KEBUTUHAN POKOK DASAR
Pengertian kebutuhan dasar selalu berhubungan dengan kemiskinan dan kebutuhan pokok berhubungan dengan dua aspek. Pertama, haras memasukkan persyaratan-persyaratan minimum bagi individu atau keluarga bagi konsumsi pangan yang cukup, perlindungan dan pakaian sampai batas tertentu dan perlengkapan perabot rumah tangga. Kedua, pelayanan-pelayanan esensial atau mendasar yang sebagian besar disediakan oleh dan untuk masyarakat seperti air bersih, sanitasi, transportasi umum, fasilitas pendidikan dan kesehatan (ICO, 1970). Indikator kebutuhan pokok sangat beragam untuk negara maju maupun negara sedang berkembang, akan tetapi ada beberapa kesamaan yang cukup mendasar. Hampir semua memasukkan variabel kesehatan, pendidikan, pangan, persediaan air bersih dan sanitasi. Hal yang sekiranya perlu dicermati adalah ukuran atau satuan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar belum disebutkan sehingga agak sakit dalam pelaksanan pengukuran. Pada awal 1960 an, paling tidak untuk Indonesia telah muncul Kebutuhan Fisik Minimum (FM) yang berisikan jenis dan satuan komoditas yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan model KFM kebutuhan dasar dibagi dalam 5 kelompok yaitu: 1. Bahan makanan dan minuman yang mencakup 17 jenis komoditas 2. Bahan bakar dan penyeduh mencakup 4 jenis komoditas 3. Perumahan dan peralatan mencakup 11 jenis komoditas 4. Pakaian mencakup 10 jenis komoditas 5. Lain-lain seperti: transportasi, rekreasi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain sebanyak 15 persen dari total/ nilai harga kelompok 1+2+3+4. Untuk mendapatkan jumlah rupiah yang dibutuhkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar maka setiap satuan jenis komoditas (kg, liter, buah, potong) dikalikan dengan harga komoditas di daerah setempat. Langkali berikutnya kemudian dijumlahkan dari kelompok 1+2+3+4. Untuk kelompok 5 dihitung dengan cara 15% dikalikan dengan jumlah kelompok 1+2+3+4, dan jumlah total merupakan penjumlahan kelompok 1+2+3+4+5. Inilah jumlah rupiah yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar model KFM. Pada perkembangan berikutnya, pendekatan KFM dianggap tidak sesuai lagi kerana hanya mengukur kebutuhan fisik saja yang kemudian diganti dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Asumsinya
adalah berbagai jenis dan satuan komoditas untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang ada di KHM lebih baik daripada KFM. Perlu diketahui bahwa satuan komoditas yang ada pada KFM merujuk pada kebutuhan imtuk pekerja lajang (PL) dan untuk pekerja dengan isteri + anak (K2), pekerja dengan isteri + 2 anak (K3) menggunakan jenis komoditas yang sama namrni satuan ukuran komoditas yang berbeda-beda. Hal yang sama juga berlaku untuk KHM. Kebutuhan Hidup Minimum dikelompokkan menjadi empat bagian dengan rincian sebagai berikut: 1. Makanan dan minuman mencakup 9 komoditas, sedangkan bumbu di hitung 12 persen dari nilai makanan dan minuman. 2. Sandang dan pakaian mencakup 4 komoditas, sedangkan pakaian lain-lain adalah 25 persen dari jumlah empat komoditas. 3. Peramahan dan fasilitas mencakup 14 komoditas, sedangkan bahan bakar dihitung 10 persen dari jumlah 14 komoditi perumahan dan fasilitas. 4. Lain-lain mencakup transportasi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain dihitung sebanyak 20 persen dari total kelompok 1+2+3.
