KEDUDUKAN MUFTI DI NEGERI JOHOR (KAJIAN ATAS JABATAN MUFTI DALAM STURUKTUR KETATANEGARAAN NEGERI JOHOR)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I.)
OLEH: SITI HAJAR BINTI ZAINAL NIM: 107045203899
KONSENTRASI SIYASAH SYARI’YYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puji syukur penulis panjatkan kehadrat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis bangga akan hasil penulisan skripsi ini karena dibuat dengan semangat dan perjuangan yang tak kenal lelah. Penulis sangat mengharapkan sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama dapat membangun dan terus memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang lebih sempurna. Pada kesempatan yang sangat berharga ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu. 2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.
3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 5. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Sya’iyyah. 6. Dr. H. M. Taufiki, MA. dan Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing dengan arahan mereka berdua penulis dapat memahami dengan mudah apa yang hendak dikerjakan. 7. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum. 8. Ayahanda Zainal bin Ahmad dan Ibunda Khasnah binti Ahmad yang telah mendidik dan membimbing penulis. 9. Kepada Ust Abdul Hadi Ariffin. 10. Warga Kudqi dan IPA yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust Muhammad Zain Abd Rahman, Hj Wan Ahmadul Badawi bin Tengku Fauzi dan seluruh Ustad, dan Ustadzah juga pelajar Kudqi dan IPA yang tidak dapat penulis sebutkan disini. 11. Kepada keluarga di Malaysia yang telah memberikan dorongan dan motivasi terutama untuk adik-adikku (Siti Nur Zaleha & Md Aizan, Mohd Ramadhan, Siti Hawa, Mohd Nur Solehuddin) penyeri keluarga (Aiman & Aina), nenek dan atok Layang, saudara-saudaraku yang lain (Wak Lah, Wak Mah, Wak Yah, Cik Ali, Cik Odin, Cik Aman, Cik Ila, Mak Long, Pak Ngah, Mok De, Mak Cik Sarim, Pak Li, Mok Su Ita & Mok Su Iza). Dan seluruh penduduk Renggam. 12. Kepada Ust Abdullah & Ustadzah Habibah serta seluruh warga Masriyah. 13. Kepada pihak Jabatan Mufti Johor terutama Ketua Bahagian Fatwa Ust Suhaimi Rebu, Jabatan Mufti Terengganu, yang telah memberi kerjasama dengan baik. 14. Kepada pihak Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia.
15. Teman-teman satu perjuangan baik teman-teman warga Kudqi, IPA, Kidu, Apid, kawan-kawan Indonesia yang telah membantu untuk memahami dan sharing lebih dalam mengenai ketatanegaraan yang membantu kami penerjemahkan bahasa Indonesia serta yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan kepada semua pihak yang umumnya. Penulis menyampaikan harapan yang besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Semoga Allah SWT menjadikan penulisan skripsi ini sebagai satu amal yang baik disisi-Nya.
Jakarta:
10 Maret 2009 M 13 Rabiul Awal 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………….i DAFTAR ISI…………………………………………………………………………ii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7 D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 8 E. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................... 10 F. Metode Penelitian .................................................................... 13 G. Sistematika Penulisan .............................................................. 15
BAB II
KEDUDUKAN MUFTI DALAM KETATANEGARAAN ISLAM A. Kedudukan Mufti, Qadhi, dan Mujtahid ................................... 17 1. Mufti…………………………………………………………. 17 2. Qadhi……………………………………………………….... 19 3. Mujtahid dan Ijtihad…………………………………………. 22 B. Kedudukan Mufti Dalam Ketatanegaraan Islam………………. 23 C. Syarat-syarat Keahlian Mufti Dalam Ketatanegaraan Islam…… 29 D. Pelaksanaan Fatwa Dalam Ketatanegaraan Islam…………….... 32
BAB III
KEDUDUKAN FATWA SEBAGAI SUMBER HUKUM A. Fatwa Sebagai Kekuatan yang Mengikat
1. Fatwa yang diwartakan adalah mengikat…………………… 38 2. Pindaan (Pengubahan) atau Pembatalan Fatwa……………. 43 3. Qaul Muktamad Harus Dipatuhi……………………………. 44 B. Fatwa Sebagai Hukum yang Tidak Mengikat………………….. 45 1. Keputusan Muzakarah yang tidak mengikat………………... 47 2. Fatwa yang Tidak Mengikat Mahkamah……………………. 48 3. Fatwa Selain Daripada Mufti adalah Tidak Mengikat……… 50 4. Akibat Fatwa yang Dikeluarkan Oleh Orang Yang Tidak Berwenang…………………………………………………. 51 C. Proses Penerimaan Fatwa Sebagai Sumber Hukum Negara. 1. Pihak Yang Mengeluarkan Fatwa………………………………… 52 2. Kaidah Pengeluaran Fatwa Di Malaysia…………………………. 53 3. Proses Penyediaan Fatwa Yang Diwartakan…………………….... 54 4. Sumber Rujukan Bagi MengeLuarkan Fatwa……………………. 56 5. Kedudukan Fatwa Sebagai Otoritas Undang-Undang…………….. 56 6. Analisis Permasalahan Dalam Fatwa……………………………... 59
BAB IV
POSISI MUFTI DI NEGERI JOHOR A. Pembentukan,fungsi dan wewenang Jabatan Mufti……………. 63 1. Perlantikan Mufti dan Timbalan Mufti..……………………. 64 2. Fungsi Mufti……………………………………………….... 65 3. Jawatankuasa Fatwa………………………………………… 66 4. Wewenang Jawatankuasa Mufti untuk Menyediakan fatwa... 67 5. Tatacara Pelayanan Kepada Rakyat ………………………... 67 6. Mufti-mufti Johor ………………………………………… 68 B. Tatacara Mengeluarkan Fatwa oleh Jabatan Mufti…………….. 68
C. Hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsaan … 70 D. Hubungan Jabatan Mufti dengan Mahkamah Syari’ah………… 78 E. Posisi Mufti dalam Struktur Ketatanegaraan Negeri Johor ……. 83
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………….. 84 B. Saran……………………………………………………………. 85
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….... 87
LAMPIRAN 1. Carta Organisasi Jabatan Mufti Johor dan Carta Organisasi Bahagian Fatwa 2004. 2. Surat pengesahan wawancara Penulis dengan Pegawai Ketua Bahagian Fatwa Negeri Johor, Ustaz Suhaimi Rebu. 3. Surat permohonan bahan rujukan untuk skripsi dengan Jabatan Mufti Negeri Terengganu. 4. Warta Kerajaan Negeri Johor 31 Januari 2008. 5. Hasil asli jadual imsak dan berbuka puasa bulan Ramadhan September 2008 oleh Jabatan Mufti Johor.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kaum muslimin, secara umum memang tidak pernah bisa lepas dari fatwa. Banyak di antara mereka yang selalu membutuhkan fatwa dalam menetapkan hukum suatu masalah tertentu, tata cara beribadat menurut syari’at dan berbagai persoalan dalam kesehariannya. Bahkan bagi sebagian kelompok masyarakat, tidak sedikit yang dalam beribadah atau pun cara hidupnya hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh ulama yang dipercaya. Lebih dari itu, seseorang yang telah mendengar suatu fatwa namun ia kurang yakin dengan kebenaran fatwa tersebut, dia bisa saja bertanya kepada ulama lain yang dianggap lebih mampu untuk menjawab dan memberikan fatwa yang lebih bijaksana dan menenangkan hati. Karena bagaimanapun juga, suatu kebenaran adalah apa yang membuat hati menjadi tenang. Rasulullah SAW bersabda:
ِ*)ْر+ِ' ا# َََدد%َِ" اَِْْ و# َاَِْ َ اَْ َن إَِِْ اَُْْ وَاَْ َْ إَِِْ اُْ وَاُِْْ َ !َ ك 1 ()3 / ﺏ1+ وﺏ/0 )! أ-)روا Artinya: “Kebaikan (kebenaran) adalah apa yang membuat hatimu tenang dan menjadikan jiwamu damai. Sedangkan dosa adalah apa yang menyesakkan hati dan memunculkan keraguan di dada.” (HR. Ahmad) Fatwa bukanlah sesuatu yang saklek, kaku dan statis. Ia dapat berubah sesuai perubahan zaman, tempat, kondisi dan tradisi. Seperti larangan Nabi kepada para sahabat agar jangan menulis hadits dari dirinya. Sebab beliau khawatir jika hadits tersebut bercampur dengan al-Qur’an. Namun manakala beliau merasa yakin bahwa para sahabat
1
Ahmad bin Hanbal Abŭ Abdullâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muasasah Qurtubah, t.th), juz IV, h. 228, hadits nomor 1803
tidak akan mencampurkan al-Qur’an dengan apa yang beliau sabdakan, maka mereka pun diizinkan menulis hadits.2 Perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam Abu Hanifah dengan kedua muridnya; Abu Yusuf dan Muhammad Hasan, juga merupakan perbedaan waktu dan zaman. Bukan perbedaan hujjah dan argumentasi. Sebab, jika Imam Abu Hanifah menyaksikan realita sebagaimana yang disaksikan kedua orang muridnya, niscaya beliau akan mengatakan apa yang dikatakan oleh mereka, meskipun rentang waktu mereka masih berdekatan.3 Demikian pula dengan Imam al-Syafi’i yang memiliki dua madzhab. Madzhab lama (qaul qadîm) dan madzhab baru (qaul jadîd). Qaul qadîm adalah pendapat-pendapat beliau sebelum ke Mesir dan qaul jadîd adalah pendapat-pendapat beliau setelah mukim di Mesir. Di Mesir, Imam Syafi’i menyaksikan dan mendengar hal-hal baru yang belum pernah beliau dapatkan sebelumnya. Dikarenakan usia, ilmu, dan pengalaman yang semakin matang, beliau pun mengubah ijtihadnya dalam banyak hal.4 Selain itu, fatwa juga bisa berubah dikarenakan karena objeknya. Misalnya, adalah izin yang diberikan Nabi kepada sebagian sahabat, tetapi tidak mengizinkannya kepada sebagian sahabat yang lain. Seperti kasus seorang Badui yang buang air kecil di masjid, di mana beliau mengizinkannya namun tidak mengizinkan bagi sahabatnya yang tinggal di Madinah. Dari contoh dan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya yang paling penting dari sebuah fatwa adalah memperhatikan esensi tujuan syariat. Dengan demikian,
2
Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, diterjemahkan oleh Samson Rahman dkk., Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), cet. I, h. vii 3
Ibid.
4
Ibid.
seorang mufti atau siapa pun yang dimintai fatwa, tidak terjebak pada tekstualitas nash semata, sehingga dia tidak akan mudah dalam mengharamkan atau menghalalkan. Fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan oleh seorang mufti kepada mustafti yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam sejarah perundang-undangan Islam, bahwa sang mufti (pemberi fatwa) pada dasarnya sama kedudukannya dengan seorang hakim (qadhi) yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Perbedaannya adalah fatwa disampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat, sedangkan qadhi menyampaikan hukum melalui putusan hakim atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat.5 Dengan demikian keduanya sama-sama hasil ijtihad dan dapat dikatakan bahwa fatwa yang disampaikan oleh seorang mufti adalah hasil ijtihadnya sendiri atau hasil ijtihad imam mujtahid yang diikutinya. Dengan adanya perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan timbulnya persoalan-persoalan baru yang mana persoalanpersoalan tersebut belum ada hukumnya. Oleh karena itu, hukum Islam yang bersifat shâlihun likulli zamân wa makân harus mampu menjawab berbagai persoalan baru tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka ijtihad perlu dilakukan untuk mencari atau menggali hukum dalam rangka memberikan solusi atas persoalan-persoalan baru tersebut. Salah satu cara dalam rangka memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut adalah dengan memberikan atau mengeluarkan fatwa. Setelah runtuhnya kekhalifahan Islam dan masuknya penjajah dari Eropa yang menyebabkan umat Islam terpecah menjadi berbagai negara, hukum Eropa pun sedikit demi sedikit diterapkan oleh kolonial dan akhirnya hingga saat ini walaupun negaranegara muslim telah merdeka, akan tetapi masih banyak yang menggunakan hukumhukum peninggalan penjajah tersebut. Namun pada perkembangan selanjutnya, umat
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. IV, jilid II, h. 433
Islam di berbagai negara sadar bahwa hukum Islam merupakan hukum yang sesuai dan dapat menjawab berbagai persoalan. Ini menyebabkan banyak gerakan-gerakan yang menyeru dan mengupayakan adanya formalisasi hukum Islam. Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah bahwa di seluruh negara-negara muslim terdapat suatu lembaga keagamaan yang menjadi wadah tempat berkumpulnya para ulama dalam suatu negara dalam rangka memberikan jawaban atau solusi atas permasalahan yang ada yang berkenaan dengan umat Islam. Lembaga ini biasanya dikenal dengan Majelis Ulama yang memberikan fatwa-fatwa berkenaan dengan persoalan umat Islam. Di Indonesia misalnya ada Majelis Ulama Indonesia dan di Malaysia Jabatan Mufti. Jabatan Mufti berkedudukan di setiap negara bagian yang kemudian membentuk menjadi Majelis Fatwa Kebangsaan. Karena lembaga ini bukan merupakan lembaga dalam struktur pemerintahan, maka kekuatan fatwa yang dikeluarkannya pun tidak mempunyai daya ikat seperti undangundang atau putusan pengadilan. Di samping itu lembaga ini juga tidak mempunyai organ yang bertugas untuk mengeksekusi bagi pelanggaran terhadap fatwa. Akan tetapi, fatwafatwa yang dikeluarkan lembaga ini juga sangat berarti karena sangat diperlukan oleh ummat. Bahkan fatwa dapat dijadikan juga sebagai rujukan oleh lembaga negara seperti Kejaksaan di Indonesia misalnya dalam menetapkan aliran-aliran sesat. Di Malaysia fatwa juga dapat dijadikan rujukan oleh hakim Mahkamah Syari’ah dalam memutuskan perkara, fatwa juga dapat dijadikan rujukan atau dasar oleh raja dalam menetapkan suatu persoalan misalnya dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, fatwa juga dapat dijadikan rujukan bahkan ditetapkan sebagai Undang-undang Negara oleh Dewan Undangan Negeri. Malaysia adalah negara yang terdiri dari berbagai golongan, budaya dan agama, maka mufti mengetuai forum dialog antara agama serta menjadi rujukan utama dalam perkara ini. Juga menasihati Badan Berkanun, Pertubuhan Bukan Kerajaan (NGO) dan
masyarakat keseluruhannya berkaitan dengan semua perkara hal ehwal agama dan hukum syara’. Setiap Jabatan Mufti negara bagian dapat mengeluarkan fatwa untuk negara bagiannya sendiri, adakalanya juga Jabatan Mufti di negara bagian berkumpul di Majelis Fatwa Kebangsaan dan mengeluarkan fatwa yang dapat berlaku untuk semua negara bagian (Persekutuan), akan tetapi fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Fatwa Kebangsaan tersebut dalam pelaksanaannya tergantung pada setiap negara bagian, sehingga hal ini dapat menyebabkan adanya perbedaan berkenaan dengan fatwa kebangsaan tersebut. Misalnya Majelis Fatwa Kebangsaan mengeluarkan fatwa bahwa rokok hukumnya haram, akan tetapi ketika mufti anggota Majelis Fatwa Kebangsaan kembali ke negara bagian masing-masing, ada yang memfatwakan bahwa rokok hukumnya tidak haram. Artinya Majelis Fatwa Kebangsaan hanya sebatas mengeluarkan fatwa saja, sedangkan proses pelaksanaan atau wewenangnya adalah berada pada Jabatan Mufti Negara Bagian masingmasing.6 Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa adakalanya fatwa hanya sebatas nasehat yang dijadikan petunjuk oleh mustafti, namun adakalanya juga fatwa dapat dijadikan rujukan atau sumber hukum oleh negara. Bagaimanakah proses fatwa menjadi sumber hukum negara dan bagaimanakah kekuatan hukumnya serta bagaimana hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsan?, ini merupakan persoalan-persoalan yang memerlukan jawaban yang mendalam dan rinci. Oleh karenanya hal ini sangat menarik untuk diteliti, sehingga penulis jadikan penelitian skripsi dengan judul: “KEDUDUKAN MUFTI DI NEGERI JOHOR (KAJIAN ATAS JABATAN MUFTI DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN NEGERI JOHOR)” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
6
IV, h. 82
Ahmad Lutfi Othman, Mufti Lawan Mahathir?, (Kuala Lumpur: Penerbitan Pemuda, 1997), cet.
Sejauh mengenai isu kedudukan mufti dalam pelaksaan fatwa sebagai sumber hukum di Negeri Johor dapat diidentifikasikan sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, antara lain, yaitu: 1. Bagaimanakah kedudukan mufti menurut ketatanegaraan Islam?; 2. Bagaimanakah kedudukan mufti dalam hubungan dengan Majelis Fatwa Kebangsaan?; 3. Bagaimanakah kedudukan mufti di Negeri Johor dan bagaimanakah aplikasi pelaksaan fatwa sebagai sumber hukum di negeri Johor? Dengan mengacu kepada identifikasi masalah di atas, penelitian ini menjadikan masalah yang terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana-kah substansi kedudukan mufti di Negeri Johor dan bagaimanakah aplikasi pelaksanaan fatwa sebagai sumber hukum di Negeri Johor?. Kemudian pokok masalah tersebut dapat diuraikan menjadi tiga sub-masalah, yaitu: 1. Bagaimanakah teoritis tentang mufti dalam dinamika pemikiran ulama?; 2. Bagaimanakah elemen-elemen pokok mufti dari sistem ketatanegaraan Islam?; 3. Bagaimanakah kedudukan mufti di Negeri Johor?
C. Tujuan dan manfaat penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai di antaranya adalah: 1. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh teori mufti dalam dinamika pemikiran ulama; 2. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh kedudukan mufti dalam ketatanegaraan Islam; 3. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh kedudukan mufti di Negeri Johor. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya transformasi hukum ketatanegaraan Islam ke dalam politik hukum per undang-undangan nasional; 2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya pembaruan pemikiran hukum ketatanegaraan Islam dalam konteks Negeri Johor dan kemoderan; 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan kontribusi pemikiran bagi upaya mencari formula yang tepat bagi transformasi hukum ketatanegaraan Islam ke dalam hukum Negeri Johor.
D. Review Studi Terdahulu Dalam kajian pustaka ini, penulis berusaha mendata dan membaca beberapa penelitian dengan bahasan pokok yang berkaitan dengan fatwa dan lembaga fatwa, setidaknya ada beberapa penelitian tentang fatwa yang penulis temukan dalam bentuk skripsi, yaitu antara lain: Skripsi yang ditulis oleh Minwalun Nu’ma, “Peranan MUI Dalam Menjawab Masalah Kontemporer dengan Konsep Sadd-al-Dzariah (Studi Analisa Fatwa MUI Tentang Pengiriman Tenaga Kerja Wanita Ke Luar Negeri).” Skripsi ini menceritakan sejarah fatwa dalam Islam, MUI sebagai institusi fatwa di Indonesia. MUI dalam upaya melahirkan fatwa-fatwa kontekstual yang dapat dipedomani oleh masyarakat di tengah transformasi masyarakat moderen. Skripsi “Fatwa Sahabat Dalam Fiqih Islam (Studi Atas Fatwa Zaid bin Tsabit pada Fiqih Mawaris”, karya Atmu Frawira. Membahas tentang bagaimana para sahabat mengeluarkan fatwa ketika tidak ada nash yang qat’i. Dalam skripsi ini juga kita dapat melihat bagaimana para sahabat seperti Zaid bin Tsabit mengeluarkan fatwa khususnya dalam ilmu mawaris.
