KEBIJAKAN YANG PERLU DIAMBIL DALAM UPAYA PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN RAMIN (Gonystylus spp.)1) (POLICY OPTIONS FOR THE CONSERVATION AND UTILIZATION OF RAMIN - Gonystylus spp.) Oleh/by: Herujono Hadisuparto2) SUMMARY It has been for decades and primarily since decentralisation era forest destruction due to illegal logging and enchroachment has become intense, including in the peat swamp forest. According to the recent source there is only 30% of the peatswamp forest left in West Kalimantan consisting of peatswamp production forest and non forest areas. Nowadays illegal logging is still going on using primarily bicycle type of hauling and transporting system along the forest tracks. Forest management primarily forest patrol and supervision was not strong enough to overcome the problem. Besidea the inclusion of ramin in the appendix II of CITES have not also been well implemented in the field. Efforts for conservation and utilization of ramin (Gonystylus spp.) being discussed have to be formulated in the implementation of development of ramin stands in Indonesia. Conservation of ramin may be conducted by means of both in-situ and ex-situ regrowth. In the case of Kalimantan, several ramin habitats may still be found to promote in-situ ramin forest succession, whereas existing secondary peatswamp forests may be planted such as for ex-situ ramin forest growth. Regulations to be implemented should include primarily redetermination of forest land use for ramin habitat, silvicultural practices for natural ramin seedlings and regeneration, promoting ramin plantation in degraded peatswamp, moratorium of ramin logging, rehabilitation of degraded peatswamp as ramin habitat, and protecting national park and conservation forest as ramin habitat.
LATAR BELAKANG Awal kegiatan eksploitasi hutan di Indonesia setelah keluarnya Undangundang PMA dan PMDN di akhir tahun enampuluhan pada umumnya dimulai di hutan rawa karena pertimbangan teknis dan asesibilitas serta
1
2
Disampaikan pada Workshop Nasional “Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin”, Bogor, 22 Pebruari 2006 Professor of Forestry – Universitas Tanjungpura
109
PROSIDING Workshop Nasional 2006
kemudahan transportasi air sungai di seputar ekosistem rawa. Sistem pengusahaan hutan di Kalimantan saat itu utamanya pada hutan rawa gambut dikerjakan secara semi mekanis dengan penebangan gergaji manual, penyaradan kuda-kuda, dan pengangkutan menuju TPN dengan rel lori dan lokomotif. Potensi hutan ramin pada mulanya cukup tinggi, ramin ditebang bersama dengan jenis jelutung, mentibu, bintangor, geronggang, durian burung, rengas, dsb. Di hutan rawa gambut ramin tumbuh mengelompok pada ketebalan gambut sedang. Penebangan ramin secara intensif pada kelompok-kelompok pohon telah mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal cukup serius termasuk kerusakan permudaan alamnya. Karena kemudahan asesibilitas kegiatan tebang ulang sering berlangsung terutama illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat dengan modal / bantuan dana dari cukong (pemilik modal). Penyebab kerusakan lainnya seperti pengambilan cerucuk berupa tiang dari berbagai jenis campuran termasuk ramin, sebagai bahan bangunan penguat dasar bangunan (gedung, jalan dsb.) pada dataran daerah rawa, telah memperparah kerusakan hutan rawa gambut. Kerusakan hutan rawa gambut sebagai habitat ramin telah berlangsung sejak sistem eksploitasi hutan dilakukan. Sistem silvikultur tebang pilih yang dipakai pada dasarnya dapat menjamin kelestarian hutan, namun pengawasan dan pemeliharaan tegakan tinggal (pasca penebangan) yang tidak dijalankan dengan baik telah merangsang kerusakan menjadi berlanjut. Apalagi sejak era reformasi dan otonomi daerah diberlakukan, seakan-akan tidak ada lagi kepedulian dan ketaatan terhadap peraturan / ketentuan yang ada, diatas alasan kebutuhan hidup dan peningkatan ekonomi masyarakat. Untuk mempertahankan keberlanjutan konservasi dan pemanfaatan jenis ramin kedepan perlu berbagai upaya, disamping pemeliharaan permudaan dan pertumbuhan hutan ramin di Indonesia, formulasi kebijakan dan sistem implementasi juga tidak kalah pentingnya.
