KEMAMPUAN ADAPTASI MASYARAKAT DI PERMUKIMAN KUMUH TERHADAP BANJIR ROB : STUDI KASUS KELURAHAN KEMIJEN KOTA SEMARANG Dessy Febrianty1 dan FX. Hermawan Kusumartono2
1
Balai Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Sumber Daya Air Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email:
[email protected] 2 Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email:
[email protected]
Tanggal diterima: 3 November 2011 ; Tanggal disetujui 17: November 2011 ABSTRACT Kemijen is one of the quite phenomenal residential locations in the northern of Semarang. In that village, there’s a slum settlement on the edge of the city, which grew rapidly since 1970. The existence of settlements in Kemijen historically associated with various companies, trade centers, and industry around it, which has links to support the settlement. Rob floods always occur, and socio-economic activities of society be disrupted directly or indirectly. The research aims to determine and analyze the socio-economic factors that support society life, associated with community ability to adapt about flooding rob. This research uses qualitative approach, which is expected to get a real description of the dynamics of society life, as well as understanding the realities of life settlement based on their perception. Data collection techniques with in-depth interview, observation, and literature review. Data analysis with 4 steps, identification, classification, interpretation and conclusion. The result shows that the dynamics of socio-economic activities in Kemijen supported by the emergence of various economic activities (subsistence enterprises and shadow economy) and also supported by the strength of social organization both organizations formed by governments or local communities and outside organizations, which helped the survival of the society. The resident’s perception indicated that they were aware that their settlements far from feasible. However, proximity to work, easy access, dynamic economic activity, and strong social organization, causing them to survive in this settlement. In the context of sustainability development, the programs for the slum settlement need to be increased, seeing that the condition of slums that became very high due to frequent rob flooding. Keywords: slum, rob floods, adaptation, institution. ABSTRAK Salah satu lokasi hunian di bagian timur Kota Semarang yang cukup fenomenal adalah Kelurahan Kemijen. Di kelurahan tersebut, terdapat sebuah permukiman yang masuk dalam kategori kumuh. Secara historis bertalian erat dengan pelbagai perusahaan, pusat perdagangan, dan industri yang tumbuh di sekitarnya yang memiliki hubungan dalam menopang pertumbuhan permukiman tersebut. Secara historis pula banjir rob menjadi langganan yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi aktifitas sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat dikaitkan dengan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap banjir rob. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, melalui metode ini diharapkan dapat diperoleh gambaran riil tentang kehidupan masyarakat serta bagaimana mereka beradaptasi terhadap kondisi lingkungan mereka. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan kajian literatur. Sedangkan Analisis data dilakukan dengan empat tahap, yaitu tahap identifikasi, klasifikasi, interpretasi dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kemampuan adaptasi masyarakat di permukiman kumuh Kemijen didukung oleh munculnya berbagai kegiatan ekonomi (usaha subsisten dan shadow ekonomi), kedekatan dengan tempat kerja, mudahnya akses serta kekuatan organisasi sosial (organisasi bentukan pemerintah, organisasi luar, dan organisasi bentukan masyarakat lokal) yang membantu keberlangsungan kehidupan warga. Hal-hal tersebut yang menyebabkan mereka bertahan di lokasi ini. Kata kunci : kumuh, banjir rob, adaptasi, kemampuan adaptasi, kelembagaan.
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 139-149
PENDAHULUAN Sebagai kota menengah di Pulau Jawa yang sedang tumbuh, Kota Semarang dihadapkan pada persoalan munculnya permukiman kumuh. Secara historis, tumbuhnya permukiman ini berjalan seiring dengan perkembangan dan perluasan Kota Semarang. Paling tidak, terdapat tiga tipe permukiman kumuh di Kota Semarang, yaitu yang berada di pusat kota, semipinggiran, dan di pinggir kota (bagian selatan, timur, dan barat). Benih-benih permukiman kumuh yang berada di pusat kota sebenarnya telah tumbuh sejak lama, semenjak Kota Semarang memainkan fungsi sebagai tempat distribusi pelbagai komoditi perkebunan dari pedalaman pulau Jawa pada era Kolonial. Keberadaan pelabuhan sebagai tempat distribusi menyebabkan banyak migran masuk pada paruh pertama abad ke-20. Setelah tahun 1970-an, secara perlahan Kota Semarang memekarkan dirinya ke bagian utara selatan, timur, dan barat. Menurut sejarah resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang, sejak akhir 1970-an, bagian timur dan barat didesain sebagai pusat industri. Pada saat yang sama, bagian selatan Kota Semarang dimaksudkan sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, yang berpusat di Simpang Lima. Pola yang agak berbeda, muncul di bagian utara. Pada akhir tahun 1970-an, bagian utara Kota Semarang tumbuh menjadi hamparan luas hunian penduduk yang berpenghasilan rendah dan sebagian merupakan permukiman kumuh. Salah satu lokasi hunian di bagian timur Kota Semarang yang cukup fenomenal adalah di Kelurahan Kemijen. Di kelurahan tersebut, terdapat sebuah permukiman yang masuk dalam
