KEDUDUKAN AKAL MENURUT AL-QUR'AN Oleh Mujetaba Mustafa*
Abstrak Al-Qur’an dalam berbagai redaksinya yang menunujuk makna akal selalu dalam bentuk verba dan tidak pernah dalam bentuk benda atau ism. Verba yang banyak digunakan alQur’an adalah bentuk prensent atau kata kerja yang berarti sedang (fi’il mudhari’). Penggunaan bentuk pengungkapan akal tersebut nampaknya punya konsekwensi tersendiri, misalnya bentuk negatif interogatif (istifham inkari) bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan semangat. Bentuk yang dimaksud adalah redaksional seperti afala ta'qilun yang terulang sebanyak 13 kali. Misalnya firman Allah SWT dalam QS. Yusuf: 109. Ada pun kata akal yang terungkap pada berbagai surah dalam Al-Qur'an dan terulang sebanyak 49 kali masing-masing; ya'qilûna 22 kali, ta'qilûna 24 kali, aqalûhu, ya'qiluha, dan na'qilu masing-masing sekali, cakupan pengambilan iktibar dan renungannya telah melingkupi semua sisi jagad raya dari bagian atas dan bawahnya, manusia, binatang dan tumbuhannya, masa lalu dan akan datang, berbagai ayat kauniyah, risalah dan para pembawanya, dan lain-lain. Maka orang yang tidak mau menggunakan akalnya pada semua sisi ini, ia sesungguhnya telah mencampakkan hal yang paling bermanfaat bagi dirinya sehingga ia tidak mendapat petunjuk dan berjalan di atas kesesatan. Perkataan mereka pada hari kiamat dinukil dalam QS. al-Mulk: 10-11.
Kata-kata Kunci: akal, perspektif al-Qur’an
PENDAHULUAN Al-Qur'an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam rangka menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan di akhirat kelak. Konsepkonsep yang dibawa Al-Qur'an selalu relevan dengan problema yang dihadapi umat manusia, bahkan Al-Qur'an selalu menawarkan pemecahan terhadap semua problema manusia tersebut, kapan dan di manapun mereka berada. Oleh karena itu, inisiatif dan upaya agar setiap muslim mendapatkan kemudahan dalam memahaminya harus senantiasa dilakukan1 semaksimal mungkin. *
Dr. H. Mujetaba Mustafa, M.Ag. adalah dosen tetap pada IAIN Palopo dalam bidang Tafsir dan Ulum al-Qur’an.
83
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 Para ahli al-Qur'an telah menempuh banyak cara untuk menyajikan kandungan dan pesan-pesan Al-Qur'an itu. Ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana termaktub dalam Mushaf, misalnya dari ayat pertama surat Al-Fatihah hingga ayat terakhir, kemudian beralih ke ayat pertama surat kedua (alBaqarah) hingga berakhir pula, dan demikian seterusnya. Penjelasan dan kandungan ayat yang disajikan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam benak sang pengkaji, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan ayat-ayat yang ditafsirkannya. Ibarat seorang tuan rumah menyajikan hidangan prasmanan kepada tamu-tamunya, masing-masing memilih sesuai seleranya serta mengambil kadar yang diinginkan dari meja saji yang telah ditata itu. Ada pula pengkaji Al-Qur'an yang memilih topik tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut, di mana pun ayat itu ia temukan. Selanjutnya menyajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilih itu tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana terlihat dalam Mushaf, dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik, walaupun hal yang tidak berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat yang dibahas. Di sini, seorang Mufassir seolah menyodorkan sebuah kotak berisi hidangan yang telah dipilih dan disiapkan kadar dan ragamnya, sebelum para undangan tiba. Yang memilih dan memilah serta menetapkan porsi adalah tuan rumah, sehingga para tamu tidak lagi direpotkan, karena makanan telah siap untuk disantap. Yang penulis ilustrasikan tadi sebagai hidangan prasmanan adalah sajian pengkaji Al-Qur'an yang dinamai metode tahlili atau tajzi-i, sedangkan menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan adalah ilustrasi dari apa yang dinamai oleh para pakar Al-Qur'an dengan metode maudhu’i (tematik). Bagaimana pun perbedaan kedua metode penyajian tersebut, keduanya jelas sebagai usaha untuk memudahkan umat memahami kitab sucinya. Siapa yang merasa sibuk dan ingin cepat, maka tentu saja ia mengambil kotak berisi makanan yang telah tersedia. Sebaliknya, merekan 1
Muhammad Isma'il Ibrahim, Al-Qur'an wa I'jazuh al-'Ilmi (Kairo, Dar al-Fikr al-'Arabi, t.th), h. 12.
