Upaya Pelestarian Batik Rifaiyah
Sri Mustika (
[email protected]) Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) Batik merupakan salah satu warisan budaya leluhur yang telah diakui Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi. Tradisi membatik sudah bertumbuh di Nusantara sejak abad 79, yaitu pada era Kerajaan Sriwijaya dan pemerintahan Wangsa Syaelendra. Pada zaman Majapahit (abad 11-14) batik selain digunakan untuk pakaian juga dimanfaatkan sebagai hiasan rumah. Pada abad ke 16 batik semakin berkembang seiring dengan menyebarnya agama Islam di Pulau Jawa pada masa Kerajaan Demak dan berlanjut pada masa Kerajaan Mataram. Di Jawa, tradisi membatik ada pada masyarakat di kota-kota, seperti Solo, Yogyakarta, dan kota pesisir seperti Cirebon, Pekalongan, Batang, Kudus, dan Lasem. Setiap wilayah menghasilkan batik dengan motif tersendiri. Di Batang dikenal batik rifaiyah yang dibuat oleh para anggota komunitas rifaiyah yang merupakan penganut Kiai Rifa’i. Sentuhan Islam pada batik rifaiyah tampak pada motifnya. Sesuai dengan syariat Islam, batik rifaiyah tidak menampilkan gambar makhluk bernyawa secara utuh. Gambar seekor burung, misalnya, hanya tampak kepalanya, sedangkan badan dan kakinya diganti dengan motif ranting, daun, atau bunga. Motif lain yang terkenal adalah pelo ati (hati dan ampela) yang menggambarkan sifat baik dan buruk manusia. Keterampilan membatik di lingkungan komunitas rifaiyah diajarkan secara turun-temurun dari ibu kepada anak perempuannya sejak si anak berusia delapan tahun. Dengan semakin berkembangnya masyarakat di Batang, jumlah pembatik rifaiyah semakin berkurang. Generasi muda enggan menekuni batik karena memerlukan waktu lama dan komplesitas yang tinggi dalam pembuatannya. Tulisan ini memfokuskan pada upaya pelestarian batik rifaiyah baik sebagai warisan budaya maupun identitas budaya komunitas rifaiyah. Kata kunci: komunitas rifaiyah, batik rifaiyah, warisan budaya Batik is one of cultural heritage of Indonesian which is acknowledged by UNESCO as an intangible heritage. Batik tradition has grown in Indonesia since 7 th9th Century, during the era of Sriwijaya kingdom and the regime of Syaelendra dynasty. During the Majapahit era in 11th-14th Century in addition to being used for clothing, batik was applied for home decoration. In the 16th Century the development of batik became more leading as soon as the spreading of Islam in Java during the era of Demak Kingdom and later on, Mataram Kingdom. In Java Island there are many places which carried on batik tradition, such as Solo, Yogya, Kudus, Pekalongan, Batang, Lasem, and Cirebon. Every place has its own motif, thus making the batik produced in one area unique. In Kalipucang, Batang, Central Java, there is batik rifaiyah which is made by rifaiyah community. Rifaiyah is an Islamic order who follows the teachings of Kiai Ahmad Rifai, founder of the Kalisasak Pesantren (Islamic Boarding School) in Limpung, Batang. Islamic touch on rifaiyah batik was apparent on the pattern (motifs). Islam prohibits whole depiction of living beings. Therefore rifaiyah batik only depicts part of birds or chicken such as head or wings and substitutes its body and tail with flower or leaves. Among batik visual ornaments laden with philosophical meaning is the pelo-ati batik. According to Kiai Rifai a man may be considered as virtuous or not by his heart. Skill of batik crafting among
THE 1st UICIHSS | 145
rifaiyah community in Kalipucang is descended from mother to her daughters since their early childhood. Along with the modernization in which challenges and opportunities will be different from those in the past batik rifaiyah crafters tend to decrease. Young generations do not like to make batik since it takes much time and high complexity in the making. This paper focuses on efforts to preserve rifaiyah batik as cultural heritage of rifaiyah community and its cultural identity as well.