kategori kumuh. Permukiman yang berlokasi di semipinggiran ini merupakan kampung yang tumbuh pesat sejak tahun 1970-an. Keberadaan permukiman di Kelurahan Kemijen secara historis bertalian erat dengan pelbagai perusahaan, pusat perdagangan, dan industri yang tumbuh di sekitarnya. Gudang-gudang PJKA, berbagai perusahaan besar (seperti perusahaan rokok, BAT, dan perusahaan pengolah kayu yang diekspor), serta Pertamina memiliki hubungan dalam menopang pertumbuhan permukiman tersebut. Di Kelurahan Kemijen juga dihuni oleh penduduk dari berbagai daerah. Dengan demikian, penduduk di kampung ini lebih banyak terdiri dari migran. Arus migrasi yang terusmenerus menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk yang berdampak pada peningkatan kebutuhan akan tempat hunian. Pesatnya pembangunan rumah-rumah di wilayah kelurahan tersebut menjadikan kampung ini kemudian mengalami penurunan kualitas lingkungan, sehingga menjadi kumuh. Disamping itu, banjir yang disebabkan oleh rob yang terjadi pada waktu-waktu tertentu secara rutin juga menambah buruknya kondisi lingkungan. Permasalahan banjir yang disebabkan oleh rob tersebut telah mencapai kondisi yang memprihatinkan, karena secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terhambatnya berbagai kegiatan ekonomi dan sosial. Banjir rob tersebut tidak hanya berdampak negatif pada lingkungan hidup dan kegiatan ekonomi sosial saja, namun juga mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, kerugian materiil, terganggunya mata pencaharian warga serta terganggunya sistem
Sumber : Laporan Akhir Penelitian Kelembagaan Banjir Perkotaan di Semarang
Gambar 1. Permukiman Kumuh di Kelurahan Kemijen
140
Kemampuan Adaptasi Masyarakat di Permukiman Kumuh Terhadap Banjir Rob Dessy Febrianty dan FX. Hermawan Kusumartono
Sumber : www.liputan6.com
Gambar 2. Banjir Yang terjadi di Kelurahan Kemijen pendidikan. Hal ini seperti banjir rob yang terjadi pada Bulan Mei 2011 dimana merendam ratusan rumah di Kelurahan Kemijen dan Kelurahan Tanjung Mas dengan ketinggian air mencapai satu meter (Liputan6.com: 28-05-2011). Namun kondisi tersebut tidak menyurutkan masyarakat di Kelurahan Kemijen untuk tetap tinggal di wilayah tersebut. Kajian aspek teknis mengenai banjir rob yang terjadi di Kota Semarang telah banyak dilakukan, sedangkan mengenai aspek sosialnya masih sedikit. Pada tahun 2007, Dina Wahyu Oktaviani melakukan kajian mengenai “Motivasi Masyarakat Bertempat Tinggal di Kawasan Rawan Banjir dan Rob Perumahan Tanah Mas Kota Semarang”. Dari hasil analisis ditemukan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi alasan masyarakat bertempat tinggal di Perumahan Tanah Mas adalah kemudahan mobilitas seharihari karena kestrategisan yang dimiliki oleh Perumahan Tanah Mas mampu mendukung aktivitas dan produktivitas masyarakat, lingkungan sosial yang baik dan sudah terbina cukup lama sehingga memberikan ketenangan dan ketentraman bagi masyarakat, serta kemudahan dan kenyamanan memperoleh berbagai layanan kebutuhan sehari- hari karena ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai yang dimiliki oleh Perumahan Tanah Mas. Kemampuan ekonomi masyarakat yang cukup baik dalam melakukan penanganan banjir dan rob di wilayah mereka membuat masyarakat Tanah Mas secara swadaya dapat mengatasi permasalahan banjir rob yang terjadi di wilayah mereka tanpa bantuan pemerintah. Hal ini berbeda dengan karakteristik masyarakat di wilayah Kelurahan Kemijen, yang wilayahnya
tergolong dalam permukiman kumuh yang kemampuan ekonominya rendah. Berdasarkan hal tersebut di atas, muncul satu permasalahan bagaimana masyarakat di Kelurahan Kemijen tersebut tetap bertahan hidup di lingkungan kumuh yang hampir setiap hari terjadi banjir rob. Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab adalah faktor sosial-ekonomi apa saja yang mempengaruhi kemampuan masyarakat beradaptasi terhadap banjir rob? Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat dikaitkan dengan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap banjir rob. KAJIAN PUSTAKA Menurut Yudohusodo dan Soelarli, ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh suatu lingkungan permukiman kumuh yakni : (Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1992:10) (a) Kondisi fisik lingkungan tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas, dan utilitas lingkungan. Walaupun ada biasanya kondisinya sangat buruk serta tata letak bangunan yang tidak teratur. (b) Kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan yang semipermanen. (c) Kepadatan bangunan lebih besar dari yang diizinkan, dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (lebih 500 jiwa pe hektar). (d) Fungsi kota yang bercampur dan tidak beraturan. Masrun (2009) memaparkan bahwa pengertian permukiman kumuh mengacu pada
141
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 139-149
aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk deteriorated baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahayakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, tingkat kepadatan hunian sangat tinggi, tingkat kepadatan bangunan yang sangat tinggi, kualitas rumah sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka/rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan, perbelanjaan dan sebagainya. Selain itu juga diwarnai oleh tingkat pendapatan penghuninya yang rendah, tingkat pendidikan dan keterampilan yang sangat rendah, tingkat privasi keluarga yang rendah serta kohesivitas komunitas yang rendah karena beragamnya norma sosial budaya yang dianut. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, menegaskan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan atau tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya. Berdasarkan definisi mengenai permukiman kumuh tersebut, Kelurahan Kemijen memiliki karakteristik seperti yang disebutkan pada refrensi di atas, sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah permukiman kumuh. Secara sederhana, banjir dapat diartikan sebagai meluapnya air dari sungai atau bentukbentuk saluran air yang lain yang menyebabkan limpasan dan genangan air pada kawasan atau daratan yang seharusnya kering. Kondisi meluapnya air tersebut merupakan kondisi yang luar biasa. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini: “A flood is an unusual high stage of a river due to runoff from rainfall and/or melting of snow in quantities too great to be confined in the normal water surface elevations of the river or
