TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Kebijakan Walkabilitas di Kota Malang Erna Winansih, Imam Santoso Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Merdeka Malang.
Abstrak Dimensi walkabilitas terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen kenyamanan, keselamatan dan dukungan kebijakan. Dukungan kebijakan walkabilitas di Indonesia mencapai puncaknya ketika diluncurkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03 tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan dan Pemanfaatan, Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, yang keberadaannya bertujuan untuk memenuhi ketersediaan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki di kawasan perkotaan yang rencana penyediaan dan pemanfaatannya diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 huruf c Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya terdapat temuan bahwa dukungan kebijakan untuk walkabilitas ini melonjak drastis dari kebijakan yang ada sebelumnya. Masalah yang dicari jawabnya adalah hal-hal yang menyebabkan terjadinya lonjakan konten terhadap walkabilitas dan bagaimana implementasi kebijakan tentang walkabilitas ini di tingkat daerah, dengan kasus Kota Malang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penyebab terjadinya lonjakan konten dan implementasi kebijakan tersebut di Kota Malang. Penelitian ini bercorak eksploratori, dengan menelusuri hal-hal yang berkaitan dengan masalah walkabilitas diuraikan dan mengkaji kejadian-kejadian walkabilitas di Kota Malang. Metode yang digunakan dalam koleksi data adalah dengan mengumpulkan data sekunder (pencarian melalui searching and browsing) tentang kebijakan yang berkaitan dengan masalah walkabilitas serta sigi lapangan di Kota Malang tentang implementasi kebijakan walkabilitas. Metode analisis dilakukan secara deskriptif dan interpretif untuk mendapatkan kajian tentang implementasi kebijakan walkabilitas di Kota Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lonjakan konten kebijakan karena adanya isu global tentang walkabilitas yang sudah mulai dicanangkan dan diterapkan pada negara-negara yang sudah maju, sehingga keberadaan Peraturan Menteri PU Nomor 03 tahun 2014, banyak didasari oleh adanya pengalaman-pengalaman tentang masalah pergerakan perkotaan yang cenderung berpihak pada kelompok motoris. Implementasi kebijakan walkabilitas di Kota Malang masih belum menunjukkan hal yang signifikan secara praksis di lapangan, namun dalam hal dukungan kebijakan sudah ada dokumen tentang jaringan walkabilitas. Kesimpulannya adalah bahwa strategi walkabilitas dapat digunakan sebagai salah satu solusi masalah pergerakan perkotaan serta ekologi perkotaan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang model jalur pergerakan dengan strategi walkabilitas sebagai salah satu langkah menuju kota yang berkelanjutan. Kata-kunci : implementasi, kebijakan, walkabilitas
Urbanisasi merubah tata guna lahan dengan cepat sehingga meningkatkan masalah-masalah lingkungan baik dari segi sosial, ekonomi dan fisik-ekologis kota Peningkatan urbanisasi yang cepat mengakibatkan perkembangan kota menjadi tidak terarah (Mohan, 2011), (Najoan, 2011), (Subadyo, 2009). Kota adalah arsitektur. Arsitektur bukan sekedar gambar (wujud fisikvisual) dari kota yang bisa dilihat saja, melainkan juga sebagai suatu konstruksi, yaitu
konstruksi dari kota sepanjang waktu. Bagian pejal kota berupa susunan masa, serta ruang– ruang yang terbentuk oleh bagian pejal tersebut, baik berupa jalan, taman atau lebih luas lagi. Meskipun kota adalah arsitektur, penataan kota bukan hanya tanggung jawab arsitek dan perancang kota saja. Permasalahan perkotaan memerlukan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu termasuk di dalamnya adalah teknik lingkungan, perencanaan kota, ilmu ekonomi, arsiProsiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | E 059
