KEDUDUKAN SAKSI VERBALISAN DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK)
SKRIPSI
Oleh: BENNY SURYA ABDI TARIGAN E1A008151
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
KEDUDUKAN SAKSI VERBALISAN DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
BENNY SURYA ABDI TARIGAN E1A008151
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
LEMBAR PENGESAHAN
KEDUDUKAN SAKSI VERBALISAN DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK)
Oleh :
BENNY SURYA ABDI TARIGAN NIM. E1A008151 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Isi dan Format telah Diterima dan disetujui Pada Tanggal
Agustus 2012
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Pranoto, S.H.,MH
Handri Wirastuti.S. S.H.,MH
Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,MH
NIP. 19540305 198601 1 001
NIP. 19581019 198702 2001
NIP. 19640724 199002 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum UNSOED
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S NIP. 19520603 198003 2 001
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya : Nama
: BENNY SURYA ABDI TARIGAN
NIM
: E1A008151
Judul Skripsi
: KEDUDUKAN SAKSI VERBALISAN DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA No. 177/Pid.SUS/2011/PN.YK)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, Agustus 2012
Benny Surya Abdi Tarigan E1A008151
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL………………………………………………...................... i HALAMANPENGESAHAN……………………..……………………………... ii HALAMAN PERNYATAAN ………..……………………………………….... iii PRAKATA …………………….……………………………………………..…. iv DAFTAR ISI …………………………………….…………………………..…. vi ABSTRAKSI ………………………………………………………………….. viii ABSTRACT ……………………………………………………………………. ix BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 A. Latar Belakang Masalah ………….…………………………………. 1 B. Perumusan Masalah …………………………………………………. 5 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 6 D. Kegunaan Penelitian ………………………………………………… 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 7 A. Hukum Acara Pidana ……………………………………………..… 7 1. Pengertian Hukum Acara Pidana …………...…………………….. 7 2. Tujuan Hukum Acara Pidana ………………………..………….... 14 3. Asas Hukum Acara Pidana ……………………..…………………. 19 B. Pembuktian ………………………………………………..………… 23 1. Pengertian Pembuktian …………….……………………………… 23 2. Teori Pembuktian …………………………………………………. 25 3. Alat Bukti …………………………………………………………. 28 C. Saksi Verbalisan ……………………………………….…………..... 44
1. Pengertian Saksi Verbalisan ……………..……………………… 44 2. Berita Acara Penyidikan Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan .49 D. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………………………………… 51 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..………………… 51 2. Pembuktian Kekerasan Dalam Rumah Tangga………...……….. 54 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 58 A. Metode Pendekatan ……………………………………………….. 58 B. Spesifikasi Penelitian ……………………………………….......... 58 C. Sumber Data …………………………………………………….… 58 D. Metode Pengumpulan Data ……………………………..………… 60 E. Metode Penyajian Data …………………………………..……..… 60 F. Metode Analisis Data ……………………………………….......... 61 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………..……. 62 A. Hasil Penelitian …………………………………………………... 62 B. Pembahasan ………………………………………………..……... 84 BAB V. PENUTUP …………………………………………………..……... 97 A. Kesimpulan ………………………………………………..……… 97 B. Saran ………………………………………………….…………… 98 DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAKSI KEDUDUKAN SAKSI VERBALISAN DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA No. 177/Pid.SUS/2011/PN.YK) OLEH BENNY SURYA ABDI TARIGAN E1A008151 Pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur tentang tata cara serta alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, baik berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran dalam rumah tangga. Pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menggunakan tata cara serta alat-alat bukti yang diatur di dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi Verbalisan adalah penyidik yang bertugas membuat berita acara penyidikan yang kemudian dipanggil untuk menjadi saksi dalam persidangan dikarenakan adanya bantahan terdakwa/saksi terhadap muatan berita acara penyidikan. Latar belakang adanya saksi verbalisan terdapat dalam Pasal 163 KUHAP yang merumuskan bahwa jika keterangan di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, maka hakim mengingatkan saksi tentang hal itu, serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer sebagai penunjang data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK dapat diketahui bahwa kedudukan saksi verbalisan dalam pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah menjadi salah satu unsur untuk membantu menemukan bukti dalam persidangan.
Kata kunci : pembuktian, kekerasan dalam rumah tangga, saksi verbalisan.
ABSTRACT THE VERBALIST POSITION FOR DOMESTIC VIOLENCE VERIFICATION (JURIDICAL REVIEW OF YOGYAKARTA ADJUDICATION NO. 177/Pid.SUS/2011/PN.YK) BY BENNY SURYA ABDI TARIGAN E1A008151
Verification is a clause which controlling the procedure and the evidence could be used for establish the defendant faults. The protection for domestic violence victims is guaranting by Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 about Domestic Violance abolishment, such physical violence, psychological violence, sexual violence or domestic neglected. The verification of domestic violence which has been explained by article 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 about domestic violence abolishment is using the procedure and the evidence which regulated in Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Verbalist is the investigator who was maked the official investigation and than being a testifier in the court because there is a contradiction between the accused evidence and the official investigation. The origin of verbalist explained in article 163 KUHAP which indicate that if the accused evidence is different with the official investigation, so that the Judge will remind the accused about that. The researching adopted Normative-Law researching method with analyze-descriptive researching method. The data which used is second data and first data as a support for second data. According to this research towards the juridical review of Yogyakarta Adjudication No. 177/Pid.SUS/2011/PN.YK, could be discovered that the verbalist position for domestic violence verification is become one of the element for assist to find evidence in the court. Keyword : verification, domestic violence, verbalist
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hakekat manusia sebagai mahkluk sosial menjadikannya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari tidak akan terpisahkan dari hubunganhubungan hukum. Hubungan hukum merupakan hubungan antara subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang memiliki akibat hukum. Salah satu wujud hubungan hukum tersebut adalah ikatan perkawinan. Menurut pendapat Soetojo Prawirohamidjojo1 Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara; atau dengan kata lain perkawinan merupakan suatu hubungan hukum yang terjadi karena suatu perjanjian di lapangan hukum keluarga dan menimbulkan status sebagai suami isteri dan bertujuan untuk hidup bersama. Dasar perkawinan di Indonesia yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui ketentuan Pasal 1 tersebut dapat diketahui bahwa salah satu tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah suatu hubungan yang bahagia dan kekal. Untuk mencapai suasana kebahagiaan tersebut diisyaratkan harus atas dasar “ikatan lahir
1
Soetojo, Prawirohamidjojo, Hukum Orang Dan Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1989, hal. 31.
bathin” yang didasarkan atas kesepakatan (konsensus) antara calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita.2 Setiap manusia pada umumnya menginginkan kehidupan yang harmonis, bahagia dan kekal dalam keluarganya. Namun fenomena yang sering terjadi adalah adanya konflik antar anggota keluarga, dan yang lebih tidak diharapkan apabila konflik tersebut mengarah ke suatu bentuk kekerasan yang dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga. UndangUndang Perkawinan bertujuan untuk menjamin kehidupan rumah tangga yang bahagia, terhindar dari berbagai bentuk kekerasan antara suami dan isteri. Pada perkembangannya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga semakin banyak terjadi dan sebagian besar menimpa kaum perempuan. Oleh sebab itu, pada tanggal 22 September Tahun 2004 pemerintah mensahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dibentuknya undang-undang ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia dalam berbagai aspek khususnya dalam lingkup rumah tangga. Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan yang terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, ancaman, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah menjadi “payung” bagi para korban tindak pidana kekerasan dalam rumah kurang lebih selama delapan tahun.
2
Subekti, Trusto, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009, hal.25.
Undang-Undang ini mempunyai tujuan yang tercantum dalam Pasal 4 yang menyebutkan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. b. c. d.
Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilarang dalam lingkup rumah tangga
berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu dengan cara : a. b. c. d.
Kekerasan fisik; Kekerasan psikis; Kekerasan seksual; Penelantaran rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga pada awalnya dianggap lingkungan
privat seseorang dalam rumah tangganya, yang tidak dapat dimasuki oleh pihak lain. Hal ini menyebabkan kasus kekerasan dalam rumah tangga sering tidak terlaporkan dan meskipun sudah masuk dalam tahap pemeriksaan persidangan, biasanya dapat menimbulkan kendala dalam pembuktiannya. Pembuktian yang kurang akan mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus perkara kekerasan dalam rumah tangga dan pada akhirnya akan merusak rasa keadilan korban. Menurut pendapat M.Yahya Harahap3, Pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahn yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
3
Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Edisi II, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.273.
Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti keterangan saksi berada pada urutan pertama. Hal ini membawa konsekuensi ketika memasuki acara pembuktian dihadapan persidangan, yang selalu diajukan pertama adalah keterangan saksi. Namun diantara para saksi yang akan dimintai keterangan, yang harus didahulukan adalah keterangan dari saksi yang menjadi korban. Adapun yang dimaksud dengan dengan saksi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Ketentuan mengenai alat bukti saksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbeda dengan yang ada di dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menyatakan bahwa, keterangan seorang saksi korban sudah cukup menbuktikan bahwa terdakwa bersalah. Namun demi kepentingan pembuktian tidak ada pembatasan bagi hakim untuk meminta diajukannya alat bukti lain selain keterangan saksi korban tersebut. Alat bukti keterangan terdakwa di dalam praktek selalu berada pada urutan terakhir. Menurut Pasal 189 ayat 1 KUHAP Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Memeriksa terdakwa adalah tidak semudah yang diperkirakan, karena terdakwa mempunyai hak ingkar, dan dapat mengaku yang bukan sebenarnya lebih-lebih apabila sudah ada rencana antara terdakwa dan para saksi, tanpa kearipan hakim keputusan akan menjadi fatal.4
4
Suharto, RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal.159.
Praktek yang terjadi di persidangan tidak jarang terdakwa memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan yang ada di dalam BAP. Apabila hal tersebut terjadi hakim ketua sidang akan mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada termasuk dengan memanggil penyidik yang membuat BAP terdakwa. Penyidik tersebut yang dalam persidangan disebut dengan saksi verbalisan. Atas permintaan hakim atau penuntut umum, oleh saksi verbalisan tersebut selanjutnya akan menjelaskan jalan proses penyidikan terdakwa di luar persidangan dan dibacakan pernyataan yang telah dibuat terdakwa pada saat proses penyidikan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut penulis terdorong untuk mengkaji peranan saksi verbalisan dengan menyusun skripsi dengan judul : Kedudukan Saksi Verbalisan Dalam Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK).
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kedudukan saksi verbalisan dalam pembuktian tindak Pidana Kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK ?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan pidana percobaan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Putusan No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK ?
C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui kedudukan saksi verbalisan dalam pembuktian kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan pidana percobaan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Putusan No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK.
D. KEGUNAAN PENELITIAN 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan dan menambah kepustakaan hukum acara pidana. 2. Kegunaan Terapan/ Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kedudukan saksi verbalisan dalam pembuktian tindak pidana kekerasan rumah tangga di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. HUKUM ACARA PIDANA 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum itu lahir dari manusia sebagai pedoman dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia itu sendiri. Sebagai kodratnya sebagai mahluk sosial, manusia selalu hidup bersama, dan secara alamiah tiap individu akan menyelaraskan dirinya dengan kelompok manusia dimana dia berada. Dalam proses penyelarasan tersebut terdapat norma-norma atau kaidah-kaidah yang sangat berpengaruh dalam menentukan perilaku tiap anggota masyarakatnya. Dari beberapa norma yang hidup dalam masyarakat tersebut, terdapat norma hukum yang lebih bersifat memaksa dan memiliki sanksi yang tegas dibandingkan norma lainnya. Norma hukum dibuat untuk melindungi hak dan kewajiban setiap orang dalam masyarakat sekaligus menjadi panduan masyarakat tersebut untuk menyelesaikan tiap-tiap kepentingan apabila dalam kehidupannya kemungkinan terjadi pertentangan. Kemungkinan pertentangan yang terjadi salah satunya dalam lingkup hukum pidana. Menurut pendapat Prof Sudarto, S.H., hukum pidana itu memuat aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.5 Jika suatu perbuatan menurut aturan hukum pidana, merupakan perbuatan yang diancam dengan hukum pidana maka akan muncul pertanyaan tentang bagaimanakah cara untuk menuntut seseorang guna mendapat hukum 5
Tanusubroto, Soewiyatno, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Penerbit Armico, Bandung, 1984, hal.10.
pidana, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan suatu hukum pidana harus dijalankan.6 Menurut pendapat Tanusubroto Soewiyatno7, pengaturan dalam Hukum Acara Pidana ada dua macam kepentingan, yaitu : a. Kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga jangan sampai seseorang yang ridak berdosa mendapat hukuman, atau kalau dia memang berdosa, jangan sampai dia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak berimbang dengan kesalahannya; b. Kepentingan Masyarkat, bahwa seseorang yang melanggar suatu peraturan hukum pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya guna keamanan masyarakat. Pengertian Hukum Acara Pidana tidak disebutkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun dalam peraturan perundang-undangan Indonesia lainnya. KUHAP hanya memberikan batasanbatasan mengenai beberapa bagian hukum acara pidana serta tatacara peradilan dalam tingkat peradilan umum dan semua tingkat peradilan. Berdasarkan objek catatan sejarah perkembangan hukum acara pidana di dunia dimulai dua ribu tahun lalu pada zaman Romawi. Dalam bukunya yang dikenal dengan nama “De legibus”, Cicero menggambarkan bahwa alam memberikan hukum dan keadilan kepada manusia, dan meramalkan hukuman itu tidak selalu harus dijatuhkan oleh pengadilan yang tidak selamanya ada dan sekalipun ada seringkali berpihak untuk menyebelah. Sebelum abad ke 17-18 Leon Radzinowicz, menyatakan bahwa hukum acara pidana dan sistem peradilan di Inggris mempunyai sifat liberal setelah dipengaruhi oleh perubahan kekuasaan negara berdasarkan “the rule 6
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, 1962 cetakan ke lima, hal. 13. 7 Tanusubroto, Soewiyatno, Op.cit, halaman 18.
of law” dan dukungan yang kuat dari dokumen-dokumen seperti “Magna Carta 1215, Petition of Right 1628, Bill of Right 1689, dan Habeas Corpus 1679.” Sejarah perkembangan hukum acara pidana di Indonesia mulai tampak ketika pengaruh Hindu yang membawa kebudayaan seni bangunan, pemerintahan dan hukum disekitar abad ke 7 dan ke 8. Dugaan ini diperkuat dengan adanya pejabat “adhyaksa” yang mengepalai urusan ketenteraan dan agama termasuk pengadilan dan hukum atas nama raja.8 Pada zaman penjajahan belanda muncul Inland Reglement (Reglement Indonesia) yang disingkat menjadi I.R yang hanya berlaku bagi orang Indonesia asli dan bangsa timur asing, sedangkan untuk orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka menggunakan Reglement op Burgerlijke Recht Vordering dalam hukum acara perdatanya, sedangkan dalam acara pidananya menggunakan Reglement op de
Straftvordering. Kemudian terjadi
pembaharuan dengan dikeluarkannya Staatsblad 1941-44 dengan bentuk HIR (Herziene Inlandsch Reglement) staatblad Tahun 1941 Nomor 44 yang berdasarkan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 yang berlaku bagi masyarakat Jawa dan Madura yang berisi proses beracara pidana maupun perdata. Pada akhirnya di Tahun 1981 Indonesia untuk pertama kalinya mampu membuat kodefikasi tentang hukum acara pidana yang dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
8
Poernomo, Bambang, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Amarta Buku, Yogyakarta, 1984, hal. 5.
