5 Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
81
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Masa Kecil di Kota Sragen Saya lahir di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tepatnya di Kota Sragen. Kota yang dulu terkenal dengan perkebunan tebu ini berada di lembah aliran Sungai Bengawan Solo. Sragen menjadi pintu gerbang yang memisahkan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ibu melahirkan saya di rumah Eyang Putri (Nenek, peny) pada November 1951. Rumah Eyang Putri berada di Jalan Kuwung Sari, yang posisinya sejajar dengan jalan utama Solo-Madiun. Luas rumah itu kurang lebih 300 meter persegi luasnya dengan halaman sekitar 800 meter persegi. Dalam ingatan saya, rumah Eyang Putri sangat luas dan kami merasa betah tinggal disana. Meskipun pada masa itu taman kanak-kanak belum begitu marak di Indonesia, tetapi keluarga kami sudah membangun sebuah TK di samping rumah nenek. Disinilah pertama kali saya mengenyam pendidikan, sebuah sekolah mini yang dindingnya terbuat dari gedhek (semacam bilik atau dinding bambu, peny). Sekolah setingkat taman kanak-kanak itu adalah yayasan milik keluarga. Yang datang untuk belajar ke sana bukan hanya dari kalangan keluarga saja. Masyarakat yang berada di sekitar sekolah mungil itu ikut mengenyam pendidikan disana. Jadi, suasananya memang benar-benar seperti sekolah pada umumnya. Saya merasa sangat beruntung karena lingkungan di rumah nenek memberikan kesempatan bagi saya mengenyam pendidikan sejak usia dini. Bahkan, di usia yang masih sangat belia saya sudah diperkenalkan dengan pembelajaran kepemimpinan. Pada usia empat tahun saya menjadi semacam ketua kelas di TK. Sejak saat itu menjadi ketua kelas sudah seperti langganan saja. Pengalaman kepemimpinan sejak usia dini ini sedikit banyak membentuk karakter kepemimpinan dalam diri saya sehingga di kemudian hari maju sebagai pemimpin, dalam berbagai skala, rasanya sudah tidak menjadi beban lagi.
82
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
Ayah saya seorang pegawai perkebunan dan sering ditugaskan berpindahpindah dari satu perkebunan ke perkebunan lain. Karena kerap pindah lokasi kerja itulah kami tinggal di rumah Eyang Putri (nenek saya) bersama dengan keluarga dari pihak Ibu. Sedangkan ibu ikut dengan ayah ke perkebunan dan kami tinggal di rumah nenek. Saya adalah anak tertua dengan lima adik. Adik saya yang kedua adalah laki-laki seorang. Kami enam bersaudara dengan jarak usia yang tidak terlalu lebar, kecuali dengan adik bungsu. Perbedaan usia saya sebagai anak sulung dengan adik bungsu adalah enam belas tahun. Adik bungsu baru hadir ketika saya sudah duduk di bangku SMA. Jadi, adik saya yang paling kecil kami anggap sebagai mainan “boneka” di rumah karena dia yang masih bayi sendirian. Berpisah dengan orangtua di masa kecil tentu sangat berat bagi kami. Setiap kali ayah dan ibu pulang, yang paling menyakitkan adalah ketika mereka kembali lagi ke perkebunan. Saya ingat persis bagaimana saya dan adik saya yang nomor dua terus memeluk baju ibu yang sengaja beliau tinggalkan khusus untuk kami berdua. Aroma ibu yang masih melekat di baju itulah yang menjadi penawar rindu. Kami selalu tak rela Ibu kembali ke perkebunan sehingga beliau terpaksa meninggalkan pakaiannya yang belum dicuci agar kami tetap dapat merasakan kehadirannya. Ibu selalu mengendap-endap ketika hendak berpisah dengan kami karena perpisahan dengan Ibu, meskipun perpisahan yang rutin, selalu menjadi drama penuh air mata. Sambil menangis, kami mendekap baju ibu dan membayangkan sedang memeluk ibu. Jadi, setiap ibu kembali lagi ke perkebunan bersama ayah, kami berdua selalu jatuh sakit. Melewati masa kecil yang ditinggal berjauhan dengan orangtua membuat hubungan saya dan adik saya yang nomor dua, Utama Herawan Padmadinata, terjalin erat sekali. Bahkan hingga saat ini. Utama Herawan Padmadinata adalah seorang doktor yang sempat menjabat sebagai Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
83
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Mungkin karena usia kami hanya terpaut satu tahun saja dan sudah paham makna berpisah dari orangtua, saya dan Utama sangat dekat.
Kota Sragen Tempo Doeloe Ciri khas Sragen yang hingga kini masih ngangeni adalah nasi pecel Mbok Jami. Sedari kecil saya sudah sering ditugasi oleh Bude (kakak perempuan ibu) untuk membeli sarapan ke pasar. Nasi pecel Mbok Jami memang favorit kami semua. Menginjak SD, saya sering ditugasi oleh Bude saya membeli sarapan pagi ke pasar. Bude saya yang selalu berpenampilan tradisional dengan kain jarik dan bersanggul ini menyukai sarapan nasil pecel Mbok Jami. Begitu pula dengan anggota keluarga yang lain. Nasi itu menjadi menu mengawali hari-hari saya di sekolah. Mbok Jami mengemas nasi pecelnya dengan daun jati, lalu dilapis lagi dengan daun pisang. Ciri khasnya masih bertahan sampai sekarang. Begitu juga dengan sambalnya yang sangat menggugah selera sehingga kalau ke Sragen selalu berupaya tidak melewatkan nikmatnya . Berbicara kuliner khas Sragen, selain nasil pecel Mbok Jami ada juga kue lupis. Lupis adalah kue basah yang terbuat dari beras ketan bertabur parutan kelapa. Kue yang terbungkus daun itu kini susah dicari. Selain itu, kuliner lain yang terkenal yaitu soto ayam.
