KEGUNAAN PATI SAGU ALAMI DAN TERMODIFIKASI SERTA KARAKTERISTIKNYA Febby J. Polnaya
Staf Fakultas Pertanian Unpatti Ambon
ABSTRACT Chemically sago starch modification was native sago starch has been treatment with chemically reagent modification to changes properties of native sago starch. Chemically modification has been used to introduce new properties of starch for different applications. Sago starch is same with the other starch, was carbohydrate polymer that homopolymer glucose with glycosides bonding, so that can be modified as well as the other commercial modification starch, like waxy maize and tapioca starch. Starch derivative like hidroxypropylated, acetylated and croos-linking can be done with propylene oxide, acetate anhydride and phosphorus oxychloride, respectively. Its equality in a few properties of sago starch modification with the properties of commercial modification starch, make it alternatively in food and non-food production. Chemical modification of sago starch yield the starch with different properties compared with native sago starch. Keywords: sago starch, sago starch modification, hydroxypropyl, acetyl, crosslinking Pendahuluan Pengolahan sagu dengan teknologi menengah (skala pabrik) sudah berkembang Pohon sagu banyak tumbuh di negaradi Selat Panjang-Riau, Maluku dan Bintuninegara tropis khususnya di Asia Tenggara seperti Papua. Beberapa daerah penghasil sagu sepIndonesia dan Malaysia, sebagian Melanesia, Mierti di Papua, Maluku dan Riau, petani telah cronesia dan beberapa daerah di South Amerika menggunakan alat pengolahan sagu mekanis, (Corbishley dan Miller, 1984). Indonesia adalah sedangkan proses ekstraksi dan operasi lainnya pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal masih menggunakan alat manual (Abner dan sekitar 1.128 juta Ha atau 51,3% dari 2.201 juta Miftahorrahman, 2002). Ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea (43,3%). Namun dari segi pemanfaatanPohon sagu dapat mencapai tinggi 9-15 nya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingm pada saat siap panen dengan umur kurang kan dengan Malaysia dan Thailand yang masinglebih 8-15 tahun tergantung dari spesiesnya. masing hanya memiliki areal seluas 1,5 dan Untuk memproduksi pati komersial, pohon sagu 0,2% (Abner dan Miftahorrahman, 2002). yang berumur 8 tahun dapat dipanen. Secara liar tumbuh pada daerah rawa-rawa dan akan mati Daerah potensial penghasil sagu di Indosetelah selesai fase generatif (Corbishley dan nesia antara lain Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Miller, 1984). Pada fase generatif ini sebagian Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. besar pati akan dipergunakan untuk pembentukan Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada bunga dan biji. di Papua (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Pengolahan sagu sebagai makanan pokok masih Pada industri pangan tepung sagu mulai dilakukan secara tradisional, walaupun sekarang digunakan sebagai bahan untuk pembuatan roti, ini, sagu sudah tidak lagi merupakan bahan biskuit, mie (noodle), sohun, kerupuk, hunkue, makanan pokok. Penggunaan pati sagu sebagai bihun dan lain-lain, sebagai pengganti penggubahan makanan tradisional di Maluku seperti naan tepung terigu, tapioka, atau tepung beras. papeda, sagu lempeng, buburnee, sagu tutupala, Penggunaan tepung sagu ini didasarkan karena bagea, sagu uha, sagu kelapa, sinoli, dan masih pati sagu terdiri sebagian besar oleh karbohidrat banyak yang lain.
