TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Kekuasaan pada Toilet Publik Triyatni Martosenjoyo Laboratorium Perancangan, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Abstrak Secara faktual toilet publik yang bersih dan sehat sulit diakses oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Mengapa toilet publik sering kotor dan berbau?; dan (2) Apakah kualitas aksesibilitas dan buruknya toilet selalu terkait dengan kemiskinan dan rendahnya pendidikan? Penelitian dilakukan di Unhas antara Maret 2014-February 2015. Data dikumpulkan dari 120 partisipan dengan menggunakan wawancara mendalam, observasi, focused-group discussion, dan telaah data sekunder. Analisis dilakukan silih berganti dengan proses pengumpulan data, menggunakan model Spradley. Isu-isu buruknya kualitas toilet publik yang sering dihubungkan dengan kemiskinan dan rendahnya pendidikan ternyata tidak sepenuhnya tepat oleh karena toilet publik warga Unhas yang relatif kaya dan berpendidikan ternyata juga berkualitas buruk. Ada pengaruh kekuasaan yang membuat toilet publik berkualitas buruk. Hal ini diakibatkan oleh adanya perbedaan makna toilet publik bagi arsitek dan bagi pemilik atau pengguna. Kata-kunci : arsitektur, toilet publik, kotor, makna, kekuasaan
Pengantar Fasilitas toilet di luar rumah tidak bisa disediakan secara pribadi. Oleh sebab itu untuk kebutuhan aktivitas di luar rumah, maka wajib adanya ketersediaan toilet publik yang bisa dimanfaatkan setiap saat dimana pun anggota masyarakat menjalankan aktivitas mereka. Penelitian-penelitian yang terkait dengan rendahnya kualitas toilet publik terutama yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor sebenarnya relatif sangat banyak, tetapi umumnya hanya dikaitkan dengan kemiskinan, kesehatan, atau penyakit menular seperti yang dilakukan oleh Johnson, Mead, & Lync (2013), Okechukwu dkk. (2012), Agbagwa, Ejiro, & Daughter (2010) Greed (2006). Di negara-negara miskin atau berkembang termasuk Indonesia, Astuti and Sintawardani (2006:53-60) menemukan bahwa ketidak tersediaan fasilitas air, material dan perlengkapan sanitair, dan ketiadaan petugas pembersih,
membuat toilet publik di Kiaracondong becek, kotor dan berbau busuk. Survei/studi yang dilakukan oleh Bank Dunia akhir tahun 2011 tentang bagaimana pandangan wisatawan mancanegara terhadap kondisi sanitasi di Indonesia. Mereka menilai kualitas toilet di bandara, stasiun bus, dan tempattempat lain di sekitar kota lebih buruk dibandingkan toilet di tempat-tempat pribadi, seperti hotel dan restoran (Water Sanitation Program, 2011:59). Riset di Universitas Hasanuddin (Unhas) menemukan sulitnya warga kampus biasa untuk memiliki akses ke toilet-toilet publik yang bersih. Toilet-toilet yang masih berfungsi dan bersih umumnya dikunci dan hanya bisa digunakan oleh mereka yang memiliki jaringan dengan pemegang kunci toilet. Toilet-toilet yang terbuka untuk umum biasanya dalam keadaan kotor, kumuh, dan tidak memiliki pasokan air yang memadai, serta juga difungsikan untuk berbagai Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | D 059
Kekuasaan pada Toilet Publik
selain sebagai wadah membuang limbah tubuh manusia.
1987:710) atau Architects Data Neufert, 2012:194).
Temuan menunjukkan bahwa buruknya kualitas toilet publik juga terjadi akibat pengaruh kekuasaan. Hanya mereka yang memiliki jaringan kekuasaan yang memiliki hak akses ke toilettoilet yang bersih. Penelitian ini menemukan ada yang berbeda antara makna toilet publik bagi arsitek dengan makna toilet publik bagi pengguna.
Awal abad XX, fasilitas toilet diperkenalkan Rockefeller sebagai bagian dari kampanye mereka terhadap pengendalian cacing tambang melalui pendekatan persuasif ke rakyat Indonesia di Jawa. Pemerintah kolonial Belanda juga sudah mengenalkan toilet, tetapi cara pendekatannya dilakukan dengan pendekatan kekuasaan (Gouda 2009:13; Heiser, 1936:479). Ahli-ahli Yayasan Rockefeller menentukan standar kualitas konstruksi toilet yang baik harus tahan lama, nyaman, dan bersih (Engel & Susilo 2014:7; Stein, 2009:9-10; Hydrick, 1942:74).
