KEDUDUKAN DIREKSI DALAM HAL TERJADINYA BENTURAN KEPENTINGAN DALAM SUATU PERUSAHAAN
TESIS Oleh LINDA MARIETHA SEMBIRING 057011048/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
KEDUDUKAN DIREKSI DALAM HAL TERJADINYA BENTURAN KEPENTINGAN DALAM SUATU PERUSAHAAN
TESIS
Oleh LINDA MARIETHA SEMBIRING 057011048/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
KEDUDUKAN DIREKSI DALAM HAL TERJADINYA BENTURAN KEPENTINGAN DALAM SUATU PERUSAHAAN
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh LINDA MARIETHA SEMBIRING 057011048/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Telah diuji pada Tanggal 18 Pebruari 2008 ____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Sunarmi, S.H.,M.Hum Anggota
:
1. Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H.,M.S.,C.N 2. Dr. T. Keizerina Devi A, S.H.,C.N.,M.Hum 3. Hj. Chairani Bustami S.H.,Sp.N.,MK.n 4. Syafnil Gani, S.H.,M.Hum
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik guna memenuhi salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul “Kedudukan Direksi Dalam Hal Terjadinya Benturan Kepentingan Dalam Suatu Perusahaan “. Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah Penulis mengucapkan teimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H.Sp.A(K), Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B. M.sc, dan Ketua Program Studi Kenotariatan Bapak Prof. Dr. M. Yamin Lubis, S.H., MS., CN, serta guru besar dan staf pengajar Program Studi Magister Kenotariatan yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi hari depan Penulis. 2. Ibu Dr. Sunarmi, S.H.,M.Hum, Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H.,M.S.,C.N.,dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H.,C.N.,M.Hum., selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing Penulis dalam penyelesaian tesis ini.
3. Bapak Notaris Syafnil Gani, S.H.,M.Hum., dan Ibu Hj. Chairani Bustami S.H.,Sp.N.,MKn., selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Para Staf administrasi di lingkungan Pascasarjana Magister Kenotariatan yang telah bersedia meluangkan waktu nya untuk membantu saya menyelesaikan segala hal yang berhubungan dengan penyusunan tesis ini. 5. Terlebih kepada kedua orang tua, saudara-saudaraku, serta teman-teman yang telah banyak memberikan dorongan dan bantuan baik moril, materil maupun spirituil dalam menyelesaikan studi Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi kemajuan kita bersama. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Penulis dan kita semua, atas perhatiannya di ucapkan terima kasih.
Medan,
Maret 2008
Penulis
Linda Marietha Sembiring
ABSTRAK
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Adapun organ PT adalah Direksi, Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham. Direksi adalah organ perseroan pemegang kekuasaan eksekutif di perseroan. Direksi mengendalikan operasi perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Lahirnya peraturan mengenai benturan kepentingan (conflict of interest) merupakan respon terhadap adanya prinsip good corporate governance yang menghormati hak pemegang saham, memberikan perlakuan yang sama di antara pemegang saham dan melindungi pemegang saham atas adanya kolusi dalam organ perusahaan yang didasarkan pada kewenangan dan tidak transparannya proses pengambilalihan keputusan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas yang menjadi objek permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana kedudukan Direksi dalam hal terjadinya benturan kepentingan transaksi tertentu dengan perseroan dan bagaimana tindakan Direksi yang termasuk dalam kategori transaksi yang berbenturan kepentingan dengan perseroan serta bagaimana upaya mengatasi terjadinya benturan kepentingan Direksi dengan perseroan. Dalam rangka membahas masalah tersebut penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif .Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan berupa penelitian kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini. Selanjutnya dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa Kedudukan Direksi perseroan sebagai pemegang fiduciary duties dari para pemegang saham perseroan, bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan yang ditentukan Anggaran Dasar perseroan. Adapun transaksi-transaksi yang masuk dalam kategori transaksi yang mengandung benturan kepentingan adalah seperti self dealing, corporate opportunity, insider trading. Dalam hal mengatasi terjadinya benturan kepentingan diperlukan pengaturan-pengaturan hukum mengenai transaksi yang mengandung benturan kepentingan antara Direksi dengan perusahaan. Selanjutnya dari tesis ini penulis berkesimpulan bahwa kedudukan Direksi perusahaan sebagai pemegang fiduciary duties dari para pemegang saham perseroan, bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan, dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan Anggaran Dasar perseroan dan peraturan Perundang-Undangan, yang berlandaskan norma yang berlaku. Transaksi self dealing, corporate opportunity, insider trading adalah merupakan bentuk transaksi yang mengandung benturan kepentingan, artinya terjadi benturan kepentingan antara Direksi secara pribadi dalam mengadakan transaksi dengan PT, untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) antara Direksi dengan perseroan diperlukan upayaupaya untuk itu, seperti pengaturan benturan kepentingan yang diperjelas diberbagai Undang-Undang, penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang fairness, transparancy, accontability`dan responsibility juga pelaksanaan dan peranan code of conduct pada perusahaan yang merupakan bagian penting dari kerangka corporate governance yang memberikan dasar untuk merumuskan kebijakan, sistem dan prosedur perusahaan. Disarankan agar dalam hal untuk medorong efektifitas Direksi, diperlukan pemahaman dalam pelaksanaan good corporate governance dan code of conduct yang efektif dan harus dipatuhi oleh seorang Direksi dalam mengemban amanah yang diberikan perseroan kepada Direksi, sehingga seorang Direksi dapat terhindar dari benturan kepentingan dengan perusahaan. Hal-hal yang substansi dalam benturan kepentingan adalah mengenai pengaturannya oleh karena itu perlu suatu pembaharuan hukum yang mengatur secara langsung tentang benturan kepentingan, sehingga terdapat pedoman yang dijadikan acuan bagi seorang Direksi dalam menjalankan perusahaan.
Kata kunci
: Benturan kepentingan; Direksi; Perseroan Terbatas
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK .............................................................................................. ............... i ABSTRACT ………………................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................ v RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... . vii DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ x DAFTAR ISTILAH ............................................................................................... xi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...............................................................................
1
B. Perumusan Masalah .......................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
9
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10 E. Keaslian Penulisan ......................................................................... 11 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ........................................................ 12 1. Kerangka Teori............................................................................ 12 2. Kerangka Konsepsi ..................................................................... 20 G. Metode Penelitian ........................................................................... 24 1. Sifat Penelitian ......................................................................... 24 2. Jenis Penelitian ......................................................................... 25 3. Alat Pengumpulan Data ........................................................... 25 4. Analisis Data ............................................................................ 27
BAB II
KEDUDUKAN DIREKSI DALAM PERUSAHAAN A. Kedudukan Direksi Dalam Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007................................................................................................. 28
B. Tugas Dan Tanggung Jawab Direksi Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ...... 33 C. Tugas Dan Tanggung Jawab Direksi Kepada Pihak Ketiga............ 35 D. Tanggung Jawab Internal Direksi Terhadap Perseroan Dan Pemegang Saham. .......................................................................... 37 E. Tanggung Jawab Eksternal Direksi Terhadap Pihak Ketiga Yang Berhubungan Dengan Perseroan ..................................................... 42
BAB III
TINDAKAN
YANG
TERMASUK
DALAM
BENTURAN
KEPENTINGAN DIREKSI DENGAN PERUSAHAAN A. Transaksi Untuk Pribadi (Self Dealing) .......................................... 51 B. Transaksi Kesempatan Perseroan (Corporate Opportunity)........... 59 C. Transaksi Orang Dalam (Insider Trading)……………………...... 66
BAB IV
UPAYA
MENGATASI
TERJADINYA
BENTURAN
KEPENTINGAN A. Pengaturan Benturan Kepentingan (Conflict of Interest) ………... 68 B. Prinsip Good Corporate Governance(GCC) ................................. 75 C. Prinsip Fiduciary Duty yang diemban Direksi …………………... 84 D. Duty Of Care and Loyality ............................................................. 109 E. Code of Conduct ............................................................................. 113
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................... 119 B. Saran ............................................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 121
DAFTAR ISTILAH
Artificial person Benefeciary Best Interest Business Judgement Rule
Chairman Code of conduct Conflict of interest Constituences Corporate Opportunity Corporate shield De Regard Decision Market Derivative action Directory Doctrinal research Dubius Due care Duty of care Duty of loyality Duty of Skill Exclusive authorities Emiten Equilibrium Fiduciary duty
Fiduciary relationship Fraud For cause and no cause Good Corporate Governance Good faith
: Manusia Semu : Pihak yang memberikan kepercayaan yang harus dipegang untuk kepentingannya. : Yang terbaik bagi perseroan : Keputusan bisnis oleh Direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun meskipun putusan tersebut salah atau merugikan perseroan : Presiden Komisaris : Pedoman prilaku yang mengedepankan etika profesi : Konflik kepentingan : Pihak berkepentingan : Oportunitas perseroan : Tirai perusahaan : Penghormatan yang baik : Pengambil keputusan : Gugatan derivatif dalam perseroan terbatas : Pedoman : Penelitian doktrinal : Penafsiran mendua : Kehati-hatian : Kewajiban untuk berhati-hati : Kewajiban untuk loyal : Kewajiban memiliki keahlian : Wewenang eksklusif : Mengirim (uang) : Keseimbangan : Prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepada orang atau pihak lain (perseroan) kepada Direksi baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari perseroan : Hubungan berdasarkan kepercayaan : Kecurangan : Dengan atau tanpa menunjukkan alasan pemberhentian : Pengelolaan perusahaan yang baik : Itikad baik
Gross regligence Guardian Go public High degree of good faith Insider trading Joint Ventura Law as it is decided by the judge through judicial process Law as written in the book Legal entity Liability promotors Library research Limited liability Mandatory Mandatory element Personal standi in judicio Piercing the corporate veil Primary right Proper purpose Rational basis Reasonable belief Recht person Self dealing Sense of business Shadow Director Stakeholder Secret Profits Second Guess Top management Ultra vires Willful refusal
: : : :
Kelalaian berat Perwalian Terbuka untuk umum sahamnya Wajib mempunyai itikad baik yang tinggi dalam menjalankan tugas. : Transaksi orang dalam : Kerjasama dengan penanaman modal : Hukum yang muncul dari proses pengadilan : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Hukum sebagaimana yang tertulis Badan hukum Tanggung jawab promotor perseroan Penelitian kepustakaan Tanggung jawab terbatas Kewajiban Unsur wajib Subyek hukum mandiri Penyingkapan tirai perusahaan Hak utama Tujuan yang tepat Dasar-dasar yang rasional Cara yang layak dipercaya Badan hukum Transaksi dengan perseroan Pertimbangan bisnis Direktur bayangan Pihak yang berkepentingan Keuntungan rahasia diketahui sendiri Pendapat (tebakan) kedua Dewan Direksi Tindakan Direktur di luar kewenangannya Dengan sengaja tanpa alasan yang sah
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada awalnya dalam salah satu ketentuan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing mensyaratkan atau mengharuskan bagi seseorang yang ingin mengembangkan usaha atau melakukan suatu kegiatan usaha di Indonesia, baik itu merupakan kerja sama dengan modal dalam negeri (joint ventura) ataupun murni dari modal asing, maka bentuk badan usahanya adalah Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat dengan PT). Di samping itu, ternyata para usahawan dalam negeri banyak juga yang memilih bentuk PT dalam melakukan aktivitas usahanya, karena itu pertumbuhan dan pertambahan badan usaha yang berbentuk PT semakin hari semakin meningkat jumlahnya. 1 Peningkatan tersebut sangat beralasan karena PT mempunyai karakteristik yang berbeda dari badan usaha dalam bentuk lain. PT sebagai badan usaha merupakan badan hukum, artinya bahwa PT merupakan subjek hukum yang tidak beda dengan orang yang mampu mendukung hak dan kewajibannya, dan mampu mengembangkan dirinya sebagai institusi yang mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari pengurus dan pemegang sahamnya. Di samping itu juga mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di muka pengadilan sebagaimana subjek hukum orang, pada dasarnya eksistensi PT sebagai subjek hukum diakui dalam lalu lintas hukum. Dari sisi ekonomi, PT sebagai organisasi ekonomi 1
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. Hal 2.
yang mempunyai kedudukan sebagai badan hukum, mempunyai peluang yang sangat besar untuk dapat memanfaatkan potensi sumber dana masyarakat melalui mekanisme pasar modal. Dengan demikian, badan usaha yang berbentuk PT adalah merupakan wahana yang tepat untuk mendapatkan laba.2 Perangkat hukum yang mengatur perusahaan berbentuk badan hukum “Perseroan Terbatas” atau Limited Liability Company di Indonesia, 3 pada awalnya diatur oleh ketentuan Pasal 36 sampai Pasal 56 Buku I Titel III Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD), yang merupakan terjemahan dari Wetboek Van Koophandel, Staatsblad 1847:23 dan segala perubahannya. Kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 dan posisinya digantikan oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang lahir dan disahkan/diundangkan tanggal 7 Maret 1995 dan berlaku tanggal 7 Maret 1996, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 4 . Dalam pelaksanaannya masih berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru menurut UUPT ini. Selanjutnya dalam tesis ini untuk membedakan penulisan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, disingkat UUPT No. 1 Tahun 1995 dan UUPT No. 40 Tahun 2007.
2
Ibid Istilah Perseroan Terbatas atau Limited Liability Company untuk selanjutnya disingkat dengan
3
inisial “PT”. 4
Undang-undang No. 40 Tahun tentang Perseroan Terbatas untuk selanjutnya disingkat dengan inisial
“UUPT”.
Secara aktual UUPT tersebut telah mengambil unsur-unsur yang berlaku selama ini dalam KUHD yang mengatur tentang PT. Hal-hal yang sudah berlaku dalam praktek selama ini, yang dipandang unsur-unsur baru, sebenarnya sudah lama dikenal dalam hukum perseroan di berbagai negara, baik negara-negara yang menganut sistim common law maupun civil law. Jika dikaji secara lebih mendalam mengenai UUPT, maka dapat dipahami bahwa UUPT tersebut telah memuat lebih jelas jika dibandingkan dengan pengaturannya dalam KUHDagang. Misalnya terdapat tindakan Direksi dalam hal pelanggaran tanggung jawab berdasarkan fiduciary duty oleh Direksi, khususnya yang berkaitan dengan transaksi yang berbenturan kepentingan antara perseroan dengan Direksi. Dikatakan Undang - undang Perseroan Terbatas tidak secara tegas menganut prinsip fiduciary duty karena adanya Dewan Komisaris yang dapat sewaktu-waktu memberhentikan Direksi. Sementara dalam sistem hukum Anglo Saxon tidak dikenal adanya Dewan Komisaris 5 . Transaksi self dealing adalah transaksi antara perseroan dengan Direksi, yang dalam sejarah hukum mengandung unsur benturan kepentingan yang terjadi karena kepentingan Direktur atau Komisaris terlibat secara bersama-sama dengan kepentingan PT. Artinya terjadi benturan kepentingan antara Direktur atau Komisaris secara pribadi dalam mengadakan transaksi dengan PT. Dalam hal ini Direktur atau Komisaris menguntungkan diri mereka sendiri dan PT dirugikan. Seharusnya Direktur atau Komisaris tidak mengambil keuntungan yang tersembunyi dalam model transaksi PT di 5
Erman Rajagukguk, “Pembaharuan Hukum Perusahaan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Makalah disampaikan pada Lokakarya “Pembangunan Hukum Perusahaan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Sekolah Tinggi Hukum Swadaya, (Medan, 25 Juli 1995), hal. 1.
atas ini tetapi harus mengadakan transaksi yang fair dalam PT, karena keuntungan itu seharusnya diambil demi kepentingan PT 6 . Contoh dari transaksi dengan conflict of interest adalah apa yang dikutip dari doktrin corporate opportunity. Menurut doktrin ini seorang Direktur, demikian juga organ perusahaan lainnya , tidak diperbolehkan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya. Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan kesempatan (opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, Direksi tidak boleh mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya karena kesempatan tersebut seyogyanya diberikan untuk perusahaan (PT). Dengan perkataan lainnya, sebenarnya oportunitas perseroan tidak lain dari suatu hak, kepemilikan, kepentingan atau suatu harapan yang menurut sendi-sendi keadilan merupakan milik dari perseroan. Adapun contoh lain dari aplikasi doktrin corporate opportunity adalah jika Direktur karena kedudukannya mengetahui bahwa usaha dari perusahaan (PT) akan diperluas, karena itu dia membeli untuk pribadinya lebih dahulu tanah di lokasi yang bersebelahan dan kemudian menjualnya lebih mahal kepada PT. Berdasarkan doktrin corporate oppurtunity, maka motif yang diperoleh Direktur semestinya hak dari PT, sehingga Direktur harus mengembalikannya kepada PT tersebut. Apabila pihak Direksi melakukan transaksi untuk dirinya sendiri, padahal transaksi tersebut sepantasnya dilakukannya untuk perseroan atau informasi mengenai transaksi
6
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia (Bandung : PT.Citra aditya bakti, 2002) hal 207 (selanjutnya disebut Munir Fuady I)
tersebut didapatkannya dalam kedudukannya sebagai Direksi, maka Direksi yang demikian telah melanggar prinsip conflict of interest.7 Namun perlu mendapat perhatian dalam menentukan standar tanggungjawab conflict of interest antara Direksi/ Komisaris dengan PT, baik dalam self dealing maupun corporate opportunity, karena banyak kasus yang dibuat menentukan standar tanggungjawab Direktur atau Komisaris dalam conflict of interest tersebut dalam konteks ini yang menarik perhatian kasus di Belanda dalam Arrest Forumbankarrest tanggal 21 Januari 1955. Dalam arrest tersebut ditegaskan bahwa selama Direksi melakukan kewajibannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya yang diberikan oleh Undang-Undang dan anggaran dasar, maka Direksi tidak perlu mengindahkan instruksi RUPS, Dewan Komisaris atau instansi manapun, kecuali apabila pertimbangan (judgement) tersebut didasarkan suatu kecurangan
(fraud), atau
menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Di Indonesia pemagaran yuridis masalah corporate opportunity dapat dikaitkan pengaturannya dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Yang jika dikaitkan pengaturannya, maka Direktur harus bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya kepada perusahaan. Standar duty of care Direktur di sini adalah kesengajaan dan kekurang hati-hatian (kelalaian). Hal ini sesuai dengan telah adanya 7
Munir Fuady I, Ibid, hal. 224
penafsiran yang luas mengenai Onrecht matige daad setelah adanya putusan Hoge Raad dalam putusan kasasi tanggal 31 Januari 1919 (Drukker-arrest), merumuskan perbuatan melanggar hukum adalah suatu perbuatan atau tidak perbuatan yang baik melanggar hak orang lain, maupun bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, atau pun melanggar kesusilaan, kepatutan dalam pergaulan di dalam masyarakat mengenai orang lain atau benda milik orang lain. 8 Seiring dengan perkembangan zaman terlebih pada era globalisasi saat ini, dimana dibutuhkan kecepatan dan ketetapan dalam bertindak dan mengambil peluang-peluang bisnis yang ada. Hal ini dikarenakan tingkat kompetitif yang tinggi dalam melihat peluang bisnis, maka peluang dan kesempatan ini diharapkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan. Kondisi tersebut membawa kepada suatu permasalahan karena bukan tidak mungkin tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan baik perseroan maupun perusahaan publik dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara kepentingan pribadi Direksi dengan kepentingan perusahaan yang diberi tugas dan tanggung jawab oleh perusahaan untuk mengelola perusahaan. Transaksi Benturan Kepentingan terdiri atas 2 (dua) unsur yaitu Transaksi dan Benturan Kepentingan. Transaksi sebagai “aktivitas atau kontrak dalam rangka memberikan dan atau mendapat pinjaman, memperoleh, melepaskan, atau menggunakan aktiva, jasa, atau efek suatu perusahaan atau mengadakan kontrak sehubungan dengan aktivitas tersebut”. Dari definisi di atas,
8
Bismar Nasution, Diktat Hukum Perusahaan, Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, 2005, hal 41-42.
dapat terlihat bahwa pengertian “Transaksi” adalah sangat luas karena pada prinsipnya meliputi pemberian jaminan, pinjaman hutang, jasa, akuisisi atau penjualan aktiva. Sedangkan Benturan Kepentingan didefinisikan sebagai “perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi Direktur, Komisaris, Pemegang Saham utama perusahaan, atau Pihak Terafiliasi dari Direktur, Komisaris, atau Pemegang Saham Utama”. 9 Lahirnya peraturan mengenai benturan kepentingan (conflict of interest) merupakan respon terhadap adanya prinsip good corporate governance yang menghormati hak pemegang saham, memberikan perlakuan yang sama diantara pemegang saham dan melindungi kepentingan pemegang saham yang akan menimbulkan keuntungan pihak-pihak tertentu, karena adanya kolusi yang didasarkan pada kewenangan dan tidak transparannya proses pengambilalihan keputusan. Hal ini terjadi karena latar belakang budaya perusahaan yang berasal dari perusahaan keluarga yang membesar menjadi konglomerasi makin membuka kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan yang mengadung konflik kepentingan (conflict of interest), Perilaku kolutif di dunia bisnis sering terjadi. Hal ini sebagai akibat tumbuh, berkembang dan besarnya suatu perusahaan sebenarnya tidak ditopang oleh suatu sikap yang benar. Krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memperlihatkan bukti itu. Perusahaan-perusahaan besar yang dulu begitu kuat, ternyata hancur oleh sistem pengelolaan yang tidak baik, misalnya penggunaan dana untuk investasi jangka panjang sementara dana itu diperlukan perusahaan untuk 9
Munir Fuady I, Op. Cit, Hal 62
kegiatan jangka pendek, pengucuran dana yang berlebihan kepada perusahaan yang dalam satu kelompok 10 . Untuk menghindari kerugian akibat transaksi yang mengandung benturan kepentingan antara Direksi dengan perseroan, maka Badan Pengawas Pasar Modal dapat mewajibkan emiten dan perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila emiten atau perusahaan publik tersebut berbenturan dengan kepentingan ekonomis pribadi Direktur, Komisaris, atau Pemegang Saham Utama emiten atau perusahaan. Peraturan ini diatur dalam Pasal 82 ayat (2) Tentang Pasar Modal. Keharusan persetujuan pemegang saham independen dipertegas kembali dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal Nomor IX.E.I tentang benturan kepentingan transaksi tertentu. Implementasi ketentuan tersebut mengindikasikan Badan Pengawas Pasar Modal masih terkesan kurang tegas dalam menegakkan peraturan tentang benturan kepentingan transaksi tertentu di pasar modal. Hal ini antara lain dapat dilihat dari kesamaan besarnya sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang diberikan kepada perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut, padahal nilai nominal pelanggaran yang dilakukan sangat bervariasi. Hal lainnya tidak semua Direksi maupun Komisaris yang terlibat benturan kepentingan transaksi tertentu dikenakan sanksi.11
10 M.Irsan Nasarudin, - Indah Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta , Prenada Media, 2004 hal. 244. 11 Ibid, hal. 245.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis memilih judul Kedudukan Direksi Dalam Hal Terjadinya Benturan Kepentingan Dalam Suatu Perusahaan dalam penulisan tesis penulis.