Jurnal Agroforestri Volume I Nomor 3 Desember 2006 sama halnya dengan tapioka, terigu, tepung beras, maizena dan lain-lain. Penggunaan pati alami sangat terbatas oleh sifat kimia dan sifat fisiknya. Seringkali viskositas pati alami yang dimasak terlalu tinggi untuk digunakan pada beberapa jenis makanan. Karakteristik reologi dari beberapa pati yang terdispersi misalnya pati kentang, tapioka atau waxy starch memberikan sifat lengket dan tekstur yang kohesif bila digunakan untuk mengentalkan makanan dan dapat merusak cita rasanya. Dispersi pati yang mengandung amilosa cenderung menjadi bentuk keras atau kaku, gel buram karena retrogradasi gel. Pada penyimpanan, gel juga kehilangan sifat menahan air, menyebabkan sineresis atau separasi air Wurzburg (1995). Tetapi untuk dapat memberikan hasil yang lebih baik, maka dalam penggunaanya pati sagu seperti juga pati-pati lainnya, dilakukan modifikasi terlebih dahulu, baik itu modifikasi kimia maupun modifikasi fisik, yang mana diharapkan dapat mempunyai kesamaan sifat dengan pati-pati modifikasi komersial lainnya, sebagai bahan subtitusi maupun bahan utama. Pati Pati adalah nama umum yang ditunjukan untuk granular atau tepung, tidak berbau, tidak berasa, merupakan karbohidrat kompleks (C6H10O5)x, terdapat pada biji-bijian tanaman serealia dan bulb dan umbi-umbian. Pati merupakan polimer dari glukosa. Glukosa terbentuk pada tanaman sebagai hasil fotosintesis. Pati tersusun atas dua komponen, yaitu amilosa, merupakan polisakarida rantai lurus, dan amilopektin, merupakan polisakarida rantai bercabang. Berat molekul amilosa relatif lebih kecil, larut dalam air, sedangkan amilopektin mempunyai berat molekul lebih besar, tidak larut dalam air (Thomas dan Atwell, 1999). Kandungan amilosa sekitar 20-30% pati dan amilopektin 70-80% pati, untuk pati jagung, pati kentang, wheat starch dan pati sagu (Whistler dan BeMiller, 1997). Pati alami dari berbagai jenis sumber tanaman mempunyai keunikan sifat-sifat tersendiri. Perbedaan karakteristik ini, diolah sebagai makanan untuk menghasilkan suatu rasa yang spesifik. Pati sebagai biopolimer alami, mendapat perhatian yang penting karena mempunyai harga
51
yang lebih murah, ketersediaan, dan mengalami degradasi total setelah digunakan. Tetapi pati alami mempunyai kelemahan seperti besifat hidrofilik, sifat mekanik dan stabilitas dimensi yang rendah, terutama pada kondisi lingkungan berair dan lembab, sehingga perlakuan modifikasi pati perlu dilakukan. Pati Sagu Alami Pati sagu diekstraksi dari pohon sagu (Metroxylon sp.). Beberapa spesies penting yang secara luas digunakan sebagai penghasil pati adalah M. longispinum, M. sylvestre, M. microcanthum, M. sagu dan M. rumphii. Pohon sagu merupakan sumber alam yang penting, terutama bagi masyarakat pedesaan karena keragaman penggunaannya, seperti menghasilkan pati sagu, tepung sagu dan sagu mutiara dan semua spesies pohon sagu tersebut terdapat di Maluku (Louhenapessy, 1992). Pemanenan dapat dilakukan pada umur 7-9 tahun (Atmawidjaja, 1992). Pati sagu mengandung kadar air 12-21 %, protein 0,1-1,0 %, lemak 0,1-0,3 %, serat kasar 0,08-0,5 % dan abu 0,1-16 % (Wattanachant et al., 2002b) dengan kadar amilosa adalah 24-27% (Ahmad et al., 1999; Polnaya, 2005; Pomeranz, 1991). Batang sagu dapat diolah menjadi pati sagu dengan cara sederhana menggunakan alat-alat yang biasa terdapat pada dapur rumah tangga, dilakukan ekstraksi pati sagu dari empelur batang dengan menggunakan air. Pengolahan pada industri kecil menggunakan alat-alat mekanis untuk meningkatkan efisiensi hasil dan biaya. Alat-alat tersebut dapat dibuat di bengkel konstruksi biasa dengan menggunakan bahanbahan lokal. Pengolahan pada industri menengah dan besar, memerlukan alat-alat moderen dengan efisiensi kerja dan kapasitas besar. Pati sagu dapat dihasilkan dengan biaya yang murah tetapi memberikan hasil yang tinggi, apabila dibandingkan dengan jenis pati lainnya. Corbishley dan Miller (1984) menyatakan bahwa pohon sagu mempunyai empelur dengan berat 270-360 kg dan menghasilkan 90-180 kg pati sagu atau rata-rata 40% dari berat total. Kandungan pati dalam batang sagu mencapai maksimum pada saat sebelum terjadinya pembungaan yaitu pada umur 8-11 tahun, tergantung
Febby J. Polnaya
52
Jurnal Agroforestri Volume I Nomor 3 Desember 2006
sumber botani sagu. Pada fase pembungaan atau pembuahan kandungan pati menurun dengan cepat sekali, dengan demikian kadar pati sangat bervariasi tergantung jenis dan umur pohon sagu. Pati sagu juga merupakan polimer karbohidrat yang merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan glikosidik (Thomas dan Atwell, 1999). Mempunyai sifat yang berbeda dibandingkan pati lainnya karena adanya perbedaan panjang rantai karbon, sehingga menyebabkan perbedaan sifat pati yang bersangkutan. Sifat
fisiko-kimia pati sagu alami dan beberapa pati lainnya dapat dilihat pada Tabel 1 (Pomeranz, 1991). Pati sagu alami selain dipergunakan secara langsung, juga memerlukan modifikasi untuk meningkatkan kualitasnya. Pati sagu alami mempunyai kecocokan sebagai bahan dasar untuk hidroksirpopilasi dan ikat silang dimana mempunyai suhu gelatinisasi sama dengan waxy maize, karakteristik yang sama dengan pati tapioka (Wattanachant et al., 2002a).