Hasil dan Pembahasan Toilet Publik Sebagai Simbol Kampus Unhas Tamalanrea dirancang pada tahun 1980an oleh konsultan OD205 dari Delf (Belanda) dan PT. Sangkuriang Bandung (Indonesia) dengan konsep paradigma holisme, yang mengandalkan interkoneksitas antar ilmu pengetahuan. Konsep ini mewujud dalam pembangunan fisik, dimana semua unit kerja saling berinteraksi satu sama lain. Secara garis besar konsep dan ide toilet publik Unhas dirancang seragam mirip dengan yang tertuang pada buku-buku standar internasional perancangan arsitektur, seperti Time Saver For Building Types (De Chiara & Callender, D 060 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Pola ruang-ruang toilet publik dirancang terpisah berdasarkan gender dan status sosial. Lihat Gambar 1.
sha$ %
Lokasi Penelitian di Universitas Hasanuddin (Unhas). Sumber Data dari informan sejumlah 120 orang terdiri dari dosen 25 orang, tenaga kependidikan 26 orang, mahasiswa 47 orang, dan pihak ketiga yaitu rekanan perusahaan jasa kebersihan dan kontraktor 22 orang. Metode pengumpulan data melalui observasi lapangan, wawancara terfokus dan wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus atau focused-group discussion (FGD). Metode analisis data dilakukan silih berganti dengan proses pengumpulan data. Proses analisis dengan menggunakan metode Spradley (1980). Etika Penelitian untuk menunjang konfidensialitas data dilakukan penyamaran identitas informan.
sha$ %
Metode Penelitian
(Neufert &
Gambar 1. Pola denah toilet publik Unhas (Bagian Perlengkapan Unhas 2002)
Perbedaan rancangan toilet publik yang terletak di area pimpinan universitas dan mahasiswa umumnya menggunakan bentuk toilet duduk dengan sistem pembilas otomatis, sedangkan di area pendidikan di fakultas-fakultas seperti ruang kelas dan laboratorium adalah bentuk toilet jongkok dengan sistem pembilas manual. Perbedaan ini dilakukan dengan asumsi bahwa: (1) mahasiswa cenderung gagap teknologi terhadap sistem toilet duduk; (2) harga toilet duduk dengan sistem pembilas otomatis lebih mahal dibandingkan dengan toilet jongkok yang menggunakan sistem pembilas manual. Bila sebelumnya warga Unhas akan mengetahui lokasi toilet dari baunya yang ‘busuk’, maka mereka yang akan menawar-nawarkan tamu
Triyatni Martosenjoyo
bila membutuhkan toilet, karena toilet publik mereka bukan saja berbau wangi tetapi juga berkesan mewah. Contoh sentra-sentra toilet yang mahal dan mewah terlihat pada Gambar 2 dan 3. Keinginan para pimpinan unit kerja kaya untuk menggunakan produk-produk kebutuhan toilet yang dipersepsikan sebagai modern dan mahal merupakan budaya bendawi masyarakat BugisMakassar. Pengamatan Wallace pada tahun 1856 sudah menunjukkan bagaimana lokasi-lokasi pemukiman orang-orang Bugis yang tidak pernah didatangi oleh orang Eropa, tetapi masyarakatnya bisa membeli barang-barang impor yang mewah dari Eropa (Pelras 2006:351-352). Teknologi dan biaya yang digunakan untuk membangun toilet juga menunjukkan bahwa Unhas tidak memiliki hambatan dalam pengadaan sentra-sentra toilet yang dikategorikan mahal dan mewah, walaupun fakta juga menunjukkan bahwa kualitas toilet yang mahal dan mewah tersebut tidak selalu berarti akan digunakan dan rawat dengan baik. Mirip dengan kisah orang-orang kaya di Banyumas yang memiliki toilet tetapi tidak digunakan sebagai tempat membuang limbah tubuh mereka. Toilet dibuat dengan tujuan untuk dipamerkan kepada orang-orang bahwa pemiliknya bukanlah orang miskin (Stein, 2009:554).
