KEDEWASAAN DALAM PERKAWINAN (MENYOAL BATAS USIA MINIMAL DALAM REGULASI PERKAWINAN DI INDONESIA) Mufliha Wijayati STAIN Jurai Siwo Metro Lampung E-mail:
[email protected] Abstrak Regulasi batas usia minimal perkawinan adalah persoalan ijtihâdiyah yang memberikan ruang gerak untuk menyesuaikan dengan kondisi di mana regulasi itu diterapkan. Di Indonesia, regulasi tersebut belum pernah ditinjau ulang sejak diundangkannya tahun 1974. Maka seiring dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, regulasi batas usia minimal perkawinan dengan segala bentuk dispensasinya dalam UU Perkawinan niscaya untuk dikaji ulang. Tulisan ini menyoal kembali batas usia minimal perkawinan dengan melakukan pembacaan terhadap konsepsi fiqih dan membandingkannya dengan UU lain di Indonesia dan juga regulasi di negara-negara Muslim lainnya. Meski Fiqih tidak menyebutnya secara rigid numerik namun pernikahan di bawah umur jelas tidak sejalan dengan prinsip dasar dan tujuan perkawinan untuk membangun keluarga berkualitas sakinah mawaddah wa rahmah. Jikapun dibandingkan dengan regulasi negara-negara Muslim lainnya, posisi Indonesia berada di level tengah (tidak terlalu rendah). Hanya saja, batasan dispensasi usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Maka, sebagai langkah harmonisasi antar UU juga pertimbangan kemaslahatan perkawinan, batas usia minimal perkawinan dinaikkan menjadi 18 tahun dan usia idealnya 21 tahun. Kata kunci : Minimum usia perkawinan, Aqil baligh, Mumayyiz, Sakinah mawaddah warahmah Abstract The regulation of the minimum age of marriage is a matter of Ijtihadiyah that give space to suit the conditions in which the regulation was applied. In Indonesia, the regulation has not been revisited since tne enactment in 1974. Related to the need and development of the times, te regulation of minimum age of marriage with all form dispensastion, undoubtedly to be revised. This paper concerns about the regulation of the minimum age of marriage by reading the conception of fiqh and comparing to other laws in Indonesia and the same regulation in other moslem countries. Althouhg fiqh doesn’t mention numerical rigidly, but the marriage below the age clearly is not in line with the principles and purposes of marriage; to build quality family sakinah mawaddah warahmah. Even if compared to regulation from other moslem countries, Indonesia’s position is in the middle level (not too low). But, limiation of marriage age (16 years) for women is contrary to the Child Protection Act. Thus, as a measure of harmonization between laws and also considering the benefit of marriage, minimum age of marriage should be raised up to 18 years, and should ideally 21 years old.
Keywords : Minimum age of marriage, Aqil baligh, Mumayyiz, Sakinah mawaddah warahmah
Pendahuluan Hukum keluarga1 adalah isu hukum yang selalu menarik dan up to date untuk dibincangkan. Setiap manusia yang terlahir di dunia ini dipastikan akan bersinggungan dengan nilai-nilai yang diatur dalam hukum keluarga.2 Dalam sejarah dan perkembangan hukum Islam di negara-negara Muslim, tampak bahwa hukum keluarga mendapatkan porsi perhatian yang cukup besar. Mayoritas negara Islam atau paling tidak negara dengan penduduk Muslim terbanyak, mengakui dan menerapkan hukum Islam ranah hukum keluarga tentunya dengan pembaharuan dan penyesuaian. Awal abad XX merupakan babak baru pembaharuan hukum keluarga di negara-negara Muslim. Turki adalah pionir pembaharuan dengan terbitnya Ottoman Law of Family Right (Qanûn Qarâr al-Huqûq al-Âilah al-Utsmaniyyah) pada tahun 1917 dan diikuti negara-negara Muslim lain seperti Mesir, Tunisia, Syiria, dan Sudan. Indonesia, sebagai negara dengan kuantitas Muslim terbanyak melakukan pembaharuan hukum keluarga pada tahun 1974 dengan lahirnya UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Regulasi perkawinan di Indonesia sebelumnya diatur secara terpisah dalam berbagai macam aturan baik UU, peraturan pemerintah, ataupun aturan warisan Belanda semacam Statblad, HIR, dan Rbg. Isu yang menjadi topik pembaharuan hukum keluarga terkonsentrasi pada upaya unifikasi hukum, mengangkat derajat perempuan, dan menjawab
1 Hukum keluarga (ahwâl syakhshiyyah) dapat diformulasikan sebagai hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak awal pembentukannya hingga berakhirnya keluarga, seperti peminangan, pernikahan, hak/kewajiban suami istri, perwalian anak, perceraian, dan persoalan waris. 2 Sebagai ilustrasi bayi yang lahir dan ditinggal mati ayahnya, maka dia sudah berhak atas hak waris peninggalan ayahnya.