B. Perumusan Masalah Sesuai dengan judul tesis ini, yaitu “Kedudukan Direksi Dalam Hal Terjadinya Benturan Kepentingan Dalam Suatu Perusahaan,“ maka penulis merumuskan apa yang menjadi permasalahan terhadap tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan Direksi dalam hal terjadinya benturan kepentingan transaksi tertentu dengan perseroan ? 2. Bagimanakah tindakan Direksi yang termasuk dalam kategori transaksi yang mengandung benturan kepentingan dengan perseroan ? 3. Bagaimana upaya mengatasi terjadinya benturan kepentingan Direksi dengan perseroan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang akan menjadi objek pembahasan dalam penelitian ini, diharapkan mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut : 1. Untuk dapat mengetahui kedudukan Direksi baik hak, tanggung jawab, kewajiban Direksi dalam perusahaan secara umum dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
2. Untuk mengetahui tindakan yang termasuk dalam transaksi yang mengandung benturan kepentingan Direksi dengan perseroan 3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan apabila terjadi benturan kepentingan transaksi tertentu antara Direksi dengan perseroan
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Secara teoritis, diharapkan pembahasan terhadap masalah-masalah yang akan dibahas akan melahirkan pemahaman dan pandangan baru tentang tindakan Direksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perseroan terbatas maupun dalam pasar modal. Seperti yang telah di ketahui bersama bahwa tindakan yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest) dapat meyebabkan kerugian salah satu pihak, karena adanya unsur kolusi dan pelanggaran prinsip keterbukaan informasi, dimana prinsip keterbukaan merupakan salah satu hal yang penting dimana dituntut terbuka dalam hal pengaturan perusahaan dalam rangka globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Sehingga pada akhirnya dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya serta dapat meningkatkan dan membangun kembali perekonomian Indonesia yang terpuruk setelah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan agar dengan adanya pembahasan mengenai kedudukan Direksi dalam
hal terjadinya benturan kepentingan transaksi tertentu dalam tesis ini maka pembaca semakin mengetahui tentang pengaturan mengenai benturan kepentingan transaksi tertentu (conflict of interest) dalam perusahaan 2. Secara Praktis Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan praktisi yang bergerak dalam perusahaan tidak terlepas bagi Direksi perusahaan sehingga dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam menentukan kebijakan dalam menjalankan perusahaannya, bagi kalangan akademisi
dapat
menambah
wawasan
pengetahuan
mengenai
benturan
kepentingan (conflict of interest), khususnya tentang kedudukan Direksi dalam suatu perusahaan.
E. Keaslian Penulisan Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan penelusuran data tentang “Kedudukan Direksi Dalam Hal Terjadinya Benturan Dalam Suatu Perusahaan “ dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai judul di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya. Kalaupun terdapat kemiripan dalam penelitian ini namun tidak dengan substansi dari penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 12 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.
13
Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran/ butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 14 Dalam Pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang selanjutnya disingkat KUHD yang mengatur PT, tidak ditemukan pengertian PT, akan tetapi dari Pasal 3, 40, 42 dan 45 KUHD dapat disimpulkan bahwa suatu PT mempunyai unsurunsur sebagai berikut : 1. Adanya kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi masing-masing pendiri perseroan terbatas (pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah modal sebagai jaminan bagi semua perikatan PT. 2. Adanya pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya. Rapat Umum Pemegang Saham sebagai organ perseroan terbatas yang memegang kekuasaan yang tertinggi dalam PT, yang berwenang mengangkat, memberhentikan sementara atau memberhentikan Direksi dan Komisaris, menetapkan kebijakan umum perseroan terbatas yang
12
J.J.J.M.Miswan, Penelitian IlmuIlmu Social, Asas-Asas, Penerbit : M.Hisyam, Jakarta, 199,
hal.203 13 14
Ibid M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27
akan dijalankan oleh Direksi dan menetapkan kewenangan atau hal-hal lainnya yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris. 3. Adanya pengurus yang dinamakan dengan Direksi, Komisaris adalah merupakan organ perseroan terbatas, yang tugas dan kewenangan dan kewajibannya diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar PT atau Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat dengan RUPS. Berbeda dengan Pasal 1 ayat (1) UU PT Nomor 40 Tahun 2007, “ Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan
pelaksanaannya”. Berdasarkan pengertian UUPT, maka sebagai badan hukum perseroan harus memenuhi unsur-unsur adalah : 15 a. Badan Hukum Setiap perseroan adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasal yang menyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perseroan adalah badan hukum.
15
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 66
b. Didirikan berdasarkan perjanjian Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, maksudnya harus ada sekurang-kurangnya dua orang yang sepakat mendirikan perseroan, yang dibuktikan secara tertulis yang tersusun dalam bentuk Anggaran Dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian perseroan, yang dimuat dihadapan Notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Ketentuan ini adalah asas dalam pendirian perseroan. c. Modal Dasar Setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter, dalam bahasa inggris disebut authorized. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan sebagai badan hukum, yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, pemegang saham. Menurut Pasal 32 ayat (1) UUPT Nomor 40 tahun 2007, modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). d. Memenuhi persyaratan Undang-undang Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-undang perseroan dan peraturan pelaksanaannya.. Perseroan terbatas pada zaman Hindia Belanda dikenal dengan nama “Naamloze Vennootshap”, yang berarti “tanpa nama” maksudnya dalam hal pemberian nama perusahaan tidak memakai salah satu nama anggota persero,
melainkan menggunakan nama perusahaan berdasarkan tujuan dari usahanya 16 sedangkan pada istilah di Inggris yang isinya hampir mendekati dengan istilah perseroan terbatas yaitu “Company limited by shares”. Perseroan terbatas di negaranegara seperti Jerman, Australia, dan Swiss disebut Aktiengesellschaft dan di Perancis disebut “Societe anonyme”. 17 . Bentuk PT adalah salah satu usaha yang paling banyak dipergunakan dalam dunia usaha di Indonesia, karena mempunyai sifat atau ciri yang khas yang mampu memberikan manfaat yang optimal kepada usaha itu sendiri sebagai asosiasi modal untuk mencari untung dan laba. 18 Perusahaan tertutup adalah suatu perseroan terbatas yang saham-sahamnya masih dipegang oleh beberapa orang/ perusahaan saja, sehingga jual beli sahamnya dilakukan dengan cara yang ditentukan oleh Anggaran Dasar perseroan, yang pada umumnya diserahkan kepada kebijaksanaan pemegang saham yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan perseroan terbuka adalah suatu perseroan terbatas yang modal dan sahamnya telah memenuhi syarat-syarat tertentu, dimana sahamsahamnya dipegang oleh banyak orang/ banyak perusahaan, yang penawaran sahamnya dilakukan kepada publik/ masyarakat sehingga jual beli sahamnya dilakukan melalui pasar modal. Salah satu ciri dari perusahaan terbuka adalah perlunya keterbukaan (disclosure) atas informasi perusahaan kepada publik, sehingga
16
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perseroan Terbatas, Alumni, Bandung, 2004, hal 47 Purwosutjipto dalam Rachmadi Usman, ibid, hal. 47 18 I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2000, hal 142 17
hukum pun mengatur masalah perusahaan terbuka, termasuk tentang keterbukaan informasi secara sangat detail. 19 . Suatu perusahaan terbuka dapat berupa emiten atau perusahaan publik. Yang dimaksud dengan emiten adalah suatu perusahaan terbuka di mana proses menjadi perusahaan terbuka dilakukan dengan jalan melakukan penawaran sahan-sahamnya kepada publik lewat suatu penawaran umum. Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan publik adalah suatu perusahaan yang menjadi perusahaan terbuka tanpa lewat proses penawaran umum, tetapi dengan sendirinya perusahaan tertutup kemudian memiliki pemegang saham yang banyak, misalnya dengan warisan saham, jual beli, hibah saham kepada banyak orang. Kepada perusahaan publik ini juga berlaku banyak persyaratan yang sama dengan emiten, seperti kewajiban keterbukaan informasi, kewajiban pendaftaran ke Bapepam, atau kewajiban pencatatan saham. 20 . PT dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu : 1. PT Tertutup adalah sebagaimana yang diatur dalam UUPT yaitu badan hukum yang
merupakan
persekutuan
modal,
didirikan
berdasarkan
perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. PT tertutup merupakan suatu perseroan yang belum pernah menawarkan sahamnya kepada publik melalui penawaran umum. 19 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata BisnisModern di Era Global, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2002, hal 51(selanjutnya disebut Munir Fuady II) 20 Ibid,hal. 52
2. PT Terbuka menurut UUPT Pasal 1 ayat (7) dan ayat (8) UUPT No. 40 tahun 2007 adalah Perseroan Publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Perseroan Publlik adalah perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. PT Terbuka atau Perusahaan Go Public berdasarkan Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 tahun 1995, yang selanjutnya disebut UUPM. Undang-undang Pasar Modal memberikan batasan dalam Pasal 1 ayat (22) bahwa perusahaan publik adalah “PT yang sahamnya dimiliki sekurang-kurangnya Rp. 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal setor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan peraturan pemerintah” Direksi merupakan suatu organ yang di dalamnya terdiri dari satu atau lebih Direktur. Dalam hal perseroan memiliki lebih dari satu orang Direktur dalam Direksi, maka salah satu anggota Direkturnya diangkat sebagai Direktur Utama. 21 Direksi adalah organ perseroan pemegang kekuasaan eksekutif di perseroan. Direksi mengendalikan operasi perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh UUPT, anggaran dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Tugas dan fungsi utama Direksi adalah menjalankan roda manajemen
21
hal.97
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
perseroan secara menyeluruh. Dengan demikian, setiap anggota Direksi haruslah orang yang berwatak baik, berpengalaman, mempunyai
kompetensi menduduki
jabatan dan melaksanakan setiap kegiatan semata-mata untuk kepentingan perseroan. 22 Tugas Direksi dapat dibagi menjadi tiga (3) kelompok sebagai berikut : 1. Tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confindence). 2. Tugas yang berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan (duties of skill, care and diligence). 3. Tugas-tugas yang didasarkan ketentuan Undang-undang (statutory duties). 23 . Dalam menjalankan tugas untuk kepentingan PT, setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (full responsibility), namun apabila tidak demikian, maka setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana yang dibebankan dan diwajibkan kepadanya. 24 . Adapun yang menjadi dasar hukum Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku saat ini yang terkait dengan Kedudukan Direksi Dalam Hal Terjadinya Benturan Kepentingan Dalam Suatu Perusahaan adalah : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. 22
Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, Gloria Printing, Jakarta, hal. 129 23 I.G.Ray Widjaya, Op.Cit, hal. 220 24 Ibid, hal. 215
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal 4. Keputusan Ketua Bapepam Nomor. Kep-84/ PM/1996, sebagaimana diubah dengan Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-12/PM/1997 dan Keputusan Ketua Bapepam Nomor. Kep-32/PM/2000 disingkat Peraturan IX.E.I tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu Pengaturan mengenai Pasal 99 ayat (1) UUPT menentukan bahwa dalam hal terjadi benturan kepentingan antara kepentingan dari salah satu anggota Direksi pada sisi yang lain dengan perseroan, maka anggota Direksi berkenaan dilarang untuk bertindak mewakili perseroan. Demikian pula halnya jika terjadi suatu perkara di hadapan pengadilan antara satu anggota Direksi dengan perseroan, maka anggota Direksi berkenaan tidak diizinkan untuk mewakili perseroan di hadapan pengadilan. Undang-undang memberikan pengaturan hal tersebut. Benturan kepentingan juga diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal yaitu Pasal 82 ayat (2) yang menyebutkan, bahwa Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen untuk secara sah dapat melakukan transaksi yang berbenturan kepentingan, yaitu kepentingankepentingan ekonomis emiten atau perusahaan publik dengan kepentingan ekonomis pribadi Direksi atau Komisaris atau juga pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. Maka peraturan ini diperkuat dengan Peraturan No. IX.E.I. Hal ini menandakan bahwa praktik demikian telah berlangsung lama dan berpotensi
merugikan salah satu pihak, karena adanya unsur kolusi dan pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan informasi 25 . Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari satu orang, maka setiap orang Direksi berwenang mewakili perseroan, kecuali ditentukan lain oleh UUPT atau anggaran dasar, anggaran dasar dapat menentukan pembatasan wewenang anggota Direksi tersebut. Dijelaskan bahwa UUPT memilih sistem perwakilan kolegial, tetapi untuk kepentingan praktis, maka masing-masing anggota Direksi berwenang mewakili perseroan. Apabila demikian Anggaran Dasar ditetapkan siapa yang berhak mewakili perseroan. Bila tidak ditetapkan maka RUPS mengangkat satu orang Pemegang Saham atau lebih untuk mewakili PT. Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada satu atau lebih karyawan perseroan atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu. 26 .
2. Kerangka konsepsi Untuk mengetahui tentang “ kedudukan Direksi dalam hal terjadinya benturan kepentingan dalam suatu perusahaan”, sudah seharusnya didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, dimana untuk penentuannya menggunakan pendekatan teori
25 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 241. Undang-undang Pasar Modal Pasal 82 ayat (2) menyebutkan, bahwa Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen untuk secara sah dapat melakukan transaksi yang berbenturan kepentingan, yaitu kepentingankepentingan ekonomis emiten atau perusahaan publik dengan kepentingan ekonomis pribadi Direksi atau Komisaris atau juga pemegang saham utama emiten atau perusahaan 26 I.G.Ray Widjaya, Op.Cit, hal. 216
organ theory, suatu teori tentang perwakilan, yang menyatakan bahwa badan hukum bertindak melalui suatu sistem perwakilan yang berada pada tangan pengurusnya. 27 . Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.
28
Direksi merupakan organ pada perseroan di samping RUPS maupun Komisaris yang melaksanakan fungsi pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai maksud dan tujuan perseroan 29 . Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan secara pribadi atas setiap kerugian Perseroan. 30 Tujuannya untuk melindungi kepentingan satu, atau lebih anggota Direksi dari perbuatan melawan hukum, Direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan wajib beritikad baik dan penuh tanggung jawab dan hanya bekerja untuk kepentingan, juga tujuan perseroan, sehingga baik Komisaris maupun Rapat Umum Pemegang Saham, hanya bekerja dalam pengawasan dan bekerja dalam garis-garis kepentingan dan tujuan perseroan juga. Kewajiban tersebut dibebankan oleh UUPT kepada Direksi sebagai suatu badan. Setiap kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh salah satu
27
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo, Jakarta,
2003, hal.2 28
Pasal 1 ayat (4) UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 1ayat (5) UUPT No.40 Tahun 2007 29 Pasal 79 ayat (1) UUPT No.1 Tahun 1995 Sebagaimana telah diubah dengan Pasal 92 ayat (1) UUPT No. 40 Tahun 2007 30 Pasal 97 ayat (1)UUPT No. 40 Tahun 2007
seorang Direksi mengakibatkan (anggota) Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan. 31 Sebagaimana
halnya
seorang
pemegang
kuasa,
yang
melaksanakan
kewajibannya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai perjanjian pemberi kuasa dan peraturan yang berlaku. Demikian pula Direksi perseroan, sebagai pemegang fiduciary duties dari para pemegang saham perseroan, bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan anggaran dasar perseroan dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku 32 . Beberapa kewajiban yang harus diperhatikan Direktur adalah : 1. Kewajiban untuk secara optimal memupuk keuntungan bagi perseroan dan tidak mengambil keuntungan pribadi dari transaksi yang dibuat oleh perusahaan dengan pihak lain. Direktur tidak boleh membuat apa yang disebut secret profits and benefits from office. Dalam kaitan ini harus dihindari terjadinya conflict of interest. 2. Direksi harus menggunakan kewenangannya untuk tujuan yang seharusnya (proper purpose), yaitu for te benefit of the company and not further their own interest. 31 Pasal 85 ayat (2) UUPT No. 1 Tahun 1995 Sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 ayat (3) UUPT No. 40 Tahun 2007. 32 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op. Cit,hal. 113.
3. Direksi suatu perseroan dalam melaksanakan fungsi-fungsinya juga harus memperhatikan kepentingan para Pemegang Saham. 4. Direksi suatu perseroan dalam melaksanakan fungsi-fungsinya termasuk pula memperhatikan kepentingan pegawai. 5. Direktur suatu perseroan harus memperhatikan kepentingan para kreditor secara terperinci dan spesifik atau khusus di dalam anggaran dasar perseroan 33 . Setiap transaksi yang dilakukan perseroan dengan Direktur perseroan dengan perseroan lainnya, baik dilakukan secara langsung oleh Direktur yang bersangkutan ataupun secara tidak langsung, baik melalui saudara-saudaranya maupun
teman
merupakan bentuk dari transaksi self dealing. Wujud dari transaksi self dealing ini adalah adanya benturan kepentingan Direksi dengan kepentingan perseroan.
34
Agar
dapat mencegah perbuatan ataupun tindakan yang mengandung benturan kepentingan yang dilakukan Direktur, maka sistem common law yang dianut Amerika memiliki prinsip corporate opportunity sebagai konsekuensi dari pemberlakuan prinsip fiduciary duty. Doktrin corporate opportunity mengajarkan bahwa Direktur harus lebih mengutamakan kepentingan perseroan terhadap transaksi yang menimbulkan conflict of interest. Seorang Direktur tidak boleh mengambil keuntungan-keuntungan tersembunyi atau terselubung dari suatu transaksi perseroan. Bila perseroan maupun pribadi Direktur sama-sama dapat melakukan suatu transaksi bisnis yang tentunya dapat membawa keuntungan
33 34
maka transaksi tersebut harus diberikan kepada
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 111 Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 62
perseroan, karena kepentingan perseroan mestinya lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi Direktur. 35 Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak dengan tegas mengakui berlakunya prinsip corporate opportunity, tetapi terdapat indikasi yang mengarah kepada pengakuan prinsip tersebut. Pada Pasal 99 ayat (1) huruf b UUPT menentukan, Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan jika Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan. Tetapi pada kenyataan benturan kepentingan yang dilakukan oleh Direksi dalam mengelola perusahaan baik langsung maupun tidak langsung sulit untuk dibuktikan, sampai saat ini belum ada hukum positif yang secara normatif mengatur tentang akibat hukum dari benturan kepentingan yang dilakukan oleh Direksi dalam mengelola perusahaan. Pengadilan Negeri belum pernah memutus perkara yang berhubungan dengan benturan kepentingan Direksi dengan perusahaan. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dikemudian hari apabila diadakan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang PT.
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara 35
Ibid, hal. 63
tepat serta menganalisa peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Kedudukan Direksi Dalam Hal Terjadinya Benturan Kepentingan Dalam Suatu Perusahaan 2. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji peraturan Perundang-undangan dan putusan Pengadilan. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan Perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 3. Alat Pengumpulan Data Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan Perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. Penelitian kepustakaan (library research) dalam penelitian ini ditekankan pada pengambilan data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa : 1. Bahan Hukum Primer
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Hukum Perusahaan dan peraturan Perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tertier Kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa Inggris, Indonesia, Belanda dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri,yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder. Seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi dokumen atau studi kepustakaan sebagai alat pengumpul data. Penelitian pustaka dimaksud merupakan penelitian bahan hukum primer yaitu peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum perusahaan, khususnya mengenai kedudukan Direksi dalam hal terjadinya benturan kepentingan dalam suatu perusahaan. Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen
yang
relevan
dengan
topik
pembahasan.
Selanjutnya
dilakukan
pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah
ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih. 4. Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) yaitu cara pengumpulan bahan diperoleh dari buku-buku, makalah, Peraturan Perundang-Undangan dan dokumen yang ada kaitannya dengan permasalahan, maka data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Secara kualitatif dimaksudkan bahwa analisis data bertitik tolak dari usahausaha untuk meneliti terhadap asas-asas hukum yang diatur dalam bahan hukum primer, dan yang berkembang melalui pembahasan dalam bahan hukum sekunder, serta yang ditemukan dalam bahan hukum tertier. Penelitian kualitatif menurut Anselmus Strauss dan Juliat Corbin: ”qualitatif research we mean any kind of research that procedure findings not arrived at by means of statistical procedures or other means of quantifications. It can refer to research about persons, lives, stories, behaviours, but also about organization functionating, social covenants or intellectual relationship”. 36 Berdasarkan definisi tersebut maka penelitian ini akan menginventarisir norma-norma atau asas-asas yang termuat dalam Peraturan Perundang-Undangan dan putusan pengadilan yang menyangkut kedudukan Direksi dalam hal terjadinya benturan kepentingan dalam suatu perusahaan. 36 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum” Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Pebruari 2003.
