Tinjauan Pustaka
Kedokteran Disaster
Armis Bagian Bedah Orthopaedi dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Indonesia
Abstrak: Sampai saat ini pengertian disaster belum dapat diartikan secara utuh dan memadai. Menurut WHO, disaster adalah hasil dari terputusnya sistem ekologi yang dapat berupa kerusakan secara mendadak atau perlahan-lahan atau akibat perbuatan manusia maupun kombinasi perbuatan manusia dan alam sehingga berdampak kerusakan lingkungan dan masyarakat yang serius. Kondisi tersebut membutuhkan pertolongan luar biasa dari luar daerah tersebut dan bahkan dari dunia internasional. Pengertian disaster kesehatan adalah kerusakan pelayanan kesehatan masyarakat dan pengobatan individu terhadap korban. Oleh karena itu disaster kesehatan sering rancu dengan pelayanan individu akibat bencana. Kualitas pengetahuan tim pertolongan medis, pengalaman pencegahan dan mitigasi disaster, energi atau kekuatan bencana serta sistem koordinasi pemerintah maupun daerah tersebut akan berpengaruh terhadap kerusakan masyarakat dan lingkungan. Tim medis dan relawan harus mengerti patofisiologi disaster agar tercapai perencanaan manajemen yang tepat. Sarana rumah sakit yang meliputi kualitas dan kuantitas tenaga manusia, fasilitas, persiapan obat dan instrumen serta pembiayaan dapat menentukan hasil manajemen disaster. Kata kunci: disaster medis, disaster kesehatan, perawatan kegawatan, tanggap personel medis, tanggap masyarakat.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 6, Juni 2007
191
Kedokteran Disaster
Disaster Medicine Armis Department of Orthopaedics and Traumatology, Faculty of Medicine University Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia
Abstract: No definition of disaster is accepted universally, but according to WHO, disaster is a result of a vast ecological breakdown or manmade or combination between natural and manmade that produces community and environment disruption in a serious and sudden or slow manner which need extraordinary efforts to cope and often with outside help or international aids. Health disaster is an impairing of public health and medical care to individual victims. Therefore, health disaster is often considered as a medical disaster and relates to healthcare to individuals as a result of an event. The quality of the medical rescue team knowledge, experience in prevention and mitigation of the disaster, the energy forces of the event and coordination of the government or regional system may affect the degree of the community and environment damaged. The pathophysiology or mechanism of the disaster should be understood by the medical team and the volunteers for accurate management planning of the disaster. Hospital resources which include human quantity and quality, facility, drugs and financial funding may also determine the outcome of disaster management. Keywords: medical disaster, Health disaster, medical emergency care, medical personnel response, society response.
Pendahuluan Disaster kesehatan (health disaster) adalah penurunan status kesehatan masyarakat secara keseluruhan yang tidak sanggup diatasi. Ilmu kedokteran disaster disebut juga humanitarian medicine yang merupakan cabang ilmu kedokteran dalam artian bantuan kesehatan segera (emergency) dan aktivitas kesehatan pada penanggulangan bencana tanpa memandang ideologi politik maupun kenegaraan.1-3
HAZARD
BENCANA IMPAK KERUSAKAN
DISASTER Arstran
Gambar 1. Algoritma Disaster 192