problematika yang muncul di masyarakat.3 Di negara manapun upaya ini tidak kemudian berjalan mulus, namun menuai banyak kritik juga resistensi dari kaum ‘konservatif’. Untuk memberikan perlindungan kepada perempuan misalnya, jalur prosedural ditempuh untuk meminimalisir resistensi dan gejolak dari kaum ‘konservatif’. Di Indonesia larangan poligami tidak serta merta diterapkan, namun regulasi dibuat dengan mengacu pada aturan birokrasi dan administrasi yang mengarah pada pencegahan poligami. Demikian halnya dengan prosedur pencatatan nikah dan batas usia minimal perkawinan ditetapkan sebagai upaya untuk mengahalangi pernikahan dini dan pernikahan sirri. Tulisan ini mencoba membincang batasan usia perkawinan di Indonesia. Topik ini menjadi menarik, mengingat sejak UU perkawinan diundangkan tahun 1974 atau hampir melampaui 4 dekade, regulasi batas minimal usia perkawinan belum ditinjau ulang. Padahal, secara faktual pernikahan di bawah umur menyisakan banyak persoalan, baik secara yuridis, fisiologis, maupun psikologis. Secara yuridis, batasan usia minimal perkawinan bertentangan dengan UU perlindungan anak yang membatasi usia anak sampai usia 18 tahun. Secara fisiologis, perempuan yang menikah di bawah umur rentan dengan penyakit yang menyerang organ reproduksinya, karena belum siap mengemban peran reproduksi.
Di sisi lain, dampak psikologis juga mungkin dialami, ketika
seorang anak di bawah umur harus kehilangan masa remajanya karena harus menikah dan dipaksa menjadi orang ‘dewasa’ sebelum waktunya. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah pernikahan anak-anak dilakukan ‘atas nama moral’ dan ‘menyelamatkan masa depan anak-anak’. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya, ketidaksiapan mental, fisik, psikis untuk berumah tangga bermuara pada keluarga bermasalah dan tidak bahagia. Pembahasan
3 Lihat Anderson, “The Significance of Islamic Law in The World Today” dalam The American Journal of Comparative Law, Vol. II Tahun 1960.
Ketentuan batasan usia minimal perkawinan tidak diatur secara tegas dan rigid dengan bilangan angka dalam literatur Islam. Bahkan dalam pernikahan pun tidak mensyaratkan kedewasaan (bâligh) ataupun kematangan mempelai. Jumhur Ulama termasuk di antaranya imam mazhab
akal4
berpendapat mengenai kebolehan menikahkan perempuan yang belum baligh.
5
Dalil yang diajukan untuk memperkuat pendapat ini di antaranya adalah: 1- Penjelasan al-Qur’an Ath-Thalâq [65]: 4 mengenai masa iddah bagi perempuan yang monopouse dan belum haidh. 4 zôÒÏts† óΟs9 ‘Ï↔‾≈©9$#uρ 9ßγô©r& èπsW≈n=rO £åκèE£‰Ïèsù óΟçFö;s?ö‘$# ÈβÎ) ö/ä3Í←!$|¡ÎpΣ ÏΒ ÇÙŠÅsyϑø9$# zÏΒ zó¡Í≥tƒ ‘Ï↔‾≈©9$#uρ ∩⊆∪ #Zô£ç„ ÍνÍ÷ö∆r& ôÏΒ …ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ tΒuρ 4 £ßγn=÷Ηxq z÷èŸÒtƒ βr& £ßγè=y_r& ÉΑ$uΗ÷qF{$# àM≈s9'ρé&uρ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu
jika
kamu
ragu-ragu
(tentang
masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Mafhum dari ayat ini adalah perempuan yang belum haidh pun boleh dinikahi. 2- Qs. An Nisa [4]: 6. Substansi dari ayat ini adalah perintah untuk mendidik anak yatim hingga usia nikah.
