KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU FRANCHISEE (TERWARALABA) DALAM PENGATURAN FRANCHISE (WARALABA) DI INDONESIA
TESIS
Oleh
DUPA ANDHYKA S. KEMBAREN 077005116/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU FRANCHISEE (TERWARALABA) DALAM PENGATURAN FRANCHISE (WARALABA) DI INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
DUPA ANDHYKA S. KEMBAREN 077005116/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU FRANCHISEE (TERWARALABA) DALAM PENGATURAN FRANCHISE (WARALABA) DI INDONESIA : Dupa Andhyka S. Kembaren : 077005116 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum) Ketua
(Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum)(Dr. Mahmul Siregar,SH,M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof.Dr.Ir. T.Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 03 Agustus 2009 Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Telah diuji pada Tanggal 03 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum
Anggota
: 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
ABSTRAK
Pertumbuhan dunia bisnis dewasa ini begitu pesat berkembang, didukung pula usaha memperluas bisnis kian bervariatif. Salah satu bentuk pengembangan atau upaya memperluas bisnis yaitu dengan menggunakan sistem waralaba (franchising). Pendekatan bisnis melalui sistem waralaba (franchising) merupakan salah satu strategi alternatif bagi pemberdayaan UKM untuk mengembangkan ekonomi dan usaha UKM di masa mendatang. Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: bagaimana pengaturan bisnis waralaba (franchise) dalam aspek kontraktual dan teknis prosedural, bagaimana kedudukan franchisee (UKM) dalam kontrak-kontrak standar/baku franchise (waralaba), bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh UKM sebagai franchisee dalam menyelesaikan sengketa yang lahir dari pelaksanaan kontrak franchise (waralaba). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatifkualitatif. Sehubungan dengan perlindungan pengusaha UKM yang diupayakan melalui UU Usaha Kecil, dimana dinyatakan bahwa pemerintah bermaksud untuk memberdayakan usaha kecil agar dapat bersaing dalam menghadapi era perdagangan bebas. Pemberdayaan UKM ini dilakukan melalui program kemitraan yang disyaratkan bahwa pengaturan tentang kemitraan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. PP Waralaba kurang memperhatikan unsur pembinaan dan pengembangan terhadap UKM bahkan nyaris kurang memberikan perlindungan terhadap UKM. Hal tersebut terlihat dalam pengaturannya yang memaksa UKM untuk dapat membuka beberapa gerai usaha. Adapun apabila ditelaah dari kontrak-kontrak standar/ baku franchise yang ada. Maka dapat di lihat banyak ketimpangan yang terjadi di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan franchisor (pewaralaba) di dalam penyusunan kontrak yang lebih dominan sehingga kedudukan franchisee khususnya UKM tidak seimbang dan dirasakan kurang adil. Adapun pengaturan pembuatan perjanjian didasarkan oleh kata sepakat diantara para pihak sesuai pasal 1338, 1320 KUH Perdata, tetapi di dalam praktek di lapangan pengaturan perjanjian lebih didominasi oleh franchisor dan mengesampingkan kepentingan franchise. Proses penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam pelaksanaannya berdasarkan dalam analisis kontrak dilakukan dengan cara musyawarah atau negosiasi, Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
apabila proses ini tidak berhasiil, maka dapat diupayakan upaya hukum lewat jalur pengadilan. Adapun proses penyelesaian sengketa yang terjadi di luar Indonesia dilakukan dengan arbitrase. Kata kunci: Kedudukan Hukum UKM, Pengaturan Franchise
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
ABSTRACT
Nowadays, business, supported by various attempts to expand it, quickly develops. One of the attempts to expand the business is the system of franchising. Approaching business through. franchising system is one of the alternative strategies to empower and economically develop UKM (Small and Medium Scale Business) in the future. Based on the background above, the purpose of this doctrinal study with normative juridical method is to find out how the franchise is regulated in the contractual and procedural aspects, to find out the position of franchisee (UKM) in the franchise standard contract, and to find out the attempt which can be taken by the UKM in its capacity as the franchisee in solving the , dispute resulted from the implementation of franchise contract. The data for this study were base on the secondary data focused on the speculative-theoretical steps such as the law as written in the book and the law as what decided by the judge through judicial process which were then normatively and qualitatively analyzed. In connection with the protection for the UKM businessmen through the Law on Small Scale Business, it is stated that the government intends to empower small scale businesses in order to be able to compete in facing the era of free trade. This UKM empowerment is implemented through the program of partnership whose regulation will be further regulated in the Government Regulation. In fact, the Government Regulation on UKM pays less attention to the development of and the protection for UKM. It is seen in its regulation that requires UKM to run several shops or business stands. If the available standard franchise contracts are analyzed, many imbalances will be exposed such as the position of franchisor is more dominant than that of franchisee especially UKM that it is felt unfair. Even though Article 1338 and Article 1320 of the Indonesian Civil Code state that the making of contract or agreement is based on the agreement made by the parties involved, but, in practice, the regulation of agreement is more dominated by the franchisor while the interest of franchise is ignored. In the contract or agreement, it is stated that the process of solving the dispute occured is conducted based on deliberations or negotiation, if failes, the dispute will be brought to trial. The solution process of the dispute occured outside of Indonesia is done through arbitratio.
Key words: Legal Position of UKM, Franchise Regulation
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi kekuatan jasmani dan rohani dan atas rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Pembuatan tesis ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak memperoleh gelar Magister Humaniora untuk jurusan Hukum Bisnis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah: "KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU FRANCHISEE (TERWARALABA) DALAM PENGATURAN FRANCHISE (WARALABA) DI INDONESIA". Di sini penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak dijumpai berbagai kekurangan. Kiranya terhadap hal ini penulis mohon dengan segala kerendahan hati,untuk dimaklumi dan apabila ada kritik dan saran yang membangun berkenaan dengan penulisan tesis ini penulis ucapkan banyak terima kasih. Selanjutnya dalam rangka penyelesaian tesis ini penulis menyampaikan hormat dan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A.(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pandangannya yang luas tentang pendidikan baik di dalam maupun di luar kampus;
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
2. Ibu Prof. Dr. 1r. T. Chairun Nisa B.,M.Sc selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesediaannya menerima penulis sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H., selaku Dosen dan Ketua
Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bimbingan dan ilmu yang diberikannya selama perkuliahan dan atas pimpinannya yang baik,teratur dan berdedikasi sehingga proses belajar di Sekolah Pascasarjana Hukum ini dapat berlangsung tertib, tenang, teratur dan penuh dengan rasa kekeluargaan 4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Dosen dan Sekretaris Sekolah Pascasarjana Hukum Universitas Sumatera Utara ini, atas ilmu yang diajarkan dan ketulusannya yang membantu penulis dalam konsultasi dan konselling tentang berbagai hal tentang pelajarannya,beliau bagaikan ibu yang mengayomi kami selama perkuliahan; 5.
Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH,CN, M.Hum dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku komisi pembimbing penulis dalam penulisan tesis ini, kuhaturkan hormat dan terima kasih yang mendalam atas ketulusan,dan kerelaan serta pengayomannya dalam membimbing, memberi masukan dan ilmu bagi penulis dari awal hingga akhir penulisan. Penulis hanya
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
bisa berdoa dan memohon kepada Tuhan kiranya para pembimbingku selalu diberkati dan disertai dengan hikmat dan marifat sehingga dapat dengan tulus, ikhlas menurunkan ilmunya untuk cikal bakal mahasiswamahasiswa lainnya pada massa mendatang. 6.
Para Bapak dan Ibu Dosen serta Staff yang ada di Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis ucapkan banyak terima kasih.
7.
Teman-Temanku baik di program S-1I dahulu ataupun yang sekarang di Pascasarjana
ini
yang
sangat
banyak
yang
tidak
dapat
k u s e b u t k a n s a t u p e r s a t u namanya, terimakasih atas dukungan dan semangat yang kalian berikan padaku. 8.
Keluargaku Tercinta, baik Munthe maupun Kembaren, penulis ucapkan banyak terima kasih, terutama Opungku tercinta Gustina Purba yang benar-benar mendukungku, aku berterima kasih atas dukungannya dalam penulisan tesis ini, Tuhan memberkati opungku yang tercinta ini dengan berkat kesehatan dan hikmat marifat.
9.
Dra. Jenny Sumono, M.Mus, Dip.LCM, guru pianoku, penulis ucapkan terima kasih atas dukungannya dan semangat yang diberikan kepadaku selama
penulis
mengikuti
perkuliahan.
Ya,benar
pendapat
beliau....dengan musik klasik yang dihasilkan dari keindahan jari di piano, maka terdapat keselarasan antara jiwa emosi dan logika yang
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
memberikan ilmu pengetahuan yang mantap dibarengi dengan nilai estetika yang memberi kedamaian jiwa....Dengan musik menjadikan seorang yang berilmu semakin rendah hati dan sadar diri serta mengingat penciptanya ... terimakasih miss atas nasehatnya; 10. Bapak Pdt. Daniel Tanzil, S.Th, M.Th dan Ibu Pdt. Rulhann Tanzil,
sebagai pribadi yang selalu mendoakan penulis dalam hal kerohanian, terima kasih, penulis rasakan lewat firman dan ajaran yang didengar, penulis lebih lagi beriman dan bertakwa serta rendah hati di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. 11. Untuk adik-adikku tercinta: Sara Sulaimi Gabriella Eufratnia Kembaren ... tetaplah berdoa dan tekun beribadah dan belajar.sehingga kau dapat menyelesaikan perkuliahan dan sekolahmu dengan baik dan tepat waktu juga. Kesuksesan hanya didapat di dalam Kristus dan belajar. Raih cita-citamu dan tetaplah semangat, tidak ada satupun di dunia ini yang tidak ada pemecahannya, belajar, berdoa dan membantu sesama serta membahagiakan orangtua, itulah tugas kita yang terutama. Aku senang atas kegigihanmu dalam pekerjaanmu juga, tetapi buatlah keseimbangan antara bekerja sambil kuliah. Sukses untuk adikku sayang!! Dan kepada adikku Yemima Lois Seraphina Kembaren, bergiatlah sekolah dan tuntut ilmu setinggi langit. Terus berdoa dan belajar, manfaatkan waktu dengan baik, terutama di sekolah dan semua
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
les yang kau tekuni. Pelajaran sekolah dibarengi dengan vocal, piano, dan berbagai kemampuan lain yang kau peroleh adalah bekal yang baik untuk massa depanmu. Terutama bakatmu di bidang vocal dan piano, peliharalah itu.. sebab Tuhan telah memberi talenta itu kepadamu. Terima kasih adik-adikku, aku sayang kalian, doakan abangmu ini bisa berhasil dan menjadi berkat bagi banyak orang terutama di tengah keluarga kita. Camkanlah adinda berdua bahwa Tuhan dapat membuat hal yang mustahil menjadi nyata. Walau kita belum melihat rencana Tuhan itu, tapi kita tahu semua indah pada waktunya, Tuhan memberkati adinda berdua. 12. Dan rasanya suatu kebanggan tersendiri yang di dalam kesempatan ini penulis ucapkan rasa terima kasih dan hormat yng mendalam kepada ke dua orangtuaku tercinta yakni Kepada Papiku tercinta: (Alm). Ir. Agriffa Kembaren, M.B.A .... yang raganya sudah tidak ada lagi untuk menemaniku di sini,yang suaranya tidak lagi kudengar saat aku bangun di pagi
hari,
yang
semangatnya
tidak
lagi
bisa
kurasakan
untuk
menguatkanku di saat bersedih, yang ketegasan ajarannya tidak lagi kuterima di saat aku bersalah, yang kebijaksanaan dan pandangannya tidak
dapat
kuselesaikan
lagi
kuterima
perkuliahanku
saat di
aku tingkat
bimbang...papi, yang
lebih
sekali tinggi
lagi tanpa
kehadiranmu, walau aku tahu dan percaya kau tidak ada di dunia lagi
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
tetapi kau sudah senang di pangkuan Tuhan yang Maha Kuasa dan selalu mendoakan kami di sini. Aku teringat pada awal tahun 2006, aku katakan bahwa aku akan menyelesaikan S-1 ku dengan nilai memuaskan dan tepat waktu, dan aku ingin pagi mami mendampingiku wisuda, tetapi kau hanya berkata: "Biar mami saja yang dampingi". Kemudian enam bulan sebelum hari wisudaku....entah sudah pertanda atau Secara kebetulan saja ... kata-katamu terbukti, pada bulan Juli tahun 2006, papi pergi meninggalkanku untuk pergi ke rumah Bapa di Sorga selamanya. Akhirnya aku pun melangkah di atas panggung wisuda dengan perasaan tegar dan bercampur sedih dan penuh kenangan akan papi. Seandainya papi di sini ............Kemudian aku melanjutkan perkuliahanku ke jenjang yang lebih tinggi pada jenjang S-2 sesuai amanat papi untuk melanjutkan studi-ku langsung setelah S-1 selesai. Sekarang dia telah pergi selama tiga tahun dan akhirnya amanat itu kuselesaikan juga, dan aku akan kembali melangkah di panggung wisuda itu tanpa kehadiran seorang ayah. Rasa kesepianku yang kualami setiap hari kembali terasa, bahkan semakin perih.....aku merindukan saat-saat seperti saat aku bersama papiku tercinta Aku berjanji sesuai amanatmu akan menjadi anak yang bertanggung jawab, mengingat kesusahan orang lain dan bersyukur akan segala keadaan, dan nasehatmu yang paling mulia bahwa: "Dalam segala keadaan aku tidak boleh bermegah, aku harus ingat ada orang yang lebih menderita dari aku, belajarlah untuk puas dengan apa yang diperoleh dan tetap rendah hati dalam segala kesuksesan Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
yang telah kuperoleh". Terima kasih papi, aku sayang padamu,aku akan menjalankan permintaan terakhirmu yang belum kulakukan yakni: untuk menjadi abang yang bertanggung jawab bagi kedua adik dan mendampingi mami dan menjadi orang yang bijak dalam keluarga dan menjadi panutan bagi keluarga...Papi...aku sayang padamu, aku rindu padamu tapi aku tabu sekarang kita sudah tidak bisa bersama lagi, kau sudah ada di sebelah kanan Bapa di sorga. Aku percaya, suatu saat kita akan bertemu lagi di Dunia Kekal itu yang tidak ada ratap tangis, dukacita dan perkabungan, yakni Sorga yang kekal itu yang selalu diliputi kebahagiaan dan cinta. Kepada Mamiku tercinta: Maida Angelina Kennedyana Munthe , SH (Baby Munthe), aku berterima kasih atas dukunganmu serta kasih sayangmu kepadaku dan adik-adik sehingga aku kuat dan tetap semangat menjalani perkuliahanku. Aku berterima kasih atas doa-doamu dan ketegaranmu dan kekuatanmu dalam menjalankan hidup sebagai ayah dan sekaligus ibu kami. Aku akan selalu ingat ajaranmu terlebih dalam hal kerendahan hati dan untuk taat beribadah dan mengutamakan Tuhan di atas segalanya. Mami aku kagum denganmu, aku percaya sesuai perkataan papi sebelum meninggal...."Mami akan selalu senang"....Aku percaya itu mami ... Biarlah Tuhan mewujudkan perkataan itu lewat kami anak-anakmu, untuk
membalas
kebaikan,
ketabahan
kesabaranmu
dalam
menjalani
kesendirianmu dan doa-doamu bagi kami. Mami ... aku percaya Tuhan akan selalu menolong, menuntun dan memberkatimu, terima kasih mami, aku sayang padamu. Tuhan memberkati. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Akhimya penulis mengharapkan agar tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak,khusunya pars pihak yang hendak menambah bahan-bahan masukan yang berkaitan dengan Bisnis franchise dan berbagai pengaturannya di Indonesia. Dan penulis berdoa agar kiranya ilmu yang penulis peroleh dalam pendidikannya selama mengikuti perkuliahan di tingkat sarjana dan tingkat magister ini dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa,negara,agama dan doakanlah penulis dapat dipakai sebagai alai perpanjangan kasih Tuhan untuk sesama.
Medan,
Juli 2009
Hormat Penulis,
Dupa Andhyka S.kembaren,SH
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Dupa Andhyka S. Kembaren
Tempat/Tanggal Lahir
:
Medan, 05 April 1986
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Kristen Protestan
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Alamat
:
Jalan Tomat No.5/18 Medan
Pendidikan
:
SD St Anthonius 1 Medan Tamat Tahun 19911997 SLTP Putri Cahaya Medan Tamat Tahun 19972000 SMU Methodist 1 Medan Tamat Tahun 20002003 Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum Tamat Tahun 2003-2007 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2007-2009
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...........................................................................................
i
ABSTRACT ...........................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ...........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................
xii
DAFTAR ISI ........................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xv
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................
1
A. Latar Belakang ................................................................
1
B. Perumusan Masalah ......................................................... 12 C. Tujuan Penelitian ............................................................. 13 D. Manfaat Penelitian ........................................................... 13 E. Keaslian Penulisan ........................................................... 14 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ........................................... 15 G. Metode Penelitian ............................................................. 22
BAB II
PENGATURAN BISNIS FRANCHISE (WARALABA) DALAM ASPEK KONTRAKTUAL DAN TEKNIS PROSEDURAL ..………………………………………………
29
A. Asas-Asas Franchise ......................................................
29
B. Pengaturan Franchise (waralaba) di Eropa ………………. 35 C. Prospek Pengaturan Hukum Franchise Dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia…………………….. 39
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
D. Pengaturan Hukum Mengenai Franchise Di Indonesia ......................................................................... 42 E. Perlindungan Hukum Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil ………………………………………………… 51
BAB III
BAB IV
BAB V
KEDUDUKAN FRANCHISEE (TERWARALABA) UKM DALAM KONTRAK-KONTRAK STANDAR/ BAKU FRANCHISE (WARALABA) ……………………..
59
A.
Perjanjian Franchise ............... ...................................
59
B.
Analisis Mengenai Perjanjian Franchise .....................
78
C.
Kedudukan UKM selaku franchisee berdasarkan Analisis Perjanjian franchise …………………………… 90
UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH UKM SEBAGAI FRANCHISEE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA YANG LAHIR DARI PELAKSANAAN KONTRAK FRANCHISE (WARALABA) ………………… 108 A.
Penyelesaian Sengketa .................................................. 108
B.
Proses Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Kontrak …. 121
C.
Perlunya Perlindungan Hukum Terhadap Franchisee Dalam Perjanjian Franchise …………………………….. 123
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………… 137 A. Kesimpulan ................................................................... 137 B. Saran ............................................................................. 138
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 140
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
1.
Perjanjian Kemitraan Nomor : 032/ MOU/ 6/2009 ........
148
2.
Perjanjian Kerjasama Nomor...../ MOU/.../2009 ............
162
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Istilah waralaba berakar dari sejarah masa silam praktek bisnis di Eropa. Pada masa lalu, bangsawan diberikan wewenang oleh raja untuk menjadi tuan tanah pada daerah-daerah tertentu. Pada daerah tersebut, dapat memanfaatkan tanah yang dikuasainya dengan imbalan pajak/ upeti yang dikembalikan kepada kerajaan. Sistem tersebut menyerupai royalti, seperti layaknya bentuk waralaba saat ini. 1 Sistem waralaba berkembang pesat dan menarik perhatian media, baik secara positif maupun negatif. 2 Waralaba (franchise) adalah istilah yang menunjuk hubungan antara dua pihak atau lebih dalam pendistribusian barang atau jasa. Ada tiga jenis waralaba di Amerika, yaitu waralaba produk atau merek dagang, waralaba format bisnis, dan waralaba konversi. 3 Waralaba produk atau merek dagang adalah waralaba yang sangat terbatas. Alasannya, pabrik memberikan lisensi ke pihak lain untuk menjual produknya. Misalnya, penjualan mobil melalui dealer. Jenis waralaba format bisnis, yang selanjutnya akan disebut dengan waralaba saja. Dalam waralaba format bisnis ini, manajer atau pemilik bisnis (franchisor) memberi ijin kepada seseorang untuk 1
Rizal Calvary Marimbo, Rasakan Dahsyatnya Usaha Franchise !, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007), hal. 1. 2 Joseph Mancuso & Donald Boroian, Peluang Sukses Bisnis Waralaba, Bagaimana Membeli dan Mengelola Bisnis Waralaba, (Jakarta: Dolphin Books, 2006), hal. 13. 3 Ibid., hal. 14.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
memasarkan produk atau jasa menggunakan nama, merek dagang, dan format bisnis franchisor. Seringkali produk yang dijual tidak disediakan franchisor. Sedangkan jenis ketiga adalah waralaba konversi, yaitu waralaba format bisnis yang diadaptasi untuk mengangkat nama pendiri bisnis dalam iklan. Misalnya century 21, afiliasi agen restoran yang sukses dalam waralaba. 4 Ciri-ciri franshising antara lain: pertama, pewaralaba memiliki trade name (nama perniagaan), trade atau service mark (merek atau jasa dagang), patent, trade secret (rahasia dagang), dan know-how (pengetahuan); Kedua, terwaralaba diijinkan untuk menggunakan hak-hak yang disebutkan poin pertama, biasanya dalam daerah tertentu, dan selama periode waktu tertentu; Ketiga, operasi usaha waralaba di bawah pengarahan pewaralaba melalui beberapa klausul tertentu dan kontrak waralaba; Keempat, terwaralaba akan membayar royalti, dan sering disebut pula initial fee, untuk hak melakukan usaha di bawah nama dan sistem pewaralaba. 5 Berdasarkan data Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), di Indonesia, pada tahun 2006, kurang lebih terdapat 70 jaringan waralaba lokal dan 237 waralaba asing. Pertumbuhan rata-rata waralaba lokal sekitar 7% per tahun, sedangkan waralaba asing mencapai 15%. Penjualan waralaba ini diperkirakan mampu menampung 4 juta tenaga kerja. Namun perlu dicatat bahwa tingkat keberhasilan gerai baru waralaba di tanah air terhitung sangat rendah, 4
Ibid., hal. 15. Hadi Setia Tunggal (I), Dasar-Dasar Pewaralabaan (Franchising), (Jakarta: Harvarindo, 2006), hal. 7. 5
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
yaitu hanya 48%. Artinya setengah lebih gerai baru berakhir dengan gulung tikar. Sementara itu, tingkat keberhasilan di luar negeri telah mencapai 92%. Kegagalan waralaba lokal di Indonesia, karena pewaralaba kurang bonafide, sekitar 60% pewaralaba lokal tidak memiliki model bisnis yang mantap dan teruji (proven). 6 Dalam jangka panjang, harus diakui bahwa peran usaha kecil dan menengah (UKM) yang jumlahnya sangat dominan dalam struktur perekonomian Indonesia sangat strategis dan seharusnya dijadikan landasan pembangunan ekonomi nasional. Namun fakta menunjukan perekonomian nasional lebih dikuasai oleh segelintir penguasa besar yang ternyata sangat labil terhadap goncangan ekonomi global. Masalahnya adalah, bagaimana memperluas dan memberdayakan UKM yang cenderung masih menerapkan manajemen tradisional, lemah terhadap akses permodalan, teknologi cenderung
konvensional, miskin inovasi dan jaringan,
sehingga mampu bersama-sama tumbuh dengan perusahaan besar terutama yang berkelas dunia serta bervisi global. 7 Dalam konteks demikian, pendekatan bisnis melalui sistem waralaba (franchising) merupakan salah satu strategi alternatif bagi pemberdayaan UKM untuk mengembangkan ekonomi dan usaha UKM di masa mendatang. UKM harus mampu membesarkan dirinya secara bersinergi dengan pengusaha besar yang 6
Hadi Setia Tunggal (II), Frequently Ask Questions (FAQs) Franchising, (Jakarta: Harvarindo, 2006), hal. iv-v. 7 Herustiati dan Victoria Simanungkalit, “Waralaba: Bisnis Prospektif Bagi UKM”, Dikutip dari http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/WARALABA-W.htm, Diakses tanggal 24 Maret 2009.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
lebih kuat dalam hal manajemen, teknologi produk, akses permodalan. Pemasaran dan lain-lain, sekurang-kurangnya pada tahap awal perkembangannya. Melalui proses kemitraan waralaba yang saling menguntungkan antara UKM (selaku penerima waralaba/ franchisee) dengan pemberi waralaba (franchisor) yang umumnya adalah pengusaha besar, diharapkan dapat membuat UKM selaku franchisee menjadi lebih kuat dan mandiri. Waralaba menjadi alternatif pilihan, karena melalui bisnis waralaba UKM franchisee akan mendapatkan: 1) transfer manajemen; 2) kepastian pasar; 3) promosi; 4) pasokan bahan baku; 5) pengawasan mutu; 6) pengenalan dan pengetahuan tentang lokasi bisnis; 7) pengembangan kemampuan sumber daya manusia, dan yang paling terpenting adalah resiko dalam bisnis waralaba sangat kecil. 8 Di Indonesia usaha waralaba ini sudah mulai berkembang sejak tahun 1985 pada berbagai skala usaha terutama bisnis makanan seperti: Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken (KFC), Mc Donald, dalam bisnis eceran seperti: Carrefour, Smart, Alfamart, Teh Poci, Es Teller 77, Dawet, Bakso, Tela-tela, Burger Mega dan lainnya. Fakta menunjukkan, bahwa waralaba yang lebih berkembang di Indonesia adalah waralaba yang sumber teknologinya datang dari luar negeri sebagai pemilik
Hak
atas
Kekayaan
Intelektual
(Intellectual
Property
Right).
Implikasinya, sebagian besar pendapatan yang diperoleh dari bisnis waralaba tersebut mengalir ke kantong pengusaha di luar negeri untuk pembayaran royalti 8
Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
secara terus menerus. Maka dalam rangka memperkuat perekonomian negara perlu dikembangkan bisnis waralaba lokal. Ada lima syarat minimal suatu usaha dapat diwaralabakan yaitu: a) memiliki keunikan, b) terbukti telah berhasil, c) standar kualitas tetap, d) dapat diajarkan/diaplikasikan dan, e) menguntungkan. 9 Kriteria pertama menunjuk pada keunggulan spesifik yang tidak dipunyai oleh pesaing-pesaing di dalam industrinya dan tidak mudah ditiru. Usaha yang akan diwaralabakan harus terbukti dan teruji (track record), misalnya terbukti menguntungkan dan teruji dapat bertahan dalam masa-masa sulit. Usaha waralaba sangat memerlukan standarisasi sehingga kerangka kerjanya harus jelas dan sama. Harus mudah diaplikasikan (applicable) dan mudah dijalankan oleh orang lain (transferable), serta harus menguntungkan yang dibuktikan dengan penerimaan produknya oleh pelanggan (consumers base). 10 Beberapa hal yang juga harus diperhatikan calon terwaralaba antara lain, usaha waralaba yang diliriknya harus memiliki ciri khas usaha, terbukti telah memberikan keuntungan, memberikan standar pelayanan barang dan jasa secara tertulis, sudah diajarkan dan diterapkan, serta adanya dukungan pihak pewaralaba secara kontiniu, dan, HKI telah terdaftar. 11
9
Ibid. Ibid. 11 Sada Sardjono, “Perkembangan Bisnis Waralaba: Krisis, Bisnis Waralaba Kian Diburu”, Dikutip dari http://www.kontan.co.id/index.php/Bisnis/news/8932/ Krisis__Bisnis_Waralaba_ Kian_Diburu, Diakses tanggal 24 Maret 2009. 10
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Saat ini di Indonesia berkembang dua jenis waralaba yaitu: 1) Waralaba produk dan merek dagang yaitu pemberian hak izin dan pengelolaan dari franchisor kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menjual produk dengan menggunakan merek dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau lesensi penjualan. Franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang aman dan showroom serta menyediakan jasa orang untuk membantu mengambil keputusan “do or not”. 2) Waralaba format bisnis yaitu sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang komplit dan komprehenshif tentang tatacara menjalankan bisnis. Jenis waralaba yang banyak berkembang di Indonesia saat ini adalah jenis waralaba format bisnis. 12 Untuk memilih bentuk dan jenis waralaba yang akan dibeli, setiap UKM harus memperhatikan manajemen, prosedur, etika dan filosofi dari waralaba yang ingin dipilih, yaitu bagamana jaringan waralaba dimulai, seberapa luas jaringan waralaba, apakah waralaba tersebut sudah mapan di pasar atau sedang bertumbuh, investasi seperti apa yang dibutuhkan, dan sebagainya. Untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum UKM memasuki bisnis waralaba adalah: 13 1) Menyeleksi waralaba yang akan dipilih; 2) Meyakinkan motivasi untuk berbisnis waralaba; 3) Menghubungi waralaba yang mempunyai prospektif baik; 4) Menyelidiki sistem waralaba yang akan dipilih;
12 13
Herustiati dan Victoria Simanungkalit, Op. Cit., hal. 2. Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
5) Mengevaluasi kesempatan dan tantangan waralaba yang bersangkutan; 6) Mempelajari sistem manajemen korporasinya; 7) Memilih format bisnis waralaba yang akan dijalankan; 8) Melakukan kontrak kerjasama bisnis waralaba. Adapun peluang keuntungan UKM apabila menjalankan bisnis waralaba sebagai penerima waralaba (franchisee) adalah sebagai berikut: 1) Memperoleh program pelatihan yang terstruktur dari franchisor; 2) Memperoleh insentif memiliki bisnis sendiri dengan bantuan manajemen secara terus-menerus; 3) Mendapat keuntungan dari kegiatan operasional di bawah nama dagang yang telah mapan di masyarakat; 4) Membutuhkan modal yang lebih kecil; 5) Resiko bisnis relatif kecil; 6) Memperoleh dukungan riset dan pengembangan dari franchisor; 7) Mendapat dukungan untuk akses ke sumber-sumber pinjaman modal. Sedangkan peluang kerugian UKM sebagai franchisee adalah: 14 1) Adanya keharusan untuk membayar royalti fee kepada franchisor untuk penggunaan sistem waralaba; 2) Kemungkinan kerjasama dan kualitas dukungan franchisor yang tidak konsisten sesuai kontrak kerjasama;
14
Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
3) Ketergantungan yang besar kepada franchisor sehingga menjadi kurang mandiri; 4) Reputasi dan citra bisnis yang diwaralabakan menurun di luar kontrol franchisor dan franchisee. Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, dapat dilihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut: 1) Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
RI
No.
259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba; 2) Peraturan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
RI
No.
31/M-
DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba; 3) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; 4) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; 5) Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para pengusaha
yang
berkedudukan
sebagai
penerima
waralaba
(franchisee)
diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi. Sekarang ini, ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan road show di berbagai daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and Business Concept Expo, Franchise License Expo Indonesia (Panorama convex), Info Franchise Expo (Neo dan Majalah Franchise Indonesia). 15
15
“Waralaba”, Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Waralaba, Diakses tanggal 24 Maret
2009.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Bisnis franchise itu berbeda dibandingkan bisnis lainnya. Karena bisnis franchise tidak hanya sekedar menjual produk, tetapi juga bisnis franchise itu menjual HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Inilah salah satu keunggulan bisnis franchise, sehingga tidak mudah ditiru oleh pelaku bisnis lain. HKI berperan penting dalam melindungi pemilik produk atau bisnis aslinya supaya tetap dapat berproduksi atau melakukan bisnisnya secara eksklusif. 16 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berisi 22 pasal dan mengganti peraturan sebelumnya, yakni PP No 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, itu diterbitkan dengan maksud untuk menertibkan bisnis waralaba. Namun banyak kalangan pelaku usaha franchisee justru kecewa, karena PP Waralaba ini kurang mendukung keberlangsungan pertumbuhan sektor UKM. 17 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba hanya baik untuk pelaku usaha bermodal kuat. Ketua Perhimpunan Waralaba Indonesia (WALI), Amir Karamoy, kepada INN Channels mengatakan, jika ditelaah lebih dalam secara normatif PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba tidak memberikan prospek keadilan yang lebih baik bagi perkembangan waralaba di Indonesia. Bahkan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba akan menghambat bisnis waralaba di tanah air.