Tabel 1. Sifat fisiko-kimia beberapa pati alami
Pati Sagu Termodifikasi Pati termodifikasi adalah pati hasil modifikasi kimiawi, fisik maupun enzimatis yang dipergunakan sebagai bahan tambahan pangan maupun non pangan. Menurut FAO dan WHO (2001), batasan aman penggunaan pati termodifikasi sebagai bahan pangan untuk pati hidroksipropil adalah gugus hidroksipropil < 7,0% dan untuk pati asetil adalah gugus asetil < 2,5%. Tingkat modifikasi kimia ditunjukkan sebagai derajat subtitusi (DS = degree of substitution), ketika gugus substituen bereaksi dengan gugus hidroksil pada unit D glukopiranosil. DS adalah rata-rata gugus OH tersubstitusi pada setiap unit D glukopiranosil terderivatisasi dengan gugus subtituen. Molar subtitusi (MS = molar substitution) digunakan ketika gugus subtitusi lebih lanjut bereaksi dengan bahan kimia itu sendiri untuk membentuk subtituen polimerik. MS adalah tingkatan molar gugus substituent monomer tiap satuan D-glukopiranosil (Milladinov dan Hanna, 2001; Thomas dan Atwell, 1999).
DS tertinggi adalah tiga, karena hanya terdapat tiga gugus hidroksil yang terdapat pada unit anhidroglukosa (Milladinov dan Hanna, 2001; Thomas dan Atwell, 1999), sedangkan MS dapat memberikan nilai lebih dari tiga, yang ditentukan oleh kemampuan subtituen untuk bereaksi lanjut membentuk subtituen polimerik (Thomas dan Atwell, 1999). Rata-rata derajat subtitusi menunjukkan jumlah gugus OH yang tersubtitusi, tidak memberikan informasi tentang posisi subtitusi molekul atau frekuensi subtitusi sepanjang rantai molekul (Ruttenberg dan Solarek, 1984). Penggunaan pati sagu sebagai bahan dasar modifikasi kimiawi telah dilakukan meliputi pati sagu hidroksipropil-ikat silang (Haryadi dan Kuswanto, 1996), pati sagu asetat (Haryadi dan Kuswanto, 1997), pati sagu hidroksipropilikat silang (Wattanachant et al., 2002a, 2002b, 2003), pati sagu asetil (Said, 2005) dan pati sagu hidroksipropil dan hidroksipropil-asetil (Polnaya, 2005).