Jumhur 4 mazhab berpendapat tidak ada halangan bagi wali untuk menikahkan anak yang gila/idiot ketika memang ada kemaslahatan dan tidak menimbulkan kemadharatan. Lihat Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu’, mengila Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), h. 175-6 5 Wahbah Az-Zuhaili, h. 172-3 4
Ÿωuρ ( öΝçλm;≡uθøΒr& öΝÍκös9Î) (#þθãèsù÷Š$$sù #Y‰ô©â‘ öΝåκ÷]ÏiΒ Λäó¡nΣ#u ÷βÎ*sù yy%s3ÏiΖ9$# (#θäón=t/ #sŒÎ) #¨Lym 4’yϑ≈tGuŠø9$# (#θè=tGö/$#uρ ö≅ä.ù'uŠù=sù #ZÉ)sù tβ%x. tΒuρ ( ô#Ï,÷ètGó¡uŠù=sù $|‹ÏΨxî tβ%x. tΒuρ 4 (#ρçy9õ3tƒ βr& #‘#y‰Î/uρ $]ù#uóÎ) !$yδθè=ä.ù's? ∩∉∪ $Y7ŠÅ¡ym «!$$Î/ 4‘x,x.uρ 4 öΝÍκön=tæ (#ρ߉Íκô−r'sù öΝçλm;≡uθøΒr& öΝÍκös9Î) öΝçF÷èsùyŠ #sŒÎ*sù 4 Å∃ρá÷èyϑø9$$Î/
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). 3- Perintah untuk menikahkan perempuan dalam Qs. An-Nûr [24]: 32. ÏΒ ª!$# ãΝÎγÏΨøóムu!#ts)èù (#θçΡθä3tƒ βÎ) 4 öΝà6Í←!$tΒÎ)uρ ö/ä.ÏŠ$t6Ïã ôÏΒ tÅsÎ=≈¢Á9$#uρ óΟä3ΖÏΒ 4‘yϑ≈tƒF{$# (#θßsÅ3Ρr&uρ ∩⊂⊄∪ ÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Tema al-Aym dalam ayat ini adalah orang perempuan yang tidak memiliki suami, baik anak kecil maupun dewasa.
4- Perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisyah ketika dia masih berusia 6 tahun. Namun belakangan muncul kajian kritis menyoroti usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad. Secara faktual usia Aisyah saat menikah lebih tua dari usia yang diwartakan dalam literatur hadis.6 5- Asar sahabat; Ali menikahkan putrinya Umi Kultsum dengan Umar bin Khattab. Anak perempuan Hamzah dinikahkan dengan anak laki-laki Abu Salamah saat mereka masih belia.7 Namun ditemukan beberapa pendapat fuqaha seperti Ibnu Subrumah, Abu Bakar al-Asham, dan Ustman al Butti yang mengatakan bahwa anak lakilaki dan perempuan tidak boleh dinikahkan sampai keduanya mencapai usia baligh berdasarkan firman Allah SWT. Qs. An-Nisâ` [4]: 68: “Sampai mereka cukup umur untuk kawin” Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa menikahkan perempuan di bawah umur diperbolehkan berdasarkan asar sahabat, namun tidak demikian dengan anak laki-laki. Kalaupun pernikahan anak laki-laki dibawah umur itu terjadi, maka pernikahan ini dapat dibatalkan atau bisa juga ditempuh khiyâr fasakh. Diperbolehkannya orang tua menikahkan anak perempuan yang masih kecil adalah berkaitan dengan ada tidaknya kemaslahatan yang dapat dipetik oleh sang anak atau ada tidaknya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya kemadharatan. Regulasi batas minimal usia perkawinan di Indonesia termaktub dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan para pihak telah mencapai umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk pihak perempuan. Penetapan batas usia minimal perkawinan
Rahmani Timorita Yulianti, Buklet Islam seri 7: Benarkah Akil Baligh Sebagai Batas Minimal Usia Perkawinan?, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2011), h. 26. 7 Wahbah, 172-3 lihat juga Husain Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 69. 8 Wahbah, Fiqh Islam, h. 172. 6
hampir merata diatur dalam regulasi perkawinan di negara-negara muslim. Berikut adalah tabel perbandingannya:
NO
NEGARA
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
1.
