KEDUDUKAN SAKSI PEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN (Analisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: NUR ADZIMAH NIM : 1111044100072
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (A H W A L S Y A K H S I Y Y A H) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2015 M
ABSTRAK
Nur Adzimah. NIM 1111004100072. KEDUDUKAN SAKSI PEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN (Analisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. x + 71 halaman. Skripsi ini berjudul Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian Analisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia hasil penelitian yang menggambarkan tentang Kedudukan saksi perempuan dalam perbandingan empat madzhab dan hukum positif. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research) yang memusatkan tidak pada hasil penelitian lapangan, karena yang dikaji dalam penelitian ini hanya dokumendokumen saja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan saksi perempuan dalam perbandingan empat madzhab dengan hukum positif. Dan untuk mengetahui perbandingan pendapat empat madzhab dan praktek yang ada di pengadilan agama dalam kedudukan saksi perempuan. Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa kedudukan saksi perempuan pendapat empat madzhab ada perbedaan yaitu menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah perempuan tidak boleh menjadi saksi tanpa adanya laki-laki dalam perceraian sedangkan menurut Hanafiyah perempuan dibolehkan menjadi saksi tanpa adanya laki-laki, namun dalam hukum positif kedudukan saksi perempuan sama dengan kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-laki dan saksi perempuan.
Kata Kunci
: Kedudukan Saksi Perempuan dalam Perbandingan Pendapat Empat madzhab dan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.
Pembimbing
: Dr. Hj. Azizah, MA.
Daftar Pustaka
: Tahun 1971 s/d 2012 v
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮ ﺣﻤﻦ اﻟﺮ ﺣﯿﻢ اﻟﻠﮭﻢ ﺻﻞ وﺳﻠﻢ, أﺷﮭﺪ أن ﻻ اﻟﮫ اﻻ ﷲ و أﺷﮭﺪ أن ﻣﺤﻤﺪا ﻋﺒﺪه ورﺳﻮﻟﮫ,اﻟﺤﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎ ﻟﻤﯿﻦ اﻣﺎ ﺑﻌﺪ,ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ و ﻋﻠﻰ أﻟﮫ وأﺻﺤﺎ ﺑﮫ أﺟﻤﻌﯿﻦ. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah menciptakan alam beserta hukum-hukumnya, melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dengan pertolongan-Nya penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam penyusun sanjungkan untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengkuti ajarannya. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H.Jamhari dan Ibunda Hj.Khosyiah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, serta doa tanpa mengenal lelah sedikitpun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
vi
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Bapak Arif Furqon, MA, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dr. Hj. Azizah. MA, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis. 4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi Ahwalul Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 6. Ibu Dra. Hj. Rokhanah, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi. 7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Imaduddin dan Nurus Sa’adah yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
vii
8. Tidak lupa Sahabatku tercinta Muhammad Syamsul Hadi yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. 9. Sahabat seperjuangan penulis : Nia Octaviani, Robiatul Adawiyah, Nur Azizah, Arisa Dykawresa, Putri Rahmawati, Ayu cyntia, Nabila Halabi. 10. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 07 Oktober 2015
Nur Adzimah
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .....................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................................................
ii
LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................
iii
LEMBARAN PERYATAAN .......................................................................................
iv
ABSTRAK .....................................................................................................................
v
KATA PENGANTAR...................................................................................................
vi
DAFTAR ISI..................................................................................................................
ix
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...............................................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
10
D. Metode Penelitian .............................................................................
11
E. Studi Review.....................................................................................
13
F. Sistematika Penulisan .......................................................................
14
: SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT EMPAT MADZHAB (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali)
BAB III
A. Pengertian Saksi................................................................................
16
B. Syarat-Syarat Saksi Dalam Kasus Perceraian...................................
22
C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian...............................................
29
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian ....................
30
: SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT HUKUM POSITIF ( UU No.1 Tahun 1974 dan KHI ) A. Pengertian Saksi................................................................................
ix
35
BAB IV
B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian....................................
44
C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian...............................................
50
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian ....................
53
: ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG KEDUDUKAN SAKSI PEREMPUAN
MENURUT
EMPAT
MADZHAB
DAN
HUKUM
POSITIF A. Persamaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Di Indonesia Tentang Kedudukan Saksi Perempuan .............................................
55
B. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang
BAB V
Kedudukan Saksi Perempuan ...........................................................
56
C. Analisis Penulis.................................................................................
62
: PENUTUP A. KESIMPULAN.................................................................................
65
B. SARAN-SARAN ..............................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
68
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, tujuan perkawinan menurut Undangundang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 adalah bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. sehingga dapat membentuk rumah tangga. Sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan agar kehidupan kita berlanjut. Untuk mencapai ketenangan dan kedamaian dalam hidup maka disamping cinta yang di berikan oleh Allah SWT pada manusia, harus ada prinsip bahwa perkawinan adalah suatu ikatan yang kuat dan selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja, oleh karena itu perkawinan harus dilandasi atas dasar kerelaan dan keikhlasan hati sehingga tujuan perkawinan yang langgeng dapat terwujud. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan rumah tangga selamanya sungguh sangat berat dan penuh perjuangan. Pada dasarnya benturan-benturan dalam rumah tangga sangat mudah untuk dihindari dan dapat dengan mudah pula untuk ditangani seandainya terjadi, semua berawal dari prinsip saling mengerti dan memahami satu sama lain kekurangan maupun kelebihan masing-masing. Akan tetapi, apabila dapat diselesaikan maka pasangan suami istri dapat mempertahankan rumah
1
2
tangganya, namun sebaliknya apabila tidak dapat diselesaikan maka yang akan timbul adalah perceraian sebagai jalan keluarnya Pada saat keretakan sudah terjadi, hubungan suami istri semakin diliputi oleh berbagai hal yang tidak baik, saling mencaci, membenci dan saling menyakiti, baik dengan tindakan ataupun dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 10 tentang Perceraian, dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pengadilan Agama merupakan badan untuk menyelesaikan masalah-masalah keperdataan diantara orang-orang yang beragama Islam, diantaranya masalah talak. Dalam hal ini untuk melakukan perceraian harus mengajukan ke Pengadilan Agama.1 Dalam suatu proses persidangan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata pembuktian merupakan proses terpenting untuk menguji dan memulai sesuatu perkara. Hukum pembuktian diperlukan memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum benar-benar telah terjadi. Pembuktian diperlukan untuk menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu para pihak yang berperkara
1
Raihan Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2000),h.29.
3
wajib memberikan keterangan disertai dengan bukti-bukti yang berkaitan dengan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi. Menurut ketentuan pasal 163 HIR, pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 BW diatur hal-hal yang terkait dengan asas-asas pembuktian. Dalam pasal 1865 BW dijelaskan “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya dan menyangkal hak orang lain harus membuktikannya”. Adanya hak atau peristiwa ini maka baik penggugat atau tergugat dibebani pembuktian, terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukan.2 Dalam Hukum Acara Perdata mengatur alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setiap alat bukti yang diajukan memiliki nilai yang berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga kekuatan hukum yang melekat pada masing-masing alat bukti menjadi berbeda. Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan, menurut ketentuan yang terdapat dalam pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan pasal 1866 KUHPerdata. Ada lima jenis alat bukti dalam perkara yang dapat diajukan diantarannya: Alat bukti tulisan (surat), alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.3
2
Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek, (Bandung: Mandar Maju,1995), Cet,ke-1,h.28. 3
Abdurrahman, Hukum Acara Perdata,(Jakarta: Universitas Tri Sakti,2001) Cet,ke-5,h.82
4
Sesuai dengan ketentuan alat bukti diatas, selain alat bukti berupa surat yang dapat diajukan penggugat atau tergugat, dalam proses persidangan undang-undang memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan menghadirkan saksi. Menurut ketentuan pasal 1902 KUHPerdata bahwa membuktikan suatu kejadian dengan saksi diperbolehkan setelah pembuktian dengan surat dilakukan. Saksi yang didatangkan ke muka persidangan adalah seseorang yang melihat dan mendengar sendiri secara langsung kejadian atau peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.4 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 1895 bahwasanya pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal di mana itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.5 Selain itu dalam hukum Islam pun terdapat banyak ayat al-Qur’an sebagai landasan berpijak tentang pembuktian. Alat bukti yang diajukan kedalam persidangan berdasarkan Hukum Islam, antara lain : a. Ikrar (pengakuan) b. Syahadah (saksi)
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,1977), Cet,ke-1, h.168 5
Subekti dan Tjitrosudibio, kitab undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradya Paramita, 2004) Cet.XXXIV.h.481.
5
c. Yamin (sumpah) d. Maktubah (bukti tertulis) e. Tabbiyah (pemeriksaan koneksitas) Dari beberapa alat pembuktian diatas, maka dalam pembahasan ini hanya akan membahas pada alat bukti saksi (syahadah) khususnya pada kedudukan saksi perempuan. saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu.6 Meskipun setelah datang Islam kedudukan perempuan lepas dari praktik budaya Jahiliyah dan hak-haknya disamakan dengan kaum lakilaki, namun masih ada problem yang dihadapi perempuan, yaitu masalah kesaksiannya yang dianggap setengah dari kaum laki-laki. Hal inilah yang mengakibatkan terjadi perdebatan dari dulu dan sekarang, di mana kaum perempuan mulai sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang. Pada dasarnya ulama fikih mengakui kedudukan perempuan untuk dapat menjadi saksi. Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat tentang penerimaan kesaksian perempuan baik berdasarkan jumlah saksi maupun masalah yang dimintakan kesaksian.7 Menurut Syaikh Ali Ahmad al Jurjawi dalam Hikmatu al-Tasyri’, laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu 6 7
Sualaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h.138-139.
Raihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi baru (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.160
6
masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya.
Karena
itu,
perempuan
lebih
rendah
iradahnya
(kehendaknya), kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah atau ia dalam keadaan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah, dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang.8 Adapun dalam masalah kesaksian dua orang perempuan tersebut dapat diterima bersama dengan kesaksian seorang laki-laki ulama fikih berbeda pendapat. Menurut ulama madzhab Hanafi, kesaksian dua orang perempuan dan satu orang laki-laki dapat diterima dalam masalah yag berkaitan dengan hak sipil, baik berupa harta maupun hak, atau yang berkaitan dengan harta seperti nikah, talak, ‘iddah, wakaf, wasiat, ikrar, riba’, nasab. Adapun penerimaan kesaksian perempuan tersebut didasarkan pada kualifikasi yang dimiliki oleh perempuan tersebut untuk menjadi saksi, yaitu perempuan tersebut memiliki kesaksian atas apa yang dilihat dan didengar, kecermatan dan ingatan, dan kemampuan untuk memberikan kesaksian.9
8
Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu al-Tasyri’ wafalsafatuhu (Jeddah: al-Haramain) juz I, h.162-163 dan juz II, h.154 9
Muhammad Jawad, Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (Ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali), terj. Masykur AB dkk, jild IX (Jakarta: Lentera, 2002) h.58
7
Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, kesaksian perempuan bersama laki-laki hanya dapat diterima dalam masalah harta. Adapun yang terkait dengan harta seperti jual beli, sewa, hibah, wasiat, gadai.