Warna-warni Keluarga Ayah saya asli dari Jawa Barat, tepatnya dari Bandung. Sedangkan ibu berasal dari Sragen, Jawa Tengah. Perpaduan ini terbilang jarang karena biasanya justru kombinasi yang lazim adalah Ayah dari Jawa dan Ibu dari Sunda. Untuk kombinasi sebaliknya (seperti orangtua saya) disebut dengan kalah awu (kalah wibawa, peny) sehingga kombinasi seperti itu cukup jarang. Jujur saja, saya belum pernah melihat pasangan semesra ayah dan ibu saya. Hingga di usia pensiun seperti saat ini, saya sudah banyak melihat pasangan romantis, tetapi saya belum menemukan pasangan yang semesra mereka
84
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
berdua. Mereka tidak sungkan memperlihatkan kemesraan di depan anakanaknya. Ini membuat kami sangat nyaman berada diantara mereka berdua. Saya sangat mengidolakan keharmonisan yang dibina oleh orangtua. Kelak itulah yang menjadi sumber inspirasi saya ketika menjalani kehidupan berkeluarga bersama suami dan anak-anak. Sebelum menikah, ibu saya sudah berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris. Namun setelah menikah ibu meninggalkan profesi yang ia cintai itu. Ibu lebih fokus mengurus keluarga. Beliau juga aktif dalam kegiatan sosial di perkebunan, membantu tugas ayah yang bertugas sebagai administratur perkebunan di Purwakarta. Meskipun tugas resmi ayah mengikuti jam kerja normal, tetapi bisa dibilang ayah bekerja hampir 24 jam. Ia harus siap sedia menangani seluruh masalah yang ada di perkebunan karena ruang lingkup tanggung jawabnya bukan sekedar tugas rutin semata. Kalau ada kebakaran, ia harus menjadi orang yang mengambil tanggung jawab mengatasinya. Bahkan jika ada masalah keluarga buruh, ayah selalu ikut menuntaskannya. Barangkali itulah sebabnya ayah saya meninggal dalam usia yang relatif muda, 55 tahun, karena waktu kerjanya seolah tiada henti.
Ikut Orangtua ke Perkebunan Masa kecil kami yang berpisah dengan orangtua membuat orangtua saya memutuskan untuk membawa kami pindah ke perkebunan. Saya sendiri sudah duduk di bangku kelas dua SMP saat kami memutuskan pindah ke perkebunan di Purwakarta. Kepindahan ini bukan hal mudah bagi saya karena sejak lahir tinggal di Sragen dan terbiasa menggunakan Bahasa Jawa. Tinggal di Purwakarta dengan masyarakat yang menggunakan Bahasa Sunda membuat saya harus menyesuaikan diri lagi. Saat tinggal di perkebunan, ayah dan ibu selalu mendidik kami agar mampu bersosialisasi dengan baik. Ayah berpesan, “Dekat dengan masyarakat akan membantu kita menjadi lebih mandiri.”
85
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Selain itu, kami juga didorong untuk aktif dalam kegiatan olah raga. Saya sendiri malah pernah menjadi juara pingpong se-Kabupaten Purwakarta. Lucunya dalam pertandingan itu saya menang melawan adik yang nomor tiga yang memang terkenal mahir bermain pingpong. Begitu pertandingan usai, adik saya malah kena marah karena kalah melawan saya yang bukan unggulan. Pasalnya ayah memang menjadi pelatih bola pingpong dan adik saya itu adalah pemain pingpong paling berbakat diantara kami berlima. Makanya ayah kecewa sekali dia bisa kalah melawan saya di partai final. Seingat saya, suasana di perkebunan sangatlah hidup. Kegiatan kesenian dan olah raga tumbuh subur disana. Kami juga aktif mengikuti beragam kegiatan tersebut. Saya banyak belajar mengenai kepemimpinan dari apa yang Ayah saya lakukan di perkebunan. Pemimpin sejatinya bukanlah atasan dari orang-orang yang ia pimpin, melainkan menjadi pelayanan bagi mereka. Selalu siap hadir dan menjadi solusi dalam setiap permasalahan yang mereka hadapi. Begitulah cara Ayah saya memerankan diri di perkebunan dan menjadi inspirasi saya hingga saat ini. Dalam hal kepemimpinan ini, Eyang juga memberikan nasihat yang tak bakal saya lupakan. Beliau selalu mengatakan, “Setiap manusia pasti memiliki kelebihannya masing-masing, jadi pantang menganggap rendah orang lain.” Prinsip tidak boleh sombong kepada siapapun ini tetap saya pakai dalam konteks apapun. Setidaknya saya harus selalu menyadarkan diri sendiri untuk selalu down to the earth. Orangtua saya juga selalu mendidik saya dengan disiplin yang keras, terutama saya adalah anak tertua, harus dapat memberikan teladan yang paling baik untuk adik-adik. Latar belakang disiplin yang seperti inilah mendorong saya memformulasikan motto hidup try to the best. Jadi, apapun yang sedang saya kerjakan, prinsipnya saya harus lakukan yang terbaik. Setelah berkeluarga, prinsip itu tetap saya pakai. Meskipun peran seorang istri dan ibu lebih utama untuk keluarga, saya tetap mempertahankan prinsip lakukan yang terbaik. Begitu keluarga memberikan amanah saya
86
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
untuk beraktivitas di luar rumah, maka prinsip try to the best harus selalu saya gunakan. Artinya, try to the best pertama adalah untuk keluarga. Setelah itu baru profesi di luar rumah. Ini perlu saya tekankan karena tidak sedikit pula saya menyaksikan wanita karir yang terlalu terbawa arus karirnya tetapi malah melupakan keluarga. Bagi saya, karir di luar rumah harus selalu seizin suami dan anak-anak. Sebab, mencari nafkah bukanlah tugas utama seorang istri. Apabila saya diberi kepercayaan berkarir itu adalah amanah besar yang diberikan kepada saya dan harus saya perjuangkan agar meraih prestasi terbaik. Selain banyaknya kegiatan yang bisa diikuti, orangtua tidak lupa menanamkan bekal kedisiplinan yang sangat tinggi bagi kami. Sebagai contoh, kami tidak diperkenankan pacaran di usia sekolah. Pendidikan yang kami terima bisa dibilang cukup keras dibandingkan anak-anak lain. Zaman itu belum ada budaya ikut beragam les seperti saat ini. Namun, ketika itu kami sudah diarahkan untuk belajar secara mandiri dan dengan disiplin yang keras pula. Satu-satunya pelajaran yang saya peroleh dengan cara sejenis les adalah belajar membaca Al Qur’an. Sisanya, semua dilakukan sendiri di rumah.