16
Suryono Ekotama, Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), hal. 57. 17 “Berita Waralaba”, Dikutip dari http://www.inilah.com/berita/2009/10/03/957/ images/beritawaralaba.swf, Diakses tanggal 18 April 2009.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Menurut Amir Karamoy, PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba ditujukan untuk men-support perkembangan bisnis waralaba dari UKM untuk perkembangan lebih pesat. Terdapat beberapa klausul yang tidak menguntungkan bagi kalangan UKM. Pasal-pasal yang dirasa menghambat perkembangan waralaba itu misalnya Pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang menyebutkan, kriteria waralaba harus memiliki ciri khas usaha dan terbukti sudah memiliki keuntungan. Pasal tersebut jelas tidak menguntungkan UKM, dengan kata lain pasal tersebut mengharuskan pewaralaba memiliki beberapa gerai usaha. 18 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menurut Amir Karamoy sebagai peraturan yang lebih mengedepankan calon franchisee (terwaralaba). Logika yang dipakai pemerintah tidak tepat. Harusnya PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba juga harus berorientasi kepada franchisor (pewaralaba), bukan kepada franchisee (terwaralaba) saja. Bila franchisor-nya (hulu) bagus, maka franchisee-nya (hilir) juga bagus. Dengan demikian, pemerintah harus berangkat dari hulu alias franchisor, baru hilir alias franchisee. Di samping ada klausul yang tidak proUKM, dalam PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba terdapat juga item yang selama ini diperjuangkan pelaku waralaba akhirnya terakomodasi. Seperti pada Bab III perihal Perjanjian dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Artinya penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian menjadi penting untuk melindungi franchisee (terwaralaba) dalam negeri. Yang 18
Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
penting juga waralaba dapat terselenggara berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba berdasarkan hukum di Indonesia. Perjanjian tersebut juga harus memuat klausul nama dan alamat para pihak, jenis hak kekayaan intelektual, kegiatan usaha, hak dan kewajiban semua pihak. Juga wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tatacara pembayaran imbalan, kepemilikan dan ahli waris, penyelesaian sengketa, tata cara perpanjangan dan pemutusan perjanjian. Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang, proses ini tidak dipungut biaya. Menteri, gubernur, bupati, atau walikota sesuai kewenangannya dapat mengenakan sanksi adminsitratif bagi pemberi maupun penerima waralaba yang melanggar ketentuan. 19
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana Pengaturan bisnis waralaba ( franchise) dalam aspek kontraktual dan teknis prosedural? 2. Bagaimana kedudukan franchisee/ Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam kontrak-kontrak standar/ baku franchise (waralaba)?
19
Ibid., hal. 2.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh UKM sebagai franchisee (terwaralaba) dalam menyelesaikan sengketa yang lahir dari pelaksanaan kontrak franchise (waralaba)?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan bisnis franchise (waralaba) dalam aspek kontraktual dan teknis prosedural. 2. Untuk mengetahui kedudukan franchisee (terwaralaba) UKM dalam kontrak-kontrak standar/ baku franchise (waralaba). 3. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh UKM sebagai franchisee (terwaralaba) dalam menyelesaikan sengketa yang lahir dari pelaksanaan kontrak franchise (waralaba).
D. Manfat Penelitian Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu hukum khususnya
yang berkaitan dengan pengaturan waralaba dan diharapkan
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan penelitian lebih mendalam. 2. Secara Praktis Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan hukum franchise (waralaba) dengan kedudukan UKM sebagai penerima waralaba berdasarkan kontrak franchise (waralaba). Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat dilihat bagaimana kedudukan UKM selaku terwaralaba (franchisee) dalam kontrak standar yang dibuat oleh pewaralaba (franchisor) dan UKM selaku terwaralaba (franchisee).
E. Keaslian Penulisan Proposal penelitian yang berjudul “Kedudukan Hukum UKM Selaku Franchisee (terwaralaba) dalam Pengaturan Franchise (waralaba) di Indonesia”, ini sengaja penulis angkat menjadi judul penelitian ini merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), walaupun ada sebuah Tesis yang membahas mengenai waralaba. Adapun penelitian tersebut antara lain oleh Ferro Sinambela (NIM: 982105010), dengan judul “Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan Waralaba (Franchise) di Kotamadya Medan”. Adapun perbedaan Tesis ini dengan tesis waralaba tersebut yaitu dalam tesis ini membahas mengenai pengaturan franchise (waralaba) yang dikaitkan Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dengan perkembangan kesejahteraan UKM melalui tinjauan terhadap kedudukan UKM selaku penerima waralaba (franchisee) dalam analisis terhadap kontrak standar waralaba (franchise). Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan media elektronik, juga melalui bantuan dari berbagai pihak. Jadi penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori kontrak menjelaskan bahwa tiap orang mempunyai kedudukan yang sama, tetapi pada dasarnya sering terjadi ketidaksetaraan kedudukan antara para pihak. Namun kedudukan UKM selaku franchisee (terwaralaba) sering dianggap franchisor (pewaralaba) sebagai pihak pengusaha kecil yang mempunyai kedudukan yang lemah. Dimana hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian franchise (waralaba) di dalam KUH Perdata diatur dalam buku III mengisyaratkan bahwa kontrak menganut sistem terbuka kepada para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut dan menganut pula asas kebebasan berkontrak. 20
20
P. Lindawaty S. Sewu, Franchise, Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum Dan Ekonomi, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 30.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Adapun nilai dari teori kebebasan berkontrak ini adalah memberikan pilihan yang bebas kepada tiap orang, tetapi pada kenyataannya ada pihak yang diperlakukan tidak adil, maka dalam hal ini pihak UKM menjadi pihak yang lemah terhadap pihak pemberi waralaba (franchisor) sebagai perusahaan besar. Dimana perjanjian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 21 Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) tersebut, para pihak diberikan kebebasan dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian untuk mengadakan perjanjian, akan tetapi isinya tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 22 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice), Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of the justice to secure from enjury). 23 Menurut G.W. Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur
21
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 89. 22 P. Lindawaty S. Sewu, Op. Cit., hal. 31. 23 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal. 4-5.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
kehendak (the element of will). 24 Maka teori hukum perlindungan dan kepentingan bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya
adalah
kebaikan,
kebahagiaan
yang
sebesar-besarnya
dan
berkurangnya penderitaan. 25 Akan tetapi menurut John Rawls ada ketidaksamaan antara tiap orang, contohnya dalam hal tingkat perekonomian, ada tingkat perekonomian lemah dan ada tingkat perekonomian kuat. Jadi negara harus bertindak sebagai penyeimbang terhadap ketidaksamarataan kedudukan dari status ini dan negara harus melindungi hak dan kepentingan pihak yang lemah. Lalu Rawls mengoreksi juga bahwa ketidakmerataan dalam pemberian perlindungan kepada orang-orang yang tidak beruntung itu. 26 Teori ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun terdapat perbedaan bangsa, kekuasaan, jabatan, kedudukan, dan lain-lain. Teori ini sangat penting terutama dalam perjanjian franchise yang bersifat internasional, karena dalam perjanjian franchise internasional pihak-pihak yang terlibat terdiri dari subjek-subjek hukum yang berlainan negara, kewarganegaraan, maupun geografis. Contoh penyimpangan 24
George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, edisi kedua, (London: Oxford University Press, 1951), hal. 221. 25 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79. 26 O.K. Thariza, “Teori Keadilan: Perspektif John Rawls”, Dikutip dari www.okthariza.multiply.com/journal/item, Diakses tanggal 5 Mei 2009.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dari teori ini yaitu apabila terbentuk perjanjian franchise (waralaba) antara A (franchisor pengusaha dari Amerika) dengan B (franchisee pengusaha dari Indonesia), maka dalam hal terjadi perselisihan franchisor (pewaralaba) seringkali menginginkan
penyelesaian
dengan
menggunakan
hukum
franchisor
(pewaralaba). Padahal penggunaan hukum franchisor seringkali merugikan bagi franchisee. Sehingga, teori ini sering menjadi masalah terutama dalam perjanjian franchise internasional. 27 Dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba harus bisa memberi manfaat bagi UKM sehingga ada kesamarataan hak dan kewajiban antara pihak pemberi waralaba (franchisor) dan pihak penerima waralaba (franchisee) yakni UKM. Dalam hal pendirian waralaba merupakan cermin dari utilitarianisme. Teori tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham (17481832) 28 . Teori utilitarianisme menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. 29 Teori utilitarianisme ini juga mendapat dukungan dari Thomas Hobbes (1588-1679). 30 Filsafat Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan prinsip
27 28
P. Lindawaty S. Sewu, Loc. Cit., hal. 34. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998),
hal. 93. 29 30
A. Sonny Keraf, Ibid., hal. 94. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius , 1982),
hal. 63.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
utilitas. 31 Ia menyatakan bahwa manusia siap untuk menerima hukum dan mematuhi undang-undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan ketentraman sebagai hal yang bermanfaat. 32 Hal ini dapat dipahami dari salah satu fungsi waralaba tersebut yaitu untuk tercapainya kemakmuran bagi masyarakat khususnya pengusaha waralaba dengan UKM. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba,
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
RI
No.
259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, telah menunjukkan implementasi dari teori utilitarianisme tersebut. 2. Kerangka Konsepsi Penelitian ini menggunakan sejumlah konsep hukum yang berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan antar konsep tersebut akan dijalin dengan menggunakan kerangka teoritis yang relevan, sehingga permasalahan dapat dijawab. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman terhadap makna konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut ini akan diuraikan defenisi operasional dari masing-masing konsep, sebagai berikut: a) Waralaba (franchise) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas 31
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: PNM, 2004), hal.
32
Ibid.
109.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/ atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba; 33 b) Pemberi waralaba (franchisor) adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba; 34 c) Penerima waralaba (franchisee) adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba; 35 d) Pemberi waralaba lanjutan adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima hak dari pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba untuk menunjuk penerima waralaba lanjutan; 36 e) Perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba; 37 f) Surat Tanda Pendaftaran Waralaba selanjutnya disebut STPW adalah bukti pendaftaran prospektus atau pendaftaran perjanjian yang diberikan kepada 33
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal
1 angka 1. 34
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal
1 angka 2. 35
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal
1 angka 3. 36
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 4. 37 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 7.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
pemberi
waralaba
dan/atau
penerima
waralaba
setelah
memenuhi
persyaratan pendaftaran yang ditentukan dalam Peraturan Menteri ini. 38 g) Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini; 39 Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut: 40 (1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). h) Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung 38
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 10. 39 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, Pasal 1 angka 2. 40 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, Pasal 6 angka (2).
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini; 41 Kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut: 42 (1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
G. Metode Penelitian Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif. 43 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is 41
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, Pasal 1 angka 3. 42 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, Pasal 6 angka (3). 43 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Rineka Cipta, 1994), hal. 105.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process) 44 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkahlangkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. 45 Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara, kontrak waralaba, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 46 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat 44
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal. 118. 45 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 3. 46 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. 47 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang pengaturan sistem franchise (waralaba) di Indonesia. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 48 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan
47
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997),
48
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal 302.
hal. 42.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaan sistem franchise (waralaba) di Indonesia. Di samping itu, dipergunakan juga pendekatan conten analisis untuk menganalisis content (kandungan) dari kontrak franchise yang melibatkan UKM. Hasil analisis terhadap kandungan kontrak-kontrak tersebut kemudian di analisis dengan menggunakan perundang-undangan, teori dan analisis-analisis hukum. 3. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini. a. Bahan Hukum Primer terdiri dari: Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba; Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
RI
No.
259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba; Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Penyelenggaraan Waralaba; Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. b. Bahan Hukum Sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, kontrak mengenai franchise dan komentar-komentar mengenai kasus waralaba yang ada di Indonesia. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi. 49 c. Bahan hukum tersier: Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah. 50 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian.
49
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal 141. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Grafindo, 2006), hal. 14. 50
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya. 51 Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan serta wawancara dan studi kasus. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Metode analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:
51 52
52
Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hal. 97. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 225.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut; b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah terhadap pengaturan mengenai sistem waralaba di Indonesia; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan
perundang-undangan,
kemudian
dianalisis
secara
deskriptif
kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. 53 Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hasil seperti yang disarankan oleh data yang dianalisa secara kualitatif. 54
53 54
Ibid., hal. 226. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),
hal. 103.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB II PENGATURAN BISNIS WARALABA (FRANCHISE) DALAM ASPEK KONTRAKTUAL DAN TEKNIS PROSEDURAL
A. Asas-Asas Franchise Franchise merupakan sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi yang didasarkan pada kerjasama yang erat dan terus menerus antara para pelaku (franchisor dan franchisee) yang terpisah baik secara hukum maupun keuangan, dimana franchisor memberikan hak (untuk menggunakan merek dagang dan atau merek jasa, know-how, metode teknis, dan sistem prosedural dan atau hak milik intelektual) kepada franchisee dengan dukungan bantuan teknis dan komersial, serta untuk semua hal tersebut franchisee dibebani kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor dan membayar biaya yang diterapkan. Franchisor dan franchisee dalam mengatur hubungannya seringkali mewujudkannya dalam suatu perjanjian tertentu. Perjanjian dalam hukum Indonesia tunduk pada pengaturan buku III KUH Perdata. Karena itu, franchise merupakan kerjasama bisnis yang tunduk pada pengaturan buku III KUH Perdata. Ada sejumlah asas-asas hukum penting yang dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya, selain itu hukum perjanjian memuat beberapa asas yang penting pula, oleh sebab itu kerjasama bisnis franchise hendaknya didasarkan pada: 55
55
Rooseno Hardjowidigdo, Beberapa Aspek Hukum Franchising, dalam Seminar Sehari Aspek-Aspek Hukum Tentang Franchise, diselenggarakan oleh IKADIN Cabang Surabaya, di Surabaya, 23 Oktober 1993, hal. 12.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
1. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Franchisor dinilai mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi namun franchisor memikul pula beban melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Kedudukan franchisor yang kuat apabila diimbangi pula dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, maka kedudukan franchisor dan franchisee dapat seimbang. Asas keseimbangan menekankan pada keseimbangan antara hak dan kewajiban dari para pihak secara wajar dengan tidak membebani salah satu pihak saja. Asas keseimbangan di dalam bisnis merupakan unsur yang cukup penting untuk diperhatikan. Pada hakekatnya, bisnis dijalankan dengan tujuan untuk mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Keuntungan secara ekonomis ini akan lahir apabila kedua belah pihak dalam bisnis tersebut mendapatkan kesempatan yang seimbang di dalam berusaha. Sehingga, suatu transaksi bisnis ataupun kerjasama bisnis akan terjalin apabila memperhatikan unsur ini. 56
56
Ibid., hal. 13.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
2. Asas Konsesualitas Menurut asas konsesualitas, maka perjanjian sudah dianggap ada saat tercapainya kesepakatan tentang hal-hal yang diperjanjikan. Asas ini perlu diperhatikan dalam hal akan memperbaharui perjanjian lama perlu ditentukan kembali dalam perjanjian pembaharuan. Hal ini dapat menimbulkan persengketaan karena suatu syarat yang telah disepakati dalam perjanjian terdahulu padahal syarat tersebut mengalami perubahan maka secara otomatis kesepakatan terdahulu akan berlaku kembali padahal syarat tersebut tidak ingin dipertahankan. Selain hal tersebut di atas terdapat satu masalah yang sensitif sehubungan dengan masalah konsesualitas ini. Praktek dewasa ini banyak menggunakan perjanjian-perjanjian yang telah distandardisasi sebelumnya oleh franchisor (pewaralaba). Dalam hal terjadinya penandatanganan perjanjian standar maka asas konsesualitas telah disimpangi karena pihak franchisee tidak turut serta dalam proses penyusunan perjanjian yang disepakati. Walaupun asas konsesualitas telah sedikit disimpangi akan tetapi hal ini masih dapat ditolerir, karena apabila franchisee merasa keberatan akan apa yang tertulis dalam perjanjian standar maka ia masih mempunyai hak untuk tidak menandatangani perjanjian tersebut (dalam arti tidak akan terjadi perjanjian). 57
57
Ibid., hal. 14.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
3. Asas Itikad Baik Persetujuan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan perjanjian franchise merupakan suatu rangkaian proses timbal balik antara franchise dengan franchisee. Selain itu, perjanjian ini seringkali dilaksanakan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, maka kedua pihak harus menjunjung tinggi asas ini sehingga baik hak maupun kewajiban yang harus diberikan kepada franchisor dengan baik serta dengan itikad baik. Rooseno 58 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian franchise, franchisor dengan itikad baik harus menjamin hak-hak yang akan diberikan kepada franchisee itu benar-benar miliknya bukan sebagai hasil kejahatan, dan pihak franchisee harus mewujudkan kewajiban yang harus diberikan kepada franchisor dengan baik serta dengan itikad baik. Contoh dari penyimpangan asas itikad baik yang terjadi dalam praktek: franchisor membebankan target pembukaan 3 (tiga) outlet baru kepada franchisee dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pertama. Franchisee melihat bahwa potensi pasar yang ada sangat baik dan merasa dapat melampaui target yang dibebankan kepadanya, tetapi karena itikad yang kurang baik maka secara sengaja franchisee melanggar target yang ada. Sehingga, franchisor mengakhiri perjanjian franchise karena menilai franchisee tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan. Franchisee tersebut melakukan kerjasama dengan pihak lain, serta 58
Rooseno Harjowidigdo, op cit hal. 3
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
memakai nama pihak lain membuka bisnis yang sejenis dengan bidang usaha franchisor terdahulu. Jadi, hal-hal yang menyangkut asas itikad baik ini perlu dicermati agar tidak terjadi hal yang dapat merugikan kedua belah pihak. 4. Asas Kerahasian Asas ini menurut Rooseno, pada dasarnya mewajibkan kepada para pihak (franchisor dan franchisee) untuk menjaga kerahasiaan data ataupun ketentuanketentuan yang dianggap rahasia, misalnya masalah trade secret know-how atau resep makanan/ minuman, dan tidak dibenarkan untuk memberitahukan kepada pihak ketiga, kecuali undang-undang menghendakinya. 59 Asas kerahasiaan ini merupakan hal yang esensial dalam suatu perjanjian franchise. Pada dasarnya bisnis dengan pola franchise sangat mengandalkan ciri khas dari suatu produk barang/jasa. Sehingga apabila unsur kerahasiaan dari trade secret know-how tidak dijaga dengan baik hal ini akan merugikan franchisor karena mengakibatkan ciri khas dari franchise yang ada diketahui oleh pihak ketiga. Lolosnya informasi yang sangat penting dapat mengakibatkan kerugian baru bagi franchisor karena menimbulkan kompetitor/ pesaing baru dalam bidang bisnis yang sama. Apabila kompetitor/ pesaing baru muncul dan dapat menyajikan barang/ jasa yang sama dengan bisnis franchise tersebut, maka
59
Rooseno, Op cit
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
hampir dapat dipastikan maka bisnis franchise yang telah ada akan kehilangan keunikannya. 60 Pesaing baru dalam bisnis yang sejenis tentu saja baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi daya tarik dari konsumen, yang pada gilirannya dapat menurunkan pendapatan dari usaha franchise yang pertama. 5. Asas Persamaan Hukum 61 Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing
pihak
wajib
melihat
adanya
persamaan
ini
dan
mengahruskan kedua pihak utnuk menghormati satu sama lain. Asas ini penting terutama dalam perjanjian franchise yang bersifat internasional, karena dalam perjanjian franchise internasional pihak-pihak yang terlibat terdiri dari subjek-subjek hukum yang berlainan baik negara, kewarganegaraan maupun geografis. Perjanjian franchise yang bersifat internasional seringkali mengabaikan asas ini. Contoh penyimpangan dari asas persamaan ini yaitu apabila terbentuk perjanjian franchise antara A (franchisor dari negara Amerika) dengan B (franchisee dari UKM di negara Indonesia), maka dalam hal terjadi perselisihan
60 61
Ibid., hal. 15. Mariam Darus Badrulzaman, op cit hal 4
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
antara kedua belah pihak, seringkali menginginkan penyelesaian dengan menggunakan hukum franchisor. Padahal penggunaan hukum franchisor seringkali merugikan bagi franchisee. Sehingga asas kesamaan ini seringkali menjadi masalah terutama dalam perjanjian franchise internasional. 6. Asas Kebebasan Berkontrak Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat
secara
sah
berlaku
sebagai
undang-undang
bagi
mereka
yang
membuatnya. Menurut Mariam Darus Badrulzaman 62 , semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Perjanjian franchise merupakan perjanjian yang namanya tidak dikenal oleh undang-undang namun diatur sesuai Pasal 1338 KUH Perdata.
B. Pengaturan Franchise (Waralaba) di Eropa Bisnis waralaba di Eropa terdapat pengaturan yang dimuat dalam European Code Of Ethics For Franchising. 63 Pengaturan ini berlaku sebagai kode etik dan dijunjung tinggi dalam membina hubungan franchise di negaranegara Eropa dan negara lainnya yang menundukkan diri terhadap pengaturan ini.
62 63
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 109-110. Lihat European Code Of Ethics For Franchising, tahun 1992.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Secara garis besar isi dari pengaturan franchise ini memuat hal-hal mengenai:
definition
of
franchising,
guiding
principles,
recruitments,
advertising and disclosure, selection of individual franchisees, the franchise agreement, the code of ethics and the master franchise system. Hal yang patut mendapat perhatian dari pengaturan franchise ini yakni dimuatnya hal-hal yang menjadi syarat minimum yang harus ada dalam suatu perjanjian franchise. Syarat-syarat minimum yang harus ada, sebagai berikut: 64 1) The rights granted to the franchisor; 2) The rights granted to the individual franchisee; 3) The goods and/or service to be provided to the individual franchisee; 4) The obligations of franchisor; 5) The obligations of individual franchisee; 6) The duration of agreement which should be long enough to allow individual franchisees to amortize their initial investments specific to the franchise; 7) The basis for any renewal of the agreement; 8) The term upon which the individual franchisee may seel of transfer the franchised business and the franchisor’s possible preemption rights in this respect; 9) Provisions relevant to the use by the individual franchisee of the franchisor’s distinctive signs, trade name, trade mark, service mark, store sign, logo, or other distinguishing identification; 64
Ibid
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
10) The franchisor’s right to adapt the franchise system to new or change methods; 11) Provisions for termination pf the agreement; 12) Provisions for surrendering promptly upon termination of the franchise agreement any tangible and intangible property belonging to franchisor or other owner thereof. Pencantuman syarat minimum yang harus tercantum dalam suatu perjanjian franchise tentu saja akan memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian itu, dan akan memperkecil kemungkinan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya akibat perjanjian yang tidak seimbang dan tidak adil. Hal tersebut telah diupayakan pembentukannya melalui organisasi atau badan internasional pengendali perdagangan internasional, yang menunjukkan hasil dengan terbentuknya World Trade Organization (WTO). WTO merupakan organisasi perdagangan internasional. Pembentukan WTO didasari oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yaitu persetujuan internasional multilateral mengenai tarif dan perdagangan yang disahkan pada tahun 1947. 65 WTO merupakan forum bagi negara-negara anggota untuk saling berinteraksi mengenai perdagangan internasional, termasuk di dalamnya perdagangan sektor jasa, investasi dalam pengembangan usaha franchise dan
65
Huala Adolf, dkk., Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 79.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
saham serta hak-hak milik intelektual yang berkaitan dengan perdagangan dengan sistem franchise. Selain itu berfungsi pula sebagai forum penyelesaian sengketa perdagangan internasional yang terjadi antara negara anggota, misalnya sengketa dalam franchise internasional. Kawasan perdagangan bebas sebagai wujud liberalisasi perdagangan menurut WTO, bagi negara berkembang seperti Indonesia baru akan diwujudkan pada tahun 2020. Liberalisasi perdagangan tingkat regional untuk kawasan ASEAN dan Asia Psifik sudah mulai dipersiapkan dengan disepakatinya ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). AFTA atau kawasan perdagangan bebas ASEAN, bertujuan untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Tenggara yang harus diwujudkan pada tahun 2003. Sedangkan tujuan jangka panjang APEC adalah menciptakan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik, yang pelaksanaannya dibagi dalam dua tahap yaitu tahun 2010 untuk negara-negara industri serta tahun 2020 untuk negara-negara berkembang. 66 Sebagai salah satu negara anggota AFTA, APEC, dan WTO, maka sudah dipastikan bahwa Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh ketiga organisasi internasional tersebut, terlebih lagi karena Indonesia telah menyatakan kesiapannya sebagai anggota WTO berdasarkan UU
66
Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement on Establishing the World Trade Organization 67
C. Prospek Pengaturan Hukum Franchise Dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia Franchise merupakan suatu bidang usaha yang tergolong masih baru berkembang di Indonesia, pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan angka perkembangan yang sangat pesat. Kemajuan bisnis dengan menggunakan pola bisnis franchise ini harus diimbangi dengan pengaturan hukum yang baik, Sunaryati Hartono berpendapat bahwa: 68 “… penegakan asas-asas hukum yang sesuai akan memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya penegakkan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan.” Jadi perkembangan di bidang ekonomi yang tidak dibarengi dengan perkembangan pembangunan hukum akan menghambat pembangunan struktur ekonomi yang dicita-citakan. Franchise sebagai salah satu pola bisnis yang berkembang dan menunjang kemajuan perekonomian Indonesia baru akan tercapai apabila dibarengi oleh kemajuan pembangunan hukum. Karena itu, pembangunan hukum di Indonesia harus memperhatikan kepentingan masyarakat
67
Ibid. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1982), hal. 6-7. 68
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Indonesia dengan tanpa mengabaikan kedudukan Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional. Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial dalam arti sejak ia dilahirkan saling membutuhkan satu sama lain atau tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan berhubungan dengan manusia lainnya. Begitu pula dengan negara di dalam rangka memenuhi kebutuhannya harus mengadakan hubungan dengan negara lain. Indonesia di dalam pergaulan dunia perdagangan internasional negaranegara harus mampu untuk saling menciptakan suatu konsep yang dapat menjadi acuan bagi jaringan kegiatan perdagangan internasional tersebut. Hal tersebut telah diupayakan pembentukannya melalui organisasi atau badan internasional pengendali perdagangan internasional, yang menunjukkan hasil dengan terbentuknya World Trade Organization (WTO). WTO merupakan organisasi perdagangan internasional. Pembentukan WTO didasari oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yaitu persetujuan internasional multilateral mengenai tarif dan perdagangan yang disahkan pada tahun 1947. 69 Hal ini merupakan tantangan baru bagi Indonesia, karena baik secara langsung maupun tidak langsung, keadaan ini pasti akan mempengaruhi sistem perekonomian di Indonesia. Sistem perekonomian di Indonesia secara utuh termasuk
di
dalamnya
perangkat
hukum
yang
mengatur
mekanisme
69
Huala Adolf, dkk., Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 79.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
perekonomian
di
Indonesia
harus
dipersiapkan
untuk
mengantisipasi
perkembangan ini. Ketidaksiapan menghadapi kondisi sebagai akibat perkembangan nampak sangat nyata dalam lingkungan bisnis. Gambaran situasi tersebut dapat dilihat dari berbagai perkembangan dalam praktek bisnis dimana berbagai konsep bisnis yang baru bermunculan seperti franchise, joint venture, Leasing, serta berbagai bentuk aktifitas bisnis lainnya. 70 Hingga saat ini kerangka hukum formal yang terpenting yakni hukum perjanjian atau hukum kontrak belum terbentuk sehingga aktifitas bisnis yang menyangkut hal, didasarkan hanya kepada KUH Perdata serta KUH Dagang. KUH Perdata merupakan produk hukum peninggalan jaman kolonial Belanda yang tentu saja isinya memiliki nilai dan pandangan yang berbeda dengan situasi masyarakat Indonesia sekarang ini. Selain itu, berkembangnya perekonomian global telah mengakibatkan KUH Perdata semakin tidak dapat mengimbangi aktifitas bisnis yang terjadi di dalam prakteknya. Hal
di
atas
mengakibatkan
terjadinya
ketidakseimbangan
antara
perkembangan aktifitas bisnis franchise dengan perkembangan pengaturan hukum perjanjian franchise, yang dapat menimbulkan kekosongan hukum. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan UKM selaku franchisee dalam perkembangan bisnis di Indonesia.
70
Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Namun setelah pada tanggal 18 Juni 1997 Presiden telah mengatur secara positif hukum yang berlaku bagi bisnis franchise di Indonesia dengan menetapkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Isi PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba bersifat terlalu umum dan kurang menyeluruh sehingga hal-hal yang tercantum di dalamnya diatur dengan sangat singkat dan kurang memadai untuk dapat digunakan sebagai peraturan dasar atau sumber hukum utama untuk menata kegiatan franchise di Indonesia, tetapi kemudian lahirlah PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang memberikan penyempurnaan dari PP No. 16 Tahun 1997.
D. Pengaturan Hukum Mengenai Franchise Di Indonesia 1. Aspek Kontraktual Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun berdasarkan undang-undang. Perjanjian merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengikatkan diri mereka masing-masing untuk melaksanakan isi perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Untuk pembahasan selanjutnya dari penulisan ini akan dipergunakan sebutan “perjanjian” untuk istilah persetujuan.Perjanjian menurut R. Setiawan adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
71
Pasal 1313
KUH Perdata memberikan rumusan dari perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mariam Darus Badrulzaman 72 yang menyatakan bahwa definisi dari perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1233 dan 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap, dan juga tidak terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan hanya mengenai perjanjian sepihak. Dikatakan luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai perbuatan dalam lapangan hukum keluarga. Karena itu, sebagai pedoman definisi perjanjian yang dipakai dalam tulisan ini adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian di dalam KUH Perdata diatur dalam buku III, yang menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak. Hal ini berarti bahwa buku III KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menentukan isi perjanjian dengan syarat tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, norma kesusilaan dan juga ketertiban umum. 73
71
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), hal.49. Mariam Darus Badrulzaman, Loc. Cit. 73 Ibid. 72
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah: a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c) Suatu hal tertentu; d) Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua di atas dinamakan syarat subjektif, apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dipenuhi akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan untuk syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yakni jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal karena hukum. Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan hal di atas bahwa berdasarkan buku III KUH Perdata, para pihak diberikan kebebasan (dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
bertentangan dengan perundang-undangan, norma kesusilaan, dan ketertiban umum, dan juga telah memenuhi syarat sahnya perjanjian tersebut. 2. Aspek Teknis Prosedural Pada diterbitkan
tahun 1995 selain Undang-undang tentang pula
Suatu
Pedoman
Usaha
Pelaksanaan
Kecil,
Keterkaitan
kemitraan di Bidang Industri Kecil yang isinya memuat mengenai pedoman kemitraan yang dapat dilaksanakan dengan berbagai cara salah satunya dengan pola franchise. Secara singkat dapat diuraikan bahwa pedoman tersebut memuat mengenai pengertian franchise, tipe franchise, syarat dan kewajiban sebagai franchisor dan UKM selaku franchisee, serta bidang usaha yang potensial dikembangkan dengan sistem franchise. Hal ini merupakan langkah yang cukup positif dalam rangka pembinaan usaha kecil dan usaha menengah (UKM) selaku franchisee. Sebagai tindak lanjut dari usaha pertama di atas, dalam rangka melakukan pembinaan terhadap pemahaman pengusaha kecil di Indonesia khususnya dalam hal bisnis dengan menggunakan pola franchise telah menerbitkan dua format bisnis franchise dalam bidang makanan dan bidang distribusi/ keagenan produk pakaian di Indonesia. 74 Hal ini dilaksanakan dalam rangka untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan usaha menengah (UKM) untuk menerapkan sistem franchise.