BAB II KEDUDUKAN DIREKSI DALAM PERUSAHAAN
A. Kedudukan Direksi Dalam Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Sebagaimana
halnya
seorang
pemegang
kuasa,
yang
melaksanakan
kewajibannya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai perjanjian pemberi kuasa dan peraturan yang berlaku. Demikian pula Direksi perseroan, sebagai pemegang fiduciary duties dari para pemegang saham perseroan, bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan Anggaran Dasar Perseroan dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku 37 . Keanggotaan Direksi dalam perseroan diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham, untuk jangka waktu yang telah ditentukan dalam Anggaran Dasar, serta menurut tata cara yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Dalam rumusan yang diberikan oleh penjelasan Pasal 94 Undang-undang Perseroan Terbatas disebutkan : “ Anggaran Dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian dan pemberhentian anggota Direksi, tetapi perlu dibedakan antara ketentuan Anggaran Dasar dan peraturan intern perseroan dengan perjanjian tentang pekerjaan antara Direksi dan Perseroan, khususnya mengenai gaji ( kontrak kerja)”.
37
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja,Ibid,hal. 113.
Perjanjian ini mengatur hubungan hukum antara perseroan dengan Direksi yang tidak mempunyai aspek ke perseroan dan tidak dapat berubah karena suatu keputusan Rapat Umum Pemegang Saham berdasarkan Anggaran Dasar. Perjanjian ini harus dianggap sebagai suatu kontrak kerja, yang atas kontrak tersebut berlaku Perundang-Undangan tentang tenaga kerja. Hal yang terakhir ini terutama penting dalam rangka pemutusan hubungan kerja.” Dalam perumusan penjelasan yang diberikan tersebut, tampak pada kita bahwa Undang-undang Perseroan Terbatas mempertegas status dan kedudukan Direksi dalam Perseroan. Pada satu sisi Undang-undang Perseroan Terbatas masih memberlakukan pembayaran yang diterima oleh Direksi perseroan sebagai gaji, yang terbit sebagai akibat hubungan kerja majikan – buruh. Hubungan ini juga membawa akibat bahwa setiap pemberhentian Direksi harus dianggap dan diterapkan sesuai dengan ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja. Rumusan tersebut di atas tampaknya lahir dalam upaya melindungi hak-hak Direksi dalam suatu perseroan. Direksi menurut UUPT merupakan suatu organ yang di dalamnya terdiri dari satu atau lebih anggota, yang dikenal dengan sebutan Direktur. UUPT secara umum menyatakan bahwa suatu perseroan sekurang-kurangnya satu atau lebih anggota Direksi, dengan pengecualian bagi perseroan yang bidang usahanya melakukan pengerahan dana masyarakat. perseroan yang menerbitkan surat pengakuan atau perseroan terbatas terbuka, harus memiliki sekurang-kurangnya dua orang anggota Direksi. Tidak ada suatu pembatasan mengenai keanggotaan Direksi dalam perseroan, tidak hanya Warga Negara Indonesia, melainkan juga keanggotaan Direksi Warga
Negara Asing yang memenuhi syarat yang ditetapkan (oleh Departemen Tenaga Kerja) dapat menjadi anggota
Direksi perseroan.. Undang-Undang Perseroan
Terbatas mensyaratkan bahwa anggota Direksi haruslah orang-perseorangan. Ini berarti dalam sistem hukum perseroan Indonesia tidak dikenal adanya pengurusan perseroan oleh badan hukum perseroan lainnya maupun oleh badan usaha lain, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Selanjutnya orang perorangan tersebut adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum, tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maupun belum pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak tanggal pengangkatannya. Menurut Pasal 92 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi. Lebih jelasnya Pasal 97 UUPT No.40 Tahun 2007 menyatakan, bahwa Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.Masa jabatan keanggotaan masing-masing anggota Direksi telah ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan, namun ketentuan tersebut tidaklah membatasi hak dari Rapat Umum Pemegang Saham untuk setiap saat memberhentikan salah satu atau lebih anggota Direksi sebelum berakhirnya masa jabatan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar, baik dengan mengangkat penggantinya yang baru maupun dengan hanya memberhentikan keanggotaan Direksi yang bersangkutan saja, selama dan sepanjang syarat minimum
jumlah anggota Direksi, sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar maupun peraturan Perundang-undangan lainnya yang berlaku, tetap dipertahankan. Kepengurusan perseroan merupakan pengurusan sehari-hari, dilakukan oleh Direksi. Keberadaan Direksi dalam perseroan merupakan keharusan perseroan, wajib memiliki Direksi karena perseroan sebagai “ artifical person” tidak dapat berbuat apa-apa tanpa ada bantuan dari anggota Direksi sebagai “natural person”, oleh karena itu Direksi mempunyai tugas dan tanggung jawab serta wewenang. 38 Pada aliran baru, sebagai konsekwensi dari pemenuhan kewajiban Direksi dan pelaksanaan hak gugatan derivatif yang dapat dilaksanakan oleh para pemegang saham perseroan, maka dapat dimengerti mengapa dalam rumusan Pasal 14 UUPT secara jelas disebutkan bahwa semua anggota Direksi bertanggung jawab secara renteng atas perbuatan hukum atas nama perseroan, dalam arti kelalaian dalam melaksanakan kewajiban pendaftaran dan pengumuman. Tetapi apabila Direksi melakukan suatu tindakan yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest) maka gugatan yang diajukan oleh pemegang saham independen dilakukan secara langsung (direct suit) yang mewakili Perseroan 39 . Pasal 99 ayat (1) UUPT menentukan bahwa dalam hal terjadi pertentangan kepentingan antara kepentingan dari salah satu anggota Direksi pada sisi yang lain, maka anggota Direksi berkenaan dilarang untuk bertindak mewakili perseroan.
38 39
I.G Ray Widjaya, Op. Cit, hal.209. Munir Fuady I, Op Cit, hal. 100.
Undang-Undang memberikan pengaturan hal tersebut secara terperinci dan spesifik atau khusus di dalam Anggaran Dasar perseroan 40 . Jika RUPS sebagai organ PT sebagaimana diuraikan dimuka merupakan pembela kepentingan para pemegang saham, maka Direksi 41 sebagai organ PT adalah mewakili kepentingan PT selaku subjek hukum mandiri. Karena keberadaan PT adalah sebab keberadaannya Direksi. Karena apabila tidak ada PT, Direksi juga tidak akan pernah ada. Ini menjadi alasan bahwa Direksi harus selamanya mengabdi kepada kepentingan PT. Dengan perkataan lain, Direksi wajib mengabdi kepada kepentingan semua pemegang saham. dan bukan mengabdi kepada kepentingan satu atau beberapa pemegang saham. Artinya Direksi bukan wakil pemegang saham. Tetapi merupakan wakil PT selaku Personal Standi In Judicio. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan
42
. Direksi hanya
bekerja untuk kepentingan, dan tujuan perseroan, sehingga baik Komisaris maupun Rapat Umum Pemegang Saham, hanya bekerja dalam pengawasan dan bekerja dalam garis-garis kepentingan dan tujuan perseroan. Kewajiban tersebut dibebankan oleh UUPT kepada Direksi sebagai suatu badan, dan karenanya setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
40
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 111. Direksi adalah organ/ badan yang mewakili kepentingan perseroan dengan menjalankan perseroan untuk memimpin dan mengemudikan perseroan dalam melakukan usaha-usahanya sesuai dengan kehendak RUPS. 42 UUPT No. 40 Tahun 2007 Pasal 97. 41
menjalankan tugasnya. 43 . Tujuannya untuk melindungi kepentingan satu, atau lebih anggota Direksi dari perbuatan melawan hukum, ataupun yang merugikan kepentingan perseroan yang dilakukan oleh anggota Direksi lainnya. Sebagai suatu organ dengan pertanggung jawaban kolegial, tidak tertutup kemungkinan bahwa satu orang anggota Direksi akan berbeda pendapat dengan anggota Direksi lainnya dalam hal memutuskan suatu persoalan sehubungan dengan tugas pengurusan dan pengelolaan perseroan, sehingga demikian membuat anggota Direksi berkewajiban untuk melakukan check and balance atas tindakan anggota Direksi lainnya 44 . Salah satu tugas Direksi dalam rangka pengurusan perseroan adalah melakukan penyelenggaraan, dan penyimpanan dokumen perusahaan. Salah satu fungsi dokumen perusahaan adalah untuk menunjukkan kepada setiap pihak (yang berhubungan dengan perseroan) mengenai hak, kewajiban, dan harta kekayaan Perseroan tersebut sangat diperlukan oleh pihak ketiga dalam memutuskan untuk melakukan, atau tidak melakukan hubungan hukum dengan perseroan.
B. Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Menurut UUPT Menurut Pasal 79 ayat (1) UUPT Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Pasal 92 ayat (1) UUPT No. 40 Tahun2007
43 44
UUPT No. 40 Tahun 2007 Pasal 97 ayat (3). Gunawan Widjaja,Ibid, hal 4.
pengurusan perseroan dipercayakan kepada Direksi, dengan tugas dan wewenang Direksi sebagai berikut : 45 1. Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. 2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini atau anggaran dasar. 3.
Direksi perseroan terdiri dari 1(satu) orang anggota Direksi atau lebih
4. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dana atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitan surat pengakuan hutang kepada masyarakat atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. 5. Dalam hal Direksi terdiri atas 2(dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. 6. Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi.
45
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD )Pengumuman PT oleh Direksi diatur dalam Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa tiap-tiap Perseroan Terbatas harus diurus oleh beberapa pengurus, kawan-kawan peserta atau lain-lainnya yang semua itu harus diangkat oleh para pesero, dengan atau tidak dengan mendapat upah dan dengan atau tidak dengan diawasi oleh beberapa komisaris.
Transaksi yang mengandung benturan kepentingan adalah transaksi yang mengandung perbedaan kepentingan ekonomis antara perusahaan disuatu pihak dengan pihak Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dilain pihak. Transaksi yang demikian mungkin dilakukan atau difasilitasi oleh Direksi berdasarkan kekuasaannya. Dengan kekuasaannya Direksi dapat mengambil keputusan untuk bertransaksi demi kepentingannya atau kepentingan pihak lain, bukan demi perseroan. Untuk itu Bapepam mengharuskan persetujuan mayoritas pemegang saham independen. Jika transaksi tersebut dilakukan tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka tindakan Direksi dianggap sebagai tindakan di luar kewenangannya (ultra vires). Direksi bertanggungjawab apabila tindakan Direksi bertentangan UUPT Pasal 85 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 UUPT No.40 Tahun 2007. Pihak yang menyebabkan terjadinya transaksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban. Bapepam berwenang mengenakan sanksi kepada pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Sanksi yang dapat dikenakan adalah sanksi peringatan tertulis atau denda. 46
C. Tugas dan tanggung jawab Direksi kepada pihak ketiga Tugas dan pertanggungjawaban Direksi Perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban Direksi untuk melakukan keterbukaan (disclosure)
46
M.Irsan Nasarudin-Indah Surya. Op.Cit. hal 254
terhadap pihak ketiga, atas setiap kegiatan Perseroan, yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan Perseroan. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain termuat dalam : a.
Pasal 39 ayat (2) UUPT No.1 Tahun 1995, sebagaimana telah diubah dengan Pasal 44 UUPT No.40 Tahun 2007, dalam hal Perseroan ingin melakukan pengurangan atas modal dasar, modal dikeluarkan ataupun modal disetor dari Perseroan.
b.
Pasal 105 ayat (2) UUPT No. 1 Tahun 1995, sebagaimana telah diubah dengan Pasal 123 UUPT No.40 Tahun 2007, dalam hal Perseroan ingin melakukan pengabungan, peleburan, dan pengambilalihan ;
c.
dan bagi : 1) Perseroan yang dibidang usahanya berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat; 2) Perseroan yang mengeluarkan surat pengakuan hutang; 3) Perseroan terbuka Direksi Perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungan tahunan
Perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum perhitungan tahunan tersebut disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Dan segera setelah disahkan oleh Rapat, diumumkan untuk kepentingan pihak ketiga. Khusus untuk Perseroan Terbatas Terbuka, Direksi Perseroan juga diwajibkan untuk mengumumkan setiap maksud dan rencana penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham.
Ketentuan dalam Pasal-Pasal tersebut di atas tidak menutup adanya kemungkinan permintaan pemberian data atau keterangan mengenai Perseroan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para pihak. Dalam hal-hal demikian tersebut di atas, Direksi berkewajiban untuk memberikan data dan atau keterangan tersebut secara benar dan akurat.
D. Tanggung jawab internal Direksi terhadap perseroan dan pemegang Saham Setiap kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam melaksanakan kewajibannya tersebut di atas memberikan hak kepada pemegang saham Perseroan untuk : a. Secara
sendiri-sendiri
atau
bersama-sama,
yang
mewakili
sejumlah
sepersepuluh pemegang saham Perseroan melakukan gugatan untuk dan atas nama Perseroan, terhadap Direksi Perseroan, yang atas kesalahan dan kelalaiannya telah menerbitkan kerugian kepada Perseroan (derivative action). b. Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung, untuk dan atas nama pribadi pemegang saham terhadap Direksi Perseroan, atas setiap keputusan atau tindakan Direksi Perseroan yang merugikan pemegang saham. UUPT yang telah ada jika dibandingkan dengan peraturan yang lama isinya cukup maju, ketentuan-ketentuan dalam UUPT dapat dikatakan lengkap dan terperinci. Di dalamnya dikenal perbedaan perseroan tertutup dengan perseroan terbuka, diatur tentang bagaimana perlindungan modal dan kekayaan perusahaan,
juga tentang penggunaan laba, pengambilalihan perseroan, juga bagaimana jika perseroan melakukan perbuatan melanggar hukum. Namun sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini UUPT lebih terkonsentrasi pada pembahasan mengenai Anggaran Dasar, RUPS dan cara pendirian PT. Perseroan terbatas (PT) adalah suatu badan hukum yang terpisah dengan individu yang memilikinya (pemegang saham) atau pengurusnya (Komisaris dan Direksi). Sebagai badan hukum perseroan terbatas memiliki hak dan kewajiban sendiri. Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum dinyatakan telah berdiri setelah persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang dipenuhi. Proses pendirian dimulai dengan membuat akta pendirian PT yang dilakukan dengan akta otentik. Setelah akta pendirian PT selesai dibuat maka selanjutnya adalah mengajukan permohanan ke Menteri Hukum dan HAM untuk memperoleh pengesahan, agar PT memperoleh status badan hukum. Dalam akta pendirian pada umumnya memuat Anggaran Dasar, yang mengatur hal-hal antara lain, Pertama, nama perusahaan. Kedua, tujuan perusahaan. Ketiga, kegiatan usaha. Keempat, lokasi kantor pusat. Kelima, jumlah Direksi dan Komisaris. Dan Keenam, struktur permodalan. Anggaran Dasar juga dapat mengatur hal-hal berikut:47 a. Preventive rights, pemegang saham memiliki hak untuk membeli terlebih dahulu atas saham yang dikeluarkan perusahaan berikutnya. b. Hak untuk menilai, Komisaris dapat menilai tambahan dana yang disetor pemegang saham c. Aturan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan.
47
Pasal 15 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Perseroan sebagai badan hukum memiliki hak dan tanggung jawab terpisah dengan pemegang sahamnya. Sebagai badan hukum memiliki utang dan kewajiban lainnya atas namanya sendiri dan bukan tanggung jawab pemegang saham. Sebaliknya Perseroan tidak bertanggung jawab terhadap utang dan kewajiban para pemegang saham. Ketentuan ini dapat dikecualikan apabila telah terjadi suatu situasi yang dikenal dengan piercing the corporate veil. Situasi tersebut adalah: 48 Pertama, terdapatnya fraud atau ketidakadilan bagi pihak ketiga (misalnya kreditur) dalam pengelolaan perusahaan. Kedua, pemegang saham tidak memperlakukan perusahaan sebagai badan yang terpisah akan tetapi menggunakannya untuk tujuan pribadi. Misalnya tidak melaksanakan pembukuan dengan baik, tidak melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana telah ditentukan dan pengelolaan keuangan secara semborono. Ketiga, Perseroan kekurangan modal dibandingkan dengan utang dan kewajiban lainnya sehingga secara rasional risiko menjadi tinggi.Keempat, situasi lainnya yang menimbulkan ketidakadilan (fair) apabila Perseroan tetap diakui sebagai badan hukum. Perseroan terbatas mempunyai alat yang disebut organ perseroan, gunanya untuk menggerakkan perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Organ Perseroan terdiri dari tiga macam, yaitu : Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris.
48
Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 45
Berdasarkan Teori Organisme dari Otto Von Gireke, dinyatakan bahwa ”pengurus adalah organ atau alat perlengkapan dari badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ seperti kaki, tangan, panca indera dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, berarti setiap gerakan atau aktivitas pengurus badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga pengurus adalah personafikasi dari badan hukum itu sendiri. Sebaliknya menurut Paul scholten dan Bregstein, pengurus mewakili badan hukum. Berdasarkan analog pendapat Gierke dan Paul Schoulten maupun Brengstein tersebut, Direksi bertindak mewakili perseroan sebagai badan hukum. Hakikat dari perwakilan bahwa seseorang melakukan melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab dari orang itu. 49 Ketiga organ dalam PT tersebut memiliki tugas dan wewenang yang berbeda satu sama lain di dalam UUPT. Namun, perbedaan dimaksud memiliki fungsi yang terkait dengan tujuan untuk menjalankan PT dengan sebaik-baiknya. Direksi kedudukannya sebagai eksekutif dalam perseroan, tindakannya dibatasi oleh anggaran dasar perseroan. Apabila dalam pengurusan perseroan bertindak melampui wewenangnya, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (3) maka Direksi yang demikian bertanggung jawab penuh secara pribadi. Sedangkan Komisaris merupakan organ yang mempunyai tugas melakukan pengawasan dan memberi nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut Komisaris juga dibatasi oleh anggaran dasar. 49
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 164
Komisaris yang melakukan kesalahan dapat digugat ke Pengadilan oleh pemegang saham atas nama perseroan. 50 Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa selain tanggung jawab terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan, Direksi perseroan juga bertanggung jawab terhadap pihak ketiga atas setiap perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Perlindungan bagi pihak ketiga ini dapat kita temukan dalam Pasal 14 UUPT secara jelas menyatakan bahwa Direksi bertanggung jawab secara renteng atas kelalaiannya dalam melaksanakan kewajiban pendaftaran dan pengumuman yang disyaratkan. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban Direksi terhadap pihak ketiga juga dapat ditemui dalam ketentuan Pasal 69 ayat (3) UUPT, mewajibkan Direksi untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap ketidak benaran informasi dalam hal laporan keuangan yang disampaikan oleh perseroan. Rumusan yang diberikan dalam UUPT tersebut bertujuan untuk menegaskan kembali fungsi Direksi sebagai suatu organ (dan bukan masing-masing pribadi anggota Direksi) yang berkewajiban untuk dengan itikad baik dan penuh tanggunng jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan, meskipun masingmasing anggota Direksi berwenang untuk bertindak mewakili untuk dan atas nama perseroan baik di luar maupun di dalam pengadilan. Dengan pertanggungjawaban renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi di antara sesama anggota Direksi perseroan atas setiap
perbuatan Direksi yang dapat merugikan, baik
perseroan, pemegang saham perseroan, maupun pihak ketiga yang beritikad baik. 50
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, Jakarta, Djambatan, 1996, hal 4
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, meskipun UUPT memberikan ketentuan berupa sanksi perdata yang sangat berat kepada setiap anggota Direksi perseroan atas setiap kesalahan atau kelalaiannya, namun pelaksanaan pemberian sanksi ini sebenarnnya tidak perlu dikhawatirkan selama anggota Direksi bersangkutan bertindak sesuai dan tidak menyimpang dari aturan main yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar perseroan, dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
E. Tanggung jawab eksternal Direksi terhadap pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan perseroan Manusia adalah subjek hukum, akan tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum yang dikenal. Selain manusia, masih terdapat subjek hukum lainnya yang dikenal dengan badan hukum (rechtspersoon). Di antara banyak badan hukum yang dikenal dalam doktrin hukum, salah satu yang amat dikenal adalah Perseroan Terbatas (PT). Mengapa para pihak lebih memilih bentuk Perseroan Terbatas? Adapun alasannya adalah setiap orang pemilik dana selalu menginginkan risiko seminimal mungkin selain itu juga demi efisiensi. 51 Perseroan Terbatas dapat dikatakan
efisiensi
karena
perseroan
terbatas
dapat
digunakan
untuk
mengakomodasikan kegiataan usaha dari yang terkecil yaitu bisnis perorangan (oneperson business) sampai yang terbesar yaitu bisnis multinasional. Selain itu 51 Djaidir, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Disajikan dalam Seminar Sehari Mengenai UndangUndang Tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas Kantor Wilayah BRI Sumatera Utara, Medan, 21 Juni 1997, hal. 1.
perusahaan juga dapat digunakan untuk kegiatan non profit yang bertujuan usaha untuk memberi keuntungan. UUPT di dalam beberapa pasal pengaturannya ditujukan untuk memberi perlindungan kepentingan bagi setiap pemegang saham, kreditur dan para pihak ketiga yang berhubungan dengan aktivitas Perseroan Terbatas. Kegiatan berusaha dapat dilakukan secara pribadi dengan segala konsekuensinya dan dapat pula dilakukan dalam bentuk kerja sama antar pribadi atau antar kelompok, di samping itu mengenai bentuk usaha yang dipilih pada dasarnya sangat bergantung pada berbagai hal baik faktor internal maupun eksternal dari para pihak yang mendirikan perusahaan. Sedangkan berdasarkan sumber dana yang dimanfaatkan untuk mendirikan perusahaan maka bentuk Perseroaan Terbatas sangat diminati. 52 Di samping itu juga sangat cukup beralasan mengapa Perseroan Terbatas yang diminati, karena secara filosofi bahwa pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh sekolompok orang tersebut semata-mata memiliki tujuan untuk memajukan perusahaan. UUPT yang telah ada jika dibandingkan dengan peraturan yang lama isinya cukup maju, ketentuan-ketentuan dalam UUPT dapat dikatakan lengkap dan terperinci. Di dalamnya dikenal perbedaan perseroan tertutup dengan perseroan terbuka, diatur tentang bagaimana perlindungan modal dan kekayaan perusahaan,
52
Baca Marzuki Usman, et all, ABC Pasal Modal Indonesia, (Jakarta : Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/Institut Bankir Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi DKI Jaya, 1990), hal. 165, yang memaparkan bahwa pada kehiduapan suatu perusahaan acap sekali informasi yang diketahui oleh para persero minim sekali. Sehingga antar dalam persero sendiri cara menyajikan informasi dan gambaran umum adalah merupakan kemajuan dari suatu perusahaan khususnya PT. Hal ini juga yang mengacu pada permasalahan tentang isi dari anggaran dasar dari suatu PT. Akan tetapi ketentuan hukum yang mengatur dari ini semua masih tidak ada, dimana tidak adanya peraturan yang menjelaskan kapan suatu RUPS dalam PT dapat dilaksanakan.
