Kebijakan Perdagangan dan Kelaparan: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Ditulis oleh Armin Paasch (editor), Frank Garbers dan Thomas Hirsch (FIAN - FoodFirst Information and Action Network) Dilakukan atas permintaan dan dipublikasikan pada bulan Oktober 2007 oleh Ecumenical Advocacy Alliance 150 route de Ferney P.O. Box 2100 CH-1211 Geneva 2 Switzerland T. +41 22 791 6723 F. +41 22 710 2387 www.e-alliance.ch 2007 Ecumenical Advocacy Alliance. Hak cipta milik Ecumenical Advocacy Alliance. Penelitian ini dilakukan dengan lisensi Creative Commons Attribution Non-commercial. Tidak ada ijin lanjutan. Untuk melihat isi lisensi, silakan kunjung http://creativecommons.org/licenses/ by-nc-nd/3.0/ ; atau kirim surat kepada Creative Commons, 171 2nd Street, Suite 300, San Francisco, California, 94105, USA. Anda bebas memfotokopi, mendistribusikan dan menyebarluaskan penelitian ini dengan syarat mencantumkan nama Ecumenical Advocacy Alliance. Desain dan tata letak oleh Gilberto Domingues Lontro dari Ecumenical Advocacy Alliance. Foto halaman muka oleh Paul Jeffrey untuk Ecumenical Advocacy Alliance. Foto sampul belakang oleh Paul Jeffrey dan Justin Coupertino. Edisi Indonesia - Diterjemahkan oleh Indraswari - Editing oleh Tina E.T.V. Napitupulu. Laporan ini tidak mewakili pandangan organisasi/lembaga jaringan Ecumenical Advocacy Alliance. Penulis dapat dihubungi melalui FIAN FIAN International e.V. Willy-Brandt-Platz 5 69115 Heidelberg Germany T. + 49 6221 65300 30 F. + 49 6221 830 545 www.fian.org
Kebijakan Perdagangan dan Kelaparan Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
oleh Armin Paasch (editor), Frank Garbers dan Thomas Hirsch
Daftar Isi Daftar Singkatan 6 Pendahuluan 9 1. Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi 11 1.1 Isi Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Kewajiban Negara Peratifikasi 11 1.2 Kewajiban Lintas Negara (extra territorial obligations) 13 1.3 Mengedepankan Hak Asasi Manusia 16 2. Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil 17 2.1 Gelombang Impor dan Latar Belakangnya 18 2.2 Dampak terhadap Petani Kecil 23 2.3 Kepentingan Konsumen sebagai Legitimasi Liberalisasi 24 3. Pendekatan dan Metodologi 26 3.1 Pertanyaan Penelitian 26 3.2 Ruang Lingkup, Tantangan dan Metodologi 26 3.3 Tingkat Analisis 28 3.3.1 Analisis Konteks 28 3.3.2 Analisis di tingkat komunitas 30 3.3.3 Analisis Hak atas Pangan 31 4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana 32 4.1 Pendahuluan 32 4.2 Konteks: Krisis Produksi Beras dan Latar Belakang Kebijakan Pemerintah 33 4.2.1 Ledakan dan Krisis Produksi Beras di Ghana 33 4.2.2 Beras Impor Dumping Menangkap Peluang Pasar 35 4.2.3 Kebijakan Beras Nasional Dibawah Bayang-bayang IMF 40 4.3 Studi Kasus: Impor Beras dan Hak atas Pangan di Dalun 47 4.3.1 Komunitas Dalun 47 4.3.2 Perkembangan Produksi Padi dan Penghasilan Petani sejak tahun 1999 51 4.3.3 Potret Kelaparan di Dalun 56 4.4 Pelanggaran Hak atas Pangan melalui Kebijakan Perdagangan 59 5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras 63 5.1 Pendahuluan 63 5.2 Konteks 65 5.2.1 Arrozazo dan Kebijakan Penyesuaian Struktural (Tahun 1991-1998) 66 5.2.2 Angin topan Mitch dan Dumping: Dua Peristiwa dengan Dampak yang sama (1998-2002) 68 5.2.3 Antara Hidup dan Mati: Perjanjian Beras dan DR-CAFTA (2003-2006) 71 5.2.4 Menuju Masa Depan yang Kontradiktif: Perspektif Baru Sektor Biji-bijian? 74 5.3 Dua Studi Kasus Perihal Harapan dan Kekecewaan Produsen Beras 74
3
4
