PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN : NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
TESIS Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh : Emmanuel Satyo Yuwono 116322006
Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TESIS KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN : NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TESIS KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN : NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR Oleh : Emmanuel Satyo Yuwono 116322006 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis dan dinyatakan telah memenuhi syarat
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Emmanuel Satyo Yuwono NIM
: 116322006
Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Institusi : Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis Judul : KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN : NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
Pembimbing : 1. Dr. Albertus Bagus Laksana, S.J. 2. Dr. Benedictus Hari Juliawan, S.J. Tanggal diuji : 23 Januari 2014
Adalah karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam tesis ini tidak pernah terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya sarjana lain adalah semata-mata adalah untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan kaki maupun daftar pustaka.
Yogyakarta, Februari 2014
Emmanuel Satyo Yuwono
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Nama : Emmanuel Satyo Yuwono NIM
: 116322006
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul : KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN : NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan pada Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, Februari 2014
Emmanuel Satyo Yuwono
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
Ngelmu iku kalakone kanthi laku Lekase lawan kas Tegese kas nyantosani Setya budya pangkese dur angkara (Serat Wedhatama, KGPAA Mangkunagoro IV)
Ilmu itu baru bisa terlaksana jika disertai penghayatan Pelaksanaannya juga harus secara sungguh-sungguh Bersungguh-sungguh berarti akan memberikan kesentosaan Kesadaran diri untuk memusnahkan nafsu jahat
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada mereka yang hadir dalam perjalanan hidup saya. Kedua orang tuaku, Bapak FX Hartanto dan ibu Indi Prihatini Kakaku, Yulis Wicaksono Adi, Astri Mahareni dan juga si kecil Andhira Christy Renadita Serta Rininta Cintya Sari yang hadir dalam perjalanan hidup saya, karya ini kupersembahkan untukmu
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR Gagasan penelitian ini berawal dari kegelisahan peneliti. Pada waktu itu, pembicaraan mengenai peristiwa kematian menjadi perdebatan yang tidak terselesaikan. Kematian merupakan sebuah fenomena yang hadir di tengah masyarakat, namun peristiwa kematian akhirnya hanya menjadi wacana yang di setiap agama dan kebudayaan memiliki pandangan masing-masing. Pembicaraan mengenai arwah leluhur setelah persitiwa kematian memiliki dua pemaknaan, yang pertama berkeyakinan bahwa arwah leluhur sudah langsung berada di surga, di lain pihak menganggap bahwa arwah leluhur masih perlu didoakan. Peneliti cukup terkejut ketika mendengar ucapan dari jemaat Kristen demikian “berziarah kubur berarti berdoa di depan bangkai”. Pada waktu itu, peneliti sebagi orang Jawa tidak bisa menerima pernyataan itu dan terjadi perdebatan yang tidak terselesaikan dan bahkan mengarah pada konflik sosial. Kendati demikian, setelah mengikuti perkuliahan di Kajian Ilmu Religi dan Budaya dan mengenal beberapa teori sosial, peneliti bisa sedikit meraba mengapa hal demikian bisa terjadi. Berawal dari kegelisahan tersebut, lalu peneliti ingin melihat bagaimana kemudian jemaat GKJ sendiri menegosiasikan identitasnya. Dalam penelitian ini bukan mengungkap tentang kebenaran yang terjadi setelah peristiwa kematian, namun bagaimana peristiwa kematian yang tergambar dalam tradisi ziarah kubur ikut membentuk identitas seseorang. Bagaimana mekanisme pembentukan identitas terjadi, sehingga bisa mengarah pada pengetahuan dan pembenaran yang tertanaman kuat dalam dirinya.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Saya perlu mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan penelitian ini. Ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Romo Bagus Laksana, S.J sebagai pembimbing utama, kehadirannya dalam memberikan saran dan kritik sangat membantu terselesainya tesis ini. Kesediaannya membaca dan mencorat-coret setiap lembar tesis ini, tanpa adanya campur tangannya saya yakin tesis ini tidak akan terselesaikan seperti ini. Banyak konsep pemikiran Romo Bagus yang tertulis dalam tesis ini. Perspektif penulisan ini juga tidak terlepas dari campur tangan Romo Benny Hari Juliawan, S.J yang menjadi guru teladan saya. Diskusi bersamanya selalu menghidupkan semangat dan mempertajam untuk mendalami setiap permasalahan baik secara teoritis maupun praktis. Cara mengajar dan kesederhanaanya menginspirasi saya untuk selalu menjadi manusia yang sederhana. Tanpa bantuan dan segala perhatian yang dia berikan, saya tidak tahu apa jadinya tesis ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga kepada para pengajar di Program Ilmu Religi dan Budaya USD, Romo G. Budi Subanar S.J, Bapak St. Sunardi, Bapak Supratiknya, Romo Budi Susanto S.J, Romo Baskara S.J, Romo Haryatmoko S.J, Ibu Katrin, dan juga Ibu Devi yang semuanya telah menyediakan kesempatan bagi saya untuk mengenal dan mengembangkan pemikiran tentang persoalan religi, budaya, dan juga kemanusiaan. Terimakasih pula saya ucapkan kepada mbak Desy dan juga Pak Mul yang telah ikut membantu dalam bentuk apapun selama kuliah maupun penulisan tesis. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada N. Gogor Seta Dewa yang telah bersedia menyediakan tempat saya untuk singgah dan juga berdiskusi
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bersama, dari teori filsafat yang rumit, permasalahan politik, permasalahan di kelas, bahkan gosip selebritis. Saya juga beruntung berada di antara teman-teman yang senantiasa memberikan waktu untuk berdiskusi bersama dan memberikan masukan, terimakasih saya ucapkan kepada: Pak Ismulyadi (kata yang tak terlupakan: sing penting pasedulurane ojo nganti pedot), Pak Daryadi (pejuang yang tangguh, melintasi gunung merbabu dan telomoyo sampai di Banyubiru hanya untuk meminjam buku, mantap pakdhe), Putro (Nggitar karo nglekar2, seniman sejati tenan), Mbak Kurniasih (Sahabat teladan yang selalu berada di Perpus, lanjutkan mbak..hehe), Alm. Mbak Julia (Banyak sekali pengalaman yang tak terlupakan, ujian tesis di hari yang sama namun sekarang engkau telah bahagia bersamaNya, doakan kami budhe yang masih berziarah di dunia ini), Pak Marsius (Sahabat yang luar biasa, selalu semangat), Imran (sahabat satu perguruan di padepokan romo Bagus, semangat pak ustad), Alut (Intelektual muda ternate kamu bro, salam buat marlon), Mbak Vini (wanita yang “tangguh”..hehe, Arham (ini dia calon profesor IRB), Doni (tetap berkarya bro), Frans (halo pak pendeta, gimana kerbaunya sehat?) Lamzer (mantap bro), Wahmuji (warung kopi lidah ibu) dan juga teman-teman IRB lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih juga saya tujukan kepada para responden saya, Bapak Pdt. Setyo Utomo, Bapak Sudarman, Bapak Ratno, Ibu Giyati, Daniel, Valerian, dan juga Bapak Siswantoro dengan keiklasan mau bercerita tentang Kekristenan yang mereka alami dan ketahui. Terimaksih juga saya ucapkan kepada beberapa responden warga Desa Banyubiru, terutama Bapak Ki Adi Samidi sesepuh desa
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Banyubiru, Bapak Sri Anggoro Sisiwaji Kepala Desa Banyubiru, Bapak Supridaryono, dan Bapak Martoyo juru kunci pemakaman di Desa Banyubiru. Tidak berlebihan pula apabila saya berterimakasih kepada kedua orang tua saya, Bapak FX. Hartanto dan Ibu Indi Prihatini yang memberikan dukungan dalam bentuk apapun, dan juga kepada kakak saya Y. Wicaksono Adi dan Astri Mahareni. Tidak lupa saya juga mengucapkan terimaksih kepada Rininta Cintya Sari yang tidak henti-hentinya memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Dorongan dan bantuan yang langsung dan tidak langsung dari berbagai pihak sangat berarti untuk proses belajar saya dan terselesainya tesis ini. Akhirnya saya hanya bisa berharap semoga tesis ini berguna secara positif untuk semua pihak. Emmanuel Satyo Yuwono 2014
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Abstrak Ziarah kubur merupakan tradisi yang melekat dalam tradisi masyarakat Jawa. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud hormat bagi leluhur mereka, namun memiliki pemaknaan akan peristiwa kematian. Bagi orang Jawa persitiwa kematian tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang melakukan ritual ziarah kubur untuk mendoakan dan menyelipkan harapan atau berkah pangestu melalui leluhur mereka. Permohonan ini dipanjatkan tidak hanya melalui leluhur mereka secara pribadi, namun juga leluhur mereka secara komunal yang sering disebut dengan pepunden. Sebagai wujud nyata penghormatan leluhur secara komunal, maka dikenal adanya tradisi slametan, merti desa, dan bahkan dihadirkan melalui pertunjukan wayang kulit. Semua tradisi ini menjadi ritual di sekitar ziarah kubur karena terdapat wujud hormat dan permohonan melalui leluhur mereka, yang semuanya mengarah pada penunjukan identitas manusia Jawa. Tradisi di sekitar ziarah kubur ini tergambar di tengah masyarakat Desa Banyubiru Kabupaten Semarang, sebuah desa yang terletak di lereng gunung Telomoyo dan di dekat Rawa Pening. Kondisi alam semacam ini menyebabkan konsepsi ritual penghormatan leluhur semakin kuat. Namun, di tengah masyarakat Banyubiru muncul usaha purifikasi agama yang hadir melalui ajaran Gereja Kristen Jawa. Ajaran Kristen memandang bahwa setelah kematian tidak ada keterhubungan antara yang masih hidup dengan roh orang meninggal. Orang yang meninggal sudah langsung berada di Surga. Pemahaman ini didasarkan atas teks Alkitab dan tafsiran dari para Pendeta. Jemaat Gereja Kristen Jawa akhirnya harus menegosiasikan identitasnya antara kejawaan dan kekristenan. Untuk melihat mekanisme negosiasi identitas, kajian ini menggunakan pendekatan Foucault tentang panoptikon. Dari hasil kajian yang telah dilakukan ternyata teori panoptikon Foucault masih terbatas. Foucault melihat adanya pengawasan berasal dari satu titik saja atau bersifat tunggal. Dalam kajian ini ternyata ada dua pengawasan yang mempengaruhi negosiasi identitas. Tuhan yang dihadirkan melalui Alkitab sebagai usaha purifikasi dan aturan komunal dalam masyarakat. Akhirnya penelitian ini menunjukkan bahwa usaha purifikasi tidak berhasil. Kegagalan purifikasi ini disebabkan karena pengetahuan jemaat GKJ yang dipengaruhi oleh kekuasaan di sekitarnya, dalam hal ini kekuatan tradisi lokal. Jemaat GKJ tetap melakukan ziarah kubur namun disisi lain tidak melakukan ritual dan pemaknaan seperti dalam tradisi Jawa. Kata Kunci : Negosiasi, identitas, Kejawaan, Kekristenan, ziarah kubur
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Abstract
Ziarah kubur (tomb visitation) is an established tradition in Javanese society. This tradition is not only a manifestation of respect for their ancestors, but also a discernment of death. For Javanese people, death does not mean extinction but fertility. People do ziarah kubur to pray and gain pangestu (blessing) through their ancestors. This prayer is not only communicated through their blood ancestors, but also through their communal ancestors or pepunden. As a manifestation of communal ancestor veneration and remembrance, there are traditions such as slametan, merti desa, and shadow puppet show. All of these traditions become rituals around ziarah kubur because forms of respect and invocation through their ancestors can be found there, which refer to the identity of Javanese people. These traditions around ziarah kubur are observable in the village of Banyubiru, located at the slope of mount Telomoyo near Rawa Pening, Semarang Regency. This natural condition helps the flourishing of the practice of ancestor veneration and remembrance rituals. However, there is an effort of religious purification coming from the teachings of Javanese Christian Church (GKJ). Christian teachings believe that there is no connection between the living and the spirits of the dead. The dead is already in heaven. This understanding is based on the Scripture and the ministers’ interpretation. The Javanese Christian Church’s faithful ultimately have to negotiate their identities of being Javanese and Christian. This analysis uses Foucault’s approach on panopticon to see the mechanism of identity negotiation. From the analysis that had been done, it turns out that Foucault’s panopticon theory is still limited. Foucault thinks that surveillance comes only from a single source. This research shows that there are two kinds of surveillance that affect identity negotiation: God from the Scripture as an effort of purification and communal rules in the society. In the end, this research shows that the purification did’nt succeed completely. The failure of this purification is caused by the knowledge of GKJ faithful that is affected by power around it, which is the power of local tradition. The GKJ faithful still do ziarah kubur but on the other hand do not do the rituals and discernment like in Javanese tradition.
Keywords: Negotiation, identity, being Javenese, being Christian, ziarah kubur
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………….……………………………….......
i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………............…..
ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………........................…..
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN...…………………...….......
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...........................................
v
MOTTO...................................................................................................... vi PERSEMBAHAN…………………………………............…………….
vii
KATA PENGANTAR…………………………………………………...
viii
ABSTRAK………………………………………………………..……...
xii
ABSTRACT………………………………………...………………........
xiii
DAFTAR ISI…………………………………………………..………....
xiv
BAB I: PENDAHULUAN I.
Latar Belakang ................................................................................ 1
II.
Tema ............................................................................................... 15
III.
Rumusan Masalah .......................................................................... 15
IV.
Tujuan Penelitian ............................................................................ 15
V.
Pentingnya penelitian ..................................................................... 16
VI.
Konsep Penelitian dan Kajian Pustaka ........................................... 17
VII.
Metode Penelitian ........................................................................... 25
VIII.
Sistematika penulisan ..................................................................... 26
BAB II : “IDENTITAS KEJAWAAN” MASYARAKAT DESA BANYUBIRU I.
Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan .................................... 30
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1. Sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan .......................... 30 2. Kondisi Geografis Desa Banyubiru ...................................... 39 3. Keadaan Penduduk ............................................................... 40 II.
Kondisi Sosial dan Budaya ............................................................... 45 1. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Banyubiru ... 45 2. Tradisi Sedekah Bumi di Banyubiru ................................... 48 3. Tradisi Ziarah Kubur di Desa Banyubiru ..............................58
BAB III : KEKRISTENAN DI JAWA: WACANA AJARAN KRISTEN SEBAGAI KEKUATAN AGAMA DALAM MEMBENTUK IDENTITAS I.
Munculnya Gereja Kristen di Jawa ................................................. 72 1. Sejarah Kristenisasi di Jawa : Berawal dari Kolonialisme .. 72 1.1. Krisen “Jawa” dan “Landa”.......................................... 73 1.2. Usaha Kristenisasi di Jawa Tengah .............................. 81 2. Muncul dan Berkembangnya GKJ di Banyubiru ................ 85
II.
Pengaruh dan Proses Pembentukan Identitas Kristen Jawa ............ 88 1. Hadirnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru........................ 88 1.1. Peran Penyebar Ajaran Kristen ................................ 89 1.2. Cara penyebaran........................................................ 93 2. Kekristenan sebagai Cara Pandang....................................... 95
BAB IV: TARIK ULUR IDENTITAS: KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR I.
Konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi ........... 100 1. Pemaknaan akan Tradisi Jawa dalam Persoalan
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di Sekitar Ziarah Kubur ......................................................... 101 1.1 Slametan .................................................................. 101 1.2 Penghormatan Leluhur dalam Tradisi Ziarah Kubur ............................................................ 109 2. Wacana akan Kematian ....................................................... 113 II.
Kekristenan dan Kejawaan: Usaha Memberikan Kepatuhan ......... 117 1. “Alkitab” Sebagai Panoptik ................................................ 119 2. Aturan komunal masyarakat Jawa ...................................... 122
BAB V : PENUTUP I.
Kesimpulan ...................................................................................... 126
II.
Signifikansi Penelitian ..................................................................... 133
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari dua peristiwa, yaitu peristiwa kelahiran dan kematian. Tanpa kelahiran tidak akan ada kehidupan, sedangkan kematian menjadi batas akhir kehidupan manusia di dunia ini. Kematian dihadapi semua orang tanpa terkecuali dan tidak bisa diingkari. Selain itu kematian menjadi sebuah misteri karena berada di luar pengalaman manusia, yang bisa dilihat dan dirasakan adalah peristiwa lain yang hadir saat kematian. Ketakutan dan kepasrahan muncul dalam peristiwa kematian. Perasaan ini muncul karena adanya perpisahan secara fisik dengan orang yang meninggal. Di satu pihak, kematian membawa kepunahan yang nampak dari tubuh yang berangsur-angsur hancur membusuk dan akhirnya lenyap ditelan tanah. Sedangkan di lain pihak, orang mengangan-angankan cahaya kekal. Agama dan kepercayaan menjanjikan pemeluknya tentang kehidupan yang tidak musnah ditelan kematian. Peristiwa kematian dalam berbagai tradisi dan agama tentu memiliki praktek ritual masing-masing. Ritual tersebut memiliki makna-makna yang mendalam dan sulit untuk dilepaskan sebagai sebuah tradisi. Ritual tersebut tidak hanya ketika perawatan jenazah, tetapi juga kelanjutan setelah itu. Seperti apa yang dilakukan dalam tradisi Jawa.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Manakala kita membicarakan mengenai Jawa, kata Jawa cenderung diasosiasikan dengan gagasan terhadap usaha-usaha menjaga dan meneruskan tradisi leluhurnya. Di sini dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Jawa tradisi dipandang berasal dari naluri yang berada di luar pengalaman seharihari. Tradisi ini tidak muncul begitu saja, namun rupanya bersumber dari pengetahuan orang mengenai kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung semenjak jaman kuno yang kini tidak secara tepat dipahami dan diurai kembali. Oleh karena itu dalam menjalankan tradisi, orang sering mendengarkan pertimbangan orang tua atau tetangga yang dianggap tahu (Subagyo, 2004 : 63) Salah satu tradisi Jawa yang berkaitan dengan peristiwa kematian dan usaha untuk menjaga tradisi leluhurnya adalah tradisi ziarah kubur. Peneliti tertarik untuk melihat tradisi ziarah kubur karena begitu melekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bagi masyarakat Jawa, ziarah kubur menjadi tradisi yang dilakukan secara turun menurun sebagai wujud penghormatan terhadap leluhurnya. Masyarakat Jawa melakukan ziarah kubur yaitu dengan melakukan bersih-bersih makam dan juga mendoakan baik itu leluhur atau sanak saudaranya yang dimakamkan di situ. Dalam tradisi Jawa hal semacam itu sudah dikenal sejak jaman dulu, bahkan ada berbagai macam cara untuk mendoakan para leluhur atau saudaranya yang sudah meninggal, yaitu dengan menabur bunga di atas makamnnya, mendoakan, atau dengan ritual lainnya. Salah satu bukti bahwa ziarah kubur merupakan tradisi Jawa adalah, adanya penghormatan terhadap
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
makam-makam raja-raja Jawa, baik itu berkaitan dengan letak makam yang cenderung lebih tinggi ataupun adanya ritual-ritual lainnya. Bahkan bagi masyarakat Jawa mengenal waktu yang sering dilakukan saat ziarah, yaitu malam Jumat Kliwon ataupun Selasa Kliwon. Kuburan merupakan salah satu tanda dari identitas orang yang sudah meninggal yang dibangun oleh orang-orang yang masih hidup baik itu keluarga ahli waris atau orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan almarhum. Kuburan juga menjadi tanda kehadiran di dunia yang tersisa dari orang yang dikuburkan di situ. Pendirian nisan atau tanda kubur menunjukkan bahwa ingatan yang mereka miliki tidak ikut terkubur di situ. Untuk memperbaiki kubur atau misalnya pasang nisan tukang batu selalu minta agar dijawabke (dimintakan izin) oleh orang tua dan setelah selesai orang tua itu diminta mbalekake (mengembalikan). Orang Jawa menjadikan tradisi ziarah kubur menegaskan bahwa kematian tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang yang menjalankan ziarah kubur menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya (Subagyo, 2004: 146). Pangestu mengalir dari status yang lebih tinggi ke status yang lebih rendah dan bukan sebaliknya. Sikap orang berdoa di depan nisan atau memberi bunga memperlihatkan bagaiamana posisi pangestu dipandang. Mereka dalam posisi sungkem, berjongkok di sebelah makam atau duduk bersila dengan tangan mengenadah sambil mengungkapkan seluruh isi hati
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau doa-doa. Posisi semacam ini dapat ditemui juga ketika upacara perkawinan, yaitu saat mempelai bersujud mencium lutut orang tua mereka. Sikap sungkem dan sembah memperlihatkan tanda hormat dari pihak yang melakukannya (Pemberton, 1989:324). Pangestu dan bentuk bakti hormat kepada leluhur melalui ziarah kubur menjadi gagasan yang terkonstruksikan secara sosial. Masyarakat Jawa meyakini bahwa tidak hanya terjadi relasi antara orang mati dengan orang yang ditinggalkannya. Namun, individu terlibat dalam hubungan dengan individu lain dan pranata sosial komunitasnya. Sebagai wujud nyata adanya ziarah kubur secara bersama-sama, yaitu sering disebut dengan nyadran1 atau mreti desa. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikalhorizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat, sehingga 1
Mengenai tradisi Nyadran Ward Keeler (1987: 83-84) menguraikan bahwa pola yang mendasari merupakan versi ideal hubungan ayah dengan anak laki-laki yang diasimilasikan hubungan antara seseorang dengan leluhurnya.
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi. Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Orang Jawa memandang diri manusia dengan konsep sarira satunggal atau sari rasa tunggal dan nagara satunggal atau naga rasa tunggal sebagai makhluk sosial (Astiyanto, 2006:452). Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran masyarakat akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Tradisi kepercayaan nyadran demikian sejalan dengan makna kata bersih desa yang senada dengan mreti desa. Bersih desa, berarti membersihkan desa baik lahir maupun batin. Sedangkan kata merti desa berasal dari kata merti aslinya dari kata mreti, dan bisa juga berasal dari kata dasar preti. Kata preti bisa jadi aslinya dari bahasa Jawa Kuna pitre (metatesis). Pitrekarya dalam karya sastra Jawa Kuna ada kata artinya memiliki hajat memberi pada arwah para leluhur. Orang Jawa jelas memiliki tradisi menghormati arwah leluhur, dengan jalan ritual, seni spiritual, maupun semedi. Seluruh pekerti ini dilaksanakan dengan keyakinan ada kontak batin antara dunia roh dan dunia manusia (Endraswara, 2006). Menurut Darusuprapta (1988:48) mreti desa kemungkinan besar masih berkaitan dengan tata cara memberikan makanan (pengorbanan) kepada roh leluhur sebagai cikal bakal yang menjaga desa majupat maju lima pancer. Arwah tersebut, memang pantas dimintai berkah agar membantu anak
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
cucu. Roh leluhur tersebut dianggap yang menjadi penjaga (backing) sajawining wangon dan salabeting wangon, artinya di luar pekarangan dan di dalam pekarangan. Hal ini berarti orang Jawa masih percaya dan mengaitkan kehidupan di dunia ini dengan roh leluhur mereka. Orang Jawa menghormati roh leluhur dan berupaya manunggal dengan Tuhan, dilakukan secara mistik. Berbagai ritual mistik selalu dilakukan secara individu maupun kolektif. Namun tingkatan masing-masing pada saat melakukan sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Tolstoy (James, 2003:512) berpendapat bahwa mistik bersifat tak tertandingi, di dalamnya menancap iman. Keimanan menyebabkan seseorang hidup. Ritual mistik dalam menghormati roh leluhur tersebut nampak dalam tradisi ziarah kubur. Berbagai ritual dilakukan dengan penuh keyakinan akan memperoleh pengestu atau sebagai wujud hormat pada leluhur. Berbagai sesaji disiapkan sebagai sarana seperti bunga, kemenyan, air, dan lain-lain yang diyakini memiliki makna dan fungsi tertentu. Praktek tradisi Jawa tersebut di dalam masyarakat berjalan beriringan dengan agama-agama wahyu terlepas dari gerakan agama yang menentang berlakunya tradisi semacam itu. Secara yuridis-formal orang Jawa mengakui keyakinan agama wahyu tersebut. Hal itu antara lain ditunjukkan dalam berbagai dokumentasi atau biodata pribadi, semacam kartu tanda penduduk (KTP) yang biasanya mencantumkan agama tertentu (Mulyana, 2006). Hardjowirogo (1989:17) bahkan menilai, orang Jawa yang secara resmi memeluk agama tertentu, Islam, Kristen, atau Katolik, nyatanya tidak
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pernah menunjukkan kesungguhan dalam beragama. Orang beragama seharusnya banyak yang religius, dan seharusnya memang demikianlah, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religious juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Dapat juga orang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik, ingin memperoleh jodoh yang beragama lain atau karena tidak ada pilihan lain; cukup beragama “statistik” belaka (Mangunwijaya, 1988:13). Dengan kata lain, sama sekali tidak lahir sikap fanatisme beragama. Persoalannya adalah, sejak pertama, cara beragama orang jawa bersifat lentur, tidak fanatik. Mereka tidak berpijak pada satu agama tertentu saja. Sehingga semuanya bersifat heterogen (campuran); baik dalam keyakinan atau opersionalnya. Kedua, orang Jawa beranggapan bahwa “beragama” tidak harus semata-mata menjalankan hal-hal ritual yang bersifat dogmatis (Mulyana, 2006). Bagi orang Jawa, menjalankan kehidupan sehari-hari sudah merupakan bagian dari beragama Y.B Mangunwijaya (1988:13) dengan jelas menyatakan bahwa semua yang diyakini, dilakukan, dan dibenarkan oleh orang Jawa dalam kehidupan
sehari-hari
mengandung
nilai-nilai
yang
sarat
semangat
spiritualisme. Kelenturan dalam beragama inilah yang membuat berbagai tradisi tetap ada, termasuk tradisi ziarah kubur tetap diyakini, dilakukan, dan dibenarkan oleh orang Jawa dan memiliki nilai spiritualitas yang tinggi. Saat ini muncul permasalahan bagi orang Jawa ketika berkembang atau bangkitnya agama-agama wahyu. Perkembangan agama menjadi polemik atau permasalahan di tengah kehidupan sosial masyarakat, karena
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tidak sejalan dengan tradisi-tradisi budaya Jawa. Cara beragama orang Jawa yang semula lentur menjadi sedikit kaku. Ini dipengaruhi oleh usaha purifikasi agama yang hadir melalui ajaran-ajaran agama, mereka ingin menjalankan agama secara utuh dan murni. Salah satu usaha purifikasi sebagai wujud kebangkitan agama tersebut adalah ajaran agama Kristen yang melarang melakukan praktek ziarah kubur dengan berbagai ritualnya. Pemeluk agama Kristen tidak perlu melakukan ziarah kubur karena memiliki keyakinan bahwa arwah orang meninggal tersebut telah masuk surga, sehingga tidak perlu berdoa di depan makam. Orang Kristen memiliki wacana tersebut didapat dari apa yang diungkapkan oleh para pemuka agama mereka melalui dogma-dogma. Sering kali dogma sebagaimana yang dirumuskan itu dianggap sebagai kekuatan yang paling benar dan sempurna (Hardjana, 2005). Bagi mereka antara orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup sudah tidak memiliki hubungan apapun. Konsep ini berbeda dari tradisi Jawa. Orang Jawa masih memiliki keyakinan adanya hubungan antara dunia roh leluhur dengan dunia mereka, baik dalam wujud pangestu atau wujud hormat pada leluhur. Kebangkitan dan kekuatan agama ini menjadi tarik ulur akan identitas orang Jawa yang beragama Kristen. Di satu sisi dalam kelompok sosial masyarakat, mereka harus menjalin relasi-relasi sosial2, salah satunya dengan mengikuti tradisi nyadran atau merti dusun karena melalui segala perilaku sosial itulah manusia dapat terpenuhi berbagai kebutuhannya untuk 2
Dalam bahasa Latin manusia juga disebut homo socius, atau manusia yang selalu berkawan.
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melangsungkan hidupnya (Kusumohamidjojo, 2009 :72). Namun di sisi lain kebangkitan dan kekuatan agama membawa mereka untuk tidak melakukan tradisi ziarah kubur, ajaran kebenaran sebuah agama secara murni. Agama Kristen di Jawa sendiri atau di Indonesia tidak muncul begitu saja. Berkembangnya agama Kristen di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Yaitu sejarah kolonialisme di Indonesia. Dalam perang intern antara orang-orang Belanda, Portugis, Inggris, dan raja-raja pribumi, pada tahun 1619, Belanda memenangkan perang dan secara definitif mendirikan kekuasaan Belanda di Batavia, tempat kedudukan gubernur jenderal VOC. Melalui kemenangan-kemenangan itu, VOC tidak hanya merebut monopoli perniagaan, tetapi juga agama. Gereja
Kristen
Belanda
menganggap
sebagai
tugasnya
adalah
mendampingi hidup rohani para pedagang dan pelaut Belanda. Sekaligus gereja tersebut menyadari panggilannya untuk mengembangkan kegiatankegiatan perutusannya (zending) di tengah bangsa-bangsa yang mereka hadapi. Sinodhe di Dordrecht menyatakan bahwa umat Kristen Gereformed diutus oleh Allah untuk mewartakan iman kepada semua orang yang belum mendengarnya (Boelaars, 1991). Kegiatan-kegiatan perutusan atau zending berlangsung sampai saat ini. Orang Kristen mencoba mewartakan imannya, sehingga tidak mengherankan ketika keyakinan akan kematian di peroleh melalui berbagi perutusan atau melalui ajaran-ajaran dalam bahasa yang diberikan oleh para pewarta.