Mekanisme Terjadi Disaster Patofisiologi atau mekanisme kejadian disaster selalu dimulai dengan hazard untuk menimbulkan bencana (event) dan apabila bencana tersebut mengalami kontak dengan masyarakat dan lingkungan di tempat kejadian (impact) akan berakibat kerusakan (damage) seperti pada algoritma berikut. Manifestasi hazard akan berdampak pada kehidupan dan lingkungan yang disebut bencana. Hazard dapat diartikan sebagai isyarat bahaya sebelum terjadi bencana seperti turunnya binatang buas dari puncak gunung Merapi akibat temperatur di daerah tersebut meningkat sebagai tanda gunung itu mulai aktif. Hazard dapat juga diartikan sesuatu yang berakibat negatif terhadap kesehatan manusia, perumahan, aktivitas dan lingkungan atau sesuatu yang membahayakan sehingga dapat digolongkan sebagai berikut.4-6 Gempa tektonik adalah hazard alam yang terjadi dalam waktu sangat pendek (beberapa detik atau menit) dengan kerusakan tergantung intensitas, lama, skala atau magnitud. Gempa di Yogyakarta pada akhir bulan Mei 2006 adalah hazard alam dengan korban sangat banyak yang berbeda dengan erupsi Gunung Merapi di Utara Yogyakarta yang juga hazard alam. Aktivitas gunung tersebut dapat diramal sehingga sistem peringatan bahaya pada masyarakat sudah dipersiapkan agar korban atau kerusakan dapat dikurangi.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 6, Juni 2007
Kedokteran Disaster Tabel 1. Macam-macam hazard Alam (natural):
Kombinasi: alam & perbuatan manusia Seismik Kemarau Gempa Desertifikasi Vulkanik Banjir Tsunami Erosi Celestial collision Tanah longsor Meteorologikal Klimatik Kebakaran Badai Kesehatan: Gale Epidemi-infeksi Strom Genetika Siklon Tropikal dan sebagainya Tornado Hujan Salju Es Kebakaran (listrik) Temperatur ekstrem panas dingin Erosi Kemarau Desertifikasi Banjir Tanah longsor
Perbuatan Manusia Teknologi: Terbeasnya substansi: Kimiawi Biologis Nuklir Transportasi: Kelemahan struktur Ledakan Kebakaran Gangguan lingkungan dan sebagainya Konflik Konflik militer Perang separatisme kombinasi Emergensi Teroris dan lainnya Konflik lainnya Sangsi Embargo
cukup banyak pada masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Tabrakan langsung antara bencana dan masyarakat serta lingkungan disebut impak. Kondisi ini merupakan proses realisasi antara bencana dengan masyarakat dan lingkungan dalam jangka waktu singkat atau lama. Derajat kerusakan tergantung kerawanan atau kerentanan dan kesiapan masyarakat dan lingkungan. Dampak negatif dapat terlihat pada kesehatan masyarakat dan lingkungan. Kerusakan pada masyarakat dapat berupa kematian, orang hilang, terluka, terkena bencana tapi tidak terluka, punya risiko dan tidak terkena bencana sama sekali. Bencana dapat berakibat kerusakan sumber daya daerah setempat seperti jalan, sistem komunikasi, pelayanan kesehatan dan lain-lain sehingga kebutuhan meningkat dan akan mengakibatkan kesedian sumber daya untuk daerah tersebut tidak mencukupi.
Kerusakan Impak pada populasi
Mati Luka Hilang
Tabel 2. Karakteristik Bencana Durasi
Mendadak (menit-jam)
Secara bertahap Perlahan-lahan (hari-minggu) (bulan-tahun)
Singkat/cepat Gempa (menit-jam) tsunami, Erupsi merapi kelemahan struktur, tanah longsor Pendek Angin ribut Banjir, temperatur (jam-hari) ekstrem Intermediate Erupsi Merapi epidemi (hari-minggu) Konflik militer Lama (bulan-tahun) Konflik mili- Konflik militer ter
epidemi
Kemarau desertifikasi, konflik militer, kelaparan
Musim kemarau panjang merupakan hazard kombinasi alam dan perbuatan manusia sehingga dapat mengakibatkan kelaparan pada masyarakat karena persedian makanan berkurang. Separatisme merupakan hazard manusia yang perlu dicari akar permasalahannya agar tidak terjadi bencana pada populasi dan lingkungan. Radiasi radioaktif akibat bocornya instalasi nuklir seperti di Rusia menelan korban Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 6, Juni 2007
Krusakan sumber daya lokal
Peningkatan Konsumsi sumber Daya lokal
risiko Korban tapi luka
Tidak terkena
Kesedian sumber Daya tidak memadai
