KEGAGALAN BANGUNAN DAN PROFESIONALISME AHLI SIPIL Sugeng Wiyono1 Dosen Teknik Sipil FT Universitas Islam Riau Jl. KH Nasution Km 10 Kampus UIR P. Marpoyan, Pekanbaru Fax: (0761) 47728 Email:
[email protected]
ABSTRAK Ketentuan mengenai kegagalan bangunan serta tanggung jawab profesinal telah tercantum dalam Undang – undang No. 18 Tahun 1999 Tentang jasa Konstruksi. Mulai dari definisi kegagalan bangunan, siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kegagalan bangunan, penetapan pihak ketiga selaku penilai ahli, sampai kepada pengenaan pidana dan denda.Tulisan ini mengkaji keterkaitan kegagalan bangunan dan profesionalisme ahli sipil yang dilakukan dengan metode analitis diskriptif, serta penyebaran kuis ke responden yang terkait dengan jasa konstruksi. Berdasarkan penelitian melalui penyebaran kuisioner, belum semua (66%) pelaku jasa konstruksi mengerti masalahan kegagalan bangunan, sebagian besar kl 75% menilai pentingnya penilai ahli dalam penetuan kegagagalan bangunan serta siapa yang bersalah. Disamping itu juga masih belum mengembirakan kompetensi lususan S1 teknik sipil, masih ada yang menilai rendah (20%), serta cukup dan perlu pelatihan (45%). Responden sebagian besar (kl 68%) menilai pentingnya peningkatan kompetensi yang sifatnya kekhususan, serta menghendaki tambahan mata kuliah hukum konstruksi (40%), dalam rangka menghindari dan menghadapi permasalahan kegagalan bangunan. Keberhasilan produk jasa konstruksi secara langsung merupakan produk sinergi positif antara pengguna dengan penyedia jasa (konsultan dari berbagai bidang, pabrikan, pemasok produk, dan kontraktor). Mengingat perbedaan kepentingan dari tiap pihak terkait, keberhasilan kerja sama harus didasarkan pada platform profesionalisme. Sudah ada kriteria penilai ahli dan tata cara penilaian kegagalan bangunan, serta sudah dikeluarkan kriteria atau tolak ukur kegagalan bangunan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional. Akhirnya dapat disimpulkan, peran perguruan tinggi sangat diperlukan dalam rangka penyiapan kompetensi sarjana sipil sesuai dengan bidang dan sub bidang sebagaimana jenis praktek jasa konstruksi. Disamping itu disarankan pendidikan teknik sipil bekerja sama dengan asosiasi keahlian yang mengeluarkan sertifikat keahlian yang berupa bukti kompetensi, dalam rangka meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan jasa konstruksi. Kata Kunci : Kegagalan Bangunan, Profesionalisme, Kompetensi
1.
PENDAHULUAN
Definisi dari kegagalan bangunan. Menurut UU-RI No.18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, Bab1, Pasal 1 ayat 6.: KEGAGALAN BANGUNAN ADALAH KEADAAN BANGUNAN, YANG SETELAH DISERAH TERIMAKAN OLEH PENYEDIA JASA KEPADA PENGUASA JASA, MENJADI TIDAK BERFUNGSI BAIK SECARA KESELURUHAN MAUPUN SEBAGIAN DAN/ATAU TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN YANG TERCANTUM DALAM KONTRAK KERJA KONSTRUKSI ATAU PEMANFAATANNYA YANG MENYIMPANG SEBAGAI AKIBAT KESALAHAN PENYEDIA JASA DAN/ATAU PENGGUNA JASA. Menurut Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Bab V Pasal 34. Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia jasa dan atau Pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Kegagalan bangunan harus di nilai dan ditetapkan oleh satu atau lebih penilai ahli yang professional dan kompoten dalam bidangnya serta bersifat independent dan mampu memberikan penilaian secara obyektif. Disamping itu juga, untuk dapat menetapkan penilai ahli yang professional dan kompoten sebagaimana tersebut diatas telah di susun kriteria penilai ahli dan tata cara penilaian kegagalan bangunan
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
MK-9
Manajemen Konstruksi
Kriteria penilai ahli Untuk dapat menetapkan penilai ahli yang professional dan berkompeten dalam bidangnya, maka telah ditetapkan kriteria penilai ahli berdasarkan hasil konvensi/kesepakatan dari masyarakat jasa konstruksi yang diwakili oleh asosiasi profesi sesuai dengan bidangnya masing-masing. Persyaratan/criteria penilai ahli adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Warga Negara Indonesia Umur maksimal 65 tahun pada saat diusulkan Mempunyai sertifikat tertinggi dari asosiasi dan bersedia menjadi penilaian ahli Pengalaman dalam bidang /sub bidang minimal 15 tahun Mendapat pembekalan tambahan dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Tidak cacat hukum di bidang kontruksi dan etika profesi
Tolak ukur kegagalan bangunan Tolak ukur yang di pakai dalam menentukan kegagalan bangunan adalah semua bangunan harus direncanakan, dibangun, digunakan , dan di pelihara mengikuti: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
2.