84
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 yang merasa sanggup mengalokasikan banyak waktu dan ingin lebih puas, maka ia memilih hidangan prasmanan, hanya saja jangan mengeluh tentang waktu atau upaya yang harus dilakukan, dan jangan juga merasa bosan atau jenuh karena pasti tidak semua yang dihidangkan ia butuhkan. Bahkan boleh jadi ada sekian banyak di antara yang terhidang yang ditolak oleh seleranya. Metode maudhu’i, walaupun benihnya telah dikenal sejak masa Rasul SAW, namun ia baru berkembang jauh sesudah masa beliau. Dalam perkembangannya metode maudhu’i ini mengambil dua bentuk penyajian; Pertama, menyajikan penafsiran menyangkut satu surah dalam Al-Qur'an dengan menjelaskan tujuantujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan pesoalan-pesoalan
yang
beraneka ragam yang terangkum pada satu surat itu. Misalnya pesan-pesan pada surat al-Baqarah, atau Ali Imran dan sebagainya. Bentuk penyajian kedua, menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas masalah tetentu dari berbagai surah Al-Qur'an, kemudian melakukan kajian mendalam dari menjelaskan pengertian samapi mengemukakan konsep dari tema yang menjadi pokok pembahasannya.2 Manusia adalah merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah paling sempurna di antara makhluk-makhluk yang lain. Faktor yang menjadikannya demikian istimewa adalah karena anugerah akal yang diberikan kepadanya. AlQur'an menyebut pemberian akal tersebut sebagai anugerah terindah yang wajib didayagunakan. Hal tersebut dipahami dari beberapa kalinya ditemukan kalimat “afalâ ta’qilûn” (tidakkah kalian berfikir) dalam al-Qur’an. Karena penyebutan akal dengan bentuk kata kerja ini ditemukan beberapa kali, maka penulis berusaha mengumpulkan ayat-ayat tersebut sebagai acuan untuk mengemukakan konsepsi akal dalam al-Qur'an. Ayat-ayat yang berbicara tentang akal dalam tulisan ini dikaji dengan menggunakan metode maudhu’i,3 dan analisa serta pendekatannya tentu pendekatan
2
M. Qurasih Shihab, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XVII, (Bandung; Mizan, 1998), h. 117. 3 Abd. Muin Salim, Konsepsi Fiqh Siyasah Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, Cet. I, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 20.
85
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 semantik. Hal itu dikarenakan tulisan ini bertumpu pada kajian tafsir dan tafsir merupakan penggalian makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan kebahasaan Al-Qur'an. Meski pun secara teoritis semantik meliputi semantik leksikal, semantik gramatikal dan semantik kalimat, namun pada prakteknya, pendekatan semantik dalam tulisan ini akan menggunakan beberapa teknik interpretasi, seperti interpretasi tekstual, linguitik, teologis, sistematis, sosio-historis, teologis, kultural dan logis.