Gambar 2. Kerusakan pada Populasi dan Sumber Daya Setempat
Manajemen Menurut laporan WHO, angka probabilitas kematian akibat bencana setiap dekade dari tahun 1951 sampai 2000 selalu menurun walaupun jumlah kejadian bencana dan korban mengalami kenaikan. Demikian juga data probabilitas kematian karena bencana gempa dari tahun 1960 sampai 2001 ikut mengalami penurunan. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh perkembangan kedokteran disaster berupa peningkatan aktivitas pencegahan, mitigasi dan sistem koordinasi, perubahan variasi alam, atau kombinasi antara menajemen dan sistem koordinasi dengan perubahan variasi alam, tetapi dapat juga akibat data laporan tidak memadai. Prinsip dasar penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan cara meniadakan bencana (preventif), meniadakan maupun mengurangi kerusakan yang ditimbulkan bencana tersebut terhadap populasi dan lingkungan (terapi), atau kombinasi preventif dan terapi. Untuk hal tersebut, tim harus memahami patofisiologi atau mekanisme terjadinya disaster dari awal adanya hazard sampai terjadinya disaster seperti terlihat pada Gambar 1. Mereka harus dapat mengembangkan 193
Kedokteran Disaster keterampilan dan pengetahuan kedokteran disaster agar tercapai pengelolaan atau manajemen yang tepat, efektif dan efisien. Oleh sebab itu, tujuan manajemen setelah terjadi bencana adalah pengembalian status kesehatan korban seperti semula atau melawan dampak bencana terhadap kesehatan korban ataupun mencegah tidak terjadi bencana. Strategi menajemen disaster yang harus dimiliki oleh tim adalah: (1) memodifikasi hazard agar tidak terjadi bencana atau mengurangi faktor risiko sehingga terjadi pengurangan efek negatif pada masyarakat dan lingkungan; (2) mengurangi kerawanan (vulnerability) dan kerentanan masyarakat dan lingkungan untuk masa depan; dan juga (3) memperbaiki kesiapan menghadapi disaster agar kerusakan minimal.1,7-,9 Dapat disimpulkan bahwa tim harus dapat melakukan pencegahan, mitigasi, menghilangkan faktor risiko agar tidak terjadi bencana atau menyiapkan masyarakat dan lingkungan agar tidak terjadi korban atau mengurangi kerusakan sehingga tidak menimbulkan disaster.
FAKTOR RISIKO
HAZARD
BENCANA
• Pencegahan • Mitigasi
IMPAK KERUSAKAN
• Vulnerability • Absorbing Capacity & Resilience
• Capasitas Buffering • Respon DISASTER
Gambar 3. Diagram Kejadian Disaster
Pencegahan Meniadakan bencana dengan menilai kegiatan aktivitas masyarakat dalam rangka menghilangkan kerusakan yang akan terjadi. Umumnya, hazard alam sangat sukar bahkan tidak mungkin dicegah atau dihilangkan sebagai faktor risiko terjadi bencana. Lava panas yang keluar dari gunung Merapi tidak mungkin dicegah. Lava tersebut menumpuk di puncak gunung dan pada waktu musim hujan akan turun. Mustahil menghentikan turunnya tumpukan lava dingin tersebut, tetapi tim dapat melakukan pembuatan beberapa tanggul tempat penampungan sehingga tidak akan menenggelamkan pemukiman penduduk di lereng gunung tersebut. Memelihara atau melestarikan hutan dan lingkungan di tepi sungai dapat meniadakan dampak yang ditimbulkan banjir dan tanah longsor. Kegiatan masyarakat atau tim seperti diterangkan di atas disebut mitigasi. Contoh mengurangi kerusakan akibat gempa di Yogyakarta adalah: (1) meningkatkan kegiatan tim dan
194
