1
KEDUDUKAN AMIL ZAKAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
Cynthia Idhe Harninta Uswatun Hasanah dan Farida Prihartini Program Studi Ilmu Hukum, Kekhususan Hukum tentang Hubungan Antar Sesama Anggota Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK Berlakunya Undang-Undang Zakat baru Nomor 23 Tahun 2011 menimbulkan polemik dalam masyarakat terkait adanya anggapan ketidaksetaraan antara kedudukan BAZNAS dan LAZ. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah latar belakang pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap UUD 1945 oleh Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) serta kedudukan BAZNAS, Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan amil zakat perorangan dalam UU No. 23 Tahun 2011. Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan data primer dan sekunder sebagai sumber datanya. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang Zakat tersebut berdasar pada lima hal : sentralisasi, subordinasi, diskriminasi, marjinalisasi, dan kriminalisasi. Menurut pemerintah, pengaturan dalam Undang-Undang Zakat tersebut bukan dimaksudkan untuk sentralisasi, subordinasi, diskriminasi dan marjinalisasi, namun agar pengelolaan zakat dapat terintegrasi secara nasional dan masyarakat tetap dapat berperan dengan pembentukan LAZ. Adanya pasal kriminalisasi dimaksudkan agar pengelolaan zakat dilakukan oleh pihak yang berwenang dan berkapasitas sehingga menjamin kepastian hukum bagi muzakki, mustahik, dan amil zakat itu sendiri. Sehingga, kedudukan BAZNAS dan LAZ dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 adalah diakui sebagai pengelola zakat, sedangkan amil zakat perorangan tidak diakui kedudukannya karena amil zakat harus berbentuk badan atau lembaga. Kata kunci: zakat, amil zakat, permohonan pengujian
ABSTRACT Since the new Zakah Law No. 23 Year 2011 took into effect, some polemics in the society regarding inequality between BAZNAS and LAZ are arisen. Main issues of this thesis are the background of constitutional review petition of Law Number 23 Year 2011 concerning Zakah Management against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia submission by Zakah Society Coalition (KOMAZ) and the standing of BAZNAS, LAZ and individual zakah amil in Law No. 23 Year 2011. This thesis is written by using juridical-normative method,
Universitas Indonesia
2
with primary and secondary data as the data source. Conclusion of this thesis is that the submission of such constitutional review of Zakah Law petition is based on five matters : centralization, subordination, discrimination, marginalization, and criminalization. According to the government, the provisions in Zakah Law are not intended to centralize, subordinate, discriminate and marginalize, but in order to zakah management can be integrated nationally and the society is still able to participate by establishing LAZ. The existing of criminal provision is intended so that zakah management is conducted by the authorized and capacitive party to guarantee legal certainty for the muzakki, mustahik, and zakah amil themselves. Therefore, the standing of BAZNAS and LAZ in Law No. 23 Year 2011 is acknowledged as zakah managers, meanwhile individual zakah amil’s standing is not acknowledged since zakah amil must be in form of a body or institution. Key words: zakah, zakah official (amil), constitutional review
1.
PENDAHULUAN Zakat adalah ibadah maaliyyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting,
strategis, dan menentukan baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Hukum zakat merupakan fiqih, yang pada hakikatnya adalah penjabaran praktis dari syariah.1 Di dalam Al-Qur’an terdapat dua puluh tujuh ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata.2 Kewajiban berzakat tertuang dalam firman Allah SWT di antaranya : “Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan do’akanlah mereka, sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”3 (QS. At-Taubah [9] : 103) Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, zakat merupakan suatu hal yang rutin dilaksanakan dan telah menjadi budaya walaupun tidak diwajibkan oleh ketentuan undang-undang. Pelaksanaan pengumpulan dan penyaluran zakat telah berlangsung selama ratusan tahun, semenjak Indonesia belum merdeka hingga sekarang. Selama ini pelaksanaan tersebut dilakukan secara bersinergi antara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan
1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 1.
2
Didin Hafidhuddin (a), Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 1.
3
Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al-‐Hikmah (a), Terjemah Al Qur-‐an Secara Lazfiyah, Jilid IV, (Jakarta: Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al-‐Hikmah, 1980), hlm. 149.
Universitas Indonesia
3
Lembaga Amil Zakat (LAZ) baik tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota, serta melalui amil-amil zakat tradisional atau perorangan di masjid, mushala, pesantren, dan sebagainya. Sejalan dengan pelaksanaan dan pengelolaan zakat yang semakin berkembang tersebut, peraturan mengenai zakat pun ikut berkembang untuk menunjang kebutuhan pengelolaan zakat. Landasan yuridis pengelolaan zakat di Indonesia dalam bentuk undang-undang pertama kali ditetapkan pada tahun 1999 yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.
Undang-undang Zakat yang baru muncul akibat adanya keluhan terhadap undang-undang lama yang dinilai belum memfasilitasi pengelolaan zakat yang didasarkan tata kelola yang baik (good corporate governance). Undang-undang Zakat baru ini mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun 1999, antara lain mengenai syarat pendirian LAZ yang harus berbentuk organisasi kemasyarakatan, sanksi kriminal terhadap amil yang melakukan pengelolaan zakat tanpa izin, serta pola hubungan antara LAZ dengan BAZNAS. Beberapa pengaturan inilah yang kemudian menimbulkan penafsiran berbeda sehingga memunculkan kontroversi dalam masyarakat. Secara umum, pro kontra atas UUPZ baru didasarkan atas lima hal : sentralisasi, subordinasi, diskriminasi, marjinalisasi, dan kriminalisasi. Beberapa pasal di UUPZ ditafsirkan sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah terhadap LAZ dan amil zakat perorangan, karena BAZNAS sebagai lembaga semipemerintah diberikan wewenang lebih untuk mengelola zakat, sementara lembaga amil zakat masyarakat hanya berada dalam posisi untuk “membantu” BAZNAS. Terdapat ketidaksetaraan antara dua lembaga amil yang selama ini telah berjalan berdampingan. Padahal, praktik pengelolaan zakat oleh swasta telah berlangsung sejak lama dan pada pelaksanaannya dapat menarik potensi zakat yang sangat besar. Sebagai perbandingan, berdasarkan data yang penulis dapatkan dari BAZNAS dan LAZ Rumah Zakat serta Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), dapat dilihat besar penerimaan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf (ZISWAF) dari masing-masing lembaga. Pada tahun buku 2011 ZISWAF yang berhasil diperoleh BAZNAS adalah sekitar Rp 44,1 milyar, sedangkan Rumah Zakat dan PKPU masing-masing adalah Rp 133,3 milyar dan Rp 64,2 milyar. Dari angka tersebut dapat terlihat bahwa potensi zakat dari pengelolaan oleh swasta atau masyarakat justru dapat lebih efektif dalam hal menarik zakat dari masyarakat. Di samping itu, nampak pula adanya potensi kriminalisasi amil zakat dalam pengaturan di UUPZ ini. Hal ini menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran terhadap para amil zakat Universitas Indonesia
4
tradisional, mengenai legalitas dari kegiatan menghimpun zakat yang mereka lakukan selama ini atas dasar tolong menolong dan kepercayaan masyarakat. Terhadap hal tersebut, Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) yang terdiri dari beberapa lembaga amil zakat antara lain Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang, Yayasan Yatim Mandiri, mustahiq, dan muzakki, mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, dan Pasal 41) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tersebut mengisyaratkan masih dan terus berlangsungnya tarik-menarik kepentingan di antara berbagai lembaga yang bergerak dalam bidang zakat. Hal-hal inilah yang membuat Penulis membuat tulisan yang mengkaji konsep alasan dan latar belakang KOMAZ dalam mengajukan permohonan pengujian UUPZ dan kedudukan amil zakat dalam UUPZ. Terdapat dua pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: 1.
