KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
NURUL SHAZWANI WAJIHAH BINTI IBRAHIM
NIM: 107045203900
K O N S E N T R A S I PROGRAM
S I Y A S A H
STUDI
S Y A R I’ Y Y A H
JINAYAH
SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J
A K
A R T A
1431 H / 2010 M
KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Nurul Shazwani Wajihah Binti Ibrahim NIM: 107045203900
Di Bawah Bimbingan:
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 195505051982031012
K O N S E N T R A S I PROGRAM
S I Y A S A H
STUDI
S Y A R I’ Y Y A H
JINAYAH
SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J
A K
A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syari’yyah). Jakarta, 15 Maret 2010 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP : 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………………………..) NIP 197210101997031008 2. Sekretaris NIP
: Sri Hidayati, M.Ag 197102151997032002
3. Pembimbing
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH,MA,MM 195505051982031012
NIP
(………………………)
(……………………...)
4. Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag (……………………...) NIP 197210101997031008 5. Penguji II NIP
: Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M.Ag (……………………..) 150326893
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 FEBRUARI 2010 M 22 Safar 1431 H
Nurul Shazwani Wajihah Binti Ibrahim
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadrat Allah SWT, Tuhan segenap alam karena dengan limpahan rahmat, nikmat, hidayah dan mahabbah-Nya ke seluruh alam sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban penyusunan skripsi ini. Salawat dan salam buat Khatimul Anbiya’, junjungan besar Nabi Muhammad SAW, ahli keluarga baginda, para sahabat, tabi’ tabi’in serta seluruh pengikut baginda yang menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar demi mengharap keredhaan-Nya sampai akhir zaman, semoga mendapat kejayaan dan ganjaran di akhirat sana. Keberhasilan penyusunan skripsi dengan segenap usaha adalah kejayaan dan kebahagiaan istimewa yang penulis kecapi. Untuk itu, penulis persembahkan ungkapan syukur dan terima kasih yang tidak terhingga kepada insan tercinta Ayahanda Ibrahim bin Sa’ad dan Ibunda Hamizan binti Abdul Jalil dengan segala curahan kasih sayang, pengorbanan dan kesabaran dalam mengasuh, mentarbiyah, mendoakan serta memberi sokongan baik berbentuk moril maupun materil, semoga mendapat balasan dan tergolong dikalangan mereka yang mendapat keberuntungan. Menyadari bahwa selesainya penyusunan ini bukanlah semata-mata atas usaha penulis sendiri, melainkan atas bantuan semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dan karena itu penulis sampaikan ucapan terima kasih tidak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, yang merupakan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum juga merupakan dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, buah pikiran kritik dan saran sepanjang proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, yang banyak memberikan kemudahan administratif bimbingan akademika sejak awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan bapak Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M.Ag selaku dosen penguji ujian munaqasyah dan juga banyak memberi bimbingan kepada penulis sepanjang proses revisi dilakukan. 4. Seluruh pensyarah Kolej Universiti Darul Quran Islamiyyah dan Institut Pengajian Al-Azhar terutama Bapak Rektor Al-Fadhil Ustaz Mohd Zin bin Abd.Rahman, Ustaz Muhayyat bin H. Husin dan H. Wan Ahmadul Badawi bin Wan Ibrahim yang banyak memberikan sokongan sehingga penulis dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia. 5. Segenap bapak dan ibu dosen yang telah memberi petunjuk dan menyalurkan ilmu yang bermanfaat kepada diri penulis dan teman-teman seperjuangan selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 6. Para pemimpin dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
7.
Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan yang mengambil alih peran dalam menjaga seluruh mahasiswa Malaysia di bumi Indonesia.
8. Saudara tercinta yang bersama-sama hidup dalam suka dan duka, Akak Zunaida, Fathiyyah (angah), Zawani (alang), Wajih (abang), Rifhan, Anwar, Fadhil Noor, Intan Nur Alisya Qistina, Naqibah dan Iswan yang selalu menceriakan kehidupan penulis dan senantiasa terpahat di hati. 9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 yang disayangi, senantiasa menemani dan menaikkan semangat dalam menuntut ilmu di rantau orang, Nor Halimah, Nurulhuda, Noorbaizura, Nor Ba’ayah, Sakinah, Ernie, Noradilah dan suami (Zulkifli), Hazrin, Ahmad Baha, Fami, Anwar, Shuib, Rais, Syafie, Harmila, Firdous, Muhibburrahman, Muiz, Mizi, Aziz, Hayafizul, Kamal. 10. Senior dan junior KUDQI, IPA, APID dan KIDU, K. Salwa, K.Masyitah, K.Hajar Harun, Ust. Baihaqi, Ust. Harun, Ust. Faizal, Syazwani, Alfiyah, Khalil, Syamil, Farid serta teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan di sini. Terima kasih atas kebersamaan dalam menuntut ilmu. 11. Segenap guru yang berusaha mendidik penulis dari peringkat Pra-sekolah, Sekolah
Rendah,
Sekolah
Menengah
menempatkan diri di perguruan tinggi.
sehingga
penulis
berjaya
12. Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI), Kelab UMNO Jakarta (KUJ) dan Malaysian Club UIN Jakarta (MCUJ). 13. Kerajaan Malaysia dan Pemerintah Indonesia. 14. Semua pihak yang telah menghulur bantuan secara langsung maupun tidak langsung sepanjang penyusunan skripsi ini, semoga segala bantuan dan niat baik diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT. “ Akhirnya penulis menginsafi bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kritikan dan saran yang konstruktif sangat diperlukan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat sebagai karya ilmiah khususnya bagi penulis dan sekalian pembaca umumnya”.
Jakarta, 7 FEBRUARI 2010 M 22 Safar 1431 H
Penulis Nurul Shazwani Wajihah Binti Ibrahim
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 4 D. Metode Penelitian ..................................................................... 6 E. Sistematika Penulisan .............................................................. 7
BAB II
TINJAUAN TEORETIS TENTANG UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA A. Undang-Undang Acara Malaysia ............................................... 9 B. Undang-Undang Acara Indonesia ..............................................13 C. Definisi dan Dasar Hukum ........................................................15 D. Macam-Macam Saksi ................................................................. 21
BAB III
KEDUDUKAN SAKSI PERKARA PIDANA DALAM UNDANGUNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA A. Saksi sebagai Alat Bukti ............................................................. 26 B. Syarat-Syarat ............................................................................. 40 C. Pemeriksaan Saksi ..................................................................... 49 D. Sanksi Bagi Saksi Palsu .............................................................. 54 E. Sisi Komparatif .......................................................................... 59
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 61 B. Rekomendasi ............................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama fitrah, yang artinya seluruh ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia. Karena itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan fitrah manusia, Islam terlebih dahulu mengaturnya dalam bentuk ajaran-ajaran Islam atau lebih dikenali sebagai Syariat Islam. Dengan demikian, Islam sebagai sebuah cara hidup yang universal, syumul dan menjadi rahmat kepada seluruh alam, hadir dengan aturan-aturan yang menjadi petunjuk untuk manusia sejagat dan dapat diaplikasikan di setiap kondisi, masa dan tempat untuk menjaga ketertiban dan kemaslahatan bagi seluruh alam. Termasuk dalam hukum yang telah diatur oleh Islam adalah berkenaan dengan perundangan Islam. Dalam perundangan Islam, undang-undang jinayah merupakan undangundang yang termasuk di dalamnya. Undang-undang jinayah merupakan undangundang yang terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang boleh didakwa dalam tindak pidana.1 Berhubungan dalam undang-undang
jinayah
ini adalah pelaksanaan
kehakiman. Menurut mantan mufti Negeri Sabah, Said Ibrahim dalam
1
Said Ibrahim, Qanun Jinayah Syariah, (Kuala Lumpur: Darul Makrifah, 1996), h. 1
menentukan putusan mahkamah adalah tertakluk di bawah empat perkara yaitu: Hakim, pendakwa dan terdakwa, ada alat bukti, melakukan sumpah. Dalam penghakiman dan peradilan, sesuatu kasus yang dibawa ke mahkamah, persaksian seseorang saksi bagi sesuatu keterangan sebagai bukti menyokong, atau keterangan yang membawa penentuan adalah merupakan fakta penting bagi seseorang hakim untuk menetapkan sesuatu kasus atau menolaknya. 2 Kesaksian merupakan perkara penting yang terdapat di dalam proses perundangan. Dengan adanya pembuktian atau kesaksian yang kuat, maka hukuman yang tepat dan sesuai dapat diberikan. Keadilan juga dapat ditegakkan sesuai dengan apa yang dituntut di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Ketiadaan kesaksian, dapat membuka ruang kepada unsur penipuan serta kepalsuan. Akan tetapi, kesaksian yang telah diberikan, jika tidak diteliti, akan memberikan
kesempatan
kepada
orang
yang
tidak
berakhlak
untuk
mempengaruhi hakim sedangkan bukti yang diberikan itu sebenarnya tidak betul dan tidak beretika. Karena menyadari berbagai kemungkinan itulah maka kesaksian itu mestilah dipastikan antara benar atau salah. Dalam proses memberikan keterangan secara keseluruhannya, para ulama telah sepakat bahwa kesaksian merupakan unsur terpenting yang mesti diberi perhatian di samping keterangan yang lain, di atas asas tabii manusia yang melihat dan bercakap. Apatah lagi penekanannya diberikan oleh syara’ melalui alQuran dan Sunnah Rasulullah SAW apabila melibatkan isu kehakiman. 2
Ibid, h. 315
Oleh disebabkan kepentingan yang tersebut, maka kedudukan saksi harus diambil perhatian agar tidak berlaku ketidakadilan kepada peradilan dalam membuat sesuatu putusan perkara. Hal ini disebabkan keadilan menjadi asas utama dalam konteks kehidupan manusia. Keadaan ini akan menjadi masalah apabila kita melihat kepada macammacam manusia itu sendiri, dan ini sudah tentu akan mewujudkan kecenderungan yang tersendiri. Jika dilihat, mereka yang punya hubungan antara satu sama lain, tentulah akan memberikan keterangan dalam bentuk yang memihak kepada ikatan hubungan tersebut.3 Dalam konteks dunia masa kini, pemberlakuan hukum tergantung kepada pemerintah masing-masing negara bagi menerapkan pendapat mana yang menjadi panutan rakyatnya dan seterusnya dirumus menjadi hukum positif di masingmasing negara. Di dalam Akta Keterangan Malaysia, alat bukti terbagi pada pengakuan, kesaksian, qarinah, dokumen dan pandangan para ahli. Begitu juga jika dilihat pada KUHAP, alat bukti yang diterima pakai ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam proses perundangan, keterangan sangat penting dan dalam bagian alat-alat bukti tersebut, saksi merupakan antara bentuk yang diiktiraf oleh syarak dan diterima dalam konteks perundangan di Malaysia juga di Indonesia.
3
Nasimah Hussin dkk, Undang-Undang Islam Jenayah, Keterangan dan Prosedur, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.162-163
Justeru itu penulis berhasrat untuk meneliti kedudukan saksi dalam perkara pidana yang digunakan di Malaysia dan Indonesia. Penelitian yang ingin penulis lakukan berjudul " KEDUDUKAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT
UNDANG-UNDANG
ACARA
MALAYSIA
DAN
INDONESIA". Ia juga dapat dilihat sebagai perbandingan antara dua negara. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan kepada kedudukan saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia, maka persoalan yang timbul adalah seperti berikut: 1) Bagaimanakah
pandangan
Undang-Undang
Acara
Malaysia
tentang
Undang-Undang
Acara
Indonesia
tentang
kedudukan saksi ? 2) Bagaimanakah
pandangan
kedudukan saksi ? 3) Apa saja kesamaan dan perbedaan antara Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia tentang kedudukan saksi ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sehubungan dengan permasalahan yang dipaparkan, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1) Mendapatkan sebuah pemahaman secara ilmiah tentang kedudukan saksi dalam perkara pidana menurut Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia.
