KECAKAPAN BERTINDAK (Studi Komparasi Dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam)
SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH: ISMAMUDDIN NIM: 05360078
PEMBIMBING: 1. DRS. MAKHRUS. M, M. HUM 2. AHMAD BAHIEJ, SH. M. HUM
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2010
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
FM-UINSK-BM-05-03/RO
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR Hal : Skripsi Saudara Ismamuddin Lamp : Kepada Bapak Dekan Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta Assalamu’alaikum, Wr.Wb. Setelah membaca, meneliti memberikan petunjuk dan mengoreksi serta mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami selaku pembimbing berpendapat bahwa skripsi saudara: Nama N.I.M
: Ismamuddin : 05360078
Judul
: Kecakapan Bertindak (Studi Komparasi Dalam Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam)
Sudah dapat diajukan sebagai kepada Fakultas Syari’ah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu dalam Ilmu Hukum Islam. Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
Yogyakarta, 22 Rabiul Awal 1431 H 8 Maret 2010 M Pembimbing I
DRS. MAKHRUS. M, M. HUM
NIP.19680202 199303 1 003
ii
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
FM-UINSK-BM-05-03/RO
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR Hal : Skripsi Saudara Ismamuddin Lamp : Kepada Bapak Dekan Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta Assalamu’alaikum, Wr.Wb. Setelah membaca, meneliti memberikan petunjuk dan mengoreksi serta mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami selaku pembimbing berpendapat bahwa skripsi saudara: Nama N.I.M
: Ismamuddin : 05360078
Judul
: Kecakapan Bertindak (Studi Komparasi dalam Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam)
Sudah dapat diajukan sebagai kepada Fakultas Syari’ah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu dalam Ilmu Hukum Islam. Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
Yogyakarta, 22 Rabiul Awal 1431 H 8 Maret 2010 M Pembimbing II
AHMAD BAHIEJ, SH. M. HUM NIP. 19750615 20000 1001
iii
MOTTO
“RUMUS HIDUP” SEJARAH MENCATAT BAHWA KEBERHASILAN SESEORANG TERNYATA PATUH DENGAN PROSES, BERPROSESLAH DENGAN MAKSIMAL SEJAK DINI, HASILNYA PASTI DAPAT KITA DINIKMATI KELAK HORMATILAH ORANG TUA dan HORMATI ORANG LAIN, MAKA KITA AKAN DIHORMATI JUGA OLEH MEREKA.
v
PERSEMBAHAN
KUPERSEMBAHKAN SKRIPSI INI KEPADA:
¾ JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
¾ KEDUA ORANG TUAKU TERCINTA,EMBAKU, KAKAKU, DAN ADIK-ADIKKUKU YANG TERSAYANG
¾ TEMAN-TEMAN
SENASIB DAN SEPERJUANGANKU DI PMII dan K2Y YOGYAKARTA
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan pedoman transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 150 tahun 1987 dan no. 05436/U/1987. Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut: 1. Konsonan Huruf Arab
Nama
Huruf latin
Nama
ا
alif
-
-
ب
ba
b
be
ت
ta
t
Te
ث
sa
s\
es dengan titik diatas
ج
jim
j
Je
ح
ha
h{
ha dengan titik di bawah
خ
kha
kh
Ka-ha
د
dal
d
De
ذ
zal
z\
ze dengan titik diatas
ر
ra’
r
Er
ز
zai
z
zet
س
sin
s
Es
ش
syin
sy
es-ye
ص
sad
s{
es dengan titik di bawah
ض
d{ad
d{
de dengan titik di bawah
ط
ta
t{
te dengan titik di bawah
ظ
za
z{
ze dengan titik di bawah
ع
‘ain
‘
koma terbalik di atas
غ
ghain
g
Ge
vii
ف
fa
f
Ef
ق
qaf
q
Ki
ك
kaf
k
Ka
ل
lam
l
El
م
mim
m
Em
ن
nun
n
En
و
wau
w
we
ﻩ
ha
h
Ha
ء
hamzah
'
apostrof
ي
ya’
y
Ya
2. Vokal a. Vokal Tunggal Tanda Vokal
Nama
Huruf Latin
Nama
َ
fath{ah
a
A
ِ
kasrah
i
I
ُ
d{ammah
u
U
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ﻱ
fath}ah dan ya
ai
a-i
ﻭ
fath}ah dan wau
au
a-u
b. Vokal Rangkap
Contoh:
آﻴﻒ
kaifa
ﺣﻮل
viii
h}aula
c. Vokal Panjang (maddah): Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ﹶﺍ
fath}ah dan alif
a>
a dengan garis di atas
ﻱ
fath}ah dan ya
a>
a dengan garis di atas
ِﻱ
kasrah dan ya
i>
i dengan garis di atas
ﻭ
d{ammah dan wau
u>
u dengan garis di atas
Contoh:
ﻗﺎل
qa>la
ﻗﻴﻞ
qi>la
رﻣﻰ
rama>
یﻘﻮل
yaqu>lu
3. Ta Marbût}ah a. Transliterasi Ta’ Marbu>t}ah hidup adalah “t” b. Transliterasi Ta’ Marbu>t}ah mati adalah “h” c. Jika Ta’ Marbu>tah diikuti kata yang menggunakan kata sandang “ ”ل ا (“al-”)
dan
bacaannya
terpisah,
maka
Ta’
Marbu>t}ah
tersebut
ditranslitersikan dengan “h”. Contoh:
ل ﻟﻌﻄﻔﺎ روﺿﺔ
raud}atul at}fal atau mud}ah al-at}fal
اﻟﻤﻨﻮرة اﻟﻤﺪیﻨﺔ
al-Madi>natul
Munawwarah,
atau
al-
madi>natul al-Munawwarah
ﻃﻠﺤﺔ
T{alh}atu atau T{alh}ah
4. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydid) Transliterasi syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yang sama, baik ketika berada di awal atau di akhir kata.