juga tentang penggunaan laba, pengambilalihan perseroan, juga bagaimana jika perseroan melakukan perbuatan melanggar hukum. Namun sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini UUPT lebih terkonsentrasi pada pembahasan mengenai Anggaran Dasar, RUPS dan cara pendirian PT. Perseroan Terbatas (PT) adalah suatu badan hukum yang terpisah dengan individu yang memilikinya (pemegang saham) atau pengurusnya (Komisaris dan Direksi). Sebagai badan hukum perseroan terbatas memiliki hak dan kewajiban sendiri. Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum dinyatakan telah berdiri setelah persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang dipenuhi. Proses pendirian dimulai dengan membuat akta pendirian PT yang dilakukan dengan akta otentik. Setelah akta pendirian PT selesai dibuat maka selanjutnya adalah mengajukan permohanan ke Menteri Hukum dan HAM untuk memperoleh pengesahan, agar PT memperoleh status badan hukum. Menurut Pasal 7 ayat (4) Undang- Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat (1) Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan tempat kedudukan perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan; c. jangka waktu berdirinya perseroan; d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; i. tata cara penggunaan laba dan pembagian deviden; Berdasarkan uraian-uraian di atas maka timbul pertanyaan apakah secara hukum perusahaan telah berdiri dan apabila salah satu persyaratan formal pendirian tidak dipenuhi atau tidak lengkap akibat apa yang ditimbulkannya?. Pertanyaan ini muncul ketika pihak di luar perusahaan misalnya kreditur ingin menembus tirai perusahaan (corporate shield) dan meminta tanggungjawab pribadi pemegang saham atas kewajiban perseroan. Terdapat dua konsep berkenaan dengan masalah ini yaitu:53 a. Perseroan de jure. suatu perseroan yang telah melengkapi seluruh ketentuan formal untuk pendirian secara hukum telah menjadi badan hukum. Hal-hal apa saja yang dikategorikan sebagai kewajiban (mandatory) dan hal yang bagaimana dikategorikan sebagai pedoman (directory) tergantung aturan yang ditetapkan oleh peraturan Perundang-Undangan. b. Perseroan de facto. teori mengajarkan bahwa meskipun suatu perseroan belum memenuhi seluruh kewajiban untuk mendapatkan status de jure, perseroan 53
I.G. Rai Widjaja, Op.Cit, hal. 44
tersebut dapat dianggap telah cukup untuk mendapatkan status sebagai badan hukum apabila berhadapan dengan pihak ketiga (kecuali pemerintah). Untuk mendapatkan status de facto suatu perseroan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Pertama, iktikad baik untuk memenuhi persyaratan Perundangundangan. Kedua, iktikad baik dalam menjalankan perseroan seakan-akan perseroan telah berdiri. Misalnya suatu perseroan belum memenuhi seal sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang atau tidak memberikan alamat yang benar. Apabila suatu perseroan telah mendapatkan status de facto maka semua pihak harus memperlakukannya sebagai badan hukum. Hanya saja pemerintah tetap berwenang menyatakan perseroan tersebut tidak sah. Perseroan sebagai badan hukum memiliki hak dan tanggung jawab terpisah dengan pemegang sahamnya. Sebagai badan hukum memiliki utang dan kewajiban lainnya atas namanya sendiri dan bukan tanggung jawab pemegang saham. Sebaliknya perseroan tidak bertanggung jawab terhadap utang dan kewajiban para pemegang saham. Ketentuan ini dapat dikecualikan apabila telah terjadi suatu situasi yang dikenal dengan piercing the corporate veil. Situasi tersebut adalah. 54 Pertama, terdapatnya fraud atau ketidakadilan bagi pihak ketiga (misalnya kreditur) dalam pengelolaan perusahaan. Kedua, pemegang saham tidak memperlakukan perusahaan sebagai badan yang terpisah akan tetapi menggunakannya untuk tujuan pribadi. Misalnya tidak melaksanakan pembukuan dengan baik, tidak melaksanakan Rapat Umum Pemegang saham sebagaimana telah ditentukan dan pengelolaan keuangan 54
Ibid, hal. 45
secara semborono. Ketiga, perseroan kekurangan modal dibandingkan dengan utang dan kewajiban lainnya sehingga secara rasional risiko menjadi tinggi.Keempat, situasi lainnya yang menimbulkan ketidakadilan (fair) apabila perseroan tetap diakui sebagai badan hukum. Di dalam beberapa teori hukum dan teori-teori bisnis yang berkenaan dengan perseroan sepakat bahwa suatu perseroan haruslah memiliki tujuan. Akan tetapi tidak tercapai kesepakatan tentang bagaimana persisnya tujuan tersebut. Teori bisnis cenderung menjelaskan tujuan sebagai strategi. Strategi adalah penentuan tujuan dasar jangka panjang dari perseroan, langkah tindakan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Strategi menyangkut hal-hal berikut: 55 a. Pemilihan target pasar, definisi produk-produk dasar untuk menjawab permintaan pasar dan penentuan sistem distribusi. b. Pencocokan sumber daya dan kemampuan perusahaan dengan sumber daya dan kemampuan yang diinginkan sesuai dengan kesempatan pasar. Setelah dilakukan pilihan pasar disusun perencanaan alokasi sumber daya dan kemampuan. c. Pemilihan keinginan dan nilai yang dibutuhkan dan d. Penentuan segmen sesuai dengan pandangan pengurus. Sementara itu teori hukum lebih tertarik pada tujuan apa yang sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar Perseroan dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Alasannya adalah Anggaran Dasar adalah kontrak antara pendiri 55
Ibid, hal. 51
dengan pemerintah. Pada awalnya masalahnya adalah apakah perusahaan telah melampaui kewenangan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar. Masalahnya kemudian berkembang menjadi apakah perseroan masih dalam batas
tujuan
sebagaimana yang telah ditetapkan. Terkait erat dan masalah tujuan adalah masalah kewenangan. Dalam hukum perusahaan seringkali ditetapkan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh suatu perseroan. Jika perusahaan melakukan kegiatan tidak sesuai dengan tujuan atau kewenangan maka secara hukum perusahaan telah ultra vires (di luar kewenangan perseroan). Dalam kaitannya dengan tujuan terdapat dua konsep. 56 Pertama, kewenangan yang secara tegas ditentukan. Perseroan memiliki kewenangan sesuai dengan yang telah ditentukan oleh hukum perusahaan dan Anggaran Dasar. Kewenangan umum menentukan misalnya perusahaan dapat bertindak di dalam dan di luar pengadilan, memiliki kekayaan serta berutang dan meminjamkan uang. Kedua, kewenangan terbatas menyangkut pengalihan aset perusahaan yang umumnya harus dengan persetujuan RUPS. Di samping kedua kewenangan tersebut perusahaan juga memiliki kewenangan yang tersirat (implied power). Perusahaan dapat melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk kepentingan perusahaan kecuali hukum secara tegas melarang perbuatan tersebut. Setiap tindakan di luar kewenangan perusahaan adalah ultra vires. Suatu perbuatan atau tindakan dikatakan ultra vires apabila melampaui kewenangan perusahaan, baik kewenangan yang secara tegas maupun implisit atau dilakukan 56
Ibid
tanpa ijin RUPS. Oleh karena itu, terdapat tiga konsekwensi hukum apabila terjadi ultra vires. Pertama, ganti rugi, Kedua, pidana dan ketiga perjanjian. Umumnya ultra vires tidak dapat digunakan sebagai pembelaan atas tuntutan ganti rugi terhadap perusahaan akibat tindakan salah seorang karyawannya yang bertindak dalam cakupan pekerjaannya. Demikian pula halnya dalam hal terjadi dakwaan pidana. Sementara itu, dalam situasi tertentu tradisi common law membolehkan diajukannya gugatan ultra vires atas dasar kontrak yang dilakukan perusahaan. Meskipun hal ini tidak begitu diinginkan karena dapat mengganggu transaksi komersial. Penggunaan alasan ultra vires dibatasi. Gugatan ultra vires misalnya tidak dapat dilakukan apabila kontrak sudah dijalankan. Namun demikian perusahaan atau pemegang saham melalui gugatan derivatif dapat menggugat Direksi dengan dasar Direksi telah bertindak melampaui kewenangan. Sedangkan tindakan illegal bukan merupakan ultra vires dan perusahaan bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa selain tanggung jawab terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan, Direksi perseroan juga bertanggung jawab terhadap pihak ketiga atas setiap perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Perlindungan bagi pihak ketiga ini dapat kita temukan dalam Pasal 14 UUPT secara jelas menyatakan bahwa Direksi bertanggung jawab secara renteng atas kelalaiannya dalam melaksanakan kewajiban pendaftaran dan pengumuman yang disyaratkan. Rumusan yang diberikan dalam UUPT tersebut bertujuan untuk menegaskan kembali fungsi Direksi sebagai suatu organ (dan bukan masing-masing pribadi
anggota Direksi) yang berkewajiban untuk dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan, meskipun masingmasing anggota Direksi berwenang untuk bertindak mewakili untuk dan atas nama perseroan baik di luar maupun di dalam pengadilan. Dengan pertanggungjawaban renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi di antara sesama anggota Direksi perseroan atas setiap
perbuatan Direksi yang dapat merugikan, baik
perseroan, pemegang saham perseroan, maupun pihak ketiga yang beritikad baik. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, meskipun UUPT memberikan ketentuan berupa sanksi perdata yang sangat berat kepada setiap anggota Direksi perseroan atas setiap kesalahan atau kelalaiannya, namun pelaksanaan pemberian sanksi ini sebenarnnya tidak perlu dikhawatirkan selama anggota Direksi bersangkutan bertindak sesuai dan tidak menyimpang dari aturan main yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar Perseroan, dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
BAB III TINDAKAN YANG TERMASUK DALAM BENTURAN KEPENTINGAN DIREKSI DENGAN PERUSAHAAN DAN PENGATURANNYA
A. Transaksi Untuk Pribadi ( Self Dealing ) Transaksi self dealing adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh Direksi secara pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan yang dipimpinnya sebagai pihak lawan transaksi.Transaksi untuk pribadi ini merupakan perwujudan dari transaksi yang melekat kepentingan (interested transaction) oleh Direksi suatu perseroan yang merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh Direksi (langsung atau tidak langsung) dengan perseroan itu sendiri Transaksi self dealing yang tidak langsung misalnya: 57 . 1. Transaksi antara anggota famili dari Direksi dengan perseroan. 2. Transaksi antara 2 (dua) perseroan dengan Direksi yang sama. 3. Transaksi antara perseroan dengan perseroan lain dalam perusahaan mana pihak Direksi mempunyai kepentingan financial tertentu. 4. Transaksi antara perusahaan induk (holding) dengan anak perusahaan. 5. Transaksi orang dalam (Insider Trading) di dalam perseroan yang dilakukan oleh Direktur secara tidak langsung. Dengan demikian, sebenarnya transaksi untuk diri sendiri dari Direksi tersebut termasuk ke dalam salah satu dari transaksi berbenturan kepentingan (conflict of
57
Munir Fuady I, Op. Cit, hal 208
interest) ,sehingga transaksi tersebut bertentangan pula dengan prinsip fiduciary duty dan duty of care and loyality dari Direksi. Hal ini juga sebagai salah satu jelmaan dari prinsip hukum perseroan bahwa Direksi tidak boleh mencari untung secara pribadi dalam kedudukannya sebagai Direksi perseroan tersebut. 1. Transaksi untuk pribadi (self dealing) ini dikatakan bahwa pihak Direksi memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perseroan.Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan Direksi yang dalam sejarah semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilahpilah untuk dinilai mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan oleh sektor hukum. Di banyak negara, transaksi self dealing ini dibebankan kewajiban disclosure ke pundak Direksi yang berbenturan kepentingan. Karena transaksi self dealing yang tidak layak bertentangan dengan kewajiban fiduciary duty dari Direksi, maka hukum membebankan kewajiban pribadi kepada Direksi yang melakukan deal tersebut. Karena itu agar diperkenankan oleh hukum, maka transaksi self dealing tersebut haruslah dilakukan secara fair bagi perseroan, tidak mengandung unsur-unsur penipuan, atau ketidakadilan, dan untuk transaksi tertentu dibebankan kewajiban disclosure kepada masyarakat, bahkan bagi perusahaan terbuka, ketentuan hukum di Indonesia selangkah lebih maju, yakni dengan dibebankannya kewajiban persetujuan rapat umum pemegang saham independen.Contoh dari transaksi self dealing yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan adalah penjualan aset perseroan kepada pribadi Direksi
atau kepada salah satu anggota keluarga dari Direksi. Umumnya konsekuensi hukum dari transaksi self dealing adalah berupa pertanggung jawaban pribadi dari Direksi yang bersangkutan. Karena transaksi self dealing termasuk ke dalam transaksi yang berbenturan kepentingan yakni, dalam transaksi tersebut terdapat kepentingan dari pihak Direksi, padahal lawan dari transaksi tersebut adalah perseroan, maka adalah lumrah saja jika transaksi tersebut sangat rentan terhadap akibat tidak fair bagi perseroan. Karena itu, kalaupun transaksi seperti itu diperkenankan, haruslah dibuktikan secara nyata bahwa transaksi tersebut tetap layak dan dilakukan secara fair dan businesslike . Jadi jika menyangkut dengan harga transaksi, harga tersebut tetap harga yang layak tanpa adanya tindakan mark up atau mark down. 58 Karena itu, fokus pengadilan dalam transaksi self dealing tetap kepada apakah fair atau tidak terhadap transaksi yang dilakukan oleh Direksi tersebut. Dengan demikian, khusus dalam hal transaksi self dealing, tidak berlaku doktrin business judgement rule, yang pada prinsipnya mengajarkan bahwa pengadilan tidak ikut campur untuk menilai atau melakukan secondguess terhadap kebijaksanaan bisnis dari Direksi perseroan. Seperti telah disebutkan bahwa pengaturan terhadap transaksi self dealing adalah dimaksudkan sebagai suatu langkah operasionalisasi dari doktrin hukum perseroan bahwa seorang Direksi tidak boleh mengambil keuntungan secara pribadi dari perseroan belum tentu dirugikan. Namun, prinsip hukum ini tidak berlaku mutlak bahkan sering kontroversional. Karena itu, mencari untuk pribadi tersebut akhirnya 58
Ibid
menimbulkan berbagai teori dan doktrin hukum, yang dikaitkan dengan faktor sebagai berikut : 59 1. Adanya kebutuhan bisnis yang reasonable yang tidak dapat dielakkan untuk membuat transaksi bisnis antara Direksi dengan perseroannya. 2. Adanya kecendrungan serius untuk penyalahgunaan kewenangan Direksi yang cendrung akan menguntungkan pihak Direksi dalam transaksi self dealing tersebut. Pada prinsipnya dalam sejarah terjadi evolusi perkembangan pengaturan hukum tentang self dealing yaitu sebagai berikut : 60 1. Pelanggaran total (flat prohibition) terhadap transaksi self dealing 2. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair dan disetujui oleh mayoritas Direksi independen. 3. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan pengadilan menganggapnya bahwa transaksi tersebut telah dilakukan secara fair. 4. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair atau disetujui oleh mayoritas pemegang saham independen yang telah di informasikan secara layak (well informed). Sejarah perkembangan hukum tentang transaksi self dealing ini terefleksi dari perkembangannya dalam sejarah hukum Amerika Serikat. Di sana pengaturan hukum tentang transaksi self dealing ini berkembang dalam empat tahap sebagai berikut :
59 60
Ibid. Ibid
1. Tahap I :Sejak 1880 Dalam tahap pertama ini semua kontrak self dealingdisamaratakan. Yakni semua kontrak self dealing – by definition – dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrak tersebut fair atau tidak. 2. Tahap II : Sejak Tahun 1990 Perkembangan doktrin self dealingdalam tahap kedua ini adalah bahwa suatu kontrak self dealing dapat dibenarkan manakala memenuhi kedua syarat sebagai berikut : a. Disetujui oleh mayoritas pemegang Direksi yang tidak berbenturan kepentingan b. Transaksi tersebut tidak mengandung unsur-unsur ketidakadilan dan penipuan. Akan tetapi, manakala dalam kontrak tersebut mayoritas Direksi memiliki kepentingan, maka kontrak self dealing tersebut – by definition – dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrak tersebut fair atau tidak. 3. Tahap III :Sejak Tahun 1960 Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing dianggap sah manakala terpenuhi salah satu dari 3 (tiga) unsur sebagai berikut : a. Transaksi tersebut adil dan layak (just and reasonable) b. Disetujui oleh mayoritas yang tidak berbenturan kepentingan, atau
c. Diratifikasi oleh pemegang saham yang tidak berbenturan kepentingan Pengaturan seperti yang dikembangkan di tahap keempat misalnya diberlakukan oleh Undang-undang perseroan (Corporate Act) California Tahun 1975, melalui Pasal 310. Dengan demikian, dalam sejarah hukum perseroan terjadi perkembangan dari prinsip hukum tentang self dealing yang tegas bahkan kaku, yakni yang melarang atau dapat dibatalkan terhadap semua transaksi self dealing, berkembang kepada ketentuan yang lebih relaks. Perkembangan dalam sejarah ini terjadi karena berkembangnya beberapa teori hukum perseroan sebagai berikut : 61 1. Teori Pengaruh Manajerial Menurut teori manajerial (managerial influence theory), maka perkembangan sejarah tentang pengaturan self dealing ini adalah sebagai akibat dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing tersebut. Menurut teori ini, pihakpihak pengadilan dan legislatif terpesona dalam cengkraman pihak manajer perseroan. 2. Teori Perubahan Sistem Hukum dan Perilaku Sosial Teori kedua yang menjelaskan mengapa ada perubahan aturan hukum dalam sejarah dari larangan secara mutlak dan rigid terhadap transaksi self dealing
61
Ibid, hal. 213.
kepada aturan hukum yang lebih relaks adalah karena adanya perubahan patron hukum dan sejarah yang menjurus kepada sistem hukum dan perilaku sosial yang lebih mengarah kepada adanya sistem hukum yang lebih permisif dan fleksibel. Dalam hal ini aturan hukum berkembang kepada sistem yang terbuka (open ended) sehingga hakim dapat menafsirkannya secara fleksibel untuk disesuaikan dengan keadaan, situasi, dan kondisi dan kasus perkasus. 3. Teori Pengaruh Lawyer Teori ketiga yang mencoba menjelaskan mengapa aturan main untuk self dealing dalam sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku kepada sistem yang lebih releks dan fleksibel adalah karena adanya pengaruh dari pihak lawyer
yang menyerukan agar kasus-kasus self dealing iuji di
pengadilan yang tentu diajukan oleh lawyer, sehingga dengan aturan yang fleksibel, menyebabkan lebih banyak pekerjaan bagi pengadilan yang tentunya bertambah banyaknya pekerjaan dari lawyer. 4. Teori Pengaruh Hakim/ Pengadilan Teori keempat yang menjelaskan mengapa aturan main untuk self dealing dalam sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku, kepada sistem yang lebih relaks dan fleksibel adalah karena pengadilan mulai menyadari bahwa adakalanya transaksi self dealing bukan lagi berbahaya bagi perseroan melainkan justru diperlukan oleh perseroan. Mengakui transaksi self dealing
secara selektif ini jauh lebih sesuai dengan kebutuhan daripada melarangnya secara mutlak dengan berpegang secara kaku kepada posisi trustee dengan hubungan fiduciary dari Direksi perseroan. Contoh dari transaksi self dealing adalah penjualan aset perseroan kepada Pribadi Direksi atau kepada salah satu anggota keluarga dari Direksi. Umumnya konsekuensi hukum dari self dealing adalah berupa pertanggungjawaban pribadi dari Direksi yang bersangkutan. Terhadap transaksi self dealing, Direksi diwajibkan untuk melakukan keterbukaan. Yang mesti dilakukan Direksi terhadap transaksi self dealing adalah sebagai berikut : a. Terhadap transaksi dengan perseroan berupa jual beli saham perseroan dengan Direksi tersebut. b. Terhadap transaksi lainnya antara Direksi dengan perseroan. Benturan Kepentingan (Conflict of Interest) antara Direksi secara pribadi dengan PT, sebagai berikut: 1. Direktur tidak boleh menggunakan kekayaan atau uang PT untuk membuat keuntungan bagi dirinya, apabila terjadi Direktur tidak hanya melanggar tugasnya (breach of his duty), tetapi keuntungan yang diperoleh akan menjadi milik PT. Direktur menyalahgunakan kekayaan PT, untuk keuntungannya sendiri, sehingga dapat dituntut secara pidana, karena harta PT hanya boleh digunakan untuk tujuan yang telah ditentukan. 2. Direktur tidak boleh menggunakan informasi yang diperoleh atas dasar jabatan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Maksudnya adalah menggunakan
informasi tersebut guna memperoleh keuntungan bagi dirinya atau untuk orang lain yang mengakibatkan kerugian pada PT. Direktur mengetahui bahwa perusahaannya menghadapi risiko likuidasi dan menggunakan informasi tersebut untuk melindungi dirinya dan perusahaan lainnya yang juga dia sebagai Direkturnya, sehingga terhindar dari konsekuensi likuidasi tersebut. 3. Direktur tidak boleh menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadinya. Apabila Direktur menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, Direktur tersebut bertanggung jawab kepada perusahaan. 4. Direktur tidak boleh menahan keuntungan yang dibuat dengan alasan dan di dalam fiduciary relationship dengan perusahaan. Maksudnya terhadap Direktur yang melakukan atau making a secret propit, perusahaan sangat keras. Keuntungan atau manfaat tersebut harus dilaporkan kepada perusahaan dan disetujui. Bila tidak, Direktur harus bertanggung jawab. 62 Hal ini juga merupakan cerminan dari prinsip hukum perseroan bahwa Direksi tidak boleh mencari keuntungan secara pribadi dalam kedudukannya sebagai Direksi perseroan.