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sehingga pewartaan tentang iman tersebut menjadi wacana sosial, salah satunya wacana akan kematian dalam hal ini kaitannya dengan ziarah kubur. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana (Haryatmoko, 2010:10). Maka ajaran Kristen yang menjadi praktik sosial merupakan sebuah wacana dalam menyikapi tradisi ziarah kubur. Maka dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah ketika adanya dua wacana yang bertabrakan. Wacana kebangkitan agama yang berupa larangan ziarah kubur oleh agama Kristen dengan tradisi Jawa yang meyakini dan menjadikan ziarah kubur sebagai bentuk bakti hormat kepada leluhur melalui gagasan yang terkonstruksikan secara sosial. Fenomena tarik ulur akan identitas ini terjadi di lingkungan sosial masyarakat Desa Banyubiru. Sebuah desa yang terletak di Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah ini masih memegang teguh ajaran tradisi Jawa, salah satunya tradisi ziarah kubur. Desa Banyubiru secara geografis terdiri dari daerah persawahan, pegunungan, dan juga daerah rawa, kebanyakan mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani, nelayan, atau sebagai buruh. Sehingga setiap tahun Desa Banyubiru melaksanakan tradisi nyadran dengan sebutan sedekah bumi, supaya hasil alam sebagai sumber kehidupannya tumbuh subur. Dalam
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kegiatan sedekah bumi tersebut dilaksanakan ziarah kubur bersama-sama untuk mendoakan dan mohon pangestu leluhur mereka. Warga masyarakat di Desa Banyubiru melaksanakan tradisi tersebut secara turun temurun dan sudah terkonstruksikan secara sosial. Dalam tradisi sedekah bumi ini, tidak hanya melakukan ziarah kubur saja. Tetapi mereka juga melakukan selamatan bersama di makam pepunden3 dan juga menutup acara tersebut dengan menggelar pertunjukkan wayang kulit sebagai ungkapan syukur. Tradisi tersebut dilaksanakan oleh semua warga di Desa Banyubiru tanpa memandang golongan atau agama tertentu. Meskipun ketika selamatan doa yang digunakan adalah secara Islam sebagai agama mayoritas, namun semua waraga berkumpul bersama. Mereka berdoa bersama untuk leluhur mereka dan juga mohon pangestu untuk kelangsungan hidup mereka. Selain berziarah kubur secara kolektif seperti pada tradisi sedekah bumi tersebut, masyarakat di Desa Banyubiru setiap malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon secara pribadi atau dalam kelompok keluarga mereka melakukan tradisi ziarah kubur. Mereka biasanya datang ke makam leluhur mereka dengan membawa sesaji seperti bunga, air, dll. Mereka memanjatkan doa dan membersihkan makam. Pemakaman yang ada di Banyubiru merupakan pemakaman umum yang tidak hanya satu keyakinan agama saja, sehingga yang datang di situ adalah semua warga masyarakat, tanpa memandang golongan atau keyakinan 3
Pepunden adalah sesuatu yang dihormati biasanya berkaitan dengan leluhur
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
agama tertentu. Ini terjadi karena mereka meyakini bahwa tradisi ziarah kubur adalah tradisi Jawa bukan tradisi agama tertentu. Keragaman tersebut tampak dari bentuk makam yang ada. Simbol-simbol makam yang ada menunjukkan tidak hanya satu keyakinan agama saja yang ada di situ. Desa Banyubiru dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini bisa menggambarkan permasalahan dalam penelitian ini. Selain adanya tradisi ziarah kubur tersebut, saat ini di Desa Banyubiru juga berkembang Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang memiliki keyakinan untuk tidak perlu berziarah kubur. Meskipun ada identitas “Jawa”, namun di satu sisi dia tetap memegang teguh ajaran Kristen yang meyakinkan pengikutnya bahwa tidak perlu mendoakan leluhur yang telah meninggal atau bahkan mohon pangestu. GKJ sendiri lahir di awal abad ke-20, melintasi zaman kolonial, penjajahan Jepang dan perjuangan kemerdekaan. GKJ tumbuh untuk pertama sekali di Banyumas dengan dibaptiskannya menjadi Kristen dari beberapa orang Jawa yang berprofesi sebagai pembatik dari Ny.van Oostrom Phillips. Mereka dibaptis oleh misionaris utusan NZV, W.Hoezoo, pada 10 Oktober 1958. Pada awalnya sejarah Krsitenisasi di Jawa sebenarnya cukup panjang, karena begitu banyak tokoh yang berkarya sebagai penyebar ajaran Kristen. Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Bruckner, seorang misionaris dari London. Dialah yang menerjemahkan Perjanjian Baru (Injil) ke dalam bahasa Jawa (Guillot, 1985: 5). Dari terjemahan Injil inilah nantinya orang Jawa bisa memahami ajaran Kristen, dan juga digunakan misionaris selanjutnya untuk melakukan zending.
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di Banyubiru GKJ berdiri sekitar tahun 1983. Sebagai Gereja kecil di sebuah desa, GKJ Banyubiru cukup berkembang baik dari segi kuantitas ataupun kulaitas. Perkembangan sebagai wacana kebangkitan ini tampak dari jumlah pengikut yang semakin bertambah dan juga berbagai kegiatan yang sering dilakukan. Setiap minggu melakukan ibadah bersama di Gereja, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua berkumpul bersama untuk berdoa atau melakukan kegiatan rohani lainnya. Kebangkitan di sini tidak hanya dari segi kuantitas tetapi juga ajaran melalui zending atau perutusan. Kebangkitan ini membuat jemaat semakin taat untuk beribadah dengan menjalankan segala ajaran gereja. Gereja Kristen Jawa di Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari jaringan penyebaran Agama Kristen Salatiga. Kota Salatiga yang letaknya tidak jauh dari Banyubiru merupakan daerah misi ajaran Kristen. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga menjadi salah satu tonggak atau kekuatan penyebaran ajaran Kristen tersebut. Pengaruh ajaran tersebut berkembang di wilayah sekitar Salatiga. Salah satunya adalah daerah Banyubiru, sebagai wujud nyatanya adalah banyak kegiatan yang dilakukan di Banyubiru oleh jemaat Salatiga. Perkembangan dan kekuatan ajaran agama inilah yang memunculkan permasalahan bagi jemaat yang tinggal di Banyubiru. Ketika mereka harus mengikuti tradisi nyadran atau sedekah bumi yang sudah terkonstruksikan sebagai tradisi Jawa. Ada tarik ulur akan identitasnya, disatu sisi menjalankan
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kekristenanya dan di sisi lain identitas kejawaanya. Kedua kekuatan politis inilah menjadi permasalahan bagi dirinya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana negosiasi atau posisi orang Jawa yang beragama Kristen Jawa dalam menyikapi tradisi ziarah kubur. Ketika mereka hidup di tengah masyarakat yang memiliki nilai sosial masyarakat cukup tinggi dan juga masyarakat tersebut meyakini bahwa ziarah kubur sebagai wujud hormat bakti, mohon pangestu pada orang yang telah meninggal atau leluhur, dan juga memiliki nilai spiritual yang tinggi, namun di sisi lain ada wacana yang berbeda dalam menyikapi ziarah kubur yakni wacana pemurnian agama dengan usaha untuk menjalankan ajaran agama secara murni dan seutuh mungkin, sehingga melarang melakukan tradisi ziarah kubur. Banyak penelitian yang telah meneliti tentang fenomena kematian dan ziarah kubur dalam tradisi jawa dan juga identitas etnis dan agama dari berbagai sudut pandang. Baik dari aspek psikologis, antropologi, dan teologis. Penelitian ini lebih fokus pada kajian budaya, di mana ada pertarungan kekuasaan antara pemaknaan terhadap wacana. Posisi penelitian ini lebih ingin melihat bagaimana kekuatan agama yang muncul mempengaruhi identitas orang di dalam suatu masyarakat. Perkembangan dan kekuatan agama ini muncul dalam tradisi di sekitar ziarah kubur dan menjadi pertarungan yang memunculkan negosiasi dalam diri seseorang untuk memilih identitasnya.
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
II.
Tema Negosiasi Identitas orang Jawa yang beragama Kristen dalam menyikapi Tradisi Ziarah Kubur.
III.
Rumusan Masalah a. Bagaimana masyarakat memahami tradisi Jawa? b. Bagaimana perkembangan dan kekuatan agama yang bertabrakan dengan tradisi ikut membentuk identitas seseorang? c. Bagaimanakah orang Jawa yang beragama Kristen dan hidup di lingkungan sosial tradisi Jawa yang tinggi melakukan negosiasi terhadap identitasnya dalam menyikapi tradisi di sekitar ziarah kubur?
IV.
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini yang hendak dicapai adalah melihat bagaimana tradisi di sekitar ziarah kubur membentuk pengalaman langsung pada orang Jawa yang beragama Kristen. Ketika tradisi Jawa berkaitan dengan ziarah kubur menjadi sesuatu yang diyakini oleh suatu masyarakat sebagai sebuah bentuk bakti kepada leluhur bersinggungan dengan adanya larangan ziarah kubur karena adanya pemurnian ajaran Kristen, sehingga dalam penelitian ini ingin melihat sejauhmana dan bagaimana negosiasi atau strategi orang Jawa yang beragama kristen muncul dalam kehidupan sosial masyarakat ketika menghadapi tradisi ziarah kubur. Cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan menganalisis “dari luar” perbedaan wacana tersebut membentuk identitas dan perilaku orang Jawa yang beragama Kristen, menganalisis dari dalam bahwa peneliti juga dibentuk oleh wacana tentang
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ziarah kubur, peneliti dan yang diteliti melakukan refleksi kritis berkaitan dengan wacana yang membentuk mereka. Selain itu, nantinya dalam penelitian ini tidak hanya sekedar akan melihat negosiasi orang dalam menyikapi ziarah kubur, tetapi lebih pada identitas yang terbentuk karena keterbangkitan agama di tengah sebuah tradisi. Melihat bahwa perkembangan dan kebangkitan agama ikut membentuk identitas ketika bertabrakan dengan tradisi. V.
Pentingnya Penelitian Pentingnya penelitian ini dilakukan tidak bisa dilepaskan dari latar belakang penelitian ini. Dalam latar belakang dijelaskan bagaimana tradisi ziarah kubur bagi orang Jawa menjadi sesuatu yang begitu penting karena sebagai wujud hormat, kirim doa, dan mohon pangestu pada leluhur dan sudah berlangsung sejak lama secara turun temurun. Tetapi, ketika larangan ziarah kubur sebagai akibat dari usaha purifikasi agama muncul, maka terjadi pertarungan sebuah wacana yang berbeda. Dalam penelitian ini ingin melihat negosiasi identitas yang terbentuk oleh orang Jawa yang beragama Kristen ditengah masyarakat. Pentingnya penelitian ini bagi masyarakat yaitu supaya masyarakat melihat adanya perbedaan bukan menjadi suatu kehancuran, atau tidak berpikir akan kebenaran mutlak. Di luar kebenaran yang diyakininya masih ada kebenaran-kebenaran lain yang perlu dilihat. Dalam hal ini berkaitan dengan kebenaran pemakanaan wacana ziarah kubur. Menyadari adanya pihak lain yang berbeda dengan pikirannya sendiri merupakan sesuatu yang
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
wajar dalam hidup ini. Kesadaran terhadap yang lain ini diharapkan akan melahirkan kesadaran tentang keragaman manusia yang saling menghargai (Takwin, 2003) Selain itu penelitian ini juga penting dalam ilmu sosial kemanusiaan, ketika orang harus tarik ulur karena kekuatan kekuasaan dapat melihat dan menentukan strategi yang nyaman dalam kehidupan sosial masyarakat. Orang tidak merasa terasing karena identitasnya, identitas yang mungkin dibentuk oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu. VI.
Konsep Penelitian dan kajian pustaka Untuk melihat bagaimana posisi atau negosiasi (identitas) orang, maka politik identitas relevan tepat. Politik identitas merupakan topik strategis untuk membicarakan masyarakat. Berbicara tentang masyarakat tentu akan muncul berbagai macam perbedaan. Dari perbedaan tersebut orang menentukan pilihan akan identitasnya. Bicara identitas berarti bicara tentang interaksi, bicara tentang tarik ulur, bicara tentang komunikasi, bicara tentang representasi. Karakteristik individu yang berakar pada identitas dasar semenjak lahir seperti adanya merupakan suatu anugerah yang tidak bisa dihindari. Identitas
dasar
itulah
yang
kemudian
membentuk
“keakuan”
dan
membedakan dengan yang lain (kamu, mereka, dan dia). Hakikat dasar individu maupun kelompok tercermin dan terbentuk dari beberapa unsur yang melekat atau sengaja dilekatkan pada tubuh menjadi objek dan subjek politik. Akar-akar politik identitas dapat ditemukan asalnya dari pemikiran filsafat
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Foucouldian (Michel Foucault) tentang politik tubuh, dari sejarah seksualitas dan relasi-relasi kekuasaan yang mengelilinginya (Abdilah, 2002: 12). Foucault dikenal sebagai filsuf Perancis yang menjadi salah satu tokoh pelopor posmodernisme. Michel Foucault lahir di Poitiers, Perancis, pada tahun 1926. Selain mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang filsafat, Foucault juga mendapatkan pendidikan dalam bidang psikologi. Dia pernah bekerja sebagai dosen di Uppsala, Swedia (1954), di Warsawa, Polandia (1958), di Hamburg, Jerman (1959), dan di Tunis, Tunisia (19661968). Foucault meninggal pada tahun 1984 akibat penyakit yang terkait dengan gejala AIDS (Lechte, 2001:177). Foucault memandang bahwa ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan di mana saja. Menurut Eagleton hubungan kuasa bukan hanya muncul pada tataran negara saja, namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hubungan selalu merupakan usaha saling menguasai, usaha saling menekan. Hubungan kekuasaan ini menghasilkan cerita yang oleh Foucault disebut discourse (sering dipandang sebagai “diskursus” atau “wacana”) (Takwin, 2003: 109). Setiap wacana bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya (Foucault, 1981; Hawkes, 1996). Foucault tidak berambisi untuk melakukan pembebasan masyarakat dari pengaruh wacana. Ia Justru melihat wacana muncul sebagai hasil hubungan kuasa dan pengetahuan yang bergabung
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bersama (Foucault 1978: 100). Setiap wacana mengasumsikan pengetahuan akan kebenaran masing-masing yang tidak dapat diklaim sebagai yang paling benar. Dalam penelitian ini berdiri dua kebenaran yang menjadi wacana, meskipun bukanlah kebenaran mutlak. Kebenaran akan tradisi ziarah kubur maupun kebenaran dalam pemurnian agama dalam wujud larangan berziarah kubur. Identitas politik tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Manusia dalam perkembangannya dipenuhi dengan agenda-agenda politik, yang membentuk identitasnya. Foucault menjelaskan kekuasaan bukanlah sesuatu yang nyata, yang harus dimiliki oleh seorang individu atau lembaga . Sebaliknya, kekuasaan merupakan sistem yang kompleks dari hubungan kekuatan yang berlaku di tengah masyarakat pada suatu titik waktu tertentu. Sejauh masyarakat terus-menerus terjebak dalam hubungan kekuatan politik, pengaruh kekuasaan tidak mungkin terhindarkan, karena kekuasaan dihasilkan dari satu waktu ke waktu berikutnya, di setiap titik, atau lebih tepatnya dalam setiap hubungan dari satu titik ke titik lain. Kekuasaan berasal dari manapun, bukan karena kekuasaan mencakup segala sesuatu, tetapi karena kekuasaan berasal dari manapun (Foucault, 1978: 93). Dalam penelitian ini ada dua kekuasaan yang menimbulkan perbedaan pandangan dalam menyikapi wacana ziarah kubur, yaitu antara tradisi jawa sebagai kekuatan lokal dengan ajaran Kristen sebagai Agama. Persinggungan perbedaan ini yang kadang menentukan pilihan akan identitas seseorang.
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Realitas keragaman penciptaan manusia hadir dengan membawa identitas dasar yang bermacam-macam, dengan bentukan karakter dan fungsifungsi fisiologis tubuh yang berbeda pula. Pada tataran praksis, pembacaan dan penerimaan terhadap pluralitas memunculkan beberapa pandangan, pemakluman, kalau tidak penolakan dan pengingkaran. Dalam hal ini, pandangan terhadap keragaman etnis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan paradigma. Ketika timbul kesadaran individu akan dunianya dan kesadaran kolektif akan identitasnya, terbentuk identitas kelompok dasar dari anugerah dan pengenalan diri setiap individu itu, bersama-sama orang lain yang diperolehnya sejak lahir, di dalam keluarga tempat dilahirkan pada saat itu dan tempat itu juga. Muncul “kesadaran lain”, dalam bahasa Harold Isaac sebagai “pemujaan” terhadap identitas-identitas tersebut. Pemujaan ini menumbuhkan suatu kekuatan, pemicu pembangunan suatu komunitas, meneguhkan atau sebaliknya, mencerai beraikan (Abdilah, 2002: 9-10). Dalam hal ini, hadirnya wacana dalam tradisi Jawa berkaitan dengan ziarah kubur tidak muncul dengan sendirinya begitu saja. Ada kesadaran kolektif akan identitasnya. Ziarah kubur sebagai perilaku sosial dalam masyarakat menunjukan identitas kolektifnya sebagai orang Jawa. Kesadaran ini muncul dari pengenalan dirinya dengan lingkungan dan orang-orang sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang mengantar terciptanya tradisi dalam masyarakat dan menumbuhkan suatu kekuatan. Maka di sini bisa terlihat, muncul permasalahan ketika orang tidak sesuai dengan tradisi yang telah diyakininya atau telah menjadi kesadaran kolektifnya. Begitupula
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
wacana kematian dalam ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme, juga menjadi kekuatan dalam membentuk identitas seseorang. Foucault memandang agama tersebut sebagai bagian dari mekanisme untuk mengontrol fungsi kehidupan manusia. Gagasan-gagasan ini, belakangan akan berkembang dalam
konseptualisme Foucault terhadap
agama sebagai kekuasaan politis. Ini menunjukkan bagaimana Foucault lebih tertarik pada agama sebagai praktik atau fungsi agama, ketimbang agama sebagai keyakinan (Carrette, 1999: 50). Dari sini dapat dilihat, bahwa Foucault tidak ingin melihat sebuah kebenaran agama tetapi agama sebagai kekuasaan yang mengontrol pengikutnya. Teori Foucault dirasa tepat untuk membidik permasalahan berkaitan dengan pertarungan kekuasaan tersebut. Kuasa sering kali dianggap subyek4 yang berkuasa dan subyek itu dianggap menindas. Namun, menurut Foucault kuasa tidak bersifat subyektif. Kuasa juga tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas, kuasa memproduksi lingkup obyek, dan ritus-ritus kebenaran (Bertens, 2006). Dari kekuasaan ini obyek merasa tidak dikuasai, justru semakin mengamini kekuasaan itu tanpa disadari. Salah satunya kekuasaan itu hadir melalui agama. Lembaga produksi kekuasaan pengetahuan yang dahsyat adalah agama. Agama tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dan teknik kekuasaan
4
Subyek dalam arti sesustu yang berkuasa seperti raja, pemerintah,ayah, laki-laki, dan kehendak umum.
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan untuk mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya (Haryatmoko, 2010:99). Dari konsep penelitian ini dapat dilihat bagaimana etnis dalam hal ini tradisi jawa yang memberikan sebuah kesadaran kolektif dalam masyarakat yang menjadi kekuatan yang meneguhkan dalam membangun komunitas berhadapan dengan agama yang menuntut kepatuhan pengikutnya. Orang Jawa yang beragama Kristen akhirnya harus menentukan identitasnya. Secara sadar atau tidak, ada pertarungan kekuasaan dengan membawa wacana yang bertabrakan yang mengarah pada pembentukan identitas subjek. Ini sejalan dengan apa yang menjadi pemikiran Foucault dengan mengeksplorasi praktik-praktik wacana serta wujud-wujud kekuasaan yang membentuk subjek. Bukan kebenaran akan wacana tersebut, tetapi justru menggagas teori tentang hubungan antara kebenaran dan kekuasaan (Beilharz, 2005). Penelitian ini bukan melihat kebenaran akan tradisi ziarah kubur baik dari sudut pandang teologi kristen atau kebenaran yang diyakini orang Jawa. Tetapi lebih melihat Identitas yang terbentuk ketika ditempati dua kebenaran yang bertabrakan. Dalam menentukan identitasnya berkaitan dengan kekuasaan politik, untuk menciptakan kepatuhan ada konsep yang perlu diperhatikan yaitu
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
panoptikon5 yang dikembangkan oleh Foucault. Panoptik bisa
berfungsi
sebagai usaha menciptakan penyeragaman dalam hubungan dengan orang di tengah kehidupan sehari-hari (Foucault, 1995: 205). Panoptik dalam hal ini adalah agama yang dihadirkan melalui ajaran alkitab, orang takut melanggar larangan agama karena takut akan dosa. Jemaat Kristen dalam menyikapi wacana ziarah kubur takut untuk melanggar ajaran agama. Begitu pula sebaliknya, pengucilan diri dari lingkungan masyarakat juga menjadi panoptikon, ketika tidak melakukan ziarah kubur secara kolektif ataupun individu takut dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap melanggar tradisi yang sudah ada. Konsep ini mempengaruhi seseorang dalam menentukan identitasnya, meskipun hukumannya belum nyata (dosa dan anggapan akan dikucilkan) menjadi pertimbangan dalam menentukan negosiasi dalam dirinya. Terjadi negosiasi akan identitasnya, baik itu tetap teguh dalam tradisi jawa, yakin dengan agamanya, atau mungkin ada identitas baru yang muncul. Ada beberapa penelitian berkaitan denagan identitas politik dalam kebangkitan Agama dan wacana ziarah kubur. Yang pertama adalah penelitian dari Titi Mumfangati (2007) yang meneliti tentang Tradisi Ziarah
5
Panotik adalah sistem penjara yang ditemukan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Panoptik
pada intinya adalah upaya pendisiplinan berbasis (tanpa) pengawasan. Panoptik dilakukan dengan mengancamkan pengawasan yang disertai hukuman bagi perilaku tertentu; kemudian menciptakan keyakinan bahwa seseorang sedang diawasi setiap saat, meskipun sebenarnya tidak.
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa.6 Penelitian ini melihat bagaimana motivasi orang jawa mengunjungi atau berziarah kemakam leluhurnya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bagaimana ziarah makam dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya mencari ketenangan, mencari rejeki, keberuntungan. Penelitian ini lebih melihat bagaimana aspek psikologis orang yang berziarah kubur. Sementara itu Y. Tri Subagyo (2005) juga melihat bagaimana peristiwa kematian dan juga setelah kematian yaitu seperti ziarah kubur menjadi pengalaman bagi orang yang berada disekitarnya. Penelitian etnografis ini melihat bagaimana realita yang ada berkaitan dengan misteri kematian. Ziarah kubur dalam penelitian Asep Ma’mun (2007) dilihat secara teologis yaitu melihat persepsi masyarakat terhadap ziarah kubur: sebuah studi kasus atas masyarakat Aeng Panas. Dalam penelitian ini melihat bagaiamana tradisi ziarah kubur dalam ajaran islam menjadi sumber keselamatan atau untuk mengingatkan akan kematian. Martin Lukito Sinaga (2004) meneliti Identitas poskolonial gereja suku, penelitian ini melihat Identitas seseorang yang terbentuk melalui representasi diri berhadapan dengan resistensi terhadap representasi pihak yang kuat atas diri suatu komunitas. Dalam penelitian ini terkandung proses perjumpaan dan negoisasi sebagai hasil proses kolonialisme yang panjang, menemukan identitas sama dengan mengajukan ikhtiar perubahan sosial atau perluasan kebebasan dalam ruang publik. Selain itu Yendri A.H. (2007) juga
6
Mumfangati, Titi. Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa. Dalam Jantra Vol. II No 03, Juni 2007
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melihat bagaimana identitas seseorang ketika berhadapan dengan agama. Yakni, Identitas penganut Merapu berhadapan dengan Gereja dan Pemerintah. Kedua penelitian tersebut melihat bagaimana identitas seseorang berkaitan dengan wacana tentang agama ketika mengalami perjumpaan dengan wacana lain. Dalam penelitian ini, akan lebih melihat bagaimana wacana kebangkitan agama mempengaruhi identitas seseorang. Hal ini berkaitan bagaiman negosiasi identitas orang Jawa yang beragama Kristen ketika berdiri dalam dua wacana yang berbeda. Jadi bukan pada pemaknaan ziarah kubur dari aspek teologis, psikologis, ataupun antropologi, tetapi lebih pada pengalaman terhadap ziarah kubur yang akhirnya menentukan identitas saat berada dalam dua kekuatan. VII.
Metode Penelitian (Sumber data dan pengumpulannya) Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah Lived Experience, yaitu, pengalaman hidup secara langsung orang Jawa yang beragama Kristen dalam menyikapi wacana tentang ziarah kubur. Seperti yang disampaikan Paula Saukko, penelitian dalam kajian budaya meliputi pengalaman hidup, wacana, dan juga konteks sosial (Saukko, 2003:33). Wacana di sini lebih berkaitan dengan kebangkitan agama, yaitu kebangkitan agama Kristen dalam menyebarkan ajarannya tentang larangan melakukan ziarah kubur atau usaha purifikasi. Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan observasi.
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Subjek dalam penelitian ini adalah orang Jawa yang beragama Kristen. Sedangkan lokasi penelitian adalah Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang Jawa tengah. Lokasi ini dipilih karena yang pertama berdekatan langsung dengan kehidupan peneliti, kedua masyarakat Desa Banyubiru masih menjunjung tinggi tradisi ziarah kubur, bahkan setahun sekali diadakan ziarah kubur masal atau tradisi nyadaran. Selain itu saat ini berkembang juga Gereja Kristen Jawa di daerah Banyubiru. VIII.
Sistematika Penulisan Dalam penulisan tesis tentang Kejawaan dan Kekristenan yang berjudul Negosisasi identitas orang Kristen Jawa dalam persoalan di sekitar ziarah kubur, akan terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang
berisi
tentang
latar
belakang
permasalahan,
tema,
rumusan
permasalahan, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, konsep penelitian dan juga kajian pustaka. Pemilihan judul di sekitar ziarah kubur ingin menggambarkan bahwa ada tradisi atau ritual lain di sekitar ziarah kubur yang sangat mempengaruhi tradisi ziarah kubur itu sendiri. Tradisi lain tersebut antara lain slametan atau genduren, merti desa, dan juga ritual penghormatan leluhur serta pemaknaan kematian itu sendiri. Sebelum membahas tentang negosiasi identitas orang Kristen Jawa perlu dikaji dulu bagaimana orang Jawa sendiri menyikapi tradisi-tradisi Jawa yang sangat mempengaruhi identitas Kejawaan. Desa Banyubiru sebagai wilayah perjumpaan identitas Kejawaan dan Kekristenan digambarkan dalam bagian kedua (Bab II). Di bagian kedua ini yang pertama
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melihat bagaimana sejarah Banyubiru sendiri berkaitan dengan bumi perdikan. Pemaknaan bumi perdikan menjadi persoalan yang perlu dibahas karena konsepsi ini mengarah pada penghormatan leluhur, baik secara individu maupun komunal. Pemahaman ini juga mengantar pada tradisi sedekah bumi perdikan Banyubiru yang di dalamnya ada ritual slametan, pertunjukan wayang kulit, dan ziarah kubur yang semuanya mengarah pada permohonan pangestu leluhur mereka. Di bagian kedua, juga digambarkan kondisi gegografis dan juga keadaan penduduk, hal ini sangat mempengaruhi pola pembentukan identitas Kejawaan. Ketergantungan hidup masyarakat terhadap alam turut mendorong masyarakat untuk melakukan ritual permohonan kesuburan dan juga keselamatan hidup melalui leluhur mereka. Usaha purifikasi agama Kristen yang hadir di tengah masyarakat Desa Banyubiru akan dikaji di bagian ketiaga (Bab III). Bagian pertama akan terlebih dahulu menjelaskan sejarah Kristenisasi di Jawa, bagaimana proses muncul dan berkembangnya ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme. Muncul dinamika pertarungan wacana yang mengantar pada pembentukan identitas biner, antara Kristen “Jawa” dan Kristen “landa”. Sejarah menjadi hal yang penting untuk melihat dinamika Kekristenan di Desa Banyubiru. Bagian kedua dalam bab ini lebih menjelaskan tentang proses dan pengaruh pembentukan identitas Kristen Jawa di Banyubiru. Pembentukan identitas ini mulai dari peran penyebar ajaran, cara penyebaran, dan keadaan umat yang ada. Konsepsi atau ajaran Kristen yang diajarkan merupakan usaha purifikasi untuk meyakini bahwa arwah roh leluhur sudah
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berada di Surga, sehingga tidak perlu adanya ritual ziarah kubur, slametan, dan juga ritual penghormatan leluhur lainnya. Ajaran ini diajarkan tanpa ada unsur pemaksaan dan kekerasan, namun bersifat produktif. Perbedaan konsepsi atau ajaran tentang kematian ini mengarah pada proses negosiasi identitas Jemaat GKJ (Bab IV). Bagian pertama memberikan gambaran tentang konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi (berkaitan dengan tradisi Jawa seperti slametan,dan ziarah kubur), konsepsi akan kematian. Mekanisme yang mempengaruhi negosiasi identitas adalah adanya usaha memberi kepatuhan disetiap ajaran, sehingga bagian kedua lebih menjelaskan bagaimana Kekristenan dan Kejawaan dalam usaha memberikan kepatuhan, bagaimana Alkitab dan juga “aturan” komunal masyarakat memberikan kepatuhan pada masyarakat. Bagian terakhir (Bab V) adalah kesimpulan. Pada bagian kesimpulan penelitian ini, ingin melihat apakah purifikasi agama Kristen berhasil secara total, atau jemaat GKJ masih tetap melakukan tradisi di sekitar ziarah kubur dengan pemaknaan yang berbeda. Apakah mereka merasa dirinya adalah orang Jawa namun juga sebagai orang Kristen, sehingga terbentuk identitas yang kreatif, sehingga tradisi Jawa digunakan bentuknya saja untuk menjaga identitasnya sebagai manusia Jawa.