PENDAHULUAN Bagi bangsa Indonesia batik merupakan salah satu warisan budaya leluhur. Batik bukan hanya selembar kain melainkan kain yang penuh makna filosofi. Pada selembar kain batik juga tersimpan harapan, doa, dan kasih sayang pembatiknya. Karena itu layak jika UNESCO menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi. Penetapan ini merupakan suatu penghargaan yang tak ternilai harganya bagi bangsa Indonesia yang sejak dulu kala mengenal batik. Bahkan ternyata wastra batik Jawa sejak akhir abad ke 19 telah menjadi sumber inspirasi bagi para seniman, desainer, dan pabrikan tekstil di luar Indonesia. Menurut Geertz (1983:89), kebudayaan merupakan pola makna yang secara historis ditransmisikan dan tersimpan di dalam simbol-simbol, sebuah sistem warisan konsepsi yang diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol makna dan dengan simbol itulah manusia berkomunikasi, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan mereka serta sikap mereka terhadap kehidupan. Simbol-simbol ini, termasuk maknanya, merupakan hasil kesepakatan bersama suatu masyarakat atau komunitas. Simbol ini kemudian menjadi tuntunan tingkah laku setiap anggota masyarakat atau komunitas. Budaya sebagai pola transmisi sejarah dari satu generasi ke generasi berikutnya dilakukan melalui simbol-simbol yang mereka gunakan. Gudykunst dan Kim (1999:16) melihat budaya sebagai sistem yang mengekspresikan konsep-konsep warisan budaya melalui simbol-simbol yang digunakan oleh anggota komunitas budaya tersebut ketika mereka berkomunikasi. Bagi komunitas rifaiyah di Kalipucang Wetan, Batang, Jawa Tengah warisan budaya leluhur yang hingga kini terus dipelihara salah satunya adalah batik (yang oleh orang luar komunitas disebut batik rifaiyah). Berbeda dengan batik pesisir lainnya, motif batik rifaiyah dibuat mengikuti pakem (aturan) sesuai dengan ajaran Islam yaitu tidak boleh menggambar makhluk yang bernyawa. Karena itu dalam batik rifaiyah motif binatang, seperti burung, tidak digambar secara utuh. Tubuh atau kaki burung tersebut diganti dengan ranting atau daun. Kendati batik rifaiyah hingga sekarang masih diproduksi, namun kini remaja perempuan yang berminat menekuni batik semakin berkurang. Menurut catatan Miftakhutin23, Ketua Paguyuban Pembatik Rifaiyah, semula tercatat 150 pembatik rifaiyah, baik tua maupun muda. Namun kini jumlahnya tinggal separuhnya, menjadi 84 23
Wawancara dengan Miftakhutin dilakukan di Jakarta pada 3 Oktober 2016.
