MENYOAL REGULASI PENYIARAN DIGITAL (Studi terhadap Kepentingan Publik dalam Regulasi Televisi Digital di Indonesia) Vinna Waty Sutanto dan Salim Alatas Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Surya Email:
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT This paper begins with the issue of regulations issued by the government in this case the Ministry of Communications and Information Technology (Kemenkominfo) with respect to the plan digitization of broadcasting in Indonesia, through government regulation attempting to begin the digitization of broadcasting in Indonesia. Indonesia has begun making plans to do the conversion from analogue to digital broadcasting. This planning started at the beginning of 2009 until the end of 2018. Earlier in 2008 the government has conducted a series of tests which is the result of cooperation between the government and the Indonesian Consortium for Digital Television (KTDI) whose members consist of national private Television in Indonesia. The question posed in this study are: first, what the underlying motives and the context of the publication of the regulations concerning Digital television in Indonesia ?. Second, whether the regulation is more representative of the public interest (public-interest), or on the contrary, the interests of the state and the market take precedence in the regulation ?. By using a qualitative approach, this study wants to provide a description or picture of the phenomenon of the digitization of broadcasting in Indonesia from the perspective of the public interest (public interest). By doing literature searches (library research), this study specifically also want to describe the history and development of the regulations in Indonesia, including interests that underlie the publication of these regulations. This study shows that government tend to favor the interest of capital in determining multiplexing. Then, this regulation still does not reflect the government’s efforts to put the public interest above the market. Keywords : regulation of broadcasting, digital television, the public interest
ABSTRAK Tulisan ini berawal dari persoalan regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berkenaan dengan rencana digitalisasi penyiaran di Indonesia, melalui regulasi ini pemerintah berupaya untuk memulai digitalisasi penyiaran di Indonesia. Indonesia telah mulai menyusun rencana untuk melakukan konversi dari penyiaran analog ke digital. Penyusunan rencana ini dimulai sejak awal tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2018. Sebelumnya pada tahun 2008 pemerintah telah melakukan serangkaian kegiatan uji coba yang merupakan hasil kerjasama antara pemerintah dengan Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) yang anggotanya terdiri dari televise swasta nasional yang ada di Indonesia. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah : pertama, bagaimanakah motif dan konteks yang melandasi terbitnya regulasi mengenai televisi Digital di Indonesia?. Kedua, apakah regulasi tersebut lebih mencerminkan kepentingan publik Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
237
(public-interest). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini ingin memberikan deskripsi atau gambaran tentang fenomena digitalisasi penyiaran di Indonesia dari perspektif kepentingan publik (public interest). Dengan melakukan penelusuran kepustakaan (library research), penelitian ini secara spesifik juga ingin mendeskripsikan sejarah dan perkembangan regulasi di Indonesia, termasuk kepentingan-kepentingan yang melandasi terbitnya regulasi tersebut. Kajian ini menunjukkan bahwa pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan kapital dalam menentukan pengelola multipleksing. Kemudian, dari segi kepentingan publik (public interest), regulasi ini juga masih belum mencerminkan upaya pemerintah untuk menempatkan kepentingan publik jauh diatas kepentingan pasar. Kata kunci : regulasi penyiaran, tv digital, kepentingan publik.
PENDAHULUAN Kita hidup di tengah-tengah transisi ke era teknologi digital, dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa penerapan televisi digital 1 adalah sebuah keniscayaan. Bagi sebagian kalangan, perubahan dari analog ke digital dalam industri televisi merupakan sebuah solusi dari keterbatasan spektrum yang ditawarkan televisi analog. Hal ini dikarenakan televisi Digital bersifat multicasting dimana sejumlah sinyal televisi dikirim dalam satu kanal. Disamping itu, televisi digital akan memberikan gambar dan suara yang lebih tajam, serta kemampuan untuk menyimpan, memanipulasi dan mendistribusikan konten yang lebih mudah jika dibandingkan dengan televisi analog. Begitu pentingnya transformasi dari penyiaran analog ke digital, sebagian kalangan menyebutnya sebagai “digital quantum leap in television technolog (Given, 2007 : 278). Hernan Galperin (2004 : 3) bahkan menyebutkan bahwa
transformasi dari analog ke digital dalam penyiaran digembar-gemborkan sebagai inovasi paling penting dalam sejarah industri televisi. Karena televisi digital, dalam pandangan Galperin, melibatkan rekonfigurasi sektor yang, di luar kepentingan ekonomi, adalah pusat mekanisme politik demokratis dan evolusi budaya populer. Hal ini terjadi karena perubahan dari analog ke digital membutuhkan upaya yang cukup besar dan menyuluruh, dan dengan demikian, akan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap industri televisi; bukan hanya persoalan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menjaga aturan main agar kepentingan publik tetap terjaga, namun juga retooling, yaitu pihak industri televisi harus memperbarui dan mengganti seluruh peralatan analog menjadi digital, mulai dari infrastruktur produksi video dan distribusi, kamera studio hingga menara transmisi, belum lagi perubahan dampak sosial-budaya yang mungkin muncul berkaitan dengan berubahnya seluruh infrastrutur penyiaran analog ke digital.