rumah sakit menghadapi disaster, seperti latihan-latihan simulasi, (2) merencanakan bangunan rumah atau gedung yang tahan gempa, (3) pembiayaan, (4) pendidikan penanggulangan masyarakat terhadap disaster, dan (5) monitor canggih terhadap perubahan alam akan dapat meramal perubahan-perubahan secara akurat sehingga masyarakat siap meng-hadapi kejadian bencana terburuk. Mengubah hazard atau faktor risiko dalam perkembangannya menjadi bencana disebut modifikasi, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan pada keseluruhan elemen. Separatisme menimbulkan pertumpahan darah di daerah tersebut, maka mencari akar permasalahan dapat menghilangkan permusuhan. Terapi Strategi persiapan berarti menyiapkan masyarakat, tim dan rumah sakit untuk mengelola korban pasca bencana, kemampuan untuk mitigasi sesegera mungkin terhadap korban, kemampuan mengurangi penderitaan dan meningkatkan penyembuhan serta rehabilitasi. Persiapan juga meliputi sistem peringatan, evakuasi dan relokasi tempat yang aman, persiapan makanan, obat, air bersih, pembiayaan, tenda untuk korban, tenaga, dan latihan-latihan simulasi oleh tim, masyarakat dan rumah sakit. Contoh persiapan daerah gunung Merapi di Yogjakarta dengan melakukan evakuasi penduduk dan menentukan daerah/relokasi bila terjadi peningkatan aktivitas Merapi dengan latihan simulasi di Rumah Sakit Sardjito.1,7,10 Menghilangkan faktor risiko adalah membebaskan kemungkinan terjadinya efek negatif, karena dari itu tim harus dapat memahami cara menghilangkan faktor risiko. Faktor risiko disebut risk maker, seperti tumpukan salju di puncak gunung dapat menjadi banjir dan tanah longsor apabila salju tersebut mencair. Beberapa penelitian atau observasi menunjukkan perubahan prilaku binatang di daerah gunung Merapi adalah pertanda atau peringatan akan peningkatan aktivitas Gunung Merapi. Tim harus dapat menghilangkan faktor risiko yang dibentuk oleh behavior pribadi, gaya hidup, kultur, faktor lingkungan, karakteristik keturunan masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan. Sebagai contoh kecelakaan bus terjadi akibat para supir sering mengkonsumsi minuman alkohol yang berlebihan, karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar alkohol dalam tubuh supir secara berkala agar kecelakaan bus dapat dicegah atau dikurangi. Tim perlu menentukan katagori korban pada pengelolaan disaster sebagai berikut: (a) korban luka ringan (walking wounded); (b) korban luka berat (severe wounded ) atau korban terhimpit di bawah benda berat atau bangunan (buried deeply under rubble); dan (c) korban meninggal. Tim sebagai triase harus dapat menyeleksi korban berdasarkan jumlah skor. Skor tertinggi harus segera diberikan pertolongan dan kemudian dipindahkan ke rumah sakit setelah korban teratasi kegawatannya.7-9,11
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 6, Juni 2007
Kedokteran Disaster a. Korban Luka Ringan Umumnya korban luka ringan diakibatkan benturan atau himpitan benda yang ringan. Korban meninggalkan daerah bencana ke tempat yang lebih aman atau keluarga maupun masyarakat/relawan membawanya ke tempat pelayanan kesehatan yang telah disediakan oleh tim maupun rumah sakit terdekat. Lesi kebanyakan adalah kontusi, laserasi, fraktur maupun dislokasi, strain, sprain, trauma kepala ringan, sindrom kompartemen dan adanya benda asing di luka seperti kayu, pasir atau pecahan kaca. Tim harus dapat melakukan pengobatan pada korban seperti perawatan luka, pemberian antibiotik, anti tetanus atau analgetik, immobilisasi dan resusitasi serta pengobatan komorbiditas korban itu sendiri. b. Korban Luka Berat atau Terhimpit oleh Benda Berat atau Bangunan Korban luka berat atau korban terhimpit oleh benda berat atau bangunan sangat memerlukan pertolongan resusitasi secepatnya. Artinya, tim harus mempunyai ketrampilan melakukan resusitasi sebagai life-saving bersamaan dengan pembebasan korban dari himpitan benda berat dan membawa ke tempat pelayanan yang telah disiapkan. Khusus pada pembebasan korban yang terisolasi di tempat reruntuhan akibat gempa harus selalu dibarengi dengan prosedur resusitasi. Prosedur ini memiliki beberapa kesulitan seperti posisi korban dan ruangan yang sangat terbatas untuk melakukan