74
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil dan Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Pedoman Pelaksanaan Keterkaitan Kemitraan di Bidang Industri Kecil, tahun 1995.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Kedua format bisnis yang disusun tersebut secara garis besar akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini. Format bisnis franchise pada dasarnya adalah suatu sistem untuk mempersiapkan suatu bisnis apakah memenuhi syarat untuk di-franchise-kan, serta prosedur-prosedur apakah yang harus ditempuh UKM dan peralatan-peralatan apakah yang dibutuhkan UKM (termasuk aspek landasan hukum). Persyaratan dan prosedur yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang diperlukan oleh franchisee untuk menguji apakah suatu perusahaan dapat menjadi franchisor, adalah: 75 1. Pengalaman Bisnis (Business Experience) Perusahan yang memenuhi syarat sebagai franchisor harus memiliki pengalaman bisnis minimal 3 (tiga) tahun secara terus menerus. Hal ini penting karena pengalaman bisnis yang cukup akan membantu franchisor memahami secara baik mengenai seluk-beluk bisnisnya. Selain itu, hal ini diperlukan untuk melindungi para UKM selaku franchisee dari praktek penjualan franchise oleh para franchisor-nya secara tidak bertanggung jawab. 2. Kemampulabaan (Profitability) Persyaratan selanjutnya adalah perusahaan yang akan di- franchise-kan harus terbukti memiliki daya untuk mendatangkan laba yang cukup tinggi. Hal ini penting karena UKM selaku franchisee (terwaralaba) dapat terjebak dalam
75
Disarikan dari Hasil wawancara dengan Departemen Hukum dan HAM di Jakarta pada tanggal 22-24 Juni 2009
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
perusahaan yang ternyata tidak dapat menghasilkan laba yang sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian sistem franchise. 3. Kemampuan Pasar dan Merek Dagang (Marketability and Trade Mark) Produk atau jasa dari perusahaan calon franchisor harus terbukti melalui suatu pengkajian pasar, dapat dipasarkan secara luas dan merek dagang dari perusahaan tersebut harus dikenal. Studi mengenai kemampuan pasar dan dikenalnya merek dagang dapat dilakukan melalui riset pasar. Hal ini merupakan hal yang penting untuk diketahui para franchisee sebelum memutuskan untuk masuk dalam sistem franchise tertentu. 4. Kemampuan Mengajar (Training Ability) Sistem bisnis yang terlalu rumit dan memakan waktu yang lama untuk diajarkan kepada pihak lain maka akan sulit untuk memenuhi syarat untuk dikembangkan secara franchising. Persyaratan ini penting diketahui karena perusahaan yang ingin mengembangkan dirinya sebagai franchisor harus mengetahui sampai sejauh mana kerumitan dari sistem bisnisnya. 5. Kemampualihan (Transferability) Hal ini berkaitan dengan kemampuan dari produk atau jasa apakah sesuai dengan selera, kebiasaan serta pola konsumen di suatu daerah tertentu sehingga dapat diterima oleh masyarakat setempat. Penilaian mengenai hal ini penting karena apabila suatu produk atau jasa sebaik apapun apabila tidak sesuai dengan selera pembeli maka tidak akan ada peminat.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
6. Keorisinalan (Originality) Keorisinalan suatu produk barang atau layanan jasa sangat penting, karena sistem pelayanan dan penyajian yang unik dapat memberikan nilai tambah terhadap keberhasilan pemasaran barang atau jasa yang bersangkutan melalui pola franchising. 7. Keterjangkauan (Affordability) Persyaratan ini merupakan perhitungan finansial apakah franchisee dapat memperoleh daya laba, berapa lama akan mencapai titik impas. Hal ini harus sangat diperhatikan oleh UKM selaku franchisee karena franchisee harus memperhitungkan sampai berapa lama ia mampu mengembalikan investasinya. 8. Anak Perusahaan (Branch Office/Company Owned Unit) Persyaratan lainnya yang juga penting sebagai salah satu kriteria untuk menjadi franchisor (pewaralaba) adalah perusahaan tersebut. Sebaiknya memiliki minimal 1 (satu) anak cabang perusahaan sendiri. Hal ini selain membantu franchisor (pewaralaba) untuk lebih memahami seluk beluk bisnisnya juga dapat membantu UKM selaku franchisee dalam menghadapi persoalan operasional. Kedelapan hal tersebut di atas, bukan saja penting untuk franchisor di dalam mempersiapkan suatu sistem franchise (waralaba), tapi juga penting bagi UKM selaku franchisee (terwaralaba) sebagai dasar untuk menilai apakah franchisor (pewaralaba) dan sistem franchise (waralaba) yang ditawarkan memang memberikan keuntungan yang baik. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Dalam Surat Keputusan Menteri yang akan dibuat untuk pengaturan lebih teknis dari bisnis franchise (waralaba) di Indonesia sebaiknya juga mengatur mengenai hal di atas. Hal ini penting diatur karena selain persyaratan yang diwajibkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP Waralaba, maka kedelapan hal yang telah dikemukakan di atas dapat membantu franchisee (terwaralaba) apabila akan memasuki bisnis franchise (waralaba) tertentu. Format bisnis franchise (waralaba) tersebut memaparkan pula mengenai persyaratan ideal yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian franchise (waralaba), sebagai berikut: bagian pendahuluan yang berisikan mengenai objek yang di-franchise-kan, kemandirian dalam arti para pihak keduanya bersifat independen dalam arti berdiri sendiri, biaya franchise (waralaba), bantuan yang diberikan franchisor (pewaralaba), nama usaha franchisee (terwaralaba), lokasi usaha franchisee (terwaralaba), tahap pra operasi, tahap operasi, waktu kerja, penggantian dan pembayaran biaya, pajak-pajak, modifikasi sistem, tanda dan merek, asuransi, pemeriksaan usaha dan tempat usaha, pindah lokasi, laporan operasional dan biaya administrasi, perpanjangan franchise (waralaba), biaya perpanjangan
franchise
(waralaba),
sanksi
apabila
beroperasi
tanpa
memperpanjang perjanjian, rahasia sistem, penghentian perjanjian, prosedur setelah penghentian, perubahan perjanjian, integritas perjanjian, milik eksklusif, serta domisili hukum. 76
76
Ibid
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Keseluruhan
unsur
yang
tercantum
sebagai
pokok-pokok
dalam
perjanjian franchise ( waralaba) di atas telah memenuhi syarat minimal dari segi hukum dan memenuhi kriteria sebagai perjanjian yang cukup baik dan memberikan perlindungan yang cukup seimbang bagi kedua belah pihak. Usaha positif yang dilakukan oleh Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil ini secara minimal telah memenuhi syarat untuk dipakai oleh para pihak yang berkepentingan dengan bisnis franchise. Format bisnis yang dijadikan percontohan telah disusun cukup baik dan menyentuh segenap aspek, sebagai bahan masukan di dalam menyusun pengaturan lebih lanjut yang berupa Surat Keputusan Menteri agar format bisnis yang disusun ini dapat membantu usaha pengembangan franchise di Indonesia. Pengaturan mengenai isi minimum dari perjanjian franchise (waralaba) yang akan ditandatangani sebaiknya diatur pula dalam PP Waralaba atau dalam suatu peraturan khusus yang dibuat untuk menyempurnakan PP Waralaba dan bukan dengan produk hukum yang merupakan Surat Keputusan. Pengaturannya lebih baik berupa peraturan pemerintah karena bentuk pengaturan ini lebih menjamin unsur kepastian hukum sehingga dapat menjadi daya tarik bagi calon-calon franchisor (pewaralaba) asing maupun franchisor (pewaralaba) lokal untuk mengembangkan sektor UKM yang terdapat di Indonesia. 77
77
D. Sudradjat Rasyid selaku Menteri Koperasi dan UKM, di acara Franchise Action COACH Indonesia, Jakarta, 23 Februari 2009, lihat www.google.co.id/actioncoach-indonesia.htm., diakses tanggal 24 Mei 2009.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pengaturan hal ini akan sangat berarti dalam upaya mencapai suatu hubungan
bisnis
antara
franchisor
(pewaralaba)
dengan
franchisee
(terwaralaba) yang seimbang dan adil.
E. Perlindungan Hukum Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Indonesia pada dekade terakhir ini mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Akan tetapi di balik itu timbul pula rasa cemas, bahwa perkembangan ekonomi yang begitu pesat hanya menguntungkan pihak dalam kalangan tertentu saja, sedangkan mereka yang berada di luar kalangan tersebut akan terdesak sehingga semakin tidak dapat bersaing bahkan tidak mempunyai daya untuk mempertahankan keberadaannya. Karena itu, perangkat hukum ekonomi Indonesia harus berupaya untuk menyiapkan diri guna menghadapi praktek-praktek bisnis yang tidak sehat yang biasanya tersembunyi di belakang klausula-klausula kontrak bisnis. Sunaryati Hartono 78 menyatakan bahwa dalam ilmu hukum himbauan seperti tersebut di atas dinamakan sebagai droit de l’Economie, yaitu pengaturan dan pranata hukum yang berisi kebijaksanaan untuk mengarahkan kehidupan ekonomi ke suatu arah yang tertentu, dalam hal di atas yang dimaksud dengan arah tertentu yakni ke arah pemerataan dan keadilan.
78
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 119.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Sejarah perekonomian menunjukkan bahwa pada awalnya perhatian pemerintah di banyak negara di dunia lebih tertuju pada usaha besar dan usaha menengah. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah mulai mengakui keberadaan industri kecil sebagai salah satu penopang perekonomian di suatu negara. Atih Suryati 79 mengemukakan bahwa aspek mendasar yang mendorong pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil adalah: 1) Dimilikinya keunggulan kompetitif, karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan melalui industri kecil bahan-bahan dapat diolah sehingga menghasilkan nilai tambah; 2) Industri kecil memberikan lapangan kerja; 3) Industri kecil menyalurkan keterampilan penduduk yang telah terbina secara turun-temurun terutama untuk daerah tertentu; 4) Produk industri kecil ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terutama lapisan masyarakat berpendapatan rendah; 5) Jenis produk industri kecil beraneka ragam; 6) Industri kecil merupakan sumber wiraswasta dan bibit pengusaha menengah dan besar. Keenam hal di atas telah mendasari pemerintah Indonesia khususnya untuk memelihara industri kecil sebagai basis dari perekonomian nasional. 79
Atih Suryati, “Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil di Indonesia”, dalam Internasional Seminar dengan Topik “Small Scale and Micro Enterprises in Economic Development Anticipating Globalization and Free Trade”, di Bandung, 23 April 2004.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Sebagai wujud nyata dari perhatian pemerintah untuk berusaha meningkatkan keberadaan usaha kecil di Indonesia disusunlah suatu produk hukum yaitu UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang berusaha untuk melindungi kepentingan usaha kecil di Indonesia. Penciptaan produk hukum ini diharapkan dapat melindungi segenap kehidupan dan kepentingan dari seluruh rakyat Indonesia termasuk usaha kecil. Hal yang perlu digarisbawahi dari UU Usaha Kecil, kemitraan ialah kerjasama usaha antara pengusaha kecil dan koperasi dan pengusaha menengah serta pengusaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha menengah atau pengusaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungan. Adapun prinsip dari kemitraan menurut Tim IKOPIN 80 dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Kesalingtergantungan; 2) Saling memperkuat dan saling menguntungkan; 3) Proporsional artinya bidang garapannya disesuaikan dengan karakteristik bidang usaha yang selaras untuk masing-masing pelaku ekonomi; 4) Proaktif dalam menjalankan kegiatan, yaitu pihak-pihak terkait memiliki inisiatif serta tanggung-jawab; 5) Sinergi, yaitu keseluruhannya lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. 80
Tim IKOPIN, “Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Koperasi, BUMN, Dan BUMS Dalam Era Globalisasi”, dalam Seminar Aspek-Aspek Hukum dalam Kerjasama Bidang Usaha Koperasi, BUMN, dan Swasta, di Jakarta, 26-28 September 1997.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Program kemitraan yang dicanangkan oleh pemerintah diharapkan dapat membantu pengusaha kecil dalam menghadapi era persaingan bebas. Tujuan dari UU Usaha Kecil adalah pemberdayaan usaha kecil yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka menumbuhkan serta meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah, serta meningkatkan peranan usaha kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkokoh struktur perekonomian nasional. 81 Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mendukung terlaksananya pemberdayaan bagi usaha kecil dan usaha menengah di Indonesia, hal ini meliputi: 82 penciptaan iklim usaha yang kondusif untuk bertumbuhnya usaha kecil, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, perlindungan terhadap penyalahgunaan. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek pendanaan dengan cara memperluas sumber pendanaan, meningkatkan akses terhadap sumber pendanaan, memberikan kemudahan dalam pendanaan. 83
81
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 2, 3,
dan 4. 82
Soeharto Prawirokusumo, “Usaha Kecil dalam Pembangunan Ekonomi Mengantisipasi Globalisasi Pasar Bebas dalam Internasional Seminar dengan Topik: Small Scale and Micro Enterprises in Economic Development Anticipating Globalization and Free Trade”, di Jakarta, 20 Mei 2001. 83 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 7.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Peningkatan iklim usaha dalam aspek persaingan dilakukan dengan cara menetapkan peraturan perundang-undangan serta kebijaksanaan yang dapat meningkatkan kerjasama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar usaha kecil; mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar; serta mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh kelompok tertentu. 84 Penumbuhan iklim usaha dalam aspek prasarana dan informasi dilakukan dengan cara menetapkan kebijaksanaan untuk mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan pertumbuhan usaha kecil; memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi usaha kecil; membentuk dan memanfaatkan bank data dan jaringan informasi bisnis; mengadakan dan menyebarkan informasi mengenai pasar, teknologi, desain, dan mutu. 85 Diusahakan pula penumbuhan iklim usaha dalam aspek kemitraan dengan cara menetapkan kebijaksanaan untuk: mewujudkan kemitraan, dan mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan usaha kecil dalam pelaksanaan transaksi usaha dengan usaha menengah. 86 Ditumbuhkan pula iklim usaha dalam aspek perijinan dengan cara menetapkan kebijaksanaan untuk menyederhanakan tata cara dan jenis perijinan
84
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 8. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 9. 86 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 11. 85
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dengan
mengupayakan
terwujudnya
sistem
pelayanan
satu
atap
serta
memberikan kemudahan persyaratan utnuk memperoleh perijinan. 87 Aspek perlindungan juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan demi menumbuhkan iklim usaha yaitu dengan menetapkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan untuk menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya; mencadangkan bidang dan jenis kegiatan usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat padat karya, serta mempunyai nilai seni budaya yang bersifat khusus dan turun temurun; mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan usaha kecil melalui pengadaan secara langsung dari usaha kecil; mengatur pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja pemerintah; serta memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan. 88 Keseluruhan upaya yang telah dilakukan, apabila dikaitkan dengan masalah kemitraan melalui pola franchise, telah diusahakan berbagai upaya seperti pelatihan, klinik konsultasi bisnis, pembinaan, perlindungan dalam rangka menumbuhkembangkan usaha franchise ini. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemitraan merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkembangkan usaha
87 88
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 12. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 13.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
kecil dan menengah di Indonesia. Kemitraan usaha dapat dicapai dengan polapola tertentu salah satunya adalah kemitraan usaha dengan pola franchise. Kemitraan usaha dengan pola franchise tentu dapat meningkatkan keberadaan usaha kecil dan menengah di Indonesia, hal ini didasarkan pada: 1) Pola ini akan memberikan peluang bagi pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan sumber dana yang memadai karena dengan mereka bermitra dengan pengusaha besar maka akan otomatis kepercayaan dari para pemberi sumber dana bahwa dana yang dipinjam akan dapat dikembalikan; 2) Kemampuan usaha kecil dan menengah meningkat diakibatkan dukungan dari kemitraan dengan usaha besar sehingga posisi tawar mereka meningkat dalam persaingan bisnis; 3) Kemitraan dengan pola franchise memungkinkan pengusaha kecil dan menengah mendapatkan informasi yang benar dan terkini sehingga dapat mengantisipasi permintaan pasar dengan cepat dan terarah; 4) Pola ini memungkinkan pula pengusaha kecil dan menengah memperoleh pengetahuan sesuai dengan teknologi yang canggih sehingga mereka dapat bersaing; dan 5) Membuka kemungkinan bagi pengusaha kecil dan menengah untuk dapat mengelola bisnisnya secara lebih baik karena didukung oleh standar operasi, standar pelayanan, sistem manajemen perusahaan yang biasanya didukung oleh pelatihan yang diberikan oleh perusahaan besar mitranya.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Upaya-upaya nyata yang telah dilakukan diharapkan dapat mengangkat franchisee yang sering kali berada dalam posisi yang lebih lemah, melalui pengaturan dari UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil sehingga dapat terlindungi keberadaannya.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB III KEDUDUKAN FRANCHISEE (TERWARALABA) UKM DALAM KONTRAK-KONTRAK STANDAR/ BAKU FRANCHISE (WARALABA)
A. Perjanjian Franchise Franchising (sistem waralaba) adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama tertutup (antara franchisor (pewaralaba) dan franchisee (terwaralaba)) dan terpisah baik secara hukum dan keuangan, dimana franchisor (pewaralaba) memberikan hak kepada para franchisee (terwaralaba), dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor (pewaralaba). 89 Suatu paket franchise (waralaba) pada dasarnya merupakan satu paket yang terdiri dari beberapa jenis perjanjian. Perjanjian yang dimaksud biasanya terdiri dari perjanjian lisensi, perjanjian merek, perjanjian paten, perjanjian bantuan teknis dan mengenai perjanjian yang menyangkut kerahasiaan. 90 Franchise merupakan kerjasama bisnis dan secara teknis dapat dipahami sebagai suatu metode perluasan pasar yang digunakan oleh sebuah perusahaan yang dianggap sukses dan berkehendak meluaskan distribusi barang atau jasa melalui unit-unit bisnis eceran yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha independen dengan menggunakan merek dagang atau merek jasa, teknik
89
Madayuti Damayanti, Sistem Bisnis Waralaba di Indonesia. www.formatnews.com. Diakses tanggal 11 Juni 2009. 90 Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
pemasaran dan berada di bawah pengawasan dari perusahaan yang hendak meluaskan pasarnya dengan imbalan pembayaran fees dan royalties. Para pihak (franchisor dan franchisee) yang bersepakat dalam suatu transaksi franchise mempermasalahkan persoalan-persoalan yuridis, juga mengutamakan hal lain yang lebih penting yaitu adanya jaminan bahwa baik franchisor maupun franchisee adalah pihak-pihak yang secara bisnis dapat diandalkan kerjasamanya, kemampuan manajerialnya dan bonafiditasnya untuk bersama-sama membangun kerjasama bisnis. Tuntutan-tuntutan di atas sebenarnya menjadi ukuran dalam menentukan unsur-unsur pokok kesepakatan, persyaratan, hak dan kewajiban para pihak yang pada akhirnya dituangkan di dalam klausula-klausula suatu perjanjian franchise. Karena itu, perjanjian franchise harus disusun dengan sangat cermat agar kerjasama bisnis yang dijalankan menguntungkan kedua belah pihak secara seimbang. Martin Mendelsohn menyatakan bahwa prinsip-prinsip fundamental harus tetap ada sebagaimana halnya dalam semua transaksi franchise. Sekali lagi, penting untuk menekankan bahwa dalam menyusun pengaturan tersebut ciri-ciri fundamental, karakteristik serta syarat-syarat suatu transaksi franchise harus tetap dijaga. Sekali keutuhan konsep dan sistem yang telah di-franchise-kan dirusak maka masa depan pengembangan franchise penuh dengan resiko. 91
91
Martin Mendelsohn, Franchising : Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, alih bahasa oleh Fauzi Bustami dan Hari Wahyudi, (Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressido), hal. 205.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Dari sudut yang terkandung dalam suatu perjanjian franchise yang umumnya terdiri dari pasal-pasal, jika dilakukan suatu identifikasi terhadap pokok-pokok materi yang terpenting di dalam perjanjian tersebut, maka minimal terdapat klausula-klausula utama, sebagai berikut: 92 1. Objek yang di-franchise-kan Objek yang di-franchise-kan biasanya dikemukakan di awal perjanjian franchise. Objek yang di-franchise-kan harus menjelaskan secara cermat mengenai bisnis barang/ jasa apa yang termasuk dalam franchise. 2. Tempat berbisnis Tempat berbisnis dan penampilan yang baik dan membawa ciri franchisor dibutuhkan dalam usaha franchise. Tempat yang akan dijadikan lokasi berbisnis harus diperhatikan dengan baik agar kerjasama yang dijalankan menghasilkan keuntungan yang layak. Bagian ini memuat persyaratan tempat berbisnis yang layak untuk memasarkan barang/ jasa milik franchisor. Franchisor
biasanya turut
menentukan dan atau memberikan persetujuan kepada franchisee mengenai tempat yang akan dipakai dalam menjalankan bisnis franchise. 3. Wilayah franchise Bagian ini meliputi pemberian wilayah oleh
franchisor
kepada
franchisee, dimana dalam pertimbangan pemberian wilayah ini harus didasarkan pada strategi pemasaran. Idealnya wilayah ini yang diberikan merupakan 92
Ibid
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
wilayah yang tidak terlampau luas ataupun terlampau sempit, sehingga dapat dieksploitasi secara maksimal. Pemberian wilayah ini didasarkan agar pemberian suatu wilayah tertentu dapat menjamin tidak ada persaingan usaha sejenis baik yang dilakukan oleh sesama franchisee ataupun oleh franchisor sendiri. 4. Sewa guna Sewa guna ini dilakukan apabila lokasi usaha franchise didapat dengan suatu sewa. Jangka waktu sewa ini paling tidak harus sama dengan jangka waktu berlakunya perjanjian franchise. Seringkali franchisee menggunakan tempat untuk berbisnis yang bukan miliknya, ia menyewa suatu tempat untuk melakukan aktivitas franchise. Dalam hal tempat tersebut diperoleh berdasarkan perjanjian sewa menyewa maka secara bijaksana lamanya waktu menyewa tempat tidak lebih singkat dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian franchise. Contoh, A seorang franchisor dan B seorang franchisee yang telah sepakat melakukan kerjasama bisnis dengan pola franchise. Jangka waktu perjanjian yang disepakati adalah 5 (lima) tahun. B memilih tempat di Jalan X untuk tempat melakukan aktivitasnya dengan cara menyewa, maka perjanjian sewa menyewa yang dilakukan oleh B seyogyanya disepakati untuk jangka waktu yang lebih dari 5 (lima) tahun. Selain masalah jangka waktu, franchisee harus memperhatikan pula campur tangan franchisor dalam menetapkan perjanjian sewa menyewa antara Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
franchisee dengan pihak ketiga. Apalagi bila ternyata hal-hal yang harus disewa oleh franchisee ternyata masih berasal dari franchisor atau afiliasinya. Masalah sewa guna ini harus dicermati dengan seksama oleh franchisee agar hal tersebut tidak memberatkan dalam pelaksanaannya. 5. Pelatihan dan bantuan teknik dari franchisor Pelatihan merupakan hal mutlak yang harus dijalankan oleh calon franchisee ataupun para franchisor. Franchisor merasa bahwa pelatihan terutama untuk tahap awal merupakan hal yang terpenting, franchisor harus mendapatkan kepastian bahwa para franchisee beserta staf mereka telah mendapatkan pelatihan yang baik. Pelatihan dan bantuan teknik merupakan hal yang penting karena suatu bisnis dengan pola franchise mengandalkan kualitas produk baik barang/ jasa dan kualitas pelayanan yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Kualitas yang baik hanya dapat diperoleh dengan cara pemberian pelatihan yang baik, mantap, berkualitas, serta pemberian bantuan teknik yang diberikan secara berkala oleh franchisor kepada franchisee. Franchisee harus menilai kelayakan dari pelatihan serta bantuan teknik yang berkaitan oleh franchisor kepadanya. Kelayakan ini penting karena sangat berguna bagi franchisee di dalam menjalankan bisnisnya, karena apabila franchisee tidak mendapatkan bantuan teknik serta pelatihan yang cukup maka akan mendapat kesulitan di dalam menjalankan roda bisnisnya.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
6. Standar operasional Standar operasional yang diterapkan dalam franchise biasanya tertuang dalam buku petunjuk operasional/ operation manuals. Petunjuk tersebut mengandung metode, dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk menjalankan bisnis franchise. Menurut Martin Mendelsohn, dalam buku pedoman yang berisikan standar bisnis ini terbagi dalam beberapa bagian, yaitu: 93 a. Pendahuluan yang memuat uraian pendahuluan yang menguraikan hakikat dasar dari sistem kerja serta falsafah bisnis jasa personal yang mendasarinya; b. Sistem operasional yang menguraikan bagaimana sistem operasi dibentuk dan bagaimana serta mengapa berbagai unsur-unsur pokok saling bersesuaian; c. Metode operasional yang mendetail menguraikan mengenai perlengkapan apa yang diperlukan, apa fungsinya, dan bagaimana mengoperasikannya; d. Serta instruksi pengopereasian yang meliputi: 1) Buka jam/ hari; 2) Pola-pola perdagangan; 3) Jadwal dan pergantian staf; 4) Penggunaan bentuk dan prosedur yang standar. e. Persyaratan yang berkaitan dengan penampilan staf; f. Prosedur pelatihan staf; 93
Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
g. Prosedur mempekerjakan staf dan peraturan perundang-undangannya; h. Prosedur untuk mendisiplinkan staf serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh franchisee selaku pemakai; i. Kebijakan penetapan harga; j. Kebijakan pembelian; k. Standar produk termasuk prosedur menangani keluhan pelanggan; l. Standar layanan; m. Tugas-tugas staf; n. Pembayaran uang franchise; o. Akuntansi; p. Kontrol kas dan prosedur perbankan; q. Termasuk prosedur yang berhubungan dengan cek, kartu cek dan kartu kredit; r. Periklanan dan pemasaran; s. Persyaratan yang berkenaan dengan presentasi gaya gedung yang dimiliki franchisor; t. Juga persyaratan mengenai cara untuk mempergunakan merek dagang dan/ atau merek jasa, asuransi, prosedur pengendalian sediaan. Standar operasional yang telah ditetapkan oleh franchisor akan berguna untuk membantu pihak franchisee di dalam pelaksanaan operasional bisnis franchisee.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