Sementara dalam masalah yang tidak memiliki
keterkaitan dengan harta dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan harta dan biasanya menjadi urusan kaum laki-laki seperti nikah, rujuk, talak, wakalah, pembunuhan dengan sengaja, dan hudud hanya dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian dua orang laki-laki. Adapun sebab tidak diterimanya kesaksian perempuan adalah karena perempuan cenderung merasa belas kasihan, ingatan yang tidak utuh, dan keterbatasan kewenangan dalam berbagai hal.10 Seperti juga yang dikutip dalam bukunya Lia Aliyah al-Himmah bahwa surat al-Baqarah: 282 Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. barulah muncul pandangan dominan bahwa kesaksian perempuan tidak bisa diterima, kecuali bersama dengan laki-laki. Jika hanya perempuan saja tanpa laki-laki, meskipun jumlahnya banyak, tidak bisa diterima kesaksiannya, kecuali berkaitan dengan masalah (rahasia)
10
Abdul Khalik, Fiqh an-Nisai fi Dhou’i al-‘Arba’ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al-arba’ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al-‘Arabi, 1414H), Hlm. 344
8
keperempuanan. Atau dalam hal hanya perempuan saja yang bisa dilihat dan mengalaminya.11 Dalam praktik persidangan di Pengadilan umumnya yang dipergunakan untuk memperkuat adanya pembuktian adalah 2 (dua) orang saksi, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Namun dalam sistem Islam, ternyata hal itu berlainan. Prioritas menjadi saksi adalah seorang lelaki. Hal ini seperti dimaktubkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik. Dalam kitabnya, “Al-Muwatta”, Imam Malik menukilkan tentang kualitas saksi menurut aturan hukum Islam, yang menjadi amal Madinah.12 Dalam hal ini ternyata derajat perempuan dan laki-laki dalam memberikan kesaksian di Pengadilan, jauh berbeda. Allah SWT lebih menghendaki lelaki menjadi saksi, jika tidak ada, barulah dua orang perempuan dibolehkan. Bahkan dalam persidangan di Pengadilan Agama kerap kali hanya terdapat saksi perempuan saja tanpa didampingi oleh laki-laki, hal ini tentu saja tidak sesuai sebagaimana yang tertera dalam alQur’an surah Al-Baqarah: 282 yang menjadi sumber hukum materiil Peradilan Agama. Melihat hal tersebut bahwa antara undang-undang dan pendapat fuqaha berbeda pendapat dalam masalah kesaksian perempuan. Oleh karena itu sangat menarik bagi penulis untuk mengulangi lebih dalam
11
Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah separoh Laki-laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal.24 12
Mahkamah, “Bolehkah Perempuan bersaksi di Pengadilan ? ini jawaban Imam Malik”. Artikel diakses pada 11 februari 2014.
9
perbedaan tersebut dengan melihat persamaan dan perbedaan saksi perempuan dalam pandangan masing-masing pendapat dari empat madzhab dengan hukum positif. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka penelitian ini memfokuskan pada : “ KEDUDUKAN SAKSI PEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN PERBANDINGAN PENDAPAT EMPAT MADZHAB
DENGAN HUKUM POSITIF
YANG BERLAKU DI INDONESIA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini dibatasi pada kedudukan saksi perempuan menurut pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan cara melakukan perbandingan antara persamaan dan perbedaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan dalam perceraian. 2. Rumusan Masalah Melihat pada latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas tentang kedudukan saksi perempuan menurut UU No.1 tahun 1974 KHI dan KUHPerdata dan dibandingkan dengan perbedaan empat mazhab maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian menurut empat madzhab dan hukum positif ?
10
b. Apa persamaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian ? c. Apa perbedaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif tentang kedudukan saksi perempuan dalam perceraian ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skrispi ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian menurut empat madzhab dan hukum positif b. Untuk mengetahui persamaan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. c. Untuk mengetahui alasan perbedaan antara empat madzhab dengan hukum positif dalam kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan dicapai dengan adanya penelitian ini adalah : a. Untuk memberikan pengetahuan yang luas tentang persamaan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian pendapat empat madzhab dan Hukum Positif.
11
b. Untuk memberikan penjelasan tentang perbedaan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian pendapat empat madzhab dan hukum positif. c. Penelitian
ini
dapat
bermanfaat
bagi
mahasiswa
Ahwal
Syakhsiyyah, dan khususnya bagi penulis, sebagai acuan mengenai kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama. d. Menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum untuk mengetahui kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan metode : 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang memusatkan perhatian tidak pada hasil penilitian lapangan, dikarenakan yang dikaji dalam penelitian ini hanya dokumen-dokumen saja. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research).13 13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press,1986) h.201
12
a. Data primer yaitu data yang diproleh dari pendapat-pendapat Ulama
madzhab
yang
tercantum
dalam
kitab-kitab
fiqih
kontemporer dan beberapa peraturan-peraturan yang ada di Indonesia seperti KHI dan UU Perkawinan. b. Data sekunder yaitu pendukung yang diperoleh dari pengkajian buku-buku, serta pendapat pakar hukum yang di tuangkan dalam artikel, jurnal dan website tentang kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian berkaitan dengan isu yang di hadapi dan telah menjadi putusan hakim Pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.14 3. Teknik Analisa Data Yaitu menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif, serta menggunakan teknik perbandingan hukum, yang membandingkan para fuqaha dengan beberapa pasal dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Penelitian tersebut akan memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan mengenai kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian. Dengan penelitian ini penulis berharap dapat lebih mudah untuk mengadakan unifikasi hukum, serta mendapatkan kepastian hukum tentang kedudukan saksi. Hasil-hasil perbandingan hukum akan sangat penting bagi penerapan hukum di suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (jakarta: Kencana, 2005) Cet ke-1, h.96.
13
4. Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan pada penelitian ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
E. Studi Review Setelah melakukan penelitian dari perpustakaan, mengenai masalah kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian, penulis mendapatkan beberapa karya tulis berupa skripsi. Akan tetapi penelitian penulis berbeda dengan penelitian penelitian yang telah ada tersebut pada perbandingan antara pendapat empat mazhab dengan hukum positif. Adapun karya tulis yang telah ada sebelumnya antara lain : Wildan Ramadhian, tahun 2008, dengan judul skripsi “Relevansi Pemikiran Asghar Ali Engineer Tentang Saksi Perempuan dalam Pembuktian
Jarimah
zina”
Skripsi
ini
menjelaskan
dikonstruksi
metodologis Asghar Ali Engineer tentang pemahaman al-Qur’an agar menghasilkan sebuah penafsiran yang berkeadilan gender dalam konteks kesaksian perempuan dalam jarimah zina. Abdul Aziz, tahun 2007, dengan judul skripsi “Kedudukan Saksi dalam Pernikahan Tinjauan terhadap Imam Syafi’i dan Hanafi”. Skripsi ini menjelaskan tentang kedudukan saksi dalam pernikahan menurut pandangan Imam Madzhab Syafi’i dan Hanafi.
14
Muhammad Daerobi, tahun 2013, dengan judul skripsi “Kesaksian Perempuan dalam Perkawinan perspektif Hukum Islam”. Skripsi ini menjelaskan tentang kesaksian perempuan dalam sebuah perkawinan yang masih ditangguhkan dalam KHI sehingga mengakibatkan kurang relevan dengan UU No.1 tahun 1974 sehingga penelitiannya hanya difokuskan pada kesaksian perempuan dalam akad pernikahan pada perspektif hukum Islam. Sainah, tahun 2014, dengan judul skripsi “Kekuatan Saksi Perempuan dalam Sengketa Hukum Perdata di Pengadilan Agama”. Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana kekuatan saksi perempuan dalam sengketa yang berada di pengadilan agama Bekasi sehingga penelitiannya hanya memfokuskan pada kekuatan saksi perempuan dalam sengketa hukum perdata, berbeda dengan penelitian penulis yaitu kedudukan saksi perempuan dalam perceraian menuerut pendapat fuqaha dan peraturan perundang-undangan.
F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab adalah sebagai berikut : Bab I
: Tentang pendahuluan, dalam pendahuluan ini penulis akan mengemukakan
latar belakang masalah, menguraikan
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, kajian terdahulu, dan sistem penulis.
15
Bab II
: Tentang Saksi dalam kasus perceraian menurut empat madzhab (madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali) dalam bab ini pengertian saksi , syarat-syarat saksi dalam kasus perceraian, fungsi saksi dalam kasus perceraian, dan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian, menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Bab III
: Tentang Saksi dalam kasus perceraian menurut hukum positif (UU No.1 tahun 1974 dan KHI), pengertian saksi, syarat-syarat saksi dalam kasus perceraian, fungsi saksi dalam kasus perceraian, dan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian.
Bab IV
:
Tentang
Analisis
Perbandingan
kedudukan
saksi
perempuan pendapat empat madzhab dengan hukum positif. Persamaan pendapat empat madzhab dan hukum positif yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan, perbedaan pendapat empat madzhab dan hukum positif tentang kedudukan saksi perempuan. Bab V Daftar Pustaka
: kesimpulan dan saran-saran
BAB II SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT EMPAT MADZHAB (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali)
A. Pengertian Saksi Saksi dalam bahasa Arab disebut al-Syahadah, masdar dari syahada yaitu al-syuhud yang berarti al-hudud (hadir). Secara bahasa berarti pemutus, secara istilah artinya pemberitahuan orang yang jujur untuk menetapkan kebenaran dengan lafal ‘kesaksian’ di dalam majelis peradilan.1 Atau pemberitahuan seseorang yang sebenarnya atas selain dirinya dengan lafal/ucapan yang khusus.2 Unsur dasarnya adalah lafal “asyahadu”, aku bersaksi, bukan dengan kata lain. Karena setelah nash telah mensyaratkan lafal ini dan alQuran memerintahkan dengan lafal ini, dan juga pada kalimat ini lebih tegas tersirat sumpah mengenai pengertian atau pengetahuan terhadap sesuatu. Jika dikatakan “syahadatu”, aku telah bersaksi, tidak boleh karena kata kerja lampau menunjukkan pengabaran sesuatu yang telah berlalu, sementara kesaksian merupakan pengabaran sesuatu yang aktual. Kata Saksi dalam bahasa arab memakai kata ﺷﺎھﺪatau ﺷﮭﯿﺪyaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata jama’ ﺷﺎھﺪialah اﺷﮭﺎدdan ﺷﮭﻮدsedangkan, kata jama’ ﺷﮭﯿﺪialah ﺷﮭﺪاء. 1
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, j-9, cet 4, (Suariah: Dar al-Fikr: Damsyiq-Suriah, 2002) h.6028 2
Sayid Abu Bakr al-Dimyati, I’anatu al-Thalibin, j 3-4, cet-4, (Beirut-Libanon: Ihya’ alTuras al-‘Araby,) h.274
16
17
masdarnya adalah اﻟﺸﮭﺎدةyang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Disamping itu ada juga istilah yang disebut dengan kesaksian yaitu mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain. Dikatakan pula bahwa kesaksain berasal dari kata I’laam (pemberitahuan). Firman Allah QS. Al-Imran : 18 yaitu.
ﻵ إﻟَﮫَ إﻻَ ھُ َﻮ َواﻟ َﻤﻠَﺌِ َﻜﺔٌ َوأ ُوﻟُﻮأ اﻟ ِﻌﻠﻢِ ﻗﺎ َ ﺋِﻤﺎ َ ﺑِﺎﻟﻘِﺴ ِﻂ ﻵ, (18 : اِﻟَﮫَ إﻻَ ھُ َﻮ اﻟ َﻌﺰِﯾ ُﺰ اﻟﺤﻜِﯿ ُﻢ )ال ﻋﻤﺮان Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, yang menegakkan keadilan; para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran: 3/18). Disini arti dari kata syahidah adalah alima (mengetahui). Syahid adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia menyaksikan apa yang tidak diketahui oleh orang lain.3 Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa: ( )رواه اﻟﺘﺮﻣﺪي. واﻟﯿﻤﯿﻦ ﻋﻠﻲ اﻟﺪﻋﻲ ﻋﻠﯿﮫ,اﻟﺒﯿﻨﺔ ﻋﻠﻲ اﻟﻤﺪﻋﻲ kewajiban adalah kewajiban penggugat sedangkan sumpah adalah kewajiban tergugat”. (HR. Tirmidzi). Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa untuk melihat, 3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 14 (PT Al-Maarif: Bandung, 1989), h.55.