Mengapa Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap undang-Undang Dasar 1945?
2.
Bagaimana kedudukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan amil zakat perorangan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat?
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum kepustakaan.4 Data yang dipergunakan adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.5 Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi pustaka. Studi pustaka merupakan penelitian yang dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen yang ada seperti buku, artikel, peraturanperaturan, dan sebagainya.6 4
Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 11-12. 6 Mamudji, op. cit., hal. 29. Universitas Indonesia
5
Ditinjau dari segi sifatnya, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.7 Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data secara kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.8
PEMBAHASAN A.
Amil Zakat dalam Undang-Undang Zakat Lama dan Baru Terdapat beberapa pengaturan yang berbeda mengenai amil zakat dan kewajiban
berzakat dalam Undang-Undang Zakat lama dan baru, yang dapat dilihat dalam uraian berikut: a.
Kewajiban menunaikan zakat Dalam Undang-Undang Zakat Lama, kewajiban menunaikan zakat diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi : “Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.” Pasal tersebut jelas menyatakan zakat adalah wajib bagi warga negara Indonesia dan badan hukum yang dimiliki orang Islam. Namun kewajiban tersebut tidak diikuti dengan sanksi yang dapat diterapkan bagi muzakki yang tidak membayar zakat. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, selama berlakunya Undang-Undang tersebut zakat tetaplah tidak memaksa dan berdasar atas kesadaran dari masing-masing individu. Sedangkan dalam Undang-Undang Zakat Baru, kewajiban menunaikan zakat sama sekali tidak dinyatakan dalam satu pasal tertentu. Oleh karena itu ketentuan mengenai pelaksanaan zakat dalam Undang-Undang Zakat baru bersifat fakultatif, bukan imperatif. Hal ini semakin menguatkan pandangan bahwa zakat adalah ibadah antara individu dengan agamanya, dan negara tidak mengambil peran dalam kewajiban menunaikan zakat.
7
Ibid., hal. 4.
8
Ibid., hal. 67.
Universitas Indonesia
6
b. Definisi Lembaga Amil Zakat Undang-Undang Zakat Lama memberikan definisi amil zakat dalam penjelasan Pasal 3 yaitu : “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengelola zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga.” Undang-undang tersebut tidak memberikan definisi tersendiri mengenai Lembaga Amil Zakat, namun dari bunyi ketentuan tersebut nampak bahwa yang diakui sebagai amil zakat dalam UndangUndang Zakat Lama adalah amil zakat yang berbentuk badan atau lembaga. Sedangkan dalam Undang-Undang Zakat Baru, dijelaskan dengan rinci masingmasing pengertian dari Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pasal 1 angka 8 menyatakan LAZ adalah :”lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.” c. Asas pengelolaan zakat Dalam hal asas pengelolaan zakat, terdapat perkembangan dari UndangUndang Zakat Lama ke Undang-Undang Zakat Baru. Undang-Undang Lama menyatakan dalam Pasal 4 pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan dalam Undang-Undang Baru, dalam Pasal 2 disebutkan pengelolaan zakat berasaskan: syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas. Asas Pancasila dalam pengelolaan zakat telah dihilangkan, di mana hal ini berkaitan dengan asas organisasi kemasyarakatan yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya tulisan ini. d. Kedudukan BAZ dan LAZ Perbedaan yang paling mendasar dari kedua undang-undang tersebut yakni terletak pada pengaturan kedudukan BAZ dan LAZ. Dalam Undang-Undang Lama, kedudukan BAZ dan LAZ adalah sejajar. Hal tersebut terlihat dari ketentuan Pasal 8 yang menyatakan bahwa BAZ dan LAZ memiliki tugas pokok memgumpulkan, mendistribusikan, mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Sedangkan
dalam
Undang-Undang
Zakat
Baru,
dinyatakan
bahwa
pembentukan LAZ dimaksudkan untuk membantu BAZNAS dalam pengelolaan
Universitas Indonesia
7
zakat. Hal ini lah yang kemudian memicu polemik karena Pemerintah dianggap memarjinalisasi LAZ dalam usaha pengelolaan zakat di Indonesia. e. Tanggung jawab BAZ dan LAZ Undang-Undang Lama menyatakan dalam Pasal 9 bahwa dalam melaksanakan tugasnya BAZ dan LAZ bertanggungjawab kepada pemerintah sesuai tingkatannya. Sedangkan dalam Undang-Undang baru, Pasal 19 mengatur bahwa LAZ wajib melaporkan seluruh kegiatannya kepada BAZNAS secara berkala. Ketentuan ini juga merupakan salah satu cerminan atas indikasi ketidaksetaraan antara BAZNAS dan LAZ dalam pengelolaan zakat di Indonesia, karena pada Undang-Undang Zakat Baru LAZ diwajibkan untuk melapor ke BAZNAS yang notabene adalah sama-sama merupakan lembaga yang melakukan pengelolaan zakat. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian menimbulkan polemik di masyarakat setelah Undang-Undang Zakat Nomor 23 Tahun 2011 disahkan. Puncaknya, sekelompok LAZ, amil zakat perorangan dan muzakki yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) mengajukan pemohonan pengujian beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap Undang-Undang Dasar 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. B. Pengajuan Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Terkait Kedudukan LAZ dan Amil Zakat Perorangan Perubahan Undang-Undang Zakat lama Nomor 38 Tahun 1999 menjadi UndangUndang Zakat baru Nomor 23 Tahun 2011 yang diharapkan dapat menanggulangi permasalahan dalam pengelolaan zakat yang selama ini belum diatur dalam undang-undang lama ternyata pada kenyataannya justru menimbulkan polemik baru. Polemik tersebut muncul akibat adanya perbedangan pandangan dan penafsiran terhadap beberapa materi yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011, di mana hal-hal tersebut sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang yang lama. Keberatan terhadap Undang-Undang Zakat baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ). Menurut KOMAZ, pengaturan dalam Undang-Undang Zakat baru cenderung mengesampingkan peran dan mempersempit ruang gerak LAZ dalam pengelolaan zakat di Indonesia, yang akan berpotensi mengalami kemunduran atau penghentian. Oleh karena itu pada tanggal 16