7. Pertimbangan-pertimbangan keuangan Pertimbangan-pertimbangan keuangan merupakan hal yang paling sensitif dalam perjanjian franchise. Besarnya uang yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor pada hakekatnya merupakan pengganti atas pemberian hak-haknya dari franchisor kepada franchisee. Terdapat beberapa jenis pembayaran yang menjadi kewajiban dari franchisee kepada franchisor, yaitu: initial fee, royalty, serta biaya-biaya lain yang telah disepakati yang berguna di dalam memelihara kelanjutan hubungan franchisee. Initial fee merupakan imbalan kepada franchisor atas semua jasa awal yang disediakan, seperti beberapa franchisor pada tahap awal memberikan paket jasa barang-barang dan perlengkapan. Continuing fee merupakan pembayaran jasa atas jasa terus menerus yang diberikan oleh franchisor. Dalam praktek, biasanya biaya tersebut dihitung dalam bentuk persentase dari pendapatan kotor franchisee. Royalty merupakan imbalan atas pemakaian merek barang/ jasa, logo, hak cipta dan sebagainya yang merupakan milik dari franchisor. Biaya lain yang dibutuhkan selain biaya di atas, antara lain: biaya pelatihan-pelatihan (training) yang tidak termasuk ke dalam initial fee, biaya tambahan untuk akunting, jasa komputer, periklanan dan promosi untuk pembukaan.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Hal yang harus mendapat perhatian dari franchisee sehubungan dengan biaya yang dibayarkan di atas yang terdapat dalam suatu perjanjian atau pembaharuannya yakni masalah jenis-jenis biaya yang harus dikeluarkan untuk masing-masing jenis, cara perhitungan dari jenis-jenis biaya, serta waktu pembayaran dari setiap jenis biaya yang ada. 8. Klausula-klausula kerahasiaan Perjanjian franchise selalu memuat klausula yang melarang para pihak (franchisor maupun franchisee) untuk memberitahukan rahasia dagang kepada pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan dengan bisnis. Klausula kerahasiaan ini amat penting dalam suatu perjanjian franchise karena bila rahasia dagang diketahui oleh pihak lain maka akan menimbulkan kompetitor/ pesaing baru dalam bidang bisnis/ jasa yang sama. Idealnya masalah yang diatur di dalam klausula kerahasiaan adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian franchise diwajibkan menjaga dengan baik setiap informasi yang bersifat rahasia dengan penjatuhan sanksi yang berat apabila salah satu pihak melanggarnya. 9. Klausula-klausula yang membatasi persaingan Selain itu, biasanya pula bahwa setelah berakhirnya perjanjian maka pihak franchisee dibatasi untuk tidak berusaha dalam bisnis yang sejenis dengan usaha franchise yang sebelumnya telah dijalani selama periode tertentu. Klausula ini penting dicantumkan untuk menjaga agar bisnis franchisor dapat berjalan dengan lancar dalam arti menjaga agar tidak menimbulkan Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
persaingan baru dengan mantan franchisee dalam bidang bisnis barang/ jasa walaupun kerjasama dengan franchisee tertentu telah berakhir. 10. Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban merupakan hal yang penting, karena memuat mengenai sampai sejauh mana tanggung jawab yang dipikul baik oleh franchisor maupun franchisee. Pertanggungjawaban para pihak harus dirumuskan secara jelas dan terperinci agar masing-masing pihak mengetahui dengan tepat hal apa saja yang menjadi dan merupakan tanggung jawabnya. Perumusan secara jelas dan terperinci akan memudahkan untuk menentukan bahwa suatu aktifitas merupakan tanggung jawab dari pihak yang mana. Contoh: dalam suatu perjanjian franchise disepakati bahwa franchisee diwajibkan untuk membeli semua bahan baku dari franchisor dengan jaminan bahwa apabila terdapat keluhan dari konsumen yang berhubungan dengan bahan baku maka pihak franchisor bertanggung jawab sepenuhnya atas keluhan tersebut. 11. Pengiklanan dan strategi pemasaran Iklan untuk jaman modern ini memegang peranan yang sangat penting, iklan yang baik tidak hanya menjual barang/ jasa saja akan tetapi juga menjual suatu gaya hidup terutama gaya hidup orang barat. Hal itu memang sedang digemari oleh sebagian orang-orang Indonesia yang senang meniru kehidupan
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
ala asing. Akan tetapi, iklan pun harus memperhatikan pula tata krama dari masyarakat Indonesia. Masalah iklan yang perlu diperhatikan dalam perjanjian franchise ini dalam hal siapa yang berhak memasang iklan, serta siapa membiayai pemasangan iklan itu, iklan itu bersifat lokal, regional, atau bahkan internasional, berapa banyak frekuensi pengiklanannya untuk setiap bulan/ tahun, serta apakah franchisee dikenakan semacam iuran wajib untuk semua hal tersebut di atas. Pengiklan merupakan bagian yang penting dari strategi pemasaran, oleh karena itu dalam suatu perjanjian franchise untuk kebijaksanaan pengiklanan ini biasanya ditetapkan secara terpusat oleh franchisor. Hal yang menjadi permasalahan dalam perjanjian adalah sampai sejauh mana franchisee memiliki kebebasan dalam pengiklanan produk-produk bisnis franchise yang bersangkutan. 12. Penetapan harga dan pembelian-pembelian Penetapan harga dalam bisnis franchise ini sangat penting, apakah kewenangan penetapan harga berada di tangan franchisor sepenuhnya atau franchisee mempunyai andil pula dalam penentuan harga. Biasanya penetapan harga ditetapkan oleh franchisor dengan mempertimbangkan masukan dari franchisee. Contoh: dalam suatu kerjasama bisnis franchise ditetapkan bahwa harga jual nasi adalah sebesar Rp. X, akan tetapi franchisee memperhatikan bahwa Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
untuk daerah tersebut harga jual senilai itu terlalu tinggi karena daerah tersebut terkenal sebagai penghasil beras terbanyak, hal ini mengakibatkan harga beras murah dan otomatis maka harga nasi di daerah tersebut sangat murah. Franchisee mengusulkan khusus untuk daerah tersebut harga nasi yang ditetapkan untuk ditinjau kembali. Jadi masalah-masalah khusus yang timbul sehubungan dengan penetapan harga nerupakan hal yang perlu dinegosiasikan secara khusus oleh para pihak agar harga yang ditetapkan untuk suatu produk merupakan harga yang kompetitif serta realistis untuk suatu wilayah. Pembelian-pembelian di sini berhubungan dengan masalah bahan baku ataupun peralatan lain yang dipergunakan untuk menjual barang/ jasa dalam bisnis franchise. Seringkali franchisor mensyaratkan bahwa pembelian bahan baku disyaratkan untuk membeli pada pihak franchisor atau pihak yang telah ditunjuk franchisor. Untuk hal ini harus diperhatikan agar pihak franchisee tidak dirugikan serta dapat berkompetisi dengan sehat kepada para kompetitor lain. Selain itu harus memperhatikan pula hukum yang berlaku apakah syarat pembelian yang dimonopoli oleh franchisor atau perusahaan yang ditunjuk franchisor tidak menyimpang dari hukum yang berlaku. Contoh: dalam perjanjian franchise internasional disepakati bahwa bahan baku harus diimpor dari negara franchisor, sedangkan hukum negara franchisee
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
mengatur bahwa untuk bahan baku tertentu tidak diperbolehkan diimpor dari luar negeri. 13. Status badan usaha/ perusahaan Status perusahaan ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban baik dari pihak franchisor maupun franchisee. Hingga saat ini perusahaan Indonesia yang hendak melibatkan diri dalam perjanjian franchise tidak disyaratkan status badan usaha/ perusahaannya. Hal ini harus diperhatikan karena memberikan dampak terhadap perancangan perjanjian franchise. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia apabila perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maka pertanggungjawaban hanya sebatas saham yang dimilikinya saja. Hal ini menimbulkan dampak terhadap perjanjian franchise, bahwa harus disebutkan dalam perjanjian mengenai status badan usaha/ perusahaan pihak-pihak yang terikat. Status badan usaha/ perusahaan akan menentukan seberapa besar tanggung jawab yang dapat dituntut dari suatu pihak. 14. Hak untuk menggunakan nama dan merek dagang Dalam kerjasama franchise, tidak akan terlepas dari merek dagang atau logo serta desain dari perusahaan yang bersangkutan. Merek dagang, logo, dan desain perusahaan itu merupakan identitas dan ciri khas dari franchise itu. Franchisor akan memberikan hak penggunaan logo/ desain/ merek perusahaan kepada franchisee sehingga identitas serta penampilan bisnis franchisee akan sama dengan bisnis milik franchisor. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Masalah logo/ desain/ merek ini di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 94 Logo merupakan karya cipta yang dilindungi berdasarkan pada UndangUndang Hak cipta Indonesia apabila dimiliki suatu perusahaan atau suatu badan hukum mendapat perlindungan hukum selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali logo diumumkan. Jadi suatu logo yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau suatu badan hukum yang telah didaftarkan akan mendapatkan perlindungan. Lain halnya dengan merek, jangka waktu perlindungan hukumnya diberikan selama 10 (sepuluh) tahun berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek. Jangka waktu perlindungan hukum atas merek dapat diperpanjang. Perjanjian
franchise
harus
memuat
pula
mengenai
pihak
yang
bertanggung jawab atas pendaftaran tersebut, biasanya kewajiban mendaftarkan serta pembiayaannya ditanggung oleh pihak franchisee sesuai kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian. Hal-hal tersebut di atas merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam menegosiasikan perjanjian franchise. 15. Masa berlaku dan kemungkinan pembaharuan/ perpanjangan perjanjian Prinsip dasar dalam mengatur jangka waktu perjanjian ini adalah bahwa hubungan franchise harus dapat bertahan pada jangka waktu yang cukup lama. 94
Lihat UU No.12 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Hubungan franchise ini merupakan hubungan bisnis yang memerlukan waktu yang cukup untuk dapat mencapai hasil yang memadai. Jangka waktu perjanjian yang pendek akan memberatkan bagi pihak franchisee karena kesempatan untuk memaksimalkan fungsi operasional sangat singkat, sebaliknya apabila jangka waktu perjanjian cukup panjang maka kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari operasi franchise cukup dimungkinkan. Kesuksesan bisnis franchise bukan merupakan hal yang mudah didapat melainkan membutuhkan waktu untuk mencapainya. Waktu yang dapat dikategorikan ideal untuk sebuah perjanjian franchise adalah 5 samapai dengan 10 tahun. Jangka waktu perjanjian tersebut biasanya dapat diperpanjang kembali. Franchisee harus berhati-hati apabila dalam perjanjian dikemukakan bahwa tidak ada kesempatan untuk memperpanjang perjanjian. Franchisee harus memperhatikan serta mempertimbangkan dengan seksama syarat-syarat apa saja yang ditetapkan oleh franchisor agar ia dapat ditunjuk kembali menjadi franchisee. Contoh: biasanya franchisor dalam perjanjian Area franchise akan menetapkan bahwa franchisee diharuskan membuka 3 (tiga) outlet untuk tahun pertama pengoperasian, apabila target tersebut tidak terlampaui maka franchisor mempunyai hak untuk memindahkan hak franchise kepada pihak lain. Franchisee harus melihat apakah terdapat indikasi bahwa tidak terbukanya peluang untuk pembaharuan perjanjian diakibatkan upaya franchisor untuk mendapatkan biaya franchise yang tinggi. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
16. Pengakhiran perjanjian Seperti telah dikemukakan di atas, kerjasama di bidang bisnis franchise biasanya berlaku 5 sampai 10 tahun. Apabila jangka waktu itu telah terlampaui franchisor akan meninjau kembali hubungan kerjasama itu dan juga franchise seringkali berkeinginan untuk dapat terus memelihara serta memperbaharui hubungan kerjasama bisnis franchise tersebut. Hingga saat ini belum ditemukan peraturan tentang pengakhiran perjanjian
franchise,
namun
dapat
pula
dilakukan
penerapan
bahwa
pengaturannya terangkum pula dalam buku III KUH Perdata, seandainya para pihak tidak mengaturnya secara khusus dalam perjanjian. Pengakhiran perjanjian dapat terjadi karena: 95 a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Contoh: pihak dalam perjanjian franchise menentukan bahwa perjanjian disepakati berlangsung selama 7 (tujuh) tahun, maka setelah waktu 7 (tujuh) tahun perjanjian akan berakhir; b. Undang-undang menentukan batas berlaku suatu perjanjian. Contoh: A (franchisor) dan B (franchisee) sepakat menjalankan bisnis franchise dalam bidang makanan. Selama masa perjanjian yang disepakati selama 10 (sepuluh) tahun, tiba-tiba B sebagai franchisee meninggal dunia. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian agar dilakukan
95
Martin Mendelsohn Op cit.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
pemenuhan kewajiban oleh ahli waris sebelum jangka waktu berakhirnya perjanjian yang ditetapkan oleh undang-undang; c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian menjadi hapus. Contoh: persetujuan franchise akan hapus jika salah satu pihak meninggal dunia; d. Pernyataan menghentikan perjanjian oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Contoh: A (franchisor) menyatakan bahwa perjanjian franchise dengan B (franchisee) dihentikan karena B dianggap tidak memenuhi target yang ditetapkan oleh A dalam perjanjian yang telah disepakati bersama; e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. Contoh: hakim memutuskan hapusnya suatu perjanjian franchise karena diminta oleh salah satu pihak; f. Tujuan perjanjian telah tercapai. Contoh: para pihak sepakat bahwa perjanjian franchisee akan dilangsungkan selama 15 (lima belas) tahun, setelah waktu tersebut maka dianggap tujuan dari bisnis tercapai sehingga terjadi pengakhiran perjanjian; g. Dengan persetujuan para pihak. Contoh: franchisee merasa tidak dapat memenuhi target pembukaan outlet yang ditargetkan lalu franchisee dengan persetujuan franchisor mengakhiri perjanjian franchise. 17. Penafsiran terhadap perjanjian Para pihak dapat menyepakati masalah penafsiran ini, terutama apabila dalam bisnis franchise terlibat 2 (dua) pihak yang berlainan bangsa, Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
kewarganegaraan. Biasanya franchisee bertanggung jawab dalam masalah penerjemahan dan pengadaptasian dari semua material dan informasi yang digunakan secara lokal dan informasi lain yang disediakan oleh franchisor, akan tetapi semua terjemahan harus sesuai dan disetujui oleh franchisor. 18. Pilihan hukum dan pilihan forum Pilihan hukum ini merupakan hal yang penting dalam hal terjadi perjanjian
franchise
internasional.
Semua
perjanjian
harus
benar-benar
memperhatikan penetapan hukum mana yang akan diterapkan dalam perjanjian, serta tempat hukum mana yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihanperselisihan yang timbul. Pilihan hukum dalam praktek seringkali ditetapkan oleh franchisor, dalam hal ini franchisee harus mengetahui dengan jelas hukum negara apa yang dipakai agar dapat memahaminya dengan baik. Kedudukan franchisee dalam hal pilihan hukum seringkali dalam posisi yang lemah karena pihak franchisor yang biasa menetapkan pilihan hukum yang dipilih sedangkan franchisee hanya menyetujuinya saja. Selain pilihan hukum terdapat pula pemilihan forum, hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan forum apakah dimungkinkan pula untuk menyelesaikan perselisihan dengan arbitrase ataukah penyelesaian hanya berdasarkan proses yudisial biasa yakni melalui pengadilan. Elemen-elemen perjanjian yang telah dikemukakan di atas merupakan hal-hal yang dapat ditemukan dalam perjanjian franchisee pada umumnya. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Prinsip yang dapat dijadikan pedoman untuk menyetujui sebuah perjanjian franchise, yakni: 96 “Any Provision in any contract can be negotiated and change with the mutual agreement of the involved parties” Seperti yang dikemukakan di atas bahwa setiap ketentuan dalam sebuah perjanjian dapat dinegosiasikan agar menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh pihak-pihak sebelum penandatanganan perjanjian yakni: 97 “Discuss with them (attorney and accountant) its provisions and the obligations its places on you to perform certain functions, and determine areas for negotiation in which you can make changes to your benefit” Maksudnya adalah para pihak harus memikirkan dengan cermat dan seksama (termasuk konsultasi dengan pengacara dan akuntan), mengenai isi dari ketentuan serta kewajiban yang tercantum dalam perjanjian sehingga ketika penandatanganan
dilakukan,
pihak-pihak
telah
memiliki
persiapan
dan
pemahamam yang jelas akan isi dari perjanjian serta akibat yang ditimbulkan dari perjanjian franchise tersebut.
96
Bryce Webster, The Insider’s Guide to Franchising, (Amerika: American Management Association, 1991), hal. 95. 97 Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
B. Analisis Mengenai Perjanjian Franchise Perjanjian atau sering disebut juga dengan kontrak pada prinsipnya merupakan hubungan hukum antara beberapa pihak yang sepakat untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Di samping itu pula kontrak sebagai suatu perjanjian akan mengikat para pihak dan dapat dipaksakan secara hukum. 98 Dalam hal ini perjanjian waralaba (franchise) yang terjadi antara Tuan A selaku business owner dan seseorang.Kontrak tersebut diberi judul “Perjanjian Kemitraan”, dalam kontrak tersebut terdapat kekeliruan yaitu posisi Tuan A selaku business owner di identitas para pihak, sementara dalam Pasal 1 angka (3) perjanjian tersebut menyebutkan bahwa owner adalah badan usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan usaha yang dimilikinya kepada penerima kemitraan, dalam hal ini adalah Tuan B. Jadi disini tidak jelas apakah Tuan B sebagai owner atau penerima kemitraan. Dan Pada perjanjian kemitraan Franchise XX tersebut tidak terdapat Pasal 17. Dari pasal 16 langsung ke Pasal 18 Ketentuan yang menjadi landasan hukum dalam hukum positif di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata. Namun demikian terhadap pelaksanaan franchise sendiri berpijak dari Pasal 1338 KUHPerdata berkenaan dengan kebebasan berkontrak. Apalagi hukum kontrak di Indonesia
98
Catherine Tay Swee Kian dan Tang See Chim, Contract Law: A Layman’s Guide, Times Books International, Singapore 1987, hal. 19-20.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
menganut suatu “sistem terbuka” (open system) yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk membuat kontrak terutama menyangkut materinya. Sebagaimana dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dilahirkan dari: 1. Perjanjian 2. Undang-Undang Maka demikian pula halnya dengan perjanjian franchise dengan nomor: 032/MOU/6/2009 tentang Perjanjian Kemitraan waralaba Franchise XX dan Perjanjian Kerjasama waralaba YY yang lahir karena diperjanjikan menjadi hukum bagi franchisee dan franchisor dalam suatu sistem bisnis franchise yang dijalankan. Dengan kata lain, semua perjanjian (termasuk perjanjian franchise tersebut), demi tujuan kepastian hukum maka menjadi undang-undang bagi para pihak. 99 Tentu saja ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan di dalam franchise agreement tersebut dapat dipaksakan bagi para pihak yang terikat di dalamnya, yaitu franchisor (Tuan A) yang di satu sisi sebagai pemberi lisensi, dan franchisee di pihak lain sebagai pengguna/ penyewa lisensi milik franchisor. Oleh karenanya, dalam pembuatan perjanjian franchisee (franchisee agremeement) para pihak harus memahami materi dalam perjanjian tersebut terutama berkaitan dengan kedudukan baik terhadap hak dan kewajiban yang
99
Lihat dalam Buku Ketiga Bab Kedua Bagian Ketiga, Pasal 1340 KUH Perdata yang menyangkut Asas pacta Sunt Servanda.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
ada padanya. Pentingnya memahami materi dalam perjanjian franchisee terlihat dalam kasus (Hurley) Carlock v Pillsbury Company, 791 F. supp 791 (D. Minn, 1989), di mana pihak franchisee dipandang melanggar perjanjian franchise yaitu menambah penjualan produk franchise di beberapa negara bagian di luar wilayah yang diperjanjikan, sehingga adanya tuntutan dari franchisee lainnya. Hal tersebut dikarenakan dalam perjanjian franchise, franchisor memberikan izin/ hak kepada franchisee (Pillsbury) bahwa selain melalui Häagen Daz Shoppes juga dapat melalui metode distribusi lainnya (through not only Häagen Daz Shoppes, but through any other distribution method, which way from time to time be estabilished). 100 Van Cise mensyaratkan adanya 3 (tiga) prinsip umum yang harus dipersiapkan dalam membuat perjanjian franchise, yaitu: 101 1. Kontrak seharusnya terbuka (frank/ disclosure) 2. Penetapan aturan-aturan di dalamnya harus seimbang (fair) 3. Isi dari perjanjiannya harus dapat dipaksakan kepada masing-masing pihak (enforceable) Perjanjian franchise biasanya menyatakan bahwa kedudukan franchisee adalah pihak yang independent dalam kontrak tersebut dan bukan merupakan agen atau pekerja bagi franchisor. 102 Dengan demikian, pengawasan yang
100
Henry R. Cheeseman, Op,cit,hal.722-723. Charles L. Vaughn, Op, cit, hal. 55 102 Sebagaimana ditegaskan pula oleh Ronald A. Anderson dkk, bahwa secara teoritis, hubungan antara franchisor dan franchisee merupakan hubungan antara dua pihak yang bebas. Lihat 101
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dilakukan oleh franchisor tersebut dalam beberapa kasus yang terjadi selama ini menimbulkan anggapan bagi pengadilan bahwa franchisor tersebut dalam beberapa kasus yang terjadi selama ini menimbulkan anggapan bagi pengadilan bahwa franchisee bukanlah pihak yang bebas dalam kontrak tersebut. 103 Hal tersebut tidak terlepas dari materi yang terdapat dalam franchise agreement dimana memberikan prioritas lebih kepada franchisor baik dalam manajemen, penetuan royalty bahkan pada persoalan penyelesaian sengketa (c.q.
pilihan
hukum/governing
law).
Umumnya
franchise
agreement
memberikan hak bagi franchisor untuk “memutuskan hubungan franchise”, bangkrut atau pailit, gagal dalam memenuhi pembayaran, atau tidak memenuhi target penjualan (sales target). 104 Dalam perjanjian kerjasama Franchise XX dan Franchise YY tersebut kedudukan ftranchisor juga kuat dan menentukan dalam hal manajemen, penetuan royalty bahkan pada persoalan penyelesaian sengketa (c.q. pilihan hukum/governing law), kesemuanya itu ditentukan oleh franchisor, walaupun perjanjian tersebut akan ditandatangani oleh kedua belah pihak tetapi materi dan muatan perjanjian dibuat oleh franchisor, sehingga isi
Ronald A. Anderson, Ivan Fox, dan David P. Twomey, Bussiness Law, South Western Publishing Co., USA, 1984, h.596. pemahaman tersebut beranjak pula dari arti franchise sendiri (yang dalam bahasa Perancis) berarti bebas dari perhambaan (free from servitude). Lihat pula Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Pertama, 1996, hal. 72. 103 Lihat John D. Donnel, A. James Barnes, dan Michael B. Metzger, Law for Bussiness, Richard D. Irwin, Inc, USA, 1983, hal.366. 104 Ronald A. Anderson, Ian Fox, dan David P. Twomey, Op,cit,h.596. lihat pula dalam Henry R. Cheeseman, Op,cit, h.730. meskipun demikian franchisee dapat pula menuntut franchisor atas pemutusan perjanjian tanpa dasar (wrongful termination), Ibid, hal.733.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dari perjanjian franchise XX dan YY tersebut mencerminkan keinginan dari franchisor dalam hal ini Tuan A selaku pemilik bisnis/ usaha. Oleh karenanya, Dov Izraeli selanjutnya mensyaratkan adanya 6 (enam) hal pokok yang harus tertuang dalam perjanjian franchise, meliputi: 105 hak-hak yang dimiliki oleh franchisee (antara lain seperti menggunakan merek dagang, logo, dan reputasi franchisor, menggunakan lay out, desain, paten, metode kerja, peralatan, pengembangan produk oleh franchisor), kewajiban franchisee, kewajiban franchisor, pembagian keuntungan serta sumber-sumber pemasukan franchisor, pengawasan terhadap bisnis franchisee tersebut, sehingga sistem bisnis franchise dapat berjalan dengan baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Cheeseman bahwa dalam franchise agreement biasanya memuat antara lain, standar pengawasan kualitas, persyaratan pelatihan, pelarangan atas persaingan (covenant not to compete) oleh franchise, dan klausula arbitrase. 106 Dalam Bab ini akan dibahas mengenai analisis kontrak franchise yang ada, berdasarkan data yang ada penulis mendapatkan 2 (dua) contoh kontrak waralaba (franchise), yaitu : dua bentuk franchise yang bergerak dalam usaha makanan, dan tergolong dalam jenis franchise untuk UKM karena dalam pemilikannya digunakan biaya yang relatif murah sesuai dengan standar modal UKM dimana untuk kontrak, disebut sebagai perjanjian kemitraan dan kontrak105
Dov Izraeli, Franchising and The Total Distribution System, Longman Group Limited, Bristol London, Cetakan Pertama, 1972, hal.33. 106 Henry R. Cheeseman, Op,cit,h.720-722. disamping itu pula, biasanya perjanjian franchise membatasi masa franchising dan memuat alternatuf tindakan untuk pembaharuan perjanjian setelah berakhirnya masa perjanjian franchise. Lihat dalam Daniel V. Davidson, dkk, Comprehensive Business Law; Principles and Cases, Kent Publishing Company, Boston- Massachusetts USA, 1987,hal.965.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
kontrak disebut sebagai perjanjian kerjasama. Dalam hal ini akan dibahas franchise XX dan franchise YY, untuk menjamin kerahasiaan bisnis franchise ini.Adapun bahan yang menjadi objek analisis adalah 1. Penyelesaian Sengketa dan Sanksi a. Berdasarkan Franchisee XX Penyelesaian sengketa berdasarkan kontrak dicantumkan dalam Pasal 22 Perjanjian tersebut dengan judul Penyelesaian Perselisihan, adapun bunyi Pasal 22 sebagai berikut: Pasal 22 PENYELESAIAN PERSELISIHAN 1. Segala perselisihan yang timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian ini diselesaikan dengan penyelesaian secara musyawarah. 2. Para pihak sepakat bahwa semua bisnis memiliki resiko. Oleh karena itu pihak sepakat untuk tidak saling menuntut/ menyalahkan apabila outlet kemitraan
tidak
berhasil
dalam
operasionalnya,
setelah
semua
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini dilakukan secara sungguhsungguh dan maksimal. 3. Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas tidak tercapai, maka kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri. Inti dari klausula tersebut yaitu bahwa keduanya sepakat bisnis memiliki
resiko
dan
jika
ada
perselisihan
diupayakan
melalui
jalan
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
musyawarah tetapi jika tidak tercapai maka akan
ditempuh jalur hukum
(litigasi) melalui pengadilan yaitu Pengadilan Negeri setempat, didalam perjanjian ini tidak diatur mengenai Arbitrase. b. Berdasarkan Franchisee YY Penyelesaian sengketa berdasarkan kontrak dicantumkan dalam Bab Sanksi dan Perselisihan Pasal 1 dan 2 dalam Perjanjian tersebut, adapun bunyi Pasal 1 dan 2 sebagai berikut Sanksi dan Perselisihan Pasal 1 Apabila pihak kedua melanggar isi perjanjian kerjasama ini maka pihak pertama dapat menjatuhkan sanksi/ denda/ pemutusan kerjasama secara sepihak. Pasal 2 1. Segala perselisihan, pertentangan atau perbedaan yang mungkin timbul di kemudian hari sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah. 2. Apabila
penyelesaian
secara
musyawarah
tidak
dapat
tercapai
kesepakatan, para pihak setuju untuk memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Medan. Inti dari klausula tersebut yaitu bahwa keduanya sepakat bisnis memiliki
resiko
dan
jika
ada
perselisihan
diupayakan
melalui
jalan
musyawarah tetapi jika tidak tercapai maka akan ditempuh jalur hukum Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
(litigasi) melalui pengadilan yaitu Pengadilan Negeri setempat. Di dalam perjanjian ini tidak diatur mengenai Arbitrase. 2. Pelatihan Berdasarkan Franchise XX mengenai Pelatihan diatur di dalam Pasal 13 perjanjian tersebut. Pasal 13 REKRUTMEN DAN PELATIHAN 1. OWNER melakukan training untuk karyawan yang akan ditempatkan sebagai Operator Outlet franchise xx di lokasi usaha. 2. OWNER
berkewajiban
memberikan
pengetahuan
atau
pelatihan
(training) yang berkaitan dengan proses usahanya kepada Operator Outlet MITRA selama 1 (satu) minggu. 3. Segala biaya yang timbul setelah melakukan training dan setelah beroperasinya lokasi usaha, seperti gaji, transportasi, makan, tempat tinggal operator outlet ditanggung dan dibayar oleh OWNER dan MITRA. 4. OWNER melakukan training kepada operator outlet usaha untuk produk baru, standarisasi dan lain-lain serta menanggung segala biaya yang terjadi atasnya. Ketentuan mengenai Pelatihan diatur di dalam Pasal tersebut tetapi kelemahannya
terletak
pada
tidak
ditanggungnya
seluruh
biaya
yang
diperlukan selama pelatihan berlangsung. Tetapi sudah cukup bagus karena Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
franchisor masih peduli dalam memberikan pelatihan kepada franchisee, sementara berdasarkan kontrak dalam franchise YY tidak diatur sama sekali mengenai pelatihan, hal ini sangatlah tidak baik dan kurang tepat, biaya yang harus dikeluarkan terwaralaba tidak sesuai dengan fasilitas yang diterima, biaya waralaba nya mahal. Tetapi tidak dibarengi dengan fasilitas pelatihan yang sangat diperlukan oleh terwaralaba dalam menjalankan usahanya.