2) Menggambarkan kedudukan kesaksian dalam Undang-Undang
Acara
Malaysia dan Indonesia. 3) Menemukan kesamaan dan perbedaan yang terdapat pada Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia dalam kedudukan saksi. Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1) Agar penulisan ini bermanfaat dan memiliki nilai ilmiah serta sarana memenuhi syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan kepada masyarakat serta organisasi yang memerlukan informasi berkaitan kesaksian dalam perkara pidana. 3) Merupakan perkembangan ilmu bagi perundangan Malaysia dan Indonesia. 4) Dapat menjadi kaedah buat para kadi/law yang terdapat di Malaysia dan Indonesia. 5) Menambah khazanah literature kepustakaan. D. Metode Penelitian Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka metode merupakan strategi utama dalam usaha untuk pengumpulan datadata yang diperlukan bagi menjawab persoalan yang dihadapi.
Metode juga memegang peranan yang sangat penting. Ini karena, ia sangat mempengaruhi setiap isi penulisan sampai kepada tujuan yang ingin dicapai. Metode yang diaplikasikan dalam menjalankan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1) Jenis Penelitian Penelitian ini yang ditelusuri oleh penulis merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang berupa rekabentuk tanpa menggunakan nomor. 2) Teknik Pengumpulan Data a. Penulis menggunakan pendekatan library research yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji buku-buku atau sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek-aspek permasalahan, mengambil data, meneliti dan mengkaji literature yang ada relevansinya dengan tema skripsi ini. b. Data primer merupakan data pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal, ensiklopedi, kamus dan sebagainya. Di dalam penelitian ini, penulis telah menggunakan data primer sebagai bahan pelengkap bagi penulisan skripsi ini. 3) Analisa Data a. Deskriptif yaitu data yang diperoleh dan terkaitan dengan perbedaan kedudukan saksi dalam perkara pidana menurut Undang-Undang Acara di Malaysia serta di Indonesia.
b. Komparatif merupakan suatu studi untuk menguraikan kedudukan saksi dalam perkara pidana dari sudut hukum formil yaitu hukum acara yang dilaksanakan di Malaysia serta di Indonesia. 4) Metode Penulisan Dalam menyiapkan penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Karya Ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. E.
Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan penulisan skripsi ini, maka penulis telah menyusun sistematika penulisan yang dibagi atas empat bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian berikut: BAB I:
Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II:
Dalam bab ini, penulis mendeskripsikan pembahasan yang menghuraikan tinjauan teoretis tentang kedudukan saksi. Dengan sub bahasannya seputar pengenalan bagi undang-undang acara di Malaysia dan Indonesia. Selain itu, penulis meletakkan takrif, dan dasar hukum bahwa perlunya saksi dalam memberikan pembuktian.
BAB III:
Membahas kedudukan saksi dalam perkara pidana menurut undangundang acara Malaysia dan Indonesia. Sub bahasan yang terdapat di dalamnya adalah kesaksian sebagai alat bukti, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang saksi tersebut serta pemeriksaan saksi dan sanksi yang dikenakan bagi saksi palsu.
BAB IV:
Penutup. Merupakan kesimpulan yang dapat dibuat oleh penulis berdasarkan semua bab yang telah dibahaskan di dalam skripsi ini agar dapat menjadi sebuah pengetahuan yang berguna kepada agama, bangsa dan negara.
BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA
Untuk mempelajari dan mengetahui sesuatu perlu dikenal latar belakang atau sejarahnya. Terkait dengan Undang-Undang Acara di Malaysia dan Indonesia, masing-masing mempunyai pegangan dan hukum tersendiri. Undang-Undang Acara di Malaysia, tertuang dalam Akta4 Keterangan 1950 (Akta 56) sedangkan di Indonesia, hukumnya tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan KUHAP. Maka dengan itu, seharusnya kita mengetahui latar belakang sejarah lahirnya kedua-dua undang-undang ini. A.
Undang-Undang Acara Malaysia Undang-Undang Acara di Malaysia, seperti yang telah diketahui, ia tertuang
dalam Akta Keterangan 1950 (Akta 56). Penerimaan awal Undang-Undang Keterangan di Malaysia terkait dengan penerimaaan Islam dan implementasi undangundangnya dalam konteks setempat seawal abad ke-15. Melaka yang melaksanakan undang-undang Islam melalui penggubalan5 yang telah diatur dalam Undang-Undang
4
Akta= adalah suatu undang-undang yang dibentuk atau digubal oleh Parlimen. Manakala enakmen adalah suatu undang-undang yang dibentuk atau digubal oleh Dewan Undangan Negeri masing-masing Negara Bagian di Malaysia dan berlaku mengikat bagi Negara Bagian tersebut selama mana tidak bertentangan dengan Perlembagaan Persekutuan. Istilah “Ordinan” digunakan untuk Negara bagian Sarawak. Lihat Noor Aziah Mohd Awal, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan di Malaysia, (Selangor: International Law Book Services, 2007), h.48. 5
Penggubalan = peraturan
Kanun Melaka, mengatur undang-undang yang terkait dengan jenayah hudud, qisas, serta takzir.6 Bagi tujuan pelaksanaannya maka sudah tentu secara logiknya undang-undang keterangan turut diberlakukan. Jika dilihat dalam bentuk kesaksian, seperti yang diatur dalam seksyen 37 dan 38. Dalam hal ini, seksyen 37.1 mengaturkan: Pasal yang ketiga puluh tujuh pada menyatakan hukum saksi yang harusnya di atas empat martabat. Pertamanya tahu ia akan halal dan haram, kedua tahu ia akan sunat dan fardu, ketiga tahu ia akan salah dan benar, keempat tahu ia akan baik dan jahat. Itulah harus diperbuat saksi. Begitu juga dengan dasar umum (prosedur) dalam sesuatu tuntutan yang dibuat oleh seseorang, semestinya memenuhi prasyaratnya termasuk soal penerimaan sumpah sebagai bahan bukti turut dikanunkan dalam seksyen 38.7 Demikian penjelasan tentang Undang-Undang Keterangan dan implimentasinya di Melaka. Yang jelas ialah tiga bentuk Undang-Undang Keterangan yang disyariatkan Islam (Ikrar, Kesaksian dan Sumpah) telah diatur dalam sistem perundangan Melaka pada masa itu. Walau bagaimanapun, pelaksanaan Undang-Undang Keterangan terhalang apabila Inggris meluaskan daerah jajahannya. Dikarenakan itu, maka undang-undang 6
Lihat Hamid Jusoh, Undang-Undang Keterangan Islam dan Perkembangan Pelaksanaannya di Malaysia, dalam Nasimah Hussin, dkk, Undang-Undang Islam: Jenayah, Keterangan dan Prosedur, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h. 136- 138. Segala bentuk jenayah selain di atas, hukuman yang akan dikenakan adalah atas budi bicara seseorang hakim berasaskan semangat dan prinsip keislaman. 7
Walaupun ia lebih mementingkan aspek kanun acara, namun perkara-perkara yang terkaitan dengan undang-undang keterangan tidak dapat dipisahkan. Dalam s.38.1, perkara yang terkait dengan plaintif dan defendan(pendakwa dan terdakwa), manakala s.38.2 dan 38.3 terkait dengan sumpah. S.38.4 menggariskan hukuman yang boleh dikenakan kepada saksi yang berdusta serta larangan kepada para hakim daripada terlibat dengan korupsi.
yang terkait dengan hudud, qisas dan takzir telah dikesampingkan dan digantikan dengan Undang-Undang Inggris melalui perjanjian dengan sultan-sultan8 serta kehakiman dan kemudiannya disusuli secara perundangan apabila Undang-Undang Sivil 1937 dikenalkan. Secara khusus dalam zaman pendudukan pihak Inggris, aspek Undang-Undang Keterangan Islam tidaklah diberi perhatian walaupun undang-undang yang terkait dengan kekeluargaan dan jenayah telah diatur secara formil. Semuanya ini adalah implikasi daripada penerimaan Undang-Undang Keterangan Inggris sebagaimana yang dimuat dalam Ordinan Keterangan 1893.9 Apabila diteliti perkembangan sebelum merdeka (1957), ternyata tiada peruntukan yang jelas yang diatur bagi tujuan undang-undang keterangan Islam, kecuali beberapa buah negeri10 yang tertentu. Dalam hal ini, Selangor mendahului keadaan dengan mengkanunkan Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam 1952 yang merupakan penyatuan beberapa undang-undang yang terpisah sebelum itu. Turut sama dimasukkan dalam enakmen ini ialah yang terkait dengan prinsip Undang-Undang Keterangan Islam seperti yang diatur dalam seksyen 53, yang 8
Ibid, h. 140. Seperti Perjanjian Pangkor, 1874 untuk penguasaan Inggris di Perak. Begitu jugalah selepas itu siri perjanjian dimateraikan. 9
Ibid.
10
Negeri = Negara bagian. Malaysia mempunyai 14 buah negeri. Selangor. Perak, Pahang dan Negeri Sembilan dikenal sebagai Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Manakala Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu dan Johor dikenal sebagai Negeri-Negeri Melayu tidak Bersekutu. Melaka dan Pulau Pinang termasuk di dalam Negeri-Negeri Selat. Tiga lagi negeri di Malaysia ialah Sabah, Sarawak dan Wilayah Persekutuan.
kemudian diikuti oleh Terengganu pada tahun 1955, seksyen 33 (2) dan (3) seperti berikut: 33 (2): Maka hendaklah dipegang seorang saksi itu supaya bercakap benar dan hendaklah ia mengangkat ikrar sebagaimana berikut setelah ia mengaku yang dirinya menjadi seorang saksi: “ Adalah saya …………..(nama) dengan ini mengaku berdiri sebagai saksi di dalam perbicaraan ……... melawan ……….”. Di dalam 33 (3), ia menyatakan Jika pada fikiran Mahkamah mana-mana saksi itu dengan sengaja telah memberi keterangan bohong dalam mana-mana perbicaraan maka bolehlah Mahkamah memberitahu perkara itu kepada Pendakwa Raya atau wakilnya atau sebaliknya bolehlah menjalankan segala kuasa-kuasa sebagaimana yang diberi oleh Pasal 12 Undang-Undang Sumpah dan Ikrar Tahun 1949, kepada Majistret tingkat pertama di dalam suatu perkara yang sedemikian, dengan senantiasa tunduk kepada peraturan dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan pasal itu. Sebarang orang yang dihukumkan di bawah syarat kepada pasal ini hendaklah mempunyai hak pada mengangkat ipil seolah-olah seperti ianya telah dihukumkan di bawah UndangUndang Sumpah dan Ikrar yang tersebut. Peruntukan
di atas, turut diatur bahwa Undang-Undang Keterangan yang
berkuat kuasa pada masa berkaitan hendaklah dirujuk sekadar yang perlu. Dalam hal ini Undang-Undang Keterangan yang dimaksud adalah Akta Keterangan 1950. Disebabkan ketiadaan peraturan khusus, maka rujukan tentang Undang-Undang Keterangan tidak menonjol. Walau bagaimanapun, ini tergantung pada kebijaksanaan para hakim yang berkaitan dalam merujuk kepada sumbernya. Adapun kedudukan
sebenar Akta Keterangan 1950, ia terbagi kepada tiga bagian. 11 Kedudukan saksi serta pemeriksaan saksi teletak dalam aturan yang ada pada bagian III. B.