UU yang berlaku Peraturan pemerintah Perda (Peraturan Daerah) Standar Nasional Indonesia Standar Internasional yang tercantum dalam kontrak Pedoman yang diberlakukan oleh asosiasi profesi.
TATA CARA PENILAIAN KEGAGALAN BANGUNAN
Tata cara pemeriksaan Pemeriksaan terdiri dari beberapa tahapan : 1. 2. 3. 4. 5.
Memeriksa legalitas objek bangunan Mengidentifikasikan kegagalan bangunan termasuk apabila ada kerusakan Mencari penyebab kerusakan Menaksir kerugian Menetapkan penanggung jawab kerusakan a. Penyedia jasa b. Pengguna jasa c. Pihak lain
Proses penilaian Pemeriksaan kuantitatif Pemeriksaan ini di tujukan untuk mengevaluasi kondisi fisik bangunan yang didasarkan pada pengamatan visual dan/atau bantuan peralatan pengujian yang mengacu pada standar nasional dan atau internasional sesuai dengan tolak ukur kegagalan bangunan Pemeriksaan dilakukan dengan mengisi daftar simak (checklist) yang telah di persiapkan sesuai dengan fungsi dan jenis bangunan
Pemeriksaan kualitatif Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran yang lengkap akan kondisi fisik bangunan yang dikaitkan dengan acuan dan standar teknis yang berlaku dan diakui secara internasional. Dalam pemeriksaan ini juga diperhatikan aspek non teknis yang mengacu pada standar teknis, misalnya yang terkait dengan mutu udara dalam ruang, adanya polusi udara, baik berupa campuran bahan organik yang mudah menguap, pestisida, bahan yang mudah terbakar/meletup, dan baha alamiah yang polutan, maupun adanya medan elektromagnetik dan pengaruh kelembaban udara. Lebih jauh tahapan-tahapan penilaian kegagalan bangunan tersebut sebagaimana Gambar 1 berikut ini.
MK-10
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Manajemen Konstruksi
Gambar 1. Diagram Mekanisme Pemeriksaan Kegagalan Bangunan (LPJKN, 2007)
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
MK-11
Manajemen Konstruksi
3.
TOLAK UKUR KEGAGALAN BANGUNAN
Tolak ukur kegagalan bangunan diperlukan dalam rangka penilaian kegagalan bangunan, kriteria ini diperlukan sebagai dasar pemeriksaan sehingga terhindar dari keberpihakan pada salah satu unsur yang dinilai serta sebagai acuan dalam penilaian. Terdapat 5 bidang serta 17 sub bidang jasa konstruksi yang telah dikeluarkan tolak ukurnya oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional yaitu: 1. Bidang Arsitektur 2. Bidang Sipil (Struktur, SDA, Transportasi, Geoteknik) 3. Bidang Mekanikal 4. Bidang Elektrikal 5. Bidang Tata lingkungan Ada 17 buku tolak ukur kegagalan bangunan yang telah dikeluarkan oleh Lembaga Pengembanagn Jasa Konstruksi. Tolak ukur yang dipakai dalam menentukan kegagalan bangunan tersebut didasarkan pada ketentuan sebagai berikut: a. b. c. d.
Tolak ukur yang dipakai adalah bahwa semua bangunan harus direncanakan, dibangun dan dipelihara mengikuti peraturan nasional dan peraturan daerah. Segala ketentuan yang tidak tercakup dalam peraturan nasional dan peraturan daerah, selanjutnya dapat mengacu pada berbagai ketentuan atau standar yang diajukan oleh asosiasi-asosiasi profesi, pengguna jasa konstruksi. Untuk kondisi dimana dipergunakan secara bersamaan antara peraturan nasional, peraturan daerah dan ketentuan atau standar yang diajukan oleh asosiasi-asosiasi profesi, pengguna jasa baik sebagian atau secara keseluruhan, maka yang dipakai sebagai tolak ukurnya adalah yang memiliki ketentuan yang lebih baru. Dalam berkas perencanaan, perencana perlu mencantumkan peraturan-peraturan dan standar-standar yang dipergunakan.