Hukum acara pidana berkaitan erat dengan hukum pidana karena menjadi pegangan bagaimana proses tuntutan pidana tersebut dijalankan dan pihak-pihak yang berwenang menjalankan tiap-tiap bagian dalam proses beracara tersebut. Hukum acara pidana menurut Bambang Poernomo9, dalam pengertian yang spesifik dapat disempitkan menjadi peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan dan eksekusi putusan hakim. Peraturan hukum acara mengenai proses beracara perkara pidana ini menjadi bahan materi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun Hukum Acara Pidana dalam pengertian yang spesifik meliputi bidang yang luas diartikan bahwa disamping memuat peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penunututan, pemeriksaaan sidang sampai putusan pengadilan, eksekusi putusan hakim, juga termasuk peraturan hukum tentang susunan peradilan, wewenang pengadilan, serta peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada kaitannya dengan urusan perkara pidana. Pengertian hukum acara pidana dan penuangannya dalam peraturan perundang-undangan ada perbedaannya bagi setiap negara. Kelainan judul dan isi tersebut merupakan hasil rumusan dari cara mengkaji luas lingkup bidang-bidang hukum acara pidana dan kemampuan teknis pembuatan undang-undang oleh badan pembentuk undang-undang untuk menghindari kesulitan menyusun sistematika dan memformulasikan dalam peraturan perundang-undangan. Istilah penggunaan hukum
acara pidana dianggap sudah tepat
dibandingkan hukum tuntutan pidana yang digunakan di Belanda dengan istilah strafvtordering. Karena tidak terdapat dalam peraturan perundangundangan, istilah hukum acara pidana lebih banyak didefinisikan oleh para
9
Ibid, halaman 14.
ahli hukum. Berikut adalah definisi hukum acara pidana menurut beberapa ahli hukum berdasarkan sudut pandangnya masing-masing : 1. Definisi menurut Van Bemmelen10 Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya pelanggaran undangundang pidana, yaitu sebagai berikut : a) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; b) Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu; c) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengungkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; d) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran dan dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa kepada hakim tersebut; e) Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; f) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; g) Akhirnya melaksankan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. Pengertian yang disebutkan di atas lebih mengedepankan adanya tahapan-tahapan dalam beracara pidana. Pada poin satu sampai empat menunjukkan tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Poin kelima menunjukkan adanya pemeriksaan dan putusan hakim dilanjutkan dengan upaya hukum yang dapat ditempuh, selanjutnya pada poin ke enam dan ke tujuh merupakan eksekusi pelaksanaan putusan hakim oleh jaksa. 2. Definisi menurut Wirjono Prodjodikoro11 Jika suatu perbuatan dari seseorang tertentu menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi jika ternyata ada hak Badan Pemerintah yang 10
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, Hal.6. 11 Prodjodikoro, Wirjono, Op.cit, halaman 15.
bersangkutan umtuk menuntut seseorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soal cara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan dapat suatu keputusan Pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman pidana, harus dijalankan. Hal ini semua harus diatur dan perturan inilah yang dinamakan Hukum Acara Pidana. Definisi ini menunjukkan adanya kewenangan pemerintah untuk melaksanakan tugasnya untuk melakukan tindakan hukum bagi orang yang melanggar ketertiban di dalam masyarakat dari proses hingga pengadilan yang menjatuhkan putusannya. Hukum acara pidana dalam hal ini berhubungan erat dengan hukum pidana dimana hukum pidana mengatur mengenai orang yang melakukan pelanggaran ataupun kejahatan (materiil) dan hukum acara pidana adalah tentang cara menegakkan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan agar tercipta ketertiban di masyarakat. 3. Definisi menurut J.De Kemper12 Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturanperaturan undang-undang yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana Undang-Undang pidana dilanggar. 4. Definisi menurut Simons13, Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. 5. Definisi menurut Sudarto14
12
Suryono, Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana I, Yayasan Cendikia Purna Dharma, Semarang, 1987, hal.5. 13 Loc.cit. 14 Loc.cit
Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar. 6. Definisi menurut C.S.T.Kansil15 Hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan hukum menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukum oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi dapat juga disebut rangkaian kaedah-kaedah hukum tentang cara memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana Materiil. Menurut pendapat Nikolas Simanjuntak16, dalam bukunya “Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum” dalam pemahaman yang spesifik, hukum acara secara sempit meliputi 6 (enam) tahapan, yakni (1) penyelidikan, (2) penyidikan, (3) penuntutan, (4) pemeriksaan sidang, sampai dengan (5) putusan pengadilan, dan (6) eksekusi pelaksanaan putusan hakim. Dengan demikian, menjadi semakin jelas dan tegas untuk dipahami bahwa hukum acara itu hanya terdiri atas suatu rangkaian proses yang sekurang-kurangnya meliputi ke enam tahapan tersebut. Namun dalam pemahaman yang lebih luas hukum acara pidana tidak diartikan hanya dalam tahapantahapan tersebut saja. Tahapan tambahannya antara lain susunan pengadilan, wewenang pengadilan, dan peraturan-peraturan kehakiman yang berkaitan dengan urusan perkara pidana. Susunan
peradilan
mengandung
pengertian
bahwa
untuk
menyelesaikan berbagai jenis perkara yang beraneka ragam, terdapat lebih dari satu lembaga atau badan peradilan. Hal ini berkaitan dengan pemisahan wewenang pengadilan yang dikenal dengan kompetensi absolut dan relatif dalam satu atau lebih lembaga peradilan. Saat ini menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ada empat badan peradilan, yaitu : 15
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal.330. 16 Nikolas, Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hal.18.
1. 2. 3. 4.
Peradilan Umum Peradilan Militer Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Agama
Materi Pokok hukum acara pidana adalah : o penyelesaian soal yang timbul dalam kehidupan masyarakat umum (publik) sejak terjadinya dugaan kasus sampai dengan selesai melaksanakan hukuman; o Acaranya dirangkai tersistem menurut prosedur tetap, yang ditentukan sebagai hukum dalam bentuk tertulis, tetapi juga dengan mengindahkan norma kebiasaan baik yang lazim berlaku sebagai hukum tak tertulis; o Subjek pelaksananya adalah pejabat umum yang ditentukan oleh hukum negara secara spesifik, yakni para pejabat selaku penyelidik, penyidik, pendakwa, penuntut, hakim pemeriksa di persidangan dan advokat sebagai pembela atau penasihat hukum; o di tingkat pertama sampai tingkat akhir, eksekutor dan pelaksana putusan hukum terhadap orang yang bersalah; o sampai dengan si tersalah dan si terpidana itu selesai menjalani hukumannya, dan dia dikembalikan ke kehidupan masyarakat umum yang normal.17
2. Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana sebagaimana secara umum diketahui berisi petunjuk dan uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, kepada siapa dan bagaimana hukum pidana dapat dijatuhkan. Keseluruhan petunjuk, syarat dan cara-cara tersebut telah diatur sedemikian rupa oleh pembuat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentunya ditujukan untuk suatu tujuan tertentu. Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut : Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, 17
Ibid, hal.20.
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Pada umumnya penulis hukum acara pidana menyatakan bahwa “menemukan kebenaran” merupakan tujuan hukum acara pidana. Namun dalam prosesnya untuk menemukan kebenaran tersebut hakim terikat pada batas-batas dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Kebenaran yang hendak dicapai dalam pemeriksaan suatu perkara pidana pada hakekatnya tidaklah dapat dipastikan sebagai kebenaran yang bersifat mutlak (materieele waarheid). Pada dasarnya yang dijamin adalah kebenaran yang tidak mutlak (formeel waarheid) yang kebenarannya ditinjau dari sudut ketentua-ketentuan
hukum.
Berdasarkan
pemikiran
tersebut
akan
menimbulkan kesan bahwa dalam proses pemeriksaan perkara pidana harus dapat dicapai kebenaran menurut hukum yang sedapat-dapatnya didukung oleh kebenaran nyata. Hukum acara pidana dalam hubungannya dengan pembangunan serta pembaharuan hukum sesuai dengan yang dimuat dalam penjelasan umum angka 2 alinea terakhir KUHAP mempunyai tujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajiban, dan agar dapat dicapai serta dapat ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantapnya hukum, keadilan
dan
perlindungan
yang
merupakan
pengayoman
terhadap
keseluruhan harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum
demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut pendapat Yahya Harahap18, landasan tujuan KUHAP tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa hal mengenai tujuan KUHAP yaitu : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat Menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang kepadanya serta apa kewajiban yang diberikan hukum kepada dirinya. Masyarakat yang tinggi kesadaran hak dan kewajiban hukumnya tidak mudah dipermainkan dengan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. b. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum Untuk mencapai tujuan ini maka diperlukan : - Meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing - Peningkatan pembinaan profesionalisme - Pembinaan peningkatan sikap mental. c. Tegaknya Hukum dan Keadilan Hukum dan keadilan ini bersifat relatif sehingga harus dilihat dari aspek peraturan yang ada di Indonesia yaitu hukum dan keadilan yang berlandaskan falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala perundang-undangan yang ada, cara penegakan hukum dan keadilan tersebut selengkapnya telah ditentukan pedoman tata cara prosedur dan prinsip-prinsip hukum yang ditentukan KUHAP. d. Melindungi Harkat Martabat Manusia Semua manusia adalah sama satu dengan yang lainnya mempunyai, mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan, sesuai dengan hakhak asasi yang melekat pada tiap diri manusia. e. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum Kehidupan bersama antar sesama anggota masyarakat yang dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan tertib dan lancar. Konsep RUU-KUHP 1971/1972 menyatakan bahwa tujun hukum pidana ialah mengayomi negara, masyarakat, badan-badan maupun warga negara Republik Indonesia serta penduduk lainnya terhadap tindak pidana yang menghambat dan/atau menghalangi cita-cita bangsa untuk mewujudkan 18
Harahap, M.Yahya, Op.cit, Hal.58-80
masyarakat Pancasila. Dengan melihat tujuan pembaharuan hukum serta tujuan hukum pidana dalam konsep RUU-KUHP 1971/1972 tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang mempunyai kepentingan dan menjadi pendukung hukum dalam proses penegakan baik hukum pidana maupun hukum acara pidana, yaitu: 1. Alat negara Pihak alat negara mendapat kewenangan atas nama negara mempunyai kepentingan melaksanakan peraturan hukum atas perundangundangan hukum pidana/acara pidana untuk bertindak secara preventif dan/atau represif terhadap segala kemungkinan akan terjadinya atau telah terjadinya perbuatan melawan hukum. Menurut Andi Hamzah19, bahwa : Polisi, Jaksa, Hakim tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi harus berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu KUHAP dan perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan acara pidana yang menyimpang. Menyangkut dengan kaitan antara KUHAP sebagai lex generali dan acara pidana dalam perundang-undangan diluar KUHP itu sebagai lex specialis. Maka KUHAP juga kurang khususnya pada pasal buntutnya. Disitu pasti ada ketentuan yang berbunyi : “KUHAP berlaku juga sebagai hukum acara bagi perundangundangan pidana diluar KUHP kecuali bagi perundang-undangan pidana diluar KUHP kecuali undang-undang yang bersangkutan menyimpang. 2. Pihak Masyarakat Secara langsung maupun tidak langsung pihak masyarakat selalu menjadi korban terjadinya suatu tindak pidana. Kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana akan dapat merusak rasa aman dan tentram masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupannya. 19
Hamzah, Andi, Op.cit, Hal.2.
3. Pihak orang yang dituntut dan diadili Undang-undang menjamin perlindungan hak asasi setiap individu tidak terkecuali bagi para pelaku tindak pidana. Oleh sebab itu dalam pemeriksaan baik itu di luar maupun di dalam pengadilan, pihak penegak hukum harus melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut cara serta batasan menurut hukum, dan tindakan lainnya sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku. Setiap orang terjamin kepentingan haknya untuk dibuktikan kesalahannya dalam sidang pengadilan, diberikan kesempatan yang cukup untuk mengajukan pembelaan terhadap tuduhan, dan kepentingan lainnya dalam proses perkara pidana agar tidak sematamata menjadi objek pemeriksaan perkara pidana melainkan menjadi subjek pemeriksaan perkara pidana. Menurut pendapat Andi Hamzah20, bahwa : Kebebasan tersangka atau terdakwa dalam hal memberikan keterangan menurut KUHAP masih perlu dimasyarakatkan. Hal ini hanya mungkin dicapai kalau telah ada kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat. Bukan saja pemeriksa atau penyidik yang harus menyadari tugas yang dipikulkan ke pundaknya yaitu mencari kebenaran material demi untuk kepentingan umum yang selaras dengan kepentingan individu, tetapi juga tersangka itu sendiri harus telah dapat mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibannya dalam masyarakat Pancasila ini. Menurut pendapat Romli Artasasmita21, KUHAP memiliki 5 tujuan yaitu : 1. Perlindungan atas hak dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa). 2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan. 3. Kualifikasi dan unifikasi hukum acara pidana. 20
Ibid, hal.63 Romli Artasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Jakarta, Hal.27. 21
4. Mencapai persatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum. 5. Mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendapat tersebut menitikberatkan tujuan hukum acara pidana sebagai salah satu sarana dalam menegakkan hak asasi manusia. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di depan hukum tanpa dibatasi oleh gender, ras, status sosial dan dijunjung tinggi oleh pemerintah sesuai dengan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28. Menurut pendapat Bambang Poernomo22, bahwa di dalam perkembangan keilmuan, tujuan hukum acara pidana tidak hanya sekedar menemukan kebenara dan keadilan dalam hukum, akan tetapi kemampuannya harus sampai kepada segala aspek yang terkandung dalam nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersangkutan. Aspekaspek kebenaran dan keadilan tersebut harus menyentuh hukum untuk kemanusiaan atau berperikemanusiaan. Van Bemmelen23, sebagaimana dikutip oleh Bambang Poernomo menyatakan bahwa ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) tugas pokok hukum acara pidana dalam rangka melaksanakan fungsinya, yakni : a. Mencari dan menemukan kebenaran hukum b. Memberikan suatu putusan hakim c. Melaksanakan (eksekusi) putusan hakim, dan menurut Bambang Poernomo, ditambahkan tugas keempat yaitu : d. Mengadakan tindakan penuntutan secara benar dan tepat. Juga menurut pendapat Nikolas Simanjuntak masih perlu ditambahkan tugas kelima yaitu : e. Memperjuangkan untuk melaksanakan perlindungan yang adil dan berkepastian bagi korban dan atau saksi/pelapor terjadinya perbuatan pidana itu. 3. Asas Hukum Acara Pidana Hukum pada masa lalu dianggap sebagai produk penguasa yang dilaksanakan dengan suatu wewenang yang absolut. Oleh sebab itu manusia 22 23
Poernomo, Bambang, Op.cit, Hal.29 Nikolas Simanjuntak, Op.cit, hal.27.
harus mentaati hukum tersebut apapun bentuknya dengan dalih bahwa hukum tersebut merupakan perintah Tuhan yang dibuat oleh penguasa (raja) sebagai perantaranya. Namun seiring dengan perkembangan pola pikir dan bertambahnya kebutuhan/keinginan, manusia semakin menyadari bahwa hukum yang dibuat penguasa tersebut tidak sesuai lagi dengan yang dicitacitakan masyarakat. Sehingga manusia mulai berlaih untuk mencari dasar yang lebih baik pada asas-asas yang terkandung dalam hukum itu sendiri agar perintah hukum tersebut dapat disesuaikan dengan situasi kejadian tertentu. Asas-asas hukum merupakan suatu ungkapan hukum yang bersifat lebih umum, oleh karenanya bersumber dari kesadaran dan keyakinan hukum kelompok manusia. Dari asas-asas hukum tersebutlah selanjutnya dibentuk hukum. Dengan demikian hukum atau undang-undang yang baik, harus sesuai dengan asas-asas hukum pembentukannya. Menurut pendapat Bambang Poernomo24 apabila ada peraturan perundang-undangan yang tidak dapat dukungan oleh suatu asas hukum maka peraturan itu kehilangan diri dari sifat hukumnya. Idealisme hukum mendorong para ahli hukum untuk selalu meninjau aspek hukum yang berlaku, mengukur kaedah hukum dengan akal, serta membentuk atau memperluas atau membatasi atau membangun kembali agar supaya bangunan hukum yang berlaku boleh serupa dengan yang dicita-citakan. Sesudah itu lalu mempergunakan asas-asas hukum untuk mengukur peraturan lama, mengadakan ketentuan-ketentuan baru, dan mencari keluasan untuk menerapkan peraturan apabila ada pertentangan dalam menghadapi situasi-situasi baru. Penjelasan umum KUHAP angka 3 menyebutkan tentang asas-asas yang terkandung di dalam KUHAP. Asas-asas tersebut antara lain : a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan perlakuan;
24
Poernomo, Bambang, Op.cit, hal.23
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang; c. Setiap orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap; d. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukum administrasi; e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan; f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya; g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum; h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa; i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang; j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.25 Menurut Pendapat Yahya Harahap26 sebagaimana yang digariskan dalam penejelasan KUHAP, prinsip atau asas-asas hukum acara pidana antara lain : a. Prinsip Legalitas Asas atau prinsip ini didasarkan pada konsiderans KUHAP huruf a yang menyebutkan : “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 25
M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Hal.36. 26 Loc.cit
b.
c.
d.
e.
f.