MAKNA AKAL Kata al'aql ( )العقلmenurut bahasa Arab berarti mengikat dan menahan, seperti mengikat unta dengan pengikat ( )ا ِلعقالdan menahan lidah dari berbicara.4 Ibn Manzur juga berpendapat seperti ini, hanya dia menambahkan, selain berarti menahan al-hajr ( )الحجل, seperti menahan hawa nafsu, kata al-'aql juga berarti kebijaksanaan al-nuha ()النهى, lawan dari lemah pikiran al-humq ()الحمق.5 Selanjutnya disebut bahwa al-'aql juga mengandung arti kalbu (al-qalb),6 dan kata 'aqala ( )عقmengandung arti memahami.7 Arti asli dari kata 'aqala ( )عقلkelihatannya adalah mengikat dan menahan. Orang yang dapat menahan darah panasnya (hammiyyah) di zaman jahiliah disebut 'Âqil ( )عاقل, karena ia dapat menahan amarahnya serta dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.8 Jadi beberapa pengertian kata al-'aql tersebut mempunyai kaitan antara satu sama lain. Dalam pemahaman Izutzu kata akal di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern 4
Ibrahim Anis, dkk., Al-Mi'jam al-Wasit, (Kairo: t.p. 1392H/1972M), Cet. Ke-2, h. 616-617). Al-Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat Alfaz Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 354. 5 Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, (Mesir: Al-Dar al-Misriyyah, t.th.) Jld. 13, h. 485-486. 6 Menurut Harun Nasution, kata Arab al-qalb berarti jantung dan bukan hati. Kata Arab untuk hati adalah al-kabid ()الكبد. Lihat Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1983), Cet. II, h. 6. 7 Ibn Manzur, loc.cit. 8 Harun Nasution, loc.cit.
86
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya
adalah
orang
yang
mempunyai
kecakapan
untuk
menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan masalah yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis seperti ini sangat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliah.9 Akal menurut Hamka ialah anugrah Tuhan kepada mahluk yang dipilih-Nya, yakni manusia.10 Sebagai anugrah terhadap mahluk pilihan, akal menjadi dasar yang membedakan antara manusia dengan mahluk lain.11 Perbedaan antara manusia dengan mahluk lain itu yang diletakkan Tuhan pada pemberian akal, telah memberikan potensi pada manusia untuk meneliti dan mencari rahasia yang tersembunyi di dalam alam yang disimpan untuk dikeluarkan.12 Dengan akal itulah manusia dimungkinkan untuk melakukan perenungan, dan pada giliran berikutnya melakukan penelitian terhadap fenomena yang ada di alam semesta. 13 Hamka sebenarnya hendak menunjukkan bahwa kelebihan manusia dari mahluk lain dengan akalnya itu, terletak pada kesanggupan manusia untuk membedakan dan menyisihkan antara yang buruk dengan yang baik.14 Itulah konsep akal menurut Hamka. Kelihatannya konsep ini menempatkan akal pada posisi penting dalam diri manusia. Al-Jurjani mengemukakan beberapa pengertian akal, antar lain beliau menjelaskan bahwa akal ialah substansi jiwa yang diciptakan Allah SWT yang berhubungan dengan badan manusia. Akal juga berarti cahaya (nur) dalam hati untuk mengethui kebenaran dan kebatilan. Ada pula yang mengartikan akal dengan substansi yang murni dari materi yang hubungannya dengan badan dalam bentuk mengatur dan mengendalikan. Menurut pendapat lain, akal ialah suatu kekuatan bagi jiwa berpikir (al-nafs al-nâtiqah). Karena jelas bahwa kekuatan berpikir, (al-quwwat 9
Toshihiko Izutzu, God and Man in the Quran, (Tokio, Keiko University, 1964), h. 65. Lihat juga Harun Nasution, Ibid., h. 7. 10 Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), h. 185. 11 Ibid., h. 182 12 Ibid. 13 Ibid., h. 184 14 Ibid., h. 182
87
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 al-'aqilah) berbeda dengan jiwa berpikir, sebab pelaku perbuatan (fâ'il) ( )فاع ل sebenarnya adalah jiwa sedang akal adalah alat bagi jiwa sebagaimana pisau alat bagi tukang potong (qati') ( ) قلاع. Ada pula yang menyamakan arti al-'aql, al-nafs dan alzihn. Kecuali itu, dinamakan al-'aql karena ia bisa menangkap (al-mudrikah), dinamakan al-nafs karena ia pengendali (mutasarrifah), dan dinamakan al-zihn karena ia siap untuk menangkap sesuatu (musta'iddat li al-idrak).15 Dari kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa akal merupakan substansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia, dan sebagai cahaya (nur) dalam hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan, mengatur dan mengendalikan jasmani. Akal adalah alat bagi jiwa. Lebih lanjut Al-Jurjani mengatakan, akal berguna untuk memikirkan hakikat sesuatu, yang tempatnya diperselisihkan, ada yang mengatakan di kepala, ada pula yang berpendapat, akal itu bertempat di kalbu.16 Harun Nasution berpendapat bahwa mengerti, memahami dan memikirkan dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada,