5.3.1 Komunitas Guayamán dan Asosiasi Bisnis Petani Kecil EACTSO 75 5.3.2 Komunitas Guangolola dan Koperasi Regional CARNEL (El Negrito) 80 5.3.3 Konsekuensi Krisis Beras di Guayamán and Guangolola 84 5.4 Dampak Krisis Sektor Beras terhadap Hak atas Pangan: Aktor yang terlibat dan tanggungjawabnya 85 5.4.1 Pemerintah Honduras 86 5.4.2 Amerika Serikat 88 5.4.3 World Bank dan IMF 89 6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat 90 6.1 Pendahuluan 90 6.2 Konteks Politik dan Ekonomi Makro – Liberalisasi Pasar Beras di Negara Rawan Pangan 91 6.2.1 Indonesia 91 6.2.2 Konteks Kebijakan Nasional 92 6.2.3 Dampak sosial-ekonomi liberalisasi pasar beras tahun 1997-2001 99 6.2.4 Dampak yang diharapkan dari kemungkinan penerapan putaran baru liberalisasi perdagangan tahun 2007 101 6.3 Dampak Liberalisasi Pasar Beras terhadap Empat Komunitas Petani Padi di Jawa Barat 105 6.3.1 Metodologi dan Profil Komunitas Petani Padi 105 6.3.2 Ciri-ciri utama pertanian padi di desa-desa yang di teliti 106 6.3.3 Rantai Produksi 107 6.3.4 Perubahan yang terjadi sejak liberalisasi pasar pada tahun 1997 108 6.3.5 Liberalisasi Perdagangan – Pandangan Petani 110 6.3.6 Kemiskinan dan Kerawanan Pangan 112 6.4 Penilaian dari pandangan Hak Asasi Manusia 113 6.4.1 Peran dan tanggungjawab pemerintah Indonesia 114 6.4.2 Peran dan Tanggungjawab Pemenuhan Hak Asasi Manusia IMF dan World Bank 116 6.4.3 Peran dan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia negara lain 117 7. Ringkasan dan Kesimpulan 118 8. Daftar Pustaka 131 Bab 1: Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi 131 Bab 2: Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman Bagi Petani 132 Bab 3: Pendekatan dan Metodologi 132 Bab 4: Dampak Impor dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana 132 Bab 5: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras 134 Bab 6: Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani Padi di Jawa Barat 136 9. Lampiran 138 Bab 2: Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil 138 Lampiran 1: Daftar Tabel dan Gambar 138 Bab 3: Pendekatan dan Metodologi 138 Lampiran 2: Daftar Pertanyaan untuk Analisis Konteks 138 Lampiran 3: Daftar pertanyaan untuk wawancara semi terstruktur 140 Bab 4: Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana 143
Lampiran 4: Daftar tabel 143 Lampiran 5: Daftar gambar 143 Lampiran 6: Daftar responden yang diwawancarai 143 Bab 5: Dampak Liberalisai Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Pangan di Honduras 145 Lampiran 7: Daftar tabel 145 Lampiran 8: Daftar gambar 145 Lampiran 9: wawancara 145 Lampiran 10: Satuan berat dan volume 146 Lampiran 11: DR-CAFTA 146 Bab 6: Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani Padi di Jawa Barat 148 Lampiran 12: Daftar Tabel 148 Lampiran 13: Daftar Gambar 149 Lampiran 14: Daftar responden yang diwawancarai 149
5
Daftar Singkatan
6
ACAN ACP countries CEPS AFTA ASG ANAMH AoA BANADESA BIP BULOG CAFTA CARNEL CEPIL CEPAL CESCR CET CIS CSO DFID DR-CAFTA DRI-YORO EAA EACTSO ECOSOC ECOWAS ECOWAS CET EED EPA EPR ERP EU FAPIM
Asociación Campesina Nacional African, Caribbean and Pacific countries (negara-negara di kawasan Afrika, Kariba dan Pasifik) Customs, Excise and Preventive Services (Kantor Pelayanan Bea Cukai) ASEAN Free Trade Area (Wilayah perdagangan bebas ASEAN) WTO Agreement on Safeguards (Perjanjian terkait Pengamanan) National Millers’ Association (Asosiasi Penggilingan Padi Nasional) Agreement on Agriculture (Perjanjian Pertanian dalam WTO) National Agricultural Development Bank (Bank Pembangunan Nasional) Botanga Irrigation Project (Proyek Irigasi Botanga) Badan Urusan Logistik Central American Free Trade Agreement (Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Tengah) Cooperativa Agropecuaria Regional El Negrito Limitada Centre for Public Law Comisión Económica para América Latina y el Caribe (UN) Committee on Economic, Social and Cultural Rights (Komite PBB untuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya) Common External Tariff (tarif eksternal bersama) Commonwealth of Independent States (Persemakmuran negara-negara merdeka) Civil Society Organisation (organisasi masyarakat sipil) Department for International Development (Departemen Pembangunan Internasional) Dominican Republic-Central America Free