PEMANFAATAN SUMBER DAYA MANUSIA Jumlah dan pertiimbuhan serta struktur SDM berhubungan dengan pemanfaatan (utilization) dalam arti mampu secara aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa yang berguna bagi masyarakat. Sejalan dengan hal ini maka SDM dikelompokkan ke dalam tiga bagian yaitu kelompok belum produktif, kelompok produktif dan sudah tidak produktif lagi. Kesulitan dalam menentukan atau membuat kriteria produktif dan tidak produktif, akhirnya hanya menggunakan batasan umur sebagai pengukuran tidak langsung tentang produktif dan tidak produktif. Seseorang yang telah mencapai umur tertentu di masukkan ke dalam kelompok produktif dalam arti mereka mampu aktif secara ekonomis untuk menghasilkan barang dan atau jasa yang berguna bagi masyarakat. Batasan usia produktif untuk setiap negara berbeda-beda, ada yang menggunakan batasan 10 th+ yang kemudian direvisi*menjadi 15 th+. Penggolongan usia produktif dan tidak produktif hanya ada dua kelompok yaitu usia tidak produktif (0-14) dan usia produktif (15+). Tidak menggunakan usia tidak produktif lagi yaitu kelompok usia lanjut seperti 55 th+, 60 th+, 65 th+ dan setenisnya. Pada sisi lain, setelah Indonesia menandatangani konvensi hak anak dan program wajib belajar 9 tahun, maka batas usia kerja anak menjadi tidak begitu jelas. Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja Kriteria penduduk usia kerja adalah umur 15 th dan lebih, meskipun ada yang menggunakan 15-64 tahun. Di Indonesia menggunakan usia 15 th, meskipun pada pengumpulan data menggunakan batasan umur 10 th+. Berdasarkan kegiatan utama yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, seperti seminggu sebelum pencacahan penduduk usia kerja (man power) dibedakan ke dalam kelompok angkatan kerja (labour force) dan yang bukan angkatan kerja (not in labour force). Angkatan kerja, berdasarkan kegiatan utama dibedakan ke dalam kelompok bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Kemudian bagi kelompok bukan angkatan kerja dibedakan ke dalam kelompok mengurus rumah tangga, sekolah, dan lain-lain seperti: penerima pendapatan, pensiun, cacat tubuli, dan sejenisnya. Di samping ditanyakan tentang kegiatan utama, ditanyakan pula tentang kegiatan tambahan sehingga ada yang termasuk ke dalam bukan angkatan kerja seperti sekolah, mengurus rumah tangga menyatakan mempunyai pekerjaan, dan pekerjaan ini adalah pekerjaan tambahan.
Kesempatan Kerja Secara umum batasan tentang kesempatan kerja adalah peluang pekerjaan yang dapat terisi dan peluang kerja yang tidak terisi. Peluang kerja yang terisi dapat dilihat menurut lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan dan status pekerjaan, sedangkan peluang kerja yang tidak terisi lebih dikenal dengan lowongan pekerjaan. Banyaknya
lowongan
pekerjaan
yang
tidak
terisi
lebih
disebabkan
oleh
ketidaksesuaian antara kualifikasi yang dimiliki oleh calon pekerja dengan yang dibutuhkan seperti yang biasanya tercermin pada iklan pada berbagai surat kabar. Ketidaksesuaian antara jumlali/ volume pekerjaan yang ada dengan jumlah pekerja melahirkan konsep tentang setengah pengangguran dalam berbagai bentuk.
Pengangguran Terbuka dan Setengah Pengangguran Pengangguran terbuka (open unemployment) adalah perbandingaa antara jumlah pencari kerja/ penganggur dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Pencari kerja adalah mereka yang kegiatan utama aktif mencari pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Angka pengangguran terbuka digunakan sebagai indikator tentang pemanfaatan SDM dalam arti keberhasilan pembangunan di sektor ketenagakerjaan. Pada sisi lain, dikenal pula tentang setengah pengangguran yang merupakan indikator ketidak-cukupan pekerjaan bagi yang bekerja atau terlalu banyak jumlah pekerja yang ada dibandingkan dengan jumlah pekerjaan yang ada. Dalam perkembangan berikutnya berbagai parameter setengah pengangguran muncul dalam berbagai bentuk seperti setengah pengangguran sukarela (SPS), setengah pengangguran terpaksa (SPT), setengah pengangguran terpaksa aktif (SPTA), dan setengah pengangguran terpaksa pasif (SPTP).