B. Transaksi Kesempatan Perseroan (Corporate Opportunity) Transaksi kesempatan perseroan (corporate opportunity) mengajarkan bahwa akibat dari adanya fiduciary duty dari Direksi, maka Direksi haruslah terlebih dahulu 62
I.G.Ray Widjaya, Op. Cit, hal. 224
mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingan pribadi. Dengan demikian, jika perusahaan mempunyai kesempatan (opportunity) untuk melakukan suatu transaksi dengan pihak ketiga sementara pihak Direksi juga ingin melakukan transaksi yang sama dengan pihak ketiga, maka pihak Direksi perusahaan harus mengutamakan kepentingan terlebih dahulu dengan mempersilahkan perusahaan untuk melakukan transaksi tersebut, dan Direksi harus mengalah untuk itu. 63 Pada prinsipnya oportunitas perseroan (corporate opportunity) merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang Direktur, Komisaris atau Pegawai perseroan lainnya ataupun Pemegang Saham utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya. Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan kesempatan (opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, Direksi tidak boleh mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya karena kesempatan tersebut seyogyanya diberikan untuk perusahaan. Dengan perkataan lainnya, sebenarnya oportunitas perseroan tidak lain dari suatu hak, kepemilikan, kepentingan atau suatu harapan yang menurut sendi-sendi keadilan merupakan milik dari perseroan.64 Untuk dapat mengatakan bahwa suatu kesempatan bagi Direksi dianggap sebagai oportunitas perseroan, akan dilihat dari berbagai faktor dominan disekitar tindakan yang
63 64
Munir Fuady I, Op. Cit,hal. 63 Ibid, hal. 226
dicurigai sebagai oportunitas perseroan. Faktor-faktor dominan yang sering digunakan oleh hukum adalah sebagai berikut :65 1. Tentang Keterbukaan Yakni apakah Direktur tersebut melakukan disclosure kesempatan tersebut kepada perseroan atau menikmati manfaat secara diam-diam. 2. Tentang Negosiasi Yakni apakah sebelumnya Direksi melakukan negosiasi dengan perseroan tentang kesepakatan memperoleh keuntungan tersebut dan kemudian tidak dilanjutkan oleh Direksinya itu. 3. Tentang Penawaran Yakni apakah dilakukan penawaran tentang kesempatan tersebut kepada perseroan atau kepada Direksi sebagai wakil/ agen dari perseroan. 4. Tentang Pengetahuan Direksi Yakni apakah Direksi mengetahui adanya kesempatan tersebut dalam posisinya selaku Direksi dari perseroan. 5. Tentang Kebutuhan Perseroan Yakni apakah ada kebutuhan yang cukup substansial dari perseroan agar kesempatan tersebut diberikan kepada perseroan. 6. Tentang Keunikan Yakni apakah harta benda yang ditransaksikan tersebut cukup unik sehingga sulit didapatkan penggantinya. 65
Ibid, hal. 232
7. Tentang Fasilitas Yakni apakah dalam mengambil manfaat dari kesempatan tersebut, Direksi menggunakan fasilitas atau aset dari perseroan 8. Tentang Penggunaan Dana Perseroan Yakni apakah digunakan dana perseroan dalam hubungan dengan transaksi yang merupakan oportunitas perseroan tersebut. 9. Tentang Keterlibatan Direksi di Perusahaan lain Yakni apakah perusahaan lain (di mana Direksi juga terlibat) yang mengambil kesempatan tersebut, bukan satu-satunya perseroan yang mungkin melakukan tindakan untuk mengambil kesempatan tersebut. 10. Tentang Permintaan Diskon Yakni apakah Direksi meminta semacam diskon dari perseroan jika perseroan tersebut yang mengambil kesempatan tersebut. 11. Tentang Persaingan atau Penghalangan Yakni apakah dengan Direksi mengambil manfaat dari kesempatan tersebut, Direksi akan bersaing dengan perseroan atau menghalangi kebijaksanaan perseroan. 12. Tentang Persetujuan Perseroan Yakni apakah pihak perseroan menyetujui tindakan oportunitas perseroan yang diambil oleh Direktur tersebut. Persetujuan perseroan ini dapat melalui persetujuan Direksi Independen atau persetujuan Pemegang Saham Independen. 13. Tentang Penugasan
Yakni apakah Direksi atau pegawai perusahaan tersebut memang ditugaskan oleh perusahaan untuk mendapatkan kesempatan atau transaksi yang merupakan oportunitas perseroan tersebut. 14. Tentang Penawaran kepada Perseroan Yakni apakah Direksi bermaksud untuk menawarkan aset yang dibelinya tersebut kepada perseroan yang dipimpinnya. 15.Tentang Kemampuan Perseroan Yakni apakah perseroan cukup mampu untuk mendapatkan kesempatan bertransaksi tersebut. 16. Tentang Keaktifan Perseroan Yakni apakah perseroan selama ini cukup aktif berusaha untuk mengambil kesempatan tersebut. Dan jika cukup aktif, apakah kemudian perseroan telah mengabaikan usaha pencapaian perolehan kesempatan tersebut. Adakalanya, meskipun tindakan Direksi termasuk ke dalam oportunitas perseroan bila dilihat menurut doktrin oportunitas perseroan, tetapi oleh hukum masih dapat dibenarkan jika tindakan tersebut dilakukan oleh Direksinya. Kekecualian terhadap larangan melaksanakan tindakan oportunitas perseroan tersebut diberikan dalam hal-hal sebagai berikut :66 1. Pelepasan Tindakan Oportunitas Perseroan Bisa saja perseroan secara sukarela melepaskan haknya untuk mengambil oportunitas perseroan atau mengabaikan saja oportunitas perseroan tersebut. Hal ini 66
Ibid, hal. 234.
sah-sah saja dilakukan oleh perseroan. Akan tetapi, jika kemudian Direksi bermaksud untuk mengambil oportunitas perseroan tersebut, maka tindakan pelepasan hak atau mengabaikan oportunitas perseroan oleh perseroan tersebut tentunya juga dilakukan melalui Direksi yang bersangkutan. Karena itu, tindakan melepaskan hak oportunitas perseroan oleh perseroan tersebut termasuk ke dalam golongan transaksi berbenturan kepentingan dari Direksi, tepatnya transaksi self dealing, sehingga aturan main tentang self dealing berlaku terhadap tansaksi tersebut Namun, tindakan perseroan untuk melepaskan haknya atas oportunitas perseroan tersebut dapat juga dilakukan oleh mayoritas Direksi yang tidak mempunyai benturan kepentingan setelah dilakukan full disclosure, sehingga persetujuannya menjadi sebuah informed consent. 2. Ketidakmungkinan Perseroan untuk Melakukan Tindakan Oportunitas Perseroan Adakalanya perseroan berada dalam posisi tidak mungkin untuk melakukan tindakan oportunitas perseroan tersebut. Misalnya, jika pihak dengan siapa deal harus dilakukan, hanya mau melakukan transaksi jika transaksi tersebut dilakukan untuk Direksi pribadi, bukan perseroan. Maka dalam hal ini, Direksi tersebut secara ukum dapat melakukan tindakan tersebut meskipun tindakan tersebut merupakan oportunitas perseroan. 3. Ketidakmampuan Perseroan untuk Melakukan Tindakan Oportunitas Perseroan Di samping itu, mungkin juga terjadi bahwa suatu tindakan sebenarnya tergolong ke dalam oportunitas perseroan, tetapi perseroan tersebut tidak mampu mengambil
kesempatan tersebut, misalnya karena ketidakmampuan menyediakan dana atau tidak memperoleh sumber keuangannya. 4. Restu dari Perseroan Jika tindakan Direksi atau pejabat lainnya dari perseroan mengambil oportunitas perseroan dan sebelum atau sesudah transaksi terjadi sudah terlebih dahulu disetujui oleh perseroan
(diwakili oleh Direksi Independen), atau Pemegang Saham
Independen, maka tindakan tersebut secara yuridis dapat dilakukan oleh Direksi perseroan, sebab tindakan tersebut sudah mendapatkan restu berdasarkan disclosure yang cukup(informed consent). Apabila kita melihat dalam ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka tidak terdapat ketentuan yang tegas yang melarang atau mengatur bagaimana status dari transaksi yang dilakukan oleh Direksi untuk kepentingan pribadinya di mana menurut ilmu hukum perseroan, transaksi tersebut termasuk ke dalam golongan oportunitas perseroan yang dipimpinnya. Demikian juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, ketentuan ini menjadi penting sebab terdapat “fakta material” yang wajib diinformasikan kepada publik, tetapi informasi tersebut harus diinformasikan pada waktu yang tepat, karena apabila informasi tersebut diberikan sebelum waktunya (bukan waktu yang tepat sesuai perundangundangan), maka tindakan tersebut juga dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Dinamakan “fakta material” adalah segala informasi yang dapat mempengaruhi harga saham perseroan yang bersangkutan pada pasar modal. Namun
demikian, karena semacam prinsip fiduciary duty diperkenalkan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas, maka hal tersebut tentunya juga berimbas kepada larangan melakukan transaksi untuk pribadi yang sebenarnya transaksi tersebut merupakan oportunitas perseroan. Karena itu, seorang Direksi perseroan haruslah menjalankan tugasnya selaku Direksi dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan dan tujuan perseroan yang dipimpinnya.67
C. Transaksi Orang Dalam (Insider Trading) Pada prinsipnya transaksi orang dalam (insider trading) dilarang oleh hukum perseroan. Yang dimaksud dengan insider trading adalah suatu transaksi (umumnya ditujukan terhadap transaksi saham) yang dilakukan oleh mereka yang tergolong orang dalam perusahaan (seperti Direksi, Komisaris dan lain-lain) transaksi mana dimotivasi oleh adanya informasi orang dalam (inside information) yang penting dan belum terbuka untuk umum, dengan transaksi mana pelakunya mengharapkan akan mendapatkan keuntungan jalan pintas (short swing profit), sementara orang lain belum mengetahui adanya informasi tersebut. Dimana-mana insider trading ini dilarang dengan hanya sedikit kekecualian. Bahkan, umumnya hukum yang berlaku adalah bahwa para pelaku insider trading diancam dengan hukuman pidana yang berat.
67 68
68
Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005, hal. 42 Munir Fuady I, Op. Cit, hal. 64
Pengertian insider dikelompokkan secara limitatif yang diatur dalam Pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM), yaitu seperti berikut :69 1. Komisaris, Direksi dan Pegawai emiten atau perusahaan publik. 2. Pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik 3. Orang perseorangan yang karena kedudukannya atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam. 4. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi pihak sebagaimana disebut di atas. Selanjutnya, Pasal 96 UUPM menjelaskan mengenai larangan “orang dalam” untuk : 1. mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek dimaksud; dan 2. memberikan informasi orang dalam kepada pihak mana pun yang patut diduga dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek. Sedangkan Pasal 97 UUPM terdapat ancaman bagi pihak lain yang berusaha untuk memperoleh informasi dari orang dalam yang tidak sesuai dengan UUPM, yaitu pihak lain tersebut memperoleh informasi dari orang dalam dengan melawan hukum dan atau tidak disediakan oleh emiten.
69
Tri Widiyono, Op.Cit, hal.48
BAB IV UPAYA MENGATASI TERJADINYA BENTURAN KEPENTINGAN A. Pengaturan Benturan Kepentingan (Conflict of Interest) Undang-Undang Pasar Modal Pasal 82 ayat (2) menyebutkan, bahwa Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen untuk secara sah dapat melakukan transaksi yang berbenturan kepentingan, yaitu kepentingan-kepentingan ekonomis emiten atau perusahaan publik dengan kepentingan ekonomis pribadi Direksi atau Komisaris atau juga pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. Undang-Undang Pasar Modal mencantumkan ketentuan mengenai hal ini menandakan bahwa praktik demikian telah berlangsung lama dan berpotensi merugikan salah satu pihak, karena adanya unsur kolusi dan pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan informasi 70 . Di Indonesia sendiri, dasar hukum pengaturan transaksi benturan kepentingan di Indonesia, selain Undang-undang Pasar Modal, adalah Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-84/PM/1996 tanggal 24 Januari 1996, sebagaimana diubah dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-12/PM/1997 tanggal 30 April 1997 dan dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-32/PM/2000 tanggal 22 Agustus 2000 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu atau singkatnya, Peraturan IX.E.1 . Namun 70
M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 241.
dalam pelaksanaannya, Peraturan IX.E.1 ini cukup rumit dan memiliki cakupan yang luas sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaannya oleh Perusahaan Publik atau Emiten yang akan mengadakan Transaksi Benturan Kepentingan Transaksi yang mengandung benturan kepentingan sesuai dengan Peraturan Bapepam No. IX.E.I, adalah jika suatu transaksi di mana seorang Komisaris, Direktur, atau Pemegang Saham utama mempunyai Benturan Kepentingan, maka transaksi dimaksud harus disetujui oleh Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Persetujuan mengenai hal tersebut harus ditegaskan dalam bentuk akta Notaris. Beberapa ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 yang relevan terhadap masalah transaksi self dealing adalah sebagai berikut: Pasal 97 yang berbunyi :”Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pasal 84 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 99 UUPT No.40 Tahun 2007 yang berbunyi sebagai berikut : (1)
Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila : a. Terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan,atau b. Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.
(2)
Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili perseroan adalah : a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan; b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan; atau c. Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan. Dalam hal anggaran dasar tidak menetapkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), RUPS mengangkat 1(satu) orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan. Selanjutnya Pasal 85 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 UUPT No.40 Tahun 2007, menyebutkan sebagai berikut : (1)
Direksi bertanggungjawab atas pengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2)
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab.
(3)
Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
(5)
Anggota
Direksi
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga) apabila dapat membuktikan a.Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya b.Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. c.Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian dan d.Telah megambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. (6)
Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
(7)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/ atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan. Penjelasan dari Pasal 97 ayat (6) :” Dalam hal tindakan Direksi merugikan
perseroan, maka pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 97 ayat (6) dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan. Selanjutnya Pasal 88 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 102 UUPT No.40 Tahun 2007 menentukan sebagai berikut : (1)
Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan hutang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan.
(2)
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik.
(3)
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tanpa persetujuan RUPS, tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.
(4)
Ketentuan kuorum kehadiran
dan/atau ketentuan tentang pengambilan
keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 mutatis mutandis berlaku bagi keputusan RUPS untuk menyetujui tindakan Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dari ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tidak melarang dilakukannya self dealing oleh Direksi perseroan. Jadi dengan demikian, boleh saja misalnya seorang pihak Direksi perseroan melakukan transaksi atau membeli aset perseroan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Dalam melakukan transaksi dengan Direksi, maka perseroan haruslah diwakili oleh Direksi yang lain atau siapapun lainnya yang berhak mewakili perseroan sesuai ketentuan dalam anggaran dasar perseroan. Apabila anggaran dasar tidak menentukan dalam hal yang demikian siapa yang berwenang mewakili perseroan maka RUPS menangkat 1(satu) orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan. ( Pasal 99 ayat (1b) juncto ayat (2) Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. 2. Tidak ada kewajiban disclosure terhadap perseroan, terhadap Direksi lain, atau terhadap pemegang saham manakala Direksi melakukan transaksi self dealing. Apabila transaksi tersebut merupakan pengalihan
atau jaminan hutang atas
sebagian besar dari aset perseroan, berlaku ketentuan tentang kewajiban RUPS dengan quorum dan voting dengan jumlah suara khusus, dan harus diumumkan dalam 2(dua) surat kabar harian. (Lihat Pasal 102 Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007). Akan tetapi, ketentuan seperti ini berlaku untuk semua jenis transaksi, bukan hanya untuk kasus self dealing, melainkan juga terhadap semua transaksi penjualan atau penjaminan atas sebagian besar aset. 3. Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, tidak ada kewajiban Direksi yang melakukan self dealing untuk meminta persetujuan pihak Direksi atau Pemegang Saham yang independen (yang tidak mempunyai benturan kepentingan), bahkan tidak ada kewajiban untuk meminta persetujuan RUPS.
4. Jika transaksi self dealing terjadi dalam perusahaan terbuka (perusahaan go public), maka terdapat kewajiban disclosure kepada pemegang saham yang hanya diikuti oleh pemegang saham independen. 5. Transaksi self dealing yang mengandung Conflict of Interest harus layak dan fair, karena itu tidak boleh mengandung unsur penipuan atau ketidakadilan. Jika mengandung unsur penipuan atau ketidakadilan, maka transaksi yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 97, yang menyatakan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan, dan setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana tersebut diatas. Pasal 99 ayat (1) UUPT menentukan bahwa dalam hal terjadi benturan kepentingan dari salah satu anggota Direksi pada satu sisi dengan kepentingan perseroan pada sisi yang lain, maka anggota Direksi tersebut tidak diizinkan untuk mewakili perseroan. Demikian juga apabila terjadi suatu perkara di pengadilan antara salah satu anggota Direksi dengan perseroan, maka anggota Direksi tersebut tidak di izinkan untuk mewakili perseroan di hadapan pengadilan. Kemudian Pasal 99 ayat (2) UUPT mengatur bahwa ” Yang berhak mewakili perseroan adalah Anggota Direksi lainnya, Dewan Komisaris, Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS. yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan”.
B.Prinsip Good Corporate Governance (GCC) Lahirnya Peraturan Nomor IX.E.I. merupakan respon terhadap konflik kepentingan (conflict of interest) yang biasanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, karena adanya kolusi yang didasarkan pada kewenangan dan tidak transparannya proses pengambilan keputusan. Latar belakang budaya perusahaan yang berasal dari perusahaan keluarga
yang membesar menjadi konglomerasi makin membuka
kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan yang mengandung konflik kepentingan. Perilaku kolutif di dunia bisnis sering kali terdengar terjadi akibat tumbuh, berkembang dan membesarnya suatu perusahaan yang tidak ditopang oleh suatu sikap yang tidak benar. Krisis Moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia memperlihatkan bukti itu 71 Peraturan Nomor IX.E.I. adalah untuk mengantisipasi perbuatan pihak-pihak tertentu yang mengandung konflik kepentingan yang diistilahkan dengan benturan kepentingan transaksi tertentu. Pemberlakuan ketetentuan ini sejalan dengan prinsip Good Corporate Governance, yaitu menghormati hak pemegang saham, memberikan perlakuan yang sama diantara pemegang saham, dan melindungi kepentingan pemegang saham minoritas. Good Corporate
Governance telah diawali sejak 200 tahun lalu ketika
Blackstone menggambarkan korporasi sebagai little republic. Dengan analogi itu menandakan bahwa suatu korporasi harus dikelola sebagaimana suatu republik,
71
M. Irsan Nasarudin-Indah Surya, Op. Cit. hal. 244
dengan demikian unsur pengelolaan perusahaan seperti halnya suatu republik harus diselenggarakan melalui tindakan-tindakan seperti berikut : 72 a. Pemilihan anggota Dewan Direksi (board of director) oleh pemegang saham melalui pemberian suara yang merupakan hak dasar pemegang saham b. Organ legislatif perusahaan (board of director) yang merupakan sentral kewenangan manajerial. Kewenangan perusahaan berada pada board of director c. Birokrasi perusahaan yang terdiri dari board of director dan eksekutif pelaksana sehari-hari manajemen perusahaan (day to day management). Ide dasar yang muncul dari GCC ini adalah untuk memisahkan fungsi dan kepentingan di antara para pihak (stakeholder) dalam suatu perusahaan, yaitu pihak yang menyediakan modal atau pemegang saham, pengawas, dan pelaksana sehari-hari usaha perusahaan dan masyarakat luas. Dengan pemisahan tersebut perusahaan akan lebih efisien. Dalam perkembangan selanjutnya
Corporate Governance (CG)
dijadikan sebagai aturan atau standard dibidang ekonomi yang mengatur prilaku pemilik perusahaan, Direksi, Manajer dengan merinci tugas dan wewenang serta pertanggungjawaban kepada pemegang saham. CG mengandung prinsip-prinsip yang melindungi kepentingan perusahaan, pemegang saham, manajemen, board of directors, dan investor, serta pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan. Prinsipprinsip tersebut adalah melalui penerapan fairness, transparancy, accountability,dan responsibility. 73
72 73
Ibid. hal. 97 Ibid.
Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah pengelolaan perusahaan (corporate governance) dari Ira M. Millstein, “The Evolution of Corporate Governance in the United States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana dikatakan bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas. Istilah pengelolaan perusahaan juga dapat mencakup segala aturan hukum yang ditujukan
untuk
memungkinkan
suatu
perusahaan
untuk
dapat
dipertanggungjawabkan di depan para pemegang saham perusahaan publik, seperti juga audit juga kerja dari pasar untuk mengkontrol perusahaan. Istilah itu dapat juga mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu kepada keaktifan pemegang saham. 74 Secara lebih sempit, istilah pengelolaan perusahaan dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan Direksi. Adapun sebutan yang tepat untuk definisi ini adalah pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan Direksi merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut.
74
Dalam Bismar Nasution, Diktat Hukum Pasar Modal, Good Corporate Governance,Perl Universitas Sumatera Utara, 2002.Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan , kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal.3-4.
