KELUHURAN SENI ARSITEKTUR RUMOH ACEH Oleh : Dr. Kamal A. Arif
SEMINAR NASIONAL INOVASI SENI KRIYA BERBASIS LOKAL TRADISI JANTHO, ACEH BESAR, 3 OKTOBER 2015
KELUHURAN SENI ARSITEKTUR RUMOH ACEH1 Oleh : Dr. Kamal A. Arif Pengantar: Saya diminta untuk menjadi narasumber pada Seminar Nasional Kriya - ISBI Aceh di Jantho ini. Latar belakang pendidikan dan pengalaman saya adalah di bidang Arsitektur. Menurut bapak Rektor Dr. Ahmad Akmal, ada mata kuliah Seni Arsitektur di Prodi Seni Kriya. Memang banyak persamaan dari segi pemahaman teori antara seni Kriya dan seni Arsitektur, keduanya adalah hasil gubahan seorang arsitek/seniman dalam wujud nyata, berupa visual art yang bisa dinikmati dengan indera penglihatan serta rabaan. Pada setiap karya arsitektur maupun seni Kriya, betapapun sederhananya selalu memiliki elemen pembentuk yang sama yaitu: titik, garis, bidang, bentuk, tekstur, warna, gelap terang dan ruang (volume). Namun obyek garapannya berbeda. Arsitek lebih banyak merancang bangunan, lingkungan perkotaan dan lansekap sedangkan seniman kriya menggeluti seni dekorasi, benda terapan yang siap pakai, seperti senjata, furnitur, keramik, alat-alat permainan dan aneka kerajinan tangan yang indah. Karena kesepahaman cara berkesenian itu, maka seringkali kita melihat apabila arsitek dan seniman berkolaborasi akan menghasilkan suatu gubahan seni bangunan yang anggun dan asri. Rumoh Aceh adalah salah satu bentuk karya seni arsitektur yang juga sarat dengan seni kriya pada exterior maupun interiornya. Sesuai dengan tema yang diusung, yaitu “Inovasi Seni Kriya berbasis Lokal Tradisi” dan penulis yang berlatar belakang arsitektur, maka makalah ini mencoba menggali orisinalitas dari Seni Arsitektur Rumoh Aceh, serta kandungan makna filosofisnya. Saya akan mengawali kajian ini dengan fokus Rumoh Aceh yang sekaligus mereprentasikan seni arsitektur dan seni kriya dari khasanah Adat Aceh di masa lalu, dilanjutkan dengan budaya tektonika Rumoh Aceh beserta permasalahan eksistensinya yang kian redup dan diakhiri dengan pembahasan tentang upaya strategis yang dapat dilakukan untuk menghidupkannya kembali dalam budaya masyarakat Aceh ke depan. 1
Disampaikan pada Seminar Nasional Kriya “Inovasi Seni Kriya Berbasis Lokal Tradisi” diselenggarakan oleh Institut Seni Budaya Indonesia Aceh, di Jantho, tanggal 3 Oktober 2015
1
Kita khawatir terhadap pergeseran nilai yang menjurus ke arah keterkejutan dan bahkan kegagalan budaya. Ada tendensi riuh rendah aktivitas sosial politik pasca konflik dan pembangunan pasca tsunami yang seakan terlepas dari kultur dasar masyarakat Aceh yang penuh ukhuwah, penuh adat, dan budaya Islami. Kita tidak ingin membangun Aceh dengan pembangunan fisik yang kering, rapuh dan serba segera, tetapi kita membangun tata ruang Aceh, seni arsitektur, seni kriya dan pariwisatanya yang memiliki ruh yang mencerminkan nilainilai adat dan budayanya.
1. ADAT ACEH: RENCONG DAN RUMOH ACEH SEBAGAI JATI DIRI. Rencong Kira-kira 500 tahun lalu dimasa pemerintahan Sultan Ali Mughayatsyah (1511-1530), di Aceh ada manuskrip asli kerajaan berjudul ”kitab Tazkirat Al-Tabaqat Qanun Syara’ Kerajaan Aceh” yang disebut ”pohon kerajaan”. Pohon ini adalah sebuah kitab adat dari sultan, yang memuat 21 pasal. Kita kutip dua hal yang relevan untuk kita cermati, yaitu tentang Jati diri dan tentang Rumoh Aceh. Pertama, pasal 1: “Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang lakilaki mukallaf dan bukan gila, yaitu hendaklah membawa senjata kemana-mana ia pergi berjalan siang malam yaitu pedang atau sikin panyang atawa sekurang-kurangnya rincong tiap-tiap yang bernama senjata”. Apa artinya? Rencong itu seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk), menjadi identitas diri orang Aceh. Jika kita tidak membawa rencong atau pedang, berarti kita tidak membawa KTP, dan ini bisa berarti kita bukan orang Aceh, atau kita termasuk dalam golongan orang gila. Karena hanya orang Aceh yang gila yang tidak membawa senjata. Di Aceh masa itu senjata tidak boleh diserahkan pada orang-orang gila, karena kitab adat itu tahu kalau kita serahkan senjata pada orang gila, mungkin akan digunakan untuk membunuh tanpa di sadarinya. Sekarang kita tidak lagi membawa rencong ke mana-mana. Apakah ini berarti kita telah jadi gila semua? Tentu tidak demikian, meskipun rencong tidak lagi menjadi penanda identitas diri (KTP), namun rencong telah dan tetap menjadi simbol semangat juang dan keberanian. Tradisi membawa rencong dimasa lalu telah membentuk karakter keberanian, semangat yang 2
tinggi dan bertanggung jawab, sebagai jati diri kita. Demikian pentingnya jati diri ini sehingga datok nini kita berpesan: Ie, ie bit, Bu pih bu bit, Peunajoh Timphan, Piasan Rapa-i, Meukon ie, leuhop, Meukon droe, gob. Selain sebagai simbol identitas bangsa pejuang dan pemberani, rencong adalah juga sebuah karya seni pertanda kemakmuran bangsa Aceh. Menurut Teori kesenian, makin tinggi kualitas kemakmuran rakyat maka makin besar penghargaan rakyat terhadap kesenian. 2 Dengan demikian bisa kita ketahui bahwa sebenarnya erosi berkesenian belum tentu dipengaruhi oleh konflik politik atau perang di Aceh. Di jaman kolonial Belanda, meski ada konflik dan perang, karya pengrajin emas Aceh masih sangat tinggi kualitasnya. Hilangnya kebudayaan atau kesenian tersebut lebih disebabkan oleh kemorosotan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Ada gambaran di masyarakat “uro ta mita, malam ta pajoh”, artinya “siang kita cari, malam kita makan”. Sehingga tidak ada lagi upaya membuat sebuah parang atau rencong berukir, yang memiliki kualitas seni yang tinggi. Rencong itu memiliki tangkai, ada bilah rencongnya serta sarungnya, itulah dasar dari rencong. Kalau masyarakat pembuat rencong itu tidak miskin, tidak lagi harus menjual cepat supaya mendapat uang untuk membeli beras, maka dia mulai bisa membuat ukiran-ukiran di tangkai rencong, muncul ide ukiran-ukiran di sarung rencong. Disitulah timbul kesenian, kemampuan mengukir itu akan kembali bila kita makmur. Tidak akan kembali kesenian tersebut bila masih “uro ta mita, malam ta pajoh”, ini menunjukkan tingkat ekonomi kita yang rendah. Rumoh Aceh Selanjutnya di dalam pasal tentang pendirian Rumah, kitab adat menyebutkan: ”Tiaptiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tihang di atas puting dibawah para hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë. 2