UPAH DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Pendahuluan Produktivitas kerja adalah kata kunci dalam masalah ketenagakerjaan teratama aspek kerja. Kesejahteraan fisik dan non fisik pekerja sangat menentukan produktivitas. Ketidakcukupan pangan, sandang, papan dan kebutuhan dasar lainnya seperti yang ada pada KHM akan berpengaruh pada motivasi dan etos kerja, disiplin, ketrampilan, dan penguasaan teknologi. Produktivitas dan kesejahteraan pekerja kalau boleh ibarat selembar uang sepuluh ribu rapiah, dimana kedua gambar tersebut tidak dapat dilepaskan. Kesejaliteraan minimal pekerja dapat diukur dari seberapa jauh upah yang diterima dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup. Pemerintah teleh menentukan Upah Minimum Regional (UMR) dan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) sebagai upaya mengukur kesejahteraan pekerja. Alcan tetapi, dalam sejarah belum tercatat bahwa jumlah UMR lebih besar daripada KHM. Sikap pemerintah mengenai kebijakan penentuan upah minimum yang berlaku hingga saat ini bersifat ambivalen. Pemerintali ingin meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pekerja. Akan tetapi, intervensi pemerintah pada penentuan UMR sepertinya berpihak pada pengusaha sedangkan di sisi lain pekerja sendiri diperbolehkan unjuk rasa/ mogok untuk menuntut haknya. Menurut pekerja apabila upah tinggi maka produktivitas akan tinggi dan sebaliknya, sedangkan bagi pengusaha upah akan tinggi apabila produktivitas tinggi dan sebaliknya. Dalam hal ini upah identik dengan kesejahteraan pekerja, sedangkan produktivitas adalah rasio keluaran (output) terhadap masukan (input) dan produktivitas identik dengan pengusaha. Pengukuran keluaran dapat dinyatakan per pekerja, per jam, per minggu, per tahun dan sejenisnya. Sedangkan masukan dapat dibedakan antara jumlah pekerja/ sumber daya manusia dan bukan pekerja dimana satuannya sangat beragam. Makalah ringkas ini membahas tolak ukur peningkatan produktivitas kerja dan kesejahteraan pekerja.
Produktivitas Kerja Meskipun perhatian terhadap konsep dan pengukuran produktivitas sudah demikian meluas namun kegalauan masih selalu muncul dari penerapannya, karena adanya konsep yang ambigu tentang produktivitas itu sendiri. Secara umum produktivitas diartikan sebagai efisiensi dalam penggunaan sumber daya untuk
menghasilkan keluaran. Ukuran produktivitas pada umumnya adalah rasio keluaran terhadap masukan (Mark, 1983). Istilah keluaran (output) adalah jumlah/ volume dari produk, sedangkan yang dimaksud dengan masukan (input) adalah semua sumber daya yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan keluaran tersebut. Dalam hal ini dapat terdiri dari pekerja (labour), modal dan sumber daya alam (input phisik) dan input yang tidak terlihat (invisible input) termasuk di dalamnya motivasi, pengetahuan, teknologi dan organisasi. Dalam praktiknya perlu dirumuskan tentang variabel apa saja yang dimasukkan dalam input dan output agar kegalauan dan ambigu dapat dihindari. Pengertian produktivitas sendiri sudah muncul pertama kali pada tahun 1766 oleh Quesnay (seorang ekonom) Adam Smith, Karl Mark, Taylor, Webster, dan Paul Mali. Di Indonesia pada era 1980-an, dibentuk Dewan Produktivitas Nasional. Pengertian produktivitas secara umum adalah: sikap mental yang selalu mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada. Suatu keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan pekerjaan dengan cara yang lebih baik hari ini daripada kemarin, dan hari esok akan lebih baik lagi daripada hari ini. Istilah produksi dan produktivitas pada dasarnya berbeda. Peningkatan produksi menunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan produktivitas adalah pertambahan hasil dan perbaikan cara pencapaian produksi itu sendiri. Dengan demikian, peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas sebab produksi dapat meningkat walaupun produktivitas tetap dan atau menurun (Ravianto, 1986). Paling tidak ada tiga bentuk dalam peningkatan produktivitas yakni: 1). Jumlah output meningkat dapat dicapai dengan jumlah input yang sama. 2). Jumlah output menmgkat dan atau sama dapat dicapai dengan jumlah input yang lebih sedikit. Dan 3). Jumlah output yang diperoleh jauh lebih banyak dengan pertambangan jumlah input yang lebih kecil. Dengan demikian produktivitas pekerja mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta pekerja tersebut per satuan waktu. Sebagai contoh misalnya, ada lima karyawan yang diberi tugas mengetik laporan penelitian dari jam 08.00 - 16.00 selama dua hari. Hasilnya dapat dilihat siapa karyawan tersebut yang cukup produktif dan kurang produktif. Perbedaan produktivitas karyawan tersebut dapat dipengarahi oleh banyak faktor, beberapa diantaranya sebagai berikut:
1. Pendidikan
6. Gizi dan kesehatan
11. Teknologi
2. Ketrampilan
7. Penghasilan/upah
12. Sarana produksi
3. Disiplin kerja
8. Jaminan sosial
4. Sikap dan etika kerja
9. Lingkungan kerja
5. Motivasi kerja
10. Hubungan industrial
13. Manajemen 14. Kesempatan berprestasi
Pembahasan pada produkitivitas pekerja sekiranya perlu dilihat dari dua aspek yakni bagi pekerja itu sendiri dan yang mempekerjakan/ pengusaha. Upah bagi pekerja misalnya, cukup berperan dalam membentuk sikap mental bahwa apa yang mereka kerjakan pada hari ini hasilnya akan lebih bagus daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Pengukuran produktivitas kerja dapat dibedakan menjadi beberapa tingkat seperti produktivitas kerja tingkat nasional dan sektoral, tingkat perusahaan dan nilai tambah dan laba. Oleh karena • terbatasnya referensi yang ada pada penulis, maka pembahasan produktivitas hanya pada produktivitas nasional dan sektoral. Keluaran diukur dari Produk Domestik Bruto (GDB) dengan mengabaikan berbagai kelemahan yang ada dan masukan adalali jumlah pekerja tanpa memperhatikan variabel lain seperti jam kerja. Produktivitas nasioanal dapat dihitung bedasarkan jumlah PDB dibagi dengan jumlah pekerja. Akhirnya didapatkan angka produktivitas kerja pada tingkat nasional. Produktivitas sektoral dapat diukur dari jumlah PDB menurut sektor yang biasanya menggunakan 9 sektor, kemudian dibagi dengan jumlah pekerja pada setiap sektor. Apabila data PDB dapat dirinci ke dalam dua atau empat digit demikian pula untuk pekerja maka akan didapatkan produktivitas sektor maupun sub sektor. Kesemuanya itu sangat tergantung pada ketersediaan data pekerja dan PDB dalam satu, dua atau tiga digit. Apabila data PDB dan jumlah pekerja per sektor atau subsektor tersedia dapat dicoba untuk dihitung. Kemudian untuk meningkatkan produktivitas kerja harus memperhatikan dari 14 aspek yang berhubungan dengan hal tersebut. Pertanyaannya adalah apakah instansi/ perusahaan mampu melakukan intervensi secara integral dari ke 14 aspek tersebut yang banyak berperan dalam peningkatan produktivitas?
Kesejahteraan Pekerja Dalam situasi ekonomi yang sulit ini dampak terhadap bidang ketenagakerjaan semakin berat dirasakan. Menurut laporan ILO dan UNDP (1998) pada April jumlah penganggur penuh (open unemployment} hasil estimasi dari Departemen Tenaga Kerja telah mencapai 13,7 juta, sedangkan menurut Bappenas pada Juni diperkirakan 12,4 juta. Sementara itu laporan dari Departemen Tenaga Kerja pada bulan Januari 1999 jumlah penganggur diperkirakan telah mencapai 16,9 juta yang terdiri atas 6,1 juta penganggur penuh dan 10,8 juta penganggur tidak penuh (Kompas, 19 Februari 1999). Pada sisi lain, dari kelompok akademis memperkirakan bahwa jumlah penganggur dalam segala bentuknya jauh lebih banyak daripada berbagai laporan tersebut. Apapun model perkiraan yang digunakan, jumlah penganggur yang ada jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan oleh instansi pemerintah. Pembahasan tentang kesejallteraan pekerja alam hubungannya dengan pengangguran, lebih menekankan pada bentuk setengah penganggur atau penganggur tidak penuh dan mereka yang bekerja penuh serta yang bekerja dari batas jam kerja menurut peraturan yang berlaku seperti yang dibahas pada sisi sebelumnya. Mereka yang berada pada kelompok penganggur tidak penuh dan yang bekerja jauh melebihi batas ketentuan yang berlaku, diidentifikasikan sebagai pekerja miskin. Ada pula yang mengatakan bahwa sebagian dari penganggur penuh berasal dari keluarga miskin, meskipun belum seluruhnya benar. Seperti yang dibahas oleh Suroto (1992), Simanjuntak ( 1986) maupun Departemen Tanaga Kerja sendiri (1997) bahwa pekerja miskin dapat saja ditemukan pada kelompok penganggur tidak penuh dan dari mereka yang bekerja penuh maupun bekerja dengan curahan kerja yang berlebihan. Yang penting adalah mengukur atau memperkirakan jumlah pekerja miskin yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada jumlah penganggur dalam segala bentuk. Pemerintah telah menetukan Standar Upah Minimum Regional (UMR) sebagai upaya untuk memantau kesejallteraan pekerja. Tujuan dihitungnya UMR untuk melihat seberapa jauh Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dapat dicukupi dari UMR. Sejak zaman Orde Bam sampai Orde Reformasi, belum pernah dicapai bahwa UMR yang diberikan kepada pekerja beserta keluarganya, jumlahnya sama dengan atau melebihi jumlah KHM. Sampai saat ini Jumlah UMR yang diberikan hanya sekitar 80 persen