Universitas Indonesia
8
Agustus 2012 KOMAZ yang terdiri dari unsur Lembaga Amil Zakat (LAZ) Nasional, LAZ Daerah, amil zakat perorangan, dan muzakki, yang diwakili para kuasa hukumnya dalam Tim Advokasi KOMAZ mengajukan permohonan pengujian (judicial / constitutional review) Pasal 5, 6, 7, 17, 18, 19, 38 dan 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 terhadap UndangUndang Dasar 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan tersebut diajukan karena pasal-pasal bersangkutan dianggap telah bertentangan dan melanggar Pasal 18 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 H ayat (2) dan (3) UUD 1945. Wilayah yang dikritisi dalam UU No. 23 Tahun 2011 tersebut secara umum terkait dengan lima hal, yaitu sentralisasi, subordinasi, marjinalisasi, diskriminasi, dan kriminalisasi. Secara lebih spesifik, KOMAZ menjabarkan poin-poin keberatan terhadap UU No. 23 Tahun 2011 adalah sebagai berikut : 1.
Sentralisasi dan hierarkhi dalam pengelolaan zakat
2.
Semakin sempitnya ruang publik (partisipasi publik) dalam pengelolaan zakat
3.
Posisi yang tidak setara antara BAZNAS dan LAZ
4.
Kemungkinan politisasi dalam seleksi anggota BAZNAS
5.
Ancaman kriminalisasi terhadap amil zakat dan LAZ
6.
Ketentuan Peralihan UU No. 23 Tahun 2011 mengenai LAZ wajib
menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak UU tersebut diundangkan 7.
Pembatasan terhadap LAZ yang boleh didirikan harus berbentuk/ menjadi
bagian dari Organisasi Masyarakat (Ormas) Secara yuridis-filosofis, dapat dijabarkan 4 (empat) alasan pengajuan permohonan UU No. 23 Tahun 2011 oleh KOMAZ, yakni sebagai berikut : 1.
Sentralisasi pengelolaan zakat
Pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2011 menyatakan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS. Sedangkan dalam Pasal 6 disebutkan, BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. KOMAZ berpandangan bahwa jika zakat dikelola oleh negara, maka masyarakat sipil seharusnya tidak boleh mengelola zakat. Dengan pengaturan pasal-pasal tersebut, zakat akan dikelola oleh negara dengan melemahkan peran masyarakat sipil (LAZ dan amil zakat perorangan). Pelemahan terebut tercermin dari sulitnya pendirian LAZ yang diatur dalam UU tersebut (Pasal 18), perizinan bagi pengumpul zakat, serta adanya ancaman pidana bagi amil zakat tradisional. Universitas Indonesia
9
Kemudian pada Pasal 17, dikatakan masyarakat dapat membentuk LAZ untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, penditribusian dan pendayagunaan zakat. Kata “membantu” dalam pasal tersebut, menurut KOMAZ, dapat diartikan bahwa LAZ adalah bentukan BAZNAS dan LAZ berdiri dengan fasilitas BAZNAS. Selain itu, BAZNAS dianggap memiliki potensi dan prestasi yang lebih bagus dalam pengelolaan zakat dibandingkan dengan LAZ, di mana LAZ hanya dianggap sebagai “lembaga negara”. 2.
BAZNAS berperan sebagai regulator dan operator
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 menempatkan Kementerian Agama sebagai regulator dan pengawas, sedangkan BAZNAS sebagai operator. Namun BAZNAS melakukan fungsi perencanaan pengelolaan zakat nasional dan menerima laporan dari BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ, Terhadap hal tersebut, dikhawatirkan akan menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), di mana BAZNAS mengelola dana masyarakat dan anggaran dana sekaligus. Kewenangan regulator yang dimiliki BAZNAS tidak akan efektif karena ketiadaan kredibilitas, karena BAZNAS merangkap sebagai operator. Fungsi regulasi yang dijalankan oleh Kementerian Agama pun akhirnya akan menjadi tidak optimal. Kementerian Agama akan sulit melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan secara optimal karena BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ melakukan pelaporan ke BAZNAS, bukan ke Kementerian Agama. Selain itu, dikhawatirkan pula akan terdapat politisasi dalam rekruitmen anggota BAZNAS. Pasal 8 menyebutkan anggota BAZNAS terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah, sedangkan Pasal 10 menyatakan anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Agama, di mana anggota dari unsur masyarakat diangkat setelah mendapat pertimbangan DPR RI. Hal ini yang dipandang rentan terhadap intervensi kekuasaan dan partai politik. Dikhawatirkan pemilihan yang dilakukan bukan berdasarkan merit system melainkan karena kedekatan dengan penguasa 3.
Ancaman kriminalisasi amil zakat
Pada dasarnya, negara Indonesia maupun UU No. 23 Tahun 2011 tidak mewajibkan kepada setiap warga negara yang beragama Islam untuk menunaikan zakat, dalam artian tidak ada sanksi oleh negara yang akan dikenakan kepada umat Islam yang tidak menunaikan zakat. Begitupun UU No. 23 Tahun 2011 tidak mewajibkan pengumpulan zakat kepada negara.