Trade Agreement (Perjanjian Perdagangan Bebas Republik Dominika dan Negara-negara Amerika Tengah) Integrated Rural Development Project of Yoro (Proyek pembangunan pedesaan Yoro) Ecumenical Advocacy Alliance Empresa Asociativa de Campesinos de Transformación y Servicios Otoreña UN Economic and Social Council (Badan PBB untuk Ekonomi dan Sosial) Economic Community of West African States (Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat) Common External Tariff for ECOWAS Member States (tarif eksternal bersama bagi negara-negara anggota ECOWAS) German Church Development Service Economic Partnership Agreements (Perjanjian Kerjasama Ekonomi) Effective Protection Rate (Tarif Proteksi Efektif) Economic Recovery Program (Program Pemulihan Ekonomi) European Union (Uni Eropa) Farmer’s Participation in Irrigation Management (Partisipasi petani dalam manajemen irigasi)
FASDEP FIAN FOB FSPI GATT GIDA GDP GKP GLSS GPRS GTLC Ha HIPC HPP ICESCR IFI IGJ IGO IHMA IMF ISODEC JICA KIP LMA LoI MCA MOTI MOFA Mt NAFTA NIB
Food and Agriculture Sector Development Policy (Kebijakan sektor pembangunan pangan dan pertanian) FoodFirst Information and Action Network Free on Board Price (Harga Free on Board – Istilah dalam perdagangan untuk menyatakan bahwa barang berpindah dari penjual ke pembeli pada saat pengiriman) Federasi Serikat Petani Indonesia (sekarang SPI – Serikat Petani Indonesia) General Agreement on Tariffs and Trade (Perjanjian umum tarif dan perdagangan) Ghana Irrigation Development Authority (Otoritas Pembangunan Irigasi Ghana) Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto) Gabah Kering Panen Ghana Living Standard Survey (Survey standar hidup Ghana) Ghana Poverty Reduction Strategy (Strategi Penurunan Kemiskinan Ghana) Ghana Trade and Livelihoods Coalition (Koalisi perdagangan dan penghidupan Ghana) Hektar Initiative for Highly Indebted Poor Countries (Inisiatif bagi negara-negara miskin dengan hutang tinggi) Harga Pembelian Pemerintah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya) International Financial Institutions (Institusi keuangan internasional) Institute for Global Justice Inter-Governmental Organisation (Organisasi antar pemerintah) Honduran Institute of Agricultural Marketing (Institute Pemasaran Pertanian Honduras) International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) Integrated Social Development Centre (Pusat pembangunan sosial) Japan International Cooperation Agency (Badan kerjasama internasional Jepang) Kpong Irrigation Project (proyek irigasi Kpong) Ley de Modernización Agrícola Letter of Intent (Surat Perjanjian antara IMF dengan pemerintah) Millennium Challenge Account Ministry of Trade and Industry (Kementrian Perdagangan dan industri) Ministry of Food and Agriculture (Kementrian pangan dan pertanian) ton North American Free Trade Agreement (perjanjain perdagangan bebas Amerika Utara) National Investment Bank
7
8
NGOs ODA ODI PRGF Rp RtF SAP SDR SEND Foundation SSG STE TNC UNDP USAID US USD USDA VSFC WAMTI WTO
Non-Governmental Organisations (Lembaga swadaya masyarakat) Overseas Development Aid (Bantuan pembangunan luar negeri) Overseas Development Institute (Institut pembangunan luar negeri) Poverty Reduction and Growth Facility (Penurunan kemiskinan dan fasilitasi pertumbuhan) Rupiah Right to Food (hak atas pangan) Structural Adjustment Programmes (program penyesuaian struktural) Special Drawing Rights Social Enterprise Development Foundation of West Africa Special Safeguard Measures (Tindakan-tindakan pengamanan khusus) State Trading Enterprises (Perusahaan dagang negara) Transnational Corporation (Korporasi Transnasional) United Nations Development Programme (Program Pembangunan PBB) United States Agency for International Development (Lembaga Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional) United States (Amerika Serikat) United States Dollars (dolar Amerika) United States Department of Agriculture (Departemen Pertanian Amerika Serikat) Vietnam Southern Food Corporation Wahana Masyarakat Tani Indonesia World Trade Organisation (organisasi perdagangan dunia)