146 | THE 1st UICIHSS
orang. Pembatik paling tua, Mak Umriah usianya hampir 80 tahun. Karena itu dikhawatirkan batik rifaiyah secara perlahan tapi pasti akan musnah. Tulisan ini membahas mengenai upaya pelestarian batik rifaiyah oleh komunitas rifaiyah di Kalipucang Wetan, Batang. Melalui tulisan ini diharapkan pembaca mengetahui upaya pelestarian batik sebagai warisan budaya sekaligus identitas budaya komunitas rifaiyah di Kalipucang, Batang. Informan penelitian diperoleh dengan teknik snowballing. Informan kunci adalah Ketua Paguyuban Pembatik Rifaiyah, Miftakhutin. Dari informan kunci peneliti memperoleh sejumlah informan tambahan, seperti pembatik tertua dan tertua, pembatik halus, pengamat batik, dan pelanggan. Data diperoleh dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Data diolah dengan teknik pengembangan sistem koding, yaitu pengorganisasian data menurut tema konseptual yang dikenal oleh peneliti. Kode berasal dari kisah informan, pertanyaan penelitian, dan kerangka pemikiran teoritik. Kunci yang digunakan untuk memgembangkan sistem koding adalah dengan membuat daftar kata yang akan dikonseptualisasikan ke dalam kategori dan dihubungkan dengan general framework (kerangka kerja umum). PENELUSURAN PUSTAKA Ting Toomey (dalam Turnomo, 2005:49-50) menyatakan bahwa budaya memiliki beberapa fungsi. Salah satunya adalah fungsi makna identitas. Budaya dianggap dapat memberikan kerangka rujukan untuk menjawab pertanyaan mengenai identitas diri seseorang yang sesungguhnya. Makna identitas yang didapat dari budaya dikonstruksikan dan dipelihara melalui komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa komunikasi budaya akan berhenti. Karena itu menurut Edward T. Hall, budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Budaya juga memiliki fungsi inklusi kelompok. Budaya dapat memuaskan kebutuhan seseorang terhadap afiliasi keanggotaan dan rasa ikut memiliki. Dalam konteks ini budaya dianggap dapat menciptakan inklusi, sehingga orang dapat memasukkan dirinya ke dalam kelompok tertentu sebagai in-groupnya dan orang lain ke dalam outgroup. Dengan memahami mana in-group dan out-groupnya, orang akan membentuk sikap evaluatif terhadap interaksi in-group dan out-group. Jika seseorang berafiliasi dengan suatu kelompok budaya tertentu, maka ia pun merasa memiliki identitas budaya tersebut. Identitas budaya yang terbentuk dalam kehidupan suatu masyarakat akan mempengaruhi persepsi diri setiap anggota masyarakat. Bagaimana seseorang memandang dirinya, bersikap, dan bertingkah laku sangat dipengaruhi oleh identitas budayanya (Darmastuti, 2013:95). Identitas merupakan penghubung utama antara individu dengan masyarakat dan komunikasi menjadi mata
THE 1st UICIHSS | 147
rantai yang memungkinkan adanya hubungan ini. Dengan demikian komunikasi merupakan sarana terbentuknya identitas budaya seseorang. Identitas budaya sangat penting bagi seorang individu, terlebih dalam era globalisasi seperti saat ini. Dalam teori komunikasi tentang identitas Hecht (dalam Littlejohn, 2009:131) membentuk tiga konteks budaya, sebagai berikut: individu, komunal, dan publik. Menurut teori tersebut identitas merupakan penghubung utama antara individu dan masyarakat. Komunikasi menjadi mata rantai yang memungkinkan terjadinya hubungan ini. Identitas merupakan kode yang mendefinisikan keanggotaan kita dalam komunitas yang beragam. Hecht memperkenalkan dimensi-dimensi identitas khusus, termasuk perasaaan (afektif), pemikiran (kognitif), dan perilaku (behavioral). Dalam suatu interaksi antarmanusia, orang