Foto keluarga saat saya masih remaja.
87
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Setelah Kehilangan Ayahanda Bertanggung jawab atas seluruh masalah di perkebunan membuat Ayah seolah tidak pernah istirahat. Ia selalu siap kapan saja jika ada masalah di perkebunan. Bekerja tanpa kenal lelah seperti itu membuat ayah terserang liver dalam usia yang relatif muda. Sakit itu yang mengantarkan Ayah beristirahat selamanya pada usia 55 tahun. Ayah dan ibu saya adalah dua pribadi yang amat berbeda karena berasal dari suku yang berbeda: Sunda dan Jawa. Minat mereka juga saling bertolak belakang. Ayah sangat mencintai Matematika, sama seperti saya, sedangkan Ibu menggemari bahasa. Ibu saya sampai menguasai tujuh bahasa asing sekaligus. Beliau semakin mengasah keterampilan penguasaan bahasa setelah ayah saya meninggal. Ditinggal oleh ayah, ibu mendadak tidak mau keluar dari rumah kurang lebih selama empat bulan. Kondisi kesehatan ibu saya semakin memburuk, ia mulai terserang tekanan darah rendah sekaligus tekanan darah tinggi. Akibat sakitnya itu, ibu kerap bolak-balik ke rumah sakit untuk berobat. Khawatir dan sedih melihat ibu terus-menerus sakit dan menderita seperti itu. Saya pribadi tidak tega melihat beliau dalam kondisi sakit. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk buka suara, karena tak bisa membiarkan ibu terus terpuruk Ketika itu saya dan adik nomor dua sudah sarjana, saya sendiri baru menikah, dan adik bungsu saya baru berusia 11 tahun. Saya katakan pada ibu bahwa ia tidak bisa dirundung kesedihan terlalu lama. Kami semua sangat menyayangi dan membutuhkan ibu. Saya berinisatif mengetahui apa yang ia inginkan setelah ini. Mungkin dengan begitu ibu mempunyai sesuatu yang akan membuatnya kembali sehat dan bersemangat. Ternyata Ibu masih menaruh minat belajar bahasa lagi. Ibu yang sudah mahir berbahasa Inggris, Jepang, dan Belanda menambah lagi keterampilannya dengan membabat habis belajar Bahasa Perancis, Jerman, Spanyol, dan terakhir Bahasa Arab. Ketujuh bahasa ini berhasil ia tamatkan
88
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
dengan baik. Keahliannya ini tidak disimpan sendiri, beliau membaginya melalui mengajar. Ketika belajar bahasa, ibu saya sudah berusia 53 tahun. Memasuki usia 55 tahun Ibu sudah aktif mengajar dan baru berhenti memasuki usia lanjut: 77 tahun. Kalau kebanyakan orang-orang seusianya sedang menikmati hari-hari pensiun di rumah, Ibu malah menjalani kegiatannya dengan penuh suka cita. Saya terkesiap melihat kamarnya yang dipenuh berbagai macam kamus dari semua bahasa yang ia pelajari. Saya yang mempelajari dua bahasa saja, Inggris dan Jerman kadang masih suka tertukar. Kesungguhan Ibu belajar di usia senja benar-benar membuat saya iri. Saat ini Ibu saya sudah berusia 88 tahun dan ingatannya sudah mulai memudar. Tetapi ada satu hal yang sangat saya kagumi dari beliau, rasa kebangsaannya justru tak turut pudar. Sewaktu saya pulang dari Cina dan membawa oleh-oleh, Ibu berujar “Aku ini orang Indonesia, bukan orang Cina.” Rupanya beliau lebih senang jika saya membawa oleh-oleh yang memang khas dari nusantara. Meskipun sudah terhitung pikun, Ibu masih sering bersenandung lagu-lagu perjuangan dan beliau masih hapal. Dulunya Ibu dan Ayah memang sempat bergabung dengan Tentara Pelajar. Agaknya lagu-lagu perjuangan yang menemani masa muda mereka itu sekaligus senandung romantis yang selalu Ibu kenang.