Gambar 3. Toilet jongkok dengan sistem pembilas otomatis di salah satu fakultas
Bau Sebagai Penanda Dalam acara FGD, Gigi seorang mahasiswa dari salah satu fakultas ilmu sosial menjelaskan bahwa cara yang paling mudah untuk mendapatkan toilet adalah dengan menggunakan indra penciuman. Toilet publik Unhas hampir selalu menghadirkan bau khas toilet publik. Bau busuk yang dihasilkan oleh toilet berasal dari urine berupa senyawa NH3, dari selokan yang tidak mengalir berupa senyawa H2S, atau dari tinja berupa senyawa H2S. Aroma menyengat berupa senyawa metil sulfida (CH3)2S yang dihasilkan oleh bahan pembersih toilet. Bila aroma tesebut tercium, sudah pasti toilet publik ada di sekitar kita. Fenomena untuk mengetahui keberadaan toilet publik di Unhas dengan mengikuti bau busuk yang dirasakan oleh indera penciuman terasa mengganggu bagi pengguna yang menghubungkan bau busuk dengan kotoran yang tidak disiram. Untuk mengetahui makna kebersihan toilet publik Unhas, saya mewawancarai Tata seorang mahasiswa salah satu fakutas tentang toilet publik di jurusannya. Bagi Tata, kesulitan air untuk menyiram limbah manusia di toilettoilet itulah yang membuat area toilet publik berbau busuk.
Gambar 2. Hall toilet publik unit kerja yang mewah
Secara simbolik ada bau yang dianggap menyenangkan, dan ada yang dianggap mengganggu. Bau harum dianggap menyenangkan dan disukai oleh karena dikaitkan dengan kebersihan, sedangkan bau busuk dianggap mengganggu dan tidak disukai oleh karena dikaitkan dengan kotoran (Aspria, 2008:4).
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | D 061
Kekuasaan pada Toilet Publik
Bau tidak dapat diisolasi karena bergerak di dalam udara dan hanya bisa dihindarkan dengan cara menghilangkan sumber bau atau memindahkannya ke tempat yang tidak tercium oleh manusia. Sejarawan kesehatan masyarakat menyatakan bahwa sanitarian abad ke sembilan belas secara intensif melakukan kampanye untuk membasmi sumber bau busuk dan miasmas (Jenner 2011:338). Dalam FGD dengan kelompok mahasiswa dari berbagai fakultas, para mahasiswa saling bercerita dan berdiskusi bagaimana proses pencarian toilet alternatif bila toilet di fakultas atau prodi mereka tidak berfungsi. Mereka akan menjadikan toilet-toilet pimpinan atau yang berada di sekitar wilayah pemimpin sebagai tujuan pertama dengan pertimbangan toilet tersebut pasti terpelihara. Bila toilet nampak terkunci, mereka akan menunggu sampai ada pengguna toilet yang membukanya dan mereka akan minta izin untuk bisa menggunakan toilet tersebut. Sering ditemui mahasiswa yang lumayan berani menuju area pimpinan yang memiliki toilet mewah dan senantiasa terbuka. Sejak berada di sekolah dasar hingga menengah, mahasiswamahasiswa ini sudah memahami bahwa petugas kebersihan cenderung ‘cari muka’ dan hanya memperhatikan kebersihan toilet pimpinan dan masa bodoh dengan toilet siswa. Toilet pimpinan dipelihara dan dibersihkan secara rutin, sedangkan toilet siswa seminggu atau sebulan sekali, atau bahkan tidak sama sekali. Toilet Pribadi Layanan kebersihan yang berbeda antara toilet yang digunakan pimpinan dengan yang digunakan mahasiswa secara kognitif membentuk budaya di dalam masyarakat bahwa kualitas kebersihan memiliki standar yang berbeda antara toilet yang digunakan oleh pimpinan dan yang bukan pimpinan. Tidak semua pemimpin unit kerja meminta fasilitas toilet pribadi. Bagi mereka yang tidak meminta, bawahan yang merupakan tenaga kependidikan biasanya menawarkan untuk mengusulkan pembuatan toilet pribadi. Bila toilet pribadi tersebut berhasil dibangun, bawahan mereka juga bisa ikut memanfaatkannya. Kesetiaan bawahan kepada atasannya merupakan budaya patron-klien yang sangat nyata didalam budaya Bugis-Makassar. D 062 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Patronus merupakan pelindung, sponsor, dan