Universitas Indonesia
10
Mengingat fakta tersebut, maka pengaturan mngenai pengelolaan zakat seharusnya adalah suatu norma fakultatif. Namun bertentangan dengan hal itu, dengan adanya ketentuan Pasal 38 dan 41 UU No. 23 Tahun 2011 terdapat unsur imperatif dalam pengelolaan zakat. Dengan demikian telah terdapat kriminalisasi terhadap nilai-nilai yang diakui dan hidup di masyarakat. Seperti yang telah kita ketahui, praktik pengelolaan zakat secara tradisional telah eksis beratus tahun sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat terbiasa melakukan penarikan dan penyaluran zakat secara mandiri melalui masjid atau pesanteren di lingkungan tempat mereka tinggal. Seharusnya, kriminalisasi dilakukan terhadap pelaksanaan ibadah bukan terhadap penyelewengan atau pelanggaran terhadap pembentukan infrastruktur ibadahnya. Karena pada dasarnya, beribadah merupakan hak asasi setiap manusia, sehingga untuk melaksanakan ibadah tidak perlu izin atau intervensi dari pihak manapun. Pasal 38 menegaskan “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang”. Kemudian muncul pertanyaan “fiqih” terhadap hal ini, dengan demikian jika hal tersebut dinyatakan sebagai larangan, maka akan termasuk kategori haram, makruh atau bahkan dianggap sebagai kejahatan. Padahal tindakan memungut dan menyalurkan zakat yang telah lama dijalankan oleh para amil semata-mata untuk menegakkan syariat Islam, membantu para muzakki menunaikan kewajibannya dan menyerahkan hak kepada para mustahik. 4.
Pembentukan LAZ
Pasal 18 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa salah satu syarat bagi pendirian LAZ adalah harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Menurut KOMAZ, syarat tersebut tidak memiliki dasar argumentasi. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) bukanlah badan hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat dalam negara yang dilakukan oleh negara pada masa Orde Baru dengan maksud melakukan represi terhadap aspirasi rakyat. Ormas tidak memiliki kepastian hukum mengenai definisi dan pengelolaannya. Undang-Undang Ormas lama No. 8 Tahun 1985 tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum karena bertentangan dengan semangat zaman. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan tersebut, disebutkan bahwa setiap organisasi kemasyarakatan wajib
Universitas Indonesia
11
berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Tentu hal ini sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang, khususnya bagi organisasi pengelola zakat. Selain itu, prinsip organisasi kemasyarakatan yang berbasis pada massa, juga tidak terlalu relevan dengan LAZ, karena kesuksesan dan kinerja sebuah LAZ tidak diihat dari seberapa besar basis massanya. Pada kenyataannya, selama ini LAZ hidup dan diakui di tengah masyarakat tanpa perlu menjadi ormas, karena ormas berbasis keanggotaan sedangkan tidak ada fungsi dari LAZ yang harus dikaitkan dengan basis keanggotaan. Selain itu, tidak seluruh umat Islam bergabung pada ormas tertentu, justru lebih banya umat Islam yang tidak terdaftar sebagai anggota ormas. Selain alasan yuridis-filosofis yang telah dijabarkan di atas, penolakan terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 oleh KOMAZ juga didasari atas alasan sosiologishistoris, yaitu : 1. Sentralisasi kelembagaan zakat oleh pemerintah tidak menjamin peningkatan kinerja, bahkan bisa menjadi bumerang jika prasyarat yang diperlukan tidak terpenuhi. 2. Wacana sentralisasi untuk peningkatan kinerja zakat di Indonesia adalah tidak valid, ahistoris, dan mengingkari peran civil society dalam masyarakat yang demokratis. Kenyataannya kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. 3. Peningkatan kinerja zakat saat ini lebih banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menurunkan kebocoran penyaluran zakat secara individual, bukan sentralisasi kelembagaan. Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat pembayaran zakat masyarakat Indonesia melalui lembaga adalah rendah, berada di bawah kisaran 10 persen. Yang seharusnya diperkuat pemerintah adalah upaya meningkatkan kapasitas dan kredibilitas BAZ dan LAZ, serta sosialisasi yang massif bahwa zakat harus ditunaikan secara formal melalui lembaga amil zakat. Sebagai bahan komparasi untuk melihat besarnya penerimaan ZISWAF dari beberpa organisasi pengelola zakat, penulis mengambil sampel laporan penerimaan ZISWAF dari BAZNAS, dan dua LAZ tedaftar yaitu Rumah Zakat dan PKPU selama peiode 5 (lima) tahun antara tahun 2007 hingga 2011.
Universitas Indonesia
12
Dari data di atas terlihat bahwa selama ini memang kontribusi dalam penerimaan ZISWAF justru lebih banyak diberikan oleh LAZ dibandingkan dengan BAZNAS. Melihat potensi tersebut, alangkah baiknya jika pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan secara bersinergi antara BAZNAS dan LAZ, sehingga optimalisasi penerimaan zakat dari tahun ke tahun dapat mengalami peningkatan. Alasan-alasan KOMAZ dalam pengajuan tersebut didasari atas adanya kepentingan dari Lembaga-Lembaga Amil Zakat yang merasa akan terganggu kinerjanya dalam pengelolaan zakat dengan berlakunya Undang-Undang Zakat yang baru. Jika melihat data pendapatan zakat di atas, terlihat bahwa LAZ sangat berperan dalam pengelolaan zakat di Indonesia, sehingga cukup beralasan jika apabila dengan berlakunya Undang-Undang Zakat ini yang berpotensi menghambat LAZ, pihak LAZ bersama dengan amil zakat perorangan yang kepentingannya juga terancam bereaksi dengan mengajukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi. C. Kedudukan Amil Zakat di Indonesia menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 a.