17
sebagaimana firman
Allah dalam ayat 46 surat al-Hajj: Terjamahnya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada".18 Menurut Izutzu, dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani ke dalam pemikiran Islam, kata al-aql mengandung arti yang sama dengan kata Yunani nous19. Dalam filsafat Yunani nous mengandung arti daya berpikir yang teardapat dalam
15
Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Maktabah Lubnan), h. 157. Ibid. 17 Harun Nasution, op.cit., h. 8. 18 Dep. Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya,(Jakarta: PT Bumi Restu, 1977) h. 519 19 Izutzu, op.cit., h. 66-67 16
88
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 jiwa manusia. Dengan demikian pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui alqalb di dada, tetapi melalui al-'aql di kepala.20 Telepas dari perbedaan pendapat di atas, yang jelas, akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya seperti yang digambarkan Al-Qur'an, memeroleh pengetahuan dengan memerhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia yaitu Tuhan.21 Menurut Harun Nasution, pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh filsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs atau al-ruh) yang terdapat dalam diri manusia.22 Sementara itu, akal menurut kaum teolog Islam adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya untuk membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda-benda satu dari yang lain. Akal juga mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap pancaindra, serta mempunyai daya untuk membedakan antaraq kebaikan dan kejahatan.23
KAJIAN TERMINOLOGI AYAT-AYAT TENTANG AKAL Kata akal yang sudah menjadi bahasa Indonesia, sebagaimana diketahui berasal dari kata Arab al-'aql ( )العقل, yang dalam bentuk kata benda (ism) tidak ditemui dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an hanya membawa bentuk kata kerjanya (fi'il) yang diulang sebanyak 49 kali, yakni kata 'aqaluh ( )عقللهdalam satu ayat, yaitu dalam surat al-Baqarah/2: 75; kata ta'qilun ( )تعقللهdisebut 24 kali, antara lain dalam surat al-Baqarah/2: 44. 73, 76, 242; Ali Imran/3: 65, 118; Al-An'am/6: 32, 151; alA'raf/7: 169; Yunus/10: 16; Hud/11: 51;Yusuf/12: 2, 109; kata na'qil ( )نعقلdisebut 1 kali, yaitu dalam surat al-Mulk/67: 10; kata ya'qilun ( )يعقللهdiulang 22 kali, antara 20
Harun Nasution, loc.cit. Ibid., h. 13. 22 Ibid., h. 8. 23 Ibid., h. 12. 21
89
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 lain dalam surat al-Baqarah/2: 164, 170, 171; al-Ma'idah/5: 58, 103; al-Anfal/8: 22; Yunus/10: 42, 100; al-Ra'ad/13: 4; al-Nahl/16: 12, 67; al-Hajj/22: 46.24 Dari berbagai redaksi akal yang terdapat dalam Al-Qur'an sebagaimana penulis paparkan di atas, telihat ada beberapa bentuk yang digunakan Al-Qur'an untuk mengungkap kata akal. Salah satunya adalah bentuk negatif interogatif (istifham inkari). Jika bentuk ini yang digunakan, maka ia bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan semangat. Bentuk yang penulis maksudkan adalah redaksional seperti afala ta'qilun yang terulang sebanyak 13 kali. Misalnya firman Allah SWT dalam QS. Yusuf: 109: Terjemahnya: Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? Ayat di atas merupakan bentuk istifham inkari yang menumbuhkan semangat mereka yang diajak berdialog oleh Al-Qur'an agar meningkatkan ketakwaannya, yang dengan itu ia akan mendapat tempat yan baik di akhirat kelak. Demikian juga pada QS al-Anbiya:10, ditemukan kalimat afalâ ta'qilûn sebagai bentuk istifham inkari yang menyemangati mitra dialog Al-Qur'an agar memperhatikan sebab-sebab kemuliaan mereka. Firman Allah: Terjemahnya: Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? Selanjutnya, terma ta'qilun terulang dalam al-Quran beberapa kali dan berkaitan dengan ayat-ayat yang Allah jelaskan serta harus dipikirkan, baik ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis tapi dapat dilihat. Dari sebagian besar ayat yang
24
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur'an al-Karim, Cet. Ke-2, (Beirut; Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. 468-469.