donator dari klien. Klien biasanya berasal dari kelas sosial yang lebih rendah. Bila seorang patron dan klien memiliki peringkat sosial yang sama, maka patron memiliki kekayaan, kekuasaan, atau prestise yang lebih besar yang memungkinnya untuk membantu atau memberi kenikmatan kepada klien. Sebagai imbalannya, klien diharapkan menawarkan jasa-jasa pribadi kepada patronnya untuk keperluan patronnya (Dillon & Garland 2005:87; Quinn, 1982:117; Scott, 1972:95). Yahya staf rektorat menceritakan bahwa dia menyiapkan satu kamar toilet yang selalu dikunci untuk pimpinannya. Dia merasa malu bila pimpinannya mengeluh saat akan buang air dan toilet dalam keadaan kotor atau air tidak tersedia. Saya menanyakan kepada Yahya bagaimana bila orang lain ingin menggunakan toilet, tetapi toilet terkunci. Dia menjawab bahwa mereka bisa mencari toilet lain yang terbuka. Sebagai klien, Yahya juga merasa malu dan tidak enak bila ada orang atau tamu rektorat yang ingin menggunakan toilet tetapi toilet dalam keadaan kotor, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Tetapi bila toilet pimpinan yang merupakan patronnya juga digunakan untuk umum, itu akan menyulitkan pimpinannya saat akan menggunakan toilet. Berbeda dengan pimpinan-pimpinan yang merasa malu hanya pada situasi bila tamu melihat toilet mereka kotor. Yahya menempatkan perasaannya pada dua situasi yang berbeda. Dia malu bila di tempat kerjanya tidak ada toilet bersih untuk tamu, tetapi dia lebih malu bila tidak menjaga kebutuhan toilet pimpinannya dengan baik, sebab itu dapat diartikan bahwa dia tidak loyal/setia kepada patronnya. Seorang staf Gedung Perpustakaan misalnya menceritakan keinginan pimpinan mereka seorang wanita yang baru pulang sekolah di luar negeri, terkait kebutuhan yang bersangkutan akan toilet pribadi. Pimpinan yang merasa status sosialnya telah naik tersebut enggan menggunakan puluhan toilet publik yang bertebaran di semua arah Gedung Perpustakaan, karena lokasinya dianggap tidak langsung berdekatan dengan ruang kerjanya. Keengganan para pemimpin unit kerja menggunakan toilet publik yang dipakai bersama
Triyatni Martosenjoyo
dengan orang lain antara lain karena alasan seringkali harus antri, ketersediaan air yang terbatas, hingga toilet yang kotor. Tetapi umumnya mereka juga merasa bahwa sebagai pimpinan, mereka punya ‘hak istimewa’ untuk mendapatkan toilet pribadi dan tidak perlu menggunakan fasilitas umum dan yang juga dapat digunakan oleh warga Unhas biasa. Pada umumnya, pemimpin-pemimpin unit kerja baik itu pemimpin akademik maupun non akademik yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan toilet yang khusus diperuntukkan bagi mereka, akan melakukan hal-hal yang dapat membuat mereka juga memiliki toilet yang nampak pribadi. Mereka akan mengunci sebagian ruang-ruang toilet publik yang kuncinya dipegang oleh jaringan mereka saja. Ruangruang toilet yang dipilih biasanya yang bangunannya masih baik dengan jaringan air bersih dan jaringan air kotornya yang berfungsi. Pola mengunci sebagian ruang-ruang toilet oleh para pemimpin unit kerja juga diikuti oleh pemimpin organisasi-organisasi mahasiswa. Bedanya adalah kalau pemimpin unit kerja memilih toilet publik yang kualitasnya terjamin, pemimpin mahasiswa akan mencari toilet publik ‘tak bertuan’ yang terletak di perbatasan wilayah unit-unit kerja dan pengelolanya tidak jelas. Seorang aktivis menghubungi saya hanya beberapa saat setelah saya melakukan survei di salah satu sentra toilet yang dikuasai oleh pemimpin mahasiswa. Pola yang dilakukan oleh mahasiswa ini juga diikuti oleh mace-mace1 dan petugas kebersihan yang merupakan karyawan pihak ketiga. Aktifis mahasiswa, mace-mace, dan petugas kebersihan menguasai dan dapat saling berbagi kunci dalam pemanfaatan toilet publik di Unhas. Pola-pola penguasaan penggunaan toilet publik di Unhas menggambarkan pada kita bahwa ada klasifikasi warga Unhas yang mewujud pada hak akses berdasarkan strata status sosial warga Unhas. Kelas I adalah pemimpin struktural baik akademik dan non akademik. Kelas II adalah tenaga kependidikan yang memiliki kedekatan dengan pemimpin struktural. Kelas III adalah 1
Mace-mace adalah istilah yang digunakan untuk perempuan-perempuan yang berjualan di dalam kampus Unhas. Mereka biasanya merupakan kerabat dari tenaga kependidikan bagian rumah tangga Unhas.