Kebijakan Walkabilitas di Kota Malang
tektur lansekap, sosiologi dan lainnya, (Lehmann, 2007). Dengan mempertimbangkan konsep sustainabilitas, lingkungan bangunan bertanggungjawab hampir sebesar 40% terhadap emisi global (Bohemen, 2005). Arsitektur berkelanjutan atau eko-arsitektur menunjukkan suatu usaha untuk merespon masalah-masalah lingkungan global dan mengurangi dampak terhadap lingkungan karena aktivitas industri perumahan dan bangunan. Dengan menata pertumbuhan dan pengembangan pada pusat-pusat kota, dampak kerusakan kota lebih menurun daripada meluaskan area dengan membuka lahan baru, yang semula merupakan area yang tak terbangun. Pusat kota identik dengan keramaian jalan yang terjadi pada ruang koridor jalan. Jalan memicu perubahan guna lahan dan penutup lahan yang paling cepat dan signifikan, sehingga kemungkinan kerusakan lingkungan dan potensi untuk penurunan kualitas visual dan ekologis. Serangkaian permasalahan ekologis kota, menjadi salah satu tanggung jawab bagi arsitektur, sebagai salah satu pemicu perubahan (penurunan kualitas) kota. Kota akan lebih bermakna bagi masyarakat luas, dapat diindikasikan dari berfungsinya ruang publiknya. Koridor jalan merupakan salah satu ruang publik dan merupakan elemen utama kota yang sangat mudah berubah dan menjadi pemicu perubahan fisik. Koridor jalan sebagai ruang publik merupakan wadah aktivitas warga/publik dalam fungsinya sebagai prasarana kota, sebagai wadah aktivitas pedestrian dan non pedestrian (tingkat walkabilitas). Pengantar Pusat kota merupakan pusat aktivitas publik. Pusat kota selalu menjadi magnet bagi warganya untuk beraktivitas di dalamnya. Dengan menata pertumbuhan dan pengembangan pada pusat-pusat kota, dampak kerusakan kota lebih menurun daripada meluaskan area dengan membuka lahan baru, yang semula merupakan area yang tak terbangun (Lehmann, 2007). Pusat kota identik dengan keramaian jalan, keramaian jalan terjadi pada ruang koridor jalan. Aktivitas-aktivitas publik juga terjadi sepanjang koridor jalan yang merupakan ruang publik yang dapat diakses oleh publik tanpa kecuali. Koridor E 060 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
jalan dan lingkungannya merupakan tatanan wajah terdepan yang paling mudah untuk dilihat, dinikmati serta merupakan nilai atau gambaran kualitas kehidupan dan kultur masyarakat setempat. Jalan memicu perubahan guna lahan dan penutup lahan yang paling cepat dan signifikan, sehingga kemungkinan kerusakan lingkungan dan potensi untuk penurunan kualitas visual akan terjadi jika tidak ada pengendalian yang ketat. Dalam perkembangan dan pembangunan perkotaan, menguatnya kepentingan ekonomi sering mempengaruhi kualitas eksistensi lansekap koridor jalan (Subadio, 2011). Terabaikannya pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang koridor jalan di perkotaan utamanya disebabkan oleh ketidak mampuan perencana, perancang dan pengelola dalam mengartikulasikan nilai yang dimilikinya (More et al., 1988 dalam Subadio 2011). Kesalahan kebijakan pemerintah juga diketahui sebagai salah satu penyebab timbulnya masalah lingkungan, pencemaran udara, dan polusi visual pada koridor jalan di perkotaan Perkotaan kita semakin lama semakin rusak, hal ini menjadi masalah yang sangat penting untuk dipecahkan, antara lain adalah bagaimana merancang kota yang mampu untuk menanggapi permasalahan secara kontekstual, bagaimana merancang berbagai bangunan dalam sebuah kawasan yang relatif luas, bagaimana menciptakan Public Space yang manusiawi, dan bagaimana menghasilkan perancangan urban fabric dengan kepadatan yang sangat tinggi (Suroto, 2010).