memperoleh penilaian dan reaksi dari orang lain. Sebaliknya, orang memperlihatkan identitasnya dengan cara mengekspresikan diri dan merespon orang lain. Perasaan seseorang akan identitasnya merupakan dimensi subjektif (subjective dimension), sedangkan apa yang dikatakan orang lain terhadap seseorang disebut dimensi asal (ascribed dimension). Ini artinya, rasa identitas terdiri atas makna-makna yang dipelajari dan yang diperolehnya dari orang lain. Menurut Turner (dalam Gudykunst dan Kim, 1999:29), kita berpikir tentang diri kita secara berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara-cara yang berbeda dalam memikirkan diri kita inilah yang dimaksud dengan identitas. Kita sering tidak menyadari bahwa identitas mempengaruhi perilaku kita. Identitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: manusiawi (human), sosial, dan personal. Identitas manusiawi kita merupakan pandangan-pandangan diri kita yang patut dibagikan pada semua manusia. Untuk memahami identitas manusiawi kita, maka perlu mencari segala sesuatu yang kita bagikan pada semua orang. Identitas sosial kita adalah pandangan-pandangan tentang diri sendiri yang kita asumsikan dibagikan dengan para anggota in-group kita. Identitas sosial kita didasarkan pada peran yang kita mainkan, seperti mahasiswa, dosen, atau orang tua. Adapun identitas pribadi adalah pandangan-pandangan tentang pribadi kita yang menentukan kita sebagai pribadi yang unik. KOMUNITAS RIFAIYAH DAN BATIK Komunitas rifaiyah adalah orang-orang yang mengikuti gerakan sosial keagamaan yang dipelopori oleh Kiai Ahmad Rifa’i. Kiai kelahiran Kendal pada 1786 ini adalah seorang juru dakwah yang cerdas dan komunikatif. Ia mengemas ajaran Islam ke dalam kitab-kitab berbahasa Jawa berhuruf Arab (Arab Pegon) berbentuk syair yang mudah dipahami dan menarik bagi orang Jawa. Kitab-kitab itu ditulis dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat untuk mempelajari agama Islam. Gagasannya ini dapat dikategorikan sebagai suatu tajdid (pembaharuan) dan pemurnian agama Islam. Dalam 148 | THE 1st UICIHSS
berdakwah ia mengobarkan semangat antipenjajah. Ia melarang warga desanya agar tidak membayar pajak. Karena itu ia diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Kalisasak, Limpung, Batang yang pada masa itu masih berupa hutan lebat. Di sini ia terus berjuang sambil berdakwah. Untuk memfasilitasi para santrinya yang ingin tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid dan pondok pesantren di Kalisalak, sehingga pengikutnya sering disebut santri Kalisalak. Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangunnya di Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain. Umumnya para santri pengikut Kiai Rifa’i adalah masyarakat desa yang mayoritas petani. Keberhasilannya berdakwah membuat pemerintah Belanda semakin gusar, sehingga akhirnya Kiai Rifa’i dibuang ke Ambon. Dua tahun di Ambon ia diasingkan lagi ke Manado bersama 46 ulama lainnya yang juga berasal dari Jawa (Tempo, 22-28 Februari 2016: 65). Ia wafat di Manado pada usia 85 tahun. Sepeninggal Kiai Rifai, para santrinya berpencar ke berbagai tempat, seperti Kendal, Batang, Pekalongan, Wonosobo, Pati, Magelang, Demak, Purwodadi, Pemalang, Indramayu, Cirebon, bahkan sampai ke Jakarta. Merekalah yang meneruskan ajaran Kiai Rifa’i hingga saat ini. Salah satu santri yang bernama Ilham kembali ke Kalipucang. Di desa yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani ini kaum perempuannya giat membatik. Santri Kiai Rifa’i ini pun berdakwah di kalangan kaum pembatik. Dari