ix
Contoh:
ﻥﺰّل
nazzala
ّاﻟﺒﺮ
al-birr
5. Kata Sandang ““ ال Kata Sandang “ ” الditransliterasikan dengan “al” diikuti dengan tanda penghubung “_”, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyah maupun huruf syamsiyyah. Contoh:
اﻟﻘﻠﻢ
al-qalamu
اﻟﺸﻤﺲ
al-syamsu
6. Huruf Kapital Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasi huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali jika terletak pada permulaan kalimat. Contoh:
رﺳﻮل اﻻ ﻣﺤﻤﺪ وﻣﺎ
Wa ma> Muhammadun illa> ra>su>l
x
KATA PENGANTAR Pujian yang tulus dan rasa syukur penyusun haturkan hanyalah bagi Allah SWT yang dengan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Kecakapan Bertindak (studi Komparasi dalam Hukum Pidana dan Hukum Islam)”. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan umat, Nabi Muhammad. SAW., keluarga, para sahabat, serta orang-orang yang mengikutinya hingga akhir zaman. Alasan utama pemilihan topik ini adalah karena penyusun melihat banyaknya ketidak Pastian dalam hukum mengenai konsep kriteria kecakapan dalam Hukum pidana dan hukum islam serta dalam aspek keadilan pada zaman sekarang ini. Dalam proses penyusunan skripsi ini penyusun menyadari sepenuhnya kelemahan yang dimiliki. meskipun sudah mengerahkan segala kemampuan, tetapi masih jauh dari kata sempurna atas hasil penyusunan skripsi ini. Untuk itu penyusun berharap akan adanya masukan, baik berupa kritik atau saran yang sifatnya membangun untuk dilakukan perbaikan. Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan orang-orang sekitar penyusun. Oleh karena itu, penyusun menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Yudian Wahyudi, Phd. selaku Dekan Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
xi
2. Bapak Fuad. selaku Pembimbing Akademik yang dengan penuh perhatian, selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan akademik sejak pertama kali penyusun terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Syari’ah. 3. Bapak Drs. Makhrus, M. M. Hum dan Bapak Ahmad Bahiej, S.H. M. Hum. selaku Pembimbing I dan Pembimbing II, yang telah melakukan bimbingan secara maksimal dalam penyusunan skripsi ini, pada beliau berdua penyusun menghaturkan banyak terima kasih. 4. Kepada Bapak Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum dan Bapak Fatorrahman S.Ag., M.Si. selaku Ketua Jurusan dan Sekertaris Jurusan serta Segenap Bapak dan Ibu dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Syari’ah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum yang telah ikhlas memberikan ilmu dan pengetahuanya kepada penyusun. Juga kepada karyawan dan karyawati Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi dengan baik. 5. Kedua orang tua, Ayahanda Abd Wahid dan Nimah, atas do’a dan kasih sayang beliau serta selalu memberi dorongan moril maupun materiil yang mampu menemani perjalanan hidupku, kepada Embak Nahwiyah, kakak Namli dan adik Sakinah, Istifasah serta segenap keluarga besar penulis, terima kasih atas pengertian dan motivasinya. 6. Terima kasih kepada Shofiatun (the special one) yang selalu mendampaigi kitaka saya jatuh dan yang memberikan semangat dalam menusun skripsi ini.
xii
7. Teman-teman PMII Germanis 2005, Samaun, Jablai, Saprol, RIAD, Alma, Darwis, Aris, Alma, Kipli, Hana, Irfana, Yazid, zainal, kipli, Firzah, Faizi, Terima kasih atas dorongan, dukungan dan motivasinya. 8. Teman-teman
PMII
Komisariat
UIN
Ricki
(Dakwah),
Sobrei
(Usuliuddin), Jauhari (Soshum), Fika (Adab), Didi (Saintek), Wathon (Saintek), Mahbub (Adab), Habermas (Usuluddin), Depi (Tarbiyah), Rozi (Usuluddin), 9. Teman-teman K2Y dan KORDISKA 10. Kepada siapapun yang tak berwujud, namun punya makna dalam kehidupan penyusun. Demikianlah ucapan hormat penyusun, semoga jasa dan budi baik mereka, menjadi amal baik dan diterima oleh Allah dengan pahala yang berlipat ganda.
Jaza>kumullah ahsanal jaza>’ Akhirnya hanya kepada Allah jualah penyusun memohon ampunan dan petunjuk dari segala kesalahan.
Yogyakarta, 22 Rabiul Awal 1431 H 8 Maret 2010 M
Penyusun
ISMAMUDDIN NIM: 05360078
xiii
ABTRAK Kecakapan hukum merupakan hal yang sangat asasi dalam kaitanya dengan kecakapan bertindakan menusia yang telah mencapai kesempurnaan akal atau usia seseorang sebagai syarat sahnya dalam pembebanan hukum. Dalam pembahasan hukum yang ada, baik dalam konsep hukum pidana positif ataupun hukum pidana islam. kecakapan merupakan unsur pertama dan utama yang menentukan seseorang mempunyai hak sebagai seseorang untuk bertindak hukum. Adanya kecakapan pada seseorang merupakan ukuran bahwasanya tindakan seseorang dapat memiliki akibat hukum, sedangkan tidak adanya kecakapan pada seseorang itu menyebabkan perilakukanya tersebut tidak memiliki akibat hukum atau dibatalkan demi hukum Tujuan penelitian yang dapat diambil dari masalah diatas adalah untuk mengetahui bagaimana kecakapan bertindak hukum dalam hukum pidana positif dan kecakapan betindak dalam hukum pidana islam serta untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan persamaan kecakapan bertindak hukum dalam hukum pidana positif dan hukum pidana islam. Adapun metode analisis yang digunakan berupa metode deskriptif analitis dengan metode riset pustaka yang di perluas kembali dengan metode komparatif (perbandingan) diantara kedua hukum tersebut. Perbedaan mendasar dalam menentukan cakap hukum bagi seseorang adalah dalam penetapanya. Hukum pidana positif menetapkan bahwasanya seseorang dapat dikatakan cakap hukum apabila telah memasuki usia yang telah di tetapkan, ini artinya bahwasanya hukum pidana positif mengdepankan aspek kepastian hukum dimana usia menjadi patokan dalam menentukan kecakapan hukum bagi seseorang. Sedangkan dalam hukum islam menetapkan bahwasanya seseorang dapat dikatakan cakap hukum apabila telah mengalami peristiwa-peristiwa secara biolgis sebagai syarat syahnya seseorang telah memasuki jenjang kedewasaan, ini artinya hukum islam lebih mengedepankan aspek keadilan hukum dimana faktor biologis menjadi patokan dalam menentukan kecakapan hukum bagi seseorang untuk bisa betindak hukum. Disamping perbedaan yang mendasar yang tersebut diatas, kedua hukum tersebut juga memiliki persamaan dalam menentukan seseorang dimana manusia adalah seseorang dalam pelaksanaan hukum. Dari penelitian yang dilakukan dapat diperoleh hasil bahwa kedua aspek hukum tersebut diatas dapat dikembangkan di indonesia apabila hukum di indonesia selalu mengacu pada budaya dan perkembanganya, ini dianggab lebih adil karena dengan demikian hukum yang berlaku di indonesia akan semakin lugas karena memiliki berbagai macam sudut pandang dalam penetapanya.
xiv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................
ii
HALAMAN NOTA DINAS .............................................................................
ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................
iv
TRANSLITERASI ............................................................................................
v
ABSTRAK ......................................................................................................... DAFTAR ISI......................................................................................................
vi
BAB 1 : PENDAHULUAN ............................................................................... A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................