aktifis mahasiswa, mace-mace, dan petugas kebersihan. Kelas IV adalah dosen dan mahasiswa biasa. Walaupun kelas-kelas ini tidak diperbincangkan secara terbuka dalam wacana-wacana resmi maupun kebijakan, secara faktual kelas-kelas ini hadir dalam tindakan yang melibatkan relasi dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Artinya, pihak yang menempatkan diri sebagai pengendali kekuasaan cukup sadar apa yang dilakukan mereka sebenarnya ‘tidak tepat’, sehingga tindakan mereka dilakukan secara diamdiam. Klasifikasi yang menunjukkan status seseorang berbeda dengan yang lain merupakan oleh disebut sebagai permainan distingsi untuk menunjukkan status khas seseorang dan menempatkan kelasnya yang berbeda atau lebih tinggi dibanding dengan mereka yang tidak memilikinya, dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Dalam dunia sosial, sistem hubungan kekuasaan dan sistem simbolik memainkan perbedaan ‘cita rasa’ sebagai dasar penilaian sosial (Bourdieu 1979:6). Aktivitas-aktivitas merefleksikan per-bedaan, dimana aktor-aktor membuat distingsi antara “aku” dan bukan “aku”, “aku-engkau”. Pola-pola penguasaan dan hak akses berdasarkan klasifikasi masyarakat menunjukkan bahwa makna ‘ruang publik’ pada toilet publik di Unhas berbeda dengan yang didefinisikan oleh Arendt sebagai ‘ruang penampakan’ dan ‘dunia bersama’ (common world). Pada toilet publik Unhas, ruang penampakan dan dunia bersama hadir sebagai bentuk privat (Arendt, 195850-55). Pada toilet publik Unhas, dunia bersama yang bisa menyatukan kita bersama untuk tidak saling menelikung itu hilang, oleh karena yang terjadi disini adalah hal-hal yang bersifat privat. Makna publik sebagai ruang spasial dan ruang demokrasi yang terbuka bagi semua orang seperti yang dikatakan oleh Habermas, tidak sepenuhnya terjadi pada toilet publik Unhas Tamalanrea. Pada toilet publik Unhas, terjadi klasifikasi pengguna, oleh karena elite kampus merasa bahwa mereka tidak setara dengan dosen dan mahasiswa biasa. Regulasi kebijakan publik pada toilet Unhas tidak memungkinkan terjadinya kebebasan dan kemajemukan. Pada ruang publik status orang tidak dipersoalkan dan publiknya tidak bersifat eksklusif tidak terpenuhi pada toilet publik Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | D 063
Kekuasaan pada Toilet Publik
Unhas (Habermas, 1991:2). Kebijakan publik yang mengatur kesetaraan hak akan akses dan kualitas kebersihan bagi semua warga tidak berjalan, oleh karena kebijakan publik diprioritaskan untuk melayani hal-hal yang sifatnya privat. Berbagi Toilet Alasan kejelasan unit kerja mana yang bertanggungjawab pada pemeliharaan toilet membuat tidak dijumpai dua unit kerja bekerja sama untuk berbagi pengelolaan sentra-sentra toilet. Sentra toilet dibagi dan dibuatkan pembatas area secara non-fisik maupun fisik.
Gambar 4. Jeruji besi ini memisahkan area toilet lakilaki dengan perempuan yang masing-masing dikelola terpisah oleh dua unit kerja yang berbeda.