3. Keadaan Kahar (Force Majeur) Keadaan Kahar (Force Majeur) di dalam perjanjian franchise xx diatur di dalam pasal 21 yang berbunyi: KEADAAN KAHAR 1. Yang dimaksud dengan keadaan kahar dalam perjanjian ini adalah peristiwa atau kejadian di luar kekuasaan manusia seperti bencana alam, gempa bumi, perang, epidemi ataupun huru-hara. 2. Dalam hal terjadi keadaan kahar, maka MITRA atau OWNER wajib memberitahukan secara tertulis dalam waktu 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam, satu sama lain terhitung sejak terjadinya keadaan kahar tersebut. 3. Selama masa perbaikan, pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian dianggap diberikan perpanjangan waktu selama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal yang ditetapkan secara tertulis oleh OWNER.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Dalam perjanjian franchise xx tersebut pengaturan mengenai kahar dibuat standar seperti pada perjanjian-perjanjian lainnya, tidak ada hal yang spesifik dalam ketentuan tersebut. Dalam perjanjian franchise YY ketentuan mengenai Kahar diatur didalam BAB X dengan judul Keadaan Memaksa/ Force Majeur Pasal 1, isi dari ketentuan tersebut juga bersifat umum seperti pada perjanjian-perjanjian yang lainnya. 4. Lokasi Usaha Ketentuan mengenai Lokasi Usaha dalam franchise XX diatur di dalam Pasal 5 perjanjian tersebut, inti dari isi klausula tersebut adalah dominasi yang kuat dari franchisor dalam menentukan lokasi usaha, baik itu tempat, letak dan sebagainya,
sehingga
terwaralaba
bisa
kehilangan
kreatifitas
dalam
menentukan lokasi usaha. Sementara itu dalam franchise YY tidak diatur ketentuan mengenai Lokasi Usaha, hal ini bisa berdampak positif karena terwaralaba bisa menentukan sendiri lokasi usaha yang diinginkannya, tetapi hal ini juga merupakan kelemahan karena dapat menimbulkan perselisihan disebakan tidak jelasnya pengaturan mengenai Lokasi Usaha. Jadi dalam perjanjian franchise sebaiknya dicantumkan klausula mengenai Lokasi Usaha. 5. Kerahasiaan/ Larangan Ketentuan mengenai Kerahasiaan/ larangan dalam franchise XX diatur didalam Pasal 11 mengenai Kerahasiaan terhadap produk, sistem dan lain sebagainya, dan Pasal 18 mengenai larangan yang tidak boleh dilakukan dalam perjanjian tersebut. Ketentuan ini merupakan hal yang penting dan diperlukan Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dalam membuat sebuah perjanjian franchise, sehingga perjanjian tersebut menjadi jelas dan tepat dan memiliki nilai kepastian. Sementara itu dalam franchise YY ketentuan mengenai Kerahasiaan atau Larangan tidak diatur secara tegas, tetapi pengaturannya mengenai Praktek Dagang yang diatur di dalam Bab III Pasal 1 perjanjian tersebut yang isinya juga merupakan kerahasiaan dan larangan yang harus dilakukan oleh terwaralaba. 6. Berakhirnya Perjanjian Ketentuan mengenai berakhirnya perjanjian dalam franchise XX diatur di dalam Pasal 20 Perjanjian ini dengan judul pengakhiran perjanjian, dalam ketentuan tersebut posisi terwaralaba sangat lemah, karena pewaralaba berhak memutuskan perjanjian secara sepihak dan dapat menuntut ganti kerugian kepada
terwaralaba,
jadi
posisi
pewaralaba
begitu
dominan
sehingga
mengakibatkan tidak seimbangnya klausula tersebut. Sementara itu di dalam franchise YY sama sekali tidak diatur mengenai Berakhirnya perjanjian, hal ini merupakan sebuah kelemahan karena klausula mengenai berakhirnya perjanjian adalah hal yang sangat penting dalam sebuah perjanjian apapun apalagi perjanjian franchise. 7. Biaya Pembelian Franchisee Ketentuan mengenai Pembelian franchise dalam perjanjian franchise XX terdapat di dalam Pasal 5 perjanjian tersebut, yang menyatakan bahwa biaya Pembelian Franchise sebesar Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) yang dibayarkan seketika setelah perjanjian dibuat kepada pewaralaba. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Sementara itu Biaya Pembelian franchise YY jumlahnya lebih mahal dari pada franchise XX, biaya Franchise YY sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) yang pembayarannya dapat dicicil 3 (tiga) kali sesuai perjanjian dan harus sudah dilunasi pada saat pembukaan outlet franchise YY. Biaya tersebut jumlahnya cukup besar, seharusnya dibarengi dengan kualitas pembinaan yang dilakukan oleh pewaralaba kepada terwaralaba. 8. Jangka Waktu Perjanjian Dalam Perjanjian franchise XX diatur ketentuan mengenai jangka waktu perjanjian di dalam Pasal 3 yang berbunyi : “Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal 16 (enam belas) bulan Juni tahun 2009 (dua ribu sembilan) dan berakhir pada tanggal 16 (enam belas) bulan Juni tahun 2014 (dua ribu empat belas), kecuali berakhir atau diakhiri sebelumnya berdasarkan alasanalasan yang diatur dalam perjanjian ini.” Dan Pasal 4 tentang Perpanjangan Jangka Waktu Perjanjian yang berbunyi: “Jangka waktu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (tiga), dapat diperpanjang oleh
MITRA dengan memberitahukan
secara tertulis kepada OWNER selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian.” Sedangkan dalam franchise YY jangka waktunya
selama 3(tiga) tahun seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2
perjanjian tersebut, ada perbedaan jangka waktu antara franchise XX dan franchise YY. Yaitu memiliki selisih dua tahun, disamping itu franchisee YY tidak mengatur mengenai waktu perpanjangan perjanjian.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
C. Kedudukan UKM selaku franchisee berdasarkan analisis perjanjian franchise Berdasar pada penelitian terhadap perjanjian franchise ada 2 (dua) hal utama yang cukup menarik untuk disimpulkan mengenai kedudukan franchise /UKM berkaitan dengan manajemen dalam franchise dan royalti. Kedua hal tersebut menarik sebagai suatu kajian atau analisis tersendiri dalam kaitannya dengan perjanjian franchisee. Hal ini dikarenakan selama ini persoalanpersoalan yang muncul menjadi sengketa atau dispute dalam pelaksanaan perjanjian franchisee beranjak dari kedua hal tersebut. 107 Di samping itu, ketidakseimbangan dalam hubungan kontraktual dalam franchisee seringkali muncul dari hal-hal tersebut. 1. Manajemen Dalam Franchisee Secara umum, perjanjian franchise merupakan instrumen kerjasama dalam hal pemasaran dengan konsep dan standar yang ditetapkan oeh franchisor. Konsep pemasaran yang diberikan oleh franchisor disebut sebagai “sistem” yang mencakup hak milik intelektual (intellectual property right), know how yang menyangkut masalah manajemen produksi dan pelayanan yang ditawarkan oleh franchisor terutama dalam pelatihan dan promosi. 108 Dalam
107
Lebih lanjut Vaughn mencatat pula 3 hal yang potensial memunculkan persoalan dalam franchising, meliputi praktek yang tidak fair dalam pemberian izin franchise, pelaksanaan franchise (menyangkut manajemen,royalty/fee) serta persoalan pemutusan hubungan franchise/penyelesaian sengketa. Lihat dalam Charles L. Vaughn, Op. Cit, hal.54. 108 Dennis Campbell dan Louis Latifi (eds), Distributorships, Agency and Franchising in an International Arena: Europe, The United State, Japan and Latin America, Kluwer Law and Texation Publisher, Deventer, The Netherlands, 1990, hlm. 93-94. sebagai suatu konsep pemasaran paling tidak ada 2 (dua) hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam franchising, yaitu pengembangan produk
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
kajian yuridis, perjanjian franchise (franchise agreement) dipandang sebagai “perjanjian lisensi khusus” (menyangkut lisensi merek dagang/ trade mark dan merek jasa/ service mark) atau dapat dikatakan sebagai pemberian hak lisensi yang meliputi lisensi untuk memproduksi produk dengan merek tertentu untuk mendistribusikan produk tertentu dari licensor (produsen). 109 Dikatakan khusus, karena adanya suatu kewenangan dari pihak franchisor untuk melakukan pengawasan terhadap bisnis yang dilisensikan kepada franchisee, sehingga
inherent
(technical
assistance),
pelatihan
(training),
serta
perdagangan dan manajemen (merchandising and management). Adapun yang termasuk dalam beberapa hal tentang manajemen ini meliputi : a. Berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan. Maka implementasinya hanya dilakukan sebatas ketentuan yang termuat dalam perjanjian sebagaimana telah direncanakan sebelumnya serta mengacu pada sistem yang ditentukan oleh franchisor. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa franchisee dalam melakukan kegiatan (work system) yang berkaitan dengan sistem bisnis franchise tersebut harus memenuhi standarisasi
barang/ jasa yang telah mempunyai nama di masyarakat (public image goods) dan produk barang/ jasa yang akan dipasarkan. 109 Lihat Martin Mandelsohn, Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, PT. Pustaka Praktis Pressindo, Jakarta, 1993, h. 3. sebagai bentuk lisensi, maka dalam franchising menyangkut pula aspek hukum merek dan paten (atau keseluruhan hukum atas kekayaan intelektual/ intellectual property right), disamping itu pula kedudukan para pihak mempunyai harapan atas keuntungan-keuntungan yang akan didapati serta kedua belah pihak secara timbal balik berusaha untuk mempelancar jalannya perjanjian itu. Lihat dalam Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktik Lisensi, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kedua, 1991, hal. 54.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
franchisor dalam Hal ini Tuan A. Pengembangan dalam artian bahwa perencanaan
hingga
pengambilan
kebijaksanaan
(policy
making)
yang
menyangkut bisnis selalu dalam kontrol dan seizin dari franchisor. 110 Keadaan yang semacam ini menunjukkan bahwa kewenangan untuk mengambil kebijaksanaan baik pengembangan/perluasan usaha maupun penentuan strategi bisnis ada pada kekuasaan atau kewenangan franchisor. Setidak-tidaknya dalam hal penentuan kebijaksanaan mikro (kebijaksanaan selain yang ditetapkan oleh franchisor) antara lain (untuk perjanjian franchise Oxford Course Indonesia) seperti kewenangan untuk menentukan toleransi jam pengajaran, jadwal pengajar dan penggunaan sarana pendukung harus sepengetahuan franchisor. Pada salah satu materi perjanjian franchise yang termuat dalam perjanjian franchise Chicken Delight, Inc., juga menegaskan bahwa pertimbangan segala pelaksanaan yang berkaitan dengan bisnis franchisee dimintakan kepada franchisor. Sebagaimana R.J. Campbell, meskipun pengambilan kebijaksanaan harian (daily decision) diserahkan kepada franchisee namun pertimbangan yang dilakukan oleh franchisee relatif
110
Ketentuan yang mengharuskan franchisee melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang digariskan oleh franchisor sering dikenal sebagai tien clauses. Berkaitan kewenangan untuk memutuskan kebijaksanaan bisnis franchise yang ada tersebut dengan pengelolaan manajemen, maka dalam pengelolaan bisnis franchise pizza hut antara PT. Habaputra Primanusa dengan PT. Sarimelati Kencana manajemennya dikelola oleh PT. Sarimelati Kencana sebagai pemegang franchise Pizza Hut untuk Indonesia dengan sistem bagi hasil.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
rendah, karena semuanya akan dikembalikan pada franchisor (dalam hal pertimbangannya) terutama untuk mengatasi peluasan bisnis. 111 b. Berkaitan dengan penyediaan peralatan terhadap kegiatan bisnis Sesuai standar yang disetujui franchisor maka semuanya dibebankan pada franchisee, baik sarana maupun prasarananya. Penyediaan sarana dan prasarana yang standar tersebut harus dilaporkan pada franchisor dan tidak boleh mengandung cacat hukum. Kegiatan sebagaimana tersebut di atas merupakan perencanaan pelaksanaan bisnis franchise yang merupakan bagian dari manajemen franchise secara keseluruhan di mana pada dasarnya memberikan kewajiban bagi franchisee XX dan YY untuk mengikuti standar yang telah dibakukan oleh franchisor. Hal ini terpenting dari penggunaan standar tersebut dalam rangka menjaga kualitas produk barang dan jasa. Hanya saja,
penentuan
standar
tersebut
seharusnya
diikuti
dengan
program
pendukung, yaitu pelatihan (training) secara kontinu oleh franchisor sehingga penetapan kualitas maupun etos kerja franchisee dalam menjalankan bisnisnya tersebut. c. Pelaksanaan kerjasama atau pengelolaan usaha yang dijalankan franchisee Senantiasa mendapat persetujuan dari pihak franchisor. Terbukti dalam Perjanjian Franchise Oxford Course Indonesia tersebut terhadap peraturan penentuan biaya, gaji, ujian pelatihan/ training, pengadaan/ pengesahan/
111
Lihat artikel R.J. Campbell, Exploitation of Market and Evaluating and Fiscal Aspect, dalam Yance Gramatidis and Denis Campbell (eds), Op.cit. hal. 60.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
penyerahan sertifikat harus selalu mendapat persetujuan franchisor. Ketentuan semacam ini ditetapkan tidak terlepas dari sistem bisnis franchise dalam Oxford Course Indonesia mempunyai spesifikasi standar sebagaimana tersebut di atas. Di samping itu pula, standarisasi tersebut terkait pula dengan persoalan royalty yang harus dibayarkan franchisee kepada franchisor, yaitu dasar penghitungan untuk pendapatan bruto (gross income/gross profit) ataupun penjualan bruto (gross sale) yang akan diterima franchisee dari bisnisnya tersebut.Sementara dalam perjanjian kemitraan XX dan YY tidak diatur masalah gaji/ upah pekerja d. Adanya pelayanan dasar yang harus diberikan franchisor kepada franchisee Sebelum menjalankan manajemen bisnis franchise-nya yang meliputi kemampuan pembukuan, seleksi staf/rekrutmen staf, manajemen staf, sistem dokumentasi dan prosedur bisnis untuk tujuan pengawasan operasionalisasi bisnis, serta pelatihan bisnis dasar. 112 Kesemuanya dimaksudkan agar franchisee terhindar dari kesalahan mendasar dalam mengelola bisnisnya. Bantuan teknik (technical assistance), pelatihan (training), perdagangan dan manajemen (merchandising and management) yang mencirikan khusus pada bisnis franchise sebagai perjanjian lisensi (licensee agreement) secara tegas tidak termuat dalam Perjanjian Franchise Oxford Course Indonesia. Hal tersebut dilihat pada penggunaan karyawan dan staf pengajar pada penggunaan karyawan dan staf pengajar dari pihak franchisor semata-mata bukan dalam 112
M. Mendelsohn, op. cit, hal. 107.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
kerangka bantuan teknik, tetapi sebagai peminjaman tenaga saja dengan penggantian biaya training (training fee). Sebagaimana diketahui bahwa penelitian terhadap franchise meliputi 2 (dua) hal pokok, yaitu pelatihan bagi para franchisee dan para pekerjanya. Pelatihan sendiri pada dasarnya berkaitan dengan proses rekruitmen dan seleksi. 113 Sebagaimana dikemukakan oleh Barret bahwa pelatihan setidak-tidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan dasar yaitu: 1. Memperbaiki kemampuan (skill); 2. Mengubah nilai dan pengetahuan; serta 3. Memberikan informasi kepada franchisee. 114 Namun demikian dalam perjanjian franchise di Indonesia (c.q. Oxford Course
Indonesia),
franchisor
tidak
pelaksanaan diatur
secara
program tegas
pelatihan baik
sebagai
bentuk
kewajiban
maupun
waktu
pelaksanaannya. Terlihat bahwa keseimbangan hak dan kewajiban yang tertuang dalam materi-materi perjanjian franchise tidak tercipta. Demikian pula halnya dengan perjanjian franchise Chicken Delight, Inc., meskipun pelayanan yang diberikan kepada franchisee antara lain berupa bantuan pemilihan lokasi dan pengembangan, namun tidak secara tegas mengatur pelatihan yang akan diberikan kepada franchisee. Oleh karenanya kontribusi yang seimbang dalam perjanjian franchise tidak muncul, padahal persoalan pelatihan merupakan hal
113 114
Charles L. Vaughn, op. cit, hal. 73. Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
utama dalam menjalankan bisnis franchise. Adanya program pelatihan sangat penting terutama bagi franchisee, karena pelatihan tersebut selain dapat meningkatkan kemampuan franchisee dalam mengelola bisnisnya sesuai dengan standar yang ditetapkan, juga sebagai sarana transfer teknologi (transfer of technology). Teknologi yang ada tersebut (melalui technical assistance) erat kaitannya dengan kelangsungan produksi. Di sisi lain dalam rangka pengembangan bisnis secara efektif. Namun demikian, yang jelas dengan transfer teknologi sangat erat kaitannya terhadap prinsip bisnis perusahaan yang bersangkutan yang memiliki standar-standar tertentu yang sudah teruji. 115 Tanpa adanya pelatihan, maka dimungkinkan sekali franchisee ketika akan mengangkat karyawan, misalnya seperti manajer baru justru akan menjadi problem tersendiri seandainya kedudukan franchisor sebenarnya adalah master franchise/ subfranchise atau perusahaannya dibeli oleh perusahaan lain yang selanjutnya akan menjadi franchisor baru dan akan menggunakan alasan ketidakmampuan franchisee dalam mengelola bisnisnya untuk melakukan pemutusan hubungan bisnis. Sebagaimana dalam kasus Seven Up Bottling Company (Bangkok) Ltd., yang disebut sebagai (the bottler) v Pepsico, Inc., di mana saat itu the bottler mengangkat direktur manajer baru ternyata mempengaruhi produktivitas dan kinerja perusahaan, sehingga kondisi bisnis semakin buruk. Kemudian dilakukan renegoisasi dengan the company
115
Richard D. Robinson, The International Transfer of Technology: Theory, Issues and Practice, Ballinger Publishing Company, USA, 1998, hal. 14-16.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
untuk penyelesaian masalah internal the bottler. Namun beberapa tahun kemudian (sebelum perjanjian berakhir) Seven-Up (the company) dibeli oleh Pepsico Inc., memutuskan hubungan franchisee the bottler. 116 Dalam operating license agreement yang merupakan perjanjian assecoir pada perjanjian franchise Mc Donald’s dengan master franchise di Indonesia, Bambang N. Rachmadi, dalam hal pelatihan sudah menerapkan standar tersendiri. Pelatihan dilakukan di Hamburger University dalam rangka informasi akan berarti pentingnya kualitas menjalankan bisnis yang menggunakan sistem Mc Donald’s. oleh karenanya baik karyawan terlebih lagi manajer restoran harus melengkapi kursus aplikasi bisnis utama (the advanced operations course) pada Humberger University. Kemudian bentuk-bentuk bantuan tetap yang diberikan oleh franchisor dalam rangka meng-up to date-kan bisnis franchisee pada umumnya tidak dituangkan pula dalam materi perjanjian franchise tersebut. Kecenderungannya kewajiban franchisor tersebut kewajiban 117 yang harus dilakukan oleh franchisee dengan membebankan biaya di luar royalty. Dengan kata lain bahwa pemberian hak know how 118 bagi franchisee sebagai bagian dari franchising
116
Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, Mc Graw-Hill Inc., New York, 1994,
hal. 268. 117
Kewajiban tersebut bahkan tidak ada kaitannya dengan peningkatan kualitas bisnis franchisee. Justru yang menonjol adalah pembebanan atas sejumlah kegiatan yang tidak dijelaskan secara tegas jenis dan bentuknya terhadap perjanjian franchise yang dijalankan franchisee. 118 Menurut Eckstrom, know how merupakan pengetahuan praktis mengenai bagaimana melakukan atau menyelesaikan sesuatu dengan lancar dan efisien, kemampuan untuk memperoleh sesuatu yang dilakukan dengan usaha minimum, memperoleh kemampuan praktis atau keahlian. Dalam bahasa Prancis, know how dikenal sebagai “savoir faire” yang oleh Meunchinger diartikan
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
yang juga merupakan bentuk lisensi, seharusnya mendapat porsi yang seimbang dan konkret dalam perjanjian franchise yang dibuat. Pencantuman materi pada perjanjian franchise tersebut seringkali tidak mengatur secara tegas kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh franchisor. Kondisi semacam ini menguntungkan secara sepihak bagi franchisor dalam hal ini Tuan A, karena dengan alasan untuk menstandarkan bisnis franchise dapat menentukan agar franchisee menjalankan ketentuan tersebut, tentunya dengan biaya lain-lain (other fees) yang ditanggung sendiri. Apalagi pihak franchisee tidak memiliki hak untuk menolak terhadap ketentuan atau kebijaksanaan yang ditetapkan oleh franchisor terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebenarnya dipandang tidak perlu dilakukan atau sudah diketahui oleh franchisee. Dengan demikian, seandainya melakukan penolakan atas ketentuan dalam perjanjian franchise tersebut akan menjadi masalah bagi franchisor untuk melakukan sanksi, bahkan pemutusan hubungan bisnis akan dilakukan secara sepihak, karena tidak dipenuhinya standar bisnis yang seharusnya dijalankan. 2. Royalti Pada umumnya pendirian usaha dengan menggunakan sistem franchise, pihak franchisee pada saat menandatangani perjanjian franchise telah dibebani sebagai pengetahuan dan pengalaman menjalankan bisnis dan prosedur yang penting untuk produksi. Lihat tulisan L.J. Eckstrom, Licensing in Foreign and Domestic Operation, Clark Boardman, Ney York, Vol. I, 3rd ed, 1982, h. 4-102 dalam bukunya Kojo Yelpaala, Donald R. Worley and Dennis Campbell (eds), Licensing Agreement: Patens, Know How, Trade Secret and Software, Kluwer Law and Taxation Publishers, USA, 1988, h.124, serta tulisan Nancy E. Muenchinger, French Law on Protecttion and Restriction of Intellectual Property Transfer: An Overview, Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
oleh initial or up-front fee atau initial licensi fee/ franchise fee yang merupakan sunk cost bagi jaminan atas pelaksanaan bisnis franchise yang akan dijalankan oleh franchisee dengan jumlah yang relatif sangat tinggi. a. Initial or up-front fee atau initial licensi fee/ franchise fee Terhadap initial fee tersebut tidak dapat dimintakan kembali meskipun terjadinya pengakhiran perjanjian franchise atau berakhir dengan sendirinya perjanjian tersebut. Dalam hal ini Franchise XX dan YY, untuk XX tidak diatur secara tegas mengenai royalti yang harus dibayarkan, sedangkan untuk YY ditentukan di dalam Bab VIII pasal 1, Pembebanan fee tersebut dalam perjanjian franchise juga meliputi atas royalti (continuing royalties), training fee, serta biaya lainnya antara lain seperti advertising fee, maupun management service fee. Namun fokus analisis di sini lebih menekankan pada royaltinya. Pembebanan atas royalti merupakan suatu bagian dari perjanjian lisensi pada umumnya. Pengenaan atas royalti tersebut juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh licensee atau franchisee sebagai kompensasi penggunaan trade mark/ trade service licensor atau franchisor. 119 Salah satu aspek hukum yang harus dipertimbangkan sebagai “legal audit” dalam membuka bisnis franchise baru adalah pembatasan royalti. Oleh karenanya perlu pembahasan 119
Menurut studi empirik terhadap bisnis franchise fast food yang dilakukan oleh Vaughn pada periode 1969-1970 terhadap 116 franchisor dari 136 franchisor yang ada, bahwa 92% sumber pendapatan franchisor diperoleh dari royalti (rata-rata berkisar antara 3,0% s.d. 4,8% dari gross sales), dan 89% berasal dari franchise fee (rata-rata $ 5.950 s.d. $ 11.540), sedangkan sisanya diperoleh dari biaya sewa dan lain-lain. Lihat Charles L. Voughn, op. cit., hal. 37-51.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
tersendiri terhadap royalti. Dalam franchise XX ada beberapa biaya yang harus dikeluarkan. Yang pertama adalah dinamakan dengan kewajiban awal mitra yaitu biaya yang harus dikeluarkan oleh mitra sebagai komitmen awal untuk menjalankan usaha franchise XX, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 ayat (5) dan Kewajiban sebagai mitra (imbalan perolehan hak kemitraan) adalah kontribusi biaya dari mitra kepada owner, sebagai
imbalan atas pemberian
kemitraan yang dimiliki oleh OWNER dalam kurun waktu tertentu. Kewajiban sebagai MITRA yang dibayarkan dimuka dan hanya dibayarkan untuk satu kali bentuk hak yang diterima untuk jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 ayat (6). Jumlahny Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) ketentuan ini diatur di dalam Pasal 7. Sedangkan dalam Pasal 4 franchise YY mengatakan Pihak kedua berkewajiban melakukan deposit sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada pihak pertama diawal perjanjian, dan akan dikembalikan kepada pihak kedua pada saat berakhirnya perjanjian ini.disamping itu ada namanya biaya kemitraan/ kerjasama awal dalam franchise YY, yang diatur dalam Pasal 1 yang mengatakan pembayaran biaya kemitraan sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). b. Royalti Dalam franchise XX tidak diatur ketentuan mengenai royalti, jika memang tidak ada ketentuan mengenai royalti ini menguntungkan bagi franchisee (terwaralaba). Sedangkan dalam perjanjian franchise YY royalti yang dikenakan cukup besar yaitu 2 % dari penjualan kotor, hal ini sesuai Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dengan ketentuan Bab VIII tentang royalti. Tetapi pihak kedua tidak diwajibkan membayar royalti dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari pertama dan pihak kedua diwajibkan membayar royalti apabilamomset penjualan telah mencapai titik impas (break event point). Pengaturan ini menjadi tidak jelas karena adanya pengaturan yang ganda antara 90 hari pertama dan break event point. Jadi disamping membayar biaya kemitraan awal juga diwajibkan membayar royalti. Pada perjanjian franchise pembebanan atas royalti tersebut (pada perjanjian franchise asing) seringkali didasarkan pada prosentase penjualan bruto (gross sales) tiap bulan atau beberapa bulan yang ditentukan. 120 Sebagaimana dalam perjanjian tambahan Perjanjian Franchise Mc Donald’s Corporation (operating license agreement) dan Perjanjian Franchise pada Chicken Delight, Inc., yang mendasarkan pengenaan royalti pada prosentase penjualan bruto (gross sales). Adapun pada perjanjian franchise Indonesia (c.q. Yayasan Oxford Course Indonesia) mendasarkan pengenaan royalti pada pendapatan bruto (gross income). 121 Pada umumnya dalam franchising 120
Daniel V Davidson, et.al. Op.Cit. h. 965. sebagaimana ditegaskan pula oleh Emerson bahwa pengenaan royalti umumnya lebih didasarkan pada penjualan bruto (gross sales) ___bukan pada keuntungan bersih (net profits) franchisee. Lihat Robert W. Emerson, Franchising and the Collective Rights of Franchisees, Journal of Legal Studies, Vol. 43:1503, tanpa tahun. H. 1504. lihat pula Charles L. Voughn, Op.Cit.hal. 51-52. 121 Pengertian penjualan bruto (gross sales) dengan pendapatan bruto (gross income) pada prinsipnya berbeda. Pengertian penjualan bruto (gross sales) adalah hasil penjualan yang belum dikurangi dengan berbagai potongan dan pengurangan lain yang perlu. Lihat M. Munandar, Intermediate Accounting, Liberty, Yogyakarta, 1975, h. 36. Adapun dalam Operating Lisencing Agreement Mac Donald’s Corporation dengan master franchisenya di Indonesia, penjualan bruto (gross sales) diberi pengertian sebagai seluruh pendapatan dari penjualan licensee yang diperoleh dari bisnis restaurantnya. Adapun pendapatan bruto (gross income) merupakan seluruh pendapatan yang
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
pengenaan atas royalti ditetapkan melalui suatu prosentase yang tetap yang dituangkan dalam perjanjian franchise, bukan didasarkan pada kenaikan dari omzet penjualan franchisee. 122 Pada perjanjian Franchise Chicken Delight, Inc., royalti diberikan pengertian sebagai continuing license fee dengan prosentase 5% dari keseluruhan penerimaan penjualan bruto yang tidak termasuk pajak penghasilan dan pajak lainnya, sedangkan dalam perjanjian Franchise Mc Donald’s Corporation, pengenaan royalti seperti 8% dari penjualan bruto. Berbeda halnya pada perjanjian franchise Oxford Course Indonesia mengenakan royalti sebesar 20% dari pendapatan bruto. Dalam konteks jenis/ barang bisnis yang sama, maka pengenaan royalti atas penjualan bruto (gross sales) pada prinsipnya lebih memberatkan daripada pengenaan royalti atas penjualan bruto (gross sales) pada prinsipnya lebih memberatkan daripada dikenakan atas pendapatan bruto (gross income/ profit). Dikatakan demikian karena penjualan bruto (gross sales) nilainya lebih besar dan belum dikenakan pemotongan atas biaya-biaya operasional serta pajak pertambahan nilai (value added taxes), pajak penghasilan, maupun pajak sejenis lainnya yang semuanya masih harus ditanggung oleh pihak franchisee. Logikanya
diperoleh (net sales) dikurangi dengan harga pokok penjualan (gross of goods sold [COGS]). COGS dipahami sebagai angka yang mewakili biaya untuk membeli bahan mentah dan memproduksi barang jadi (biaya untuk memproduksi suatu barang). Lihat dalam John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, Elex Media Computindo, Gramedia-Jakarta, Edisi Ketiga, hal. 115. 122 Pada umumnya pembayaran royalti oleh licensee atau franchisee dapt dilakukan melalui angsuran (installement) maupun secara lump sum. Lihat James A. Dobkin (ed), International Technology Joint Ventures in the Countries of the Pasific Rim, Butterworth Legal Publishers, USA, 1988, hal. 17.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
bahwa semakin besar penjualan bruto (gross sales) 123 maka nilai pembayaran royaltinya akan semakin besar. Hal ini berlaku pula dalam penentuan royalti dengan prosentase dari pendapatan bruto (gross income/ profit). Jelasnya bahwa pengenaan royalti atas dasar prosentase pada gross sales tidak lain adalah nilai dari gross sales lebih pasti/ fixed dan franchisor tidak perlu untuk mencampuri bisnis franchisee apakah efisien ataukah tidak, yang penting menerima royalti sesuai yang diperjanjikan. Dengan kata lain bahwa pemberi lisensi franchise akan mengetahui omzet franchisee secara pasti. Selanjutnya meskipun adanya pengenaan royalti tersebut, franchisor dalam kondisi tertentu, yaitu pengenaan royalti minimum harus diperoleh oleh franchisor yang dikenal sebagai “minimum annual fee”. 124 Dengan kata lain minimum annual fee sebagaimana halnya dengan royalti akan memberatkan pihak franchisee karena prosentase yang tinggi tersebut atau dalam batas-batas penjualan bruto di bawah nilai maksimal dari royalti yang akan diterapkan, maka pengenaan royalti adalah berdasarkan minimum annual fee baik dalam perjanjian franchise lokal maupun asing. Hal semacam ini tentunya dipandang tidak fair, dengan memberikan beban yang besar pada pihak franchisee melalui pengenaan fee terutama atas pemungutan royalti tersebut. Hal ini pula akan dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kelanjutan perjanjian franchise,
sebagaimana
tercantum
dalam
perjanjian
franchise
Oxford
123
Dengan asumsi bahwa Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sales) equivalent. Dalam perjanjian Franchise Yayasan Oxford Course Indonesia menetapkan minimum pertahun adalah Rp. 3 Juta, sedangkan pada Delight Chicken, Inc., sebesar US $ 3,000. 124
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Indonesia. Salah satu sumber yang menimbulkan kasus kaitannya dengan royalti terlihat pada kasus Dunkin’ Donuts og America, Inc., v Middletown Donut Corporation sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa selain dikenai advertising fee sebesar 4,9% dari gross sales, juga dikenakan advertising fee sebesar 2% dari gross sales. Pada Holiday Inn (U.K.) Inc., yang mem-franchise-kan dalam bidang perhotelan, selain mengenakan minimum initial franchisee sebesar £ 7,500 ditambah £ 50 per kamar, franchise royalti sebesar 7,5% per kamar per malam atau 3% dari pendapatan bruto per kamar, dan masih ditambah biaya-biaya lain seperti reservation terminal lease fee, initial service mark, system reservation and sales office fee. 125 Dengan demikian memberikan gambaran bahwa bisnis franchise adalah bisnis besar yang hanya dapat dijalankan oleh pengusaha menengah ke atas, juga tidak ada kontribusi yang fair. Terlihat besarnya royalti dan biaya-biaya lainnya (other fee) yang tidak diimbangi oleh technical assistance atau pelatihan yang memadai. Persoalan kemudian akan muncul ketika di satu sisi franchisor memperoleh royalti yang relatif besar dengan kurang memperhatikan pelatihan sebagai
kontribusi
yang
strategis
sebagai
upaya
pengefisienan
bisnis
franchisee, di sisi lain ketika omzet franchisee mengalami penurunan maka hal ini akan menjadi pertimbangan franchisor untuk meninjau hubungan franchisenya bahkan memutuskan. Sebagaimana halnya dalam kasus Seven-Up Bottling Company (Bangkok) Ltd., v Pepsico, Inc., sebagaimana tersebut sebelumnya. 125
M. Mendelsohn, The Guide to Franchising, op.cit, hal. 167.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Franchising sebagai suatu perjanjian perdata yang mengandung aspek perniagaan maka akan terkait oleh fiskal/ pajak. 126 Jika dikaitkan dengan pengenaan pajak penghasilan bahwa berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 10 Tahun 1994 dalam Pasal 23 yang pada intinya menyebutkan bahwa penghasilan wajib pajak dalam negeri seperti royalti dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, hal ini mengandung pengertian bahwa royalti dari penjualan dari penjualan bruto (gross sales) yang dibayarkan dipotong langsung oleh franchisee sebagai pengusaha kena pajak sebesar 15% dari prosentase royalti atau franchisee sebagai wajib pajak dalam negeri wajib memotong PPh sebesar 15% dari jumlah bruto atas pembayaran royalti kepada franchisor yang merupakan wajib pajak dalam negeri. Adapun dalam Pasal 26-nya, terhadap wajib pajak luar negeri dipotong
pajak sebesar 20% dari jumlah bruto pihak yang wajib
membayarkannya (royalti) atau franchisee sebagai wajib pajak dalam negeri wajib memotong PPh sebesar 20% dari pembayaran bruto royalti dalam hal franchisornya dari luar negeri. Namun demikian jika mengaju dari isi perjanjian franchise yang ada menunjukan bahwa pengenaan atas pajak dalam royalti ditanggung oleh pihak franchisee bukan oleh franchisor sebagai penerima royalti tersebut. Sebagaimana terlihat dalam perjanjian franchise Chicken Delight, Inc., ditegaskan bahwa franchisee setuju untuk membayar 126
Pajak atas royalty sendiri perhitungannya secara per tahun atas dasar omzet atau laba yang diperoleh dalam tiap tahunnya dan diperhitungkan secara lump sum. Lihat Juajir Sumardi, Op. Cit. hal. 74.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
seluruh jenis pajak. Demikian pula halnya dengan Operating Licensee Agreement Mc Donald’s dijelaskan bahwa gross sales yang dimaksud adalah belum termasuk pajak penjualan apapun termasuk pajak pertambahan nilai ataupun jenis pajak lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah setempat di mana bisnis franchise berada. Demikian juga halnya dengan perjanjian franchise Pancake Syrup Company, Inc., berkaitan dengan pembayaran royalti yang didasarkan pada prosentase gross sales, di mana gross sales tersebut tidak termasuk pajak penjualan (sales taxes). Penjelesan tersebut menunjukkan bahwa royalti yang diberikan kepada franchisor belum kena pajak. Dengan kata lain terhadap franchise asing, royalti yang merupakan hak franchisor diidentikkan sebagai capital flight karena tanpa pengenaan pajak yang ditanggung olehnya, meskipun di negara asalnya dikenakan pajak. Franchise fee yang disetorkan franchisee terutama kepada franchisor asing lolos dari kewajiban pajak karena perusahaan penerima berada di luar negeri. 127 Kondisi semacam ini tidak terlepas dari keberadaan franchisee yang kurang mempunyai bargaining position dalam penentuan materi perjanjian franchise yang dibuat oleh franchisor (c.q. teknis pembayaran royalti). Hal tersebut selama ini menjadi persoalan makro terhadap perkembangan bisnis franchise di Indonesia sehingga memunculkan pemikiran terhadap pembatasan bisnis tersebut pada daerah tingkat II.