18
menyaksikan atau mengetahuinya, agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.4 Untuk dapat mendefinisikan saksi maka terlebih dahulu harus mengetahui definisi kesaksian.:
اﻟﺸﮭﺎدة ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ ﺻﺪق ﻓﻲ ﻣﺠﻠﺲ اﻟﺤﻜﻢ ﺑﻠﻔﻆ اﻟﺸﮭﺎدة ﻻﺛﺒﺎت ﺣﻖ ﻋﻠﻰ اﻟﻐﯿﺮ Artinya: ”Kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di pengadilan dengan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain.”5 Kesaksian dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi lakilaki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksud adalah manusia yang hidup. Dalam hal kesaksian para ahli hukum Islam (jumhur fuqaha) menyamakan kesaksian (syahadah) itu dengan bayyinah. Kesaksian diberi nama al-bayyinah karena dengan kesaksian itulah yang hak menjadi jelas.6 Pengertian al-bayyinah dalam alQur’an, as-sunnah dan perkataan para sahabat Nabi saw adalah nama bagi setiap sesuatu yang dapat menyatakan dan mengungkapkan kebenaran.7
4
Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), Cet ke-1
h.202 5
Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. Ke-1 h.50 6
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-9 h.152 7
Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradian Menurut Hukum Islam,h.38
19
Kesaksian secara syara’ adalah sebuah pemberitahuan yang jujur untuk menetapkan, membuktikan, dan membenarkan suatu hak dengan menggunakan kata-kata as-syahadah (bersaksi) di majelis persidangan. Kesaksian adalah hujah bagi pihak penggugat, berdasarkan hadits,
اﻟﺒﯿﻨﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻋﻰ Artinya: “Mengajukan bayyinah (saksi) adalah tugas penggugat.” Sesuai dengan firman Allah SWT. Sebagai berikut:
...
وَ اﺷ ِﮭ ُﺪوا َدوَ ى َﻋﺪلٍ ِﻣﻨ ُﻜﻢ....
Artinya: “...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu teggakkan kesaksian itu karena Allah...” (Ath-Thalaq [65]: 2) Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa, saksi yang dapat diterima kesaksiannya yaitu orang yang adil dan tidak mengkatagorikan saksi harus dari pihak keluarga sedarah atau diluar dari pihak keluarga, akan tetapi yang ditekankan dari ayat tersebut adalah sifat keadilan seseorang dalam memberikan kesaksiannya. Kesaksian (syahadah) bisa juga diartikan melihat kepala, karena syahid (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang diketahui dengan lafaz “aku menyaksikan atau aku telah menyaksikan”. Menurut Muhammad Salam Madzkur sebagaimana yang dikutip oleh Asadullah al-Faruq, persaksian adalah suatu ungkapan tentang berita yang benar disidang pengadilan dengan menggunakan lafaz syahadah
20
(ucapan kesaksian) untuk menetapkan suatu hal atas diri orang lain. Dalam pengertian tersebut dikatakan yang menyangkut atas diri orang lain, sebab bila yang menyangkut diri sendiri bukanlah kesaksian, melainkan ikrar (pengakuan). Ahmad ad Daur yang juga dikutip oleh Assadulloh Al-Faruq mendefinisikan kesaksian sebagai penaymapain perkara yang sebenarnya untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafal-lafal kesaksian di hadapan sidang pengadilan.8 Hukum Kesaksian Kesaksian adalah fardhu ain bagi orang yang mengetahuinya selama dia diminta untuk menyampaikan kesaksian dan dikhawatirkan adanya pengabaian terhadap hak, bahkan wajib hukumnya jika dikhawatirkan ada hak yang diabaikan meskipun dia tidak diminta untuk bersaksi. Ini berdasarkan firman Allah swt.,
... َوَﻣ ْﻦ ﻳَ ْﻜﺘُ ْﻤﻬَﺎ ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ آﺛِ ٌﻢ ﻗَـ ْﻠﺒُﻪُ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن َﻋﻠِﻴ ٌﻢ... “....Dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah [2]: 283)
ﺸﻬَﺎ َدةَ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوأَﻗِﻴﻤُﻮا اﻟ ﱠ Dan firman-Nya, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Ath-Thalaq [65]: 2) Dalam hadits shahih,
8
46.
Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta : PT. Buku Kita, 2009), h.45-
21
.ك ظَﺎﻟِ ًﻤﺎ اؤ َﻣﻈﻠٌﻮ ًﻣﺎ َ ﺼﺮ اَ َﺧﺎ ُ ا ُﻧ “Bantulah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” 9 Penjelasan hadits diatas yaitu bangsa Arab mendefinisikan kata al-Nashr dengan makna al-I’anah dan al-Ta’yid, keduanya mempunyai arti yang serupa, yaitu menolong atau membantu. contohnya : ketika seseorang berbuat zalim kepada orang lain lalu kita mencegahnya, maka pada hakikatnya adalah memberikan pertolongan untuknya. dan membantunya untuk menjadi saksi. Dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasullah saw, bersabda.
.أﻻ أﺧﺒﺮ ﻛﻢ ﺑﺨﯿﺮ اﻟﺸﮭﺪاء؟ اﻟﺪي ﯾﺄ ﺛﻲ ﺑﺸﮭﺎدﺛﮫ ﻗﺒﻞ أن ﯾﺴﺄﻟﮭﺎ “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? (Yaitu) yang datang dengan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.” Kesaksian hanya wajib disampaikan selama mampu untuk menyampaikannya tanpa ada bahaya yang mengacamkan fisiknya, kehormatannya, hartanya, atau keluarganya. Ini berdasarkan firman Allah swt.
ْ وَ ا ْﺳﺘَ ْﺸ ِﮭﺪُوا َﺷﮭِﯿ َﺪﯾْﻦِ ﻣِﻦْ رِﺟَ ﺎﻟِ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺈ ِنْ ﻟَ ْﻢ ﯾَﻜُﻮﻧَﺎ رَ ُﺟﻠَﯿْﻦِ ﻓَﺮَ ُﺟ ٌﻞ وَ اﻣْﺮَ أَﺗَﺎنِ ِﻣﻤﱠﻦ.. ...ﻀ ﱠﻞ إِﺣْ ﺪَاھُﻤَﺎ ﻓَﺘُ َﺬﻛﱢﺮ إِﺣْ ﺪَاھُﻤَﺎ اﻷﺧْ ﺮَ ى ِ َ ﺗَﺮْ ﺿَﻮْ نَ ﻣِﻦَ اﻟ ﱡﺸﮭَﺪَا ِء أَنْ ﺗ. “...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya..” (Al-Baqarah [2]: 282) Begitu jumlah saksi banyak dan tidak dikhawatirkan akan adanya pengabaain terhadap hak, maka kesaksian dalam keadaan ini hukumnya sebagai anjuran. Namun begitu kesaksian menjadi fardhu ain hukumnya, 9
HR Bukhari “al-Mazhalim” [46]
22
maka saksi tidak boleh mengambil imbalan atas kesaksiannya kecuali jika dia mengalami kendala dalam perjalanan, maka dia boleh mengambil imbalan untuk biaya transportasi.
B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian. Menurut Hukum Islam syarat-syarat saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah sebagai berikut: 1. Berakal dan Baligh. maka tidak boleh menerima kesaksian orang yang tidak berakal, seperti; orang gila, orang mabuk, dan anak kecil. Karena mereka tidak tsiqah (tidak terpercaya) perkataanya, anak kecil yang belum baligh tidak mungkin memberikan kesakian sesuai yang diinginkan (diperlukan) dan bukan merupakan saksi yang diridhai. Sesuai yang disyaratkan dalam firman Allah Swt.: “min rijalikum”, “zu ‘adlin” dan “min-man tardhauna min al-syuhada”. 2. Merdeka. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, syarat saksi harus merdeka, tidak diterima kesaksian seorang hamba. Dasarnya firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl (16) ayat 75:
... ٍﺿَ ﺮَبَ ﷲُ ﻣﺜﻼً ﻋَﺒﺪًا ﻣَﻤﻠُﻮ ﻛًﺎ ﻻً ﯾَﻘ ِﺪ ُر َﻋﻠَﻲ ﺷَﺊ Allah membuat perumpumaan seorang hamba sahaya saya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun... Kesaksian bermakna penguasaan, tidak ada kuasa pada seorang hamba. Menurut Ulama Hanabilah dan Zahiri, kesaksian hamba dapat diterima, makna ayat diatas bersifat umum sehingga penghambaan
23
tidak berdampak penolakan kesaksiannya. Hanabilah mengaitkannya untuk selain kasus hudud dan qisas. 3. Islam. Ulama fikih sepakat seorang saksi harus muslim. Tidak diterima kesaksian kafir atas orang Islam karena disangsikan kebenarannya. Tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang kafir mengenai perkara wasiat dalam perjalanan. Menurut Imam Abu Hanifah, Syuraih, Ibrahim an-Nakhaiy, dan Auzai kesaksiannya
di bolehkan dalam keadaan ini, berdasarkan firman
Allah swt., (Al-Mai’dah [5]: 106-107).
ْل ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ٍ ﺻﻴﱠ ِﺔ اﺛْـﻨَﺎ ِن ذَوَا َﻋﺪ ِ ْت ِﺣﻴ َﻦ اﻟ َْﻮ ُ ﻀ َﺮ أَ َﺣ َﺪ ُﻛ ُﻢ اﻟْﻤَﻮ َ ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا َﺷﻬَﺎ َدةُ ﺑَـ ْﻴﻨِ ُﻜ ْﻢ إِذَا َﺣ ْت ﺗَ ْﺤﺒِﺴُﻮﻧَـ ُﻬﻤَﺎ ِﻣ ْﻦ ِ ْض ﻓَﺄَﺻَﺎﺑَـ ْﺘ ُﻜ ْﻢ ُﻣﺼِﻴﺒَﺔُ اﻟْﻤَﻮ ِ ﺿ َﺮﺑْـﺘُ ْﻢ ﻓِﻲ اﻷر َ أ َْو آ َﺧﺮَا ِن ِﻣ ْﻦ ﻏَْﻴ ِﺮُﻛ ْﻢ إِ ْن أَﻧْـﺘُ ْﻢ َْﺴﻤَﺎ ِن ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ إِ ِن ا ْرﺗَـ ْﺒﺘُ ْﻢ ﻻ ﻧَ ْﺸﺘَﺮِي ﺑِ ِﻪ ﺛَ َﻤﻨًﺎ َوﻟ َْﻮ ﻛَﺎ َن ذَا ﻗـ ُْﺮﺑَﻰ وَﻻ ﻧَ ْﻜﺘُ ُﻢ َﺷﻬَﺎ َدة ِ ﺑَـ ْﻌ ِﺪ اﻟﺼﱠﻼةِ ﻓَـﻴُـﻘ اﻟﻠﱠ ِﻪ إِﻧﱠﺎ إِذًا ﻟَ ِﻤ َﻦ اﻵﺛِﻤِﻴ َﻦ ﻓَِﺈ ْن ﻋُﺜِ َﺮ ﻋَﻠَﻰ أَﻧﱠـ ُﻬﻤَﺎ ا ْﺳﺘَ َﺤﻘﱠﺎ إِﺛْﻤًﺎ ﻓَﺂ َﺧﺮَا ِن ﻳَـﻘُﻮﻣَﺎ ِن َﻣﻘَﺎ َﻣ ُﻬﻤَﺎ ِﻣ َﻦ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ا ْﺳﺘَ َﺤ ﱠﻖ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻷ ْوﻟَﻴَﺎ ِن ﺸﻬَﺎ َدﺗُـﻨَﺎ أَ َﺣ ﱡﻖ ِﻣ ْﻦ َﺷﻬَﺎ َدﺗِ ِﻬﻤَﺎ َوﻣَﺎ ا ْﻋﺘَ َﺪﻳْـﻨَﺎ إِﻧﱠﺎ إِذًا ﻟَ ِﻤ َﻦ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴ َﻦ َ َْﺴﻤَﺎ ِن ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ﻟ ِ ﻓَـﻴُـﻘ Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu raguragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk
24
menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri". Menurut Syafi’i dan Malik, “Kesaksian kafir terhadap muslim tidak dapat di perkenankan, baik dalam perkara wasiat di tengah perjalanan maupun dalam perkara lainnya.” Karena saksi yang dikehendaki ayat adalah orang yang merdeka, diridhai dan beragama Islam, orang yang kita ridhai tentulah dari ahli agama kita, bukan orang-orang musyrik, karena Allah Swt. memutus kewenangan (wilayah) antara kita dan mereka dengan agama, tidak pula sahaya yang dikuasai tuannya, orang fasik juga bukan orang yang kita ridhai, kita hanya ridha terhadap orang-orang kita (Islam) yang adil, merdeka, dan baligh “min rijalikum”.10 4. Dapat melihat. Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Ulama Syafi’iyah mensyaratkan saksi dalam melihat, tidak diterima kesaksian orang buta, karena saksi harus tahu apa yang ia saksikan, tahu isyarat padanya ketika menyaksikan, orang buta tidak dapat membedakan orang kecuali dengan bunyi suara, sementara bunyi suara kadangkadang saling menyerupai. Terlebih lagi Ulama Hanafiyah, menolak kesaksian orang buta meskipun di waktu menyaksikannya ia dapat melihat.