Diskusi tentang Peradaban Aceh dengan Prof AD Pirous 15 September 2015
3
Jadi sebenarnya merah putih itu bukan barang baru. Merah putih sudah jadi identitas orang Aceh sejak 500 tahun lalu. Pada masa DOM di Aceh era pak Harto dan ibu Mega, orang yang berjalan membawa rencong ditangkap, ditanya, disekap, disiksa, dipenjara. KTP penduduk Aceh diberi warna merah putih. Banyak orang ragu tentang merah putihnya orang Aceh, pemerintah DOM masa itu ragu pada orang Aceh dikiranya orang Aceh tidak tahu merah putih, padahal sudah sejak 500 tahun yang lalu merah putih itu inheren, telah melekat erat dalam adat Aceh. Selanjutnya, tentang membangun Rumah, Adat Aceh3 menyebutkan bahwa, ketika anak perempuan telah menginjak umur 7 tahun, maka sang ayah mulai mengumpulkan bahan-bahan kayu, bahan atap berupa daun rumbia atau daun nipah dan bahan-bahan lain untuk mendirikan rumah untuk anak perempuannya. Rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é (faraidh - hukum waris). Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan. Itu sebabnya isteri di dalam bahasa Aceh disebut ”peurumoh” (yang punya rumah). Adat ini telah ada di Aceh semenjak Putroe Phang isteri Sultan Iskandar Muda membuat qanun tersebut di abad ke 17. Qanun ini melindungi kehidupan seorang janda, sehingga bila seorang isteri diceraikan oleh suaminya, maka janda tersebut memiliki rumah yang dibuat oleh sang suami tsb. Tukang kayu yang mengerjakan pembangunan rumah itu disamping memperoleh upah yang telah disepakati kedua pihak, juga mendapat sarapan dan makan siang dari sipemilik rumah selama masa pelaksanaan. Tukang itu terus bekerja di situ hingga waktu ’asar. Shalat dzuhur di lakukan di tempat itu juga. Pendirian awal Rumoh Aceh dilakukan secara gotongroyong yang disebut ”meuramè”, dibawah pimpinan seorang utôh (tukang kayu/kepala tukang). Jika rumah itu sudah berdiri, maka selanjutnya utoh akan menyelesaikannya. Jika nanti ternyata membutuhkan lagi banyak tenaga, maka barulah diadakan lagi ”meuramè” tsb.
3
Moehammad Hoesin, (1970), Adat Atjeh, Dinas P dan K Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh
4
2. TELAAH BUDAYA TEKTONIKA RUMOH ACEH Istilah tektonika di turunkan dari kata Tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau manusia pembangun (builder). Tektonika erat kaitannya dengan material, struktur dan konstruksi, yang sangat mementingkan ekspresi estetika yang ditimbulkannya. Yang dimaksud dengan kata
“Builder”, “Carpenter”,”Tekton” atau “Manusia
pembangun” itu, dalam kaitannya dengan Rumoh Aceh adalah Utoh. Utoh dengan segala keahlian pertukangannya, (craft & craftmanship) adalah batu sendi dari proses membangun, suatu peran penting dalam kebudayaan yang sering dikecilkan peranannya dalam praktek membangun dan pengajaran arsitektur masa kini. Bila kebudayaan adalah buah dari penciptaan tempat (place), maka ketika seseorang menetap di sebidang tanah di muka bumi dan dengan menggunakan peralatan dan bahasa setempat, menegakkan batas batas teritori ruangnya, maka sebenarnya ia tengah menciptakan dunia bagi dirinya. Kembali menghargai peran tukang adalah sebentuk kesadaran bahwa kultur membangun itu bermula dari hasrat eksistensial manusia untuk tegak di muka bumi, di tempatnya. Bangunan dengan demikian adalah tempat dan sekaligus buah karya manusia dalam menjalankan aktivitas budayanya. Kajian budaya Tektonika membahas mengenai elemen-elemen struktur, konstruksi (dan non-konstruksi) yang membentuk Rumoh Aceh, kemudian di kaji unsur-unsur tektonika yang terdapat pada bangunan sesuai dengan teori mengenai tektonika (the art of construction). Elemen-elemen pembentuk bangunan tersebut memiliki makna filosofis dari masyarakat setempat. Filosofi atau makna-makna tersebut mempengaruhi masyarakat dalam membuat rumah. Menurut Frampton, ”Tectonics becomes art of joinnings” 4. Sambungan (joint) adalah jantung persoalan ini. Joint bukan sekedar komponen struktural semata, melainkan juga berkait erat dengan keutuhan bentuk yang merupakan gabungan berbagai komponen struktur yang menghasilkan sebuah ‘cita rasa joint’ atau sense of joinning art construction. Jadi, pengolahan sistem sambungan pada konstruksi, adalah hal penting untuk meningkatkan citra sebuah bangunan. 4
Kenneth Frampton, (1995),Studies in Tectonic Culture, MIT Press, Cambridge
5
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagianbagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Pada zaman dahulu, dinding dan lantainya terbuat dari bilah bambu, sehingga dapat diikat atau di jalin satu sama lain. Rumoh Aceh dikenal sebagai The earthquake resistant house (rumah tahan gempa), dan mampu bertahan hingga 200 tahun. 5 Ketektonikaan Rumoh Aceh dapat dibaca dari segi ruang, struktur dan ornamentasinya. Dimana kombinasi dari ketiganya menghasilkan tingkat seni konstruksi yang sempurna bagi kebutuhan masyarakat Aceh pada zamannya dan seyogianya terus berlangsung hingga sekarang.