90
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 ada, yang dimaksud dari ayat itu adalah yang diturunkan Allah SWT. Seperti firman Allah SWT berikut, QS. Al-Baqarah: 242 Terjemahnya: Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya Demikian pula firman Allah SWT dalam sepuluh wasiat yang terdapat dalam surat al-An'am: 151: Terjemahnya: Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Sama halnya dengan firman Allah SWT, QS. Yusuf: 2 Terjemahnya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Allah SWT menurunkan al-Quran dengan bahasa mereka (bahasa Arab) agar mereka dapat memahami dan meresapinya dengan hati mereka, tidak semata mendengarkannya dengan telinga mereka tanpa memikirkan dan merenungkan makna kandungannya. Terma ya'qilun datang redaksional fi'il mudhari' untuk orang ketiga jamak ya'qilun, terulang sebanyak dua puluh dua kali. Sedangkan redaksi yang bersifat negatif laa ya'qilun 'mereka tidak berpikir', kebanyakannya adalah cercaan terhadap mereka yang tidak menggunakan akal mereka yang dianugrahkan Allah. Mereka bahkan menafikan akal tersebut sama sekali sehingga mereka bersifat statis, membeo, dan ingkar. Misalnya firman Allah SWT yang berisi cercaan terhadap mereka yang membeo terhadap kekafiran nenek moyang mereka, QS. al-Baqarah: 170:
91
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 Terjemahnya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? ANALISA TAFSIR AYAT TENTANG AKAL Dalam penelitian penulis menelusuri ayat yang menyebutkan kata akal, baik melalui kitab al-Mu'jam al-Mufahras karya Muhammad Fuad Abd Baqi mau pun melalui berbagai program IT penulis menemukan kata akal tersebut tidak sekali pun disebutkan dalam bentuk ism. Kata akal selalu digunakan dengan bentuk kata kerja (fi'il) yang sering diterjemahkan "menggunakan akal". Bentuk yang paling banyak adalah bentuk fi’il mudhare' (bentuk sedang). Bentuk fi’il mâdhi (bentuk lampau) hanya ditemukan sekali dalam QS. Al-Baqarah: 75. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kandungan makna dari fi'il mudhari' adalah makna kesinambungan (istimrariyah). Ditemukannya bentuk mudhari' yang dominan dalam menunjuk akal, menunjukkan isyarat untuk menggunakan akal secara berkesinambungan dalam memahami berbagai hal dalam kehidupan dan menyikapinya dengan sikap-sikap terbaik. Mereka yang tidak mampu memahami dan menunjukkan sikap terbaiknya dalam merespon hal-hal tertentu dipandang sebagai pihak yang tidak menggunakan akal. Misalnya apa yang terdapat pada ayat: Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. [QS. Al Hujurat: 4] Muhammad Ali As-Shabuniy ketika menafsirkan ayat tesebut mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
َ أ َ ْكث َل ُ ُم ْ َ َي ْع ِقلُللهadalah 92
أكثل م ر ل عقل, beliau