I
B. Pokok Masalah ............................................................................................
9
C. Tujuan dan Kegunaan .................................................................................
9
D. Telaah Pustaka ............................................................................................
9
E. Krangka Teoritik .........................................................................................
11
F. Metode Penelitian .......................................................................................
17
G. Sistematika Pembahasan .............................................................................
19
BAB II: KECAKAPAN DALAM HUKUM PIDANA A. Pengertian Hukum Pidana .................................................................
21
B. Sumber-Sumber Hukum Pidana.........................................................
21
C. Karakteristik Hukum Pidana ..............................................................
24
D. Kecakapan Dalam Hukum Pidana .....................................................
25
xv
E. Dasar-dasar Kecakapan Dalam Hukum Pidana .................................
27
BAB III: KECAKAPAN DALAM HUKUM ISLAM.................................... A. Pengertian Hukum Islam ....................................................................
30
B. Sumber-sumber Hukum Islam ...........................................................
32
C. Karakteristik Hukum Islam ................................................................
34
D. Kecakapan Dalam Hukum Islam .......................................................
39
E. Dasar-dasar Kecakapan Dalam Hukum Islam ...................................
40
BAB IV: ANALISAS PERBANDINGAN KECAKAPAN DALAM HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM ................................... A. Pengertian...........................................................................................
45
B. Pembagian Kecakapan .......................................................................
47
C. Penghalang Kecakapan ......................................................................
49
D. Kriteria Kecakapan.............................................................................
51
BAB V: PENUTUP ........................................................................................... A. Kesimpulan ........................................................................................
54
B. Saran...................................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
57
LAMPIRAN-LAMPIRAN: I. TERJEMAH ........................................................................................
I
II. KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN ...........................................
II
III. CURRICULUM VITAE .....................................................................
II
xvi
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembahasan seputar perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggran atau kejahatan kepada sesamanya, baik secara fisik atau non fisik dengan berbagai sasaran, semisal badan, jiwa, harta benda, kehormatan, dan sebagainya dalam perspektif ilmu hukum, dinamai sebagai hukum pidana.1 Masyarakat dan anggotanya terutama insan-insan hukum dituntut untuk mempu mengadaptasi pikiran yang berkembang menurut zamanya dan dalam keadaan tertentu menjadi pihak yang beraksi dalam pembaharuan (change agent), karena hukum dan keadilan mencakup lingkungan yang luas serta selalu berkembang. Dengan demikian, bantuan hukum dan penyuluhan hukum perlu menjangkau masyarakat mini yang berada dilingkuangan lembaga permasyarakatan sebagai akibat peradilan pidana. Peranan manusia untuk mengoprasikan hukum menjadi faktor utama untuk melaksanakan hukum. Pengatahuan, tentang kecakapan dan tingkah laku para pelaksananya akan banyak mengungkapkan adanya semacam subkultur (Bagian kebudayaan) hukum dalam kehidupan masyarakat agar
diskrepansi (ketidak sesuaian) hukum dapat dicegah.2 1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, cet ke- 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
hlm.11 2
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta,: Liberti, 1993), hlm. 1
2
Menurut hukum bahwa setiap manusia memiliki asasi, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban (pendukung hak dan kewajiban) dan disebut cakap hukum. Yang dimaksud dengan hak adalah wewenang yang di berikan hukum obyek kepada cakap hukum. Selain hak, ada juga Istilah kewajiban. Yang dimaksud dengan kewajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang. Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka ia memiliki kewenangan untuk bertindak hukum. Sudah tentu kewenangan bertindak disini harus menurut hukum. Namun demikian, kewenangan itu dibatasi oleh beberapa factor dan keadaan tertentu, sehingga seseorang dapat dinyatakan wenang untuk melakukan tindakan hukum apibila dia itu telah dewasa (cukup umur) dan sehat jiwanya . Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa seseorang yang wewenang hukum belum tentu cakap hukum. Karena harus terpenuhi syarat kedewasaan.3 Di mata hukum, batas usia dewasa seseorang menjadi penting, karena hal tersebut berkaitan dengan boleh-tidaknya seseorang tersebut melakukan perbuatan hukum, ataupun diperlakukan sebagai subjek hukum. Falsafah hukum dari penentuan usia dewasa ini adalah penentuan usia yang dimana orang tersebut dapat mengambil tanggungjawab dari perbuatannya.4 3
Hasanuddin dan Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta; PT. Pustaka Al Husna baru 2004), hlm .71. 4
ttp://WWW. Merapi Onlinei.Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Index.php/hukum 3378 akses pada tanggal 28 Oktober 2009.
3
Rupanya, batas usia dewasa di mata masyarakat berbeda dengan batas usia dewasa di mata hukum. Pun demikian batas usia dewasa berbeda atara hukum yang satu dengan hukun yang lainya, sebagaimana telah diuraikan di atas. Usia dewasa menurut undang-undang memang beragam tapi pemberlakuannya pun beragam juga sesuai dengan obyek yang diatur dalam undang-undang yang memuat usia dewasa. Menurut Pasal 44 KUHP: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena sakit. Kalau tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatanya disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat mudah. Sebagai konsekuensi maka tentunya orang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan tadi, dia tidak
mempunyai
kesalahan
kalau
melakukan
pidana.5
Untuk
pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukanya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap bathin yang dapat dicela, ternyata pula dalam azas hukum yang tidak tertulis: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.6 Dalam hukum Islam kecakapan merupakan unsur jarimah khusus yang sangat penting untuk diperhatikan di samping unsur ada nas 5
Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, , cet 7, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm.
6
Ibid, hlm 56.
165.
4
(ketentuan) dan perbuatan itu benar-benar dilakukan, juga orang yang melakukanya adalah orang yang cakap (mukallaf). Dengan demikian, apabila orang yang melakukanya adalah orang yang gila atau masih di bawah umur maka ia tidak dikenakan hukuman, karena ia orang yang tidak bisa dibebani pertanggungjawaban pidana.7 Dalam status personal seseorang, kecakapan menjadi prasyarat penting karena berkaitan dengan kemampuanya menjadi seseorang yang cakap hukum. Yang dimaksud dengan kacakapan adalah sampainya seseorang pada usia tertentu, maka seorang anak di bawah usia dewasa tidak berhak atau tidak dapat perlakuan hukum.8 Salah satu kaidah dalam syariat Islam yang berbunyi Arabnya;
. ﻻﻳﻜﻠﻒ ﺷﺮﻋﺎ اﻻ ﻣﻦ آﺎن ﻗﺎ درا ﻋﻠﻰ ﻓﻬﻢ دﻟﻴﻞ اﻟﺘﻜﻠﻴﻒ اهﻼ ﻟﻤﺎ آﻠﻒ ﺑﻪ .وﻻﻳﻜﻠﻒ ﺷﺮﻋﺎ اﻻﺑﻔﻌﻞ ﻣﻤﻜﻦ ﻣﻘﺪور ﻟﻠﻤﻜﻠﻒ ﻣﻌﻠﻮم ﻟﻪ ﻋﻠﻤﺎ ﻳﺤﻤﻠﻪ ﻋﻠﻰ اﻣﺘﺜﺎ ﻟﻪ Kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukanya sebagai orang yang bertanggungjawab dan pada perbuatan yang diperintahkan. Adapun syarat untuk pelaku mukallaf yaitu: 1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi; 7
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, cet 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 28.