Perencanaan kota berkelanjutan, tidak dapat dilepaskan dari elemen pedestrian. Dengan demikian perencanaan kota memandang kota sebagai sebuah budaya berjalan. Hal ini berarti melihat elemen–elemen kota, seperti jalan-jalan, taman-taman, ruang publik dan lingkungan hunian yang mudah diakses, aman, hidup dan menyenangkan sehingga orang-orang lebih senang dan sering memilih aktivitas berjalan kaki. Aktivitas berjalan kaki tidak akan membahayakan lingkungan fisik, gratis dan hanya memerlukan sedikit infrastruktur. Hal ini dapat menghemat waktu dan tidak membutuhkan
Erna Winansih
bahan bakar minyak, sehingga dengan memasukkan isu pedestrian sebagai wacana yang penting dalam merencanakan kota, maka diyakini proses perencanaan kota yang berfokus pada masalah walkabilitas dan pedestrian ini sebagai prioritas perencanaan dan perancangan kota yang berkelanjutan (Efroymson, 2012). Kota yang walkabel menuntut adanya peluang yang adil (win-win solutions) bagi semua pengguna baik dari sisi pengguna nonmotorisasi dan yang motorisasi. Pengguna non motorisasi meliputi pejalan kaki, pesepeda (bikers), kaum difabel dan sejenisnya. Hak-hak pengguna dapat dipenuhi dengan adanya perencanaan dan perancangan kota yang berkonsep pada, bahwa kota merupakan fasilitas pelayanan bagi publik warga masyarakatnya.
Malang, dengan adanya indikasi lonjakan konten kebijakan walkabilitas (hasil penelitian sebelumnya). Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan menghasilkan temuan berupa penyebab terjadinya lonjakan konten dukungan kebijakan walkabilitas dan implementasinya di Kota Malang, sehingga bermanfaat untuk menentukan langkah-langkah untuk mempercepat implementasinya di Kota Malang, mengingat permasalahan kemacetan di Kota Malang yang semakin parah dalam sepuluh tahun belakangan ini. Kondisi kemacetan di Malang menuntut solusi segera, dan salah satu solusi yang ditawarkan adalah strategi walkabilitas (Newman, 2014, 2015) (Silas, 2015).
Metode Dukungan kebijakan walkabilitas di Indonesia mencapai puncaknya ketika diluncurkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03 tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan dan Pemanfaatan, Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, yang keberadaannya bertujuan untuk memenuhi ketersediaan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki di kawasan perkotaan yang rencana penyediaan dan pemanfaatannya diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 huruf c Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya terdapat temuan bahwa dukungan kebijakan untuk walkabilitas ini melonjak drastis dari kebijakan yang ada sebelumnya. Dukungan kebijakan walkabilitas di Kota Malang dapat dikaji dari Peraturan Daerah yang mengatur tentang RTRW Kota Malang.