Kegunaan Pati Sagu Alami Dan Termodifikasi Serta Karakteristiknya
53
Jurnal Agroforestri Volume I Nomor 3 Desember 2006 Karakteristik Pati Sagu Alami dan Termodifikasi Bentuk granula pati sagu adalah oval, elips dan kadang-kadang bulat, komponen yang besar sering membentuk kerucut dengan ujung yang datar dan mempunyai ukuran diameter 1565 mm. Pati sagu akan terlihat seperti terpotong pada bagian ujung, apabila berasal dari pohon sagu yang sudah masuk fase generatif, hal ini menunjukkan penggunaan pati untuk keperluan fase tersebut (Phillips dan Williams, 2000). Sedangkan menurut Ahmad et al. (1999), diameter granula pati sagu adalah 20-40 mm (Gambar 1),
di mana tingkat kristalinitas pati sagu termasuk tipe-C. Kristalinitas tipe-C merupakan gabungan dari tipe-A yang kristalin dan tipe-B yang amorf. Ukuran granula pati sagu yang cukup besar, mengakibatkan ikatan hidrogen antara molekul pada rantai yang berdampingan pada lebih mudah putus selama pemanasan (Wattanachant et al., 2002b), merupakan indikator bahwa pati sagu dapat dipakai sebagai bahan dasar pati termodifikasi. Beberapa karakteristik pati sagu alami dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik pati sagu alami
Semua jenis pati tidak membentuk gel pada suhu yang sama, makin besar granulanya, makin tinggi suhu gelatinisasinya, sebagai contoh, pati jagung mempunyai suhu gelatinisasi yang tinggi dibandingkan pati beras (Tsai et al., 1997), pati kentang dibandingkan dengan maize dan wheat starch menunjukkan swelling power dan binding power yang tinggi tetapi suhu gelatinisasi yang rendah (Morikawa dan Nishinari, 2002). Sebagian besar pati membentuk gel pada suhu tidak lebih dari 85oC. Pati umbi-umbian seperti kentang dan singkong membentuk gel pada suhu lebih rendah, untuk tapioka misalnya antara 52-64oC, sedangkan sagu 60-74oC. pH larutan juga mempengaruhi pembentukan gel, optimum pada pH 4-7. Suhu gelatinisasi pati sagu alami berkisar antara 62,5-75,75oC dengan viskositas maksimum 340-501 (Haryadi dan Kuswanto, 1996, 1997; Polnaya, 2005, Said, 2005). Pati sagu termodifikasi menunjukkan suhu gelatinisasi
yang semakin menurun seperti pati sagu asetil adalah 73,0-75,0 oC (Said, 2005); pati sagu hidroksipropil 45,75-71,25oC dan pati sagu hidroksipropil-asetil 45,0-71,25oC (Polnaya, 2005). Karakteristik pati sagu alami dan beberapa pati lainnya dapat dilihat pada Tabel 3 (Wattanachant et al., 2002b)
Febby J. Polnaya
Gambar 1. SEM pati sagu alami
54
Jurnal Agroforestri Volume I Nomor 3 Desember 2006 Tabel 3. Sifat fisiko-kimia beberapa pati alami
DS pati sagu ikat silang berkisar 0,00550,0059 untuk perlakuan POCl3 0,005-0,025% menghasilkan pati termodifikasi dengan sifat swelling power lebih rendah (15,6-22,3 g/g) dibandingkan pati sagu alami (30,3 g/g) (Haryadi dan Kuswanto, 1996); pati sagu hidroksipropilikat silang 15,09 g/g untuk MS 0,033/DS 0,004 (Wattanachant et al., 2002a). Swelling power pati sagu asetil berkisar antara 25,6-27,0 g/g untuk DS 0,041-0,085 (Haryadi dan Kuswanto, 1997); pati sagu hidroksipropil berkisar antara 33,0136,76 g/g untuk MS 0,044-0,058 dan pati sagu hidroksipropil-asetil 32,35-36,23 g/g untuk MS 0,044-0,058 dan DS 0,051 (Polnaya, 2005); pati sagu asetil 24,99-29,11 g/g untuk DS 0,031-0,065 (Said, 2005). Kelarutan pati sagu termodifikasi menunjukkan kecenderungan peningkatan dibandingkan pati sagu alami seperti pati sagu asetil 16,46-21,16% untuk DS 0,031-0,065 (Said, 2005); pati sagu hidroksipropil 22,04-23,79% untuk MS 0,044-0,058 dan pati sagu