Yanto, dengan judul “Metode Ijtihad Majelis Ulama Indonesia Dalam Menetapkan Fatwa. (Studi Kasus Terhadap Fatwa MUI Tentang Aliran Ahmadiyah”, Skripsi ini menceritakan tentang sejarah pembentukan MUI, Struktur Organisasi MUI dan peranan MUI di masyarakat serta metode ijtihad MUI dalam menetapkan fatwa. Dari beberapa skripsi yang membahas tentang fatwa maupun lembaga fatwa yang penulis temukan semuanya tentang MUI di Indonesia, sedangkan kajian tentang Jabatan Mufti di Malaysia belum ada yang membahasnya. Ada beberapa referensi yang sangat relevan untuk penulisan skripsi ini di antaranya: Buku pertama, “Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Johor) 2003 [EN. 16/2003]” yang ditulis oleh Haji Salleh Bin Haji Ahmad, Enakmen yang telah diluluskan dalam sidang dewan Negeri Johor pada 14 November 2007. Buku ini secara spesifik menyusun tentang perlantikan Mufti, fungsi, wewenang Jabatan Mufti Negeri Johor. Buku kedua, “Apa Itu Undang-Undang Islam” karya Ruzian Markom, seorang dosen Fakultas Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia. Antara apa yang dibahaskan ialah tentang kepentingan syariah kepada manusia, sumber-sumber hukum yang disepakati dan tidak disepakati, sejarah pelaksanaan undang-undang Islam di Malaysia, dan Mahkamah Syariah di Malaysia. Buku ketiga, “Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia” karya Mahamad Arifin et al. Buku ini membahaskan perkembangan undang-undang Islam di Malaysia, federalism dan pembahagian kuasa pengubalan undang-undang Islam antara Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri. Buku keempat, “Ushul Fiqh” karya Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin yang membahaskan tentang pengertian dan ketentuan ifta’, mufti, mustafti, fatwa dan berfatwa.
Buku kelima, “Mufti Lawan Mahathir” karya oleh Ahmad Lutfi Othman yang membicarakan tentang kasus-kasus fatwa yang dikeluarkan oleh mufti. Buku ini juga menjawab fungsi sebenar seorang mufti.
E. Kerangka Teori dan Konseptual Bergulirnya semangat pembaharuan terhadap arus pemikiran Islam, khususnya dalam hukum Islam cukup mempunyai pengaruh bagi sikap dan tingkah laku keberagamaan, baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Pada hakikatnya, pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Pemikiran kaum muslimin itu sudah tentu menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberikan pengarahan, ke arah mana pemikiran harus dikembangkan.7 Ada beberapa macam teori-teori tentang fatwa, diantaranya: 1. Menurut Hidayat Ahmad Buang berteori bahwa; Fatwa merupakan otoritas atau rujukan di dalam soal-soal agama yang dipatuhi baik secara kesadaran terhadap agama itu atau kadang-kadang secara perundang-undangan peme-rintah yang mewajibkan fatwa itu diikuti. 2. Menurut Muhammad Khalid Masud menyatakan bahawa fatwa adalah aspek praktikal undang-undang syari’ah, yaitu fatwa yang dikeluarkan oleh mufti sebagai respon kepada persoalan penghidupan yang berlaku. Justeru, fatwa merupakan satu usaha intelek merumuskan prinsip-prinsip syari’ah dari pelbagai sumbernya.
7
vii
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), h.
3. Menurut Profesor Hooker menyebut bahwa fatwa bersifat creative scholas-ticism iaitu perkembangan ilmu Islam tempatan yang kreatif.8 Untuk memudahkan kerangka konsep dalam pembahasan penyerapan fatwa dibawah ini skema konsep hukum Islam yang menjadi landasan dasar dalam melihat penyerapan fatwa Jabatan Mufti Negeri Johor.
Gambar 1. Kerangka Konseptual AL-Quran, as-Sunnah,alIjma’ dan al-Qiyas
Mujtahid (Mufti)
Imam Madzhab
Al-Fiqh al-Munazzal
Ijtihad
Al-Fiqh al-Muawwal
Qanun
Fatwa merupakan suatu perbuatan yang dikeluarkan oleh seorang alim mengenai hukum-hukum yang bersangkutan dengan syari’ah. Jabatan Mufti Johor mentakrifkan sebagai suatu penentuan syar’ie yang tidak didapati nashnya (nash yang tidak jelas yang memerlukan fatwa ataupun tidak ada nash berhubung sesuatu hukum yang diputuskan dengan berdasarkan istinbat iaitu mengambil sesuatu penentuan atau mengeluarkan hukum dan istidlal yaitu sesuatu keputusan yang diambil dengan cara penghujahan atau pendalilan9
8 Ahmad Hidayat Buang, Fatwa di Malaysia, (Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan Undang-undang, 2004), cet I, h. 1 9 Ruzian Markom, Apa Itu Undang-Undang Islam, (Pahang: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd., 2003), cet. I, h. 145
Fatwa atau ijtihad yang dikeluarkan oleh mujtahid (mufti) dapat disebut dengan hukum fikih. Fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.10 Fatwa bisa saja berbeda antara seorang ulama dengan ulama yang lainnya, sehingga hal ini mengakibatkan adanya perbedaanperbedaan pendapat yang pada akhirnya hukum fikih tersebut terbagi kepada madzhabmadzhab fikih. Pada tahap selanjutnya, penyerapan fatwa dilaksanakan oleh negara atau pemerintah yang digarap melalui undang-undang. Dalam pembuatan undang-undang tersebut, pemerintah mengadopsi fatwa yang disebut Qanun.
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Reserch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur,11 karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif.12 2. Objek Penelitian Adapun yang menjadi objek penelitian ini adalah Jabatan Mufti Johor. Ini sangat menarik karena dalam permasalahan fatwa yang dikeluarkan oleh Jabatan Mufti
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid II, h. 3 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), cet. VII, h. 4 11
12
Banbang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), cet. VI, h. 72
Johor ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk dilihat bagaimanakah kekuatan fatwa yang mengikat sebagai hukum atau hanya sekedar nasehat. 3. Pengumpulan dan Jenis Data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumenter dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan objek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer, sekunder dan tertier. Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah Enakmen Pentadbiran Undang-undang Agama Islam (Negeri Johor EN. 16/2003), Buku Fatwa Mufti Kerajaan Johor dan Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia. Sedangkan sumber data sekunder seperti buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian data tertier berupa kamus, jurnal dan artikel. Kemudian untuk menguatkan data-data, penulis dapat melakukan wawancara dengan Jabatan Mufti Johor. 4. Teknik Analisis Data Dalam melakukan analisis terhadap data-data yang sudah terhimpun, digunakan teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif. Yaitu analisis perbandingan antara fatwa yang dikeluarkan oleh Jabatan Mufti Johor dengan fatwa yang pernah dipraktekkan dalam ketatanegaraan Islam.
5. Teknik Penulisan Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I
Berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, teori dan kerangka konsepsional, review studi, metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
Bab II
Membahas tentang konsep Mufti dalam Islam yang meliputi kedudukan antara Mufti, Qadhi, dan Mujtahid, kedudukan Mufti dalam ketatanegaraan Islam, syarat-syarat keahlian mufti
dalam ketatanegaraan Islam dan pelaksanaan
fatwa dalam ketatanegaraan Islam. Dan seterusnya akan dihurai pada bab III. Bab III
Merupakan bab inti yaitu analisis kedudukan fatwa sebagai sumber hukum di Johor, fatwa sebagai kekuatan yang mengikat, fatwa sebagai hukum yang tidak mengikat, dan proses penerimaan fatwa sebagai sumber hukum negara.
Bab IV
Menjelaskan tentang pelaksanaan fatwa oleh Jabatan Mufti Negeri Johor, pembentukan,fungsi
dan
wewenang
Jabatan
Mufti
Johor,
tatacara
mengeluarkan fatwa oleh Jabatan Mufti, hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsaan serta hubungan Jabatan Mufti dengan Mahkamah Syari’ah dan Posisi Mufti dalam struktur Ketatanegaraan Bab V
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II KEDUDUKAN MUFTI DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Kedudukan Mufti, Qadhi dan Mujtahid Kedudukan orang yang mengeluarkan fatwa adalah dilakukan oleh seorang mufti bisa juga oleh beberapa orang mufti. Karena mufti mengeluarkan fatwa melalui ijtihadnya maka mufti adalah mujtahid, apakah ia mujtahid mutlak (mujtahid mustaqil) atau mujtahid madzhab (mujtahid fî al-madzhab). Mufti sebagai mujtahid mutlak dalam mengeluarkan fatwanya tidak terikat kepada madzhab-madzhab yang ada, sedangkan mufti sebagai mujtahid madzhab tetap berdasarkan fatwa kepada pendapat madzhab yang dianutnya seperti Madzhab Maliki, Hanafi, Syafie, dan Hanbali.13 Adapun qadhi adalah pejabat yang diserahi wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memberikan putusan hukum yang berdasarkan syariat Islam yang bersumberkan al-Quran dan al-Hadis terhadap perkara yang diajukan kepadanya di peradilan. Qadhi juga disebut sebagai hakim dalam melaksanakan undang-undang. 14 1. Mufti Kata mufti ("6 ) berasal dari bahasa Arab (orang yang memberi fatwa) berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh umat.15 Menurut Muhamad Iqbal, Mufti ialah seorang yang berwenang untuk memberi suatu fatwa atau pertimbangan berdasarkan religius tentang problem atau persoalan di dalam kehidupan masyarakat Islam sehari-hari.16 Menurut Alex, mufti ialah orang yang dipercayakan untuk memberi fatwa dan juga penasehat 13
Jabatan Mufti Terengganu, Perbedaan Mufti dengan Qadhi, ( Terengganu: Pengarah Bagian Keurusetian dan Perhubungan Antarabangsa Jabatan Mufti Terengganu, 2006), h. 1 14 15
16
Ibid., h. 2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet. IV, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid II, h. 433.
Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 110.
hukum.17 Mufti adalah orang yang melaksanakan fatwa dan perlu dibahas definisi fatwa tersebut yang mempunyai hubungan dengan mufti. Fatwa dari bahasa Arab yaitu Fata – Yaftu - Fatwa atau Futuya
('6# –
76ى – ی76# ) yang bermaksud menjawab perkara-perkara yang menjadi kemusykilan seperti seorang berkata “meminta fatwa daripadanya maka ia pun memberi fatwa”18 Yang secara sederhana dimengerti sebagai “pemberi keputusan”.19 Fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum,
yang
diberikan
oleh
seseorang
yang
mempunyai
otoritas
untuk
melakukannya.20 Menurut istilah fatwa yaitu pemberitahuan tentang suatu hukum syara’ berdasarkan istinbat yang dilakukan oleh seorang Mufti yang mempunyai kewibawaan di dalam ilmu pengetahuan Islam (hukum Islam) untuk memberikan jawaban atas sesuatu permasalahan, walau pun jawabannya itu tidak mengikat.21 2. Qadhi Kata Qadhi berasal dari bahasa Arab yaitu Qadha (':;) yang berarti hukuman yang dijatuhkan dan Qadhi ialah orang yang menjatuhkan hukuman atau seseorang yang membuat putusan dalam sesuatu perkara.22 Sedangkan dalam bahasa Indonesia Qadhi dan Hakim mempunyai pengertian yang sama. Menurut istilah syara’, Qadhi ialah orang yang bertindak menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara dua pihak
17
Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, (Surabaya: Karya Harapan, 2005), h. 418.
18
Ibrahim Najaib Muhammad Iwad, al-Qadhâ fî al-Islâm, (Kairo: Majma’ al-Buhuts alIslâmiyyah, 1975), h. 10. 19
Pengantar M. Quraish Shihab dalam buku M. B Hooker, Islam Madzhab Indonesia, FatwaFatwa dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2003), cet II, h. 16 20 21
22
Ibid., h. 21 Jabatan Mufti Terengganu, Perbedaan Mufti dengan Qadhi, h. 2.
Abdul Salam Muhammad Na’im, Nazariyah al-Dawa, (T.tp.:Mathba’ah al-Muqaddimah alIslâmiyah, t.th.), h. 41
atau lebih di dalam masyarakat.23 Hukuman atau penyelesaian yang diberikan oleh Qadhi hendaklah berdasar-kan hukuman syara’ dan wajib diterima dan dilaksanakan dengan patuh.24 Tugas Qadhi ialah melaksanakan keadilan, oleh karena itu seseorang Qadhi hendaklah menjaga tindak-tanduk dan sikapnya dari segala perkara yang bisa menimbulkan keraguan tentang keadilan hukumannya dan kebersihan peribadinya. Qadhi tidak boleh terpengaruh atau dipengaruhi oleh keadaan sekeliling atau oleh tekanan dari pihak manapun dalam bentuk apapun.25 Di bawah ini penulis sertakan adab-adab Qadhi: a) Tidak boleh menerima undangan khusus Undangan terbagi kepada dua bagian yaitu undangan khusus dan undangan umum. Yang dimaksud dengan undangan khusus menurut pendapat sebagian ulama’ ialah undangan yang jumlah orangnya di antara lima hingga sepuluh orang, jika lebih dari itu disebut undangan umum.26 b) Tidak boleh menerima hadiah Hadiah ialah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa meminta syarat pertolongan atau menyampaikan sesuatu maksud atau melaksanakan kehendaknya. Namun demikian, al-Imam al-Mawardi berpendapat bahawa Qadhi tidak boleh menerima hadiah dari siapa pun, baik dari orang yang mempunyai kesalahan maupun sebaliknya.27
23
Mahmud Saedon A. Othman, Peranan Prinsip “Adabul Qadi” dalam kehidupan Qadi dan semasa bertugas di Mahkamah, Jurnal Hukum Jilid II Bagian II, (Mei 1982), h. 173. 24
Ibid. Abŭ Hasan Ali ibnu Muhammad al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1960), h. 75 25
26 Muhammad Amin Ibn ’Abidin, Hasyiyyah Rad al-Mukhtar, (T.tp.: Matba’ah Mustafa halabi, 1966), jilid V, h. 374
c) Tidak boleh menerima rasuah (suap) Rasuah ialah pemberian seorang yang bersalah kepada Qadhi agar tidak menjatuhkan hukuman kepadanya atau diringankan hukumannya. Rasuah atau memberikan suap kepada Qadhi terbagi dua macam, yaitu: pertama haram suapmenyuap ketika hendak menjadi qadhi dan kedua rasuah diberikan kepada Qadhi supaya hukuman diringankan atau dibebaskan.28 d) Tidak wajar mengeluarkan fatwa Menurut jumhur Ulama’ tidak harus bagi Qadhi mengeluarkan fatwa dalam suatu perkara yang kemungkinan akan menjadi kasus yang akan diselesaikannya di Mahkamah nanti. Karena fatwanya itu bisa menurunkan kewibawaannya. Proses penetapan hukum melalui fatwa adalah berbeda dengan proses penetapan hukum melalui Mahkamah. Hukum yang lahir melalui fatwa adalah bersifat umum sedangkan hukum yang lahir melalui peradilan Mahkamah bersifat khusus. Jika Qadhi telah menyatakan pendapatnya atau fatwanya dalam suatu kasus seperti itu ada kemungkinan hukum kasus tersebut melalui pembuktian di Mahkamah akan berbeda dengan fatwanya. Kalau hal ini terjadi, kepercayaan terhadap Qadhi akan menurun dan akan menjatuhkan kedudukan Qadhi karena hukumannya telah bertentangan dengan fatwanya. Sebaliknya jika berlaku hukumannya melalui pembuktian mahkamah tidak bertentangan dengan fatwanya ini juga dapat menimbulkan prasangka (image) yang tidak baik yaitu mungkin Qadhi telah terikat dengan fatwanya yang terdahulu.29 3. Mujtahid dan Ijtihad
27
Ibid. Mahmud Saedon A. Othman, Peranan Prinsip “Adabul Qadi” dalam kehidupan Qadi dan semasa bertugas di Mahkamah, h. 180 28
29
60
Muhammad Salam Madkur, Al-Qada fî al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdiyah al-Arbiyyah,1966), h.