sinilah kemudian muncul batik bermotif pelo ati yang merupakan perwujudan dari ajaran-ajaran Kiai Rifa’i. Batik rifaiyah memiliki corak yang berbeda dari motif-motif batik pesisir pada umumnya. Keterampilan membatik dengan motif khas ini terus diajarkan secara turun-temurun dari ibu kepada anak-anak perempuannya. Sambil membatik, ibu-ibu biasanya mendendangkan syair-syair gubahan Kiai Rifa’i. Menurut Miftakhutin, salah satu syair yang biasa dilantunkan ibunya saat membatik berisi nasihat bahwa hidup di dunia sangat singkat. Dari mendengarkan syairsyair tersebut Utin, nama panggilan Miftakhutin, dia dan anak-anak perempuan lainnya bisa menghafal sekaligus memahami isinya. Berikut ini penggalan dari syair tersebut yang dilantunkan Miftakhutin yang akrab disapa Utin saat membatik, ”Lembute rambut pinara pitu Landepe pitung pinyukur tamtu Ngisore iku jahanam kang mulat-mulat Yen ora rikat mesti njur kedilat Wong urip neng ndonyo mung sedelo Sing suwe mbesuk no alam baqa Elinga pati iku bakal teko Yen wis teko ra kena semaya” Artinya: THE 1st UICIHSS | 149
”Halusnya rambut dibelah tujuh Tajamnya tentu tujuh kali alat pencukur Di bawahnya ada jahanam yang berkobar-kobar Jika tidak berjalan cepat, maka akan terjilat Orang hidup di dunia hanya sebentar Yang lama adalah di alam baka Ingatlah kematian pasti tiba Jika (kematian) sudah datang kita tidak bisa menghindar” Anak-anak perempuan rifaiyah umumnya mulai belajar membatik sejak umur delapan tahun. Begitu memasuki usia remaja mereka sudah mahir membatik untuk dipakai sendiri. Bahkan mereka juga membuat sendiri kain yang akan dikenakan saat menjadi pengantin. Anak-anak belajar membatik mulai dari mbabar, mopok (menutup motif batik dengan lilin), mewarnai, hingga nglorot (mencelupkan kain batik ke dalam zat pewarna untuk melunturkan malam). ”Meskipun belajar membatik sejak kecil namun hasil batikan setiap orang berbeda-beda. Tidak semua pembatik bisa menghasilkan batik yang halus dan luwes. Ada pembatik yang batikannya halus tetapi goresannya kelihatan kaku. Di Kalipucang saat ini hanya ada 10 orang yang tergolong pembatik halus. Itu pun ada satu orang yang mengundurkan diri, tidak mau lagi membatik,” ungkap Utin seraya menambahkan, ”Biasanya kalau batikan ibunya bagus, batik anaknya juga bagus. Sepertinya kepandaian ini menurun dari ibu ke anak. Sebaliknya, kalau batikan ibunya kurang bagus, batikan anaknya juga kurang. Biar belajar kayak apa kok sepertinya sulit.” Kegiatan membatik memerlukan konsentrasi, kesabaran, dan ketekunan tersendiri. Hanya dengan pikiran yang tenteram dan konsentrasi penuh pembatik mampu menghasilkan karya batik yang sempurna. Menurut pakar batik tradisional, Go Tik Swan (dalam Wronska-Friend, 2016:22), membatik selain untuk menghasilkan suatu karya seni juga bermanfaat untuk menenangkan jiwa yang resah. Kaum perempuan rifaiyah di Kalipucang yang sehari-hari membatik sambil mendendangkan syair pun memperoleh ketenangan jiwa. Mereka umumnya membatik di dalam rumah. Batik rifaiyah dulu menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan yang banyak ditemukan di kawasan Batang. Untuk memperoleh warna merah, misalnya, digunakan akar pohon mengkudu dan warna kuning didapat dari kunyit. Kini mereka menggunakan pewarna buatan. Batik rifaiyah dibatik pada kedua sisi kainnya (bolak-balik) atau disebut terusan dan memiliki dua warna bangbiron (bang: merah dan biron: biru). Ada juga yang memiliki tiga warna (tiga negeri), yaitu merah, biru, dan cokelat. Cara pemakaiannya juga disarankan tidak menggunakan peniti dan tidak digunting. Aturan ini tetap dijalankan