KERUSAKAN HUTAN RAWA GAMBUT SEBAGAI HABITAT RAMIN 1. Akibat eksploitasi hutan Kerusakan hutan rawa gambut berlangsung akibat pemanfaatan tegakan primer ramin sebagai penghasil kayu tropis, yang dilanjutkan oleh pemanfaatan ulang setelah pasca penebangan. Eksploitasi hutan yang kurang menerapkan pengelolaan hutan lestari telah mengakibatkan kerusakan hutan gambut yang cukup fatal. Kerusakan hutan ramin di Indonesia saat ini dapat dibedakan kedalam tiga kategori (Hadisuparto, 2004), yaitu : 110
1). Kerusakan hutan gambut primer; yaitu kerusakan setelah penebangan selektif pada hutan primer yang pada dasarnya dapat pulih kembali secara lebih cepat. 2). Kerusakan hutan gambut sekunder; kerusakan akibat penebangan secara besar-besaran (high yielding), terjadi tebang ulang atau pembukaan hutan yang hanya menyisakan penutupan tajuk strata satu kurang dari 10%, namun masih dapat diikuti dengan proses suksesi atau pertumbuhan alami yang lambat. 3). Kerusakan hutan dan lahan gambut permanen; terjadi setelah penebangan berulang bahkan tebang habis atau yang diikuti dengan kebakaran pada kawasan hutan gambut, sehingga tidak memberikan kesempatan pertumbuhan hutan kembali. Kawasan hutan gambut dengan jenis kerusakan pertama masih memungkinkan dapat dipertahankan, asalkan tidak terjadi tebang ulang (relogging). Pada jenis kerusakan kedua apabila dilakukan pemeliharaan dan penanaman perkayaan masih dimungkinkan hutan tumbuh kembali. Sedangkan pada jenis kerusakan ketiga hutan rawa gambut tidak dapat dipulihkan kembali dan lahan gambut sering de facto dikonversi untuk pengembangan budidaya pertanian/perkebunan dengan kurang memperhatikan berbagai faktor biogeofisik termasuk keberadaan lingkungannya. Kegiatan penebangan ilegal (illegal logging) yang masih marak dilakukan belakangan ini terutama tegakan ramin pada hutan gambut primer dan sekunder lebih diuntungkan oleh kondisi lapangan yang datar dan mudah asesibilitasnya. Sistem penyaradan dan pengangkutan dengan sepeda yang dimodifikasi dapat mengangkut balok-balok kayu persegi besar yang telah diolah di dalam hutan. Cara eksploitasi hutan ini dapat menjarah seluruh bagian hutan rawa gambut melalui jalur-jalur jalan diatas papan kayu sehingga tidak dibatasi oleh jarak dan kondisi permukaan tanah. 2. Kerusakan Akibat Kebakaran Hutan Kerusakan ekosistem hutan gambut akibat kebakaran terutama setelah hutan dibuka atau pada areal bekas tebangan (logged-over area) lebih banyak dipacu oleh api permukaan dan api tajuk pada celah-celah hutan. Kebakaran lebih parah manakala terjadi api bawah permukaan (ground fire) atau bahkan kebakaran yang berlangsung sekaligus pada semua strata ekosistem gambut. Kebakaran bawah permukaan dapat berlangsung lebih lama dan merambat tidak kelihatan dibawah permukan tanah gambut atau lantai hutan, kecuali tampak dari asap yang ditimbulkannya. Kebakaran pada hutan gambut sering terjadi akibat kelalaian manusia baik pada saat
111
PROSIDING Workshop Nasional 2006