Masalah yang akan dicari jawabnya adalah halhal yang menyebabkan terjadinya lonjakan konten terhadap walkabilitas dan bagaimana implementasi kebijakan tentang walkabilitas ini di tingkat daerah, dengan kasus Kota Malang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penyebab terjadinya lonjakan konten dan implementasi kebijakan tersebut di Kota Malang. Dugaan sementara adalah implementasi kebijakan akan menemui beberapa kendala di Kota
Lokasi penelitian adalah di Kota Malang dengan titik sampel lokasi yang frekuensi kejadian walkabilitasnya cukup besar meliputi sekitar ruang publik, yang memenuhi kriteria citra kota seperti alun-alun, area fasilitas pendidikan dan area komersial. Dalam penelitian ini lokasi yang di pilih adalah koridor sekitar Alun-Alun Merdeka, Alun-Alun Bunder, Pecinan, jalan Veteran dan jalan Ijen. Metode Pengumpulan Data Tahapan penelitian meliputi tahap pengumpulan data primer melalui mengamati langsung kejadian walkabilitas yang mampu merepresentasikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan implementasi kebijakan tentang walkabilitas. Pengamatan melalui sigi lapangan ini dilakukan untuk merekam kejadian walkabilitas dengan alat kamera. Data sekunder keberadaan dukungan kebijakan secara urut tahun, didapatkan dengan mencari/ menelusur melalui browsing dan searching di dunia internet. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk data berupa dukungan kebijakan dengan mengkaji konten walkabilitasnya (content approach) mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| E 061
Kebijakan Walkabilitas di Kota Malang
Kota Malang secara urut sehingga didapat gambaran proses yang melatari terbitnya kebijakan tersebut untuk mengarahkan penyebab munculnya lonjakan konten. Data berupa kejadian walkabilitas dari sigi lapangan akan dianalisis dengan metode interpretif dengan menafsirkan implementasi kebijakan melalui rekaman pola perilaku (behavior mapping) yang berkaitan dengan fasilitas walkabilitas. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode komparasi yang membandingkan tuntutan walkabilitas sesuai dengan kebijakan yang berlaku dengan implementasinya di Kota Malang.
Tabel 1. Dukungan kebijakan N
Keberadaan
Tingkat
Jumla
Pasal yang
o
peraturan
/hierarki
h
memuat tentang
total
walkabilitas
perundangan
pasal 1
nomer 3/PRT/2014: Kementerian Pekerjaan Umum
Data kebijakan yang memuat konten walkabilitas secara pokok di atur dalam undangundang penataan ruang dan undang-undang lalulintas. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan selanjutnya merupakan rincian daripadanya (Tabel 1). Dukungan kebijakan terhadap walkabilitas dijamin oleh undang-undang yang secara pokok diatur dalam UU nomer 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Pasalpasal yang memuat pengakuan akan pedestrian sebagai pengguna jalan dalam UU tersebut adalah pasal 1, 106, 131, 132. Selanjutnya pokok substansi jaminan pelaku pedestrian dalam ruang jalan dalam UU tersebut dijabarkan lagi dalam Peraturan Pemerintah PP nomer 79/ 2013: tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan lebih implementatif dalam PP nomer 3/PRT/2014: Kementerian Pekerjaan Umum tentang Pedoman Perencanaan Infrastruktur E 062 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Peratur
20
seluruhnya
an Pemerint ah (PP)
tentang Pedoman Perencanaan Infrastruktur Jaringan Pejalan kaki, Penyediaan dan
Analisis dan Interpretasi Secara hierarki, peraturan perundangan di Indonesia diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah
penggunaan di kawasan perkotaan 2
Peraturan Pemerintah nomer 79/ 2013:
Peratura
126
1, 26, 42, 54,
n
102, 105, 106,
tentang Jaringan Lalu
Pemerint
113, 114, 115,
Lintas dan Angkutan
ah (PP)
117, 118
Jalan 3
Peraturan Daerah nomer 04/2011: RTRW Kota Malang
Peratur
17
1
326
1, 106, 131, 132
80
20
an daerah
2010-2030 4
Undang-undang
Undan
nomer 22/2009: Lalu
g-
Lintas dan Angkutan
undang
Jalan 5
Undang-undang nomer 26/2007 tentang Penataan
Undan gundang
Ruang
Jaringan Pejalan Kaki, Penyediaan Penggunaan di Kawasan Perkotaan.