manuver oksigenasi. Oleh karena itu tim harus mempunyai ketrampilan dan alat khusus untuk membebaskannya. Masalah lain yang perlu dipikirkan bila terhimpit bangunan adalah stabilitas bangunan tersebut, karena sewaktu-waktu dapat roboh lagi. Bantul adalah daerah dengan sistem arsitektur tradisional terdiri dari bambu dan kayu, sebagian tembok tanpa beton bertulang. Kebanyakan korban kejatuhan bahan tersebut atau tembok rumah yang lantai dasarnya beralas tanah sehingga terjadi inhalasi debu pada korban. Keluarga korban atau tetangga yang tidak terluka secara otomatis membebaskan korban dengan alat seadanya dan tanpa pengetahuan kedokteran disaster. Korban segera dibawa ke tempat yang lebih aman atau ke tempat pelayanan kesehatan yang telah dipersiapkan oleh tim tanpa memikirkan resusitasi. Tim sebagai triase mengirim korban ke rumah sakit yang tidak sesuai dengan pengetahuan life saving atau tanpa fasilitas yang memadai. Sebagian masyarakat juga membawa korban ke rumah sakit dengan transportasi memakai kendaraan pribadi, truk atau bus tanpa memikirkan pertolongan pertama. Terdapat pula Isu yang mengakibatkan korban terlambat mendapatkan bantuan life saving, seperti isu tsunami pada kejadian gempa di Yogyakarta, sehingga masyarakat yang tidak terluka berusaha meninggalkan korban ke tempat yang lebih aman dan korban meninggal tanpa pertolongan.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 6, Juni 2007
Masalah Jalan Napas dan Ventilasi Tim harus segera mengamankan jalan napas (airway) dan ventilasi untuk kebutuhan oksigen dan rehidrasi agar tidak terjadi komplikasi hidrasi. Menurut laporan disaster di Kobe pada tahun 1995 dan gempa di Turki pada tahun 1999 ditemukan 12,9%-25% korban dengan trauma torak yang menimbulkan gangguan pernapasan.Di Yogyakarta pada tahun 2006 ditemukan 63 korban akibat trauma torak sehingga konsentrasi oksigen di jaringan berkurang. Tim harus dapat mengidentifikasi adanya gas beracun, gas kimiawi, atau karbon monoksida maupun inhalasi debu pada bencana gempa gunung berapi, gempa tektonik, tertimbun tanah atau terperangkap di ruangan tertutup. Semua masalah tersebut dapat menimbulkan kerusakan fungsi paru-paru atau gangguan pertukaran gas. Akibatnya korban menjadi hipoksia, hiperkrabia, asidosis respirasi, syok, dan penurunan kesadaran.7,11,12 Korban harus diberi masker oksigen atau dilakukan intubasi dan mengukur konsentrasi saturasi oksigen di perifer dengan oksimeter. Umumnya korban pada posisi tertelungkup, ruang korban terbatas untuk melakukan intubasi, dan biasanya korban tidak sadar (koma) atau setengah sadar tim harus mempunyai keterampilan dan alat-alat khusus pada situasi tersebut. Banyak obat induksi pada intubasi tergantung tekanan darah dan trauma kepala yang diderita korban. Tim sering menggunakan thiopental, etomidate, ketamine dan succinylcholine. Tabel 3. Induksi Anestesi pada Victim Under Rubble Under Rubble
Suspek Hipovolemik Oksigenasi
Induksi anestesi Dipertahankan
Oksigenasi atau IV Ketamin Narkotik atau/dan IV Benzo diazepine
IV = intravena Just Extri Hipotensi cated Tanpa trauma Dengan kepala trauma kepala
Normotensi Tanpa trauma Dengan kepala trauma kepala
Oxygenasi Induksi IV Midazolam anestesi diikuti IV Ketamine
dipertahankan
Oxygenasi IV Midazolam atau IV kepala Fentanyl Ketamine atau Fentanyl
IV Thiopental IV Fentanyl
Narkotik atau/dan IV Benzodiazepines
Obat-obat tersebut perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugian terhadap komsumsi oksigen di otak, aktivitas jantung dan respirasi serta kondisi vascular korban. Peng-
195