kegiatan penebangan hutan atau konversi lahan, terutama akibat kegiatan pembersihan dalam persiapan penanaman. Penggunaan api dalam kegiatan pertanian tradisional atau perladangan berpindah telah dilakukan sejak dahulu kala, namun jarang terjadi kebakaran di hutan rawa gambut. Pembakaran kayu dan sisa-sisa biomasa kering pada dasarnya dilakukan secara terkendali dengan tujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah untuk satu atau dua kali penanaman pada areal yang dibuka. Karena lahan hutan tersebut pada umumnya merupakan tanah-tanah marginal, maka kegiatan pembakaran pada sistem perladangan berpindah merupakan satu-satunya alternatif dan tidak mungkin ditinggalkan. Sementara itu pada lahan hutan gambut kegiatan perladangan berpindah sangat jarang dilakukan karena ketersediaan hara gambut (fibrist) sangat minim, disamping kelembaban lapisan gambut karena daya serap air yang tinggi, kecuali pada satuan lahan gambut tipis di belakang kirin atau hamparan aluvial di tepi sungai. Oleh karena itu adalah suatu ketidakniscayaan apabila sampai terjadi kebakaran hutan rawa gambut sebagai habitat ramin yang penutupan tajuknya masih rapat. Kecuali pada hutan gambut yang rusak akibat konversi atau telah dibuka untuk kegiatan budidaya, kebakaran terjadi dalam rangka pembersihan dan penyiapan lahan dengan cara membakar. Penerapan sanksi yang tegas perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kebakaran pada lahan gambut, karena kerusakan dan dampak lingkungannya yang besar.
OPSI KEBIJAKAN YANG DIAMBIL 1. Penetapan ulang kawasan habitat ramin. Kawasan hutan rawa gambut sebagai habitat ramin saat ini telah berkurang luasnya dengan drastis akibat penebangan, konversi lahan, dan kebakaran hutan. Perkiraan luas hutan ramin dari hasil superimpose citra landsat dan peta penggunaan tanah di Kalimantan Barat saja menunjukkan bahwa hanya sekitar 30 % luas hutan rawa gambut dengan tegakan ramin yang tinggal tersisa, itupun disamping termasuk hutan produksi sebagian lagi berstatus sebagai non-hutan yang sewaktu-waktu dapat berubah kondisi tegakannya. Tingkat kandungan hara lapisan gambut sebagai habitat ramin pada umumnya miskin, namun uniknya jenis ramin dan jenis endemik lainnya dapat tumbuh secara alami dengan subur bahkan dapat mencapai pohon besar. Hal inilah yang menyebabkan rekayasa bioteknologi rehabilitasi lahan gambut yang sudah terlanjur terbuka atau rusak permanen belum
112
juga mampu mengembalikan kondisi hutuan rawa gambut khususnya tegakan ramin seperti kondisi alam sebelumnya. Itulah sebabnya penetapan fungsi hutan khususnya kawasan hutan rawa gambut sebagai habitat ramin yang definitif perlu ditata ulang dalam rangka pelestarian jenis ramin berikut keanekaragaman jenis lainnya Pada dasarnya status trofik atau kesuburan lapisan gambut sangat tergantung pada kualitas air aliran (run off) maupun air tanah yang dipengaruhi langsung oleh bahan induknya. Tingkat trofik atau kesuburan habibtat ramin sangat berhubungan erat dengan posisinya terhadap sungai atau aliran perenial. Oleh karena itu cembungan atau kubah gambut (peat dome) yang ketebalan dapat mencapai belasan meter di tengah hamparan, diantara dua aliran sungai dan yang hanya memperoleh input dari air hujan, kesuburannya sangat rendah termasuk kekurangan unsur seperti P, K, Na, Cu, Zn, dan sebagainya. Kandungan unsur makro pada gambut ombrogen yang bersifat oligotrofik ini bahkan lebih miskin daripada tanah podsol. Lahan gambut