Rumoh Aceh memiliki sebuah tipe yang tetap, diantaranya dapat dilihat dari
orientasi bangunan, ruangan dan elemen strukturnya. Distribusi Ruang Rumoh Aceh merupakan rumah panggung. Besarnya Rumoh Aceh tergantung pada banyaknya ruweueng (ruang)6. Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga sepuluh ruang. Beranda muka disebut ”seuramoë keue”(karena di sini ditempatkan tangga masuk, disebut juga seuramoë rinyeuen), serambi belakang disebut ”seuramoë likot”. Bagian utama rumah adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi. Bagian utama rumah ini disebut Tungai . Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik (kamar) tidur, yaitu rumoh Inong dan anjông. 7 Rumoh inong adalah bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan anjông adalah bilik untuk anak perempuan.
5
H. Amir Husin, dkk, 2003, Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, NAD, Dinas Perkotaan dan Permukiman Prop. Nanggroe Aceh Darussalam 6 Yang dimaksud “Ruweueng” (Ruang) adalah bagian trave yang berada di antara kolom-kolom sejajar wuwung. 7 Pada gambar Rumoh Aceh di dalam buku Snouck Hurgronje, ruang tidur (bilék éh) ini disebut Jurèë.
6
Demikan mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh. Keharmonisan rumah tangga adalah hal yang paling penting, sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan di lantai tertinggi. Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen dengan seuramoë likôt, yang bernama Rambat. Di bagian belakang ada rumoh dapu (dapur) yang elevasi lantainya lebih rendah dari seuramoë likôt. Dapur mendapat posisi terendah. Karena ruang ini merupakan perluasan rumah, atau sebagai tambahan ruang pada rumah saja. Dapat kita pahami masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki. Secara fisik bangunan, hirarki ini tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai ruangan. Hal ini berhubungan dengan struktur yang membentuk ruang menjadi demikian. Nama-nama Ruang dan fungsinya dapat dilihat dalam Tabel 1, sedangkan tata letak ruang-ruang tersebut pada Denah Rumoh Aceh dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 1. Nama-Nama Ruang Pada Rumoh Aceh No.
Nama Ruang
Arti
1.
Seuramo Keue
Serambi depan, tempat kaum lelaki.
2.
Tungai
Ruang tengah yang elevasinya lebih tinggi daripada lantai serambi. Di dalam tungai terdapat bilik dan rambat.
3.
Rambat
Lorong penghubung kedua serambi.
4.
Rumoh Inong
Kamar
tidur
untuk
orang tua
atau
anak
perempuan yang baru menikah. 5.
Anjong
Kamar depan, yang berfungsi sebagai kamar untuk anak perempuan.
6.
Seuramo Likot
Serambi belakang, tempat kaum perempuan dan anak-anak.
7.
Dapu
Dapur, Untuk kegiatan masak-memasak.
7
Gambar 1. Ruang tengah (tungai) terdiri dari bilik kamar, dan rambat (sumber: KITLV, kumpulan data penelitian Aceh, Kamal A. Arif)
Anatomi Rumoh Aceh Seperti banyak rumah-rumah tradisional di Indonesia lainnya, yang memiliki bagianbagian yang terdiri atas kepala, badan dan kaki, maka Rumoh Aceh pun demikian. Namun ada sedikit perbedaan nama sebutan saja. Kepala rumah biasa disebut bubông. Bubông berarti atap, atau bagian atap. Biasanya atap ini tidak memakai plafon tetapi langsung menaungi ruangan pada badan rumah yang fungsional. Sebuah ruang kecil terdapat diantara bubông dan badan rumah, yakni loteng yang disebut para. Gunanya sebagai gudang. Bagian badan rumah disebut Ateuh Rumoh, yang berarti bagian atas. Dinamakan seperti ini sebab posisinya memang berada jauh diatas tanah, untuk mencapai lantai rumah ini perlu menggunakan tangga. Pada ateuh rumoh ini terdapat ruang-ruang fungsional rumah. Bagian bawah rumah disebut yup moh. Yup moh berarti bagian bawah rumah. Bagian bawah ini berupa kolong yang ketinggiannya sekitar 2,5 meter. Bangunan dibuat berpanggung/ bertiang tinggi untuk menghindari banjir.
8
Bubong
Ateuh Rumoh
Gambar 2. Anatomi rumoh Aceh (Sumber : Keumala, 2008) Yup Moh
Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian ruweueng yang ada di sisi Barat atau Timur rumah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami lebih mendalam, terdapat elemen-elemen lain yang membantu kekuatan struktur, diantaranya balok-balok pengunci untuk menjaga posisi tiang. Setiap pertemuan elemen yang berbeda, dihubungkan dengan cara memasukkan bagian ujung elemen ke lubang yang tersedia pada elemen lain. Lalu diberi pasak. Begitulah cara utoh Aceh menghubungkan setiap elemen sehingga menjadi rumah. Tidak memakai paku. Disini timbul kekuatan struktur dalam merangkai elemen-elemen tersebut. Sebab bila rangkaian tersebut tidak dipikirkan secara matang, maka konstruksi rumah tidak dapat berdiri dengan kokoh, dan tidak mungkin dapat bertahan hingga saat ini.
9
Bagi elemen-lain yang tidak berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan mengikatkan tali. Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi akan maksud dari dibuatnya konstruksi tersebut. Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional yang lebih jauh dipikirkan untuk kebutuhan dan keselamatan penghuni rumah. Tidak hanya sekadar menyambung-nyambungkan elemen-elemen belaka. Misal, elemen tameh raja dan putroe dipilih yang paling baik, karena sebagai penyambut di serambi depan, selain juga berfungsi 2 .4 0
DAPUR
2 .4 0
sebagai struktur utama sebagaimana mestinya.