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II “IDENTITAS KEJAWAAN” MASYARAKAT DESA BANYUBIRU Dari ritual yang memuat sesaji, mitos, dan seni yang dilaksanakan bersamaan (serentak) berarti orang Jawa masih meyakini bahwa ada makna dan fungsi tertentu bagi keselamatan hidupnya (Endraswara, 2006)
Pergumulan orang Jawa dengan agamanya yang serba lentur, serba baik, dan terbuka, mengarah pada sejumlah tata hidup yang dianggap bermuatan spiritualitas. Hal ini dapat terlihat dari berbagai ritual hidup perjalanan manusia, dalam peristiwa kelahiran hingga peristiwa kematian. Berbagai ritual dan sesaji merupakan simbol semangat spiritualisme yang intinya mempercayai bahwa ada kekuatan lain yang lebih tinggi atas kekuatan manusia, tidak lain adalah ingin menyandarkan pada kekuatan Tuhan yang maha kuasa. Sosok manusia utama dalam konsep manusia Jawa berdimensi pada dua wilayah, kepada Tuhan (vertikal) dan kepada sesama manusia (horisontal) (Mulyana, 2006). Tuhan sebagai sandaran manusia yang dihadirkan melalui berbagai ritual dan sesaji ini menjadi dimensi vertikal manusia sedangkan pada taraf horisontal tergambar dalam simbol bahasa bisa ajur ajer (mampu beradaptasi dan menyeleksi). Konsep ini menganjurkan kepada orang Jawa agar selalu dapat menempatkan dirinya secara adaptif di manapun berada. Dua dimensi ini membawa manusia Jawa untuk bisa menempatkan dirinya baik secara komunal maupun secara vertikal. Maka pada bagian ini akan di jelaskan bagaimana Desa Banyubiru sebagai masyarakat Jawa menunjukkan
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbagai identitas kejawaannya, baik dalam laku kehidupan secara sosial maupun dalam berbagai tradisi. Bagian pertama ingin memberikan gambaran Desa Banyubiru sebagai bumi perdikan. Pemaknaan akan bumi perdikan mengantar pada keyakinan warga Banyubiru akan identitas kejawaan yang begitu kuat. Selain sejarah, kosmologi Desa Banyubiru juga menjadi hal yang perlu dibicarakan. Keberadaan rawa, gunung, sawah, dan juga sungai berkaitan dengan laku ritual sebagai manusia Jawa. Pada bagian kedua memberikan penjelasan berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya Desa Banyubiru. Kondisi ini berpengaruh pada pola masyarakat Jawa yang terbentuk. Ini tergambar dari bagaimana kehidupan sosial ekonomi Mayarakat Desa Banyubiru, tradisi Sedekah Bumi, dan tradisi ziarah kubur di Desa Banyubiru. I.
Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan
1. Sejarah Banyubiru sebagai Bumi perdikan Berbagai upaya terus dilakukan manusia untuk menjangkau realitas dirinya, tidak sekedar memahami keberadaan dirinya secara individu tetapi juga secara komunal. Pencarian identitas secara komunal tidak bisa dilepaskan dari sebuah sejarah, baik tempat maupun pelaku sejarah. Namun, sebelum sampai pada pencarian identitas secara komunal manusia selalu mencoba mencari identitas akan dirinya. Pergumulan orang Jawa akan jati dirinya tergambar dalam berbagai permenungan yang cukup mendalam. Orang Jawa selalu mencari asal-usal
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hidupnya. Asal-usul keberadaan manusia yang sering dikenal dengan sangkan paraning dumadi, yaitu sebuah pemahaman masyarakat Jawa tentang asal muasal kejadian manusia. Tentang asal-usuling dumadi ini merupakan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, karena setiap perilaku orang Jawa selalu ingin mengetahui bibit kawit (asal mula), atau wiji (biji). Pemahaman ini melahirkan lakon wayang yang cukup terkenal, yaitu Dewa Ruci. Sebuah lakon wayang yang menggambarkan tercapainya kebahagiaan sejati dengan cara menunggalnya kawula (Bima) dengan Gusti (Dewaruci). Lebih dalam lagi, Magnis (1988:116117) memberi penafsiran, bahwa Dewaruci yang kerdil dan mirip dengan Bima tiada lain adalah “batin Bima sendiri”. Oleh karena itu, sesudah memasuki batinnya sendiri, Bima teringat bahwa pada hakikatnya ia berasal dari unsur Illahi. Dalam hal itu, ia kembali menghayati kesatuan hakikinya dengan asalusulnya itu, kesatuan hamba dan Tuhan (kawula Gusti). Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan (kawruh) tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala apa yang diciptakan (dumadi). Oleh sebab itu, ritus kejadian desa yang sering dikaitkan dengan sejarah desa atau bersih desa merupakan tindakan introspeksi akan asal kehidupan manusia, yang didalamnya terkandung rasa syukur dan harapan bagi masa depan. Rasa syukur atas asal mula kehidupan melalui leluhur atau cikal bakal desa mereka. (Hidajat, 2006) Manusia Jawa dalam perilakunya untuk mengetahui asal mula dan akhir kehidupannya selalu dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya berhenti pada
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebuah tradisi bersih desa saja, namun mencoba mencari lebih mendalam sejarah leluhur mereka. Usaha inilah yang dilakukan oleh masayarakat Desa Banyubiru, usaha untuk mempertahankan identitas kejawaannya melalui rasa hormat pada leluhur mereka, usaha untuk mengetahui leluhur mereka. Oleh sebab itu, sebelum sampai pada tradisi bersih desa dan juga tradisi ziarah kubur, penting pula mengetahui sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan, karena dengan Bumi Perdikan ini ada usaha untuk mempertahankan identitasnya sebagai manusia Jawa. Berdasarkan cerita rakyat atau cerita babad, Banyubiru merupakan salah satu daerah yang memiliki sebutan daerah “Bumi Perdikan”. Meskipun saat ini sebenarnya sebutan tersebut secara resmi dalam pemerintahan sudah tidak dipakai, namun Banyubiru masih mempertahankan identitas tersebut, seperti yang tertulis di Gapura Desa Banyubiru dengan tulisan Bumi Perdikan Banyubiru. Usaha mempertahankan identitas tersebut sebagai wujud hormat bakti kepada leluhur di Banyubiru, masyarakat menyadari bahwa Bumi Perdikan merupakan penghargaan atas jasa leluhur mereka.7 Bumi Perdikan sendiri pada waktu itu merupakan daerah yang dibebaskan atau tidak perlu membayar pajak atau asok gelondong pengarengareng kepada kerajaan penguasa sebagai suatu kewajiban. Pembebasan ini karena beberapa alasan, yang pertama karena Banyubiru sering terkena bencana banjir bandang. Bencana banjir ini terjadi karena di desa Banyubiru pada saat itu dilalui sungai yang cukup besar dengan sebutan Klegung atau Kali Agung. 7
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret 2013
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sungai itu saat ini masih ada namun sudah tidak sebesar dahulu. Banjir bandang ini membuat masyarakat menderita, sehingga sudah selayaknya jika tidak dikenakan wajib pajak. Kedua, warga Desa Banyubiru ikut menjaga tempattempat suci. Beberapa tempat suci tersebut diantaranya adalah Candi yang terletak di sekitar Rawa Pening. Candi ini bernama Candi Dukuh yaitu sesuai dengan nama lokasi candi ini berada. Menurut penduduk sekitar, candi ini adalah peninggalan Prabu Brawijaya V sehingga kadang candi ini disebut juga dengan Candi Brawijaya. Namun saat ini kondisi candi hanya tinggal reruntuhan saja dan tidak diketahui bagaimana bentuk dari candi ini sebelumnya.8 Selain candi, masih banyak tempat suci lainnya yang dilindungi namun keberadaannya sudah tidak bisa dilacak karena tidak ada peninggalan yang pasti. Namun, berdasarkan nama seperti Dusun Lembu, diyakini masyarakat sekitar dahulu ditemukan candi berupa lembu. Selain itu, Dusun Pundan diyakini merupakan tempat pepunden atau boleh dikatakan tempat pemujaan. Semua daerah tersebut berada di Banyubiru.9 Penyebutan atau pemberian status bahwa Banyubiru sebagai Bumi Perdiakan ini berdasarkan penemuan candi yang diperkirakan sejak jaman Majapahit. Meskipun sulit memastikan, namun ini didasarkan dari keberadaan Candi Gedong Songo yang bercorak Hindu. Banyak peninggalan Sejarah
8
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013 9 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Banyubiru yang tidak bisa dilepaskan dari Candi Gedong Songo yaitu situs-situs Hindu.10 Masyarakat Desa Banyubiru dalam usahanya mempertahankan identitas Bumi Perdikan ternyata muncul sebuah permasalahan. Beberapa Ulama Islam di Desa Banyubiru tidak sepakat bila Desa Banyubiru masih mempertahankan identitasnya sebagai Bumi Perdikan. Beberapa alasannya adalah, sudah tidak tepat untuk mengatakan Banyubiru sebagai Bumi perdikan, yang kedua mereka berpendapat bahwa pemberian tanah perdikan merupakan sesuatu gambaran daerah yang tidak baik, karena dianggap sebagai daerah yang tidak berbakti pada tanah air.11 Para Ulama Islam menganggap bahwa bukan saatnya lagi berbicara tentang masa lalu, saat ini yang terpenting menjadi manusia beragama. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak H. Basuki berikut: “Jangan sebut lagi Banyubiru sebagai Bumi perdikan, karena itu masa lalu yang tidak baik. Dibebaskan pajak berarti kita tidak setia pada Tanah air kita. Yang terpenting saat ini adalah beribadah dan menyembah Allah. Sehingga saya tidak sepakat bila Bersih Desa di Banyubiru menggunakan nama Sedekah Bumi Perdikan”.
Perbedaan akan pemaknaan Bumi Perdikan menjadi sebuah perdebatan yang tidak terselesaikan. Namun, dipihak lain identitas Bumi Perdikan tetap dipertahankan. Sampai saat ini nama Bumi Perdikan tetap digunakan, bahkan dalam acara bersih desa menggunakan sebutan Sedekah Bumi Perdikan
10
idem Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak H. Basuki (Ulama Desa Banyubiru) tanggal 30 Maret 2013 11
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Banyubiru. Beberapa faktor yang mempengaruhi tetap digunakannya istilah ini karena Kepala Desa Banyubiru saat ini lebih nasionalis atau bukan dari golongan ulama dan ingin menunjukan identitasnya sebagai orang Jawa. Wacana kebenaran tentang Sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan menjadi pertarungan. Meskipun setiap wacana sebenarnya bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya. Wacana tentang kebenaran akan sejarah Bumi Perdikan Banyubiru mampu menjadi kekuatan dalam pembentukan identitas manusia jawa, namun disisi lain juga bisa berakibat sebaliknya yaitu menghancurkan. Ini sesuai dengan ungkapan Foucault “Wacana menghasilkan kekuatan yang memperkuat, tetapi juga bisa menghancurkan, membuat rapuh dan memungkinkan untuk menggagalkan” (Foucault, 1978: 101). Wacana yang hadir melalui cerita akan Bumi Perdikan terkonstruksikan di dalam masyarakat melalui cerita-cerita yang hadir secara turun menurun dari leluhur mereka dan masih menjadi perdebatan yang panjang untuk mencari kebenarannya. Kekuasaan mempunyai kekuatan untuk menentukan kebenaran tersebut. Wacana kebenaran tentang Bumi perdikan pada akhirnya tetap dipertahankan hingga saat ini. Berbagai usaha dilakukan, selain pemasangan tulisan Gapura Bumi Perdikan juga acara Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru. Di lain pihak, beberapa Ulama yang tidak sepakat dengan Bumi Perdikan hanya berhenti pada tataran ketidaksetujuannya tanpa tindakan yang konkret. Usahanya untuk mempengaruhi masyarakat tidak berhasil. Justru sebaliknya,
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kepala Desa Banyubiru dan beberapa tokoh Masyarakat bahkan mencoba untuk mencari cerita tentang leluhur di Banyubiru sebagai Bumi Perdikan. Usaha pencarian identitas ini tidak lain ingin memperkuat identitas masyarakat Banyubiru sebagai masyarakat Jawa yang dalam sejarahnya pernah tinggal para tokoh-tokoh besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa. Daerah Bumi Perdikan Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari para leluluhr atau tokoh-tokoh besar yang berjasa atau pernah singgah di Banyubiru. Tokoh tersebut salah satunya adalah Laksamana Sora Dipoyono. Dia adalah seorang panglima perang dibawah sultan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis. Pada waktu itu jatuhnya Malaka ke tangan orang Portugis dalam tahun 1511, Demak justru mencapai kejayaannya. Daerah-daerah pesisir di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Pati Unus sangat giat memperkuat dan memperluas kedudukan Kerajaan Demak sebagai Kerajaan Islam. Tahun 1513 Kerajaan Demak bahkan memberanikan diri mengusir Portugis. Sayang bahwa usaha ini gagal, karena Portugis ternyata lebih unggul (Efendy, 1987; Purwadi, 2005). Laksamana Sora Dipoyono berdasarkan cerita masyarakat diyakini sebagai salah satu panglima parang penyerangan tersebut.
Namun, karena di
dalam Kerajaan Demak terjadi pertengkaran dalam tubuh keluarga Keraton maka Sora Dipoyono mengasingkan diri atau menyepi di daerah Banyubiru. Beberapa Masyarakat meyakini bahwa Sora Dipoyono meninggal di Banyubiru dan dimakamkan di daerah Banyubiru. Meskipun petilasan makam tersebut
36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sudah tidak ada, namun ada sebuah gumuk dimana masyarakat meyakini di situ dimakamkan Sora Dipoyono yaitu Gumuk Bolodewo.12 Selain Sora Dipoyono yang hadir pada waktu kerajaan Demak, tokoh lain adalah Kyai Joyoproyo yang keberadaannya saat perang Diponegoro atau perang Jawa. Kyai Joyoproyo adalah nama sesinglon atau samaran, nama sesungguhnya adalah Pangeran Tejokusumo.13 Dia adalah salah satu pengikut setia pangeran Diponegoro. Ketika pangeran Diponegoro ditangkap, para pengikutnya melarikan diri, salah satunya Pangeran Tejokusumo yang mengasingkan diri Ke Banyubiru. Masyarakat meyakini bahwa Kyai Joyoproyo ikut membangun Banyubiru dan wafat di Banyubiru. Sebagai wujud penghormatan, di Desa Banyubiru terdapat makam Kyai Joyoproyo. Pemakaman tersebut tidak seperti pemakaman yang lainnya karena pemakaman tersebut berada di suatu pemukiman penduduk dan dibangun cungkup14. Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai Perang Jawa (18251830) menjadi salah satu peristiwa yang menentukan sejarah Pulau Jawa. Perang Diponegoro dianggap Belanda sebagai perang yang mengesahkan kedudukan mereka di Jawa. Sebaliknya orang Indonesia memandang perang ini sebagai perlawanan besar yang terakhir seorang pangeran terhadap kekuasaan Belanda. 12
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013 13 Sejarah ini diketahui dari wawancara dengan Ki Adi Samidi yang menceritakan berdasarkan buku tentang sejarah Banyubiru yang menggunakan tulisan jawa gagrak alas jadi bukan tulisan jawa kuno yang bisa membaca hanya beberapa orang. Dalam buku tersebut diceritakan tentang Pepunden Banyubiru yaitu Mbah Joyoproyo dahulu trah Ngayogyokatro yang bernama Pangeran Tejokusumo pengikut Pangeran Diponegoro. 14
Cungkup merupakan sebuah bangunan diatas makam bisa berupa rumah.
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Baru kelak dalam abad ke-20, dengan munculnya pergerakan-pergerakan yang disebut nasionalisme, kekuasaan Belanda sekali lagi ditentang dalam skala nasional (Carey, 1986:7). Desa Banyubiru merupakan daerah yang sangat strategis yang digunakan Belanda untuk Benteng pertahanan di mana di Banyubiru dibangun Asrama Kaveleri Belanda dan masyarakat Banyubiru juga andil pada perjuangan melawan penjajah Belanda, setelah perang kemerdekaan Desa Banyubiru seperti desa – desa di sekitarnya yang diakui secara yuridis.15 Sehingga mulai pada saat itu telah melakukan penataan dan pembangunan di segala bidang sampai saat ini, dan perlu diketahui bahwa di Desa Banyubiru pernah dipimpin Kepala Desa atau sebutan lain seperti Demang atau Lurah atau sebutan lainnya. Banyubiru sebagai Bumi Perdikan selalu dimaknai berbeda di setiap periode kepemimpinan. Setelah Masa Kemerdekaan ketika Banyubiru dipimpin oleh Dasono Soemaryadi tradisi bersih desa sudah dilakukan dengan menggelar wayang kulit. Begitu pula pada waktu kepemimpinan Sunyoto tradisi tersebut tetap dilakukan. Namun, tradisi bersih desa tahun 2000-2007 berhenti, yaitu pada waktu kepemimpinan Suwandi. Baru tahun 2008 masa kepemimpinan Sri Anggoro mencoba mengembalikan tradisi yang sudah ada sebelumnya.16 Bahkan usaha menghargai leluhur sebagai Sejarah akan Desa Banyubiru mencoba untuk 15
Dibawah Pemerintahan Republik Indonesia yang secara umum termuat dalam Undang – undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah – daerah Kabupaten dalam lingkup Propinsi Jawa Tengah dan Undang – undang Nomor 67 tahun 1958 tentang Pembentukan Wilayah Kotapraja Salatiga Dan Daerah Swatantra Tingkat II semarang. 16
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret 2013
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di angkat sebegai identitas kejawaannya melalui Sedekah Bumi Perdikan yang dalam kegiatan tersebut muncul slametan, ziarah kubur masal, dan juga wayangan. Bapak Sri Anggoro mencoba mengangkat kembali tradisi dan ritualritual ini dengan harapan kembalinya jati diri manusia Jawa, yang saat ini mulai tergerus kehidupan yang modern. Selain itu juga ada harapan desanya akan selalu mendapat berkah dan kemakmuran dengan menjalankan tradisi-tradisi leluhurnya. 2.
Kondisi Geografis Desa Banyubiru Secara geografis Desa Banyubiru merupakan salah satu dari 10 Desa yang berada di wilayah Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah yang berpenduduk 8496 jiwa dengan luas wilayah Desa : 677.087 Ha. Kondisi wilayah Desa Banyubiru mempunyai curah hujan rata-rata 2.000 – 3.250 mm/tahun dan berada di 450 ASL ( atau 450 M dari permukaan air Laut ) dan koordinat kantor Desa 7º17’30.06” S - 110º24’16.02” E. Penghayatan masyarakat Desa Banyubiru berkaitan dengan Kejawaan, sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis. Desa Banyubiru sendiri merupakan daerah pedesaan yang terdiri daerah persawahan, pegunungan, rawa, dan juga dataran biasa sebagai daerah pemukiman. Kondisi geografis ini mempengaruhi matapencaharian penduduk di Desa Banyubiru, yaitu sebagai petani di persawahan, petani di daerah pegunungan atau ladang, dan juga nelayan. Meskipun banyak pula warga juga bekerja sebagai buruh pabrik, pegawai negri sipil, dan lain-lain.
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kehidupan warga masyarakat di Desa Banyubiru masih sangat tergantung dengan alam, baik di daerah pegunungan maupun di sekitar rawa. Di daerah pegunungan mereka menanam cengkeh, aren, pohon sengon, dan hasil perkebunan lainnya. Mereka bertahan hidup dari hasil bumi di daerah pegunungan. Sedangkan daerah rawa para warga mencari ikan, enceng gondok untuk kerajinan, atau hasil-hasil rawa lainnya. Kesinambungan hidup yang bergantung dari alam menuntut masyarakat untuk selalu mensyukuri dan memohon kesuburan akan hasil bumi. Sikap tersebut kemudian menimbulkan kebiasaan masyarakat di Desa Banyubiru untuk menyatakan syukur dan terima kasih dengan menyelenggarakan kegiatan bersih desa. Penyatuan diri dengan alam ini dibarengi dengan sikap menghormati leluhur, agar mudah ditolong dalam berbagai kesulitan hidup. Hal demikian, sejalan dengan pendapat Bratasiswara (2000:123) bahwa bersih desa adalah kegiatan bersama masyarakat desa untuk menghormat, mengenang, dan memelihara desanya setahun sekali seusai panen. Bagi masyarakat yang bermata pencaharian bercocok tanam, musim panen menjadi suatu harapan yang didambakan. Oleh karena itu, pada setiap musim panen mereka merasa menerima kebahagiaan tahunan, sehingga menimbulkan gerakan hati untuk mengenang dan menghormat desa yang telah berjasa menjadi tempat hunian dan tumpuan hidup. 3. Keadaan Penduduk Keadaan penduduk sangat berpengaruh pada pemaknaan akan Kejawaan. Mulai dari usia, mata pencaharian, tingkat pendidikan, dan juga agama. Keadaan
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penduduk di Desa Banyubiru berdasarkan usia di masing-masing kelompok umur hampir merata. Berkaitan dengan identitas Kejawaan, masa remaja sering merupakan suatu titik pencarian akan identitasnya, meskipun ini klise karena pencarian identitas tidak akan pernah berhenti. Berdasarkan data di atas, usia remaja di Desa Banyubiru (usia 16-20 th) yaitu 9,84 % dan juga usia peralihan (usia 21-25th) yaitu 9,93% pada usia inilah pencrian identitas akan entiitas pertama kali terjadi. Walaupun anak-anak sadar akan beberapa perbedaan etnis dan kebudayaan, kebanyakan secara sadar menghadapi etnisitas untuk pertama kalinya pada usia remaja. Berbeda dengan anak-anak, remaja memiliki kemampuan untuk meginterpretasikan informasi etnis dan kebudayaan, untuk merefleksikan masa lalu, dan berspekulasi tentang masa depan (Harter, 1990 dalam Santrock, 2002:60). Dalam penelitian ini, masa Dewasa dan usia lanjut (26 tahun ke atas) menjadi subyek penelitian. Hal ini dikarenakan, pada usia tersebuut manusia sudah bisa memaknai akan realitas kehidupannya. Beradasarkan data di atas, masyarakat di Desa Banyubiru yang berusia di atas 26 tahun berjumlah sekitar 50,96 % dari seluruh jumlah penduduk.17 Identitas Kejawaan selain dipengaruhi oleh usia, juga dipengaruhi oleh mata pencaharian. Seperti telah disinggung di bagian sebelumnya, mata pencaharian menjadi suatu bagian dari sebuah pola hidup dalam masyarakat, salah satunnya seperti pertanian yang membuat masyarakat menghayatinya melalui tradisi bersih desa. 17
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Desa Banyubiru secara geografis sebagian besar berupa daerah pertanian dan juga daerah rawa, namun berdasarkan data di atas mata pencaharian yang bergantung pada alam dan berprofesi sebagai petani berjumlah 4,9%, Peternak berjumlah 0,43%, Buruh tani berjumlah 4,13%, Nelayan berjumlah 1,31% lebih kecil dibanding dengan buruh Pegawai Swasta yang berjumlah 19,06% dan juga Buruh Industri berjumlah 25, 13%.18 Banyak faktor yang mempengaruhi jenis pekerjaan ini, salah satunya usia dan juga jenjang pendidikan. Seperti yang diungkapkan Bapak Supri Daryono sebagai berikut “Saat ini, hanya sedikit yang mau mengoleh lahan pertanian. Sekian banyak petani hanya beberapa orang yang anak muda, mereka yang berpendidikan minimal SMA jarang atau bahkan tidak ada yang mau turun ke sawah, meskipun sebenarnya tanah di Banyubiru ini adalah tanah pertanian yang sangat subur. Namun tidak hanya itu saja, faktor lain adalah tanah pertanian di Banyubiru bukan semua milik warga tetapi juga milik TNI AD. ”19
Tingkat Pendidikan sangat mempengaruhi jenis pekerjaan di Desa Banyubiru, sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada pemaknaan akan tradisi bersih desa atau pemaknaan hidup mereka sebagai orang Jawa. Masyarakat Desa Banyubiru masih banyak yang tidak pernah berada di bangku sekolah yaitu berjumlah 12,9 % sedangkan yang menyelesaikan pendidikan pada tingkat SLTA berjumlah 10,69%, tamat Akademi/Diploma berjumlah 9,06%,
18
Idem.
19
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono tanggal 9 April 2013 (Kadus dan Ketua Kelompok Tani Dusun Kampung Rapet Desa Banyubiru)
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sarjana ke atas berjumlah 8,61%. Dari prosentase tersebut terlihat bahwa di Desa Banyubiru masih banyak warga yang tidak mengenyam pendidikan.20 Faktor lain yang sangat mempengaruhi identitas Kejawaan adalah agama. Bila mendengar agama, banyak pemikiran yang muncul dengan gambaran yang berbeda-beda. Ada yang menganggap agama sebagai jalan dan cara hidup, agama adalah kepercayaan pada hal atau realitas yang lebih luhur dari pada manusia, agama adalah rangkaian tindakan khas seperti doa, ibadat, dan upacara. Agama juga dianggap sebagai perasaan tergantung secara mutlak pada suatu realitas yang mengatasi dirinya. (Hardjana 2005:50) Orang Jawa sendiri dalam memandang agamanya menurut Mulyana (2006) terdiri dari tiga aspek, yang pada gilirannya telah melahirkan paling tidak tiga kelompok besar: beragama secara murni, beragama campuran atau hibrid, dan beragama kejawen asli. Kelompok pertama selalu mencoba menghayati agamanya secara murni yaitu mengamalkan sesuai dengan ajaran agamanya, biasanya tidak memberi ruang bagi amalan yang berbau takhayul atau sejenisnya. Kelompok kedua, mereka yang melaksanakan agamanya atau bercampur dengan keyakinan-keyakinan Jawa atau agama lain. Kelompok ketiga, yaitu orang-orang Jawa yang benar-benar meyakini agama Jawa semdiri. Inilah agama Jawa asli yang disebut agama Kebatinan atau Kejawen. Meskipun demikian, secara yuridis-formal orang Jawa memiliki dan mengakui keyakinan agama tertentu. Masyarakat Desa Banyubiru sebagian besar
20
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memeluk agama Islam yakni sebesar 88,06%.21 Pemeluk Islam di Desa Banyubiru juga “terpecah” menjadi dua, yakni Nahdhatul Ulama (NU) yang disebut-sebut sebagai kelompok Islam yang bisa mengakomodasi agama dengan tradisi Jawa. Sementara Muhammadiyah berjuang demi tegaknya kemurnian Islam. Meskipun demikan, secara kuantitatif di Desa Banyubiru lebih banyak Islam “campuran” yang masih memberikan ruang pada tradisi Jawa, bahkan menjadikan sesuatu yang cukup penting, terlihat adanya tradisi slametan, bersih desa, dan tradisi-tradisi Jawa lainnya.22 Penduduk Desa Banyubiru yang memeluk agama Katholik 8,36%23 cenderung lebih bisa mengakomodasi tradisi Jawa. Keterbukaan tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan tradisi Jawa, yaitu adanya ibadah dalam upacara pernikahan baik prosesi sebelum pernikahan ataupun saat pernikahan. Seperti pada malam midodareni24, biasanya diadakan sembahyangan atau doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama atau prodiakon. Agama Kristen di Desa Banyubiru sebesar 3,46%25 terbagi kedalam dua kelompok, yaitu Gereja Kristen Jawa dan Gereja Betel. Desa Banyubiru yang
21
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011 22 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yusup soleh (Modin Dusun Kmapung Rapet Desa Banyubiru) tanggal 5 April 2013 23 Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011 24
Midodareni adalah malam hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan keluarga pihak mempelai perempuan mengadakan tirakatan semalam suntuk. 25 Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terletak tidak jauh dari Salatiga mempengaruhi perkembangan umat atau jemaat. Salatiga merepukan salah satu tanah misi Kristenisasi yang sering disebut dengan Salatiga zending. Menjadi persoalan, munculnya titik perbedaan antara ajaran Kristen dengan tradisi Jawa. Pemaknaan yang berbeda akan peristiwa kematian. Bagi orang Jawa peristiwa kematian dimaknai tidak hilang begitu saja, namun ada ritual dan tradisi-tradisi yang menyertaunya, salah satunya ziarah kubur. Bagi Jemaat Kristen, berbagai ritual tentang kematian seperti ziarah kubur tidak perlu, karena orang meninggal tidak butuh doa. Sehingga di sini terlihat jemaat Kristen memiliki titik keberatan akan tradisi Jawa dalam soal ziarah kubur dan menjadi menarik untuk diteliti bagaimana negosiasi identitas mereka. II.