Secara singkat istilah pengelolaan perusahaan tersebut oleh Gregory dan Simms diuraikan dengan pandangan definisi luas dan terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkenaan dengan hubungan antara manajer, Direktur dan pemegang saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Sedangkan, secara luas istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efesien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum. 75 Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coorperation and Development (OECD) mengenai pengelolaan perusahaan membuat satu laporan mengenai prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan (corporate governance) dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada “apa yang diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.” Laporan tersebut diketua oleh, Ira M. Millstein (Laporan Millstein). 76 Dalam Laporan Millstein itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut terfokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ialah, pertama, pemastian adanya perlindungan atas hak–hak pemilik saham minoritas dan asing, dan 75
Ibid Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets (April 1998). Diuraikan Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, Op. cit., hal.12. 76
pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya/ bahan. Kedua, pengklarifikasian peran dan tanggung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan Direksi. Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat adalah bidang transparansi, 77 yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan. Prinsip transparansi tersebut menyatakan, bahwa
“kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa
pengungkapan informasi yang akurat atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan.” 78 Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas merupakan trend dan perkembangan terpenting saat ini. Bagi negara-negara tertentu, memasuki era perdagangan
bebas
memerlukan
persiapan,
misalnya
mengefektifkan
dan
mengefisienkan perekonomian adalah suatu prasyarat kondisional. Belajar dari krisis keuangan dan ekonomi di Asia, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB, International Monetary Fund (IMF), Consultative Group on indonesian (CGI), berkesimpulan bahwa penerapan GCC adalah hal yang cukup mendesak untuk segera diimplementasikan oleh kalangan pelaku usaha dan solusi bagi krisis. Secara historis Corporate Governance (CG)
77 78
Holly J.Gregory dan Marshal E. Simms, Op. cit., hal. 12-13. Ibid, hal. 15.
adalah suatu konsep yang telah lama dirintis dan dijalankan oleh pakar hukum bisnis di negara-negara Anglo-Saxon dan beberapa negara Eropa. Menurut Saleem Sheikh dan SK Chatterjee CG adalah ” as a social contract between the company and the winder constituencies of the corporation which morally obliges the corporation and its directors to take account of the interests of other stakeholders.” 79 Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan, bahwa agar good corporate governance dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama good corporate governance, termasuk prinsip keterbukaan. 80 Upaya mencapai good corporate governance tersebut, juga sesuai dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap benturan kepentingan adalah lemahnya penerapan good corporate governance dalam pengelolaan perusahaan. 81 Prinsip transparansi (selanjutnya disebut “keterbukaan”) penting untuk mencegah penipuan (fraud) atau KKN. Sangat baik untuk dipahami ungkapan yang pernah diungkapkan Barry A.K Rider: “sun light is the best disinfectant and electric
79
M.Irsan Nasarudin, Op. Cit. hal. 95 Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta, Bapepem, 1999, hal.17. 81 Ibid. 80
light the policeman.” Dengan perkataan lain, Rider mengatakan bahwa “more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and abuse.” 82 Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dalam pasar keuangan pendapat tersebut tidak perlu lagi dibuktikan, tetapi lebih banyak tergantung informasi apa yang harus diungkapkan dan kepada siapa informasi itu disampaikan. 83 Fungsi prinsip keterbukaan untuk mencegah penipuan tersebut adalah pendapat yang paling tua.84 Dengan demikian prinsip keterbukaan menjadi isu utama yang harus dikaji. Prinsip keterbukaan sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam kegiatan perusahaan atau dunia pasar modal. Untuk lebih memahami pembenaran prinsip keterbukaan tersebut, dapat diikuti pengamatan Coffee tentang perlunya sistem keterbukaan wajib (mandatory disclosure system), dimana dengan teori yang lebih sederhana ia dapat menjelaskan bagaimana sistem keterbukaan difokuskan. Coffee. Jr mengatakan, bahwa ada dasar substansial untuk dipercaya bahwa ketidak efisienan yang lebih besar akan terjadi tanpa sistem keterbukaan wajib, karena biaya sosial yang berlebih akan dikeluarkan investor untuk mengejar laba perusahaan. Pengamatan Coffee tentang perlunya mempertahankan sistem keterbukaan wajib tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerapan keterbukaan bagi perusahaan dalam hal ini yang telah berbentuk badan hukum seperti halnya Perseroan Terbatas. Gunanya untuk mengatur pemberian informasi mengenai keadaan keuangan dan 82
Bismar Nasution , Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana, Jakarta, 2001. 83 Ibid, hal. 514. 84 Ibid, hal.418.
informasi lainnya kepada investor atau stakeholders. Dengan perkataan lain, tujuan yang ingin dicapai ketentuan penerapan keterbukaan itu adalah untuk menghasilkan dokumen yang menceritakan kepada investor atau stakeholders, mengenai berbagai hal yang seharusnya diketahui oleh mereka. Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan itu, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan investor atau stakeholders tidak memperoleh informasi atau fakta material. Sebaliknya, informasi itu juga sangat berfungsi karena berisi fakta materiel, yang dapat dibuat sebagai bahan untuk memberantas benturan kepentingan dalam perusahaan. Untuk memastikan seorang Direksi dapat menjalankan tugasnya secara independen, Direksi harus memenuhi kriteria formal sebagai berikut:. 85 1. Mampu melakukan perbuatan hukum. 2. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang bersalah menyebabkan perusahaan dinyatakan pailit. 3. Tidak pernah dipidana karena merugikan keuangan negara. 4. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan. 5. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Direktur dan atau Komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan.
85
Bismar Nasution Dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, Books Terrace & Library, Bandung, 2005.
6. Tidak bekerja rangkap sebagai Direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan. 7. Tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi dalam jangka waktu 3 tahun terakhir. 8. Tidak menjadi partner atau principal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan professional pada perusahaan dan perusahaanperusahaan lainnya yang terafiliasi. 9. Tidak menjadi pemasok dan pelanggan signifikan atau menduduki jabatan eksekutif dan Dewan Komisaris perusahaan pemasok dan pelanggan signifikan dari perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi. 10. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain yang dapat diinterpretasikan akan menghalangi atau Selain kriteria formal seperti disebutkan diatas, seorang Direksi harus memiliki beberapa kriteria dan kompetensi pribadi antara lain sebagai berikut: 1. Memiliki integritas dan kejujuran yang tidak diragukan. 2. Memahami seluk beluk pengelolaan bisnis dan atau keuangan perusahaan. 3. Memahami dan mampu membaca laporan keuangan perusahaan
4. Memiliki
kepekaan
terhadap
perkembangan
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi bisnis perusahaan. 5. Memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir strategis. 6. Memiliki karakter kepemimpinan, mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain. 7. Memiliki komitmen dan konsisten dalam melakukan profesinya sebagai Komisaris independen. 8. Memiliki kemampuan untuk berpikir objektif dan independen secara profesional.
C. Prinsip Fiduciary Duty Yang Diemban Direksi Sebagai "artificial person", perseroan tidak mungkin bertindak sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri. Untuk itulah maka diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak, yang akan menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian perseroan. Orang-orang yang akan menjalankan, mengelola dan mengurus perseroan ini dalam UUPT disebut dengan istilah organ perseroan. 86 Masing-
86
Istilah organ Perseroan dipakai dalam Pasal 1 angka 2 UUPT, yang menyatakan bahwa Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris.
masing organ dalam perseroan memiliki tugas dan wewenang yang berbeda-beda dalam melakukan pengelolaan dan pengurusan perseroan
87
Dari rumusan Pasal 92 ayat (1) UUPT dapat diketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan pengurusan perseroan adalah Direksi. Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. 88 Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 89 Hal ini membawa konsekuensi hukum bagi setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha Perseroan. UUPT tidak memberikan suatu ketentuan Iebih lanjut mengenai makna pengurusan Perseroan oleh Direksi. Fred BG Tumbuan dalam "Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta kedudukan RUPS Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 menyatakan : "Kewenangan pengurusan tersebut dipercayakan oleh Undang-undang kepada Direksi untuk kepentingan perseroan sebagai badan hukum yang mempunyai eksistensi sendiri selaku subjek hukum mandiri (Persona Standi in judicio). Dalam
87
Pengaturan mengenai tugas dan wewenang masing-masing organ diatur dalam UUPT. Beberapa yang terpenting diantaranya adalah : a. Pasal 75 ayat (1)UUPT yang menyatakan bahwa RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan atau Anggaran Dasar Perseroan Terbatas. b. Pasa1 92 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa kepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi. c. Pasal 94 ayat (I) UUPT menyatakan bahwa Perseroan memiliki Dewan Komisaris yang melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan dan memberi nasehat kepada Direksi. 88 Pasa1 92 ayat (1) UUPT 89 Pasal 97 ayat (3) UUPT
menjalankan fungsinya tersebut Direksi perseroan terikat pada kepentingan perseroan sebagai badan hukum ”. 90 Pengurus dalam melakukan tugasnya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh Pembina/ Pendiri, jadi harus berbuat bonafide, untuk kepentingan perusahaan dan harus sesuai dengan tujuan dan maksud perusahaan. Kepengurusan perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dilakukan oleh Direktur. Keberadaan Direktur dalam suatu perseroan merupakan suatu keharusan atau dengan kata lain perseroan wajib memiliki Direktur, karena perseroan sebagai "artificial person" tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari Direktur sebagai "natural person." Oleh karena itu, Direktur mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap perseroan. Tugas dan tanggung jawab Direktur serta wewenangnya ditetapkan oleh Undang-undang, dengan demikian keberadaan Direktur dalam perseroan diatur berdasarkan Undangundang. 91 Tanggung jawab pengurus perseroan yang diwakilkan oleh Direktur 92 pada dasarnya dilandasi oleh dua prinsip yang penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan oleh Perseroan kepadanya (fiduciary
90 Fred BG Tumbuan, Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta RUPS Perseroan Terbatas menurut Undang-undang No. l Tahun 1995, Makalah Kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun Ajaran 2001-2002, ha1.7. 91 Ketentuan lama yang berlaku berkenaan dengan hal tersebut –sebelum berlakunya UUPT, bahwa dalam Perseroan sekurang-kurangnya harus terdapat satu orang Direktur. Hal ini sejalan dengan pemahaman atas PT sebagai badan hukum yang mau tidak mau, memerlukan adanya pengurus atau seorang Direktur. Baca LG.Rai Widjaya, SH, MA. Hukum Perusahaan,(Jakarta: Penerbit Kesaint Blanc, 2000), ha1.209. 92 Winardi, Asas-asas Manajemen, (Bandung: Penerbit Alumni,1983), hal. 144.
duty) 93 dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan pengurus perseroan (duty of care). Kedua prinsip ini menuntut pengurus perseroan untuk bertindak secara hati-hati dan disertai dengan itikad baik semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. 94 Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat dijumpai dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal 92 ayat (1) UUPT No.40 Tahun 2007, pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi, lebih jelasnya Pasal 97 ayat (1) UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan untuk dan kepentingan dan tujuan perseroan. Sedangkan Pasal 97 ayat (2) UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas tersebut. 95
93 Yang dimaksud dengan tugas fiduciary duties dari seorang Direktur adalah tugas yang terbit secara hukum (by the operation of law) dari suatu hubungan fiduciary antara Direktur dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan Direktur berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang Direktur haruslah mempunyai kepedulian dan kcmampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree). Baca Munir Fuady, Perseroan Terbatas - paradigma Baru, Bandung , Penerbit PT. Citra Aditya Bakti , 2003, hal. 81. 94 Ketentuan yang mengatur tentang prinsip fiduciary fkity dan prinsip duty of skill and care tidak diatur secara tegas dalam WPT, tetapi kedua prinsip ini tersirat dalam Pasal 82, Pasal 85 dan Pasal 87 UUPT. Baca Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan,(Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000), ha1.6. 95 Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya¸ Makalah disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera, bertempat di Tanjung Morawa, Medan pada tanggal 27 april 2006. hal. 17
Hubungan kerja antara pengurus perseroan dengan perseroan yang memberikan pekerjaan adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duty). 96 Pengurus perseroan dalam melakukan tugasnya harus menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk tujuan yang patut. Pengurus perseroan tidak dapat atau tidak boleh memperoleh keuntungan untuk dirinya pribadi, bila keuntungan ini diperoleh karena kedudukannya sebagai pengurus perseroan tersebut. 97 Oleh karena itu berdasarkan prinsip kepercayaan ini, maka pengurus perseroan harus berbuat bonafide untuk kepentingan perseroan secara keseluruhan. Pengurus perseroan tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi karena posisi yang dijabatnya. 98 Doktrin fiduciary duty menuntut pengurus perseroan bertindak dengan itikad baik untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pelanggaran terhadap prinsip ini membawa konsekuensi yang berat bagi pengurus perseroan yang diamanahkan kepada seorang Direksi, seperti terlihat antara lain dalam Pasal 97 ayat (2) dan Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang, Perseroan Terbatas (UUPT) karena ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atau dengan
96
Black's Law Dictionary memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan Fiduciary Duty, yaitu : " A Duty to act for someone else's benefit, while subordinating one's personal interest to that of the other person. It is the highest standart of duty implied by law (e.g. trustee, guardian). 97 Ada kemungkinan Direktur memperoleh keuntungan bila Perseroan secara tegas dan transparan monolak opportunity yang ada, Direktur tidak dapat monghindari tanggung jawab pembuktian dengan menyatakan bahwa adalah fair ia memperoleh keuntungan. Baca Chatamarrasjid Ais, " Pengaruh Doktrin piercing The Corporate Veil dalam Hakum Perseroan Indonesia " Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 6 Tahun 2003, hal. 12. 98 Berdasarkan kepercayaan ini maka Direktur memiliki otonomi dalam menjalankan kepengurusan Perseroan. Otonomi Direktur ini dibatasi oleh azas kepantasan. Sepanjang Direktur telah menjalankan kepengurusan secara pantas, maka ia dikatakan tidak menyalahgunakan atau melanggar otonomi yang diberikan. Baca Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri dan Pertcnggung jawaban Terbatas dari Perseroan Terbatas, , (Surabaya: Penerbit Airlangga University Pres, 1983), hal. 9.
perkataan lain berlaku "Piercing the corporate veil". 99 Prinsip fiduciary duty 100 dalam Black Law Dictionary memberikan definisi adalah sebagai berikut: "A dutty of utmost good faith, trust, confidence and candor owed by a fiduciary (such as lawyer or corporate officer) to the beneficiary (such as lawyer's client or a shareholder) ; a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interest of other person such as the duty that one partner owes to another”. Hal ini merupakan salah satu hal yang terpenting dalam hukum perseroan, berasal dan mempunyai akar-akarnya dalam hukum Romawi, tetapi banyak dikembangkan oleh sistem hukum Anglo Saxon ini menyelusup ke dalam berbagai bidang hukum, termasuk ke dalam hukum perusahaan dengan mengintrodusirnya sebagai tugas fiduciary dari Direktur. Dalam prakteknya prinsip fiduciary duty ini berkembang secara unik terhadap pengurus perseroan yang diamanahkan kepada seorang Direktur dalam hubungan amanah (hubungan fiduciary) dengan perseroan, bahkan sampai batas-batas tertentu dalam hubungan dari pengurus perseroan dengan pemegang saham dan para pekerja dalam perusahaan.
99
Disini terlihat bahwa Pasal 97 ayat (3) UUPT bertolak dari doktrin fiduciary duty, kemudian menerobos cadar Perseroan dan mengakibatkan Direktur harus bertanggungjawab secara pribadi 100 Bandingkan pengertian ini dengan pendapat Bismar Nasution yang dapat dilihat dalam Bismar Nasution, Keterbukaan: Dalam Pasar Modal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana, Jakarta, 2001, hal. 72.
Di samping itu, ternyata aplikasi prinsip fiduciary duty ini terhadap pengurus perseroan juga akan berdampingan dengan berbagai teori hukum atau hubungan hukum yang lain, yang juga secara historis berlaku terhadap pengurus perseroan dalam hal ini adalah Direktur, seperti hubungan keagenan. Atau berhadapan dengan tugas Direktur lain yang berkenaan dengan tugas kepedulian (duty of care) 101 yang juga dituntut dari seorang Direktur. Seseorang mempunyai tugas fiduciary manakala ia mempunyai kapasitas (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika bisnis yang ditransaksikannya atau properti yang dikelolanya bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain tersebut, dimana orang lain tersebut memiliki kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Sementara itu, dilain pihak la wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan tugasnya. 102 Antara orang yang mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary capacity) dengan pihak yang diasuhnya atau yang harta bendanya diasuh, terdapat suatu hubungan khusus yang disebut dengan hubungan
101
Tugas untuk memperdulikan (duty of care) dimaksudkan disini adalah bahwa Direktur diharapkan untuk berhati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian yang mecurigikan pihak lain. Baca Gary W. Christian, President Director, CS consultanst, Liabilities of Directors and Commissioner Under The New Indonesian Company Law, Makalah disampaikan pada Konfrensi tentang Implementasi UU Perseroan Baru, Jakarta, 22 April 1996. Dalam hal ini Sutan Remy Sjahdeni berpendapat bahwa di negara-negara yang menganut sistem common law standart yang digunakan untuk menentukan duty of care adalah standard of care atau standar kepedulian. Baca Sutan Remy Sjahdeini, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit Jurnal Hukum Bisnis, hal. 100. 102 Munir Fuady I, Op. Cit , hal. 33.
fiducia (fiduciary relation). 103 Dalam hal ini, seseorang percaya kepada orang lain, dimana orang lain tersebut bertindak dengan itikad baik (good faith) dan dengan penghormatan yang baik (due regard) dan fair kepada kepentingan orang lain tersebut. 104 Pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari pengurus suatu perseroan yang diamanahkan kepada seorang Direktur yaitu sebagai berikut: 105 1. Fungsi Manajemen, dalam arti Direktur melakukan tugas memimpin perusahaan. 2. Fungsi Representasi, dalam arti Direktur mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan diluar pengadilan menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh Direktur atas nama dan untuk kepentingan perseroan.
103
Fudiciary Relation is a relationship in which one person is under a duty to act for the benefit of the orther on matters within the scope of a relationship. Fudiciary relation such as trustee-beneficiary, guardian-ward, agent-principal, and attorney-client-reguire the highest duty of care. Fudiciary relation usu. Arise inone of four situations : (1). When one person places trust in the faithful integrity of another, who as a result of gains superiority or influence over the first, (2). When one person assumes control and responsibility over another, (3). When one person has aduty to act or give advice to another on matters falling within a scope a relationship, or (4). When there is a spesific relationship that has traditionally been recognized as involving fiduciary duties, as with a lawyer and aclient or a stockbroker and a customer also termed fudiciary relation. Dalam Bismar Nasution dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, Bandung: BooksTerrace & Library, 2005, hal. 38 104 Dengan demikian, yang dimaksud dengan fuduciary duty adalah suatu tugas dari seseorang yang disebut dengan trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee tersebut dengan pihak lain yang disebut dengan beneficiary, dimana pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi kepada pihak trustee, dan sebaliknya pihak trustee juga mempunyai kewajiban yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin dengan itikad baik yang tinggi, fair dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya atau untuk mengelola harta/aset milik beneficiary dan untuk kepentingan beneficiary, baik yang terbit dari hubungan hukum atau jabatannya sebagai trustee (secara tekhnikal) atau jabatan - jabatan lain seperti lawyer (dengan kliennya), perwalian (guardian), executor, broker, kurator, pejabat publik atau Direktur dari suatu perusahaan. 105 Munir Fuady I, Op. Cit. hal. 32
Prinsip fiduciary duty berlaku bagi Direktur dalam menjalankan tugasnya, baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari perseroan. Sepanjang sejarah penerapan teori fiduciary duty ini, muncul beberapa pedoman dasar bagi pengurus perseroan dalam menjalankan fiduciary duty terhadap perseroan yang dipimpinnya. Pedoman dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fiduciary Duty merupakan unsur wajib (mandatory, element) dalam hukum perseroan. 2. Dalam menjalankan tugasnya, seorang pengurus perseroan yaitu Direktur tidak hanya harus memenuhi unsur itikad baik, tetapi juga harus memenuhi unsur tujuan yang layak (proper purpose). 3. Pada prinsipnya Direktur dibebani prinsip fiduciary duty terhadap Perseroan, bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya perusahaanlah yang dapat memaksakan Direktur untuk melaksanakan tugas fiduciary tersebut. 4. Direktur dalam menjalankan fungsinya sebagai pengurus perseroan secara umum ia juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders, seperti pihak pemegang saham dan buruh perusahaan. 5. Sekalipun menyandang tugas sebagai Direktur, Direktur tetap bebas dalam memberikan
suara
dan
pendapat
sesuai
dengan
kepentingannya dalam setiap rapat yang dihadirinya.
keyakinan
dan
6. Pengurus perseroan dalam hal ini yaitu Direktur tetap bebas dalam mengambil keputusan sesuai dengan pertimbangan bisnis dan sense of business yang dimilikinya.
Bahkan
pihak
pengadilan
tidak
boleh
ikut
campur
mempertimbangkan sense of bisiness dari seorang Direktur. 7. Dalam hal-hal dimana terdapat conflict of interest, seorang pengurus perseroan dilarang atau setidak-tidaknya dibatasi atau diawasi dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan tersebut misalnya dengan memberlakukan prinsip keterbukaan informasi (disclosure) terhadap setiap transaksi yang ada conflict of interest. Pada dasarnya pengurus perseroan hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh Direktur diluar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti pengurus perseroan memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Dalam Bismar Nasution dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, lihat juga Paul L. Davies, Gower's Principles of Modern Company Law, London, Sweet Maxwell, 1977, hal. 601. Paul L. Davies dalam Gower's Principles of Modern Company Law, menyatakan bahwa “ : 1. In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are : 2. that directors must act in good faith in what they believe to be the best interest of the company. 3. that they must not exercise the powers conferred upon them for purposes di fferent from those for which they were conferred. 4. that they must not fetter their discretion as to how they shall act.