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 mengemukan alasan memilih makna tersebut, karena menurutnya akal mengantarkan kepada perangai yang terpuji atau sikap-sikap terbaik.25 Ketika menafsirkan ayat QS al-Baqarah: 44 berikut: Terjemahnya: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini merupakan kecaman kepada pemuka-pemuka agama Yahudi yang seringkali memberi tuntunan tetapi melakukan sebaliknya. Demikian juga kepada kaum Bani Israil yang menyuruh berbuat aneka kebaikan, seperti taat kepada Allah, jujur, membantu orang lain, dan sebagainya, tetapi mereka sendiri durhaka, menganiaya, dan khianat. Bahkan sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan sikap seorang Yahudi yang menyuruh keluarganya yang telah memeluk Islam agar mempertahankan keyakinan mereka dan terus mengikuti Nabi SAW. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa disebutkannya kalimat
َ أَفَل
َ ت َ ْع ِقلُلهyang berarti tidakkah kalian berakal?, mengandung makna mereka tidak memiliki kendali yang menghalangi diri mereka terjerumus dalam dosa dan kesulitan.26 Setelah menganalisa dua paparan ahli tafsir di atas, penulis cenderung memahami bahwa kata akal yang digunakan Al-Qur'an untuk menjelaskan perbuatan, selalu menunjuk kepada perbuatan yang melingkupi makna memahami, mengerti, dan menyikapi sesuatu yang menjadi tema pembicaraan dengan pemahaman dan sikap terbaik. Yang berarti pula bahwa kata Aqala dalam Al-Qur'an dengan seruruh derivasi verbanya menuntut adanya kecerdasan intelektual (Intellegence Qoutient), kecerdasan emosional (Emotional Qoutient), dan kecerdasan spritual (Spiritual Qoutient) sekaligus.
25
Muhammad Ali As-Shabuny, Shofwatut Tafâsîr, Jilid III (Beirut; Dâr al-Fikr, t.th) h. 233 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid. I, Cet.I, (Ciputat; Lentera Hati, 2000), h 174
26
93
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015 OBJEK AKAL DALAM AL-QUR'AN Berbagai redaksi ayat tentang akal yang berbentuk positif baik term ya'qilûn, ta'qilûn mau pun aqalûhu, datang dalam rangka mengajak melakukan pengambilan ibrah terhadap perjuangan orang-orang yang diamanahkan memikul risalah Allah dan sikap orang-orang yang menentangnya. Misalnya QS. Az-Zuhruf: 3, al-Baqarah: 44, 76 dan 170, al-Anbiya: 10, Yusuf: 2 dan 109, Hud: 51, Yunus: 42, dan lain-lain. Selain itu ayat akal juga mengajak melakukan perenungan terhadap ayat-ayat kauniyah yang terpampang dalam galaksi, benda mati, tumbuhan, hewan, dan manusia27. Misalnya pada QS. Al-Baqarah: 164 berikut: Terjemahnya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa ayat ini mengundang manusia berfikir dan merenung tentang sekian banyak hal28; pertama; berfikir dan merenung tentang ِ َّل َم َها ِ َا ْاَ َ ْض ق ال م ِ " خ َْللpenciptaan langit dan bumi". Kata khalq yang diterjemahkan dengan penciptaan, dapat juga berarti pengukuran yang teliti atau pengaturan. Sedang yang dimaksud as-Samawâti adalah benda-benda angkasa seperti matahari, bulan, jutaan gugusan bintang-bintang yang kesemuanya beredar dengan sangat rapi an teratur.