memiliki ion hidrogen yang konsentrasinya tinggi sehingga akan meningkatkan senyawa toksik yang lebih mudah larut dan dengan demikian pertumbuhan tanaman menjadi terganggu, inilah menjadi salah satu faktor utama seperti telah diutarakan mengapa kegiatan perladangan tidak dilakukan oleh masyarakat lokal pada lahan gambut. Zat-zat toksik tersebut pada umumnya mengandung unsur-unsur logam dan senyawa organik yang berlebihan seperti Mn, Fe, Al, fenol, dan tanin. Keberadaan asam fulvik dan humik dengan sendirinya telah mengakibatkan tingginya tingkat keasaman tanah gambut (pH rendah). Dibawah puncak kubah gambut yang mengarah ke sungai dengan ketebalan gambut sedang jenis ramin tumbuh secara mengelompok dan dominan. Kematangan gambut dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tingkatan yaitu saprik (matang), hemis (sedang) dan fibrik (mentah). Sedangkan menurut kesuburan atau banyaknya kandungan hara bagi tanaman, gambut rheotrofik dapat dikategorikan kedalam: • •
Gambut Eutrofik; gambut dengan kandungan hara tinggi sampai sedang Gambut Mesotrofik; gambut dengan kandungan hara sedang sampai rendah, dan • Gambut Oligotrofik; gambut dengan kandungan hara rendah sampai sangat rendah. Dari klasifikasi gambut berdasarkan kandungan haranya, gambut eutrofik memiliki kandungan bahan mineral (ignition residue) 66% pada kedalaman 0 - 20 cm. Kandungan hara mineral tersebut terendah pada kedalaman antara 20 - 40 cm dan meningkat lagi menurut kedalaman mencapai 100 cm. Sebaliknya pada gambut oligotrofik kandungan mineral hanya sekitar 18% pada lapisan atas (0 - 20 cm) dan terus menurun menurut
113
PROSIDING Workshop Nasional 2006
kedalamannya. Mengingat kepadatan atau berat jenis gambut bervariasi, maka kandungan hara perlu dinyatakan dalam berat jenis partial, dengan demikian apabila berat jenis pada gambut eutrofik lapisan atas sebesar 0,40 maka kandungan mineral contoh gambut tersebut adalah 66% x 0,40 = 26,4%. Berat jenis atau kepadatan gambut eutrofik pada umumnya lebih besar daripada gambut oligotrofik. Dengan demikian secara fisik dapat disimpulkan bahwa gambut padat (solid peat) relatif lebih subur atau kandungan mineralnya lebih besar, sedangkan gambut yang gembur/kurang padat atau yang disebut dengan gambut cair (liquid peat) mempunyai kandungan mineral rendah. Ketebalan gambut juga mempunyai hubungan yang erat dengan ketersediaan hara, sehingga pertumbuhan dan pelestarian jenis endemik seperti ramin menjadi ciri pelestarian hutan rawa gambut yang harus lebih dipahami. Ekosistem hutan rawa gambut di dunia sudah terancam punah, sehingga keterwakilannya sebagai unsur penting dalam keanekaragaman ekosistem alami perlu dipertahankan. Hutan gambut disamping sebagai kawasan resapan air yang sangat baik juga merupakan ekosistem untuk penyerapan karbon yang sangat poensial (Jauhiainen, 2005). Manakala data potensi tegakan hutan yang mutakhir dan akurat secara nasional dapat tersusun, penetapan ulang kawasan tegakan ramin terutama di habitat aslinya pada hutan rawa gambut perlu dilakukan melalui kebijakan yang dikuatkan dengan peraturan peundangan. Hal ini merupakan salah-satu cara proteksi kawasan dan pemeliharaan tegakan ramin dari konversi dan kerusakan vegetasinya. 