opinion
Kinan (Dewan Penasehat Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) & Presidium Paguyuban Warga Tani Kulonbambang)
P
erjalanan hidup Bapak Kinan adalah sejarah perkebunan Kulonbambang dan gerakan buruh perkebunan untuk keluar dari eksploitasi yang terjadi di perkebunan tersebut.Eksploitasi buruh di perkebunan Kulonbambang terjadi dengan masuknya PT Sawit Guni Kawi. Petani yang pada awalnya memiliki hak kepemilikan tanah di perkebunan Kulonbambang, berbalik menjadi buruh karena kepemilikan tanah mereka beralih ke PT Sawit Guni Kawi. Masa ini ditandai dengan rendahnya upah yang diterima oleh buruh, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Pada tahun 1999, upah yang diterima adalah 3500 rupiah per hari, dengan waktu kerja dari pukul 06.00 hingga pukul 14.00. Karyawan perempuan yang hamil, tetap harus bekerja hingga 2 minggu sebelum waktu melahirkan, dan kembali
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
bekerja sebulan setelah melahirkan. Agar buruh tidak memiliki daya (kemampuan) untuk meninggalkan perkebunan, mereka pun dibatasi haknya atas kepemilikan ternak, untuk kambing tidak boleh lebih dari 2 ekor, sedangkan untuk sapi hanya boleh 1 ekor. Anak-anak mereka yang telah menyelesaikan SMP nya pun tidak diperbolehkan bekerja keluar perkebunan. Bahkan pilihan politik pun dibatasi. Tidak ada karyawan yang diperbolehkan memilih selain memilih partai politik yangberkuasa pada saat itu. Sanksi bagi yang memiliki pilihan berbeda adalah pengusiran. Maka pekerjaan sebagai buruh perkebunan adalah pekerjaan turun temurun. Diskriminasi yang dialami terus menerus, serta beban harus memikul anggapan bahwa menjadi orang persil bodoh, miskin dan tidak berdaulat, menimbulkan dorongan dalam diri Bapak Kinan untuk mulai memperjuangkan hak buruh perkebunan agar mereka dapat menjadi pemilik tanah yang memiliki kedaulatan. Perjuangan tersebut tidak mudah, tantangan datang tidak hanya dari pihak perkebunan, tetapi juga dari para buruh yang merasa takut.
Kinan (Member of Advisory Board Aryo Blitar Farmers Club, member of Presidium of Kulonbambang Farming Club
K
inan’s lifestory is the history of Kulonbambang Plantation and plantation worker movement to come out from the exploitation that occurs there. Exploitation on plantation workers started to take place when PT Sawit Guni Kawi entered the picture. The company began exploiting worker farmers. Farmers who were orginally landholders of their own estate in Kulonbambang were turned into laborers to work the land now held by the company. Wholesale exploitation was evident in the very low wages the workers received, besides many other forms of discrimination. In 1999, a
16
field laborer received a salary of Rp 3,500 a day, with working hours from 06.00 am to 2 pm. Pregnant female workers had to work til at least two weeks before the expected due date and were expected to return to work one month after giving birth. To disenfranchise the workers, the company limited the right to ownership of animals. One person could not own more than two goats, and only one head of cattle. Their children who had reached middle school were not allowed to work outside the plantation. If the offspring did dare to work outside, the parents would be dismissed from the plantation. Even their political aspirations were stunted. All worker farmers were to vote for the ruling party at the time. Sanction was swift and cruel: dismissal from the plantation. Work in the area then became a family affair, going down from parents to offsprings.
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
Stakeholder’s Opinion
Berbagai cara ditempuh untuk memperjuangkan kedaulatan mereka melalui kepemilikan tanah, mulai dari berunjuk rasa, menduduki kantor DPRD dan Kantor Pemkab Blitar, hingga menduduki tanah dengan cara menanam jagung dll hingga membangun rumah di atasnya, agar tanah tersebut tidak diambil oleh pihak perkebunan. Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya DPRD mengeluarkan rekomendasi bahwa beberapa persen dari tanah sengketa menjadi milik masyarakat. Dan akhirnya melalui sidang land reform, diputuskan bahwa tanah tersebut menjadi milik masyarakat. Dari cerita perjalanan hidup Bapak Kinan dapat ditarik benang merah bahwa kepemilikan tanah penting bagi kaum miskin (yang diwakili oleh buruh perkebunan) untuk keluar dari kemiskinan karena tanah membuat mereka berdaulat. Walaupun hak tersebut membutuhkan perjuangan yang panjang, dengan kesolidan para buruh yang terorganisir, buah manislah yang mereka peroleh. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Kinan, apa yang mereka raih saat ini, tidak terlepas dari peran KPA (Konsorsium
Pembaruan Agraria) yang mendampingi Bapak Kinan selama memperjuangkan hak para buruh. Sebagai salah satu pelaksana program SAPA (Stra tegic Alliance for Poverty Alleviation), KPA melakukan berbagai upaya untuk mendorong partisipasi orga nisasi-organisasi petani dalam pengambilan keputusan dalam rangka pelaksanaan reforma agraria, yang salah satu daerah pendampingan mereka adalah Blitar.