Undang-Undang Acara Indonesia Undang-Undang Acara Indonesia, dapat dilihat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang juga disebut sebagai KUHAP. KUHAP yang dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan dari asas-asas hukum acara pidana yang terdapat di dalam HIR atau Ned strafvordering 1926. Pada tanggal 1 Mei 1848, berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 Sbld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR. Reglemen tersebut berisi acara perdata dan acara pidana. Kemudian dengan Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan dengan nama Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yang dahulu ditempatkan di bawah pamongpraja. Dalam praktik, IR masih berlaku disamping HIR di Jawa dan Madura. HIR berlaku di kota-kota besar seperti Jakarta (Batavia), Bandung, Semarang, Surabaya, Malang dan lain-lain sedangkan di kota lain berlaku IR.12
11
Bagian I (Kerelevanan), Bagian II (Pembuktian), Bagian III (Pengemukaan dan Kesan Keterangan). 12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.54.
Apabila diramu lebih mendalam, detail dan terinci walaupun IR merupakan cikal bakal HIR, tetapi jikalau diperbandingkan, akan didapatkan perbedaan-perbedaan yang tidak sedikit. Perbedaan telihat dalam aspek-aspek berikut:13 a. Dalam IR belum ada Badan Penuntut Umum tersendiri, dalam HIR sudah ada meskipun belum volwaarding. b. Regen, Patih dan Kepala Afdeeling (Residen atau Asisten Residen) dalam IR adalah Penyidik, dalam HIR tidak. c. Penahanan sementara yang untuk itu dalam sistem IR tidak diharuskan syaratsyarat tertentu, menurut HIR harus selalu atas perintah bertulis. Hukum Acara Pidana pada periode Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 (LN Nomor 9 Tahun 1951) mulai terbentuk sejak Negara Kesatuan eksis pada tanggal 17 Agustus 1950 dan sekaligus menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan peradilan di Indonesia. Dengan hadirnya undang-undang ini, terciptalah suatu unifikasi hukum untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia berdasarkan Pasal 1 telah dihapuskan dan tidak memberlakukan lagi sembilan buah badan peradilan yang berlaku sebelum ini.14
13
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana( Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya ), (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 35. 14
Ibid, h. 39-40. Sembilan buah badan peradilan yang belaku sebelumnya adalah Mahkamah Justisi di Makasar dan alat Penuntut Umum padanya; Appelraad di Makasar; Appelraad di Medan; segala PN dan Landgerecht (cara baru) dan alat Penuntut Umum padanya; segala Pengadilan Kepolisian dan alat Penuntut Umum padanya; segala Pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah); segala Pengadilan Kabupaten; segala Raad Distrik; dan segala Pengadilan Negorij di Maluku.
Manakala jika ditinjau dari aspek historis yuridis, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana atau lazim disingkat menjadi istilah KUHAP. Semenjak berlakunya KUHAP, dapatlah disebutkan lebih jauh bahwasanya mulai tanggal 31 Desember 1981 untuk ketentuan Hukum Acara Pidana berlakulah secara tunggal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan telah dicabut. Hal ini dapat dilihat berdasarkan konsiderans huruf d dan diktum angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang menyatakan, bahwa: Hukum Acara Pidana sebagai yang termuat dalam Het Herzien Inlandsch Reglement, Stb. 1941 Nomor 44 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 (LN Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai Hukum Acara Pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan citacita hukum nasional. Dari teks di atas, dapatlah dikatakan bahwa untuk Hukum Acara Pidana telah ada suatu unifikasi hukum karya bangsa Indonesia sendiri sehingga sewaktu lahirnya KUHAP, undang-undang ini sering disebut sebagai “Karya Agung”. Terlepas dari adagium bahwa law in book tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in action).
C. Definisi dan Dasar Hukum Keterangan daripada para saksi adalah salah satu saluran bagi menetapkan hak yang didakwa, bahkan sebagian fuqaha berpendapat kesaksian adalah hujah yang
paling kuat sekali. Dari segi bahasa ia berarti penerangan yang putus atau pasti, iaitu kata-kata yang diucapkan hasil daripada maklumat yang diperoleh melalui penyaksian.15 Selain itu, syahadah dari segi bahasa bermaksud “hadir” atau “naik saksi”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kesaksian bermaksud orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Manakala kesaksian menurut Kamus Dewan adalah keterangan yang diberikan oleh orang yang melihat, mengetahui dan lain-lain. Dari sudut istilah, ia ditakrif dengan pelbagai bentuk, diantaranya adalah pemberitahuan yang benar bagi tujuan menentukan sesuatu hak menerusi ungkapan kesaksian yang disampaikan di dalam peradilan. Takrifnya lagi ialah satu perkhabaran yang benar yang diberikan dalam majlis kehakiman dengan menggunakan lafaz “asyhadu” (aku naik saksi) untuk menentukan hak atau kepentingan bagi orang lain.16 Begitu juga dalam Seksyen 3,17 mentakrifkan syahadah sebagai apa-apa keterangan yang diberikan di mahkamah dengan menggunakan lafaz asyhadu untuk membuktikan suatu hak dan kepentingan.
15
Mahmud Saedon, Undang-Undang Keterangan Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h.55. 16
Lihat Afridah Abas, Kebolehterimaan Keterangan Dengar Cakap sebagai Satu Cara Pembuktian Di Mahkamah Syariah, dalam Nasimah Hussin, Undang-Undang Islam(Jenayah, Keterangan dan Prosedur), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.212. 17
Akta Keterangan Mahkamah Syariah (Wilayah Perskutuan)1997. Seksyen = Pasal.
Sedangkan Ansorie Sabuan memberi maksud saksi di dalam kitab Hukum Acara Pidananya adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan setiap istilah yang digunakan di atas, maka dapat diketahui bahwa kesaksian adalah keterangan yang terkaitan dengan pancaindera, baik seseorang yang akan memberi maklumat itu melihat, mendengar, merasa atau mengetahui. Takrif undang-undang adalah sesuatu peraturan yang digubal oleh pemerintah dan harus dipatuhi oleh masyarakat yang berkenaan.18 Di dalam Kamus Black, undang-undang adalah yang diperturunkan, diperintah atau dinyatakan. Satu peraturan atau metode yang mana fenomena atau perbuatannya saling berganding antara satu sama lain. Ia juga perlu dipatuhi atau diikuti oleh rakyat tertakluk kepada hukuman atau implikasi-implikasinya. Manakala keterangan bermaksud hal atau bukti yang menjadikan sesuatu perkara itu menjadi jelas. Menurut Akta Keterangan 1950, keterangan diberi dalam mana-mana guaman atau tatacara baik wujud atau tidak wujudnya tiap-tiap fakta isu dan mengenai apa-apa fakta lain yang ditetapkan baik relevan atau tidak mengenai mana-mana fakta lain.19
18
19
Kamus Dewan, (Ampang:Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005), h.1768.
Seksyen 5 tidak membenarkan sesiapa memberi keterangan mengenai sesuatu fakta yang dia tidak berhak membuktikan menurut undang-undang berhubung dengan prosedur sivil.
Bagi istilah hukum pidana mengandung beberapa arti diantaranya adalah hukum pidana merupakan kumpulan peraturan yang mengatur tingkah laku masyarakat dan bila ada yang melanggar akan mendapat hukuman berupa pidana, yaitu suatu hukuman yang memberikan rasa tidak enak pada si pelanggar.20 Selain itu, definisi Prof. Van Hamel yang diambil dari bukunya Inleading Studie Ned. Strafrecht 1927, berbunyi: “hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturanaturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.” Istilah hukum acara pidana yang diberi oleh Kansil menurut Kamus Istilah Aneka Hukum adalah keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan dalam hal terjadinya suatu pelanggaran atau bagaimana negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya dalam hal terjadinya pelanggaran. 21 Saksi-saksi mempunyai peran yang amat penting dalam menentukan sesuatu perkara. Oleh sebab itu, seseorang saksi tidak boleh menyembunyikan perkaraperkara yang dipersaksikannya,dan hendaklah menyempurnakan persaksiannya semata-mata karena Allah. Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban atau tanggungjawab bagi seseorang.
20
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), h.15.
21
C.S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 15.
Keharusan berpegang dengan kesaksian dalam menetapkan hukuman telah terdapat dalam beberapa nas al-Quran yang berkaitan seperti firman-Nya di dalam surah al-Baqarah(2):283, surah an-Nisa’(4):6 dan surah at-Talaq(65):2 seperti berikut:
+ $%&' &()* ☺ !"# 23456"7 &(.☺/0,1 ,- = ! 307;"< ⌦9 : A;,B ,?@;&☺@"# &☺>
Artinya: “……dan janganlah kamu (Wahai orang-orang yang menjadi saksi) menyembunyikan perkara yang dipersaksikan itu. dan sesiapa yang menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. dan (ingatlah), Allah sentiasa mengetahui akan apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:283)
E9HEI"J E9F@"7&
"D6"7 'H.PQ"7 E9KLMN-O +R⌧2⌧T + E9HEI$;,B UVW& > Artinya: “Kemudian apabila kamu menyerahkan kepada mereka hartanya, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (yang menyaksikan penerimaan) mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (akan segala yang kamu lakukan).” (Q.S. An-Nisa’, 4:6)
YZ.', .X"D 'H.PO ☺<O :!\]_`,1 E9_0M"D + ^ $%&' &()*
> bc-"1 ,?<⌧T ,- a> ,- + fWgF& dEeN 3Oj k&@N("l j
hiP,1 <☯ ,N1⌧n
Artinya: “Dan adakanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu (semasa kamu merujukkan atau melepaskannya); dan hendaklah kamu (yang menjadi saksi) menyempurnakan persaksian itu kerana Allah semata-mata. Dengan hukum-hukum yang tersebut diberi peringatan dan pengajaran kepada sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat; dan sesiapa yang bertaqwa kepada Allah (dengan mengerjakan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya), nescaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar (dari segala perkara yang menyusahkannya).” (Q.S. At-Talaq, 65:2) Di dalam Akta Keterangan Malaysia, alat bukti terbagi pada pengakuan, kesaksian, qarinah, dokumen dan pandangan para ahli. Begitu juga jika dilihat pada KUHAP, ada lima alat-alat bukti yang sah22 untuk digunakan dalam setiap pembuktian dan putusan. Maka kedudukan saksi itu terkait dalam alat bukti bagi melihat benar atau tidak keterangan terdakwa. Mengikut ketentuan hukum syara’, meletakkan diri sebagai saksi bagi suatu perkara itu adalah wajib, di mana mereka yang dipanggil untuk menghadirkan diri ke pengadilan menjadi saksi dari pihak penuntut atau tersangka adalah “Fardhu Ain”. Dikarenakan hal tersebut maka, melalui kajian teoretik dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. 22
Pasal 184 ayat (1) telah menyebut lima alat-alat bukti yang sah digunakan dalam setiap pembuktian dan putusan. Alat bukti tersebut ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
D. Macam-Macam Saksi i. Syahadah al-Hisbah Saksi hanya akan memberikan keterangan apabila dakwaan yang terkait dengan hak yang disaksikannya dikemukakan dan pendakwa atau penuntut umum memanggilnya untuk memberi keterangan. 23 Syahadah al-Hisbah ini merupakan keadaan di mana saksi itu tampil dengan sendiri dan memberi kesaksian tanpa didahului oleh sebarang dakwaan dan tidak ada permintaan daripada mana-mana pihak. Sesungguhnya para fuqaha telah mentakrifkan Syahadah al-Hisbah ini dengan bahwa ia adalah ibarat daripada pemberian kesaksian oleh saksi pada permulaan tanpa sebarang permintaan dan dakwaan yang dikemukakan oleh mana-mana pihak yang menuntut maupun yang mendakwa. Kesaksian ini akan diterima pakai pada hak-hak yang terkait dengan Allah SWT, seperti minum khamar, mencuri, merampok. Ia juga diterima pakai pada zakat, pemerdekaan budak, wasiat dan wakaf pada fuqara’ serta maslahat umum.24
23
Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, 1997), h.75. 24
Ibid, h. 76.
ii. Kesaksian atas Kesaksian Secara eksplisit, titik tolak perkara pidana adalah mencari, mendapatkan kebenaran
material
dan
mempertahankan
kepentingan
publik.