Pendahuluan Produksi beras dan kebijakan perberasan memiliki dampak langsung terhadap ketahanan pangan dunia. Beras adalah sumber kalori utama bagi setengah penduduk dunia dan sumber penghasilan utama bagi dua milyar orang. Meskipun hanya 6,5% dari produksi beras dunia yang diperjualbelikan secara internasional, perdagangan internasional beras memiliki dampak serius bagi perkembangan pasar beras domestik. Selama kurun waktu 1983-2003, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organisation - FAO) mencatat 408 kasus impor beras yang melanda 102 negara – sebagian besar di Afrika, Kepulauan Pasifik dan Amerika Tengah. Meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa ketahanan pangan banyak dipengaruhi oleh gelombang impor atau kenaikan impor pada umumnya, relatif sedikit penelitian yang menggali dampak negatif gelombang dan kenaikan tersebut di tingkat mikro yaitu dampak terhadap petani berlahan sempit dalam hal penghasilan, kemiskinan dan kemampuan petani berlahan sempit untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka sendiri. Bahkan, lebih sedikit lagi penelitian yang menganalisis hal yang sama dari perspektif hak asasi manusia. Hak asasi manusia untuk kecukupan pangan adalah hak asasi yang mendasar bagi setiap orang. Hak tersebut tercantum dalam pasal 11 Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR). Bagi petani kecil - yang merupakan setengah dari jumlah penduduk dunia yang kelaparan - hak atas pangan juga berarti hak atas sumber daya produktif termasuk kondisi lingkungan yang mendukung yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi dirinya sendiri dengan caracara yang bermartabat. Lebih dari 150 negara telah meratifikasi ICESCR dan mereka wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan, bukan hanya bagi warga yang tinggal di dalam wilayah kedaulatan negaranya, namun juga bagi warga negara lain yang hidup di luar wilayah kedaulatan tersebut. Pada tingkat minimal - kebijakan negara termasuk kebijakan perdagangan – tidak boleh berdampak negatif bagi (warga) negara lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan perdagangan beras menimbulkan dampak negatif atau melanggar pemenuhan hak atas kecukupan pangan bagi komunitas penghasil beras di Ghana, Honduras dan Indonesia. Studi ini menganalisis hubungan sebab akibat. Pertama, hubungan antara kenaikan tajam impor beras dengan bencana kelaparan, gizi buruk dan kerawanan pangan. Kedua, hubungan antara kenaikan impor tersebut dengan kebijakan perdagangan dan pertanian tertentu. Analisis meliputi pula faktor terkait seperti bencana alam, peraturan sewa lahan atau akses terhadap infrastruktur. Faktor-faktor tersebut juga mendapat perhatian penting agar analisis pengaruh kebijakan perdagangan (yang menjadi fokus penelitian) tidak terlepas dari konteks. Studi kasus melihat pula sejauh mana tanggung jawab pemerintah (dari ketiga negara yang diteliti), negara lain dan organisasi antar pemerintah (intergovernmental organisations – IGOs). Laporan penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 membahas tentang Hak Asasi Manusia atas Kecukupan Pangan dan kewajiban negara dalam era globalisasi. Bab 2 memberikan pengantar singkat tentang ancaman perdagangan internasional beras dan meningkatnya impor terhadap petani kecil penghasil beras. Bab 3 membahas pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam studi kasus guna menyelidiki dampak perdagangan internasional dan impor beras terhadap
9
pemenuhan hak atas pangan produsen beras lokal. Bab 4-6 merupakan inti dari penelitian ini dan pemaparan dari studi kasus di Ghana, Honduras dan Indonesia. Dan akhirnya, bab 7 memberikan ringkasan dan kesimpulan penelitian.