Kondisi Sosial dan Budaya
1. Kehidupan Sosial Ekonomi Mayarakat Desa Banyubiru Memayu hayuning bawana (berperilaku selaras demi keindahan dunia), menjadi konsep atau motto hidup orang Jawa yang cukup penting. Orang Jawa lebih merasa nyaman dengan perilaku dunia yang serba baik, kepada alam maupun kepada sesama manusia. Memayu hayuning bawana menjadi nilai kearifan dalam menanggapi dunia terkecil dalam lingkaran pengaruh masyarakat (Amrih, 2008:74). Konsep hidup ini membawa warga Desa Banyubiru sebagai orang Jawa secara komunal menghargai sesamanya. Desa Banyubiru dalam kehidupan bermasyarakat masih sangat menghargai sesama warga. Sebagai contoh ketika ada orang meninggal, mulai dari perawatan jenasah dan penggalian makam dilakukan oleh warga dengan
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sukarela. Ibu-ibu berkumpul untuk menyiapkan makan sedangkan bapak-bapak dan juga remaja menggali makam bersama.26 Tradisi semacam ini menuntut warga masyarakat untuk hidup secara komunal, hidup di tengah masyarakat. Hukum sosial dalam masyarakat masih sangat berlaku, seperti yang diungkapkan Bapak Supri Daryono berikut: “Di sini warga takut untuk tidak hidup bersosial di tengah masyarakat. Mereka takut kalau nanti mengalami kesusahan tidak akan dibantu, karena warga selalu niteni atau mengingat-ingat siapa yang tidak pernah hidup bersosial atau membantu warga lain.” 27 Hukum sosial menjadi suatu pengontrol bagi dirinya, manusia selalu merasa diawasi ketika hidup bersosial di tengah masyarakat. Inilah menurut Foucault menjadi panoptik, yaitu sebagai alat pendisiplinan yang memberikan efek kepatuhan bagi kehidupan sosial masyarakat. Menurut Foucault “Panoptik bisa berfungsi sebagai usaha menciptakan penyeragaman dalam hubungan dengan orang di tengah kehidupan sehari-hari” (Foucault, 1995: 205). Disadari atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari muncul ketakutan ketika tidak bersosial di tengah masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Cahyo berikut28: “Saya takut kalau tidak ikut membuat makam, nanti kalau ada keluarga saya yang meninggal tidak ada yang membantu yang susah akhirnya ya saya sendiri. Lebih baik semacam ini saling membantu, ini bagi saya sudah aturan hidup bermasyarakat.” Aturan
hidup
bermasyarakat
menjadi
usaha
pengontrolan
dan
penyeragaman perilaku sosial masyarakat Desa Banyubiru. Muncul perasaan
26
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal 16 Februari 2013 27 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal 16 Februari 2013 28 Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
takut ketika tidak hidup bersosial di tengah masyarakat. Selain itu kehidupan secara komunal tampak dalam gotong royong atau kerja bakti. Dalam sebuah pembangunan Desa, warga masyarakat bersama-sama bekerja dengan sukarela. Begitu pula ketika salah satu warga membangun rumah. Ketika pekerjaan itu cukup berat maka dilakukan sambatan yaitu dengan meminta bantuan pada seluruh warga untuk melakukan pekerjaan tersebut.29 Tradisi semacam ini tidak muncul dengan sendirinya begitu saja, namun terkonstruksikan sejak jaman leluhurnya dahulu. Sehingga ada usaha untuk tetap melestarikan dan menjaga kehidupan sosial masyarakat tersebut. Kelanggengan kehidupan sosial masyarakat ini juga dipengaruhi oleh mata pencaharian dan kehidupan ekonomi mayarakat Desa Banyubiru. Mata pencaharian dan keadaan ekonomi ini menimbulkan keinginan untuk saling membantu sesama warga. Untuk iuran pembangunan desa misalnya, secara nominal tidak disama ratakan tetapi disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Begitu pula ketika ada yang perlu dibantu secara ekonomi warga akan bersama-sama suka rela membantu.30 Secara Ekonomi masyarakat di desa Banyubiru masih banyak yang berkekurangan. Masih banyak warga yang menerima bantuan dari pemerintah. Berikut data keluarga yang menerima bantuan social dari pemerintah31 : a. Penerima Raskin
: 543 KK32
29
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal 16 Februari 2013 30 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal 16 Februari 2013 31 Berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
b. Penerima Jamkesma data tahun 2011
: 944 orang
c. Penerima Program Keluarga Harapan
: 30 orang
Memayu hayuning bawana (berperilaku selaras demi keselamatan dunia) sebagai nilai kearifan lokal membawa warga Desa Banyubiru untuk meciptakan kesejahteraan bagi sesamanya. Saling membantu baik secara sosial maupun ekonomi menjadi kewajiban bagi dirinya. Hukum sosial seperti pengucilan menjadi alat kekuasaan yang produktif, bagi pihak yang merasa diuntungkan, baik itu instansi maupun pribadi. 2. Tradisi Sedekah Bumi di Desa Banyubiru Desa Banyubiru merupakan daerah agraris, sehingga masih memiliki ketergantungan alam yang cukup besar. Sebagai ungkapan syukur atas alam sekitar yang telah memberikan kesinambungan terhadap kehidupan masyarakat, mereka mengungkapkannya melalui sebuah tradisi bersih desa. Bersih desa biasanya juga disebut merti desa, artinya memelihara desa secara batiniah dan lahiriah. Secara batiniah, menjalankan ritual mistik, baik berupa slametan maupun pertunjukan seni. Secara lahiriah, mereka juga membersihkan makam dan tempat-tempat khusus yang dianggrap sakral. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Tempat yang sakral itu dianggap memiliki tuah dan daya tertentu, karenanya harus diberi sesaji pada saat bersih desa. Tradisi semacam ini dikatakan sebagai wujud pengorbanan anak cucu kepada para leluhur yang telah sumare (meninggal).
32
Kepala Keluarga
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Banyubiru mengadakan tradisi bersih desa tersebut dengan istilah Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru. Tradisi ini menjadi hajatan besar Desa Banyubiru. Hajatan dilakukan secara kolektif, dengan biaya ditanggung bersama. Kegiatan dilakukan oleh seluruh warga desa, tua-muda, pria-wanita, bersama pamong dan sesepuh desa. Kegiatan bersih desa ini dilakukan dengan sasaran fisik maupun spiritual, secara fisik bersih-bersih desa, secara spiritual slametan, wayangan, dan juga ziarah kubur sebagai ungkapan penghormatan pada leluhur mereka. Tradisi Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru
dilakukan masyarakat di
Desa Banyubiru belum lama. Namun, sebelumnya setiap Dusun di Desa Banyubiru melakukan tradisi bersih desa tersebut dengan istilah masing-masing, mulai dari nyadaran, merti dusun, ataupun sedekah dusun. Dalam tradisi tersebut masyarakat berkumpul bersama, mereka membersihkan sendang atau mata air dan juga membersihkan lingkungan mereka. Hal ini diharapkan sebagai pralambang bahwa warga masyarakat ingin membersihkan kehidupan fisik dan juga batinnya. Puncaknya adalah Selametan.33 Dusun Kampung Rapet sebagai bagian dari desa Banyubiru rutin melakukan tradisi tersebut secara turun menurun. Selametan dilakukan dengan menggunakan tumpeng nasi kuning sebagai ungkapan syukur dan juga tumpeng putih sebagai permohonan. Selain kedua sarana tadi ada berbagai sarana lain, seperti ingkung, nasi gudangan, air kopi dan air putih. Semua sarana ini sebagai
33
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal 16 Februari 2013
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
simbol, karena manusia membutuhkan perantara untuk mengekspresikan sesuatu yang melampui dirinya. Erwin Goodenough dalam telaah panjang lebar, Jewish Symbols in Graeco-Roman Period, mendefinisikan simbol sebagai barang atau pola yang apapun sebabnya bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan (Dillistone, 2002 : 19). Berbagai sarana dalam ritual tersebut hadir sebagai usaha untuk menggerakan cara berpikir dan juga perilaku warga masyarakat. Selain itu dari ritual yang memuat sesaji yang dilaksanakan bersamaan (serentak) berarti ada keyakinan akan makna dan fungsi tertentu bagi keselamatan hidupnya. Makna dan fungsi tersebut hadir dengan ungkapan yang berbeda, antara lain kegiatan bersih desa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, meningkatkan kecintaan masyarakat kepada daerahnya, mempererat persauadaraan antar warga desa, wujud hormat dan terimakasih pada leluhur mereka. Masyarakat Desa Banyubiru merasa takut jika tidak menjalankan tradisi bersih desa, berharap agar mendapat keselamatan. Fenomena gagal panen yang pernah terjadi di Banyubiru membuat masyarakat semakin menghayati perlu tidaknya melakukan bersih desa. Mulai tahun 2000 sampai sekarang, Desa Banyubiru sering gagal panen karena hama tikus, bahkan di tahun 2011 mengalami gagal panen yang luar biasa, hampir 90% sawah di Desa Banyubiru tidak panen.34
34
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret 2013
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kegagalan ini dikaitkan oleh masyarakat karena tidak lagi melakukan tradisi bersih desa di tingkat Desa Banyubiru. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Hartanto berikut : “Bersih desa tidak hanya wayangan dan berdoa, tetapi ada unsur bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan, baik itu tanah, udara, maupun air. Maka bagi saya kegagalan panen yang luar biasa yang terjadi di Banyubiru karena di desa sudah tidak lagi ada merti desa, tidak ada rasa syukur yang diwujud nyatakan dan penghormatan pada leluhur kita, jadi ya jangan kaget kalau bumi juga tidak memberikan sesuatu yang baik kepada kita.” 35 Fenomena ini mengantar masyarakat Desa Banyubiru dibawah kepemimpinan Kepala Desa Bapak Sri Anggoro Siswaji untuk kembali mengadakan tradisi bersih desa. Mereka memiliki harapan selain untuk ungkapan syukur dan keselamatan hidupnya, ada harapan kehidupan sosial masyarakat antar dusun di Desa Banyubiru semakin guyub rukun, sehingga dengan tradisi bersih desa masyarakat semakin menyadari bahwa manusia hidup diantara alam dan sesama manusia.36 Konflik antar dusun tidak terjadi lagi, seperti yang terjadi pada waktu pemilihan Kepala Desa Banyubiru tahun 1999. Pemicu konflik yang berakibat pada perkelahian tersebut adalah ketidakpuasan warga Dusun Demakan yang tidak menerima kekalahan calon Kepala Desa dari daerahnya. Kegiatan bersih desa dilakukan oleh banyak desa di Jawa, dengan cara dan nama yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutnya sedekah desa, karena di dalam acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada pula yang menyebut
35
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013) tanggal 27 Februari 2013 36 idem
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rasulan, karena dalam kendurinya disajikan selamatan rasulan (nasi gurih dan lauk ingkung ayam). Ada lagi yang menyebutnya memetri desa, karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa, baik mengenai semangat maupun acara kegiatannya. Dari sekian ragam istilah bersih desa, esensinya merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup. Waktu penyelenggaraan bersih desa pun bisa berbeda-beda. Perbedaan ini didasarkan atas pemaknaan konsep ruang dan waktu. Hal ini dapat dipahami, namun satu-satunya kesamaan dalam bersih desa adalah waktu pelaksanaanya satu tahun sekali, biasanya sesudah musim panen. Sedangkan bulan, hari tanggal, dan cara pelaksanaannya tidak selalu sama antara satu desa dengan desa lainnya. Setiap desa tentu memiliki waktu pilihan, kegiatan pilihan, sesuai dengan kegiatan setempat, misalnya bersih desa dijatuhkan pada hari dimulainya pemukiman di desa tersebut, atau dilaksanakan pada hari lahir atau meninggalnya cikal bakal desa. Masyarakat Banyubiru sendiri melakukan sedekah bumi setahun sekali. Pemilihan istilah sedekah bumi perdikan Banyubiru memiliki harapan bahwa masyarakat lebih mudah memaknai rasa syukur atas bumi tempat mereka tinggal. Sedekah bumi juga sebagai wujud hormat dan penghargaan bagi leluhur di Banyubiru seperti mbah Joyoproyo maupun Suro Dipoyono.37 Tradisi sedekah bumi perdikan Banyubiru ini, di samping memiliki makna spiritualitas bagi kesejahteraan masyarakat, sebenarnya secara sosial menjadi sarana solidaritas. Sebelum puncak acara wayang kulit ada berbagai 37
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret 2013
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
macam kegiatan, mulai dari gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal masing-masing hingga jalan sehat massal. Rangkaian Sedekah Bumi diawali dengan kegiatan gropyokan tikus, dimana warga bersama-sama berburu tikus di sawah, karena telah menjadi hama. Banyaknya tikus membuat para petani di Banyubiru merugi, sehingga dengan berbagai cara warga menangkap tikus bersama-sama pada hari dan jam yang ditentukan. Kegiatan berikutnya adalah ziarah kubur massal. Seluruh warga, tanpa memandang keyakinan agama tertentu bersama-sama berziarah kubur di makam leluhur mereka masing-masing. Pemakaman yang biasa menjadi tempat berziarah adalah pemakaman silanceng yang berada di Desa Banyubiru. Setelah berziarah pada leluhur mereka masing-masing, warga masyarakat berkumpul di makam pepunden Kyai Joyoproyo. Di tempat itu mereka mengadakan selamatan, yaitu berdoa bersama. Ziarah kubur merupakan cara pandang beberapa masyarakat di Desa Banyubiru sebagai wujud bakti dan hormat pada leluhur mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Martoyo berikut: “Nyekar (ziarah kubur) itu menandakan kalau yang dimakamkan ada yang ngopeni (merawat), karena orang tua saya sudah meninggal saya mendoakan didepan makam tersebut, njaloke ngapuro tinebihno seko siksa neraka dicaketke karo Gusti Allah (memintakan maaf atas dosa dan dijauhkan dari neraka, didekatkan pada Gusti Allah). Dan pasti nanti leluhur kita akan juga mendoakan dan melindungi kita yang masih hidup” 38
38
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo) tanggal 15 Februari 2014
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ziarah kubur menjadi cara pandang yang kuat bagi masyarakat Jawa seperti di Desa Banyubiru. Dengan ziarah kubur ini masyarakat memiliki keyakinan, arwah tersebut memang pantas dimintai berkah agar membantu anak cucu. Roh leluhur dianggap yang menjadi penjaga bagi kehidupannya. Kegiatan lain selain ziarah kubur adalah, jalan sehat. Sasaran kegiatan tersebut adalah seluruh warga yang menggunakan bumi Banyubiru. Berbagai tujuan diharapkan dari kegiatan tersebut, yaitu selain menjadi hiburan bagi masyarakat juga menjadi sarana pemersatu. Puncak Sedekah Bumi ini adalah pertunjukan wayang kulit. Sebagai bentuk simbolis, kehadiran wayang kulit dalam tradisi Sedekah Bumi mengandung suatu maksud di balik bentuk atau wujudnya, yaitu ekspresi penghormatan kepada Tuhan maupun leluhurnya. Wayang Kulit sebagai simbol kehidupan mengandung nilai-nilai yang berharga bagi masyarakat. Dalam hal ini, sikap dan tindakan pada dasarnya mencermikan perilaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup manusia yang dimaksud merupakan cara ataupun sarana untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan harmonis, sehingga tercipta kesejahteraan hidup. Dalam hal ini wayang kulit secara simbolis memberi konstribusi pada pembentukan sikap hidup manusia dalam upaya mencapai kehidupan yang selaras dengan lingkungannya. Wayang kulit menjadi berarti dan memiliki makna yang lebih ketika menjadi satu kesatuan yaitu di dalam suatu pertunjukan atau pementasan. Pertunjukan di sini ketika wayang diberi suara, iringan (gamelan), cerita, dan faktor lainnya seperti rasa, peristiwa, dan juga karakter yang dipertunjukan oleh
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalang (Mrázek, 2005:16). Penikmat wayang selalu terhanyut ke dalam sebuah rangkaian kesatuan pertunjukan wayang kulit. Bagi mereka, wayang kulit membawa hiburan yang memiliki nilai seni tinggi. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Agung berikut:39 “Saya itu kalau melihat wayang, tidak tahu kenapa bisa merasa nyaman, ayem tentrem, ning ati iso adem (dihati merasa dingin). Bagi saya menonton wayang tidak hanya sekedar nonton seperti nonton dangdut, tetapi lebih dari itu dibutuhkan hati dan pikiran untuk merasakan dan memahami pertunjukan wayang tersebut” Hal tersebut senada dengan Amir (1991:77) yang mengatakan bahwa wayang sebagai teater memberikan santapan-santapan yang bersifat psikologis, intelektual, religius, filosofis, estetis, dan etis. Suatu pertunjukan wayang adalah suatu package deal yang lengkap dari seluruh aspek-aspek itu. Wayang memberikan hiburan yang sehat bagi para penonton. Unsur-unsur tragedi, komedi, dan tragikomedi ada dalam wayang. Meskipun asal usul wayang sendiri, belum dapat ditentukan dengan pasti, namun penulis-penulis Indonesia cenderung mengikuti teori Hazeau yang mengatakan wayang berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah nenek moyang yang disebut Hyang. Selain itu, Kats (1923:37-38 dalam Amir 1991:28) juga mempunyai teori yang menyerupai teori Hazeu, Kats mengatakan bahwa wayang merupakan suatu kebudayaan yang amat tua, wayang memiliki hubungan erat dengan praktik keagamaan, wayang juga digunakan dalam upacara-upacara tertentu yang erat hubungannya dengan
39
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agung (penikmat wayang kulit) tanggal 10 April 2013
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penyembahan terhadap nenek moyang. Pemahaman ini mengantar pada sebuah pertunjukan wayang kulit sebagai tradisi bersih desa diberbagai tempat. Pertunjukan wayang kulit dalam puncak sedekah bumi perdikan di Desa Banyubiru merupakan representasi simbolik dari kesadaran atau ketaksadaran warga. Berbagai harapan dan mimpi tentang keselamatan dan juga kesejahteraan hidup dalam kaitannya hasil panen, mereka lukiskan melalui pertunjukan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Hartanto berikut: “Bagi saya kalau merti desa tapi tidak wayangan belum sempurna, karena tidak ada puncak harapan akan doa-doa selama ini. Wayang kulit tidak hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan. Dengan wayangan bisa merubah cara pandang atau cara pikir, merubah rasa, dan juga bagaimana menghargai leluhur kita. Menghargai wayang kulit berarti juga mengahargai dan menghormati leluhur atau nenek moyang kita”40 Ketika pertunjukan wayang kulit dijadikan sebuah harapan dan panutan dalam kehidupan manusia, maka setiap lakon juga sangat memiliki peran penting. Tema-tema pokok dalam lakon wayang itu menggariskan masalahmasalah utama yang dihadapi manusia. Tema bahwa manusia dilahirkan dengan kodrat kebinatangan dan kemalaikatan menggariskan masalah utama manusia sebagai makhluk pribadi. Sebagai pribadi masalah yang paling utama adalah bagaiamana menyempurnakan hidup pribadinya, sehingga dengan demikian bisa menguasai
fitrah
kemalaikatannya.
kebinatangannya Sedangkan
secara
dan sosial
mengembangkan manusia
memiliki
kodrat tugas
“mempercantik” negara, bangsa, dan kemanusiaan pada umumnya, yang
40
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013) tanggal 27 Februari 2013
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menurut wayang digariskan dalam ajaran memayu hayuning praja, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayuning bawana. Paling utama dalam ajaran pewayangan adalah memberantas kejahatan dengan ajaran sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. (Amir, 1991: 67) Setiap lakon memiliki harapan masing-masing yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan gagasan Redfield (Coote dan Shelton, 1992:15-16), bahwa seni sebagai sebuah pengalaman yang diperluas. Dengan kata lain seni memiliki makna yang tidak terbatas. Di dalamnya ada pemaknaan yang begitu luas. Seperti dalam pertunjukan wayang kulit, untuk bersih desa berbeda dengan untuk pertunjukan biasa. Seni pertunjukan wayang kulit dalam bersih desa biasanya melukiskan tema spiritual yang mengarah pada keselamatan dan anugerah rejeki. Keselarasan manusia dengan lingkungan dirasakan oleh masyarakat Banyubiru. Setelah pertunjukan wayang kulit dalam puncak Sedekah Bumi, tikus yang jumlahnya begitu banyak dan menjadi hama di Sawah hilang seketika.41 Fenomena ini menjadi cara pandang tersendiri bagi masyarakat di Banyubiru. Tradisi Sedekah Bumi ternyata menjadi sesuatu yang penting sebagai ungkapan syukur dan permohonan akan hasil panen dan juga kehidupan mereka. Pertunjukan Wayang Kulit ternyata secara sosial diyakini sebagai sarana mempererat persaudaraan warga desa tetangga. Oleh karena tidak sedikit warga desa lain yang berbondong-bondong, menonton, berjualan, dan bahkan ada yang 41
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013) tanggal 27 Februari 2013
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hadir untuk “berjudi Klutuhuk”, di sekitar arena pertunjukan. Tidak ada sekat perbedaan di antara warga masyarakat, yang ada hanyalah adanya sebuah pertunjukan bagi dirinya.42 Sesuai dengan teori Turner (1988:74-75) sebenarnya pertunjukan ritual memiliki fungsi hiburan bagi audiensnya. Hiburan bisa hadir dalam bentuk apapun, tidak hanya dalam pentas wayang itu saja, namun juga hiburan lain yang hadir di situ. Bahkan ada kebutuhan interaktif antarwarga masyarakat sebagai kebutuhan sosial dapat terpenuhi. Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru menjadi sebuah tradisi yang mencoba untuk terus dipertahankan, tidak hanya berhenti sebagai hiburan dalam kebutuhan sosial, namun juga seni spiritual sebagai manusia Jawa. Ziarah kubur ke makam pepunden atau leluhur mereka, serta pertunjukan wayang kulit merupakan usaha warga Desa Banyubiru untuk menunjukan atau mempertahankan identitasnya sebagai manusia Jawa. 3. Tradisi Ziarah kubur di Desa Banyubiru Orang Jawa seperti
halnya orang-orang dari kebudayaan lain
membedakan alam kehidupan sebelum dan sesudah mati secara tegas (Lehman dan Myers, 1985: 284-287; Zoetmoelder 1991:207; Subagya 2005-87). Alam kehidupan sebelum mati disebut alam wadag, tempat manusia dilahirkan dan menjalani hidup hingga masa kematiannya. Sedangkan alam sesudah mati disebut akhirat atau alam kelanggengan. Alam wadag dihuni manusia dalam ujud fisiknya yang nyata dan dipandang sebagai dunia kasar yang penuh nafsu dan dosa. Sementara alam kelanggengan merupakan alam halus tempat para roh yang suci.
42
Idem
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi
orang Jawa peristiwa kematian menjadi suatu peristiwa
berpindahnya alam wadag menjadi alam kelanggengan atau kekal. Karena itu bagi orang jawa peristiwa kematian itu tidak musnah, yang musnah hanyalah raganya namun jiwa atau sukmanya masih hidup. Ini sesuai dengan pandangan mereka bahwa setelah meninggal tiga hari masih di dalam rumah, tujuh hari di sekitar lingkungan, empat puluh hari sudah jalan di desanya, dan seratus hari sudah menjauh.43 Selepas seratus hari ada ritual seribu hari atau ngentek, biasanya selain mengadakan genduren atau selametan, keluarga yang sering disebut ahli waris membangun nisan atau ngijing, kemudian mereka sering melakukan ziarah kubur atau yang sering disebut tilik kubur atau nyekar. Bagi orang Jawa yang berhak atau bisa ngijing untuk leluhurnya adalah keturunan yang sudah mengawinkan atau pernah melakukan hajat pernikahan anaknya. Tidak ada alasan yang logis mengapa ini bisa terjadi, namun ini didasarkan atas wacana dan juga fenomena yang terjadi. Apabila melanggar biasanya terjadi musibah bagi dirinya atau keluarganya, seperti apa yang diungkapkan oleh bapak FX. Hartanto berikut44: “Miturut cerita mbah-mbahe dewe (menurut leluhur kita), yang boleh ngijing atau membangun nisan untuk keluarga yang sudah meninggal adalah yang sudah pernah menikahkan anaknya, saya tidak tau alasannya, ini sudah menjadi cerita bahkan keyakinan secara umum. Banyak kejadian yang terjadi ketika melanggar ini biasane mati rejekine (hilang rejekinya), atau mungkin mati badannya.” 43
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Joko Nur (Pelaku spiritual jawa atau kejawen) tanggal 16 Februari 2013 44 Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013) tanggal 27 Februari 201
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Wacana merupakan sekelompok pernyataan yang menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana (Haryatmoko, 2010:10). Warga masyarakat di Banyubiru menjadikan cerita tentang larangan membangun nisan bagi yang belum menikah menjadi sebuah wacana yang hadir melalui bahasa. Wacana larangan ini menjadi praktik dalam kehidupan Orang Jawa. Berbagai keyakinan hadir dalam masyarakat Jawa selain membangun nisan pada makam leluhurnya, mereka yakin dengan mengirim doa dan menabur bunga, hidupnya senantiasa akan beroleh keselamatan. Orang yang sudah meninggal dikenang sebagai leluhur yang memiliki Alam kelanggengan dan memiliki status lebih tinggi dibanding alam wadag, seperti yang diungkapkan Cahyo berikut:45 “Saya sebagai orang Jawa sudah menjadi kewajiban kalau harus nyekar (ziarah kubur) yaitu dengan berdoa di depan makam dan menabur bunga, apalagi ketika menghadapi kesulitan hidup, saya pasti nyekar supaya diberi kelancaran. Tradisi ini sudah tertanam sejak orangtua saya, untuk selalu diajarkan hormat pada leluhur. Ada suatu keyakinan kalau kita melupakan leluhur kita (tidak nyekar) bisa kualat atau sering sial, tetapi sebaliknya kalau kita sering nyekar akan selalu mendapat keselamatan dan keberuntungan”
45
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Keselamatan dan keberuntungan mengacu pada usaha mengatasi kesulitan hidup sehari-hari seperti agar lancar dalam perolehan rejeki, sukses menempuh ujian, mendapatkan jodoh, mohon restu sebelum menikah, dan sebagainya. Mereka menaruh hormat saat nyekar, yaitu dengan membersihkan makam dan memanjatkan doa, bahkan ketika doa itu dalam bahasa Jawa diucapkan dengan bahasa Jawa krama. Tradisi ziarah kubur tidak hanya berziarah pada makam leluhur mereka masing-masing, namun juga pada makam pepunden. Orang-orang yang menjalankan ziarah kubur tidak hanya mendoakan leluhur mereka yang dimakamkan disitu namun juga menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya ( Subagyo, 2004: 146). Demikian pula yang terjadi pada orang-orang di Desa Banyubiru. Mereka melakukan ziarah pada makam pepunden mereka yaitu Kyai Joyoproyo, Kebo Ijo ataupun Ki Sora Dipoyono dan juga leluhur mereka masing-masing. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Martoyo berikut46 “Orang berziarah ke Mbah Joyoproyo dari berbagai tempat, tidak hanya warga Banyubiru saja, biasanya mereka ngoyak barokah, sing dagang gen laris, ono sing nggayuh mulya (mencari berkah, yang dagang supaya laku, ada yang mencari kesuksesan)” Makam Kyai Joyoproyo atau Pangeran Tejokusuma menjadi tempat ziarah ataupun menjadi tempat untuk tirakat bagi beberapa orang. Peziarah yang hadir tidak hanya dari daerah Banyubiru dan sekitarnya, namun juga dari luar
46
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo) tanggal 15 Februari 2014
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kota misalnya Solo, Demak, Kudus, Surabaya, dll. Para Peziarah ini biasanya bertirakat sampai dua atau tiga hari, mereka yang berziarah di tempat itu adalah para pedagang, pengusaha, atau wiraswasta. Berziarah dimakam Kyai Joyoproyo dilakukan karena sebagai ucapan syukur atau mohon kelancaran dalam usahanya.47 Masyarakat di Desa Banyubiru meyakini bahwa Kyai Joyoproyo menjadi pepunden bagi daerah mereka. Sehingga ketika merti desa, mereka berkumpul dan melakukan selametan ditempat itu. Tidak ada perbedaan satatus sosial mapun keyakinan pada waktu mengadakan selametan. Mereka berkumpul bersama dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh seorang modin. Sebagaimana dekripsi Andrew Beatty tentang masalah slametan di Banyuwangi, Beatty menemukan sebuah realitas yang di dalamnya terdapat berbagai latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda. Mereka ternyata dapat bersatu di dalam satu tradisi yang disebut selametan (Beatty, 2001: 43). Kyai Joyoproyo diyakini menjadi lantaran bagi doa-doa mereka karena diyakini sebagai orang yang memiliki kelebihan atau linuwih dalam hal kebaikan selama hidupnya.48 Mereka memiliki harapan bahwa daerahnya bisa makmur gemah ripah loh jinawi. Selain memiliki harapan-harapan warga di Desa Banyubiru berziarah di tempat itu sebagai wujud hormat atau bakti mereka,
47
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Bina (Warga di sekitar makam Kyai Joyoproyo) tanggal 14 Februari 2013 48 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karena diyakini Kyai Joyoproyo ketika masa hidupnya banyak berjasa bagi kehidupan sekitar.49 Wujud Hormat dan Bakti pada Kyai Joyoproyo hadir dalam cara pandang mereka. Warga di sekitar Makam Kyai Joyoproyo tidak berani untuk membangun rumah susun atau bertingkat. Mereka meyakini akan mendapatkan musibah atau bahkan pagebluk.50 Cara pandang ini semakin nyata bagi mereka, ketika ada orang yang membangun rumah susun seketika terjadi malapetaka yaitu usahanya bangkrut dan juga terkena musibah kecelakaan hingga meninggal dunia. Selain itu ada peristiwa lain ketika membangun rumah susun menderita lumpuh dan juga warga sekitar mengalami gagal panen.51 Sulit membuktikan apakah kejadian ini akibat dari rumah susun yang di bangun di sekitar makam Kyai Joyoproyo, namun ini semakin menguatkan cara pandang warga masyarakat sekitar. Sehingga sampai saat ini tidak dijumpai rumah susun di sekitar makam Kyai Joyoproyo. Rumah susun dianggap tidak menghormati karena posisinya lebih tinggi. Selain makam Kyai Joyoproyo, makam pepunden yang ada di Banyubiru adalah makam Suro Dipoyono. Namun yang berziarah dimakam ini tidak begitu ramai karena hanya beberapa orang saja yang meyakini keberadaan makam
49
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo) tanggal 15 Februari 2014 50 Pagebluk adalah bencana (disaster) dalam skala luas dan serius, tingkatan terberat yang dikenal masyarakat desa. Pagebluk bisa menjungkirkan suatu peradaban ke titik nol. 51 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo) tanggal 15 Februari 2013
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersebut. Beberapa orang meyakini bahwa makam Surodipoyono berada di gumuk Bolodewo.52 Para pelaku spiritualitas Jawa atau kejawen di sekitar Banyubiru meyakini bahwa selain dua makam tersebut ada makam pepunden lain yaitu Kebo Ijo. Mereka meyakini bahwa Kebo Ijo adalah Kebo Kenanga, yaitu pangeran Hadayaningrat seorang adipati pengging atau ayah dari Jaka Tingkir.53 Berdasarkan catatan sejarah Kebo Kenanga adalah penganut agama Hindu. Ada benarnya jika makam itu adalah makam Kebo Kenanga karena makam yang ada di situ bercorak Hindu. Masyarakat yang bertirakat atau berziarah di situ tidak banyak, karena tempatnya yang berada di dataran tinggi sehingga untuk menjangkau tempat itu harus berjalan kaki. Tidak mengherankan jika yang berziarah di situ adalah mereka yang memiliki niat untuk laku prihatin secara sungguh-sungguh. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Supridaryono berikut54 : “Yang saya rasakan pada waktu berziarah di Kebo Ijo secara batinah lebih tentrem. Biasanya yang ke sana tergantung dari tingkatan yang berziarah. Pada tataran awal memekakan rasa batiniah, tataran selanjutnya ada yang mempunyai keyakinan mengambil pusaka, mereka memiliki harapan yang berbeda-beda.” Orang Jawa nyekar atau berziarah kubur tentu memiliki harapan-harapan tersendiri pada orang yang dimakamkan atau sumare dimakam tersebut. Harapan tersbut tentu berbeda, tergantung pada siapa yang dimakamkan disitu.