The unfair practices and treatments of workers as if they were down and out, dumb beings with no dignity and sovereignity pushed a button in Kinan’s heart to fight for his and his friends’ rights to get their landholdings back. This of course was not an easy path, as Kinan did not only have to face the company, he had to negotiate with his frightened colleague workers. The workers tried every avenue to take back their land ownership. They picketed, organized sit down demonstrations at the parliament hall and the Blitar government office. They planted corn instead of the required plants, and even went so far as to build houses on the plantation land to symbolize the original ownership. After much frustration, the local parliament issued a recommendation that a certain percentage of the land should be given back to the community. Finally,
through a land reform hearing, the land was returned to the people. Kinan’s story shows how important it is for the very poor to have ownership of the land they work on in order for them to come out of poverty and regain their human dignity. Even though their struggle was long and arduous, workers who organize themselves proved that their struggles can be immensely worthwhile. Kinan has pointed out that they would not have won without the support of the KPA who provided him with information on his rights thorugh every step of the struggle. As one of the SAPA implementors, KPA takes every effort to push for participatory action by farmers in the agrarian reform decision making processes. This is highly evident in the fight taken up by the farmer workers of Blitar.
17
News from SAPA
Launching Resource Center
Penanggulangan Kemiskinan di 15 Kabupaten/Kota Lokasi Program SAPA
S
ebagai salah satu wujud kepedulian dan komit men Program SAPA terhadap upaya penang gulangan kemiskinan di daerah, dibentuklah Resource Center Penanggulangan Kemiskinan di 15 kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja Program SAPA. Setelah melalui tahapan persiapan berupa penyediaan data kemiskinan yang menjadi salah satu menu yang disajikan dalam Resource Cen ter, maka dilakukanlah peresmiannya di kelima be las kabupaten/kota tersebut, yang ditandai dengan penyerahan data kepada Resource Center yang ber kedudukan di Sekretariat Tim Koordinasi Penang gulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). Jenis data
Launching of Poverty Alleviation Resource Centers in SAPA’s 15 Best Practice Cities/Regencies
A
s part and parcel of the SAPA Program’s com mitment to take part in the effort to alleviate poverty in the regions, Poverty Alleviation Centers have now been created in 15 Cities/Regencies where SAPA Programs have been established. After going through preparation steps involving compilation of data on poverty, the fifteen Resource Centers were inaugurated, marked by submission of the said data to the Centers based in each Local Poverty Alleviation Coordination Team, known as the TKPKD. The type of data available in each Resource Center include: i) data on poverty (encompassing education, health, population, etc.); ii) data on unemployment
18
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
yang disediakan Resource Center diantaranya: i) da ta kemiskinan (pendidikan, kesehatan, penduduk, dll); ii) data pengangguran (pengangguran terbuka, pekerja formal & informal, dll); iii) data program & kebijakan penanggulangan kemiskinan (Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/kota); iv) data alokasi ang garan penanggulangan kemiskinan (APBD, Dana De konsentrasi, DDUB, DAK); v) data regulasi & kebijakan penanggulangan kemiskinan (Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota); dan vi) hasil penelitian tentang pe nanggulangan kemiskinan di daerah. Kelak Resource Center diharapkan dapat menja lankan peran: i) mengumpulkan data & Informasi Ke miskinan dari dinas atau instansi terkait; ii) menge lola database kemiskinan daerah; iii) menganalisis kondisi kemiskinan di daerah; iv) mengkaji kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan daerah; v) memberikan bantuan teknis terhadap TKPKD dan SKPD dalam penyusunan kebijakan & program pe nanggulangan kemiskinan; dan vi) sebagai wadah pertukaran informasi kemiskinan antar pemangku
(open unemployments, formal workforce, infomal workforce, etc); iii) data on poverty alleviation programs and policies (at the national, provincial, and city/regency levels); iv) data on poverty allocation budgets (National Budget, Deconcentration Fund, DDUB, DAK); v) data on regulations and policies for poverty alleviation (at the national, provincial and city/regency levels); and, vi) research and studies on poverty alleviation efforts in the regions. It is hoped that the Resource Centers will eventually take up the role to: i) collate data and information on Poverty from related government offices and agencies; ii) manage a database on poverty in the regions; iii) analyze poverty conditions in the areas; iv) examine regional poverty alleviation policies and regulations; v) provide technical assistance to TKPKD and SKPD in formulating policies and programs to alleviate poverty; and vi) become an information exchange center for poverty issues between stakeholders in the regions.