stream, as the result of unusual meteorological combination.” (Ragunath, 2006, 212 ) Dari kutipan di atas dapat dirumuskan bahwa banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan di dataran akibat luapan air sungai yang disebabkan debit aliran melebihi kapasitasnya. Selain akibat luapan air sungai, naiknya permukaan air laut ke daratan (rob), banjir dapat terjadi akibat hujan yang lebih karena kondisi setempat tidak lagi mampu mengalirkannya. Meskipun demikian, pengertian ini menjadi lebih kompleks dan rumit ketika digunakan secara kontekstual terhadap permasalahan banjir yang dihadapi. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, banjir sering dipandang sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi ini, volume air yang mengalir di permukaan Bumi secara dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah. Dari pandangan ini, dapat dirumuskan bahwa pada dasarnya, banjir merupakan fenomena alam. Tetapi, pada umumnya, pengertian banjir sering dikonotasikan pada dampak negatif yang ditimbulkannya. Dalam kehidupan sehari-hari hampir setiap orang selalu menghadapi perubahan karena sifat hidup ini yang dinamis, sehingga individu yang bersangkutan harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian tersebut dilakukan karena adanya tuntutan yang dapat bersifat internal maupun eksternal. Tuntutan yang sifatnya internal ini muncul dari adanya kebutuhan biologis untuk mempertahankan diri, sedangkan tuntutan yang sifatnya eksternal muncul dari lingkungan fisik dan sosial sekitarnya. Tulisan ini mencoba untuk melihat penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh Masyarakat Kemijen terhadap kondisi lingkungan fisiknya yang dikategorikan lingkungan permukiman kumuh dan dilanda banjir rob setiap waktunya. Menurut Sarwono (1992:47), terdapat dua jenis penyesuaian yang pertama adalah adaptasi yaitu penyesuaian antar individu dengan lingkungannya dimana dalam hal ini adalah proses individu berusaha mengubah dirinya agar sesuai dengan lingkungannya. Yang kedua adalah adjustment yaitu penyesuaian lingkungan pada diri individu. Namun, yang dibahas pada tulisan ini adalah jenis penyesuaian yang pertama. Torsten Grothmann dan Anthony Patt menjelaskan secara panjang lebar mengenai definisi adaptasi dan kemampuan adaptasi dalam tulisannya untuk Meeting of The Global
142
Kemampuan Adaptasi Masyarakat di Permukiman Kumuh Terhadap Banjir Rob Dessy Febrianty dan FX. Hermawan Kusumartono
Environmental Change Research Community yang dilakukan pada tanggal 16-18 Oktober 2003 di Montreal, Canada. Mereka menyatakan bahwa adaptasi terdiri dari dua hal yaitu proses penyesuian dan kondisi penyesuaian. Secara lebih khusus, mereka menganggap adaptasi sebagai proses sosial-kognitif-perilaku/tindakan. Oleh karena itu adaptasi tidak hanya sebagai perilaku adaptif/penyesuaian, tetapi juga sebagai perubahan dalam kognisi (persepsi dan resiko), yang secara sosial dibangun dan dinegosiasikan. Terdapat dua dimensi yang mempengaruhi perilaku individu dalam proses adaptasi. Pertama adalah perilaku individu yang terdiri dari proaktif dan reaktif (mengacu pada bentuk, atau lebih khusus dengan waktu adaptasi) serta yang kedua adalah mengacu pada aktor. Kemampuan adaptasi adalah kemampuan dari suatu sistem, daerah atau masyarakat untuk beradaptasi dengan efek atau dampak dari perubahan yang berhubungan dengan kondisi ekonomi (sumberdaya), sosial, kelembagaan dan teknologi (Smit & Pilisova, 2001, hal 879). Kemampuan adaptasi juga dipengaruhi oleh motivasi yang berkaitan dengan apa yang ingin dilakukan, tujuan serta nilai atau norma. Persepsi merupakan penentu utama dari motivasi yang merupakan penilaian terhadap kemungkinan (probabilitas) terkena dampak yang merugikan dari perubahan. Dalam hal ini adalah penilaian masyarakat terhadap banjir rob akan membahayakan hal-hal yang bernilai seperti rumah atau properti lainnya. Hal ini akan mempengaruhi tingkat keparahan yang dirasakan dan merupakan motivasi untuk beradaptasi. METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dipilihnya metode tersebut untuk memahami bagaimana masyarakat di Kelurahan Kemijen tersebut tetap bertahan hidup di lingkungan kumuh yang hampir setiap hari terjadi banjir rob. Melalui metode ini, dapat diperoleh gambaran riil tentang faktor-faktor sosial ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat dikaitkan dengan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap banjir rob. Dinamika kehidupan masyarakat serta pemahaman dan penghayatan masyarakat terhadap realitas lingkungan permukiman berdasarkan persepsi mereka. Dengan demikian, data yang diperoleh benar-benar lahir dari pemahaman masyarakat yang penuh makna (Soetandyo, 2001:22). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan kajian pustaka. Wawancara mendalam dilakukan