Prinsip
pemeriksaan dalam persidangan sangat penting eksistensinya karena merupakan salah satu elemen agar persidangan dinyatakan sah dan tidak diancam supaya adanya pembatalan.25 Dalam usaha mendapatkan kesaksian, adakalanya saksi asal tidak berupaya atau gagal memberikan kesaksian mereka atas alasan tertentu baik dikarenakan saksi itu mati, hilang, sakit, atau dalam tawanan musuh. Dalam keadaan semacam ini, tentulah persidangan menjadi terganggu, manakala hak orang yang bertikai akan tersekat dan keadilan tidak dapat dicapai.26 iii. Kesaksian Dengar Cakap Secara umumnya, setiap peradilan memerlukan keterangan kesaksian secara langsung untuk memberikan pembuktian atau menolak sesuatu fakta persoalan. Kesaksian dengar cakap lebih diketahui daripada difahami. Ini disebabkan perkataan dengar cakap boleh memberikan berbagai-bagai maksud dan juga ianya mempunyai makna yang kabur. 27
25 26
27
Lilik Mulyadi, ibid, (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 140. Lihat Afridah Abas, ibid, h. 218.
Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam (Penghakiman dan Kepeguaman),(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), h. 115.
Kesaksian berdasarkan dengar cakap ialah kesaksian yang diberi oleh seseorang di hadapan hakim berdasarkan apa yang didengar oleh saksi tersebut berkenaan sesuatu perkara yang informasinya telah tersebar luas dan diketahui. Menurut Muhammad Zaid al-Anbani, informasi itu perlulah masyhur dan tersebar luas serta sampai secara mutawatir kepada orang yang menjadi saksi kepada khabar tersebut.28 Muhammad Zaid al-Anbani berpandangan pada asalnya seorang saksi tidak harus memberikan kesaksiannya melainkan dalam perkara yang dilihat dan dipastikannya. Berdasarkan prinsip istihsan dan keperluan, maka ulama telah mengharuskan kesaksian melalui cara ini karena jika tidak, kebenaran akan hilang dan keadilan tidak akan dapat ditegakkan. 29 Kesaksian pada asalnya dibuat bagi perkara yang telah dilihat dan dipastikan sendiri oleh saksi. Fuqaha telah membuat beberapa pengecualian dalam beberapa masalah. Mereka mengharuskan seseorang itu memberi kesaksiannya walaupun ia tidak melihat dan tidak dapat memastikannya dalam perkara nasab, kematian, nikah, persetubuhan dengan istri, perlantikan hakim dan wakaf. Selain enam perkara tersebut, sebahagian ulama telah menambah tiga perkara lagi yaitu perbudakkan, memerdekakan budak dan mahar. Kesaksian berdasarkan dengar cakap merupakan salah satu cara memberi keterangan berdasarkan kesaksian. Cara ini
28
Mahmod Saedon, ibid, h. 93.
29
Ibid, h. 94.
bukan keterangan biasa dan bukan juga sekadar memberi keterangan berdasarkan khabar yang didengar atau diperolehi daripada orang ramai pada tahap keterangan, tetapi hendaklah pada tahap kesaksian.30 Walaupun prinsip ini terdapat persamaan dengan prinsip khabar mutawatir, khabar istifadah dan khabar ahad dalam undang-undang keterangan Islam yang telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam al-Turuq al-Humiah, cara penyampaiannya disampaikan berdasarkan kesaksian, tetapi setakat keterangan sudah cukup memadai. iv. Saksi Mahkota Saksi mahkota dikenal dalam praktik pengadilan di Nederland, yaitu salah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan itu, misalnya delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Dasar hukumnya ialah asas oportunitas yang ada di tangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Dalam hal saksi mahkota, syaratnya ialah dia bersedia membongkar komplotan itu. Di Italia sudah diciptakan suatu undang-undang mengenai saksi mahkota. Jika terdakwa yang paling ringan kesalahannya dalam komplotan itu tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa mendapat pidana karena perbuatannya juga dipandang sangat serius, maka jaksa dapat berunding dengan dia jika dia bersedia
30
Ibid
membongkar jaringan komplotan itu dia akan dituntut pidana lebih ringan dibanding teman berbuatnya.31
31
Andi Hamzah, ibid, h.271-272.
BAB III KEDUDUKAN SAKSI PERKARA PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG ACARA MALAYSIA DAN INDONESIA
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perkara yang telah didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal seperti inilah yang membuatkan hak asasi manusia dipertaruhkan. Ini disebabkan, jika seorang yang didakwakan itu telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang didatangkan dan ia juga disertai dengan keyakinan hakim, padahal ianya tidak benar. 32 Dalam peradilan, keterangan seseorang saksi bagi suatu keterangan sebagai bukti menyokong atau keterangan yang membawa sabitan adalah merupakan fakta penting bagi seseorang hakim untuk menjatuhkan vonis ataupun menolaknya. Keterangan saksi dalam peradilan bukan saja menjadi alat pertimbangan bagi hakim, malah para saksi itu juga merupakan kuasa pemutus bagi suatu perkara, karena tiap putusan yang dibuat oleh seorang hakim, atau jemaah hakim adalah mengikut keterangan-keterangan yang didatangkan dari para saksi dan penilaian hakim di atas kebenaran atau kepalsuan keterangan yang telah dibuat oleh para saksi itu.
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 245.
A. Saksi sebagai Alat Bukti Syahadah merupakan kesaksian yang diberikan oleh saksi dan dianggap pembuktian yang terkuat dalam undang-undang acara karena mengikat hakim dalam membuat sesuatu putusan perkara. Keterangan saksi di hadapan hakim adalah salah satu cara menetapkan hukum yang penting dalam perundangan. Ia juga merupakan salah satu saluran untuk menentukan hak yang didakwa. Undang-undang ini meliputi segala penyataan yang dibenarkan atau dikehendaki oleh mahkamah yang dibuat di hadapannya oleh saksisaksi berhubungan dengan perkara-perkara fakta yang disiasat. Penyataan sedemikian disebut keterangan lisan. Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Orang yang membuat tuntutan atau pendakwaan diminta untuk memberikan keterangan atau bukti untuk menyokong tuntutan atau pendakwaan tersebut.33
33
Lihat Zulfakar Ramlee, Al-Qarinah: Pemakaiannya dalam Litigasi Mal dan Jenayah, dalam Nasimah Hussin, dkk, Undang-Undang Islam: Jenayah, Keterangan dan Prosedur, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.187.
Kegagalan plaintif atau pendakwa membawa alat bukti akan menyebabkan kasus tersebut ditolak. Keperluan mendatangkan keterangan dan alat bukti bukan saja menjadi amalan yang telah ditunjukan oleh Nabi Muhammad SAW, dan para ulama silam bahkan kini telah dikanunkan dan dikuatkuasakan di setiap mahkamah di Malaysia juga di Indonesia. Kedudukan saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia adalah seperti berikut: UNDANG-UNDANG
KETERANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
1950(AKTA 56)
Seksyen
118:
ACARA PIDANA (KUHAP)
Siapa
yang
memberikan keterangan. Semua
orang
boleh Pasal 162: (1)
Jika
saksi
adalah kompeten keterangan
sesudah
dalam
memberi penyidikan
memberi keterangan melainkan jika meninggal dunia atau karena halangan mahkamah berpendapat bahwa mereka yang sah tidak dapat hadir di sidang tidak boleh memahami soalan-soalan atau tidak dipanggil karena jauh tempat yang dikemukakan kepada mereka atau kediaman atau tempat tinggalnya atau tidak dapat memberi jawapan-jawapan karena sebab lain yang berhubungan yang rasional kepada soalan-soalan itu dengan
kepentingan
negara,
maka
oleh karena umurnya terlalu muda, keterangan yang telah diberikannya terlalu
tua,
karena penyakit,
baik dibacakan.
penyakit tubuh maupun penyakit otak, (2) Jika keterangan itu sebelumnya atau oleh apa-apa sebab lain yang telah diberikan di bawah sumpah, maka seumpamanya.
keterangan
itu
disamakan
nilainya
dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang di ucapkan di sidang.
Seksyen 119: Saksi Bisu
Pasal 163:
(1) Seseorang saksi yang tidak dapat Jika keterangan saksi di sidang berbeda bercakap boleh memberi keterangannya dengan dengan
apa-apa
dengannya
cara
keterangan
lain itu
keterangannya
yang
dapat
yang dalam berita acara, hakim ketua sidang mudah mengingatkan saksi tentang hal itu
difahami, seperti misalnya, dengan serta
minta
keterangan
mengenai
tulisan atau isyarat: tetapi tulisan dan perbedaan yang ada dan dicatat dalam isyarat tersebut harus ditulis dan dibuat berita acara pemeriksaan sidang. dalam mahkamah terbuka.
Pasal 164:
(2) Keterangan yang diberi sedemikian (1) Setiap kali seorang saksi selesai hendaklah
disifatkan
keterangan lisan.
sebagai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana
pendapatnya
tentang
Seksyen
120:
Pihak-pihak
dalam keterangan tersebut.
guaman sivil dan istri dan suami.
(2) Penuntut umum atau penasihat
(1) Dalam semua prosiding sivil, pihak- hukum
dengan
perantaraan
hakim
pihak dalam guaman itu, dan suami ketua sidang diberi kesempatan untuk atau istri kepada mana-mana pihak mengajukan pertanyaan kepada saksi dalam guaman itu adalah saksi-saksi dan terdakwa. kompeten.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak
(2) Dalam prosiding jenayah terhadap pertanyaan
yang
diajukan
oleh
seseorang, suami atau istri orng itu penuntut umum atau penasihat hukum adalah
masing-masingnya
saksi kepada saksi atau terdakwa dengan
kompeten. (3) Dalam prosiding jenayah, tertuduh adalah saksi kompeten bagi pihak dirinya sendiri, dan boleh memberi keterangan dengan cara yang sama dan mempunyai kesan dan akibat yang sama seperti mana-mana saksi lain; dengan syarat bahwa, setakat mana pemeriksaan balas itu berhubungan dengan kebolehpercayaan tertuduh itu,
memberikan alasannya.
mahkamah
boleh
menghadkan Pasal 165:
pemeriksaan balas itu setakat yang (1) Hakim ketua sidang dan hakim difikirkan wajar, walaupun pemeriksaan anggota dapat minta kepada saksi balas yang dicadangkan itu mungkin segala keterangan yang dipandang boleh dibenarkan bagi mana-mana saksi perlu untuk mendapatkan kebenaran. lain.