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. Prinsip Keseimbangan Asas atau prinsip ini sesuai dengan konsiderans huruf c yang menegaskan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkar dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Asas penggabungan pidana dengan ganti rugi (perdata) KUHAP memberikan prosedur hukum bagi seorang “korban” tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung. Hal ini diatur dalam Bab XIII Pasal 98-101 KUHAP. Namun putusan ganti rugi memiliki kekuatan hukum tetap apabila perkara pidananya juga memiliki kekuatan hukum tetap. Asas Unifikasi Asas ini sesuai dengan konsiderans KUHAP huruf b yang menyebutkan : Bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam GBHN (TAP MPR-RI Nomor IV/MPR 1978), perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi, serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata Wawasan Nusantara. Prinsip Differensiasi Fungsional Prinsip differensiai fungsional adalah penjelasan dan penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan asas penjernihan dan modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Akan tetapi penjernihan tersebut diatur sedemikian rupa agar tetap terbina saling koordinasi dan korelasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara instansi yang satu dengan instansi yang lain sampai pada pelaksanaan (eksekusi) putusan. Prinsip saling koordinasi Sekalipun KUHAP menggariskan pembagian wewenang secara instansional, KUHAP sendiri memuat ketentuan-ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang dititikberatkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbinanya suatu team aparat penegak hukum yang dibebani tugas saling mengawasi dalam sistem sesama mereka.
B. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan bagian yang sangat menentukan dalam menentukan hasil dari pemeriksaan dalam persidangan. Pada proses pembuktian inilah hakim dengan mendasarkan pada alat-alat bukti yang diajukan di hadapan persidangan akan memberikan putusan tentang bersalah tidaknya terdakwa. Oleh sebab itu dalam posisi ini, alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti tersebut menjadi faktor yang menentukan penilaian hakim. Selain itu sangat dibutuhkan kecermatan dan kehati-hatian hakim dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Menurut Andi Hamzah27, ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembuktian dapat diartikan sebagai berikut : - Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, keseluruhannya terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. - Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang secara “limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan terutama dalam kasus yang sulit harus bekerja secara aktif untuk menemukan kebenaran tentang peristiwa yang terjadi untuk menjadi dasar keyakinannya 27
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal 274.
menentukan hukum dan keputusannya. Sekalipun dalam hal upaya pembuktian tetap menggantungkan alat-alat bukti yang disajikan oleh penuntut umum, terdakwa atau pembelanya, tidak menguramgi wewenang hakim untuk berusaha melengkapi alat-alat bukti yang diperlukan dengan mengacu pada tata cara yang diatur dalam undang-undang. Menurut pendapat Darwan Prints28, bahwa : Dalam proses pembuktian Hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Atau kalau memang ia bersalah, hukuman yang dijatuhkan harus seimbang dengan kesalahannya. Sistem pembuktian perkara pidana menurut Nikolas Simanjuntak29, menganut prinsip bahwa yang harus dibuktikan adalah ditemukannya kebenaran materiil. Oleh karenanya setiap kejadian dan fakta dalam perkara pidana harus dapat dibenarkan apa adanya berdasarkan 2 sisi yaitu : a. Material objektif, artinya bahwa kebenaran itu bukan sekedar bentuk-bentuk peristiwa itu saja secara formal. Dalam perkara pidana, harus dapat diungkapkan juga mengenai kebenaran substansi, isi, hakikat, nature, dan sifat dari peristiwa atau kejadian itu. b. Material Impersonal, artinya isi kebenaran itu tidak tergantung kepada siapa/orang yang mengungkapkannya. Kebenaran itu muncul dan ditemukan setelah peristiwa diketahui terbukti. Bukan sebaliknya, kebenaran itu sudah dirumuskan lebih dahulu dalam pikiran menurut imazinasi perumus, lalu unutk itu dibentuk premis-premis yang membuktikan pikiran si perumus tersebut.
28
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, 1989, hal.105. 29 Nikolas Simanjuntak, Op.cit, hal.238.
2. Teori Pembuktian
Teori atau sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Menurut M. Yahya Harahap30, berdasarkan ajaran hukum acara pidana, ada beberapa teori/sistem pembuktian, yaitu : a. Conviction in time Menurut sistem conviction in time, untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan hakim. Keyakinan tersebut dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Dalam sistem ini dapat disimpulkan bahwa keyakinan hakim memiliki kedudukan yang absolut untuk menentukan kesalahan terdakwa. Walaupun kesalahan terdakwa cukup terbukti melalui alat-alat bukti yang diajukan dihadapan persidangan, akan tetapi apabila hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa maka terdakwa dapat dinyatakan bebas oleh hakim tersebut. keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran materiil menurut sistem ini. b. Conviction Raisonee Dalam sistem ini juga dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Berbeda dengan sistem conviction in time yang meletakkan faktor keyakinan hakim secara dominan, pada sistem conviction raisonee keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan dapat diterima akal. c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Sistem pembuktian ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian conviction in time. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Apabila sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah 30
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal 277-278.
cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Dibandingkan dengan sistem pembuktian conviction in time, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dapat dikatakan lebih sesuai untuk digunakan. Hal ini dikarenakan penjatuhan sanksi kepada terdakwa diletakkan berdasarkan kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum apabila dakwaan yang ditujukan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang. d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif Sistem pembuktian ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. Sistem pembuktian menurut undangundang secara negative “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sehingga membentuk suatu rumusan bahwa salah tidaknya seorang ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Sistem
pembuktian
menurut
undang-undang
secara
negatif
menggabungkan 2 unsur dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Kedua unsur tersebut adalah : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang disahkan oleh undang-undang. 2. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dari keempat teori pembuktian yang telah disebutkan di atas, sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative (negatief wettelijk stelsel). Hal ini dapat dilihat melalui ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. KUHAP melalui ketentuan Pasal 183 tersebut secara langsung telah menentukan batas minimum pembuktian untuk menentukan kesalahan terdakwa yaitu harus minimal dengan mengajukan 2 alat bukti yang sah menurut undang-undang. Jadi jika hanya menggunakan satu alat bukti saja sekuat apapun nilai kekuatan pembuktiannya, undang-undang menilai bahwa itu belum cukup. Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 itu bermakna bahwa keyakinan hakim ditujukan terhadap ditemukannya minimal dua alat bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim itu juga ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar terdakwa yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga membenarkan pelakunya adalah terdakwa. Yang negative terhadap undang-undang ada dua hal, yakni (a) alat-alat bukti minimal dua (KUHAP Pasal 184jo.183) dan (b) pelaku tindak pidana benar dapat dihukum (KUHP(pidana materiil) Pasal 1jo. Pasal 4851jo. Pasal 76-79). Di luar kedua hal yang diatur UU itu (negatif) tidak boleh diyakini oleh hakim dalam memutuskan menghukum.31 Pasal 183 KUHAP selain menyebutkan batas minimum alat bukti yang
digunakan,
juga
menegaskan
unsur
keyakinan
hakim
untuk
membuktikan kesalah terdakwa. Keyakinan dalam tindakan etis profesi berada di dalam dan dengan pertanggungjawaban hati nurani. Hati nurani berada di luar dari garis demarkasi kepentingan, kuasa, nafsu, dan semacamnya.32 Oleh sebab itu hakim dilarang memeriksa suatu perkara bilamana ada benturan dengan kepentingan pribadinya agar putusan yang
31 32
Nikolas, Simanjuntak, Op.cit, hal.244. Ibid, hal.47.
dihasilkan sesuai dengan prinsip kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Hal ini juga ditegaskan di dalam KUHAP Pasal 220 yang menyebutkan : 1. Ayat (1), tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. 2. Ayat (2), hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri, baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukumnya. Demikian juga dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa : 1. Ayat (3), seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera. 2. Ayat (4), ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat. 3. Ayat (6), dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3. Alat Bukti Proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan sesuai dengan asas hukum acara pidana yang telah disebutkan sebelumnya, dilakukan secara langsung kepada terdakwa serta orang-orang yang terlibat dalam perkara, dengan mengadakan pembicaraan lisan berupa tanya jawab yang dipimpin oleh hakim ketua sidang. Seperti yang telah dijelaskan, sistem pembuktian di Indonesia menggunakan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sehingga proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan
dengan menghubungkan dakwaan yang ditujukan kepada terdakwa dengan alat-alat bukti yang ada. Akan sangat sulit untuk mengungkap suatu perkara bilamana tidak diperoleh alat-alat bukti yang cukup. Dalam rangka melakukan pembuktian di Persidangan, menurut Moch.Faisal Salam33, maka hakim harus membuktikan yaitu : 1. Apakah betul suatu peristiwa pidana itu telah terjadi; 2. Kalau peristiwa itu telah terjadi, maka harus dibuktikan bahwa peristiwa yang telah terjadi itu merupakan suatu tindak pidana; 3. Hakim harus membuktikan pula apa yang menjadi alasan atau yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut; 4. Di dalam peristiwa yang telah terjadi itu, harus diketahui pula siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa itu. Untuk mendapatkan kebenaran yang dimaksud tersebut, KUHAP memberikan batasan alat-alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan dihadapan persidangan dalam Pasal 184 ayat (1), alat-alat bukti tersebut antara lain : a. b. c. d. e.
Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa.
Melalui alat-alat bukti tersebut maka akan diperoleh apa yang menjadi tujuan pembuktian yaitu mencari dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang terdapat pada suatu perkara (kebenaran materiil). Agar memiliki kekuatan pembuktian yang sah, pada prinsipnya keseluruhan alat bukti tersebut harus diajukan secara langsung dihadapan persidangan.
33
Salam, Moch.Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 295.
1. Keterangan Saksi KUHAP memberikan definisi dari keterangan saksi dalam Pasal 1 butir 27 yang menyebutkan bahwa keterangan saksi adalah : Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sebelumnya dalam butir 26 juga telah dijelaskan definisi dari saksi itu adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Berdasarkan dua ketentuan yang dimuat dalam KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa ada 3 syarat sekaligus dasar pertanggungjawaban keterangan saksi, yaitu peristiwa tersebut haruslah dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Dengan demikian baru keterangan yang diajukan tersebut memiliki kekuatan sebagai alat bukti. Menurut Nikolas Simanjuntak34, bahwa : Tampak ada tiga tolak ukur tanggung jawab keterangan saksi, yakni (a) melihat, (b) mendengar, (c) mengalami. Instrument alat ukur itu adalah mata, telinga, dan perasaan yang semuanya bersifat inderawi alami normal. Opini sebagai hasil rumusan olah pikir yang menjadi pendapat, asumsi, pernyataan, analisis atau kesimpulan dari saksi bukanlah bernilai alat bukti sehingga karena itu harus segera ditolak oleh penyidik pada saat penyidikan, dan hakim yang memimpin sidang atau oleh penuntut umum dan atau advokat. Oleh sebab itu yang menjadi dasar alat pembuktian adalah narasi deskriptif representasi peristiwa, kejadian atau situasi yang nyata berlangsung dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan dialami sendiri oleh saksi.
34
Nikolas, Simanjuntak, Op.cit, hal.263.
Berdasarkan pengertian dari saksi dan keterangan saksi yang disebutkan di atas, maka keterangan saksi yang didengar dari orang lain tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dipersidangan. Keterangan saksi yang demikian dikenal dengan keterangan testimonium de auditum. Menurut pendapat Andi Hamzah35, sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian keterangan saksi de auditu tetap dapat didengarkan oleh hakim sebagai salah satu bahan yang memperkuat keyakinan hakim. Wirjono Prodjodikoro36, berpendapat bahwa hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik, bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu, dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa. Sebelum memberikan keterangan dihadapan persidangan, saksi diwajibkan untuk mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang mana sumpah tersebut harus dilakukan menurut cara agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Terdapat pengecualian dalam Pasal 160 ayat (4) KUHAP, yaitu kemungkinan dilakukannya sumpah setelah saksi memberikan 35
Hamzah, Andi, Op.cit, hal.261. Wirjono, Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967, hal 80. 36
keterangan, tapi hanya dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan. Namun dalam praktek pada umumnya sumpah/janji saksi lebih sering dilakukan sebelum memberikan keterangan. Keterangan saksi yang tidak disumpah tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, namun keterangan tersebut dapat digunakan untuk menguatkan keyakinan hakim (Penjelasan Pasal 161 ayat (2)). Sumpah/janji yang diucapkan oleh saksi tersebut akan menjadi dasar pertanggungjawaban atas seluruh keterangan yang akan diberikannya. Apabila saksi memberikan keterangan yang disangka palsu, maka saksi tersebut dapat dituntut atas dakwaan sumpah palsu setelah sebelumnya diberi peringatan oleh hakim (Pasal 174 KUHAP). Dalam hal saksi menolak untuk melakukan sumpah/janji tanpa alasan yang sah, sesuai dengan ketentuan Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP pemeriksaan akan tetap dilakukan dan saksi tersebut dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama 14 hari. Pasal 171 KUHAP memberikan kemungkinan diberikannya keterangan tanpa melakukan sumpah/janji dengan alasan sebagai berikut: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, dan juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, gila, meskipun kadang-kadang saja, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana sehingga keterangan tersebut hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja.