Jejak Pendidikan Pendidikan Dasar Pendidikan dasar saya tempuh dengan masuk ke Sekolah Rakyat Latihan (SRL). Di Sragen, SRL adalah sekolah dasar yang mempunyai reputasi paling baik pada masa itu. Saat kelas 1 SRL kami belum memakai buku tulis. Sehari-hari kami menggunakan sabak untuk menulis. Sabak adalah alat tulis berbentuk seperti papan tulis hitam berukuran mini. Untuk menulis, kita menggunakan grip, yaitu kapur khusus yang menyerupai pena.
89
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Sabak, alat tulis yang terbuat dari batu berbentuk papan tipis.
Selama belajar di kelas, kami tidak dapat mencatat secara permanen untuk dibaca di rumah misalnya. Sebab, setelah sabak sudah penuh dengan catatan, agar bisa dipakai lagi harus dihapus menggunakan air dan kain lap. Walhasil, kemampuan menghapal menjadi salah satu kunci keberhasilan sekolah pada masa itu. Lokasi SRL dengan rumah eyang cukup jauh. Akibatnya saya harus jalan kaki pergi dan pulang sekolah. Perjalanan saat pulang sekolah jauh lebih terasa, apalagi matahari sedang menyengat. Yang tidak dapat saya lupakan, di masa itu kalau haus kita boleh mengambil minuman di depan rumah penduduk secara cuma-cuma. Sudah menjadi tradisi, setiap rumah menaruh sebuah kendi berisi air minum di depan rumahnya. Selesai minum saya meneruskan perjalanan menelusuri kampung sampai ke rumah. Kenangan ini masih melekat kuat dalam ingatan saya. Sebuah kesederhanaan berbagi yang sulit ditemui di masa sekarang. Bandingkan dengan zaman sekarang, jika ada orang tak dikenal meminta minum ke rumah kita, belum apa-apa kita sudah menaruh curiga. Menginjak kelas empat saya pindah ke sekolah yang lebih dekat, tepatnya di SR 4. Jarak tempuhnya sangat dekat karena hanya perlu menyebrang jalan saja.
90
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
Di sekolah baru, saya tetap mendapatkan kesempatan memimpin kelas, dan salah satu tugas rutinnya mengatur piket kelas. Suatu hari, kami mendapatkan ‘hadiah’ rampasan perang dari Jepang berupa baju berwarna hijau dengan motif bunga-bunga. Kami semua diberikan seragam rampasan dari Jepang itu. Ketika itu bertepatan sedang trend rok petikut, yaitu rok berbentuk lebar yang ditopang semacam kerangka di dalamnya sehingga terlihat mengembang. Harga rok petikut sangat mahal, jadi kami menyiasati cara ekonomis agar rok hasil rampasan perang itu bisa tetap menjadi rok petikut. Kami menggunakan biting (Bahasa Jawa, peny), lidi yang diambil dari kerangka daun kelapa. Kemudian, biting itu kami selipkan di kelim-an rok sampai tampak mekar. Walhasil kami bisa tampil modis dari pakaian rampasan perang. Ketika menginjak kelas lima SD penampilan saya mulai berubah karena harus memakai kacamata. Saat ngobrol bersama Bude, saya merasa ada yang tidak biasa dengan penghilatan saya. Tiba-tiba penglihatan kok jadi kabur. Hal itu sempat membuat kepanikan kecil. Saya menyurati ibu dan mengatakan bahwa mata saya bermasalah. Sontak ibu jadi ikut panik karena khawatir terjadi apa-apa. Beliau bertanya-tanya apa yang terjadi dengan penglihatan saya. Setelah diperiksa, ternyata kondisinya tidak terlalu serius. Saya hanya dianjurkan untuk memakai kacamata saja. Masih soal panik, sama seperti anak kecil umumnya, saya sangat takut ke dokter gigi. Tapi Eyang Putri punya trik sendiri mengatasi ketakutan itu. Beliau menjanjikan akan membeli es krim Tutti Frutti setiap pulang dari dokter gigi. Es krim Tutti Frutti didaulat menjadi es krim legendaris Kota Solo yang ketika itu memang menjadi salah satu primadona. Menjelang ujian di kelas enam, berat badan saya menyusut dan menjadi kurus sekali. Entah mungkin perawakan saya sudah kurus sejak dulu atau karena terlalu serius menghadapi ujian. Meskipun sudah berjuang sampai jatuh kurus, saya hanya mendapat nilai 24 dari tiga mata pelajaran. Artinya rata-rata nilai delapan, masih jauh di bawah nilai yang saya targetkan.
91
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Es Krim Tutti Frutti
Lulus SD, saya masuk ke SMPN 1 Sragen. Di sekolah ini, saya terpilih lagi menjadi ketua kelas. Keaktifan saya di sekolah membuat guru menawarkan saya menjadi Ketua Murid Umum (KMU), Ketua OSIS di masa kini. Tawaran menjadi KMU datang saat kelas dua, tetapi itu tidak dapat saya penuhi karena di saat yang bersamaan saya harus pindah sekolah. Sampai-sampai Kepala Sekolah melayangkan surat kepada Bude saya. Beliau menyesalkan kepindahan saya sehingga mereka harus repot lagi mencari calon KMU. Ada yang pengalaman menarik saat ujian akhir SMP. Peristiwa menarik ini menyadarkan saya agar tidak boleh menunda-nunda pekerjaan. Kejadiannya begini, saya merasa sangat tidak puas dengan hasil ujian hari pertama. Karena sudah terlanjur kesal, sesampainya di rumah saya tidak mood makan. Berhubung masih ada ujian di hari-hari berikutnya saya berniat “membalas dendam” dengan cara belajar habis-habisan untuk persiapan ujian di hari kedua. Meskipun belum makan, saya mengurung diri untuk melahap habis buku dan catatan pelajaran hingga larut malam. Nah, tiba di ujian hari kedua, saya seketika nge-blank. Seluruh sistem berpikir saya seolah menemui jalan buntu. Padahal sudah semalaman disikat belajar. Begitu kertas ujian dibagikan, saya hanya bisa melihat ke sekeliling. Mereka
92
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
asyik menuntaskan soal ujian, sedangkan saya hanya terdiam. Benar-benar tidak bisa apa-apa. Otak saya seolah beku dan apa yang sudah dipelajari sehari sebelumnya ikut membeku. Benar-benar berhenti bekerja karena terlalu dijejali dengan begitu banyak pelajaran dalam satu hari. Untung saja saya masih bisa melewati ujian ini sehingga lulus SMP dengan hasil yang baik. Kejadian “hang ketika ujian” itu menjadi pelajaran berharga karena saya tidak ingin masuk lagi ke situasi begitu. Pesan moral yang terus membekas di hati saya adalah jangan menumpuk pekerjaan untuk diselesaikan dalam satu waktu karena kita mempunyai keterbatasan kapasitas fisik dan mental.