Secara non-fisik melalui kebijakan mengunci toilet dan hanya bisa diakses oleh unit kerja yang bertanggung jawab, sedangkan secara fisik dengan cara membuat bidang-bidang pembatas misalnya dinding dari jeruji besi. Dengan cara tersebut, sentra-sentra toilet setiap unit kerja tidak dapat digunakan oleh unit kerja yang lain. Lihat Gambar 4. Secara filosofi fakta bahwa toilet publik dikelola sebagai milik privat orang-orang atau unit-unit kerja tertentu menunjukkan bahwa warga Unhas masih berada dalam perkembangan sebagai warga rumah tangga dimana warga kampus dilihat sebagai anggota dari suatu kelompok komunitas unit-unit kerja dan belum menjadi warga masyarakat Unhas. Sebagai warga kelompok, maka aset fisik juga dianggap sebagai milik kelompok. Sistem pengelolaan toilet publik masing-masing unit kerja yang tidak boleh dipakai oleh pihak lain ini menunjukkan bahwa ‘sistem berbagi’ (sharing) belum dikenal atau belum menjadi budaya masyarakat Unhas. Widlok (2004:61-62) menyatakan bahwa berbagi bertujuan memD 064 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
perluas lingkaran orang-orang yang dapat menikmati manfaat dari sumber daya bersama. Menurut Woodburn (1998:49-50) yang meneliti sistem berbagi daging pada masyarakat pemburu, sistem berbagi mempersyaratkan bahwa: (1) Yang dibagi bukanlah sesuatu yang akan dibuang karena tidak bisa disimpan atau tidak dibutuhkan; (2) Masyarakat memiliki keterbatasan siapa yang menikmati pemberian; (3) Pemberian tidak dilakukan atas dasar kemurahan hati; (4) Tidak ada kewajiban pihak yang menerima untuk membalas; (5) Tak ada klaim signifikan yang berbeda antara yang memberi dan tidak memberi. Sistem berbagi hanya bisa dilakukan oleh sistem struktur organisasi yang utuh, dengan menganggap bahwa organisasi hanya bisa berjalan secara ideal ketika seluruh fungsi-fungsi sub sistem dimaknai setara, kemudian bekerja sama dan saling bersinergi satu sama lain. Keseluruhan (the wholes) sistem bukan sekedar jumlah dari bagian (parts) sistem. Keseluruhan lebih dari jumlah seluruh bagian-bagian (Spencer 1884:56; Capra 1997:6, 2005:xiv). Walaupun Unhas adalah lembaga akademik, tidak semua relasi antar warga Unhas dibangun dengan habitus dan modal sosial intelektualitas. Cukup banyak warga Unhas yang melihat universitas ini sebagai arena kekuasaan dan arena ekonomi yang membutuhkan modal sosial kekuasaan dan modal sosial ekonomi. Hal ini tidaklah aneh oleh karena pengembangan karir di Unhas umum dilakukan dengan memanfaatkan modal kekerabatan dibanding kompetensi (Martosenjoyo 2014:48-49, 2015:217). Apa yang terjadi di Unhas umum terjadi di institusi akademik lainnya. Riset Bourdieu di
Centre National de la Recherche Scientifique
(CNRS) yang merupakan lembaga penelitian nasional Perancis Bourdieu menunjukkan bagaimana disini perkembangan karir seseorang justru mengabaikan hal-hal yang terkait dengan intelektualitas (Bourdieu 1988:84-85). Dalam hal toilet publik, makna lebih dalam yang ditemukan adalah bahwa ruang toilet adalah simbol status kekuasaan pemiliknya, dan orangorang yang melihat Unhas sebagai arena kekuasaan tidak akan berbagi simbol status kekuasaan.
Triyatni Martosenjoyo
Realitas kekuasaan yang terjadi di dalam penguasaan toilet publik berbeda dengan realitas kekuasaan yang terjadi dalam relasi antara dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan maupun informal. Di toilet publik realitas kekuasaan dalam hubungan antara dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. ktidak diwacanakan atau dikonstruksikan seperti yang terjadi pada teori kekuasaan (Foucault, 2010). Disini relasi kekuasaan mengendalikan orangorang yang termarginalkan (Rux 1988:10). Pengendalian kekuasaan terhadap mereka yang diasumsikan memiliki status sosial rendah dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan tidak pernah diwacanakan atau dikonstruksikan dalam norma-norma dan aturan-aturan universitas.
diakses oleh mereka yang memiliki relasi dengan kekuasaan.