Pada prinsipnya menjadi saksi adalah kewajiban setiap orang, bahkan penolakan terhadap panggilan untuk memberikan keterangan sebagai saksi dihadapan persidangan dapat dikenakan ancaman pidana. Pengecualian untuk menjadi saksi selain alasan ketidakcakapan, juga terdapat sebab-sebab lain yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP, yaitu : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 2. Keterangan Ahli Definisi umum dari keterangan ahli dicantumkan dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang menyebutkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya dalam Pasal 186 KUHAP menyebutkan keterangan ahli dalam proses yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang. Keterangan
ahli
sebagaimana
dengan
keterangan
saksi
juga
diwajibkan untuk disumpah. Perbedaannya dalam hal ini sumpah yang disebutkan seorang ahli adalah untuk memberikan keterangan yang sebaikbaiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya (Pasal 179 ayat (2) KUHAP). Jadi keterangan seorang saksi ahli tidaklah harus bertitik tolak pada fungsi indera penglihatan, pendengaran serta pengalaman sendiri terhadap suatu peristiwa. Melainkan didasarkan
pada kontruksi pikir, opini, yang terbentuk melalui pengetahuan atau keahlian yang dimilikinya. Berkaitan dengan siapa dan kategori seperti apa yang disebut sebagai ahli tersebut, tidaklah dijelaskan dalam KUHAP. California Evidense Code sebagai aturan tentang saksi yang berlaku di negara bagian California, USA, merumuskan
definisi
ahli
secara
lebih
lengkap
menurut
Nikolas
Simanjuntak37, yakni : “a person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates.” Kategori ahli dalam fomula tersebut terdiri atas adanya : a. Pengetahuan khusus; b. Memiliki keterampilan (skill), yang berarti mempraktikkan ilimu dan pengetahuannya itu; c. Memperdalam pengetahuannya secara terlatih, kursus, dan sebagainya (trainings); d. Pendidikan cukup memadai (sufficient education) yang mengandaikan bukan hanya sekedar jaminan title saja. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menempatkan keterangan ahli pada urutan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa keterangan ahli memiliki peran yang sangat penting dalam pembuktian terutama dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik secara langsung maupun tidak langsung, menuntut setiap unsur penegakan hukum untuk dapat mengimbangi berbagai bentuk kejahatan yang juga berkembang dengan
menggunakan tekhnik/cara-cara baru dalam upaya
pembuktiannya. Pembuktian dengan menggunakan keterangan ahli dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : 37
Nikolas, Simanjuntak, Op.cit, hal.268.
a. Berbentuk keterangan langsung secara lisan Cara ini diatur dalam Pasal 179 dan Pasal 186 KUHAP yang dilakukan dengan jalan meminta ahli untuk member keterangan secara langsung dan lisan di sidang pengadilan. b. Berbentuk laporan atau visum et repertum Keterangan ahli yang berbentuk laporan digunakan apabila pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang ahli sudah dilakukan pada tahap penyidikan atas permintaan penyidik. Permintaan tersebut dilakukan penyidik secara tertulis melalui surat yang menegaskan maksud pemeriksaan, dan apa saja yang perlu diperiksa oleh ahli (Pasal 133 KUHAP). Keterangan ahli secara lisan dalam praktik tidak menimbulkan masalah karena sifatnya yang murni sebagai keterangan ahli namun tidak dengan keterangan ahli yang berbentuk laporan. Keterangan ahli ini menimbulkan dualisme karena menyentuh dua sisi alat bukti yang sah. Penjelasan Pasal 186 KUHAP menyebutkan “keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.” Bentuk alat bukti yang demikianlah yang diatur dalam Pasal 133 KUHAP, yakni laporan yang dibuat oleh seorang ahli atas permintaan peyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan. Pada sisi lain Pasal 187 huruf c KUHAP menentukan bahwa salah satu diantara alat bukti surat yaitu “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.” Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat bahwa alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan menyentuh alat bukti surat juga. Alat bukti keterangan saksi dan alat bukti surat sama-sama memiliki nilai pembuktian bebas. Sehingga tidak akan menimbulkan masalah jika dalam perkara yang sama kedua jenis alat bukti tersebut diajukan secara bersamaan apabila keterangan yang diberikan sama atau saling mendukung. Namun menjadi masalah apabila ternyata kedua alat bukti tersebut memberikan keterangan yang bertolak belakang satu dengan lainnya. Dalam hal ini hakim berperan dalam menilai pembuktian dari kedua alat bukti tersebut. Menurut Yahya Harahap38, bahwa kedua jenis alat bukti, baik alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat tersebut sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang sama. Kedua alat bukti tersebut samasama “bersifat kekuatan pembuktian yang bebas” dan tidak mengikat. Nilai kekuatan pembuktian keduanya tergantung pada penilaian hakim. Hakim bebas menggunakan atau menolaknya. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi, yaitu : a. Mempunyai
nilai
kekuatan
pembuktian
“bebas”
atau
“vrij
bewijskracht”. Hakim bebas menilai dan terikat kepadanya namun tetap benar-benar bertanggungjawab serta atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.
38
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal.304
b. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti lain, tidaklah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 3. Alat Bukti Surat KUHAP mengatur surat sebagai alat bukti dalam Pasal 187. Berdasarkan pasal tersebut, surat yang dapat dijadikan sebgai alat bukti di persidangan adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Menurut Asser-Anema39 “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Bentuk-bentuk surat yang dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti menurut Pasal 187 KUHAP tersebut antara lain : a. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, dengan syarat, isi berita acara dan surat resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang itu harus berisi : - Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami pejabat itu sendiri, dan - Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b. Surat yang berbentuk “menurut ketentuan perundang-undangan” atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan. Jenis surat demikian boleh dikatakan meliputi segal jenis surat yang dibuat oleh aparat pengelola administrasi dan kebijakan eksekutif. c. Surat “keterangan dari seorang ahli” yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
39
Hamzah, Andi, Op.cit, hal 271.
d. “surat lain” yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Jika melihat ketentuan dalam huruf d tersebut, dapat dilihat adanya perbedaan dengan jenis surat yang dimuat dalam ketentuan huruf a, b, dan c. Isi ketentuan huruf d menjelaskan bahwa surat yang dapat digunkan sebagai alat bukti tidaklah harus dibuat oleh pejabat resmi yang berwenang ataupun harus dibuat berdasarkan sumpah jabatan. Dengan demikian jenis-jenis surat yang bersifat pribadi juga dapat dijadikan sebagai alat bukti. Namun dalam penjelasan selanjutnya, Pasal 187 huruf d KUHAP menegaskan adanya syarat agar surat-surat yang dimaksud dalam huruf d tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti, harus memiliki hubungan dengan isi dari alat bukti yang lainnya. Yahya Harahap40 berpendapat bahwa, bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d hanya dapat berlaku jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat saling hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat. Menurut pendapat M.Yahya Harahap41, nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat apabila ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP, terdiri atas dua, yaitu : 1. Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan 40 41
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal.309. Ibid, hal.310.
pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan, maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang bernilai “sempurna.” 2. Ditinjau dari segi materiil, tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c, pada alat bukti surat tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bersifat bebas”. Dengan demikian ditinjau dari segi materiil terdapat hak mutlak hakim untuk menilai kekuatan pembuktian alat bukti surat. Sehingga hakim berdasarkan haknya itu dapat mempergunakan atau menyingkirkan alat bukti surat tersebut. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat menurut Pendapat M.Yahya Harahap42 didasarkan pada beberapa asas yaitu : a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Walaupun dari segi formal alat bukti surat telah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu “dapat” disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil. b. Asas keyakinan hakim Berdasarkan Pasal 183, KUHAP menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakim baru dapat menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim “yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukannya. Namun dalam mempergunakan kebebasan dan asas keyakinan ini, hakim tetap harus bertanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab “demi mewujudkan kebenaran sejati”. c. Asas batas minimum pembuktian Walaupun dari segi formal alat bukti surat resmi (autentik) yang dikeluarkan berdasar ketentuan undang-undang adalah alat bukti 42
Ibid, hal.311.
yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti yang bersangkutan tidak mendukungnya untuk berdiri sendiri. Sifat kesempurnaan formal alat bukti surat tetap harus tunduk pada prinsip batas minimum pembuktian yang telah ditentukan Pasal 183 KUHAP. Batas minimum pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP menegaskan “sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah”.
4. Alat Bukti Petunjuk Petunjuk sebagai alat bukti dirumuskan dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya dalam ayat (2) diberikan batasan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari tiga sumber yaitu : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa Menurut pendapat Nikolas Simanjuntak43, hal ini berarti tidak boleh diperoleh dari keterangan ahli yang diajukannya bersifat opini, dan tetntu saja itu tidak boleh diperoleh dari sumber lain-lainnya yang bukan termasuk alat-alat bukti hukum. Dengan kata lain, petunjuk menjadi bernilai pula sebagai alat bukti pelengkap atau pembantu terhadap alat bukti lainnya. Keterangan ahli tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk dikarenakan keterangan ahli dianggap kurang objektif. Keterangan ahli merupakan pendapat subjektif seorang ahli yang menerangkan sesuatu hal, semata-mata dari kacamata subjektifnya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. 43
Nikolas, Simanjuntak, Op.cit, hal.271.
Dijelaskan dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP bahwa alat bukti petunjuk baru dapat digunakan apabila ada persesuaian antara masing-masing perbuatan dan kejadian yang menunjukkan terjadinya tindak pidana. Sehingga dalam hal ini diperlukan kemampuan hakim untuk menilai dengan jeli, mempertautkan setiap persesuaian yang ditemukan hingga pada akhirnya dapat mewujudkan suatu petunjuk yang nyata dan ututh. Dalam ayat (3) ditegaskan bahwa penilaian alat bukti petunjuk harus dilakukan oleh hakim dengan : 1. Arif lagi bijaksana; 2. Serta harus lebih dulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Alat bukti petunjuk bukanlah alat buti yang memiliki substansi sendiri karena alat bukti petunjuk baru mungkin dapat dicari atau ditemukan apabila telah ada alat bukti lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa alat bukti ini adalah “assessor” pada alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak memiliki kekuatan pembuktian apabila tidak ada alat bukti yang menjadi sumber kelahirannya. Sama halnya dengan alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat, alat bukti petunjuk memiliki sifat kekuatan pembuktianyang bebas. Menurut pendapat M.Yahya Harahap44, nilai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk adalah : 1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian;
44
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal.317.
2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. 5. Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa berada pada urutan terakhir dalam Pasal 184 KUHAP, sehingga dalam praktiknyapun alat bukti ini diajukan setelah alat bukti saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk diajukan. Berbeda dengan HIR yang menggunakan istilah “pengakuan terdakwa”, KUHAP menggunakan istilah “keterangan terdakwa” karena memiliki pengertian yang lebih luas. Dengan digunakannya istilah “keterangan” hal ini berarti pernyataan yang diberikan oleh terdakwa dapat berupa pengakuan maupun pengingkaran. Oleh sebab itu dalam praktik persidangan di Indonesia ketika memasuki tahap pemeriksaan terdakwa, tidak jarang terdakwa memberikan keterangan yang berbeda atau menyangkal keterangan yang diberikan di dalam BAP. Hal ini berbeda dengan penggunaan istilah “pengakuan terdakwa” dalam HIR yang cenderung terlihat sebagai suatu paksaan dan kurang manusiawi. Menurut pendapat Yahya Harahap45, bahwa: Ditinjau dari segi yuridis istilah ini (keterangan terdakwa) lebih bersifat manusiawi, dan bertendensi member kesempatan yang seluas dan sebebas-bebasnya kepada terdakwa mengutarakan segala sesuatu tentang apa saja yang dilakukan atau diketahui maupun dialami dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Hal ini sesuai dengan sistem pemeriksaan yang dianut oleh KUHAP yaitu sistem akkusatur. Dengan demikian cara pendekatan pemeriksaan terhadap terdakwa pada setiap tingkat, harus bersikap dan menempatkan terdakwa dalam kedudukan “praduga tak bersalah”. Dari sejak semula tidak boleh menempatkan terdakwa dalam posisi seolah-olah manusia jahat yang tidak perlu diperlakukan secara manusiawi. Sikap dan pendekatan hakim dalam pemeriksaan 45
Ibid, hal.319
persidangan, wajib mencerminkan persamaan hak dan kedudukan antara terdakwa dengan penuntut umum. Wujud kebebasan terdakwa untuk memberikan keterangan dihadapan persidangan ditegaskan dalam rumusan Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa “keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.” Tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Menurut pendapat Yahya Harahap46, untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang diperlukan asas-asas antara lain : 1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan Agar keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan “yang diutarakan sendiri” oleh terdakwa maupun pernyataan yang berupa “penjelasan” atau “jawaban” terdakwa atas pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau penasihat hukum. 2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Oleh karena itu setiap pertanyaan yang bermaksud hendak mengetahui apa saja yang dilakukan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa, mesti terarah disekitar perbuatan yang dilakukannya. Keterangan yang diberikan bukan pendapat atau rekaan terhadap peristiwa tersebut, tetapi semata-mata pengetahuan langsung yang timbul dari peristiwa pidana tersebut. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Asas ini dijelaskan dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP dan merupakan penegasan dari prinsip batasa minimum pembuktian. Walaupun terdakwa mengakui seluruh tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak 46
Ibid, hal.319
didukung minimal satu alat bukti lainnya tidak akan cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hak untuk mengajukan keseluruhan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP tersebut dapat digunakan baik oleh pihak penuntut umum maupun pihak terdakwa melalui kuasa hukumnya. Alat bukti yang diajukan oleh pihak terdakwa cenderung pada alat bukti yang bersifat meringankan sedangkan alat bukti yang diajukan oleh pihak penuntut umum adalah cenderung bersifat memberatkan sehingga terdakwa dapat dipidana sesuai dengan dakwaan yang diajukannya. Namun sebagai wakil negara, jaksa penuntut umum dalam persidangan harus dapat bersikap lebih objektif dan menyandarkan seluruh sikapnya pada kepentingan masyarakat.
C. Saksi Verbalisan 1. Pengertian Saksi Verbalisan Ketentuan mengenai saksi verbalisan belum diatur di dalam KUHAP maupun sistem perundang-undangan Indonesia lainnya. Namun di dalam praktik persidangan, tidak jarang saksi verbalisan dihadirkan atas permintaan hakim, penuntut umum, atau kuasa hukum terdakwa. Latar belakang adanya saksi verbalisan ini adalah ketentuan Pasal 163 KUHAP yang menyebutkan : “jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang”. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa salah satu alasan dihadirkannya saksi verbalisan dalam proses pemeriksaan di persidangan
adalah untuk menguji bantahan terdakwa terhadap muatan yang ada dalam BAP. Pada umumnya bantahan terdakwa tersebut didasarkan pada alasan bahwa dalam proses penyidikan tersangka memberi keterangan di bawah paksaan atau tidak secara bebas. Padahal KUHAP menganut prinsip bahwa seorang tersangka atau terdakwa berhak untuk memberi keterangan secara bebas, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Pasal 52 KUHAP : “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, verbalisan berarti orang (penyidik) yang melakukan proses verbal (penyidikan). Dari sisi hukum acara pidana, yang dimaksud dengan saksi verbalisan atau disebut juga dengan saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi atas suatu perkara pidana karena terdakwa menyatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dibuat di bawah tekanan atau paksaan.47 Menurut pendapat J.C.T.Simorangkir, Edwin Rudy, Prasetyo J.T, verbalisant adalah pejabat yang berwenang untuk membuat berita acara, misalnya polisi, jaksa.48 Jika dilihat dari makna leksikon dan doktrinalnya verbalisant adalah nama yang diberikan kepada petugas (polisi atau yang diberikan kepada petugas khusus) untuk menyusun, mengarang berita acara.49 Selanjutnya Yan Pramadya Puspa mendefinisikan bahwa verbalisant (Belanda) adalah petugas (polisi atau seseorang yang diberi tugas khusus) untuk menyusun, membuat, mengarang proses verbal.