Kedokteran Disaster gunaan succinylcholine dapat menghasilkan paralysis, karena itu penggunaan obat ini harus hati-hati.7,13,14 Crush Syndrome Tim harus memprediksi adanya crush syndrome pada korban akibat kompressi dalam jangka waktu cukup lama oleh benda berat. Lebih dari 40% korban disaster yang hidup menderita crush syndrome akibat tertimpa objek berat. Laporan gempa di San Francisco, Armenia (1988), Iran (1990), gempa di Great Hanshin Awaji, Jepang (1995), dan Marmara, Turki (1999) menemukan crush syndrome sehingga ada yang membu-tuhkan dialisis dan meninggal Ada juga laporan disaster tidak menemukan kelainan tersebut seperti gempa di kota Meksiko pada tahun 1985 dan di Filipina pada tahun 1990.7,14-16 Tim harus dapat mendiagnosis crush syndrome. Peningkatan keregangan otot akan mempengaruhi permeabilitas sarkolema sehingga cairan ekstraselular dan hasil metabolisme masuk ke dalam sarkolema yang akan menimbulkan pembengkakan selular dan gangguan fungsi sehingga berakhir kematian sel otot. Pembengkakkan otot akan menimbulkan sindrom kompartemen. Kematian intraselular dan otot masuk kedalam sirkulasi. Akhir dari proses ini, korban akan mengalami hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, asidosis metabolik, dan myoglobinemia atau myoglobinuria. Korban akan meninggal mendadak (cardiac arrest) atau gagal ginjal akut (acute renal failure). Korban bencana gempa atau peperangan yang menggunakan alat ledak hebat dapat menimbulkan crush syndrome, kerusakan berat jaringan lunak dan otot, syok hipovolemik, dan infeksi. Oleh sebab itu, tujuan manajemen korban crush syndrome adalah meningkatkan hidrasi dan pengeluaran urin (diuresis) agar hasil metabolisme toksis dan mioglobin tidak menimbulkan gagal ginjal akut dengan melakukan hemodialisis. Pengobatan rehidrasi adalah memberikan cairan Ringer dengan dosis 20 ml/kg/jam untuk anak-anak dan dewasa atau 10 ml/kg jam untuk orang tua atau 1-1.5 L pada jam pertama dikombinasi dengan pemberian bikarbonas dengan dosis 44 mEγ/per liter dan maksimum 300 ml untuk korban yang mengalami anuri. Kadangkala dibutuhkan Mannitol bila pengeluaran urin (output urine) < 200 ml/jam. Pemberian manitol 20% dengan kombinasi Furosemide. Bila urin mulai keluar, infus harus dikurangi. Tim harus memonitor terapi dengan urin keluar, mengukur tekanan darah, dan memeriksa konsentrasi oksigen perifer, respirasi dan auskultasi dada. Tim harus dapat mengidentifikasi penyebab crush symdrome seperti kerusakan otot masif akibat trauma, terlambatnya sampai di rumah sakit rujukan, dan resusitasi tidak memadai selama transportasi dan di rumah sakit rujukan serta ketrampilan personel tim sangat minimal.7,17-21 Trauma Kepala Trauma kepala akibat benturan atau terhimpit bangunan
196
harus diprediksi walaupun korban tak terlihat di dalam ruangan himpitan tersebut akan mengalami hipoksia, hipertensi, dan dehidrasi. Tanda-tanda klinis trauma kepala adalah penurunan kesadaran, tanda lateralisasi, dan konvulsi. Bila ada trauma kepala maka tim selalu memperkirakan adanya trauma tulang belakang terutama daerah servikal sampai tidak terbukti pada pemeriksaan berikutnya. Tujuan pengobatan trauma kepala adalah mencegah agar tidak terjadi hipoksemia dan menurunkan tekanan darah. Pengobatan prehospital trauma kepala berat harus mencapai tekanan darah rata-rata 90-110 mmHg dengan saturasi (SaO2 =100%). Korban yang terhimpit benda berat perlu pemberian oksigen bahkan kalau perlu dilakukan intubasi dengan prosedur hiperventilasi dengan menggunakan sedasi narkotika. Bila terdapat gejala kejang-kejang, korban harus diberikan diazepam intravenas 10 mg atau fenobarbital lebih dari 10 mg/kg dan diikuti 1mg/kg/ jam. Menurunkan tekanan darah diberikan Mannitol intravenous 25-50 g dan Furosemide 20-40 mg tiap 4 jam. Obat antikovulsi jangan diberikan pada korban yang masih terhimpit di bawah bangunan atau benda berat.7,22 Hipotermia Hipotermia perlu