(2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi. (3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan penuntut
yang
diajukan
oleh
umum,
terdakwa
atau
penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasannya. (4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang, dapat saling
menghadapkan
saksi
untuk
menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing.
Seksyen 126: Komunikasi profesional. Pasal 166: (1) Seseorang peguambela tidak boleh Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak pada bila-bila masa dibenar, melainkan boleh
diajukan
kepada
terdakwa
dengan persetujuan nyata kliennya, maupun kepada saksi. mendedahkan apa-apa komunikasi yang Pasal 168: telah diberi kepadanya dalam masa dan Kecuali ketentuan lain dalam undangbagi maksud dia digunakhidmat sebagai undang
ini
tidak
peguambela itu oleh atau bagi pihak keterangannya
dapat
didengar
dan
dapat
kliennya, atau menyatakan kandungan mengundurkan diri sebagai saksi: atau keadaan sesuatu dokumen yang
a. keluarga sedarah atau semenda
telah diketahuinya dalam masa dan bagi dalam garis lurus ke atas atau ke bawah maksud perkhidmatan profesionalnya, sampai derajat ketiga dari terdakwa atau mendedahkan apa-apa nasihat yang atau
yang
bersama-sama
sebagai
telah diberi olehnya kepada kliennya terdakwa; dalam masa dan bagi maksud dia digunakhidmat sedemikian:
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai
terdakwa,
Dengan syarat bahawa tiada apa-apa saudara ibu atau saudara bapak, juga jua dalam seksyen ini boleh melindungi mereka yang mempunyai hubungan dari didedahkan-
karena
(a) apa-apa komunikasi itu yang saudara dibuat bagi membolehkan tercapainya ketiga;
perkawinan terdakwa
dan
anak-anak
sampai
derajat
apa-apa
maksud
yang
menyalahi
undang-undang;
c.
suami
atau
istri
terdakwa
meskipun sudah bercerai atau yang
(b) apa-apa fakta yang diketahui oleh bersama-sama sebagai terdakwa. seseorang
peguambela
penjalanan
dalam
perkhidmatannya
sedemikian
yang
menunjukkan
.
bahawa sesuatu jenayah atau fraud telah
dilakukan
sejak
dia
mula
digunakhidmat. (2) Adalah tak material sama ada perhatian peguambela itu telah diarah atau tidak diarahkan kepada fakta itu oleh atau bagi pihak kliennya. Seksyen 128: Keistimewaan tidak Pasal 169: terlepas
jika
keterangan
diberi (1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud
secara sukarela.
dalam
pasal
168
Jika mana-mana pihak dalam guaman menghendakinya dan penuntut umum memberi keterangan dalam guaman itu, serta
terdakwa
sama ada atas kehendaknya sendiri atau menyetujuinya selainnya,
maka
dia
tidak
secara
dapat
tegas
memberikan
boleh keterangan di bawah sumpah.
disifatkan dengan yang demikian itu (2) Tanpa persetujuan sebagaimana
sebagai
telah
bersetuju
terhadap dimaksud dalam ayat (1), mereka
pendedahan seperti yang tersebut dalam diperolehkan memberikan keterangan seksyen 126;dan jika mana-mana pihak tanpa sumpah dalam
guaman
atau
prosiding
memanggil mana-mana peguambela itu sebagai saksi, dia hendaklah disifatkan sebagai
telah
bersetuju
terhadap
pendedahan itu hanya jika dia menyoal peguambela
itu
mengenai perkara-
perkara yang mana, jika tidak karena soalan itu peguambela itu tidak bebas mendedahkannya. Seksyen 132: Saksi tidak dikecualikan Pasal 171: daripada
menjawab
soalan
atas Yang boleh diperiksa untuk memberi
alasan bahawa jawapan itu akan keterangan tanpa sumpah ialah: a. anak yang umurnya belum cukup
melibatkannya dalam jenayah. (1)
Seseorang
saksi
tidak
boleh lima belas tahun dan belum pernah
dikecualikan daripada menjawab apa- kawin. apa soalan mengenai apa-apa perkara
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa
yang relevan dengan perkara isu dalam meskipun kadang-kadang ingatannya sesuatu guaman, atau dalam sesuatu baik kembali.
prosiding sivil atau jenyah, atas alasan Pasal 178: bahawa jawapan kepada soalan itu akan (1) Jika terdakwa atau saksi bisu atau melibatkannya dalam jenayah, atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim mungkin secara langsung atau secara ketua tak langsung
sidang
mengangkat
sebagai
melibatkannya dalam penterjemah orang yang pandai bergaul
jenayah, atau bahawa jawapan itu akan dengan terdakwa atau saksi itu. mendedahkan atau mungkin secara (2) Jika terdakwa atau saksi bisu atau langsung atau secara tak langsung tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua mendedahkan saksi itu kepada apa jua sidang
menyampaikan
semua
jenis penalti atau lucuthak, atau bahawa pertanyaan atau teguran kepadanya jawapan itu akan membuktikan atau secara tertulis kepada terdakwa atau mungkin akan membuktikan yang dia saksi tersebut berhutang
atau
selainnya
tertakluk menulis
jawaban-jawabannya
kepada guaman sivil oleh Kerajaan selanjutnya Malaysia
atau
oleh
diperintahkan untuk
semua
dan
pertanyaan
mana-mana jawabannya harus dibacakan.
Kerajaan Negeri atau oleh seorang lain. Pasal 185: (2)
Tiada
apa-apa
jawapan
yang (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti
seseorang saksi dipaksa oleh mahkamah ialah apa yang saksi nyatakan di sidang supaya
memberinya
menyebabkan didakwa,
atau
dia
boleh pengadilan.
ditangkap boleh
atau (2) Keterangan seorang saksi saja tidak
dibuktikan cukup
untuk
membuktikan
bahwa
terhadapnya dalam sesuatu prosiding terdakwa bersalah terhadap perbuatan jenayah, kecuali pendakwaan kerana yang didakwakan kepadanya. memberi
keterangan
palsu
melalui (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
jawapan itu.
dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
(3) Sebelum memaksa seseorang saksi disertai dengan suatu alat bukti yang menjawab
sesuatu
soalan
yang sah lainnya.
jawapannya akan melibatkannya dalam (4)
Keterangan beberapa saksi yang
jenayah atau mungkin secara langsung berdiri sendiri-sendiri tentang suatu atau
secara
melibatkannya
tidak
langsung kejadian atau keadaan dapat digunakan
dalam
jenayah, sebagai suatu alat bukti yang sah
mahkamah hendaklah menghuraikan apabila
keterangan
saksi
itu
ada
kepada saksi itu maksud subseksyen hubungannya satu dengan yang lain (2).
sedemikian
rupa,
sehingga
dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Seksyen 133: Rakan sejenayah.
(5) Baik pendapat maupun rekaan,
Seseorang rakan sejenayah adalah saksi yang diperoleh dari hasil pemikiran yang
kompeten
terhadap
orang saja, bukan merupakan keterangan
tertuduh; dan sesuatu sabitan bukanlah saksi.
tak sah di sisi undang-undang semata- (6)
Dalam
menilai
kebenaran
mata oleh sebab sabitan itu terbit dari keterangan seorang saksi, hakim harus testimoni tak disokong yang diberi oleh dengan rakan sejenayah.
sungguh-sungguh
memperhatikan : a. persesuaian antara keterangan saksi atau satu dengan lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Seksyen 133A. Keterangan seseorang
(7) Keterangan dari saksi yang tidak
kanak-kanak yang masih muda.
disumpah meskipun sesuai satu dengan
Jika dalam sesuatu prosiding terhadap yang lain, tidak merupakan alat bukti, seseorang kerana sesuatu kesalahan, namun apabila keterangan itu sesuai seseorang kanak-kanak yang masih keterangan dari saksi yang disumpah
muda yang dipanggil sebagai saksi dapat dipergunakan sebagai tambahan adalah pada pendapat mahkamah tidak alat bukti sah yang lain. faham apa sebenarnya suatu sumpah itu,
keterangannya
walaupun
boleh
diberi
mengangkat
diterima,
dengan
sumpah,
tidak
jika,
pada
pendapat mahkamah, dia telah cukup akal bagi membolehkan keterangannya diterima, kewajipan
dan
dia
bercakap
faham
tentang
benar;
dan
keterangannya, walaupun diberi dengan tidak
mengangkat
sebaliknya
sumpah,
diambil
dan
tetapi
dituliskan
menurut seksyen 269 Kanun Prosedur Jenayah bagi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu hendaklah disifatkan sebagai suatu deposisi dalam erti seksyen itu: Dengan
syarat
keterangan
yang
bahawa, diterima
jika
menurut
seksyen ini diberi bagi pihak pendakwa, tertuduh itu tidak boleh disabitkan atas
kesalahan itu melainkan jika keterangan itu
disokong
keterangan
dengan material
keteranganlain
yang
menyokong keterangan tersebut dan melibatkannya. Seksyen 134: Bilangan saksi. Tiada
apa-apa
bilangan
tertentu
mengenai saksi dikehendaki dalam sesuatu kes untuk membuktikan sesuatu fakta.
Melalui kajian teoretis dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seseorang yang dipanggil menjadi saksi, tetapi menolak atau tidak mau hadir di depan persidangan, saksi tersebut supaya dihadapkan ke persidangan Pasal 159 ayat (2).34 Di dalam Pasal 185 ayat (5), dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Dalam keterangan sak si tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau yang disebutkan dalam ilmu hukum acara pidana adalah testimonium de auditu atau hearsay evidence. Dalam pasal 301 ayat (1) HIR dahulu, hanya dikatakan bahwa 34
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya), (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 170.
keterangan saksi haruslah mengenai hal-hal dan keadaan-keadaan yang dialami, dilihat, atau didengar olehnya sendiri.35 Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diterima sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu tidak patut digunakan. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti kesaksian tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Dalam Hukum Acara Pengadilan Negeri yang ditulis oleh S.M Amin menolak kesaksian de auditu sebagai alat bukti kesaksian yang mengatakan sebagai berikut. Memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa
syarat
“didengar, dilihat atau dialami sendiri” tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh seseorang di luar sumpah. Umpama A menceritakan kepada B, ia melihat C pada suatu malam mencari D dengan pisau terhunus dan muka yang membayangkan kemarahan. Keesokan harinya kedapatan mayat D terdampar di suatu jalan sepi dengan beberapa tusukan di badan.
35
Ibid, h.260.