47
www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f7260564bi4d/fungsi-saksi-verbalisan. diakses 8 juni 2012. 48 J.C.T.Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hal.175. 49 Ensiklopedi Indonesia, 1984, hal.381.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa yang memiliki hak untuk dapat menjadi saksi verbalisan dalam persidangan, hanyalah pihak penyidik yang melakukan proses penyidikan secara langsung kepada tersangka atau saksi. Seperti yang sudah diketahui, berdasarkan asas differensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP, wewenang penyidikan diberikan kepada pihak kepolisian atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undangundang. Pengertian penyidik dan penyidikan dalam KUHAP dijelaskan pada Pasal 1 yang menyebutkan sebagai berikut : 1. Angka 1 : “penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. 2. Angka 2 : “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Wewenang yang dimiliki oleh penyidik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, wewenang tersebut antara lain : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Menurut pendapat Charles E. O’hara50, penyidikan adalah suatu seni dan bukanlah ilmu, sehingga dengan demikian pembahasannya haruslah dilakukan secara preseptif daripada berpegang pada teori-teori yang kaku. Untuk memaparkan sifat penyidikan, O’hara mengemukakan penggunaan 3 metode, yaitu : a. Informasi Maksud O’Hara menggunakan istilah informasi adalah menjelaskan hal-hal yang dapat diketahui oleh penyidik dengan jalan menghimpunnya dari orang lain. Selanjutnya Charles O’Hara membedakan dua jenis informasi. Pertama adalah informasi yang diperoleh dari sumber regular, misalnya informasi dari berbagai instansi lain. Kedua adalah informasi yang secara khusus dibentuk khusus oleh kepolisian. Pada akhirnya kedua jenis informasi tersebut dibutuhkan penyidik untuk memperoleh petunjuk-petunjuk dan dengan petunjuk tersebut ia akan dapat mengatur langkahlangkah selanjutnya. b. Interogasi Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik harus bertitik tolak pada usaha untuk mencapai keadilan. Sehingga dapat memperingatkan pemeriksa bahwa setiap subjek yang diperiksa harus diperlakukan sebagai manusia biasa dengan hak-haknya sebagai warga negara yang juga harus dilindungi oleh hukum. Dengan mengingat asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dianut oleh KUHAP, penyidik sebagai pihak yang melakukan pemeriksaan di luar persidangan hendaknya tidak melakukan tindakan-tindakan yang mendahului keputusan hakim. Karena tersangka tidak boleh dinyatkan bersalah sebelum adanya putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap (incraht van gewijst).
50
G.W.Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramita, 1988, hal.89.
Pasal 117 KUHAP : “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”. c. Instrumentasi Penyidikan memerlukan dukungan-dukungan instrumentasi yaitu sarana-sarana yang mempunyai kaitan yang diperlukan dalam penyidikan. Pengetahuan-pengetahuan yang lainnya, sepanjang penerapannya berkaitan dengan dunia kriminal, biasanya dikenal dengan sebutan kriminalistik, juga mempunyai peranan penting karena menyangkut pada pembuktian-pembuktian secara fisik. Contoh-contoh instrumen yang dimaksud antara lain: 1. Sidik jari; 2. Modus operandi (files); 3. Alat pemeriksa kebohongan (lie detector); 4. Sistem komunikasi, dan sebagainya.51 Keseluruhan keterangan tersangka yang diperoleh oleh penyidik tentang apa yang sebenarnya ia lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya, selanjutnya akan dicatat oleh penyidik yang bersangkutan dalam berita acara, dengan seteliti-telitinya persis dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat (2) KUHAP). Berita acara tersebut yang kemudian dapat dipergunakan oleh saksi verbalisan (penyidik)
untuk
mengklarifikasi
keterangan
terdakwa
di
hadapan
persidangan apabila keterangan tersebut berbeda dengan yang diberikannya pada saat proses penyidikan. Walaupun
saksi
verbalisan
dihadirkan
untuk
mengklarifikasi
keterangan yang diberikan oleh terdakwa, namun dalam menilai kebenaran seorang saksi hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan : a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk member keterangan yang tertentu; 51
Ibid, hal.25.
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. (Pasal 185 ayat (6)KUHAP)
2. Berita Acara Penyidikan (BAP) Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan Definisi Berita Acara Penyidikan (BAP) tidak dimuat secara jelas di dalam KUHAP. Pada dasarnya Berita Acara Penyidikan dibuat oleh penyidik selama proses penyidikan, dan KUHAP hanya memberikan penjelasan tentang hal-hal apa saja yang dimuat di dalam Berita Acara Penyidikan, yaitu di dalam Pasal 121 antara lain : a. tindak pidana yang dipersangkakan (dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu dilakukan); b. nama dan tempat tinggal tersangka atau saksi; c. keterangan mereka; d. catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dasar penyidik membuat berita acara tersebut adalah sumpah jabatan dan sebagai validitas keterangan yang ada di dalamnya, Berita Acara Penyidikan tersebut selanjutnya akan ditandatangani oleh penyidik dan tersangka/saksi sendiri. Dari penjelasan yang telah disebutkan di atas dapat diketahui bahwa ada dua jenis proses pemeriksaan dalam penegakan hukum pidana, yaitu pemeriksaan di luar persidangan dan pemeriksaan di dalam persidangan. Kembali lagi menurut prinsip yang dianut oleh KUHAP bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa/saksi sebagai alat bukti, keterangan tersebut harus dinyatakan di hadapan sidang pengadilan. Namun hal ini bukan berarti bahwa keterangan yang diperoleh di luar persidangan tidak mempunyai arti apapun dalam usaha pembuktian suatu tindak pidana.
Menurut Yahya Harahap52, bahwa : Keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Akan tetapi kalaupun keterangan itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti, dapat dipergunakan “membantu” menemukan bukti di sidang pengadilan. Itupun jika keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang ada hubungannya mengenai hal yang didakwakan kepadannya. Kalau keterangan di luar sidang tidak didukung oleh salah satu alat bukti yang sah, keterangan itu tidak dapat dipergunakan berfungsi sebagai “alat pembantu” menemukan bukti dipersidangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keterangan terdakwa/saksi yang dimuat di dalam Berita Acara Penyidikan apabila hendak diajukan ke dalam persidangan tidaklah dapat berdiri sendiri karena fungsinya hanya sebagai petunjuk penyempurnaan pembuktian alat bukti yang lain. Ketentuan ini juga relevan dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 20 September 1977 No. 177 K/Kr/1965 yang menegaskan : “bahwa pengakuan-pengakuan para terdakwa I dan II dimuka polisi dan jaksa, ditinjau dalam hubungannya satu sama lain dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan kesalahan terdakwa”. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa KUHAP menganut prinsip bahwa keterangan saksi/terdakwa harus diberikan di depan persidangan. Oleh sebab pembacaan Berita Acara Penyidikan dalam persidangan harus dikarenakan alasan-alasan yang bersifat limitatif. Alasanalasan tersebut diatur dalam Pasal 151 KUHAP, antara lain : 1. Meninggal dunia; 2. Berhalangan hadir karena alasan yang sah; 3. Tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya; 52
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal.323.
4. Bilamana ada kepentingan negara. Ditinjau dari segi yuridis, pada dasarnya tidak ada larangan seorang terdakwa/saksi untuk mencabut keterangan pengakuan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan. Namun terdakwa/saksi tersebut harus memberikan alasan yang jelas tentang hal tersebut. Oleh sebab itu dalam keadaan demikian hakim mempunyai peran yang begitu penting untuk dapat menilai dengan logika dan akal sehat berkaitan dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh saksi/terdakwa. Salah satu usaha untuk menguatkan penilaian hakim terhadap alasan terdakwa/saksi tersebut adalah dengan memanggil saksi verbalisan yang membuat Berita Acara Penyidikan terdakwa/saksi ke dalam persidangan.
D. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Fenomena
kekerasan
tidak
hanya
terjadi
dalam
lingkungan
masyarakat secara luas namun pada saat ini sudah semakin merambah hingga dalam lingkup rumah tangga. Sebenarnya tindakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga sejak dahulu bukannya tidak ada, namun karena sifatnya yang dianggap cenderung mengarah pada suatu hal yang privasi, tindak kekerasan ini kurang mendapat perhatian. Namun pemerintah menyadari bahwa sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, perlu adanya jaminan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan terhadap setiap individu dalam masyarakat termasuk dalam lingkup rumah tangga. Hal ini sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) yang menegaskan bahwa :
“setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Secara umum tindak kekerasan dalam rumah tangga memang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diantaranya mengenai penganiayaan, kesuilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah kehidupan. Namun undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan pola perilaku masyarakat dan elum dapat menjamin perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga, sehingga perlu dibuat dalam suatu pengaturan yang lebih spesifik yaitu dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa “Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, undangundang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga”. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga dalam undang-undang ini dimuat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang menyebutkan bahwa: “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Tujuan dan asas penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sendiri terdapat dalam Pasal 3 dan 4 undang-undang ini yang menyatakan bahwa : a. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan asas : 1. 2. 3. 4.
Penghormatan hak asasi manusia; Keadilan dan kesetaraan gender; Nondiskriminasi; Perlindungan korban. (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)
b. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : 1. 2. 3. 4.
Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004) Beberapa ahli mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga
(domestic violence) dengan pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangannya atau mantan pasangannya.53 Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dimuat dalam Pasal 5, antara lain : a. Kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. (Pasal 6) b. Kekerasan psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. (Pasal 7) c. Kekerasan seksual Dalam penjelasan Pasal 8 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merupakan pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan 53
Kyriacou dkk, 1998 dalam Achie Sudiarti Luhulima, 2000 : 54-55.
seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. d. Penelantaran dalam rumah tangga. Pasal 9 ayat (2) menegaskan, bahwa larangan penelantaran dalam rumah tangga ini juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
2. Pembuktian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Upaya untuk mengurangi/menghapuskan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan tanggung jawab pemerintah dengan tetap melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. Oleh sebab itu menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk mencegah, memberikan perlindungan, serta membantu mengajukan permohonan apabila telah terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan kepada korban; c. Memberikan pertolongan darurat; dan d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga, segala proses pemeriksaan mulai dari tahap penyidikan hingga tahap pemeriksaan di persidangan dilaksanakan sesuai ketentuan dalam hukum acara pidana yang
berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam proses pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini tetap menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Menurut pendapat Darwan Prints54, bahwa : Alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim akan kebenararan adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Penggunaan alat-alat bukti tersebut untuk membuktikan telah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sedikit memberikan kemudahan. Dijelaskan dalam Pasal 55 bahwa “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.” Selanjutnya dalam penjelasan pasalnya dinyatakan bahwa “Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami isteri adalah pengakuan terdakwa.” Ketentuan mengenai pembuktian terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP dengan jelas menyebutkan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
54
Prints, Darwan, Op.cit, hal.105.
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pasal 185 ayat (2) KUHAP juga menyebutkan, bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hal ini sesuai dengan prinsip batas minimum pemuktian yang dianut oleh KUHAP (ullus testis nullus testis). Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sedikit banyak memberikan arahan yang nyata bahwa Penyidik dan Penuntut Umum dalam membuktikan tindak pidana KDRT syaratnya ringan yakni cukup dengan seorang saksi ditambah satu alat bukti yang sah dan dapat digunakan untuk membuktikan seorang terdakwa bersalah, korban KDRT bisa menjadi saksi, tidak perlu lagi saksi lain.55 Hakim memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara tindak pidana. Pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tergantung diserahkan pada kebijaksanaan hakim untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan. Penjatuhan pidana terhadap terdakwa dapat didasarkan atas pembuktian seperti yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP dengan prinsip minimal dua alat bukti, atau menggunakan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (keterangan seorang saksi korban disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya). Menurut pendapat Hendar Soetarna56,berkaitan dengan keyakinan hakim, penuntut umum tidak hanya dibebani menemukan alat bukti minimum, tetapi dibebani agar dari alat bukti minimum yang sah tersebut dapat tercipta keyakinan hakim atas kebenaran dakwaannya, atau sebaliknya, bagi terdakwa dan atau penasihat hukum, alat-alat bukti 55
Prayudi, Guse, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press, Yogyakarta, 2008, hal.115. 56 Soetarna, Hendar, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, PT.Alumni, Bandung, 2011, hal.84
tersebut mampu menciptakan keyakinan untuk mementahkan apa yang didakwakan. Alat bukti minimum atau malah setumpuk alat bukti menjadi tidak bernilai apabila alat-alat bukti tersebut gagal menciptakan keyakinan hakim. Hakikat dan makna keyakinan hakim tersebut tidak hanya tercermin dalam bentuk putusannya, tetapi tercermin pula dalam setiap alinea dalam “pertimbangan putusan hakim”. Pada setiap putusan dalam bagian pertimbangan putusan digunakan kalimat, “Berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa atau tidak adanya kesalahan terdakwa”. Bagaimanapun isi putusan, pertimbangan putusan hakim tersebut haruslah didasarkan kepada bukti-bukti sah dan hakim telah memperoleh keyakinan dari bukti yang sah tersebut.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan
yuridis
normatif
yaitu
pendekatan
yang
menggunakan konsepsi legisme yang positivis yang memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh Lembaga atau Pejabat Negara yang berwenang. Selain konsepsi ini juga meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.57
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang hanya menggambarkan keadaan objek atau masalahnya tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan yang berlaku secara umum, khususnya untuk mengetahui kekuatan pembuktian saksi verbalisan terhadap tindak pidana dalam kekerasan dalam rumah tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK.
C. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Karena peneliti dalam hal ini akan melakukan 57
Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta. hal. 12-14.
penelitian hukum normative, maka lebih ditekankan pada pencarian data sekunder, dan data yang lainnya digunakan sebagai penunjang. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan salah satu Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Bahan-bahan hukum primer Data yang bersumber bahan-bahan hukum primer berupa norma dasar Pancasila, batang tubuh UUD 1945, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang sudah tetap,dan sebagainya yang mempunyai kekuatan mengikat. Kemudian bahan hukum sekunder yang berhubungan erat dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti rancangan peraturan perundangundangan, hasil karya ilmiah para sarjana (buku-buku kepustakaan) dan hasil-hasil penelitian dan yang terakhir bahan hukum tersier yaitu bahanbahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti bibliografi dan indeks kumulatif. Bahan hukum yang digunakan peneliti ini diambil bahan hukum yang telah mempunyai kekuatan mengikat, yaitu diperoleh dari salah satu putusan hakim mengenai perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 177/Pid.SUS/2011/PN.YK.
2. Bahan hukum sekunder Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang digunakan oleh peneliti dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti :
-
Buku-buku hasil karya ilmiah para sarjana
-
Hasil-hasil penelitian
3. Bahan hukum tersier Bahan-bahan yang memberikan petunjuk, informasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya adalah Kamus Besar Ilmiah Populer dan Kamus Hukum.
D. Metode Pengumpulan Data a. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundangundangan, buku literature, dokumen dan arsip atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian dan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.177/Pid.SUS/2011/PN.YK. b. Wawancara atau Interview yaitu proses tanya jawab secara lisan kepada Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta yang berhadapan fisik dengan penulis.
E. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
F. Metode Analisis Data Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara kualitatif yakni dengan membahas dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan berlandaskan pada norma hukum yang digunakan, teori-teori serta doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti, dengan menggunakan logika deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian terhadap Putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 177/Pid/SUS/2011/PN.YK, diperoleh data sebagai berikut : 1. Data Sekunder Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan nomor 177/Pid.SUS/2011/PN.YK, pada tanggal 25 Mei 2011 tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu. a. Duduk Perkara Terdakwa atas nama : Zani Widiantoro Sigit, temapat/tanggal lahir : Bantul 30 September 1965, Umur : 45 Tahun, Agama : Islam, Pekerjaan : Swasta, pada hari Selasa tanggal 05 Oktober 2010 pukul 09.10 WIBmenjemput saksi korban Siska Darmiatun di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta, selanjutnya terdakwa Zani Widiantoro Sigit bersama dengan saksi korban Siska Darmiatun menginap di Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta, dan saat itu terdakwa Zani Widiantoro Sigit pamit untuk keluar dari hotel ke rumah temannya dan tidak lama kemudian anak kandung saksi korban Siska Darmiatun yakni Oktavia Diah Fatmawati datang menyusul ke hotel kayu manis Umbulharjo Yogyakarta. Bahwa sekitar jam 19.30 terdakwa datang lagi ke kamar Hotel
Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta dan saat itu telpon genggam terdakwa Zani Widiantoro Sigit berbunyi, kemudian saksi korban Siska Darmiatun ingin tahu siapakah yang menelpon tersebut, namun oleh terdakwa Zani Widiantoro Sigit tidak diperbolehkan dengan alasan yang tidak jelas dan terdakwa Zani Widiantoro Sigit berusaha untuk merebut telpon genggam miliknya yang dipegang oleh saksi korban Siska Darmiatun. Namun saksi korban Siska Darniatun berusaha untuk mempertahankan telpon genggam tersebut sehingga terdakwa Zani Widiantoro Sigit menjadi emosi dan kemudian memukul dengan menggunakan tangannya mengenai kepala dan juga memukul ke arah paha bagian belakang dekat pantat, dan saat itu saksi Oktavia Diah Fatmawati berusaha untuk melerai keributan antara terdakwa Zani Widiantoro Sigit dengan saksi korban Siska Darmiatun dengan berkata “sudah to sudah” sambil menangis. Selanjutnya saksi Koran Siska Darmiatun berlari keluar dari kamar Hotel Kayu Manis Umbulharjo sambil menangis, dan karena tidak terima atas perbuatan terdakwa Zani Widiantoro Sigit tersebut, selanjutnya saksi korban Siska Darmiatun melaporkan perbuatan terdakwa Zani Widiantoro Sigit kepada pihak yang berwajib. b. Dakwaan Pada persidangan terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan surat dakwaannya tertanggal 28 Maret 2011, nomor register perkara, PDM043/YOGYA/03/2011, terdakwa didakwa melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut : 1. Bahwa terdakwa Zani Widiantoro sigit pada hari Selasa tanggal 05 Oktober 2010 sekira jam 19.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan
oktober 2010 ataupun di tahun 2010, bertempat di Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dalam Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari yakni terhadap saksi korban Siska Darmiatun (yang berdasarkan Kutipan Akta Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul Propinsi D.I.Yogyakarta Nomor : 263/20/VIII/1996 yang menyatakan bahwa antara Zani Widiantoro Sigit dengan Siska Darmiatun terikat dalam perkawinan yang sah). Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang RI. Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 2. Terdakwa Zani Widiantoro Sigit pada waktu dan tempat sebagaimana telah diuraikan dalam dakwaan kesatu tersebut di atas telah melakukan Penganiayaan jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapanya yang sah, isterinya (suaminya) atau anaknya yakni terhadap saksi korban Siska Darmiatun (yang berdasarkan Kutipan Akta Nikah Knator Urusan Agama Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul Propinsi D.I.Yogyakarta Nomor : 263/20/VIII/1996 yang menyatakan bahwa antara Zani Widiantoro Sigit dengan Siska Darmiatun terikat dalam perkawinan yang sah). Perbuatan
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 356 ayat (1) KUHP. 3. Terdakwa Zani Widiantoro Sigit pada waktu dan tempat sebagaimana telah diuraikan dalam Dakwaan kesatu tersebut di atas telah melakukan penganiayaan, dengan sengaja menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka terhadap saksi korban Siska Darmiatun. Perbuatan terdakwa sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP.
c. Pembuktian Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya telah mengajukan alat bukti berupa : 1. Alat bukti saksi yaitu : a. Siska Darminatun, yang menerangkan sebagai berikut, saksi kenal dengan saudara Zani Widiantoro Sigit karena sebagai suami dari saksi. Saksi adalah isteri sah dari terdakwa dan menikah dengan terdakwa pada tanggal 08Agustus 1996 dan telah dikaruniai 2 (dua) orang putrid, serta saksi dan terdakwa menikah dilakukan atas dasar suka sama suka. Pada awal-awal pernikahan sudah sering terjadi pertengkaran dan tidak harmonis dikarenakan terdakwa adalah pengangguran dan masih tinggal serumah bersama dengan orang tua terdakwa.Saksi kemudian berinisiatif supaya bisa mandiri dan pindah rumah dari orangtua terdakwa, namun terdakwa menolak. Setelah mempunyai anak yang kedua kemudian saksi bekerja di Surabaya sebagai Home Care, namun saat saksi pergi ke Surabaya terdakwa tetap tinggal di rumah orangtua terdakwa dan terdakwa sering
menuduh saksi selingkuh dikarenakan kerja saksi di luar kota, pada hal saat itu saksi bekerja namun masih juga dituduh sebagai pelacur. Sekitar tahun 2010 saksi ditelpon terdakwa untuk kembali ke Yogyakarta untuk memulai lagi lembaran baru dalam keluarga, namun terdakwa mengontrak rumah, namun yang membuat saksi sakit hati adalah saat itu terdakwa sering menawar-nawarkan saksi kepada orang-orang dengan perkataan “siapa yang mau sama saksi, nanti diberi imbalan motor, karena saksi tidak tahan dengan kelakuan terdakwa tersebut, selanjutnya pada tahun 2010 awal bulan Januari saksi pergi ke Jakarta untuk bekerja lagi sedangkan kedua anak saksi tinggal bersama dengan terdakwa. Saksi pergi ke Jakarta bekerja sebagai Home Care. Pada hari Selasa tanggal 05 Oktoer 2010 saksi kembali lagi ke Yogyakarta sekitar jam 09.15 WIB dan dijemput terdakwa di Bandara Adisucipto Yogyakarta dan saksi bermaksud akan menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara saksi dengan terdakwa, dan terdakwa membawa saksi ke Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta dikarenakan saksi tidak harmonis dengan keluarga terdakwa sehingga lebih baik memilih di hotel. Sesampainya di Hotel Kayu Manis
Umbulharjo
Yogyakarta
tersebut,
kemudian
terdakwa
pergi
meninggalkan saksi dengan alasan akan menyelesaikan urusan, kemudian pada saat terdakwa pergi maka saksi mendatangi rumah teman terdakwa dan mengenalkan diri sebagai isteri terdakwa, dan saksi merasa terkejut bahwa ternyata saksi mendengar jika terdakwa sudah ada “rembukan” dengan perempuan lain kearah yang lebih serius.Saksi kemudian kembali ke hotel lagi, dan sekitar jam 19.00 WIB terdakwa datang ke hotel bersama dengan
anak saksi yang bernama Oktavia Diah Fatmawati, dan setelah di dalam kamar tiba-tiba handphone terdakwa berbunyi sehingga saksi curiga dan ingin mengetahui isi sms tersebut.Saksi kemudian memegang handphone terdakwa, namun diserobot oleh terdakwa.Pada saat terdakwa menyerobot handphone tersebut maka saksi menunduk, namun tiba-tiba terdakwa memukuli kepala saksi beberapa kali dan juga terdakwa memukul pantat saksi. Pada saat terdakwa memukul saksi, saat itu posisi saksi tengkurap sehingga membelakangi terdakwa dan saksi tidak tahu cara terdakwa memukul tersebut. Saksi selanjutnya lari keluar hotel dan berkata “saya dipukul”, dan dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari terdakwa sering marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor, bahkan sebelumnya terdakwa juga pernah melakukan kekerasan fisik terhadap saksi dan pernah dilaporkan ke Polsek Kotagede, namun laporan tersebut tidak sampai dilanjutkan ke persidangan. Setelah dipukul terdakwa, saksi tetap bisa beraktifitas seperti biasanya dan tidak menghalangi untuk bekerja.Saat ini anak-anak saksi tinggal bersama dengan terdakwa dan saksi tidak bermaksud untuk memenjarakan terdakwa, namun hanya bermaksud memberi pelajaran supaya terdakwa sadar dan saksi masih berharap supaya rumah tangganya utuh, serta saksi telah memaafkan perbuatan terdakwa.Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa menyatakan tidak keberatan namun ada keterangan saksi yang dibantah terdakwa yaitu, terdakwa berusaha merebut handphone namun tidak memukul saksi.
b. Oktavia Diah Fatmawati, yang menerangkan sebagai berikut, saksi anak kandung dari terdakwa Zani Widiantoro Sigit dan saksi korban Siska Darminatun dan saksi saat ini tinggal bersama dengan terdakwa. Pada tanggal 05 Oktober 2010 jam 19.00 WIB saksi bersama dengan terdakwa datang ke Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta dan saat itu bertemu dengan ibu saksi yang bernama Siska Darmiatun. Pada saat saksi berada di kamar hotel, tiba-tiba handphone terdakwa berbunyi dan diangkat oleh ibu saksi, tiba-tiba terdakwa berusaha merebut handphone tersebut dan ibu saksi saat itu berusaha mempertahankan handphone dengan cara merunduk. Kemudian terjadi rebutan handphone antara terdakwa dan ibu saksi selanjutnya ibu saksi berteriak tolong-tolong. Setahu saksi antara terdakwa dengan ibu saksi sering berantem dan terdakwa sering memaki-maki ibu saksi dengan kata-kata kotor, namun kepada saksi, terdakwa belum pernah memaki dengan kata-kata kotor, tetapi dengan kakak saksi yang pertama terdakwa juga pernah mengeluarkan kata-kata kotor. Saksi berangkat ke sekolah sering diantar oleh terdakwa dengan jalan kaki dikarenakan jarak sekolah dengan rumah dekat. Terdakwa menjemput saksi itupun jika saksi memintanya untuk dijemput. Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan. c. Joko Pramono, yang menerangkan sebagai berikut, saksi tidak kenal dengan terdakwa maupun isterinya terdakwa. Saksi bekerja di hotel kayu manis Umbulharjo Yogyakarta sebagai Receptionis (penerima tamu). Saksi pernah melihat terdakwa pada tanggal 5 Oktober 2010 pagi hari sekitar jam 09.30 WIB yang datang ke hotel kayu manis Umbulharjo Yogyakarta bersama saksi korban Siska Darminatun dan menginap di kamar No.102. Pada saat terdakwa
datang, pada saat itu saksi sedang bertugas di bagian receptionis dan bertugas menerima tamu, serta mengantar sampai ke dalam kamar. Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan.
d. Zuono Saputro, yang menerangkan sebagai berikut, saksi tidak kenal dengan terdakwa maupun isterinya terdakwa. Saksi bekerja di Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta. Pada tanggal 05 Oktober 2010 saksi bertugas sore hari dan datang ke Hotel Kayu Manis sekitar jam 17.00 WIB. Sekitar jam 10.00 WIB saksi mendengar ada suara gaduh di kamar No.102, dan sepengetahuan saksi di kamar tersebut ada 3 (tiga) orang karena pada sore hari terdakwa datang bersama dengan anaknya ke Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta. Saat terjadi rebut-ribut di kamar 102 tersebut saat itu saksi sedang di receptionis dan sedang melayani tamu. Jarak antara receptionis dengan kamar No.102 tersebut dekat yaitu kurang lebih 5 (lima) meteran. Saat terjadi keributan di dalam kamar tersebut terdengar suara perempuan teriak, dan saat didatangi ternyata sudah hening sehingga saksi kembali ke receptionis. Tidak lama kemudian sekitar 5 (lima) menitan, saksi korban Siska Darminatun lari keluar kamar sambil menangis dan berkata “saya ditampar”, namun saat itu saksi tidak begitu memperhatikan keadaan saksi korban. Kemudian terdakwa keluar kamar dan mengejar Siska Darminatun dan saat itu terdakwa bertanya kepada saksi “kemana isterinya, dan saksi jawab pergi ke utara”. Saat terdakwa mendatangi meja receptionis saat itu terlihat wajahnya sedang ada masalah serius. Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan namun ada yang
ditambahi yaitu, saat saksi korban Siska Darminatun lari keluar kamar dan ketika melintas di dekat receptionis, saksi korban Siska Darminatun sempat berganti celana.
e. Saksi Verbalisan : Mayrista Ria Ardani, yang menerangkan sebagai berikut, saksi yang bertugas memeriksa terdakwa. Pada saat dilakukan pemeriksaan atas diri terdakwa tidak dilakukan dengan tekanan, paksaan ataupun dengan kekerasan dan di ruangan saksi pada saat pemeriksaan ada orang lain selain saksi, dan saat itu di ruangan tersebut tidak ada senjata api yang tergeletak di meja ataupun tergantung di dinding ruangan tersebut. Pada saat memeriksa terdakwa, saat itu terdakwa yang menceritakan sedangkan saksi mengetiknya dan saat itu terdakwa memperagakan cara menarik pundak kiri saksi korban Siska Darminatun kemudian menarik pundak kanan Siska D arminatun dengan tujuan untuk merebut handphone namun karena tidak diserahkan kemudian terdakwa mengalungkan tangan kanannya ke leher saksi Siska Darminatun dan kemudian menekan kepala saksi Siska Darminatun ke kasur. Sebelum terdakwa menandatangani Berita Acara Penyidik tersebut, terdakwa oleh saksi diberikan kesempatan untuk membacanya dan kemudian jika ada yang salah agar dibenarkan, namun setelah dibaca terdakwa tidak terdapat kesalahan dan terdakwa menandatangani Berita Acara Penyidik, dan atas keterangan saksi tersebut, terdakwa menyatakan menyatakan benar dan tidak keberatan.
f. Saksi Ade Charge ke-1 : Nahari, yang menerangkan sebagai berikut, saksi kenal dengan terdakwa dan juga istri terdakwa yang bernama Siska
Darminatun dan saksi kenal dengan terdakwa dan istrinya pernah mengontrak rumah di Condrowangsan dan rumahnya bersebelahan dengan rumah saksi. Saat itu Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2008, dan Terdakwa meninggalkan Condowasan pada pertengahan Tahun 2009.Kehidupan rumah tangga terdakwa dan saksi Siska Darminatun sering cekcok dan saksi tidak tahu peristiwa yang terjadi pada tanggal 5 Oktober 2010 di Hotel Kayu Manis Umbulharjo
Yogyakarta.Atas
keterangan
saksi
tersebut,
terdakwa
menyatakan benar dan tidak keberatan.
g. Saksi Ade Charge ke-2 : Kisyanto, yang menerangkan sebagai berikut, saksi kenal dengan terdakwa dan juga istri terdakwa yang bernama Siska Darminatun. Saksi kenal karena terdakwa dan istrinya pernah mengontrak rumah di Condrowangsan dan rumahnya bersebelahan dengan rumah saksi. Saat itu Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2008, terdakwa meninggalkan Condrowangsan pada pertengahan Tahun 2009, dan kehidupan rumah tangga terdakwa dan saksi Siska Darminatun sering cekcok. Saksi tidak tahu peristiwa yang terjadi pada tanggal 5 Oktober 2010 di Hotel Kayu Manis Umbulharjo
Yogyakarta.
Atas
keterangan
saksi
tersebut,
terdakwa
menyatakan benar dan tidak keberatan.
2. Alat Bukti Surat berupa : a. Hasil Visum Et Repertum Nomor : 331/3634/RSUD/X/2010 tanggal 12 oktober 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Fatrinawati dokter yang memeriksa pada Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta atas nama Pasien Siska Darminatun dengan hasil sebagai berikut :
Keadaan Umum
: Kompos Metis
Tekanan Darah
: Seratus duapuluh per seratus mmhg
Pemeriksaan bagian kepala
: Tidak terdapat jejas luka
Anggota gerak badan atas
: Tidak terdapat jejas luka, terdapat memar pada bagian pantat kanan
Anggota gerak badan bawah
: Tidak terdapat jejas luka
Hasil pemeriksaan dalam
: Tidak dilakukan
Kesimpulan
: Orang tersebut di atas mengalami luka-luka
diduga
akibat
trauma
benda tumpul. b. 1 (satu) buah buku Akta Nikah Nomor : 263/20/VIII/1996, tanggal 8 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh KUA Kec. Playen Gunungkidul atas nama Zani Widiantoro dan Siska Darminatun.