Ijtihad menurut bahasa adalah usaha yang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu atau mencurahkan seluruh kemampuan dalam segala perbuatan.30 Dari sudut istilah, ulama-ulama mengemukakan beberapa pengertian antara lain ialah as-Syeikh Tajuddin al-Subkiy, seorang ahli ushul fiqh menyatakan, “Ijtihad adalah mencurahkan usaha yang maksimal untuk memperoleh pengetahuan peringkat zanni tentang sesuatu hukum syara’.31 Adapun pengertian Mujtahid ialah orang yang mampu membuat kesimpulan hukum-hukum syara’ yang berbentuk amali dari dalil-dalilnya secara detail (rinci).32 Ijtihad disyariatkan dalam hukum Islam karena masalah yang hendak diselesaikan begitu banyak, sedangkan nash-nash terbatas maka hendaklah diselesaikan masalahmasalah tersebut melalui ijtihad. Syarat-syarat berijtihad ialah Islam, adalah (adil), menguasai nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang berkaitan dengan hukum, mengetahui bentuk-bentuk nash al-Quran dan as-Sunnah, baik yang umum, khusus, mufassal, mujmal, muqayyad, mutlak, nasikh dan mansukh, menguasai bahasa Arab dengan baik serta susunan dan pengertiannya serta mengetahui masalah-masalah yang disepakati oleh mereka mengenainya.33 B. Kedudukan Mufti dalam Ketatanegaraan Islam Pada awalnya kata ‘fiqh’ digunakan dalam setiap perkara yang difahami dari nashnash al-Quran dan as-Sunnah mengenai akidah, akhlak atau masalah yang bersifat praktis. Tasyri’ pada zaman Rasulullah SAW semuanya dengan cara wahyu. Di samping itu
30
Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihâd fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Nazarat al-Tahliliyyah fî alIjtihâd al-Mu’âsir, (Kuwait: Dâr al-Arqâm, 1979), cet. II, h. 11 31
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: Mustapa al-Halabi, t.th), h. 199
32
Ibid
33
Ibid., h. 234
terkandung di dalamnya kaidah ‘ammah’ dan ‘hukum-hukum yang mujmal’.34 Adalah menjadi tugas Nabi untuk memberi uraian dan penjelasan seperti firman Allah SWT dalam surah al-Nahl/16 ayat 44:
% !"# $ ,-./ ()*+ #&$'$ 7 8#!& 6 4 45 01!2 BC$DE%⌧GHI 9:>?@5(A*$ 9:<9=*+
(44 :16 /<=)ا
Artinya: (Kami utuskan Rasul-rasul itu) membawa keterangan-keterangan yang jelas nyata (yang membuktikan kebenaran mereka) dan kitab-kitab suci (yang menjadi panduan); dan Kami pula turunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Al-Quran yang memberi peringatan, supaya Engkau menerangkan kepada umat manusia akan apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya. (QS: Al-Nahl ayat: 44). Penjelasan yang diberikan oleh baginda dinamakan sebagai as-Sunnah. Jika demikian apakah baginda melakukan ‘ijtihad’ dan mengeluarkan ‘fatwa-fatwa’ bagi menjelaskan sesuatu perkataan seperti di atas. Terdapat beberapa contoh baginda berijtihad. Misalnya dalam peperangan Badar35 yang berakhirnya dengan kemenangan telah timbul masalah tawanan perang dan tiada wahyu mengenainya. Baginda telah meminta pendapat sahabat-sahabat. Abu Bakar menyatakan mereka itu adalah kaum keluarga dan bagi mereka yang bertaubat dapat diambil fidyah daripada mereka. Umar pula berkata bahawa, “Mereka telah membenci dan menghalau kamu, maka dan hendaklah leher mereka dipancung. Baginda Rasulullah SAW menerima pendapat Abu Bakar.36 Wahyu turun membetulkannya dengan ayat dalam Surah al-Anfal ayat 67: GRD'* PQ%I P$' KCLMNO BC/⌧J 6 T [9\2] Z0 BWXYDI TLUV( %#=S$' ` $ )&\^ [D BC$>^I A d#IeD ` $ % aNbc2( >^I DI (67 :8/ لD )اfb%( Artinya: “Tidaklah patut bagi seorang Nabi mempunyai orang-orang tawanan sebelum ia dapat membunuh sebanyaknya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
34
Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqh al-Islami, (Kaherah: Dâr al-Nahdah alArabiyyah,1963) h.61 35 36
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (T.tp: Dâr al-Fath, 2004), Jilid I, h.126. Ibid.
dunia (yang tidak kekal) sedang Allah menghendaki (untuk kamu pahala) akhirat. Dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”(QS. AlAnfal/8: 67) Ini memperlihatkan bahawa baginda Rasulullah SAW melakukan ijtihad dalam perkara yang wahyu tidak diturunkan. Menurut pendapat yang rajih dikalangan fuqaha’, baginda juga dapat berijtihad dalam perkara yang ada wahyu dalam hukum-hukum syarak. Contoh di atas menjelaskan bahwa sebahagian sahabat melakukan ijtihad pada zaman Rasulullah SAW mereka menjatuhi hukum dalam pertikaian dan perselisihan. Mereka ini melakukannya semata-mata untuk melaksanakan hukum-hakam dalam penghakiman dan ifta’. 1. Hubungan Antara Ijtihad dan Fatwa Hadis yang selalu dijadikan hujah sebagai dalil membenarkan ijtihad adalah hadis Mu’az bin Jabal.37 Lalu baginda membenarkan Mu’az berijtihad apabila telah berusaha mencari jawaban dari nash al-Quran dan as-Sunnah tidak berhasil, maka diizinkan ijtihad. Dalam hadits tersebut dikisahkan:
K ; ل "آ/ ذا إ' ا3 H3 أراد أن یE و0 F ﺹ' اFل ا7Eأن ر F ب ا6" آ# )T% نS# " ; لF ب ا6R" ﺏ:; ء ؟ " ; ل أ:; N ض0 " إذا:% Fل ا7E ر1E "# )T% نS# " ; لE و0 F ﺹ' اFل ا7E ر1U# ؟ " ; ل "# +; أD ) 7X D) رأی" وV6 ؟ " ; ل أﺝF ب ا6" آ# D وE و0 Fﺹ' ا [#ي وZ اF )= و; ل "ا- ﺹ)رE و0 F ﺹ' اFل ا7Eب ر:# ( دV6اﺝ 38 "Fل ا7E یﺽ" رFل ا7Eل ر7Eر Artiny: “Bahwasanya Rasulullah SAW ketika hendak mengutus Mu’az ke Yaman bersabda: Bagaimana engkau menghukum jika dihadapkan kepadamu sesuatu masalah? Mu’az menjawab: Saya akan menghukum berdasarkan Kitabullah. Baginda bertanya lagi: jika engkau tidak menemukannya di dalam Kitabullah? Jawab Mu’az: saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah. Baginda bertanya lagi: Jika engkau tidak menemukannya di
37
Ahmad Syalabi, Sejarah Perundangan Islam, (Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., 1986), cet.
I, h. 179 38
Sulaiman bin al-‘Asy’ats Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (T.Tp: Dar al-Fikr, t.th.), juz II, h. 327 hadits nomor 3592
dalam sunnah Rasulullah?. Jawab Mu’az: Saya akan berijtihad. Rasulullah SAW menepuk dadanya sambil bersabda: Syukur kepada Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah kearah yang diridhai oleh Rasulullah”. (HR. Abu Daud). Ijtihad Nabi dalam hukum-hakam adalah jawaban dari perselisihan atau pertanyaan tentang sesuatu permasalaan dan mendapatkan fatwa. Ada pendapat mengatakan baginda menjadikan ijtihad sebagai sumber ketiga hukum.39 Tujuan Nabi membenarkan ijtihad adalah sebagai petunjuk dan penjelasan kepada sahabat dan fuqaha’ cara istinbat hukum. Ulama usul fiqh menerima fatwa sahabat sebagai salah satu sumber perundangan Islam, bagaimanapun mereka berbeda pendapat tentang status otoritas fatwa tersebut. berdasarkan pendapat jumhur fuqaha’ sunni, fatwa sahabat merupakan hujah setelah nash al-Quran dan as-Sunnah. Ini disebabkan beberapa perkara, diantaranya fatwa sahabat dikeluarkan setelah mereka mendengar dari Rasulullah SAW, mereka lebih memahami Al-Quran dan juga mereka lebih memahami bahasa dan maksud yang jelas berkenaan dengan keadaan dan persekitaran pada zaman Rasulullah SAW.40 Ada pendapat mengatakan terdapat lebih daripada 130 orang sahabat Rasulullah SAW lelaki dan perempuan yang pernah mengeluarkan fatwa.41 Khulafa’ al-Rasyidun adalah mereka yang terdiri daripada kalangan sahabat-sahabat, ketika memimpin negara dan apabila tidak terdapat hukum mengenai sesuatu masalah dalam al-Quran dan al-Hadis, mereka berijtihad dan mengeluarkan fatwa dan fatwa itu menjadi hukum yang diikuti. Umar ibn al-Khattab adalah khalifah yang banyak
39
Abdul Munir Yaacob, Kepelbagaian Fatwa: Kekuatan Atau Kelemahan?, (Kuala Lumpur, t.p, 2006), h.193. 40 Osman Ishak, Fatwa Dalam Sistem Pemerintahan dan Kehakiman dalam Mufti dan Fatwa, (Kula Lumpur: IKIM, 1998), h. 10 41
Abdul Monir Yaakob, Kepelbagaian Fatwa: Kekuatan Atau Kelemahan?, h.193.
mengeluarkan fatwa. Adakalanya fatwa yang dikeluarkan oleh beliau berbeda dengan pendapat sahabat yang lain.42 Sebagai contoh apabila negara Iraq dan Syam telah dibuka oleh tentara Islam dan kemudian timbul persoalan tentang apa yang hendak dilakukan terhadap tanah tersebut ada pendapat yang mengatakan tanah tersebut harus dibagikan seperti hukum ghanimah.43 Bagaimanapun Umar dan beberapa orang sahabat berpendirian agar ditetapkan kepemilikannya kepada pemilik asal dengan mengeluarkan pajak (kharaj).44 Abdullah bin Abbas r.a. memberi fatwa bahwa sah nikah mut’ah ketika darurat, Ali dan Jabir berpendapat ia tetap tidak sah. Sebab perselisihan adalah karena Nabi memberi rukhsah sebelum Khaibar dan melarangnya sebelum fath Makkah. Setelah itu diberi rukhsah dalam peperangan Awtas, selepas itu dilarang seperti semula, mengikut Ibn Abbas diberi rukhsah ketika darurat dan dilarang apabila tidak ada darurat.45 Usman r.a memberi fatwa bahwa perempuan yang dikhuluk tidak ada iddah, dan cukup dengan suci sekali haid. Sahabat yang lain berpendapat khuluk adalah talak. Maka diharuskan beriddah seperti perempuan yang ditalak.46 Hubungannya antara ijtihad dengan fatwa adalah fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat disimpan dalam ingatan dan disampaikan kepada sahabat yang muda dan tabiin. Apabila mereka mengeluarkan fatwa, mereka berfatwa dengannya. Apabila fatwa dikeluarkan oleh sahabat dalam perkara yang boleh diijtihad maka ulama sepakat mengatakan bahawa fatwa itu tidak menjadi hujjah ke atas sahabat-sahabat
42 43
Ibid., h. 194 Sayid sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid IV, h. 51
44
Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean,(Negeri Sembilan: INFAD, 2006), h. 4 45
Sayid sabiq, Fiqih Sunnah, Ibid.
46
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III, h. 199
yang mujtahid karena ijma’ sahabat membolehkan perbedaan dikalangan mereka. Adapun fatwa dari selain sahabat, menurut Imam Syafi’i dan jumhur ulama ushul, ia bukan hujjah yang wajib beramal dengannya.47 Dalam membicarakan tentang kedudukan mufti ada baiknya penulis menyebut nama-nama mereka yang pernah menjadi mufti dalam sejarah Islam. Mufti dari penduduk Madinah ialah ummul mukminin Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq, Abdullah bin Umar bin al-Khattab al-A’dawi al-Quraisyi, Abu Hurairah Abdur Rahman bin Shakhr al-Dausi, Sa’id al-Musayab al-Makhzumi, Urwah bin Zubair bin Awwam al-Asadi, Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Harith bin Hisyam alMakhzumi, Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib al-Hasyimi, Ubaidullah bin Abdillah bin Uthbah bin Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yassar, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Muhammad bin Muslim yang terkenal dengan Ibnu Syihab az-Zuhri, Abu Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain yang terkenal dengan al-Baqir, Abu Zunad Abdullah bin Dzakwan, Yahya bin Sa’id al-Bushiri, Rabi’ah bin Abdur Rahman Faruh. 48 Sedangkan mufti dari penduduk Mekah adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib, Mujahid bin Jabr, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abu Rabah dan Abu Zubir Muhammad bin Muslim bin Tadarus. Mufti dari penduduk Kufah, AlQamah bin Qais an-Nakha’i, Masruq bin Ajda’ al-Hamdani, Ubaidah bin as-Silmani al-Muradi, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’i, Syuraih bin Harith al-Kindi, Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i, Sa’id bin Jubair dan Amir bin Syarahil asy-Sya’bi. 49
47
Ibid, h. 195
48
Hudhari Bik, Tarîkh al-Tasyri’ al-Islami, Penerjemah Mohamad Zuhri, Sejarah Pembinaan hukum Islam, (Indonesia:Darul Ihya’,t.th), h. 301 49
Ibid., h. 315
Mufti dari kalangan penduduk Basrah, Anas bin Malik al-Asy’ari, Abu ‘Aliyah Rafi’ bin Mahram ar-Rayani, Hasan bin Hasan Yassar, Abu Sya’tsa bin Zaid, Muhammad bin Sirin dan Qatadah bin Di’amah ad-Dausi. Seterusnya mufti dari penduduk Syam, Abdur Rahman bin Ghunmin al-Asy’ari, Abu Idris al-Khulani ‘Aidzullah bin Abdullah, Qabishah bin Dzuaib, Makhul bin Abi Muslim, Raja’ bin Hayah al-Kindi, Umar bin Abdul Aziz bin Marwan. Mufti dari penduduk Mesir, Abdullah bin Amr bin Ash, Abul Khir Martsad bin Abdullah al-Yazini, Yazid bin Abu Habib maula al-Azdi.50 Dari penduduk Yaman, Thawus bin Kaisan al-Jundi dari Abna’, Wahab bin Munabbih ash-Shan’ani, Yahya bin Abu Kathir maula Thayi’.51
C. Syarat-syarat Keahlian Mufti dalam Ketatanegaraan Islam Menurut Dr. Uthman El-Muhammady, Felo Amat Utama Akademik, ISTAC, UIAM dalam tulisannya: “Kaedah-kaedah dan Adab-Adab Mengeluar-kan Fatwa”, mengutip dari Imam Nawawi membahas bahwa seorang mufti itu hendaklah zahir kewarakannya, terkenal dengan keagamaannya yang zahir padanya dan penjagaan dirinya yang sangat nyata. Imam Malik dalam amalannya ia tidak melazimkan atas orang ramai dan ia berkata: orang alim itu tidak melazimkan atas orang ramai.52 Menurut Imam Ghazali seorang mufti itu hendaklah seorang yang mempunyai sifat ‘adalah (adil) yaitu menjauhi kemaksiatan. Diisyaratkan bagi membolehkan orang ramai berpegang pada fatwanya, maka siapa yang tidak
‘adalah maka tidak diterima
fatwanya.53
50 51
Ibid., h. 137
Ibid., h. 320 Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean,(Negeri Sembilan: INFAD, 2006), h. 4 52
Menurut Imam Nawawi lagi, mufti itu hendaklah seorang mukallaf, muslim, berkepercayaan, aman dari sifat-sifat yang dicurigai, bersih dari faktor-faktor kefasikan, dan perkara-perkara yang merusak maruah diri, jiwa yang faqih, berfahaman sejahtera, berfikiran jernih, sahih urusannya dan cara istinbatnya serta bersikap penuh waspada, sama ada merdeka atau hamba, wanita dan buta, juga yang bisu bila ia menulis dan boleh difahami isyaratnya.54 Dalam hubungan dengan memberi fatwa menurut Jad al-Haqq ‘Ali Jad al-Haqq, dalam madzhab Hanafi bahwa tidak wajib memberi fatwa berkenaan dalam perkara yang tidak berlaku dan haram mengambil sikap bermudah-mudah dalam mengeluarkan fatwa dan jangan mufti mengikut hawa nafsunya sendiri, dan janganlah ia memberi fatwa itu melainkan ahli ilmu yang mengetahui qaul-qaul (pendapat) ulama dam mengetahui dari mana mereka mengeluarkan pandangan itu. Jika ada khilaf dalam perkara yang berkenaan jangan ia memilih sesuatu qaul itu sehingga ia mengetahui hujjahnya. Orang yang berfatwa itu hendaklah Muslim yang baligh, berakal, yang hafiz, riwayat-riwayat teguh dalam ilmunya, menjaga diri dalam ketaatan dan mengelak diri daripada kemaksiatan dan syubhat. 55 Beliau menyebutkan bahwa mufti itu harus ada lima sifat yaitu berfatwa karena Allah semata-mata bukan karena pangkat dan kedudukan atau karena diperintah oleh ulul amri (pemerintah), keduanya, seorang mufti melakukan yang demikian itu dengan pengetahuan beserta dengan sifat hilm (lemah-lembut), sifat agung dan tenang. Ketiga, harus teguh mengikut apa yang ada pada ilmunya. Keempat, cukup keperluan dalam hidup
53
54
Ibid., h. 5
Ibid., h. 6 Uthman El-Muhammady, Kaedah-kaedah dan Adab Mengeluarkan Fatwa, dalam Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean, h. 12 55
sehariannya. Akhirnya, mufi harus tahu sifat, keadaan jiwa dan peribadi orang yang meminta fatwa. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa mufti itu memberi fatwa dengan memberi bimbingan kepada jalan yang benar dan fatwanya bersifat islah atau perbaikan di kalangan orang banyak, tidak mengikut jalan keras malah bersedarhana sesuai kemampuan.56 Kesimpulan daripada syarat-syarat dan kelayakan mufti di atas dapat difahami bahwa institusi mengeluarkan fatwa merupakan satu daripada institusi yang paling pokok dalam peradaban umat ini. Bahkan menurut Imam Nawawi r.a. institusi fatwa adalah institusi pewaris kenabian karena ia memberi panduan kepada umat. Beliau menyatakan ‘al-mufti warits al-anbiya’.57
D. Fatwa Dalam Ketatanegaraan Islam Di zaman Rasulullah SAW terdapat tiga sumber perundangan Islam yaitu al-Quran, al-Hadis dan ijtihad. Apabila seorang qadhi mengeluarkan fatwa atas suatu kasus atau masalah, ia terlebih dahulu mencari hukumnya di dalam al-Quran dan menghukum sesuai dengannya. Sekiranya tidak ditemukan hukumnya di dalam al-Quran ditinjau dari hadis dan menghukum. Setelah Rasulullah SAW wafat terdapat satu sumber perundangan Islam yang penting yaitu ijma’ para sahabat. Apabila seseorang qadhi diajukan kepadanya sesuatu masalah, ia akan mencarikan hukumnya di dalam al-Quran. Jika tiada, ia akan mencarinya di dalam hadis, jika tiada juga, ia akan mencarinya di dalam ijma’. Jika di dalam ijma’ juga tidak terdapat hukumnya maka ia akan berijtihad dan menghukum mengikut hasil ijtihadnya itu.58 1. Periode Rasulullah s.a.w (610 M-632 M) 56 57
58
Ibid Ibid., h. 13 Ahmad Syalabi, Sejarah Perundangan Islam, h. 5
Pada periode ini terdapat 2 pasca perundangan, yaitu Mekah dan Madinah.59 Pasca di Mekah berlaku selama 13 tahun. Pada periode ini per-undangan tertumpu pada hal-hal keimanan, aqidah, kepercayaan dan akhlaq. Pasca di Madinah berlaku setelah penghijrahan Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya ke Madinah selama 10 tahun yang mana proses perundangannya mencakup keseluruhan konsep aqidah, akhlaq serta konsep politik dan bernegara. Sumber perundangan pada zaman ini adalah wahyu al-Quran dan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi SAW yang disebut assunnah.60 Kaidah perundangan pada zaman Nabi Muhammad SAW adalah berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW Apabila satu masalah timbul beliau akan menunggu wahyu. Antara contoh ayat yang diturunkan sebagai menjawab persoalan yang dikemukakan ketika mana kasus berlakunya peperangan pada bulan yang diharamkan. Surah al-Baqarah ayat 217 yang bermaksud;
9
D M^pq$ m =o⌧J l 7 2/ u Gt-$ rK)o(s ِ .... j (x ^v(☺ $