Dalam sidang pengadilan, dalam pemeriksaan pembunuhan atas D, maka B didengar sebagai saksi. Ia menceritakan apa yang pernah didengarnya dari A yang tidak didengar oleh karena telah meninggal. Ini berarti, bahwa keterangan-keterangan yang dipergunakan untuk menciptakan bukti adalah keterangan-keterangan saksi B, bukan keterangan A yang seharusnya didengar sebagai saksi. Manakala di dalam Seksyen 226 Akta Prosedur Jinayah Syariah (WP) 1997 [Akta 560] menyatakan: Dalam mana-mana prosiding di bawah Akta ini, Mahkamah hendaklah mematuhi segala peruntukan hukum berhubung dengan bilangan, kedudukan atau kualiti saksi atau keterangan yang dikehendaki untuk membuktikan apa-apa fakta. B. Syarat-Syarat Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Akan tetapi, dalam hal eksepsional sifatnya seseorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Dalam hukum Acara Pidana Islam, ada membincangkan syarat bagi membolehkan saksi tersebut diterima dan seterusnya memberikan kesaksiannya. Syarat saksi tersebut dibagikan kepada dua jenis yaitu syarat penerimaan dan syarat penyampaian.36
36
Mahmud Saedon, Undang-Undang Keterangan Islam, ( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h.63.
a) Syarat Penerimaan37 Syarat penerimaan kesaksian atau terkenal dengan syurut al-tahammul ialah syarat yang wajib ada semasa seseorang itu menerima keterangan saksi. Syarat tersebut ialah seperti berikut: Berakal dan Melihat. b) Syarat Penyampaian Agar keterangan saksi boleh diterima maka seseorang saksi itu hendaklah memenuhi syarat yang wajib ada padanya semasa penyampaian atau ketika memberikan keterangan tersebut. Syarat tersebut adalah Islam, sempurna akal, baligh, adil, kuat ingatan, tiada tohmah, bermaruah, merdeka, boleh berkata-kata serta melihat. Akta Undang-Undang Keterangan Malaysia dan KUHAP Indonesia tidak menggariskan Islam sebagai syarat wajib yang perlu ada pada tiap saksi karena dalam duduk perkara pidana, ia tidak menganut keagamaan. Maka dengan itu, Akta Undang-undang Keterangan 1950, telah menggariskan beberapa syarat yang harus ada pada tiap orang yang menjadi saksi bagi membolehkan mereka memberi keterangan. Syarat-syarat yang digariskan adalah: a. Sempurna Akal Seksyen 118: Semua orang adalah kompeten memberi keterangan melainkan jika mahkamah berpendapat bahwa mereka tidak boleh memahami soalan-soalan yang dikemukakan kepada mereka atau tidak dapat memberi jawaban-jawaban yang rasional kepada soalan-soalan itu oleh karena umurnya terlalu muda, terlalu 37
Ibid , h.64-65.
tua, karena penyakit, baik dikarenakan penyakit tubuh atau penyakit otak, atau oleh apa-apa sebab lain yang seumpamanya. Dalam Seksyen 87(5) memperuntukkan bagi seseorang yang mempunyai ingatan yang lemah atau yang pelupa atau mengidap hilang kewarasan akal adalah berwibawa untuk memberikan keterangan akan tetapi tidak berwibawa untuk memberikan kesaksian. b. Boleh Berkata-kata Saksi haruslah orang yang boleh berkata-kata, akan tetapi jika berhadapan dengan saksi yang bisu, ia boleh diterima isyaratnya dalam urusan-urusan yang khusus dengannya sahaja karena darurat. Bagi pendapat Imam Malik dan Imam Syafii berkata, saksi bisu boleh diterima jika isyaratnya itu dapat difahami maksudnya.38 Di karenakan itu, maka seksyen 119 (1): telah memperuntukan undangundang bagi orang bisu yaitu: Seksyen 119 (1): Seseorang saksi yang tidak dapat bercakap boleh memberi keterangannya dengan apa-apa cara lain yang dengannya keterangan itu mudah difahami, seperti misalnya, dengan tulisan atau isyarat; tetapi tulisan itu mestilah ditulis dan isyarat itu dibuat dalam mahkamah terbuka.
38
Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, 1997), h.96-97.
Seksyen 88 (1) : Seseorang saksi yang tidak dapat bercakap dibolehkan untuk memberikan keterangannya mengikut apa-apa cara yang menjadikannya boleh difahami seperti dengan tulisan atau dengan isyarat. Seksyen 88 (2): Keterangan yang disebut dalam subseksyen (1) hendaklah diberikan didalam mahkamah terbuka. c. Keterangan seseorang kanak-kanak yang masih muda diterima pakai. Seksyen 133A: menetapkan jika dalam sesuatu prosiding terhadap seseorang karena sesuatu kesalahan, seseorang kanak-kanak yang masih muda yang dipanggil sebagai saksi adalah pada pendapat mahkamah tidak faham apa sebenarnya suatu sumpah itu, keterangannya boleh diterima, walaupun diberi dengan tidak mengangkat sumpah, jika, pada pendapat mahkamah, dia telah cukup akal bagi membolehkan keterangannya diterima, dan dia faham tentang kewajiban berkata benar; dan keterangannya, walaupun diberi dengan tidak mengangkat sumpah, tetapi sebaliknya diambil dan dituliskan menurut seksyen 269 Kanun Prosedur Jinayah bagi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu39 hendaklah disifatkan sebagai suatu deposisi. Pasal 171 KUHAP: menerangkan bahwa terdapat pengecualian pada orang tertentu untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah, yaitu:
39
“Negeri” dapat disamakan sebagai Negara Bagian. Umumnya, Negara Bagian di Malaysia dapat dibagi kepada Negeri-Negeri Melayu Bersekutu, Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu dan Negeri Selat. Negara bagian yang diklasifikasikan sebagai Negeri-Negeri Melayu Bersekutu adalah Selangor, Pahang, Perak dan Negeri Sembilan, yaitu Negeri-Negeri Melayu yang mendapat intervensi Residen secara langsung semasa periode penjajahan Inggris di Tanah Melayu. Manakala NegeriNegeri Melayu Tidak Bersekutu, adalah Kedah, Perlis, Terengganu, Kelantan,dan Johor. NegeriNegeri Selat terdiri daripada Pulau Pinang dan Melaka.
i. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin ; ii. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. d. Pihak-pihak dalam guaman sivil dan istri dan suami sebagai saksi kompeten menurut seksyen120 (2) dan (3). Seksyen120 (2) dalam prosiding jinayah terhadap seseorang, suami atau istri orang itu adalah masing-masingnya saksi kompeten. Manakala bagi seksyen (3) menetapkapkan dalam prosiding jinayah, tertuduh adalah saksi kompeten bagi pihak dirinya, dan boleh memberi keterangan dengan cara yang sama dan punyai implikasi dan akibat yang sama seperti mana-mana saksi lain; dengan syarat bahwa, setakat mana pemeriksaan balas itu berhubung dengan kebolehpercayaan tertuduh itu, mahkamah boleh menghadkan pemeriksaan balas itu setakat yang difikirkan wajar, walaupun pemeriksaan balas yang dicadangkan itu mungkin boleh dibenarkan bagi mana-mana saksi lain.
Di dalam KUHAP, telah ditentukan bahwa kelurga sedarah atau semenda, serta saudara-saudara dari terdakwa sampai derajat ketiga juga suami dan istri terdakwa baik keduanya masih bersama atau telah bercerai, maka kesaksiannya tidak boleh digunapakai. Kekecualian seseorang daripada menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168: i. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; ii. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; iii. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Pasal 160 ayat 3, mengatur bahwa tiap-tiap saksi yang ingin memberi keterangan akan dikenakan sumpah. Ini dikarenakan pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak. Pasal 185 ayat (4) mengatakan bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Ini dinamai kesaksian berantai (kettingbewijs), yang tersebut juga dalam Pasal 300 ayat (2) HIR. Menurut S.M Amin, kesaksian berantai ada dua macam, yaitu sebagai berikut. 1.
Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam satu perbuatan.
2.
Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam beberapa perbuatan.
Contoh bagi kasus kesaksian pertama: Seorang saksi menerangkan bahwa ia melihat si A (terdakwa) pada jam 12.00 tengah hari tanggal 1 Mei 1993 berjalan di Jalan Tebet Barat Raya, Jakarta. Saksi kedua menerangkan bahwa ia melihat si A (terdakwa) masuk ke pekarangan rumah nomor 4 di jalan tersebut pada kira-kira jam 12.00. Saksi ketiga menerangkan bahwa ia melihat si A (terdakwa) menunggu dan naik taksi jam 13.00 tanggal 1 Mei 1993 di tepi Jalan Tebet Barat Raya, Jakarta sambil membawa sebuah televisi. Keterangan-keterangan para saksi tersebut yang berdiri sendiri-sendiri tersebut berantai, dan menjadi bukti bahwa si A telah mencuri sebuah televisi kepunyaan si C di rumah nomor 4 Jalan Tebet Barat Raya, Jakarta yang melaporkan kepada polisi bahwa ia telah kehilangan televisi di rumah tersebut kira-kira pada jam 12.30 tanggal 1 Mei 1993. Menurut KUHAP,“ keterangan satu saksi bukan saksi ”, hanya berlaku pada pemeriksaan biasa dan pemeriksaaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut.“ Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah ”.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar ia mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan bebrapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai ketentuan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut: a) Harus mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sebagian saksi tidak diharuskan mengucapkan sumpah seperti yang ditentukan di dalam UndangUndang Keterangan Malaysia seksyen 133A dan KUHAP pasal 171. b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam Seksyen 47 (1)40 menjelaskan bahwa keterangan lisan hendaklah diberikan secara langsung, iaitu: a)
Jika ia merujuk kepada fakta yang boleh dilihat, maka ia mestilah
keterangan saksi yang mengatakan dia telah melihat fakta itu; b)
Jika ia merujuk kepada fakta yang boleh didengar, maka ia mestilah
keterangan saksi yang mengatakan dia telah mendengar fakta itu;
40
Enakmen Keterangan Mahkamah Syariah (Perak), 2004.
c)
Jika ia merujuk kepada fakta yang boleh ditanggap melalui apa-apa
deria rasa yang lain atau dengan apa-apa cara lain, maka ia mestilh keterangan saksi yang mengatakan dia telah menanggapnya dengan deria rasa itu. KUHAP juga menjelaskan perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27, menentukan, i.
Yang saksi lihat sendiri;
ii.
Saksi dengar sendiri;
iii.
Dan saksi alami sendiri;
iv.
Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan yang terdapat di dalam pasal 185(1). d) Keterangan bilangan saksi. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Jika dilihat pada seksyen 134, ia tidak menkhususkan kuantiti saksi akan tetapi pada pasal 185(2) telah dinyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”.
C. Pemeriksaan Saksi41 Keterangan daripada para saksi merupakan aspek penting dalam menghadapi perbicaraan sesuatu perkara. Tanpanya, maka tuntutan yang dibuat oleh seseorang plaintif atau penafian yang dibuat oleh seseorang responden tidak akan memberikan apa-apa makna. Ketiadaan keterangan atau alat bukti boleh membuka ruang kepada unsur kepalsuan dan penipuan. Begitu juga, keterangan yang diberikan itu, jika tidak di dalami, akan memberikan kesempatan atau peluang kepada orang yang tidak berakhlak untuk mempengaruhi hakim sedangkan alat bukti yang diberikan itu sebenarnya tidak betul dan tidak beretika.42 Karena menginsafi kepelbagaian kemungkinan itu, maka sesuatu keterangan atau bukti mestilah dipastikan baik ia benar atau sebaliknya dan dikarenakan menyadari hakikat kepentingan yang tersebut itu, maka kedudukan saksi perlulah diambil perhatian agar tidak berlaku ketidakadilan kepada mahkamah dalam membuat sesuatu putusan.43 Salah satu aspek yang perlu diambil kira ialah pemeriksaan saksi. Dari segi perundangan, pemeriksaan saksi merupakan pemeriksaan terhadap kejujuran seseorang saksi yang didatangkan oleh pihak pendakwa. Kebolehpercayaan ini 41
“Pemeriksaan saksi” dalam ungkapan Bahasa Inggeris dikenali sebagai examination of witness atau secara umumnya lebih dikenali dengan testimoni saksi. 42
Lihat Hamid Jusoh, Tazkiyah Al-Syuhud, dalam Nasimah Hussin, dkk, Undang-Undang Islam: Jenayah, Keterangan dan Prosedur, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h. 161-162. 43
Ibid
penting bagi memastikan agar tidak timbul sebarang keraguan terhadap diri saksi tersebut. Pemeriksaan saksi merujuk juga kepada satu bentuk pemeriksaan yang dijalankan oleh mahkamah bagi memastikan baik keterangan seseorang saksi yang terkaitan itu boleh diterima atau tidak serta bertujuan untuk mengisytiharkan saksi itu adil atau sebaliknya.44 Ini bagi memastikan bahwa hakim tidak terperangkap dalam menerima keterangan daripada saksi yang fasiq. Walau bagaimanapun, harus diingat bahwa sekiranya seseorang saksi itu telah diketahui akan keadilannya, maka pemeriksaan saksi ini tidak lagi diperlukan. Di Malaysia, dapat dilihat melalui Akta Keterangan 1950 yang terkandung dalam seksyen 135 hingga 166, yang secara keseluruhannya merujuk kepada pemeriksaan saksi tentang fakta yang disaksikan atau yang didengar atau diingati oleh para saksi. Berdasarkan seksyen 135, susunan bagaimana saksi-saksi dikemukakan dan diperiksa hendaklah menurut undang-undang dan amalan yang ada pada masa itu berhubung dengan acara sivil dan jinayah masing-masing, dan sekiranya tiada undang-undang sedemikian, maka susunan itu hendaklah menurut budi bicara mahkamah. Manakala dalam seksyen 137, terkait dengan pemeriksaan utama, pemeriksaan balas, pemeriksaan semula. Dalam subseksyen:
44
Ibid, h.164.