kepada informan yang dipilih secara purposif sesuai dengan kriteria yang ditetapkan yaitu terhadap kepala keluarga yang bertempat tinggal di dekat Kali Banger dimana setiap harinya mengalami banjir rob. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap orang-orang yang bekerja di sektor informal yang ada. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap perwakilan dari kelompok-kelompok atau organisasi sosial baik yang bersifat formal (RW dan RT) maupun kelompok informal (PKK, Kelompok Pengajian dll). Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yaitu dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober tahun 2009. Observasi dilakukan dengan cara mengamati lokasi lingkungan permukiman dan mencermati aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam menjalani kehidupan kesehariannya. Sedangkan kajian literatur dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder berupa dokumen dan hasil kajian terkait dengan permasalahan yang diteliti. Teknik analisis data dilakukan dengan empat tahap, yakni tahap identifikasi, klasifikasi, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Tahap identifikasi dilaksanakan pada fase awal untuk memilah data yang dibutuhkan yang terjaring pada saat pengumpulan data dilakukan. Tahap klasifikasi dilakukan ketika data yang sudah diidentifikasi kemudian dipilah berdasarkan kategori-kategori tertentu. Selanjutnya, tahap interpretasi dilaksanakan dengan memberikan penafsiran terhadap fonemena data yang ada serta mengaitkannya dengan teori yang dijadikan pijakan konseptual. Tahap penarikan kesimpulan dilakukan dengan membuat kristalisasi untuk menjawab secara tegas pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya. Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Alasan dipilihnya Kelurahan Kemijen karena di lokasi ini pertumbuhan permukiman kumuh masih terus berlangsung. Keberadaan tanah-tanah milik
Tabel 2. Jumlah Curah Hujan di Kota Semarang Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Curah Hujan 6.333 6.459 5.469 7.929 10.281
Sumber : Kota Semarang Dalam Angka 2009
143
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 139-149
perusahaan yang masih ”kosong” menjadi magnet bagi migran untuk membangun permukiman baru. Selain itu, di lokasi ini juga terdapat tipe permukiman yang legal dan yang ilegal sehingga dapat memperkaya pemahaman tentang keberadaan permukiman kumuh secara lebih komprehensif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kelurahan Kemijen Wilayah permukiman di Kelurahan Kemijen tergolong dalam wilayah permukiman kumuh dengan luas wilayah sekitar 140,9 hektar. Hal ini tidak hanya ditandai dengan kepadatan penduduknya yang tinggi, yaitu 9.588 km² dan laju pertumbuhan penduduk 0,20% pertahun (Profil Kependudukan Kota Semarang: 2010). Terlihat juga dari kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan yang semipermanen, ini dapat dilihat pada bangunan perumahan yang berada di sepanjang Kali Banger. Bahkan beberapa rumah tersebut amblas dengan sebagian material yang lapuk. Bagi masyarakat yang mampu, mereka merenovasi rumahnya menjadi dua lantai. Kondisi bangunan tersebut disebabkan karena banjir rob yang terjadi pada setiap hari. Hal ini bertambah parah pada saat musim hujan. Di mana curah hujan di wilayah Kota Semarang semakin meningkat dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada tabel 2. Sebagian besar mata pencaharian Penduduk Kelurahan Kemijen adalah bekerja di sektor informal. Jenis pekerjaan di sektor informal ini misalnya, buruh industri, pedagang, buruh bangunan, dan lain-lain, sedangkan jenis pekerjaan di sektor formal misalnya, pegawai negeri sipil dan ABRI. Tingginya persentase warga yang bekerja di sektor informal dapat
dilihat pada tabel berikut ini. Dominannya penduduk yang bekerja di sektor informal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, letak Kelurahan Kemijen yang berdekatan dengan sejumlah perusahaan besar, baik milik pemerintah (Perusahaan Jawatan Kereta ApiPJKA, Pertamina, dan PT Pelabuhan Tanjung Mas) maupun swasta (Lingkungan Industri Kecil-LKC, Pusat Pergulakan Alfa, dan BAT) serta terdapatnya sejumlah pasar (pasar Johar, pasar Ayam, serta beberapa pasar ”kaget” yang dalam bahasa setempat disebut pasar ’tiban’). Kedekatan dengan pusat kota memudahkan penduduk untuk bekerja pada perusahaanperusahaan tersebut dibandingkan dengan penduduk di wilayah lain. Perusahaanperusahaan ini membutuhkan banyak tenaga kerja, terutama buruh. Misalnya, PJKA yang memiliki gudang penyimpanan banyak membutuhkan buruh untuk memindahkan barang ke kereta dan sebaliknya. Hal yang sama juga terjadi di Pelabuhan Tanjung Mas yang merupakan tempat bongkar–muat barang dari dan ke Semarang, serta di beberapa perusahaan industri lainnya yang juga membutuhkan banyak buruh terutama industri mebel. Banyaknya pasar di sekitar kelurahan tersebut membuat masyarakat memiliki peluang yang besar untuk menjadi pedagang. Kedua, tingkat pendidikan penduduk yang relatif rendah (rata-rata SLTA ke bawah) menyebabkan pada umumnya mereka hanya bisa terserap di sektor informal. Hal dimungkinkan karena jenis pekerjaan di sektor ini tidak terlalu banyak membutuhkan keterampilan dan tidak menuntut pendidikan yang tinggi sehingga dengan pendidikan yang sedang pun bisa memperoleh pekerjaan. Walaupun secara khusus data mengenai tingkat pendidikan untuk Kelurahan Kemijen
Tabel 2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Kemijen Jenis Pekerjaan Buruh Industri (pabrik) Buruh Bangunan Buruh Pertambangan Perajin/Industri Kecil Pedagang Pengangkutan ABRI Pegawai Negeri Sipil Pensiunan (ABRI/PNS) Jumlah
Jumlah
Persentase 4.018 2.190 3 2 2.542 8 8 365 136 9.272
3,33% 23,62% 0,035 0,02% 27,41% 0,09% 0,09% 3,94% 1,47% 100,00%
Sumber: Monografi Kelurahan Kemijen, 2009
144
Kemampuan Adaptasi Masyarakat di Permukiman Kumuh Terhadap Banjir Rob Dessy Febrianty dan FX. Hermawan Kusumartono