(217 :2/)اة Artinya: “Mereka bertanya kepadamu wahai Muhammad, mengenai hukum berperang dalam bulan yang dihormati; katakanlah, peperangan dalam bulan itu adalah berdosa besar, tetapi perbuatan menghalangi (orang-orang Islam) dari jalan Allah dan perbuatan kufur kepadanya dan juga perbuatan menyekat orang-orang Islam ke Masjidil Haram…” (QS: al-Baqarah/2: 217) Apabila tidak ada wahyu diturunkan terhadap persoalan yang diajukan kepadanya, maka beliau akan berijtihad berdasarkan keterangan dan bukti-bukti yang zahir. Sebagai contoh dalam kasus berwudhu’ dengan air asin. Dalam satu peristiwa, Nabi Muhammad SAW ditanya “Wahai Rasulullah! Kami belayar di lautan dan 59 Ruzian Markom, Apa itu Undang-Undang Islam, (Pahang: PTS Publication & Distributors SDN.BHD, 2003), h. 79 60 Ibid., h. 80
sekiranya kami mengambil wudhu’ dengan air tawar, kehausanlah kami. Bolehkah kami mengambil wudhu’ dengan air asin?”. Beliau menjawab, “Ia adalah air suci dan kejadian Allah, oleh karena itu ia halal.” Lanjutan dengan kasus berhutang puasa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas seorang perempuan berjumpa Nabi Muhammad SAW dan mengadu yang ibunya meninggal dunia tetapi masih menanggung kewajiban berpuasa ganti selama sebulan. Perempuan itu bertanya kalau boleh dia berpuasa bagi pihak ibunya. Nabi Muhammad membandingkan puasa itu dengan hutang dan bertanya sama ada perempuan itu boleh menjelaskan hutang itu atau pun tidak. Apabila perempuan itu menjawab secara positif, Nabi Muhammad SAW lantas berkata, “Hutang kepada Allah adalah lebih utama dijelaskan.” 61 Kasus anak hitam. Abu Hurairah meriwayatkan, seorang lelaki daripada bani Fazarah datang berjumpa Nabi Muhammad dan mengadu isterinya melahirkan anak yang berwarna hitam kulitnya, sedangkan dia dan isterinya berkulit putih. Nabi Muhammad SAW membandingkan kejadian ini dengan unta yang dimiliki oleh lelaki itu dan bertanya sama ada warna kehitaman ada dikalangan untanya. Apabila lelaki itu mengaku adanya kehitaman pada untanya, Nabi Muhammad s.a.w bertanya lagi berhubung asal usul lelaki itu. Lelaki itu menjawab kemungkinan ada kaitan dengan keturunannya. Lalu Nabi Muhammad SAW menyampuk kemungkinan yang sama berlaku pada anaknya. Kasus mencium isteri pada bulan Ramadhan. Umar al-Khattab menceritakan kepada Nabi Muhammad SAW beliau mencium isterinya pada siang hari pada bulan Ramadhan dan bertanya apakah perbuatannya itu membatalkan puasa. Beliau bertanya balik, “Adakah merusak puasa
61
Ibid., h. 81
kalau berkumur?” Umar Menjawab, “Tidak
mengapa.” Nabi Muhammad SAW berkata kepadanya, “ Demikian juga mencium isteri pada bulan Ramadhan.”62 2. Periode Khulafa’ ar-Rasyidin (11H-40H) Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, tampuk pemerintahan diambil alih oleh khulafa’ ar-rasyidin, mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Pada zaman ini berlakunya perluasan kuasa Islam sehingga Syria, Jordan, Egypt, Iraq dan Parsi. Oleh itu, masyarakat Muslim berhadapan dengan sistem yang baru dan berbeda daripada di Madinah,63 Sumber perundangan pada periode ini adalah al-Quran, as-Sunnah dan ijtihad. Al-Quran diberi tumpuan khusus dalam pengumpulan dan pengqanunan al-Quran. asSunnah masih belum berlaku pembukuan walaupun disadari oleh Umar. Manakala ijtihad dalam bentuk ijma’ (persepakatan pendapat) dan ar-ra’yu (pendapat para ulama’). Contoh kasus orang Mualaf dalam surah at-Taubah ayat 60:
Q *+tGl5 t */(^yz (☺@&+ 0{ ☺ (A $ r01b% p(☺ $ |⌧GE⌧*>☺ $ |<9=a5} */ 8
0$ 9:<}kA5A/ rK)o(s 0$ 016 $ BW6 |fI *l m rK)o r0 $ (60 :9/1ﺏ76 )اf)bo( 5} ` $ %
Artinya: “Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin, dan amil-amil yang mengurusnya, dan orang-orang muallaf yang dijinakkan hatinya, dan untuk hamba-hamba yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang yang berhutang, dan untuk (dibelanjakan pada) jalan Allah, dan orang-orang musafir (yang keputusan) Dalam perjalanan. (Ketetapan hukum yang demikian itu ialah) sebagai satu ketetapan (yang datangnya) dari Allah. dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”(QS: at-Taubah/9:60)
62
Ibid., h. 82
63
Ibid.. h. 85
Ayat di atas menjelaskan delapan golongan yang berhak menerima sedekah termasuk mereka yang diperdekat hati mereka dengan Islam yaitu mualaf. Seperti Uzaimah bin Arqa yang pernah menerima seratus ekor unta yang diperoleh daripada peperangan Hunain64. Amalan ini diteruskan sehingga pemerintahan Abu Bakar, tetapi ketika Umar memerintah, beliau mengubahnya karena umat Islam pada waktu itu sudah banyak dan kuat.65 3. Periode Tabi’in Periode ini dimulai dari pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41H) sampai timbulnya bentuk-bentuk kelemahan pada kerajaan Islam. Para pemberi fatwa pada masa ini mempunyai hadis dalam jumlah yang besar yang diriwayatkan dari mereka. Pada sebagian tabi’in ada yang lebih dari beberapa ribu hadis. Musnad Abu Hurairah misalnya tertulis dalam 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hanbal, musnad Abdullah bin Umar dalam 156 halaman. Dalam pada itu Musnad Abu Bakar tertulis 84 halaman, musnad Umar yang pemuka-pemuka orang-orang yang berfatwa pada periode ini tertulis 41 halaman. Musnad Ali yang mana ia saudara kembarnya Umar dalam berfatwa tertulis dalam 85 halaman. 66 Pada peringkat permulaan Islam, peranan dan tugas mufti tidak diinstitusikan. Mufti lebih dikenali sebagi ulama yang bebas memberi solusinya dalam sebuah negara. Pada zaman pemerintahan Umaiyah (661-750H) mufti melaksanakan tugas sebagai mustasyar hukum kepada qadhi atau hakim. Dalam pemerintahan Uthmaniyyah, jawatan mufti dikenali dengan jabatan ‘syeikh al-Islam’ dan mereka menjadi otoritas dalam perkara utama hukum syarak. 67
64
Badri Yatim, Sejarah Perudangan Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006), h. 32
65
Ibid., h. 86 Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, h.280
66
BAB III KEDUDUKAN FATWA SEBAGAI SUMBER HUKUM DI JOHOR
A. Fatwa Sebagai Kekuatan yang Mengikat 1. Fatwa yang diwartakan (disahkan) adalah mengikat Apabila suatu fatwa telah diwartakan, maka fatwa itu dapat mengikat semua orang Islam yang berada di Negeri Johor sebagai ajaran agamanya dan hendaklah menjadi kewajibannya terhadap agama Islam untuk mematuhi dan berpegang dengan fatwa itu, melainkan jika ia telah mendapat pengecualian oleh Jawatankuasa Fatwa berdasarkan hukum syarak.68 Suatu fatwa hendaklah diakui oleh semua Mahkamah di Negeri Johor tentang semua perkara yang dinyatakan di dalamnya69 adalah mengikat dan dapat ditindak pidana atas orang yang melanggarnya melalui Mahkamah Negeri Johor. Setiap hukuman tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Berikut ini terdapat beberapa contoh fatwa-fatwa yang diwartakan oleh Jawatan Fatwa Negeri Johor sebagai hukum yang mengikat: a. Fatwa tentang pengharaman kepercayaan terhadap angka 786 sebagai angka bertuah Berdasarkan Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor 2003 Pasal 48 ayat (6) bahwa Jawatankuasa Fatwa Negeri Johor, dengan perintah Duli Yang Maha Mulia baginda Tuanku Sultan, memberi dan meng-umumkan fatwa sebagai berikut:
67 68
69
Abdul Monir Yaacob, Kepelbagaian Fatwa: Kekuatan Atau Kelemahan?, h 203. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor, Pasal 49 Ibid, Pasal 49 ayat (2)
1) Kepercayaan terhadap angka 786 bermakna Bismillahirrahmanirrhim yang diyakini angka tersebut membawa tuah dan nasib baik adalah suatu kepercayaan yang salah dan bertentangan dengan akidah Ahli as-Sunnah WalJamaah dan syari’at serta akhlak Islam. 2) Perbuatan ini juga termasuk dalam golongan mereka yang mentafsir-kan AlQuran berdasarkan hawa nafsu dan tidak berdasarkan kepada ilmu dan kaidahkaidahnya serta tidak mendapat hidayat Allah SWT 3) Semua pihak yang terlibat hendaklah menghentikan kepercayaan dan penggunaan terhadap perkara ini serta merta. 4) Semua umat Islam dilarang membuat, mencetak, menjual, membeli, menggunakan,
menyimpan,
memperlihatkan,
menjadikan
perhiasan,
menjadikan logo dan menjadikan azimat semua benda atau barang yang mengandung angka 786 tersebut.70 b. Fatwa tentang pengharaman ajaran sesat Ayah Pin Berdasarkan Pasal 48 ayat (6) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Johor) 2003 [Enakmen 16 Tahun 2003], Jawatankuasa Fatwa Negeri Johor, dengan perintah Duli Yang Maha Mulia Baginda Tuanku Sultan, memberi dan mengumumkam fatwa sebagai berikut: 1. Bahwasanya kepercayaan, ajaran, amalan dan pegangan Ariffin bin Mohd @ Ayah Pin adalah karut, palsu, sesat lagi menyesatkan, menyeleweng, bertentangan dengan akidah, syariat, dan akhlak Islam serta boleh membawa ancaman kepada ummah, Negara dan ketenteraman orang awam karena anta kepercayaan, ajaran, amalan, dan pegangannya: 1.1. Menghina Allah SWT, Rasulullah s.a.w. dan umat Islam; 70
Warta Kerajaan Negeri Johor, tertanggal 11 Rajab 1428/12 Julai 2007 [JMJ.351/ 04/01/6/3;PUNJ.BIL.(PU2)15(39)], h. 9.
1.2. Menghina dan mempersenda Rukun Iman dan Rukun Islam; 1.3. Kepercayaan, ajaran, amalan dan pegangannya mengandungi unsur kesatuan agama sekaligus boleh diertikan mengiktiraf kebenaran agama selain Islam; 1.4. Mendakwa mengetahui perkara-perkara ghaib yaitu perkara-perkara yang hanya diketahui hakikatnya oleh Allah SWT seperti syurga dan neraka; 1.5. Mendakwa kiamat tidak akan berlaku; 1.6. Mendakwa bahawa al-Quran adalah usaha (ciptaan) daripada Nabi Muhammad SAW yang dicantumkan daripada kitab Zabur, Taurat, dan Injil; 1.7. Memuji-muji Ayah Pin dengan bersyair atau bernazam lebih afdhal daripada berzikir dan sholat; 1.8. Sholat lima waku tidak wajib dan mengerjakan amalan haji adalah sesuatu yang sia-sia. 2. Orang Islam negeri ini, dilarang melibatkan diri dengan kepercayaan, ajaran, amalan dan pegangan Arifin bin Mohd @ Ayah Pin samada dengan cara: 2.1.1.
Mempercayai atau mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang lain, atau
2.1.2.
Menyimpan atau mencetak atau menyalin atau mempamer atau menjual atau membeli atau memgambil gambar atau menerima dan memberi hadiah atau menyebarkan apa-apa maklumat berkaitan dengan kepercayaan, ajaran, amalan, pegangan dan kegiatannya sama ada melalui media cetak atau media elektronik atau;
2.1.3. Menjalankan upacara, membuat lawatan atau kunjungan, mengundang atau menerima kehadirannya atau pengikut-pengikutnya, memberikan
sokongan moral atau material atau apa sahaja kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keperca-yaan, ajaran, amalan dan pegangannya. 71 c. Fatwa tentang pengharaman terhadap kelompok Black Metal Berdasarkan Pasal 48 ayat (6) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Johor) 2003 [Enakmen 16 Tahun 2003], Jawatankuasa Fatwa bagi Negeri Johor, dengan perintah Duli Yang Maha Mulia Baginda Tuanku Sultan, memberi dan mengumumkan fatwa sebagai berikut: 1. Bahwasanya kumpulan ‘Black Metal” dengan segala kepercayaan, ajaran, aktivitas, perlakuan dan amalannya adalah sesat lagi menyesat-kan, bercanggah dengan ajaran Islam, (aqidah, syariat dan akhlak), bertentangan dengan naluri kemanusiaan sejagat dan adat resam orang Melayu Islam, malahan menghina kesucian agama Islam. 2. Semua umat Islam dilarang melibatkan diri dengan kumpulan “Black Metal” ini secara langsung atau secara tidak langsung atau secara tidak langsung sama ada mengamal, menjadi ahli, mencetak, menulis, menyiar, menerbit, menyebar, merekam, menggunakan lambang-lambang, menjalankan upacara, membuat lawatan atau kunjungan, mengundang atau menerima kunjungan ahli-ahlinya; memberikan sokongan moral atau material atau kedua-duanya sekali kepada sesiapa yang terlibat dengan kumpulan ini, atau apa-apa cara yang dikaitkan dengan kumpulan atau ajaran ini.72 d. Fatwa tentang pengharaman pemakaian Jubin (keramik) yang bertuliskan kalimat Allah
71
Warta Kerajaan Negeri Johor, Jilid 52 No. 3tertanggal 11 Rajab 1428 /26 Julai 2007 [JMJ.35/04/01/6/8;PUNJ.BIL.(PU2)15] 72 Warta Kerajaan Negeri Johor ,Jilid 52 No. 3 tanggal 11 Rajab 1428/26 Julai 2007 [JMJ.35/04/01/6/4;PUNJ.BIL.(PU2)15], h. 15
Berdasarkan Pasal 48 ayat (6) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Johor) 2003 [Enakmen 16 Tahun 2003], Jawatankuasa Fatwa bagi Negeri Johor, atas perintah Duli Yang Maha Mulia Baginda Tuanku Sultan, memberi dan mengumumkan fatwa sebagai berikut: 1. Jubin yang bertulis kalimah Allah adalah diharamkan penggunaannya pada tempat seperti pada lantai-lantai premis/hotel/kediaman dan pejabat, bilik air, tempat letak kereta, tempat laluan pejalan kaki dan sebagainya, juga dimanamana tempat yang boleh mencemarkan kesucian kalimah tersebut. Justeru, semua pihak yang terlibat (peniaga, pembeli, pengedar, pengguna, pengilang dan pengimport) hendaklah mengambil tindakan menghentikannya dengan segera dan serta-merta. 2. Cara untuk menghilangkan imej sama ada dengan menukarkan dengan jubin yang lain ataupun dengan cara menghilangkan tulisannya.73 Contoh-contoh fatwa di atas telah disetujui oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan dan telah disampaikan kepada pemerintah Negeri Johor untuk disebarkan dan diwartakan sebagai fatwa yang mengikat. 74 2. Pindaan (pengubahan) atau Pembatalan Fatwa Jawatankuasa Fatwa dapat mengubah atau membatalkan suatu fatwa yang telah disahkan dalam warta atau dalam Enakmen. Di antara sebab-sebab dilakukannya perubahan atau pembatalan fatwa antara lain ialah: 1. Fatwa yang dikeluarkan tidak kuat, berubah-ubah dan mempunyai kepentingan tertentu;
73
Warta Kerajaan Negeri Johor ,Jilid 52 No. 3 tanggal 11 Rajab 1428/26 Julai 2007 [JMJ.35/04/01/6/4;PUNJ.BIL.(PU2)15], h. 19 74
Enakmen, Tatacara Pembuatan Fatwa (6), h 32.
2. Fatwa yang tidak bersifat ilmiah karena tidak mempunyai dasar sandaran hukum yang kuat; dan 3. Isi kandungan fatwa terbatas hanya bisa menjawab persoalan tertentu saja dan tidak membawa perubahan yang besar kepada stuktur dan sistem negara. 75 Secara keseluruhan, masyarakat tidak mempermasalahkan fatwa-fatwa tersebut bahwa fatwa yang dikeluarkan adalah sesuai dengan suasana di Johor khususnya dan di Malaysia umumnya. Bagaimanapun terdapat beberapa permasalahan yang tidak dapat dihindari seperti yang penulis paparkan di atas. 3. Qaul muktamad harus dipatuhi Dalam
mengeluarkan
sebuah
fatwa
Jawatankuasa
Fatwa
hendaklah
berdasarkan qaul muktamad yaitu pendapat-pendapat yang diterima Madzhab Syafi’i. 76
Jika Jawatankuasa Fatwa berpendapat bahawa dengan berdasarkan qaul muktamad
Madzhab Syafi’i suatu keadaan yang bertentangan dengan kepentingan umum akan terjadi, Jawatankuasa Fatwa dapat mengambil berdasarkan qaul muktamad Madzhab Hanafi, Maliki atau Hanbali.77 Jika Jawatankuasa Fatwa berpendapat bahawa tidak satu pun qaul muktamad dari empat madzhab tersebut dapat diikuti tanpa membawa kepada keadaan yang bertentangan dengan kepentingan umum, Jawatankuasa Fatwa dapat membuat fatwa tersebut berdasarkan ijtihad tanpa terikat dengan qaul muktamad dari madzhab yang empat itu.78 Ijtihad tersebut dapat dilakukan dengan mengambil rujukan kitab-kitab di antaranya sebagai berikut:
75
Ahmad Hidayat Buang, Fatwa di Malaysia, (Kuala Lumpur: Jabatan Syari’ah dan undangundang Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya, 2004), cet. I, h. 114. 76
Pasal 54 ayat (1) Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor
77
Ibid., ayat (2) Ibid., ayat (3)
78
a. Kitab Al-Umm, Minhaj al-Talibin, al-Minhaj, Thfat al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj. b. Kitab Bajiru Marra A’la al-Khatib, Kifayatul Akhyar.79
B. Fatwa Sebagai Hukum yang Tidak Mengikat Selain dari fatwa yang mengikat ada juga fatwa yang tidak mengikat seperti fatwa memberi petunjuk, nasihat dan juga dalam hal tanya jawab masalah agama. Maka, Jabatan Mufti berfungsi sebagai badan yang memberi penjelasan kepada rakyat, terutama dalam fatwa-fatwa kontemporer. Pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan agama yang difatwakan adalah sekitar urusan-urusan dunia dan kehidupan yang berkait dengan hukum Islam. Disertakan jawaban dan uraian yang sesuai dengan hukum Islam (syari’ah) melalui tulisan, ceramah dan seminar yang diadakan oleh Badan Mufti. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Jabatan Mufti adalah berdasarkan al-Quran al-Karim, Hadis-hadis yang sohih, pandangan sahabat dan tabiin, pendapat masyhur dikalangan madzhab Imam yang empat. Fatwa yang tidak mengikat adalah fatwa yang memberi petunjuk atau pedoman kepada masyarakat tentang permasalahan dunia dan akhirat. Selama fatwa itu tidak diwartakan, maka ia tidak mengikat kepada rakyat dan tidak dikategorikan pelanggaran tindak pidana. Namun demikian, fatwa tersebut mempunyai kepentingan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan tersebut bisa dalam bentuk fatwa-fatwa biasa atau pun yang bersifat kritikal sangat penting dan diperlukan dalam masyarakat Islam terutama apabila terdapat hal-hal atau masalah baru yang yang harus diberikan jawaban dan penjelasan hukumnya. Hal ini perlu diketahui oleh masyarakat dalam menilai fatwa-fatwa serta respon mereka terhadap institusi atau Badan
79
Ruzian Markom, Apa itu Undang-undang Islam, (Pahang: PTS Publication and Distributor SDN. BHD, 2003), cet. I, h. 146
Mufti dalam menjadikan fatwa sebagai suatu yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Islam.80 Untuk menjadikan fatwa itu mengikat, fatwa tersebut perlu dibawa ke Jawatankuasa Fatwa negara bagian untuk disiarkan dan diwartakan dan dijadikan undangundang yang mengikat.81 Sebaliknya, fatwa yang tidak diwartakan adalah tidak mengikat dan terserah kepada individu tersebut untuk mengambil atau mengikuti dan mempraktekkannya dalam kehidupan masing-masing. Sebagai contoh dalam fatwa tentang “Membendung Pengaruh Syiah Di Malaysia”, yang menyatakan: “Mengakui bahawa ajaran Islam yang lain dari pegangan Ahli Sunnah Wal-Jamaah adalah bertentangan dengan hukum syara’ atau hukum Islam dan dengan demikian penyebaran ajaran yang lain daripada pegangan Ahli Sunnah Wal-Jamah adalah dilarang”.82 Walaupun kasus ini telah difatwakan namun belum diwartakan. Dengan demikian jelas bahwa fatwa ini tidak mengikat sehingga apabila perlu harus diwartakan.