1) Pemeriksaan seseorang saksi oleh pihak yang memanggilnya hendaklah disebut pemeriksaan utamanya. 2) Pemeriksaan seseorang saksi oleh pihak lawan hendaklah disebut pemeriksaan balasnya. 3) Jika seseorang saksi telah diperiksa oleh pihak yang telah memanggilnya, maka pemeriksaan itu hendaklah disebut pemeriksaan semulanya. Dalam seksyen 138 diatur mengenai susunan pemeriksaan dan arahan bagi pemeriksaan semula. Jika dilihat dalam seksyen 138 (1), saksi-saksi hendaklah mulamula
diperiksa
utama,
kemudiannya
diperiksa
ulang
jika
pihak
lawan
menghendakinya, kemudian diperiksa ulang lagi oleh pihak yang memanggil para saksi tersebut. Dalam hal pemeriksaan saksi ini juga dapat dilihat, apabila sesuatu soalan yang berhubungan dengan sesuatu perkara yang tidak relevan dengan guaman atau prosiding perkara itu, maka mahkamah dapatlah memutuskan baik saksi itu boleh dipaksa menjawab soalan itu atau tidak. Pemeriksaan saksi juga telah ditentukan dalam Pasal 160 KUHAP bahwa yang pertama-tama didengar keterangannya, adalah korban yang menjadi saksi. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketentuan dalam pasal itu yang mengatakan bahwa saksi, baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa, yang tercantum dalam surat perlimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. Di muka penyidik, saksi diperiksa dengan tidak diangkat sumpah, kecuali apabila melihat ada cukup alasan untuk diduga bahwa saksi tersebut tidak akan hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. Misalnya jika ada kekhuwatiran bahwa saksi itu dalam pemeriksaan dimuka pengadilan kelak tidak akan dapat hadir karena ia akan meninggal dunia atau akan keluar negara untuk waktu yang lama. Dalam hal yang sedemikian, maka saksi diperiksa dengan disumpah terlebih dahulu. Apabila ternyata saksi tersebut tidak dapat hadir di muka pengadilan, maka berita acara pemeriksaan saksi yang telah disumpah terlebih dahulu itu cukup dibaca di muka pengadilan, dan keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di dalam sidang.45 Dalam hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), di mana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti. Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
45
Ansorie Sabuan,dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), h. 110.
Pasal 162 ayat (1) mengatur bahwa jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang, atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubung dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. Manakala ayat (2) menyatakan jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Seorang saksi dalam memberikan keterangan dalam satu proses sidang, tidak mengecualikannya daripada menjadi seorang terduga atau tersangka yang melakukan tindak pidana. Jika dilihat pada persidangan perkara pidana, dalam usaha mencari kebenaran materiel, tidak jarang ditemukan bahwa sebenarnya saksi tersebut ditenggarai mempunyai indikasi juga sebagai pelaku tindak pidana. 46 Berdasarkan keadaan seperti ini, terhadap saksi yang sedemikian ada dua polarisasi penyelesaiannya. Pertama, Majelis Hakim bisa secara langsung mengeluarkan “Penetapan” dengan titik tolak berdasarkan Pasal 108 ayat (3), bahwa pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya tindak pidana wajib melaporkan kepada penyidik. Dalam konteks ini, argumentasi yang dikemukakan bahwa hakim dapat dikategorisasikan sebagai pegawai negeri sesuai dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 46
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana(Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya), (Bandung: PT. Alumni, 2007), h.176.
2004. Kedua, bahwa karena locus dan tempus delicti hal ini tidak di muka persidangan, kemudian untuk tidak melanggar asas “dominus litis”, Hakim Ketua Sidang lalu memerintahkan Panitera Pengganti mencatat kasus tersebut dalam berita acara sidang dan kemudian ditandatangani oleh hakim serta Panitera Pengganti D. Sanksi Bagi Saksi Palsu Apa yang diharapkan dan dituntut undang-undang daripada seorang saksi, tidak lain daripada keterangan yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, sebagai saksi dan manusia biasa mungkin dipengaruhi oleh motivasi yang sulit diketahui hakim. Mungkin saja saksi mempunyai kepentingan pribadi dalam perkara yang sedang diperiksa, sehingga membuat dia cenderung memberi keterangan palsu. Namun, kadang-kadang
bagaimanapun pandainya menyusun kata-kata palsu, sering
kepalsuan itu tidak dapat disembunyikan.47 Saksi adalah asas utama bagi seseorang hakim untuk memutuskan sesuatu putusan dan menjatuhkan sesuatu hukuman. Oleh yang demikian, ditangan saksilah terletak menang atau kalah pendakwa dalam sesuatu kasus atau perkara yang dibawa ke mahkamah. Ia merupakan senjata bagi pendakwa ini dikarenakan apabila saksi itu benar, maka menanglah pendakwa itu mengikut jalan kebenaran. Dan apabila saksi itu tadi
47
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 195.
memberikan keterangan yang dusta, maka menangnya pendakwa itu secara dusta dan salah.48 Adakalanya didapati para saksi menarik balik penyaksian mereka, ini memberi makna dengan sendirinya mereka mendustakan keterangan penyaksian yang mereka berikan, atau mereka mendakwa telah tersalah dalam memberikan penyaksian. Dalam Seksyen 19149 telah diperuntukkan bagi siapa yang memberi keterangan palsu: Barang siapa, yang terikat di sisi undang-undang oleh suatu sumpah, atau oleh apa-apa peruntukan undang-undang yang nyata supaya menyatakan hal yang sebenarnya, atau yang terpaksa di sisi undang-undang supaya membuat suatu akuan atas apa-apa perkara, membuat sesuatu kenyataan yang palsu, dan yang ia sama ada ketahui atau percayai sebagai palsu, atau yang ia tidak percaya sebagai benar, adalah dikatakan memberi keterangan palsu. Dengan huraian 1: suatu kenyataan baik dibuat secara lisan atau dengan jalan lain adalah termasuk dalam arti seksyen ini. Manakala huraian 2: suatu kenyataan palsu berkenaan dengan kepercayaan orang yang membuat kenyataan itu termasuk dalam arti seksyen ini, dan seseorang boleh jadi melakukan kesalahan memberi keterangan palsu dengan menyatakan bahwa ia percaya suatu perkara yang ia tidak percaya atau dengan menyatakan bahwa ia ketahui sesuatu perkara yang ia tidak ketahui. 48
Idris Ahmad, Fiqh Syafii, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara Sdn Bhd, 1995), h.552.
49
Kanun Keseksaan Akta 574.
Jikalau para saksi itu mengakui di atas tuduhan atau dakwaan bahwa keterangan mereka itu adalah palsu, maka hakim akan mengenakan ke atas mereka hukuman keseksaan yang setimpal dan gantian yang sewajarnya. Sebaliknya jika mereka mengingkari tuduhan itu, sedangkan yang mendakwa atau yang membuat tuduhan itu mempunyai bukti di atas pengakuan mereka, maka hakim hendaklah mendengar keterangan saksi yang mendakwa.50 Memberi keterangan palsu adalah di antara dosa-dosa besar dan Allah melarang keras berdasarkan firmannya yang bermaksud:
g - q☯.pr 0o,F.p "7 Fs
qoE"< 0o,F.p RtX
Artinya: “Maka jauhilah kekotoran syirik yang disebabkan oleh penyembahan berhala, serta jauhilah perkataan yang dusta.” (Q.S. Al-Hajj, 22:30)
Menurut pengarang Subulussalam, bahwa sah bagi hakim menghukum mengikut zahirnya apabila yang mendakwa itu bohong dan saksi-saksinya dusta asal dengan hukum itu tidak menghalalkan perkara yang haram. Dalam surah An-Nisa’, ayat 85 menyatakan sebagai berikut:
\x\y& Mx&@ ⌧2⌧j .v⌧2.*%w u xH{]- A;Wz,5 3Oj :!,1 \x&@ ⌧2⌧j .v⌧2.*%w ,- kN2T 3Oj :!,1 \x&|r&} +$#, = ,?<⌧T ! &(U] FeJ- O:⌧ hk:T 50
Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, 1997), h. 113.
Artinya: “Sesiapa yang memberikan syafaat yang baik nescaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) daripadanya; dan sesiapa yang memberikan syafaat yang buruk, nescaya ia akan mendapat bahagian (dosa) daripadanya. dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. An-Nisa’ , 4:85) Sanksi yang akan dikenakan bagi mana-mana saksi yang memberikan atau membuat keterangan palsu di dalam sesuatu perbicaraan adalah penjara selama tujuh tahun beserta denda. Ini bertepatan dengan seksyen 193. Seksyen 193 menyatakan barang siapa dengan sengaja memberi keterangan palsu pada mana-mana tingkat pembicaraan kehakiman, atau dengan sengaja cipta keterangan palsu bagi maksud digunakan pada mana-mana tingkat pembicaraan kehakiman, hendaklah diseksa dengan penjara selama tempoh yang boleh sampai tujuh tahun, dan boleh juga dikenakan denda. Dengan yang demikian, apabila terdapat penerimaan atau penolakan keterangan dengan cara yang tak wajar, maka tidak ada alasan bagi melakukan perbicaraan yang baru atau pengakasan putusan dalam mana-mana perkara. Ini berdasarkan seksyen 167. Begitu juga dalam Pasal 163 KUHAP, telah ditentukan bahwa dalam hal yang demikian, hakim ketua sidang mengingatkan saksi mengenai hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan di sidang.51
51
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2004), h.239
Karena pelbagai motivasi dan kepentingan, tidak jarang pula keterangan seorang saksi diberikan dengan tidak sebenarnya dan saksi tersebut diduga melakukan “sumpah palsu”. Dalam praktik, terhadap
hal ini Hakim Ketua Sidang
memperingatkan saksi agar menarik balik keterangan palsunya. 52 Hakim Ketua berkuasa bagi memperingatkan secara bersungguh-sungguh kepada saksi supaya mendatangan keterangan yang sebenarnya dan memberi peringatan tentang ancaman pidana yang akan dikenakan sekiranya saksi tersebut memberi keterangan palsu. Sepertimana yang telah diatur dalam pasal 174 ayat (1), apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan
sungguh-sungguh
kepadanya
supaya
memberikan
keterangan
yang
sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. Terhadap hal ini, pasal 174 ayat (4), jika perlu Hakim Ketua Sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai. Mengenai pasal 224 (1), saksi,ahli atau jurubahasa yang menurut undang-undang, dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, maka mereka diancam dalam perkara pidana, penjara paling lama sembilan bulan. Manakala bagi saksi yang menarik diri atau mencabut keterangannya
52
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya), (Bandung: PT. Alumni, 2007), h.175-176.
di muka persidangan, berlakulah ketentuan yang telah diatur dalam pasal 185 ayat (1) dan (6). Kebanyakan fuqaha berpandangan, hakim hendaklah memberi hukuman ta’zir ke atas orang yang telah memberikan kesaksian palsu, apabila ternyata di sisinya bahwa saksi itu telah memberi keterangan palsu dengan sengaja. Adapun bentuk ta’zir dan kadarnya mengikut kepada budi bicara hakim. Menurut al-Mawardi di dalam kitab Adab al-Qadhi, jika hakim membuat pilihan untuk hukuman cambuk, maka cambukan tersebut tidak boleh melebihi daripada sepuluh kali cambuk menurut mazhab Hanbali dan bagi mazhab Syafi’i, tidak boleh melebihi daripada tiga puluh sembilan kali. Hakim juga tidak boleh menjatuhkan hukuman yang berbentuk al- Muthlah yakni penghinaan. E.