Algeria (Aljazair)
21 Tahun
18 tahun
2.
Bangladesh
21 Tahun
18 Tahun
3.
Mesir
18 Tahun
16 Tahun
4.
Irak
18 Tahun
18 Tahun
5.
Yordania
16 Tahun
15 Tahun
6.
Libanon
18 Tahun
17 Tahun
7.
Maroko
18 Tahun
15 Tahun
8.
Yaman Utara
15 Tahun
15 Tahun
9.
Pakistan
18 Tahun
16 Tahun
10.
Somalia
18 Tahun
18 Tahun
11.
Yaman Selatan
18 Tahun
16 Tahun
12.
Syiria
18 Tahun
17 Tahun
13.
Tunisia
19 Tahun
17 Tahun
14.
Turki
17 Tahun
15 Tahun
15.
Indonesia
19 Tahun
16 Tahun
Di atas kertas, batas usia minimal perkawinan di Indonesia untuk lakilaki relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Yordania, Turki, dan Yaman Utara. Namun untuk perempuan, batas usia minimal perkawinan di Indonesia termasuk kategori rendah. Yang menarik, mayoritas negara-negara muslim memberikan batas minimal usia perkawinan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Hanya
Iraq dan Somalia yang menetapkan sama. Ada dua hal yang bisa dipahami dari gejala ini; pertama, perbedaan batas minimal usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan barangkali dipengaruhi perbedaan pencapaian kedewasaan di antara keduanya baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Kedua, dalam perspektif feminism, Perbedaan usia perkawinan dalam UU perkawinan yang ada saat ini semakin membakukan peran dan status suami-istri dalam pola relasi yang tidak seimbang dan pada akhirnya mendiskriminasikan wanita. Artinya, regulasi ini merupakan upaya melanggengkan ideologi patriakhi bahwa laki-laki harus selalu ‘lebih’ dari perempuan termasuk dalam batas usia perkawinan. Padahal Rasulullah telah mencoba melawan kemapanan ini dengan menikahi Khadijah ra. yang usianya terpaut lebih tua 15 tahun, dan lebih mapan secara ekonomi. Lebih lanjut, dalam pasal 6 ayat (2), termaktub ketentuan bagi mempelai yang belum genap berusia 21 tahun harus mendapatkan izin tertulis dari orang tua. Namun secara faktual, dari pihak orang tua yang justru cenderung menggunakan batas usia terendah (18 & 16) atau bahkan lebih rendah lagi9 untuk menikahkan anak-anaknya di usia belia, tentunya dengan kompleksitas faktor yang melatarbelakanginya. Pada titik ini, UU perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit memberikan peluang terjadinya perkawinan di bawah umur asalkan mendapatkan izin dan persetujuan dari orang tua. Persoalannya, UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak mengamanatkan bagi keluarga dan orang tua untuk wajib mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak.10 Adapun batasan usia anak adalah anak yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang berada dalam kandungan.11 Secara yuridis, ada kontradiksi antara UU perkawinan dan KHI di satu sisi, dengan UU perlindungan anak di sisi lain. Maka, jika batasan usia minimal perkawinan ini tidak diubah, maka UU Perkawinan dan KHI bisa dianggap telah melanggengkan perkawinan anakanak dan tentunya melanggar UU perlindungan anak.