1. Keputusan Muzakarah yang tidak mengikat Keputusan “muzakarah” tidak mengikat negeri bagian yang menjadi anggota untuk menerimanya. Dengan kata lain, keputusan itu tidak semesti-nya diterima atau dilaksanakan di seluruh Malaysia. Demikian juga dengan keputusan “Persidangan” semuanya bergantung kepada tindakan pihak negeri bagian apakah menerima fatwa itu dan mewartakannya atau sebaliknya.83
80
Raihanah Abdullah, Fatwa Dan Masyarakat,:Jabatan Syariah dan Undang-Undang :Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya:Kuala Lumpur,2004, h,142 81
Kertas kerja Fatwa Mufti Wilayah Persekutuan 1987-2007.: Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan, Malaysia, Bil. 26, h. 7 82
83
Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan (JAKIM): Kedudukan Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia dan Peranannya, (Kuala Lumpur: JAKIM, 2008, h. 4.
Dari sudut perundangan, sesuatu keputusan yang dikeluarkan di tingkat Persekutuan oleh para mufti yang menjadi anggota Jawatankuasa Fatwa Kebangsaaan bukanlah merupakan satu fatwa. Ia lebih kepada keputu-san majelis diskusi untuk menentukan
hukum suatu masalah tertentu
yang menyangkut
kepentingan
Persekutuan. Namun, dari sudut pandangan syarak, keputusan tersebut adalah fatwa, hanya saja dari segi perundangan belum diundangkan selama tidak diwartakan oleh pihak berkuasa negeri bagian. 84 Sebagai contoh, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Hal Ehwal Islam Malaysia yang ke-37 telah memutuskan bahwa merokok adalah haram menurut pandangan Islam. Namun hanya sebagian kecil negara bagian yang telah mewartakan sebagai fatwa.85
2. Fatwa Yang Tidak Mengikat Mahkamah Fatwa-fatwa yang diputuskan atau tidak diwartakan tidak mengikat mahkamah terutama Mahkamah Sivil. Hal ini juga adalah salah satu sebab mengapa fatwa tidak sama sekiranya mahkamah menjatuhkan hukuman yang berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan.86 Ini adalah karena kedudukan Mahkamah Sivil adalah lebih tinggi daripada Mahkamah Syariah dan juga wewenang mahkamah syariah hanya sebatas denda tidak melebihi RM 5000 dan penjara (dikurung) tidak melebihi 3 tahun.87
84 85
Ibid., h. 5 Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa, 23 Maret 1995.
86
Yang Amat Berhormat Datuk Syeikh Ghazali bin Haji Abd Rahman, Pengurusan Fatwa Muamalat dalam Sisitem Kewangan Islam”, (Malaysia: KUIM, 2006), h. 19 87
Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia (MJFK) 2003, lampiran 3 Fatwa yang dikeluarkan tidak dapat mengikat mahkamah sekiranya fatwa tindak pidana itu melebihi hukum Mahkamah Syariah dan selebihnya dilaksanakan oleh Mahkamah Sivil.
Di bawah ini penulis cantumkan sebuah kasus mengenai Mahkamah menggunakan fatwa yang dikeluarkan Jabatan Mufti Johor yaitu kasus Re Dato’ Bentara Luar [1982] 2MLJ 26 Satu masalah timbul di Mahkamah Sivil, sama ada wakaf yang dibuat oleh Dato’ Bentara Luar bagi dua anaknya adalah sah atau tidak. Mufti Kerajaan Johor memberi fatwa pada 11 Agustus 1970 tanah tersebut menjadi wakaf yang sah menurut hukum syara. Berdasarkan fatwa itu “Tanah tersebut telah diberi hak oleh wakil Encik Salleh bin Perang (al-Marhum Dato’ Bentara Luar) kepada anaknya Othman bin Mohd Salleh dan Kalthom bin Mohd Salleh dan keturunan mereka selama-lamanya”.88 Dalam keputusannya Salleh Abbas, Hakim Persekutuan berkata “Mufti Johor berkata dalam fatwa yang dikeluarkan pada tahun 1970 bahwa wakaf tersebut adalah sah. Sungguh pun kami tidak terpaksa menerima apa yang disebut di dalam fatwa tersebut oleh karena kami berhak menjelaskan apa dia undang-undang Islam mengenai apa-apa perkara, kami juga tidak semestinya menolak apa yang disebutkan dalam itu hanya karena undang-undang Islam adalah undang-undang negara bagian dan tugas menjelaskan undang-undang adalah terpulang kepada kami. Dalam pandangan kami oleh karena pandangan itu diberi otoritas yang tertinggi sekali dalam negara bagian itu, yang menghabiskan masa hidupnya mempelajari dan menafsirkan undang-undang Islam dan tidak terdapat apa-apa rayuan ke atas fatwa itu kepada DYMM Sultan dalam majelis kerajaan di bawah enakmen yang berkenaan, kami tidak ada apa-apa sebab yang boleh menyebabkan kami menolak pendapat tersebut, lebih-lebih lagi oleh karena kami tidak mahir dalam sistem perundangan itu dan bertambah pula pandangan itu tidak berlawanan dengan pendapat-pendapat pengarang buku-buku undang-undang Islam.”
88
Ruzian Markom, Apa itu Undang-undang Islam, h. 149
3. Fatwa Selain dari Mufti Adalah Tidak Mengikat Setinggi apapun tinggi ilmu seorang, jika dia tidak dilantik sebagai Mufti maka ijtihadnya tidak boleh difatwakan dan diwartakan. Dengan kata lain, mereka yang tidak diberi hak kuasa oleh Sultan atau pihak jabatan agama, tidak boleh memfatwakan sesuatu perkara dengan sesuka hatinya. Ini berarti bahwa Sultan atau Jabatan Agama Negeri Bagian menyerahkan kepercayaan kapada para Mufti dalam menyelesaikan masalah-masalah agama yang dihadapi oleh masyarakat Islam. Tetapi apabila
sesuatu
fatwa
hukum
diputuskan,
terdapat
negeri
bagian
yang
melaksanakannya dan ada juga negeri bagian yang tidak berbuat demikian adalah karena, tiap-tiap negeri bagian mempunyai raja yang memerintah di mana masalah agama berada di bawah kuasanya. Oleh itu, setiap keputusan yang ada di dalam persidangan atau muzakarah yang diadakan akan dibawa ke negeri bagian masingmasing. Selanjutnya keputusan tersebut akan dibahas kembali oleh Majelis Fatwa Negeri Bagian masing-masing. Hasilnya akan terdapat negeri bagian yang melaksanakan sesuatu hukum yang diputuskan dan sebaliknya. Di Malaysia terdapat 14 orang Mufti yang mewujudkan berbagai pendapat dan fatwa yang dikeluarkan.89 Kesimpulannya, penulis berpandangan bahwa fatwa mempunyai kekuatan undang-undang yang mengikat. Fatwa di Malaysia bukan semata-mata berupa penjelasan hukum syara’ yang tidak mempunyai nash. Malah ia merupakan keputusan hukum yang berupa perundangan yang bisa dilaksana-kan dan menjadi diambil tindak pidana bagi rakyat Islam yang melanggarnya. Makna fatwa jika dilihat dari sudut perundangan berarti fatwa mufti yang diwartakan, meskipun terdapat usaha untuk menjadikan fatwa yang diwartakan itu mengikat Mahkamah, namun Mahkamah Sivil tidak terikat dengan fatwa yang diwartakan itu. Ini adalah karena kuasa untuk
89
Ahmad Lutfi Othman, Membaca Minda Mufti Selangor, (Kuala Lumpur: Penerbitan Pemuda, 1997), cet. IV, h. 81
mentafsirkan undang-undang itu masih berada dalam wewenang Mahkamah. Mahkamah Syariah tidak terikat dengan fatwa, dengan hujah bahwa ia berhak untuk berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapkan kepadanya. Oleh itu, ketentuan undangundang yang mencoba untuk mengikat Mahkamah dengan fatwa-fatwa yang diwartakan perlu diuji di Mahkamah untuk diketahui akibatnya. Perlembagaan dan undang-undang Persekutuan yang mempunyai keutamaan berbanding undang-undang lain apatah lagi undang-undang Pentadbiran Agama Islam dan fatwa yang diwartakan khususnya bertaraf undang-undang negara bagian dan undang-undang kecil. 4. Akibat Fatwa yang dikeluarkan oleh Orang Yang Tidak Berwenang Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh orang yang tidak memiliki wewenang atau otoritas untuk mengeluarkannya akan menimbulkan akibat-akibat di antaranya: a. Akan terjadi pengeluaran fatwa yang tidak tepat dan salah; b. Akan terjadi ketidaksamaan dalam pelaksanaan fatwa; c. Apabila berlakunya ketidaksamaan, maka akan timbul kekeliruan dan kesamaran di kalangan masyarakat terutamanya dipihak orang banyak; d. Ada kemungkinannya terjadi salah paham di kalangan umat Islam terhadap perbuatan yang difatwakan; e. Memungkinkan akan terjadi pertikaian di kalangan masyarakat Islam; f. Umat Islam juga akan dipandang kurang baik oleh masyarakat bukan Islam dan hilang rasa hormat mereka terhadap umat Islam; g. Menjadi penghalang kesatuan dan persatuan terhadap ukwwah Islamiyyah yang diperjuangkan oleh Islam; dan h. Pada akhirnya juga dapat mengganggu keamanan dan keselamatan dalam negara.
C. Proses Pengeluaran Fatwa Sebagai Sumber Hukum Negara
1. Pihak Yang Mengeluarkan Fatwa Bagi menyelaraskan pengeluaran fatwa di negara ini, maka pihak yang dipertanggungjawabkan mengeluarkan fatwa ialah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia. Fatwa yang akan dikeluarkan adalah menyentuh kepada perkara-perkara berikut: a. Masalah-masalah keagamaan yang bukan bersifat tempatan tetapi berkaitan dengan umat Islam Malaysia secara keseluruhan. b. Masalah-masalah keagamaan di suatu negeri bagian yang mungkin berlaku di negeri bagian yang lain. c. Masalah keagamaan yang bersifat tempatan dan daerah serta memenuhi syarat (I) dan (II) di atas. Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Islam Malaysia juga boleh menerima permohonan fatwa daripada mana-mana Ahli Jawatankuasa Negara bagian. 90
2. Kaidah Pengeluaran Fatwa Di Malaysia (Tingkat Kebangsaan) Pengeluaran fatwa yang yang dilakukan di Malaysia adalah melalui dua cara: a. Melalui Arahan Rapat Majelis Raja-raja Proses pengeluaran fatwa ini bermula apabila rapat Majelis Raja-raja menitahkan agar Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Islam Malaysia mengeluarkan fatwa tentang sesuatu isu yang timbul dalam masyarakat. Majelis Muzakarah Fatwa diadakan dan apabila Majelis Muzakarah bersetuju mengeluarkan fatwa maka fatwa berkenaan akan dikemukakan kepada rapat Majelis Raja-Raja melewati Majelis Kebangsaan Hal Ehwal Islam Malaysia. Fatwa yang telah diterima oleh Majelis Raja-raja tersebut akan dibawa kepada
90
Dato’ Nooh Gadot, Pengurusan Fatwa di Malaysia, (Malaysia: KUIM, 2006), h. 62
Jawatankuasa Fatwa atau Jawatankuasa Syariah negeri bagian tanpa boleh diubah dan seterusnya akan diwartakan oleh negeri bagian berkenaan. Antara fatwa yang pernah dikeluarkan lewat proses ini adalah fatwa pengharaman pertubuhan AlArqam dan kasus Takfir. b. Tanpa Arahan Rapat Majelis Raja-Raja Proses pengeluaran fatwa ini adalah melalui permohonan masyarakat Islam. Kasus yang dikemukakan akan dikaji dan kemudian disidangkan dalam rapat panel kajian syariah. Bagi kasus yang memerlukan perbincangan lanjut, ia akan dibentangkan dalam Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Islam Malaysia. Fatwa yang diputuskan dalam Muzakarah ini akan dibawa ke Jawatankuasa Fatwa/ Jawatankuasa Syariah negeri bagian dan negeri bagian boleh mengubah keputusan tersebut atau menerimanya tanpa perubahan. Antara fatwa yang dikeluarkan melewati proses ini adalah fatwa pengharaman pengklonan manusia. Fatwa yang diwartakan melewati kedua cara seperti ini menjadi hukum dan akan menjadi undang-undang negeri bagian berkenaan. 91 3. Proses Penyediaan Fatwa Untuk Diwartakan92 Jika suatu fatwa hendak diwartakan melalui proses yang sama seperti di atas, mengikut kajian suatu fatwa itu akan diwartakan seandainya ianya melibatkan kepentingan umum. Sebab-sebab lain yang digunakan untuk mewartakan suatu fatwa adalah seperti di bawah: a. Perkara baru yang tidak ada nash.
91
92
Ibid., h. 63
Ahmad Hidayat Buang, Penyediaan dan Pengeluaran Fatwa, (Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan Undang-Undang, 2004), h. 102
b. Kasus mahkamah c. Menurut dasar kerajaan/pemerintah d. Pencegahan dengan menggunakan undang-undang melewati warta Tempoh waktu yang diperlukan bagi mengeluarkan fatwa tersebut dalam bentuk warta adalah lebih lama waktunya yang berbeda dengan bentuk yang lain. Karena ia melibatkan beberapa proses yang ditetapkan oleh undang-undang antaranya: a. Persetujuan Majelis Agama Islam; b. Persetujuan Kerajaan Negara Bagian; c. Persetujuan Penasihat Undang-Undang Negara Bagian; d. Persetujuan Badan Fatwa Kebangsaan; dan e. Persetujuan Sultan/Raja.93 Dari hasil penelitian disebutkan bahwa waktu yang diperlukan untuk menyediakan fatwa adalah selama satu sampai enam bulan, tergantung kepada masalah negeri bagian. Ada juga negeri bagian yang mengambil waktu selama setahun untuk mewartakan suatu fatwa. Namun, tempoh waktu ini adalah dalam keadaan proses biasa yang banyak bergantung kepada cepat atau lambat kelulusan pehak-pehak berkenaan seperti Majelis Agama Islam, Penasehat undang-Undang atau Kerajaan Negara Bagian.94 4. Sumber Rujukan Bagi Mengeluarkan Fatwa Jawatankuasa Fatwa atau Mufti dalam membuat fatwa akan mengambil rujukan atau sumber utama yaitu: al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Selain sumber utama ini, Jawatankuasa fatwa atau Mufti juga akan merujuk
93
Tidak semua negeri bagian tunduk kepada persetujuan ini (melainkan persetujuan Sultan yang dipersetujui oleh semua negeri bagian yang beraja) 94
Ahmad Hidayat Buang, Penyediaan dan Pengeluaran Fatwa, h. 102
pendapat-pendapat sahabat r.a., tabi’in, imam-imam madzhab dan fuqaha’ dengan mengadakan penelitian terhadap dalil-dalil dan istidlalnya. Selain itu, pendapat-pendapat Madzhab Syafi’i (karena mayoritas masyarakat Malaysia bermazhab Syafi’i) digunakan untuk suatu fatwa kecuali jika ada sebab tertentu untuk menggunakan madzhab-madzhab Ahl as-Sunnah Wa alJamaah yang lain untuk menemukan pendapat mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih maslahah bagi umat untuk difatwakan. Apabila maslahah yang difatwakan tidak terdapat dalam ketetapan perkara di atas, maka akan dilakukan ijtihad jama’i ia berdasarkan sumber-sumber yaitu: al-Masalih al-Mursalah, al-Urf atau al-A’dah Muhakkamah, Syar’u Man Qablana, Amal ahl al-Madinah, al-Istishab, Saddu az-Zarai’, al-Istihsan; dan kaidah-kaidah fiqih.95 5. Kedudukan Fatwa Sebagai Otoritas Undang-Undang Fatwa yang dipakai adalah fatwa resmi yaitu fatwa yang dikeluarkan oleh mufti negeri bagian atau jawatankuasa syariah yang ditubuhkan oleh Kerajaan negeri bagian atau fatwa yang dikeluarkan oleh Mejelis Kebangsaan bagi Hal Ehwal Agama Islam atau oleh Kerajaan Malaysia. Fatwa boleh dibedakan dengan pendapat orang perorangan, muktamad tetapi
ia bukanlah suatu keputusan hukum yang
penerangan agama mengenai hukum syarak bagi panduan
kepada masyarakat Islam.96 Pendapat itu sangat berfaedah bagi umat Islam dalam mendapatkan bimbingan dan penjelasan mengenai sesuatu perkara yang berkaitan dengan ajaran agama Islam pada keseluruhannya. Fatwa harus dipatuhi dengan hujah berikut:
95 96
Nooh Gadot, Pengurusan Fatwa di Malaysia, h. 64 Ruzian Markom, Apa itu Undang-undang Islam , h. 147
a. Firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 59 yang
0/E
|
m DA)x$' m
DO6 Q 7>s
m DA)x$'$ P*l m Q%6 92] ZM$'$ !a$"D*l 'QL⌧ Z0 VQD# * P+ 7>s $
ZaM+ PD6*A VQOQJ (* T bc2( j9) $ (59 :4 /ءbU⌧ )اI$l* > p$'$ =9(c Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah taatlah kamu kepada Rasul dan orang yang berkuasa di kalangan kamu”. kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya. (QS: an-Nisa/4: 59) b. Suatu fatwa dikeluarkan selepas mendapat persetujuan daripada Raja atau Rapat Majelis Raja-Raja Melayu. c. Suatu fatwa sudah diwartakan dan dikeluarkan dalam Warta Resmi Kerajaan. Berikut ini penulis cantumkan suatu kasus berkaitan dengan kedudukan fatwa sebagai otoritas undang-undang yaitu kasus Ramah lawan Raton [1927] 6FMSLR 128 Seorang balu menuntut sebahagian harta yang ditingggalkan oleh suaminya, sebagai harta sepencarian. Hakim memanggil beberapa orang kadi sebagai saksi dalam membuat keputusan tuntutan tersebut. Rayuan dibuat dimahkamah rayuan. Dua hakim tersebut berpendapat
hakim di mahkamah tinggi tersilap mengambil keterangan
mengenai undang-undang Islam karena undang-undang Islam adalah undang-undang negeri bagian dan adalah menjadi tugas mahkamah menentukan dan mengenakan undang-undang itu hakim tidak dapat mengambil keterangan daripada saksi-saksi mengenai undang-undang Islam itu. Akan tetapi oleh karena hakim mahkamah sivil berpendapat mereka tidak layak memutuskan perkara berkaitan
undang-undang
Islam, satu undang-undang diperkenalkan yaitu Determination of Muslim Law
Enactment 1930 yang membolehkan mahkamah sivil merujuk masalah mengenai hukum Islam kepada Dewan Kerajaan Negeri Bagian. 97
6. Analisis Problem dalam Mengeluarkan Fatwa a. Kesalahan dalam Fatwa Para mufti di sepanjang zaman tidak sunyi daripada kemungkinan berlaku salah dalam fatwa-fatwa mereka dan tidak ada sesiapa yang boleh terlepas daripadanya karena manusia tidak sunyi dari kesilapan dan kesalahan. Pengaruh pemikiran, politik, sosial dan ekonomi pada zaman ini boleh mempengaruhi dan mencorak arus pendapat mufti, lebih daripada pengaruh dan perkembangan yang berlaku pada zaman silam.98 1) kebodohan dan kealpaan terhadap nash-nash al-Quran dan as-Sunnah Antara perkara yang dihadapi oleh mufti dalam pelaksanaan tugasnya adalah kejahilan dan kealpaan mereka terhadap nash-nash syarak, tidak menguasai keseluruhan dalil syarak yang berhubungkait dengan suatu perkara dan kurang kemampuan untuk memahami dan melaksanakannya mengikut kaidah yang telah diamalkan oleh ulama muktabar. Perkara seperti ini boleh berlaku jika mufti itu seorang yang tidak teliti dalam mengeluarkan fatwa. Malas berusaha dan tidak merujuk atau mengkaji kitab-kitab muktabar ataupun tidak merujuk ulama lain terlebih dahulu. 2) Pemahaman yang salah Kesilapan dan kesalahan dalam mengeluarkan suatu hukum dalam fatwa bukan saja disebabkan oleh kejahilan terhadap nash-nash, akan tetapi
97
Ibid., h. 148 Abdul Munir Yaacob, Kepelbagaian Fatwa: Kekuatan Atau Kelemahan?, (Kuala Lumpur, t.p, 2006),h. 197 98
bisa juga berlaku karena pemahaman yang salah dari nash-nash karena dorongan nafsu, kepentingan diri, pendukung pendapat satu golongan, taksub kepada kelompok, partai siyasah, atau untuk mencari keuntungan duniawi atau juga karena bertaklid dengan sewenangnya. 3) Tidak dapat memahami realitas kehidupan secara benar Satu perkara yang boleh menyebabkan kesalahan fatwa itu karena tidak dapat memahami realitas dan fakta yang dikemukakan oleh orang yang bertanya. Akibatnya mufti boleh tersalah dalam analisisnya dan mengaplikasi nash-nash syarak yang tidak berkaitan dengan kasus yang dibangkitkan. 4) Menurut Perasaan dan Dorongan Hawa Nafsu. Kelemahan mufti yang paling bahaya adalah karena perasaan dan hawa nafsu, samada oleh dorongan nafsunya sendiri karena mengharapkan habuan yang besar, gelaran dan pangkat atau bagi memuaskan nafsu orang lain. Mungkin takut kepada ancaman mereka atau simpati yang tidak kena pada tempatnya. Akhirnya mendorong dia mengubah ketentuan hukum Allah dan menyalahi dalam menafsirkan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Bisa terjadi juga mufti mengikut kehendak orang banyak yang jahil dan melaksanakan tugasnya secara tidak serius.