5
2. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam yaitu: 1. Perbuatan itu mungkin dikerjakan; 2. Perbuatan itu di sanggupi oleh orang mukallaf; 3. Perbuatan tersebut diketahui mukallaf dengan sempurna: a. Pelaku mengatahui hukum-hukum taklifi, maka hukum tersebut harus sudah ditetapkan kepada orang banyak. Dengan demikian berarti tidak ada jarimah kecuali dengan adanya nash; b. Pada ketentuan hukum itu sendiri ada factor yang mendorong seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian maka pengertianya adalah suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumanya Dari penjelasan kaidah-kaidah tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya nash. Sebagaimana firman Allah;
11
Ahmad Fauzi, Kecakapan Subyek Hukum (Study Komparasi Hukum Perdata dan Hukum Islam), Skripsi S1 Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga (2006), hlm. 5.
6
وﻣﺎ آﺎن رﺑﻚ ﻣﻬﻠﻚ اﻟﻘﺮى ﺣﺘﻰ ﻳﺒﻌﺚ ﻓﻲ أﻣﻬﺎ رﺳﻮﻻ ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺁﻳﺎﺗﻨﺎ وﻣﺎ آﻨﺎ 9
ﻣﻬﻠﻜﻲ اﻟﻘﺮى إﻻ وأهﻠﻬﺎ ﻇﺎﻟﻤﻮن
Dari ayat tesebut jelaslah bahwa asas legalitas sudah terdapat syariat Islam, sejak Islam diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.10 Pertanggunganjawaban
pidana
dalam
syariat
Islam
ialah
pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakanya dengan pilihan (ikhtiar) sendiri, dimana ia mengatahui (idrak) maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatanya itu, kalau hal tersebut ada, maka terdapat pula pertanggunganjawaban pidana, dan kalau tidak ada, maka tidak ada pula pertanggunganjawab pidana. Dengan demikian, maka kita dapat mengatahui bahwa yang bisa dibebani pertangungganjawab pidana hanya manusia yang berakal sehat, dewasa dan atas kemauan sendiri. Kalau tidak demikian, maka tidak ada pertanggunganjawab padanya, karena orang yang tidak berakal fikiran sehat bukanlah orang yang mengatahui dan bukanlah orang yang mempunyai pilihan. Oleh karena itu, tidak ada pertanggunganjawaban bagi anak-anak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauanya.11 9
Al-Qas}as} (28): 59.
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, Cet ke2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 30. 11
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet ke-5, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1993), hlm.154.
7
Dengan demikian, istilah kecakapan sebenarnya sering didapati kata yang sepadan dengan kata kecakapan, namun kata-kata tersebut membawa makna interpretasi yang berbeda, dalam bahasa sehari-hari dan sering digunakan kata kedewasaan untuk mengatakan seseorang telah mencapai umur tertentu. Demikian juga istilah kematangan mengandung implikasi bahwa seseorang telah mencapai umur tertentu atau sudah dewasa. Demikian juga pemakaian istilah balig dalam hukum Islam mempunyai interpretasi sendiri, karena tidak menutup kemungkinan istilah-istilah tersebut berkaitan dengan pengaruh budaya dalam memberi interpretasi.12 Namun secara realita, dalam perkembangan yang sekarang kecakapan ini tidak hanya membahas tentang cakapnya seseorang dalam menjadi subyek hukum tertentu, karena kecakapan dapat berlaku dalam hukum manapun. Seorang bayi sebenarya sudah dapat menjadi cakap hukum, yaitu yang mengenai aborsi, bila hak-hak bayi yang masih dalam kandungan (yaitu hak hidup) dilanggar tanpa alasan tertentu, maka seorang yang melanggar tersebut dapat dikenakan pasal tertentu yang berhubungan pembunuhan. Ada satu istilah yang sering digunakan dalam bahasa hukum selain istilah kecakapan, yaitu “di bawah umur” pengertian di bawah umur 12
Pengaruh budaya dalam memberi interpretasi dapat dikatakan sebagai pengaruh perkembangan latar budaya yang menjadikan pemberian makna yang berbeda-beda. Budaya dapat dipahami sebagai keseluruhan hasil respon kolompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tjuan-tujuanya. Dalam bahasa jawa arti kecakapan tidak terlepas dengan pengaruh agama yang lebih lengkap dalam memenuhi kebutuhan bahasa hukum. Lihat Mohammad Najib (ed.), demikrasi dalam prespektif budaya nusantara (Yogyakarta; PKPSM, 1996), hlm. VIII.
8
tersebut menjadikan makna kecakapan sebagai keadaan telah sampai pada batasan usia tertentu. Pengertian di bawah umur menjadi bahasan menarik lagi ketika harus bersentuhan dengan istilah kecakapan. Karena yang harus diperbincangkan disini adalah ada batasan-batasan tertentu yang pada prinsipnya berbeda penafsiran. Demikian juga dengan menggunakan istilah kecakapan lebih kepada subyek hukum dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan perikatan. Istilah di bawah umur lebih banyak digunakan dalam hal-hal yang berifat lebih privasi, yaitu pengunaanya dalam hukum perkawinan.13 Dalam pembahasan tulisan ini, penulis tidak akan membahas perkembagan kecakapan dalam hukum lain yang menjadikan maslah uatama dalam penyusunan ini menjadi kurang fokus. Tapi sengaja hanya memfokuskan kajian dari penyusunan ini terhadap perbandingan yang ada dalam hukum pidana dan hukum Islam saja.
B. Pokok Masalah Melihat pemaparan latar belakang masalah di atas, sebenarnya sudah merupakan gambaran dari motivasi penyusunan untuk membahas masalah tersebut dalam bentuk skripsi, akan tetapi untuk lebih jelasnya disisni penyusun memaparkan pokok masalah dari skripsi ini yaitu; 1. Bagaimana kriteria kecakapan bertindak dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam? 13
Ahmad Fauzi, Kecakapan Subyek... hal. 3
9
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan kecakapan bertindak dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Adapun tujuan dan keguanaan dari pembahasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tujuan a. Untuk menjelaskan kecakapan bertindak dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam. b. Untuk menjelaskan kriteria kecakapan bertindak dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam. c. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan kecakapan bertindak dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam 2. Kegunaan a. Sebagai perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya ilmu perbandingan hukum. b. Diharapkan bermanfaat khususnya bagi penulis, praktisi dan teoritis hukum serta pihak lain yang berkepentingan agar bertambah khazanah pengetahuannya. c. Secara formil, skripsi ini merupakan salah satu syarat penting guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam.