Budaya ruang publik adalah nilai-nilai demokrasi yang diperkenalkan oleh budaya Barat. Di dalam ruang-ruang publik, konsep kesadaran berbagi ruang bersama seyogyanya diperkenalkan pada masyarakat Unhas yang belum terbiasa dengan nilai-nilai kesetaraan. Ketika nilai-nilai kebersamaan diwujudkan sebagai kebijakan dalam bentuk ruang, bagaimana memaknai ruangruang bersama tersebut tidak dideliberasikan atau dimusyawarahkan terlebih dahulu antar sesama warga kampus. Bagi Gambetta (1998:19-20) deliberasi adalah proses percakapan dimana individu-individu saling berbicara dan mendengarkan secara berkala sebelum membuat keputusan kolektif.
Agbagwa, Ejiro, O., & Daughter, N. (2010). Public Health Significance Of Microorganisms Associated With Public Restroom in University of Port Harcourt. Scientia Africana, 9 (1), 126-132. Aspria, M. (2008, November 7th). Cosmologies, Structuralism, and the Sociology of Smell. Retrieved from Sciented Pages: www.scentedpages.com/ pdf/sociology.pdf Astuti, & Sintawardani. (2006). The Present Situation Of Public-Toilet in Kiaracondong Bandung City Indonesia: A Preliminary Study Of Biotoilet Application”. The 4th Inter-national On Suistanable Sanitation,. Bandung. Bourdieu, P. (1979). Distinction: A Social Criti-que of the Judgement of Taste. Cambridge: Havard University Press. Bourdieu, P. (1988). Homo Academicus. Stan-ford, California: Stanford University Press. Capra, F. (1997). A New Scientific Under-standing of Living Systems – The Web Of Life. New York: Anchor Books A Division of Random House Inc. Capra, F. (2005). How Nature Sustains The Web of Life. (M. Stone, Michael K, & Z. Barlow, Eds.) San Fransisco: Sierra Club Books. Engel, S., & Susilo, A. (2014). Shaming and Sanitation in Indonesia – A Return to Colonial Public Health Practices? Journal Development & Change, 45 (1), 157-178. De Chiara, J., & Callender, J. (1987). Time-Saver Standars For Building Types. Singa-pore: McGrawHill Inc. Dillon, M., & Garland, L. (2005). Ancient Rome: From
Kesimpulan Buruknya kualitas toilet publik tidak selalu terhubung dengan kemiskinan dan rendahnya pendidikan, melainkan juga karena faktor kekuasaan. Kekuasaan membuat tidak ada kesetaraan status dalam pengelolaan toilet publik. Klasifikasi masyarakat pengguna toilet publik membuat perbedaan kualitas rancangan toilet publik karena kualitas ditentukan berdasarkan jabatan/ kekuasaan pemilik/ penggunanya. Toilet publik dimaknai sebagai simbol status kekuasaan dan ekonomi pimpinan unit kerja. Toilet publik yang dimaknai sebagai area kekuasaan membuat pemilik enggan berbagi dengan mereka yang tidak menjadi bagian dari jaringan kekuasaan mereka. Berbagi toilet publik dimaknai sama dengan berbagi kekuasaan. Fungsi sebagai area kekuasaan membuat toilet publik yang bersih dan sehat hanya dapat
Sebagai bahan diskusi, perlu disepakati apakah pola dan fungsi toilet-publik memang harus sesuai dengan standar-standar internasional dan bersifat universal yang mengedepankan kesetaraan, atau perlu mempertimbangkan kondisi kontekstual yang mengedepankan klasifikasi jabatan pemilik/pengguna? Juga perlu dikaji kembali apakah memang dibutuhkan toilet-toilet publik yang bersifat terbatas? Kalau memang dibutuhkan apa alasannya dan siapa saja yang dipertimbangkan mendapat dispensasi tersebut? Daftar Pustaka
the Early Republic to the Assassination of Julius Caesar. Routledge. Foucault, Michel. (2010). The Archeology of Knowledge - And The Discourse on Langu-age. Tavistock Publication Limited. Gambetta, D. (1998). "Claro": An Essay on Discursive Machismo. Dalam J. Elster (Ed.), Deliberative Democracy (pp. 19-43). Cambridge: Cambridge University Press. Gouda, F. (2009). Discipline versus Gentle Persuasion
in
Colonial
Public
Health:
The
Rockefeller