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
238
Sementara itu dari sisi industri, kita akan melihat begitu banyak perubahan bisnis industri televisi sebagai akibat dari dampak konversi analog ke digital. Perusahaan pengelola stasiun tv berbasis digital misalkan akan mengembangkan model bisnis baru berkaitan dengan penerapan tv digital, misalkan, sebagaimana Weber dan Evans, broadcasters dapat mengembangkan layanan baru dalam aliansi dengan media telekomunikasi lainnya, seperti telepon nirkabel. Hal ini dapat dimungkinkan dengan munculnya kode digital, dan dengan demikian, menempatkan bahasa yang sama untuk semua media elektronik. Dengan demikian, dalam pandangan Weber dan Evans, pengenalan televisi digital menimbulkan isu-isu penting mengenai hubungan antara publik dan industri televisi (2002 : 437). Namun demikian, yang seharusnya lebih dipahami adalah televisi digital merupakan hasil dari proses panjang inovasi teknologi dan restrukturisasi industri yang dimulai sejak pertengahan 1960-an, ketika penyiaran pertama mulai bereksperimen dengan cara-cara untuk meningkatkan kualitas gambar yang ditawarkan oleh televisi analog (Galperin, 2004 : 21). Sampai setidaknya tahun 2013 sedikitnya 10 negara telah menyelesaikan siaran melalaui digital terrestrial television (DTTV). Sebagian besarnya adalah negara-negara di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, yang telah menyelesaikan proses mematikan siaran (turning off) analog terestrial.
Sementara itu, banyak negara yang memiliki rencana untuk melakukannya atau sedang dalam proses konversi menuju digital, misalnya, Australia dan Afrika Selatan memiliki rencana untuk beralih setelah tahun 2013, India tahun 2014, Hong Kong dan Filipina pada tahun 2015. Sesungguhnya kita menyaksikan bahwa gelombang digitalisasi penyiaran masih terus berlanjut, termasuk di Indonensia. Berkaitan dengan digitalisasi penyiaran, Indonesia telah mulai menyusun rencana untuk melakukan konversi dari penyiaran analog ke digital. Penyusunan rencana ini dimulai sejak awal tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2018. Sebelumnya pada tahun 2008 pemerintah telah melakukan serangkaian kegiatan uji coba yang merupakan hasil kerjasama antara pemerintah dengan Konsorsium televisi Digital Indonesia (KTDI) yang anggotanya terdiri dari televisi swasta nasional yang ada di Indonesia. Artikel ini berawal dari persoalan regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berkenaan dengan rencana digitalisasi penyiaran di Indonesia, melalui regulasi ini pemerintah berupaya untuk memulai digitalisasi penyiaran di Indonesia. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah : pertama, bagaimanakah motif dan konteks yang melandasi terbitnya regulasi mengenai TV Digital di Indonesia?. Kedua, apakah regulasi tersebut lebih
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
239
mencerminkan kepentingan publik (public-interest), atau malah sebaliknya, kepentingan negara dan pasar lebih diutamakan dalam regulasi tersebut?. KERANGKA PEMIKIRAN Teori Regulasi Penelitian mengenai regulasi biasanya berpijak pada pendekatan dan teori regulasi. Dalam penelitian ini teori regulasi didefinisikan sebagai “seperangkat proposisi atau hipotesis tentang alasan yang mendasari munculnya sebuah peraturan, yang mana para aktor berkontribusi terhadap kemunculan dan pola interaksi yang khas diantara aktor yang terlibat dalam regulasi” (Morgan dan Yeung, 2007 : 16). Untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa munculnya sebuah peraturan’, penelitian ini akan memberikan rentang jawaban yang lebih luas dari sekadar persoalan hukum. Karena persoalan regulasi, juga berkaitan secara luas dengan persoalanpersoalan politik, ekonomi dan sosiologi. Guna memahami literatur akademis mengenai topik ini, akan sangat membantu untuk mengingat dua ide inti, sebagaimana ditulis oleh Morgan dan Yeung, yang membantu untuk membedakan fokus teori regulasi. Pertama, beberapa teori mengasumsikan garis pemisah yang relatif jelas antara aktor dan lembaga publik dan swasta, sementara yang lain melihat batas yang kabur diantara keduanya, baik dalam teori maupun