10
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, j-3 (Beirut-Le-Libanon: Dar al-Ma’rifah), h.226
25
Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang buta jika ia yakin dengan suara yang ia dengar, karena umumnya makna ayat mengenai saksi. Dan karena orang buta yang adil dapat diterima riwayatnya sebagaimana orang yang dapat menghasilkan yakin, begitu pula kesaksian orang buta yang ditetapkan dengan Istifadah (testimonium de auditu) sebagaimana pula dibolehkan menjadi saksi dalam terjemah, karena apa yang didengarnya akan ditafsirkan oleh keberadaan hakim, pendengarannya sama dengan pendengaran orang yang dapat melihat. 5. Dapat berbicara. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, mensyaratkan saksi itu mampu berbicara, tidak diterima kesaksian orang bisu meskipun isyaratnya dapat dipahami, karena isyarat tidak dianggap
kesaksian
yang
syaratnya
yakin
sehingga
dituntut
pelafalan/pengucapan kesaksian. Ulama Malikiyah membolehkan kesaksian orang bisu bila dapat dipahami isyaratnya, karena isyarat adalah bahasa tuturannya yang diterima dalam talak, nikah, dan ziharnya sehingga kesaksiaannya juga begitu. 6. Adil. para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak diterima kesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat, bermartabat dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan martabatnya menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam kesaksian. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyah kesaksian orang
26
fasik mutlak tidak diterima, hakim yang memutus berdasar kesaksian orang
fasik
cacatlah
putusannya
dan
jadilah
dia
hakim
durhaka/membangkang. 7. Bukan dugaan/sangkaan. orang yang suka menyangka ditolak kesaksiannya. Suatu kesaksian, untuk dapat dijadikan sebagai dasar dalam memutus perkara tidak boleh berupa dugaan ataupun dengan keterangan yang belum cukup memadai dari yang seharusnya.11 Sumpah Saksi Integritas saksi-saksi pada masa sekarang ini sudah semakin tidak jelas. Maka dari itu kesaksian harus diperkuat dengan sumpah. Dalam majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah dinyatakan,“Jika pihak yang dipersaksikan menyampaikan tuntutan sebelum ada keputusan hukum agar hakim meminta saksi-saksi untuk bersumpah bahwa mereka tidak berdusta dalam kesaksian mereka, dan ada ketentuan bahwa kesaksian dapat diperkuat dengan sumpah, maka hakim boleh meminta saksi-saksi untuk bersumpah, dan mengatakan kepada mereka, jika kalian bersumpah, maka kesaksian kalian diterima. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Nujaim al-Hanafy. Menurut madzhab Hanafi, saksi tidak perlu bersumpah, karena lafal kesaksian sudah mengandung makna sumpah. Menurut Imam Hanbali, saksi yang memungkiri penyampaain kesaksian tidak perlu diminta untuk bersumpah tidak pula hakim yang memungkiri keputusan hukum dan tidak pula orang yang diberi wasiat atas penafian hutang pada pihak yang memberikan 11
Ibid., j-4, h.85
27
wasiat. Orang yang memungkiri pernikahan juga tidak perlu diminta untuk bersumpah, termasuk dalam perkara cerai, rujuk, ila’, nasab, qishas, dan tuduhan zina, karena itu semua bukan harta, dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan harta tidak pula ditetapkan adanya penolakan padanya.12 Kesaksian Non-Muslim Terhadap Orang Islam Ada dua pendapat ulama fikih yaitu: 1. Menurut jumhur selain Hanabilah. Tidak diterima kesaksian mereka karena kesaksian adalah kewenangan (wilayah), tidak ada kewenangan orang kafir terhadap orang Islam. Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ (4) ayat 141 :
ﺳﺒِﯿﻼ َ َﷲُ ﻟِ ْﻠﻜَﺎﻓِﺮِﯾﻦَ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻤُﺆْ ِﻣﻨِﯿﻦ وَ ﻟَﻦْ ﯾَﺠْ َﻌ َﻞ ﱠ... ...dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. 2. Ulama Hanabilah membolehkan kesaksian non-Muslim dalam safar (musafir) karena sangat dibutuhkan jika tidak didapati orang muslim selain mereka, karena alasan darurat bahkan bisa saja dalam keadaan muqim ataupun safar. Al-Qur’an surah Al-Maidah (5) ayat 106:
ِﺷﮭَﺎ َدةُ ﺑَ ْﯿﻨِ ُﻜ ْﻢ إِذَا ﺣَ ﻀَ ﺮَ أَﺣَ َﺪ ُﻛ ُﻢ ا ْﻟﻤَﻮْ تُ ﺣِ ﯿﻦَ اﻟْﻮَ ﺻِ ﯿﱠ ِﺔ ا ْﺛﻨَﺎن َ ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮا ض ﻓَﺄ َﺻَﺎﺑَ ْﺘ ُﻜ ْﻢ ِ ْذَوَا َﻋﺪْلٍ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ أَوْ آﺧَ ﺮَانِ ﻣِﻦْ َﻏ ْﯿ ِﺮ ُﻛ ْﻢ إِنْ أَ ْﻧﺘُ ْﻢ ﺿَ ﺮَ ْﺑﺘُ ْﻢ ﻓِﻲ اﻷر إِنِ ارْ ﺗَ ْﺒﺘُ ْﻢ ﻻ
ِت ﺗَﺤْ ﺒِﺴُﻮﻧَ ُﮭﻤَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَ ْﻌ ِﺪ اﻟﺼﱠﻼ ِة ﻓَﯿُﻘْﺴِ ﻤَﺎن ِ ْﻣُﺼِ ﯿﺒَﺔُ ا ْﻟﻤَﻮ
َﷲِ إِﻧﱠﺎ إِذًا ﻟَﻤِﻦَ اﻵﺛِﻤِﯿﻦ ﺷﮭَﺎ َدةَ ﱠ َ ﺸﺘَﺮِي ﺑِ ِﮫ ﺛَ َﻤﻨًﺎ وَ ﻟَﻮْ ﻛَﺎنَ ذَا ﻗُﺮْ ﺑَﻰ وَﻻ ﻧَ ْﻜﺘُ ُﻢ ْ َﻧ 12
Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)
28
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". Ibnu abbas membenarkan, bahwa bagi orang yang akan mati dan ada orang Islam, Allah swt. menyuruh mempersaksikan wasiatnya dengan dua orang muslim yang adil, jika tidak ada seorang pun orang Islam, Allah Swt. menyuruh disaksikan oleh dua orang saksi non-Muslim, bila kesaksian mereka diragukan keduanya diminta bersumpah bahwa: ‘Kami tidak membeli kesaksian dengan harga yang sedikit. Ibnu Mas’ud pernah memutuskan dengan kesaksian non-muslim dimasa Khalifah Usman, maka diterima kesaksian sesama mereka sebagaimana antara umat Islam.
C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian. Fungsi saksi dalam hukum Islam adalah bahwa kehadiran seorang saksi dalam pembuktian mempunyai arti yang sangat penting. Betapa pentingnya nilai suatu kesaksian, hukum Islam mewajibkan seorang saksi untuk memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang ia lihat, dengar dan alami, mengungkap segala sesuatu yang berhubungan dengan Pemohon, Terhomon dan perkara yang diajukan dalam sidang pengadilan
29
sesuai dengan peran dan fungsinya selama mampu menunaikannya tanpa adanya alasan yang menimpa, baik pada badannya, kehormatan, harta maupun keluarganya. Sebaik-baik saksi adalah orang yang menyampaikan kesaksiannya dimana keterangan kesaksiannya belum dimintakan oleh Hakim. Barangsiapa yang enggan menjadi saksi dalam kesaksiannya, menyembunyikan kebenaran/hak, maka Allah mengecamnya dengan memberikan dosa kepadanya. Kesaksian merupakan kewajiban peradilan atas hakim untuk mewajibkannya. Hukum mendatangkan kesaksian dengan segala syaratsyaratnya merupakan keharusan, jika kewajiban menghadirkan saksi ditinggalkan semuanya akan berakibat menghilangkan hak atau kebenaran. Memberi kesaksian hukumnya fardhu ‘ain, seorang saksi harus memberikan kesaksiannya dan tidak boleh menyembunyikan jika penggugat memintanya.13 Tujuan utama saksi ialah menjelaskan terungkapnya kejadian atau peristiwa perkara yang terjadi, saksi melihat, mendengar, dan mengalami langsung apa yang terjadi dalam perkara tersebut. Dengan memberikan hak-hak kebenaran apa yang telah terjadi, maka hakim bisa menegakkan keadilan.