Sentralisasi
Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 mengatur mengenai pembentukan serta tugas dan fungsi BAZNAS sebagai lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Dari sudut pandang KOMAZ, Pasal 5, 6 dan 7 Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini menggambarkan secara tegas, semangat untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu melalui keberadaan BAZNAS dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban, di mana BAZNAS adalah lembaga pemerintah non-struktural yang bersifat mandiri dan bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Padahal di dalam Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebelum berlakunya Undang-Undang No 23 tahun 2011, pada dasarnya dinyatakan bahwa salah satu tujuan pengelolaan zakat adalah untuk meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Universitas Indonesia
13
Sedangkan Pasal 8 menyatakan bahwa Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat mempunyai tugas utama mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama. Dalam Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat jelas terlihat adanya semangat kebersamaan, dan adanya pengaturan dalam Undang-Undang saat itu justru bertujuan untuk meningkatkan peranan pranata keagamaan, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Pemerintah berpendapat, pengaturan Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk sentralisasi dan subordinasi dalam pengelolaan zakat secara nasional berada sepenuhnya di tangan Pemerintah. Masyarakat tetap dapat membantu dan berperan serta dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat dengan membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 103 disebutkan : ”Khud min amwalihim shadaqah…” yang berarti “Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka…”. Menurut Pemerintah, secara sepakat para ulama tafsir menafsirkan bahwa kata-kata khud yang menggunakan fi’il amar di situ, maka tidak lain artinya adalah ambillah, dalam konteks ini adalah Pemerintah.9 Dalam praktik sejarah, yang diminta untuk mengambil dan mengumpulkan zakat pada masa khulafaur rasyidin hingga beberapa sejarah berikutnya adalah mereka yang memiliki otoritas sebagai pengumpul, yang pada saat itu dimaknai sebagai ulil amri.10 Dengan demikian, pada intinya peran negara tidak dapat diabaikan dalam pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat, di samping terikat dengan ketentuan syariah, tidak bias mengabaikan legalitas, akuntabilitas, dan system pengawasan. Tidak seorang pun dapat membantah bahwa keamanan dana zakat akan lebih terjamin apabila dikelola oleh lembaga yang memiliki otoritas dan kepastian hukum. Dalam Islam, zakat bukan hanya urusan individu dengan Allah SWT semata, tetapi terkait dengan hak negara dan masyarakat sebagaimana yang dipraktikkan dalam sejarah. Alasan mengapa pengelolaan zakat harus diatur oleh negara adalah untuk menciptakan 9
Keterangan Nasaruddin Umar (Wakil Menteri Agama RI), diambil dari Risalah Sidang Perkara Nomor 86/PUU-‐X/2012 tanggal 9 Oktober 2012. 10
Ibid.
Universitas Indonesia
14
kesatuan sistem (unified system) dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban atas pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Atau dengan kata lain dapat disederhanakan dengan kata kunci integrasi dan akuntabilitas. Sementara dari hasil wawancara Penulis dengan Bapak Heru Susetyo, S.H selaku kuasa hukum dari Tim Advokasi KOMAZ, ayat tersebut di atas dapat pula ditafsirkan bahwa kewenangan dan otoritas untuk pengumpulan dapat saja didelegasikan kepada institusiinstitusi lain di bawahnya, dalam hal ini adalah LAZ. Kata-kata khud tidak dapat secara sempit diartikan sebagai “Pemerintah” saja. Jadi kedudukan LAZ sebagai amil zakat adalah sah dan tetap berhak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan zakat berdasarkan ketentuan ayat tersebut.11 Alasan yang mendasarinya adalah, karena saat ini pengelolaan zakat di Indonesia sudah sangat kompleks, dengan cakupan wilayah yang luas serta jumlah muzakki dan mustahiq yang sangat banyak, dengan nilai dana zakat yang dikelola yang sangat besar. Hal ini jelas berbeda dengan pengelolaan zakat di zaman Rasulullah SAW maupun periode setelahnya, yang dapat dikatakan masih cukup sederhana, sehingga memungkinkan sesuai penafsiran ayat tersebut pemungutan dan penyaluran zakat dilakukan secara terpusat oleh orang yang ditunjuk oleh pemimpin pada saat itu, yang disebut amil. Di tatanan masyarakat dan sistem yang sudah kompleks saat ini, istilah “ambillah” dapat diartikan sebagai adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah atau pihak yang berkuasa kepada lembaga-lembaga yang memiliki kapabilitas untuk melakukan pengelolaan zakat. Pendelegasian wewenang dalam Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. beliau mengajak para sahabat untuk berpartisipasi melalui pendekatan yang sangat harmonis dan musyawarah.12 Diterangkan dalam surat Ali Imran [3]: 159 : “Maka dengan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka, dan sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Karena itu) maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Maka apabila kamu telah 11
Hasil wawancara antara penulis dengan Bapak Heru Susetyo, S.H selaku kuasa hukum dari Tim Advokasi KOMAZ dilakukan pada tanggal 5 Juni 2013. 12
Rachmah Kurniawati, “Aplikasi Fungsi Pengorganisasian Taman Pendidikan Al-‐Qur’an (TPA) Al-‐ Mujahidin Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul.” (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), hlm. 21.
Universitas Indonesia
15
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.”13 Pendelegasian wewenang yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam dilihat dalam Eksperimen Madinah. Eksperimen Madinah adalah istilah yang diberikan oleh Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan, terhadap usaha Nabi Saw dalam memimpin negara Madinah. Menurutnya, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah).14 Dalam konteks strategis, pembagian kekuasaan dengan cara pendelegasian wewenang adalah sebagi upaya untuk mengurangi kemungkinan adanya pelanggaran kekuasaan (abuse of power) sebagai akibat terkonsentrasinya kekuasaan. Mengutip Lord Acton, “power tends to corupt, absolute power tends to absolute corrupt”. Tabiat kekuasaan tanpa kendali moral akan cenderung korup dan menindas maka selain integritas moral dibutuhkan sistem yang dapat menggaransi tabiat jahat kekuasaan tersebut muncul. Dengan demikian, menurut KOMAZ adalah suatu hal yang wajar dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, jika zakat juga dikelola oleh lembaga independen bentukan masyarakat yakni LAZ, karena LAZ-LAZ tersebut telah mendapat izin pendirian dan izin operasi, baik yang diakui secara nasional maupun izin dari masing-masing kepala daerah. Hal ini yang menjadi dasar argumen KOMAZ atas pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 yang mengatur tentang sentralisasi pengelolaan zakat. Secara dasar hukum Islam maupun dasar historis, pengelolaan zakat oleh masyarakat tidak menyalahi aturan dan seharusnya dapat terus berlangsung. Menyikapi perbedaan pandangan tersebut, jika melihat kembali kepada pengertian dari amil menurut Islam yang telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, berdasarkan surat AtTaubah ayat 60, Imam Qurthubi manfsirkan bahwa amil zakat adalah orang yang diberi tugas (oleh imam atau pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, mencatat zakat yang diambil dari
13
Al-‐Hikmah, Op Cit., hlm. 67.
14
La Ode Ismail Ahmad, “Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam (Studi atas Konteks Ke-‐ Indonesia-‐an),” Millah Vol. X, No. 2 (Februari 2011), hlm. 273.