5) Mengikuti Arus Pemikiran Barat Sebagai golongan intelektual Islam ada yang mengalami penyakit “inferiority complex” atau rendah diri apabila berhadapan dengan peradaban dan intelektual barat. Mereka beranggapan bahawa barat adalah pemimpin setiap bidang sehingga harus diikuti tanpa bantahan. Apabila ada pemikiran dan kebudayaan kita yang bercanggah dengan apa yang datang dari barat hal
ini seolah-olah merupakan “celaan” terhadap kebudayaan dan prinsip-prinsip agama kita. Dengan beranggapan semua produk-produk pemikiran barat itu betul dan mana-mana pemikiran yang bertentangan dengannya adalah salah. Selagi ada dakwaan bahawa barat selalu benar berarti penjajahan yang dibuat oleh barat ke atas umat Islam adalah suatu penjajahan terhadap jiwa dan pemikiran umat Islam yang amat besar kesannya. Apa yang dikhuatiri jika intelektual Islam dan ulama mencari dalil dan hujah untuk membenarkan keseluruhan pemikiran barat dan sistemnya nescaya, mereka akan meletakkan dalil bukan pada tempatnya. 99 b. Masalah-masalah dalam Penyediaan Fatwa Daripada kajian yang telah dibuat didapati ada beberapa masalah yang telah dikenal pasti dalam proses pengeluaran fatwa, di antaranya: 1) Rujukan perlu dilakukan ke atas mazhab lain 2) Terpaksa menggunakan ijtihad karena masalah yang dihadapi tidak disebut di dalam kitab. 3) Kakitangan tidak berkelayakan dalam bidang hukum syarak 4) Kekurangan bahan rujukan 5) Jangkamasa yang diberikan bagi menyiapkan fatwa agak pendek 6) Soalan tidak jelas atau menerangkan fakta secara lengkap 7) Tiada bantuan dalam mengadakan penyelidikan 8) Terikat dengan madzhab Masalah bersama yang selalu dihadapi oleh Mufti dan pegawai mufti ialah kekurangan bahan rujukan dan tempoh masa kajian yang terlalu pendek. Manakala masalah tersendiri yang dihadapi oleh Mufti pula ialah soalan yang dikemukakan
99
Ibid., h.199
tidak jelas dan tidak lengkap. Bagi pegawai pula, masalah tersendiri yang mereka hadapi ialah terpaksa menjawab soalan yang tidak disebut di dalam kitab. Perkaraperkara ini boleh menjejaskan ketepatan dalam menyediakan jawaban bagi soalan yang dikemukakan.100
100
Ahmad Hidayat Buang, Penyediaan dan Pengeluaran Fatwa, h.103
BAB IV POSISI MUFTI DI NEGERI JOHOR
A. Pembentukan, fungsi dan wewenang Jabatan Mufti Menurut sejarah, Badan Jabatan Mufti di Negeri Johor telah lama ada yaitu sejak zaman kesultanan Melayu Johor Riau. Dalam pemerintahan Johor Moderen, Badan Jabatan Mufti telah berkembang pesat di mana Sohibu as- Samahah Mufti telah menjadi pegawai negeri yang penting yaitu sebagai Penasihat Agama Islam dan Pegawai Istana kepada Duli Yang Maha Mulia (DYMM)101 Sultan Johor. Keterlibatan Mufti dalam pemerintahan kerajaan telah dicatat sebagai bukti kemasyhuran Undang-undang Tubuh Kerajaan Johor oleh DYMM Sultan pada 24 Rabiul Awal 1313 Hijrah atau 14 September 1895.102 Sebelum tanggal 1 Januari 2000, Badan Jabatan Mufti adalah bagian dari Jabatan Agama Johor. Segala urusan pemerintahan, keuangan, polisi, fungsi dan objektif jabatan adalah berada di bawah kewenangan Pengarah Jabatan Agama. Pengarah Jabatan Agama adalah Ketua Jabatan dan Pegawai Pengawal. Dengan persetujuan Kerajaan, mulai 1 Januari 2000 Bagian Mufti telah dipisahkan dari Jabatan Agama Johor dan dibentuk Jabatan Mufti Negeri Johor. Ini adalah sesuai dengan Organisasi Jabatan Mufti seluruh Malaysia. Yang demikian Sohibu as- Samahah Mufti berfungsi sebagai Ketua Jabatan dan Pegawai Pengawal kepada Jabatan Mufti Negeri Johor. Pemisahan ini telah memposisikan Sohibu as- Samahah Mufti di tempat yang sewajarnya berdasarkan undang-undang syara' di samping mengukuhkan dan menguatkan institusi Mufti itu sendiri.
101
102
Gelar ini khusus untuk sultan atau raja di Malaysia.
http://www.Laman Web Rasmi Jabatan Mufti Johor–Latar Belakang Jabatan Mufti Johor, diakses pada Sabtu, 15 November 2008, pukul 17.23 WIB.
Visi jabatan ini ialah berusaha menjadikan Jabatan Mufti Negeri Johor sebagai tempat rujukan dan sumber ilmu Islam terunggul di Malaysia. Sedangkan misinya ialah untuk memandukan umat Islam dalam hal hukum syara’ yang sahih. Memperkaya umat Islam dengan ilmu-ilmu duniawi dan ukhrawi, meningkatkan umat Islam dengan akidah Ahli As-Sunnah Wal-Jama’ah serta syariah dan akhlak Islamiah dalam teori dan praktik.103 Tujuan pembentukan Jabatan Mufti Johor ini ialah untuk mengeluarkan fatwa dan menjadi tempat rujukan tertinggi yang berkaitan dengan hukum Islam berdasarkan alQuran, as-Sunnah, Ijmak, Qias dan sumber-sumber lain untuk semua umat Islam untuk menjaga akidah, ibadah, akhlak serta syariat Islam ke arah memartabatkan Islam dan umat. 104 Berdasarkan Enakmen105 Pentadbiran Agama Islam (Negeri Johor) 2003 [EN.16/2003] pada bahagian III menjelaskan sebagai berikut: 1. Perlantikan Mufti dan Timbalan Mufti Dalam Pasal 44 ayat (1-3) disebutkan bahwa: a.
Duli Yang Maha Mulia Sultan, dengan nasihat Majelis,106 hendaklah melantik orang yang layak dan sesuai menjadi Mufti dan Timbalan (wakil) Mufti Negeri Johor;
b.
Pelantikan Mufti dan Timbalan Mufti hendaklah disiarkan dalam Warta;
103
http://www.Laman Web Rasmi Jabatan Mufti Johor, Visi Dan Misi diakses pada 7 Februari 2009, pukul 12.14 WIB. 104
105
Ibid., Objektif Jabatan Mufti Johor.
Undang-Undang yang dibuat oleh Dewan Undangan Negeri Johor. Di Indonesia, undangundang yang dibuat oleh DPRD I atau yang disebut dengan peraturan daerah (Perda) 106 Yaitu suatu badan Majelis Agama Islam Negeri Johor yang tugasnya membantu dan menasihati Duni Yang Maha Mulia Sultan dalam perkara-perkara agama Islam
c.
Seorang yang telah menjadi Mufti dan Timbalan (wakil) Mufti Negeri Johor sebelum Pasal ini mulai berlaku, ia dianggap sebagai Mufti dan Timbalan Mufti Negeri Johor dan hendaklah terus memegang jabatan itu.
2. Fungsi Mufti Adapun fungsi Mufti di negeri Johor sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45 Enakmen Pentadbiran Agama Islam yaitu: a.
membantu dan menasihati Duli Yang Maha Mulia Sultan dan pentadbiran kerajaan berkenaan dengan semua perkara hukum syara’, dan dalam semua perkara sedemikian hendaklah menjadi pihak berwenang utama di Negeri Johor selepas Duli Yang Maha Mulia Sultan, kecuali jika diperun-tukkan selainnya dalam Enakmen ini;
b.
Mengeluarkan fatwa dan menjawab kemusykilan agama;
c.
Memberi nasihat kepada semua pihak tentang hal-hal yang berhubungan dengan hal ehwal agama Islam;
d.
Mengumpulkan dan menelaah fatwa-fatwa, pendapat dan pandangan ulama' yang telah dikeluarkan baik di dalam maupu di luar negeri sebagai bahan dan rujukan;
e.
Melaksanakan pengembangan, penyebaran dan pemahaman Islam melalui dakwah, pendidikan, ta'lim dengan mengadakan seminar, simposium, persidangan dan ceramah-ceramah termasuk melalui media masa;
f.
Membuat kalender Islam, miladi (Masehi), waktu solat dan jadual imsyakiah;
3. Jawatankuasa Fatwa Jawatankuasa Fatwa adalah badan yang berwenang mengeluarkan fatwa di Negeri Johor. Dalam Pasal 46 ayat (1-4) disebutkan bahwa: 1.
Dan hendaklah ada suatu jawatankuasa bernama Jawatankuasa Fatwa.
2.
Jawatankuasa hendaklah terdiri daripada: (a) Mufti, sebagai Pengerusi atau Ketua Badan;
(b) Timbalan Mufti ialah pembantu kepada Mufti; (c) Dua orang anggota Majelis yang dinamakan oleh Majelis (d) Tidak kurang dari dua orang dan tidak lebih dari lima orang yang layak dan sesuai, yang dilantik oleh Majelis; dan (e) Seorang pegawai dari Jabatan Mufti yang dilantik oleh Majelis sebagai Setiausaha. 3.
Orang yang telah menjadi anggota Jawatankuasa Fatwa Negeri Johor sebelum Pasal ini mulai berlaku, ia dianggap sebagai anggota Jawatan-kuasa Fatwa Negeri Johor dan hendaklah terus memegang jabatan itu.
4.
Jawatankuasa Fatwa tunduk kepada Enakmen ini, memutuskan segala persoalan berhubungan
dengan
tatacara
dan
pelaksanaan
dan
keanggotaan
rapat
Jawatankuasa Fatwa yaitu dengan kehadiran lima anggota termasuk Pengerusi (ketua badan). 4. Wewenang Jawatankuasa Mufti untuk Menyediakan Fatwa Berdasarkan Pasal 51 disebutkan bahwa Jawatankuasa Fatwa dalam membuat Fatwa hendaklah atas perintah Duli Yang Maha Mulia Sultan dan dapat juga atas kehendaknya sendiri atau atas permintaan orang yang dibuat melalui surat dialamatkan kepada Mufti, menyediakan suatu fatwa atas persoalan-persoalan yang belum pasti atau yang dapat menimbulkan ketidaktentuan berhubungan dengan hukum syarak. 5. Tatacara Pelayanan Kepada Rakyat Rakyat yang meminta fatwa kepada Jawatankuasa Fatwa dapat melalui prosedur sebagai berikut: a. Setiap aduan/pertanyaan secara tertulis mengenai hukum dan fatwa akan diteliti dan dijawab dalam waktu satu minggu sejak tanggal penerimaan-nya atau setelah
Rapat Jawatankuasa Fatwa Johor dan sekiranya perlu setelah Rapat Majlis Agama Islam Negeri Johor; b. Setiap aduan atau permohonan yang diterima dari masyarakat mengenai sesuatu perkara yang memerlukan jawaban dari hukum syariah maupun akidah dan permasalahan kontemporer yang berkaitan dengan agama akan dijawab dalam waktu satu bulan dari tanggal penerimaan; c. Pihak Jabatan Fatwa akan mengesahkan data-data mengenai jadual waktu shalat dan kalender, waktu berbuka puasa dan imsak; dan d. Segala permohonan untuk mendapatkan pembaca doa dalam majlis-majlis rasmi Jabatan-jabatan Kerajaan, Badan Berkanun dan Swasta akan dijawab dalam waktu dua hari dari tanggal penerimaan. 107 6. Mufti-Mufti Johor Berikut ini penulis sebutkan beberapa mufti yang pernah menjabat pada Jabatan Mufti Johor yaitu di antaranya:108 a. Dato’Syed Salim bin Ahmad Al-Attas (1896-1899); b. Dato’ Hj. Abdullah bin Musa, Mufti (1899-1907); c. Dato’ Syed Abdul Kadir bin Mohsin Al-Attas (1907-1933); d. Dato' Syed Alwe bin Tahir Al-Hadad, (1934 – 1941) dan (1947-1961); e. Tan Sri Dato’ Hj. Hassan bin Yunus (1941-1947); f. Tan Sri Dato' Hj. Jalil bin Hassan (1961-1964); g. Dato’ Rahim bin Yunus (1965-1977); h. Dato’ Syed Alwe bin Abdullah Al-Hadad (1977-1981); i. Dato' Hj. Ahmad bin Awang (1981-1999); dan
107
http://www.Laman Web Rasmi, Tatacara Pelayanan Kepada Rakyat, diakses pada 4 Januari 2009, pukul 21.40 WIB 108
“Biografi Mufti-Mufti Malaysia”, Utusan Melayu Edisi Jawi, Senin, 22 Desember 2008, h. 14
j. Dato' As-Sheikh Hj. Nooh bin Gadot (1999-sekarang).
B. Tatacara Mengeluarkan Fatwa oleh Jabatan Mufti. Dalam mengeluarkan fatwa Jabatan Mufti harus melalui tatacara sebagai-mana yang diatur dalam Pasal 48 Enakmen pentadbiran Agama Islam yaitu: 1.
Sebelum Jawatankuasa fatwa membuat fatwa, Mufti dapat mengarahkan supaya diadakan penyelidikan terlebih dulu;
2.
Apabila Jawatankuasa hendak membuat fatwa Mufti hendaklah mengadakan satu rapat Jawatankuasa fatwa yang direncanakan terlebih dahulu;
3.
Setelah fatwa dibuat oleh Jawatankuasa Fatwa, Mufti hendaklah, sebagai pihak dan atas nama Jawatankuasa Fatwa, menyampaikan fatwa yang disediakan itu kepada majelis.
4.
Majelis dapat mengajukan kepada Duli Yang Maha Mulia Sultan untuk mendapatkan persetujuannya untuk penyiaran fatwa itu dalam warta;
5.
Rancangan yang dibuat berdasarkan ayat (4) hendaklah disertakan dengan memorandum penjelasan dan penjelasan dari Majelis jika diperlukan;
6.
Apabila fatwa itu telah disetujui oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan, Majelis hendaklah memberitahukan kepada Kerajaan Negeri Johor tentang fatwa itu dan setelah itu hendaklah fatwa itu disiarkan dalam warta;
7.
Sebuah fatwa yang disiarkan dalam warta hendaklah disertakan dengan catatan bahwa fatwa itu dibuat di bawah seksyen ini.
8.
Sebuah fatwa hendaklah disiarkan atau disampaikan dalam bahasa kebangsaan dalam tulisan jawi (Melayu-Arab), tetapi teks fatwa itu dalam tulisan rumi (Melayu) dapat juga disiarkan dan segala fatwa yang dikeluarkan adalah mengikat;
9.