127
Witingsih Y, Bisnis Waralaba dan Permasalahannya, Usahawan, No. II Tahun XXV, 1996, hal. 17.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Namun demikian, yang jelas royalti yang terdapat dalam suatu bisnis franchise terkena pajak, baik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh). Namun sebagaimana umumnya, dalam hal hubungan franchisee dengan pihak asing terdapat suatu perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) antara negara franchisee dengan negara franchisor akan disimpangi dengan ketentuan perpajakan yang ada dengan tarif pajak yang terdapat dalam treaty dimaksud.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB IV UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH UKM SEBAGAI FRANCHISEE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA YANG LAHIR DARI PELAKSANAAN KONTRAK FRANCHISE (WARALABA)
A. Penyelesaian Sengketa Salah satu materi yang termuat dalam perjanjian franchise adalah berkaitan dengan penyelesaian sengketa (dispute resolution). Hal-hal yang menyangkut persoalan sengketa sendiri sebenarnya erat kaitannya dengan suatu keadaan yang terjadi di luar kesepakatan sebagaimana tertuang dalam perjanjian franchise tersebut (penyimpangan ketentuan dalam franchise agreement). 128 Selain itu pula, mungkin saja disebabkan adanya pengakhiran/ pemutusan hubungan bisnis (termination) secara sepihak yang selanjutnya akan memunculkan sengketa. Namun demikian umumnya dalam suatu perjanjian memberikan hak pada salah satu pihak untuk melakukan pengakhiran perjanjian dalam hal pihak lain melanggar komitmen dalam perjanjian. 129 Persoalan penyelesaian sengketa ini juga tidak terlepas dari pembahasan yang menyangkut pilihan hukum (governing law/ choice of law) dalam materi perjanjian franchise tersebut maupun pilihan forum (choice of forum). Hal tersebut dapat dipahami bahwa dalam perjanjian franchise akan memuat 128
Menurut Nicholas Rose ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya sengketa, yaitu antara lain tidak memenuhi pembayaran, tidak dipenuhinya standar pengawasan keuangan yang layak, tidak dipenuhinya standar pengawasan kualitas yang memadai, buruknya pelatihan staf dan pelayanan, pelanggaran syarat-syarat kerahasiaan, tidak dipenuhinya persyaratan tentang non kompetisi. Lihat Nicholas Rose, Resolving International Franchise, Yanos Gramatidis, dan Dennis Campbell, op.cit., hal. 113-114. 129 A.G.J. Berg, Drafting Commercial Agreement, Kerry Press Ltd, Luton, Bedfordshire, Great Britain, 1992, hal. 135-136.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi dalam hubungan franchise tersebut diikuti dengan pilihan hukum yang akan diterapkan terhadap penyelesaian sengketa yang terjadi. Meskipun dalam yurisprudensi diakui choice of yurisdiction dan choice of
forum, namun berdasarkan ketentuan
Pasal 436 Rv, putusan pada pengadilan di negeri asing tidak dapat dieksekusi di negara Indonesia kecuali diatur perjanjian antar negara terhadap sengketa tersebut. Berkenaan dengan masalah pilihan hukum (choice of law), beberapa franchisor umumnya lebih menghendaki hukum negara mereka daripada menggunakan hukum negara franchisee. Namun demikian seandainya muncul masalah hukum dan franchisor mengharapkan pemaksaan atas ketentuan dalam perjanjian maka akan ditempuh melaui jalur pengadilan (enforcement of a judgement) tempat kedudukan franchisor berada. 130 Adapun yang menyangkut pilihan forum (choice of law) maka terhadap franchisee yang berasal dari negara-negara yang memiliki hukum dagang atau kebijaksanaan pemerintah atau peradilan yang masih berkembang, pada umumnya franchisor akan menerapkan
hukum
atau
pengadilan
negaranya
atau
pada
arbitrase
internasional dalam hal terjadinya sengketa, seperti The International Chamber of Commerce (ICC), The United Nations Commisions on International Arbitration
130
(UNCITRAL),
serta
The
American
Arbitration
Association
Yanos Gramatidis and Campbell, op.cit, hal. 49.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
(AAA). 131 Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Antony W. Dnes, dalam hal terjadinya pengakhiran perjanjian, dari 15 franchisor yang diteliti di Amerika Serikat, maka dalam beberapa hal terjadinya pemutusan/ pengakhiran suatu perjanjian terlihat ada 7 franchisor yang menggunakan jalur arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa. 132 Selanjutnya dalam suatu agreement terhadap penyelesaian sengketa sebelum melalui jalur hukum maka ditempuh upaya perdamaian terlebih dahulu. Sebagaimana dalam perjanjian franchise Oxford Course Indonesiam, pengertian penyelesaian sengketa disebutkan sebagai “perbedaan pendapat” di mana dalam hal terjadinya perbedaan pendapat maka akan ditempuh melalui musyawarah kekeluargaan, namun jika tidak berhasil akan ditempuh melalui Pengadilan Negeri tempat domisili franchisor. Upaya musyawarah atau yang dikenal dengan negoisasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang umumnya terjadi. Lain halnya dengan perjanjian franchise yang dilakukan oleh Chicken Delight Inc., dalam hal terjadinya pengakhiran perjanjian franchise akan digunakan melalui lembaga arbitrase, yaitu AAA. Pengaturan tentang penggunaan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa dalam perjanjian franchise biasanya ditentukan sebelum sengketa
131 132
Ibid, hal. 49-50. Antony W. Dnes, op.cit. hal. 388-390.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
terjadi. Hal semacam ini dikenal sebagai pactum de compromittendo sebagaimana dalam Pasal 615 ayat (3) Rv. 133 Negoisasi sendiri menyangkut hubungan tawar menawar (bargaining) antara dua atau lebih pihak yang mempunyai konflik kepentingan yang sudah terjadi atau musyawarah tersebut mungkin bisa sangat kolaboratif jika dalam pemecahan masalah digunakan pendekatan bargaining yang didasarkan pada kepentingan, atau mungkin akan lebih adversarial jika pihak-pihak yang terlibat
dalam
memutuskan
untuk
menggunakan
bargaining
untuk
mempertahankan kepentingan yang berbeda tersebut. Oleh karenanya pihakpihak yang terlibat mempunyai kontrol terhadap hasil-hasil konflik/ sengketa, merupakan variasi dari atau perluasan dari proses negoisasi. 134 Selanjutnya, jika kita perhatikan pada perjanjian franchise yang ada tersebut, terhadap kewenangan franchisor dalam menentukan penggunaan suatu alternatif penyelesaian sengketa baik dalam pilihan hukum (governing law/ choice of law) maupun pilihan forum (choice of forum) menunjukkan bahwa kedudukan franchisor sangat dominan. Terlihat pula eksistensi tawar menawar dalam franchising dimiliki oleh franchisor.
133
Meskipun arbitrase atau peradilan wasit bukan merupakan peradilan resmi namun dalam hal putusan dalam arbitrase tidak ditepati oleh para pihak maka eksekusi dapat dimintakan melalui pengadilan negeri dalam wilayah hokum putusan wasit diambil (Pasal 637 bsd 634 ayat (1) Rv). Lihat R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian I), Dian Rakyat, Jakarta, 1983, hal. 206-214. 134 Jerome Delli, Prosedur Penyelesaian Sengketa: Rangkaian Kesatuan, artikel dalam Alternative Dispute Resolution (ADR), CDR Associates, didokumentasikan oleh Pustadok LKBH UII, tanpa tahun, Yogyakarta, h. 16.Terhadap penggunaan klausula arbitrase , tidak ada keberatan dalam suatu kontrak sebagai penyelesaian sengketa. Klausula tersebut sah dan mengikat bagi para pihak. Lihat A.G. Guest, op.cit, hal. 358.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Memang jika dikaitkan dengan persoalan ketentuan materi pilihan hukum dan pilihan forum yang dibuat dalam franchisee agreement merupakan bentuk kebebasan berkontrak dari masing-masing pihak. Hal tersebut tidak menjadi persoalan hukum sepanjang tidak melanggar beberapa pembatasan terhadap pilihan hukum atau pilihan forum itu sendiri, seperti melanggar ketentuan ketertiban atau kepentingan umum. Meskipun persoalan ketertiban atau kepentingan umum sendiri masih merupakan perdebatan namun dapat dipergunakan
ibaratnya
sebagai
“rem
darurat
pada
kereta
api”
jika
diperlukan. 135 Selanjutnya jika dikaitkan dengan Teori The Most Characteristic Connection, penentuan pilihan hukum dan forum dalam penyelesaian sengketa (baik terhadap perjanjian franchise Oxford Course Indonesia maupun Chicken Delight Inc.) jika dipandang dari aspek keberadaan franchisor merupakan pihak yang karakteristik (kepemilikan nama/ logo maupun teknologi) dipandang sah saja, akan tetapi dilihat secara keseluruhan materi yang termuat dalam perjanjian franchise yang memberikan lebih menguntungkan franchisor maka
dalam
pandangan
perlindungan
hukum
franchisee
justru
patut
dipertimbangkan penggunaan pilihan hukum dan pilihan forum dari jurisdiksi franchisee. Bahkan terhadap bentuk franchise asing yang beroperasinya di Indonesia esesensinya merupakan PMDN maka karakteristiknya melekat pada
135
Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian Ketiga (buku keempat), Alumni, Bandung, 1989, hal. 8.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
franchisee, mengingat modal maupun tempat bisnis yang dijalankan ada di wilayah atau negara franchisee. Sebagaimana terlihat dalam pembahasan tentang manajemen maupun royalti diatas bahwa ketentuan-ketentuan yang termuat dalam franchise agreement selama ini tampaknya kurang akomodatif bagi perlindungan kepentingan franchisee. Franchisor mempunyai kebebasan untuk memutuskan franchising dengan franchiseenya, yang biasanya demi alasan bisnis. Tapi kadangkala terjadi bahwa franchisor harus memutuskan franchisee mereka dengan alasan berbenturan dengan ketentuan anti trust sebagai bagian dalam perjanjian dengan franchisee lainnya, sebagai contoh, pembagian wilayah, peningkatan harga dan sebagainya. 136 Beberapa kasus yang dapat menjadi contoh antara lain adalah kasus Pizza Hut (PT. Sarimelati Kencana v PT. Habaputra Primanusa), maupun yang berkaitan dengan anti trust, yaitu kasus Monsanto Co. v Spray Rite Service Corp. 137 Secara umum analisis terhadap materi perjanjian franchise yang menyangkut manajemen, royalti, maupun penyelesaian sengketa menunjukkan bahwa kekuatan bisnis franchise baik bargaining position, akumulasi atas keuntungan bisnis franchise, maupun kedudukan dalam hal terjadi suatu
136
Jethro K. Lieberman dan George J. Siedel, op.cit, hal. 615-616. Dengan alasan franchisee (Spray Rite) gagal dalam pelatihan sales dan gagal dalam meningkatkan penjualan, franchisor (Monsanto) melakukan pemutusan hubungan (termination). Sebenarnya franchisor berdasarkan keputusan para juri di pengadilan dinyatakan telah melanggar Section 1 of The Sherman Act, berkonspirasi dengan distributor lainnya menetukan harga penjualan yang mengakibatkan monopoli lainnya menetukan harga penjualan yang mengakibatkan monopoli maupun kerugian franchisee/ distributor lainnya. Ibid, hal. 616-618. 137
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dispute masih berfokus pada franchisor sebagai pemegang lisensi bisnis franchise. Hal tersebut mengingat bahwa sebagai suatu bentuk lisensi, franchising dalam
praktiknya
tidak
dilakukan
pendaftaran
(registration)
maupun
keterbukaan (disclosure) dalam memberikan informasi tentang usaha yang bersangkutan. Dengan kata lain, perjanjian franchise sebagai suatu perjanjian lisensi khusus (specific lisence agreement) merupakan bentuk perjanjian di bawah tangan 138 maka dalam hal terjadi sengketa keberadaan perjanjian tersebut dalam hal pembuktian tetap sah sepanjang memenuhi persyaratan sebagai alat bukti. Oleh karena itu, kemungkinan untuk kerjasama bisnis franchise dengan materi perjanjian yang ditentukan oleh franchisor tanpa proses bargaining menjadikan satu perhatian khusus bagi perlindungan hukum franchisee. Tentu saja perlindungan hukum yang dimaksudkan agar adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban serta praktik-praktik bisnis yang fair. Oleh karenanya, jika dikaitkan dengan kriteria yang diajukan oleh Michael Y. Yushino dan U. Srinavasa Rangan berkaitan dengan kemitraan atau aliansi strategik di muka 139 , berdasarkan analisis dari materi perjanjian
138
Dalam konteks hukum positif Indonesia, perjanjian di bawah tangan yang dapat dikatakan sebagai suatu akta tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam Stb. 1867 No. 29 untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 s.d. 305 Rbg (vide Pasal 1874-1880 BW). Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 125-126. 139 Micheal Y. Yushino dan U. Srinavasa Rangan”seminar dengan topik Franchisee dan Franchisor Jakarta 22 Juni 2000.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
franchisee yang ada, beberapa hal yang bisa dikemukakan sebagai berikut, meskipun secara hukum kedudukan franchisor maupun franchisee adalah independen namun dengan adanya pembatasan tindakan franchisee harus sepengetahuan dan seijin franchisor atau prinsipalnya menjadikan keberadaan franchisee adalah tidak sepenuhnya independen. Demikian pula dalam hal “manfaat” dan “pengendalian” maka meskipun franchisor memperoleh franchise fee dan royalti sedangkan franchisee memperoleh nama dan pelanggan tetap dalam hal pengendalian franchisor yang berperan terhadap hasil kegiatan karena kedudukannya sebagai pemimpin sistem bisnis. Kontribusi strategik yang kontinu pun harus berfokus pada pihak franchisor saja. Contoh Kasus Waralaba dan Analisisnya pada kasus Dunkin Donuts of America, Inc. v Middletown Donut Corp., dimana Gerald Smothergill sebagai franchisee (c.q. Middletown Donut Corp) mengadakan perjanjian penyewaan dan franchise dengan Dunkin’ Donuts. Pada perkembangannya, dengan alasan secara sengaja tidak melaporkan penjualan bruto (gross sales) secara tertulis, serta tidak segera berusaha membayar kewajiban franchise fee dan advertising fee ditambah lagi menolak menyerahkan Dunkin’ Donuts stores, maka Dunkin’ Donuts memutuskan perjanjian franchise. Bahkan pemutusan tersebut dapat saja merupakan wrongful termination, seperti pada kasus yang muncul di Pengadilan Chicago Tahun 1982, ketika Mc Donald’s Corporation menggugat pengusaha 14 restoran Mc Donald’s di Paris yang menerima franchise-nya, Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
dengan alasan burger yang disajikan terlalu panas dan pelayanan (service)nya lambat. Hakim yang menangani ternyata memerintahkan pengusaha Paris itu menyerahkan kembali franchise-nya. Padahal pengusaha tersebut mengklaim bahwa bisnisnya berjalan sukses, dan balik menuding Mc Donald’s Corporation hanya ingin mengambil kembali franchise-nya untuk diserahkan pada pengusaha lain dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan. 140 Selanjutnya dalam perjanjian franchise (c.q. Yayasan Pendidikan Oxford Cource Indonesia), meskipun adanya kerjasama franchise antara franchisor dan franchisee, akan tetapi bukan berarti kepemilikan franchise berpindah kepada franchisee (tetap dimiliki oleh franchisor). Hal tersebut dapat dilihat pula dalam perjanjian franchise Chicken Delight, Inc, yang juga tidak menyatakan bahwa dengan franchising akan beralih hak kepemilikan franchise. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam franchise bukan berarti jual beli perusahaan, produk/jasa atau merek dagang, melainkan merupakan suatu bentuk lisensi dengan batas waktu yang ditentukan dengan adanya kompensasi yang harus diberikan kepada franchisor. Persoalan kepemilikan tersebut bukan hanya terhadap franchise atau sistem bisnis saja, namun dalam hal berakhirnya kerjasama franchise akan terjadi kepemilikan pula terhadap seluruh elemenelemen yang menyangkut dalam pelaksanaan bisnis tersebut (antara lain meliputi: keberadaan peserta kursus, materi pelajaran, promosi dan peralatan
140
Anonim, Aspek Hukum dari “Franchise”, Artikel dalam Kliping Perpustakaan IPPM, tanggal 21 Januari 1996.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
administrasi lainnya yang berkaitan dengan eksistensi usaha yang dimiliki franchisor. Berbeda halnya dengan perjanjian franchise Chicken Delight, Inc., dalam keadaan berakhirnya perjanjian franchise, maka pihak franchisor mempunyai hak opsi untuk membeli seluruh asset. Ketentuan yang memuat hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan franchisor secara dominant memiliki keuntungan bisnis dalam hal berakhirnya perjanjian. Hal ini juga bias dilihat dengan adanya pengalihan asset ataupun peserta kursus (beserta barang cetakan, yang ada hubungannya dengan administrasi dan bahan produksi yaitu pada perjanjian franchise Oxford Course Indonesia) akan dimiliki oleh franchisor. Pada Kasus Oliver, meskipun terkadang franchisor harus membeli sewa yang belum selesai dan franchisor harus membeli asset sesuai dengan skala depresiasi dan pengembalian sebagaimana initial investment franchise (sebagai contoh, 70% dari initial investment harus dikembalikan jika pemutusan dalam jangka waktu 1 tahun permulaan). Setidak-tidaknya hal tersebut merupakan perlindungan terhadap keberadaan franchise akibat kesalahan yang dilakukan oleh franchisor. 141 Umumnya franchisee ingin melakukan perluasan bisnis franchise dengan men-subfranchise-kan akan tetapi dalam perjanjian franchise yang ada selama ini tidak mengatur hak bagi franchisee mengelola manajemennya dalam hal men-subfranchise-kan. Dengan kata lain tidak diberikan hak untuk men-
141
Antony W. Dnes, A Case- Study Analysis of Franchise Contracts, Journal of Legal Studies, Vol. XXII June 1993, University of Chicago, hal.372.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
subfranchise-kan kembali bisnis tersebut sebagai alat franchisor untuk mengatur hubungan bisnis antar franchisee satu dengan yang lainnya dalam kendali tangannya. Kasus menarik yang muncul berkaitan dengan hal tersebut adalah PT. Sarimelati Kencana selaku master franchise Pizza Hut di Indonesia melawan PT. Habaputra Primanusa, yang mana PT. Sarimelati Kencana melakukan perjanjian franchise secara di bawah tangan dengan PT. Habaputra Primanusa, yang sebenarnya master franchise tersebut tidak diberikan hak untuk men-subfranchise-kan hak yang dimilikinya kepada pihak lain. Tanpa adanya pelatihan, maka dimungkinkan sekali franchisee ketika akan mengangkat karyawan, misalnya seperti manajer baru justru akan menjadi problem tersendiri seandainya kedudukan franchisor sebenarnya adalah master franchise/ subfranchise atau perusahaannya dibeli oleh perusahaan lain yang selanjutnya akan menjadi franchisor baru dan akan menggunakan alasan ketidakmampuan franchisee dalam mengelola bisnisnya untuk melakukan pemutusan hubungan bisnis. Sebagaimana dalam kasus Seven Up Bottling Company (Bangkok) Ltd., yang disebut sebagai (the bottler) v Pepsico, Inc., di mana saat itu the bottler mengangkat direktur manajer baru ternyata mempengaruhi produktivitas dan kinerja perusahaan, sehingga kondisi bisnis semakin buruk. Kemudian dilakukan renegoisasi dengan the company untuk penyelesaian masalah internal the bottler. Namun beberapa tahun kemudian (sebelum perjanjian berakhir) Seven-Up (the company) dibeli oleh Pepsico Inc.,
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
memutuskan hubungan franchisee the bottler. 142 Dalam operating license agreement yang merupakan perjanjian assecoir pada perjanjian franchise Mc Donald’s dengan master franchise di Indonesia, Bambang N. Rachmadi, dalam hal pelatihan sudah menerapkan standar tersendiri. Pelatihan dilakukan di Hamburger University dalam rangka informasi akan berarti pentingnya kualitas menjalankan bisnis yang menggunakan sistem Mc Donald’s. oleh karenanya baik karyawan terlebih lagi manajer restoran harus melengkapi kursus aplikasi bisnis utama (the advanced operations course) pada Hamburger University. Berbeda halnya dengan perjanjian franchise yang dilakukan antara Alaska Pancake House, Inc., (selaku franchisor) dengan Pancake Syrup, Inc., (selaku franchisee) pada tanggal 2 Januari 1992 143 yang bergerak di bidang restaurant tampak lebih jelas dalam menentukan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh franchisee. Franchisor dalam hal ini memberikan program pelatihan dalam kaitannya untuk mengoperasikan restauran, bentuk bisnis dan kebijaksanaan-kebijaksanaan bisnis yang ditempuh. Disamping itu pula, ditambah dengan pemberian konsultasi secara periodik yang inherent dengan program pelatihan tersebut. Meskipun demikian keseluruhan biaya-biaya atas pelaksanaan program pelatihan tersebut adalah menjadi beban franchisee. Namun demikian, setidak-tidaknya dengan adanya konsultasi yang dilakukan
142
Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, Mc Graw-Hill Inc., New York, 1994,
143
Henry R. Cheesman, op.cit, hal. 74.
hal. 268.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
secara
periodik
selain
menjadi
wahana
untuk
meningkatkan
kualitas
operasional bisnis, juga sebagai bentuk pengawasan, serta bantuan teknis. Selajutnya persoalan penentuan wilayah bisnis kaitannya dengan persaingan bisnis yang seharusnya diatur secara khusus dalam materi perjanjian franchise, namun dalam perjanjian Franchise Chicken Delight Inc., tidak termuat. Hal ini justru akan memungkinkan terciptanya praktik bisnis yang tidak sehat (unfair business). Sebagai contoh untuk melakukan pemutusan hubungan pihak franchisor mendirikan atau memberikan hak franchise kepada franchisee lainnya. Hal ini tidak terlepas dari “monopoly power” dalam perjanjian franchise. Dimungkinkannya konspirasi antar franchisor dengan franchisee lainnya untuk memutuskan hubungan franchising franchisee yang bersangkutan. Praktik semacam ini bisa dikategorikan pelanggaran terhadap Section 5 Federal Trade Commission Act berkaitan dengan “unfair methods of competition”. 144 Dengan demikian jelas bahwa pengaturan atau manajemen pembagian wilayah bisnis menjadi hal yang sangat penting untuk diatur dalam perjanjian franchisee.
144
Gary A. Moore, Arthur M. Magaldi, and John A. Gray, The Legal Environment of Business: A Contextual Approach, South Western Publishing Co., Ohio-USA, hal. 365-433.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
B. Proses Penyelesaian Sengketa berdasarkan kontrak 1. Berdasarkan Franchise XX Penyelesaian sengketa berdasarkan kontrak dicantumkan dalam Pasal 22 Perjanjian tersebut dengan judul Penyelesaian Perselisihan, adapun bunyi Pasal 22 sebagai berikut: Pasal 22 PENYELESAIAN PERSELISIHAN 1. Segala perselisihan yang timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian ini diselesaikan dengan penyelesaian secara musyawarah. 2. para pihak sepakat bahwa semua bisnis memiliki resiko. Oleh karena itu pihak sepakat untuk tidak saling menuntut/ menyalahkan apabila outlet kemitraan tidak berhasil dalam operasionalnya, setelah semua ketentuanketentuan dalam perjanjian ini dilakukan secara sungguh-sungguh dan maksimal. 3. Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas tidak tercapai, maka kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri. Inti dari klausula tersebut yaitu bahwa keduanya sepakat bisnis memiliki
resiko
dan
jika
ada
perselisihan
diupayakan
musyawarah tetapi jika tidak tercapai maka akan
melalui
jalan
ditempuh jalur hukum
(litigasi) melalui pengadilan yaitu Pengadilan Negeri setempat, di dalam perjanjian ini tidak diatur mengenai Arbitrase. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
2. Berdasarkan Franchise YY Penyelesaian sengketa berdasarkan kontrak dicantumkan dalam Bab Sanksi dan Perselisihan Pasal 1 dan 2 dalam Perjanjian tersebut, adapun bunyi Pasal 1 dan 2 sebagai berikut Sanksi dan Perselisihan Pasal 1 Apabila pihak kedua melanggar isi perjanjian kerjasama ini maka pihak pertama dapat menjatuhkan sanksi/ denda/ pemutusan kerjasama secara sepihak.
Pasal 2 1. Segala perselisihan, pertentangan atau perbedaan yang mungkin timbul di kemudian hari sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah. 2. Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak dapat tercapai kesepakatan, para pihak setuju untuk memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Medan. Inti dari klausula tersebut yaitu bahwa keduanya sepakat bisnis memiliki
resiko
dan
jika
ada
perselisihan
diupayakan
musyawarah tetapi jika tidak tercapai maka akan
melalui
jalan
ditempuh jalur hukum
(litigasi) melalui pengadilan yaitu Pengadilan Negeri setempat. didalam perjanjian ini tidak diatur mengenai Arbitrase. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
C. Perlunya Perlindungan Perjanjian Franchise
Hukum
Terhadap
Franchisee
Dalam
1. Batas-batas Kebebasan Berkontrak Perjanjian
franchise
meskipun
sebagai
perjanjian
lisensi
yang
seharusnya didaftarkan (registration), namun dalam praktik seringkali dilakukan secara di bawah tangan. Kontrol terhadap perjanjian franchise sebagai bentuk-bentuk penanaman modal asing menjadi terlewatkan, bahkan akan memunculkan peluang sengketa di dalamnya. Meskipun demikian praktik semacam itu tetap dipandang sah sepanjang ketentuan yang diatur dalam perjanjian franchise melindungi kepentingan para pihak, serta adanya kebebasan berkontrak di dalamnya. Mengingat pula bahwa ketentuan yang mengatur secara khusus tentang bisnis franchise belum ada. Namun demikian bukan berarti tidak adanya pembatasan dalam bisnis tersebut kaitannya denghan materi kontrak yang terikat oleh prinsip-prinsip kontrak yang fair. Pemabatasan atas asas kebebasan berkontrak lebih dikarenakan oleh sering terjadinya ketidakseimbangan/ ketidaksederajatan kekuatan tawar menawar (bargaining power) yang dimiliki para pihak. Di Amerika Serikat sendiri dalam praktiknya perjanjian franchise merupakan suatu perjanjian standar yang materi-materinya ditentukan langsung oleh franchisor. 145 Penetuan materi tersebut tidak jarang menekan pihak franchisee terutama pengenaan atas franchisee fee maupun royaltinya yang pada akhirnya akan
145
Robert Emerson, op.cit, hal. 1509.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
memunculkan sengketa ketika pihak franchisee dalam bisnisnya sudah mengalami kemajuan namun di sisi lain tertekan oleh fee-fee yang memberatkan. 146 Jelasnya bahwa sebuah perjanjian semestinya harus menjelaskan secara detail dan komprehensif terhadap keinginan para pihak dan menghindari suatu pengertian atau perumusan yang ambivalen (mengandung interprestasi ganda/ keraguan). 147 Kedetailan dalam kontrak didukung dengan i’tikad baik (good faith),
maka
pembatasan
kebebasan
berkontrak
dimaksudkan
untuk
menciptakan keadilan dalam hubungan kontrak/ perjanjian para pihak. Pada prinsipnya batas-batas yang menjadi toleransi dari suatu kontrak/ perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang tidak bertentangan dengan: 1. Ketertiban umum (public policy), 2. Kepatutan serta kesusilaan, dan 3. Asas i’tikad baik dan undang-undang. Oleh karena keterbatasan dari asas kebebasan berkontrak tersebut dimungkinkan adanya campur tangan negara melalui pengaturan perundangundangan ataupun keputusan pengadilan yang berkaitan dengan hukum kontrak. Kebebasan berkontrak baik di Amerika Serikat maupun di Inggris dipergunakan, terlihat dari kasus Godcharles v Wigemann di mana pengadilan berpendapat bahwa sesuai dengan undang-undang pembayaran gaji buruh harus 146
Terlihat dalam kasus Seegmiler v Western Men, Inc., yang menunjukkan dominasi franchisor dalam menentukan materi kontrak franchise. Ibid. 147 Richard Burton Simatupang, op.cit, hal. 41.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
berbentuk uang bukan barang karena buruh mempunyai kapasitas hukum terhadap pembuatan perjanjian yang berkaitan dengan pembayaran upah mereka. 148 Asas itikad baik merupakan asas yang valid dan harus dipertahankan di dalam hukum perjanjian (termasuk dalam perjanjian franchise), meskipun itikad baik saja tidak cukup dalam suatu perjanjian. Itikad baik dalam suatu perjanjian paling tidak meliputi 2 (dua) aspek, yaitu: 1. Periode pra kontrak (negosiasi/ bargaining), dan 2. Periode pelaksanaan perjanjian. Jelasnya ada tidaknya itikad baik tidak terlepas dari persoalan apakah pihak yang satu telah melakukan ‘the obligation to excert due diligence’ dan pihak yang lain telah melakukan ‘the obligation to provide adequate information’. 149 Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa itikad baik seseorang sewaktu-waktu bisa berubaha dari waktu ke waktu dengan berbagai keadaan dan kondisi serta hal lain yang mempengaruhi pikirannya. 150 Dalam konteks bisnis keadaan yang sangat mempengaruhi terutama pada aspek ekonomis, yaitu menyangkut pengembangan perusahaan atau perluasan usaha. Beberapa contoh kasus yang dapat dijadikan ilustrasi dalam hal ini antara lain adalah 148
John D. Calamari dan Joseph M. Perillo, The Law of Contract, Hombook Series, St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1987, hal. 7. sebagaimana dikutip oleh Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan Pertama, 1995, hal. 23-24. 149 Kartini Muljadi, op.cit, hal. 22. 150 Felix O. Soebagjo, Perkembangan Asas-Asas Hukum Kontrak Dalam Praktik Bisnis selama 25 tahun terakhir, Makalah dalam Penataran Hukum Perdata yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 25-31 Oktober 1995, hal. 12.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
kasus Mc Donald’s Inc., di Paris, kasus Pizza Hut (PT. Sarimelati Kencana v PT. Habaputra Primanusa), Carlock v Pillsbury Company. Penilaian terhadap adanya itikad baik sendiri berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, pada saat membuat perjanjian berarti adanya kejujuran dan keterbukaan (disclosure) dalam memberikan informasi serta kepentingannya. Pada tahap pelaksanaan perjanjian maka penilaian itikad baik tersebut dalam memberikan informasi serta kepentingannya. Pada tahap pelaksanaan perjanjian maka penilaian itikad baik tersebut terhadap kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk/ perilaku dari masing-masing pihak dalam mentaati materi perjanjian yang dibuat oleh mereka sebagai suatu kesepakatan bersama. 151 Jelas bahwa Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dengan mengharuskannya asas itikad baik dalam suatu perjanjian mempunyai tujuan agar terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban serta kesepakatan oleh salah satu pihak dalam pelaksanaan perjanjian yang disepakati tersebut, serta menghindari praktik bisnis yang curang (unfair business practices). Implementasi lebih lanjut dari asas itikad baik sendiri pada esensinya harus diikuti oleh asas-asas hukum kontrak lainnya, terutama asas fairness (kewajaran), asas kesamarataan dalam hukum, asas informatieplicht serta asas confidential. Dalam hal fairness, maka adanya keseimbangan kepentingan masing-masing pihak yang tercakup dalam perjanjian tersebut. Meskipun 151
R. Subekti, Op.Cit. hal. 18.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
sangat relatif ukuran kewajaran keseimbangan kepentingan umum, namun berdasarkan kepatutanlah dapat dinilai keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam suau perjanjian (perjanjian franchise) serta tidak merusak perekonomian masyarakat kecil (menengah ke bawah). Tidak jauh berbeda dengan asas fairness, maka asas kesamarataan dalam hukum memberikan hak dan kewajiban yang serupa, misalnya hak pemutusan perjanjian (termination). Hal ini jika diterapkan akan menjadi kekuatan bargaining bagi pihak franchisee yang selama ini dipandang dalam posisi yang lemah. Pada intinya harus ada kesamaan peranan dari masing-masing pihak dalam penentuan materi kontrak. Sebagaimana pada teori tawar menawar (theory of bargaining), keseimbangan tawar menawar yang ada akan mengarah pada bentuk aliansi yang strategik karena masing-masing pihak merupakan mitra yang independen. Oleh karenanya meskipun akhirnya akan muncul sengketa, aspek perjanjian/ kontrak yang dibuat atas dasar kebebasan berkontrak tersebut secara objektif menjadi suatu bentuk aliansi bisnis yang kontributif strategik dengan memperhatikan hak dan kewajiban para pihak. 2. Campur Tangan Negara Untuk Melindungi Franchise Berbagai analisis yang menyangkut materi perjanjian yaitu manajemen, royalti serta penyelesaian sengketa akan memunculkan perhatian khusus bagi campur tangan negara atas lalu lintas franchising terutama aspek perlindungan hukum franchisee. Persoalan-persoalan yang muncul terhadap bisnis franchise yang ada selama ini tidak terlepas pula dari aturan atau ketentuan yang secara Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
tegas mengatur bisnis franchise, sehingga perjanjian yang ada merupakan bentuk perjanjian yang tidak terdaftar/ di bawah tangan (unregistered). Ada 2 (dua) aspek pokok yang menjadi perhatian penulis menyangkut campur tangan negara, kaitannya untuk melindungi secara hukum keberadaaan franchisee dalam suatu perjanjian franchise dengan membuat peraturan tentang franchise secara khusus, mencakup aspek internal dan aspek eksternal. 1. Aspek Internal Aspek internal dimaksud terutama menyangkut eksistensi perjanjian franchise yang ada baik dalam hal pendaftaran (registration), kewajiban untuk terbuka (disclose) bisnis franchisor kepada franchisee, jangka waktu, royalty maupun persoalan pemutusan hubungan (termination). Ketentuan untuk pendaftaran (registration) tersebut dimaksudkan sebagai pengawasan atas materi perjanjian franchise agar memuat ketentuanketentuan yang secara keseluruhan tidak melanggar batas-batas kebebasan berkontrak serta mengontrol atas materi perjanjian yang tidak memberi keseimbangan hak dan kewajiban. Hal ini cukup penting pula adalah adanya kesempatan bagi franchisee untuk melakukan bargaining terhadap materi perjanjian yang akan dibuat. Akan tetapi dalam konteks pra perjanjian setidaktidaknya harus ada ketentuan yang secara tegas mengatur keharusan bagi
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
franchisor untuk terbuka memberikan informasi (bisa dikatakan sebagai prospectus) kepada franchisee. 152 Selanjutnya ada 3 (tiga) hal pokok yang harus menjadi perhatian mengapa dalam perjanjian franchise perlu campur tangan negara, yaitu jangka waktu
perjanjian
franchise,
royalti
dan
pemutusan
hubungan
bisnis
(termination). 1.1. Jangka Waktu Berkaitan dengan jangka waktu yang umumnya diterapkan dalam perjanjian franchise tidak begitu lama, hanya berkisar antara 2 (dua) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun. Meskipun dimungkinkan untuk perpanjangan, namun dengan jangka waktu yang relatif pendek tersebut seandainya terjadi pengakhiran perjanjian maka franchisee akan rugi karena investasi franchise, franchise fee, royalti serta fee-fee lainnya sangat besar dikeluarkan tetapi belum mendapat kompensasi keuntungan dari bisnis yang dijalankan. Penentuan jangka waktu yang diciptakan franchisor secara singkat tersebut memang perlu ditinjau agar jangan merugikan franchisee dan dapat terciptanya transfer teknologi. Terhadap franchisor asing dengan jangka waktu yang relatif singkat akan sulit dilakukan pengawasan terhadap franchisee lokal karena jarak yang jauh. 152
Negara-negara bagian di Amerika Serikat menghendaki franchisor secara langsung membuka informasi tentang bisnisnya, antara lain menyangkut latar belakang karyawan franchisor, pimpinan dan principal lainnya, kewajiban pembayaran fee-fee oleh franchisee, pengawasan dan bantuan yang diberikan kepada franchisee serta program pelatihan, prospek penjualan tahun berikutnya, serta pengakhiran hubungan. Robert W. Emerson, Op.Cit, hal. 1510.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Jadi campur tangan negara dalam hal pengaturan jangka waktu dalam perjanjian franchise tidak terlepas bahwa franchising asing yang masuk ke Indonesia bisa benar-benar memberikan kesempatan bagi perkembangan ekonomi perusahaan lokal (franchisee) uterhadap kompetisi bisnis yang ada dan memberi kesempatan agar transfer teknologi/ know how benar-benar dapat disalurkan. 1.2. Royalti Sebagaimana analisis terhadap royalti dalam perjanjian franchise yang didasarkan pada gross sales pada prinsipnya menguntungkan pihak franchisor karena nilainya lebih pasti. Pertimbangan penggunaan gross sales tersebut pada prinsipnya tidak mempertimbangkan apakah bisnis franchise yang dijalankan oleh franchisee efisien apakah tidak. Franchisor hanya menerima prosentase royalti atas dasar gross sales yang ada. Kondisi yang ada tersebut akan menjadi beban franchisee manakala fee yang diterima franchisor jauh melebihi deviden seandainya dia memegang saham, maka unsur apakah memegang saham atau tidak, tidak relevan lagi. 153 Perlu diketahui pula bahwa pembebanan fee-fee selain royalti yang harus dibayarkan kepada franchisor, apakah franchisee memperoleh kompensasi selain penggunaan nama dan sistem bisnis, yaitu pemberian technical assistance yang kontinu dan terprogram.