5.
that without the informed consent of the company. They must not place themselves in the positio, n in which their personal interest or duties to other persons are liable to conflict with their duties.
Keempat prinsip tersebut pada hakekatnya menunjukkan bahwa Direktur
perseroan
dalam
menjalankan
tugas
kepengurusannya
harus
perseroan
bukan
senantiasa : 1. Bertindak dengan itikad baik. 2. Senantiasa
memperhatikan
kepentingan
dan
kepentingan pemegang saham semata. 3. Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik, sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa Direktur tidak diperkenankan untuk memperluaskan maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri. 4. Tidak
diperkenankan
untuk
melakukan
tindakan
yang
dapat
menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan kepentingan Direktur. Keempat hal diatas menjadi penting artinya, karena keempat hal tersebut mencerminkan bahwa antara Direktur dan perseroan terdapat suatu bentuk hubungan saling ketergantungan, dimana perseroan bergantung pada Direktur sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan pengurusan perseroan.
Perseroan merupakan sebab keberadaan Direktur, tanpa perseroan maka tidak pernah ada Direktur. Pada dasarnya pengurus perseroan yaitu Direktur merupakan organ kepercayaan perseroan, yang akan bertindak mewakili perseroan dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai tujuan dan kepentingan perseroan. Ada 2 (dua) hal yang berkaitan erat dengan prinsip kepercayaan pengurus perseroan tersebut, Pertama pengurus perseroan yakni Direktur adalah trustee bagi perseroan (duty of loyalty and good faith). Kedua Direktur adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan kepentingannya (duty of care). 106 Duty of loyality and good faith bersama-sama dengan duty of care dalam sistem common law secara bersama-sama dikenal dengan nama fiduciary duty. 107 Sedangkan duty of care and skill oleh Lipton dan Herzberg dirumuskan sebagai duty to exercise care anti diligence. 108 Dalam beberapa kejadian, pengurus perseroan dapat dianggap telah melanggar duty of care jika dalam mengahadapi suatu persoalan yang kompleks dan rumit, ia tidak mencari pendapat ahli untuk memberikan masukan dalam mengambil keputusan terhadap persoalan yang dihadapinya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip duty of care tersebut.
106
Munir Fuady I, Op. Cit, hal. 65 Munir Fuady I, Op.Cit membagi duty of loyality and good faith ke dalam, the duty: a). to act bona fide in the interest of the company. b). to exercise power for their proper purpose. c). to retain their discrenatory powers. d). to avoid conflicts Of interest. 108 Ibid .hal.298 107
Sebagai contoh dari standard of care atau standar kehati-hatian itu antara lain sebagai berikut : 109 1. Pengurus perseroan yakni Direktur tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perseroan, apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoIeh oleh Direktur yang bersangkutan. Namun demikian hal ini dapat dikecualikan, apabila dilakukan atas beban biaya representasi jabatan dari Direktur yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. 2. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seharusnyanya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang dipimpinnya tetapi kesempatan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain yang didalamnya terdapat kepentingan pribadi Direktur tersebut. 3. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai suatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahuinya akan mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku sebagai perseroan diancam dikenakan sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya atau digugat oleh pihak lain. 109
Sutan Remmy Sjahdeini, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Ju1i 2001, hal. 100.
4. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan. 5. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan. Milman dan Durrant 110 mengemukakan bahwa makin lama makin jelas dalam beberapa tahun terakhir ini para pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang
Direktur
suatu
perseroan,
dengan
satu
dan
lain
cara,
harus
bertanggungjawab atas kewajiban-kewajiban perseroan, kecenderungan ini jelas terlihat dalam common law system. Dimana, menurut sistem hukum tersebut, ada dua situasi dimana seorang pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur mungkin dapat dituntut untuk membayar kerugian karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kemungkinan yang pertama adalah tuntutan karena kelalaian yang dilakukan oleh kreditor dari perseroan yang mengalami kesulitan keuangan. Jenis tanggung jawab kedua dapat timbul apabila perseroan yang melakukan perbuatan melawan hukum.
110
Bismar Nasution & Zulkarnain Sitompul, Op.Cit, hal. 161.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, jelas bahwa hukum Indonesia tidak menganut prinsip fiduciary duty. Hal ini disebabkan karena Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Indonesia merupakan penjelmaan dari KUHD Belanda, dimana KUHD Belanda diambil dari Perancis setelah Code Napoleon. Sebagaimana diketahui bahwa Code Napoleon tidak mengakui adanya prinsip fiduciary duty atau trustee ini. Sehingga pada prinsipnya fiduciary duty terhadap pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur tidak diakui dalam civil law system. Hubungan antara pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur dengan perseroan yang dipimpinnya dalam civil law system adalah hubungan keagenan atau pemberian kuasa. Jadi, bukan fiduciary relation yang menimbulkan fiduciary duty tersebut. 111 Akan tetapi setelah berlakunya UUPT, banyak teori hukum yang semula tidak ada atau tidak berlaku diadopsi dan diberlakukan di Indonesia, sehingga amat menarik untuk dicermati apakah prinsip fiduciary duty ini juga ikut diberlakukan oleh UUPT tersebut. Untuk mengetahui apakah di Indonesia berlaku prinsip fiduciary duty ini, perlu dicermati beberapa pasal dari UUPT, yaitu sebagai berikut:
111
Sutan Reny Sjahdeini, Op.Cit, hal.115
Pasal 84 ayat (1) UUPT No. 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 99 UUPT No.40 Tahun 2007 yang berbunyi sebagai berikut : 1. Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila : (a) terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau (b) anggota
Direksi
yang
bersangkutan
mempunyai
kepentingan
yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan. 2. Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili perseroan adalah : (a)anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan (b)Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan. (c)Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan. Selanjutnya Pasal 82 UUPT No. 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 UUPT No.40 Tahun 2007 menyebutkan sebagai berikut : 1. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). 2.
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab.
3.
Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4.
Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
Penjelasan dari Pasal 97 ayat (6) menyatakan : Dalam hal tindakan Direksi merugikan perseroan, maka pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 97 ayat (6) dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan. Dari ketentuan Pasal 82 UUPT No. 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 UUPT No.40 Tahun 2007, belum dapat ditarik kesimpulan bahwa UUPT telah mengadopsi prinsip fiduciary duty. Ketentuan dalam Pasal 97 tersebut hanya menegaskan bahwa pada prinsipnya Direktur mempunyai 2 (dua) fungsi utama, yaitu Fungsi Manajemen, dan Fungsi Representasi. Demikian juga ketentuan dalam Pasal 84 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 99 UUPT No. 40 Tahun 2007 belum dapat disimpulkan adanya indikasi pemberlakuan prinsip fiduciary duty dari pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur. Sebab, Pasal 99 sama sekali
tidak mengindikasikan bahwa Direktur perseroan harus mengalah dan harus mengutamakan kepentingan perseroan dalam hal terdapat transaksi yang mengandung conflict of interest antara Direktur dengan perseroan. Hanya fungsi representasi Direktur yang ditiadakan dan fungsi representasi-nya tersebut diganti oleh pihak lain. Sebenarnya indikasi berlakunya prinsip fiduciary duty ini justru ada dalam ketentuan Pasal 85 ayat (2) UUPT No. 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 ayat (2) UUPT No. 40 Tahun 2007, khususnya Pasal 85 ayat (1) UUPT No. 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 ayat (3) UUPT No. 40 Tahun 2007 menegaskan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Tugas untuk memperdulikan (duty of care) dimaksudkan disini, bahwa pengurus Perseroan diharapkan untuk berhati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian yang merugikan pihak lain. 112 Berdasarkan ketentuan Pasal 97 UUPT tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal itu mengandung prinsip fiduciary Duties, yang terdiri dari 3 (tiga) faktor penting, yaitu: 113 1. Prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian tindakan pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur (duty of care). Unsur yang perlu diperhatikan sebelumnya berkenaan dengan tindakan 112
Munir Fuady I, Op.Cit., hal. 39. Bambang Kesowo, Kedudukan Direksi : Suatu Tinjauan Berdasarkcm Konsep Fiduciary Duties, Makalah dalam Panel Diskusi Hubungan Antara Pemegaag Saham, Direksi dan Komisaris : Hak, Wewenang dan Tanggung Jawabnya, Jakarta, 12 Juni 1995, hal. 8. 113
pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur adalah apakah dalam menjalankan tugas dan fungsi yang, diamanatkan kepadanya, Direksi sudah melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan kemampuan dan kehati-hatian, disamping itu apakah orang yang memiliki keahlian tertentu dan mempunyai kesamaan kualifikasi telah melakukan tindakan dalam posisinya sebagai Direktur ataukah dijalankan semata-mata untuk kepentingan bisnis pribadinya dan apakah setiap tindakan yang diambil berangkat dari keyakinan akan dilakukan semata-mata demi kepentingan perusahaan. 114 2. Prinsip yang merujuk pada itikad baik Direktur untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tujuan perseroan (duty of loyality). Keputusan bisnis yang diambil dengan dasar ketulusan dan itikad baik sepenuhnya, dalam sitiasi tertentu dapat membebaskan Direk-tur dari pertanggungjawaban secara pribadi, sekalipun tindakannya itu mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, karena kesalahan perhitungan, akibat adanya force majeur yang memang terjadi di luar kemampuan manusia ataupun terhadap faktor kesalahan lainnya yang menyebabkan kegagalannya tersebut, kecuali kerugian tersebut termasuk kategori akibat kelalaian berat (gross negligence). Konsep pemikiran ini
114 Secara umum penerapan prinsip duty skill and care dibandingkan dengan teorinya berbeda satu sama lain. Bentuk dari tidak dilaksanakannya prinsip tersebut pada umumnya dijumpai dalan hal Direktur lalai atau melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Dalam beberapa kasus serupa, Direktur juga tidak jarang mempergunakan unsur ketidak sengajaan sebagai dasar pembelaannya. Oleh sementara kalangan, sebenarnya yang dijadikan tolak ukur kemampuan itu antara lain bersumber dari latar belakang pendidikan dan pengalaman Direktur tersebut. Bambang Kesowo, Op.Cit, hal 10
dijadikan penyeimbang dalam penerapan prinsip duty of skill and care sebagaimana dikenal dalam business judgement principle. 115 3. Prinsip untuk tidak mengambil keuntungan pribadi atas opportunity yang sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit ruledoctrine of corporate opportunity). Pelaksanaan tugas pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur terkadang tidak luput dari adanya pertentangan kepentingan, karena adanya persamaan bidang usaha antara pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur secara pribadi dengan pihak ketiga lainnya. Dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kompetisi yang tidak adil. Dengan asumsi bahwa pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur hanya mengetahui informasi rahasiarahasia, semisalnya informasi yang menyangkut transaksi perdagangan dari perseroan tempat ia berada, atas pengetahuan yang diketahuinya, ia dapat mengetahui kelemahan atau keunggulan perseroan yang bersifat rahasia tersebut, dan justru dipergunakan untuk lebih memajukan perseroan yang dimilikinya. 116
115
Prinsip ini pada dasarnya terbagi dalam dua hai yakni, business judgement rule dan business judgement doctrine. Business judgement rule merujuk pada konsepsi bahwa Direktur harus bertindak berdasarkan itikad baik dengan mengacu pada informasi yang cukup dan diolah secara cakap berdasarkan kemampuannya. Business judgement doctrine merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh Direktur adalah sah dan mengikat Perseroan sepanjang hal itu memang merupakan kewenangan Direktur ataupun tidak bersifat ultra vires (di luar kewenangan Perseroan), sehingga tidak bisa dihentikan atau ditolak balik oleh pemegang saham maupun pihakpihak lainnya. Bambang Kesowo, Op.Cit, hal. 11 116 Terjadinya keadaan tersebut dikarenakan Direktur yang secara pribadi berurusan langsung dengan pihak ketiga untuk mengadakan transaksi bisnis atas nama Perseroan, dapat mengambil alih segala keuntungan maupun peluang usaha yang dipandang dapat memberikan keuntungan pribadi dirinya dan mengalahkan kepentingan Perseroan yang dikelolanya. Batasan terhadap legitimasi dan ratifikasi dalam kasus transaksi pribadi Direktur Perseroan ini tetap ada, yaitu melalui transaksi yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum,
Selanjutnya masih dalam kerangka fiduciary duty, terdapat kewajiban bagi Anggota Direksi wajib melaporkan kepada mengenai saham yang dimiliki Anggota Direksi yang bersangkutan dan/ atau keluarganya dalam perseroan dan perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus. 117 Ketentuan ini dimaksud untuk mendeteksi adanya self dealing 118 dan mendeteksi posisi pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur dalam hal terjadinya insider trading. 119 Berdasarkan teori bisnis property, hal-hal yang tidak dipublikasikan dan berupa informasi-informasi internal merupakan harta milik perseroan yang efeknya dipengaruhi oleh informasi yang bersangkutan, sehingga apabila kedapatan orang dalam perseroan yang mempergunakan informasi tersebut untuk kepentingan maupun keuntungan pribadinya, pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur telah dianggap melanggar prinsip fiduciary duty-nya kepada perseroan. 120
seperti transaksi penyalahgunaan asset Perseroan untuk kepentingan pribadi Direktur.Bambang, Kesowo, Op.Cit, hal.12 117 Hal ini sebagai mana di atur dalam Pasal 101 UUPT 118 Yaitu dengan mengetahui kepemilikan saham Direktur atau keluarganya pada Perseroan lain yang menjadi lawan transaksi Perseroan tempat ia menduduki jabatan sebagai Direktur. 119 Insider trading yaitu keikut sertaan seseorang dalam suatu transaksi yang didasarkan kepada informasi khusus yang didapatkannya dari kedudukannya (dalam hal ini sebagai orang yang bisa mendapat informasi tersebut), yang mana hal ini menghasilkan keuntungan secara tidak fair, bila informasi yang didapat akan mempengaruhi harga saham dalam transaksi, hal ini merupakan perbuatan yang tidak sah. Orang-orang yang dikategorikan sebagai orang dalam suatu perusahaan adalah : (1). Komisaris, Direktur, pegawai perusahaan (2). Pemegang saham utama (3). Perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan perusahaan publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam (4). Perorangan yang dalam waktu enam bulan terakhir tidak lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1,2 dan 3 tersebut. Baca Asril Sitompul, Pasar Modal : Penawaran Umum & Permasalahannya, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 136-139. bandingkan pula dengan Bismar Nasution, Diktat Hukum Pasar Modal : Good Corporate Governance, Perlindungan Lingkungan Hidup dan Insider Trading, Universitas Sumatera Utara, 2002, hal. 50-52. 120 Untuk memonitor kemingkinan terjadinya hal semacam ini (karena Direktur berada pada posisi yang sangat strategis untuk mengetahui hal-hal semacam ini lebih dahulu), ditetapkan kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 101 UUPT.
Pada prinsipnya jelaslah bahwa fudiciary duty merupakan tugas yang diemban oleh pengurus perseroan dengan penuh tanggung jawab dalam kapasitas dan fungsinya demi kepentingan perseroan. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa dalam kedudukannya pengurus perseroan berkewajiban mengelola perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, serta mengutamakan kepentingan perseroan diatas kepentingan pribadi atau bahkan kepentingan pemegang saham sekalipun. 121 Sebagai kewajiban untuk melaksanakan keterbukaan, pengurus perseroan bertanggungjawab penuh atas kebenaran dan keakuratan setiap data dan keterangan yang disediakan olehnya kepada publik (masyarakat) ataupun kepada pihak ketiga berdasarkan perjanjian. Jika terdapat pemberian data atau keterangan secara tidak benar atau menyesatkan, maka setiap pengurus perseroan harus bertanggungjawab secara renteng atas setiap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, sebagai akibat dari pemberian data atau keterangan yang tidak benar atau menyesatkan tersebut, kecuali dapat dibuktikan bahwa keadaan tersebut terjadi bukan karena kesalahannya. 122 Pengurus perseroan dalam menjalankan tugasnya bertindak untuk dan atas nama perseroan, oleh karena itu konsekuensi (baik atau buruk) sebagai akibat 121 Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 82 UUPT, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan dan keputusan yang diambil Direktur harus dilakukan demi kepentingan dan tujuan Perseroan. Direktur tidak boleh mengatas namakan Perseroan untuk melakukan segala sesuatu di luar kepentingan dan tujuan Perseroan, kepentingan pribadi dan kepentingan pihak ketiga. 122 Prinsip keterbukaan ini merupakan bagian dari akuntabilitas Direktur sebagai organ yang wajib melaksanakan duty of loyalty and good faith, oleh karenanya hanya Direkturlah yang berhak dan berwenang untuk bertindak memenuhi kewajiban Perseroan. Bandingkanlah hal ini dengan ketentuan Pasal 97 ayat (2) dan ayat (3) dengan ketentuan Pasal 104 ayat (4) UUPT.
perbuatannya itu pada prinsipnya dipikul perseroan sendiri. Dalam melaksanakan pengelolaan terhadap perseroan, pengurus perseroan memiliki tugas yang terbit secara hukum (by the operation of law) dari suatu hubungan fiduciary antara pengurus perseroan dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan pengurus perseroan berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang Direktur harus mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty od care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perseroan dengan derajat yang tinggi (high degree). 123 Kedudukan yang bersifat fiduciary, yang dalam UUPT sampai batas-batas tertentu diakui, menyebabkan tanggung jawab dari pengurus perseroan menjadi sangat tinggi (high degree). Pengurus perseroan tidak hanya bertanggungjawab terhadap ketidakjujuran yang disengaja (dishonesty), tetapi secara hukum ia juga bertanggungjawab terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan. Contoh dari tindakan pengurus perseroan yang bertentangan dengan tugas fiduciary duties adalah : 124 1. Jika pengurus perseroan secara diam-diam memiliki benturan, kepentingan (conflict of interest) dengan perseroan. 2. Jika pengurus perseroan menghalang-halangi pemegang saham minoritas untuk mengajukan derivative suit.
123 124
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 421 Munir Fuady I, Op. Cit. hal. 82.
3. Jika pengurus perseroan dengan sengaja tanpa alasan yang sah (willfull refusal) tidak datang ke rapat Direksi sehingga rapat Direksi tidak dapat dilangsungkan karena tidak memenuhi kourum rapat. Dalam melaksanakan tugas fiduciary duties, seorang pengurus perseroan harus melakukan tugasnya : 125 1. Dilakukan dengan itikad baik (bonafides) 126 2. Dilakukan dengan proper purpose. 127 3. Dilakukan tidak dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab (unfettered discretion). 4. Tidak memiliki benturan tugas dan kepentingan (conflict of duty and interest) . 128 Dalam civil law system, jika pengurus perseroan melanggar salah satu aturan unsur atau anggaran dasar perseroan, maka pada umumnya pengurus perseroan
langsung
mempertimbangkan
bertanggungjawab standard
tentang
secara kadar
unsur
kesalahannya.
tanpa
terlalu
Sebagaimana
125
Ibid Dikatakan bahwa Direktur sudah menjalankan tugasnya dengan itikad baik (bonafides) jika Direktur tersebut telah menjalankan tugas dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh kepentingan-kepentingan dari perusahaan, pemegang saham, pekerja, stakeholder lainnya. Munir Fuady, Ibid. 127 Direktur dikatakan telah menjalankan tugasnya dengan tujuan yang benar (proper purpose) jika ia menjalankan tugasnya secara tidak melanggar hukum (illegal), tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar. Munir Fuady, Ibid 126
128
Munir Fuady, Ibid, Jika Direktur memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dan benturan tugas (conflict of duties), maka besar kemungkinan ia telah melanggar prinsip fiduciary duties. Benturan kepentingan atau benturan tugas tersebut dapat terjadi dalam hal : a. jika dilakukan kontrak dengan perusahaan. b. Jika terdapat keuntungan rahasia. c. Jika terjadi abuse of confidence. d.Jika berkompetisi dengan perusahaan.
dikemukakan dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT, Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dengan ketentuan Pasal 97 UUPT ditentukan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pasal 98 UUPT, yaitu Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, harus dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. 1. Kepentingan dan tujuan/ usaha perseroan. 2. Itikad baik dan penuh tanggung jawab. Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulutif dan bukan alternatif, artinya harus dipenuhi kedua-duanya. Seorang pengurus perseroan dikatakan sudah melanggar duty of care, manakala dia telah melakukan kelalaian (negligence) dan mis-management, seperti : 129 1. Melakukan tindakan tanpa pembenaran yang rasional. 2. Tidak mencurahkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perusahaan. 3. Tidak melakukan investigasi yang reasonable terhadap masalah-masalah perseroan. 4. Tidak menghadiri rapat-rapat Direksi. 5. Tidak mengawasi bawahannya sehingga tindakan bawahannya tersebut merugikan perseroan. 129
Munir Fuady I, Op. Cit., hal. 86.
6. Tidak mencari tahu secara layak tentang masalah-masalah perseroan. 7. Tidak melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam menjalankan tugasnya.
D. Duty of Care and Loyality Tanggung jawab dan tugas tertentu perusahaan dilaksanakan oleh pengurus perseroan yang mendapat pendelegasian wewenang dan dari dewan Komisaris. Sedangkan peranan sebagai pengawas tetap dijalankan oleh dewan Komisaris. Adanya pendelegasian wewenang ini telah diantisipasi oleh hukum perusahan. Dalam perkembangannya peranan eksekutif dalam pengurusan perusahaan terus semakin membesar. Gejala ini sejalan dengan semakin rumitnya kegiatan usaha. Oleh karenanya dibutuhkan keahlian untuk dapat membuat keputusan yang tepat. Peranan para pengurus perseroan ini biasanya diatur dalam hukum perusahaan. Di jenjang yang lebih rendah terdapat para manajer. Untuk para manajer ini diberlakukan hukum keagenan. Sedangkan di level paling bawah terdapat para pekerja yang tunduk pada hukum perburuhan. Pengurus perseroan juga memiliki kewajiban untuk bertindak hati-hati (duty of care). Oleh karena pengurus perseroan umumnya bekerja penuh waktu dan lebih menguasai permasalahan perusahaan, kewajiban berhati-hati yang mereka emban jauh lebih ketat dibandingkan dengan Komisaris.