27
Yusuf Qardhawi, al-'Aqlu wa al-'Imu fi al-Qurani al-Karim, Cet.I, (Kairo; Maktabah Wahbah, 1996), h. 45 28 Quraish, Tafsir al-Mishbah, op.cit., h. 350
94
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015
ْ " َاpergantian siang dan malam", Kedua; merenungkan لاض ِ َ ِِ اخل ِ ِ اللم ْل ِ َاالنم َه yaitu perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan malam dan siang dan perbedaannya, baik dalam masa mau pun dalam panjang dan pendek siang dan malam. Ketiga; Merenungkan tentang َ َا ْالفُ ْللل ِ المِِللج تَجْ لل ِ ا فِللج ْالبَحْ لل ِ ِف َمللا يَ ْنفَلل ُ النمللا "bahtera-bahtera yang berlayar di laut, membawa apa yang berguna bagi manusia". Ini mengisyaratkan sarana transportasi, baik yang digunakan masa kini dengan alatalat janggih mau pun masa lampau yang hanya mengandalkan angin dengan segala efeknya.
ْ َّل َما ِ ِم " َا َملا أ َ ْنللَ َل مapa yang لّ َملا اُّ ِملَّ ال م
Keempat; Merenungkan tentang
Allah turunkan dari langit berupa air", baik yang cair mau pun yang membeku. Yaitu memperhatikan proses turunnya hujuan dalam siklus yang berulang-ulang, bermula dari air laut yang menguap dan berkumpul menjadi awan, menebal, menjadi dingin, dan akhirnya turun hujan, serta memperhatikan pula angin dan fungsinya yang kesemuanya merupakan kebutuhan bagi kelangsungan hidup, tidak saja manusia tapi juga makhluk lainnya. Kelima; berfikir tentang aneka binatang yang diciptakan Allah, binatang berakal, menyusui, bertelur, melata, dan lain-lain. Demikian juga efek yang muncul dari pemanfaatannya berupa penyakit yang dimunculkan dan lain-lain.
PENUTUP 1. Penyebutan kata akal dalam al-Qur'an hanya dalam bentuk verba, dan terulang sebanyak 49 kali, masing-masing ; ya'qilûna 22 kali, ta'qilûna 24 kali, aqalûhu, ya'qiluha, dan na'qilu masing-masing sekali. 2. Orang yang tidak mau menggunakan akalnya pada semua sisi kehidupannya, ia sesungguhnya telah mencampakkan hal yang paling bermanfaat bagi dirinya sehingga ia tidak mendapat petunjuk dan berjalan di atas kesesatan. 3. Orang yang lalai mendaya gunakan akalnya akan menyesali diri dengan ungkapan yang dinukil pada QS. al-Mulk: 10-11. 95
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015
DAFTAR PUSTAKA Anis, Ibrahim dkk., Al-Mi'jam al-Wasit, (Kairo: t.p. 1392H/1972M) Al-Asfahani, Al-Raghib. Mu'jam Mufradat Alfaz Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur'an alKarim, Cet. Ke-2, (Beirut; Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M) Dep. Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya,(Jakarta: PT Bumi Restu, 1977) Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984) Ibn Mansur, Lisan al-'Arab, (Mesir: Al-Dar al-Misriyyah, t.th.) Ibrahim, Muhammad Isma'il. Al-Qur'an wa I'jadzuh al-'Ilmi, (Kairo, Dar al-Fikr al'Arabi, t.th) Izutzu, Toshihiko. God and Man in the Quran, (Tokio, Keiko University, 1964) Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1983) Qardhawi, Yusuf. al-'Aqlu wa al-'Imu fi al-Qurani al-Karim, Cet.I, Kairo; Maktabah Wahbah, 1996) Qurasih,. M. Shihab, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XVII, (Bandung; Mizan, 1998) __________ , Tafsir Al-Mishbah, Jilid. I, Cet.I, (Ciputat; Lentera Hati, 2000). Salim, Abd. Muin, Konsepsi Fiqh Siyasah Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, Cet. I, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1994) As-Shabuny, Muhammad Ali. Shofwatut Tafâsîr, Jilid III (Beirut; Dâr al-Fikr, t.th).
96