praktek. Kedua, beberapa teori berfokus terutama pada tujuan yang ditetapkan secara ekonomi, faktor dan pengaruh, sementara yang lain melengkapi fokus ini dengan memperhatikan secara lebih luas faktor. Pengaruh dan tujuan politik. Teori regulasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori utama: publicinterest theories, private-interest theories and institutionalist theories (Morgan dan Yeung, 2007:16). Ketiga kategori tersebut memiliki kesamaan perhatian untuk mengungkap proses yang ada dibalik penerapan peraturan tertentu. Regulasi dipahami pada dasarnya sebagai intervensi negara ke dalam perekonomian dengan membuat dan menerapkan aturan-aturan hukum, dengan demikian, teori regulasi dapat dilihat sebagai penjelasan tentang bagaimana dan mengapa terjadinya standar legislasi tersebut. Sementara itu, saat ini perdebatan yang sedang berlangsung dalam penelitian mengenai regulasi media, saat ini terfokus pada teori-teori yang terpolarisasi ke dalam dua kutub, yaitu teori kepentingan publik (publicinterest) berhadapan dengan teori kepentingan swasta (private-interest). Para akademisi yang menggeluti penelitian mengenai regulasi dan kebijakan publik, menyebutkan bahwa selama dua dekade penelitian soal regulasi dan kebijakan publik selalu terfokus pada dua hal (Ginosar, 2014 : 301–317). Pertama, perdebatan mengenai asal-usul dan konsekuensi dari sebuah regulasi. Kedua pendekatan ini, teori
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
240
public-interest mendefinisikan asal-usul serta konsekuensi dari sebuah regulasi dengan perspektif yang berbeda dengan teori private-interest. Dalam konteks ini, sebagaimana di katakan oleh Avshalon Ginosar (2014 : 302 ), bahwa kepentingan bisnis, birokrasi, dan kelompok-kelompok terorganisir menentukan – baik bentuk dan isi – dari sebuah regulasi serta konsekuensinya. Kedua, berkaitan dengan regulasi sebagai sebuah proses kebijakan serta sejauh mana teori-teori yang berpusat kebijakan publik yang paling baik yang dapat menjelaskan asal-usul dan konsekuensi dari sebuah regulasi. Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa teori kepentingan publik (public-interest) dan teori kepentingan swasta (private-interest), melihat secara berbeda faktor utama dalam upaya untuk menyelidiki dan memahami proses regulasi. Regulasi akan digunakan oleh para aktor yang terlibat untuk memaksimalkan tercapainya kepentingan mereka. pernyataan ini menegaskan bahwa masing-masing aktor akan menggunakan kekuatan nya untuk memaksimalkan preferensi. Sementara itu, teori private-interest mengasumsikan bahwa tujuan dari regulasi adalah pelestarian kepentingan kelompok dominan dan regulator ditangkap oleh kelompok ini karena prospek untuk keuntungan pribadi di masa depan. Berdasarkan asumsi tersebut, regulasi dijelaskan sebagai hasil dari kepentingan bersama aktor paling kuat atau gabungan pelaku di
satu sisi, dan regulator kepentingan di sisi lain (Ginosar, 2014 : 307). Mendasari hal tersebut, bagaimanapun akan terjadi ketegangan dalam penyusunan sebuah regulasi, yaitu perjuangan antara nilai pasar dan pelayanan publik didalam penyiaran. Dalam perspektif pelayanan publik, berbagai upaya harus dilakukan untuk melindungi media sebagian dari apa yang dianggap sebagai ekses-ekses terburuk dari kekuatan pasar. Maka dengan demikian, upaya terbaik untuk memahami regulasi dalam penyiaran digital ini adalah dengan cara mengidentifikasi kepentingan pasar dan pelayanan publik yang terwakili dalam regulasi tersebut. Sejarah Perkembangan Regulasi Penyiaran di Indonesia Siaran televisi pertama di Indonesia pada 17 Agustus 1962, bertepatan dengan peringatan ke-17 HUT kemerdekaan RI dan berlangsungnya rangkaian kegiatan olah raga Asian Games yang disiarkan secara langsung melalui siaran televisi. Siaran pertama ini dapat terwujud berkat dukungan penuh dari Presiden Soekarno, yang memimpikan Indonesia dapat membangun siaran televisi. Menteri Informasi Indonesia, Maladi, bahkan menyatakan bahwa ia telah menerima instruksi dari Presiden sejak 1952 berkaitan dengan ini penyelenggaraan penyiaran di Indonesia (Kitlley, 2000:21). TVRI adalah bagian dari proyek mercusuar pemerintahan Soekarno.