13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, j-9, cet 4, (Suariah: Dar al-Fikr: Damsyiq-Suriah, 2002) h.6028
30
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt. di Jajirah Arab pada abad ke-VII, termasuk agama-agama semitik (Abrahamic Religions), termasuk agama yahudi, Islam dan Kristen. 14 Islam merupakan agama pembebas yang agung, ia melawan tradisi-tradisi Jahiliyah yang jauh dari nilai-nilai kemanusian. Melalui ajaran-ajarannya, Islam memberikan harga diri (sense of dignity) bagi umat manusia secara keseluruhan, selain itu Islam pun memperlakukan manusia sebagaimana mestinya dan sekaligus Islam memproklamasikan sebagai sebuah doktrin (agama) yang membawa nilai-nilai pembebasan akan keseteraan bagi seluruh anak cucu Adam.15 Wanita dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti yaitu: 1. Orang (manusia) yang mempunyai puki, menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui; 2. Istri; bini.16 Wanita (dalam bahasa Arab: al-mar’ah, jamaknya an-Nisaa’ wanita). Perempuan dewasa atau putri dewasa, lawan jenis pria. Di dalam ajaran Islam, wanita didudukkan pada posisi dan kedudukan yang sejajar dengan pria. Sebagaimana pria, wanita juga adalah makhluk Allah SWT yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi “khalifah di bumi”. Dalam
14
Wiwi Siti Sajaroh, Gender Dalam Islam, dalam Tim Penulis PSW UIN Jakarta, ed, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: PSW UIN-Jakarta-McGill Project,2003), h.205 15
Asgar Ali Engineer pada Kata Pengantar, dalam Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan: Lintas Batas Tafsir Agama, (Yogyakarta: Lkis,2002), 16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka, 2007) Cet,ke-III, h.856
31
Islam, wanita diibaratkan sebagai tiang negara; apabila ia baik, maka negara akan baik dan jika rusak, maka negara akan rusak. Selanjutnya memiliki seperangkat hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan peranan yang diembannya.17 Wanita secara harfiah disebut kaum perempuan. Kaum yang amat dihormati dalam konsepsi Islam. Sebab, pada telapak kaki wanita terletak surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum hawa. Nama ini diambil dari nama Ibunda manusia (Siti Hawa-Istri Nabi Adam as). Secara fisik (kodrati), wanita lebih lemah dari pada pria. Mereka memiliki perasaan yang sangat lembut dan halus. Wanita juga lebih banyak menggunakan pertimbangan emosi dan perasaan dari pada akal pikirannya. Wanita adalah lambang kesejukan, kelembutan dan cinta kasih. Itulah ciri-ciri umum dari karateristik kaum wanita.18 Agama Islam memperbedakan pria dan wanita dalam beberapa bidang. Namun jelas, bahwa perbedaan ini tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan, kemuliaan dan kecakapan, yang telah ditetapkan oleh Islam persamaanya dengan laki-laki. Jadi, perbedaan itu hanyalah karena keperluan masyarakat, masalah ekonomi dan masalah kejiwaan, yang menghendaki suasana demikan.19
17
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet.III,
18
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Sholeha, (Jakarta: Peanamadani, 2004) Cet,ke-IV h.1
19
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Agama, h.250-251
h.186
32
Agama Islam menganggap kesaksian perempuan separoh dari lakilaki. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1. Kaum laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang perempuan sama dengan satu laki-laki. 2. Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup matanya karena alasan takut. 3. Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu dibandingkan laki-laki. Dalam masalah perdata seperti nikah, rujuk, dan sejenisnya terdapat dua pendapat.
-
20
. ﻻ ﺛﺠﻮز ﺷﮭﺎده اﻟﻨﺴﺎء ﻓﻲ اﻟﻄﻼق واﻟﻨﻜﺎح واﻟﺤﺪود واﻟﺪ ﻣﺎء: ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﻗﺎل
Dari Ali berkata : tidak bolehkan kesaksian perempuan dalam masalah talak, nikah, hudud serta pembunuhan. Pendapat pertama menurut Imam Syafi’i dan madzhabnya, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal.21 Mensyaratkan pula saksi harus laki-laki. Kesaksian wanita tidak bisa diterima walaupun di dampingi laki-laki. Kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan tidak sah sebagaimana hadist riwayat Abdul Razaq dan Zuhri yang
20 21
Hadits Riwayat Abd. Razaq, Kanzul ‘Amali, juz 8, No. 15405, h.329
Ibrahim Hosein, Fiqh Perbandingan:dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk, dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Balai Pustaka Islam Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971) jillid 2, h.184
33
menjelaskan bahwa Nabi SAW menyatakan perempuan tidak sah menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan thalaq. -
Pendapat kedua menurut Hanafiyah menyatakan bahwa dua orang saksi boleh dari perempuan yakni dua orang perempuan dan satu lakilaki karena adanya ayat:22
وَا ْﺳﺘَ ْﺸ ِﻬﺪُوا َﺷﻬِﻴ َﺪﻳْ ِﻦ ِﻣ ْﻦ ِرﺟَﺎﻟِ ُﻜ ْﻢ ﻓَِﺈ ْن ﻟَ ْﻢ ﻳَﻜُﻮﻧَﺎ َر ُﺟﻠَْﻴ ِﻦ ﻓَـ َﺮ ُﺟ ٌﻞ وَا ْﻣ َﺮأَﺗَﺎ ِن ِﻣ ﱠﻤ ْﻦ ﺗـ َْﺮﺿ َْﻮ َن ِﻣ َﻦ... (282: )اﻟﻠﺒﻘﺮة......ﻀ ﱠﻞ إِ ْﺣﺪَا ُﻫﻤَﺎ ﻓَـﺘُ َﺬ ﱢﻛ َﺮ إِ ْﺣﺪَا ُﻫﻤَﺎ اﻷ ْﺧﺮَى ِ َﺸ َﻬﺪَا ِء أَ ْن ﺗ اﻟ ﱡ ....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya... (alBaqarah :282) Perkataan Ali di atas secara tekstual terdapat larangan bagi perempuan dalam kesaksian pernikahan, namun demikian ulama terjadi berbeda pendapat mengenai hal ini, .واﺧﻠﺘﻠﻔﻮا ﻓﻲ اﻟﻨﻜﺎح واﻟﻄﻼق واﻟﻨﺴﺐ واﻟﻮﻻء Mereka (ulama) berbeda pendapat dalam kesaksian perempuan terkait masalah nikah, talak, nasab dan wali. Dalam masalah wasiat, sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan tidak mendapat kedudukan sebagai saksi, persoalan wasiat disyaratkan dua orang laki-laki ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Syafi’i, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi saksi, karena tidak 22
Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Daar Ahya al-Kitab al-‘Arabiyah,tt) juz 2, h.348
34
mensyaratkan laki-laki semua, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Adapun yang menyangkut masalah hak-hak badan biasanya hanya boleh dilihat perempuan saja, seperti masalah kelahiran bayi, bayi yang baru lahir, cacat-cacat yang ada pada perempuan maka dapat diterima kesaksian perempuan secara mutlak, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dalam masalah teriakan bayi yang baru lahir, Imam Abu Hanifah tidak dapat menerima kesaksian perempuan secara mutlak, dalam arti harus ada laki-laki, karena menurut beliau adalah hal tersebut terjadi setelah kelahiran, jadi laki-laki boleh untuk melihat.23
23
Utsman Hasyim, Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayah Islam, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), h.95
BAB III SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA
A. Pengertian Saksi Saksi dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian, antara lain : 1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); 2. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika,
apabila
diperlukan,
dapat
memberikan
keterangan
yang
membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi; 3. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa dan terdakwa.1 kesaksian dalam hukum acara perdata Islam dikenal dengan sebutan Al-Syahadah, menurut bahasa ialah: a. Pernyataan atau pemberitahuan yang pasti. b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung. c. Mengetahui suatu secara pasti, mengalami dan melihatnya seperti persaksian saya menyaksikan sesuatu artinya saya dan melihatnya sendiri sesuatu itu maka saya ini sebagai saksi. 2
1
h..303
Anando Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1995), Cet.ke-1
2
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004) Cet. Ke-1 h.73
35
36
Kesaksian merupakan sebuah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menerapkan suatu hak terhadap orang lain. Dengan kata lain saksi merupakan alat bukti yang sah yang bertujuan untuk memberitahukan peristiwa yang sebenarnya dengan lafaz “aku bersaksi”3 Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz-lafaz kesaksian di hadapan sidang pengadilan. Kesaksian merupakan keterangan saksi secara lisan di muka sidang atas apa yang dilihat sendiri oleh saksi tentang duduk perkara yang disengketakan.4 Saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.5 Menurut Sudikno Mertokusumo saksi adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.6
3
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-9 h.55 4 Ropaun Rambe dan A.Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Perca, 2001), Cet. Ke-2 h.174 5 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Penagdilan Agama, (Cet,6 : Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005)h. 165. 6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty,1998), h. 112.
37
Dalam hukum acara perdata, pembuktian dengan saksi sangat penting karena jika dalam suatu masyarakat biasanya perbuatan hukum yang dilakukan tidak tertulis, melainkan dengan dihadiri oleh saksi-saksi karena perbuatan hukum yang dilakukan kebanyakan masih menggunakan faham saling mempercayai antara satu sama lain. Dalam perkara bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta saja. Akan tetapi jalan yang dapat ditempuh untuk membuktikan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Kesaksian menurut hukum acara perdata ialah kepastian yang diberikan
kepada
hakim
dipersidangan
tentang
peristiwa
yang
disengketakan, dengan jalan membuktikan secara lisan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil dipersidangan. 7 Dalam pasal 1907 KHUPerdata menjelaskan “Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana di ketahuinya hal-hal yang diterangkan”. Pendapat-pendapat manapun pemikiran-pemikiran khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran atau kesimpulan bukan disebut kesaksian. Seorang saksi diharuskan benar-benar melihat, mendengar, mengetahui atau mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya, bukan berdasarkan cerita dari mulut kemulut atau dari pendengaran ke pendengaran, lalu kemudian saksi menyusun atau mengambil suatu 7
A. Juani Syukri, Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam,(Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1986) h.34.
38
kesimpulan atau memberi penilaiannya sendiri. Saksi tidak boleh menyimpulkan atas apa yang disaksikannya itu melainkan menerangkan yang bukan aslinya, dan seorang saksi harus menyebutkan sebab ia mengetahui peristiwa tersebut.8
Tata Cara Pemeriksaan Saksi Tata cara pemeriksaan saksi diatur dalam pasal 139-152 HIR yaitu: 1. Saksi ditunjuk oleh pihak yang berkepentingan atau oleh hakim karena jabatannya, yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. 2. Saksi dipanggil untuk menghadap dipersidangan. Panggilan dapat dilakukan langsung oleh pihak yang berkepentingan. Apabila dipandang perlu, pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan kepada hakim agar saksi yang diperlukan itu dipanggilkan oleh juru sita Pengadilan (pasal 139 HIR). 3. Saksi menghadap ke pengadilan untuk memenuhinya (pasal 144 ayat (2) HIR). 4. Saksi dipanggil keruang sidang seorang demi seorang (pasal 144 ayat (1) HIR). 5. Hakim/ketua menanyakan kepada saksi tentang ;
8
-
Namanya,
-
Pekerjaannya,
-
Umurnya,
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002), cet,kesembilan. H. 160.
39
-
Tempat tinggalnya dan,
-
Apakah ia berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau salah satu daripadanya, atau karena berkeluarga semenda,
-
Apakah ia makan gaji atau jadi pembantu dirumah salah satu pihak (pasal 144 ayat (2) HIR).
Pertanyaan-pertanyaan kepada saksi tersebut diatas dimaksudkan untuk mengetahui ; a. Siapakah identitas saksi yang bersangkutan, b. Apakah umur telah memenuhi syarat sebagai saksi, c. Apakah keterangan yang nanti akan diberikan dapat diterima dan masuk akal, umpamanya; o Pekerjaan, katanya orang tani, jika keterangan yang diberikan bersifat teknis dapat diragukan. o Umur, kalau memberikan keterangan soal/hal-hal yang lama berselang, apakah cocok dengan umurnya pada waktu itu. o Tempat tinggalnya, kalau orang yang berdiam dipelosok dapat memberikan keterangan tentang mobil, radio yang begitu teknis dapat diragukan. d. Apakah keterangan yang akan diberikan data dianggap objektif, karena adanya hubungan keluarga, hubungan kerja dengan menerima upah, atau hubungan semenda membuat orang tidak dapat objektif keterangannya.