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | D 065
Kekuasaan pada Toilet Publik
Foundation’s Intensive Rural Hygiene Work in the Netherlands East Indies, 1925-1940. Amsterdam: University of Amsterdam. Greed, C. (2006). The Role of the Public Toilet: Pathogen Transmitter or Health Facilitator? Sage
Journals Building Services Engineering Research & Technology , 27 (2), 127-139. Hydrick, J. (1942). Intensive Rural Hygiene Work in the Netherlands East Indies. Netherlands and Netherlands East Indies Councils, Institute of Pacific Relations. Habermas, J. (1991). The Structural Transfor-mation Of The Public Space, An Inquiry Into A Category Of Bourgeois Society. Cam-bridge: MIT Press. Heiser, V. (1936). An American Doctor’s Odyssey: Adventure in Forty Fives Countries. New York: W.W Norton. Jenner, M. S. (2011). Follow Your Nose? Smell, Smelling, and Their Histories. The American Historical Review, 116 (2), 335-351. Johnson, D. L., Mead, K. R., & Lync, R. A. (2013). Lifting the Lid on Toilet Plume Aerosol: A Literature Review With Sugges-tions For future Research. AJIC: American Journal of Infection Control Pages 254-258, March 2013 , 41 (3), 254258. Neufert, E., & Neufert, P. (2012). Neufert Architects Data. Iowa, USA: Blackwell Science. Martosenjoyo, T. (2014). Why Are Our University Public Toilets Are Dirty? A Case Study of Unhas Public Toilets. In R. Iida, K. Nishijima, N. Fukushima, & T. Futatsuyama (Ed.), 2014 Report
of Research Collaboration & Management Support Course for International Research Output Training.
(pp. 541-565). Kyoto: Graduate School of Asian and African Area Studies Kyoto University. Martosenjoyo, T. (2015). Toilet Publik dan Perilaku Bersih di Universitas Hasanuddin. Universitas Hasanuddin, Jurusan Antropologi, Makassar. Okechukwu, O., Okechukwu, A., Noye-Nortey, H., & Owusu-Agyei. (2012). Toilet Practices Among The Inhabitants Of Kintampo District Of Northern Ghana. Journal of Medicine and Medical Sciences, 3 (8), 522-530. Quinn, K. (1982). The Poet and his Audience in the Augustan Age. Dalam W. de Gruyter (Ed.),
Aufstieg und Niedergang de Römis-chen Welt.
New York: Walter de Gruyter & Co. Pelras, C. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, Forum Jakarta-Paris. Rux, M. (1988). Truth, Power, Self: An Interview with Michel Foucault; October 25, 1982. In M. H. Luther, G. Huck, & P. H. Hutton (Eds.),
Technology of The Self - A Seminar with Michl Foucault (pp. 9-15).
Scott, J. (1972). Patron-Client Politics and Political Change In South Asia. Journal The American Political Science Review, 66 (No. 1), 91-113. Spencer, H. (1884). "What Knowledge is of Most
Worth?". The Elzevir Library, A Weekly Magazine Volume III No. 138 (Vol. III). JB Alden.
D 066 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Spradley, J. (1980). Participant Observation. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Stein, E. A. (2009). Sanitary Makeshifts and the Perpetuation of Health Stratification in Indonesia. In R. Hahn, & M. Inhorn (Eds.), Bridging Differences In Culture And Society. New York: Oxford University Press, Inc. Water Sanitation Program. (2011). Economic Assess-
ment of Sanitation Interventions in Indonesia A six-country study conducted in Cambodia, China, Indonesia, Lao PDR, the Philippines and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative (ESI) .
The World Bank, Jakarta. Widlok, T. (2004). Sharing by Default?: Outline of an Anthropology of Virtue. Journal Anthropoligical Theory, 4 (No. 1), 53-70. Woodburn, J. (1998). Sharing Is Not A Form Of Exchange: An Analysis of Property-Sharing in Immediate-Return Hunter-Gatherer Societies. Dalam C. Hann (Ed.), Property Relations: Renewing The Anthroplogy Tradition (pp. 48-63). Cambridge: Cambridge University Press.