10
D. Telaah pustaka Sebagai langkah awal dalam membahas study perbandingan antara hukum pidana dan hukum pidana Islam mengenai kecakapan bertindak, penyusun terlebih dahulu menelaah buku-buku yang ada relevansinya dengan permasalahan di atas. Moeljatno, dalam bukunya Asa-Asas Hukum Pidana menjelaskan bahwa
kemampuan
bertanggungjawaban
merupakan
unsur
(elemen)
kesalahan atau sifat melawan hukum. 14 Selain karya-karya dalam bentuk buku, ada juga beberapa karya dalam bentuk skripsi diantaranya skripsi yang ditulis oleh Maman Abdurrahman yang berjudul kecakapan hukum menurut hukum Islam dan
hukum adat; suatu studi perbandingan. Dalam skripsi tersebut saudara Maman Abdurrahman membahas tentang kapan orang dianggap memiliki kecakapan hukum menurut hukum Islam dan hukum adat dan juga membahas perbandingan pada kedua hukum tersebut.15 Kemudian saudara Abdullah Nur Wahid dalam skripsinya yang berjudul Kedewasaan Sebagai Kriteria melakukan Tindakan Menurut hukum
Positif membahas tentang kriteria seseorang dalam melakukan tindakan 14 15
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarata; Aneka Cipta 2002), hlm. 168
Maman Abdurrahman, “Kecakapan Hukum Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Perbandingan),” Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Suanan Kalijaga (2003), hlm .9
11
hukum menurut hukum positif, yang dalam hal ini berkenaan dengan tindak pidana.16 Serta saudara Ahmad Fauzi dalam skiripsinya yang berjudul
Kecakapan Subyek hukum studi komparasi hukum perdata dan hukum Islam. Membahas tentang menjadikan makna kecakapan sebagai keadaan telah sampai seseorang pada batasan usia tertentu menurut hukum perdata dan hukum Islam.17 Nasrun Haroen, alam bukunya ‘Ushul fiqh’ menjelaskan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggab sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif.18 Hasanuddin dan Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bukunya
Pengantar Ilmu Hukum menyajikan Kedewasaan dan Undang-Undang Hukum Pidana, dalam salah satu pasalnya yaitu “Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakanya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: menetapkan, supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, dengan tidak dekenakan hukum.”19
16
Abdullah Nur Wahid, “Kedewasaan sebagai Kriteria Melakukan Tindakan Menurut Hukum Positif,” Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (1997), hlm .9 17
Ahmad fauzi, Kecakapan Subyek Hukum, Skripsi Syariah UIN Yogyakarta 2006. hal. 3
18
Nasrun Haroen dan Huzaimah Tahido Yanggo, Ushul Fiqh, (Jakarta Logos, 1996), hlm.
19
Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 18
309
12
E. Karangka Teoritik Pada dasarnya setiap orang mempuyai hak, maka konsekuensi dari hal ini setiap individu mempunyai hak bersikap dan bertindak atau berperilaku. Sikap atau tindakan berprilaku disini mempunyai akibat hukum dengan kata lain menusia atau induvidu itu adalah cakap hukum. Dengan demikian, kapankah induvidu yang notabenya sebagai subyek hukum itu dapat dikatakan cakap untuk bertindak di muka hukum. Sebelum lebih jauh membicarakan masalah kecakapan dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam, alangkah baiknya kita mengatahui kata ‘cakap’ menurut linguistik. Kecakapan dari kata dasar cakap yang berarti pandai,20 mendapat tambahan awalan ke
dan tambahan akhiran an yang berarti sesuatu
mengenai hal cakap. Dalam penyusunan ini kecakapan secara cepat diartikan dengan kedewasaan yang padanan dalam bahasa belanda Handlichting, dalam bahasa latinya Venia aetatis yang dalam bahasa indonesia diterjemahkan menjadi kedewasan. Dalam bahasa Inggris diterjemakahkan
adult, dalam bahasa hukum Belanda tidak di temukan istilah yang dapat diartikan secara langsung dengan kecakapan, karena dalam bahasa hukum belanda yang menyangkut permasalahan subyek hukum adalah person, jadi 20
Suharo dan Tata Iryanto, Kamus Bahasa Indoneisa , (Surabaya: PT Indah, 1989), hlm.32.
13
person merupakan subyek hukum yang sudah mengandung prinsip kecakapan.21 Hukum Romawi sebagai bentuk hukum positif mengadakan pemisahan
antara
pertanggungan-jawab
anak-anak
dengan
pertanggunganjawaban orang dewasa dalam batas yang sempit sekali, yaitu usia 7 (tujuh) tahun. Jadi apabila anak-anak telah berumur 7 (tujuh) tahun ke atas, maka ia dikenakan pertanggunganjawaban pidana sedangkan kalau belum mencapai usia tersebut, maka tidak dikenakan, kecuali kalu ketika memperbuat tindak pidana ia mempunyai niatan untuk merugikan orang lain, maka dalam hal ini akan dikenakan pertanggungan-jawab pidana. Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan: “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai enam belas tahun.” Lain lagi pengertian dewasa menurut hukum adat seseorang dapat dikatakan telah dewasa apabila ia telah “kuat gawe” atau telah mampu mencari nafkah sendiri. Menurut Djurni Witarsa pengertian dewasa, apabila laki-laki telah mencar, mentas, dan keluar jeluar jakun, dan bagi perempuan biasanya ditandai dengan membesarnya payudara. Sedangkan menurut Undang-Undang Hukum Pidana, pengertian dewasa ditetapkan apabila seseorang baik pria maupun wanita apabila ia telah berumur enam belas (16) tahun. Dalam salah satu pasalnya 21
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Bahasa Belanda Indonesia Inggris, (Semarang: CV Aneka, 1977), hlm. 418.
14
ditetapkannya yaitu: “Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakanya ketika umurnya belum enam belas (16) tahun, hakim boleh: memerintahkan supaya si pelaku itu dikembalikan kepada orang tuanya, dengan tidak dikenakan hukuman.”22 Dalam KUHP Indoneisa (pasal 45) apabila seorang anak di bawah umur kurang dari enam belas tahun umurnya, ketika melakukan tindak pidana, maka hakim bisa menetapkan salah satu dari tiga hal yaitu mengembalikan pada orang tua tanpa dijatuhi hukuman, atau diserahkan pada merentah untuk dididik tanpa di jatuhi hukuman, atau dijatuhi hukuman. Hukuman yang di jatuhkan ialah hukuaman pokok maksimal bagi tindak pidana tersebut dikurangi sepertiganya.23 Kemudian dalam hukum Islam, seseorang dikatakan cakap apabila dia mukallaf. Secara etimologi mukallaf, berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah disebut juga disebut mahkum ’alaih (subyek hukum). Jadi orang mukallaf adalah orang yang telah dianggab mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan
laranganya.