dan
Dalam skala Kota Malang dukungan walkabilitas termaktub dalam Perda nomer 4 tahun 2011, tentang RTRW Kota Malang tahun 2011-2031, yang di antaranya memuat rencana jalur pedestrian, rencana kawasan bebas kendaraan di sekitar Pecinan. Dukungan walkabilitas dengan penyediaan fasilitas bagi kelompok non motor (sepeda kayuh) sudah dimulai dengan dibuatnya jalur khusus sepeda kayuh mengelilingi AAJM melewati kawasan Talun. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Kota Malang, jalur khusus sepeda kayuh ini masih memfasilitasi
Erna Winansih
fungsi rekreatif dan bukan merupakan fungsi moda pergerakan/ transportasi. Temuan dalam penelitian ini adalah pengguna sepeda kayuh sebagai moda pergerakan/transportasi (anak pergi ke sekolah atau orang pergi bekerja) selama proses pengambilan data tercatat ratarata sekitar 20 orang selama sekitar 4 jam pengamatan. Pengamatan didasarkan pada penampilan pesepeda berseragam dan tidak menggunakan kostum khusus pesepeda dengan tujuan olahraga dan rekreatif. Pesepeda untuk maksud olahraga/rekratif berkisar 2-3 orang selama pengamatan tersebut. Saat ini sudah ada ringkasan eksekutif tentang penyusunan rencana induk jaringan sepeda Kota Malang 2014-2015 yang akan menjadi peraturan walikota. Kegiatan CFD (Car Free Day) di kawasan jalan Ijen setiap hari Minggu pagi digelar sebagai wadah kegiatan non motor, dan juga untuk mengurangi polusi. Kegiatan-kegiatan non motor yang ada masih untuk fungsi rekreatif. Fasilitas aktivitas non motor menuntut integrasi jaringan jalan dan transportasi, karena adanya strategi pergeseran moda dari kendaraaan pribadi menuju kendaraan umum yang nyaman dan menjadikan bersepeda dan berjalan sebagai moda pergerakan (PU, 2014). Kritikan tajam terhadap kegiatan-kegiatan yang dikemas sebagai back to nature, peduli lingkungan, ecofriendly, socially responsible, yang cenderung menjadi budaya ‘konsumerisme hijau’ karena bersifat eksklusif, hanya dapat diakses dan dilakukan (‘dinikmati’) kalangan tertentu (karena mahalnya produk dan properti hijau tersebut) menjauhkan maksud dari penyelamatan ekologis yang sebenarnya (Degregori, 2002). Beberapa waktu lalu Kota Malang dikejutkan oleh adanya demontrasi besar-besaran dari kelompok angkutan umum mikrolet dan warga di sekitar jalan satu arah yang terdampak karena adanya kebijakan satu arah dan pengoperasian bis sekolah. Demonstrasi dilakukan dengan dorongan adanya penurunan penghasilan, yang menyandarkan pendapatan utama dari keberadaan jalan dua arah dan adanya bis sekolah dikhawatirkan menurunkan pendapatan sopir
mikrolet. Dapat ditafsirkan bahwa pemenuhan kebutuhan masih dalam taraf mendasar. Pemberlakuan jalur lalu lintas satu arah cenderung memihak pengguna kendaraan bermotor. Saat diberlakukan jalur tersebut, perilaku pengguna kendaraan bermotor distimuli oleh adanya kondisi jalan yang bebas hambatan dan memberi ruang yang lebih lebar (afordansi bertambah). Akibatnya terjadi kecenderungan perilaku pengguna kendaraan bermotor memacu kendaraan lebih kencang, dan penyeberang sangat sulit untuk melintas serta harus menunggu lama untuk dapat menyeberang, pada saat menyeberangpun harus dilakukan dengan cepat (saat ini di salah satu kawasan tersebut, yaitu di Jalan M.T. Haryono dipasang PCTL, sehingga