dari jumlah KHM. Ironis memang, untuk hidup minimum sesuai dengan standar KHM, pemerintah dengan berbagai pertimbangan belum pernah mengijinkan. Pada Tabel 1 disajikan rincian komponen KFM dan KHM sebagai satuan kebutuhan berbagai komoditi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kebutuhan hidup minimum. Terpenuhinya berbagai kebutuhan tersebut diharapkan pekerja bersama keluarga dapat memenuhi standar minimal kesejahteraannya. Kemudian pada Tabel 2 disajikan jumlali upah minimum (UMR) yang mulai berlaku April 1999. Untuk Daerali Istimewa Yogyakarta, UMR pekerja lajang sebesar Rp. 130.000 per bulan atau rata-rata sekitar Rp. 4.300 per hari. Dengan membandingkan berbagai barang kebutuhan yang dibutuhkan untuk mencapai KHM kemudian ditransformasikan dengan harga dari berbagai barang kebutuhan tersebut akan didapatkan jumlah satuan rupiah dari KHM. Kemudian, kita bandingkan jumlah UMR dengan KHM dan apakah besarnya UMR sampai mencapai 80 persen terhadap KHM seperti yang dikatakan oleh Dirjen Binawas (Kompas, 19 Februari 1999). Suatu hal yang cukup membuat galau para pekerja yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bagaimana acara Dewaii Penentuan Pengiipalian Daerah (DPPD) menghitung UMR sehingga ditemiikan angka yang kurang realistis ini. Angka UMR yang sangat tidak realistis ini masili dapat ditiirunkan lagi oleh perusahaan yang merasa belmn mampu memenuhi batasan minimal UMR tersebut. Ini berarti UMR dapat lebih rendah dari ketentuan yang sudah ditetapkan. Tolak ukur kesejahteraan pekerja, dengan berbagai kelemahan yang ada dapat menggunakan parameter KHM. Akan tetapi, pemerintah yang dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja sangat jarang mengiimumkan atau menetapkan jumlah KHM yang diperlukan. Terlalu sibuk memperkirakan berapa kenaikan UMR yang diasumsikan dapat meningkatkan pekerja. Tiap tahun selalu diumumkan UMR baru yang berlaku untuk tahun yang sedang berjalan. Akan tetapi, pemerintah sangat jarang mengiimumkan jumlah KHM dan kalaupun ada, hanya satuan komponen kebutuhan KHM tanpa merujuk harga yang berlaku untuk setiap barang kebutuhan tersebut. Nampaknya, diperlukan suatu keberanian dari DPPD dan DPPN untuk mengiimumkan secara terbuka besarnya KHM atau KHMR, sebab tanpa mengiimumkan besarnya KHMR dan UMR secara bersama-sama, maka tujuan untuk mengukur kesejahteraan tidak akan tercapai. Apabila upah pekerja standar UMR diasumsikan merupakan satu-satunya sumber penghasilan maka akan mengakibatkan beberapa hal antara lain:
Pertama, upah minimum memang betul-betul rendah dan tidak mungkin diandalkan untuk mempertahankan hidup apalagi sejahtera. Kedua, UMR mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap pekerja. Ketiga, adanya gejala subsidi pekerja terhadap pemilih usaha. Keempat, berkaitan dengan kondisi pasar kerja yang mengalami penawaran yang berlebihan daripada permintaan, sangat sulit UMR diharapkan sebagai tolak ukur kesejahteraan pekerja. Oleh sebab itu, adalah wajar dalam upaya untuk dapat bertahan hidup pada standar UMR, para pekerja harus masuk ke dalam lingkungan hutang yang tidak pernah putus. Apa yang dikatakan Todaro (1989) ada benarnya. Mereka itu tinggal pada lingkungan dengan standar hidup rendah, sekedar mengkonsumsi makanan seadanya, dan kalau perlu berpuasa untuk dapat hidup hingga akhir bulan. Dalam kondisi seperti ini sangat ironis apabila masih dituntut produktivitas kerja. Menurut Dedy Haryadi (1994) dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia, masalah produktivitas belum menjadi hal yang sangat penting untuk didiskusikan meskipun keduanya saling berkaitan. Adanya dualisme yang saling bertentangan karena adanya sudut