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 179. 10 UU no 23 tahun 2002, pasal 26 ayat [1] point c. 11 UU no 23 tahun 2002. 9
Masalah penentuan usia minimal perkawinan yang diproduksi dalam UU perkawinan dan KHI, dalam kacamata hukum Islam adalah persoalan ijtihâdiyah yang sangat berkaitan dengan kemaslahatan perkawinan. Sudah barang tentu, berapapun batas minimal yang ditentukan harus sejalan dengan tujuan dan prinsip perkawinan untuk membangun keluarga berkualitas sakînah, mawaddah, wa rahmah. Bagaimana tujuan perkawinan akan tercapai, jika pernikahan itu dilakukan oleh anak-anak yang belum sempurna pertumbuhan fisiknya, belum matang mental spritualnya, juga belum mapan secara sosial dan mandiri secara ekonomi. Batasan usia minimal perkawinan yang bertentangan dengan UU Perlindungan Anak dan tidak lagi sejalan dengan kemaslahatan perkawinan, maka perubahan atas regulasi ini niscaya untuk dilakukan. Terkait masalah ini, ada landasan yang kuat dalam al-Qur’an untuk tidak melahirkan generasi yang lemah. Generasi yang kuat lahir dari ‘rahim’ orangorang yang kuat pula. Qs. An-Nisâ` [4]: 9. (#θä9θà)u‹ø9uρ ©!$# (#θà)−Gu‹ù=sù öΝÎγøŠn=tæ (#θèù%s{ $¸,≈yèÅÊ Zπ−ƒÍh‘èŒ óΟÎγÏ,ù=yz ôÏΒ (#θä.ts? öθs9 šÏ%©!$# |·÷‚u‹ø9uρ ∩∪ #´‰ƒÏ‰y™ Zωöθs% Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka.
Ayat ini memang tidak secara eksplisit berbicara tentang batas usia perkawinan, namun ayat ini memberi warning pada manusia untuk tidak melahirkan generasi lemah yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Berdasarkan fakta dan fenomena mutakhir, perkawinan di usia muda lebih banyak menimbulkan
hal-hal
yang
tidak
sejalan
dengan
tujuan
perkawinan.
Kematangan jiwa dan integritas pribadi sangat berpengaruh terhadap cara dan sikap di dalam menyelesaikan persoalan keluarga yang seringkali muncul. Demikian halnya dengan kematangan fisik dan kesiapan organ-organ reproduksi
juga menjadi faktor utama di dalam memujudkan generasi kuat, sehat, dan berkualitas. Konsep Dewasa dalam perkawinan Untuk merumuskan terminologi dewasa bukanlah hal yang mudah, karena terkait dengan kondisi fisik, psikhis, juga budaya yang seringkali berbeda dalam menentukan kapan seseorang mencapai status dewasa secara formal.12 Dewasa menurut kamus umum bahasa Indonesia yaitu sampai umur atau akil baligh (bukan kanak-kanak atau remaja lagi).13 Dalam kajian psikologi perkembangan dewasa adalah masa transisi dari kehidupan remaja baik transisi secara fisik, intelektual, maupun sosial. Deskripsi yang senada diungkapkan bahwa kedewasaan dalam istilah psikologi adalah batas puncak jasmani seseorang anak normal secara sempurna. Anak laki-laki sekitar usia 21-24 tahun, anak perempuan sekitar 19-21 tahun.14 Secara teoretis ada perbedaan usia antara laki-laki dan perempuan dalam pencapaian usia dewasa. Secara sosial, masa dewasa seringkali dipersepsikan sebagai fase di mana seseorang mulai menjalin hubungan dengan lawan jenis melalui pernikahan atau membangun keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tanggungjawab sebagai bagian dari anggota masyarakat. Maka, norma sosial di Indonesia seringkali mengkategorikan seseorang yang sudah menikah – berapapun usianya – dalam kelompok usia dewasa. Konsepsi
dewasa
dalam
wacana
Islam,
tampaknya
cenderung
mengedepankan aspek fisik. Hal ini tampak dalam pembebasan hukum taklîf dalam sebuah hadis yang secara lugas memberikan jeda taklîf bagi anak kecil laki-laki hingga dia bermimpi dan mengeluarkan mani.
15
Dalam sebuah hadis
dijelaskan bahwa:
Desmita, Psikologi perkembangan Cet.V., (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 233. Kamus Umum Bahasa Indonesia Versi Digital. 14 Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, (Usaha Nasional, Surabaya, tt), h. 17. 15 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), h. 80. 12 13
Terangkat pertanggungjawaban seseorang dari 3 hal yaitu orang yang tidur hingga ia bangun, orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi dan mengeluarkan air mani.