hidroksipropil-asetil 21,79-23,20 g/g untuk MS 0,044-0,058 dan DS 0,051 (Polnaya, 2005). Sedangkan pati sagu hidroksipropil-ikat silang adalah 7,39% (Wattanachant et al., 2002a). Modifikasi pati sagu dengan ikat silang dan hidroksipropilasi, mempunyai viskositas yang sama dengan pati tapioka alami, tetapi lebih rendah dibandingkan pati tapioka komersial termodifikasi dan mempunyai swelling power yang rendah (Wattanachant et al., 2002b). Kejernihan pasta pati sagu modifikasi menunjukkan peningkatan dibandingkan pati sagu alami (23,47-25,35%) seperti pati sagu
asetil adalah 27,68-39,71% (Said, 2005), sedangkan pati sagu hidroksipropil 45,05-52,14% dan pati sagu hidroksipropil-asetil 45,29-51,32% (Polnaya, 2005). Kombinasi derivatisasi dan ikat silang menghasilkan stabilitas terhadap kondisi asam, panas dan degradasi mekanik dari pati dan mencegah retogradasi selama penyimpanan (Morikawa dan Nishinari, 2002), hidroksipropil dan ikat silang adalah efektif untuk pati yang mempunyai kemampuan mengembang tinggi seperti pati sagu (Wattanachant et al., 2002b), tetapi mempunyai konsistensi pasta yang tidak berbeda dengan beberapa pati modifikasi komersial pada kondisi pH 6,5 (Wattanachant et al., 2002a). Kegunaan Pati Sagu Termodifikasi Pati dan pati termodifikasi digunakan dalam jumlah besar pada makanan, termasuk juga adhesion, binding, clouding, dusting, pembentuk film, foam strengtheting, antistaling, gelling, glazing, retensi uap air, penstabil, texturing, dan thickening applications (Whistler dan BeMiller, 1997). Pati biasanya dipergunakan sebagai bahan pangan secara alami, tetapi dapat juga dimodifikasi untuk memberikan sifat yang lebih baik. Modifikasi pati dilakukan untuk berbagai jenis makanan dan industri yang mana pati alami tidak dapat dipergunakan. Secara umum modifikasi pati digunakan sebagai binding agent untuk serat, gypsum board dan industri makanan (hydrochloric acid), industri tekstil, perekat kayu lapis, dan lain-lainnya.
Kegunaan Pati Sagu Alami Dan Termodifikasi Serta Karakteristiknya
Jurnal Agroforestri Volume I Nomor 3 Desember 2006 Tepung sagu teroksidasi dengan oksidator hipoklorit (chlorinated starches) pada industri kayu lapis memberikan hasil penurunan biaya produksi dan meningkatkan mutu kayu lapis yang dihasilkannya (Sola, et al., 1984), industri tekstil (konsentrasi 0,25-6% chlorine b.k.) (Corbishley dan Miller, 1984). Modifikasi pati sagu dengan ikat silang dan hidroksipropilasi, mempunyai viskositas yang sama dengan pati tapioka alami, tetapi lebih rendah dibandingkan pati tapioka komersial termodifikasi dan mempunyai swelling power yang rendah (Wattanachant, 2002b). Penggunaan pati sagu termodifikasi sebagai bahan dasar edible film dapat memperbaiki sifat edible film berbahan dasar pati dengan kelarutan rendah (McHugh dan Krochta, 1994; Wu dan Zhang, 2001) dan rapuh (Mali et al.,
55
2005; Wu dan Zhang, 2001) menjadi film yang mudah larut dan lebih elastis (Polnaya, 2005). Daya larut edible film berbahan dasar pati sagu hidroksipropil dan hidroksipropil-asetil mencapai 82,9-90,59% (Polnaya, 2005). Kesimpulan Pati sagu digunakan baik sebagai pati alami maupun sebagai pati termodifikasi, baik dalam industri pangan maupun non-pangan. Pati sagu mempunyai sifat-sifat yang tidak terlalu berbeda jauh dengan pati alami lainnya sehingga dapat dipergunakan untuk modifikasi. Modifikasi yang dilakukan terhadap pati sagu alami dapat memperbaiki sifat-sifatnya, seperti karakteristik swelling power, daya larut dan kejernihan pastanya.
