KECENDERUNGAN BARU DALAM STUDI PENERJEMAHAN M. R. Nababan
1.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta Abstract Current literatures on inter‐lingual communication clearly indicate the shift of paradigm in translation studies. The shift is evidenced by the tendency among translation scholars to view translation as a decision‐making process. The emergence of the trend or tendency can be observed in ways they approach translation in relation to the practice, teaching and study of translation. The consequence of the trend is the need for practitioners, teachers and researchers of translation to consider how source and target language texts function in society. Kata kunci: proses penerjemahan, pendekatan penerjemahan, metode penerjemahan, satuan terjemahan
PENDAHULUAN Dalam konteks studi komunikasi interlingual terdapat dua kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain. Kelompok pertama adalah pembaca teks bahasa sasaran. Dari kacamata teori penerjemahan, kelompok ini adalah orang‐orang awam. Pada umumnya mereka tidak mempunyai kompetensi yang memungkinkan mereka dapat mengakses teks bahasa sumber. Hatim dan Mason (1990: 3) mengatakan: Readers perceive an end product, the result of a decision‐making process; they do not have access to the pathways leading to decisions, to the dilemmas to be resolved by the translator. Kelompok kedua adalah orang‐orang ahli yang memiliki kompetensi dan pengalaman praktis di bidang penerjemahan. Kelompok pertama tadi hanya tertarik pada karya terjemahan. Mereka tidak begitu peduli pada strategi dan tahapan‐tahapan apa saja yang dilakukan oleh penerjemah ketika menghasilkan terjemahan. Sebaliknya,
70
kelompok kedua memandang bahwa kualitas suatu produk akan sangat bergantung pada proses yang terjadi, dan keberhasilan suatu proses penerjemahan akan sangat ditentukan oleh keahlian penerjemah dalam melakukan tugasnya. Pergeseran pandangan tersebut merupakan salah satu fenomena baru yang mempunyai implikasi pada pendekatan penerjemahan, metode penerjemahan, satuan terjemahan, obyek kajian penerjemahan, dan pengajaran penerjemahan. 2. PENDEKATAN PENERJEMAHAN Cara para penerjemah mengatasi masalah‐masalah padanan dan menghasilkan suatu terjemahan terkait dengan cara mereka mendekati tugas penerjemahan. Pendekatan penerjemahan yang diterapkan akan mempengaruhi kualitas terjemahan yang dihasilkan. Dalam literatur teori penerjemahan (lihat Baker 1992; Newmark 1988) terdapat dua pendekatan penerjemahan, yaitu: pendekatan bawah‐atas (bottom‐up approach) dan pendekatan atas‐bawah (top‐down approach). Jika penerjemah mulai dengan satuan lingual
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 2 No. 1, Mei 2006: 68 – 73
Keputusan ini menyangkut strategi yang lebih kecil dari teks (misalnya penerjemahan dalam mengatasi persoalan kata, frasa, klausa atau kalimat), dia ketaksepadanan atau ketakterjemahan menerapkan pendekatan bawah‐atas. (karena faktor linguistik atau Sebaliknya, jika penerjemah mulai ekstralinguistik) melalui penambahan dari tataran yang paling tinggi, yaitu (addition) dan penghilangan (deletion) teks, dan dilanjutkan pada tataran informasi, penyesuasian struktur yang lebih rendah, dia menerapkan (structural adjustment) dan pergeseran pendekatan bawah atas (lihat Baker tataran (rankshift). 