Seluruh
tindakan
hukum
mukallaf
harus
dipertanggungjawabkan. Para ulama ushul fiqh membagi ahliyyah “kecakapan menangani suatu urusan”, kedalam dua bentuk, yaitu: ahliyyah al-wuju>b ()اهﻠﻴﺔ اﻟﻮﺟﻮب dan ahliyyah al-ada>' ( )اهﻠﻴﺔ اﻻداء. 22
Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 72.
23
Ahmad Hanafi, Assa-Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 368-372.
15
Ahliyyah al-wuju>b, yaitu sikap kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. hukum
Sedangkan ahliyyah al-ada>‘ , adalah sifat kecakapan bertindak seseorang
yang
telah
dianggab
sempurna
untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatanya, baik yang besifat positif maupun negatif. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memilki Ahliyyah ada>‘ adalah
‘aqil, Balig dan Cerdas. Orang yang dikatakan “cukup umur” apabila seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan haid untuk wanita. Orang seperti ini telah dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan sara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan secara benar.24 Tingkat tertinggi dari kecakapan bertindak menurut hukum Islam yaitu muslim yang merdeka yang sehat ingatan ('aqil) dan cakap umur (balig); dia orang bertanggungjawab sepenuhnya (Mukallaf), artinya dia wajib memenuhi kewajiban-kewajiban agama, dia sepenuhnya dapat dikenakan hukum kriminal, karena cakap melakukan sesuatu dengan sengaja.25 Secara etimologi, Mukallaf bararti yang diberi beban hukum. Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggab mampu bertindak hukum,
24
Nasrun Haroen dan Huzaimah Tahido Yanggo, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1996), hlm
. 309. 25
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta; Islamika, 2003), hlm.186.
16
baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan laranganNya.26 Seorang manusia belum dikatakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang belum berakal, seperti orang gila dan anak-anak tidak dikenakan taklif. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, lupa, karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Sejalan dengan sabda Rasul SAW.:
رﻓﻊ اﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼث ﻋﻦ اﻟﻨﺎﺋﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﻴﻘﻆ وﻋﻦ اﻟﺼﻐﻴﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﺒﺮ وﻋﻦ 27
اﻟﻤﺠﻨﻮن ﺣﺘﻰ ﻳﻌﻘﻞ أو ﻳﻔﻴﻖ
Kemampuan untuk memahami taklif hanya bisa dicapai melalui akal manusia. Akan tetapi karena akal adalah sesuatu yang abtrak dan sulit diukur, maka syara’ menentukan patokan dasar dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi kongkrit itu adalah balighnya seseorang. Baligh itu ditandai bagi pria keluarnya mani dan bagi perempuan keluarnya haid pertama kali.28 26
Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 75.
27
Imam an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i Bab man la> yaqo’ thala>quhu min al-azwa>j, Juz 11 hlm
124. 28
Nasrun Haroen dan Huzaimah Tahido Yanggo, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1996), hlm.
.305.
17
Sebagaimana firman Allah SWT.:
وإذا ﺑﻠﻎ اﻷﻃﻔﺎل ﻣﻨﻜﻢ اﻟﺤﻠﻢ ﻓﻠﻴﺴﺘﺄذﻧﻮا آﻤﺎ اﺳﺘﺄذن اﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻬﻢ آﺬﻟﻚ ﻳﺒﻴﻦ اﷲ 29
ﻟﻜﻢ ﺁﻳﺎﺗﻪ واﷲ ﻋﻠﻴﻢ ﺣﻜﻴﻢ
Dari ayat tersebut, menunjukan bahwasanya anak kecil, orang gila, dan sebagainya tidak dikenakan taklif, karena dalam keadaan atau status mereka masing-masing tidak atau belum mampu memahami dalil syara’.
F. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian Berdasakan tempat dilakukannya penelitian ini, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian penelitian pustaka (library research). Dikatakan penelitian pustaka karena sumber data yang dijadikan objek penelitian ini yaitu berupa buku-buku dan karya tulis lainnya (artikel, laporan penelitian, makalah, dan lain-lain) yang sesuai dengan penelitian ini yaitu kecakapan bertindak studi komparasi dalam hukum pidana dan hukum pidanan Islam. 2. Sifat Penelitian Sifat dari studi pustaka ini bersifat deskriptif-analisis-kompratif, yaitu upaya memecahkan maslah yang diselidiki dengan mengambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian30. Kemudian menganalisis dan
29
Al-Nur,( 24): 59.
18
memperbandingkan subyek atau obyek penelitian tersebut. Maksudnya dalam penelitian akan di paparkan dan dianalisis keadaan dan posisi orang yang telah memiliki kecakapan dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam.
3. Pendekatan Penelitian a. Yuridis, yakni dengan telaah terhadap orang yang sudah dikatakan mempunyai kacakapan menurut hukum pidana dan hukum pidana Islam. b. Pendekatan Ushul al-fiqih, pendekatan ini digunakan sejak kapan seseorang sudah di anggab telah memiliki kecakapan hukum menurut hukum pidana dan hukum pidana Islam. 4. Pengumpulan Data Oleh karena penelitian ini berupa penelitan pustaka (library
research), maka datan penelitian ini adalah bahan pustaka yang membahas kecakapan bertindak (studi komparasi dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam). Sedangkan data sekundernya yaitu berupa kitab ushul fiqih, fiqih dan yang digunakan untuk membahas secara normatif tentang konsep kecakapan. 5. Analisa Data 30
Hadari Nawawi, Metodelogi Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada university Press, 1995), hlm. 63.
19
Data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Deduktif adalah cara menganalisa masalah dengan menampilkan pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.31 Metode ini diperuntukan bagi pembahasan mengenai kecakapan dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam. Sedangkan metode induktif digunakan dengan berangkat dari norma-norma yang khusus yang digeneralisasi untuk ditarik asas atau doktrin umum hukum.32 Metode ini dipergunakan untuk mengetahui maksud dan tujuan kecakapan dalam hukum pidana dan pidana Islam.
G. Sistematika Pembahasan Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun membagi kedalam beberapa bab yang saling berkorelasi, kemudian dibagi lagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun sistimatika pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari barapa subbab. Pertama, latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti dalam hal ini mengenai kecakapan dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam. Kedua, pokok maslah yang merupakan penegasan terhadap apa yang dikandung dalam sub latar 31
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. Ke-4, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987) , hlm.48-49. 32
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999), hlm. 9
20
belakang masalah. Ketiga, tujuan dan kegunaan yaitu; tujuan yang akan dicapai dalam penelitian. Keempat, telaah pustaka yang berisi penulusuran terhadap literatur yang ada kaitanya dengan obyek penelitian. Kelima, karangka teoritik yang berisi acuan yang digunakan dalam memecahkan maslah. Keenam, metode penelitian yang berisi seperangkat alat/metodemetode
yang
digunakan
dalam
penelitian.