Adapun bagi perempuan isyarat kedewasaannya diawali dengan kesiapan organ reproduksinya yang ditandai dengan datangnya masa haidh yang dalam fiqh Syâfi’i minimal terjadi pada usia 9 tahun. Jika tanda-tanda ihtilâm atau haidh tidak dijumpai, maka batasan baligh ditentukan berdasarkan usia. Mayoritas ulama menyebut usia 15 tahun sebagai batas usia baligh bagi laki-laki dan perempuan. 16 Terkait konsep kedewasaan selain baligh fiqh membincangnya dengan terma murâhiqah, mumayyiz,17 dan ahliyah. Murâhiqah digunakan untuk menyebut tahapan proses menuju dewasa. Kata murâhaqah merupakan padanan kata dari adolescence (remaja) yang bisa diterjemahkan sebagai masa perkembangan menuju kematangan diri, baik fisik, akal, kejiwaan, maupun sosial. mumayyiz
digunakan
untuk
menjelaskan
kemampuan
18
seseorang
Terma untuk
membedakan sesuatu berdasarkan kemampuan akalnya. Sementara Terminologi ahliyah dalam hukum Islam adalah kecakapan seseorang untuk menanggung hak dan kewajiban. Ahliyah itu sendiri ada 2 (dua), yaitu ahliyah al ada’ (kecakapan berdasarkan sifat kemanusiaan) dan ahliyah al-wujub (kecakapan bertindak yang dipandang sah menurut syara’ berdasarkan kemampuan akal). Seseorang dianggap mencapai kemampuan akal yang sempurna (ahliyah al ada’ al-kâmilah) ketika telah mencapai usia baligh.19 Âqil bâligh dalam ranah ibadah selalu menjadi prasyarat dalam ritual ibadah. Dalam wilayah Muamalah (baca: Mâliyah) term yang sering digunakan adalah mumayyiz sebagai sebuah kemampuan membedakan mana yang baik 16 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, h. 68. Lihat lebih lanjut dalam Al-Kasânî, Badâ’i Ash-Shanâi’ h. 171-172 17 Kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 18 Hannan Athiyyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Remaja, diterjemahkan dari judul asli Ad-Daur At-Tarbawî Lî Al-Wâlidain fî Tansyi’ah al-Fatât al-Muslimah Fî Marhalah AlMurâhaqah oleh Aan Wahyudin (STP SABDA), (Jakarta: Amzah, 2007), h. xi 19 Lihat Chaerul Umam, dkk., Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 339
mana yang buruk. Sementara di ranah munâkahât, âqil Bâligh seringkali dikaitkan dengan kemampuan reproduksi yang ditandai dengan haidh untuk perempuan dan ihtilâm bagi anak laki-laki tanpa ada penentuan batasan usia secara rigid. Ketiadaan kesepakatan ulama mengenai batasan usia baligh dapat dipahami sebagai kelenturan dan keluwesan fiqh Islam karena usia baligh sangat personal dan dipengaruhi banyak faktor termasuk pertumbuhan fisik, faktor gizi, kondisi sosial, juga budaya. Di sinilah letak fleksibilitas hukum Islam dalam penentuan batas minimal perkawinan. Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmad Rofiq mengutip pernyataan Rahmad Djatnika, “Penerapan konsepsi hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat dilakukan dengan penyesuaian pada budaya Indonesia yang hasilnya kadang-kadang berbeda dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam di negara Islam lainnya….Kesemuanya itu mengandung masalah ijtihadiyah yang diselesaikan dengan ijtihad (ulama Indonesia) dengan menggunakan metode istislâh, istihsân, dan al Urf, dan lain-lain metode istidlâl dengan tujuan jalb al-masâlih wa dar’u al-mafâsid.”
Perkawinan usia muda, meskipun pernah dipraktekkan oleh generasi terdahulu baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi tua di era ini, dengan mengingat pekembangan
dan konteks zaman maka, perkawinan
tersebut bukan lagi perkawinan yang ideal dan maslahah.