52
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 20 Februari 2013 53 Idem 54 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Supri Daryono (Pamong Desa Banyubiru) tanggal 15 Februari 2013
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Masyarakat Banyubiru juga meyakini hal tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Supridaryono berikut55 : “Kalau ingin usaha dagang atau rejeki lancar ya nyekar di makam Mbah Joyoproyo, kalau ingin drajat pangkat (kedudukan jabatan) ya ke makam Kebo Ijo. Tapi kalu ingin keselamatan hidup menurut saya ya kemakam leluhur kita masing-masing” Selain harapan-harapan tersebut, ziarah kubur bagi orang Jawa mengingatkan akan peristiwa kematian itu sendiri, dengan kata lain selalu ingat dengan sang maha kuasa atau Eling Sangkan Paraning Dumadi.56 Secara harafiah Eling Sangkan Paraning Dumadi bisa diartikan untuk ingat terhadap sesuatu yang menyebabkan semua ini terjadi, sebuah kearifan bagi manusia untuk selalu ingat Tuhan, sang pencipta manusia ini. Kearifan ini juga membawa pada logika berpikir bahwa semua hal berawal dari Tuhan dan semua juga akan berakhir kepada Tuhan. (Amrih, 2008: 50) Dalam filosofi permenungan kejawen, manusia Jawa tidak pernah melupakan leluhurnya. Sehingga setiap doa biasanya mengucapkan dumateng Gusti Ingkang Murbehing Dumadi nyuwun berkah pangestu lantaran kemudian menyebut leluhur orang yang berdoa atau didoakan. Dalam tradisi ziarah kubur, orang Jawa melakukan beberapa ritual. Mulai dari menabur bunga, membakar kemenyan, dan juga memberikan air. Bunga yang ditabur saat berziarah kubur bagi orang Jawa dimaknai sebagai lambang sesuatu yang baik. Sehingga bunga yang digunakan adalah bunga yang beraroma
55
idem Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013 56
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
harum seperti mawar, kenanga, kantil, dll. Hal ini merupakan simbol bahwa mereka menghormati orang yang dimakamkan di situ.57 Batas-batas sosial rupanya dihadirkan pula di suatu pemakaman. Hal itu terlihat dari berbagai tanda kubur yang ada di pemakaman Banyubiru. Perbedaan nisan tidak hanya menunjukan perbedaan agama, seperti Islam menggunakan maejan, sedangkan Katolik dan Kristen ditandai dengan salib. Namun lebih dari itu, muncul pembedaan dari segi bahan untuk membuatnya. Ada yang terbuat dari kayu, porselin, semen, dan bahkan ada yang terbuat dari marmer. Pembedaan ini berdasarkan dari status sosial ekonomi semasa hidupnya, seperti yang diungkapkan juru kunci pemakaman umum di Banyubiru berikut58 “Bentuk makam itu berdasarkan sugih lan orane uwong kuwi (kaya dan tidaknya orang itu). Nek sing sugih kuburane terbuat dari keramik atau marmer, tapi nek uwong ora duwe (tidak punya) ya hanya diberi maejan (nisan) biasa dari kayu. Bahkan kalau orang itu terpandang, biasanya dibuatkan cungkup yaitu bangunan yang ada atapnnya, kalau disini ya seperti makamnya Kyai Bachrodin.” Kuburan-kuburan yang terawat cenderung bertahan lebih lama. Masyarakat tidak berani menggusur kuburan tersebut karena dirasa masih ada ahli waris yang melakukan penghormatan terhadap orang yang dimakamkan di situ, apalagi pemakaman yang ada cungkupnya seperti yang diungkapkan oleh juru kunci makam tersebut. Berbeda dengan kuburan yang sudah tidak terawat, masyarakat melihat bahwa kuburan ini sudah tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya atau bahkan 57
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Joko Nur (Pelaku spiritual jawa atau kejawen) tanggal 16 Februari 2013 58 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo) tanggal 15 Februari 2014
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sudah terlupakan. Kuburan yang tidak terawat biasanya digantikan dengan kuburan yang baru, karena luas pemakaman tidak bertambah namun jumlah yang dimakamkan semakin bertambah. Hal ini memperlihatkan bahwa implementasi ziarah kubur tidak hanya berhubungan dengan arwah leluhur atau pepunden, namun juga secara sosial. Masyarakat Banyubiru memandang bahwa dirinya sebagai orang Jawa memiliki kewajiban melakukan penghormatan pada leluhur, tidak hanya ketika masih hidup tetapi juga ketika sudah meninggal. Maka, ketika ada ahli waris yang tidak merawat makam leluhurnya atau saudaranya yang sudah meninggal dia dianggap bukanlah orang Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Cahyo berikut59 “Kalau ada orang yang tidak pernah merawat kuburan leluhur atau saudaranya, baik itu bersih-bersih makam ataupun mendoakan berarti dia bukan orang Jawa. Bagi saya orang Jawa itu mempunyai keyakinan bahwa orang meninggal yang meninggal hanya raganya sedangkan sukmanya masih ada, maka ya tetap perlu dihormati dengan cara mendoakan dan juga bersih-bersih makamnya.” Identitas Kejawaan tergambar dalam tradisi ziarah kubur atau nyekar, bahkan muncul pembedaan antara yang Jawa dan juga “orang Jawa kehilangan Kejawaannya” ketika tidak berziarah kubur. Ketika lebih mendalam mengetahui bagaimana pemahaman ini terbentuk, mereka mengungkapkan pengetahuan ini berdasar atas keyakinan nenek moyang mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Cahyo berikut : “Pemahaman tentang kematian dan juga nyekar tersebut saya dapat ya dari mbah-mbahku mbiyen (Nenek moyangku), Masalah 59
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kebenarannya ya saya yakin, karena semuanya ke arah yang lebih baik. Bagi saya ya seperti itulah orang Jawa memandang sebuah misteri kematian, yaitu seperti tadi tidak musnah setelah mati jadi kita masih perlu menghormati, kalau orang sudah tidak nyekar berarti uwong jawa sing ilang jawane (orang Jawa yang hilang Jawanya).”60 Pemahaman tentang misteri kematian dan tradisi ziarah kubur menjadi sebuah pengetahuan akan kebenaran yang dibentuk melalui wacana. Menurut Foucault “wacana merupakan kekuasaan dan pengetahuan yang bergabung bersama” (Foucault, 1978:100 ). Dalam hal ini pemaknaan dan pengetahuan berkaitan dengan berbagai simbol, mulai dari nyekar atau ziarah kubur, sedekah bumi, selametan, dan juga pertunjukan wayang kulit tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan yang mengelilinginya yaitu cerita leluhur atau nenek moyang mereka. Identitas Kejawaan terbentuk dari konstruksi wacana dalam masyarakat. Kehidupan sosial dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan oleh sebuah wacana. Wacana tentang berbagai macam pemaknaan misteri kematian dan berbagai tradisi yang menyertainya. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana (Haryatmoko, 2010:10). Kekuasaan yang ada di sekitar masyarakat Desa Banyubiru, baik itu leluhur, cerita-cerita, dan juga tradisi mengantar pada pembentukan identitas Kejawaan. Muncul rasa bangga akan identitasnya yang menumbuhkan suatu
60
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kekuatan, pemicu pembangunan suatu komunitas, meneguhkan atau sebaliknya mencerai beraikan.
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III KEKRISTENAN DI JAWA: WACANA AJARAN KRISTEN SEBAGAI KEKUATAN AGAMA DALAM MEMBENTUK IDENTITAS Ada tiga jalan menuju ke kepercayaan akan Tuhan: akal, kebiasaan, dan wahyu. (Blaise Pascal)61
Pada bab sebelumnya telah diperlihatkan bagaimana identitas Kejawaan terbentuk dalam sebuah masyarakat. Wilayah Banyubiru sebagai masyarakat Jawa masih meletakkan tradisi Jawa (ziarah kubur), sedekah bumi perdikan, dan pertunjukan wayang kulit sebagai suatu kebenaran yang terkonstruksi secara turun menurun. Keyakinan akan tradisi jawa (tradisi ziarah kubur) berdampak pada cara hidup mayarakat, baik secara pribadi mapun komunal. Bab ini lebih menjelaskan tentang Kekristenan di Jawa: Bagaimana Kristen hadir sebagai kekuatan dalam membentuk identitas. Muncul berbagai “kekuasaan” yang menyelimuti setiap pengikutnya. Kekuasaan yang tidak hanya bersifat konkret: raja dan rakyat atau pendeta dan jemaat, namun lebih kekuasaan yang produktif, baik berupa pengetahuan atau praktik-praktik lain. Kekuasaan ini memunculkan tarik ulur akan identitasnya sebagai manusia Kristen atau Jawa. Bagian pertama akan menjelaskan sejarah Kristenisasi di Jawa, bagaimana proses muncul atau hadirnya ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari
61
Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius, hlm 47
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kolonialisme, dan juga perkembangannya hingga terbentuk Gereja Kristen Jawa di Jawa Tengah hingga merambah di Salatiga dan juga Desa Banyubiru. Pada bagian ini akan terlihat bagaimana proses perkembangan ajaran dan jumlah jemaat Kristen menjadi sebuah fenomena perkembangan agama. Muncul dinamika pertarungan wacana yang mengantar pada pembentukan identitas biner, antara Kristen Jawa dengan Kristen “landa”. Sejarah menjadi hal penting, karena dari awal terlihat bagaimana terjadi perbedaan atau pertentangan antara Jawa dan Kristen. Ini mempengaruhi pola pembentukan identitas Kekristenan saat ini, tidak terkecuali GKJ di Banyubiru. Perbedaan cara pandang ini mempengaruhi perpecahan di dalam jemaat GKJ Banyubiru sendiri. Mereka mempertahankan kebenarannya masing-masing, sehingga beberapa jemaat memutuskan untuk pindah dari GKJ Banyubiru ke GKJ Ngampin Ambarawa, dalam berbagai kegiatan seperti pendalaman Alkitab maupun ibadat mingguan. Bagian kedua menjelaskan tentang pengaruh dan proses pembentukan identitas Kristen Jawa: bagaimana hadirnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru tidak ada unsur kekerasan dan pemaksaan. Ajaran Kristen Jawa hadir melalui peran para penyebar ajaran, cara penyebaran, dan juga keadaan umat yang ada. Sehingga nanti dapat dilihat bagaimana Kekristenan menjadi cara pandang, baik peran Gereja Kristen dalam pembentukan diri maupun pemahaman diri sebagai orang Kristen Jawa dalam memandang segala hal baik di dalam diri maupun di luar dirinya. Semuanya menjadi kekuatan sebuah agama dalam mengatur, memberikan kepatuhan, atau menyeragamkan perilaku dan cara pikir seseorang.
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagaimana agama menjadi mekanisme yang produktif dalam membentuk pengetahuan dan kepatuhan bagi para pengikutnya. I. Munculnya Gereja Kristen Jawa 1. Sejarah Kristenisasi di Jawa : Berawal dari kolonialisme Awal munculnya ajaran Kristen di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme. Usaha Kristenisasi dilakukan oleh orang Portugis, terutama di daerah Maluku pada abad XVI. Pada abad XVII, saat Belanda berhasil menghalau Portugis dari wilayah tersebut, maka mengembangkan Calvinisme di antara orang-orang Maluku yang ketika itu sudah beragama Katolik. Banyak orang
Maluku yang bergama Kristen supaya tercatat, mereka
menjadi serdadu yang diperbantukan pada pasukan Belanda. Mereka dikirim ke kawasan militer Belanda yang utama, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Berarti merekalah yang pertama-tama membentuk jemaah Kristen pribumi di Pulau Jawa. Akhir abad XVIII, jumlah mereka mencapai 5000 jiwa, walaupun menurut laporan para misionaris hanya 8 % yang mengikuti kebaktian di Gereja-gereja (Müller-Krüger, 1959; Guillot, 1985: 4) Meskipun hasilnya minim, tidak dapat dikatakan bahwa tidak ada kegiatan dalam bidang agama pada zaman VOC. Selama berkuasa dua ratus tahun di Nusantara, Belanda telah mengirim 245 pendeta ke Hindia Belanda, terutama ke daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol di Maluku, Minahasa, dan lain-lain. Dari Jumlah yang cukup berarti ini, beberapa orang ditempatkan di Jawa pada kota-kota yang didiami orang-orang Eropa, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Tugas mereka pertama-tama melayani
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang-orang Eropa di samping orang-orang pribumi yang masuk Kristen. Minimnya hasil Kristenisasi di jawa dapat diterangkan dengan berbagai alasan. Berbeda dengan Portugis yang mencantumkan propaganda agama sebagai salah satu ekspansi mereka. Orang-orang Belanda terutama VOC mempunyai tujuan yang lebih bersifat duniawi. Jawa bagi VOC bukanlah penghasil rempah-rempah, sehingga tidak begitu penting dibanding daerahdaerah lain. Selain itu kesulitan yang dihadapi para pendeta adalah kondisi yang sulit dan bahkan kadang-kadang sangat buruk, tidak berdaya mengatasi suasana ketamakan dan keinginan hidup gampang di tempat itu (Guillot, 1985:4). Meskipun demikian usaha Kristenisasi terus dilakukan dengan mengirim misionaris baik dari Belanda ataupun asli orang Jawa. Ada banyak misonaris yang hadir di Jawa, namun hanya beberapa tokoh yang banyak berperan yang akan dijelaskan di bagian berikutnya. 1.1. Kristen “Jawa” dan “Landa” Gereja Kristen Jawa berkembang pertama kali di Jawa Timur. Para penginjil awam seperti Coenard Laurens Coolen (lahir tahun 1773), Yohanes Emde (lahir tahun 1774), dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (1885) melakukan pekabaran Injil di Jawa Timur. Pada awal mulanya terjadi ketegangan antara Kristen “Jawa” dan juga Kristen “Landa”
(Soekotjo,
2009: 100).
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh penginjil atau misionaris yang membawa ajaran tersebut. Pada tahun 1827 Coenraad Laurens Coolen62 adalah penginjil yang mendapat izin dari pemerintah kolonial63 untuk membuka lahan hutan Ngoro di kawasan Wirosobo seluas 2000 bau sebagai persil. Bersama keluarganya Coolen melakukan pekbaran Injil di daerah tersebut dengan merubah daerah tersebut yang awalnya banyak pencuri, perampok, penyamun, pembunuh menjadi daerah penuh ketenangan. Coolen menyebut ajarannya sebagai Kristen “Jawa” bukan Kristen “Landa”. Dalam ajaran ini Kekristenannya sangat kental dengan kejawaan, tembang, wayang, dan rapal, bahkan dengan yang berbau Islam seperti dzikir. Kekristenan tidak membuang unsur-unsur Jawa dari para pengikutnya, oleh sebab itu sakramen yang dianggap menjadi unsur Kristen Landa tidak diberikan kepada pengikutnya supaya jemaatnya tidak terhanyut menyamakan diri dengan orang Belanda dan meninggalkan cara hidup kejawaannya sendiri. Prinsipnya, sebagai orang Kristen, orang Jawa itu harus tetap Jawa. Di daerah tersebut kebudayaan Jawa-Hindu masih banyak tersisa. Terdapat gunung keramat, seperti Kawi dan Kelud di selatan. Peninggalan arkeologi banyak dijumpai, karena di daerah ini terletak di dekat ibu kota 62
C. L. Coelen lahir di ungaran pada tahun 1773 dari ayah seorang Rusia dengan ibu putri keturunan Pangeran Kajoran. C.L. Coolen berpendidikan ELS, masuk dinas militer, dan dipercaya membuat peta Jawa. Terakhir ditugaskan dibagian artileri di Surabaya dan menikah dengan seorang perempuan Indo, memproleh lima orang anak. Dari Surabaya ia pindah pekerjaan sebagai Bos Opzichter (sinder blandong) di Wirosobo (Mojoagung). Di sini dia menikah lagi dengan Sadiyah, pelayannya, dan mendapat tiga orang anak. 63 Coolen beberapa waktu bersekolah di Semarang, beberapa tahun kemudian bekerja sebagai pelukis yang diperbantukan pada kantor pemerintahan. Kemudian Coolen masuk tentara dan bertugas sebagai pengawas hutan di daerah terpencil. Sehingg dia perlu ijin untuk membuka sebidang persil (Guillot,1985:31)
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bekas kerajaan Majapahit. Tidak mengherankan jika masyarakat di daerah tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Sebagai misionaris awal, tentu Coolen
berupaya
untuk
mengembangkan
ajarannya
dengan
tetap
memasukkan ajaran sebelumnya, supaya ajaran Kristen bisa di terima. Dari sebidang lahan perizinan tersebut tidak ditanami nila, tebu, kopi, dan tanaman lain jenis ekspor sebagaimana dianjurkan pemerintah Belanda. Coolen justru menanam padi seperti yang dilakukan orang Jawa. Inilah salah satu alasan juga Coolen masuk sebagai golongan orang Jawa. Bahkan pada paruh terakhir usianya, dia memutuskan untuk memilih suatu kebudayaan: hidup seperti orang Jawa, di antara orang Jawa tanpa melupakan status Belanda-nya yang merupakan pertanda kehebatannya. Coolen menjadi kepala desa di daerah tersebut, dan terpanggil untuk mengkristenkan orang-orang di daerahnya. Diajarkannyalah agama Kristen dengan mengambil contoh-contoh yang terdapat dalam wayang atau legenda setempat. Dia membangun Gereja, di sana dia memimpin kebaktian, membaca dan menjelaskan kitab suci. Pada masyarakat kecil yang teokratis ini, Coolen mengeluarkan larangan untuk bekerja hari minggu dan mempunyai beberapa istri. Setiap orang beragama Krsiten atau Islam, di desa tersebut harus mematuhi aturan. Coolen juga menghormati kebebasan beragama. Secara pribadi dia pun mengawasi supaya kaum muslimin di desa tersebut menjalankan kewajiban ibadat agama Islam. Coolen boleh dikatakan dikelilingi oleh pemuka Islam dan Kristen bagaikan raja Majapahit yang di
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dampingi oleh pemuka Hindu dan Budha. Jellesma64 menggambarkan Coolen sebagai “raja tanpa mahkota” (Guillot, 1985: 33) Puncak dari pengarahan ini Coolen mengadakan kebaktian Minggu. Di situ Coolen bercerita tentang Tuhan Yesus serta isi Kitab Suci, dan mengajak berdoa bersama. Bahkan Coolen juga membuka pedebatan, sehingga ketika tidak seorang pun mampu mengalahkan argumentasi Coolen, maka ngelmu bab Gusti Yesus akhirnya diakui sebagai ngelmu tertinggi yang patut mereka ikuti, meskipun masih diperbolehkan untuk melakukan tradisi Jawa seperti wayangan, tetembangan, dan rapal (Soekotjo, 2009: 101) Percampuan antara Kristen, Islam dan Jawa dalam rapal dan juga tembang tampak dalam beberapa ajarannya. Salah satunya ajaran syahadat Kristen: La ilah illa Allah, Yesus Kristus yo Roh Allah (Tiada Tuhan selain Allah, Yesus itu Roh Allah). Teknik dakwah ini memperlihatkan bagaimana Coolen mencoba memasukan ajaran yang sudah ada sebelumnya, baik itu Islam maupun Jawa. Selain itu Coolen juga mengajarkan beberapa tembang, yang di dapat dari kalimat-kalimat injil, seperti tembang berikut ini. O, Gunung Semeru, Kau tertinggi di tanah Jawa, kepada engkau ditujukan lagu pujaan ini. Berkatilah hasil karya tangan kami ini. Berkatilah mata bajak yang menggemburkan tanah yang patut disebari benih dan menyebarlah benih. Berkatilah garu penghalus tanah ini. Di tanah inilah Dewi Sri akan bersuka hati, dewi padi yang memberi kami kemakmuran. Dan di atas segalanya, kami mendambakan kasih dan kekuatan dari Yesus yang maha kuasa. 64
Jellema adalah misionaris perintis, tugasnya boleh dikatakan memelihara dan mempertebal akidah orang-orang Kristen daripada mengkristenkan orang. Dia menjadi misionaris di daerah sidokare dan wiung (selatan Surabaya) dan Mojowarno.
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tidak hanya berhenti pada tembang atau lagu saja, Coolen juga melukis. Semua lukisannya mempunyai satu tema: Coolen membawa kebajikan bagi orang Jawa. Salah satu lukisannya itu menggambarkan dia di belakang bajak yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Dia memakai topi jerami, pantalon tetapi tanpa sepatu. Tangannya yang satu memegang ujung bajak dan lain menunjuk kelangit. Pada kiri kanan kerbau berdiri para petani (Guillot, 1985: 34). Baik dalam soal persil maupun dalam masalah agama Coolen terlihat memainkan peran ganda, sebagai orang Belanda dan orang Jawa. Cara-cara Coolen baik berdakwah maupun mengajarkan ajaran Kristen dapat diterima dengan baik oleh jemaatnya. Jemaat tanpa sakramen ini akhirnya harus menghadapi kenyataan yang lain ketika bertemu dengan kelompok jemaat Johannes Emde, mereka harus mau menerima baptisan. Akibatnya, beberapa orang pengikut Coolen seperti Singotaruno, Tosari, Kunto, dan Anip mencari dan mendapatkan sakramen baptis. Kejadian ini memicu kemarahan Coolen, yang berhujung pengusiran terhadap para pengikutnya. Pengusiran ini justru membuat ajaran Kristen berkembang ke beberapa daerah, seperti Kyai Jakobus Singotaruna dan Paulus Tosari tinggal di Sidokare dekat Sidoarjo. Abisai Ditotaruna membuka pemukiman di Mojowarno dan menjadi lurahnya. Johanes Emde lahir tahun 1774 di Jerman dari keluarga petani. Pada saat pemerintahan Daendels dia masuk tentara, ketika Raffles memerintah dia mengundurkan diri dari dinas militer. Sejak saat itu dia tinggal di Surabaya
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan menikah dengan gadis Jawa dari kalangan ningrat, yang berasal dari kraton Solo. Mulai saat itu, bersama keluarganya Emde menyebarkan ajaran Kristen dengan menyebarkan brosur. Dalam kalimat awal bertuliskan “wiwitaning Injile Yesus Kristus Putrane Allah...” (permulaan Injil Yesus Kristus, Putra Allah..). Beberapa orang menerima brosur bertanya-tanya bagaimana Tuhan bisa punya anak. Salah satunya seorang Modin yang bernama Pak Dasimah. Pada tahun 1838 Pak Dasimah berdasarkan informasi yang dia peroleh bersama dengan sembilan orang lainnya justru menemui Coolen. Dari Coolen dia mendapatkan dasar-dasar agama Kristen seperti Syahadat, Bapa Kami, dan Sepuluh Firman Tuhan (Guillot, 1985: 23). Akhirnya
beberapa
tahun
kemudian
Dasimah
memperoleh
kesempatan bertemu dengan Emde. Darisitulah Emde tahu bahwa ternyata sudah ada Jemaat Kristen di daerah Ngoro. Akhirnya Emde mengunjungi desa tersebut pada tahun 1842. Orang-orang pengikut Coolen mengerti bahwa agama yang diajarkan Emde berbeda dengan yang diterangkan Coolen. Lebih berbau barat, tidak bercampur Dewi Sri dan Semeru dengan Yesus. Akhirnya melalui Emde, mengetahui bahwa Coolen seolah-olah telah mengelabuhi mereka dengan tidak mengatakan bahwa perlu dipermandikan untuk menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya seperti orang-orang Belanda. Pada tanggal 12 Desember 1843 di Gereja Belanda Surabaya terdiri dari 35 orang, 18 lelaki, 5 perempuan, dan 5 anak-anak. Lahirlah jemaat “betul-betul” Kristen yang pertama. Diberitahukan pula bahwa kemudian, beberapa santri di daerah itu
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
juga masuk Kristen, tetapi ada juga orang Islam yang mengejek orang-orang Kristen itu dengan sebutan “Belanda tanpa sepatu” atau “Belanda minus Topi” (Guillot, 1985: 24) Johannes Emde sebagai penginjil sangat mempengaruhi ajaran Kristen di Jawa. Berbeda dengan Coolen yang tidak bersedia membuang budaya Jawa dari kekristenan pengikutnya, Johannes Emde justru sebaliknya. Mereka patut disebut jemaat “Kristen Landa” karena perilaku budaya mereka diatur menurut budaya orang Belanda. Mereka diharuskan berambut pendek, dilarang memakai ikat kepala saat ke Gereja, jangan mendengarkan gamelan, jangan
menonton
wayang,
jangan
melakukan
khitanan,
jangan
menyelenggarakan selamatan, jangan menyanyikan tembang (Jawa), jangan merawat pekuburan, dan dilarang menabur bunga di makam. Oleh sebab itu, sangat sesuai jika mereka dijuluki sebagai “Kristen Landa”. Terbentuknya sebuah praktik dengan demikian sangat dipengaruhi oleh kekuasaan. Berbagai wacana hadir dalam pembentukan identitas, baik Kristen Jawa maupun Kristen Landa. Semua kembali bagaimana dogma tentang larangan maupun keharusan yang hadir sebagai sebuah wacana itu menjadi cara pandang mereka. Hal ini sesuai dengan pandangan Foucault pada gagasan antara kekuasaan-pengetahuan, suatu pasangan yang secara dramatis mengekspresikan terikatnya wacana secara erat pada relasi antara kekuatan dan kekuasaan, maupun mengekspresikan kapasitas produktif kekuasaan untuk menciptakan wacana (Beilharz, 2005).
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ajaran Kristen Jawa maupun Kristen Landa, tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan misionaris dan agenda tujuan yang dibawanya. Kristen Jawa yang dibawa oleh Coolen yang mencoba memadukan budaya Jawa dengan tujuan supaya manusia Jawa tidak hilang kejawaannya, maupun ajaran Kristen Landa yang dibawa oleh Emde yang mencoba melepaskan budaya Jawa, kesemuanya menjadi sebuah cara pendang mereka yang terbentuk secara produktif. Coolen memanfaatkan kepercayaan Jawa yang di belokan ke agama Kristen. Cara ini bukan untuk menghilangkan tetapi malah sesuai dengan mentalitas petani yang dipengaruhi oleh kehidupan berhubungan dengan alam. Meskipun orang Belanda namun melarang jemaatnya untuk dibaptis dengan alasan supaya tidak menjadi orang Belanda. Muncul kontradiksi adanya kekuatan dua pengaruh ini. Saat itu orang-orang memilih meninggalkan Ngoro serta ajaran Coolen dan bergabung dengan Emde. Mereka ingin meninggalkan dunia tradisional untuk masuk ke sistem baru yang dikelola orang Belanda. Coolen ingin bersikap seperti orang Jawa tatkala orang Jawa sendiri ingin menjadi “orang Belanda”. Tanpa disadari identitas ini terbentuk karena wacana yang saat itu berkembang. Ajaran Coolen dianggap tradisional dan perlu ditinggalkan. Justru sebaliknya identitas asing dianggap lebih kuat,ini karena tidak terlepas dari kedudukan Belanda yang lebih tinggi dibanding penduduk pribumi. Awal kontradiksi ini justru melahirkan banyak penyebar ajaran Kristen. Mereka merasa terpanggil menjadi penginjil dan penyebar ajaran
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kristen. Inilah nantinya yang memunculkan perkembangan Agama Kristen kususnya di Jawa. 1.2. Usaha Kristenisasi di Jawa Tengah Awal pertumbuhan jemaat Kristen di Jawa tidak bisa dilepaskan dari perjuangan para misionaris baik Belanda maupun pribumi. Para misionaris ini memiliki peran yang begitu besar dalam usaha Kristenisasi di dalam masyarakat Jawa. Beberapa diantaranya adalah Kyai Tunggul Wulung (1885) yang menumbuh kembangkan jemaat-jemaat Kristen di Bondo, Banyutowo, Tegalombo, dan Salatiga. Johannes Vrede dan Laban menumbuhkan jemaat Muara Tuwa Tegal. Nyonya Philips Stevens melahirkan jemaat Tuksongo. Nyonya Oostrom membangun jemaat di Banyumas, dan yang paling spektakuler adalah Kyai Sadrach yang menumbuhkan jemaat Karangjoso dan sekian puluh jemaat lainnya. Merekalah para penginjil yang melahirkan jemaat-jemaat Kristen di Jawa Tengah yang nantinya berkembang menjadi Gereja Kristen Jawa. (Soekotjo, 2009: 105) Kyai
Sadrach
(1835-1924)
menjadi
catatan
penting
dalam
perkembangan ajaran Kristen di Jawa Tengah. Meskipun dia bukan orang pertama yang mengajarkan ajaran Kristen di Jawa Tengah. Menjadi catatan penting bukan hanya pengikutnya yang banyak namun cara penyebaran yang dilakukan oleh Sadrach. Seperti apa yang diungkapkan Guillot cara penyebaran agama Kristen yang dilakukan Sadrach adalah sebagai berikut: dia selalu berjalan ke manamana dan mengunjungi guru-guru yang terkemuka di daerah itu serta
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berusaha meyakinkan mereka akan kepercayaan Kristen. Jika tidak berhasil, maka dilancarkan tantangan untuk mengadakan perang tanding di depan umum, untuk mengetahui siapa diantara mereka yang lebih hebat ilmunya. Kadang-kadang perdebatan itu bersifat dramatis, kedua tokoh tersebut berhadapan, murid-murid duduk beberapa langkah di belakang sang guru. Sebelum dimulai ditetapkan aturan permainannya. Sadrach berjanji andai kata kalah, ia akan kembali masuk Islam. Jika ia menang, ia menuntut lawannya agar masuk Kristen dan tunduk kepadanya. Karena Sadrach memiliki ngelmu Jawa dan pernah sedikit belajar paling sedikit pada dua pesantren, lagi pula sudah menerima “ilmu baru” yakni ajaran Kristen, tambahan lagi ia sama sekali tidak bodoh, maka sedikitpun tidak ada yang ditakutinya. Begitu kalah, sang lawan langsung mengucapkan semacam pangakuan takluk kulo merguru (saya berguru). Para murid Kyai yang kalah bersama sang guru mengikuti ajaran Kristen. Demikianlah cara Sadrach mengkristenkan beberapa Kiai65 dalam tempo beberapa tahun. Dalam
usaha
penyebaran
ajaran
Kristen,
Sadrach
kelihatan
memelihara tradisi Jawa sebaik mungkin sejauh tradisi Jawa itu dapat di Kristenkan. Seperti contohnya ketika Sadrach menyebutkan bahwa Yesus itu Ratu Adil. Dia menyembuhkan orang sakit dengan membacakan mantra sambil memberikan kepada mereka air suci, bahkan air seninya sebagai obat. Kemenyan
dibakar
dalam
upacara.