40
e. Apakah ia memenuhi syarat sebagai saksi, apakah termasuk yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi, atau bahkan apakah ia termasuk yang tidak dapat didengar sebagai saksi yang disumpah. 6. Saksi disumpah menurut agamanya bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya dan tidak lain pada yang sebenarnya (pasal 147 HIR), kecuali jika menurut hukum tidak boleh disumpah. 7. Atas pertanyaan hakim, saksi memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan dialami sendiri. 8. Para pihak dapat mengajukan pertanyaan pada saksi tentang hal-hal yang mereka anggap penting , melalui hakim. Para pihak minta kepada hakim agar hal-hal yang dianggap penting itu ditanyakan kepada saksi. Hakim menimbang apakah hal itu relevan dengan perkaranya atau tidak. Jika dinilai relevan maka hakim meneruskan pertanyaan itu kepada saksi, dan jika tidak relevan maka tidak perlu ditanyakan kepada saksi. Hakim dapat mengajukan segala pertanyaan kepada saksi dengan maunya sendiri yang dipertimbangkannya berguna untuk mendapat kebenaran (pasal 150 HIR). Para pihak berhak mengajukan keberatan/penilaian atas kesaksian tersebut. 9. Saksi yang telah diperiksa, tetap duduk berada dalam ruang sidang agar supaya ; -
Ia tidak saling berhubungan dengan saksi-saksi yang lain.
41
-
Apabila sewaktu diperlukan keterangan tambahan atau untuk dikonfirmasikan dengan saksi yang lain tidak mengalami kesulitan,
10. Keterangan tentang saksi dan segala keterangan saksi serta jalannya pemeriksaan saksi tersebut dicatat dalam Berita Acara Persidangan yang dimuat oleh Panitera Sidang (pasal 152 HIR). Adapun apabila saksi berada diluar daerah hukum pengadilan, maka :9 a. Ia dapat dipanggil untuk menghadiri sidang pengadilan yang memeriksa perkara itu, tetapi tidak dapat dipaksakan. b. Jika ia tidak mau hadir, maka hakim dapat meminta bantuan kepada Pengadilan lain yang diwilayah hukumnya meliputi tempat tinggal saksi tersebut supaya pengadilan tersebut : o Memanggil saksi yang bersangkutan untuk menghadap sidang di pengadilan setempat, o Membuka sidang untuk memeriksa saksi tersebut sesuai dengan permintaan hakim yang memeriksa perkara. (hakim yang memeriksa perkara harus telah, membuat daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada saksi), o Membuat berita acara persidangan saksi, dan o Mengirim BAP tersebut kepada hakim yang memberikan perkara. c. Berita acara persidangan pemeriksaan tersebut dibacakan dalam sidang. Permintaan bantuan kepada pengadilan lain untuk 9
Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalan Kerangka Fiqh Al-Qadha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012) h. 60.
42
memeriksa saksi yang diluar daerah tersebut dapat pula dilakukan langsung tanpa memanggil saksi tersebut lebih dahulu ke persidangan hakim yang memeriksa perkara. Adapun apabila terdapat saksi yang beda maka, o Saksi yang tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan hukuman pidana sesuai dengan pasal 224 KUHP. o Jika saksi yang telah dipanggil dengan patut kemudian tidak datang pada hari yang ditentukan itu maka ia dihukum oleh pengadilan untuk membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan ia akan dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri. Jika ia tidak datang karena sesuatu alasan yang sah, maka pengadilan harus menghapuskan hukuman itu, setelah saksi memberikan keterangannya )pasal 140,142 HIR) d. Jika saksi tersebut telah dipanggil untuk kedua kalinya dan juga tidak menghadap maka ia dapat dihukum lagi membayar biaya yang dikeluarkan untuk itu dengan sia-sia tersebut (pasal 141 ayat (1) HIR). e. Jika saksi yang dipanggil itu enggan dipanggil menghadap sidang maka pengadilan dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dipaksa menghadap dengan menggunakan alat negara (polisi) ke persidangan sesuai dengan pasal 141 ayat (2) HIR,
43
f. Jika
saksi
telah
menghadap
dipersidangan
tetapi
enggan
mengangkat sumpah atau memberikan keterangan atau permintaan pihak yang berkepentingan, ketua dapat memberikan perintah supaya saksi itu disandra sampai saksi memenuhi kewajibannya sesuai dengan pasal 141 HIR. Mengenai penyanderaan ini, berdasarkan SEMA No.2 tahun 1964, telah dilarang oleh Mahkamah Agung dan hal itu dapat diterapkan pasal 140 dan 141 HIR di atas, yaitu supaya saksi membayar ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan untuk itu. Atau jika kesaksian yang dapat diberikan sangat penting bagi menang kalahnya pihak yang bersangkutan, maka pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi. Namun demikian, hakim sebagai orang yang arif dan bijaksana tentunya dapat memberikan nasehat agar saksi yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Dalam Praktik persidangan pengadilan umumnya saksi yang dipergunakan untuk memperkuat adanya pembuktian 2 (dua) orang saksi dalam suatu perkara adalah agar hakim dapat mencocokkan keteranganketerangan antara saksi yang satu dengan saksi lainnya ada kesamaan atau tidak. Kecocokan keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi tersebut sesuai dengan yang diketahui dan apakah ada hubungannya dengan perkara para pihak yang sedang dipersengketakan tersebut.10
10
Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), CetII, h.255-256.
44
B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian Kesaksian merupakan alat bukti wajar karena berasal dari pihak ketiga yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa terkait, keterangan saksi umumnya lebih objektif ketimbang keterangan pihak berkepentingan sendiri.11
Pentingnya
keterangan
saksi
dikarenakan
banyaknya
peristiwa/keadaan hukum yang tidak dicatat atau tidak ada bukti tertulisnya sehingga hanya kesaksian yang masih tersedia. Namun ada kemungkinan saksi dengan sengaja dipalsukan oleh pihak yang berperkara, atau karena suatu peristiwa telah lama terjadinya dan utuh, apalagi tidak setiap pengamatan terhadap kejadian dimaksudkan sebagai kesaksian sehingga pengamatan dan pengetahuan saksi yang kurang teliti dan tidak cermat sehingga dapat saja mengaburkan keterangan yang diberikan. Persoalan
pembuktian
dengan
saksi
di
pengadilan
harus
membedakan antara saksi dan pembuktian karena fungsi keduanya sangat berbeda, misalnya sebagai syarat hukum sahnya nikah harus disaksikan minimal dua orang saksi, tetapi untuk membuktikan sahnya perkawinan tidak mesti dua orang saksi, pembuktian bisa dengan pengakuan suamiistri, dengan sumpahnya, dengan akta nikah, dan lain-lain. Status saksi terkadang untuk memenuhi syarat hukum dan adakalanya sebagai alat bukti bahkan bisa juga sekaligus sebagai syarat hukum dan syarat
11
Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,1997), cet,1, h. 166
45
pembuktian. Syarat hukum merupakan syarat materiil sementara syarat pembuktian merupakan syarat formal.12 Menurut Roihan A. Rasyid, Islam tidak boleh menutup diri dari kemajuan, demikian pula dalam hal kesaksian wanita dan orang yang bukan Islam, ia berpendapat apa gunanya Pengadilan Agama bertahan bahwa saksi harus laki-laki semua dan Islam semua, jika ternyata dengan menolak saksi perempuan atau kesaksian non-Muslim menyebabkan hukum materiil Islam menjadi banyak diperkosa, sementara hukum formal itu mengabdi kepada kepentingan hukum materiil, bukankah orang Islam dapat menerima hadis-hadis yang diriwayatkan Siti Aisyah, sementara hadis-hadis itu sendiri merupakan sumber hukum materiil Islam. 13 Aturan perundang-undangan hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya persyaratan mutlak untuk diterimanya seorang menjadi saksi dari segi jenis kelamin, sifat dan berapa jumlah ideal, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk menjadi saksi. Prinsip utama dalam pembuktian adalah terungkapnya kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa sehingga keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan, karena hukum acara Peradilan Agama adalah juga hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum, maka tidak menutup kemungkinan hadirnya saksi nonMuslim di Pengadilan Agama.14
12
A Raihan Rosyid, , Hukum Acara Peradilan Agama. (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2000). 13 ibid, h.163 14 Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta: yayasan Al-Hikmah, 2000).
46
a. Seorang saksi harus dapat bersikap objektif, karena objektifitas merupakan syarat yang harus diberikan oleh seorang saksi dalam persidangan. Objektifitas kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi yaitu : 1) Kesaksiannya dengan keadilan yang relevan. 2) Mampu bertanggung jawab, yakni sudah dewasa sudah berumur 15 tahun keatas, atau sudah pernah kawin dan tidak pernah sakit ingatan. b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi dan dilakukan oleh seorang saksi yaitu: 1) Harus datang disidang pengadilan 2) Harus menerangkan dibawah sumpah 3) Tidak unus testi nulus testis; artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti yang lain, seperti sumpah atau lainnya. c. Syarat objektif/material, merupakan syarat mengenai materi yang harus diterangkan oleh seorang saksi yaitu: 1) Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami oleh seorang saksi
47
2) Dasar-dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat, mendengar dan mengalami apa yang diterangkan. Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai alat bukti maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. Syarat formil saksi adalah: a. Memberi keterangan di depan persidangan, pasal 145 ayat (1) HIR b. Bukan orang-orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi menyatakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi. c. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya (pasal 147 HIR) d. Cakap menjadi saksi e. Diperiksa satu persatu f. Berumur 15 tahun keatas g. Sehat akalnya h. Memberikan keterangan secara lisan, sesuai dengan pasal 144 ayat (1) HIR i. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana pasal 169 HIR.15 Adapun orang-orang yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban menjadi saksi adalah:
15
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 165-166.
48
a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar perempuan dari salah satu pihak. b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan saudara perempuan dari suami atau istri dari salah satu pihak. c. Semua orang yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya, pasal 146 ayat (1) HIR. Sumpah Saksi Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan lebih dahulu haruslah ia disumpah menurut agamanya, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 175 RBg/147 HIR. Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila
agama
dan
kepercayaan
melarang
mengangkat
sumpah.
Keterangan saksi tanpa mengangkat sumpah sebelumnya, bukanlah merupakan alat bukti yang sah. Bagi saksi yang beragama Islam rumusan atau lafal sumpah itu berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”. Bagi saksi yang beragama Kristen, dengan berdiri sambil mengangkat tangan kanannya setinggi telinga serta merentangkan jari telunjuk dan jari
49
tengahnya, sesuai pasal 1 S.1920 No.69, mengucapkan sumpah sebagai berikut; “saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”. Bagi
saksi
ahli
rumusan sumpahnya berbunyi
sebagai
berikut:
saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”.16 Adapun kesaksian non-Muslim di Pengadilan Agama, dilihat dari peraturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah merupakan bukti yang sah dan dapat diterima oleh hakim dilingkungan Peradilan Agama. Hanya saja, yang harus dipenuhi oleh hakim Pengadilan Agama adalah syarat ketelitian dan seksama menilai segala hal-hal dan keadaan saksisaksi non-Muslim maupun keterangan yang diberikannya apakah dapat dipercaya atau tidak guna mendukung fakta yang diajukan para pihak yang bersengketa, sebagaimana juga harus dilakukan terhadap saksi-saksi yang beragama Islam.
C. Fungsi Saksi dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Saksi dalam Kasus Perceraian Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai kesaksian
16
M.Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. (Jakarta; PT Rineka Cipta, 2004).h.107
50
itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat. Jika kesaksian itu berasing-asing dan tersendiri dari beberapa orang, tentang beberapa kejadian dapat menguatkan satu perkara yang tertentu oleh karena kesaksian itu bersesuaian dan berhubung-hubungan, maka diserahkanlah pada pertimbangan hakim buat menghargai kesaksian yang berasing-asing itu sedemikian kuat, sehingga menurut keadaan (pasal 170 HIR). Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, contohnya kesaksian-kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perlakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus testis nulus testis (Pasal 169 HIR/306 RBg). Artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti lain, seperti sumpah atau lainnya.