Universitas Indonesia
16
muzakki yang kemudian diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya.15 Dengan demikian, tidak ada yang benar yang salah dari penafsiran kedua belah pihak, karena pada dasarnya semua kembali lagi kepada penafsiran dan pemahaman masing-masing dari istilah “tugas dari imam” itu sendiri. Pada intinya, prinsip amar ma’ruf nahi mungkar seharusnya lebih dutamakan, kebaikan yang menguntungkan orang banyak dan dijalankan dengan cara yang benar di jalan Allah hendaknya tidak dilarang, selama memberikan manfaat bagi kepentingan orang banyak. Tujuan pengintegrasian pengelolaan zakat oleh BAZNAS pun mungkin dilakukan, dengan syarat potensi benturan kepentingan yang ditkhawatirkan tidak terjadi. BAZNAS sebagai lembaga pemerintah harus dapat membuktikan transparansi dan profesionalismenya, sehingga menimbulkan kepercayaan masyarakat dan organisasi pengelola zakat lainnya. Dengan kepercayaan tersebut diharapkan ke depannya justru dapat tercipta kerjasama atau sinergi antara BAZNAS dengan LAZ-LAZ yang ada dalam usaha pengelolaan zakat.
b.
Diskriminasi dan subordinasi
Kritik mengenai diskriminasi dan subordinasi muncul dari adanya ketentuan Pasal 17 yang menyebutkan bahwa untuk membantu BAZNAS dalam melakukan pelaksanaan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. Istilah “membantu” tersebut kemudian menimbulkan masalah karena dimaknai bahwa dalam Undang-Undang Zakat yang baru ini, kedudukan LAZ berada di bawah BAZNAS. Terdapat ketidaksetaraan atau hubungan subordinasi antara BAZNAS dan LAZ karena LAZ hanya bersifat “membantu” BAZNAS dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Padahal menurut data dari lapangan yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, selama beberapa tahun terakhir LAZ telah menunjukkan kinerja dan performa yang luar biasa dalam pengumpulan zakat. Bahkan, nilai zakat yang diperoleh beberapa LAZ Nasional jauh melebihi perolehan BAZNAS. Hal tersebut membuktikan bahwa walaupun berupa badan swasta, namun kinerja dan kepercayaan masyarakat terhadap LAZ dalam pengelolaan zakat di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata.
15
Didin Hafidhuddin, Manajemen Zakat Indonesia, (Jakarta: Forum Zakat, 2012), hlm. 98.
Universitas Indonesia
17
Selain itu, dalam Pasal 19 disebutkan bahwa LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepda BAZNAS secara berkala. Bentuk pelaporan suatu lembaga kepada lembaga lainnya adalah jelas menunjukkan hubungan subordinasi di antara kedua lembaga tersebut. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa kata “membantu” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 17 bukan untuk menciptakan subordinasi dan sentralisasi di mana pengelolaan zakat berada sepenuhnya di tangan Pemerintah, melainkan masyarakat tetap dapat membantu dan berperan serta dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat melalui LAZ. Selain itu, kegiatan pelaporan dimaksudkan agar mempermudah proses pengawasan dalam hal pengelolaan zakat. KOMAZ berpendapat bahwa tidak terdapat dasar aturan mengapa LAZ harus melapor kepada BAZNAS, di mana kedudukan kedua lembaga adalah sama sebagai pengelola zakat yang berada di bawah dan diawasi oleh Pemerintah, dalam hal ini melalui Kementerian Agama. Oleh karena itu, seharusnya kewajiban pelaporan LAZ dilakukan ke Kementerian Agama bukan kepada BAZNAS, dan BAZNAS pun wajib melaporkan kegiatannya kepada Kementerian Agama. Salah satu unsur amil zakat jiika dilihat kembali dari pengertian amil zakat yang diberikan oleh Imam Qurthubi, bahwa amil zakat adalah orang yang diberi tugas (oleh imam atau pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, mencatat zakat yang diambil dari muzakki yang kemudian diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya.16, adalah adanya pemberian tugas dari penguasa kepada amil zakat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak sembarang orang berhak dan mampu untuk menjadi amil zakat. Amil zakat diberi tugas langsung oleh penguasa, oleh karena itu hubungan subordinasi yang ada adalah antara amil zakat dan penguasa (pemerintah). Oleh karena itu jika dikaitkan pengertian tersebut dengan keadaan BAZNAS dan LAZ dalam undang-undang ini, tidak ada dasar mengapa BAZNAS sebagai sesame amil zakat yang melakukan pengumpulan dan pengelolaan zakat memiliki posisi subordinasi daripada LAZ, dengan adanya mekanisme pelaporan tersebut. Seharusnya kedudukan BAZNAS dan LAZ adalah sama sebagai amil zakat yang diberi tugas oleh Pemerintah, dan oleh karena itu melakukan pelaporan atas kegiatannya kepada Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Agama. 16
Ibid.
Universitas Indonesia
18
c.
Diskriminasi dan marjinalisasi
Pasal 18 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa salah satu syarat bagi pendirian LAZ adalah harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial, yang dinilai oleh KOMAZ syarat tersebut tidak memiliki dasar argumentasi. Organisasi Kemasyarakatan (ormas) bukanlah badan hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat dalam negara yang dilakukan oleh negara pada masa Orde Baru dengan maksud melakukan represi terhadap aspirasi rakyat. Ormas tidak memiliki kepastian hukum mengenai definisi dan pengelolaannya. Undang-Undang Ormas lama No. 8 Tahun 1985 tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum karena bertentangan dengan semangat zaman. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan tersebut, disebutkan bahwa setiap organisasi kemasyarakatan wajib berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Tentu hal ini sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang, khususnya bagi organisasi pengelola zakat. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011. LAZ adalah organisasi yang bergerak di bidang pengelolaan zakat. Oleh karena itu, asas yang dianut oleh LAZ adalah asas pengelolaan zakat sesuai yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Zakat Nomor 23 Tahun 2011, yaitu : syariat Islam, amanah kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas. Selain itu, prinsip organisasi kemasyarakatan yang berbasis pada massa, juga tidak terlalu relevan dengan LAZ, karena kesuksesan dan kinerja sebuah LAZ tidak dilihat dari seberapa besar basis massanya, melainkan dari efektivitas dan efisiensi penerimaan, penyaluran dan pelayanan zakat, serta keberhasilannya dalam meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan melalui inovasi dan terobosan program kerjanya. Pada kenyataannya, selama ini LAZ hidup dan diakui di tengah masyarakat tanpa perlu menjadi ormas, karena ormas berbasis keanggotaan sedangkan tidak ada fungsi dari LAZ yang harus dikaitkan dengan basis keanggotaan. Selain itu, tidak seluruh umat Islam bergabung pada ormas tertentu, justru lebih banya umat Islam yang tidak terdaftar sebagai anggota ormas.