2. Penerapan silvikultur dalam rehabilitasi hutan rawa gambut Sistem silvikultur atau budidaya hutan khususnya jenis ramin pada kawasan hutan rawa gambut masih belum menemukan keberhasilan yang menjanjikan. Kondisi lapangan dan tingkat kerusakan hutan yang berbedabeda memerlukan pemahaman bentuk dan tingkatan rehabilitasinya. a. Rehabilitasi hutan gambut primer Sebagai ekosistem alami, hutan rawa gambut merupakan sumberdaya alam yang terbarukan (renewable resource) selama tegakan hutan masih ada. Rehabilitasi lahan hutan gambut dengan jenis ramin perlu memperhatikan tipe atau bentuk kerusakan ekosistem gambutnya. Pada kerusakan hutan gambut primer yang berupa hutan bekas tebangan selektif, rehabilitasi hutan dimulai dengan melakukan inventarisasi ketersediaan permudaan alamnya. Apabila permudaan alam tidak cukup tersedia di lantai hutan selanjutnya diperlukan upaya
114
penanaman perkayaan (enrichment planting) dengan jenis ramin dan jenis endemik lainnya. Sebenarnya keanekaragaman hayati pada ekosistem hutan rawa gambut tropis pada mulanya sangat besar dan unik. Dewasa ini di Indonesia jenis-jenis endemik hutan rawa gambut seperti: ramin (Gonystylus bancanus), mentibu atau jongkong (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii), bintangor (Callopyllum sp.), durian hutan (Durio acutifolius), geronggang (Cratoxylum arborescens), meranti rawa (Shorea sp.), rengas (Gluta renghas) sudah merupakan jenis yang hampir punah. Ramin saat ini telah merupakan jenis pohon yang diawasi pertumbuhan dan penebangannya serta perdagangan kayunya karena telah masuk dalam daftar appendix 2 CITES. Dalam hutan gambut primer bekas tebangan selektif jenis-jenis endemik masih dapat dijumpai yang nantinya merupakan sumber anakan (permudaan) bagi suksesi hutan asalkan dilakukan pemeliharaan dan tidak terjadi gangguan. Pengadaan bibit dari permudaan alam dapat diperoleh secara cabutan dari jenis-jenis yang tersedia secara dominan di lantai hutan, sedangkan perbanyakannya dapat dilakukan secara stek pucuk atau melalui teknologi kultur jaringan. Selama hutan masih melimpah dengan permudaan alaminya penanaman perkayaan dengan jenis ramin dapat langsung dilakukan dari bibit hasil cabutan yang telah mengalami perawatan. Pada dasarnya areal hutan bekas tebangan yang masih terdapat tegakan tinggal yang mencukupi akan dapat pulih secara alami apabila tidak dilakukan penebangan ulang yang dapat memberi peluang bagi permudaan alam untuk tumbuh dan bersuksesi. b. Rehabilitasi hutan gambut sekunder Rehabilitasi hutan gambut sekunder dilakukan dengan melakukan penanaman perkayaan secara total, sehingga memerlukan bibit jenis endemik ramin yang sangat besar. Penanaman jenis endemik terutama ramin akan dapat mengatasi invasi jenis tumbuhan liar dari hutan rawa gambut sekunder muda yang dipelihara. Namun apabila bahan tanaman jenis ramin tidak mencukupi untuk rehabilitasi, maka jenis-jenis endemik lainnya dapat dipakai. Gambut pada umumnya berada pada kawasan hilir dari suatu DAS, sehingga rehabilitasi hutan rawa gambut dengan konservasi vegetasinya khususnya jenis ramin dapat berfungsi sebagai areal penyangga sekaligus sebagai kawasan konservasi yang telah ditetapkan secara definitif.