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
241
Sebuah proyek yang menempatkan gengsi bangsa di mata dunia luar sebagai prioritas utama, melebihi kebutuhan-kebutuhan riil bagi bangsa lain. Bagi Soekarno, televisi adalah medium yang tepat untuk memperkenalkan bangsa Indonesia ke dunia luar, sekaligus simbol untuk mengangkat citra bangsa Indonesia, sejajar dengan negara-negara lain. Soekarno terutama berambisi untuk menandingi Jepang yang telah menguasai teknologi televisi sejak 1950-an. TVRI lahir untuk menegakkan eksistensi Indonesia sebagai bangsa, dan event Asian Games 1962 adalah momentumnya (Sudibyo, 2004:280). Pemerintahan Soeharto kemudian melanjutkan sejarah TVRI dengan visi yang sama sekali berbeda dengan Soekarno. Jika Soekarno menjadikan TVRI sebagai alat revolusi dan alat pembentukan manusia Indonesia, Soeharto kemudia merubahnya menjadi sebuah media untuk menjamin tercapainya pembangunan nasional. Dalam era ini, media televisi juga memiliki fungsi untuk membangkitkan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, mengonsolidasikan kesatuan dan persatuan bangsa, memperkuat jati diri dan budaya nasional serta mendorong terciptanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. (lihat Sudibyo, 2004:281) Dengan fungsi yang dilekatkan kepada televisi, bisa dibayangkan bahwa kedua rezim tersebut
menerapkan regulasi yang sangat ketat untuk menjamin terciptanya fungsifungsi tersebut Namun demikian, alihalih menjalankan fungsi dan tugastugasnya, TVRI malah dijadikan sebagai alat propaganda pemerintah. Secara lebih jelas, TVRI hanya menjadi “corong” pemerintah yang menyuarakan aspirasi pemerintah. Sejak tahun-tahun pertama, TVRI terus memonopoli siaran TV di Indonesia, hal ini terjadi karena rezim orde baru tidak membuat regulasi yang sangat ketat dan cenderung tertutup, sehingga tidak memungkinkan ada “pesaing” bagi TVRI. Namun demikian, sejak 1987 pemerintah mulai melakukan deregulasi terhadap penyiaran di Indonesia dengan membuka peluang untuk masuknya TV swasta sebagai pemain. Alasan regulasi ini karena pemerintah merasa tidak mampu sendirian untuk menghadapi terpaan pengaruh budaya asing. Dengan demikian, dibukanya kran bagi masuknya televisi swasta, salah satunya untuk memerangi infiltrasi artefak-artefak budaya asing yang begitu gencar pada tahun-tahun tersebut (Sudibyo, 2004 : 293) Yang menarik dicermati dari regulasi penyiaran di Indonesia adalah, bahwa meskipun kita tidak punya regulasi berupa undang-undang, setidaknya setelah 35 tahun beroperasi televisi di Indonesia. Undang-undang penyiaran baru dibuat pada tahun 1997, yaitu Undang-undang RI Nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran. Namun demikian, sebagaimana dikatakan oleh
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
242
Ade Armando dalam bukunya “Televisi Jakarta di atas Indonesia” (2004), bahwa undang-undang tersebut merupakan bagian (jika tidak seluruhnya) kepentingan stasiun tv swasta yang telah beroperasi sejak 1989. Melalui undang-undang tersebut terlihat sangat jelas bagaimana kekuatan pemilik modal bermain dengan sangat kuat dalam pengesahan undang-undang tersebut. Pada tahun 2002 muncul undang-undang penyiaran baru, yaitu undang-undang Nomor 32 tahun 202 tentang penyiaran. Beberapa pengamat media menyebut undang undang ini secara substantif membuka jalan bagi demokratisasi penyiaran yang akan menjadikan televisi dan radio di Indonesia dapat menjadi sebuah public sphere; yaitu sarana penumbuhan keberagaman, sarana kontrol sosial yang efektif, yang tak lagi dikuasai hanya segelintir pemodal dan pemerintah. (Armando, 2011:174-175).
METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian ini adalah Kualitatif dan tipe penelitian ini bersifat deskriptif, karena tidak berupaya mencari hubungan sebab akibat (causality). Tidak ada status (independen, dependen, antecedent dan variabel lainnya) dalam variabelvariabel yang digunakan. Penelitian ini hanya ingin memberikan deskripsi atau gambaran tentang fenomena digitalisasi penyiaran di Indonesia dari perspektif kepentingan publik (public interest).
Dengan melakukan penelusuran kepustakaan (library research), penelitian ini secara spesifik juga ingin mendeskripsikan sejarah dan perkembangan regulasi di Indonesia, termasuk kepentingan-kepentingan yang melandasi terbitnya regulasi tersebut. Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan peneliti untuk menghimpun informasi dengan topik atau masalah yang diteliti. Dalam menyusun penelitian ini, penulis melakukan penelusuran berbagai macam literatur baik yang berbentuk buku, makalah, jurnal, maupun artikelartikel yang terkait dengan tulisan yang dibahas pada penelitian ini. Data-data tersebut kemudian dipelajari dan dianalisis untuk menjawab pertanyaan yang dirumuskan dalam penelitian ini. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data-data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang berkaitan dengan regulasi digital di Indonesia. Sementara sumber data sekunder adalah data-data yang ditulis oleh para penulis ataupun peneliti yang berkaitan dengan regulasi digital. HASIL PENELITIAN Indonesia telah mulai menyusun rencana untuk melakukan konversi dari penyiaran analog ke digital. Penyusunan rencana ini dimulai sejak awal tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2018. Sebelumnya pada tahun 2008 pemerintah telah melakukan serangkaian kegiatan uji coba yang merupakan hasil kerjasama antara pemerintah dengan Konsorsium TV
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
243
Digital Indonesia (KTDI) yang anggotanya terdiri dari televisi swasta nasional yang ada di Indonesia. Ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka migrasi siaran analog ke digital diantaranya adalah soft launching uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabodetabek oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tanggal 13 Agustus 2008 di TVRI. Kemudian secara resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan Grand Launching uji coba siaran televisi digital pada tanggal 20 Mei 2009 bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional yang pelaksanaannya dipusatkan di Studio SCTV Jakarta. Pada awal tahun 2010, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring meresmikan uji coba lapangan penyiaran televisi digital untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. Dan sebagai bentuk sosialisasi dan dukungan pemerintah dalam mensukseskan migrasi dari penyiaran televisi analog ke televisi digital Pada kegiatan yang dilaksanakan di Sasana Budaya Ganesha tersebut, sebanyak kurang lebih 1000 set top box diberikan kepada masyarakat Bandung. Pemerintah juga telah membuat roadmap infrastruktur televisi digital yang disusun sebagai peta jalan bagi implementasi migrasi dari sistem penyiaran televisi analog ke digital di Indonesia. Dalam roadmap tersebut pemerintah telah menetapkan dimulainya migrasi ke televisi Digital antara tahun 2012-2018, diantaranya:
mulai dari Pelaksanaan seleksi penyelenggaraan penyiaran multipleksing (Juni-Juli 2012), Penetapan regulasi perizinan televisi digital, penggelaran jaringan infrastruktur multipleksing televisi digital di setiap zona layanan hingga pelaksanaan periode simulcast (masa dimana layanan siaran televisi analog dan digital dilakukan secara bersamaan) dan analog switchoff (mematikan siaran analog dan menggantikannya dengan siaran digital) pada tahun 2018. Untuk program digitalisasi penyiaran ini, pemerintah memiliki target capaian penetrasi siaran televisi digital terhadap populasi sebanyak 35% pada tahun 2014 sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2010-2014. Sementara itu, analog switch-off direncanakan akan dilakukan secara bertahap diawali dari wilayah yang telah tercover layanan siaran televisi digital dan secara nasional analog switchoff akan dilakukan pada awal tahun 2018. Sebagai dukungan regulasi terhadap implementasi penyiaran televisi digital, pada tahun 2009 pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 39 tahun 2009 tentang Kerangka Dasar Penyelenggaraan Penyiaran televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free- to-air). Peraturan ini merupakan kerangka dasar atau kerangka pemikiran awal bagaimana melaksanakan implementasi penyiaran televisi digital. Pada bulan
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
244
November 2011, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 22 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free- to-air) sebagai pengganti Permen Kominfo No. 39/2009. Peraturan ini mengatur tentang model bisnis penyelenggaraan penyiaran TV digital, zona layanan penyiaran multipleksing, TKDN set top box dan pelaksanaan penyiaran TV digital. Masalah kemudian muncul bukan berkaitan dengan kebijakan digitalisasi penyiaran, namun berkaitan dengan terbitnya regulasi mengenai tv digital yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (menkominfo). Pro-kontra mengenai Permen tersebut bahkan hingga kini masih berlangsung hangat dengan melibatkan pemerintah (Kominfo), penyelenggara penyiaran televisi nasional berjaringan, televisi lokal, televisi publik dan komunitas, serta organisasi masyarakat sipil. Salah satu hal yang dipersoalkan oleh banyak pihak berkaitan dengan terbitnya regulasi mengenai televisi Digital tersebut adalah bahwa regulasi tersebut dibuat seakan untuk melanggengkan status quo, alih-alih meningkatkan diversity of content dan ownership. Sebagaimana diungkapkan oleh Rahayu (2013 : 146), pemerintah cenderung berpihak pada kapital (yaitu pemilik televisi swasta di Jakarta yang saat ini telah established) dalam
menentukan pengelola multipleksing. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) Permen 22/2011, lembaga penyelenggara mutipleksing adalah lembaga penyiaran publik TVRI dan lembaga penyiaran swasta. Ini berarti bahwa hanya lembaga penyiaran yang sudah mempunyai izin penyelenggaraan penyiaran tetap yang berhak mengikuti tender untuk mengelola multipleksing. Ketentuan ini, dengan demikian, justru akan memperkuat status quo, karena tidak memberikan peluang bagi munculnya lembaga-lembaga penyiaran yang baru untuk mengelola multipleksing. Di samping itu, sebagaimana diungkapkan Rahayu, tidak ada ketentuan bagaimana pengaturan multipleksing memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup penyiaran lokal dan komunitas yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas. Dengan demikian, regulasi ini akan menjadikan konsentrasi kepemilikan dalam industri penyiaran di Indonesia akan semakin menguat. Disisi lain, penolakan terhadap kebijakan mengenai televisi digital ini terjadi karena sebagian pihak menuding bahwa pemerintah membuat keputusan sepihak tentang peralihan dari sistem penyiaran analog ke digital. Ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri 22 tahun 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang mendiskusikan mengenai perubahan undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002. Dengan demikian, melalui Permen tersebut, pemerintah
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
245