9 .6 0
S E U R A M O L IK O T
RUMOH INONG
Tungai R U M O H IN O N G
2 .4 0
RAMBAT
2 .4 0
A N JO N G
SEURAMO KEUE
Tameh Raja
U 2 .5 0
2 .9 3
2 .5 0
2 .9 3
1 0 .8 6
Tameh Putroe Gambar 3. Posisi tiang raja dan tiang putri pada rumah bertiang 16 (sumber: Keumala, 2008)
Di sini tampak kesadaran masyarakat Aceh akan terbentuknya suatu ruang, berikut material-material yang akan ia lihat. Kemudian konstruksi atap diikatkan seluruhnya pada taloe pawai, untuk kemudahan penyelamatan saat kebakaran. Taloe Pawai berada di ujung papan bui teungeut, dan dikaitkan pada puteng tiang deretan depan dan belakang. Taloe pawai cukup di potong sehingga terputus, maka jatuhlah seluruh konstruksi atap tersebut. Demikian hebat teknologi ini apakah masih dapat kita lihat saat ini? Lain lagi pada lantai (aleue) yang jalinan aslinya berupa ikatan-ikatan tali, ternyata bermaksud untuk memudahkan apabila akan dilepas untuk keperluan memandikan jenazah. 10
Rumoh Aceh asli yang saat ini masih bertahan, merupakan rumah yang seluruh elemen pendukungnya terbuat dari bahan kayu. Strukturnya merupakan sistem struktur rangka yang tersusun dari konstruksi kayu yang melingkupi tiang-tiang. Rumah ini terbuat dengan menggunakan sistem post and beam. Sistem ini merupakan salah satu sistem struktur yang tergolong sederhana. Lantai, dan dindingnya terbuat dari papan. Atapnya ditutupi oleh jalinan daun rumbia yang disusun menjadi penutup atap. Keseluruhan konstruksi berdiri di atas landasan batu. Tabel berikut ini menampilkan nama-nama elemen yang menjadi pendukung terbentuknya Rumoh Aceh. Nama-nama elemen ini memiliki arti tersendiri. Beberapa di antaranya ada yang memiliki makna mendalam sebagai sebuah elemen struktur pada Rumoh Aceh. Tabel 2. Nama-nama Elemen pembentuk Rumoh Aceh No.
Nama Elemen
Arti
1.
Tameh
Tiang
2.
Tameh Raja
Tiang Raja
3.
Tameh Putroe
Tiang Putri
4.
Gaki Tameh
Bagian bawah tiang
5.
Rok
Mengunci, pasang, Balok pengunci
6.
Toi
Balok pengunci yang arahnya tegak lurus dengan rok.
7.
Peulangan
Tempat bertumpu dinding dalam (Interior)
8.
Kindang
Tempat tumpuan dinding luar (eksterior), papan tebal yang diukir kemudian dilekatkan pada pinggang rumah (pada ujung toi).
9.
Aleue
Lantai
10.
Rante Aleue
Pengikat lantai yang biasanya terbuat dari rotan atau tali.
11.
Lhue
Balok rangka untuk lantai
12.
Neudhuek Lhue
Tempat bertumpunya lhue.
13.
Binteh
Dinding
14.
Binteh Cato
Dinding catur, merupakan salah satu bentuk jalinan dinding.
15.
Boh Pisang
Papan kecil di atas kindang
16.
Tingkap
Jendela
17.
Kap/ Rungka
Rangka Atap (yang berbentuk segitiga)
18.
Gaseue
Kaso
11
19.
Indreng
Papan miring penahan kaki kuda-kuda
20.
Geunalong
Gording, bertempat di dudukan geunalong pada kaki kuda-kuda (Gaseue gantong)
21.
Bara Ateuh
Batang atas
22.
Bara Panyang
Batang panjang
23.
Tuleng Rhueng
Balok Wuwung, tempat bersandar kaso pada bagian ujung atas
24.
Diri
Makelar
25.
Gaseue Gantong
Kaki Kuda-Kuda
26.
Bara Linteung
Batang melintang
27.
Puteng Tameh
Bagian ujung tiang yang dipahat, sebagai penyambung pada balok-balok.
28.
Beulebah
Tempat Mengikat atap Rumbia
29.
Neudhuek Gaseue
Tempat bersandar kaso (Gaseue) pada bagian bawah
30.
Taloe Pawai
Tali pengikat keseluruhan bagian atap, yang diikat pada ujung bui teungeut, dan dikaitkan pada puteng tiang deretan depan dan belakang.
31.
On- meuria
Daun rumbia
32.
Lesplang/ seupi
Selembar papan yang agak kecil, yang dipasang pada bagian ujung kiri dan kanan atap.
33.
Bui Teungeut
Potongan kayu sebagai penahan pada neudeuk gaseue
34.
Tulak Angen
Tolak angin, sebuah elemen pada Rumoh aceh yang terdapat pada setiap sisi dinding rumah aceh yang berbentuk segitiga. Elemen ini terpasang sedikit miring menghadap ke bawah.
Setiap elemen ini memiliki dimensi yang spesifik. Bukan dalam satuan meter, namun dalam hitungan tradisional. Ukuran-ukuran yang sering digunakan antara lain jaroe, paleut dan hah. Juga ditambahkan dengan ukuran jeungkai, lhuek, dan deupa. (Indonesian Houses, Peter Nas, 2004 hal.141). Namun pada masa sekarang ukuran-ukuran tersebut lebih sering dikonversikan ke dalam ukuran meter. Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120 - 150 cm sehingga setiap orang yang masuk
12
ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Tidak hanya aspek struktur dan konstruksi saja yang sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan alam setempat. Unsur ruang, baik jenis, fungsi, dan perletakan juga sangat memperhatikan faktor lingkungan. Bagian depan Rumoh Aceh selalu menghadap utara atau selatan. Sehingga bagian dinding yang berbentuk segitiga menghadap ke arah barat dan timur. Alasannya adalah untuk menghindari pukulan keras dari angin yang datang. Pada dinding yang berbentuk segitiga itu pula terdapat komponen tulak angen yang berlubang-lubang. Konstruksi rumah ini memungkinkan angin untuk melewatinya pada bagian kolong, maupun bagian bawah bubung dengan melewati tulak angen terlebih dahulu. Terik matahari tidak menjadi masalah pada orientasi rumah ini, karena jendela-jendela yang ada tidak besar, dan pencahayaan dapat masuk dari celah-celah lubang pada ukiran. Ornamentasi Rumoh Aceh Ukiran yang terpasang sebagai hiasan Rumoh Aceh tidak diukir secara sembarangan. Setiap ukiran memiliki bentuk-bentuk khas yang diambil dari benda-benda sekitar. Misal bentuk bunga mawar, bentuk daun, bentuk bunga sedang kuncup, dan lain-lain. Ukiran yang tedapat pada bidang-bidang penutup fasad rumah ini tidak hanya berfungsi sebagai penghias rumah, namun dapat juga menjadi tempat masuknya sinar matahari lewat celah-celah kecil tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana pantulan sinar dan bayangan yang jatuh ke dalam rumah memberi keindahan tersendiri berkat bentuk-bentuk ukiran tadi. Dekorasi ornamen ini terdapat baik di dalam interior maupun eksterior Rumah adat Aceh. Antara lain yang banyak kita temukan pada dekorasi ukiran Tulak Angen, Binteh dan Kindang. Ada kecenderungan pola ornamentasi ukiran ini sekarang mulai digemari kembali oleh masyarakat di kota, meskipun bukan untuk menghiasi rumah adat.