Sukacita di Masa SMA Di antara masa-masa sekolah saya dari TK sampai SMA, masa SMA-lah yang paling berkesan. Saya rasa, sebagian besar orang setuju masa SMA memang masa yang paling indah. Di bangku SMA lah kita berada dalam masa transisi, dari kanak-kanak menuju orang dewasa. Kesimpulan ini muncul ketika saya ikut reuni sekolah. Ternyata cerita di masa SMA lebih berwarna saat reuni dengan teman-teman SMA. Pengalaman kepemimpinan masih saya rasakan di SMA. Di kelas 2 SMA saya menjadi wakil Ketua Murid Umum (KMU) atau wakil ketua OSIS kalau sekarang. Pengalaman menarik lainnya, saya pernah terpilih menjadi dirigen atau pemimpin paduan suara se-Kabupaten dalam rangka upacara 17 Agustus. Upacara ini melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk para pegawai pemerintah dan siswa dari berbagai sekolah. Bimbingan tes belum dikenal ketika itu, apalagi SMA saya yang tergolong SMA kampung. Jikapun ada bimbingan tes, biasanya baru marak menjelang ujian masuk perguruan tinggi berlangsung. Jadi waktunya sangat singkat. Oleh karena itu saya lebih banyak menggunakan waktu untuk belajar mandiri menyiapkan diri untuk ikut seleksi ke perguruan tinggi. Saat SMA saya sangat menyenangi pelajaran matematika. Bahkan di pelajaran ini saya cukup menonjol. Ketika dinyatakan lulus di Kimia ITB, guru Matematika
93
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
saya agak kaget, “Kok, jadinya di Kimia sih? Itu kan nggak pas!” ujarnya. Saya hanya bisa menjawab dengan senyuman.
Memilih ITB Selepas SMA, saya dihadapkan dengan beberapa pilihan perguruan tinggi. Banyak juga pendapat berbeda tentang perguruan tinggi yang terbaik. Saya memang banyak mendengar Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satu perguruan tinggi yang terbaik. Tetapi informasi tentang ITB sangatlah minim. Saya bercita-cita bisa masuk ke ITB tapi tidak memiliki informasi tentang jurusan yang ada di ITB. Dalam memilih jurusan pun saya hanya melihat daftar pilihan yang ada saja. Ketika itu saya memilih Teknik Sipil dan Farmasi. Namun berhubung jurusan saya di SMA adalah Kelompok Ilmu Pasti, sedangkan Farmasi berada di Kelompok Ilmu Pengetahuan Alam, maka saya harus mengganti pilihan Farmasi menjadi Kimia. Sedangkan, di ITB saya hanya lulus untuk pilihan Jurusan Kimia (pilihan kedua). Saya gagal untuk Teknik Sipil ITB karena saingannya memang sangat berat. Saat itu saya tidak tahu bahwa Teknik Sipil ITB adalah jurusan terfavorit di ITB sehingga tingkat persaingannya sangat tinggi. Selain ikut ujian masuk ITB, saya juga mencoba alternatif lain dengan mengikuti ujian ke perguruan tinggi swasta, Universitas Parahyangan (Unpar) di Bandung. Pada saat bersamaan saya juga diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) tanpa tes. Menurut saya, ujian yang paling puas adalah saat tes di Unpar. Saya merasa mampu menuntaskan ujian dengan baik dan yakin diterima di Teknik Sipil Unpar. Keyakinan itu terbukti, saat pengumuman saya memang dinyatakan lulus di Teknik Sipil Unpar. Dengan mengantongi kelulusan di tiga tempat, ITB, Unpar, dan IPB, akhirnya saya memutuskan memilih ITB. Pertimbangan utamanya adalah saya merasa yakin ITB masih menjadi perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
94
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
Janji Sang “Babu Einstein” Di masa awal kuliah, saya berjanji ke diri sendiri untuk mengurangi aktivitas organisasi. Saya merasa “kalah” dibandingkankan mahasiswa yang berasal dari kota besar. Jadi saya menyimpulkan agar mampu bersaing sebaiknya saya fokus belajar saja. Tapi entah bagaimana ceritanya, saya dinobatkan jadi prami terbaik sekampus ITB. Prami adalah sebutan peserta Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram, semacam Ospek di tahun 70-an). Nama prami saya ketika itu adalah “Babu Einstein”. Nama Einstein disematkan karena bersesuaian dengan jurusan saya, kimia. Berniat tidak aktif organisasi, gelar prami terbaik malah menjadi jalan untuk berorganisasi lagi. Saya terlibat di Himpunan Mahasiswa Kimia. Saat itu saya menangani bidang keputrian. Organisasi himpunan kami punya nama cantik Amicorum Scientiae Chemicae Associatio (Amisca) atau Perkumpulan Pecinta Ilmu Kimia. Sebelumnya saya tidak pernah terjun mengurusi bidang kewanitaan. Saya malah terbiasa mendapat amanah jabatan struktural yang strategis, seperti ketua atau sekretaris. Ketika jadi seksi keputrian, teman-teman SMP-SMA malah tertawa karena saya dinilai tidak punya pengalaman mengurusi keputrian. Meskipun banyak yang meragukan saya berada di seksi keputrian, saya memegang posisi itu sekitar tiga tahun. Puncak karir organisasi saya di himpunan adalah terpilih menjadi ketua himpunan. Ketika menjabat ketua himpunan, saya sering bertemu dengan Menteri ESDM saat ini, Pak Jero Wacik, yang juga menjadi ketua himpunan Jurusan Teknik Mesin. Para ketua himpunan dari masing-masing jurusan memiliki wadah yang disebut dengan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Kegiatan lain yang saya gemari selama kuliah adalah menjadi penerima tamu, terutama di acara wisuda. Saat lagu “Gaudeamus” dimainkan Paduan Suara ITB. Ada rasa haru dan bangga saat mendengarkan alunan lagu tersebut.