tidak tersedia, tetapi jika dilihat tingkat pendidikan pada tingkat Kecamatan Semarang Timur, maka dapat diketahui begitu banyaknya penduduk yang tingkat pendidikannya rendah. Di tingkat kecamatan, jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA ke bawah sebesar 92,64% (68.420 jiwa), selebihnya D1 ke atas hanya sebesar 7,35% (5.432 jiwa). Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Menopang Kehidupan Permukiman a. Kegiatan Ekonomi Buruh dan perdagangan merupakan sektor yang paling banyak dilakukan oleh warga Kemijen untuk memperoleh pendapatan. Selain itu, juga terdapat usaha subsisten dalam skala kecil seperti jualan makanan (pecel, bubur, es, kue-kue dll). Selain itu, cukup banyak warga membuka usaha dengan menjual barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga (warung-warung kecil). Jenis usaha warung ini oleh para pemiliknya dijadikan sebagai penyangga utama kebutuhan keluarga. Bahkan, ada di antara pemilik warung secara total menjadikan usaha itu sebagai tumpuan satu-satunya untuk pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga, termasuk membesarkan dan menyekolahkan anakanaknya. Kemunculan usaha warung ini sangat terkait dengan pola kehidupan masyarakat sekitar yang sangat konsumtif serta dipengaruhi prinsip ”cepat dapat, cepat habis”. Kondisi kehidupan masyarakat yang mudah memperoleh penghasilan secara cepat dan pada esok hari pun peluang untuk mendapatkan uang tetap besar menyebabkan munculnya perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif yang demikian, secara resiprokal menumbuh suburkan usaha-usaha sejenis yang secara langsung menjadikan urat nadi kehidupan ekonomi daerah itu semakin berdenyut. Di samping itu, berbagai jenis usaha lain yang digeluti oleh warga di Kemijen adalah usaha pengupasan bulu ayam, usaha pembuatan horden, usaha jahitan pakaian, usaha reparasi alat elektronik dan usaha mengumpulkan barangbarang bekas. Semua usaha tersebut tergolong dalam skala kecil. Selain usaha subsis ten, terdapat kegiatan ekonomi yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan “shadow” ekonomi. Kegiatan ini merupakan dampak dari adanya Depot Pertamina sebagai tempat distribusi minyak yang akan dikirim ke berbagai SPBU. Salah satu kegiatan tersebut adalah apa yang disebut warga dengan istilah “minyak kencing”, yaitu membeli minyak (solar, bensin dan minyak tanah) secara ilegal dari supir truk tangki minyak milik
Pertamina. Biasanya para pembeli tersebut hanya menyiapkan drum-drum kosong, yang kemudian jika sudah terisi akan dijual di pasar terdekat dengan harga dibawah standar. Karena kegiatan ini bersifat ilegal, walaupun keuntungan yang diperoleh bisa dikatakan cukup menjanjikan, namun kegiatan ini sangat beresiko. Namun tetap saja peminatnya cukup banyak, karena mudah untuk dilakukan. Masih di tempat yang sama, kegiatan mengumpulkan tetesan minyak juga banyak diminati oleh warga. Bentuk pekerjaan ini adalah para warga menunggu setiap truk tangki yang masuk ke depo pengisian minyak Pertamina, kemudian mengambil tetesan minyak, baik sebelum maupun sesudah pengisian. Setiap orang rata-rata dapat mengumpulkan sekitar 15 liter minyak sehari. Selanjutnya, minyak tersebut dijual ke penjual eceran di sekitar lokasi dengan harga dibawah harga pasaran. Di Kemijen, usaha mengumpulkan tetesan minyak ini lebih dikenal dengan istilah ”ngetus minyak”. Selain usaha menadah minyak, juga terdapat usaha ”sopir bayangan” yang lokasinya juga di Depot Pertamina. Jenis usaha ini muncul dilatarbelakangi oleh banyaknya truk yang antri untuk mengisi minyak hingga berjam-jam. Pada saat antri, sopir dan kenek-kenek truk biasanya menggunakan waktu untuk menunggu sambil makan atau minum kopi. Akan tetapi, pada saat mereka sedang makan atau minum, mobil di depan mereka maju beberapa meter sehingga secara otomatis mobil-mobil yang ada di belakangnya memberi isyarat untuk maju. Pada saat seperti itulah, para sopir bayangan berfungsi untuk menggantikan sementara sopir yang sedang makan atau minum tersebut. Pada umumnya, para sopir bayangan ini mendapat upah tergantung dari kerelaan sopir. Namun, karena jumlah mobil yang antri cukup banyak, maka jumlah pendapatan yang diterima para sopir bayangan ini terbilang cukup lumayan. Mudahnya warga Kimijen memperoleh pekerjaan menyebabkan sulit ditemukan warga masyarakat yang sudah dewasa berstatus sebagai pengangguran. Begitu mudahnya mereka mendapat pekerjaan dan bisa menghasilkan uang. Bahkan, sering muncul ungkapan dari masyarakat bahwa ”buat apa sekolah tinggitinggi, tanpa sekolah yang tinggi kita bisa cari uang”. Walaupun jenis pekerjaan yang dilakukan bersifat informal, namun secara umum pendapatan penduduk Kemijen relatif cukup. Kondisi ini membuat masyarakat tetap nyaman untuk tinggal di wilayah mereka walaupun setiap harinya dilanda banjir rob. Menurut pemahaman
145
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 139-149
mereka, di tempat lain mereka belum tentu mudah mendapatkan pekerjaan. b. Organisasi Sosial dan Kelembagaan Secara garis besar, organisasi lokal yang ada di Kemijen dapat dibagi tiga, yakni organisasi yang bersifat formal dan organisasi yang bersifat informal. 1. Organisasi Formal Rukun Tetangga (RT) adalah organisasi yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah bagi para warga untuk saling berkomunikasi dalam rangka meningkatkan ketenteraman warga setempat. Wadah Rukun Tetangga ini memainkan peranan dalam mengorganisasi warga sehingga dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan tingkat RT. Intensitas dan kedekatan warga dikuatkan dengan adanya arisan. Arisan ini bersifat tidak wajib, namun secara sosial warga merasa terikat untuk ikut kegiatan arisan tersebut. Hal ini disebakan dalam arisan tersebut sebagian uangnya diperuntukan untuk kebutuhan sosial warga dan uang kas PKK RT. Dana sosial ini bisanya digunakan untuk membantu dan meringankan beban keluarga yang tetimpa musibah, seperti kematian dan membantu jika ada anggota keluarga yang di rawat di rumah sakit. Sedangkan dana