115
PROSIDING Workshop Nasional 2006
c. Rehabilitasi lahan gambut terbuka permanen Pembukaan hutan gambut yang mengakibatkan kerusakan permanen telah berlangsung selama ini, yang akhirnya berubah fungsi menjadi kawasan produksi terutama untuk lahan pertanian serta pemukiman. Kawasan budidaya tanaman ini telah lama dikerjakan dan terjadi secara berangsur-angsur karena memerlukan ketekunan dan proses pematangan tanah gambut yang cukup lama. Dapat diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara lamanya lahan gambut dibuka dengan tingkat kematangan dan kesiapan lahan untuk diusahakan. Pengaturan tata air merupakan kunci keberhasilan dalam pemanfaatan lahan gambut untuk usaha budidaya, karena kesalahan pengelolaan yang tidak dapat dihindarkan dapat mengakibatkan kerusakan lahan gambut permanen. Lahan gambut yang tidak mungkin lagi dikembalikan sebagai hutan secara alami perlu dicoba penanaman ramin secara ex-situ dengan tehnik silvikultur seperti halnya pengembangan hutan tanaman industri (HTI) pada lahan gambut. Dalam penanaman jenis ramin dari cabutan diperlukan manipulasi sistem perakaran dan pemberian pupuk esensial, mikoroza serta zat pereangsang pertumbuhan. Jika bahan tanaman jenis ramin tidak mencukupi, jenis endemik lain dari lahan gambut juga bisa dipergunakan atau kalau terpaksa jenis eksotik seperti akasia (Acasia mangium), albizia (Paraserianthes falcataria), atau eucalyptus dapat ditanam sebagai jenis pioner atau minimal untuk pohon penaung bagi anakan ramin atau endemik lainnya yang akan ditanam. Lahan gambut kritis yang tidak mungkin lagi ditanami dengan jenis pohon hutan dapat diprioritaskan untuk budidaya pertanian dengan tetap perlu memahami kendala-kendala dalam pemanfaatan lahannya. Perencana harus memahami sifat-sifat gambut baik ketebalan gambut, kematangan, kesuburan, tipe vegetasi alami sebelumnya atau bahan mineral dibawahnya, maupun lokasinya dalam pengaturan tata air terkait dengan daerah aliran sungai (DAS)nya. Sebagai media tumbuh untuk tanaman budi daya lapisan gambut yang dalam (lebih dari 2 meter) akan banyak mengalami kendala, oleh karena itu ketentuan tentang lahan hutan gambut yang ketebalannya lebih dari 3 meter dikategorikan sebagai kawasan lindung dalam banyak hal dapat diterima. Peningkatan pH dan hara tanah dengan pupuk, termasuk pupuk kandang, disertai pengolahan tanah yang intensif telah dapat menghasilkan hasil produksi pertanian secara ekonomis. Untuk pertimbangan ekonomi jangka panjang pembangunan perkebunan pada 116
kawasan gambut tebal dalam persiapan lahannya memerlukan pemadatan tanah, disamping konservasi gambut sebagai lahan resapan air yang berfungsi sebagai penjaga lingkungan. 3. Moratorium penebangan ramin Sebagai langkah preventif yang tepat bagi pelestarian jenis ramin yang masih ada di habitatnya, ketentuan pelarangan penebangan sementara (moratorium) harus benar-benar diimplementasikan sampai ramin sudah dianggap dapat diproduksi secara lestari. Penebangan hutan khususnya jenis ramin saat ini telah jauh melebihi kemampuan hutan untuk mengalami pemulihan secara alami (natural recovery) atau dengan kata lain pemungutan hasil hutan kayu telah jauh melebihi riap tahunannya. Moratorium penebangan jenis ramin akan memberikan kesempatan recovery, sehingga hutan diberikan kesempatan untuk bernafas dan bertumbuh. Implementasi pelarangan penebangan jenis ramin tidak saja memberikan sanksi kepada penebang dengan menyita kayu kemudian melelangnya, tetapi mencegah kegiatan penebangan di hutan dengan memberikan sanksi kepada pelakunya. Sampai saat ini penebangan illegal di hutan rawa gambut terutama untuk jenis ramin masih berlangsung dan bahkan lebih intensif setelah era reformasi dan oonomi daerah. Kegiatan penebangan illegal semakin terangsang setelah dikembangkannya sistem penyaradan dan pengangkutan yang praktis, sederhana dan murah yaitu dengan memodifikasi sepeda yang langsung dapat membawa kayu olahan dari hutan melalui jalur-jalur rintisan diatas papan kayu menuju ke tempat pengumpulan kayu. Di beberapa tempat penebangan liar seperti ini bahkan terjadi di taman nasional dan kawasan hutan konservasi. Pelarangan penebangan jenis ramin juga harus berlaku bagi permudaan tingkat tiang (poles) yang diambil dari hutan sebagai cerucuk yang digunakan untuk bahan bangunan sebagai penguat dasar bangunan gedung dan jalan di tanah-tanah aluvial daerah rawa seperti di Kalimantan Barat, untuk itu peraturan daerah tentang cukai cerucuk perlu ditinjau kembali. 4. Melindungi jenis ramin di hutan konservasi dan taman nasional Para pengamat meyakini bahwa beberapa taman nasional yang ada di Indonesia seperti di propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau dan Jambi merupakan pertahanan terakhir untuk kelangsungan hidup jenis ramin (Gonystylus spp). Taman nasional tersebut termasuk tipe hutan rawa gambut yang mengandung berbagai flora dan fauna seperti jenis-jenis endemik hutan gambut terutama ramin dan satwa liar seperti orang hutan, gajah, harimau dan berbagai jenis burung yang dilindungi.