Dia
menggunakan
air
yang
65
Beberapa Kyai yang menurut Guillot dapat dikristenkan oleh Sadracah : Ibrahim, Kanmentaram, Coyontani, dan Ronokusuma
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipermukaannya mengapung daun-daun bunga. Bahkan dia juga membagibagikan keris kepada murid-muridnya, namun terlebih dahulu keris itu diberkatinya. Mengenai apa yang mendorong Sadrach “mengkristenkan” tradisi Jawa tersebut, dapat diketengahkan beberapa alasan. Guillot menyebutkan beberapa alasannya antara lain pengkristenan upacara merupakan jalan paling mudah meskipun resikonya besar namun efektif untuk memasukkan ajaranajaran baru yang masih asing bagi penduduk. Sadrach juga berusaha sebisa mungkin tidak mengasingkan pengikutnya. Pada dasarnya, dibalik semua itu ada keinginan untuk tetap men-Jawa. Seperti kalimat yang banyak diungkapkan oleh Sadrach: penyebutan Kristen Jawa atau Pasamuan Kristen Jawa Mardika, serta ucapan Sadrach “adatipun tiyang Jawi kedah dipun lampahi” (tradisi jawa harus dilakukan). Identitas Kristen Jawa terbentuk pada zaman itu karena kekuasaan yang terus berkembang dimasyarakat, kekuasaan yang sangat dipengaruhi Kyai Sadarch. Ia berusaha memberikan pengetahuan baru dengan strategi tidak menghilangkan tradisi lama. Pengetahuan ajaran Kristen yang dibalut dalam tradisi Jawa. Usaha Sadrach ternyata cukup berhasil, ribuan jemaat mengikuti ajaran Kristen. Ini sesuai dengan pandangan Foucault tentang kekukasaan yang tidak terlepas dari pengetahuan. Menurut Foucault “Kekuasaan dan ilmu pengetahuan bergabung bersama” (Foucault, 1978: 100). Dalam hal ini, pengetahuan yang di tanamkan oleh Sadrach dan juga misionaris lain menjadi kekuasaan yang produktif. Banyak orang bersedia
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dibaptis dan menjadikan dirinya sebagai pemeluk Kristen. Tanpa disadari mereka di kuasai oleh pengetahuan yang mereka dapat. Mereka menjadi orang Kristen seperti apa yang digambarkan atau diinginkan oleh Kyai Sadrach. Penyebaran Gereja Kristin Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Belanda dan juga tokoh pribumi bahkan dari kalangan santri. Muncul tarik ulur akan kekuasaan yang mengelilingi penyebaran ajaran Kristen. Banyaknya bentuk ajaran dan juga wilayah penyebaran berakibat pada munculnya dinamika tarik ulur akan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran. Kristen sebagai agama hadir sebagai hasil kekuasaan dan kebenaran. Seperti apa yang diungkapkan Foucault (Haryatmoko, 2010:99) bahwa lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat adalah agama. Agama tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan untuk mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya. Seperti penjelasan sebelumnya pembentukan identitas Gereja Kristen Jawa memiliki perjalanan yang panjang. Mulai tarik ulur antara “Kristen Jawa” dengan “Kristen Landa” yang akhirnya mengarah pada kekuasaan zending baik itu atara Salatiga Zending di Jawa Tengah Utara (Gereja Kristen Djawa Tengah Utara-Parepatan Agung (GKJTU-PA), Gereja Jawa hasil pekerjaan Doopgezinde Zendingsvereninging di sekitar Muria (kini GITJ),
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau
gereja
Jawa
di
Jawa
Timur
hasil
penginjilan
Nederlands
Zendelinggenootschap (Gereja Kristen Jawi Wetan), yang berakhir pada pembentukan jati diri Gereja Kristen Jawa yang beraliran Gereformeerd. 2. Muncul dan Berkembangnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru “Kekuasaan berasal dari manapun, bukan karena kekuasaan mencakup segala sesuatu, tetapi karena kekuasaan berasal dari manapun” (Foucault, 1978: 93). Bagi Foucault kekuasaan bisa datang dari manapun, begitu pula hadir dan berkembangnya Gereja Kristen di Jawa karena pengaruh kekuasaan yang ada disekitar Banyubiru. Perkembangan Gereja Kristen Jawa Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Salatiga dan juga instansi seperti SPN dan juga Yon Zipur. Salatiga dan instansi di Banyubiru memiliki kekuasaan yang mempengaruhi berkembangnya ajaran Kristen di Banyubiru, karena Salatiga adalah basis kristenisasi di Jawa, bahkan keberadaan Sinode Gereja Kristen Jawa yang berada di Salatiga memiliki pengaruh cukup besar bagi daerah-daerah sekitar. Selain itu, di Salatiga juga berdiri Universitas Kristen Satya Wacana yang didalamnya terdapat Fakultas Teologi sehingga cukup berpengaruh terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran Kristen. Banyubiru adalah salah satu daerah yang tidak jauh dari Salatiga, hanya dipisahkan oleh Rawa Pening. Dari Salatiga Membutuhkan jarak waktu 15 menit untuk sampai di Banyubiru. Posisi Geografis ini membuat daerah Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari ajaran Kristen, kususnya Gereja Kristen Jawa.
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Banyubiru berdiri tanggal 22 Desember 1987. Meskipun sebenarnya tahun 1975 perhimpunan orang-orang Kristen Jawa sudah ada di Banyubiru seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Siswantoro berikut: “GKJ Banyubiru adalah pepantan atau bagian dari GKJ Ambarawa. Pada waktu itu Banyubiru belum ada bangunan Gereja sehingga berada di rumah salah satu tokoh GKJ yaitu Pak Witono sekitar tahun 1975 dengan jumlah kepala keluarga sekitar 10 orang”66
Perhimpunan atau kelompok ini awalnya hanyalah kelompok doa. Berkembangnya waktu mereka memiliki inisiatif untuk membeli tanah di Dusun Randusari Desa Banyubiru untuk didirikan bangunan gereja di tahun 1987. Salah satu tokoh yamg memperjuangkan adalah pendeta GKJ Ambarawa Bapak Pdt Pinoejadi. Saat ini keberadaan GKJ Banyubiru cukup berkembang dibanding awal-awal berdiri. Ini karena pengaruh Salatiga dan juga banyaknya pendatang dari asrama SPN dan juga Yon Zipur. Ibadat mingguan selalu dilakukan pada hari Minggu, dengan mendatangkan pendeta dari Ambarawa atau daerah lainnya. Selain ibadat mingguan juga diadakan pendalaman Alkitab dari rumah ke rumah setiap hari Kamis. Pendalaman Alkitab tersebut
66
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Siswantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22 Maret 2013
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mencoba menafsirkan bacaan Alkitab dengan berbagi pendapat sesama jemaat, jadi di sini tidak ada pendeta yag memimpin.67 Selain kegiatan pendalaman Alkitab,
kegiatan pemuda GKJ
Banyubiru cukup berkembang. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana. Banyak kaum muda dari Salatiga baik itu mahasiswa atau jemaat lain yang melakukan anjangsana atau kunjunganke daerah Banyubiru. “Kami sering berkunjung ke desa-desa untuk melakukan kegiatan, salah satunya Desa Banyubiru. Tidak bisa ditentukan waktunya kapan, yang penting kami sering melakukan kegiatan bersama. Baik itu Futsal atau olahraga lain antar Gereja, atau melakukan ibadat bersama. Harapannya supaya kaum muda di daerah-daerah juga memiliki kegiatan dan bisa berkembang dalam kehidupan menggerejanya.”68
Dengan demikian muncul dan berkembangnya GKJ Banyubiru yang mengarah pada pembentukan identitas Kristen Jawa tidak semata-mata begitu saja. Ada berbagai macam pengaruh baik dari Salatiga ataupun misionaris yang membawa ajaran tersebut. Dalam bagian berikutnya akan lebih diperjelas bagaimana misionaris tersebut berkarya dan ajaran apa yang dibawa bagi pembentukan jemaat GKJ Banyubiru. Sehingga terbentuk penyeragaman perilaku dan cara pandang tersendiri bagi jemaatnya baik itu dalam memandang tradisi Jawa maupun hal-hal lainnya.
67
Berdasrkan hasil wawancara dengan Bapak Sudarman (Majelis GKJ Banyubiru) tanggal 20 Maret 2013 68
Berdasarkan hasil wawancara dengan Valerian (Jemaat Muda GKJ Salatiga) tanggal 5 April 2013
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
II. Pengaruh dan Proses Pembentukan Identitas Kristen Jawa 1. Hadirnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru Perkembangan Gereja Kristen Banyubiru dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Tidak hanya letaknya yang berdekatan dengan Salatiga sebagai basis perkembangan ajaran Kristen, namun juga karena faktorfaktor lain. Berbagai faktor tersebut mencakup Misonaris dan cara penyebaran. Kedua faktor ini menjadi kekuasaan yang tidak mendominasi, namun lebih menjadi kekuasaan yang produktif dalam menciptakan pengetahuan. Foucault memandang bahwa “Dalam kekuasaan tidak ada unsur penaklukan dalam bentuk kekerasan atau aturan” (Foucault, 1978: 92). Pengaruh dan proses pembentukan identitas Kristen Jawa hadir tanpa adanya proses pemaksaan maupun kekerasan. Namun penaklukan kekuasaan ini hadir melalui dogma yang dibawa oleh para penyebar ajaran Kristen. Di bawah ini akan dibahas bagaimana peran misionaris dalam menciptakan identitas bagi Jemaat GKJ di Banyubiru. Peran misionaris ataupun penyebar ajaran agama dan juga cara penyebaran sangat mempengaruhi keadaan jemaat. Misionaris atau penyebar ajaran Kristen di sini tidak hanya hadir dari kalangan pendeta namun juga kaum awam. Semuanya menjadi kekuasaan yang mempengaruhi pengetahuan jemaat GKJ di Banyubiru, tanpa ada unsur kekerasan dan pemaksaan.
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1.1. Peran Penyebar Ajaran Kristen GKJ Banyubiru sebagai Gereja pepantan yang menginduk pada GKJ Ambarawa, tentu sangat tergantung dari peran para tokoh GKJ Ambarawa, baik itu pendeta maupun kaum awam. Sekitar tahun 1970an GKJ Banyubiru belum mempunyai bangunan Gereja, pada waktu itu hanya berkumpul di rumah Bapak Witono69. Sebagai orang awam pak Witono bersama istri cukup memiliki peran besar dalam membangun jemaat di GKJ Banyubiru. Sebagai seorang jemaat biasa Pak Witono merelakan sebagian rumahnya untuk “gereja”, bahkan untuk mempersiapkan tempat dan persiapan lainnya dilakukan sendiri. Bapak Witono bersama istrinya memiliki peran cukup besar dalam memberi semangat kepada jemaat yang lain. GKJ Banyubiru pada waktu itu hanya memiliki sekitar 20 jemaat, namun berkat kegigihan Bapak Witono tahun 1987 GKJ Banyubiru bisa memiliki tanah dan membangun Gereja di Dusun Randusari Desa Banyubiru. Berdirinya bangunan Gereja tidak terlepas dari peran jemaat yang memiliki semangat untuk membangun sebuah tempat untuk beribadah. Berbagai tantangan dihadapi oleh jemaat terutama Bapak Witono. Dalam mendirikan Gereja mengalami berbagai permasalahan, namun karena
69
Bapak Witono adalah salah satu tokoh pendiri Gereja Kristen Jawa di Banyubiru. Dia adalah seorang Mantri Kesehatan, lahir di daerah Jogjakarta dan meninggal di Banyubiru sekitar tahun 1983. Dia memiliki pandangan yang teguh terhadap iman Kristen, bahkan cenderung memliki pandangan tertutup terhadap tradisi Jawa yang bertentangan dengan ajaran Kristen.
89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbagai pihak yang membantu semua bisa teratasi, terutama usaha yang dilakukan oleh keluarga Bapak Witono. Seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu jemaat di Banyubiru berikut: “Bu dan Pak Witono ki sing golek donatur (yang mencari penyumbang dana), saudara-saudaranya dimintai dana. Bagi saya keluarga pak Witono ya aktifis Gereja awal berdirinya GKJ di Banyubiru.”70 Selain Bapak Witono sebagai kaum awam yang berperan dalam berdirinya GKJ di Banyubiru, hadir seorang Pendeta GKJ Ambarawa yaitu Bapak Pdt Pinoejadi. Warna ajaran GKJ Banyubiru sangat dipengaruhi oleh Bapak Pdt Pinoejadi. Hadirnya pendeta di Banyubiru cukup mempengaruhi perkembangan dan juga cara pandang jemaat akan pemaknaan Kekristenan. Pembentukan identitas sangat dipengaruhi oleh rezim pengetahuan. Penafsiran Bapak Pdt Pinoejadi tentang ajaran Kristen memunculkan cara pandang bagi jemaat di Banyubiru. Agama yang kongkrit adalah yang dihayati oleh pemeluknya dengan sistem ajaran, norma moral, institusi, ritus, simbol, dan para pemukanya. Penghayatan Kekristenan jemaat di Banyubiru sangat di pengaruhi hasil penafsiran teks-teks Alkitab oleh Bapak Pdt Pinoejadi, yang menurut para jemaat, tafsiran Bapak Pdt Pinoejadi lebih bersifat dogmatis atau selalu berdasarkan Kitab Suci tanpa dikontekskan dalam kehidupan masyarakat.71 Bapak Pdt Pinoejadi bertugas menjadi Pendeta di Ambarawa dalam periode waktu yang cukup lama, yaitu sekitar tahun 1970 samapai 1997. 70
Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
71
Idem
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi para jemaat beliau terkenal sangat kaku, kolot, dan juga sangat disiplin dalam pemahaman akan ajaran Kristen. Hal yang paling ditekankan adalah larangan untuk melakukan tradisi-tradisi lokal, seperti ziarah kubur, memperingati meninggalnya saudara (3 hari, 7 hari, 40 hari, dan juga 1000 hari), dan juga larangan untuk melakukan hajatan besar untuk syukuran sunatan. Ini semua di dasarkan atas ajaran Alkitab bahwa Allah telah menyelamatkan semua yang mengikutinya. Kekakuan ini memunculkan perpecahan bagi jemaat di Banyubiru, sehingga beberapa jemaat yang berusia lanjut memutuskan untuk bergabung dengan GKJ Ngampin dalam berbagai kegiatan dan juga ibadah. Perpecahan ini ini dipicu karena perbedaan pandangan secara teologis antara Bapak Pdt Pinoejadi dengan Bapak Margotono. Perbedaan teologi semacam ini kurang bisa
dimengerti
oleh
beberapa
jemaat,
namun
beberapa
jemaat
mengungkapkan bahwa Pdt Pinoejadi ini memiliki sifat keras kepala. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Giyati tentang karakter Bapak Pdt Pinoejadi berikut “Nek ngunekne umate ki rodo keras, kolot, nek sing ra cocok yo pindah, tapi Pak Witono dan Bu Witono tetap bertahan.”72 Berkat perjuangan dan ketaatan Bapak Witono GKJ Banyubiru tetap berdiri
dan
tetap
mengembangkan
ajaran
Kristen
dan
mencoba
mempertahankan keutuhan GKJ di Banyubiru. Bapak Witono tetap bertahan karena memiliki cara pandang yang sama dengan Bapak Pendeta Pinoejadi, memiliki iman Kristen yang teguh. Dalam artian, tidak memberi ruang bagi 72
Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tradisi Jawa yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Salah satu contoh yang diungkapkan jemaat GKJ bahwa “Pak Witono tidak pernah mengadakan genduren, baik pada waktu nyunatke atau peringatan kematian saudaranya”73 Saat ini GKJ Banyubiru dibawah GKJ Ambarawa dipimpin oleh Bapak Pdt Setyo Utomo74. Usianya yang muda, lebih bisa menerima tradisitradisi lokal. Ini karena secara teologis sudah memiliki cara pandang yang berbeda. Inilah alasan mengapa ajaran yang dibawanya berbeda, dibanding pendeta angkatan sebelumnya: “Dahulu para pendeta menjaga pemurnian, itu karena masih pertumbuhan atau rintisan jadi harus dijaga dan didoktrinasi dengan kuat. Dalam konteks sekarang tidak bisa harus dianggap dewasa jadi sudah bisa mengambil keputusan etis sendiri.”75
Berangkat dari situ, maka corak Gereja dahulu dengan sekarang berbeda. Gereja yang dewasa di era saat ini seharusnya bisa menerima tradisi lokal yang ada. Maka peran pemuka agama menjadi sangat penting dalam membentuk sebuah tradisi baik sebagai suatu cara pandang pribadi maupun secara hidup bermasyarakat. Gereja yang dewasa menurut Bapak Pdt Setyo Utomo ini tidaklah mudah, kenyataannya dalam diri jemaat tetap
73
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 18 Oktober 2013 74
Bapak Setyo Utomo lahir di Tuban, Jawa Timur tahun 1968. Ketertarikannya pada bidang Teologi membuat Pak Setyo memutuskan untuk belajar di Universitas Kristen Duta Wacana, menyelesaikan pendidikan Teologinya pada tahun 1994. Berkarya di GKJ Ambarawa sejak tahun 1996, sedangkan menjadi pendeta tahun 1997 sampai sekarang. 75
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Setyo Utomo (pdt GKJ Ambarawa) tanggal 6 Juni 2013
92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
muncul sebuah tarik ulur akan identitas. Pengetahuan yang berbeda antara Kekristenan dan Kejawaan pada akhirnya tetap membuat jemaat GKJ menegosiasikan identitasnya. 1.2. Cara penyebaran Pembentukan
identitas
Kristenan
Jawa
di
Banyubiru
selain
dipengaruhi oleh peran para penyebar ajaran juga cara penyebaran. Cara penyebaran di sini berkaitan dengan bagaimana caranya ajaran Kristen bisa hadir dan berkembang di tengah Desa Banyubiru. Secara garis besar ada dua cara yaitu berdasarkan dogma melalui Alkitab yang ditafsirkan Pendeta dan juga berbagai kegiatan dari daerah sekitar Banyubiru. Pembentukan
dan
perkembangan
Kekristenan
hadir
melalui
pendalaman Alkitab. Setiap hari Kamis jemaat GKJ Banyubiru berkumpul bersama dengan berpindah-pindah tempat untuk mengadakan pendalaman Alkitab. Kegiatan tersebut diharapkan dapat membentuk jati dirinya sebagai orang Kristen dengan mencoba menafsirkan teks-teks Alkitab. Inilah salah satu ungkapan jemaat GKJ yang rutin mengikuti pendalaman Alkitab: “Pendalaman Alkitab semakin bisa menunjukan bagaimana orang Kristen yang benar berdasarkan ajaran Alkitab, dengan cara bertukar pengalaman berdasar atas firman Tuhan, kalau ada kesulitan baru tanya Bapak Pendeta.” 76
Penunjukan kebenaran akan identitas Kekristenannya selain di hadirkan melalui peran Pendeta ataupun misionaris, ternyata juga atas
76
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tafsiran Alkitab yang dilakukan oleh jemaat sendiri. Tafsiran teks Alkitab menjadi kekuatan cara pandang mereka dalam hidup di tengah msayarakat. Tafsiran teks Alkitab menjadi pembenaran yang berfungsi tidak hanya sekedar berfungsi sebagai aturan hidup, namun menjadi cara hidup dan perjuangan hidup, singkat kata hidup demi Tuhan. Permasalahan dalam kehidupan masyarakat sering dibicarakan dalam Pendalaman Alkitab dengan dicari kebenarannya berdasar atas Alkitab. Mereka menjadikan Alkitab sebagai panutan atau kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Seperti apa yang diungkapan oleh Jemaat GKJ berikut: “Ada dua kegiatan yaitu pendalaman Alkitab dan sarasehan, bedanya kalau pendalaman Alkitab sumbernya dari Alkitab tetapi dihubungkan dengan dunia, kalau sarasehan sumbernya dari luar dihubungkan dari Alkitab. Jadi dari pengalaman jemaat terus dicari di Alkitab bersama-sama.”77 Tafsiran teks Alkitab ini akan memiliki pembenaran yang lebih kuat ketika ditafsirkan oleh seorang Pendeta. Dengan demikian ketika diskusi sesama jemaat mengalami kebuntuan, tafsiran Bapak Pendeta yang memiliki kekuatan penuh akan kebenaran. Hal ini karena seorang pendeta diyakini memiliki pemahaman teologis yang lebih dibanding dengan kaum awam. Ajaran Kristen di Banyubiru juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Sinode GKJ di Salatiga. Jarak yang dekat antara Salatiga dengan Banyubiru membuat banyak kegiatan di Banyubiru yang dilakukan oleh jemaat dari Salatiga. Misalnya kaum muda sering mengadakan kunjungan dan juga berbagai macam kegiatan di daerah Banyubiru. Dari kegiatan 77
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Darman (Majelis GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersebut kaum muda merasa memiliki semangat untuk hidup dalam komunitas GKJ “Kegiatan anjangsana selain untuk meningkatkan iman, bagi saya juga menjadi suatu wadah atau tempat bertemunya kaum muda, bisa bertambah teman atau mungkin ketemu pasangan hidup.”78 Kegiatan
kaum
muda
ini
memperlihatkan
bagaimana
mempertahankan identitas Kekristenannya. Jemaat muda merasa nyaman dan bangga menjadi orang Kristen, dan juga memiliki harapan yang besar untuk kelangsungan masa depannya. Seperti harapan memiliki banyak teman dan juga menemukan pasangan hidup. Cara penyebaran ajaran Kristen di sini bukan hanya berkaitan dengan perkembangan atau sejarah penyebaran GKJ, namun lebih pada ajaran akan kekristenan sendiri yang membuat jemaat semakin menghayati keberadaan dirinya sebagai orang Kristen maupun komunitas Kristen. 2. Kekristenan sebagai Cara Pandang Peran misionaris dengan misinya mengantar pada pembentukan identitas Kekristenan. Hal ini karena pengetahuan dan pemahaman yang mereka peroleh. Dengan demikian Kekristenan akhirnya menjadi cara pandang mereka dalam memandang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehiupan para jemaat. Jemaat GKJ di Banyubiru tidak lagi menjadi dirinya secara pribadi, namun sudah dipengaruhi oleh ajaran Kristen yang mereka terima.
78
Berdasarkan wawancara dengan Daniel (Kaum Muda GKJ Banyubiru) tanggal 1 Juni 2013
95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pembentukan cara pandang ini tidak bisa terlepas dari peran Gereja, baik peran misionaris atau kegiatan dalam Gereja tersebut. Pembentukan diri ini menjadi kekuatan bagi komunitas Gereja Kristen Jawa, karena adanya keyakinan dan ajaran yang menyatu menjadi tindakan. Keyakinan dan ajaran yang telah diterima melalui ajaran seorang misionaris ataupun penafsiran Alkitab merupakan sebuah wacana yang tentu mempunyai klaim kebenaran. Keyakinan dan ajaran ini menjadi kekuasaan yang selalu berimplikasi pada pengetahuan. Begitupun sebaliknya, tidak ada pengetahuan yang tidak berkorelasi dengan kekuasaan (Foucault, 1995: 27). Foucault ingin menegaskan bahwa penguasaan kekuasaan menciptakan objek-objek baru pengetahuan dan sistem informasi. Pengetahuan ketika digunakan sebagai suatu kebenaran yang akhirnya membatasi, mengatur, dan bahkan mendisiplinkan, maka secara tidak langsung akan menjadi cara pandang seseorang. Seperti salah satu cara pandang jemaat GKJ demikian: “Nek wis yakin ki yo kudu diugemi (kalau sudah yakin ya dipercaya). Saya yakin kalau ajaran Alkitab menjadi kebenaran bagi jalan hidup saya, karena bagi saya Alkitab tidak hanya sekedar tulisan, melainkan lebih menjadi sabda yang hidup. Makanya ya menjadi panutan dalam hidup saya atau boleh dikata dadi sarana uripku (menjadi sarana hidup).”79
Di sini terlihat bagaimana fungsi ideologis agama berperan sebagai pembenaran hidupnya, baik hidup dalam keluarga maupun bermasyarakat. Mayarakat yang terdiri dari berbagai keyakinan dan pandangan yang
79
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbeda
menjadikan jemaat GKJ memiliki cara pandang hidup yang
berbeda, dalam meyakini peristiwa kematian dalam tradisi Jawa
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV TARIK ULUR IDENTITAS: KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR Keterbatasan cara pandang menganjurkan kita untuk tidak hanya percaya pada hal-hal yang terlihat, tetapi kita biasanya juga hanya melihat apa yang sudah kita percayai.80
Desa Banyubiru sebagai
wilayah perjumpaan antara Kejawaan dan
Kekristenan menyajikan sebuah fenomena tarik ulur akan identitas. Kehidupan masyarakat Desa Banyubiru yang penuh kebersamaan, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam, ini menjadi sebuah gambaran yang kuat berkaitan dengan tradisi Jawa. Berbagai tradisi masih dijalankan, misalnya sedekah bumi, pertunjukan wayang kulit, dan juga ziarah kubur. Ziarah kubur dan sedekah bumi perdikan tetap berkembang di tengah masyarakat Banyubiru, karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial budaya. Hal demikian terlihat dari kesinambungan antar warga satu dengan yang lainnya. Kesinambungan ini secara sosial merupakan forum interaktif antarwarga masyarakat yang pada gilirannya akan membangun solidaritas sosial. Hal demikian meneguhkan pendapat Radcliffe Brown (1979: 157) bahwa ritual dan adat istiadat dapat berlangsung terus menerus karena memiliki fungsi sosial. Ritual merupakan pernyataan simbolik yang teratur. 80
Donald W. Thomas, Semiotics, Communication, Codes & Culture (Lexington Massachusetts: Ginn Custom, 1982), hlm 179
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tradisi ini memiliki fungsi sosial yang tetap, apabila ritual itu memiliki kesan dalam mengatur, mengekalkan, dan menurunkan masyarakat dari generasi ke generasi. Di sisi lain, ajaran Kristen juga menjadi usaha untuk mengatur dan diturunkan kepada jemaat generasi berikutnya. Usaha ini dilanggengkan melalui ajaran sebagai suatu wacana dan juga sistem panoptik. Hal ini mengarah pada usaha purifikasi atau pemurnian, yaitu adanya usaha untuk menjalankan ajaran agama secara murni, terlepas dari berbagai tradisi lokal dan sesuai dengan ajaran Alkitab. Permasalahan bukan hanya terletak pada percampuran atau pertentangan antara budaya Jawa dengan ajaran Kristen, melainkan bagaimana tarik ulur identitas para pengikutnya, karena orang Kristen Jawa selain orang Kristen, juga orang Jawa dengan berbagai karakteristik ajaran yang berbeda seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya. Keterbatasan cara pandang membuat manusia hanya percaya apa yang terlihat dan juga apa yang sudah dipercayai. Cara pandang ini yang membuat manusia
memiliki
kebenaran-kebenaran
yang
berbeda,
kebenaran
akan
pengetahuan yang terbentuk karena kekuatan-kekuatan yang telah tertanam dalam dirinya yang berasal dari luar. Karena itu bab ini akan lebih melihat bagaimana tarik ulur identitas yang terbentuk ketika ada kekuatan-kekuatan akan pengetahuan di luar dirinya, yaitu kekuatan Kekristenan dan Kejawaan. Pada bagian pertama melihat bagaimana bentuk tarik ulur identitas jemaat GKJ Banyubiru ketika usaha pemurnian atau purifikasi Agama berbenturan
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan tradisi Jawa. Dalam hal ini, berkaitan dengan pemaknaan tradisi Jawa slametan (tradisi ziarah kubur) dan wacana kematian. Bagian kedua berbicara tentang usaha melanggengkan identitas dengan menghadirkan sistem panoptik: sistem pengawasan yang mempunyai daya mengatur. Dalam hal ini, ajaran Kristen dengan tafsiran Alkitab yang menghadirkan Tuhan, surga, dan dosa. Namun, disisi lain adanya penghalang dalam diri jemaat GKJ yang diselimuti aturan-aturan tradisi lokal (kosmologi Jawa). I.
Konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi Konsepsi ajaran Kristen mengantar pada perubahan hidup. Muncul kesadaran yang mendorong untuk merubah hidupnya. Dorongan itu di alami sebagai sesuatu dorongan yang bukan berasal dalam dirinya sendiri, melainkan juga berasal dari luar dirinya, yaitu seperti ajaran-ajaran Kristen yang hadir melalui dogma atau teks-teks Alkitab. Perubahan ini mengarah pada usaha purifikasi atau pemurnian, yaitu adanya usaha untuk menjalankan ajaran agama secara murni yang tidak terpengaruh ajaran lain baik itu tradisi lokal ataupun ajaran-ajaran lain. Menurut Bruno Latour purifikasi adalah sebuah usaha yang total untuk membuat pemisahan manusia dari nonhumans seperti alam dan juga bendabenda yang memiliki kaitan dengan subjek transenden (Keane, 2007: 23). Purifikasi ini merupakan usaha untuk menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Tuhan sesuai dengan ajaran-ajaran yang diterimanya. Lonergan (Prasetya (1993: 76) menjelaskan Agama adalah salah satu bentuk cinta yang radikal dan total kepada Tuhan. Kemampuan untuk memilih
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tuhan secara radikal, entah dalam taraf akal budi, moral dan cinta ini digerakkan oleh kebebasannya untuk memilih apa yang paling bernilai, dan oleh kehendak untuk mewujudkan nilai tertinggi tersebut dalam hidupnya. Usaha purifikasi hadir dalam Kristen Calvinis yang datang bersama dengan para penjajah Belanda. Bagi Calvinisime, praktek purifikasi agama berjalan seiring dengan rasionalisme. Beragama yang baik berarti perlu rasional. Dia perlu menjauhkan diri dari tahayul dan juga pemberhalaan atas benda. Sejauh ini, Kekristenan menjadi panduan dan juga ekspresi purifikasi atau pemurnian (Keane, 2007: 77) Bagian ini ingin memperlihatkan bagaimana usaha pemurnian ajaran yang diterima oleh jemaat GKJ Banyubiru baik secara radikal, entah dalam taraf akal budi, moral dan cinta yang berkaitan dengan tradisi-tradisi Jawa, mulai dari slametan, penghormatan pada leluhur (ziarah kubur), dan juga tradisi-tradisi
lainnya.
Selain
itu
juga
pemaknaan
akan
kematian.
Kesemuanya mengarah pada tarik ulur sikap penentuan identitas Jemaat GKJ, antara Kejawaan dan Kekristenan. 1. Pemaknaan akan Tradisi Jawa dalam Persoalan di Sekitar Ziarah Kubur 1.1 Slametan Tradisi ziarah kubur tidak bisa dilepaskan dari peristiwa kematian. Ziarah kubur dilakukan untuk menghormati orang yang telah meninggal. Bagi orang Jawa peristiwa kematian dan juga peristiwa-
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
peristiwa yang menyertai kematian dari waktu ke waktu selama tiga tahun atau seribu hari selalu dikaitkan dengan slametan. Slametan dalam tradisi Jawa tidak bisa begitu saja dilepaskan dari ajaran Islam. Slametan merupakan sebuah contoh yang oleh Beatty merupakan
"ambiguitas
yang
teratur"
di
mana
unsur-unsur
multivokalnya tidak hanya tindakan atau simbol-simbol material, tetapi kata-kata yang hanya akan bermakna apabila diucapkan selama upacara berlangsung. Orang-orang dengan orientasi yang berbeda secara bersama-sama mendatangi suatu ritual dan merajut kesepahaman. Signifikansi ritual ini bergantung pada apa dan bagaimana peserta slametan menggunakan konsep-konsep kunci yang sebagian berasal dari Islam (seperti pembacaan ayat al-Qur'an dan pemujaan atau Shalawat pada Nabi Saw) (Beatty, 2001: 38). Implikasi adanya ajaran Islam dalam tradisi Jawa tampak di Desa Banyubiru. Orang berkumpul dari berbagai agama atau kepercayaan, namun doa yang dilakukan menggunakan ajaran Islam (Tahlil dan pembacaan ayat al-Quran). Doa ini dipimpin oleh modin di Desa Banyubiru, dan diikuti oleh warga yang beragama Islam, sedangkan
yang
beragama
lain
berdoa
dalam
hati
menurut
keyakinannya masing-masing. Manusia Jawa menjadikan Slametan sebagai sesuatu tradisi yang penuh makna. Tradisi ini hadir karena adanya sifat manusia yang memiliki ketergantungan terhadap sesuatu yang gaib, alam dan sesama
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
manusia. Sifat ketergantungan ini membawa konsekuensi logis dalam diri manusia Jawa untuk senantiasa melakukan slametan atau “laku ritual” (Harsapandi, 2005:13). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Geertz (1981:17) berkaitan dengan makna slametan. Menurut Geertz karena orang melakukan slametan, arwah setempat tidak akan mengganggu, membuat orang merasa sakit, sedih atau bingung. Keadaan yang digambarkan slamet (selamat), yang oleh orang Jawa didefinisikan sebagai “gak ana apa-apa” (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan ada sesuatu yang akan menimpa seseorang.” Setiap kejadian yang dialami di dunia selalu dihubungkan dengan rohroh gaib (leluhur). Pemikiran masyarakat Jawa tersebut turut mendasari perilaku masyarakat sehari-hari, sehingga masyarakat Jawa senantiasa berusaha agar roh-roh leluhur selalu berkenan dengan manusia. Oleh karena itu, slametan menjadi ritual menjaga keselarasan dan keharmonisan hubungan dengan roh gaib (leluhur) (Wisnumurti, 2012: 150). Pemaknaan akan tradisi lokal bagi Jemaat GKJ di Banyubiru memiliki perbedaan ketika dipimpin oleh Bapak Pdt Pinoejadi dengan Bpk Pdt Utomo. Pebedaan ini tampak dari kelunakan dan juga pemahaman terhadap berbagai tradisi lokal yang berkaitan dengan slametan, seperti hajatan nyunatke, nyadaran, genduren, dan juga slametan memperingati meninggalnya saudara.
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada saat GKJ dipimpin oleh Bapak pdt Pinoejadi kekakuan sangat dirasakan, tidak ada kelenturan untuk menjalankan tradisi lokal. Bahkan laku prihatin dalam tradisi Jawa seperti berpuasa Senin Kamis dilarang. Larangan ini didasarkan atas teks Alkitab dalam usaha purifikasi. Inilah salah satu ajaran yang diungkapkan oleh Bapak Pdt Pinoejadi : “Bagi keluarga Kristen tidak perlu untuk berpuasa karena sudah diwakili Tuhan Yesus yang berpuasa 40 hari lamanya. Jadi kita cukup bertekun dan memohon pada Tuhan Yesus.”81 Pernyataan ini memperlihatkan adanya kekakuan terhadap tradisi lokal. Teks Alkitab menjadi lebih kuat bagi para Jemaat ketika ditafsirkan oleh pendeta. Tidak mengherankan jika Jemaat pada saat itu tidak pernah melakukan puasa seperti dalam tradisi Jawa. Selain itu juga larangan untuk melakukan hajatan ketika sunatan. Menurut Pdt Pinoejadi yang terpenting bukan hajatan sunatannya tetapi sunatan karena faktor kesehatan. Tidak ada unsur slametan dalam bentuk genduren seperti yang dilakukan oleh warga Banyubiru secara umum. Begitu juga peringatan leluhur mereka, baik 3 hari, 7 hari, 40 hari, dan seterusnya tidak diperkenankan. Hanya dilakukan doa penghiburan, karena semua telah diselamatkan Tuhan bagi yang percaya.82 Dogma semacam ini menghadirkan sebuah tradisi yang berbeda dari tradisi Jawa yang menganggap sesuatu penghormatan dan 81
Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
82
Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mendoakan leluhur menjadi sesuatu yang penting. Bagi orang Jawa dalam ritual slametan ada unsur tolong menolong dan bekerjasama antara yang hidup dan leluhur yang telah meninggal. Seperti hasil penelitian Geertz berkaitan dengan slametan: “Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang terlupakan, semuanya duduk bersama menngelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam satu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama” (Geertz, 1981: 13). Ini memperlihatkan bagaimana leluhur memiliki peran penting dalam masyarakat Jawa. Di sisi lain Bapak Pendeta Pinoejadi memiliki ajaran yang berbeda dalam menyikapi wacana ini. Tidak ada unsur pentingnya leluhur. Tuhan menjadi jalan utama bagi diri mereka. Ini sesuai dengan pusat dari teologi Calvin, yang memusatkan semua kehidupan pada Allah bukan manusia (Lukito, 2009:26) Perbedaan dirasakan oleh Jemaat GKJ Banyubiru di bawah Pdt Setyo Utomo. Ada kelenturan akan tradisi lokal, yaitu dengan meletakan tradisi lokal sebagai sebuah kehidupan sosial masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ratno berikut : “Pak Setyo Utomo lebih modern, lebih lunak dibanding dengan pak Pinoejadi yang ditaktor meskipun sama-sama sarjana teologi. Kalau Pak Setyo Utomo memperbolehkan
105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan bahkan mau dipanggil untuk berdoa ketika ada hajatan 40 hari, 100 hari atau hajatan-hajatan lainnya.”83 Meskipun dalam tingkat pemaknaan tidak sama dengan penganut tradisi Jawa. Perbedaan ini tampak dari penghayatan slametan dalam ritual Jawa. Ini sesuai dengan pandangan Beatty, setiap orang akan memaknai
slametan secara berbeda. Slametan mencerminkan suatu
fungsi kritis dari simbolisme dalam tatanan yang secara ideologis beranekaragam, dan mendorong kesadaran kolektif menuju satu kesatu an, sehingga symbol multivokal dengan sendirinya menjadi sarana bagi sinkretisme (Beatty, 2001: 38). Inilah pemaknaan Bapak Setyo sebagai seorang pendeta memperbolehkan jemaatnya mengikuti slametan: “Jadi segala sesuatu menurut saya baik, entah bentuk ritual apapun dalam ritual Jawa. Saya katakan baik karena sematamata menghormati, karena kosmologi ini dibangun dalam proses yang lama. Di satu sisi saya mempunyai kepentingan agamawi, kosmologi Jawa sedikit demi sedikit diganti dengan ajaran Kristen.”84 Di balik kelenturan dalam menjalankan tradisi lokal ternyata ada makna atau tujuan yang berbeda. Muncul unsur menggantikan pemahaman akan tradisi Jawa menjadi ajaran Kristen. Konsep agency tetap berbeda dari pandangan Jawa: kekuatan roh dan kosomologi Jawa tetap tidak diakui. Meskipun demikian mengapa harus sesuai dengan ritual Jawa, mengapa harus ada peringatan orang meninggal. Inilah ungkapan dari Bapak Setyo berkaitan dengan peringatan kematian: 83
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013 84
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Pdt Setyo Utomo tanggal 9 September 2013
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Mengapa harus sesuai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, ya karena manusia Jawa. Menjaga rasa was sumelangnya (kekawatiran) tetap harus kita hargai. Di satu sisi kita yang penting tidak menggunakan kosmologi Jawa lagi, tetapi perasaan-perasaan seperti itu harus kita jaga. Seolah-olah memang terkesan mengikuti kosmologi Jawa, sebenarnya tidak.” 85 Strategi menempatkan identitas antara Jawa dan Kristen tampak dalam perilaku peringatan kematian ini. Tetap menjalankan ritual slametan sesuai dengan ritual Jawa, namun dimaknai secara berbeda. Bagi jemaat GKJ tidak ada unsur arwah leluhur, yang didoakan justru yang masih hidup atau yang ditinggalkan. Seperti apa yang diungkapan salah satu jemaat GKJ Banyubiru berikut: “Ada kegiatan mengenang dan mengucap syukur, yang juga diikutkan dalam tradisi Jawa, misal 40 hari, 100 hari, dan bahkan 1000 hari. Intinya di sana hanya ngumpul dari jemaat, diungkapkan ucapan syukur karena masih diperbolehkan untuk mengenang segala kebaikannya. Kita tidak mendoakan arwah yang meninggal tapi berdoa untuk yang ditinggalkan supaya diberi kekuatan dan penghiburan.”86 Inilah bentuk negosiasi identitasnya, jemaat GKJ masih menyadari bahwa mereka adalah orang Jawa namun disisi lain dia juga orang Kristen. Sehingga dalam tradisi slametan, mereka tetap melakukan namun merubah maknanya. Orang dari luar akan tetap melihat bahwa mereka menjalankan ritual dalam tradisi Jawa seperti kelompok masyarakat Jawa yang lain.
85
idem
86
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22 Maret 2013
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jemaat GKJ saat mengadakan slametan (genduren) secara umum memiliki kesamaan seperti warga masyarakat lainnya. Mereka berkumpul bersama, mengundang tetangga satu rukun tetangga (RT), atau mungkin satu rukun warga (RW). Keluarga yang mempunyai hajat menyiapkan sejumlah makanan untuk dibagikan, biasanya dimasukan ke dalam keranjang yang dibungkus dengan plastik. Satu kepala keluarga akan mendapatkan satu bagian. Perbedaan terletak dari ujub doa dan pemimpin doa. Jika yang mempunyai hajat warga beragama Islam maka dipimpin oleh seorang modin, Katolik dipimpin oleh prodiakon, Kristen oleh pendeta. Ujub doa yang diungkapkanpun berbeda, orang Islam dan Katolik selalu memohon ampun atas dosa dan juga mohon ketenangan arwah bagi yang telah meninggal. Warga yang beragama Kristen justru tidak pernah mendoakan orang yang telah meninggal tersebut, namun dalam doanya mohon keselamatan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Setelah slametan atau genduren biasanya keluarga yang memiliki hajat akan melanjutkan dengan kelompok seagamanya. Sebagai contoh untuk upacara mengenang kematian, warga muslim akan
mengadakan
pengajian,
Katolik
dengan
sembahyangan,
sedangkan Kristen doa penghiburan atau biston. Mereka memiliki ujub masing-masing, yang intinya berdoa bersama dalam satu imannya.
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Wujud slametan lain yang diadakan di Banyubiru adalah Merti Desa. Slametan tersebut diadakan satu tahun sekali dengan nama Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru. Jemaat Kristen juga menerima tradisi tersebut. Ini terlihat dari keterlibatan beberapa Jemaat GKJ, mulai dari kegiatan ziarah Kubur bersama, slametan, bahkan menghadiri saat pertunjukan wayang kulit. Keterlibatan ini karena adanya keinginan Jemaat untuk terlibat dalam lingkungan sosial masyarakat. Namun, disisi lain mereka meyakini bahwa keselamtan datang dari Tuhan bukan melalui leluhur mereka, jadi yang mereka lakukan hanya datang dalam ritual tersebut sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai warga masyarakat. 87 1.2 Penghormatan Leluhur dalam Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Jawa mencoba menghormati dan mendoakan leluhur mereka dengan berbagai cara, salah satunya melalui tradisi ziarah kubur. Berbagai sesaji dihadirkan saat ziarah kubur, mulai dari bunga, air, dan juga kemenyan. Tradisi semacam ini boleh dikatakan sebagai wujud pengorbanan anak-cucu kepada para leluhur yang telah sumare (meninggal) (Endraswara, 2006). Bahkan lebih dari sekedar sebuah
penghormatan
dan
pengorbanan
bagi
leluhur
mereka,
masyarakat Jawa meyakini bahwa para leluhur yang telah meninggal pantas dimintai berkah agar membantu anak cucu yang masih hidup di dunia (Darusuprapta 1998:48). 87
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Darman (Majelis GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Konsep
ini
berbeda
dari
pemahaman
Krsiten
tentang
penghormatan pada leluhur. Meskipun pada dasarnya Jemaat GKJ juga melakukan penghormatan kepada leluhur mereka namun hanya sebatas mengenang segala kebaikan mereka, tanpa ada unsur mendoakan leluhur mereka. Seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu jemaat GKJ berikut: “Ke kuburan bagi orang Kristen, khususnya Kristen Jawa itu tidak tabu. Bukan juga karena rikuh (sungkan) dengan tetangga, tetapi biasanya memiliki motivasi tersendiri, yaitu ingin mengenang kebaikan orang yang dimakamkan, tetapi tidak mendoakan yang dimakamkan disitu. Kita hanya nguringuri (melestarikan) budaya saja, tetapi kita mendoakan hanya keluarga yang ditinggalkan, karena kalau arwah sudah di tangan Tuhan.”88 Jemaat GKJ nguri-nguri (melestarikan) budaya Jawa, ini memperlihatkan adanya usaha untuk menunjukkan diri mereka sebagai manusia Jawa. Negosiasi identitas Jawa dan Krsiten terlihat dari ritual ziarah kubur. Meskipun mereka memakanai kegiatan ini secara berbeda dari tradisi Jawa, namun tetap melakukan ziarah kubur. Inilah makna ritual ziarah kubur bagi jemaat GKJ di Banyubiru: “Dilaksanakan tidak apa-apa tapi hanya untuk mengingat saja, mengingat kembali peristiwa dalam keluarga itu, doanya ya tetap kepada yang di atas. yang terpenting tertuju pada Tuhan, jangan sampai terpusat justru pada upacara adatnya”89
88
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22 Maret 2013 89
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penghormatan ini memperlihatkan konsep yang berbeda dengan pemaknaan masyarakat Jawa. Bagi orang Jawa mendoakan leluhur memiliki esensi yang penting, bahkan memohonkan ampun atas kesalahan orang yang telah meninggal tersebut dan juga memohon pangestu untuk anak-cucu yang masih hidup. Penghormatan juga diwujudkan melalui simbol-simbol tertentu, misal tabur bunga. Jemaat GKJ menjadikan bunga yang ditabur saat nyekar sebagai wujud kasih mereka, terlepas dari ungkapan-ungkapan lain seperti doa atau bahkan pangestu. Seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu jemaat GKJ berikut: “Tabur bunga menurut saya wujud katresnane (cinta) pada orang yang dimakamkan, kita memberikan sesuatu pada yang meninggal disimbolkan melalui bunga, ya intinya mewujudkan rasa kasih.”90 Bunga menjadi pralambang wujud cintanya kepada orang yang dimakamkan di situ. Tidak ada unsur permohonan atau mendoakan orang yang dimakamkan. Saat menabur bunga tidak ada harapan yang didambakan atau orang Jawa sering mengatakan mohon pangestu. Ritual menabur Bunga ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tradisi Jawa. Jemaat GKJ menabur bunga juga ingin menunjukan bahwa mereka juga manusia Jawa. Meskipun esensinya berbeda dari tradisi Jawa. Seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu jemaat GKJ berikut:
90
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“(Jemaat GKJ) kalau ke makam tetap membawa dan menabur bunga, secara pribadi saya memberikan penghormatan pada orang yang meninggal. Tetapi tidak memohon pada yang meninggal misalnya pangestu semacam itu”91 Ungkapan ini memperlihatkan bagaimana jemaat GKJ di satu sisi masih melakukan ziarah kubur namun memiliki esensi yang berbeda. Tradisi menabur bunga hanya sebagai wujud penghormatan tanpa ada makna yang tertuju pada roh leluhur, seperti pangestu dan mendoakan leluhur mereka. Sikap ini dilakukan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan yang mereka dapatkan. Pengetahuan yang diperoleh dari berbagai kekuasaan di sekeliling mereka. Kekuasaan di sini tidak datang dari perorangan atau kelompok pemimpin. Menurut Foucault “Kekuasaan bukan sesuatu dominasi baik perorangan atau kelompok, seperti penguasa ataupun raja. Kekuasaan ada di mana-mana dan juga datang dari manapun” (Foucault, 1998: 63). Kekuasaan lebih bersifat produktif, baik berupa pengetahuan atau praktik-praktik yang mereka yakini sebagai kebenaran. Jemaat GKJ Banyubiru sebagai orang Kristen dan juga orang Jawa, dalam menyikapi soal ziarah kubur dan juga tradisi Jawa lainnya memunculkan berbagai macam strategi. Pengetahuan yang mereka peroleh mengantar pada pilihan identitas antara Jawa dan Kristen. Ziarah Kubur dan juga tradisi slametan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman akan peristiwa kematian atau setelah kematian. maka pada 91
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22 Maret 2013
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bagian selanjutnya akan lebih menjelaskan bagaimana knsepsi ajaran akan kematian yang dihadirkan di jemaat GKJ Banyubiru. Dari ajaran tersebut dapat dilihat bagaimana implikasinya dalam kehidupan nyata di masyarakat (tradisi Jawa). 3. Wacana akan Kematian Setiap manusia mengalami peristiwa kematian. Tidak ada yang tahu kapan kematian itu datang dan apa yang terjadi setelah kematian. Singkat kata kematian berada diluar pengalaman manusia. Hampir semua kebudayaan menyikapi kematian dengan ritual, walaupun wujud ritual tersebut berbeda-beda. Dalam berbagai tradisi, kematian juga tidak dianggap sebagai bentuk akhir atau titik lenyap dari kehidupan. Peristiwa kematian ditangkap dengan sudut pandang dan pengertian yang berbedabeda oleh setiap orang, baik dengan ketakutan, kecemasan, pasrah, maupun keikhlasan. Agama-agama semitic yakni Yahudi, Kristen, Katolik, dan Islam, selalu menekankan ajaran bahwa setelah kematian ada kehidupan lagi (Wisnumurti, 2012: 64). Ajaran yang memberi gambaran setelah kematian ini bukanlah sebuah kenyataan karena berada di luar pengalaman manusia, maka segala dogma yang ada merupakan sebuah wacana. Setiap wacana bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya (Foucault, 1981; Hawkes, 1996).
113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Wacana tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan, di sini bagaimana kekuatan agama sebagai kekuasaan menciptakan pengetahuan tentang kematian. Semua agama memiliki gambaran setelah kematian, salah satunya ajaran Kristen. Ajaran Kristen meletakkan teks Alkitab sebagai dasar gambaran setelah kematian. “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersamasama dengan aku di dalam Firdaus” (Lukas 23:39-43). Teks lain ada yang tertulis “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari surga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit. Sesudah itu kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan.” (I Tes 4:16-17). Dua ayat ini menjadi contoh bagi jemaat GKJ untuk memahami bahwa orang yang meninggal dalam Kristus memperoleh kehidupan kekal bersama Tuhan. Dengan demikian dalam tradisi Ziarah Kubur Jemaat GKJ memiliki keyakinan untuk tidak mendoakan orang yang sudah meninggal. Salah satu jemaat GKJ memiliki gambaran akan kematian demikian: “Bagi keyakinan Kristen orang yang sudah meninggal sudah berada digenggaman Tuhan, jadi yang kita doakan bukan orang yang meninggal tetapi keluarga yang meninggal.”92 92
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dogma ini tentu tidak muncul begitu saja, tetapi ada proses dan juga sarana. Pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Dalam hal ini adalah peran pendeta sebagai pembawa firman menjadi sangat penting, karena ajaran-ajaran ini diperoleh dari peran pendeta yang didasarkan dari teks Alkitab. “Ada beberapa ayat rujukan tentang kematian. Misalnya peristiwa penyaliban “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus (Lukas 23:3943)”, dan masih banyak rujukan yang lain. Pada intinya menuju pada keselamatan.”93 Wacana yang hadir melalui ajaran ini menjadi kekuatan bagi agama untuk membentuk identitas. Ini terlihat dari strategi jemaat GKJ dalam menyikapi persoalan tentang kematian. Dari keyakinan itulah maka muncul praktik-praktik yang mungkin berbeda secara komunal. Keyakinan ini berbeda dari masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa meyakini bahwa arwah orang meninggal masih perlu didoakan, baik saat berziarah kubur maupun Slametan mulai dari 3 hari bahkan sampai 1000 hari, yang tujuannya untuk mengirim doa atau mohon pangestu bagi anak cucu yang masih hidup. Maka ketika berziarah kubur, orang Jawa tidak hanya membersihkan makam dan juga melakukan penghormatan, namun juga mengirim doa yang di hayati melalui genduren atau slametan.
93
idem
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Orang Jawa meyakini, upacara slametan memiliki makna yang terkait dengan kepergian roh orang yang meninggal dunia. Orang Jawa memaknai upacara slametan tersebut berkaitan dengan upaya penyempurnaan roh dan jasad manusia. Ngesur tanah bermakna bahwa jenasah yang dikebumikan telah berpindah dari alam fana ke alam baka. Manusia berasal dari tanah, selanjutnya kembali ke tanah. Kemudian diadakan slametan nelung dina (tiga hari) yang bertujuan untuk memberi penghormatan kepada roh orang yang meninggal dunia. Masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa roh tersebut masih berada di dalam rumah, namun sudah mulai berkeliaran mencari jalan untuk meninggalkan rumah. Pada hari ketujuh, diadakan upacara slametan mitung dina (tujuh hari) untuk menghormati roh yang mulai keluar rumah. Setelah itu, pada hari keempat puluh kematian, diadakan upacara slametan matang puluh dina yang bertujuan untuk memberi penghormatan kepada roh yang sudah keluar dari pekarangan rumah. Kemudian, upacara slametan nyatus dina dilaksanakan untuk menghormati yang sudah berada di alam kubur. Pada hari keseribu, juga diadakan slametan nyewu. Di samping itu, biasanya setiap tahun diadakan slametan (Wisnumurti, 2012: 144). Orang Kristen memiliki keyakinan yang berbeda, menurut mereka orang yang meninggal sudah terselamatkan, sehingga tidak perlu mengirim doa bagi arwah saudara atau orang yang sudah meninggal. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pendeta GKJ berikut:
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Orang yang sudah meninggal dimuliakan, otomatis sudah dibangkitkan, jadi disitulah akhir kebebasan manusia. Sehingga ketika dimaknai sebagai akhir kebebasan manusia, maka orang Kristen meyakini bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan untuk mendoakan atau menyucikan, memuliakan, karena sudah terselematkan.”94 Pada dasarnya ajaran Kristen hanya menggunakan wadahnya untuk melakukan ziarah kubur namun memiliki tujuan dan pemaknaan yang berbeda. Dari sini terlihat sebagai sebuah tradisi yang berbeda dari tradisi Jawa. Tarik ulur akan idetitas tidak bisa dilepaskan dari segala ajaran yang selalu menjadi pengontrol. Jemaat GKJ meletakkan ajara Kristen sebagai cara pandang dalam hidup ditengah masyarakat. Namun, disisi lain secara komunal dalam masyarakat Jawa sudah memiliki tradisi secara turun menurun. Maka pada bagian selanjutnya akan menjelaskan, bagaimana mekanisme tarik ulur identitas. Kekristenan dengan Alkitab yang menghadirkan “Tuhan” sebagai panotiknya, di satu sisi jemaat GKJ juga hidup ditengah masyarakat Jawa yang lekat dengan kosmologi Jawa. Kekuatan panotik ini memberikan kepatuhan yang akan membawa Jemaat GKJ pada dua kebenaran yang berbeda II. Kekristenan dan Kejawaan: Usaha Memberikan Kepatuhan Salah
satu
usaha
memberikan
kepatuhan
adalah
dengan
menggunakan mekanisme panoptik. Panopticon adalah sistem penjara yang dikembangkan oleh Bentham, berbentuk lingkaran, dimana ditengah 94
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Setyo Utomo (Pendeta GKJ Ambrawa) tanggal 6 Juni 2013
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berdiri menara pengawas. Dari menara tersebut di desain supaya pengawas dapat melihat tahanan dengan jelas, namun tahanan tidak bisa melihat pengawas. Sehingga sistem panoptik ini menstimulasi tahanan secara sadar dan permanen untuk selalu terawasi (Foucault, 1995 :200-201). Panopticon ini menjadi mekanisme pengawasan yang sangat efektif, secara otomatis ada kekuatan untuk mengontrol tubuh, perilaku, dan berbagai kegiatan. Setiap orang dapat menggunakan mekanisme ini dalam kehidupan seperti dalam perusahaan, keluarga, masyarakat, dan juga sekolah. Pada dasarnya panoptikon memiliki kekuatan dalam usaha memberikan kepatuhan dan penyeragaman (Faucault, 1995: 202). Jemaat GKJ dalam melakukan negosiasi identitas Kejawaan dan Kekristenan yang telah terlihat pada bagian sebelumnya sangat dipengaruhi oleh berbagai usaha penyeragaman atau kepatuhan, dan juga pendisiplinan seperti dalam mekanisme panoptik. Ajaran Alkitab yang menghadirkan “Tuhan” dan berbagai ajaran dogmatis menjadi pengawasan mereka dalam hidup sehari-hari. Dalam hal ini keterkaitannya memandang kematian dan berbagai ritual kematian dalam tradisi di sekitar ziarah kubur. Hal ini sesuai dengan pandangan Foucault bahwa “Panopticon adalah sebuah mekanisme luar biasa yang digunakan untuk meletakkan atau menghasilkan kekuasaan yang homogen” (Foucalut, 1995:202). Jemaat GKJ dalam menegosiasikan identitasnya, tidak hanya Alkitab sebagai ajaran Kristen yang menjadi panoptik dalam dirinya, namun juga aturan komunal dalam masyarakat juga menjadi panoptik bagi
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dirinya. Ada usaha untuk memberi kepatuhan secara komunal. Ada berbagai pemahaman kosmologi Jawa dan juga aturan dengan berbagai hukuman yang tidak tertulis di tengah masyarakat Banyubiru. Dalam hal ini analisis Foucault tentang panopticon bersifat terbatas ketika diterapkan dalam kasus Banyubiru, karena ada dua panoptik yang muncul untuk di negosiasikan. Namun analisa Panoptik Foucault tetap digunakan untuk membidik mekanisme negosiasi yang khas dari jemaat GKJ Banyubiru. 1. “Alkitab” Sebagai Panoptik Dalam ajaran Kristen, jemaat didorong untuk bersikap baik dan mengikuti ajaran Alkitab supaya terhindar dari “hukuman” Tuhan. Mereka juga menjamin perdamaian atau kehidupan abadi di surga setelah kematian. Gagasan ini sesuai dengan mekanisme panoptikon yang dibahas oleh Foucault. Orang-orang dalam penjara dengan sistem panopticon takut akan hukuman yang setiap saat diberikan karena para tahanan tidak bisa melihat ketika penjaga sedang mengawasi. Hal ini karena, menara tersebut di desain supaya pengawas dapat melihat tahanan dengan jelas, namun tahanan tidak bisa melihat pengawas (Foucault, 1995: 201). Sistem panoptik ini menstimulasi tahanan secara sadar dan permanen untuk selalu merasa terawasi. Tuhan yang dihadirkan melalui Alkitab sama dengan penjaga, memiliki kekuatan yang selalu mengawasi para tahanan. Para tahanan dengan demikian akan menjadi pengikut agama yang selalu merasa terawasi.