150 | THE 1st UICIHSS
hingga sekarang, sehingga dapat dikatakan batik rifaiyah merupakan identitas budaya komunitas rifaiyah. Pembuatan batik tulis ini biasanya memakan waktu selama satu-tiga bulan, tergantung pada kerumitan motifnya. Bagi anggota komunitas rifaiyah membatik bukanlah pekerjaan yang memiliki target waktu. Mereka membatik setelah menyelesaikan tugas rumah tangga, seperti memasak, mencuci, mengasuh anak, dan membereskan rumah. ”Batang sebagai daerah agraris mempengaruhi karakter dan pola pikir warganya. Mereka kebanyakan bertani dan membatik hanyalah kerja sambilan. Berbeda dengan Pekalongan yang berjuluk kota dagang. Bagi warga Pekalongan kegiatan membatik sudah menjadi bagian dari penghidupan masyarakatnya. Batik dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki secara rutin,” jelas William Kwan Hwie Liong 24, peneliti batik Batang dan Lasem. Penilaian ini dibenarkan oleh Utin. ”Kalau sudah musim panen, semua perempuan ke sawah untuk memanen padi. Mereka meninggalkan kegiatan membatik. Jadi, sulit kalau harus dikejar produktivitasnya,” jelas Utin. Kendati demikian, dia sendiri bertekad untuk bisa membuat selembar batik dalam satu semester. ”Setidaknya setahun saya bisa menghasilkan dua lembar kain batik,” lanjutnya. Hingga saat ini dikenal sekira 24 motif khas batik rifaiyah yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Corak tersebut terdiri atas: pelo ati, kotak kitir, banji, sigar kupat, lancur, tambal, kawung ndog, kawung jenggot, dlorong, materos satrio, ila ili, gemblong sairis, dapel, nyah pratin, romo gendong, jeruk no’i, keongan, krokotan, liris, klasem, kluwungan, jamblang, gendaghan dan wagean. Motif-motif ini ada yang mengandung makna spiritualitas. Misalnya, motif pelo ati (ampela dan hati ayam) menggambarkan ajaran sufisme bahwa hati mengandung sifat-sifat terpuji. Menurut kitab Tarujumah susunan Kiai Rifai, di dalam hati terdapat delapan sifat kebaikan, yaitu zuhud (tidak mementingkan keduniawian), qana’at (merasa cukup atas karuniaNya), shabar (sabar), tawakal (berserah diri kepadaNya), mujahadah (bersungguh-sungguh), ridla (rela), syukur, dan ikhlas. Semua sifat ini mengandung makna kahauf (takut), mahabbah (rasa cinta), dan makrifat (perenungan kepada Allah). Ampela menggambarkan tempat kotoran, yaitu sifat-sifat buruk manusia sebagaimana terdapat dalam kitab Tarajumah, yaitu hubbu al-dunya (mencintai dunia yang disangka mulia namun di akhirat sia-sia), thama’ (rakus), itba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu), ‘ujub (suka mengagumi diri sendiri), riya (suka dipuji), takabur (sombong), hasad (dengki) dan sum’ah (suka membicarakan amal kebajikannya pada orang). Semua sifat tercela dan kotor ini harus dibuang jauh-jauh. Dengan mengenakan kain bermotif pelo ati
24
William Kwan Hwi Liong diwawancarai di Jakarta, 4 Januari 2017.
THE 1st UICIHSS | 151
diharapkan pemakainya memiliki hati yang terpuji dan membuang sifat ampela yang buruk. Menurut William, meskipun kini hanya dikenal 24 motif batik namun bisa jadi masih ada motif-motif lainnya yang sudah tidak dikenali. Hal ini bisa disebabkan kerumitan motifnya, sehingga pembatik masa kini sudah tidak mampu membuatnya. Bisa juga karena lama sudah tidak dibuat, maka pembatik generasi berikut tidak mengenalnya lagi. ”Pernah saya meminta pembatik tertua, Mak Umriah (75 tahun) untuk membuat motif batik yang masih diingatnya. Saya biarkan dia berkreasi. Ternyata dia bisa menghasilkan motif jamblang dan jeruk no’i yang sudah musnah,” tutur William yang mengakui bahwa Mak Umriah atau Mak Sium termasuk pembatik kreatif. Bagi perempuan rifaiyah, batik selain merupakan sarana penutup aurat juga sekaligus penanda keanggotaan komunitas. Dengan mengenakan batik rifaiyah ketika bepergian mereka akan mudah dikenali, baik oleh sesama anggota komunitas maupun oleh masyarakat luas. ”Pada waktu pergi ke Cirebon saya melihat seorang perempuan mengenakan batik motif rifaiyah. Secara spontan saya tanya, ’Ibu tinggal di mana?’ Dia menyebut nama suatu desa. Langsung saja saya bilang, ibu jamaah rifaiyah? Dia kaget. Saya menandai dari motif kain yang dipakainya,” kenang Utin. Begitu mengetahui mereka sama-sama jamaah rifaiyah, keduanya langsung akrab. ”Saya diajak menginap di rumahnya. Ternyata kebiasaan warga di sana sama seperti di Kalipucang. Pada waktu Subuh semua orang ke masjid untuk shalat berjamaah. Sebelum shalat mereka membawakan puji-pujian. Saya terharu sekali merasakan suasana seperti ini,” tutur Utin. Hingga saat ini belum diketahui pasti sejak kapan di Batang mulai ada batik. Namun dari penelusuran ahli arkeologi, ragam hias yang ada sekarang jejaknya ditemukan di sana sejak masa pra-Hindu Budha. Di kawasan Gringsing terdapat puluhan artefak kuno yang ditemukan sebagai petunjuk adanya kebudayaan dan peradaban pada masa Batang kuno. Salah satunya adalah motif gringsing yang ditemukan pada arca Sri Vasuara yang tersimpan di Museum Jateng Ronggowarsito, Semarang. Arca yang diperkirakan berasal dari abad ke 9 Masehi ini ditemukan di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang. Wujudnya berupa dewi yang sedang duduk di atas alas bermotif grinsing dengan tangan memegang untaian padi. Meskipun grinsing digunakan sebagai nama motif batik, namun di Gringsing tidak ditemukan warga desa yang membatik. ”Di antara batik-batik klasik di Jawa, motif batik rifaiyah termasuk batik yang terus dipelihara oleh komunitasnya. Saat wilayah lain mulai meninggalkan desain klasik, perajin di Kalipucang Wetan, Batang tetap setia mempertahankannya,” tutur William. Keistimewaan lain batik rifaiyah, lanjut William, batik ini justru bertumbuh di Batang yang tidak dikenal sebagai kota santri seperti Pekalongan. “Padahal di Pekalongan batik 152 | THE 1st UICIHSS
dibuat oleh etnik Jawa, juga etnik Arab yang mayoritas muslim, tetapi mereka tidak membuat batik yang bercorak islami, seperti batik rifaiyah.” UPAYA PELESTARIAN Semula di kalangan komunitas rifaiyah Kalipucang tercatat sekira 150 pembatik, baik tua maupun muda. Namun kini jumlahnya tinggal separuhnya, menjadi 84 orang. Pembatik paling tua, tinggal Mak Umriah yang berusia hampir 80 tahun. Ini yang menjadi keprihatinan Miftakhutin dan para pecinta batik batang dan batik rifaiyah khususnya. Beberapa penyebab menyurutnya jumlah pembatik rifaiyah antara lain: a. Munculnya anggapan di kalangan remaja putri bahwa membatik merupakan pekerjaan kurang bergengsi. Munculnya banyak pabrik di wilayah Batang membuat mereka lebih tertarik untuk bekerja di pabrik daripada membatik. b. Membatik memerlukan waktu yang lama. Selembar kain batik tulis dibuat tidak kurang dari tiga hingga enam bulan. Waktu sepanjang itu dianggap terlalu lama untuk bisa menghasilkan uang. Sedangkan kebutuhan hidup mereka dari waktu ke waktu terus meningkat. c. Jika semula perempuan membatik untuk memenuhi keperluannya berpakaian, kini mereka sudah tidak lagi mengenakan kain batik seperti ibu-ibu mereka. Karena itu, mereka menganggap tidak perlu lagi membatik. d. Pendidikan remaja putri yang semakin meningkat membuat