menunjukkan dominasi dan sifat otoriternya. Fakta tentang persoalan ini dapat dengan jelas dilihat dalam Permen 22/2011 pasal 9 ayat (1) dan (2) tentang izin penyelenggaraan penyiaran, pasal 10 ayat (1) dan (2) tentang izin penyelenggaraan multipleksing, pasal 19 tentang evaluasi pengawasan, dan pasal 20 tentang sanksi-sanksi. Pemerintah berusaha untuk menjadi satu-satunya Regulator menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya regulator yang berwenang mengatur digitalisasi penyiaran di Indonesia (Lihat Rahayu, 2013:146). Ini jelas bertentang dengan UU 32/2002. yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga yang wewenangnya diatur dalam Undangundang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. Sebelumnya pada tahun 2005 pemerintah melalui Menkominfo mengeluarkan empat PP Penyiaran tahun 2005. Peran KPI melalui PP tersebut dibatasi hanya sebagai regulator isi siaran, sementara persoalan perizinan dan sistem siaran dikembalikan kepada pemerintah. Berkaitan dengan hal ini, sepertinya ada indikasi pemerintah ingin mengambil kembali kewenangannya dalam mengatur ranah penyiaran, sesuatu hal yang jelas-jelas menghianati UU Penyiaran No. 32/2002. Karena awalnya diskursus mengenai UU Penyiaran, sebagaimana
dikatakan Agus Sudibyo, merupakan upaya untuk “meminimalisir intervensi negara ke ruang publik, dan mengembalikan urusan ruang publik kepada masyarakat” (Sudibyo, 2009:14). Dalam konteks inilah, sepertinya kita melihat ada upaya untuk mengembalikan kontrol ranah penyiaran kembali ke tangan sistem birokrasi setelah beberapa saat ada dalam tangan representasi publik. UU Penyiaran dalam konteks ini hadir dengan spirit mengembalikan “kekuasaan” kepada publik untuk mengelola frekuensi agar dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan publik. UU Penyiaran adalah upaya transisi dari kekuasaan negara (state based powers) menuju kekuasaan publik (public-based power). Intervensi pemerintah terhadap ranah penyiaran diminimalisasi, kepemilikan media monopolitik dibatasi, dan prinsip diversitas isi dilembagakan (Sudibyo, 2014:15). Apa yang terjadi dalam munculnya regulasi televisi Digital di Indonesia sangat bertolak belakang dengan pengalaman Eropa dalam merancang regulasi televisi Digital, setidaknya dalam tiga hal. Pertama, regulasi televisi Digital di Eropa tidak dirumuskan sebagai kebijakan (policy) yang terpisah, namun saling terkait dan dalam interaksi dengan regulasi dan kebijakan di berbagai bidang lainnya. Dalam konteks ini, lingkungan media yang terkonvergensi, kebijakan audiovisual, kebijakan telekomunikasi, kebijakan masyarakat informasi, serta
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
246
kebijakan mengenai kompetisi dan standarisasi sangat memengaruhi munculnya mengenai regulasi televisi Digital di Eropa. Kedua, selain pemerintah ada beberapa pembuat kebijakan yang terlibat dalam regulasi televisi Digital Eropa. Ketiga, meskipun gelombang privatisasi terus tumbuh dalam beberapa dekade terakhir, namun lembaga penyiaran publik tetap menjadi kekuatan utama dalam lanskap media di Eropa, hal ini merupakan upaya untuk tetap menjaga ranah publik dalam “kekuasaan” publik (Naranen, 2005:37). Menjadi hal yang sangat penting untuk mengaitkan perdebatan mengenai lahirnya regulasi soal televisi digital ini dengan konsentrasi kepemilikan (ownership concentration) media di Indonesia yang sudah sampai taraf yang mengkhawatirkan karena akan mengucilkan kepentingan publik dalam memperoleh akses informasi, dan lebih jauh akan mengganggu proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Kepemilikan media di Indonesia dikontrol oleh hanya beberapa perusahaan media yang benar-benar memiliki dan menentukan perkembangan industri media. Dengan demikian, secara umum, dapat dikatakan bahwa struktur pasar untuk industri televisi di Indonesia terkonsentrasi. Konsentrasi ini terjadi karena dua faktor, yaitu : keterbatasan spektrum frekuensi siaran; dan adanya afiliasi antara lembaga penyiaran dengan kelompok tertentu.