95
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Ada sebuah momen tak terlupakan saat jadi ketua himpunan. Kala itu bertepatan dengan perubahan kurikulum yang dianggap merugikan mahasiswa. Kebetulan pembimbing saya dulu ketua Departemen Kimia (Ketua Program Studi) dan saya masih menjadi ketua himpunan. Akibatnya kami sering berselisih paham. Sampai-sampai junior saya di himpunan mengingatkan agar saya tidak lagi mengurusi masalah himpunan. “Mbak kan sudah hampir selesai, udah nggak usah ngurusi ini lagi, kalau pembimbingnya dendam lho nanti mbak nggak lulus-lulus,” ujarnya pada saya. Tapi saya bilang biarlah ini jadi tanggung jawab saya untuk memperjuangkannya. Seorang dosen juga mengomeli saya, “Kamu itu bukan ketua serikat buruh, ngapain sih, berjuangnya sampai kayak begitu?” Itu pun tidak menghentikan langkah saya. Untunglah, benturan yang kerap terjadi dengan dosen pembimbing saya itu tidak mempengaruhi ke nilai kuliah saya. Jujur, saya begitu menghormatinya karena beliau sangat fair memperlakukan saya. Beliau tetap memberikan nilainilai yang baik sesuai dengan pencapaian saya selama kuliah. Tak peduli kami sering beradu argumen, beliau tidak pernah mencampuradukkan masalah kemahasiswaan dengan akademik. Dosen pembimbing yang saya maksud adalah Prof. Dr. Syamsul Arifin Ahmad. Beberapa waktu lalu saya pernah bertemu dengannya di sebuah acara. Nampak sekali beliau bahagia dan bangga melihat saya saat ini. Beliau bahkan menyatakan bangga mempunyai mahasiswa yang pernah dibimbingannya kini menjadi Dirjen Migas. Selain saya, seorang kakak kelas saya yang juga seorang perempuan. Ia mendapatkan posisi baik dalam karirnya di Departemen Perdagangan. Pak Syamsul sampai bilang, “Wah, anak bimbinganku yang cewek-cewek pada berhasil nih.” Kini kakak kelas saya itu juga sudah pensiun tapi masih aktif di beberapa kegiatan. Dari sini terbukti perempuan mampu mengukir prestasi cemerlang.
96
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
Saatnya Mengabdi di Masa Pensiun Setelah berkarir di dunia migas selama 38 tahun, masa pensiun saya tiba pada 30 November 2011. Namun, Menteri ESDM yang baru, Pak Jero Wacik meminta saya untuk memperpanjang jabatan Dirjen Migas selama satu tahun karena beliau butuh penyesuaian di lingkungan ESDM. Setelah setahun perpanjangan jabatan Dirjen Migas, per 1 Desember 2012 saya tidak lagi menjadi Dirjen Migas. Begitu selesai masa jabatan, saya sempatkan menengok anak-anak dan cucu yang tinggal di Eropa. Anak pertama saya sudah bekerja, menikah dengan pria Jerman, dan menetap di sana. Kemudian, yang kedua sedang menyelesaikan program doktornya di Inggris. Dan anak bungsu saya sibuk menjalani kuliah masternya di Belanda. Jadi selain menengok mereka, saya juga mengikuti reuni bersama temanteman kuliah ITB di Australia dan Selandia Baru. Mulai Januari 2013, saya lebih rileks dan sudah bisa lebih leluasa mengatur segala sesuatu. Masa rileks yang saya gunakan untuk beres-beres. Namun pada nyatanya tidak benar-benar rileks karena banyaknya tawaran yang berdatangan dari teman-teman saya untuk bekerja lagi. Begitu pula di bulan berikutnya, Maret 2013 permintaan bekerja masih menghampiri saya. Sampai titik itu saya belum memutuskan apa-apa. Saya juga banyak ditanyai pelaku usaha industri migas. Kurang lebih sama dengan pertanyaan Pak Menteri pada saya, berharap saya kembali memimpin Ditjen Migas. Tetapi saya akhirnya memutuskan tidak lagi ikut-ikutan dalam dunia yang penuh tekanan itu. Lebih baik saya menikmati masa pensiun. Kalaupun beraktivitas mengisi masa pensiun, saya memilih kegiatan pendidikan atau yang jauh lebih ringan. Perjalanan karir yang begitu panjang ini tentu akan memiliki akhir juga. Masa pensiun menjadi penutup resmi status, jabatan, dan pangkat saya di publik. Meskipun begitu, hakikatnya saya tidak akan ‘pensiun’. Menjelang masa pensiun saya semakin menyadari bahwa saya bukan tipe orang yang bisa diam.