SAPA NEWSLETTER, VOLUME 1, DECEMBER 2011
kepentingan di daerah. Beberapa daerah yang saat ini telah memiliki Resource Center yang peresmiannya dilakukan oleh Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemis kinan Kementrian Koordinator Bidang Kesejahtera an Rakyat (atau yang mewakili) sebagai salah satu stakeholder sekaligus penggagas Program SAPA, di antaranya: 1. Resource Center Kab. Lombok Tengah, diresmikan pada tanggal 13 Juli 2011 2. Resource Center Kab. Serdang Bedagai, diresmikan pada tanggal 15 Juli 2011 3. Resource Center Kab.Sukabumi, diresmikan pada tanggal 18 Juli 2011 4. Resource Center Kab.Subang, diresmikan pada tanggal 21 Juli 2011 5. Resource Center Kota Surakarta, diresmikan pada tanggal 28 Juli 2011 6. Resource Center Kota Makasar, diresmikan pada tanggal 29 Juli 2011
Areas that now have Resource Centers officiated by the Deputy for Coordination of Poverty Alleviation under the Coordinating Ministry for Social Welfare, as one of the stakeholders and initiators of the SAPA Programs, now include among others: 1. The Central Lombok Regency Resource Center, inaugurated on July 13, 2011 2. The Serdang Bedagai Regency Resource Center, inaugurated July 15, 2011 3. The Sukabumi Regency Resource Center, inaugurated on July 18, 2011 4. The Subang Regency Resource Center, inaugurated on July 21, 2011 5. The Surakarta Resource Center, inaugurated on July 28, 2011 6. The Makasar Resource Center, inaugurated on July 29, 2011 7. The Banda Aceh Resource Center, inaugurated on August 8, 2011
News from SAPA
7. Resource Center Kota Banda Aceh, diresmikan pada tanggal 8 Agustus 2011 8. Resource Center Kab. Gunung Kidul, diresmikan pada tanggal 25 Agustus 2011 9. Resource Center Kab.Jembrana, diresmikan pada tanggal 12 September 2011 10. Resource Center Kota Kupang, diresmikan pada tanggal 21 September 2011 11. Resource Center Kab.Kebumen, diresmikan pada tanggal 24 September 2011 12. Resource Center Kota Tasikmalaya, diresmikan pada tanggal 6 Oktober 2011 13. Resource Center Kabupaten Garut, yang diresmikan pada tanggal 24 November 2011
Dua daerah yang Resource Center-nya belum diresmikan adalah Kabupaten Bandung dan Ciamis. Peluncuran Resource Center kedua daerah tersebut akan dilakukan pada akhir bulan Desember 2011, sehingga pada akhir tahun ini seluruh lokasi program SAPA telah memiliki Resource Center.
8. The Gunung Kidul Regency Resource Center, inaugurated on August 25, 2011 9. The Jembrana Regency Resource Center, inaugurated on September 12, 2011 10. The Kupang Resource Center, inaugurated on September 21, 2011 11. The Kebumen Regency Resource Center, inaugurated on September 24, 2011 12. The Tasikmalaya Resource Center, inaugurated on October 6, 2011 13. The Garut Regency Resource Center, inaugurated on November 24, 2011 The two remaining areas that have not yet had their Resource Centers inaugurated are Bandung and Ciamis Regencies. Officiation of these two Resource Centers are scheduled to take place this December, so that by year’s end, all the locales where the SAPA Program operates will have their own resource centers.
19
News from SAPA
SAPA NEWSLETTER, EDISI 1, DESEMBER 2011
Bapak Sujana Royat (Deputi Bidang Koordinasi Penanggulanan Kemiskinan dan Pemberdayaan MasyarakatKemenko Kesra) meresmikan RC Kab.Subang.
Bapak Hadi Santoso (Asisten Deputi Bidang Pengarusutamaan Kebijakan dan Penganggaran, Kemenko Kesra) dan Bapak Dicky Chandra (Wakil Bupati Garut yang juga Ketua TKPKD Kab.Garut) meresmikan RC Kab. Garut.
20