jika akan menyeberang, pedestrian memencet tombol tersebut, meskipun sudah diberlakukan jalur dua arah). Perilaku demikian merupakan pelanggaran terhadap UU no 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Strategi walkabilitas mendorong pengguna kendaraan bermotor (atau pengguna jalan semuanya) untuk menjaga keselamatan, mendahulukan pejalan kaki dan batas kecepatan di dalam kota yang rendah (maksimal 40km/ jam). Mempelajari kejadian-kejadian tersebut memberi makna akan tingkat kepedulian/ pemahaman pemerintah kota selaku pemangku kebijakan terhadap strategi walkabilitas masih belum cukup. Para pemangku kebijakan dan ahli pembuat kebijakan, umumnya tidak mempunyai pengalaman yang cukup sebagai pedestrian (Badami, 2009). Keterbatasan tersebut menuntut peran/pelibatan/partisipasi masyarakat, sebagai pelaku dan pengguna dalam menentukan kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat (Brennel, 2009). Di samping adanya peraturan menteri no 3/ PRT/M yang dikeluarkan oleh kementerian PU, beberapa kota telah melakukan perbaikan terhadap lingkungan pedestrian. Kota Surabaya mendapat penghargaan akan lingkungan pedestriannya, dan baru-baru ini kota Bandung meresmikan jalur pedestrian dengan jargon panca trotoar. Perbaikan yang telah dilakukan oleh kota-kota tersebut patut diapresiasi sejalan dengan strategi walkabilitas, namun bukan serta Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| E 063
Kebijakan Walkabilitas di Kota Malang
merta diadopsi langsung. Kecenderungan keseragaman penataan (perancangan) kota satu dengan lainnya cukup memancing diskusi dan studi lebih lanjut. Perencana, arsitek dan pemerhati kota bertanggung jawab terhadap citra kota yang khas dan berkonteks kota itu sendiri agar tidak kehilangan jati diri dan semakin mengokohkan martabat kota itu sendiri (Newman & Jennings, 2008; Newman & Jennings, 2014). Kota-kota di Bali adalah contoh nyata kota yang berkonteks dari budaya yang kuat. Budaya yang kuat merupakan representasi rasa keterikatan terhadap suatu tempat dan menjadi salah satu asas kota yang berkelanjutan (Newman & Jennings, 2008; Newman & Jennings, 2014). Strategi walkabilitas yang ada di Kota Malang dirinci sebagai berikut: 1. Yang sudah dilakukan: Perbaikan jaluir pedestrian di sisi selatan Alun-alun Jalan Merdeka;
Gambar 2. Lingkungan pedestrian di ujung AAJM bagian selatan yang telah mengalami perbaikan.
Adanya jalur sepeda kayuh di seputaran AAJMTalun; adanya akses ke AAJM bagi difabel berkursi roda; membuat taman-taman kota menjadi aktif; dan mengadakan bis sekolah, yang berarti sudah mulai memperhatikan transportasi masal yang lebih baik, meskipun belum optimal karena belum banyak yang memanfaatkan dan mendapat pertentangan dari kelompok angkutan kota mikrolet, sedangkan moda bis kurang proporsional terhadap dimensi jalan di Kota Malang. 2. Yang sedang dilakukan
Gambar 1. Trotoar di ujung selatan AAJM, sebelum diperbaiki, trotoar ini menjadi tempat parkir.
Perbaikan lingkungan pedestrian dilakukan dengan menata elemen pelengkap keindahan berupa pot dan lampu berada di tengah jalur, yang menurut hasil dari penelitian ini, menjadi panghalang yang harus disingkirkan. Upaya peningkatan estetika visual lebih mengemuka dibanding dengan fungsi jalur pedestrian.