Ketujuh,
sistematiaka
pembahasan. Bab kedua, kecakapan dalam hukum pidana. Pembahasan ini terdiri dari 5 (Lima) sub-bab. Pertama, pengertian hukum pidana menjelaskan apa yang dimaksud dengan hukum pidana. Kedua, sumber-sumber hukum pidana menjelaskan dari mana hukum pidana yang berlaku di indonesia itu bersumber. Ketiga, karakteristik hukum pidana mejelaskan berbagai karakter-karakter hukum pidana yang berlaku di indonosia. Keempat, kecakapan dalam hukum pidana menjelaskan manusia sebagai subyek hukum dalam hukum pidana. Kelima, dasar-dasar kecakapan dalam hukum pidana menjelaskan tentang kapan dan bagaimana subyek hukum itu cakap bertindak dalam hukum pidana. Bab ketiga, kecakapan dalam hukum Islam. Pembahasan ini terdiri dari 5 (Lima) sub-bab. Pertama, pengertian hukum Islam menjelaskan apa yang dimaksud dengan hukum Islam. Kedua, sumber-sumber hukum Islam menjelaskan dari mana hukum Islam itu bersumber. Ketiga, karakteristik hukum Islam menjelaskan berbagai karakter-karakter hukum Islam.
Keempat, kecakapan dalam hukum Islam menjelaskan tentang mukallaf
21
yaitu orang yang dibebankan hukum Islam. Kelima, dasar-dasar kecakapan mukallaf dalam hukum Islam menjelaskan tentang kapan dan bagaiman seorang mukallaf itu cakap bertindak menurut hukum Islam. Bab keempat, membahas analisa perbandingan kecakapan subyek hukum di dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam. Kerena skripsi ini pokok permasalahanya adalah perbandingan, maka dalam menganalisa dan mengacu pada perbedaan dan persamaan kecakapan yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam ditinjau dari aspek pengertian, aspek pembagian kecakapan dan aspek penghalang kecakapan dan aspek krteria Kecakapan Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesipulan yang merupakan jawaban dari pokok maslah yang ada dan saran.
57
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas tentang kecakapan bertindak hukum yang terdapat dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, kecakapan dalam hukum pidana diistilahkan dengan kedewasaan seseorang. Dalam hal ini dapat diartiakan bahwa person (Seseorang) dengan usia yang telah di tentukan menjadi cakap hukum berarti telah dewasa dan cakap hukum, dalam artian bahwa kecakapan hukum dalam hukum pidana positif diartikan dengan kedewasaan umur seseorang, yakni sebagaimana di sebutkan dalam Undang-Undang Hukum Pidana ketika seseorang telah mencapai umur 16 tahun dan juga kecakapan dalam hukum pidana dikaitkan dengan keadaan telah menikah dan juga kecakapan bertindak hukum pidana didapat dengan pendewasaan (handlichting). Kecakapan dalam hukum Islam selalu mendapatkan aspek keadilan hukum, yang dalam hal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang telah mengalami pristiwa-peristiwa yang secara biologis menunjukkan tanda-tanda balig, sebagai syarat sah dari kecakapan dapat diartiakn telah cakap hukum, karena ia telah memilkiki kecakapan bertindak (Ahliyyah al-‘ada’) secara
58
sempurna atau telah mencapai kesempurnaan akal maskipun usia seseorang tersebut belum dapat dianggap telah dewasa. Kedua, persamaan dalam kedua hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah sebagai subyek hukum yang dapat dibagi menjadi subyek yang sudah cakap hukum dan subyek yang belum cakap hukum dan keduanya telah sama-sama mengatur kecakapan dalam hukum. Persamaan selanjutnya adalah tentang urgensi kemampuan akal untuk menentukan cakap tidaknya tindakan seseorang. Juga sama-sama memberikan kelonggaran sistem perwalian bagi yang belum cakap hukum juga menjadi obyek persamaan misi dari kedua hukum tersebut. Perbedaan yang paling prinsipil dalam kecakapan ini terletak pada penetapan kecakapan. Karena hal ini merupakan dasar keterkaitan umur dengan perbuatan hukum pidana dan dasar biologis dalam hukum Islam. Selain itu juga terdapat perbedaan tujuan hukum yang menyangkut tujuan ketertiban dan kepastian dalam hukum pidana dan tujuan keadilan dalam hukum Islam. Perbedaan berikutnya adalah perbedaan pembagian kecakapan atau periodesasi manusia untuk dapat dipandang cakap betindak hukum. Dalam hukum pidana positif terdapat pembagian cakap hukum menjadi subyek yang belum dewasa yakni yang belum genap berumur 16 tahun dan dalam keadaaan belum menikah serta subyek yang sudah dewasa, yakni telah memiliki usia 16 tahun dan sudah menikah juga melalui atau pendewasaan dengan mengajukan
59
kepada pengadilan untuk mendapat hak-hak kedewasaan dalam tindakan hukum tertentu. Dalam kaitanya dengan kecakapan bertindak, dalam hukum Islam membagi keadaan seseorang menjadi beberapa periode, yakni periode janin, kanak-kanak, tamyiz, dan balig. Demikian juga mengenai hal-hal yang dapat menjadi penghalang kecakapan. Dalam hukum pidana diistilahkan dengan ketidak-wenangan hukum dibagi menjadi dua, berdasarkan kenyataan dan berdasar hukum. Sedang dalam hukum Islam lebih spesifik lagi mambagi penghalang kecakapan kepada halangan yang tidak dapat dihindari dan penghalang yang seseorang itu dapat dihindarinya.
B. Saran Melihat perkembangan yang demikian, penyusun dalam perbandingan hukum ini tidak ingin nantinya melihat hanya secara riil perkembangan hukum asing yang ada di Indonesia. Hukum pidana merupakan produk hukum Belanda yang asing bangsa Indonesia, demikian juga hukum Islam, maskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, namun dalam pembentukan hukum seharusnya terarah kepada hukum yang bermanivestasikan dari hukum bangsa sendiri bukan hukum asing. Bukankah dalam hukum Islam juga ada prinsip hukum disesuikan dengan ruang lingkup perkembangan budaya dan peradaban?