pandang pekerja dan kelompok pengusaha. Dari kelompok pekerja menyatakan bahwa upah yang tinggi maka produktivitas kerja akan tinggi pula dan sebaliknya. Dari kelompok pengusaha yang mempekerjakan buruh mengatakan hal yang sebaliknya, produktivitas tinggi maka upah yang diberikan akan tinggi pula dan sebaliknya. Apabila direnungkan kembali tentang masalah upah yang rendah, apa sebetulnya yang diharapkan dari para pengusaha dan pekerjanya yang kurang gizi, kurang sehat, etos kerja rendali, serta ciri-ciri lain yang melekat pada pekerja itu sendiri, yang kurang mendukung untuk berprestasi kerja. Pekerja macam apa yang diinginkan oleh pemerintah melalui interensi dalam penentuan UMR sehingga belum pernah sama atau lebih besar jumlahnya dengan KHM. Pemerintah sepertinya terbius oleh laporan pengusaha yang belum tentu betul. Sampai saat ini belum dapat diketahui, komponen upah buruh merupakan komponen yang sangat mahal sehingga haras dibayar murah atau sekedar memanfaatkan pasar penawaran tenaga kerja yang berlebihan, sehingga pengusaha dapat menekan upah. Tolak ukur kesejahteraan pekerja selain KHM dan UMR dapat menggunakan pendekatan indikator sosial ekonomi seperti yang digunakan oleh United Nations (1928), Dedy Haryadi dkk (1994) maupun Payung Surbakti (1996) dan UNDP (1997). Indikator sosial ekonomi ini dianggap lebih sensitif daripada UMR, karena dapat mencerminkan sampai seberapa jauh pekerja beserta keluarga
dapat mempunyai atau mampu melakukan pilihan-pilihan hidup lebih baik. Pilihan hidup lebih baik dapat dilihat mereka lebih sehat, lebih berpendidikan atau terampil, lebih disiplin, jaminan sosial lebih baik, motivasi bekerja lebih tinggi dan menguasai teknologi. Kesemuanya itu sangat diperlukan dalam peningkatan produktivitas pekerja. Dalam pengukuran sehari-hari, parameter sosial ini mudah dipraktekkan seperti halnya karyawan yang berhutang, absensi tidak masuk kerja dengan alasan sakit, kondisi tempat tinggal beserta fasilitas pendukungnya, frekuensi penggunaan Askes, proporsi pengeluaran untuk makan terhadap total pengeluaran. Untuk Indonesia, variabel tersebut tersedia secara rinci pada modul kesejahteraan rumah tangga dari Susenas yang dilakukan setiap tiga tahun sekali. Model ini perlu didiskusikan secara rinci apabila ingin digunakan untuk skala regional.
Penutup Tolak ukur peningkatan kesejahteraan pekerja yang paling mudah digunakan dan datanya sudah tersedia adalah UMR yang seharusnya lebih tinggi daripada KHM. Dalam sejarah telah tertulis bahwa hal tersebut sampai saat ini belum pernah terjadi. Sebetulnya tingkat kesejahteraan pekerja tidak dapat diukur dengan KHM. Sebab KHM hanya standar hidup minimum, ibarat parameter kesejahteraan dalam situasi darurat, bukan keadaan normal. Untuk hidup dalam keadaan darurat saja belum pernah diijinkan oleh pemerintah. Dan rasanya tepat pula, apabila dilihat dari jenis dan kualitas barang yang ada pada KHM mencerminkan keadaan damrat. Parameter kesejahteraan rakyat maupim pola pengeluaran dari Susenas Kor. Data Kor tersedia untuk setiap tahun, sedangkan data modul untuk setiap tiga ahun. Diperlukan diskusi intensif untuk memahami, menganalisis dan menyusun kembali parameter kesejahteraan dari modul dan kor Susenas tersebut. Tidak tertutup keniungkinan akan muncul unsur lokalitas yang spesifik untuk daerah dan pekerja sektor tertentu. Munculnya UMRS dirasa cukup baik, akan tetapi dalam situasi dimana pasar kerja tidak normal, penawaran jauh lebih banyak daripada pennintaan rasanya upaya peningkatan produktivitas kerja akan mengalami banyak hambatan. Seringnya muncul demo dan mogok kerja, menjadi bukti konkret tentang dualisme kesejahteraan dan produktivitas kerja. Produktivitas tinggi, maka upah akan tinggi pula atau sebaliknya karena produktivitas rendah, maka upah yang mencerminkan kesejahteraan pekerja akan rendah pula. Kompo'nen upah bukan satu-satunya penentu peningkatan
produktivitas, akan tetapi 14 komponen penentu produktivitas tersebut saling kait mengkait. Penyusunan tolak ukur produktivitas dan kesejahteraan semestinya disusun antara kelompok pekerja bersama pengusaha. Ini penting agar jurang kesenjangan kesejahteraan antara keduanya tidak bertambah semakin melebar sehingga merangsang timbuhiya mogok dan demo pekerja yang akliirnya kedua-duanya dirugikan.