E 064 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Penambahan fasilitas pelengkap berupa tempat duduk di jalur pedestrian meskipun peletakannya mengurangi lebar efektif trotoar, kegiatan rutin CFD di jalan Ijen tiap hari Minggu yang mewadahi aktivitas non motor dan upaya mengurangi polusi, kegiatan non motor yang diwadahi dalam fungsi rekreatifolahraga, bukan dalam fungsi moda pergerakan. penyusunan rencana induk jaringan sepeda, sosialisasi dan edukasi terhadap warga kota tentang UU LLAJ, no 22/2009 melalui 10 titik traffic voice, pengadaan PCTL (Pedestrian Crossing Traffic Light ) berupa tombol pencet untuk menyeberang, keberadaan alat
Erna Winansih
ini memberi makna paradoks. Di satu sisi memfasilitasi pedestrian, di sisi lain memberi makna jika menyeberang menjadi hal yang tidak mudah sehingga diperlukan alat. Kesulitan menyeberang karena perilaku pengguna kendaraan bermotor tidak mendahulukan pedestrian seperti yang telah diatur dalam UU LLAJ. Kesimpulan Untuk mewujudkan pencapaian tujuan walkabilitas pada koridor jalan di sekitar ruang publik Alun-Alun dibutuhkan lembaga yang dapat menangani berbagai kendala dalam bentuk program yang melibatkan institusi-institusi terkait (Gambar V-26). Kebijakan dan kelembagaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kebijakan yang baik tetapi tidak dilengkapi dengan kelembagaan yang tepat dan mendukung , tidak akan membantu dalam pencapaian tujuan walkabilitas yang digariskan. Sebaliknya, kelembagaan yang sudah ideal, tapi kebijakan tidak mendukung juga akan membuat tujuan wallabilitas di ruang publik sulit tercapai. Dengan demikian kelembagaan adalah pondasi bagi seluruh proses penerapan/pengelolaan ruang publik yang walkabel. Kelembagaan dapat dilihat sebagai organisasi yang sekaligus mengandung pengertian regulasi atau aturan main. Kebijakan merupakan unsur penting dalam institusi yang dapat menerjemahkannya dalam bentuk rencana, strategi, kesepakatan, peraturan, konsensus, maupun program yang menjadi landasan untuk semua tindakan.
Daftar Pustaka Sergio, (2008), Daylight for Energy Savings and Psycho-Physiological Well-Being in Sustainable Built Environments, Journal of Sustainable Development, Vol 1, No 3, November, School of the Built Environment, University of Nottingham University Park, NG7 2RD Nottingham, United Kingdom Amiranti, Sri. (2001). Peran Faktor Psikologis dalam Desain Arsitektur dan Kota. Makalah disajikan dalam Altomonte,
Seminar Psikologis Ruang dalam Arsitektur dan Kota di Universitas Diponegoro, Semarang, 15 Januari 2001.
Badami. Urban Transport Policy as if People and the
Environment Mattered, Pedestrian Accessibility the
First Step. Economic & Political Weekly , vol xliv no 33;2009. Bogdanović,
Veliborka, Danijela Milanović,
(2003).
THE VAPOR DIFFUSION CHARACTERISTICS OF THE EXTERIOR FACING OF THE FAÇADE THERMAL INSULATION SYSTEMS, FACTA UNIVERSITATIS, Series: Architecture and Civil Engineering Vol. 2, No 5, , pp. 349 – 356, DESIGN OF UDC 699.86.(045)=20 The Faculty of Civil Engineering and Architecture, University of Niš Aleksandra Medvedeva 14, Niš, Serbia and Montenegro. Carr, Stephen. (1992). Public Space. New York. Cambridge University Press. Dept. of Civil and Environmental Engineering & Dept. Urban Studies and Planning, Cubukcu, Ebru, (2013), Walking for Sustainable Living, Elsevier, Journal Procedia for Social and Behavior Sciences, Vol. 85, 20 Sepetember 2013, available online 7 October 2013, AcE-Bs 2013 Hanoi (ASEAN Conference on Environment-Behaviour Studies), Hanoi Architectural University, Hanoi, Vietnam, 1821 March 2013. Efroymson, Debra ,(2012), Dhaka Bus Rapid Transit Walkability Strategy, Sustainable Urban Transport , Technical Assistance Consultant’s Report (TA 6350) Gwilliam, Ken. Cities on the Move. Washington, D.C.: World Bank.;2002 Indonesia Government- Ministry of Public Work Regulation number 3/PRT/2014.The Guidance of