Setiap catatan yang dibuat oleh Jawatankuasa fatwa tidak boleh diambil sebagai fatwa melainkan jika catatan itu disiarkan di dalam warta;
10. Jika perkara yang diajukan kepada Jawatankuasa Fatwa untuk fatwa itu tidak
menyentuh maslahah umum dan kepentingan negara, atau telah diketahui umum dan kepentingan negara, atau telah diketahui umum akan hukumnya, Mufti dapat mengeluarkan fatwa dan memberitahukan fatwa tersebut kepada orang yang memohon fatwa itu dan fatwa yang diberikan kepada orang yang memohon itu tidak perlu diwartakan tetapi mengikat untuk dipatuhi.
C. Hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsaan 1. Latar Belakang Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia telah dibentuk pada awal tahun 1970 berdasarkan Pasal 11(a) Peraturan Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Islam Malaysia (MKI). MKI diketuai oleh Yang Amat Berhormat Perdana Menteri dan merupakan badan penyelaras fatwa di peringkat Persekutuan yang ditubuhkan oleh Majelis Raja-Raja pada Maret 1968. 109 Menurut Pasal 14 Peraturan Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Islam Malaysia, peran jawatankuasa fatwa ini adalah untuk memutuskan tentang pelaksanaan fatwa seperti hukum-hakam agama Islam yang dirujuk kepada Majelis Raja-Raja. Jawatankuasa ini mengajukan pandangan kepada MKI yang kemudian membawa perkara tersebut kepada Majelis Raja-Raja. 110 Badan Jawatankuasa Fatwa dianggotai oleh: a. Ketua Badan Jawatankuasa dilantik oleh MKI dari anggota-anggotanya; b. Mufti tiap-tiap Negara Bagian yang mewakili negaranya dalam hal ehwal
Islam;
c. Lima orang alim ulama’ yang dipilih oleh Majelis Raja-Raja; dan
109
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Kedudukan Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia: (Kuala Lumpur: JAKIM, t.th), h.1 110
Ibid.
d. Seorang anggota beragama Islam dari Perkhidmatan Kehakiman dan Undangundang atau daripada pakar undang-undang yang dipilih oleh Majelis Raja-Raja.111 Jawatankuasa ini dikepalai oleh seorang ulama’ dan para professional yang intelektual. Di antaranya ada yang pernah menjabat sebagai kepala Jawatankuasa Fatwa adalah seperti di bawah ini: a. Yang Berbahagia Tan Sri Prof.Dr.Abdul Jalil bin Hassan; b. Yang Berbahagia Dato’Syeikh Abdul Halim bin Othman; c. Yang Berbahagia Dato’.Mursyid Diraja Dato’Syeikh Tajuddin bin Abdul Rahman; dan d. Yang Berbahagia Dato’ Dr. Ismail bin Hj. Ibrahim.112 2. Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia dan Perannya Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia (MKBHEUIM) adalah sebuah badan pelaksana terhadap Jawatankuasa Fatwa negara bagian khususnya dalam menangani kasus-kasus besar yang melibatkan persoalan negara atau aqidah umat Islam yang perlu diselesaikan segera. Pada saat ini, Jawatankuasa Fatwa MKBHEUIM dikepalai oleh Yang Berbahagia Prof. Dato’ Abdul Syukor bin Hj. Husin yang dianggotai sebanyak 22 orang anggota.113 Permohonan untuk mendapatkan fatwa hendaklah dikemukakan kepada sekretaris Jawatankuasa Fatwa MKBHEUIM. Apabila satu masalah dirujuk kepada Majelis tersebut, maka akan dipertimbangkan, didiskusikan atau dibahas dan dibuat saran atau nasihat. Selanjutnya akan dibawa kepada Majelis Raja-Raja untuk
111
112
Ibid., h. 2
Ibid. Peraturan Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia MKBHEUIM,, Peraturan 6, h. 2 113
dipertimbangkan. Setelah dipertimbangkan, biasanya Majelis Raja-Raja akan meminta Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan mengkaji dan memutuskan kemudian mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan masalah yang diajukan tersebut.114 Satu keputusan fatwa yang telah disetujui oleh Majelis Raja-Raja tidak boleh diubah oleh negara bagian tanpa mendapat persetujuan dari Majelis Raja-Raja terlebih dahulu.115 Disinilah fungsi penyamaan yang dilakukan oleh Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia. Walaubagai-manapun, untuk menjadikan satu fatwa itu terlaksana di negara bagian fatwa tersebut harus dibawa kepada Jawatankuasa Fatwa negara bagian tersebut yang selanjutnya disiarkan ke dalam warta negara bagian masing-masing.116 Jelasnya, Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan yang dibentuk ini sebenar-nya berfungsi sebagai badan penyeragaman terhadap Jawatankuasa Fatwa negara-negara bagian khususnya dalam menangani kasus-kasus besar dan bersifat segera, melibatkan persoalan negara ataupun aqidah umat Islam.
Di antara kasus yang pernah
diputuskan ialah misalnya halal atau haram Amanah Saham Nasional, pegangan alArqam, golongan anti Hadits dan sebagainya. 117 Walau bagaimanapun, berdasarkan analisa terhadap fatwa-fatwa yang diputuskan oleh Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, terdapat kecenderungan negara bagian menukar teks fatwa tersebut setelah dibawa pulang ke negara bagian dan kemudian diputuskan oleh Jawatankuasa Fatwa negara bagian tersebut walaupun keputusan fatwa yang dibuat ditingkat Kebangsaan itu merupakan keputusan
114
Ibi.d., Peraturan 8, h. 3
115
Ibid., Peraturan 9 Ibid., Peraturan 10
116
117
Ibid., peraturan 11
mayoritas atau pun keputusan bersama para mufti yang menjadi anggota, namun perubahan masih berlaku apabila ia dibincang semula diperingkat negara bagian.118 Sementara itu, tidak semua keputusan Jawatankuasa Fatwa boleh disiarkan kepada umum. Bahkan ada di antaranya yang dikategorikan sebagai dokumen rahasia, yang diberikan kepada pihak yang meminta fatwa atau pihak-pihak tertentu saja.119
3. Hubungan Jabatan Mufti Johor dengan Majelis Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Jabatan Mufti Johor tidak terlepas dari keanggotaannya dengan Majelis Fatwa Kebangsaan karena seorang mufti negara bagian manapun pasti menjadi anggota Majelis Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan yang berpusat di ibu kota Kuala Lumpur di mana JAKIM menjadi badan yang mengelola urusan fatwa negara Malaysia. Kedudukan mufti ini bukan hanya berfungsi pada negara bagiannya saja tetapi juga ia menjadi berguna sebagai sumber rujukan seluruh rakyat Malaysia karena majelis fatwa ini dianggotai oleh semua mufti-mufti negara bagian. Adapun beberapa hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsaan sebagaimana yang tercantum dalam Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Johor) 2003 [EN.16/2003] Pasal 51 yaitu sebagai berikut: a. Apabila Jawatankuasa Fatwa mendapatkan suatu fatwa yang akan dibuat adalah berkaitan dengan perkara-perkara yang menyentuh kepentingan kebangsaan, Jawatankuasa Fatwa hendaklah menangguhkan pembahasan tentang fatwa yang akan dibuat tersebut dan mengemukakan hal itu kepada Majelis; b. Setelah menimbang dengan teliti perkara itu Majelis dapat membuat saran kepada Duli Yang Maha Mulia Sultan untuk mendapat persetujuan-nya supaya fatwa yang
118 119
Ibid., Peraturan 12 Ibid., Peraturan 13.
akan dibuat itu diajukan kepada Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, melalui Majelis Raja-Raja; c. Fatwa dianggap berkaitan dengan perkara-perkara yang menyangkut kepentingan kebangsaan jika persoalan itu ada hubungannya dengan hal-hal, dasar, rancangan atau kegiatan yang secara langsung menyangkut kepentingan Kerajaan Persekutuan, Kerajaan Negeri atau kementerian; d. Jika Duli Yang Maha Mulia Sultan memberikan persetujuannya sebelum fatwa itu dirujukkan kepada Jawatankuasa
Fatwa
Kebangsaan,
Majelis
hendaklah
memberitahu kepada Kerajaan Negara Bagian tentang perkara yang hendak dipersetujui itu; e. Apabila satu rancangan fatwa yang telah diajukan kepada Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Jawatankuasa itu hendaklah menyampaikan nasihat dan sarannya kepada Majelis Raja-Raja; f. Jika Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan memberikan nasihat atau mengusul-kan supaya rancangan fatwa dibahas, dengan atau tanpa pengubahan dan Majelis RajaRaja telah setuju dengan nasihat dan usulan Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan itu, maka Majelis hendaklah mempertimbangkan nasi-hat dan setelah itu fatwa disahkan dalam Warta tanpa adanya perubahan. g. Sesuatu fatwa yang sahkan dalam Warta hendaklah disertakan dengan keteranganketerangan bahawa fatwa itu dibuat di bawah Pasal ini.120 4. Menerima Nasihat dan Saran Majelis Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Berdasarkan Pasal 52 Enakmen Pentadbiran Agama Islam, Jawatan-kuasa Mufti dapat memakai nasihat dari Majelis Fatwa Kebangsaan.
120
Ibid.
a.
Jawatankuasa Fatwa dapat menerima nasihat dan saran Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan tentang perbuatan atau tindakan yang disetujui oleh Majelis Raja-Raja dan merupakan perbuatan atau tindakan yang meliputi seluruh Persekutuan;
b.
Nasihat atau saran yang hendaklah dianggap sebagai fatwa dan hendaklah dipakai atau dijalankan; Secara umumnya, proses pewartaan fatwa dan hubungannya dengan
Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan dapat digambarkan dalam skema:121 Aduan Permasalahan Hukum
Aduan Masalah Kecil
Aduan Masalah Kontemporer
Mufti/Pegawai Hal Ehwal Islam
Penyelidikan
Rapat Jawatankuasa Perunding Hukum Syara’ Majelis Agama Islam Negara Bagian Penasehat Undang-Undang Negara Bagian Pewartaan Fatwa
Adapun hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsaan di mana mufti negara bagian secara otomatis menjadi anggota Majelis Fatwa Kebangsaan, suatu fatwa yang dikeluarkan oleh Jabatan Mufti Kebangsaan merupakan keputusan bersama antara mufti dari setiap negara bagian. Perbincangan tersebut akan diadakan pada tingkat muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, dari segi pentadbiran, setiap isu atau perkara yang dibahas akan ditetapkan oleh sekretaris yang diletakkan di bawah Jabatan Perdana Menteri (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia atau JAKIM). Isu yang dikemu-kakan adalah merupakan apa yang diminta oleh kerajaan-kerajaan
121
Suwaid Tapah, Perundangan dan Penguatkuasaan Fatwa, (Kuala Lumpur: Jabatan Syari’ah dan Undang-Undang, 2004), cet. I, h. 36
negara bagian yang menyangkut kepentingan Kerajaan Persekutuan atau yang diajukan oleh JAKIM sendiri. Dari aspek menentukan sesuatu perkara yang diputuskan di tingkat ini dapat dilakukan, diajukan secara suara bulat atau dengan suara mayoritas dua pertiga dari anggota ekslusif yaitu para mufti atau wakilnya dan ulama. Mereka ini berhak ikut dalam pembahasan dan pemili-han. Sementara Ketua dan anggota yang beragama Islam dari Perkhidmatan Kehakiman dan Undang-Undang atau dari profesion undang-undang yang dipilih tidak memiliki hak memilih.122 Sebenarnya keputusan ini bukanlah mengikat kerajaan-kerajaan negara bagian, tetapi sebaliknya ia hanya dapat diberlakukan diperingkat negara bagian jika negara bagian tersebut bersetuju mengambil tindakan atau menerima fatwa tersebut melalui keputusan rapat Jawatankuasa Fatwa Negara Bagian yang dibentuk dan selanjutnya diajukan kepada Majelis Agama Negara Bagian masing-masing untuk tujuan pengesahan dan pelaksanaannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan hanya merupakan majelis diskusi untuk menentukan suatu keputusan yang menyangkut kepentingan seluruh Persekutuan.123 Kesimpulannya, di Malaysia semua undang-undang yang berkaitan dengan pengaturan fatwa adalah dibuat oleh kerajaan-kerajaan negara bagian. Ini termasuk perlantikan mufti, pembentukan Jabatan Mufti dan tata cara atau prosedur untuk mengeluarkan sesuatu fatwa. Majelis Agama Islam yang dibentuk di negara-negara bagian diberi tangungjawab untuk menjalankan suatu fatwa. Sehubungan dengan itu, masyarakat Islam di negara bagian harus mematuhi suatu fatwa yang telah disahkan. Undang-undang yang buat untuk seseorang yang melanggar fatwa adalah untuk
122 123
Ibid. Ibid., h. 37
memastikan kesucian agama Islam tetap terpelihara di negara ini sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang tertinggi negara.124
D. Hubungan Jabatan Mufti dengan Mahkamah Syari’ah Setelah Malaysia merdeka Undang-Undang Islam diakui di Mahkamah Syari’ah berasaskan Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam. Selangor merupakan negara bagian pertama yang membentuk Undang-Undang Pentadbiran Hukum Syarak, yaitu pada tahun 1952 yang kemudiannya diikuti oleh negeri-negeri bagian yang lain.125 Kebanyakan undang-undang itu mempunyai ciri-ciri asas yang hampir sama, yaitu ringkas dan mencakup semua aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum syarak. Undangundang tersebut adalah seperti berikut: 4. Enakmen Tadbir Agama Islam Pahang 1952; 5. Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam Terengganu 1955; 6. Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam Pulau Pinang 1959; 7. Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam Negeri Sembilan 1960; 8. Enakmen Pentadbiran Islam Kedah 1962; 9. Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam Perlis 1964; 10. Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam Perak 1965; 11. Enakmen Pentadbiran Hukum Syarak Sabah 1977; 12. Ordinan Majelis Islam (Penubuhan) Sarawak 1954; 13. Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor 1978 14. Wilayah Persekutuan menggunakan Enakmen Pentadbiran Hukum Syarak Selangor 1952 yang diubah sesuai dengan Perintah Wilayah Persekutuan (Pengubahsuaian
124
Ibid., h. 41 Mahamad Arifin et al., Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), Jilid 12, h. 2 125
Enakmen Pentadbiran Hukum Syarak) 1974. Undang-undang tersebut dapat dikatakan berasaskan pada Enakmen Pentadbiran Hukum Syarak Negeri Selangor 1952. Dengan demikian, susunan dan kandungannya mempunyai persamaan walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam hal-hal yang dirincikan dalam beberapa bagian.126 Kebanyakan undang-undang tersebut mengambil undang-undang yang telah disahkan di Negeri Selangor sebagai contoh. Oleh karena itu, terdapat beberapa ketentuan yang dapat dikatakan mempunyai persamaan. Misalnya dalam hal pembentukan organisasi dan mekanisme pelaksanaan hal ehwal agama Islam yaitu adanya Majelis Agama Islam, Mufti, Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Qadhi. Sebagai contoh, diperuntukkan kandungan Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam Negeri Melaka yang mengandungi peruntukan mengenai perkara-perkara yang berikut:127 Bagian I
- Pendahuluan
Bagian II
- Majelis Agama Islam, penubuhan dan acara rapat
Bagian III - Mahkamah Syari’ah, acaranya dalam bidang pidana dan perdata Bagian IV
- Peruntukan keuangan
Bagian V
- Pentadbiran Majelis dalam Negara Bagian
Bagian VI
- Perkahwinan dan Perceraian, semua hak-hak yang timbul akibat dari perkahwinan dan perceraian.