Namun pada satu dua rumah adat yang tersisa di
gampong, ukiran tradisional sudah sangat langka, mungkin karena kondisi ekonomi rakyat yang
13
melemah dan utohnya sudah meninggal dunia, tanpa ada pengganti yang meneruskan keahliannya. Saatnya sekarang kita mulai kembali memperkenalkan beragam ornamen ini kepada anak-anak di Aceh sejak usia dini. Bentuk-bentuk ini sangat baik diajarkan pada anak-anak saat mereka bersekolah, sebagai cikal bakal karya seni kriya ukiran khas Aceh dan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan.
3. KONSEP-KONSEP ISLAMI DALAM ARSITEKTUR RUMOH ACEH Konsep-konsep Islam didalam Arsitektur Rumoh Aceh, sangat kuat menyimbolkan kadar keislaman rakyat Aceh, dapat kita lihat antara lain sebagai berikut 8: Arah kiblat Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Dalam agama Islam, ibadah shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat memanjang ke arah kiblat, yakni ke arah barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah.
Itu sebabnya pada
seuramoë rinyeuen tangga dan pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu berada di sebelah Timur atau di tengah seuramoë, maksudnya agar tidak mengganggu orang yang sedang Shalat menghadap ke kiblat. Kuatnya pengaruh orientasi dan ritual agama menyebabkan dalam proses pembangunan rumah tradisional Aceh juga membutuhkan kehadiran seorang Teungku atau tokoh agama. Rinyeuen (tangga) Rumoh Aceh adalah juga berfungsi sebagai pengontrol, bila tidak ada laki-laki di dalam rumah maka menurut adat Aceh tamu yang bukan muhrim tidak dibenarkan naik ke rumah.
8
Arif, Kamal A. (2008) Citra Kota Banda Aceh, interpretasi sejarah, memori kolektif dan arketipe arsitekturnya, ISBN 978-979-18744-0-3, Pustaka Bustanussalatin- RANTF BRR, Banda Aceh
14
2 .4 0
2 .4 0
DAPUR
Barat/Kiblat
A N JO N G
RAMBAT
R U M O H IN O N G
2 .4 0
Arah hadap Shalat
Posisi Tangga
2 .4 0
9 .6 0
S E U R A M O L IK O T
SEURAMO KEUE
U 2 .5 0
2 .9 3
2 .5 0
2 .9 3
1 0 .8 6
Halaman Depan Rumah
Gambar 3. Posisi tangga dapat menjadi ciri atau penunjuk arah mata angin Sumber: Keumala, (2008)
Ide Masyrabiyya pada seuramoe Rumoh Aceh Bukaan pada dinding seuramoë rumoh Aceh tidak terlalu besar dan untuk pencahayaan digunakan screen (lubang-lubang kecil) untuk meredam terik matahari. Lubang lubang kecil pada dinding ini mengingatkan kita pada ”Masyrabiyya” di Saudi Arabia. Tidak seperti halnya serambi rumah Betawi yang terbuka lebar, yang sering kita lihat pada sinetron ”Si Doel anak Betawi”, serambi rumoh Aceh itu tertutup, hanya sedikit saja bagian yang terbuka. Orang dari luar sukar melihat ke dalam tetapi orang dari dalam dapat melihat keluar. Demikian cara Aceh membudayakan seni interior, seolah memberi pesan agar aurat itu jangan diobral keluar ke semua orang yang lalu lalang di depan rumah. Di dalam Rumoh Aceh, ada dua buah serambi yang sengaja dibuat terpisah sesuai dengan ajaran Islam, yaitu ”seuramoë keue”, untuk kaum pria dan seuramoë likôt khusus untuk kaum wanita.
15
Guci rumoh Aceh Nabi mengajarkan thaharah, bersuci dengan mandi, berwudhu dan istinja’, agar badan kita menjadi bersih. Raga yang bersih sebagai cerminan dari hati yang suci. Orang Aceh menaruh guci pembasuh kaki dibawah tangga rumoh Aceh. Sebaiknya kita bersuci dulu, sebelum naik ke rumah. Karena Rumoh Aceh itu bersih, tidak ada kotoran, tidak ada kayu dan jendela di rumah ini yang diperoleh dari hasil korupsi. Bersuci itu lahir dan batin. Ideofactnya suci, sosiofactnya berwudhu, artefaknya guci. Itu sebabnya penulis mengusulkan kepada bapak Rektor UTU (Universitas Teuku Umar) di Meulaboh untuk menempatkan guci di gerbang masuk kampus yang akan dibangun, agar semua yang ada didalam kampus itu suci dan bersih jiwa raganya. Guci Aceh adalah salah satu karya seni gerabah yang hendaknya dapat dihidupkan kembali eksistensinya. Tanah Aceh menurut pak Dr Ahmad Akmal sangat potensial untuk seni kriya membuat keramik ini. Bahan bakunya tersedia dalam jumlah yang banyak dan kualitasnyapun sangat baik. Dengan adanya prodi Seni kriya ISBI semoga kreasi-kreasi baru Guci Aceh dan benda-benda seni terapan lainnya akan kembali muncul menghiasi bumi Aceh.