diperkirakan pada korban yang masih berada di bawah himpitan benda berat atau bencana lainnya, karena sulit dikoreksi walaupun temperatur lingkungan tinggi. Oleh karena itu, membuka pakaian korban untuk melakukan pemeriksaan awal hanya dilakukan bila ada indikasi life-saving. Korban harus segera diselimuti agar tidak terjadi hipotermia. Hipotermia mempunyai keuntungan terhadap korban seperti daya pertahanan tubuh korban meningkat tapi juga mempunyai kerugian terhadap kesehatan. Temperature 32o33o C dapat mengurangi kerusakan neuronal setelah trauma kepala, tetapi mempunyai efek negatif terhadap metabolisme dan fungsi hemostatik. Kebutuhan oksigen meningkat, aktivasi platelet dan kerja enzim pembekuan darah terhambat. Dapat disimpulkan hipotermia adalah faktor risiko independen kematian awal korban disaster atau akibat himpitan. Penggunaan pemanasan, menyelimuti korban, dan infus cairan yang dipanaskan tidak dapat mencegah penurunan temperatur korban.7,23,24 Luka Bakar dan Inhalasi Debu Luka bakar, inhalasi debu, dan kerusakan penglihatan mata pada korban yang terhimpit atau akibat bencana ledakan gas dan listrik perlu jadi perhatian. Tim harus dapat melakukan debridemen luka bakar kemudian menutup luka dengan kasa steril, antibiotik dan profilaksis antitetanus seperti toksoid tetanus 0.5 ml dan life-saving.7,25 Korban Mati Kematian korban dan juga penyebab kematian meruMaj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 6, Juni 2007
Kedokteran Disaster pakan dokumen yang sangat beharga untuk dianalisis. Umumnya, penyebab kematian prehospital tidak dapat ditentukan karena tim hanya terfokus pada morbiditas. Menurut Coupland 20-24% kematian mendadak dapat dicegah di lokasi disaster dengan manajemen yang tepat dan terarah. Tim dan staf medis rumah sakit harus dapat mempersiapkan transportasi mereka ke tempat yang disediakan guna mengurangi penumpukkan di lokasi disaster tersebut.7,22,23,26 Ringkasan Tim harus dapat memahami patofisologi disaster agar manajemen korban akurat. Mereka juga harus merespon dan siap melakukan tindakan resusitasi, profilaksis immunisasi dan pengobatan medis korban. Mereka juga harus dapat memonitor energi yang dibutuhkan, hidrasi, dan tanda-tanda klinis akan stress yang timbul pada anggota tim. Tim harus dapat menggolongkan korban bencana luka ringan. Mereka datang ke tempat pelayanan yang telah disediakan. Kebanyakkan tindakan dapat berupa pengobatan luka, pemberian antibiotik, antitetanus, analgetik. Pemasangan immobilisasi sementara kemudian dikirim ke rumah sakit rujukan. Sebagian korban perlu mendapatkan pertolongan life-threatening karena crush syndrome, hipotermia, pneumotorak, trauma abdominal, atau trauma pelvis. Jangan dilupakan bahwa pengobatan penyakit penyerta korban seperti keluhan nyeri angina pektoris. Korban luka berat atau terhimpit oleh objek berat perlu dilakukan resusitasi. Tim harus segera membebaskan korban dari himpitan reruntuhan bangunan atau benda berat bersamaan dengan resusitasi dan pemeriksaan primer serta mencegah kematian mendadak akibat hiperkalemia atau hipotermia. Tim harus dapat merawat korban mati dan penyebab kematian sebagai dokumentasi untuk dianalisis pada masa yang akan datang. Bagian anggota tubuh korban yang terlepas atau terpisah harus dapat diidentifikasi dan dikumpulkan dengan tubuh utamanya. Kemudian korban dikumpulkan ke tempat yang telah disiapkan oleh tim. Koordinasi antara tim dan pengetahuan kedokteran disaster merupakan faktor yang sangat mendukung keberhasilan penanggulangan bencana disaster. Indonesia mempunyai faktor risiko tinggi terjadi maka kedokteran disaster merupakan kurikulum wajib dan diperlukan pada pendidikan undergraduate maupun post graduate di seluruh pusat pendidikan kedokteran.