bangunan digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti gudang tempat penyimpanan gerobak sampah dan perlengkapan umum lainnya. Umumnya terdapat dua kelompok arisan dalam setiap RT, yaitu kelompok arisan yang beranggotakan bapak-bapak dan kelompok arisan yang beranggotakan ibu-ibu (PKK). Walaupun jumlah nominal yang diperoleh tidak banyak, namun cukup membantu sebagai ajang untuk merekatkan warga. Arisan yang dilakukan, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak ini oleh warga setempat disebut sebagai ”bulan jumpa”. Melalui bulan jumpa, warga RT melakukan komunikasi dalam menanggapi perkembangan situasi di wilayah mereka, seperti keamanan, pembangunan, dan pendidikan. Tidak jarang melalui bulan jumpa (arisan) ini muncul ide-ide dari warga untuk melakukan suatu kegiatan yang bermanfaat bagi seluruh warga. Sebagai contoh, usulan peninggian badan jalan dan pavingisasi muncul dalam acara bulan jumpa itu. Selain memfasilitasi diadakannya arisan, Ketua RT juga membantu menyalurkan berbagai program bantuan dari pemerintah (seperti raskin, Jaring Pengaman Sosial, dll). Rukun Warga (RW) berfungsi sebagai mediator, baik secara vertikal ke atas (kelurahan)
maupun ke bawah (RT). Di samping itu, RW juga sebagai fasilitator bagi warga RT yang memiliki keinginan yang serupa. Pada umumnya, fungsi organisasi Rukun Warga adalah melakukan sosialisasi program-program pembangunan yang akan dilaksanakan dalam wilayah administrasi RW. Misalnya, ketika ada program pembuatan selokan atau pavingisasi jalan, pihak RW langsung melakukan penyebarluasan informasi, baik kepada para pengurus RT maupun pengurus RW secara keseluruhan. Hal ini dilakukan guna memupuk perasaan memiliki di antara warga sehingga hasil-hasil pembangunan itu dapat bermanfaat dan dipelihara oleh warga. Demikian pula, dengan adanya program dana kontigensi dari Walikota Semarang, pihak RW memfasilitasi RT untuk membuat proposal kegiatan yang akan dilakukan di wilayah yang selanjutnya diperjuangkan di tingkat kelurahan. Di samping itu, organisasi Rukun Warga juga berfungsi sebagai mediator untuk menjembatani keinginan dari RT setempat dalam melakukan kegiatan secara bersama. Sebagai contoh, ketika warga berkeinginan membangun mushalla, maka pihak RW dan RT langsung turun tangan mempertemukan kedua pihak. Selain itu, kegiatan seperti pembersihan prasarana lingkungan permukiman (drainase/got) yang melintasi dua wilayah RT, juga dilakukan dengan peran RW. Di tingkat RW, terdapat divisi kematian yang mengurus segala keperluan pemakaman bagi warga yang meninggal. Ketika ada berita bahwa ada warga yang meninggal, segera divisi menjalankan tugasnya seperti mencari mobil ambulance, menyediakan perlengkapan mayat, sampai urusan pemakaman (mencarikan tempat penguburan). Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban keluarga yang sedang berduka yang oleh warga dianggap sebagai manifestasi solidaritas sosial. 2. Organisasi Informal Terdapat sub kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat Kemijen yang keberadaannya cukup penting. Salah satunya adalah kelompok usaha simpan pinjam yang anggotanya adalah ibu-ibu rumah tangga. Umumnya, kelompok ini terbentuk karena kedekatan tempat tinggal, bukan berdasarkan pada wilayah formal. Di setiap wilayah RT, rata-rata terdapat 2 kelompok usaha pinjam. Usaha simpan pinjam ini tidak bersifat formal seperti yang kita jumpai dalam koperasi. Jumlah anggotanya pun tidak terlalu banyak, hanya berjumlah sekitar 20 orang. Setiap warga yang ingin menjadi anggota usaha ini diwajibkan membayar iuran pokok. Selanjutnya, setiap anggota bisa menyimpan berapa saja
146
Kemampuan Adaptasi Masyarakat di Permukiman Kumuh Terhadap Banjir Rob Dessy Febrianty dan FX. Hermawan Kusumartono
sesuai dengan kemampuannya. Sifatnya sangat elastis dan luwes, dalam pengertian bahwa setiap anggota bisa menabung secara rutin, misalnya setiap dua minggu atau sekali sebulan. Bisa pula tidak secara rutin atau berkala, misalnya ketika tiba-tiba mendapat rezeki yang lebih, maka dapat menabung uang pada saat itu juga. Sementara itu, jika ada anggota yang membutuhkan uang, dapat meminjam uang simpanan ini. Setiap peminjam akan dikenai bunga sebesar 10% yang diangsur bersama uang pokoknya selama tiga bulan. Pada umumnya warga mengatakan sangat tertolong dengan adanya usaha simpan pinjam ini. Bagi warga yang memiliki banyak tabungan, juga akan mendapatkan bunga yang lebih banyak karena proporsi yang disetor oleh peminjam akan didistribusikan kepada penabung secara proporsional pula. Selain usaha simpan pinjam terdapat juga kegiatan yang mirip, yaitu apa yang disebut dengan “arisan roti”. Arisan ”roti” ini berbeda dengan arisan pada umumnya, karena arisan ini diorientasikan dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri. Setiap peserta arisan diwajibkan menyetor uang tertentu yang jumlahnya telah ditentukan oleh pengurus pada setiap minggu selama satu tahun. Rentang waktu arisan roti dimulai adalah dua minggu setelah lebaran hingga satu minggu sebelum lebaran dan peserta secara serentak (seminggu sebelum lebaran) mendapat hasil arisan. Di akhir (satu minggu sebelum lebaran) para peserta tidak mendapatkan hasil berupa uang melainkan paket. Jenis paketnya cukup beragam tergantung dari permintaan peserta. Yang umumnya diminati peserta adalah sistem paket yang isinya berupa sembako (beras, mentega, biskuit dan lain-lain). Arisan ini dikelola oleh orang yang dianggap mampu dan dapat dipercaya mengelola uang. Sebelum akhir kegiatan, uang yang terkumpul tersebut biasanya dimasukan kedalam rekening pengelola. Namun jika ada anggota yang membutuhkan uang, uang tersebut dapat dipinjam selama tiga bulan dengan bunga 10%. Jenis kelompok lain yang dapat dikategorikan sebagai kelompok usaha simpan-pinjam adalah Baitul Maal Wa Tanwil (BMT). Kelompok ini berasal dari pengajian ibu-ibu yang tidak dibatasi areal keanggotaannya dan dikoordinir oleh salah saseorang pemuka agama di RT tersebut. Selain mengadakan arisan dan menabung, kelompok ini juga memberikan pinjaman bagi anggotanya yang membutuhkan. Dari uraian di atas terlihat hubungan sosial yang sangat erat di antara warga Kemijen yang membentuk kehidupan sosial yang baik. Kondisi ini membuat jaringan sosial (social network) yang
dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam beradaptasi terhadap lingkungan fisik yang selalu dilanda banjir rob. Adanya perasaan saling percaya satu sama lain sehingga mengakibatkan para anggota masyarakat lebih permisif dan menerima terhadap informasi kegiatan di sektor informal yang dilakukan oleh sesama anggota masyarakat. Sebagai dasar dari modal sosial adalah trust, norma, dan jaringan (Lawang : 2005) yang terdapat dalam komunitas tersebut sehingga memberikan kepercayaan diri pada anggotanya secara kumulatif dan menjadi suatu aset sosial yang berguna untuk memfasilitasi kerjasama dalam menghadapi lingkungannya (dalam hal ini banjir rob). Persepsi Tentang Permukiman Ideal Bagi warga di Kemijen, rumah dipandang memiliki fungsi sebagai wahana untuk sosialisasi keluarga, tempat membangun hubungan sosial dengan sesama warga. Sedangkan rumah yang ideal menurut mereka adalah yang memiliki fasilitas-fasilitas, seperti WC, PAM, dan fasilitas sosial seperti sarana olahraga dan sarana sosial yang memadai. Bisa dipahami tipe ideal permukiman tersebut karena rata-rata rumah mereka tidak memiliki WC yang memadai. Warga pada umumnya buang air besar di atas selokan dan di atas tambak-tambak. Demikian pula, kebutuhan air yang diperlukan tampak sangat sulit terpenuhi karena persediaan air amat terbatas (membeli per jerigen). Bahkan di beberapa wilayah RT, warga sangat mendambakan adanya PAM khususnya di kampung Penjaringan. Demikian pula, dalam hal fasilitas sosial, anak-anak pada umumnya hanya bermain bola di gang-gang yang sempit. Sarana sosial lainnya pun seperti balai juga tidak ada. Warga hanya mempergunakan ruang publik di pinggir Kali Banger dengan membuat tempat duduk (”linca”) untuk bersantai dan bercengkrama dengan tetangga yang lain. Bagi warga Kemijen, akses terhadap pekerjaan tidak menjadi masalah karena lokasi tempat tinggal mereka berada dekat dengan Terminal Terboyo sehingga sarana transportasi untuk masuk dan keluar wilayah Kemijen banyak tersedia. Demikian pula akses ke dalam Kampung mudah untuk dijangkau karena tersedia sarana becak sampai ke gang-gang yang kecil. Masalahmasalah pelayanan publik juga tidak menjadi problema karena pihak pemerintah sangat akomodatif dalam melayani kepentingan warga. Hanya saja bagi yang masih berstatus pendatang baru, biasanya mengalami kesulitan dalam mengakses layanan publik, karena adanya persyaratan-persyaratan terutama dalam
147
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 139-149
mengurus KTP. Namun demikian, yang mereka harapkan adalah bagaimana jalan-jalan di ganggang diperbaiki karena sudah banyak yang rusak akibat rob. Walaupun ruang publik (public space) terdapat di beberapa tempat di Kemijen, jumlah dan kualitasnya masih dirasa kurang. Di beberapa RT di Kemijen, terdapat arena sosial di mana warga bisa berkumpul sambil menghabiskan waktu luangnya. Sebagian waktu diluangkan untuk berkumpul pada sore dan malam hari. Umumnya warga berkumpul di tempat-tempat yang dinamakan linca, berupa tempat duduk yang panjang yang terbuat dari bambu atau kayu di pinggir jalan belokan (pojok) di permukiman tersebut. Sebagian arena sosial juga dilakukan di teras-teras rumah penduduk. Selain linca dan teras ada juga gardu ronda. Di samping itu, ada mushala yang selain sebagai tempat ibadah juga sebagai arena sosial warga setelah melaksanakan ibadah. Di mushala itu, juga merupakan tempat pengajian anak-anak dan orang tua. Persepsi Terhadap Banjir ROB Bagi warga Kemijen, banjir yang terjadi di wilayah mereka adalah hal yang memang terbiasa mereka alami, terutama pada musim hujan. Mereka sadar bahwa banjir tersebut memang salah satu yang menyebabkan kondisi lingkungan permukiman mereka menjadi kumuh. Namun mereka menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar, karena banjir yang terjadi tersebut merupakan peristiwa alam. Walaupun warga merasa sangat terganggu dengan seringnya terjadi banjir rob, namun sebagian dari mereka tidak ingin pindah dari lokasi tersebut. Hal ini terkait dengan matapencaharian mereka, yang memang sudah sejak lama menopang kehidupan mereka. Pada prinsipnya warga memaknai banjir rob sebagai peristiwa alam yang tidak mungkin mereka hindari. Mereka tidak pernah mengeluh, bahkan sebagian besar warga mencoba beradaptasi dengan cara meninggikan rumah mereka, untuk mencegah masuknya banjir rob ke dalam rumah mereka. Bahkan sebagian kecil sampai merenovasi rumah mereka menjadi bertingkat. Secara sosial, warga sering melakukan kerjabakti membersihkan jalan lingkungan setelah terjadinya banjir. Warga Kemijen sangat mengharapkan pemerintah dapat mengatasi banjir rob yang terjadi di wilayah mereka. Mereka sangat ingin adanya perbaikan terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Program-program penanganan banjir yang telah dilakukan oleh pemerintah