51
Hakim dilarang menetapkan suatu peristiwa sebagai bukti hanya berdasarkan keterangan seorang saksi yang berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain. Begitu pula ada istilah testimonium de auditu (pasal 171 HIR), yang berarti kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain. Dalam bahasa fiqh disebut Istifadhoh. Pada dasarnya tidak ada larangan mendengarkan kesaksian mereka. Nilai pembuktiannya tidak perlu dipertimbangkan. Menurut Wirjono, dapat dipergunakan untuk menyusun bukti persangkaan. Begitu pula keluarga, sedarah atau semenda, buruh/karyawan dan pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai saksi dibawah sumpah dalam perkara tentang perselisihan keadaan menurut hukum perdata lain, dan tentang perjanjian pekerjaan, serta tentang perkara perceraian, karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus (pasal 145 ayat (2) HIR, pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 22 PP No.9/1975). Alat bukti saksi dalam praktik hukum acara perdata di persidangan pengadilan sangatlah penting karena berfungsi untuk menguatkan tentang kejadian atau peristiwa terhadap adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak yang sedang berperkara, khususnya kejadian atau peristiwa perbuatan hukum para pihak yang pembuatannya dilakukan dibawah tangan, keberadaan saksi sangatlah penting karena apabila ada
52
salah satu pihak yang mengingkari dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dengan adanya saksi tersebut apabila dikemudian hari timbul suatu permasalahan, maka saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung peristiwa hukumnya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah untuk memperkuat adanya kejadian atau peristiwa hukumnya.17 Pada dasarnya fungsi saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat atau tulisan tidak ada atau kurang lengkap untuk mendukung atau menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar pendiriannya para pihak. Saksi-saksi ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa atau kejadian yang harus dibuktikan kebenarannya dimuka sidang pengadilan, ada juga saksi-saksi itu sengaja diminta untuk datang menyaksikan suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang sedang dilangsungkan. Tujuan utama dalam pembuktian saksi adalah menjelaskan terungkapnya kebenaran peristiwa dan keadaan yang dikemukakan pihakpihak yang bersengketa, sehingga putusan yang dihasilkan oleh majelis hakim benar-benar mencerminkan keadilan, baik bagi pihak yang dimenangkan maupun pihak yang kalah, sehingga keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan.
17
h.255.
Sarwono,Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
53
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian Kesaksian yang telah memenuhi syarat formal dan materiil mempunyai nilai pembuktian bebas, nilai kebenaran kesaksian sifatnya tidak sempurna dan tidak mengikat baik kepada pihak-pihak maupun terhadap hakim, hakim bebas menilai kebenaran keterangan saksi sesuai dengan nuraninya, bahkan hakim dapat mengesampingkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup dan berdasarkan argumentasi yang kuat. Jika kesaksian berasing-asing tentang beberapa kejadian yang saling bersesuaian dan berhubungan, maka diserahkan kepada hakim dalam menghargai nilai kesaksian yang sedemikian kuat menurut keadaan. Dalam pemeriksaan saksi-saksi, hakim tidak boleh menerima suatu hal sebagai kenyataan yang di kemukakan oleh saksi selama ia belum yakin benar tentang kebenaran yang disampaikan oleh saksi tersebut, suatu hal meskipun disaksikan oleh sekian banyak saksi, tetapi perkara yang diperiksa itu belum dianggap jika hakim belum yakin terhadap kebenaran saksi atas segala yang disampaikannya.18 Agar dapat terlaksana dengan baik, hakim harus memerhatikan dengan seksama cara hidup saksi-saksi yang diajukannya, adat istiadat dan martabat kehidupan dalam masyarakat apakah tercela atau punya kebiasaan jelek sehingga tidak dapat dipercaya atau memiliki reputasi baik sehingga dapat dipercaya. 18
Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalan Kerangka Fiqh Al-Qadha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012).
54
Hakim harus memerhatikan dengan cermat segala sesuatu yang memengaruhi sikap saksi dan apa yang mendorong saksi itu menerangkan segala sesuatu dalam persidangan. Hukum positif yang berlaku di Indonesia, termasuk di lingkungan Peradilan Agama, tidak mengenal adanya pembedaan dan pemilahan saksi-saksi untuk diterima atau ditolak kesaksiannya dari segi keyakinan agama, suku bangsa, organisasi politik & masyarakat atau pun dari segi jenis kelamin, tingkat pendidikan. Masalah kesaksian dalam hukum positif di Indonesia tidak begitu diatur. Dalam undang-undang Hukum Perdata (KHUPerdata), yang diatur hanya sebatas mengenai teknis, hak-hak, siapa saja yang boleh menjadi saksi dan kewajiban menjadi saksi, tidak diatur spesifik mengenai bagaimana
hukum
kesaksian
bagi
seorang
perempuan.
Hal
ini
mengidentifikasi bahwa dalam sistem hukum positif di Indonesia, kedudukan saksi laki-laki maupun saksi perempuan sama dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini mengindifikasikan tidak ada perbedaan antara saksi lakilaki dan saksi perempuan.
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG KEDUDUKAN SAKSI PEREMPUAN MENURUT EMPAT MADZHAB DAN HUKUM POSITIF
A. Persamaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang kedudukan Saksi Perempuan Persamaan kedudukan saksi perempuan menurut pendapat Para Ulama dan Hukum Positif ada dua, yang pertama, memiliki fungsi kesaksian yang sama yaitu: “Saksi merupakan alat bukti yang sangat penting. Memberikan keterangan secara lisan di muka sidang atas apa yang dilihat, didengar dan diketahui secara langsung oleh saksi tersebut tentang duduk perkara yang disengketakan”. Karena sesungguhnya fungsi kesaksian itu sendiri tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut. Persamaan yang kedua memiliki syarat-syarat yang sama yaitu: 1. Berakal sehat tidak gila : karena mereka tidak terpercaya kesaksiannya jika tidak sehat akalnya, dan jika mabuk. 2. Adil : saksi harus adil dalam memberikan keterangan di dalam sidang, tidak boleh menyembunyikan, dan memberikan hak-hak para pihak. 3. Dapat melihat : karena saksi harus mengetahui apa yang dilihat peristiwa yang sedang terjadi. Meskipun setelah melihat kejadian saksi tersebut buta, maka kesaksiannya tetap diterima.
55
56
4. Dapat berbicara : karena keterangan saksi secara lisan dimuka sidang. 5. Berumur 15 tahun keatas : mampu bertanggung jawab, karena anak kecil yang belum baligh tidak dapat memberikan kesaksian sesuai yang diperlukan. 6. Cakap hukum
B. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang Kedudukan Saksi Perempuan. Dalam kitab-kitab fiqh, hampir semua ulama sepakat bahwa perempuan
ditempatkan
secara
instrumental
dari
pada
subtansi.
Ketidakhadiran suara perempuan dalam budaya di mana fiqih dirumuskan diartikan dengan ketiadaan subtansi perempuan dalam Islam. 1 Sekilas kita bisa melihat betapa ketika kemunculan fiqh dalam peradaban Arab sangat kental dengan budaya patriarkhi, yang melahirkan fiqh yang tidak adil dan bias gender. Perempuan dinilai separoh dari laki-laki (aqiqah, waris, kesaksian), mendapat lebel negatif dibatasi dan diproteksi dan masih banyak diskriminasi lain terhadap hak-hak perempuan. Semua itu tentu sangat tidak relevan dengan perkembangan realitas sosial budaya yang semakin egaliter. Akibat “kejumudan” fiqh akan berimplikasi pada eksitensinya di kalangan umat Islam, sebagai konsekuensi atas hilangnya relevansi dengan 1
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet, ke-2, h.214
57
realitas perkembangan dan perubahan sosial. Padahal sesungguhnya fiqh lahir dalam rangka untuk menafsirkan agama dalam perspektif perkembangan sosial, sehingga agama akan tetap relevan dengan perkembangan dan persoalan umat. Ketika Islam datang, harkat perempuan mulai terperhatikan sehingga perempuan pada masa Rasullah bisa menjadi saksi walaupun perbandingannya antara laki-laki dan perempuan masih 2 banding 1, artinya dalam persaksian seorang laki-laki bobotnya sama dengan dua orang perempuan berdasarkan pada QS. Al-Baqarah: 282, namun hal ini sudah merupakan kemajuan yang sangat besar yang dilakukan Islam. Merujuk pada maksud QS. Al-Baqarah: 282, dan persaksikanlah dari dua orang saksi; bila tidak ada ada dua orang saksi, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan. Yang demikian ini adalah dalam urusan harta benda. Agama Islam menganggap kesaksian perempuan separoh dari lakilaki. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1. Kaum
laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa
dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki. 2. Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup matanya karena alasan takut.
58
3. Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu dibandingkan laki-laki.2
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, Nabi bersabda :
َ )أﻟَﯿﺲ: ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻌﯿﺪ اﻟﺨﻀﺮي أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻞ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻟﻠﻨﺴﺎ .( ) ﻓَ َﺪﻟِﻚَ ﻣِﻦ ﻧُﻘﺼَ ﺎنِ ﻋَﻘﻠِﮭَﺎ: َ ﻗَﺎل, ﺑَﻠَﻰ: َﺷﮭَﺎ َدةُ اﻟﻤَﺮأ ِة ﻣِﺜﻞَ ﻧِﺼﻒِ َﺷﮭَﺎ َد ِة اﻟﺮَ ﺟُﻞِ ( ﻗُﻠﻨَﺎ 3
.()رواه اﻟﺒﺨﺎري
Artinya: Dari Abi Said Al-Khudhri ra. Bahwa Nabi SAW bersabda kepada para wanita,..“Bukankah kesaksian seorang wanita itu setengah dari kesaksian seorang laki-laki?” Para sahabat wanita menjawab : “ya” “yang demikian itu karena (wanita) kekurangan akalnya.” (HR.Bukhari). Perempuan adalah makhluk yang lemah, perasa dan memiliki naluri lalai yang selalu takut untuk mendekati hal-hal yang berbau kekerasan. Mereka menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan pertengkaran antara mereka dengan kaum laki-laki yang hanya akan menorehkan hal-hal negatif. Jumlah saksi : dua saksi laki-laki dewasa atau satu laki-laki dan dua orang perempuan mengenai hak-hak perdata terhadap harta ataupun bukan seperti: perkawinan, perceraian, iddah, hiwalah, wakaf, perdamaian, wikalah wasiat, hibah, perjanjian, ibra’,wiladah dan nasab.
2
Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah separoh laki-laki?, (Jakarta : Rahima, 2008). 3 Shahih Bukhari, Kitab Shahih Bukhari Juz 2 Syahadatin Nisa,( Beirut-Lebanon: Dar alKotob al-Ilmiyah, 1998) h.195-196.
59
Menurut ulama Hanafiyah ganti satu saksi laki-laki dengan dua orang perempuan karena lebih pelupa “jika yang satunya lupa yang lain mengingatkan”(QS Al-Baqarah [2]:282). Tetapi menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah saksi perempuan bersama laki-laki tidak diterima kecuali yang ada kaitannya dengan harta seperti; jual beli, sewa, hibah, wasiat, gadai dan kafalah. Karena pada dasarnya tidak boleh menerima kesaksian perempuan karena kelemahlembutannya akan mengalahkan dirinya dan sedikitnya kuasa pada perempuan. Adapun dalam persoalan selain harta seperti; nikah, rujuk, talak, hiwalah, pembunuhan sengaja, hudud selain zina, tidak boleh diputuskan selain dua orang saksi laki-laki dewasa. Kebenaran yang diambil untuk seseorang dari yang lain tidak boleh kurang kesempurnaannya, yaitu tidak boleh diterima jika kurang dari dua, sesuai perintah Allah sebagaimana persaksian dalam talak, rujuk, dan jual beli. Saksi perempuan tidak boleh kecuali bersama laki-laki dan harus dua orang atau lebih. Apabila jumlah saksi sempurna sesuai perintah Allah, yaitu empat orang laki-laki dalam kasus zina.