1992: 6; Harvey, Higgins, and Langkah 3: Keputusan tersebut akan Haywood 1995: 1). Prosedur langkah‐ membatasi penerjemah dalam menggunakan langkah dalam pendekatan atas‐bawah peranti linguistik. digambarkan melalui sudut tiga Langkah 4: Dari peranti linguistik yang berikut ini. terbatas itu, penerjemah memilih satu Nord (1994) memerikan kelima peranti yang sesuai konteks tertentu, langkah tersebut sebagai berikut: seperti tipe teks, register, gaya dsb. Langkah 1: Masalah yang timbul Langkah 5: Jika masih ada pilihan dari dalam penerjemahan (misalnya beberapa peranti linguistik yang tersedia, ungkapan idiomatis) dianalisis penerjemah memutuskan satu peranti dalam kaitannya dengan yang paling sesuai. fungsinya dalam teks dan situasi budaya bahasa sasaran. Langkah‐langkah pendekatan atas‐bawah Langkah 2: Selanjutnya, yang disarankan tersebut didukung oleh bukti penerjemah membuat keputusan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh apakah terjemahan harus Ruuskanen (1996) menemukan bahwa sebelum disesuaikan norma‐norma dan para penerjemah profesional menganalisis teks kebiasaan budaya sasaran bahasa sumber secara komprehensif dalam hal (domesticating) ataukah leksikon/register, genre, gaya dan pembacanya mempertahankan budaya teks sebelum mereka menerjemahkan teks tersebut bahasa sumber di dalam teks ke dalam teks bahasa sasaran. bahasa sasaran (foreignizing). ( 1) text function- in- situation (2) cultural norms and conventions (3) linguistic structures (4) context (5) tran slator Gambar 1: Langkah‐Langkah Pendekatan Atas‐Bawah (Nord 1994: 65)
Gambar 1. Langkah-langkah Pendekatan Atas-bawah (Nord, 1994: 65) Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan (M. R. Nababan)
71
Mana dari kedua pendekatan yang lebih baik masih menimbulkan perdebatan di kalangan pakar teori penerjemahan. Baker (1992: 2), misalnya, berpendapat bahwa kedua pendekatan itu valid. Namun, dia lebih memilih pendekatan bawah‐atas karena alasan‐alasan pedagogik. Menurut Baker, pendekatan bawah‐ atas lebih mudah diterapkan atau diikuti oleh mereka yang penguasaan linguistiknya masih rendah. Karena alasan‐alasan yang sama, Harvey, Higgins, and Haywood (1995: 1) juga mengadopsi pendekatan bawah‐atas. Sementara itu, meskipun Newmark (1991) menyatakan bahwa kedua pendekatan itu sahih, dia cenderung berpendapat bahwa pendekatan atas‐ bawah lebih baik daripada pendekatan bawah‐atas. Menurut Newmark (1991: 127), “The second approach to translating is top to bottom, which every translation teacher recommends and the poor students follow, but perhaps few instinctive translators practice.” Snell‐Hornby (1995), Hatim dan Mason (1990), dan Kussmaul (1995) menganjurkan pendekatan atas‐bawah Snell‐Hornby (1995), misalnya, mengatakan, ʺTextual analysis, which is an essential preliminary step to translation, should proceed ʹtop downʹ, from the macro to the micro level, from text to sign.ʺ (69) Pendekatan atas‐bawah merupakan pendekatan yang sangat ideal, dan secara teoretis, pendekatan itu merupakan salah satu kecenderungan baru dalam studi penerjemahan, yang lebih mementingkan proses (daripada produk) pengalihan pesan satuan lingual yang paling tinggi, yaitu teks. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pendekatan tersebut tidak selalu
72
dipraktikkan dalam kegiatan penerjemahan (Nababan, 2004). 3. METODE PENERJEMAHAN Suatu ungkapan atau kelompok kata dapat diterjemahkan dengan menerapkan berbagai metode penerjemahan. Dan pemikiran tradisional memberikan alternatif apakah suatu ungkapan atau kelompok kata diterjemahkan secara kata‐ demi‐kata, harfiah ataukah bebas. Alternatif seperti ini memperlakukan satuan terjemahan sebagai sesuatu yang terpisah satu sama lain. Kecenderungan baru dalam penerjemahan memperlakukan satuan terjemahan sebagai sesuatu yang terkait sama lain, dan memandang terjemahan sebagai alat yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks bahasa sasaran. Dalam kegiatan penerjemahan, tidak jadi persoalan metode apa yang diterapkan oleh penerjemah. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah metode yang dipilih penerjemah dapat memenuhi tujuan penerjemahan ataukah tidak. Kenyataan menunjukkan bahwa penerjemahan selalu melibatkan minimal dua bahasa (baca bahasa sumber dan bahasa sasaran) dan dalam banyak hal kedua bahasa ini berbeda satu lain baik dari segi linguistik, semantik, sosiolinguistik dan budayanya. Bahkan, sudut pandang penutur kedua bahasa itu terhadap sesuatu konsep acapkali berbeda. Konsep farmer tidak sama dengan konsep petani, dan makna yang ada dibalik kata breakfast tidak sepenuhnya sama dengan makna yang ada dibalik kata sarapan. Fenomena yang seperti ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penerjemahan. Tidaklah berlebihan jika Hoed (2003) menyatakan bahwa dikotomi salah‐benar dalam menilai kualitas penerjemahan sangat relatif, tergantung pada orang yang menilainya. Namun, perlu dicermati bahwa keputusan apapun yang dibuat oleh penerjemah harus didasari oleh pertimbangan‐pertimbangan yang matang. Suatu keputusan yang tidak didasari oleh alasan‐alasan
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 2 No. 1, Mei 2006: 69 – 74
yang logis bukan merupakan keputusan yang profesional dan bertanggung jawab. 4. SATUAN TERJEMAHAN Pada subbagian 2 telah diuraikan dua pendekatan penerjemahan. Pendekatan bawah‐ atas ditandai oleh analisis yang dilakukan oleh penerjemah pada tataran lingual yang paling rendah dan berlanjut ke tataran yang lebih tinggi. Pendekatan ini seringkali menghasilkan terjemahan yang kurang alamiah karena ada kecenderungan penerjemah untuk terikat pada struktur bahasa sumber. Sebaliknya, pendekatan atas‐bawah menghendaki penerjemah untuk melakukan analisis pada tataran makro, yang ditandai oleh pengidentifikasian tipe teks, leksikon dan istilah yang digunakan, dan pembaca teks bahasa sasaran. Analisis kemudian dilanjutkan pada satuan kalimat, berlanjut ke satuan klausa, frasa, kata, dan morfem. Meskipun pendekatan ini sulit diterapkan oleh mereka yang tidak mempunyai pengetahuan luas tentang linguistik, analisis wacana, pragmatik dan bidang‐bidang terkait lainnya dengan penerjemahan, para pakar menyarankannya dan merupakan kecenderungan baru dalam studi penerjemahan. Hal itu masuk akal karena alasan‐alasan berikut. Pertama, dalam praktik penerjemahan yang sesungguhnya penerjemah selalu dihadapkan pada teks. Dengan kata lain, sasaran garapan penerjemah adalah teks yang dibangun dari kalimat‐kalimat yang terkait satu sama lain. Kedua, puncak pencarian padanan dalam penerjemahan adalah pada tataran teks (textual equivalence). Naskah pidato dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi naskah pidato dalam bahasa Indonesia; Artikel ilimiah dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi artikel
ilmiah dalam bahasa Indonesia, bukan menjadi artikel non‐ilmiah. Keempat, aspek pembaca sangat penting untuk dipertimbangkan karena mereka secara tidak langsung turut menentukan padanan. 5. TUJUAN PENERJEMAHAN Pada bagian Pengantar dalam bukunya yang berjudul Translating as a Purposeful Activity, Christiane Nord (1997: 1) menulis: Human actions or activities are carried out by ‘agents’, individuals playing roles. When playing the role of senders in communication, people have communicative purposes that they try to put into practice by means of texts. Communicative purposes are aimed at other people who are playing the role of receivers. Communication takes place through a medium and in situation that are limited in time and space. Each specific situation determines what and how people communicate, and it is changed by people communicating. Situations are not universal but are embedded in a cultural habitat, which in turn conditions the situation. Language is thus to be regarded as part of culture. And communication is conditioned by the constraints of the situation‐in‐culture. Pernyataan di atas dapat pula diterapkan dalam penerjemahan. Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjemah sebagai mediator, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran. Dalam banyak kasus, budaya penulis teks bahasa sumber sangat berbeda dari budaya pembaca teks bahasa sasaran, dan demikian pula dengan ideologi penerjemah dan klien yang acapkali berbeda satu sama lain. Karena terjemahan ditujukan kepada pembaca teks
Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan (M. R. Nababan)
73
bahasa sasaran, perhatian penerjemah harus diarahkan pada pecarian padanan yang sesuai dengan budaya pembaca teks bahasa sasaran. Hal‐hal yang berbau asing harus dihindari, dan terjemahan harus terasa sebagai karya asli bukan sebagai karya terjemahan. Untuk mencapai tujuan yang seperti itu, kadangkala penerjemah harus melakukan perubahan yang sangat radikal dalam terjemahannya, yang menimbulkan pertanyaan: apakah yang dihasilkan adalah terjemahan ataukah saduran? Menempatkan pembaca teks bahasa sasaran sebagai “raja” menimbulkan kecaman (lihat Nord 1997). Seperti yang telah diuraikan di bagian pendahuluan, pembaca teks bahasa sasaran adalah orang awam, yang tidak mempunyai akses ke teks bahasa sumber. Mereka tidak mempunyai kompetensi yang memungkinkan mereka dapat memahami isi teks asli. Oleh karena itu, tidaklah pada tempatnya jika pembaca “menggurui” penerjemah, yang notabene adalah ahli. Sekitar setahun yang lalu, ada sebuah kasus nyata yang menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Sebuah penerbit besar di Surakarta meminta tim penerjemah dari Pusat Bahasa UNS untuk menerjemahkan sebuah buku teks berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Setelah buku itu diterjemahkan dan diserahkan, pihak penerbit meminta tim penerjemah untuk memeriksa ulang terjemahan itu dan menghilangkan gambar‐gambar yang ada di dalam buku itu. Dari sudut pandang penerbit, gambar‐gambar itu tidak mereka perlukan dan menghabiskan banyak halaman. Dari sudut pandang tim penerjemah, gambar‐gambar itu bagian yang tidak terpisahkan dari teks. Kalau tim penerjemah menolak permintaan penerbit itu, mereka tidak akan mendapat honor. Jika permintaan
74
itu mereka terima, mereka telah mengingkari dua komponen kode etik penerjemahan, yaitu masalah keakuratan penyampaian pesan (accuracy) dan kenetralan (impartiality). Kasus ini memberikan gambaran betapa tujuan penerjemah sangat berbeda dari tujuan klien. 6. OBYEK PENELITIAN PENERJEMAHAN Dalam bidang studi penerjemahan deskriptif terdapat dua obyek kajian utama, yaitu karya terjemahan dan proses penerjemahan. Penelitian yang hanya memfokuskan perhatiannya pada teks bahasa sasaran berusaha mengungkapkan apakah terjemahan telah dengan setia mempertahankan pesan teks bahasa sasaran, dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca, dan dapat diterima oleh orang yang menjadi sasaran terjemahan tersebut. Kesetian yang dimaksud diartikan sebagai kesamaan makna. Dalam banyak kasus, kesamaan makna ini sulit dicapai dan bahkan mungkin tidak dapat dicapai. Penelitian yang berorientasi produk hanya bisa mengkaji hal‐hal tersebut, dan tidak bisa menjelaskan mengapa penerjemah memilih padanan “yang ini” dan bukan “yang itu”. Penelitian yang seperti ini juga tidak bisa memberikan alasan yang sangat tepat mengapa, misalnya, penerjemah