Universitas Indonesia
19
Ketentuan yang ketat mengenai izin pendirian LAZ ini sangat berbanding terbalik dengan pendirian BAZNAS yang justru diamanahkan oleh Undang-Undang serta biaya operasional yang ditanggung oleh APBN. Melihat kembali kepada syarat-syarat amil zakat yang diuraikan oleh Yusuf AlQardhawi sebagai berikut : 1.
Muslim
2.
Mukallaf
3.
Jujur dan amanah
4.
Memahami hukum-hukum zakat
5.
Amanah dan ahli dalam hal zakat
Dengan tambahan syarat amil menurut Didin Hafidhuddin yaitu kesungguhan amil untuk melaksanakan tugasnya yaitu dengan menjadikan tugas ini sebagai kegiatan utamanya (penuh waktu) bukan sebagai pekerjaan sambilan.17 Keenam syarat dasar tersebut tidak mewajibkan suatu organisasi pengelola zakat untuk berbentuk suatu badan tertentu atau mendasarkan organisasinya pada basis massa. Oleh karena itu terlihat tidak adanya relevansi dan urgensi dalam syarat berbentuk ormas yang ditetapkan Undang-Undang, sehingga seharusnya dengan mekanisme dan bentuk LAZ seperti yang telah ada sekarang sudah cukup memenuhi syarat sebagai amil zakat yang dapat melakukan pengelolaan zakat di Indonesia. d.
Kriminalisasi
Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 meregulasi tentang sanksi pidana terhadap setiap orang yang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Izin yang dimaksud adalah merujuk pada Pasal 18, yakni izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Untuk mendapatkan izin tersebut, suatu Lembaga Amil Zakat harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Zakat yang salah satunya adalah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial serta berbentuk lembaga berbadan hukum. Dengan demikian, ketentuan Pasal 38 dan Pasal 41 secara jelas telah mencegah amil zakat perorangan untuk dapat menjalankan kegiatannya, 17
Hafidhuddin (a), Op Cit., hlm. 45.
Universitas Indonesia
20
karena organisasi pengelola zakat yang dapat menerima izin harus berbentuk lembaga berbadan hukum. Hal inilah yang kemudian dipermasalahkan, mengingat banyaknya amil zakat perorangan yang tersebar di seluruh Indonesia, di mana hal tersebut cenderung sudah menjadi tradisi dan budaya selama bertahun-tahun. Dengan adanya ketentuan ini, setidaknya sampai 5 (lima) tahun ke depan, amil zakat perorangan yang masih beroperasi akan dimasukkan ke dalam penjara. Menurut KOMAZ, hal ini lah yang menimbulkan kebingungan dan keresahan dalam masyarakat, baik para amil zakat itu sendiri maupun para muzakki. Para amil zakat khwatir jika usaha pengumpulan dan penyaluran tetap dilakukan, mereka akan berpotensi dikriminalisasi. Sementara para muzakki cenderung bingung bagaimana dan ke mana mereka harus menyalurkan zakat karena selama ini sudah mempercayakan pengelolaan zakatnya kepada LAZ dan amil zakat perorangan yang ada, yang telah terbukti mengelola dana zakat dengan amanah, profesional dan akuntabel. Selain itu, terjadi pula pembatasan terhadap preferensi dan pilihan para muzakki dalam menyalurkan dana zakatnya, akibat dibatasinya Lembaga Amil Zakat dan amil zakat yang boleh beroperasi dengan persyaratan ijin operasi yang tidak adil. Zakat di Indonesia adalah suatu norma hukum fakultatif, dalam artian tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan umat Islam di Indonesia untuk menunaikan zakat. Sehingga menjadi sangat aneh jika pada akhirnya norma fakultatif ini ditindaklanjuti dengan ancaman pidana yang bersifat imperatif.18 Seharusnya, yang diancam pidana adalah penyelewengan terhadap pelaksanaan zakat itu sendiri, baik oleh LAZ maupun BAZNAS, bukan justru pihak yang melakukan pengelolaan zakat dengan cara yang benar menurut Islam. Menanggapi hal ini, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 38 dan Pasal 41 tersebut
adalah
dalam
rangka
menginventarisasi,
menertibkan,
serta
mewujudkan
akuntabilitas dan transparansi terhadap lembaga yang mengelola zakat dari masyarakat, sehingga dengan adanya izin dari pejabat yang berwenang diharapkan para pihak amil zakat yang mengelola zakat dari masyarakat adalah yang memang benar-benar akan menyalurkan zakat yang dikelola secara benar. Dengan kata lain, hal ini adalah tindakan preventif agar lembaga amil zakat tidak menyimpang dari tujuan semula. Misalnya, lembaga amil zakat menjadi sebuah korporasi 18
Hasil wawancara antara penulis dengan Bapak Heru Susetyo, S.H selaku kuasa hukum dari Tim Advokasi KOMAZ dilakukan pada tanggal 5 Juni 2013.
Universitas Indonesia
21
yang mencari keuntungan sehingga adalah tidak tepat. Jadi izin dari pejabat berwenang tersebut tidak bertujuan untuk mempersulit, mempersempit dan mematikan ruang gerak Lembaga Amil Zakat. Bahkan dengan adanya izin dari pejabat yang berwenang tersebut akan memperkuat Lembaga Amil Zakat dan amil zakat tradisional atau peroranga di masjid dan pesantren untuk menjadi bagian dari Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah menilai kedua ketentuan di atas tidak bermaksud mengkriminalisasikan Lembaga Amil Zakat maupun amil zakat perorangan. Dari sudut pandang Islam, pertama harus dilihat dari hukum zakat itu sendiri. Zakat hukumnya adalah wajib bagi umat Islam yang memiliki harta yang sudah cukup nishab dan haul-nya. Kewajiban zakat bagi warga negaranya diterapkan oleh negara-negara Islam antara lain Malaysia dan Saudi Arabia. Di mana kewajiban zakat di negara-negara tersebut dibarengi dengan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan. Jadi sudah sewajarnya jika ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai pengelolaan zakat secara terintegrasi oleh negara. Lain halnya dengan Indonesia yang bukan merupakan negara Islam, kewajiban berzakat bagi warga negara yang beragama Islam tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu normanya bersifat fakultatif yang tidak seharusnya diatur dengan sanksi pidana yang bersifat imperatif. Jadi dalam hal ini, penulis berpandangan argumen-argumen yang dikemukakan oleh pihak KOMAZ cukup beralasan. Seseorang atau sebuah organisasi pengelola zakat yang melakukan tugasnya mengumpulkan dan menyalurkan zakat dengan amanah, secara hukum Islam adalah sah dan berhak, selama mereka dapat menjaga transparansi dan keprofesionalitasnya. Hal ini juga merupakan bentuk preventif terhadap kekhawatiran Pemerintah bahwa pengaturan Pasal 38 dan Pasal 41 untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada muzakki, mustahik, dan LAZ dalam kegiatan pengelolaan zakat. Oleh karena itu, untuk memenuhi struktur perundang-undangan yang baik, pengaturan mengenai sanksi dalam Undang-Undang Zakat seharusnya mengatur mengenai sanksi bagi penyelewengan atau tindakan di luar kepatutan yang dilakukan terhadap dana zakat oleh siapapun yang terkait di dalamnya, baik BAZNAS, LAZ, maupun amil zakat perorangan. Dengan demikian, mengambil jalan tengah dari perbedaan pendapat yang terjadi terhadap materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, khusunya mengenai siapa sebenarnya yang disebut amil zakat dan berhak mengelola zakat di Indonesia,
Universitas Indonesia
22
kedua pendapat yang telah diuraikan di atas memiliki dasar argumennya masing-masing, sehingga tidak dapat disimpulkan siapa yang benar atau salah.