DAFTAR PUSTAKA Abner, L., dan Miftahorrahman, 2002. Keragaan Industri Sagu di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 8(1). http://perkebunan.litbang. deptan.go.idwarta%20 vol%208%20no%201%20juni%202002.htm Ahmad, F.B., P.A. Williams, J-L. Doublier, S. Durand, and A. Buleon, 1999. Physico-chemical Characterisation of Sago Starch. Carbohydrate Polymers 38:361-370. Atmawidjaja, R., 1992. Komoditi Sagu, Ditinjau dari Kepentingan Nasional (Prospek dan Permasalahannya). Simposium Sagu Nasional, Ambon 12-13 Oktober 1992. Prosiding :4954. Corbishley, D.A. dan W. Miller, 1984. Tapioca, Arrowroot, and Sago Starches : Production. In: Whistler R.L., J.N. Bemiller, E.F. Paschall, 1984. Starch : Chemistry and Technology, Second Edition. Academic Press, Inc. Harcourt Brace Jovanovich Publishers. FAO and WHO, 2001. Compendium of Food Additive Specifications. Paper 52. Addendum 7. Haryadi dan K.R. Kuswanto, 1996. Some Characteristics of cross-linked hydroxypropyl sago starch. Agritech 16(4):14-18. Haryadi dan K.R. Kuswanto, 1997. Some characteristics of oil palm and sago starch acetates. Agritech 17(2):11-14. Louhenapessy, J.E., 1992. Sagu di Maluku: Potensi, Kondisi Lahan dan Permasalahannya. Prosiding Simposium Sagu Nasional, Ambon, 12-13 Oktober 1992. hal:135-149. Mali, S., M.V.E. Grossmann, M.A. García, M.N. Martino, and N.E. Zaritzky, 2005. Mechanical and Thermal Properties of Yam Starch Films. Food Hydrocolloids 19:157-164. McHugh, T.B., and J.M. Krochta, 1994. Permeability Properties of Edible Film. p:139-187. In: Krochta, J.M., E.A. Baldwin and M.O. Nisperos-Carriedo, 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publication Company, Inc.Lancaster, U.S.A. Febby J. Polnaya
56
Jurnal Agroforestri Volume I Nomor 3 Desember 2006
Miladinov V.D., and M.A. Hanna, 2001. Temperatures and Ethanol Effects on the Properties of Extruded Modified Starch. Industrial Crops and Products 13:21–28. Morikawa, K. and K. Nishinari, 2002. Effects of Granula Size and Size Distribution on Rheological Behavior of Chemically Modified Potato Starch. J.Food Sci. 67(4):1388-1392. Phillips, G.O., and P.A. Williams, 2000. Handbook of Hydrocolloids. Boca Raton, Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC. Polnaya, F.J., 2005. Modifikasi Ganda Pati Sagu Hidroksipropil-Asetil untuk Pembuatan Edible Film. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pomeranz, Y., 1991. Functional Properties of Food Components. (2nd ed.). Academic Press, Inc. p.2478. Rutenberg, M.W., dan D. Solarek. 1984. Starch Derivatives: Production and Uses. p:311-388. In: Whistler, R.L., J.N. BeMiller, and E.F. Paschall, 1984. Starch Chemistry and Technology, 2nd ed. Academic Press, Inc.: Orlando, Florida. Said, M. 2005. Pembuatan dan Karakterisasi Pati Sagu Asetil serta Edible Film yang Dihasilkan. Tesis. Sekolah Pascasarjan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sola, L., Abd. S. Pitu, R. Rohani, Syahrir, Agustina, Suriwati, Ghani A., 1984. Tepung Sagu Sebagai Bahan Pengganti Tepung Terigu Dalam Campuran Perekat Kayu Lapis. Departemen Perindustrian, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Ujung Pandang. Thomas, D.J. and W.A. Atwell, 1999. Starch, Handbook Series. Eagen Press. St. Paul, Minessota, U.S.A. Tsai, Mei-Lin, Chin-Fung Li, and Cheng-Yi LII, 1997. Effects of Granular Structures on the Pasting Behaviors of Starches. Cereal Chem. 74(6):750-757. Wattanachant, S.W., S.K.S. Muhammad, D.M. Hashim, R.Abd. Rahman, 2002a. Characterisation of hydroxypropylated crosslinked sago starch as compared to commercial modified starches. Songklanakarin J.Sci.Technol. 24(3):439-450. Wattanachant, S.W., S.K.S. Muhammad, D.M. Hashim, R.Abd. Rahman, 2002b. Suitability of sago starch as a base for dual-modification. Songklanakarin J.Sci.Technol. 24(3):431-438. Wattanachant, S., S.K.S. Muhammad, D.M. Hashim and R.Abd. Rahman, 2003. Effect of crosslingking reagent and hydroxypropylation levels on dua-modified sago starch properties. Food Chemistry 80:463-471. Whistler, R.L. and J.N. BeMiller, 1997. Carbohydrate Chemistry for Food Scientists. Eagan press. St. Paul, Minnesota, USA. Wu, Q.X., and L.N. Zhang, 2001. Structure and Properties of Casting Films Blended with Starch and Waterborne Polyurethane. J. Appl. Polym. Sci. 79:2006-2013. Wurzburg, O.B., 1995. Modified Starch In Food Polysaccharides and their Application. Marcel Dekker, Inc., New York
Kegunaan Pati Sagu Alami Dan Termodifikasi Serta Karakteristiknya