mereka cenderung memilih bekerja di kantoran. Jam kerja di kantor yang delapan jam sehari membuat waktu mereka untuk membatik semakin berkurang. Untuk mengatasi kendala-kendala di atas Utin dan para pecinta batik rifaiyah tidak tinggal diam. Mereka melakukan berbagai upaya untuk melestarikan batik rifaiyah. Sebagai penggerak pembatik Rifaiyah, Utin mencoba membangkitkan semangat para remaja dan ibu-ibu muda untuk menekuni keterampilan membatik yang merupakan warisan para leluhur. ”Saya dan kakak saya, Musnaini sekarang mulai belajar membatik dari ibu. Ya, batik saya masih kelihatan kaku. Namanya juga masih belajar,” jelas Muthola’ah 25 yang berhasil membuat selembar kain bermotif daun-daunan. Selain mereka, ada Muslikhah, adik Utin yang sudah 10 tahun meninggalkan dunia batik. ”Sekarang adik saya mulai membuat batik lagi. Karena dulu dia itu pembatik, hasil goresannya halus. Tinggal kecepatannya yang perlu ditingkatkan,” lanjut Utin. Untuk mengenalkan batik pada gadis-gadis remaja, Utin membuka kursus membatik gratis di rumahnya setiap hari Minggu. Mulanya ada sekitar 10 anak yang belajar, tapi lama-lama berkurang tinggal empat anak yang masih tekun. ”Yang lain lebih suka main, nonton teve,” kata Utin sambil menghela napas. Badan Ekonomi Kreatif Pusat pada 2016 juga mengadakan pelatihan untuk para pembatik rifaiyah di Batang. Pelatihan diberikan untuk meningkatkan kreativitas 25
Muthola’ah diwawancarai pada Minggu, 29 Januari 2017.
THE 1st UICIHSS | 153
pembatik, khususnya dalam mendesain motif dan teknik pembatikannya. ”Sebulan setelah pelatihan kami harus bisa menyerahkan satu lembar kain batik jadi. Ada yang bisa memenuhi target, tapi ada juga yang tidak,” ungkap Muthola’ah saat ditemui di rumahnya. Mempromosikan batik rifaiyah pada ajang pameran juga dilakukan. Misalnya, di Batang yang diadakan Pemerintah Kabupaten Batang, di Museum Nasional, di Bentara Budaya Jakarta, atau Jakarta Convention Center. Melalui pameran yang dikunjungi berbagai kalangan, diharapkan batik rifaiyah semakin dikenal masyarakat luas. Lebih jauh lagi, diharapkan semakin banyak orang yang membeli batik rifaiyah, sehingga dapat meningkatkan penghasilan pembatik sekaligus menggairahkan para pembatik untuk terus berkarya. SIMPULAN Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa: a. b.
c.
Sebagai identitas budaya komunitas rifaiyah batik akan memudar jika generasi muda rifaiyah tidak mau lagi membatik. Pemerintah kabupaten Batang dan Badan Ekonomi Kreatif, serta lembaga-lembaga lain yang memiliki perhatian pada batik harus memiliki komitmen yang kuat untuk memberdayakan komunitas rifaiyah di dalam mempertahankan identitas budayanya. Di lingkungan komunitas rifaiyah para sesepuhnya harus terus-menerus menyebarkan semangat kepada kawula muda untuk mempertahankan batik sebagai identias budayanya.
DAFTAR PUSTAKA Darmastuti, Rini. 2013. Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogya: Buku Litera. Geertz, Clifford. 1983. Religion of Jawa. Chicago: The University of Chicago Press. Gudykunst, William B. dan Young Yan Kim. 1999. Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication. 3rd.ed. Boston:McGraw-Hill. Littletjohn, S.W. 2002. Theories of Human Communication. 5th.ed. Belmont:Wadsworth. Littlejohn, S. W. 2009. Theories of Human Communication. 8th.ed. Belmont:Wadsworth. Majalah Tempo, 22-28 Februari 2016. Rahardjo, Turnomo. 1999. Menghargai Perbedaan Kultural. Jakarta: Ripteka. Wronska-Friend, Maria. 2016. Batik Jawa bagi Dunia. Jakarta:Komunitas Lintas Budaya Indonesia.
154 | THE 1st UICIHSS