KESIMPULAN A. Pengajuan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap UUD 1945 oleh KOMAZ Permohonan pengujian Undang-Undang Zakat baru mengkritisi 5 wilayah, yaitu : sentralisasi, subordinasi, marjinalisasi, diskriminasi, dan kriminalisasi. Sentralisasi tercermin dari ketentuan yang menyatakan bahwa BAZNAS adalah badan bentukan Pemerintah yang berperan dalam pengelolaan zakat nasional dan LAZ hanya membantu BAZNAS. Diskriminasi, subordinasi dan marjinalisasi tercermin dari syarat pendirian LAZ yang cukup ketat yang dikhawatirkan mempersulit LAZ. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan pendirian BAZNAS yang justru diamanahkan undang-undang dengan biaya operasional yang ditanggung APBN. Ancaman kriminalisasi sangat membahayakan amil zakat perorangan dan LAZ Nasional atau Daerah yang tetap beroperasi meski belum mendapat izin. Khususnya bagi amil zakat perorangan, ketentuan pasal tersebut jelas telah menutup kesempatan mereka untuk menjadi amil, karena persyaratan amil adalah harus berbentuk badan hukum.
B. Kedudukan Amil Zakat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Kedudukan BAZNAS dalam Undang-Undang Zakat adalah sebagai badan pemerintah yang berfungsi sebagai pelaksana sekaligus regulator dalam pengelolaan zakat di Indonesia. LAZ baik nasional maupun daerah, adalah juga sebagai pengelola zakat, dengan syarat telah memiliki perizinan dengan memenuhi persyaratan antara lain berupa badan hukum, merupakan organisasi kemasyarakatan, dan mendapat rekomendasi dari BAZNAS. Sedangkan amil zakat perorangan atau tradisional tidak diakui kedudukannya sebagai pihak yang berwenang sebagai amil yang menjalankan fungsi pemungutan dan pendistribusian zakat dalam masyarakat.
Universitas Indonesia
23
SARAN 1.
Segera dibuat peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 yang komprehensif dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak terkait dengan pengelolaan zakat yang akan merinci hal-hal yang belum jelas dan dijelaskan dalam undang-undang.
2.
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang memadai mengenai organisasi kemasyarakatan, LAZ sebaiknya tidak harus berbentuk organisasi kemasyarakatan, untuk menghindari permasalahan yang lebih kompleks.
3.
Pemerintah harus memperbaiki dan meningkatkan kinerja BAZNAS agar dapat bersinergi dan bersaing dengan LAZ yang telah ada dalam hal penerimaan zakat dan mendapatkan kepercayaan masyarakat.
4.
Harus ada peraturan yang jelas yang menjelaskan tugas dan wewenang BAZNAS sebagai operator dan regulator, agar kekhawatiran mengenai adanya conflict of interest tidak terjadi.
5.
Solusi untuk amil zakat perorangan atau tradisional yang tidak diakui kedudukannya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 adalah antara lain dengan mempermudah ketentuan mengenai syarat amil, karena keberadaan amil zakat tradisional masih diperlukan terutama di daerah pedalaman yang belum dijangkau BAZNAS maupun LAZ. Seandainya hal tersebut mustahil dilakukan, para amil zakat yang telah ada dapat dikumpulkan, didaftar dan dibina sebagai Unit Pengumpul Zakat LAZ atau BAZ Daerah yang bersangkutan.
6.
Dilakukan pembinaan terhadap LAZ dan BAZNAS agar dapat meningkatkan kinerjanya demi mengoptimalkan produktivitas penerimaan zakat di Indonesia.
7.
Para Muzakki sebaiknya berlaku cerdas dalam memilih lembaga pengelola zakat dalam menyalurkan zakatnya, serta tidak terpengaruh dengan polemik yang ada sehingga menghambat kegiatan pembayaran zakat.
8.
Masyarakat hendaknya turut serta berperan aktif dalam mngawasi kinerja BAZNAS, LAZ maupun amil zakat perorangan agar tercipta sistem pengelolaan zakat di Indonesia yang kondusif dan efektif.
Universitas Indonesia
24
DAFTAR REFERENSI BUKU Ahmad, La Ode Ismail. 2011. “Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam (Studi atas Konteks Ke-Indonesia-an),” Millah Vol. X, No. 2. Hafidhuddin, Didin. 2012. Manajemen Zakat Indonesia. Jakarta: Forum Zakat. -----------------------. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakata: Gema Insani. Mamudji, Sri., dkk. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum”. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: UI Press. Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Kencana, 2011. Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al-Hikmah. 1980. Terjemah Al Qur-an Secara Lazfiyah Jilid IV. Jakarta: Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al-Hikmah.
SKRIPSI DAN MAKALAH Kurniawati, Rachmah. 2007. “Aplikasi Fungsi Pengorganisasian Taman Pendidikan AlQur’an (TPA) Al-Mujahidin Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul.” Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Yogyakarta.
WAWANCARA Wawancara dengan Bapak Heru Susettyo, S.H., Pengajar SHUI dan Tim Kuasa Hukum KOMAZ, Rabu, 5 Juni 2013.
Universitas Indonesia