153
Munir Fuady, Op.Cit. hal. 74.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Selanjutnya kaitannya dengan pajak memang perlu suatu ketentuan yang mengatur bahwa royalti yang dibayarkan kepada franchisor menjadi bebannya sehingga
menghindari
capital
flight
tanpa
pengenaan
pajak.
Apalagi
pembebanan PPN atas royalti yang dibayarkan kepada franchisor dalam penjelasan pada perjanjian franchise menjadi beban franchisee. Pengawasan atau kontrol negara/ pemerintah atas pengenaan royalti dengan kompensasi technical assistance serta pembebanan seluruh pajak kepada franchisee (franchisor hanya menerima income bersih dari franchisee tanpa terkena pajak) harus mendapat perhatian penting. Kondisi semacam ini merupakan tindakan yang merugikan kepentingan franchisee karena semakin pesatnya bisnis franchise yang dijalankan oleh franchisee maka dengan sendirinya kuntungan yang diperoleh principal/ franchisor akan besar pula meskipun prosentase fee adalah tetap. Pengawasan yang dapat dilakukan oleh negara sebenarnya dapat dilakukan melalui antisipasi atas materi perjanjian franchise yang ada tersebut ketika masuk ke Indonesia. Tentu saja hal tersebut melalui proses pendaftaran pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang berkompeten dalam masalah bisnis. 1.3. Pemutusan Hubungan Bisnis Selama ini dalam perjanjian franchise lebih memberikan kewenangan hak untuk pemutusan hubungan oleh franchisor dengan alasan-alasan tertentu. Kewenangan tersebut yang tertuang dalam materi perjanjian franchise dapat dikatakan sebagai suatu dominasi franchisordalam hubungan franchising. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Kewenangan semacam ini harus dibatasi karena dari berbagai kasus sebagaimana disinggung sebelumnya memperlihatkan bahwa dengan alasanalasan bisnis yang lebih menguntungkan maka franchisor akan berdalih untuk melakukan pemutusan hubungan. Pembatasan kewenangan bagi franchisor terutama dalam termination clause pada perjanjian franchise. Bagi franchiseepun hendaknya diberikan kewenangan dalam termination clause dengan kompensasi tertentu, misalnya pengembalian initial investment franchisee maupun asset yang dimiliki/ atas modal franchise. Demikian pula halnya dengan persoalan klausula governing law pada perjanjian franchise, yang menyangkut choice of law dan choice of forum. Sebagaimana
diketahui
bahwa
pengawasan
terhadap
materi
perjanjian
franchise terutama yang menyangkut governing law clause untuk menciptakan perlindungan bagi franchisee dalam hal terjadinya sengketa (dispute). Penggunaan hukum asing dalam penyelesaian sengketa jika menggunakan arbitrase internasional pada prinsipnya tidak menjadi persoalan sepanjang disepakati para pihak. Namun demikian hal yang menyangkut pilihan hukum maka persoalan yang muncul adalah seandainya franchising yang terjadi merupakan PMDN, apakah relevan diterapkan pilihan hukum asing. Hal tersebut mengingat bahwa keberadaan bisnis yang dijalankan ada di wilayah hukum/ jurisdiksi franchisee. Pengaturan secara tegas oleh pemerintah tentang keseimbangan kedudukan para pihak dalam materi perjanjian franchise harus menjadi Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
perhatian. Hal ini dalam konteks agar tidak terciptanya monopoli bisnis oleh pihak tertentu yang pada akhirnya akan menciptakan market monopoly. 2. Aspek Eksternal Aspek ini pada prinsipnya merupakan garis besar kebijaksanaan pembentukan serta penerapan peraturan (yang menyangkut bisnis franchise) oleh negara untuk mengatur praktik franchising yang semakin marak bahkan masuk hingga daerah tingkat II. Campur tangan negara dalam mengatur franchising tidak terlepas atas 2 (dua) hal pokok, yaitu proses pra perjanjian dilangsungkan oleh para pihak dan pelaksanaan perjanjian. Namun demikian secara umum dapat ditegaskan bahwa aspek eksternal di sini adalah pembentukan peraturan yang baik secara langsung maupun tidak langsung menyangkut praktik franchising di Indonesia, seperti peraturan tentang antitrust/ anti monopoli, peraturan tentang persaingan usaha (fair business practices). Sebagaimana di Amerika Serikat ketentuan antitrust diatur dalam The Sherman Act, The Clayton Act yang diamandemen dengan Robinson-Patman Act dan Federal Trade Commission Act. 154 Dalam hal pra perjanjian memang perlu pengaturan tentang pendaftaran (registration) terhadap bisnis franchise dan kewajiban untuk memberikan 154
The Sherman Act mengatur 2 (dua) ketentuan dasar yang berkaitan dengan perilaku bisnis illegal (restraint of trade and monopoly). The Clayton Act dibuat untuk mencegah empat bentuk praktik bisnis anti persaingan yaitu price discrimination, exclusive dealing and tying contract, anticompetitive corporate merger dan interlocking directorates. Anti Monopoli di Indonesia, Jurnal Hukum ekonomi Edisi IV Tahun 1996, hal. 14-16.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
informasi secara terbuka kepada calon franchisee. Hal ini dilakukan agar jangan sampai bisnis franchise yang masuk tersebut merusak sistem perekonomian di Indonesia. Selain itu dapat diantisipasi pula strategi kemitraan yang dapat dilakukan melalui bisnis franchise, seperti melakukan kemitraan dengan pengusaha menengah ke bawah untuk turut dalam franchising yang ada melalui produk-produk tertentu yang dapat dihasilkan, seperti dalam hal fast food ataupun burger maka bahan dasarnya dapat diproduksi pengusaha lokal dapat diserahkan kepadanya. Paling tidak dengan sistem kemitraan semacam ini akan menghindari praktik monopoli dalam bisnis franchise. Akan tetapi perlu diperhatikan, umumnya dilihat dari perjanjian franchise (terutama dengan pihak asing) yang ada selama ini terlihat pihak franchisee (pengusaha lokal) dalam hal barang-barang yang akan dikonsumsi di wilayahnya harus diimpor dari negara asal/ prinsipal/ franchisor. Dalam konteks semacam ini dapat dipahami bahwa aspek kepentingan perekonomian negara franchisee tidak terlindungi. Hal ini diindikasikan pula bahwa bentuk perjanjian franchise yang ada selama ini tidak didaftarkan (registration) sebagaimana perjanjian lisensi pada umumnya, serta tidak adanya keterbukaan (disclosure) dari pihak franchisor. Dalam pra perjanjian franchise
ini
dapat
diawasi
pula
materi-materi
yang
memunculkan
ketidakseimbangan dalam praktiknya, sehingga dapat dicegah terjadinya sengketa di kemudian hari hanya karena ketidakseimbangan yang terdapat di dalam perjanjian franchise tersebut. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Kemudian yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian perlu adanya laporan berkala dari franchisor melalui franchisee atau master franchise-nya tentang kontribusi yang dilakukan masing-masing pihak dan pelaksanaan hubungan kemitraan yang dilaksanakan. Hal mendasar dalam perlindungan hukum bagi franchisee kaitannya dengan campur tangan pemerintah selain pembentukan peraturan yang menyangkut franchise juga pembentukan Asosiasi Franchise Indonesia yang berwibawa serta mampu menampung persoalan-persoalan franchise yang ada. Di samping itu, perlu adanya Asosiasi Franchise secara khusus menampung kepentingan-kepentingan franchisee yang selama ini dipandang memiliki posisi yang lemah baik dalam hal penentuan materi perjanjian juga dalam hal bargaining strategi kebijaksanaan bisnis yang dijalankan. Uraian diatas pada esensinya memposisikan negara sebagai institusi yang berwenang untuk turut campur dalam pengaturan bisnis franchise yang selama ini masih berjalan atas dasar kebebasan berkontrak saja belum mencakup aspek persaingan bisnis maupun antitrust/ anti monopoli yang muncul dalam praktek bisnis franchise. Selain itu pula perlu adanya peraturan yang menindaklanjuti Undangundang Nomor 9 Tahun1995 tentang Usaha Kecil pada Pasal 27 huruf d memberikan isyarat akan keberadaan franchise sebagai salah satu bentuk kemitraan. Adapun aturan-aturan yang secara spesifik mengatur tentang kemitraan melalui franchise tidak diatur oleh Undang-undang Nomor 9 Tahun Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
1995. Campur tangan pemerintah untuk segera mengatur peraturan organik atas Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tersebut dipandang sangat urgen. Mengingat pula bahwa sokoguru perekonomian Indonesia adalah koperasi dan usaha kecil perlu dikembangkan di tengah-tengah persaingan global.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1.
Pada dasarnya berbagai pengaturan franchise di Indonesia tidak diatur secara spesifik di dalam Ketentuan Per Undang-undangan tetapi diatur dalam sejumlah perundang-undangan. Secara kontraktual franchise adalah suatu perjanjian yang dalam hal ini disebutkan sebagai perjanjian tidak bernama di dalam KUH Perdata, sebab dalam hal ini diberikan kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian berdasarkan kesepakatan masing.
Sedangkan
secara
teknis
prosedural,
pemerintah
masingberusaha
menetapkan peraturan yang berkaitan dengan franchise dengan keluarnya PP No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba yang disempurnakan dengan PP No. 42 tahun 2007 tentang waralaba dalam peningkatan kesejahteraan UKM. Untuk selanjutnya pengaturan Franchise di Indonesia tetap berpegang pada ketentuan dasar dalam KUH Perdata dan PP No. 42 tahun 2007; 2.
Dalam hal ini kedudukan franchisee (terwaralaba) seringkali tidak setara dengan franchisor (pewaralaba) dikarenakan dalam hal pembuatan kontrak. Pembuatan kontrak selalu dilakukan oleh pihak franchisor, sehingga keuntungan hanya berada di tangan franchisor, sedangkan franchisee sering mengalami ketidakpuasan. Hal ini dapat dilihat dari pembayaran royalti,
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
initial fee dan lain-lain yang terkandung di dalam kontrak tersebut, bahkan untuk pemilihan tempat gerai usaha juga berdasarkan ketentuan franchisor. 3.
Sebagai alternatif penyelesaian sengketa, maka dalam hal ini dilakukan dengan cara proses peradilan. Adapun sengketa antara franchisor dan franchisee belum pernah terjadi di Indonesia, tetapi dalam kontrak ada tegas dinyatakan bahwa proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara musyawarah, dan apabila ada ketidakpuasan maka dapat di upayakan ke tahap peradilan (litigasi), sedangkan proses penyelesaian di luar Indonesia dilakukan oleh para Arbiter Internasional (menggunakan Arbitrase) karena pada umumnya sengketa franchise itu menyangkut hubungan luas dan bersifat Internasional, seperti: JCC, UNCITRAL, AAA.
B. Saran 1.
Selain diatur didalam KUH Perdata sebagai dasar pembuatan perjanjian yang berdasarkan kesepakatan para pihak, maka perlu adanya 1 (satu) pengaturan perundang-udangan yang mengatur secara tegas berbagai aspek yang mengatur tentang franchise/ waralaba di Indonesia. Sehingga pengaturan franchise di Indonesia jelas karena adanya suatu kodifikasi peraturan perundang-undangan franchise yang jelas dan tegas. Perlu adanya pembedaan antara peraturan umum tentang franchise, apakah franchise besar atau franchise UKM.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
2.
Di dalam pembuatan kontrak hendaknya franchisor memperhatikan aspek kemanfaatan, bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi franchisee. Terutama pada saat seorang franchisor mendirikan suatu jenis franchise, khususnya untuk franchise jenis UKM, maka perlunya bagi franchisor menyusun suatu perjanjian franchise yang mengandung manfaat bagi rasa keadilan dan UKM yang terdiri dari pengusaha kecil. Penyusunan perjanjian kontrak harus membedakan apakah ditujukan untuk pengusaha UKM atau besar.
3.
Hendaknya perselisihan diantara franchisor dan franchisee harus dapat dihindarkan mengingat biaya untuk berperkara di pengadilan mahal, hendaknya setiap permasalahan hanya di lakukan dengan musyawarah/ negosiasi. Apabila ada sengketa, maka hendaknya di pilih satu pribadi atau badan atau lembaga yang dapat bertindak sebagai negosiator yang ahli sehingga perkara tidak sampai ke Pengadilan yang memakan biaya yang mahal.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku
Adolf, Huala, dkk., Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafitti Press, 2006. Anderson, Ronald A., Dan Ivan Fox, dan David P. Twomey, Bussiness Law, South Western Publishing Co., USA, 1984. Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1983. Bako, Ronny Sautma Hotma, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan Pertama, 1995. Berg, A.G.J., Drafting Commercial Agreement, Kerry Press Ltd, Luton, Bedfordshire, Great Britain, 1992. Campbell, Dennis, dan Louis Latifi (eds), Distributorships, Agency and Franchising in an International Arena: Europe, The United State, Japan and Latin America, Kluwer Law and Texation Publisher, Deventer, The Netherlands, 1990. Calamari, John D., dan Joseph M. Perillo, The Law of Contract, Hombook Series, St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1987. Catherine, dan Kian Tay Swee, dan Chim, Tang See, Contract Law: A Layman’s Guide, Times Books International, Singapore 1987. Davidson, Daniel V., dkk, Comprehensive Business Law; Principles and Cases, Kent Publishing Company, Boston- Massachusetts USA, 1987. Dobkin, James A., (ed), International Technology Joint Ventures in the Countries of the Pasific Rim, Butterworth Legal Publishers, USA, 1988. Donnell, Barnes, dan Metzger, Law for Bussiness, USA: Richard D. Irwin, Inc., 1980. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Donnel, John D., dan A. James Barnes, dan Michael B. Metzger, Law for Bussiness 2, Richard D. Irwin, Inc, USA, 1983. Downes, John, dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, Elex Media Computindo, Gramedia-Jakarta, Edisi Ketiga. Eckstrom, L.J., Licensing in Foreign and Domestic Operation, Clark Boardman, Ney York, Vol. I, 3rd ed, 1982, Ekotama, Suryono, Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise, Yogyakarta: Media Pressindo, 2008. Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: PNM, 2004. Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994. __________, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1982. __________, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991. Hotchkiss, Carolyn, International Law for Business, Mc Graw-Hill Inc., New York, 1994. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007. Izraeli, Dov, Franchising and The Total Distribution System, Longman Group Limited, Bristol London, Cetakan Pertama, 1972. Kabul, Imam, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005. Karamoy, Amir, Sukses Usaha Lewat Waralaba, Jakarta: PT Jurnalindo Aksara Grafika, 1996.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Keraf, A. Sonny, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 1998. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Prenada Media, 1997. Mancuso Joseph, & Donald Boroian, Peluang Sukses Bisnis Waralaba, Bagaimana Membeli dan Mengelola Bisnis Waralaba, Jakarta: Dolphin Books, 2006. Marimbo, Rizal Calvary, Rasakan Dahsyatnya Usaha Franchise !, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985. Mendelsohn, Martin, Franchising - Petunjuk Praktis Bagi Franchisor Dan Franchisee, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1993. Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006. Moore, Gary A., dan Arthur M. Magaldi, and John A. Gray, The Legal Environment of Business: A Contextual Approach, South Western Publishing Co., Ohio-USA. Moleong,
Lexy J., Metodologi Rosdakarya, 2002.
Penelitian
Kualitatif,
Bandung:
Remaja
Paton, George Whitecross, A Text-Book of Jurisprudence, edisi kedua, London: Oxford University Press, 1951. Queen, Douglass J., Pedoman Membeli dan Menjalankan franchise, Jakarta: Y., Witingsih, Bisnis Waralaba dan Permasalahannya, Usahawan, No. II Tahun XXV, 1996. Rasjidi, Lili, dan Putra, I.B. Wyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993. Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung : Bina Cipta, 2004. Robinson, Richard D., The International Transfer of Technology: Theory, Issues and Practice, Ballinger Publishing Company, USA, 1998.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Saleh, Roeslan, Seluk Beluk Praktik Lisensi, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kedua, 1991. Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 1987. Sewu, P. Lindawaty S., Franchise, Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum Dan Ekonomi, Bandung: CV. Utomo, 2004. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 2006. _______________ , dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Grafindo, 1990. Soekardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian I), Dian Rakyat, Jakarta, 1983. Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Simatupang, Richard Burton, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Pertama, 1996. Sundaram, Anan K., The International Bussiness Environtment Text, USA: Prentice Inc., 1995. Sumardi, Juajir, Aspek-Aspek Hukum franchise dan Perusahaan Transnasional, Bandung: PT Citra Adita Bakti, 1995. Sicat, Gerardo P., dkk., Ilmu Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1991. Tarbutton, Llyod T., Franchising The How-To Book, USA: Englewood Cliffs N.J., 1986. Tunggal, Hadi Setia, Dasar-Dasar Harvarindo, 2006.
Pewaralabaan
(Franchising),
Jakarta:
______________ , Frequently Ask Questions (FAQs) Franchising, Jakarta: Harvarindo, 2006. Voillement, Dominique, Franchising French, Jakarta: LPPM-AFI, 2003. West, Alan, Pedagang Eceran, Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo, 1992. West Naisbitt, John, dkk., Megatrends 2000, Jakarta: Binarupa Aksara, 1990. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Webster, Bryce, The Insider’s Guide to Franchising, Amerika: Amerika Management Association, 2001. Winarto, V., Identifikasi Jenis Usaha Potensial Untuk Di- franchise-kan, Jakarta: LPPM, 1993. Yelpala, Kojo, dan Donald R. Worley and Dennis Campbell (eds), Licensing Agreement: Patens, Know How, Trade Secret and Software, Kluwer Law and Taxation Publishers, USA, 1988 2. Artikel/Makalah/Jurnal Anonim, Aspek Hukum dari “Franchise”, Artikel dalam Kliping Perpustakaan IPPM, tanggal 21 Januari 1996. Delli, Jerome, Prosedur Penyelesaian Sengketa: Rangkaian Kesatuan, artikel dalam Alternative Dispute Resolution (ADR), CDR Associates, didokumentasikan oleh Pustadok LKBH UII, tanpa tahun, Yogyakarta. Downes, Antony W., A Case- Study Analysis of Franchise Contracts, Journal of Legal Studies, Vol. XXII June 1993, University of Chicago. Emerson, Robert W., Franchising and the Collective Rights of Franchisees, Journal of Legal Studies, Vol. 43:1503, tanpa tahun. Hardjowidigdo, Rooseno, Beberapa Aspek Hukum Franchising, dalam Seminar Sehari Aspek-Aspek Hukum Tentang Franchise, diselenggarakan oleh IKADIN Cabang Surabaya, di Surabaya, 23 Oktober 1993. Jurnal Hukum ekonomi Edisi IV Tahun 1996. Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004. Prawirokusumo, Soeharto, “Usaha Kecil dalam Pembangunan Ekonomi Mengantisipasi Globalisasi Pasar Bebas dalam Internasional Seminar dengan Topik: Small Scale and Micro Enterprises in Economic Development Anticipating Globalization and Free Trade”, di Jakarta, 20 Mei 2001. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pound, Roscoe, Jurisprudence, Vol.3, Cet.1. Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001. Suryati, Atih, “Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil di Indonesia”, dalam Internasional Seminar dengan Topik “Small Scale and Micro Enterprises in Economic Development Anticipating Globalization and Free Trade”, di Bandung, 23 April 2004. Stone, Human Law and Human Justice 1965. Soebagjo, Felix O., Perkembangan Asas-Asas Hukum Kontrak Dalam Praktik Bisnis selama 25 tahun terakhir, Makalah dalam Penataran Hukum Perdata yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 25-31 Oktober 1995. Tim IKOPIN, “Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Koperasi, BUMN, Dan BUMS Dalam Era Globalisasi”, dalam Seminar Aspek-Aspek Hukum dalam Kerjasama Bidang Usaha Koperasi, BUMN, dan Swasta, di Jakarta, 26-28 September 1997. Zachary, Shulman, Fraud-On-The-Market Theory After Basic Inc. v. Levinson, Cornel Law Jurnal Review, Vol. 74, 1989. Disarikan dari Hasil wawancara dengan Departemen Hukum dan HAM di Jakarta pada tanggal 22-24 Juni 2009.
3. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Lihat European Code Of Ethics For Franchising, tahun 1992. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil dan Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Pedoman Pelaksanaan Keterkaitan Kemitraan di Bidang Industri Kecil, tahun 1995.
4. Internet Damayanti,
Madayuti, Sistem Bisnis Waralaba di www.formatnews.com. Diakses tanggal 11 Juni 2009.
Indonesia.
“Berita Waralaba”, Dikutip dari http://www.inilah.com/berita/2009/10/03/957/ images/beritawaralaba.swf, Diakses tanggal 18 April 2009. Herustiati dan Simanungkalit, Victoria, “Waralaba: Bisnis Prospektif Bagi UKM”, Dikutip dari http://www.smecda.com/ deputi7/file_Infokop/ WARALABA-W.htm, Diakses tanggal 24 Maret 2009. Rasyid, D. Sudradjat, selaku Menteri Koperasi dan UKM, di acara Franchise ActionCOACH Indonesia, Jakarta, 23 Februari 2009, lihat www.google.co.id/actioncoach-indonesia.htm., diakses tanggal 24 Mei 2009. Sardjono, Sada, “Perkembangan Bisnis Waralaba: Krisis, Bisnis Waralaba Kian Diburu”, Dikutip dari http://www.kontan.co.id/ index.php/Bisnis/news/8932/Krisis__ Bisnis_ Waralaba_ Kian _ Diburu, Diakses tanggal 24 Maret 2009.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Thariza, O.K., “Teori Keadilan: Perspektif John Rawls”, Dikutip dari www.okthariza.multiply.com/journal/item, Diakses tanggal 5 Mei 2009. “Waralaba”, Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Waralaba, Diakses tanggal 24 Maret 2009.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
LAMPIRAN PERJANJIAN KEMITRAAN Nomor: 032/MOU/6/2009
PERJANJIAN KEMITRAAN (selanjutnya disebut sebagai “Perjanjian”) ini dibuat dan ditandatangani di Medan. Pada hari ini, Selasa 16 (enam belas) bulan Juni tahun 2009 (dua ribu sembilan), oleh dan antara:
Tuan A, berkedudukan di MEDAN, yang dalam melakukan perbuatan hukum ini selaku BUSINESS OWNER. Selanjutnya disebut sebagai OWNER Dan ………………… bertempat tinggal di ……………………….., untuk selanjutnya disebut sebagai MITRA
Bahwa para pihak sebelumnya menerangkan hal-hal sebagai berikut: a. Bahwa OWNER adalah pemilik yang sah dari usaha franchise xx, yaitu usaha makanan yang dikelola dengan suatu format dan teknik manajemen serta dengan metode, prosedur, standar dan teknik mengelola dengan menggunakan peralatan standar franchise xx dan perangkat-perangkat pendukung lain yang dijalankan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh hasil dengan kualitas relatif baik dan dalam waktu relatif singkat. b. Bahwa OWNER setuju dan tidak berkeberatan untuk memberikan hak kepada MITRA
untuk
menjalankan
usaha
franchise
xx
tersebut
dengan
mengindahkan syarat-syarat yang akan ditentukan oleh OWNER. c. Bahwa perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak setelah MITRA membayar kewajiban awal. Sehubugan dengan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, maka kedua belah pihak telah sepakat untuk dan dengan ini mengadakan perjanjian waralaba dengan syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 1 DEFINISI PARA PIHAK sepakat untuk menggunakan dan atau menafsirkan definisi dan pengertian-pengertian, istilah-istilah yang dipergunakan dalam perjanjian ini sebagai berikut: 1. KEMITRAAN Adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/ atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/ atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian kemitraan. 2. PERJANJIAN KEMITRAAN Merupakan suatu bentuk kerjasama dimana Pemberi Kemitraan (OWNER) memberikan izin kepada Penerima Kemitraan (Mitra) untuk menggunakan hak intelektualnya, seperti nama, merek dagang, produk/ jasa dan sistem operasi usahanya, dimana sebagai timbal balik, penerima kemitraan membayar suatu jumlah sebagai kewajiban MITRA. 3. OWNER Adalah badan usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan usaha yang dimilikinya kepada Penerima Kemitraan, dalam hal ini adalah Tuan B. 4. MITRA Adalah badan usaha atau perseorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan yang dimiliki oleh OWNER (Pemberi Kemitraan). 5. FRANCHISE XX Adalah usaha minuman yang dikelola dengan suatu format dan teknik manajemen serta dengan metode, prosedur, standar dan teknik mengelola dengan menggunakan peralatan standar franchise xx dan perangkat-perangkat pendukung lain yang dijalankan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh hasil dengan kualitas relatif baik dan dalam waktu relatif singkat. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
6. KEWAJIBAN AWAL MITRA Adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh Mitra sebagai komitmen awal untuk menjalankan usaha franchise xx. 7. KEWAJIBAN SEBAGAI MITRA (Imbalan perolehan Hak Kemitraan) Adalah kontribusi biaya dari MITRA kepada OWNER, sebagai imbalan atas pemberian kemitraan yang dimiliki oleh OWNER dalam kurun waktu tertentu. Kewajiban sebagai MITRA yang dibayarkan dimuka dan hanya dibayarkan untuk satu kali bentuk hak yang diterima untuk jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan. 8. OMSET/ PENJUALAN KOTOR Adalah nilai total penjualan yang diperoleh MITRA dari franchise xx setiap bulannya, termasuk semua hasil penjualan produk dan biaya layanan yang ditransaksikan di dalam outlet, namun tidak termasuk pengembalian uang/ transaksi batal/ retur jual dan potongan harga. 9. HAK EKSKLUSIF Adalah hak yang diberikan OWNER kepada MITRA untuk menjadi perwakilan kemitraan di lokasi usaha yang telah disepakati bersama. 10. OPERATOR OUTLET Adalah karyawan/ karyawati yang telah direkrut dan dilatih oleh OWNER untuk mengoperasionalkan outlet-outlet franchise xx.