117
PROSIDING Workshop Nasional 2006
Tragisnya penebangan liar di kawasan konservasi ini tidak dikenakan sanksi yang berat atau sanksi ganda, yang notabene kegiatannya telah melanggar undang-undang tentang kehutanan dan juga tentang lingkungan hidup serta ekosistemnya. Pelanggaran pertama karena melakukan penebangan illegal terhadap jenis yang telah dilarang dan melakukan penebangan pada kawasan konservasi yaitu kawasan hutan yang dilindungi dan tidak boleh diganggu.
KESIMPULAN Berbagai upaya dalam rangka konservasi dan pemanfaatan jenis ramin (Gonystylus spp.) telah dan sedang dilakukan lagi, namun saat ini yang perlu diprioritaskan adalah perlindungan atau konservasinya yang segera diimplementasikan kedepan ini. Moratorium penebangan ramin perlu dilakukan untuk menjamin pemanfaatan jenis ini di masa yang akan datang. Hal ini sangat penting karena kerusakan hutan ramin masih terus belangsung sampai saat ini, padahal sisa hutan ramin sebagai cadangan pohon benih dan bahan tanaman mutlak harus dapat dipertahankan eksistensinya. Penebangan yang ada adalah penebangan illegal, yang notabene hukum dan peraturan yang mendukungnya sudah tersedia, sehingga penegakan hukum sudah pasti dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan dan sosialisasi kepada aparat hukum yang terkait. Beberapa langkah yang perlu segera dilaksanakan dalam implementasi konservasi jenis ramin yang notabene untuk menjamin pemanfaatannya di kemudian hari, adalah : • • • • •
118
Penetapan kembali kawasan hutan yang merupakan habitat ramin yang masih ada, dengan membuat perangkat hukum atau aturan untuk melindunginya, Pengembangan tehnik silvikultur dalam rehabilitasi hutan rawa gambut sebagai habitat ramin yang telah rusak, Melindungi hutan konservasi dan taman nasional yang merupakan cadangan terakhir jenis ramin, dan Moratorium penebangan ramin dan mengaktualisasikan penegakan hukum untuk memberantas penebangan ilegal. Meneliti kembali dan menganulir peraturan-peraturan daerah yang cenderung bertentangan dengan kebijakan pelestarian jenis ramin ini.
LITERATURES CITED Hadisuparto, Herujono, 2004. Environmental Risks and Economic Values of Peat Swamp Forest; With the Case of Kalimantan Peatlands. Paper presented in the International Workshop on Assessment, Conservation, Restoration and Sustainable Use of Tropical Peatland and Peat Swamp Forest Biodiversity. International Peat SocietyBPPT-HGI-Pemda Kalbar, Pontianak, 14-16 April. ._______, 2005. Berbagai Upaya Pelestarian Species, Populasi dan Hutan Ramin di Kalimantan. Prosiding Semiloka Nasional Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia. Puslitbang Dephut-ITTO. Bogor, 28 September. hal. 50-59. Jacobs, M. 1988. The Tropical Rain Forest. Springer Verlag, London. 295 pp. Jauhiainen, Jyrki. 2005. Carbon Stored In Tropical Peatland And Losses Resulting From Fire And Land Use. Makalah disampaikan pada Workshop “Restorasi dan Pemanfaatan Gambut Tropika yang Bijaksana” Himpunan Gambut Indonesia, Palangkaraya 20-21 September. Tim RSTRP Kalbar. 1991. Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2005 (Land Use Planning of West Kalimantan Province Towards 2005). Pemda Tk. I Kalimantan Barat.
119
PROSIDING Workshop Nasional 2006
120