60
Jika demikian maka sebagai sebuah saran untuk perluasan pemikiran hukum Indonesia, penyusun meyarankan dalam pembentukan hukum yang berwawasan nasional tidak boleh mengabaikan aspek-aspek hukum yang ada dalam masyarakat. Penelitian yang berkaitan dengan prinsip cakap hukum masih sangat minim, ini ditemui penyusun ketika mencari rujukan yang membahas mengenai prinsip kecakapan. Mungkin hanya beberapa buku yang membahas tentang persoon saja khususnya dalam hukum pidana positif, demikian juga dalam hukum Islam. Penyusun berpendapat mungkin kajian mengenai prinsip kecakapan selalu dalam pembahasan awal pada sebuah kitab hukum, karena setiap hukum pada awalnya membahas subyek yang dianggap dapat dikatakan sebagai subyek hukum. Maka dengan adanya permasalahan yang berkembang dalam permasalahan prinsip kecakapan dalam hukum ini kiranya dapat menjadi sumbangan dan saran bagi akademisi di bidang hokum dan juga hakim di lingkungan pengadilan dan advokat untuk dapat mengembangkan wacana perbandingan prinsip-prinsip kaitannny dengan perbandingan antara dua sistem hukum ini. Sebagai penutup, skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka saran dan kritik yang membangun selalu penyusun harapkan, demikian juga bila ada kesalahan-kesalahan dalam penyusunan dan pemahaman dari skripsi. Kiranya
61
saran tresebut dapat menjadi dukungan demi obyektifitas penulisan-penulisan ilmiah berikutnya.
61
DAFTAR PUSTAKA A. Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, Lubuk Agung, 1989. B. Hadist Adib Bisri Musthofa, Terjemah Shahih Muslim, Jilid 1, Semarang, Asy Syifa, 1992. Imam an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i Bab man la> yaqo’ thala>quhu min al-azwa>j, Juz 11 hlm 124. Maktabah al-Syamilah
C. Fiqh/Ushul Fiqh Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung, CV Pustaka Setia, 2000 Poernomo, Bambang, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta, Liberti 1993 Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; PT. Pustaka Al Husna Baru, 2004. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002 Muslich Ahmad Wardi, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Jakarta, Sinar Grafika, 2006. Fauzi, Ahmad, Kecakapan Subyek Hukum (Study Komparasi Hukum Perdata dan Hukum Islam), Skripsi tidak diterbitkan, Syariah UIN, 2006 Hanafi Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993. Najib,
Mohammad, Demikrasi Dalam Yogyakarta; PKPSM, 1996
Prespektif
Budaya
Nusantara
Abdurrahman, Kecakapan Hukum Islam dan Hukum Adat (Study Perbandingan),” skripsi ini tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Suanan Kalijaga 2003
62
Abdullah Nur Wahid, “Kedewasaan sebagai Kriteria Melakukan Tindakan Menurut Hukum Positif,” Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (1997). Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1989
Suharo dan Tata Iryanto, Kamus Bahasa Indoneisa , Surabaya: PT Indah, 1989 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang: CV Aneka, 1977 Schacht, Josph, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta, Islamika, 2003 Nawawi Hadari, Metodelogi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1995 Suriasumanti, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Jakarta, Sinar Harapan, 1987 Amir Mu’allim dkk, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001 Soemardi, Dedi Sumber-Sumber Hukum Positif, Bandung :PT Alumni, 1986 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid 1, Jakarta, Balai Pustaka, 1999 Rofiq, Ahmad, ”Hukum Islam Di Indonesia” Cet ke-VI, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2003
Hasbi Ash-Shidiqy, ”Pengantar Ilmu Fiqh” (Jakarta: 1979, bintang)
Bulan
Sahal Mahfud, ”Nuansah Fiqh Sosial “ Yogyakarta: LkiS, 1994 Abd al-Wahhab, Ilmu Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) Muhammad Abu Zahrah, “Usul al-fiqh”, Beirut : Dar al-fikr al-Arabi, 1958 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, PT Bumi Aksara, 1999.
63
Zulkarnain, Praktek Peradilan Pidana Panduan Praktis Kemahiran Hukum Acara Pidana, Madang, Institute for Strengthening Transition Society Studies, 2006 Morris Ginsberg, Keadilan Dalam Masyarakat, Pondok Edukasi, Bantul Yogyakarta, 2003.
D. Lain-lain Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya, PT Indah, 1989 Kamus Hukum Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang CV Aneka, 1977 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2007. ttp://WWW, Merapi Onlinei, Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Index.php/hukum 3378 akses pada tanggal 28 Oktober 2009. Mazhabuna, Media Transformasi Pemikiran keIslaman, Fiqh Multikultural, mempertimbangkan pluralitas bidaya di Indonesia, Edisi 0- 2005 Departemen Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam "ISTIQRO'" Jurnal Penelitian Islam Indonesia 2004
TERJEMAHAN
BAB I No
HLM
FTN
1.
3
4
No
HLM
FTN
1.
17
5
TERJEMAHAN Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
BAB II TERJEMAHAN Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
BAB III No
HLM
FTN
1.
39
4
2.
40
7
3.
41
8
4.
41
9
TERJEMAHAN Sesungguhnya Aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa I
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
5.
6.
7.
8.
41
55
56
57
10
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
31
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
33
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
34
Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik[325], niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi syafa'at yang buruk[326], niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. II
9.
10.
6.
7.
8.
58
58
58
59
59
38
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan kebajikan dan jalan kejahatan)
39
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
40
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
41
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?
42
Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: "Kami telah beriman", Padahal mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.
FTN
TERJEMAHAN
2
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putusputusnya. Maka Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keteranganketerangan) itu? Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?
BAB IV No
1.
HLM
61
III
2.
62
4
Sesungguhnya Aku (Muhammad) menyempurnakan akhlaq.
3.
63
5
Orang mukmin yang paling sempurna imanya adalah orang yang paling baik budi pekertinya.
4.
69
9
Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak yang baik.
5.
71
10
Kebaikan adalah budi pekerti yang baik.
IV
diutus
untuk
CURRICULUM VITAE Nama Lengkap
Ismamuddin
Tempat dan tanggal lahir
Sumenep, 07 Juli 1987
Pekerjaan
Mahasiswa
Alamat
Kompleks Arhath Sport Centre No. B6, Jl. H. Nawi Malik, Pondok Petir, Sawangan, Depok.
Pendidikan Formal
a. b. c. d.
Pendidikan Informal
SDN Arjasa II, Arjasa, Sumenep SMP Ibrahimi Situbondo Jatim SMA Ibrahimy, Situbondo Jatim Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakar
a. Training Pendidikan Multikulturanisme 2008 b. Dan lain-lain dalam bentuk seminar, lokakarya dan pelatihan baik lokal, nasional
Riwayat Pekerjaan Riwayat Organisasi
a. Ketua Umum Forum Komonikasi Remaja Kagean (FKRK) b. Sekertaris Umum IKASASS c. Ketua Umum Keluarga Kangean Yogyakata (K2Y) d. Pimred KORDISKA UIN e. Ketua KORDISKA UIN f. Pengurus Rayon PMII Fak Syariah UIN g. Sekertaris Umum PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga yogyakarta h. Dewan Pengurus Pusat FORMASI i. Dewan Suro Partai PRM j. Pendiri dan Dewan Pembina Partai PRM
Karya-Karya
a. Beberapa tulisan di Jurnal/ majalah dan Bulitin b. Peresensi Buku di berbagai media nasional
Penguasaan Bahasa Asing
a. Inggris)