97
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Untuk menambah referensi memasuki masa pensiun, saya banyak membaca dan mempelajari artikel dari internet tentang hal-hal yang bisa dilakukan orang yang pensiun. Kesimpulan yang saya peroleh, kita melakukan empat hal agar masa pensiun lebih dapat dinikmati. Pertama, belajar piano agar tidak cepat pikun. Kedua, belajar Tai Chi untuk menjaga kesehatan. Ketiga lebih mendekatkan diri kepada Tuhan seperti melakukan pengajian. Dan keempat olahraga, dalam hal ini saya memilih berenang. Saya niatkan untuk melakukan keempat-empatnya. Sejak akhir 2011 saya sudah mulai belajar piano. Namun sempat tertunda satu tahun karena masa jabatan Dirjen Migas ternyata diperpanjang. Belajar piano memang sebuah kebutuhan karena sudah terbiasa dengan dunia yang identik dengan lakilaki membuat saya harus melembutkan diri kembali. Selain itu, belajar piano sekaligus menjadi sarana untuk menjaga keaktifan pikiran dan motorik kita sehingga bagi saya yang sudah memasuki masa pensiun sangat terasa manfaatnya. Setelah belajar piano, saya juga mulai belajar Tai Chi seperti yang direncanakan. Namun, beberapa lama berselang saya mulai merenung kembali. Sejak kecil saya termasuk orang yang aktif, sehingga begitu memasuki masa pensiun dan hanya belajar piano serta Tai Chi, ada sesuatu yang rasanya masih kurang. Akhirnya saya merasa harus mencari alternatif lain yang lebih bermanfaat bagi orang lain. Maka, cita-cita saya sejak dulu ingin berbagi lewat jalur akademis menjadi salah satu jawabannya. Namun, sebelum mengambil keputusan tersebut, saya sempatkan konsultasi dengan suami sebab sebelum pensiun saya sudah berjanji untuk mengutamakan keluarga.
Cita-cita Membangun Jurusan Energi Pengalaman puluhan tahun di dunia energi membuat saya merasa berutang pada bangsa ini. Telah banyak ilmu dan pengetahun yang saya peroleh. Setelah memasuki masa pensiun, tepatlah kiranya saya mengabdikan sebagian waktu untuk berbagi ilmu di lingkungan kampus. Awalnya saya berniat menjadi dosen di ITB, tetapi berhubung ITB memiliki peraturan tersendiri mengenai jam bekerja dosen tetap dan rumah tinggal saya cukup
98
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
Mengembangkan pendidikan tingkat sarjana untuk bidang energi adalah citacita saya dari dulu.
jauh dari Bandung, maka saya harus mencari tempat lain yang lebih sesuai dengan kondisi. Setelah pensiun, cita-cita ikut berkontribusi membangun jurusan energi semakin sangat besar. Sebab, Indonesia sangat membutuhkan insan-insan yang mumpuni di bidang energi. Masalahnya, kita belum memiliki jurusan energi pada strata S1. Hampir seluruh jurusan yang terkait energi terdapat pada strata S2 dan S3, yang artinya sudah mengerucut ke jurusan yang spesifik. Bak gayung bersambung, saya merasa Tuhan menunjukkan jalan lain. Ternyata ada kampus yang sejalan dengan cita-cita tersebut. Swiss-German University (SGU) memiliki idealisme yang sama, yakni mendirikan program studi energi strata S1. Mereka lantas meminta saya bergabung. Sebuah kebetulan yang sangat saya syukuri. Seolah Tuhan menunjukkan bukti
99
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
kebesaran yang ditunjukkan-Nya dengan mengabulkan permintaan di saat yang tepat. Saya menyambut tawaran tersebut dengan penuh gembira karena merasa mendapatkan ruang untuk mewujudkan cita-cita. SGU kemudian menyediakan ruangan dan meja untuk saya di kampus SGU dan memberikan amanah sebagai head of research center. Saya menambahkan sendiri perabotan lain, seperti rak buku, laci, kursi, bahkan komputer saya beli sendiri karena tidak ingin merasa diistimewakan oleh SGU. Berhubung saya senior di SGU saya merasa tidak nyaman kalau diperlakukan terlalu istimewa. Oleh karena itu, biarlah seluruh kebutuhan kerja lainnya saya siapkan sendiri. Sebab niat semula adalah ingin mengabdi kepada bangsa melalui pendidikan, bukan mencari penghasilan setelah memasuki masa pensiun. Di SGU saya ikut membidani jurusan energi. Mulai dari mencari referensi di negara-negara lain, membeli buku-buku, hingga merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan dapat sejajar dengan kualitas internasional. Saya menemukan perguruan tinggi swasta yang lokasinya dekat rumah, Swiss-German University di BSD. Kebetulan saya mengenal baik ketua dewan pembina yayasan universitas tersebut, Bapak Chrispanter. Ia begitu berterima kasih dengan kesediaan saya untuk mau mengajar di sana, namun ia mengatakan tidak bisa kalau hanya menjadi dosen tidak tetap. Saya bisa mengajar dengan status semi permanen, dengan waktu mengajar tiga kali dalam seminggu. Syarat tersebut saya penuhi, tapi resminya saya masuk mulai pada Juni, karena sebelumnya saya baru menghadiri rapat-rapat saja.