membiarkan kata asli dalam terjemahannya. Hal itu terjadi karena peneliti tidak melibatkan penerjemah. Ketidakmampuan penelitian yang beorientasi pada produk dalam memerikan hakikat penerjemahan secara mendalam dan holistik, telah melahirkan kecenderungan baru dalam penelitian penerjemahan, yang lebih mementingkan proses daripada produk. Kecenderungan baru ini memperlakukan proses penerjemahan sebagai proses pengambilan keputusan, yang dilakukan oleh penerjemah, dan proses pengambilan putusan itu sangat tergantung pada kompetensi penerjemah dan dipengaruhi oleh banyak faktor atau pertimbangan. 7. PENGAJARAN PENERJEMAHAN Kecenderungan baru dalam hal pendekatan penerjemahan, metode penerjemahan, satuan
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 2 No. 1, Mei 2006: 69 – 74
terjemahan, tujuan penerjemahan, dan obyek kajian penerjemahan berdampak langsung pada pengajaran penerjemahan. Konsep tradisional pengajaran penerjemahan, misalnya, melatih pembelajar dalam mencarikan padanan pada tataran di bawah teks. Sebaliknya, kecenderungan baru pengajaran penerjemahan lebih menekankan pada pencarian padanan pada tataran teks, yang sesuai dengan konteks sosial budaya pembaca teks terjemahan. Dalam kaitan itu, aspek translation instruction atau translation brief menjadi sangat penting sebagai langkah awal dalam melakukan proses penerjemahan. 8. PENUTUP Makalah ini secara ringkas telah membahas kecenderungan baru dalam studi penerjemahan, baik dalam hal pendekatan penerjemahan, metode penerjemahan, satuan terjemahan, tujuan penerjemahan, dan pengajaran penerjemahan. Kecenderungan baru itu masih menimbulkan banyak persoalan dan perdebatan. Hingga saat ini, misalnya, belum ada kesepakatan di kalangan para pakar perihal parameter yang paling tepat dalam mengukur kualitas suatu terjemahan. Hal itu merupakan hal yang wajar karena Studi Penerjemahan, jika dibandingkan bidang ilmu lainnya, masih tergolong ilmu yang sedang mengalami perkembangan. DAFTAR PUSTAKA Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication.
Hatim, B and Mason, I. 1990. Discourse and the Translator. New York: Longman, Inc. Hervey, S., Higgins, I., and Haywood, L. M. 1995. Thinking Spanish Translation: A Course in Translation Method: Spanish into English. London; New York: Routledge. Nababan, M. 2004. “Translation processes, practices, and products of professional Indonesian Translators”. Unpublished Dissertation. Wellington, New Zealand: Victoria University of Wellington. Hoed, B. H. 2003. “Ideologi dalam penerjemahan” dalam Proceeding Kongres Nasional Penerjemahan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, hal. 1 – 13. Kussmaul, P. 1995. Training the Translator. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Newmark, P. 1997. “The customer as king: A response to Hans G. Honig”. Current Issues in Language & Society. Vol. 4, No. 1, 75‐77. __________. 1989. A Textbook of Translation. New York: Prentice‐Hall International. Nord, C. 1997. Translating as a Purposeful Activity. Manchester, UK: St. Jerome Publishing. ________. 1994. “Translation as a process of linguistic and cultural adaptation. In Dollerup, C. and Lindegaard, A. (eds.). Teaching Translation and Interpreting 2: Insights, Aims, Visions. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 59‐67. Ruuskanen, D.D.K. 1996. “Creating the ‘Other’: A pragmatic translation tool”. In Dollerup, Cay, Appel, and Vibeke (eds.). Teaching Translation and Interpreting 3: New Horizons. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Snell‐Hornby, M. 1995. Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan (M. R. Nababan)
75