3. Keterangan Terdakwa, yang menerangkan sebagai berikut, terdakwa adalah suami sah dari saksi Siska Darminatun dan saat ini mempunyai 2 (dua) orang anak perempuan. Saksi korban Siska Darminatun bekerja di Jakarta dan masih sering pulang ke rumah setiap 2 (dua) bulan sekali. Terdakwa pada tanggal 05 Oktober 2010 pagi hari menjemput saksi Siska Darminatun di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta sekitar jam 09.00 WIB, selanjutnya terdakwa mengajak saksi korban Siska Darminatun menginap di Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta. Terdakwa dan saksi Siska Darminatun setelah sampai di hotel tersebut dan istirahat sebentar, kemudian terdakwa pergi meninggalkan hotel
dengan alasan akan menjemput anak dan akan bekerja terlebih dahulu. Terdakwa kemudian pada sore hari datang ke hotel tersebut bersama dengan anaknya yaitu saksi Oktavia Diah Fatmawati. Pada saat sampai dihotel tersebut, kemudian sekitar jam 19.00 WIB hand phone terdakwa berbunyi dan pada saat berbunyi, handphone terdakwa diambil oleh saksi Siska Darmiatun namun terdakwa berusaha untuk mengambilnya dan saksi Siska Darminatun tetap berusaha mempertahankan handphone tersebut. Pada saat saksi Siska Darminatun mengambil handphone terdakwa, saat itu posisi saksi Siska Darminatun ada di pinggir tempat tidur, dan terdakwa berada di belakang saksi Siska Darminatun sehingga terdakwa menarik pundak saksi Siska Darminatun dengan tangan kanan, dan kemudian terdakwa mengalungkan tangannya ke leher Siska Darminatun untuk mengambil handphone tersebut. Oleh karena saksi Siska Darminatun tetap tidak mau menyerahkan handphone, kemudian terdakwa menekan kepala saksi Siska Darminatun dengan tangan ke arah kasur tempat tidur, dan saat itu saksi Oktavia Diah Fatmawati berteriak-teriak supaya terdakwa dan Siska Darminatun berhenti rebutan handphone. Terdakwa tidak pernah memukul kepala dan pantatnya saksi Siska Darminatun. Benar terdakwa sebelumnya sudah benar dilaporkan di Polsek Kotagede namun laporan tersebut tidak sampai ketahap persidangan karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan.Terdakwa pada saat diperiksa di Kepolisian tidak dipaksa ataupun ditekan oleh polisi.
d. Tuntutan Pidana
Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini telah mengajukan tuntutan pidana tertanggal
25
Mei
2011,
Nomor
Reg.
Perkara
:
PDM-
043/YOGYA/03/2011yang pada pokoknya berpendapat supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut menjatuhkan putusan sebagai berikut : a. Menyatakan Terdakwa Zani Widiantoro Sigit, bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga yang Tidak Menimbulkan Penyakit atau Halangan Untuk Menjalankan Pekerjaan Jabatan atau Mata Pencaharian atau Kegiatan Sehari-hari; b. Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa Zani Widiantoro Sigit dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan; c. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah buku Akta Nikah Nomor : 263/20/VIII/1996, tanggal 8 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh KUA Kec. Playen Gunungkidul atas nama Zani Widiantoro Sigit dan Siska Darminatun.Dikembalikan kepada saksi Siska Darminatun; d. Menetapkan agar Terdakwa Zani Widiantoro Sigit membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (Dua ribu rupiah).
e. Putusan Hakim Pengdilan Negeri Yogyakarta 1. Dasar Pertimbangan Hakim Menimbang bahwa untuk menyatakan terdakwa terbukti bersalah atas dakwaan yang ditujukan kepadanya, maka semua perbuatan terdakwa harus memenuhi semua unsur-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan kepadanya.
Menimbang bahwa dipersidangan Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa dengan bentuk dakwaan alternatif melakukan tindak pidana yaitu : Kesatu : Melanggar Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau Kedua : Melanggar Pasal 356 Ayat (1) KUHP, atau Ketiga : Melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Menimbang bahwa surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut di susun Alternatif, oleh karenanya Majelis akan membuktikan dakwaan yang menuntut Majelis memenuhi fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Menimbang bahwa dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, yaitu berdasarkan keterangan para saksi, keterangan terdakwa serta dihubungkan pula dengan barang bukti yang diajukan dimuka persidangan, maka Majelis akan membuktikan mengenai dakwaan kesatu sebagaimana diatur dan diancam Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan unsur-unsur sebagai berikut : 1. Unsur “Setiap Orang”; 2. Unsur “Melakukan Perbuatan Kekerasan Fisik”; 3. Unsur “Dalam Lingkup Rumah Tangga yang dilakukan oleh Suami terhadap Isteri atau sebaliknya”;
4. Unsur
“Tidak
Menimbulkan
Penyakit
atau
Halangan
Untuk
Menjalankan Pekerjaan Jabatan atau Mata Pencaharian atau Kegiatan Sehari-hari.
Ad.1.Unsur Setiap Orang Yang dimaksud dengan Setisp Orang disini adalah orang atau manusia sebagai subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang dalam perkara ini adalah Terdakwa : Zani Widiantoro Sigit lengkap dengan segala identitasnya, bukan orang lain dan dalam persidangan Terdakwa telah membenarkan identitasnya. Menimbang bahwa dengan demikian unsur setiap orang telah terpenuhi.
Ad.2.Unsur Melakukan Perbuatan Kekerasan Fisik Yang dimaksud dengan kekerasan fisik dalam Undang-Undang sesuai dengan Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Menimbang bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, keterangan terdawa dan juga didukungadanya barang bukti serta alat bukti surat, maka diperoleh fakta hukum sebagai berikut : a. Pada hari Selasa tanggal 5 Oktober 2010, saksi Siska Darminatun kembali lagi ke Yogyakarta sekitar jam 09.15 WIB dan dijemput oleh Terdakwa di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta dan saksi korban
bermaksud akan menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara terdakwa dengan saksi korban, dan terdakwa membawa saksi korban ke Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta; b. Sesampai di Hotel Kayu Manis Umbulharjo Yogyakarta kemudian terdakwa pergi meninggalkan saksi dengan alasan akan menyelesaikan urusan kemudian sekitar jam 19.00 WIB terdakwa datang ke hotel bersama dengan anak saksi yang bernama Oktavia Diah Fatmawati, dan setelah di dalam kamar tiba-tiba handphone terdakwa berbunyi sehingga saksi korban curiga dan ingin mengetahui isi SMS tersebut; c. Saksi Siska Darminatun kemudian memegang handphone terdakwa, namun diserobot oleh terdakwa dan saat itu saksi Siska Darminatun menunduk namun tiba-tiba terdakwa memukuli kepala terdakwa beberapa kali, dan juga terdakwa memukul pantat saksi; d. Pada saat terdakwa memukul saksi korban, saat itu posisi saksi Siska Darminatun tengkurap sehingga membelakangi terdakwa dan saksi tidak tahu cara terdakwa memukul; e. Selanjutnya saksi Siska Darminatun lari keluar hotel dan berkata “Saya dipukul”; f. Dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari terdakwa sering marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor; g. Sebelumnya terdakwa juga pernah melakukan kekerasan fisik terhadap saksi Siska Darminatun dan pernah dilaporkan ke Polsek Kotagede namun laporan tersebut tidak sampai dilanjutkan ke persidangan;
h. Berdasarkan Visum Et Repertum Nomor : 331/3634/RSUD/2010 tanggal 12 Oktober 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Fatrinawati dokter yang memeriksa pada Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta atas nama pasien Siska Darminatun dengan hasil sebagai berikut : Keadaan Umum
: Kompos Metis
Tekanan Darah
: Seratus duapuluh per seratus mmhg
Pemeriksaan bagian kepala
: Tidak terdapat jejas luka
Anggota gerak badan atas
: Tidak terdapat jejas luka, terdapat memar pada bagian pantat kanan
Anggota gerak badan bawah
: Tidak terdapat jejas luka
Hasil pemeriksaan dalam
: Tidak dilakukan
Kesimpulan
: Orang tersebut di atas mengalami luka-luka diduga akibat trauma benda tumpul.
Sehingga apabila dihubungkan antara keterangan saksi korban Siska Daminatun dengan alat bukti petunjuk berupa hasil Visum Et Repertum Nomor : 331/3634/RSUD/X/2010 tanggal 12 Oktober 2010 tanggal 12 Oktober 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Fatrinawati dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta, maka telah ada persesuaian antara keterangan saksi korban Siska Darminatun dengan hasil Visum Et Repertum yang menjelaskan terdapat memar pada bagian pantat kanan, sehingga perbuatan terdakwa tersebut jelas-jelas tealh menimbulkan rasa sakit pada diri saksi korban Siska Darminatun.Menimbang, bahwa dengan demikian unsur melakukan perbuatan kekerasan fisik telah terpenuhi.
Ad.3.Unsur Dalam Lingkup Rumah Tangga yang Dilakukan oleh Suami terhadap istri atau sebaliknya Yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu terhadap suami, isteri dan anak. Saksi Siska Darminatun adalah isteri sah dari Terdakwa sesuai dengan buku Akta Nikah Nomor : 263/20/VIII/1996 tanggal 8 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh KUA Kec.Playen Gunungkidul atas nama Zani Widiantoro dan Siska Darminatun dan mereka juga sudah mempunyai 2 (dua) orang anak perempuan. Menimbang bahwa dengan demikian unsur ini telah terpenuhi.
Ad.4.Unsur Tidak Menimbulkan Penyakit atau Halangan Untuk Menjalankan Pekerjaan Jabatan atau Mata Pencaharian atau Kegiatan Sehari-hari Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, keterangan terdakwa dan juga didukung dengan adanya barang bukti serta alat
bukti
surat
berupa
hasil
Visum
Et
Repertum
Nomor
:
331/3634/RSUD/X/2010 tanggal 12 Oktober 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Fatrinawati, dokter yang memeriksa pada Rumah
Sakit Umum Daerah Yogyakarta atas nama Pasien Siska Darminatun dengan hasil sebagai berikut : Keadaan Umum
: Kompos Metis
Tekanan Darah
: Seratus duapuluh per seratus mmhg
Pemeriksaan bagian kepala
: Tidak terdapat jejas luka
Anggota gerak badan atas
: Tidak terdapat jejas luka, terdapat memar pada bagian pantat kanan
Anggota gerak badan bawah
: Tidak terdapat jejas luka
Hasil pemeriksaan dalam
: Tidak dilakukan
Kesimpulan
: Orang tersebut di atas mengalami luka-luka
diduga
akibat
trauma
benda tumpul. Bahwa dengan demikian unsur “tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari” telah terpenuhi. Menimbang bahwa karena semua unsur dari alternative kesatu telah terpenuhi, maka terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tersebut dalam Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menimbang bahwa dari hasil pemeriksaan dipersidangan Majelis tidak menemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar bagi diri terdakwa, oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dipidana yang setimpal dengan kesalahannya.
Menimbang bahwa oleh karena terdakwa berada dalam tahanan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (4) KUHAP Jo Pasal 33 ayat (1), maka Majelis
berpendapat
cukup
alasan
untuk
mengurangkan
seluruh
masatahanan yang telah dijalani terdakwa dari pidana yang dijatuhkan kepadanya. Menimbang bahwa agar terdakwa tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, maka terdakwa perlu tetap berada dalam tahanan. Menimbang bahwa oleh karena terdakwa harus dipidana maka sebelum Majelis menjatuhkan putusan pada diri terdakwa, terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi diri terdakwa. Hal-hal yang memberatkan : a. Perbuatan terdakwa mengakibatkan penderitaan fisik terhadap saksi korban Siska Darminatun; b. Terdakwa adalah suami saksi korban Siska Darminatun sehingga sudah seharusnya terdakwa menjaga dan melindungi saksi korban Siska Darminatun. Hal-hal yang meringankan : a. Terdakwa saat ini menjadi tulang punggung keluarganya; b. Kedua orang anak terdakwa saat ini bersama dengan terdakwa dan terdakwa sudah mengurusi anak-anaknya tersebut;
c. Bahwa saksi korban Siska Darminatun di depan persidangan sudah memaafkan perbuatan terdakwa dan tidak bermaksu memenjarakan terdakwa; d. Terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya; e. Terdakwa belum pernah dihukum. Menimbang bahwa karena terdakwa telah dinyatakan terbukti bersalah, maka kepada terdakwa dibebani pula untuk membayar biaya perkara.
2. Amar Putusan Hakim Mengingat ketentuan Pasal-Pasal serta peraturan lain dari UndangUndang yang bersangkutan khususnya Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta peraturan lain yang berhubungan dengan perkara tersebut, Majelis Hakim memutuskan Mengadili : 1. Menyatakan, terdakwa Zani Widiantoro Sigit telah terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah, melakukan tindak pidana “Melakukan Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga Yang Tidak Menimbulkan Penyakit atau Halangan Untuk Menjalankan Pekerjaan Jabatan atau Mata Pencaharian atau Kegiatan Sehari-hari”; 2. Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (Tiga) bulan; 3. Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim oleh karena Terdakwa
sebelum lampau waktu percobaan selama 6 (enam) bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana; 4. Memerintahkan, barang bukti berupa 1 (satu) buah buku Akta Nikah Nomor : 263/20/VIII/1996 tanggal 8 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh KUA Kec.Playen Gunungkidul atas nama Zani Widiantoro dan Siska Darminatun, dikembalikan kepada saksi Siska Darminatun; 5. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa, sebesar Rp.2000,- (dua ribu rupiah).
2. Data Primer berupa hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta atas nama Walfred Pardamean, S.H,M.H a. Saksi verbalisan tidak diatur secara tegas di dalam KUHAP. Saksi verbalisan merupakan istilah yang dipakai oleh pengadilan sebagai saksi dari penyidik, yang membuat BAP atas laporan korban, saksi yang mengetahui, ataupun terdakwa. b. Terdapat 2 alasan diajukannya saksi verbalisan ke hadapan persidangan. Pertama, terdakwa atau saksi tidak dapat hadir dalam persidangan. Namun untuk mengatasi hal demikian, umumnya hanya dilakukan pembacaan BAP oleh Jaksa Penuntut Umum. Pemanggilan saksi verbalisan hanya dilakukan atas persetujuan dari pihak yang berperkara. c. Latar belakang dihadirkannya saksi verbalisan diatur dalam Pasal 163 KUHAP yang menyebutkan :“Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang
mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang”. d. Dalam praktik persidangan, terdakwa umumnya bersikap lebih berani membantah tindakan yang telah didakwakan kepadanya. Oelh sebab itu hakim meminta dihadirkannya saksi verbalisan untuk menguji bantahan tersangka sekaligus meminta penjelasan mengenai jalannya proses penyidikan. e. Pada dasarnya hakim lebih menilai keterangan yang menguntungkan terdakwa. Dengan demikian Majelis Hakim lebih mengutamakan keterangan yang diberikan terdakwa di hadapan persidangan daripada keterangan yang diperoleh di luar persidangan. f. Dalam membuktikan kesalahan terdakwa hakim tidak mengacu pada salah satu alat bukti saja. Hakim menilai setiap bukti yang diperoleh baik itu selama pemeriksaan pendahuluan maupun pemeriksaan dalam persidangan, dengan mengaitkan atau menilai kesesuaian masing-masing alat bukti tersebut.58
B. Pembahasan 1. Kedudukan Saksi Verbalisan Dalam Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting sekaligus menjadi titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan.Hal ini dikarenakan pembuktian berisi ketentuan-ketentuan berupa pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pedoman tata cara pembuktian yang digunakan dalam sistem 58
Hasil Wawancara tanggal 19 Juli 2012 dengan Hakim Walfred Pardamean, S.H.,MH
peradilan di Indonesia adalah teori sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) yang dipertegas dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tanggasama seperti tindak pidana lainnya, menggunakan ketentuan dan tata cara yang terdapat dalam KUHAP. Ketentuan ini dijelaskan di dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menyebutkan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”Dengan demikian pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, menggunakan prinsip minimum pembuktian yang dianut oleh KUHAP dan alat-alat bukti yang dianggap sah menurut undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah yang disebutkan secara rinci atau limitattif yaitu : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk, dan
e. Keterangan terdakwa. Menurut pendapat M.Yahya Harahap59, Jika ketentuan Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan jenis alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1), maka minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, “sekurangkurangnya” atau “paling sedikit” dibuktikan dengan “dua” alat bukti yang sah. Jelasnya untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan : a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus “saling bersesuaian”, “saling menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian. Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
Nomor
177/Pid.SUS/2011/PN.YK telah dipenuhi prinsip minimum pembuktian yang diatur oleh KUHAP. Alat bukti yang digunakan dalam persidangan antara lain : a. Alat bukti saksi yaitu, Saksi Siska Darminatun, Saksi Oktavia Diah Fatmawati, Saksi Joko Pramono, Saksi Zuono Saputro, Saksi Verbalisan Mayrista Ria Ardani, Saksi Nahari, Saksi Kisayanto. b. Alat
bukti
surat
berupa
hasil
Visum
et
Repertum
Nomor
331/3634/RSUD/X/2010 tanggal 12 Oktober 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Fatrinawati, yang memeriksa pada Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta atas nama Pasien Siska Darminatun.. c. Keterangan Terdakwa Zani Widiantoro Sigit
59
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal. 283.