11. WILAYAH PEMASARAN Adalah daerah operasional eksklusif sebuah outlet franchise xx dimana OWNER tidak akan memberikan izin membuka outlet franchise xx kepada pihak lain selain MITRA di dalam 1 (satu) daerah eksklusif sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian ini.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 2 RUANG LINGKUP 1. Ruang lingkup perjanjian ini meliputi hak penggunaan usaha minuman franchise xx yang dikelola dengan format dan teknik manajemen serta dengan metode, prosedur, standar dan teknik mengelola dengan menggunakan peralatan standar dan perangkat-perangkat pendukung lain yang telah disediakan oleh OWNER kepada MITRA. 2. Beberapa tahapan/ langkah untuk menjadi MITRA franchise xx adalah sebagai berikut:
Presentasi bisnis;
Survey lokasi; (protect lokasi strategis);
Penandatangan perjanjian (agreement);
Pembayaran investasi 100 % (seratus persen);
Time schedule pengerjaan outlet;
Training karyawan;
Persiapan opening; dan
Grand opening.
Pasal 3 JANGKA WAKTU PERJANJIAN Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal 16 (enam belas) bulan Juni tahun 2009 (dua ribu sembilan) dan berakhir pada tanggal 16 (enam belas) bulan Juni tahun 2014 (dua ribu empat belas), kecuali berakhir atau diakhiri sebelumnya berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam perjanjian ini.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 4 PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PERJANJIAN Jangka waktu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (tiga), dapat diperpanjang oleh MITRA dengan memberitahukan secara tertulis kepada OWNER selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian.
Pasal 5 LOKASI USAHA 1. MITRA menjalankan usaha franchise xx ini setelah mendapat persetujuan tertulis dari OWNER. 2. Dalam evaluasi area disesuaikan antara kapasitas pasar dengan jumlah outlet yang sudah beroperasi. Apabila kapasitas pasar mempunyai potensi penambahan outlet, pemegang area disarankan untuk menambah outlet. Pembagian area tersebut tidak termasuk dalam program cafe/ restaurant khususnya di jalan-jalan utama. 3. Selama 5 (lima) tahun perjanjian MITRA tidak diperolehkan berjualan makanan yang sejenis dengan produk franchise xx dilokasi atau di sekitar wilayah usaha tersebut. 4. Jika MITRA berencana melakukan pemindahan lokasi usaha, wajib mendapat persetujuan tertulis dari OWNER terlebih dahulu dan mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan oleh OWNER. 5. Segala biaya yang timbul akibat pemindahan lokasi usaha tersebut, ditanggung sepenuhnya oleh MITRA.
Pasal 6 WILAYAH PEMASARAN MITRA diberi hak untuk memasarkan franchise xx tidak lebih dari radius 1 (satu) km lokasi usaha Franchisee yang lain.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 7 CARA PEMBAYARAN (KEWAJIBAN AWAL DAN KEWAJIBAN SEBAGAI MITRA) 1. Atas pemberian hak untuk menjalankan usaha franchise xx sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 di lokasi usaha, dengan ini akan membayarkan kepada OWNER, kewajiban untuk investasi sebesar Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah). 2. Atas penerimaan uang akan diberikan tanda penerimaan (kuitansi) yang sah dari OWNER.
Pasal 8 PEMBERIAN LISENSI DAN HAK EKSKLUSIF 1. OWNER dalam hal ini diwakili oleh Tuan A sebagai Pemilik Merek, telah memiliki hak atas kekayaan intelektual berupa hak cipta. 2. Usaha KEMITRAAN franchise xx memiliki ciri khas sistem bisnis yang berbeda dengan usaha KEMITRAAN pada umumnya dimana sistem manajemen yang dipakai adalah terpusat, sedangkan sistem yang dipakai oleh franchise xx mengharuskan kontribusi dari MITRA. 3. OWNER dengan ini memberikan hak eksklusif kepada MITRA untuk menjalankan usaha franchise xx berdasarkan sistem manajemen, metode, standar prosedur dan teknik yang telah ditentukan oleh OWNER. 4. OWNER dengan ini pula memberikan izin kepada MITRA untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh OWNER.
Pasal 9 BAHAN BAKU DAN SARANA PENJUALAN 1. OWNER wajib menyiapkan semua sarana penjualan: outlet dan peralatan serta bahan baku awal sesuai dengan standar yang berlaku.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
2. OWNER berkewajiban menyiapkan bahan baku utama:Cendol, santan, gula dan bahan baku lainnya yang dapat disuplai dari pusat. 3. Jika timbul kerusakan sarana penjualan, maka semua biaya up grade franchise xx yang timbul ditanggung oleh MITRA. 4. FRANCHISEE harus melakukan peremajaan outlet (penggantian cat dan stiker), setiap 1 (satu) tahun sekali. Proses tersebut dapat dilakukan melalui OWNER dan MITRA, dan biaya yang timbul tetap ditanggung oleh MITRA.
Pasal 10 PENGAWASAN DAN PEMELIHARAAN MUTU PRODUK 1. OWNER dan MITRA wajib menjaga dan memelihara kualitas franchise xx. 2. MITRA berwenang untuk mengawasi setiap proses produk yang dihasilkan oleh OWNER setiap saat. 3. Apabila dari hasil pengawasan ditemukan bukti-bukti bahwa OWNER dengan sengaja atau lalai dalam menjaga kualitas produk, MITRA berhak untuk memberi sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 perjanjian ini.
Pasal 11 KERAHASIAN PRODUK 1. MITRA berwajiban menerima, melaksanakan dan menjaga kerahasiaan serta nama baik sistem usaha franchise xx 2. MITRA wajib dan karena itu berjanji dan mengikatkan diri kepada OWNER untuk tidak mengungkapkan pada pihak lain dan atau memakai segala informasi yang diperoleh MITRA berdasarkan kepada perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada keterangan teknik, data dan informasi lainnya yang berkaitan dengan
pengolahan,
perlengkapan,
peralatan,
bahan-bahan,
tata
cara
pengoperasian, tata cara keamanan, persyaratan penggunaan, teknik pemasaran, jaringan distribusi, data penjualan, formula produk, biaya-biaya dan segala informasi lainnya yang berhubungan dengan kegiatan usaha franchise xx. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 12 PENGGUNAAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL 1. MITRA berhak untuk memakai nama (merek) franchise xx. 2. MITRA berhak untuk menggunakan hak cipta berupa logo “franchise xx”, selama perjanjian berlangsung. 3. Design pembungkus untuk franchise xx ditentukan oleh OWNER. 4. MITRA berhak mengajukan usulan mengenai pengembangan design tersebut kepada OWNER. 5. design outlet harus sesuai dengan standar yang diberikan oleh OWNER.
Pasal 13 REKRUTMEN DAN PELATIHAN 1. OWNER melakukan training untuk karyawan yang akan ditempatkan sebagai Operator Outlet franchise xx di lokasi usaha. 2. OWNER berkewajiban memberikan pengetahuan atau pelatihan (training) yang berkaitan dengan proses usahanya kepada Operator Outlet MITRA selama 1 (satu) minggu. 3. Segala biaya yang timbul setelah melakukan training dan setelah beroperasinya lokasi usaha, seperti gaji, transportasi, makan, tempat tinggal operator outlet ditanggung dan dibayar oleh OWNER dan MITRA. 4. OWNER melakukan training kepada operator outlet usaha untuk produk baru, standarisasi dan lain-lain serta menanggung segala biaya yang terjadi atasnya.
Pasal 14 PEMASARAN DAN PERIKLANAN 1. MITRA setuju untuk turut serta aktif dalam memasarkan dan mengiklankan franchise xx di wilayah penjualannya. 2. OWNER berkewajiban memberikan konsep pemasaran dan pengembangan usaha franchise xx. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 15 PENJUALAN PRODUK LAIN 1. MITRA hanya diperbolehkan menjual produk-produk yang dikeluarkan oleh OWNER. 2. MITRA hanya diperbolehkan untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam penyediaan air minum. 3. Kerjasama yang dilakukan oleh MITRA dengan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam angka 2 (dua) di atas, wajib memberitahukan kepada OWNER. 4. Apabila
MITRA
dengan
sengaja
menjual
produk-produk
selain
yag
diperbolehkan tersebut, maka OWNER berhak mengenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 (dua puluh satu) perjanjian ini.
Pasal 16 IURAN, PAJAK DAN RETRIBUSI OWNER dan MITRA atas tanggungan sendiri wajib memenuhi semua kewajiban yang timbul dalam menjalankan perjanjian ini termasuk tetapi tidak terbatas pada kewajiban membayar retribusi reklame, iuran lingkungan dan semua kewajiban terhadap pemerintah baik pusat maupun daerah.
Pasal 18 LARANGAN Selama perjanjian ini berlangsung, MITRA dilarang untuk melakukan perbuatan/ tindakan yang dapat merugikan atau menghambat kelangsungan usaha OWNER, sebagai berikut: a. MITRA dan atau keluarganya meliputi orang tua, anak, saudara yang tinggal serumah dan atau karyawannya tidak diperkenankan bekerja pada atau memiliki usaha lain yang sejenis dengan usaha yang menjadi obyek perjanjian ini.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
b. MITRA tidak diperkenankan melakukan inovasi usaha seperti penambahan menu baru, memakai design karya pribadi,membuat komposisi yang berbeda kecuali MITRA telah mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari OWNER dan dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh OWNER. c. MITRA dilarang untuk membocorkan setiap rahasia informasi yang diperoleh, termasuk namun tidak terbatas pada keterangan teknik, data informasi lainnya yang berkaitan dengan pengolahan, perlengkapan, peralatan, bahan-bahan, tata cara pengoperasian, tata cara keamanan, persyaratan penggunaan, teknik pemasaran, jaringan distribusi, data penjualan, formula produk kepada pihak lain. d. MITRA dilarang menggunakan tempat usaha franchise xx dalam lokasi usaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan atau bersifat melawan hukum. e. MITRA dilarang menggunakan kata franchise xx atau kata-kata yang hampir sama pada pokok atau keseluruhannya untuk usaha lain selain usaha franchise xx yang diperjanjikan berdasarkan perjanjian ini. f. MITRA dilarang mendirikan badan hukum, perseroan, organisasi dan atau lembaga yang namanya mengandung kata franchise xx atau kata-kata lainnya yang hampir sama pada pokok atau keseluruhannya untuk usaha lain selain usaha franchise xx yang diperjanjikan berdasarkan perjanjian ini. g. MITRA dilarang menjamin sarana usaha, bentuk usaha dan keuntungan usaha kepada pihak ketiga (kreditur) tanpa persetujuan dari OWNER terlebih dahulu. h. MITRA dilarang memindahtangankan dan meminjamkan sarana usaha kepada pihak ketiga serta menggunakannya untuk keperluan lain selain hal yang menyangkut operasional bisnis ini. i. MITRA dilarang membeli bahan baku utama untuk menjalankan usaha franchise xx selain dari OWNER atau pihak yang ditunjuk oleh OWNER.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
j. MITRA dilarang memulangkan gerobak franchise xx yang sudah diserahkan oleh pihak franchise xx.
Pasal 19 SANKSI 1. OWNER berhak untuk memberikan sanksi kepada MITRA apabila melakukan setiap perbuatan atau tindakan yang dilarang sebagaimana disebut pada Pasal 18 perjanjian ini. 2. Apabila MITRA melanggar ketentuan mengenai larangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 perjanjian ini, maka akan dikenakan sanksi dengan tahapan sebagai berikut: diberikan surat peringatan ke 1 (satu) jika diabaikan akan di berikan surat peringatan ke 2 (dua) dan jika tetap diabaikan, maka akan di cabut hak waralabanya yaitu tidak diperkenankan memakai nama merek “franchise xx”. 3. Jika OWNER franchise xx sengaja atau tidak sengaja lalai dalam kualitas franchise xx maka akan dikenakan sanksi dengan tahapan sebagai berikut: diberikan surat peringatan ke 1 (satu) jika diabaikan maka akan diberikan surat peringatan ke 2 (dua) dan jika tetap diabaikan, maka MITRA berhak melakukan peneguran lebih keras. 4. Jika OWNER terlambat atau lalai dalam membuat laporan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 perjanjian ini, maka akan dikenakan sanksi dengan tahapan sebagai berikut: diberikan surat peringatan ke 1 (satu) jika diabaikan maka akan diberikan surat peringatan ke 2 (dua) dan jika tetap diabaikan, maka MITRA berhak melakukan peneguran lebih keras. 5. Apabila MITRA melanggar ketentuan pada Pasal 21 sebagaimana dimaktub dalam ayat (2), (3) dan (4) maka perjanjian ini menjadi PUTUS atau BUBAR.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 20 PENGAKHIRAN PERJANJIAN 1. Perjanjian ini menjadi berakhir apabila terjadi peristiwa-peristiwa/ kejadiankejadian yang sebagai berikut: a. Salah satu pihak dalam perjanjian lalai atau gagal dan atau tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban atau melanggar larangan sesuai isi perjanjian ini. b. Salah satu pihak dengan suatu Ketetapan Pemerintah telah dicabut izin usahanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian ini. c. Salah satu pihak dengan suatu putusan Pengadilan yang berwenang untuk itu dinyatakan telah berhenti melakukan kegiatan usahanya
dan yang telah
dinyatakan bangkrut/ pailit. d. Salah satu pihak dengan suatu putusan pengadilan yang berwenang untuk itu, atas seluruh atau sebagian harta tetapnya yang merupakan hartanya yang paling esensial telah dirampas atau telah disita sehingga secara wajar tidak dimungkinkannya lagi memenuhi kewajiban-kewajiban dalam perjanjian. 2. OWNER berhak untuk memutuskan perjanjian ini secara sepihak apabila MITRA melakukan perbuatan/ tindakan yang dilarang seperti diatur dalam Pasal 18 dalam perjanjian ini. 3. Pemutusan perjanjian sepihak oleh OWNER tidak mengakibatkan hilangnya hak untuk menuntut ganti rugi kepada MITRA.
Pasal 21 KEADAAN KAHAR 1. Yang dimaksud dengan keadaan kahar dalam perjanjian ini adalah peristiwa atau kejadian di luar kekuasaan manusia seperti bencana alam, gempa bumi, perang, epidemi ataupun huru-hara.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
2. Dalam hal terjadi keadaan kahar, maka MITRA atau OWNER wajib memberitahukan secara tertulis dalam waktu 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam, satu sama lain terhitung sejak terjadinya keadaan kahar tersebut. 3. Selama masa perbaikan, pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian dianggap diberikan perpanjangan waktu selama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal yang ditetapkan secara tertulis oleh OWNER.
Pasal 22 PENYELESAIAN PERSELISIHAN 1. Segala perselisihan yang timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian ini diselesaikan dengan penyelesaian secara musyawarah. 2. para pihak sepakat bahwa semua bisnis memiliki resiko. Oleh karena itu pihak sepakat untuk tidak saling menuntut/ menyalahkan apabila outlet kemitraan tidak berhasil dalam operasionalnya, setelah semua ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini dilakukan secara sungguh-sungguh dan maksimal. 3. Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas tidak tercapai, maka kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri.
Pasal 23 ADDENDUM Hal-hal yang tidak cukup atau belum diatur dalam perjanjian ini akan ditetapkan oleh kedua belah pihak secara musyawarah dengan membuat suatu perjanjian tambahan (addendum) tersendiri yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 24 BERLAKUNYA PERJANJIAN Perjanjian ini berlaku efektif dan mengikat kedua belah pihak ketika MITRA telah melunasi pembayaran KEWAJIBAN SEBAGAI MITRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan 2.
Pasal 25 PENUTUP Perjanjian ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dalam rangkap 2 (dua), bermaterai cukup dan masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama. OWNER
MITRA
Tuan A
……………..…
Executive Direktur
MITRA
SAKSI-SAKSI 1. .......................... 2. ..........................
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
PERJANJIAN KERJASAMA Nomor: .../MOU/.../2009
Perjanjian ini dibuat di Medan, pada hari ..., tanggal ..., tahun dua ribu sembilan, (.../.../...) oleh dan antara: 1. Tuan A, bertempat tinggal di Medan dalam hal ini bertindak selaku Direktur Komersial dari dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama Manajemen Franchise YY berkedudukan di Jl. ABC, dan selanjutnya disebut sebagai “Pihak Pertama”. 2. ..................................., bertempat tinggal di Medan, dalam hal ini bertindak dalam kedudukannya selaku Mitra (franchisee) dari dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama Franchise YY
berkedudukan di Medan
dengan alamat Jl.ZZZ (pemegang Kartu Tanda Penduduk/ KTP) selanjutnya disebut sebagai “Pihak Kedua”.
Pihak Pertama dan Pihak Kedua selanjutnya bersama-sama disebut “Para Pihak”.
Para Pihak menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Pihak Pertama adalah pengusaha bakso dengan merek dagang “Franchise YY” dengan wilayah pemasaran tersebar diseluruh Indonesia.
Bahwa Pihak Kedua adalah pengusaha/ perorangan yang bermitra dengan Pihak Pertama untuk menjualkan bakso dengan merek dagang “Franchise YY”.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas para pihak telah sepakat dan setuju untuk dan dengan ini membuat perjanjian ini (perjanjian ini berikut semua perubahan atau penambahannya selanjutnya akan disebut “Perjanjian”) dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB I Bentuk Kerjasama
Pasal 1 Pihak Pertama dan Pihak Kedua bersepakat untuk melakukan kerjasama untuk membuka Outlet Franchise YY dan Pihak Kedua bertindak sebagai Mitra Franchise YY .
Pasal 2 Perjanjian kerjasama ini berlaku dalam jangka waktu selama tiga tahun terhitung mulai tanggal ditandatanganinya surat perjanjian ini atau tanggal mulai dibuka Outlet atas nama Franchise YY (mana yang lebih dahulu), kecuali berakhir atau diakhiri sebelumnya berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam perjanjian.
Pasal 3 Operasional Franchise YY bertempat di lokasi yang telah disepakati oleh para pihak yaitu bertempat di ……………………………………….
Pasal 4 Pihak Kedua mempunyai opsi untuk memperbaharui perjanjian kerjasama untuk jangka waktu tambahan dengan ketentuan: 1. Pihak Kedua menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan perjanjian dengan pihak pertama. 2. Pihak kedua tidak mengalami wanprestasi atau melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kemitraan atau salah satu perjanjian lain yang berkaitan dengan pihak pertama. 3. menandatangani perjanjian kerjasama yang kemudian berlaku sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalamnya termasuk namun tidak terbatas, seperti royalti, uang deposit, biaya periklanan dan refisi jarak dari radius tidak adanya Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
persaingan. Biaya pembaharuan yang dibebankan kepada pihak kedua akan menyesuaikan
harga
pada
saat
pembaharuan
perjanjian
kerjasama
dilaksanakan. 4. sebagai syarat pembaharuan pihak pertama dapat mewajibkan pihak kedua untuk mengubah kendali Outlet Franchise YY yang beroperasi pada saat berlakunya pembaharuan tersebut.
Pasal 5 Apabila pihak kedua menginginkan pihak pertama yang menjalankan usaha (sejauh ada kemungkinan dari para pihak), maka akan dibentuk program kerjasama bagi hasil, dimana pihak kedua mendapatkan bagian laba sebesar 60 % dan pihak pertama mendapatkan bagian laba 40 %.
BAB II Hak dan Kewajiban Pasal 1 Pihak pertama akan memberikan pelatihan dan pengawasan terhadap operator dan outlet Franchise YY yang dibuka pihak kedua, dengan komposisi: 1. Pelatihan untuk operator outlet pra opening selama satu hari yang akan dilaksanakan di lokasi outlet yang telah disepakati bersama dan seluruh biaya pelatihan akan ditanggung oleh pihak pertama kecuali biaya makan, penginapan dan honor yang akan ditanggung oleh pihak kedua. 2. Pelatihan, panduan dan pengawasan setelah opening selama 3 (tiga) hari seluruh biaya trainer yang melakukan pelatihan dan pengawasan ini ditanggung oleh pihak pertama kecuali biaya makan yang akan ditanggung oleh pihak kedua. 3. jika operator outlet Franchise YY
yang bertempat di lokasi yang telah
ditentukan belum biasa menjalankan outlet secara baik pada bulan kesatu, maka trainer akan melakukan tambahan pengawasan dan pelatihan selama 1 Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
(satu) minggu dan biaya-biaya yang akan timbul dari penambahan waktu training tersebut akan ditanggung oleh pihak kedua.
Pasal 2 Pihak pertama akan memberikan dukungan/ support secara penuh dalam pengadaan bahan baku berupa bakso dan bumbu bakso, namun bahan-bahan tambahan pendukung lain seperti bawang goreng, daun sop, cabe dan lain sebagainya akan dipenuhi sendiri oleh pihak kedua. Bantuan pihak pertama untuk memenuhi bahanbahan pendukung hanya pada masa pengawasan dan pelatihan. Kecuali ada kesepakatan-kesepakatan lain yang dibuat para pihak setelah ditandatangani perjanjian ini.
Pasal 3 Pihak kedua berkewajiban untuk membelikan bahan baku pokok berupa bakso beserta bumbunya pada pihak pertama dengan harga Rp. 135.000,-/ pack bakso (150 pentol) sudah termasuk bumbu franco gudang Franchise YY
belum termasuk
ongkos kirim ke outlet mitra. Harga dapat berubah sewaktu-waktu apabila terjadi kenaikan bahan baku pokok secara berarti/ signifikan. Satu (1) bungkus Bumbu Bakso adalah untuk 150 buah pentol bakso (jumlah kemasan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan). Jika terjadi kekurangan bumbu dari jumlah yang sudah distandarkan oleh pihak pertama maka biaya tambahan pengadaan bumbu adalah tanggung jawab pihak kedua.
Pasal 4 Pihak kedua berkewajiban melakukan deposit sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada pihak pertama diawal perjanjian, dan akan dikembalikan kepada pihak kedua pada saat berakhirnya perjanjian ini. Untuk kelancaran supply/ stok bakso, maka diperlukan hal-hal sebagai berikut: Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
1. pihak kedua memberikan perkiraan kebutuhan bakso setiap bulan kepada pihak pertama, 2. pengiriman bakso paling lambat dilakukan 3 (tiga) hari setelah pemesanan dengan ketentuan, 3. pembayaran atas pengiriman bakso dilakukan paling lama 2 hari setelah pengiriman, jika terjadi kelambatan pembayaran maka akan dikenakan denda sebesar 0,5 % per hari dari nilai yang harus dibayarkan.
BAB III Praktek Dagang Pasal 1 Pihak pertama mempunyai hak mutlak untuk menentukan praktek dagang. Lebih lanjut disetujui bahwa item-item praktik dagang merupakan rahasia dagang pihak pertama(yang bersifat sangat rahasia) yang diungkapkan pada pihak kedua atas dasar kepercayaan, dan pihak kedua setiap saat selama jangka waktu perjanjian ini, dan/ atau kemudian setelah perjanjian ini berakhir tidak akan menggunakan atau mencoba untuk menggunakan praktek-praktek dagang itu sehubungan dengan badan usaha atau bisnis lain dimana pihak kedua mempunyai kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung,
atau
pihak
kedua
tidak
akan
mengungkapkan,
menduplikasi,
menyebarluaskan, menjual atau mensublisensikan praktek-praktek dagang atau bagian daripadanya atau dengan cara apapun mengalihkan salah satu hak pada praktek dagang itu kecuali mendapatkan izin secara tertulis oleh pihak pertama.
Pasal 2 Pihak kedua berkewajiban untuk menjalankan dan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap jalannya seluruh sistem operasional dan outlet Franchise YY .
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pasal 3 Setelah penyerah terimaan SOP (Standar Operasional Prosedur) maka jalannya operasional outlet adalah tanggung jawab dari pihak kedua, kecuali untuk praktek yang tertera pada BAB I Pasal 5.
BAB IV Wilayah Eksklusif Tidak akan memiliki, mengoperasikan, menjual atau mengalihkan outlet Franchise YY dalam jangkauan satu kilo meter dari outlet Franchise YY yang telah ada sebelumnya.
BAB V Biaya Kemitraan/ Kerjasama Awal Pasal 1 Pembayaran biaya kemitraan sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), yang dapat dibayarkan sebagai berikut: 1. setelah mendapatkan penjelasan dari manajemen Franchise YY dengan cara namun tidak terbatas pada melakukan presentasi analisa investasi dan penjelasan lainnya, membayar uang sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) ditambah biaya survey yang harus dibayarkan oleh pihak kedua sebagai commitment fee yang berfungsi untuk mengunci lokasi yang dipilih dan sebagai bukti keseriusan. 2. apabila pihak kedua telah memilih lokasi, maka biaya kemitraan tahap kedua harus dibayarkan yaitu sebesar Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah) pada saat pihak kedua menandatangani perjanjian ini. 3. sisanya sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) harus dibayarkan pada saat pembukaan outlet Franchise YY . Pihak kedua akan mendapatkan peralatan-peralatan dan fasilitas-fasilitas dari pihak pertama sebagai berikut: Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
1. bahan baku awal (bakso 900 pentol) 2. mendapatkan paket perlengkapan penjualan bakso: a.
Outlet gerobak
1 buah
b.
Neon box
1 buah
c.
Dandang besar
1 buah
d.
Dandang sedang
1 buah
e.
Centong
1 buah
f.
Mangkok
2 lusin
g.
Sendok
2 lusin
h.
Garpu
2 lusin
i.
Botol saus
3 buah
j.
Botol kecap
3 buah
k.
Tempat cabe
2 buah
l.
Pena/ ballpoint
1 buah
m.
Nota order
1 buah
n.
Form penjualan harian
1 buah
o.
Nota stok opname
1 buah
p.
Kalkulator
1 buah
q.
Seragam
4 buah
r.
Pengait serbet
2 buah
s.
Kain serbet
4 buah
t.
Klem selang gas
1 buah
u.
Regulator LPG
1 buah
v.
Selang gas 1,5 meter
1 buah
w.
Tempat sendok
1 buah
x.
Tempat tisu
1 buah
y.
Tisu
1 buah
z.
Ember
2 buah
aa.
Tempat sabun cair
1 buah
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
bb.
Sabun cuci cair
1 buah
cc.
Spon cuci
1 buah
dd.
Cairan pembersih kaca
1 buah
ee.
Pembersih botol
1 buah
ff.
Plastik 1 kg
1 Kg
gg.
Plastik kecil
1 pack
hh.
Tempat bawang
1 buah
ii.
Tempat daun sledri
1 buah
jj.
Saringan
1 buah
kk.
Karet gelang
1 pack
ll.
Tusuk gigi
1 pack
mm. Kursi plastik
1 lusin
nn.
Kompor
1 buah
oo.
Plastik putih 2 kg
1 pack
pp.
Plastik putih 3 kg
1 pack
qq.
Alas mangkok
2 lusin
rr.
Keranjang mie
2 lusin
Peralatan-peralatan utama sebagaimana tersebut pada butir a, b, c, d, e, f, t, u, v, w, z, nn, dan qq di atas adalah milik pihak pertama dan hanya disediakan sekali selama masa perjanjian. Selama penggunaannya pihak kedua berwajiban untuk merawat sebaik-baiknya dan dikembalikan kepada pihak pertama dengan berakhirnya perjanjian. Fasilitas yang harus disediakan oleh pihak kedua (Mitra) adalah:
Tempat usaha
Peralatan outlet tambahan
SDM/ Karyawan
Dan hal-hal lain yang diperlukan yang tidak disediakan oleh pihak pertama sebagaimana tersebut diatas (butir a s.d. rr).
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB VI Sanksi dan Perselisihan Pasal 1 Apabila pihak kedua melanggar isi perjanjian kerjasama ini maka pihak pertama dapat menjatuhkan sanksi/ denda/ pemutusan kerjasama secara sepihak.
Pasal 2 1. Segala perselisihan, pertentangan atau perbedaan yang mungkin timbul dikemudian hari sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah. 2. Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak dapat tercapai kesepakatan, para pihak setuju untuk memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Medan.
BAB VII Penambahan, Peralatan dan Perabotan Pasal 1 kewajiban pihak kedua atas biayanya sendiri akan memberlakukan peningkatanpeningkatan penyewaan dan memasang tenda, gambar-gambar, perabotan, furniture dan peralatan di restaurant sebagaimana yang diperlukan, pihak pertama dapat membantu dalam pengadaan peralatan dan perabotan dengan beban biaya pihak kedua.
BAB VIII Royalti Pasal 1 Pihak kedua harus membayar royalti kepada pihak pertama dengan segera ketika telah jatuh tempo, dengan ketentuan sebagai berikut:
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Pihak kedua tidak diwajibkan membayar royalti dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari pertama
Pihak kedua diwajibkan membayar royalti apabila omset penjualan telah mencapai titik impas (break event point)
Besarnya royalti adalah 2 % (dua persen) dari nilai penjualan kotor
BAB IX Laporan Pasal 1 Pihak kedua berkewajiban untuk melaporkan laporan rugi laba outlet Franchise YY yang dibuka oleh pihak kedua, yang akan diserahkan oleh pihak kedua pada pihak pertama sebelum tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya dan akan disertai penyertaan bukti struk laporan bulanan.
BAB X Keadaan Memaksa/ Force Majeure Pasal 1 Apabila terjadi hal-hal yang timbul karena keadaan memaksa (force majeure) pada salah satu pihak yang mengakibatkan terlambatnya pelaksanaan perjanjian ini, maka pihak yang mengalami force majeure akan memberitahukan kepada pihak lainnya dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak terjadinya keadaan force majeure dimaksud dengan dilengkapi keterangan tertulis dari pejabat yang berwenang. Yang termasuk dalam keadaan force majeure adalah antara lain perang, huru-hara, sabotase, pemogokan, kebakaran, bencana alam, epidemi dan diberlakukannya peraturan pemerintah yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian ini. Dalam waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan keadaan force majeure tersebut di atas, maka para pihak akan mengadakan perundingan mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian yang tertunda karena keadaan force majeure tersebut Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
BAB XI Perjanjian Secara Menyeluruh Pasal 1 Yang bertandatangan di bawah ini mengakui bahwa mereka dan masing-masing di antaranya telah membaca perjanjian ini sepenuhnya, telah mengetahui satu dengan yang lainnya, ketentuan dan ketetapan-ketetapannya dan dapat menyetujuinya; bahwa tidak ada pernyataan atau perjanjian, baik lisan maupun tulisan, kecuali sebagaimana yang ditetapkan selanjutnya telah dibuat; bahwa tanda tangan-tanda tangan yang dibubuhkan dalam perjanjian ini, dibubuhkan sebagai tindakan sukarela dari orang yang menandatangani perjanjian ini dan bahwa ketentuan dan syarat-syarat dari perjanjian kemitraan tidak dapat diubah atau dimodifikasi, kecuali dibuat secara tertulis yang ditandatangani oleh para perwakilan resmi dari pihak pertama. Yang bertandatangan di bawah ini menyadari bahwa tidak ada jaminan keberhasilan karena kemampuan bisnis pihak pertama.
BAB XII Lain-lain Pasal 1 Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian oleh para pihak secara musyawarah dan mufakat dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini. Demikianlah apa yang telah dikemukakan di atas, para pihak telah menyebabkan perjanjian ini ditandatangani sepenuhnya pada …/…/… oleh dan antara Franchise YY, yang berkedudukan di Jl. ABC dengan Pihak Kedua.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009
Franchise YY
TUAN A Direktur Komersial
Mitra Dagang (Pihak Kedua)
………………………… Franchisee Franchise YY
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia, 2009