Ada 5 (lima) komponen utama yang akan dilakukan penilaian yaitu perencanaan, sifat dan bahan bangunan, pengujian bahan dan bangunan/konstruksi, pelaksanaan pengawasan, pemeliharaan bangunan, secara lebih terinci sebagaimana pada Tabel 1 berikut ini . Tabel 1. Komponen Tolak Ukur Kegagalan Bangunan (LPJKN, 2007)
Peraturan Nasional dan Peraturan Daerah yang dipergunakan Ketentuan dan Standar yang dipergunakan
Peraturan Nasional
MK-12
Tolak Ukur Kegagalan Bangunan. 1. Perencanaan . SNI-Standar Nasional Indonesia . Perda SNI, ACI, ASCE, AISC, ATC, API, AWS, AASHTO, ASME, ANSI, AITC, AIJ, AS, AWWA, BSI, BSSC, Caltrans, CRSI, CP, CSA, CIRIA, DIN, DNV, DOD, Eurocode, FEMA, FHWA, IBC, ICBO, ICE, JWA, NSSMFE, NCHRP, OTC, PCI, SNV, USBR, NZS, NHI, WES, WFCM, USACE, NAVFAC, NASA, NIBS, NRC, TCM, US Department of Commerce, US Department of Interior-Federal Waterpolution Control Administration, US Department of Interior-Water and Power Resources Service, Department of The Army and The Air Force, US Department of Army Technical Manual, Tolak Ukur Kegagalan Bangunan. 2. Sifat Bahan Bangunan . SNI-Standar Nasional Indonesia
Yang berlaku pada saat perencanaan dilakukan Yang dipakai pada saat perencanaan dilakukan (edisi terakir)
Yang berlaku pada saat perencanaan dilakukan
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Manajemen Konstruksi
SNI, ASTM, AS, BS, CP, Caltrans, DIN, PCI, PTI, JIS, ISO, RILEM, USACE, NASA, NIBS, NRC, NCHRP, WFCM, TCM Tolak Ukur Kegagalan Bangunan. 3. Pengujian Bahan dan Bangunan/Konstruksi . SNI-Standar Nasional Indonesia . Perda
Ketentuan dan Standar yang dipergunakan
Yang dipakai pada saat perencanaan dilakukan (edisi terakir)
Peraturan Nasional dan Peraturan Daerah yang dipergunakan
Yang berlaku pada saat perencanaan dilakukan
Ketentuan dan Standar yang dipergunakan
Peraturan Nasional dan Peraturan Daerah yang dipergunakan Ketentuan dan Standar yang dipergunakan
Peraturan Nasional Ketentuan dan Standar yang dipergunakan
4.
SNI, ASTM, ACI, ASCE, AISC, API, AWS, AASHTO, AS, BSI, Caltrans, CP, DIN, Eurocode, ERDC, FHWA, IBC, ICBO, UBC, OTC, PCI, TNO, NZS, USACE, NAVFAC, NASA, NIBS, NIST, NRC, NCHRP, WFCM, TCM Tolak Ukur Kegagalan Bangunan. 4. Pelaksanaan dan Pengawasan . SNI-Standar Nasional Indonesia . Perda
Yang dipakai pada saat perencanaan dilakukan (edisi terakir)
SNI, ACI, ASCE, AISC, ASTM, API, AWS, AASHTO, CP, Caltrans, DIN, FHWA, PCI, PTI, USBR, USACE, NASA, NIBS, NCHRP, WFCM, TCM Tolak Ukur Kegagalan Bangunan. 5. Pemeliharaan Bangunan. . SNI-Standar Nasional Indonesia . Perda SNI, ACI, ASCE, AISC, AWS, AASHTO, BSI, CP, Caltrans, DIN, FHWA, USBR, USACE, NAVFAC, NASA, NIBS, NCHRP,
Yang dipakai pada saat perencanaan dilakukan (edisi terakir)
Yang berlaku pada saat perencanaan dilakukan
Yang berlaku pada saat perencanaan dilakukan Yang dipakai pada saat perencanaan dilakukan (edisi terakir)
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Profesionalisme jasa konstruksi Produk Konstruksi merupakan hasil karya dari para praktisi konstruksi, umumnya terdiri dari gabungan para ahli dan teknisi konstruksi, yang secara bersama mulai dari tahap awal (penyelidikan / studi) kemudian dilanjutkan dengan proses perencanaan hingga diakhiri dengan langkah pelaksanaan, bekerja sesuai dengan bidangnya masingmasing dengan tujuan menghasilkan produk jasa konstruksi yang baik sesuai dengan keinginan pengguna jasa. Pegangan dasar dari ikatan kerja antara para praktisi konstruksi dengan pengguna jasa/pemilik umumnya menjadi pengikat dan penentu atas tanggung jawab masing-masing pihak. Walaupun demikian mengingat bahwa produk konstruksi umumnya merupakan produk yang juga mempengaruhi lingkungan sekeliling dan masyarakat pengguna, maka kesepakatan yang tercantum dalam pengikatan kerja harus mencantumkan standar konstruksi yang dipakai/harus diikuti agar produk konstruksi tersebut memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan. UU No. 18 th. 1999 tentang Jasa Konstruksi menyikapi hal di atas dengan menetapkan hal-hal berikut: Bab II Asas dan Tujuan, § Ayat 2: Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. § Ayat 3, b: Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
MK-13
Manajemen Konstruksi
Bab III Tanggung Jawab Profesional: § Ayat 1: Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya § Ayat 2: Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum Sehinga jelas bahwa semua ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam UU No 18 th 1999 tentang Jasa Konstruksi bermuara pada satu kepentingan, yaitu menata kegiatan jasa konstruksi agar minimal kepentingan (dan keselamatan) umum di kedepankan. Berikut ini adalah mekanisme tanggung jawab professional sebagaimana diatur dalam UU No 18 Tahun 1999, sebagaimana Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme Tanggung Jawab Profesi (UU No. 18, tahun 1999) Sanksi penyelenggara jasa konstruksi sebagai pasal 43 undang-undang jasa konstruksi adalah sebagai berikut : 1. 2.
Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan ketehnikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 % (sepuluh persen) dari nilai kontrak. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan ketehnikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan
MK-14
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Manajemen Konstruksi
3.
bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (sepuluh persen) dari nilai kontrak. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan pemyimpangan terhadap ketentuan ketehnikan atau menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 % (sepuluh persen) dari nilai kontrak.
Pada kajian ini dilakukan pengumpulan data lewat kuisioner kepada responden para pelaku jasa konstruksi yang terdiri dari pengguna jasa, penyedia jasa serta para akademisi dengan jumlah 150 respoden. Dari hasil kajian tersebut, sebagian besar besar responden (kl 93%)) menyatakan perlunya pembuktian kompetensi para ahli sipil dilakukan lewat kepemilikan Sertifikat Keahlian (SKA). Pendapat ini disampaikan baik kalangan pengguna jasa, penyedia jasa serta kalangan akademisi. Disamping itu juga didapatkan informasi bahwa lulusan S1 saat ini, kualitas kompetensinya belum mengembirakan (rendah 20%, cukup dan perlu pelatihan 45%, Bagus tapi perlu pelatihan 35%), juga para pengguna dan penyedia jasa (68%), menghendaki pendidikan kekhususan dalam bidang sipil, seperti bidang struktur, keairan, transportasi. Juga pendapat dari para responden tentang perlunya pendidikan tambahan yang penting adalah hukum konstruksi (40%), Interpersonal skill (36%). Entrepeneurship (22%).
Pemahaman terhadap kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan Berdasarkan data hasil penyebaran kuisioner yang dilakukan kepada pengguna, penyedia jasa serta kalangan akademisi, yang terkait dengan pemahaman terhadap kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan, didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Para pengguna dan penyedia jasa masih ada yang belum mengerti terhadap kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan (kl 34%), yang sudah mengerti 58%, serta yang sudah sangat mengerti/memahami baru 8%. 2. Pada umumnya menyatakan tidak setuju jika resiko kegagalan konstruksi/kegagalan bangunan ditanggung renteng oleh konsultan perencana, pengawas dan kontraktor. Oleh karena itu perlunya penilai ahli serta tolak ukur kegagalan bangunan.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Peran perguruan tinggi sangat diperlukan dalam rangka penyiapan kompetensi sarjana sipil sesuai dengan bidang dan sub bidang sebagaimana jenis praktek jasa konstruksi. Disamping itu disarankan pendidikan teknik sipil bekerja sama dengan asosiasi keahlian yang mengeluarkan sertifikat keahlian yang berupa bukti kompetensi, dalam rangka meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan jasa konstruksi.
DAFTAR PUSTAKA Dradjat Hoedajanto (2006), Etika Profesi Dalam Karya Konstruksi, Seminar HAKI Provinsi Riau, Pekanbaru. Peraturan Pemerintah RI no 29 tahun 2000, Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruks, Jakarta Peraturan Pemerintah RI no 28 tahun 2000, Tentang Peran Serta Masyarakat Jasa Konstruksi,Jakarta. Peraturan Pemerintah RI no 30 tahun 2000, Tentang Pembinaan Usaha Jasa Konstruksi, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia no 18 tahun 1999, tentang Jasa Konstruksi, Jakarta. LPJK-N (2007), Tolak Ukur Kegagalan Bangunan, Jakarta.
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
MK-15
Manajemen Konstruksi
MK-16
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011