Hakim dalam menilai kesalahan terdakwa menggunakan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Diantara beberapa saksi yang dihadapkan ke depan persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum juga diajukan saksi verbalisan (saksi penyidik). Saksi Verbalisan merupakan saksi dari pihak penyidik yang diajukan untuk menguji bantahan terdakwa terhadap muatan Berita Acara Penyidikan (BAP). Pada umumnya terdakwa membantah isi BAP dikarenakan adanya tekanan atau paksaan terhadap tersangka pada saat proses penyidikan dilakukan. Karenanya apabila dalam proses pembuktiannya diketahui ternyata terdapat unsur paksaan yang dilakukan oleh penyidik, maka penyidik yang bersangkutan dapat dikenakan pidana Pasal 422 KUHP. Pasal 422 KUHP menyebutkan bahwa : “Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan barana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Meskipun saksi verbalisan ini belum diatur di dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya namun dalam praktek saksi verbalisan ini sering diajukan dalam persidangan.Latar belakang adanya saksi verbalisan terdapat dalam ketentuan Pasal 163 KUHAP. Pasal 163 menyebutkan bahwa : “Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang”. Keterangan yang diberikan oleh saksi verbalisan dengan demikian adalah sebatas pada keterangan tersangka yang dicatat oleh peyidik yang bersangkutan di
dalam BAP pada saat proses verbal (penyidikan) dilakukan. Dalam Putusan Perkara
Pidana
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
dengan
nomor
177/Pid.SUS/2011/PN.YK, diketahui bahwa pada saat proses penyidikan, tersangkan Zani Widiantoro Sigit diperiksa oleh penyidik atas namaMayrista Ria Ardani. Di hadapan persidangan Saksi Verbalisan Mayrista Ria Ardani yang memberikan keterangan sebagai berikut : Saksi yang bertugas memeriksa terdakwa. Pada saat dilakukan pemeriksaan atas diri terdakwa tidak dilakukan dengan tekanan, paksaan ataupun dengan kekerasan dan di ruangan saksi pada saat pemeriksaan ada orang lain selain saksi, dan saat itu di ruangan tersebut tidak ada senjata api yang tergeletak di meja ataupun tergantung di dinding ruangan tersebut. Pada saat memeriksa terdakwa, saat itu terdakwa yang menceritakan sedangkan saksi mengetiknya dan saat itu terdakwa memperagakan cara menarik pundak kiri saksi korban Siska Darminatun kemudian menarik pundak kanan Siska Darminatun dengan tujuan untuk merebut handphone namun karena tidak diserahkan kemudian terdakwa mengalungkan tangan kanannya ke leher saksi Siska Darminatun dan kemudian menekan kepala saksi Siska Darminatun ke kasur. Sebelum terdakwa menandatangani Berita Acara Penyidik tersebut, terdakwa oleh saksi diberikan kesempatan untuk membacanya dan kemudian jika ada yang salah agar dibenarkan, namun setelah dibaca terdakwa tidak terdapat kesalahan dan terdakwa menandatangani Berita Acara Penyidik, dan atas keterangan saksi tersebut, terdakwa menyatakan menyatakan benar dan tidak keberatan. Pemanggilan saksi verbalisan (penyidik) tersebut dianggap perlu oleh Majelis Hakim karena adanya bantahan terdakwa terhadap isi BAP. Di hadapan Majelis Hakim terdakwa menyangkal telah memukul saksi ketika akan merebut handphone dari saksi korban Siska Darminatun. Atas bantahan tersebut Majelis Hakim memanggil saksi penyidik yang memeriksa terdakwa, untuk memperoleh keterangan berkaitan dengan jalannya proses penyidikan terhadap tersangka, apakah penyidik melakukan tindak kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.
Menurut pendapat R.Soesilo60bahwa : Sesuai dengan sifat accusatoir hukum acara pidana kita, sebelum ada keputusan hakim yang tetap maka seorang terdakwa masih harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah.Penyidik harus berlaku objektif baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Oleh sebab itu walaupun dalam pemeriksaan penyidik sedikit banyak telah memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa, penyidik tidak berhak menghina, menganiaya atau melakukan bentuk kekerasan lainnya kepada tersangka. Tindakan-tindakan penyidik yang demikian akan dapat menyebabkan penyesatan putusan hakim yang berakibat tidak memidana orang yang salah atau sebaliknya yang lebih fatal, menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak bersalah. Prinsip yang dianut oleh KUHAP bahwa keterangan yang memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan yang dinyatakan oleh saksi ataupun terdakwa di hadapan persidangan. Sehingga di dalam praktek pada umumnya Majelis Hakim lebih mengutamakan keterangan saksi maupun terdakwa yang dinyatakan di bawah sumpah dalam proses persidangan.Namun hal ini tidak berarti bahwa keterangan terdakwa atau saksi yang didapatkan ketika dalam tahap pemeriksaan pendahuluan atau penyidikan, tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan juga oleh Majelis Hakim.Selama keterangan yang diberikan 60
R.Soesilo, Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan), PT.Karya Nusantara, Bandung, 1989, hal.120.
memiliki kesesuian dengan alat bukti lainnya, maka keterangan tersebut dapat dijadikan sebagai petunjuk peyempurnaan alat bukti lainnya. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 20 September 1977 No. 177 K/Kr/1965 yang menegaskan : “bahwa pengakuan-pengakuan para terdakwa I dan II dimuka polisi dan jaksa, ditinjau dalam hubungannya satu sama lain dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan kesalahan terdakwa”. Keterangan saksi verbalisan Mayrista Ria Ardani, dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga Pengadilan Negeri Yogyakarta Putusan Nomor 177/Pid.SUS/2011/PN.YK, oleh Majelis Hakim dinilai memiliki kesesuaian baik dengan keterangan saksi lainnya maupun dengan alat bukti surat berupa hasil Visum Et Repertum. Sehingga dengan demikian keterangan saksi verbalisan atas nama Mayrista Ria Ardani menjadi salah satu alat bukti petunjuk untuk menilai kesalahan terdakawa Zani Widiantoro Sigit. Keterangan saksi verbalisan sama halnya dengan alat bukti lainnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang bebas. Oleh sebab itu menjadi tugas dan tanggung jawab dari Majelis Hakim sendiri untuk menilai kesesuaian antara keterangan saksi verbalisan dengan alat bukti lainnya yang diajukan ke dalam persidangan, baik itu keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat maupun keterangan terdakwa.
2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Percobaan Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perkara
tindak
pidana
kekerasan
dalam
rumah
tangga
Nomor
177/Pid.SUS/2011/PN.YK, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa Zani Widiantoro Sigit dengan dakwaan : a. Kesatu, melanggar Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; b. Kedua, melanggar Pasal 356 Ayat (1) KUHP; c. Ketiga, melanggar 351 Ayat (1) KUHP. Atas dakwaan tersebut, terdakwa memberikan keterangan yang isinya mengakui semua dakwaan yang telah didakwakan kepadanya dan membenarkan keterangan para saksi. Meskipun sebelumnya terdakwa menyangkal tindakan yang didakwakan kepadanya, tetapi setelah dihadirkannya saksi verbalisan terdakwa membenarkan keterangan saksi verbalisan teersebut. Dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, yaitu berdasarkan keterangan para saksi, keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dimuka persidangan, hakim berpendapat dan memberikan pertimbangan, bahwa tindakan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam dakwaan kesatu sebagaimana diatur dan diancam Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan unsur unsur sebagai berikut : 1. Unsur “Setiap Orang”
Yang dimaksud dengan “setiap orang” disini adalah orang atau manusia sebagai subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang dalam perkara tersebut adalah terdakwa Zani Widiantoro Sigit. 2. Unsur “melakukan perbuatan kekerasan fisik” Setelah mendengar keterangan dari para saksi yang diajukan dimuka dipersidangan serta menghubungkan kesesuaiannya dengan alat bukti lainnya yaitu alat bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, unsur ini telah terpenuhi. 3. Unsur “dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya” Berdasarkan alat bukti berupa Akta Nikah Nomor : 263/20/VIII/1996 tanggal 8 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh KUA Kec.Playen Gunungkidul atas nam Zani Widiantoro dan Siska Darminatun, saksi korban Siska Darminatun adalah isteri sah dari terdakwa. 4. Unsur “tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari” Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dipersidangan, keterangan para saksi serta hubungannya satu dengan yang lainnya juga dengan alat bukti berupa hasil Visum Et Repertum Nomor 331/3634/RSUD/X/2010 tanggal 12 Oktober 2010, unsur ini telah terpenuhi. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa : “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP menganut Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan 2 unsur dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Kedua unsur tersebut adalah : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang disahkan oleh undang-undang. 2. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Pasal 183 KUHAP merumuskan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”. Dengan demikian menurut pendapat M.Yahya Harahap61 untuk menentukan bahwa salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang terdakwa harus : 1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 2. Dan dengan keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah.
61
Harahap, M.Yahya, Op.cit, hal.280
Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa
Menurut pendapat Darwan Prints62, alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim akan kebenararan adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dari
data
Putusan
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
Nomor
177/Pid.SUS/2011/PN.YK, kesalahan terdakwa dibuktika dengan menggunkan alat bukti berupa keterangan saksi, alat bukti surat, alat bukti petunjuk dan keterangan terdakwa yang diuraikan sebagai berikut : 1. Alat bukti saksi Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, saksi-saksi yang diajukan kehadapan persidangan antara lain, saksi korban Siska Darminatun, saksi Oktavia Diah Fatmawati, saksi Joko Pramono, Saksi Zuono Saputra, saksi Nahari, saksi Kisyanyo, dan saksi verbalisan Mayrista Ria Ardani. Keterangan yang diberikan oleh para saksi yang telah disebutkan di atas mempunyai nilai sebagai alat bukti, karena telah memenuhi syarat yaitu saksi harus mengucapkan sumpah dan janji, keterangan diberikan di sidang pengadilan, keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat
62
Prints, Darwan, Op.cit, hal.107
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau “unus testis nullus testis”. 2. Alat Bukti Surat Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang menyebutkan bahwa : “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.” Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
Nomor
177/Pid.SUS/2011/PN.YK, alat bukti surat berupa hasil Visum et Repertum Nomor 331/3634/RSUD/X/2010 tanggal 12 Oktober 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Fatrinawati, dokter yang memeriksa pada Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta atas nama Pasien Siska Darminatun. 3. Alat bukti petunjuk Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa : “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya dapat diperoleh dari a. Keterangan saksi b. Surat c. Keterangan terdakwa. 4. Alat bukti keterangan terdakwa
Alat bukti ini diatur dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa : “Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Walaupun terdakwa telah memberikan keterangan yang isinya telah mengakui dakwaan Jaksa Penuntut Umum namun tidak bisa membuktikan kesalahannya, hal ini diatur dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan bahwa : “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat-alat bukti yang sah.” Dari uraian tersebut, dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 177/Pid.SUS/2011/PN.YK, apabila dihubungkan dengan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP maka diketahui bahwa Putusan tersebut telah memenuhi Asas Minimum Pembuktian, yaitu dengan adanya paling sedikit dua alat bukti yang sah menurut undang-undang yang saling bersesuaian dan saling menguatkan satu dengan lainnya, sudah dapat dinilai cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehingga mampu membentuk keyakinan hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Keterangan yang diberikan oleh saksi verbalisan adalah menyangkut jalannya proses penyidikan dan keterangan tersangka yang dicatat oleh penyidik yang bersangkutan selama proses penyidikan. Pada dasarnya keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar persidangan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, namun sepanjang keterangan tersebut berkaitan dengan hal yang didakwakan serta memiliki kesesuaian dengan alat bukti lainnya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk menemukan bukti di persidangan atau sebagai
petunjuk
untuk
menetapkan
kesalahan
terdakwa
termasuk
membuktikan kebenaran bantahan terdakwa muatan Berita Acara Penyidikan (BAP). Keterangan saksi verbalisan sama halnya dengan alat bukti lainnya di dalam persidangan memiliki nilai kekuatan pembuktian yang bebas serta tidak dapat berdiri sendiri. Hakim harus menilai kesesuaian atau hubungannya dengan alat bukti lainnya yang juga diajukan kehadapan persidangan. Sehingga pada akhirnya keseluruhan alat bukti tersebut dapat membentuk keyakinan hakim untuk menjatuhkan pidana yang sesuai kepada terdakwa. 2. Putusan Pengadilan Negeri Yogayakarta Nomor 177/Pid.SUS/2011/PN.YK, telah sesuai dengan asas pembuktian yang dianut oleh KUHAP berdasarkan prinsip pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hakim dalam membuktikan setiap unsur-unsur yang didakwakan kepada terdakwa
didasarkan pada alat-alat bukti yang dihadapkan kedalam persidangan disertai keyakinan hakim. Dalam pembuktian suatu tindak pidana berlaku asas “unus testis nullus testis”, sehingga dalam pembuktiannya tidak dapat didasarkan hanya
dengan
keteraangan
seorang
saksi,
atau
harus
dengan
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan keterangan saksi serta alat bukti lainnya. Pada akhirnya keseluruhan alat-alat bukti tersebut akan yang akan membentuk keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana..
B. Saran Alat bukti keterangan saksi vebalisan hendaknya dibuat juga pengaturannya secara khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, karena hal ini berkaitan juga dengan penegakan Hak Asasi Manusia dalam sistem peradilan di Indonesia khususnya hak-hak tersangka selama proses penyidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur : C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. G.W.Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramita, 1988. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Edisi II, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006. M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Nikolas, Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009. Poernomo, Bambang, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Amarta Buku, Yogyakarta, 1984. Prayudi, Guse, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press, Yogyakarta, 2008. Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, 1989. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia cetakan ke lima, Penerbit Sumur Bandung, 1962. Romli Artasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 1983. Ronny, Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, 1990. R.Soesilo, Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan), PT.Karya Nusantara, Bandung, 1989. Salam, Moch.Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001.
Soetarna, Hendar, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, PT.Alumni, Bandung, 2011. Soetojo, Prawirohamidjojo, Hukum Orang Dan Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1989. Subekti, Trusto, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009. Suharto, RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Suryono, Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana I, Yayasan Cendikia Purna Dharma, Semarang, 1987. Tanusubroto, Soewiyatno, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Penerbit Armico, Bandung, 1984. Wirjono, Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967. Peraturan Perundang – Undangan : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2). Sumber lain : www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f7260564bi4d/fungsi-saksi-verbalisan. diakses 8 juni 2012. Hasil Wawancara tanggal 19 Juli 2012 dengan Hakim Walfred Pardamean, S.H.,MH. J.C.T.Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hal.175.