4. ASET BUDAYA RUMOH ACEH KINI KIAN MEREDUP: DARI CRAFTMANSHIP KE PREFABRICATION Di masa kolonial, beberapa penduduk Aceh telah mulai membangun dengan cara yang ditirunya dari orang Belanda. Bentuk rumah dan bahannya berubah dan dibangun dengan cara baru, yang disebut ”Rumoh Belanda”. Sejak itu sarapan tukang dan makan tengah harinya tidak lagi disajikan oleh si empunya rumah. Jika kita meninjau perkembangan arsitektur selama beberapa abad yang lalu, maka dalam cara membangun kita menjumpai suatu perubahan yang mendasar. Perubahan penting ini ialah pergeseran dari kerajinan tangan ke mekanisasi atau industri. Dimasa lalu karya arsitektur Rumoh Aceh merupakan produksi setempat yang dirancang dan dibangun dengan keterampilan utoh setempat, memakai bahan setempat pula. Cara membangun sekarang makin lama makin berubah menjadi kegiatan yang dilakukan selain pada lokasi pembangunan, juga di tempat yang jauh dari lokasi itu dan dengan memakai bahan bangunan yang bukan bahan 16
setempat. Kalau dulu arsitek menjadi pencipta tunggal dari ciptaannya, sesuai dengan asal katanya (arki=utama, tekton=tukang), sekarang dia menjadi kordinator kreasi arsitektur. Apa yang dulu merupakan hasil kerajinan tangan murni (craftmanship) sekarang bergeser menjadi hasil susunan komponen industri. Arsitektur Rumoh Aceh tradisional merupakan karya para utoh sedemikian, yang menurunkan keterampilan kerajinan tangannya dari generasi yang lebih awal ke generasi berikutnya secara berkesinambungan. Rumah dibangun secara meruang atau tiga dimensi secara langsung. Perlu kerjasama yang baik dalam mendirikan rangka rumah agar struktur utamanya dapat berdiri dengan baik. Disini tampak bahwa dalam membangun rumah pun masyarakat Aceh melakukannya dengan penuh seni. Kemampuan manusia dalam mendirikan rumah ditonjolkan dengan suatu kerjasama yang terorganisir dengan baik sehingga rangka rumah berdiri dengan kokoh. Dan bukan digantungkan pada sebuah paku. Dengan pergeseran cara membangun dari craftmanship ke cara prefabrication, maka sampailah kita saat ini merasakan suatu kondisi bahwa aset budaya tektonika Rumoh Aceh kini boleh dikatakan ”meredup”, itupun bila kita enggan mengakui bahwa sebenarnya telah sirna dalam pembangunan perumahan nanggroē geutanyoē. Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Jauh sebelum pendidikan arsitektur di mulai di Indonesia, Ir. Mclaine Pont telah menduga akan lenyapnya keterampilan pertukangan tradisional kita dalam dunia pembangunan, dan dugaan ini kini telah menjadi kenyataan. 9 Berapa orang utoh Rumoh Aceh yang tersisa sekarang di dalam gampong atau di kota, apakah dapat kita hitung dengan sepuluh jari tangan kita? 9
Sidharta, Prof., Ir., (1987)
17
5. UPAYA MENGHIDUPKAN KEMBALI ASET BUDAYA RUMOH ACEH Masyarakat Aceh dan pemerintahnya sebenarnya sangat bangga dengan sejarah masa lalunya yang heroik dan unggul, selalu nomor satu. Aceh adalah tempat pertama masuknya Islam di Indonesia, nomor satu menyumbangkan pesawat, nomor satu membuat Aceh Development Board yang kemudian diadopsi oleh pemerintah RI menjadi Bappeda, daerah pertama yang membuat Badan Amil Zakat, dan yang paling membanggakan adalah perjuangannya yang pantang menyerah kepada penjajah yang menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia, sebagai ”daerah Modal”. Namun perilaku orang Aceh yang seringkali ingin serba baru dan serba segera itu pula yang menyebabkan kadang-kadang kurang waspada terhadap ketahanan budayanya sendiri. Orang gampong Aceh tidak lagi ingin hidup di rumah tradisional yang alasannya karena ”kayem meusue, meugok-gok, dikap le kamuë, teumakot tutong, hana praktis, meuri gasien dan hana maju”.10 Orang Aceh ingin modern (modern berasal dari kata modo = maju), namun kemajuan yang serba instant dapat membahayakan. Keinginan orang Aceh untuk menukar rumah panggungnya menjadi rumah darat, mengakibatkan budaya rumoh Aceh secara substansial tercabut. Tidak ada lagi yang memesan tukang untuk membuat rumah tradisional. Pada gilirannya lenyaplah pula mata pencaharian para ahli pertukangan (utoh) di Aceh. Sehingga saat ini bila kita mencoba membangun Rumoh Aceh akan menemukan kesulitan mencari tukang dan bahan. Selain itu biayanyapun akan mahal sekali. Upaya mengembalikan citra Aceh pemerintah daerah melakukannya dengan cara menggalakkan penerapan unsur-unsur tradisional terutama pada bangunan-bangunan pemerintah. Namun agaknya penerapan unsur tradisional ini lebih cenderung untuk ide dekoratif kurang mengedepankan kepentingan makna. Demikian pula keterampilan Tukang kayu yang ada sekarang dalam membuat detail konstruksi kayu dan ornamentasinya jauh merosot dibandingkan dengan keterampilan tukang kayu sebelum perang kemerdekaan. Tentunya mekanisasi dan standarisasi di era teknologi industri sekarang ini memiliki segi-segi positifnya, diantaranya ialah semua komponen dapat diproduksi lebih cepat dan ukurannya lebih akurat. Pelaksanaan konstruksipun dapat dipercepat, apalagi dengan semakin 10
sering berbunyi, bergoyang, banyak rayap, mudah terbakar, tidak praktis, terkesan lebih miskin dan tidak maju
18
canggihnya mekanisasi dalam bidang konstruksi, tenaga kerja yang diperlukanpun makin menurun jumlahnya. Gejala bahwa arsitektur akan bergeser dari lokal ke internasional memang semakin deras kita rasakan sekarang, karena penggunaan komponen-komponen yang sama tadi. Disamping itu relasi antar negara telah semakin mudah sehingga pengaruh global tidak dapat kita hindari. Walaupun bahan dan peralatan untuk membangun kini telah berubah dengan kemajuan teknologi, namun arsitek seharusnya tetap dapat memunculkan identitas Aceh dalam inovasi bentuk yang lebih kreatif. Bila kita menengok ke Jepang, Arsitektur Jepang modern berhasil mempertahankan jati dirinya meskipun dalam bentuk karya arsitekturnya yang mutakhir, karena mereka mampu memunculkan karakter dan jati dirinya dalam inovasi baru. Di dalam kreasi baru dari para arsitek Jepang di masa modern seperti Kenzo Tange, Tadao Ando dan lain lain, kita masih dapat merasakan kehadiran karakter Jepang dalam