KOMPONEN KFM Buruh Lajang I. Makanan dan Minuman
01.
Beras mutu sedang
12,6kg
02. Daging sapi jenis tetelan
0,75kg
03.
Ikan segar
0,9kg
04.
Ikan teri
1 kg
05.
Sayur bayam, daun singkong, dll
6 kg
06.
Buah-buahan pepaya/ pisang
7,5 kg
07.
Kacang kedele (kacang-kacangan)
3kg
08.
Ubirambat
10,8kg
09.
Minyak kelapa
0,8 kg/Sons
10.
Cabe merah
0,3 kg/ 3 ons
11.
Bawang merah
0,8 kg/8 ons
12.
Kemirikupas
0,6 kg/6 ons
13.
Kelapa kupas
1,5 kg
14.
Gula pasir/ gula merah
1,5kg
15.
Garam
0,5 kg/5 ons
16.
Teh kualitas sedang
0,3 kg/ 3 ons
17.
Kopi bubuk kualitas sedang
0,3 kg/ 3 ons
II. Bahan Bakar/ Penerangan/ Penyeduh 18.
Kayu bakar/ minyak tanah
20 ikat/10 liter
19.
Minyak tanah (untiik penerangan)
5 botol
20.
Lampu teplok/tempel (lokal)
l/12buah
21.
Air minum (untuk masak dll)
80 liter
III. Perumahan / Alat Dapur
22.
Sewa/kontrak rumah sederhana setahun
1 bulan
(kecil, non permanen, di pinggir kota) 23.
Dipan kualitas murah ukuran kecil
1/36 buah
24.
Tikar pandan ukuran sedang
2/12buah
25.
Bantal kualitas murah
1/24 buah
26.
Firing makan kualitas murah
2/12 buah
27.
Gelas minum kualitas murah
1/24 buah
28.
Ceret aluminium ukuran kecil
1/24 buah
29.
Periuk aluminimum ukuran sedang
1/24 buah
30.
Wajan aluminium ukuran sedang
1/24 buah
31.
Panci aluminium ukuran kecil
1/24 buali
32.
Sendok/ garpu kualitas murah sepasang
2/12 pasang
33.
Tetoron/bahancelana
1/12x6,5m
34.
Kemeja lengan pendek kualitas sedang
2/12 potong
35.
Baju kaos oblong
2/12 potong
36.
Kain sarung kualitas murah
l/12helai
37.
Celana dalam putih
2/12 potong
38.
Peci hitam kualitas murah
l/12helai
39.
Handuk kualitas murah
1/12 potong
40.
Sepatu kualitas murah
/12 pasang
41.
Sandal (jepit Jepang/ karet)
2/12 pasang
42.
Sabun cuci kualitas sedang B-29
1,5 batang
IV. Pakaian
V. Lain-Iain
43. Transport 44. Rekreasi 45. Obat-obatan 46. Pendidikan/bacaan 47. Pangkas rambut, sikat gigi, pasta gigi, dll.
15 % dari jumlah I+II+III+IV
KHM untuk buruh lajang dalam sebulan I. Makanan dan Minuraan
01. Beras/jagung/sagu 02.
12kg
Daging sapi 1,5 kg/ daging ayam 2,25 kg/ telur 2,4 kg/ ikan 1,9 kg/ ikan asin 0,75 kg
03.
Sayur
7,5 kg
04.
Buah
7,5 kg
05.
Singkong 10 kg/ ubi jalar 9 kg/ talas 15 kg
06.
Kacang kedele 1,75 kg/ kacang hijau 2,35 kg/ tahu 8,02 kg/ tempe 2,60 kg
07.
Minyakkelapa
0,90kg
08. Teh dan kopi
0,90kg
09.
Gula
1,50kg
10.
Bumbu-bumbuan 12% darinilai
6kg
makanan/sekitar
II. Sandang dan Pakaian
11.
Celana/ rok kualitas sedang
1/12 potong
12.