Perbedaan Kedudukan saksi Perempuan dalam Hukum Positif Masalah kesaksian dalam hukum positif di Indonesia tidak begitu diatur, dalam kitab-kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPerdata), yang diatur hanya sebatas mengenai teknis, hak-hak, siapa saja yang boleh menjadi saksi dan kewajiban menjadi saksi, tidak diatur secara spesifik
60
mengenai bagaimana hukum kesaksian bagi seorang perempuan, hal ini mengindikasikan bahwa dalam sistem hukum positif di Indonesia, kedudukan saksi laki-laki maupun saksi perempuan sama dan tidak ada perbedaan di antara keduanya. Kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan laki-laki, mereka boleh melakukan apa saja yang dilakukan oleh laki-laki, dengan alih-alih kesetaraan gender dan hak asasi, kebebasan perempuan tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Masalah kesaksian bisa di lihat dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada umumnya dijelaskan, semua orang yang cakap menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian dimuka hakim atau dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian. Hal ini sesuai dengan KHUPerdata, yang berbunyi: “Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka hakim. Adapun praktek Hukum Acara Perdata saat ini, khususnya di lingkungan peradilan agama, kesaksian seorang perempuan diakui memiliki nilai pembuktian yang sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Dalam kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan agama, khususnya dalam masalah perceraian, saksi-saksi perempuan yang dihadirkan dalam tahap persidangan pembuktian diakui sama kedudukannya dengan saksi laki-laki. Ini merupakan sebuah fakta yang menunjukkan bahwa kesaksian
61
kaum perempuan sudah mendapatkan pengakuan sama dengan kesaksian kaum laki-laki. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-laki dan perempuan. Hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama terkait dengan alat bukti saksi bersumber dari HIR, pasal 139-152 dan KHUPerdata, pasal 1902-1912. Berkaitan dengan sumber hukum tidak ditemukan ketentuan yang mengatur tentang nilai pembuktian saksi berdasarkan jenis kelamin, dalam pengertian bahwa baik saksi lakilaki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama. Kebanyakan pakar hukum berpendapat bahwa dalam persidangan pengadilan agama dalam masalah perceraian kesaksian perempuan tidak dipermasalahkan. selama saksi memenuhi syarat-syarat. Dan dalam hukum formil dan materiil tidak mengatur ditentukannya harus laki-laki ataupun perempuan artinya tidak ada pengecualian antara keduanya. Berdasarkan yang mereka pahami, memang benar saksi yang terdapat dalam nash al-Quran surah Al-Baqarah ayat 282 bahwa jika tidak ada 2 orang laki-laki maka boleh 2 orang perempuan dengan 1 laki-laki. Namun itu tidak berlakukan di Pengadilan Agama saat ini. Berdasarkan pemahaman mereka bahwa awal turunnya ayat ini pada zaman di mana perempuan itu tidak pernah berpengalaman dengan hal-hal politik, berbeda dengan perempuan yang ada pada saat ini dengan berkembangnya zaman yang semakin modern dan teknologi yang canggih banyak perempuan yang berhubungan dengan hal-hal politik bahkan perempuan bisa menjadi
62
pemimpin. Di Pengadilan Agama kedudukan saksi seperti yang diatur oleh hukum acara yang berlaku. Dimana pembuktian bisa terima selama saksi mengetahui peristiwa yang akan dibuktikan, sebagaimana ketentuan dalam hukum acara yang berlaku. Jadi berapa pun yang akan menjadi saksi jika dia tidak mengetahui peristiwa atau dalil-dalil yang digugatkan maka itu tidak berlaku di Pengadilan terhadap sengketa apapun. Jika, terdapat 1 saksi perempuan dan 1 laki-laki dan bisa mengetahui peristiwa itu membuktikan dalil gugatannya maka diperbolehkan menjadi saksi selama mamenuhi syarat formil dan materiil. Seperti: dewasa, berakal, adil, cakap, menjadi saksi serta melihat, mendengar dan mengetahui peristiwa. Sedangkan batas minimal saksi di Pengadilan sebagaimana yang terdapat dalam hukum acara yaitu; 2 orang saksi sedang memenuhi syarat formil dan materiil itulah yang dianggap saksi, memang jika lebih banyak saksi itu lebih bagus, namun jika banyaknya saksi tidak memenuhi syarat formil dan materiil maka tidak diperlukan menjadi saksi.
C. Analisis Penulis Dari penjelasan diatas penulis lebih cenderung setuju dengan pendapat undang-undang, karena kedudukan kesaksian dalam undangundang tidak membedakan antara saksi laki-laki maupun perempuan. Meskipun pada dasarnya undang-undang mengikuti madzhab Imam Syafi’i tetapi pendapat imam Syafi’i yang tidak memperbolehkan saksi perempuan
tidak bisa diterapkan pada zaman sekarang. Karena
sesungguhnya hukum itu berlaku sesuai dengan perkembangan zaman.
63
Tapi meskipun penulis lebih setuju dengan pendapat undang-undang, penulis juga tidak menolak sepenuhnya pendapat imam syafi’i, karena pada dasarnya memang benar pendapat imam Syafi’i bahwa perempuan itu lebih mengutamakan perasaan dan emosional. Tapi perempuan yang dimaksud oleh imam Syafi’i adalah perempuan pada zaman dahulu, sedangkan perempuan pada zaman sekarang sudah banyak yang berpendidikan bahkan tidak sedikit yang pendidikannya lebih tinggi dari laki- laki. Jadi pendapat imam Syafi’i tersebut tidak bisa diterapkan lagi pada zaman yang sudah modern seperti sekarang. Selain itu kenapa penulis lebih setuju dengan undang-undang karena pada dasarnya kesaksian seorang saksi itu tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, tetapi yang lebih penting saksi tersebut memang benarbenar memenuhi syarat- syarat materil dan formil sebagai saksi, yaitu: a. Memberi keterangan di depan persidangan, pasal 145 ayat (1) HIR b. Bukan orang-orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi menyatakan kesediannya untuk diperiksa sebagai saksi. c. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya (pasal 147 HIR) d. Cakap menjadi saksi e. Diperiksa satu persatu f. Berumur 15 tahun keatas g. Sehat akalnya
64
h. Memberikan keterangan secara lisan, sesuai dengan pasal 144 ayat (1) HIR i. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana pasal 169 HIR. Jadi pada intinya jika syarat formil dan materil diatas sudah terpenuhi maka kesaksian orang tersebut dapat diterima, baik dia laki- laki maupun perempuan. Dan yang lebih pentingnya saksi tersebut memang melihat, mendengar dan mengetahui secara langsung kejadian atau duduk perkaranya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian menurut Empat Madzhab yaitu Syafi’iyah, Imam Malikiyah, dan Imam Hanabilah. mensyaratkan saksi harus laki-laki. Kesaksian perempuan tidak bisa diterima walaupun di dampingi laki-laki. Kesaksian satu orang lakilaki dan dua orang perempuan tidak sah sebagaimana hadis riwayat Abdul Razaq dan Zuhri yang menjelaskan bahwa Nabi SAW menyatakan perempuan tidak sah menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan thalaq. Sedangkan menurut Hanafiyah bahwa dua orang saksi boleh dari perempuan yakni dua orang perempuan dan satu lakilaki. Adapun kedudukan saksi perempuan menurut Hukum Positif adalah kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki, dengan argumentasi kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-laki dan saksi perempuan. 2. Persamaan pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Di Indonesia Tentang Kedudukan Saksi Perempuan yaitu Persamaan kedudukan saksi perempuan menurut pendapat Para Ulama dan Hukum Positif ada dua, yang pertama, memiliki fungsi kesaksian yang sama yaitu: “Saksi 65
66
merupakan alat bukti yang sangat penting. Memberikan keterangan secara lisan di muka sidang atas apa yang dilihat, didengar dan diketahui secara langsung oleh saksi tersebut tentang duduk perkara yang disengketakan”. Karena sesungguhnya
fungsi kesaksian itu
sendiri tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut. Persamaan yang kedua memiliki syarat-syarat yang sama yaitu: Berakal sehat tidak gila, Adil, Dapat melihat, Dapat berbicara, Berumur 15 tahun keatas, Cakap hukum. 3. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang Kedudukan Saksi Perempuan. Agama Islam menganggap kesaksian perempuan separoh dari laki-laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: -
Kaum laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki.
-
Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup matanya karena alasan takut.
-
Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu dibandingkan laki-laki.
Adapun kedudukan saksi perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan laki-laki.
67
B. Saran-saran 1. Disarankan adanya penelitian lanjutan terkait dengan kekuatan saksi perempuan dalam menyelesaikan suatu perkara di pengadilan agama. 2. Disarankan kepada hakim untuk lebih tegas dan lebih teliti dalam memeriksa kesaksian dari para saksi baik laki-laki maupun perempuan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khalik, Fiqh an-Nisai fi Dhou’i al-‘Arba’ah, (Damaskus: Daar alKitab al-arba’ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al-‘Arabi, 1414H.
Al-jaziri, Abdurrahman, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Universitas Tri Sakti,2001.
Ali Engineer,Asgar. Jenis Kelamin Tuhan: Lintas Batas Tafsir Agama. Yogyakarta: Lkis,2002.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2009. Aliyah,Lia al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah separoh Laki-laki?. Jakarta: Rahima, 2008.
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara dan Hukum Positif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004.
Arto,Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Penagdilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005.
Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalan Kerangka Fiqh AlQadha. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012.
Dasuki,Hafidz. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1999.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Faruq,Assadulloh. Hukukm Acara Peradilan Islam. Jakarta : PT. Buku Kita, 2009.
69
Hasyim,Utsman. Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayah Islam. Yogyakarta: Andi Offset, 1984. Het Herziene Indlandsche Reglement/Reglement Indonesia yang dibaharui (HIR/RIB). Hosein,Ibrahim. Fiqh Perbandingan:dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk, dan Hukum Kewarisan. Jakarta: Balai Pustaka Islam Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971.
Indra,Hasbi dkk. , Potret Wanita Sholeha. Jakarta: Peanamadani, 2004.
KUH
Perdata, Kitab Mahardika.
Undang-Undang
Hukum
Perdata.
Pustaka
Makaro,Taufik,M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta; PT Rineka Cipta, 2004.
Manan,Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: yayasan Al-Hikmah, 2000.
Mertokusumo,Sudikno, Hukum Yogyakarta: Liberty,2002.
Acara
Perdata
Indonesia,
cet-1,
Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Al-umm, j-3, Beirut-Libanon: Dar alMa’rifah.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab (Ja’fari, Maliki, Hanafi, syafi’i, Hanbali), terj. Masykur AB dkk, Jakarta: Lentera,2002.
Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya 2004.
Natsir,M. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan, 2003.
70
Rambe,Ropaun, dan A.Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Perca, 2001.
Rosyid, Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2000.
Rusd Ibn, Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Daar Ahya al-Kitab al-‘Arabiyah.
Sabiq,Sayyid, Fiqh Sunnah, Dar Fath Lili’lami al-Arabiy, cet-1. Jakarta: Cakrawala Publishing,2009.
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’am membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002
Santoso,Anando. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika, 1995.
Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Sayid Abu Bakr al-Dimyati, I’anatu al-Thalibin, Beirut-Libanon: Ihya’ alTuras al-‘Araby,
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta, 1989.
Supramono, Gatot, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. Ujung Pnadang: Alumni 1993.
Syukri.Juani,A. Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam. Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1986.
Tirmidzi, terjemahan hadits. Bairut: Libanon, 2004.
71
Umar,Abdur rahman. Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Siti Sajaroh,Wiwi. Gender Dalam Islam. Jakarta: PSW UIN-JakartaMcGill Project,2003.
Zuhaili,Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatu. Suariah: Dar al-Fikr: Damsyiq-Suriah, 2002.