karya mereka. Orang Jepang mempelajari karakter dan jatidiri mereka dari peninggalan sejarah mereka, seperti pada peninggalan arsitektur Nara, yang dulu pernah menjadi ibukota Jepang di masa lalu. Di kota Nara ada bangunan kayu Todaiji yang tetap utuh meski telah berusia 1000 tahun. Bila kita bandingkan dengan kita, misalnya dengan Kerajaan Majapahit yang begitu terkenal dan berada di hutan jati, namun tidak dapat kita melihat lagi sisa bangunan kayu jatinya yang utuh, padahal usia Majapahit belum sampai 1000 tahun yang lalu. Bangsa Jepang mampu melestarikan Todaiji hingga kini karena mereka mampu melestarikan budaya membangun, memelihara kehidupan tukang-tukangnya, menanam hutan kayunya secara berkesinambungan, mengganti kayu yang lapuk secara berkala, dengan teknik konstruksi yang sama sejak 1000 tahun lalu, lengkap dengan upacara budayanya saat melakukan segala perbaikan untuk merawat bangunan itu. Itulah sebabnya kota kecil Nara terpilih menjadi tempat ICOMOS (International Council Of Monuments And Sites) mendeklarasikan The Nara Document On Authenticity (1994). Setelah Icomos mengadakan konferensi pertama di Athena (1931) dan kedua di Venice (Italia, 1964) dua kota bersejarah yang terkenal dengan peninggalan warisan budaya berupa bangunan batu, Icomos kemudian memilih Nara, yang mampu melestarikan cultural heritagenya yang berupa budaya tektonika arsitektur bangunan kayu. Kita
19
dapat melihat, bahwa otentik atau orisinalias itu tidak harus selalu diperoleh melalui ide ”permanency” dengan menggunakan material batu seperti pada parthenon, piramid atau borobudur, tetapi kita dapat memperolehnya dari bangunan kayu yang dilestarikan keberadaannya secara sustain, berkesinambungan. Maka paham sustainable architecture menjadi sangat penting untuk kita kembangkan dalam pembangunan di Aceh. Kita dapat menghidupkan kembali arsitektur kayu atau bambu, yang mampu bertahan lama bila kita mengerti dan menghayati prinsip-prinsip sustainable architecture (arsitektur berkesinambungan) dan tectonic cultures (budaya tektonika) yang sebenarnya dapat kita gali kembali dari khasanah budaya yang ada di Aceh. Warisan budaya tektonika Rumoh Aceh telah mewariskan kepada kita prinsip-prinsip arsitektur berkesinambugan, yang secara periodik dapat mengganti bagian kayu yang lapuk dengan yang baru dengan teknik yang dirancang sejak awal. Bahkan, karena rumoh Aceh merupakan rumah yang fleksibel, bila diperlukan keseluruhan bagian rumahpun dapat segera di lepas-lepas, maka ia dapat dipindahkan dengan cepat saat akan berpindah tempat. Tidak seperti rumah-rumah gedung yang berkembang saat ini, yakni rumah permanen yang tertanam kuat di tanah. Keberadaan Rumoh Aceh merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan Rumoh Aceh memiliki tingkat budaya tektonika dan seni yang tinggi. Sebab bangunan ini dapat diterima dan disepakati bersama oleh masyarakat Aceh dimulai dari zaman dahulu kala, dan dapat bertahan hingga saat ini. Dengan demikian sikap paling arif yang perlu dimiliki para arsitek Indonesia adalah mensenyawakan inovasi dan teknologi maju dengan kaidah-kaidah perancangan arsitektur yang bersumber dari
20
daerah tempat bangunan berpijak, dengan selalu mempertimbangkan norma, tata nilai dan tingkah laku manusia yang menggunakannya.
AKHIRUL KATA Proses perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, karena merupakan suatu keniscayaan, conditio sine qua non yaitu sesuatu yang tidak bisa dipertanyakan lagi, sudah harus begitu. Erosi budaya memang sudah terjadi, namun ada beberapa perubahan yang merupakan modernisasi. Ada yang dilestarikan dan ada juga pengembangan budaya, agar tidak mati. Di dalam menghadapi proses perubahan (changing) kita harus sangat bijak dan teliti jangan sampai terjadi kita seperti yang disebutkan dalam hadih maja ini: “Buleun peungeuh ta kawe eungkôt, watèe ie surôt ta koh bak Bangka, ta suet gleung meuh ta sôk gleung balôt, buet hana patôt bek ta keurija”. Jadi menghadapi gejolak perubahan itu kita harus bijak. Jangan nanti kita cabut gelang emas murni kita ganti dengan gelang emas imitasi, karena kita tidak bisa lagi membedakan emas dengan sepuhan. Ini nasehat untuk kita berhati-hati. Filsafat yang menjadi jati diri orang Aceh adalah filsafat holistik. Paradigma Tauhid adalah paradigma holistik yang menekankan keharmonisan hubungan antar manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan alam. Paradigma Tauhid inilah jatidiri orang Aceh, yang dimanifestasikan dalam segala karya seni dan budayanya. Walaupun sekarang banyak variasi yang dibuat saat kita membangun rumah, namun masyarakat Aceh hendaknya tetap ingat dan tidak meninggalkan ciri-ciri penting dan khas dari rumoh Aceh. Sekaranglah saatnya kita melestarikan kembali hutan kayu dan bambu, memunculkan dan menggerakkan kembali sumber daya utoh agar dapat bersama-sama dengan sarjana arsitektur melestarikan keluhuran budaya tektonika Arsitektur Aceh. Dengan kesadaran penuh akan pentingnya aset budaya itu maka perlulah kita memelihara, merawat dan mendokumentasikan segenap artefak arsitektur yang masih tersisa, dan berupaya melanjutkan keluhuran nilai-nilainya dalam bentuk dan kreasi desain baru yang sustainable namun inovatif sesuai tuntutan era kontemporer bahkan futuris. 21
Heraklitus, seorang Filsuf Yunani berkata: Panta Rhei, ”everything flows" segala sesuatu itu mengalir, tanpa henti… tidak ada yang tetap, yang abadi hanya perubahan. Sejarah itu mengalir, dan situasi selalu berubah. Namun janganlah sampai perubahan itu tanpa arah, anything goes, apa saja boleh. Di dalam perubahan itu seharusnya manusia muslim Aceh menjadi khalifah, sebagai aktor yang menentukan arah perubahan. Maka marilah kita gunakan kesempatan untuk berbuat, mengubah nasib dalam rangka mencapai fitrah yang tinggi. Dalam arsitektur Aceh simbol-simbol keislaman itu begitu kuatnya, orang-orang tua kita dulu memang hebat-hebat dalam hal memberi pesan kepada generasi penerus: Boh mala iri, ie pasang surot, adat datok nini beutaturot... ! Bandung, 1 Okt 2015. DAFTAR PUSTAKA 1.