2.
3. 4.
5. 6. 7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
15. 16.
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Daftar Pustaka 1.
Saunder KO, Birnbaum ML. Health disaster Management Guidelines for Evaluation and Research in the Utstein Style. Prehospital and Disaster Medicine, 2003.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 6, Juni 2007
Gunn SWA. Multilingual Dictionary of Disaster Medicine and International Relief. Boston: Kluwer Academic Publishers, 2000.p. 23-24 Last JM. A Dictionary of Epidemiology. New York, Oxford, Toronto: Oxford University Press 1995.p.149. Pan-American Health Organization/World Health Organization (PAHO/WHO): IDNDR impact meeting, San Jose, Costa Rica, 2001. Al-Mahari AF, Keller AZ. Review of disaster definition. J Prehsp Disast Med 1997;12(1):17-21. Perez E, Thompson P. Natural Hazards: Causes and effects. J Prehosp Disast Med.1994;9(1):80-8. Ashkenazi I, Isakovich B, Kluger Y, Alfici R, Kessel B, Better OS. Prehospital Management of Earthquake Casualties Buried Under Rubble. J Prehosp Disast Med 2005.20(2):122-33. Cuny FC. Introduction to disaster management. Lesson 1: The scope of disaster management. J Prehosp Disast Med 1992; 7(4):400-5. Emami MJ, Tavakoli, AR, Alemzadeh H, Abdimejad F, et al. Strategies in Evaluation and Management of Bam Earthquake Victims. J Prehosp and Disast Med 2005.20(5):327-30. Bremer R. Policy development in disaster preparedness and management: Lessons learned from the the January 2001 earthquake in Gujarat, India. J Prehosp Disast Med 2003.18(4):372-84. Tanaka K. The Kobe earthquake: The system response. A disaster report from Japan. Eur J Emer Med 1996: 3(4):263-9. Bar-Dayan Y, Beard P, Mankuta D. An earthquake disaster in Turkey: An overview of the experience of Israeli Defense Forces Field Hospital in Adapazari. Disaster 2000.24(3):262-70. Schultz CH,Koenig KL, Noji EK. A medical disaster response to reduce immediate mortality after an earthquake. N Engl J Med 1996:334((7):438-44. Grande CM, Baskett PFJ, Donchin Y. Trauma anesthesia for disaster: Anything, anytime, anywhere. Critical Care Clinics 1991: 7(2):339-61. Collins AJ. Kidney dialysis treatment for victims of the Armenian earthquake. N Engl J Med. 1989;320(19):1291-2. Oda J, Tanaka H, Yoshioka T.Analysis of 372 patients with crush syndrome caused by the Hanshin-Awaji earthquake. J trauma 1997;42(3):470-6. Bywaters EGL. 50 years of crush syndrome. Br Med J 1990; 301(6766):1412-32. Daniels M, Reichman J, Brezis M. Mannitol treatment for acute compartment syndrome. Nephron 1998;79(4): 492-3. Smith J, Greaves I. Crush injury and crush syndrome: A review. J Trauma 2003;54:S226-S230. Allister C. Cardiac arrest after crush injury. Br Med J Clin Res 1983:287(6391):531-2. Collin AJ, Burzstein S. Renal failure in disaster. Critical Care Clinics 1991.7(2):421-35. Coupland RM. Epidemiological approach to surgical management of the casualties of war. BMJ 1994; 308: 1693-7. Moede JD. Medical aspects of urban heavy rescue. J Pre Disast Med 1991;6(3):341-5. Gentilello LM. Advances in management of hypothermia. Surg Clin North Am 1995;75(2):243-56. Nakamori Y, Tanaka H, Oda J. Burn injuries in the 1995 HanshinAwaji earthquake. Burn 1997,23(4):319-22. Hooft PJ, Noji EK, Van de Voorde HP. Fatality management in mass casualty incidents. Forensic Sci Int 1989;40(1):3-14.
HQ
197