Kemewahan Pensiun Ketika menjadi Dirjen Migas terutama, hidup saya seolah serba heboh. Banyak sekali masalah yang harus segera diatasi. Dalam perjalanan menuju kantor, saya harus sempatkan membaca disposisi yang ada karena sesampainya di kantor sudah tidak memungkinkan lagi. Beragam kegiatan menanti sepanjang hari.
100
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
Kini, setelah pensiun saya sudah bisa lagi menulis, membaca, memasak, dan bermain musik. Sebuah kemewahan yang dulu sulit dilakukan. Selama menjadi Dirjen Migas, saya tidak memiliki kesempatan untuk berpikir mendalam karena segala sesuatunya harus diputuskan dalam waktu singkat. Dengan demikian saya harus terbiasa berpikir cepat. Nah, setelah pensiunlah saya akhirnya bisa lagi membaca dan berpikir lebih mendalam. Bagi saya waktu dan kesempatan ini menjadi kemewahan tersendiri. Selama masih bertugas ada dua hal yang tidak sempat saya lakukan, yaitu membaca dan memasak. Sekarang setelah punya waktu yang lebih luang saya ingin perbanyak membaca dan belajar Bahasa Inggris lagi. Selain karena memang senang, itu sangat bermanfaat agar terhindar dari kepikunan. Malah saat ini saya berupaya menyelesaikan novel yang saya tulis sendiri dalam Bahasa Inggris. Kegiatan seperti inilah yang membuat waktu saya tidak ada lagi yang menganggur. Saya menyukai memasak sejak dulu. Boleh dibilang memasak adalah hobi saya yang sering terbaikan karena semua waktu dan perhatian sudah tercurahkan pada pekerjaan. Sekarang saya bisa memasak setiap hari dan saya sangat menikmatinya. Satu lagi hal yang saya nikmati ketika masa pensiun adalah terbebasnya dari berbagai urusan migas yang selalu penuh ketegangan. Dulu saya memang membiasakan diri untuk membuka jalur komunikasi seluas-luasnya kepada siapapun. Oleh sebab itu, handphone saya dijuluki sebagai handphone sejuta umat. Mulai dari petani terkecil sampai investor terkaya menghubungi melalui nomor tersebut. Nah, begitu pensiun nomor tersebut tidak saya pakai lagi dan terbebaslah dari nomor sejuta umat tadi. Dulu ketika menjadi Dirjen Migas saya bisa menghabiskan 15 juta rupiah untuk membantu orang-orang yang memang butuh bantuan. Mereka menggunakan jalur komunikasi tersebut untuk menyampaikan permintaan. Masalahnya macam-macam, tetapi kebanyakan karena aspek sosial dan kesehatan. Dengan sudah pensiun, maka hal tersebut tidak masuk akal lagi saya teruskan. Mungkin ada yang merasa kehilangan kontak, tetapi ini untuk kebaikan bersama. Toh sekarang sudah memasuki masa pensiun dan saya harus meningkatkan kualitas hidup dengan lebih baik lagi.
101
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Masih Aktif di Masa Pensiun Jika berputar lagi ke belakang, tidak banyak orang yang seperti saya yang berkecimpung di bidang yang sama selama hampir 40 tahun. Dengan total masa kerja saya, 38 tahun 9 bulan ini, tentu lebih dari cukup berbagai hal yang saya alami. Saya merasa tibalah saatnya saya menyampaikan pengalaman berharga sepanjang kurun waktu tersebut kepada generasi yang lebih muda. Keinginan saya ini direspon positif dan dimengerti oleh mereka. Dengan mengetahui apa yang saya inginkan, mereka menghormati keputusan saya dan tidak akan mengganggu lagi. Malahan, mereka menawari membuatkan pernyataan ke seluruh KKS, tapi saya katakan tidak perlu sampai begitu. Tentang tawaran pekerjaan lain, saya meminta saran lagi kepada suami. Beberapa di antaranya tawaran itu datang dari perusahaan Jepang, Australia, dan Indonesia. Hal ini tidak langsung dijawabnya, ia endapkan untuk direnungi semalam. Ia mengatakan, jika saya menolak pekerjaan yang datang, maka Tuhan akan murka. Seharusnya saya bersyukur dan senang bisa mendapat pekerjaan di saat banyak orang lain yang harus susah payah mencarinya. Apalagi saya tidak perlu capek-capek melamar, karena semua datang dengan sendirinya, masa’ harus saya tolak? Saya mengembalikan keputusan itu kepada suami, kalau ia mengizinkan maka saya jalankan, hanya itu yang saya katakan. Sekarang saya berkantor di lima tempat dari lima negara juga (Australia, Jepang, Indonesia, Jerman, dan Amerika) dengan beragam posisi. Ada yang sebagai komisaris, presiden komisaris, wakil presiden komisaris, advisor independen, dan chairman of the advisory board. Banyaknya peran di lima perusahaan sekaligus tidak membuat saya merasa lelah, apalagi mengeluh. Semuanya saya jalani dengan senang hati. Beginilah saya melakoninya, karena pada dasarnya saya bukan tipe orang yang biasa diam. Selain yang resmi seperti itu, masih banyak kegiatan-kegiatan lain yang membuat saya tetap aktif. Misalnya jadi pembicara, diundang seminar, dan banyak kegiatan kegiatan lainnya.
102
Keluarga, Pendidikan, dan Pengabdian
Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan kesempatan berkontribusi dan rezeki meskipun sudah memasuki usia pensiun saya masih bisa mengabdikan diri untuk keluarga, bangsa, dan masyarakat. ***
103