sangat diharapkan ditinjau ulang kembali. Warga sangat mendukung terhadap program-program penanganan banjir rob di wilayah mereka. Bahkan warga Kemijen tidak keberatan dipungut biaya, jika memang untuk mengatasi banjir rob tersebut. Kemampuan Adaptasi Masyarakat Terhadap Banjir Rob Aktivitas sosial ekonomi yang terjadi di Kemijen dapat dikatakan sangat hidup dan dinamis. Munculnya berbagai jenis kegiatan ekonomi (ekonomi subsisten dan shadow ekonomi) semakin memberi jaminan terhadap keberadaan warga untuk tetap tinggal di permukiman kumuh yang hampir setiap waktu terjadi banjir rob. Apa yang dikatakan Torsten Grothmann dan Anthony Patt mengenai proses dan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi mendapat konfirmasi empirik di Kemijen. Adaptasi proaktif terhadap banjir rob dilakukan dengan cara meninggikan rumah mereka, bahkan sebagian kecil merenovasi rumah mereka menjadi bertingkat. Sedangkan adaptasi reaktif dilakukan dengan cara memindahkan furnitur ke lantai atas, atau pemilihan furnitur dan alat-alat rumah tangga yang tidak terlalu mahal untuk menghindari besarnya kerugian materi jika banjir rob terjadi. Kemampuan adaptasi masyarakat Kemijen untuk tetap bertahan tinggal di wilayah permukiman yang setiap harinya terjadi banjir rob dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, organisasi sosial (kelembagaan) dan teknologi. Keberadaan penjaja dan penjual kecil menjadi penopang utama bagi kehidupan sebagian warga (termasuk shadow ekonomi: “minyak kencing”, sopir bayangan, dan ngetus minyak). Hubungan sosial yang cukup erat antar sesama warga Kemijen, terutama dengan keberadaan organisasi sosial (formal dan informal) ternyata mampu membentuk lingkungan sosial yang baik, yang berfungsi semacam jaring pengaman sosial. Jika ada warga membutuhkan dana, ada yang sakit, ada yang meninggal dapat terbantu melalui organisasi sosial yang ada dan berkembang di Kemijen. Hal ini juga merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat betah dan tetap memilih untuk tinggal di wilayah tersebut. Kemudahan mobilitas sehari-hari karena nilai lebih kestrategisan yang dimiliki oleh wilayah Kelurahan Kemijen mampu mendukung aktivitas dan produktivitas masyarakat, sehingga memudahkan untuk memperoleh berbagai layanan kebutuhan sehari- hari. Banjir rob yang selalu terjadi di wilayah Kemijen dimaknai warga sebagai peristiwa alam
148
Kemampuan Adaptasi Masyarakat di Permukiman Kumuh Terhadap Banjir Rob Dessy Febrianty dan FX. Hermawan Kusumartono
yang sulit mereka hindari. Persepsi tersebut menentukan motivasi masyarakat untuk tetap tinggal di wilayah yang selalu dilanda banjir rob dan kemudian mempengaruhi terhadap tindakan mereka untuk beradaptasi. Motivasi tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya penanganan dan pengendalian banjir dan rob agar banjir yang terjadi tidak semakin parah dan keberlanjutan masyarakat dapat terjamin, maka perlu upaya penanganan dan pengendalian banjir dan rob yang lebih efektif dan efisien. KESIMPULAN Berdasarkan data dan analisis yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan seperti berikut ini. (a) Kemampuan adaptasi warga di permukiman kumuh Kemijen didukung oleh munculnya berbagai kegiatan ekonomi (usaha subsisten dan shadow ekonomi) serta ditopang oleh kekuatan organisasi sosial (organisasi bentukan pemerintah, organisasi luar, dan organisasi bentukan masyarakat lokal) yang membantu keberlangsungan kehidupan warga. (b) Warga permukiman kumuh di Kemijen menyadari lingkungan permukiman jauh dari ukuran layak ditambah banjir rob yang terjadi sehari-hari. Namun demikian, kedekatan dengan tempat kerja, mudahnya akses, dinamisnya kegiatan ekonomi, serta kuatnya organisasi sosial menyebabkan mereka bertahan di lokasi ini. (c) Program-program penataan kawasan kumuh dalam bingkai pembangunan berkelanjutan terutama penanganan terhadap banjir rob peru dilakukan dengan memperhatikan kegiatan ekonomi serta kekuatan organisasi sosial yang ada. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2010. Profil Kependudukan Kota Semarang 2009. Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang. 2010. Kota Semarang dalam Angka 2009. Dinas Tata Kota DKI Jakarta bekerja sama LP3ES. Maret 1992. Strategi Peremajaan Pemukiman Kumuh. (Laporan Akhir). Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur. 2009. Monografi Kelurahan Kemijen. Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. PT Raja Grasindo Persada, Jakarta.
Lawang, Robert M.Z. 2005. Kapital Sosial : Dalam perspektif Sosiologik, Suatu Pengantar. FISIP UI PERS. Depok Liputan6.com. 28 Mei 2011. Rob Rendam Dua Kelurahan di Semarang, Masrun, Laode. 2009. Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh Di Pusat Kota DanKawasan Pesisir Pantai. (http://odexyundo.blogspot.com/2009/08 /faktor-penyebab-tumbuhnyapermukiman.html). Di akses pada tanggal 26 September 2011. Oktaviani, Dina Wahyu. 2007. “Motivasi Masyarakat Bertempat Tinggal di Kawasan Rawan banjir dan Rob Perumahan tanah Mas Kota Semarang” (Tugas Akhir). Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Fakultas Teknik Universitas diponegoro. Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan. 2010. Laporan Akhir. Penelitian Kelembagaan Banjir Perkotaan di Semarang. Ragunath, H.M. 2003. Hydrology: Principles, Analysis, Design. New Age International Limited, Publishers, New Delhi. Smit. B & Pilisova. O. Adaptation to climate change in the context of sustainable development and equity. In J.J. McCarthy, O.F. Canziani, N.A. Leary, D.J. Dokken, & K.S. White (Eds.), Climate Change 2001: Impacts, Adaptation and Vulnerability (pp. 877-912). Cambridge: Cambridge University Press. Sarwono, Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Penerbit Grasindo. Torsten Grothmann dan Anthony Patt. Adaptive Capacity and Human Cognition. Prepared for presentation at the Open Meeting of the Global Environmental Change Research Community, Montreal, Canada, 16-18 October, 2003 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2001. ”Fenomena Cq Realitas Sosial sebagai Objek Kajian Ilmu (Sains) Sosial”. Dalam Burhan Bungin (Ed.) Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
149