Oleh karena itu,
tawaran pembaharuan hukum keluarga Indonesia dalam hal peningkatan batasan usia minimal perkawinan layak dipertimbangkan mengingat adanya kemaslahatan yang lebih baik, bagi terpenuhinya prinsip perkawinan dan tercapainya tujuan adiluhung dari sebuah ikatan perkawinan. Penundaan usia perkawinan memberikan keuntungan dari segi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi.20 Menilik pada konsep dewasa menurut UU perlindungan anak, maka seorang anak dikatakan dewasa dan siap untuk melangsungkan pernikahan setelah mencapai usia 18 tahun. Terkait batasan usia dalam perkembangan manusia, Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membuat
20
www.averroes.or.id
batasan usia remaja adalah 10-21 tahun.21 WHO, badan PBB untuk kesehatan, memberikan batasan usia remaja adalah 12 – 24 tahun. Namun jika usia remaja sudah menikah, maka ia tergolong dewasa.22 Lain halnya dengan pandangan Mappiare, rentang usia remaja dibagi dalam dua bagian. Pertama, usia 12/13 – 17/18 sebagai masa remaja awal, dan kedua, usia 17/18 – 21/22 sebagai masa remaja akhir.23 Maka, usia 21 tahun adalah fase akhir masa remaja dan memasuki fase dewasa awal yang diasumsikan siap secara fisik, psikologis, sosial, ekonomi untuk mengemban amanah membangun komunitas sosial terkecil yaitu keluarga. Sjamsu Alam24 menawarkan usia ideal perkawinan bagi masyarakat Indonesia lebih tinggi dari konsepsi UU Perlindungan anak yaitu 21 tahun baik untuk pria maupun wanita. Masing-masing pasangan suami-istri pada usia tersebut berada pada usia matang dari aspek psikologis, sosiologis, dan kesehatan.25 Di samping persoalan peningkatan batas usia minimal perkawinan, persoalan selisih usia antar mempelai juga layak untuk diwacanakan. Di beberapa negara Muslim seperti Syiria, jika jeda usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan terlampau jauh, maka pengadilan dapat melarang perkawinan tersebut. Demikian halnya dengan Yordania, aturannya relatif lebih rinci, jika perbedaan umur antara mempelai melampaui usia 20 tahun, maka perkawinan ini secara tegas dilarang, kecuali mendapatkan izin khusus dari hakim. Hukum Syiria dan Yordania memandang bahwa dalam kasus demikian terdapat potensi untuk terjadinya pemerasan/kekerasan terhadap salah satu pihak. Atau dalam konteks Indonesia, perkawinan seperti ini banyak terjadi dengan modus perdagangan orang/trafficking.
Simpulan 21 Definisi Remaja Menurut Depkes RI, dalam http://ceria.bkkbn.go.id/referensi/substansial/detail/19. diakses tanggal 20 Mei 2012 22 Admin, Definisi Kesehatan Reproduksi, dalam http://www.kesrepro.info/?q=node/380 tanggal 20 Mei 2012. 23 Redaksi, Kesehatan Reproduksi remaja (KKR): Perhatian Besar Bagi Islam, h. 7. 24 Hakim Agung yang meraih gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 25 www.badilag.co.id
Persoalan batas usia minimal perkawinan adalah persoalan ijtihâdiyah. AlQur’an, Hadist, Ijma, pendapat Sahabat juga fuqaha tidak memberikan sinyal rigid dalam nominal angka terkait usia perkawinan. Bahkan, baligh pun tidak disepakati sebagai prasyarat mempelai melangsungkan pernikahan. Maka kemaslahatanlah yang menjadi pertimbangan berapa angka ideal usia minimal perkawinan.
Sesuai
dengan
amanat
UU
Perlindungan
Anak
dan
mempertimbangkan kesiapan fisik, psikhis, sosial, serta ekonomi mempelai, maka usia minimal perkawinan yang ditawarkan adalah 18 tahun, dengan tawaran usia ideal perkawinan 21 tahun ketika seseorang telah melewati secara sempurna fase remaja menuju dewasa.
Daftar Pustaka Anderson, “The Significance of Islamic Law in The World Today” dalam The American Journal of Comparative Law, Vol. II Tahun 1960 Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, Usaha Nasional, Surabaya, tt. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2003. Chaerul Umam, dkk., Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Desmita, Psikologi perkembangan Cet.V. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2001) Hannan Athiyyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Remaja, diterjemahkan dari judul asli Ad-Daur At-Tarbawî Lî Al-Wâlidain fî Tansyi’ah al-Fatât al-Muslimah Fî Marhalah Al-Murâhaqah oleh Aan Wahyudin (STP SABDA), Jakarta: Amzah, 2007 Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Rahmani Timorita Yulianti, Buklet Islam seri 7: Benarkah Akil Baligh Sebagai Batas Minimal Usia Perkawinan?, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2011 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu’, mengila Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, Jakarta: Gema Insani Press, 2011 www.averroes.or.id www.badilag.co.id http://ceria.bkkbn.go.id/referensi/substansial/detail/19. http://www.kesrepro.info/?q=node/380