Sisi Komparatif Kesaksian menurut Undang-Undang Keterangan dan KUHAP, semestinya
mempunyai kesamaan serta perbedaannya. Walau tidak banyak perbedaannya, penulis akan cuba untuk mencari dan dapat dilihat seperti berikut: 1) Persamaan Dari sudut persamaan, kesaksian merupakan antara lima alat bukti yang sah untuk diterima pakai dan digunakan di dalam pengadilan. Empat alat bukti yang lain adalah pengakuan, qarinah, dokumen dan pandangan para ahli. Selain itu, kanak-kanak di bawah umur dibolehkan untuk menjadi saksi. Kesaksian mereka merupakan kesaksian di bawah sumpah. Penerimaan
kesaksian bagi kanak-kanak yang di bawah umur, telah diatur di dalam seksyen 133A dan pasal 171.Kesaksian orang gila diterima pakai sekiranya kenyataan mereka selari dengan perkara yang dibicarakan di dalam peradilan. Mengenai sanksi yang dikenakan kepada para saksi yang memberi keterangan palsu, Undang-Undang di Malaysia dan Indonesia telah menetapkan penjara sebagai hukuman. 2) Perbedaan Perbedaan antara Undang-Undang Acara Malaysia dan Indonesia tidak banyak yang dapat diuraikan. Walaupun sistem perundangannya berbeda, Malaysia yang menggunakan sistem Common Law dan Indonesia menggunakan sistem Eropa Kontinental, akan tetapi sudut perbedaannya hanya dapat dilihat pada seksyen 134 dan pasal 185 (2) berkenaan bilangan saksi, seksyen120 (2) dan (3) serta pasal 168 berkenaan suami atau istri dalam memberikan keterangan saksi. Walaupun secara asasnya keterangan de auditu tidak diterima, tetapi beberapa pengecualian diiktiraf karena keterdapat desakkan atau memudahkan. Di Malaysia, keterangan ini boleh didapati dalam seksyen 32, manakala di Indonesia dalam pasal 185 (5), ia tidak diterima sebagai alat bukti.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Setelah diteliti kedudukan saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang Keterangan juga yang terdapat di dalam KUHAP, penulis akan memberikan beberapa kesimpulan bagi pembahasan dari penulisan ilmiah ini antara lain: 1. Kedudukan saksi dalam perkara pidana telah diatur dalam Undang-Undang Keterangan Malaysia 1950 mulai dari seksyen 118 hingga 166. Secara kesimpulannya, dari segi pengenalan, saksi boleh diterima apabila seseorang itu melihat, mendengar atau telah menanggapi sesuatu perkara melalui mana-mana deria rasa yang ia miliki. Berkenaan dengan kuantiti saksi, undang-undang ini tidak meletakkan bilangan yang khusus bagi membuktikan sesuatu perkara. Mengenai keterangan saksi yang diberikan oleh orang yang
bisu atau tidak
sempurna otaknya, mahkamah berpendapat keterangan mereka masih boleh diterima selama mana kenyataan tersebut masih bisa difahami. Undang-Undang Keterangan juga telah mengatur berkenaan suami dan istri orang itu adalah masing-masing merupakan saksi yang kompeten. Selain itu, terdapat ancaman bagi mana-mana saksi yang telah mendatangkan keterangan secara palsu. Sanksi yang dikenakan adalah penjara selama tempoh yang boleh sampai pada tujuh tahun beserta denda.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diberlakukan di Indonesia, telah mengatur tentang kedudukan kesaksian bermula dari pasal 185. Di dalam KUHAP, diatur bahwa keterangan daripada seorang saksi tidak memberi makna bahwa terdakwa itu telah bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Manakala keterangan yang diambil daripada saksi yang tidak disumpah, ia tidak merupakan alat bukti. Akan tetapi, apabila keterangan tersebut sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah, maka ia dapat digunakan sebagai alat bukti tambahan. Selain itu, KUHAP juga telah menentukan bahwa kelurga sedarah atau semenda, serta saudara-saudara dari terdakwa sampai derajat ketiga juga suami dan istri terdakwa baik keduanya masih bersama atau telah bercerai, maka kesaksiannya tidak boleh didengar dan mereka ini perlulah mengundurkan diri sebagai saksi. Bagi sanksi saksi yang memberikan keterangan secara dusta, mereka diancam dalam perkara pidana, penjara paling lama sembilan bulan. Ini karena mereka tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya. 3. Komparasi yang telah dilakukaan bagi kedudukan saksi dalam perkara pidana menurut undang-undang yang digunakan di Malaysia dan di Indonesia, dapat dikonklusikan dari sisi persamaan dan perbedaan. Jika dilihat dari segi persamaan, keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah bagi menetapkan sesuatu perkara. Keterangan saksi didatangkan dari pihak penuntut. Selain itu, keterangan saksi kanak-kanak yang dibawah umur boleh diterima dalam
keterangan di bawah sumpah bagi undang-undang di kedua negara tersebut. Manakala dari segi perbedaannya pula, bagi Undang-Undang Keterangan, suami serta istri merupakan saksi yang kompeten sedang dalam KUHAP, suami dan istri, masing-masing diminta untuk mengundurkan diri daripada memberikan kesaksian. 4. Walaupun undang-undang acara Malaysia dan Indonesia tidak sepenuhnya bersumberkan Hukum Islam, akan tetapi ia masih tidak melanggar Hukum Islam dan masih menggunakan serba sedikit tindak pidana Hukum Islam, berdasarkan kedudukan saksi dalam mejadi alat bukti serta kuantiti saksi yang digunakan minimal dua orang seperti yang digunakan di dalam Hukum Islam. B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas dan melihat sudut pandang urgensi dari eksistensi saksi dalam alat bukti, maka penulis merekomendasikan: 1. Sanksi terhadap mereka yang melakukan atau memberikan kesaksian palsu, hendaklah ditingkatkan bagi membanteras atau mengurangkan kasus seumpama ini dari berleluasa. Hal ini dikarenakan penulis merasakan implikasi dan impak yang akan dilalui serta dirasai oleh tersangka amat kuat jika para saksi mendatangkan kesaksian palsu yang apalagi boleh menjatuhkan kredibilitas tersangka sedangkan ia tidak melakukan perkara tersebut. Penulis juga merasakan masih rendahnya denda yang dikenakan bagi mereka yang melanggar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
al-Quran al-Karim Abd Majid, Mahmood Zuhdi. Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syariah di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001. A Adjis, Chairil, dan Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta: Graha Pena, 2007. Ahmad, Idris. Fiqh Syafii. Jil. II. Kuala Lumpur: Pustaka Antara Sdn Bhd, 1995. Ahmadi, Abu, dan Idris Abd Fatah. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Penerjemah Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah, 2006. Al-Ruhaily, Ruway’i. Fiqhu Umar Ibnu Khattab Muwadzinan bi Fiqhi Al-syhuri AlMujtahidin. Penerjemah A.M Basalamah. Fikih Umar 2. Jakarta: Pustaka AlKautsar, 1994. Aziz, Abdul, dkk. Fatwa-fatwa Terkini. Jil.I. Jakarta: Darul Haq, 2005. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. --------------. KUHP&KUHAP, cetXIII. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Hc M.L Hulsman. Sistem Peradilan Pidana (dalam Perspektif Perbandingan Hukum). Jakarta: CV Rajawali, 1984. Ibrahim, Ahmad, dkk. Al-Ahkam Penghakiman dan Kepeguaman. Jil.V. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997. Ibrahim, Said. Qanun Jinayah Syar’iyah. Kuala Lumpur: Darul Ma’rifah, 1996. Ismail, Paizah. Undang-Undang Jenayah Islam. cet.IV. Malaysia: Tradisi Ilmu Sdn. Bhd, 2003.
Jawatankuasa Pendidikan,Dakwah dan Pelaksanaaan Syariah Negeri Terengganu, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah (Hudud dan Qisas). Terengganu: Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Terengganu, 2002. Jaya, Juanda. Halangan-Halangan Pelaksanaan Syariah Islam. Selangor: Maktabah Al- Qardhawi, 1998. Jusoh, Hamid. “Undang-Undang Keterangan Islam dan Perkembangan Pelaksanaannya di Malaysia”. Dalam Nasimah Hussin, dkk. UndangUndang Islam Jenayah, Keterangan dan Prosedur. Jil.XIII. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007. Kamal, Abu Malik. Shahih Fiqh Sunnah. Jil.V. Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006. Karjadi, M dan Soesilo R. Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar (serta Peraturan Pemerintah R.I No.27 tahun1983 tentang Pelaksanaannya). Bogor: Politia, 1988. Lembaga Penyelidikan Undang-Undang. Akta Keterangan1950 (Akta 56) hingga 25 January 2008. Selangor: ILBS, 2008. --------------. Kamus Undang-Undang. Selangor: ILBS, 2008. --------------. Kanun Keseksaan (Akta 574) hingga 25 January 2008. Selangor: ILBS, 2008. --------------. Kanun Prosedur Jenayah (Akta 593) hingga 25 January 2008. Selangor: ILBS,2008. Muhammad, Taqiyuddin Abu Bakar. Kifayatul Akhyar. cet.II. Penerjemah Syarifuddin Anwar dan Mishbah Musthafa, Kelengkapan Orang Soleh. Surabaya: Bina Iman. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana (normatif, teoritis, praktik dan permasalahannya). Bandung: PT Alumni, 2007. Prodjodikoro,Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2003. Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jil.XIII. cet.II. Penerjemah Nor Hasanuddin. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007. Sabuan, Ansorie, dkk. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa, 1990. Saedon, Mahmud. Undang-Undang Keterangan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990. Shaleh, Qamaruddin, dkk. Ayat-Ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Quran. Bandung: CV Penebit Diponegoro, 2006. Suparni, Niniek. Tindak Pidana Subversi (Suatu Tinjauan Yuridis). Jakarta: Sinar Grafika,1991. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet.III. Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Waluyadi. Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003. Yaacob, Abdul Monir. Tinjauan Kepada Perundangan Islam. cet.II. Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia, 1996. Zaidan, Abdul Karim. Sistem Kehakiman Islam( Prinsip-Prinsip Pendakwaan dan Pembuktian). Jil.II. Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid. 1997.