Salah satu bagian dari duty of care yang diemban oleh pengurus perseroan adalah kewajiban mengawasi keseluruhan struktur perusahaan sesuai dengan masingmasing tugas dan kewenangan yang telah ditetapkan. 130 Kewajiban ini bervariasi sesuai dengan besarnya perusahaan. Dalam common law system, acuan yang dipakai adalah standard of care atau standar kehati-hatian. Apabila Direktur telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka Direktur tersebut dianggap telah melanggar duty of carenya. Jadi dalam menjalankan tugasnya, Direktur tidak boleh melanggar duty of care,
130 Dalam perkara Graham v. Allis-Chalmers Manufacturing Co. Gugatan derivatif diajukan kepada komisaris dan eksekutif dengan tuduhan perusahaan telah melanggar undang-undang anti monopoli. Perusahaan memiliki 30 ribu karyawan dibagi dalam dua kelompok bisnis. Masing-masing grup memiliki 5 divisi dan devisi memiliki 10 departemen. Devisi bertanggung jawab menetapkan harga dan melakukan tawar menawar dengan saingan usaha. Permasalahannya adalah apakah komisaris dan eksekutif telah melanggar kewajiban mengawasi karyawan perusahaan. Pengadilan berpendapat bahwa komisaris dan eksekutif tidak melanggar kewajibannya dengan pertimbangan. Pertama, apabila tidak terdapat bukti-bukti bahwa komisaris dan eksekutif mengetahui fakta-fakta tentang adanya pelanggaran anti monopoli, maka mereka tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas dasar tidak melakukan kewajiban pengawasan. Kedua, kewajiban mengawasi berarti menggunakan kehatihatian sebagaimana layaknya individu lain bertindak dalam situasi yang sama. Komisaris suatu perusahaan besar, melakukan rapat bulanan, menggunakan laporan yang disiapkan manajemen (komisaris berhak untuk mempercayai laporan tersebut) tidak dapat mengetahui secara rinci kegiatan perusahaan dan tidak berkewajiban mengetahui telah terjadinya suatu pelanggaran hukum apabila tidak dilaporkan kepada mereka. Kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif perusahaan umumnya berdasarkan penugasan dari dewan komisaris. Oleh karena itu, eksekutif bertindak dalam kapasitas sebagai agen. The Restatement (Second) of Agency menetapkan “kewenangan adalah kekuasaan yang dimiliki agen untuk melakukan hubungan hukum prinsipal sesuai dengan kekuasaan yang diberikan oleh prinsipal. Kewenangan-kewenangan tertentu yang dimiliki eksekutif diatur dalam anggaran dasar, hukum perusahaan dan keputusan dewan komisaris. Disamping kewenangan yang tegas itu terdapat juga kewenangan implisit yaitu kewenangan yang diperlukan untuk menjalankan kewenangan yang telah ditentukan secara tegas. Kewenangan juga dapat terjadi atas dasar anggapan dari pihak ketiga atas perbuatan eksekutif suatu perusahaan. Apabila agen bertindak di luar kewenangan yang dimilikinya, pihak ketiga dapat meminta pertanggungan perusahaan. Dalam peristiwa seperti ini maka perusahaan dapat meminta pertanggung jawaban agen dimaksud. Sebagai tambahan, agen juga dapat memiliki kewenangan atas dasar kedudukannya. Sebagai contoh, eksekutif sering kali dianggap memeiliki kewenangan yang diperlukan membuat keputusan dan menjalankan perusahaan sehari-hari. Meski, untuk keputusan-keputusan yang berdampak luas seperti penjualan aset signifikan perusahaan tetap memerlukan persetujuan dewan komisaris. Pengadilan sering kali pula menetapkan bahwa perbuatan eksekutif perusahaan berada di luar kewenangan yang dimilikinya dinyatakan sah apabila telah disetujui oleh dewan komisaris atau pemegang saham atau atas dasar prinsip estopel. Perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan eksekutifnya dalam menjalankan perusahaan. Dalam Bismar Nasution dan Zulkarnain Sitompul, Log.C it.
Direktur dianggap telah memenuhi kewajiban menjalankan prinsip duty of care apabila telah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 131 1. Membuat keputusan bisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat. 2. Secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan. Kewajiban lainnya yang diemban oleh Direksi sebagai pengurus perusahaan terikat pada kewajiban untuk loyal (duty of loyalty) dan patuh pada perusahaan. Secara teoritis adanya kewajiban tersebut membuat Direksi wajib membayar ganti rugi apabila melanggar kewajibannya. Normalnya, apabila terjadi pelanggaran kewajiban pejabat perusahaan diberi peringatan, mutasi atau diberhentikan. Pada dasarnya kedudukan yang dipegang oleh Direksi berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Dewan Komisaris. Untuk keamanan, Direksi seringkali membuat perjanjian kerja untuk suatu jangka waktu tertentu. Meski demikian, perusahaan tetap dapat memberhentikan eksekutifnya sebelum berkahirnya jangka waktu kontrak demikian pula sebaliknya. Eksekutif yang diberhentikan sebelum jangka waktu tentu saja dapat menerima ganti rugi sesuai dengan yang diperjanjikan. Jika dalam duty of loyality, pengurus Perseroan bertindak sebagaimana layaknya seorang trust, yang dipercayakan untuk mengelola harta kekayaan perseroan, maka dalam duty of care, pengurus perseroan sebagai organ kepercayaan perseroan diharapkan dapat menjalankan perseroan 131
Bismar Nasution & Zulkarnain Sitompul, hal. 180.
hingga memberikan keuntungan bagi perseroan. Pengurus perseroan diberikan .fleksibilitas
dalam bertindak untuk melaksanakan fungsi kegiatan manajemen
dengan mengambil resiko dan peluang di masa depan. Pengurus
perseroan
memiliki
kewajiban
loyal
terhadap
perusahaan
sebagaimana halnya dengan pengurus (director). Duty of loyality yang diemban pengurus perseroan perusahaan meliputi: 132 a. pengurusan perusahaan b. kesempatan perusahaan (corporate opportunities) c. kompetisi dengan perusahaan dan d. transaksi dengan pemegang saham dan pihak lainnya berdasarkan informasi orang dalam Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang Direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyality ). Pelanggaran duty of loyality muncul apabila ada kepentingan pribadi yang mungkin terjadi karena : a. Seorang Direktur melakukan transaksi dengan perusahaannya sendiri b. Dua perusahaan yang mempunyai satu orang Direktur yang sama melakukan perjanjian c. Sebuah induk perusahaan melakukan transaksi dengan cabang perusahaannya sendiri
132
Racmadi Usman, Op.Cit, hal. 174
E. Code Of Conduct Rumusan yang jelas mengenai transaksi yang memiliki Conflict of Interest bagi para Direksi, di dalam pedoman perilaku (code of conduct) perseroan. Menurut Ken Kernaghan dan John Langford, dalam tulisan di Michael Mcdonald, Ethics and Conflict of Interest, centre for applied Ethics, terdapat 7 (tujuh) bentuk terjadinya benturan kepentingan (Conflict of Interest) yaitu pada saat : 133 a. Melakukan transaksi untuk kepentingan sendiri (self dealing). Transaksi untuk kepentingan diri sendiri antara lain sering terjadi apabila subyek atau kerabat subyek memiliki perusahaan sendiri yang menyediakan barang dan atau jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan. Dalam hal ini prefensi yang diberikan kepada perseroan yang dimiliki oleh subyek atau kerabatnya seringkali menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam hal efisiensi. b. Menerima hadiah atau manfaat termasuk segala bentuk penyuapan. Penerimaan hadiah dapat menimbulkan masalah etik, apabila hal tersebut dikaitkan dengan transaksi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan pemberi hadiah dengan perseroan. Masalah pemberian hadiah pada umumnya dibatasi dengan penetapan aturan perseroan yang mengharuskan segala bentuk hadiah yang melebihi batas nilai tertentu dari pihak-pihak yang melakukan transaksi bisnis dengan perseroan harus dilaporkan kepada pihak yang berwenang di perseroan atau diungkapkan secara terbuka. c. Menjajakan Pengaruh (influence pedding) 133
Mas Achmad Daniri, Op. Cit, hal.90
Subyek menjajakan pengaruh yang dimiliki untuk mengedepankan kepentingan seseorang atau golongan tertentu. d. Memanfaatkan aset perseroan untuk kepentingan pribadi (using employer’s property for private advantage). Aset perseroan digunakan oleh pelaku untuk kepentingan pribadi. Misalnya penggunaan perangkat lunak yang lisensinya dimiliki oleh perseroan untuk kepentingan konsultasi pribadi. e. Memanfaatkan informasi rahasia (using confidential information) Pelaku memanfaatkan informasi rahasia yang didapatkan dari klien untuk melakukan transaksi yang menguntungkan. f. Melakukan pekerjaan di luar perusahaan atau terlibat dalam mengelola perseroan pesaing (outside employment/ moonlighting). Pelaku mendirikan perseroan pribadi yang mempunyai bidang usaha yang sama dengan perseroan. Pada saat perusahaan harus mengambil keputusan yang berseberangan dengan kepentingan perseroan pribadi yang menjadi pesaing, maka kepentingan perseroan pun terabaikan. g. Masalah pasca penugasan (post employment) Pelaku pernah bekerja hingga mencapai kedudukan yang menentukan lalu mendirikan perseroan pribadi yang menyediakan barang dan atau jasa bagi perseroan. Perseroan pribadi tersebut mendapatkan prefensi dalam proses pengadaan barang dan atau jasa dari perusahaan ini.
Pertentangan kepentingan (Conflict of Interest) merupakan kebijakan secara menyeluruh agar semua pimpinan perusahaan serta semua pegawai menghindarkan diri dari setiap pertentangan antara kepentingan pribadinya dengan kepentingan perusahaan. Sesuai keputusan ketua BAPEPAM
benturan kepentingan adalah
perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi Direktur, Komisaris, atau Pemegang Saham Utama Perusahaan. Penerapan dari kebijakan mengenai benturan kepentingan (Conflict of Interest) diserahkan kepada Pimpinan Perusahaan. Secara umum, makin tinggi kedudukan seorang pegawai maka peka terhadap resiko terjadinya benturan/ pertentangan kepentingan antara dirinya dan perusahaan. Pimpinan perusahaan dan atau “Audit and Compliance Committee” melakukan peninjauan dari setiap kasus kemungkinan benturan atau pertentangan kepentingan antara lain dengan mengambil langkah-langkah berikut : 1. Pegawai harus memberitahukan secara terbuka dan tertulis kepada atasannya atau pimpinan perusahaan, tentang kemungkinan terjadinya benturan kepentingan antara pegawai dengan perusahaan atas langkah-langkah yang akan diambil. 2. Pimpinan perusahaan akan menilai keseriusan dari kasus kemungkinan benturan kepentingan ini dan mengambil keputusan
yang membenarkan atau tidak
membenarkan adanya benturan kepentingan tersebut atau ditindak lanjuti. 3. Pimpinan perusahaan akan mengambil langkah-langkah meniadakan dampak negatif dari kasus benturan kepentingan yang dapat terjadi, misalnya dengan tidak mengikut-sertakan pegawai yang bersangkutan dalam proses pengambilan
keputusan dan transaksi yang terjadi telah dilakukan secara terbuka dan memenuhi kriteria bisnis perusahaan. Untuk mendorong efektifitas Direksi, diperlukan pedoman perilaku dan beraktivitas (code of conduct) terhadap semua individu di dalam maupun luar perusahaan yang harus dipatuhi oleh seorang Direksi, sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Menjaga agar tidak terjadi benturan kepentingan, dan jika keadaan tersebut tidak dapat dihindari harus diungkapkan secara wajar dan terbuka. 2. Mematuhi semua peraturan perundangan yang berlaku, termasuk budaya perusahaan. 3. Tidak mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan perusahaan selain gaji dan tunjangan yang diterima sebagai Komisaris perusahaan. 4. Menjunjung tinggi integritas dan kejujuran sebagai nilai tertinggi. 5. Mempertimbangkan semua hal secara objektif, profesional dan independen demi kepentingan perusahaan dengan tidak melupakan kepentingan stakeholders. 6. Melaksanakan tugas secara amanah. 7. Mendorong penerapan prinsip good corporate governance. 8. Menghormati keputusan organ perusahaan : RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi sesuai dengan fungsi masing-masing.
9. Berorientasi untuk memberikan nilai tambah kepada perusahaan. 10. Menjaga informasi data perusahaan yang bersifat rahasia dari orang yang tidak bekerja dalam perusahaan, seperti yang berhubungan dengan keputusan, rencana, pendapatan, prakiraan keuangan atau penawaran bersaing dan memakai informasi itu untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan bukan untuk kepentingan perusahaan. Pada dasarnya seluruh pihak dalam perseroan adalah pelaksana dan pengawas atas pelaksanaan Code of Conduct. Adapun organ dalam perseroan yang mengawasi, menyelidiki dan menindak lanjuti pelanggaran Code of Conduct adalah perseroan telah menugaskan Corporate Affairs sebagai business unit officer yang mengontrol pelaksanaan Good Corporate Governance dalam perseroan termasuk kepatuhan terhadap Code of Conduct. Seluruh pihak dapat menyampaikan bukti-bukti pelanggaran Code of Conduct kepada Top Management melalui Corporate Affairs. Selanjutnya Top Management dapat memerintahkan Corporate Affairs
untuk
menyelidiki dan menindak lanjuti kasus pelanggaran tersebut. Pelanggaran terhadap kode etik (code of conduct) akan ditindak secara serius dan dapat mengakibatkan tindakan indisipliner sampai dengan diberhentikan dari perusahaan, sesuai dengan peraturan perusahaan yang berlaku. Undang-Undang pelanggaran
transaksi
Pasar yang
Modal
menerapakan
mengandung
benturan
sanksi
terhadap
kepentingan,
setiap
Bapepam
menyatakan secara tegas bahwa siapa saja yang dianggap bertanggung jawab akan
dikenakan sanksi. Jenis sanksi untuk pelanggaran ketentuan transaksi yang mengandung benturan kepentingan adalah sanksi administratif. Sanksi untuk pelanggaran terhadap ketentuan mengenai transaksi yang mengadung benturan kepentingan menurut UUPM Pasal 102, yaitu : 134 1. Peringatan tertulis 2. Denda atau kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu 3. Pembatasan kegiatan usaha 4. Pencabutan izin usaha 5. Pembatalan persetujuan dan pembatalan pendaftaran 6. Sanksi lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah Peranan code of conduct pada perusahaan merupakan bagian penting dari kerangka kerja corporate governance perusahaan dan memberikan dasar untuk merumuskan kebijakan, sistem dan prosedur perusahaan. Jika kebijakan, sistem dan prosedur yang berlaku tidak sejalan dengan kode etik ini maka kebijakan, sistem dan prosedur tersebut perlu di revisi.
134
M.Irsan Nasarudin-Indra Surya, Op.Cit, hal. 254
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kedudukan Direksi perseroan, sebagai pemegang fiduciary duties dari para pemegang saham perseroan, bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan Anggaran Dasar perseroan, Peraturan Perundang-Undangan dan norma yang berlaku. 2. Transaksi dengan perseroan (self dealing), transaksi kesempatan perseroan (corporate opportunity) dan transaksi orang dalam (insider trading)
adalah
merupakan bentuk-bentuk transaksi yang mengandung benturan kepentingan oleh Direksi, yang terjadi karena kepentingan Direksi perusahaan terlibat secara pribadi bersama-sama dengan kepentingan PT. Dalam hal ini Direksi melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri dan PT dirugikan. 3.
Untuk mencegah adanya praktek yang menyimpang yang berkaitan dengan benturan kepentingan Direksi dengan perusahaan dengan alasan
tidak ada
pengaturan hukum, diperlukan suatu pedoman yang dijadikan acuan. Hal ini dapat terwujud apabila Direksi dalam menjalankan perusahaan berlandaskan Peraturan
Perundangan dan norma yang berlaku, tidak terlepas juga dari Good Corporate Governance. B. Saran 1. Dalam hal menjalankan perusahaan hendaknya setiap Direksi melaksanakan sesuai Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dengan tetap menggunakan prinsip-prinsip good corporate governance sebagai acuan. Dalam hal untuk mendorong efektifitas Direksi, diperlukan juga pedoman perilaku (code of conduct) yang harus dipatuhi oleh seorang Direksi sebagai pemegang amanah yang diberikan perusahaan kepadanya, sehingga seorang Direksi dapat terhindar dari benturan kepentingan dengan perseroan. 2. Diharapkan agar Direksi dalam melaksanakan transaksi-transaksi yang mengandung
unsur
benturan
kepentingan
dengan
perseroan
harus
mengutamakan kepentingan perseroan. 3. Dalam upaya mencegah terjadinya benturan kepentingan antara Direksi dengan perusahaan dengan alasan tidak adanya pengaturan hukum oleh organ-organ perseroan khususnya Direktur dalam menjalankan kewajibannya, maka sangatlah perlu lebih diperjelas lagi apabila terjadi revisi di Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenai standard tanggung jawab organ-organ perseroan terbatas khususnya Direktur apabila terjadi benturan kepentingan dengan perusahaan dalam menjalankan kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku Ais, Chatamarrasjid, " Pengaruh Doktrin piercing The Corporate Veil dalam Hukum Perseroan Indonesia " Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 6 Tahun 2003. -----------------------, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung :Penerbit PT. Citra Aditya, Bakti, 2000. Budiarto Agus, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002. Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepam, 1999. Djaidir, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Disajikan dalam Seminar Sehari Mengenai Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan dan UndangUndang tentang Perseroan Terbatas Kantor Wilayah BRI Sumatera Utara, Medan, 21 Juni 1997. Damiri, Mas Ahmad, Good Corporate Governance Konsep Dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Gloria Printing. Fuady, Munir I, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Fuady, Munir II, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994 Fuady, Munir III, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Gregory Holly J & Marshal E.Simms, Pengelolaan Perusahaan Corporate Governanc), Apa Dan Mengapa Hal Tersebut Penting. Jakarta : Makalah Pada Lokakarya Pengelolaan Perusahaan, 2000. Ismail, Chairuddin, Direksi dan Komisaris dalam Perbuatan Melawan Hukum Oleh Perseroan terbatas, Jakarta: Merlyn Lestari, 2005. Keenan, Denis & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1999. Kesowo, Bambang, Kedudukan Direksi : Suatu Tinjauan Berdasarkcm Konsep Fiduciary Duties, Makalah dalam Panel Diskusi Hubungan Antara Pemegaag Saham, Direksi dan Komisaris : Hak, Wewenang dan Tanggung Jawabnya, Jakarta, 12 Juni 1995.
Kopoulus Nicholas I Georga, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informad Treders”, International Review Law and Economic” Vol.16, 1996. Lipton, Philip dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992. Lipton, Phillip, Understanding Company Law Sydney: The Law Book Company Limited, 1993. Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Nasution, Bismar, Diktat Hukum Pasar Modal: Good Corporate Governance, Perlindungan Lingkungan Hidup dan Insider Trading, Universitas Sumatera Utara, 2002 --------------------, Diktat Hukum Perusahaan, Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. -----------------, KeterbukaanDalam Pasar Modal, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana, 2001. -------------------, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog Interaktif Tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003. ------------------, Kejahatan Korporasi dan Pertanggung Jawabannya, Makalah pada Ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa, tanggal 27 April 2006 Nasution, Bismar dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, Bandung: BooksTerrace & Library, 2005. Nasarudin, M. Irsan – Surya Indah, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2004. Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri dan Pertcmggurtgjawaban Terbatas dari Perseroan Terbatas, Surabaya: Airlangga University Pres, 1983. Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003. Ryan, Christopher L., Company Directors, Liabilities, Rights and Duties, CCH Editions Limited, Third Edition, 1990 Regar, H, Moenaf, Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, PT. Bumi Aksara, 2006. Rajagukguk Erman, Pembaharuan Hukum Perusahaan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan, Disajikan dalam Lokakarya “
Pembangunan Hukum Perusahaan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Rider, Barry, A.K, Global Trens in Securities Regulations, Spring : The Changing Legal Climate, Dickinson Journal of International Law, 1995. Seligman, Joel, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto London, 1995. Sjahdeini, Sutan Remmy, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, ,Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001. ------------------, Tanggung jawab Direksi, Komisaris, dan pemegang saham terhadap Perseroan yang pailit, Makalah disajikan pada Lokakarya Hukum Kepailitan yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia, sabtu, 224 Oktober 1998, di Hotel Sahid jaya, Jakarta. ----------------, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Ju1i 2001. ------------------, Hukum Kepailitan, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002. Supramono, Gatot, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, Jakarta: Djambatan, 1996. Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 1997. Tumbuan, Fred BG, Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta RUPS Perseroan Terbatas menrurut Undang-undang No. l Tahun 1995, Makalah Kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun Ajaran 2001-2002. Usman, Marzuki, Djoko Koesnadi, Arys Ilyas, Hasan Zein M., I Gede Putu Ary Suta, I Nyoman Tjager, Srihandoko, ABC Pasar Modal Indonesia, Jakarta : Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/ Institut Bankir Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi DKI Jaya, 1990. Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Alumni, 2004. Widjaya, I. G, Rai, Hukum Perusahaan, Jakarta: Megapoin Kesaint Blanc, 2002. Winardi, Asas-asas Manajemen, Bandung: Alumni, 1983. Widjaya Gunawan, Yani Ahmad, Perseroan Terbatas-Seri Hukum Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Widjaya Gunawan, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Jakarta : Raja Grafindo, 2003. Widiyono Try, Direksi Perseroan Terbatas, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 1 Tahun 1995, LN No. 13 Tahun 1995, TLN No. 3587. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel]., Diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio. Cet. 16., Jakarta : Pradnya Paramita, 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]., Diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio. Cet. 19., Jakarta : Pradnya Paramita, 1985.