Antoniades, Anthony C. (1992) Poetics of Architecture, Theory of Design, Van Nostrand Reinhold, New York
2.
Arif, Kamal A. (2008) Citra Kota Banda Aceh, interpretasi sejarah, memori kolektif dan arketipe arsitekturnya, ISBN 978-979-18744-0-3, Pustaka Bustanussalatin- RANTF BRR, Banda Aceh
3.
Arif, Kamal A. (2004) Buku III : Data Penelitian, Peta dan Gambar dari Koleksi Arsip Perpustakaan di Negeri Belanda, Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi NAD, Banda Aceh.
4.
Arif, Kamal A. (2014) “Seni Budaya Aceh Dalam Perspektif Sejarah Dinul Islam”, makalah seminar Syareh Budaya Pekan Kebudayaan Aceh 23 Desember 2014, di Meulaboh.
5.
Dall, Greg (1982) “The Traditional Acehnese House”, dalam John Maxwell (ed), The Malay-Islamic World of Sumatra: studies in polities and culture, hal. 35-61, Monash University
6.
Frampton, Kenneth (1995) Studies in Tectonic Culture; the poetics of Construction in Nineteenth and Twentieth Century Architecture, MIT Press, Cambridge Hurgronje, Snouck C. (1906) The Acehnese, Translated by A.W.S. O’Sullivan, Vol. I-II, Leyden.
7. 8.
Husin, Amir (ed) (2003) Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, Dinas Perkotaan dan Permukiman Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Ban
9.
Keumala, Indah (2008), Tektonika dalam Arsitektur Rumah Aceh, skripsi, Jur. Arsitektur UNPAR, Bandung
10. Leigh, Barbara (1989) Hands of Time, The Crafts of Aceh, Penerbit Djambatan, Jakarta 11. Moehammad Hoesin, (1970), Adat Atjeh, Dinas P dan K Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh 12. Nas, Peter J.M. (1999) Ethnic Identity in Urban Architecture, Generations of Architects in Banda Aceh, Leiden University, Leiden 13. Schefold, R., Domenig G., Nas, P.J.M, (ed)., (2004), Indonesian houses, SUP, Singapore 14. Sidharta, Prof,Ir. (1987), “Pendidikan Arsitektur dan Masa Depan Arsitektur Indonesia”, dalam Arsitek bicara tentang Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung.
22
RIWAYAT HIDUP
Dr. Ir. Kamal A. Arif, M. Eng. 1. 2. 3. 4.
Nama Tempat, tgl lahir Pekerjaan Pendidikan a. SD/SMP/SMA b. S-1 c. S-2
: Dr. Ir. Kamal A. Arif, M. Eng. : Jakarta, 24 Desember 1953 : Dosen tetap Arsitektur UNPAR sejak 1984 di S1 dan S2 : : di Banda Aceh . Tamat SMA pada 1972, ke Bandung. : Sarjana Teknik Arsitektur (ir.), UNPAR, Bandung, 1980 : Master of Engineering (M.Eng), Structural Engineering & Construction (AIT), Bangkok, 1987 d. S-3 : Program Doktor Arsitektur UNPAR, 2006 Judul Disertasi: Ragam Citra Kota Banda Aceh, Interpretasi Terhadap Sejarah, Memori Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya 5. Mengikuti Kursus/ Trainings di dalam dan luar negeri terutama pada bidang-bidang engineering & management, perumahan, dan konservasi bangunan, antara lain: International Training Course, “Dwelling Construction Technology”, Jiangsu Research Institute of Building Science, Nanjing, China, !995 Conservation and Management of Historic Buildings, HDM-Lund Univ, Lund, Sweden, Sep-Oct 2004 & Amman, Jordan, April 2005 6. Menulis beberapa karya tulis Ilmiah, antara lain: „Arketipe arsitektural kota Banda Aceh“ dimuat dalam buku „Aceh Kembali ke masa depan“ yang di tulis bersama-sama 9 para pakar dari Aceh (2005) Ragam citra kota Banda Aceh, interpretasi sejarah, memori kolektif dan arketipe arsitekturnya (2008) 7. Januari 2010, mengikuti Conference on Technology and Sustainability in the Built Environment di College of Architecture and Planning, King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia, dan menyajikan makalah berjudul: “Various Images of Banda Aceh” 8. Pengalaman Profesi pada bidang konstruksi, sebagai Quality Control Engineer, King Abdulaziz Military Academy (KAMA), Prefab Concrete Housing Construction Project, ICCI-Al Mirabid JV, Riyadh, Saudi Arabia, 1981-1983, Team Leader RTRK Kota Sukamakmue, Ibukota Kabupaten Nagan Raya, 2003 Setelah Tsunami, pernah bekerja sebagai National Technical Specialist, UN-HABITAT Fukuoka, Aceh Settlements Support Programme, di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, P. Simeulue, Feb-March 2005 Team Leader, Proyek “Assessment on Masterplans of Kota Banda Aceh”, UN Habitat – UNPAR, 2006 Team Leader , Proyek “Friendship Trees, Busatanussalatin dan Heritage Trails Kota Banda Aceh”, RANTFBRR, 2007 Koordinator Juri Sayembara Museum Tsunami NAD, 2007 Arsitek proyek “Taman Aceh Thanks the World”, Blang Padang, 2008 Kordinator Perencanaan MasterPlan Kampus Universitas Teuku Umar (UTU), Meulaboh, Aceh Barat, 2014 Arsitek pada DED bangunan Kupiah Meukeutop UTU, Meulaboh, 2015 9. Ketua MAA (Majelis Adat Aceh) perw. Jawa Barat, 10. Ketua Yayasan Bustanussalatin.
23