Dalam pandangan Edwin Baker, konsentrasi kepemilikan (ownership concentration) dapat menimbulkan ancaman (Baker, 2007:1-2). Sejak abad kedua puluh, sebagaimana dikatakan Baker, hampir semua negara demokrasi Barat melihat pertumbuhan konsentrasi media sebagai ancaman terhadap kebebasan pers dan demokrasi. Sementara itu, kebanyakan negara demokrasi mengadopsi kebijakan yang dirancang untuk mendukung press diversity, baik melalui hukum persaingan maupun pengaturan atau subsidi, yang sering kali ditujukan untuk mendukung media yang lemah bersaing dengan pemain dominan. Dengan demikian, secara ideal seharusnya regulasi yang diterbitkan pemerintah berkenaan dengan kebijakan digitalisasi televisi harus berorientasi kepada kepentingan publik (public interest), regulasi ini juga harus mencerminkan upaya pemerintah untuk menempatkan kepentingan publik jauh diatas kepentingan pasar. Belajar dari apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, bahwa menurut undang-undang, yang berhak mendapatkan ijin lisensi dalam penyiaran komersial dipilih berdasarkan kemampuan mereka untuk melayani kepentingan publik. Dengan demikian, kita harus memastikan bahwa otoritas publik mengambil peran penting dalam pengembangan televisi Digital untuk kepentingan publik secara keseluruhan. KESIMPULAN
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
247
Banyak pihak yang masih mempersoalkan mengenai terbitnya regulasi soal televisi digital di Indonesia. Salah satu hal yang dipersoalkan oleh banyak pihak berkaitan dengan terbitnya regulasi mengenai televisi Digital tersebut adalah bahwa regulasi tersebut dibuat seakan untuk melanggengkan status quo, alih-alih meningkatkan diversity of content dan ownership. Pemerintah cenderung berpihak pada kapital (yaitu pemilik televisi swasta di Jakarta yang
saat ini telah established) dalam menentukan pengelola multipleksing. Dengan demikian, regulasi ini akan menjadikan konsentrasi kepemilikan dalam industri penyiaran di Indonesia akan semakin menguat. Kemudian, dari segi kepentingan publik (public interest), regulasi ini belum mencerminkan upaya pemerintah untuk menempatkan kepentingan publik jauh diatas kepentingan pasar.
DAFTAR PUSTAKA Armando, Ade. 2011. Televisi Jakarta Diatas Indonesia; Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Armando, Nina Mutmainnah. 2013. Beberapa Catatan Penting Tentang UU Penyiaran. Makalah, dimuat dalam Prosiding Seminar Besar Nasional Komunikasi, Komunikasi @ 2014; Komunikasi dan Pemilihan Umum 2014: Persiapan, Pelaksanaan, dan Masa Depan. Padang: ISKI, November 2013. C.
Edwin Baker. 2007. Media Concentration and Democracy: Why Ownership Matters. Cambridge: Cambridge University Press
Feintuck, Mike dan Mike Varney. 2006. Media Regulation, Public Interest and the Law. Edinburgh University Press. Galperin, Hernan. 2004. New Television, Old Politics; The Transition to Digital TV in the United States and Britain. Cambridge: Cambridge University Gerbarg, Darcy. 2008. Television Goes Digital. New York: Springer Ginosar, Avshalom. 2014 PublicInterest Institutionalism: A Positive Perspective on Regulation. Administration & Society. Vol. 46(3) 301–317 Given, Jock. 2007. Switching Off Analogue TV. Dalam Andrew T Kenyon (editor). TV Futures; Digital Television Policy in
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
248
Australia. Melbourne University press. Kitley, Philip. 2000. Television, Nation, Culture in Indonesia. The Ohio University Research in International Studies. Bronwen, Morgan dan Karen Yeung. 2007. An Introduction to Law and Regulation; Text and Materials. New York: Cambridge University Press. Naranen, Pertti. 2005. European Regulation of Digital Television, dalam Allan Brown dan Robert G. Picard (editor). Digital Terrestrial Television in Europe. London: LEA Publisher. Rahayu. 2013. Digitalisasi Penyiaran di Indonesia @2014: Persoalan Sekarang dan Masa Depan. Makalah, dimuat dalam Prosiding Seminar Besar Nasional Komunikasi, Komunikasi @ 2014; Komunikasi dan Pemilihan Umum 2014: Persiapan, Pelaksanaan, dan Masa Depan. Padang: ISKI, November 2013.
(IJMPICT) Vol. 4, No. 2, June 2013 Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagad Media. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. -------------, 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LkiS Weber, Ian dan Vanessa Evans. 2002. Constructing the Meaning of Digital Television in Britain, the United States and Australia. New Media & Society, Vol 4(4):435– 456
Lain-lain: https://tvdigital.kominfo.go.id/?page_id =17, diakses 16 Oktober 2014 UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran PP Penyiaran tahun 2005 Kepeutusan Mentri Penerangan No. 34/1966
Satitsamitpong, Manit dan Hitoshi Mitomo. 2013. An Analysis of Factors Affecting the Adoption of Digital Terrestrial Television Services in Thailand. International Journal of Managing Public Sector Information and Communication Technologies Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
249