Pedestrians Network Infrastructure Planning, Providing and Using in Urban Areas; 2014
Krambeck, Holly, (2006), The Global Walkabity Index: Talk the Walk and Walk The Talk, Master’s Degree Candidate Massachusetts Institute of Technology Leather, James , (2011), Walkability and Pedestrian Facilities in Asian Cities, State and Issues, Asian Development Bank,ADB Sustainable Development Working Paper Series Lehmann, Steffen (2007), International Conference on Sustainable Architectural Design and Urban Planning, Hanoi Architectural University, May 15-16, , Hanoi, Vietnam Sustainability on the Urban Scale: ‘Green Urbanism’ Chair, The University of Newcastle, School of Architecture & Built Environment, Australia General Editor ‘Journal of Green Building’ Maa, Jia, (2010), Compatibility: Experimental study on microscopic moving characteristics in built corridor based on digital image processing, a State Key Laboratory of Fire Science, University of Science and Technology o f China, Department of Building and Construction, City University of HongKong, Marichela Sepe, (2006). Sustainable Walkability and Place Identity International, Journal of Human and
Social Sciences 1:3 University Park, NG7 2RD Nottingham, United Kingdom Mohan, Manju , (2011) , Dynamics of Urbanization and Its Impact on Land-Use/Land-Cover: A Case Study of Megacity Delhi Subhan K. Pathan2, Kolli Narendrareddy1, Anurag Kandya1, Sucheta Pandey3 , Centre for Atmospheric Sciences, Indian Institute of Technology, New Delhi, India; 2Indian Space Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| E 065
Kebijakan Walkabilitas di Kota Malang
Research Organisation, Space Applications Centre, Ahmedabad, India; 3Centre of Studies in Resource Engineering Indian Institute of Technology Bombay, Mumbai, India, Journal of Environmental Protection, 2011, 2, 1274-1283 doi:10.4236/jep.2011.29147 , dipublikasikan secara online, November 2011 (http://www.scirp.org/journal/jep)) Najoan, Jemmy, (2011), Evaluasi penggunaan Tanaman lansekap di Taman Kesatuan Bangsa (TKB), Pusat kota Manado, Jurnal Sabua, 3(1), 9-18, Mei 2011 ISSN 2085-7020, Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik – Universitas Sam Ratulangi Manado Mei 2011. Newman, Peter, (2014), International Symposium on Regional Sustainable Development, 1st ISoRSDev, keynote speaker Newman, Peter, (2015), 2nd International Conference Planning in the Era of Uncertainty Sustainable Development, keynote speaker Sadana, Abha, (2012) A Sustainable Framework for
Better Pedestrian Experience – The Case of Delhi,
European Journal of Social Sciences ISSN 1450-2267 Vol.30 No.1 (2012), pp. 5-40© EuroJournals Publishing, Inc. 2012 Silas, Johan, (2015), Hentikan Jor-joran Mobil dengan Pengetatan Parkir, Surya Online, Surabaya, Sabtu 10 Januari 2015, 10:09 Subadio, Tutut, (2011), Kajian Lansekap Koridor Jalan, ITS Surabaya Suroto, Widi (2010), Arsitektur Berkelanjutan ? Suatu Kajian Tentang Pendekatan Perumusan Ideal Lulusan Pendidikan Arsitektur, Proseding seminar 60 tahun Pendidikan Ar si tektur, Institut Teknologi Ba
ndung, 2 0 1 0
UITP. Millennium Cities Database for Sustainable Transport. CD-ROM. Brussels, Belgium: UITP. United States Department of Transportation -- Partnership for a Walkable America; 2001 WHO.World Health Organization. Global Status Report on Road Safety: Time for Action.Geneva: World Health Organization, p. 9;2009. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Ilmiah, T (2007). Ideologi dalam Pengembangan Pengetahuan. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia,1, 01-12.
E 066 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