Bagian VII - Nafkah Tanggungan Bagian VIII - Mualaf Bagian IX
- Kesalahan-kesalahan
126
Ibid., h. 3
127
Ibid., h. 4
Bagian X
- Peruntukan-peruntukan Am.128
Berdasarkan Pasal 37 Enakmen Hukum Syarak tahun 1952 Majelis Agama Islam berfungsi sebagai badan tertinggi dalam menentukan dasar Hal Ehwal Agama Islam Wilayah Persekutuan dan sebagai penasihat kepada Yang di-Pertuan Agong. Untuk negeri Melaka, Pulau Pinang, Sabah, Sarawak dan Wilayah Persekutuan, Yang di-Pertuan Agong bertindak sebagai ketua agama. Undang-undang pelaksanaan hukum syara’ ini juga menentukan perkara ten-tang perlantikan anggota Jawatankuasa Majelis, fungsi, tugas dan kewe-nangannya. Selain itu, disyaratkan juga bahwa Mufti yaitu tokoh agama dan pegawai tertinggi agama dilantik atas nasihat Perdana Menteri (Pasal 39), begitu juga dengan perlantikan ahli Jawatankuasa Fatwa (Pasal 40 ayat 2. Mufti merupakan ketua Jawatankuasa Fatwa. selama Mufti tidak ada, Qadi Besar akan mengambil tugas sebagai kepala (Pasal 49 ayat 31.129 Permohonan untuk mendapatkan fatwa diajukan kepada Majelis. sekretaris Majelis akan mengajukan pertanyaan tersebut kepada Kepala Jawatankuasa Fatwa. Setelah dipertimbangkan dan draf fatwa disediakan kemudian mendapat persetujuan suara bulat anggota yang hadir, ketua atas nama Majelis akan mengeluarkan fatwa. Jika draf fatwa tidak disepakati oleh anggota jawatankuasa, perkara itu akan dibawa kepada Majelis untuk dipertimbangkan dan mengemukakan fatwa menurut pendapat suara mayoritas (Pasal 41 ayat 2). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Majelis mempunyai wewenang untuk menentukan fatwa. Fatwa yang dikeluarkan mengikat penduduk di negeri bagian tersebut (Pasal 42 ayat 3). Terkadang perbedaan fatwa dapat terjadi dalam perkara yang sama.130
128
Ibid., h. 4
129
Ibid. Ibid. h. 5
130
Adapun hubungannya dengan Mahkamah Syari’ah131 Jabatan Mufti dan juga Majelis Fatwa Kebangsaan berperan sebagai sumber rujukan hukum syara’ untuk dijadikan sebagai undang-undang di Mahkamah Syari’ah dalam pelaksanaan fatwa oleh Mufti. Dalam Pasal 49 ayat 2 Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri Johor 2003 menyebut; “Suatu fatwa hedaklah diakui oleh semua Mahkamah di dalam Negeri Johor tentang semua perkara yang dinyatakan di dalamnya”. Kemudian dalam Pasal 53 dinyatakan bahwa “Jika dalam Mahkamah selain Mahkamah Syariah, persoalan Hukum Syarak perlu diputuskan, Mahkamah itu dapat meminta pandangan Jawatankuasa Fatwa tentang persoalan itu, dan Mufti dapat menyetujui pendapat Jawatankuasa Fatwa itu kepada Mahkamah yang membuat permintaan itu”. E. Posisi Mufti dalam Struktur Ketatanegaraan Negeri Johor Berdasarkan pada uraian sebelumnya, untuk mengetahui posisi atau kedudukan Mufti dalam Struktur Ketata-negaraan di Negeri Johor dapat dalam bagan sebagai berikut:
Raja / Sultan
Mufti
Menteri Besar
Dewan Undangan Negeri
Mahkamah Syari’ah
131
Mahkamah Syari’ah hanya berwenang terhadap orang Islam saja yang pelaksanaan kesalahan berkaitan dengan hukum keluarga, waqaf, zakat dan jenayah syari’ah. Hukum tindak pidananya dalam akta 1965 Mahkamah Syari’ah hanya menghukum tidak melebihi tiga tahun penjara atau denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau enam kali cambuk atau kombinasinya. Akan tetapi orang bukan Islam boleh memilih jika mereka mau diadili menurut enakmen ini atau tidak. Lihat Mahamad Arifin, et al. Pentadbiran UndangUndang Islam Malaysia, Jilid 12 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h. 42
Raja (Sultan) adalah sebagai Kepala Negara Negeri Johor, sedangkan Menteri Besar adalah sebagai kepala pemerintahan. Menteri Besar melaksanakan pemerintahannnya bersama Dewan Undangan Negeri. Sedangkan Mufti adalah sebagai penasehat Raja (Sultan) yang berkaitan dengan hukum syara. Selain itu, Mufti juga dapat mengeluarkan fatwa baik yang diminta maupun tidak yaitu yang berkaitan dengan masalah ummat. Jika suatu permasalahan yang dikeluarkan fatwanya oleh Mufti itu berkaitan dengan kemaslahatan umum dan negeri, maka fatwa tersebut dengan persetujuan Raja dapat dibawa kepada Dewan Undangan Negeri yang kemudian dapat dibuat menjadi Enakmen dan diwartakan. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang menangani pelanggaran-pelanggaran terhadap fatwa baik yang telah diwartakan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah menguraikan dan menjelaskan kedudukan Mufti di Negeri Johor, maka pada akhir uraian penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut: 1. Secara umum, Jabatan Mufti Johor yang penulis teliti adalah merupakan suatu badan yang mengeluarkan fatwa dan tempat rujukan tertinggi masyarakat Islam yang juga menjadi penasihat kepada Raja. Namun begitu, masih memerlukan penyelarasan dan persamaan serta berhubungan dalam pelaksanaan fatwa dengan badan yang lain seperti Mahkamah Syariah dan Majelis Fatwa Kebangsaan. 2. Kedudukan mufti dalam ketatanegaraan Islam menjadi satu sumber perundangan setelah kewafatan Rasulullah SAW. Mufti ialah orang yang berwenang memberi fatwa atau pertimbangan berdasarkan religius tentang problem ataupun persoalan dalam kehidupan masyarakat yang berbeda dengan qadhi di mana qadhi adalah orang yang bertindak untuk memutuskan hukum dalam peradilan. Mujtahid juga adalah orang yang mengeluarkan ijtihad-ijtihad yang baru. Sedangkan mufti mengeluarkan fatwa yang telah ada untuk diaplikasikan dalam negara sebagai sumber hukum. 3. Kedudukan Jabatan
Mufti
Johor dalam
kinerjanya mengumpul
dan
menyelidik pandangan-pandangan ulama dari dalam dan luar negara
sebagai panduan dan rujukan untuk melaksanakan sesi pengembangan, penyebaran dan kefahaman kepada umat Islam. Mufti adalah penasehat Sultan, ia juga menjadi rujukan peradilan agama, namun masih terdapat kekurangan yang jelas terutama peranan yang dimainkan oleh mufti sebagai ahli rapat Majelis Fatwa Kebangsaan yang gagal dalam pelaksanaannya secara bersama. 4. Fatwa yang telah diwartakan adalah sifatnya mengikat semua orang Islam yang berada di negeri Johor sebagai ajaran agamanya, menjadi kewajiban setiap orang untuk mematuhinya dan fatwa yang telah dikeluarkan oleh Jabatan Mufti Johor adalah disahkan oleh Mahkamah. Akan tetapi ada juga terdapat kesalahan dalam menetapkan fatwa-fatwa mereka karena sifat kekurangan dan keterbatasannya manusia biasa. Namun begitu, Jabatan Mufti Johor telah berhasil menjadi sumber rujukan kepada masyarakat Islam.
B. Saran-saran Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kedudukan Mufti dalam pelaksanaan fatwa sebagai sumber hukum di negara bagian Johor. Di mana Malaysia merupakan negaranya didalamnya mengakui keberadaan hukum Islam. Maka perlu kiranya ada penyesuaian dalam pengeluaran fatwa dengan ketatanegaraan Islam untuk dipraktekkan di Malaysia. Dalam usaha untuk memartabatkan lagi Islam di negara bagian Johor dan Malaysia umummnya. Dalam hal ini perlu ada usaha-usaha perbaikan untuk perubahan dan pemantapan kedudukan mufti ke arah yang lebih baik. Maka saran-saran ini ditujukan:
1. Kepada Sultan Negara Bagian Johor supaya membuka pintu seluas-luasnya dalam memberi wewenang kepada mufti dalam pembinaan fatwa sebagai satu sumber hukum dalam negara. 2. Kepada Majelis Fatwa Kebangsaan perlu ada penyesuaian dan persamaan dalam prakteknya di dalam negara bagian masing-masing. Di mana perlulah mufti-mufti ini yang menjadi ahli majelis tersebut membuat keputusan yang bersama. 3. Kepada badan peradilan Mahkamah Syariah supaya Jabatan Mufti dijadikan sumber rujukannya dalam pelaksanaan hukum. 4. Kepada Jabatan Mufti supaya memperkemaskan sistem pentadbirannya, dan pelayanannya
kepada rakyat terutamanya mereka
yang ingin
mendapatkan jawaban dalam kemusykilan agama. 5. Kepada
orang banyak
supaya mematuhi
fatwa yang
benar
yang
bersumberkan kepada al-Quran dan as-Sunnah dan terutamanya yang tidak mendalami agama supaya berhubung terus dengan Jabatan Mufti untuk mengetahui hukum-hukum yang tidak diketahuinya. 6. Kepada rakyat Johor dan Malaysia supaya memberi sokongan kepada Jabatan Mufti dalam menghidupkan fatwa sebagai sumber rujukan kepada umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Salleh Mohd, Prinsip Perlembagaan Dan Pemerintahan Di Malaysia,cet III, Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Surabaya: Karya Harapan, 2005 Ali, Abdul Karim dan Raihanah Hj. Azahari, Hukum Islam Semasa Bagi Masyarakat Malaysia yang Membangun, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaysia, t.th. Al-Ainain, Badran Abu, Ushul Fiqh, Qaherah, 1969M Ahmad, Muhammad Soleh, Qawa’id Fiqhiyyah, Selangor:D.J.Gemilang Sdn. Bhd, 1998, Cet. I Al-Anbariy, Khalid Ali Muhammad, Sistem Politik Islam, Kuala Lumpur: Telaga Biru Sdn. Bhd., 2008, cet. I. Arifin, Mahamad, et al., Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, jilid 12, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007, cet. I Frawira, Atmu, “ Fatwa Sahabat Fil Wiqhi Al-Islami Dirasat An Fatwa Zaid Bin Thabit Fi Fiqh Mawaris” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2007. Bik, Hudhari, Tarikh Al-Islami, diterjemahkan oleh Mohamad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Indonesia: Darul Ihya, t.th. “Biografi Mufti-Mufti Malaysia.” Utusan Melayu, 19 Januari 2009. Buang, Ahmad Hidayat, Fatwa Di Malaysia, Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan UndangUndang. 2004, cet.I Enakmen Kanun Prosedur Jenayah Syari’ah Kesalahan Jenayah Syari’ah tahun 1997 Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Johor) 2003 [EN. 16/2003] Fatwa-fatwa Mufti Wilayah Persekutuan 1987-2007, Kuala Lumpur: Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan, 2007 Gadot, Shâhibu al-Samahah Dato’ Syeikh H. Nooh, Fatwa Mufti Kerajaan Johor, jilid III, Johor: Jabatan Mufti Johor, 2006, cet. I al-Hadad, Dato’ Sayyid ‘Alwi bin Thahir, Fatwa Mufti Kerajaan Johor, jilid I, cet. III, Johor: Jabatan Mufti Johor, 1981
-------------, Fatwa Mufti Kerajaan Johor, jilid II, Johor: Jabatan Mufti Johor, 1981, cet. I Al-Hafiz, Datuk Abu Hasan Din, Bid’ah: Pemahaman dan Permasalahan Menurut Perspektif Agama, Johor: Jabatan Mufti Johor, t.th. Amin, Ibn Abidin Muhammad, Hasyyiah,Radd al-Mokhtar, Matba’ah Mustafa Halaby 1966M, Jld 5 “Himpunan Fatwa Mufti Negeri Terengganu”, Majlis Agama Dan Adat Melayu Terengganu (MAIDAM), 2001. Al-Hammam, Al-Allahmah,al-Fatawa Mesir,1310H
al-Hindiyyah,jilid
III,
Matba’ah
al-Amiriah,
Ishak, Osman, “Fatwa Dalam Sistem Pemerintahan dan Kehakiman dalam Mufti dan Fatwa”, Kula Lumpur: Ikim,1998. Ismail, Paizah Hj., dan Ridzwan Ahmad, Fiqh Malaysia: Ke Arah Pembinaan Fiqh Tempatan Yang Terkini, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 2000, cet. I Iqbal, Muhammad dan William Hunt, Enseklopedi Ringkas Tentang Hukum Islam, Jakarta: Taramedia, 2003 Iwad, Ibrahim Najaib Muhammad, Al-Qada Fi Al-Islam, Kahirah:Majma’ Al-Buhuth AlIslamiyyah:1975 Jabatan Mufti Johor, Cadangan Penyusunan Semula Organisasi, Pengwujudan Jawatan Baru dan Kenaikan Taraf Jabatan Mufti Johor, Johor Bahru: Jabatan Mufti Johor, 2005 Keputusan Fatwa Kebangsaan, seri I dan II, cet. II, Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 2007 Kertas Kerja, “Kedudukan Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Dan Peranannya.” Kadir, Zainal Abidin Abdul, Wawasan Islam Dr. Mahathir Mohamad Dari Perspektif Bahagian Hal Ehwal Islam, Jurnal Pendidikan Islam.Bil 9:1995: h.1-5. Laman Web Rasmi Jabatan Mufti Johor, Bahagian Fatwa, Diakses pada 15/11/2008. Madkur, Muhammad Salam, Al-Qada Fil Islam, Kaherah: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1966M ------------- Al-Madkhal lil Fiqh al-Islami. Kaherah: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah,1963. Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990 Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1960
Musa, Abdul Samat, dkk.,Prinsip Dan Pengurusan Fatwa Di Negara-Negara Asean, Negeri Sembilan: INFAD, 2006, cet. I An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan Islam, , Bangil: Al-Izzah, 1997,cet. I Nu’ma, Minwalun, “Peranan MUI Dalam Menjawab Masalah Kontemporer Dengan Konsep Sadd Al-Dzari’ah”, Skripsi S1 Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hodayatullah Jakarta, 2007. Othman, Ahmad Lutfi, Mufti Lawan Mahathir?, cet. IV, Kuala Lumpur: Penerbitan Pemuda, 1997 Othman, Mahmod Saedon A,Peranan Prinsip “Adabul Qadi” Dalam Kehidupan Qadi Dan Semasa Bertugas Di Mahkamah,Jernal Hukum, Jld II Bhg II ( Mei 1982),h. 173194. Qaradhawi Al-, Yusuf, Fatawa Mu’ashirah, diterjemahkan oleh Samson Rahman, dkk., Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002, cet. I Al-Qur’an al-Karim Ruzian, Markom, Apa Itu Undang-undang Islam, Pahang: PTS Publications & Distributor Sdn. Bhd., 2003, cet. I Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Edisi Kelima, Jakarta: UI-Press, 1993 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. VII Sunggono, Banbang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. VI al-Syaibânî, Ahmad bin Hanbal Abŭ Abdullâh, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Kairo: Muasasah Qurtubah, t.th, juz IV Al-Syari, Muhamad Ali, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Kaherah. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid I dan II, cet. III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 Yanto, “ Metode Ijtihad Majelis Ulama Indonesia Dalam Menetapkan Fatwa (Studi Kasus Terhadap Fatwa MUI Tentang Aliran Ahmadiyah”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2006. Zin, Najibah Mohd, et al., Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, jilid 14, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007, cet. I
Wawancara Penulis dengan Ketua Bahagian Fatwa, Ustaz Suhaimai bin Rebu, secara lisan, yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2008 jam 11.00 pagi bertempat di Pejabat Ketua Bahagian Fatwa Johor Bahru.
Nama
: Siti Hajar Binti Zainal
NIM
: 107045203899
Konsentrasi
: Jinayah Siyasah Syari’yyah
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Universitas
: Universitas Islam Negeri Syariff Hidayatullah
Assalamua’laikum. Warahmatullahi wabarakatuh
Soalan : 1. Siapakah Badan Fatwa? Apakah anakmen yang telah diperundangundangkan? Jawapan: Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh Badan fatwa telah dianakmenkan dalam buku Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Johor) 2003 [EN.16/2003] pada bahagian III halaman 30 hingga 35 dari Seksyen 44 hingga 54 yang mengandung 38 subseksyen.
Badan fatwa
adalah sebuah badan yang terdiri dari Mufti dan Timbalan Mufti serta Pegawaipegawai Tadbir yang dilantik oleh DYMM Sultan. Seterusnya perlantikan itu harus
diwartakan. Seorang Mufti berfungsi sebagai pembantu penasehat kepada DYMM Sultan dan kepada Pentadbiran Kerajaan berkenaan dengan semua kasus-kasus yang berkaitan hukum syara’. 2. Bagaimanakah tatacara mengeluarkan hukum fatwa? Sebelum fatwa dikeluarkan, Mufti berperan melakukan kajian atau penyelidikan berdasarkan kepada permintaan orang banyak berupa kertas kerja bertulis. Selanjutnya Mufti akan mengadakan rapat bersama Jawatankuasa Fatwa yang bertujuan mendiskusikan fatwa tersebut dan mengemukakan fatwa tersebut kepada Majelis dan dibawa kepada DYMM Sultan untuk mendapat perkenan. Kemudian fatwa itu dibawa kepada Kerajaan Negeri dan harus diwartakan dalam Bahasa Kebangsaan berupa tulisan Jawi (Arab-Melayu) dan tulisan Rumi (Bahasa Melayu) yang bersifat muktamad. Selain cara di atas, seorang mufti layak untuk menjawab persoalan fatwa yang dijawab terus kepada orang yang bertanya tanpa perlu diwartakan tetapi fatwa itu mengikat untuk dipatuhi.
Wawancara Penulis dengan Abdul Halim bin Awang @ Sulong, b.p. Mufti Negeri Terengganu. Secara bertulis pada 25 Zulkaidah 1429H bersamaan 23 November 2008 di Pejabat Jabatan Mufti Negeri Terengganu, Kuala Terengganu.
Nama
: Siti Hajar Binti Zainal
NIM
: 107045203899
Konsentrasi
: Jinayah Siyasah Syari’yyah
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Universitas
: Universitas Islam Negeri Syariff Hidayatullah
Assalamua’laikum. Warahmatullahi wabarakatuh
Soalan : 1. Kedudukan Mufti di dalam Islam 2. Fatwa-Fatwa yang dikeluarkan 3. Perbezaan Mufti dengan Qadhi Jawapan: Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Hubungkait Mufti dengan Majlis Fatwa Kebangsaan dan Adakah fatwa menjadi hukum atau tidak.
Keputusan fatwa dalam bahasa bermaksud memberi jawapan/penjelasan bagi sesuatu masalah agama. Manakal dalam istilah ialah penjelasan mengenai hukum syara’ oleh Mufti bagi sesuatu masalah agama berdasarkan dalil syara’ sebagai jawapan kepada sesiapa yang bertanya, baik secara sendirian atau berkumpulan. Fatwa ialah keputusan yang telah dikeluarkan oleh Jabatan Mufti dan telah diwartakan oleh kerajaan negeri bagi proses penguatkuasaan undang-undang. Proses mengeluarkan jawapan dilakukan secara berjemaah di peringkat
segeri
maupun
diperingkat
kebangsaan. Islam
mensyari’atkan
umatnya bertanya kepada orang yang berilmu sekiranya mereka mendapati sesuatu masalah itu tidak jelas hukumnya. Skop fatwa adalah kasus atau masalah yang timbul dalam masyarakat dan belum jelas hukum mengenainya, pendapat yang berbeda antara ulama’ yang memerlukan pemilihan (tarjih), isuisu yang telah difatwakan di Negara-negara lain perlu disesuaikan mengikut keadaan setempat, dan isu-isu yang bersifat global dan berkaitan dengan kepentingan umat Islam. Fatwa di Malaysia adalah satu unsur penting dalam kehidupan masyarakat Islam.
Kemajuan sains
dan
teknologi
yang
dinamik
di
Malaysia
telah
menimbulkan beberapa persoalan baru yang memerlukan huraian menerusi fatwa. Jabatan Mufti negeri-negeri di seluruh Malaysia memainkan peranan penting bersama Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) bagi mengeluarkan sesuatu fatwa. Sebagai sekretariat, Jabatan Mufti dan JAKIM mengadakan persidangan dan muzakarah semasa bagi membincangkan sesuatu isu dan perkara yang belum diputuskan. Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam, Jawatankuasa ini akan mengundang pihak tertentu mengikut bidangnya
yang boleh membantu bagi membincang dalam usaha menyelesaikan sesuatu permasalahan. Beberapa asatizah dan cendekiawan yang berpengalaman juga merupakan ahli di dalam jawatankuasa ini bagi tujuan memperluaskankan perbincangan dan sebagai usaha menjadikan mereka pelapis di masa hadapan. Bagaimanakah fatwa dikeluarkan adalah perlu dikaji dan dibentangkan da dalam jawatankuasa, lazimnya mengikut pendapat muktamad dalam madzhab Syafi’e Jawatankuasa Fatwa berpegang kepada Ahli Sunnah Wal Jamaah. Mengikut kaidah Fiqh Al-Aulawiyyat yaitu meletakkan sesuatu pada kedudukan yang sewajarnya sama ada dari segi hukum, nilai mahupun pelaksanaannya. Perkara/amalan yang
lebih utama
hendaklah didahulukan
berdasarkan
penilaian syari’at dan akal. Jawatankuassa fatwa akan merujuk kepada pendapat-pendapat sahabat, tabi’in, imam-imam mazhab dan fuqaha’ dengan mengadakan penelitian dalil-dalil dan implikasinya.
Sumber rujukan
•
Al-Quran Al-Karim
•
Al-Sunnah Al-Nabawiyyah
•
Al-Ijma’
•
Al-Qiyas
•
Ijtihad Ahli Al-Fuqaha Semasa
Permohonan Keputusan Fatwa
Pertimbangan Oleh Jawatankuasa Fatwa
Keputusan Fatwa dikeluarkan oleh Pengerusi Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan bagi Hal Ehwal Agama Islam apabila keputusan sebulat suara dicapai.
Fatwa yang dikeluarkan akan dibawa ke peringkat Jawatankuasa Fatwa peringkat negeri-negeri untuk diterima di peringkat negeri masing-masing.
Keputusan fatwa yang melibatkan masyarakat umum akan disiarkan melalui media massa termasuklah e-Fatwa di internet