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ajaran Kristen meletakkan Alkitab dengan menghadirkan “Tuhan” sebagai usaha atau teknik mengatur individu. Ajaran Alkitab memberikan aturan-aturan yang melekat pada individu atau terinternalisasi oleh individu. Teks Alkitab bahkan semakin memiliki kekuatan ketika ditafsirkan oleh pendeta. Ajaran yang didapat oleh Jemaat GKJ melalui Alkitab ataupun tafsiran pendeta melekat dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya dalam menyikapi dimensi kematian, dalam hal ini soal tradisi ziarah kubur. Menurut Foucault “Panoptikon berfungsi sebagai semacam laboratorium kekuasaan. Berkat mekanisme pengamatannya, panoptikon memiliki efisiensi dan kemampuan untuk masuk ke dalam perilaku manusia;
ilmu
pengetahuan
bergerak
sejalan
dengan
kekuasaan,
menemukan objek-objek pengetahuan baru di permukaan tempat kekuasaan dipergunakan” (Foucault, 1995: 204). Tuhan dihadirkan sebagai panoptik dalam menciptakan penyeragaman baik perilaku, ritus, dan juga keyakinan. Jemaat Kristen menyadari bahwa Tuhan selalu hadir di tengah kehidupan mereka, karena kuasa Tuhan yang maha kuasa. Ajaran bahwa Tuhan adalah satu-satunya tujuan hidup baik dunia maupun setelah kematian, memunculkan pengetahuan dan keyakinan bahwa setelah kematian seseorang sudah ada bersama Tuhan. Keyakinan inilah yang memunculkan pengetahuan baru akan larangan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dan bahkan mohon pangestu, seperti dalam tradisi Jawa. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu jemaat GKJ demikian :
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Ajaran semacam ini didapat dari penafsiran Alkitab, intinya berbahagialah orang yang ikut Tuhan sampai akhir. Jadi akhir di sini barang tentu sampai mati sudah ikut Tuhan, yang punya kuasa itu kan Tuhan, kita orang ya semestinya harus percaya dan itu pasti.”95 Agama dalam perannya membentuk dan mempertahankan identitas menghadirkan Tuhan. Hadirnya Tuhan yang memiliki segala “kuasa” menjadikan Jemaat merasa didampingi dalam hidupnya. Dalam diri manusia muncul kegembiraan ketika menjalankan ajaran dalam hal ini “surga”. Inilah yang menjadikan agama sebagai sebuah identitas memiliki praktik dan juga keyakinan. Agama sendiri tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui berbagai teknik, salah satunya dengan penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus (Haryatmoko, 2010: 101). Sehingga kehidupan komunal disini memiliki karakteristiknya tersendiri. Maka dari itu, fungsi agama sebagai pengatur hidup manusia dengan menghadirkan Tuhan sebagai panoptik bagi penganutnya mempunyai tingkat efektifitas yang tinggi. Masyarakat bertekun dalam identitasnya sebagai kaum beragama. Ini semakin memperlihatkan bagaimana agama menjadi kekuatan dalam membentuk identitas seseorang.
95
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Aturan komunal masyarakat Jawa Kalau agama Kristen meletakan Alkitab sebagai teks sucinya dalam aturan hidup sehari-hari, orang Jawa mengambil dunia sehari-hari sebagai teks kunci dan tubuh manusia sebagai kitab sucinya (Beatty, 2001: 219). Ini memberikan gambaran bahwa aturan hidup manusia Jawa lebih didasarkan atas kehidupan sehari-hari (ajaran dari para leluhur) dibanding dengan teks tertulis. Di Desa Banyubiru, mayoritas penduduknya beragama Islam namun masih meyakini tradisi Jawa. Di antara penduduk Muslim ini hanya sedikit orang yang pandai melafalkan Al-Quran ataupun ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian boleh dikatakan Islam di Banyubiru adalah Islam Jawa. Menurut Woodward keunikan Islam Jawa bukan karena ia mempertahankan aspek-aspek kebudayaan agama pra-Islam, tetapi karena konsep-konsep sufi menganai kewalian, jalan mistik, dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam suatu formasi kultus kraton (imperial cult). Islam Jawa itu merupakan suatu model konsepsi Jawa tradisional mengenai aturan sosial, ritual, dan bahkan aspek-aspek kehidupan sosial seperti bentuk-bentuk kepribadian, hati dan penyakit (Woodward , 2006: 364). Seperti misalnya sifat manusia berdasarkan hari weton, ataupun adanya berbagai ritual untuk menyembuhkan penyakit yang kadang diyakini sebagai sengkala.
122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pemaknaan masyarakat Banyubiru terhadap tradisi ziarah kubur, sedekah bumi, dan juga penghormatan pepunden seperti pada penjelasan bab sebelumnya, memperlihatkan bahwa Banyubiru masih menjadikan ritual dan tradisi Jawa sebagai hal yang penting. Seperti misalnya dalam tradisi ziarah kubur, masyarakat di Desa Banyubiru meletakan tradisi ini menjadi sesuatu yang sangat penting, ada berbagai ritual untuk mendoakan dan menghormati leluhur mereka. Ini sesuai dengan gambaran bahwa orang Jawa menjadikan tradisi ziarah kubur menegaskan bahwa kematian tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang yang menjalankan ziarah kubur menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya. (Subagyo, 2004: 146). Pengetahuan yang didapat secara turun temurun ini menjadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ini menjadi sistem panoptik karena masyarakat Jawa merasa terkontrol oleh pengetahuan ini. Menurut Foucault “Panoptik bisa berfungsi sebagai usaha menciptakan penyeragaman dalam hubungan dengan orang di tengah kehidupan seharihari” (Foucault, 1995: 205). Pengetahuan di sekitar ziarah kubur mengontrol perilaku masyarakat dalam kesehariannya, mereka memiliki rasa bersalah ketika tidak melakukan ziarah kubur. Rasa bersalah ini muncul karena tidak mengirim doa dan mohon pangestu pada roh leluhur. Tidak terkecuali Jemaat GKJ, sebagai manusia Jawa juga merasa terawasi
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan pemahaman ini. Mereka masih melakukan slametan sesuai dengan hitungan atau petungan Jawa. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pdt Setyo Utomo “Mengapa harus sesuai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, ya karena manusia Jawa. Menjaga rasa was sumelangnya (kekawatiran) tetap harus kita hargai.”96 Ungkapan ini memperlihatkan, ternyata jemaatnya (GKJ Banyubiru) masih ada rasa was sumelang (ketakutan) ketika tidak sesuai atau melanggar tradisi Jawa. Secara tidak langsung memperlihatkan bahwa pemahaman akan tradisi Jawa berkaitan dengan tradisi ziarah kubur atau penghormatan leluhur sudah tertanam dalam diri jemaat GKJ. Slametan kematian ataupun ziarah kubur dalam tradisi Jawa, selain petungan hari, juga harus ada uburampe. Hal ini berkaitan dengan pralambang atau simbol yang digunakan oleh masyarakat Jawa. Misalnya uburampe yang harus ada saat genduren memperingati arwah adalah pisang dan juga kue apem. Orang Jawa meyakini pisang menjadi pralambang tongkat, sedangkan apem adalah payung. Tongkat payung ini akan digunakan leluhur yang telah meninggal sebagai sarana perjalanan mereka setelah kematian. Jemaat GKJ dalam ritual genduren ternyata juga menggunakan sarana tersebut, namun dengan pemaknaan yang berbeda. Seperti apa yang diungkapkan salah satu jemaat GKJ berikut:
96
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Pdt Setyo Utomo tanggal 9 September 2013
124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Uburampe dalam slametan saya maknai hanya sebagai simbol saja, dengan simbol orang bisa lebih mendekat. Kita sebagai orang Kristen bisa juga menerima budaya atau tradisi di daerah itu. Hanya menerima dengan makna yang berbeda karena bagaimanapun orang Kristen hidup di tengah masyarakat. Dengan kata lain jaga rasa dengan warga lain.97 Jemaat GKJ menggunakan uburampe dalam tradisi jawa karena ingin menjaga perasaan dengan warga lain. Mereka masih memiliki ketakutan untuk begitu saja meninggalkan tradisi Jawa. Ada ketakutan yang muncul di tengah masyarakat, sehingga ada usaha untuk tetap menjalankan tradisi Jawa sebagai usaha jaga rasa, namun dilakukan dengan pemaknaan yang berbeda dari keyakinan dalam tradisi Jawa. Dua kekuatan pengetahuan antara “kebenaran” akan Alkitab dan juga aturan komunal masyarakat Jawa ini menjadi pertarungan untuk menegosiasikan identitas Jemaat GKJ. Pada akhirnya Jemaat GKJ harus mengambil sikap tetap menjadi orang Jawa namun tetap meyakini ajaran Kristen. Tetap menjadi orang Jawa, meskipun tidak semua pemahaman dan keyakinan Jawa tradisional menjadi cara pandang mereka. Dalam persoalan ziarah kubur dan juga slametan tetap dilakukan dengan esensi dan pemaknaan yang berbeda.
97
Berdasarkan wawancara dengan bapak siswantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 12 September 2013
125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP
I.
Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini dibagi dalam tiga bagian yang saling berkaitan. Bagian pertama menyimpulkan pemahaman masyarakat Banyubiru berkaitan dengan tradisi Jawa (ziarah kubur). Bagaimana identitas kejawaan terbentuk di tengah masyarakat? Bagian kedua lebih melihat ajaran Kristen sebagai usaha purifikasi yang hadir di tengah masyarakat Banyubiru yang bertabrakan dengan tradisi Jawa dan ikut membentuk identitas seseorang. Bagian ketiga melihat negosiasi identitas jemaat GKJ dalam menyikapi tradisi di sekitar ziarah kubur. Berikut uraian kesimpulan penelitian ini: Pertama, Desa Banyubiru memiliki identitas Kejawaan yang begitu kuat. Ini terlihat dari berbagai tradisi dan pemaknaan akan sejarah Banyubiru sendiri. Meskipun kebenaran akan sejarah Banyubiru sebagai bumi perdikan masih menjadi perdebatan, namun masyarakat Banyubiru menjadikan wacana tentang bumi perdikan menjadi suatu kekuatan atau gambaran dirinya sebagai manusia Jawa. Berbagai ritual ditunjukan mulai dari sedekah bumi, slametan, pertunjukan wayang kulit, dan juga tradisi ziarah kubur, ini semua sebagai ungkapan penghormatan dan juga permohonan kepada leluhur mereka. Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru menjadi suatu usaha untuk mencari realitas dan menjalin hubungan dengan leluhurnya. Usaha mencari kebenaran leluhur ini menjadi wacana yang hadir di tengah masyarakat Banyubiru. Wacana tentang sejarah dan juga keberadaan para tokoh yang
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjadi pepunden seperti Sora Dipoyono, Kyai Joyoproyo, dan juga Kebo Kenanga. Para tokoh ini semakin memperkuat identitas Kejawaan masyarakat Banyubiru karena semasa hidupnya menjadi pahlawan bagi kerajaan-kerajaan di Jawa, bahkan sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Banyubiru masih memiliki kekuatan untuk membantu atau menjaga keadaan Desa Banyubiru seperti semasa hidupnya. Keyakinan ini mengantar pada ritual slametan dan ziarah kubur yang senantiasa hadir sebagai wujud penghormatan baik dilakukan secara individu maupun komunal. Penghayatan masyarakat Desa Banyubiru berkaitan dengan kejawaan juga dipengaruhi oleh kondisi geografis. Desa Banyubiru sendiri merupakan daerah pedesaan yang terdiri dari daerah persawahan, pegunungan, rawa, dan juga dataran biasa. Kondisi alam ini membuat sebagian besar masyarakat Banyubiru menggantungkan hidupnya pada alam. Kesinambungan hidup yang bergantung dari alam menuntut masyarakat untuk selalu mensyukuri dan memohon kesuburan akan hasil bumi. Penyatuan diri dengan alam ini dibarengi dengan sikap menghormati leluhur, agar mudah ditolong dalam berbagai kesulitan hidup. Perbedaan agama di tengah masyarakat tidak menjadi permasalahan. Mereka ternyata bisa bersatu dalam tradisi slametan, meskipun dalam tradisi ini doa yang dilafalkan dalam ajaran Islam namun tidak menghalangi keterlibatan pemeluk agama lain. Ini sesuai dengan penelitian Beatty yang melihat realitas slametan
sebagai sebuah hubungan antara sinkretisme
sebagai proses sosial, multivokal ritual, dan hubungan antara Islam dengan
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tradisi lokal (Beatty, 2001:43). Tradisi Islam tidak bisa dilepaskan dari tradisi slametan. Unsur Islam tetap hadir dalam tradisi lokal, kemenyan, tumpeng, ingkung, dan bunga hadir sebagai simbol lokalitas namun doa yang dilafalkan dalam ajaran Islam. Masyarakat di Desa Banyubiru sebagai manusia Jawa tidak hanya meletakkan slametan sebagai satu-satunya wujud penghormatan, doa, dan harapan dari leluhur mereka, akan tetapi juga dalam tradisi ziarah kubur. Adanya praktik ritual atau ziarah kubur yang khas dalam budaya Jawa merupakan struktur mendasar yang menyusun sistem spiritualitas masyarakat Jawa. Meskipun terminologi ziarah kubur sendiri berasal dari bahasa Arab, ziarah berasal dari kata ziyara yang berarti mendatangi atau mengunjungi, sedangkan kubur berasal dari kata qubr. Jadi ziarah kubur artinya mendatangi atau
mengunjungi
pekuburuan.98
Praktik
tersebut
seolah-olah
telah
dirumuskan dalam “busana” Hindu, Buddha, atau Islam, tetapi sesungguhnya tetap berstruktur nalar kosmologi dan spiritualitas Jawa. Masyarakat Jawa memandang kematian bukan akhir dari segalagalanya. Peristiwa kematian menjadi suatu peristiwa berpindahnya alam wadag menjadi alam kelanggengan atau perjalanan kembali ke asal mula keradaan (sangkan paraning dumadi). Oleh karena itu dalam masyarakat Jawa setelah kematian diadakan genduren saat tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, dan juga seribu hari sebagai usaha mendoakan perjalanan roh leluhur mereka. 98
Kamus besar Bahasa Indonesia, 1982:1155.
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berdasarkan penelitian ini, pemahaman peristiwa kematian ini di dapat secara turun temurun melalui cerita di masayarakat sekitar atau orangorang terdahulu. Wacana kematian semacam ini menjadikan praktik ziarah kubur menjadi sesuatu yang sangat penting bahkan menjadi suatu kewajiban. Mereka menjadikan ziarah kubur memiliki kebenaran yang kuat dan harus dijalankan. Bahkan muncul ketakutan ketika tidak melakukan ziarah kubur, baik ketakutan karena terasing secara komunal ataupun akan menerima pagebluk. Kekuatan wacana ziarah kubur sebagai wujud penghormatan juga nampak dalam simbol yang dihadirkan seperti bunga, kemenyan, dan juga bentuk maejan (nisan). Masyarakat Banyubiru tidak hanya berhenti berziarah pada leluhur mereka masig-masing, namun juga berziarah pada makam pepunden. Mereka meyakini para pepunden menjadi lantaran atau perantara harapan-harapan mereka. Dalam pandangan masyarakat yang sering melakukan ziarah kubur di makam pepunden, meyakini bahwa roh orang suci itu memiliki daya melindungi manusia maupun alam. Orang suci yang meninggal, arwahnya tetap memiliki daya sakti, yaitu dapat memberikan pertolongan kepada orang yang masih hidup, sehingga anak cucu yang masih hidup senantiasa berusaha untuk tetap berhubungan dan memujanya. Kedua, di tengah masyarakat Banyubiru muncul usaha purifikasi melalui ajaran Gereja Kristen Jawa yang bertentangan dengan tradisi lokal (ziarah kubur dan slametan) tersebut. Penyebutan Jawa dalam Gereja Kristen ini ternyata bertentangan dengan tradisi Jawa sendiri, dalam hal ini persoalan
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di sekitar tradisi ziarah kubur. Jemaat GKJ tidak mengenal tradisi ziarah kubur. Jemaat GKJ memiliki keyakinan bahwa roh leluhur orang yang meninggal sudah langsung berada di surga, tidak perlu ada usaha mendoakan atau bahkan mohon pangestu seperti yang dikenal dalam tradisi Jawa. Perbedaan pandangan ajaran Kristen terhadap lokalitas sudah terjadi sejak pertama kali ajaran Kristen mulai hadir di tanah Jawa. Perbedaan antara Kristen “Jawa” dan Kristen “landa” sudah terlihat. Kristen “Jawa” dengan tokoh seperti Coolen, Kyai Sadrach, Tunggul Wulung memberi kelonggaran pada tradisi Jawa, salah satunya ziarah kubur. Hal ini berbeda dari Kristen “Landa” yang tidak memberi ruang terhadap tradisi Jawa. Di Banyubiru sendiri perkembangan Gereja Kristen Jawa berkaitan dengan tradisi ziarah kubur sangat dipengaruhi peran pemimpin Gereja. Pengaruh dan proses pembentukan identitas Gereja Kristen Jawa hadir di Banyubiru tanpa adanya proses pemaksaan. Menurut Foucault kekuasaan hadir dari manapun dan tidak ada unsur kekerasan dan pemaksaan. Penaklukan kekuasaan ini lebih produktif dengan hadir melalui ajaran yang dibawa oleh para penyebar ajaran Kristen. Para penyebar ini terdiri dari pendeta, misionaris, dan juga keterlibatan jemaat GKJ dari Salatiga. Cara penyebaran hadir melalui pendalaman Alkitab. Ajaran Alkitab ditafsirkan Jemaat GKJ sebagai jalan kebenaran dalam kehidupan. Tafsiran ini semakin memiliki kekuatan ketika disampaikan oleh pendeta, bagi jemaat GKJ pendeta memiliki pengetahuan akan tafsiran Alkitab yang melebihi kaum awam. Ajaran atau dogma yang hadir melalui teks Alkitab ini menjadi
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pedoman dalam menyikapi tradisi di sekitar ziarah kubur, dengan kata lain menjadi cara pandang hidup mereka. Tidak ada unsur kekerasan atau pemaksaan dalam menyeragamkan perilaku jemaat Krsiten. Ajaran Kristen Jawa sebagai sebuah agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan untuk mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya. Jemaat GKJ bertekun dan patuh dalam ajaran Kristen yang didasarkan atas teks Alkitab. Ketiga, usaha Gereja Kristen Jawa dalam menciptakan identitas Kekristenan sebagai usaha purifikasi ternyata tidak berhasil secara total. Hal ini sesuai dengan pandangan Bruno Latour bahwa purifikasi tidak pernah berhasil (Latour, 1993; Keane, 2007:80). Usaha purifikasi yang hadir dalam Kristen Calvinis yang datang bersama dengan para penjajah Belanda tidak bisa sepenuhnya dilaksanakan di Desa Banyubiru. Menurut pandangan Calvinis, beragama yang baik berarti perlu menjauhkan diri dari tahayul dan juga pemberhalaan atas benda. Harapan jemaat GKJ untuk bertekun dan patuh dalam ajaran Kristen yang didasarkan atas teks alkitab tidak sesuai harapan. Kegagalan purifikasi ini disebabkan karena pengetahuan jemaat GKJ yang dipengaruhi oleh kekuasaan di sekitarnya. Pengetahuan dalam menyikapi persoalan berkaitan dengan tradisi Jawa (ziarah kubur) tidak bisa dilepaskan dari peristiwa kematian. Bagi orang Jawa peristiwa kematian bukan suatu akhir dari segalanya, mereka memiliki keyakinan bahwa arwah
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang yang meninggal masih perlu didoakan. Hal ini berbeda dengan pandangan Kristen yang meyakini setelah kematian otomatis arwah sudah berada bersama Tuhan di surga. Muncul tarik ulur identitas antara Kejawaan dan Kekristenan. Jemaat GKJ meletakkan ajaran Kristen sebagai cara pandang dalam kehidupan di tengah masyarakat. Namun disisi lain, secara komunal dalam masyarakat Jawa sudah memiliki tradisi Jawa (ziarah kubur) secara turun menurun. Berdasarkan penelitian ini muncul strategi dalam menyikapi persoalan ziarah kubur. Pada dasarnya jemaat GKJ hanya menggunakan wadahnya untuk melakukan ziarah kubur namun memiliki tujuan dan pemaknaan yang berbeda. Tidak ada unsur mendoakan, penghayatan, serta pemaknaan seperti dalam tradisi Jawa. Tarik ulur akan identitas tidak bisa dilepaskan dari segala ajaran yang selalu menjadi pengontrol seperti dalam mekanisme panoptik. Jemaat GKJ menjadikan ajaran Alkitab yang menghadirkan “Tuhan” dan berbagai ajaran dogmatis menjadi pengawasan mereka dalam hidup sehari-hari. Namun, di sisi lain ada aturan komunal dalam masyarakat yang juga menjadi panoptik bagi jemaat GKJ. Berdasarkan penelitian ini terlihat jemaat GKJ memiliki keraguan untuk begitu saja meninggalkan tradisi Jawa, sehingga ada usaha untuk tetap menjalankan ziarah kubur, di sini terlihat adanya bentuk perlawanan terhadap wacana purifikasi. Pada kenyataannya Purifikasi agama tidak berhasil secara total. Jemaat GKJ dalam menegosiasikan identitasnya, tetap menjalankan
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tradisi Jawa dengan pemaknaan yang berbeda. Negosiasi identitas jemaat GKJ bersifat kreatif. Secara personal mereka menggunakan bentuk tradisi ziarah kubur sebagai wujud hormat bakti pada leluhurnya, sedangkan secara komunal ziarah kubur tetap dilakukan sebagai usaha penerimaan identitasnya sebagai manusia Jawa. Pada dasarnya jemaat GKJ tetap tidak mendoakan leluhur atau mohon pangestu seperti yang terjadi dalam tradisi Jawa. Ziarah kubur hanya digunakan bentuknya saja, untuk menjaga identitasnya sebagai manusia Jawa. II.
Signifikansi Penelitian Banyak penelitian yang berkaitan dengan tradisi ziarah kubur. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada proses pembentukan identitas dalam memaknai tradisi di sekitar ziarah kubur. Meskipun penelitian ini dalam studi kajian budaya, namun tidak menghilangkan penelitian dari aspek antropologi dan juga sejarah. Wacana sebagai suatu kebenaran dilihat berdasarkan sejarah dan pemaknaan subjek. Tanpa melihat sejarah dan pemaknaan subjek, kita tidak akan sampai pada negosiasi identitas itu sendiri. Arti penting penelitian ini bagi masyarakat adalah untuk melihat proses pembentukan identitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang kuat adalah wacana. Melalui wacana, masyarakat merasa memiliki pengetahuan akan kebenaran secara mutlak. Seperti pada awal penelitian telah disinggung pentingnya penelitian ini dilakukan supaya masyarakat melihat adanya perbedaan bukan menjadi suatu kehancuran, atau
133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tidak berpikir akan kebenaran mutlak. Di luar kebenaran yang diyakininya masih ada kebenaran-kebenaran lain yang perlu dilihat. Kebenaran tidak muncul begitu saja. Kebenaran dibentuk melalui kekuasaan yang ada di sekitarnya. Bahkan ada usaha untuk tetap menjaga kebenaran itu melalui sistem panoptik. Dalam kasus negosiasi ini, sistem panoptik ternyata tidak hanya bersifat tunggal. Pengawasan tidak hanya hadir dalam satu titik saja, namun ada pengawasan lain yang ikut mempengaruhi pembentukan identitas atau menjadikan subjek merasa terawasi. Teori Foucault tentang panoptikon perlu diperluas. Dalam kajian ini terlihat, ternyata pengawasan dalam menciptakan kepatuhan tidak hanya datang dari satu titik saja, begitupula yang terjadi dalam proses pendisiplinan, baik di penjara, rumah sakit, institusi militer, maupun sekolah tidak hanya satu subjek atau satu titik saja yang mengawasi seperti yang digambarkan dalam sistem panopticon. Ada faktor lain yang turut mengawasi dan ikut menciptakan pola hidup seseorang dalam sistem pendisiplinan tersebut. Pentingnya penelitian ini juga mengungkapkan bahwa ternyata masyarakat bisa kreatif dalam menegosiasikan identitasnya. Ketika harus tarik ulur karena kekuatan kekuasaan, seseorang dapat menentukan strategi yang nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang tidak harus menjadi terasing karena identitasnya. Di Indonesia saat ini, kita sangat mudah menemukan usaha purifiksai yang mengantar pada pemilihan identitas. Salah satu contoh adalah fenomena kewajiban memakai hijab dan juga sholat Jumat di daerah tertentu, seperti di
134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
daerah Aceh. Pada kenyataannya purifikasi ini menuai pro dan juga kontra, tidak bisa berjalan dengan lancar. Pada akhirnya masyarakat harus memilih, menjadi Islam sesuai aturan atau muncul usaha lainnya. Dalam penelitian ini melihat bahwa kebenaran yang diciptakan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan yang menciptakan wacana tersebut. Menutup tulisan ini, ada kisah semacam ini: “Seorang kepala suku mempunyai kebiasaan membawa seekor kera saat rapat. Kera itu diikat di bawah meja rapat. Setelah kepala suku itu meninggal, kera itu tetap diikat di bawah meja saat rapat berlangsung, sebagai usaha mengenang kepala suku tersebut. Setelah kera itu mati, kebiasaan itu digantikan kera lain. Setelah beberapa generasi, kera menjadi syarat adanya rapat. Bahkan pada generasi berikutnya, kera itu yang menentukan hasil rapat.” Sebagai manusia kita sering mengagungkan sebuah tradisi atau kebiasaan-kebiasaan sebagai kebenaran mutlak, meskipun tidak tahu sejarah dan makna dibalik ritus tersebut. Harapan penelitian ini, semoga dalam menjalankan tradisi atau beribadah tidak merasa diri paling benar, yang terpenting menemukan makna dalam ritus tersebut, bukan hanya melengkapi aturan atau ajaran yang harus terpenuhi.
135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sumber Pustaka Abdilah, S. 2002. Politik Identitas Etnis; pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera Amir, Hazim. 1991. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal. Yogyakarta: Warta Pustaka Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi, (terj). Achmad Fedyani Saefuddin, dari judul Asli, Varieties of Javanese Religion, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada Beilharz, P. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyarkata: Pustaka Pelajar Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia Bratasiswara, Harmanta, R. 2000. Bauwana Adat Tatacara Jawa. Jakarta: Yayasan Sumirat Boelaars, H. 2005. Indonesianisasi: dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Carrette, Jeremy R. 1999. Agama, Seksualitas, Kebudayaan, Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra Carey, Peter. 1986. Asal-usul Perang Jawa. Jakarta: Putaka Azet Coote, Jermy dan Anthony Shelton. 1992. Anthropology Art and Aesthetic. Oxford: Clarendon Press Darusuprapta. 1988. Sarasehan Kebudayaan Jawi dalam Yatmana, Tuntutan Kagem Pranatacara Tuwin Pamedhar Sabda. Semarang: Aneka Ilmu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dillistone, F.W. 2002. The Power Of Symbol. Yogyakarta: Kanisius Endraswara, Suwardi. Mistisme dalam Seni Spiritual Bersih Desa di Kalangan Penghayat Kepercayaan. Yogyakarta: Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen, Vol. 1, No. 2., Agustus 2006. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fak. Bahasa Seni UNY & Narasi Yogyakarta Foucault, Michel. 1978. The history of Sexulity: Volume I An Introduction, New York: Pantheon Books Foucault, Michel . 1995. Discipline & Punish: The Birth of the Prison (New York: Vintage Books) translated from the French by Alan Sheridan
Foucault, Michel. 1984. The Foucault reader, edited by Paul Rabinow. New York;Pantheon Books Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (terj), Aswab Mahasin, dari judul asli, The Religion of Java. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya Guillot, C. 1985. Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Temprint Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius Hardjowirogo, Marbangun. 1989. Orang Jawa. Jakarta: Haji Masagung Harsapandi. 2005 Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat akar kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta : Gramedia James, William. 2003. The Verieties of Religious Experience. Alih bahasa Luthfi Anshari. Yogyakarta: Jendela
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Keane, Webb. 2007. Christian Moderns: Freedom and Fetish in the mission encounter. Los Angels: University of California Press Kusumohaimdjojo. 2009. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius Lukito, Lucas. 2009. 500 Tahun Yohanes Calvin: Pengetahuan Tentang Allah adalah Testing Ground untuk Mengenal Manusia. Veritas-Jurnal Teologi dan Pelayanan, SAAT Malang Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius McNeill, John T. 1954. The History and Character of Calvinism. United States of America: Oxford University Press Mrázek, Jan. 2005. Phenomenology of A Puppet Theatre. Leiden: KITLV Press Mulyana. Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Religiusitas Orang Jawa. Yogyakarta: Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen, Vol. 1, No. 2., Agustus 2006. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fak. Bahasa Seni UNY & Narasi Yogyakarta Pemberton, J. 1989. The Appearance of Order: A Politics of Cultural in Colonial and Postcolonial Java. Ithaca: Cornell University Pokok-Pokok ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2005. Salatiga: Sinode GKJ Prasetya, F. Mardi. 1993. Psikologi Hidup Rohani 1. Yogyakarta: Kanisius Radcliffe-Brown, A.R. 1979. Structure and Function in Primitive Society: Essays and Adresses. London dan Henley: Routledge & Kegan Paul
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Culturas Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London: Sage Publications Santrock, John W. 2002. Life-Span Development (terj. Juda Damanik). Jakarta: Erlangga Sinaga, M. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS Soekotjo, S.H. 2009. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jilid 1: Di Bawah Bayang-Bayang Zending (1868-1948). Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen Soekotjo, S.H. 2010. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jilid 2: Merajut Usaha Kemandirian (1950-1985) Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen Subagya, T.L. 2004.
Menemui Ajal; Etnografi Jawa tentang Kematian.
Yogyakarta: KEPEL Press Suseno, Franz Magnis.1988. Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra Turner, Victor. 1988. The Anthropology of Performance. New York: PAJ Publications Wisnumurti, Rangkai. 2012. Sangkan Paraning Dumadi: Konsep Kelahiran dan Kematian Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press Woodward, Mark R. 2006. Islam Jawa: Kesalehan normatif Versus Kebatinan, (terj), Hairus Salim. Dari judul asli, Islam in Java; Normative Pietu and Misticism. Yogyakarta: LkiS