Sepatu kualitas murah
2/12 potong
13.
Pakaian lain-lain 25% dari nilai sandang
14.
Kemeja lengan pendek/ blus kualitas sedang
2/12 potong
15.
Handuk kualitas murah
1/12 potong
III. Perumahan dan Fasilitas Rumah Tangga
16.
Sewa rumah sederhana tipe 18
1/12
17.
Dipan kualitas murah
1/24 buah
18.
Kasur kualitas murah
1/24 buah
19.
Bantal kualitas murah
l/24buah
20.
Firing makan kualitas murah
2/12 buah
21.
Gelas kualitas murah
2/12 buah
22.
Ceret aluminium ukuran sedang
1/24 buah
23.
Periuk aluminium ukuran sedang
1/24 buah
24.
Wajan aluminium
1/24 buah
25.
Panci aluminium
1/24 buah
26.
Sendok/garpu kualitas murah
2/12 buah
27.
Listrik
200 watt
28.
Sabun cuci kualitas sedang
1,5 batang
29.
Air
1.800 liter
30.
Bahan bakar 10% dari nilai butir III(16 s/d 29)
IV. Lain-lain
31. Transport/ rekreasi/ obat-obatan/ pendidikan/ pangkas rambut 20% dari I,II,III
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Masalah Negara Sedang Berkembang
1. Masalah ekonomi yang terbelenggu dalam lingkungan ekonomi dunia yang merugikan 2. Pertumbuhan penduduk yang tinggi 3. Pengurasan sumber daya alam 4. Kerusakan lingkungan alam 5. Perubahan pola konsumsi dan produksi yang cenderung tidak berkelanjutan 6. Global warming
Pertumbuhan Penduduk Cepat dan Pemerataan Pembangunan 1. Anak banyak mengurangi sarana perkapita 2. Anak banyak menimbulkan problem ekonomi 3. Sering melahirkan tidak sehat 4. Anak banyak kurang waktu kerj a 5. Penduduk banyak lingkungan rusak
Sustainable Development Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of mture generations to meets their own needs.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan 1. Tanggungjawab antar generasi 2. Ketergantungan global: "Interlocking crises" 3. Pertumbuhan ekonomi-kelestarian lingkungan 4. Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah
Hambatan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan 1. Cenderung saling menyalahkan 2. Penduduk dan lingkungan sangat sensitive 3. Pemecahan masalah sering terlalu sektoral 4. Pengendalian lewat KB tak dikaitkan lingkungan
Pembangunan Berkelanjutan Pada Program Aksi Kependudukan 1. Integrasi kependudukan dalam pembangunan 2. Penduduk, pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan 3. Penduduk dan lingkungan
Strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 1. Mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 6-7% per tahim 2. Pemerataaii pembangunan melalui peningkatan partisipasi penduduk dalam pembangunan 3. Perlindungan lingkungan
Strategi Mempertahankan Stabiitas Ekonomi 1. Pergeseran ke arah lebih berkualitas A. Efisiensi dan peningkatan produktivitas B. Transisi dari kualitas ke kualitas dari produksi dan pelayanan jasa
2. Transformasi Struktural A. Lebih meningkatkan peran swasta B. Mengurangi ketergantungan pada minyak C. Promosi pertumbuhan sektor swasta
Strategi Mencapai Pemerataan 1. Melanjutkan untuk mengentaskan kemiskinan 2. Menjamin pemerataan partisipasi angkatan kerja dalam pembangunan 3. Promosi untuk meningkatkan pertumbuhan sektor swasta
Strategi Untuk Menangani Masalah Lingkungan 1. Lingkungan dan sumber kehidupan A. Penurunan penyediaan dan kualitas air B. Penggundulan, tanah tandus dan biodiversitas 2. Lingkungan dan limbah A. Limbah industri beracun B. Pencemaran sanitasi dan polusi
Agenda Dalam Melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan 1. Manajemen Makroekonomi: - Stabilitas finansial - Mobilisasi sumber dana dalam negeri - Mengurangi hutang luar negeri - Meningkatkan tabungan publik dan individu 2.
Insentif: - Memperkuat kompetisi domestik dan luar - Promosi insentif dalam kebijaksanaan - Investasi teknologi
3. Investasi: - Infrastruktur publik - Sumber daya manusia - Efisiensi dan kualitas - Fokus sasaran si miskin 4. Institusi: - Penyesuaian dengan misi - Fokus kapasitas publik - Menjamin pelayanan efisien dan merata - Menangani masalah lingkungan