10
Laporan penelitian ini disusun atas permintaan Ecumenical Advocacy Alliance (EAA) dan disunting oleh Armin Paasch (FIAN Jerman) bekerjasama dengan Frank Garbers (konsultan independen) dan Thomas Hirsch (FIAN Internasional). Armin Paasch menulis pendahuluan, bab 1 hingga 4 dan bab 7, Frank Garbers mengerjakan bab 5 dan Thomas Hirsch menyusun bab 6. Studi kasus dalam penelitian ini dilakukan dengan kerjasama dan dukungan penuh para pakar dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), petani di ketiga negara yang diteliti dan mitra EAA. Kami hendak mengucapkan terima kasih pada semua LSM tersebut, pihak-pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini dan terutama pada semua anggota komunitas berpartisipasi dan pendukung penelitian ini. Untuk studi kasus Ghana kami ingin mengucapkan terima kasih kepada komunitas Dalun dan kepada Bashiru Jumah dari Yayasan Send yang telah membantu sebagai asisten peneliti dalam studi kasus di Dalun dan mengatur pertemuan-pertemuan dengan para petani. Terima kasih pula kami ucapkan kepada Mohammed Issah dan Sidua Hor ( Yayasan Send) yang telah mengorganisasikan pertemuan dengan para pakar dan pejabat pemerintah, serta memberikan masukan penting bagi perbaikan draft penelitian. Untuk studi kasus Honduras, kami mengucapkan terima kasih kepada komunitas Guayamán dan Guangolola, Cooperativa Agropecuaria Regional El Negrito Limitada (CARNEL), Empresa Asociativa de Campesinos de Transformación y Servicios Otoreña (EACTSO), Comisión Cristiana de Desarrollo (CCD) dan FIAN Honduras. Untuk studi kasus Indonesia kami mengucapkan terima kasih kepada komunitas Cikuntul dan Cikalong (keduanya terletak di Kabupaten Karawang), Pinangsari (Kabupaten Subang) dan Samudrajaya (Kabupaten Bekasi), semuanya berlokasi di Propinsi Jawa Barat. Terima kasih kepada tim peneliti atas partisipasinya dalam penelitian ini dan atas komentar dan saran yang diberikan, yaitu Lutfiyah Hanim (Institute for Global Justice – IGJ), Nanang Hari (Bina Desa), Tina Napitupulu (Bina Desa), Herjuno Ndaru (IGJ) dan Nizwar Syafa’at. Terima kasih pula kepada Benny Benyamin (Asian Farmers Regional Network – ASFARNET), Isabella Delforge (La Via Campesina), Mohamed Ikhwan (Federation of Indonesian Peasant Union - FSPI), Indera Nababan (PMK HKBP – Jakarta), Carla June Natan (Urban Community Mission – Jakarta) dan Agusdin Pulungan ( Wahana Masyarakat Tani- WAMTI). Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan saran yang membangun dan sangat berguna bagi perbaikan draft awal laporan penelitian ini yaitu Jean Blaylock, Carolin Callenius, Caroline Dommen, James Harrison, Rogate Reuben Mshana, Danuta Sacher, Jeanette Schade, Britta Schweighöfer, Carin Smaller, Sara Speicher, Wolfgang Sterk dan Michael Windfuhr.
1. Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi Tidak ada satupun manusia yang dapat bertahan hidup tanpa makanan. Akses terhadap pangan sehat dalam jumlah cukup merupakan prasyarat dasar bagi manusia agar dapat mengembangkan kapasitas fisik, mental, intelektual dan untuk menjalani kehidupan dengan bermartabat. Oleh karena itulah maka pangan yang berkecukupan masuk ke dalam hak asasi dasar manusia. Hak asasi manusia atas pangan yang berkecukupan (Human Right to Adequate Food) adalah bagian dari Pasal 25 Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (General Declaration of Human Rights) yang disusun pada tahun 1948 dan Pasal 11 Konvensi Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) yang disusun oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Konvensi tersebut berlaku sejak tahun 1976 dan saat ini sebanyak 156 negara telah meratifikasi konvensi ini, yang berarti bahwa setiap pemerintahan negara tersebut wajib memenuhi hak atas pangan bagi warga negaranya.
1.1 Isi Konvensi Internasional Hak Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Kewajiban Negara Peratifikasi General Comment no 12 Komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UN Committee on Economic, Social dan Cultural Rights – CESCR)1 tahun 1999, menyebutkan bahwa Hak atas Kecukupan Pangan adalah sebagai berikut: Suatu kondisi dimana setiap laki-laki, perempuan dan anak, baik secara perorangan atau berkelompok, setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi untuk mendapatkan pangan yang layak atau cara-cara untuk memperolehnya. General Comment no 12 secara tegas menekankan bahwa hak atas pangan tidak saja meliputi akses terhadap pangan saja tetapi akses terhadap pangan yang layak: Hak atas kecukupan pangan untuk itu jangan diterjemahkan secara sempit dengan mengartikannya sebagai jumlah minimal kalori, protein dan komponen gizi lain. Hak atas kecukupan pangan harus diartikan secara lebih luas. [cetak miring sesuai naskah asli] Paul Jeffrey/EAA 1 CESCR adalah badan PBB yang terdiri dari para pakar independen yang bertugas memantau implementasi hak atas pangan yang terdapat dalam ICESCR. Mereka bertindak atas nama Badan PBB untuk Ekonomi dan Social (UN Economic and Social Council – ECOSOC). General Comment yang dipublikasikan oleh CESCR diakui secara luas oleh negara-negara anggota ECOSOC sebagai penjelasan resmi dan seringkali digunakan oleh lembaga peradilan di negara-negara tersebut.
11
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Dalam hal ini hak atas pangan meliputi “ketersediaan pangan dalam jumlah/kuantitas dan kualitas memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan individu, bebas dari zat-zat berbahaya, dan sesuai dengan budaya lokal; serta akses terhadap pangan tersebut haruslah berkelanjutan dan tidak mengganggu pemenuhan hak asasi manusia yang lain.” Dengan kata lain hak atas pangan tidak dapat diartikan secara sempit sekedar untuk menghindari kelaparan. Lebih jauh, General Comment no 12 menekankan saling keterkaitan antara berbagai aspek hak asasi manusia: Akses ekonomi mengandung makna bahwa kemampuan keuangan perorangan atau rumah tangga untuk tetap mendapatkan pangan layak dalam jumlah cukup tidak boleh mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar lain. 12
Perjanjian ini diratifikasi oleh negara dalam hal ini adalah pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menjadi aktor utama yang berkewajiban memenuhi hak atas pangan. Berdasarkan General Comment no 12, negara-negara tersebut memiliki tiga kewajiban yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi (hak atas pangan penduduknya). Artinya negara pertama-tama berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggu atau menghancurkan akses rakyatnya terhadap pangan. Kedua, negara wajib untuk melindungi hak atas pangan rakyatnya dari dampak negatif campur tangan pihak ketiga. Dan terakhir, negara harus “mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada secara maksimal” untuk memenuhi hak atas pangan bagi rakyatnya yang sedang mengalami kelaparan. Jelas terlihat bahwa General Comment no 12 juga menyatakan bahwasanya hak atas pangan tidak hanya berarti hak untuk diberi makan melainkan mencakup pula hak untuk mampu mencukupi kebutuhan pangan diri sendiri, termasuk akses terhadap berbagai “alat atau cara untuk memperoleh pangan” seperti tanah, air atau bibit. Ini berarti bahwa hak atas pangan mewajibkan negara untuk “memperkuat akses rakyat dalam memperoleh, memanfaatkan sumberdaya dan cara-cara lain untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka termasuk ketahanan pangan”. Terutama bagi masyarakat pedesaan, akses terhadap sumber daya produktif adalah prasyarat utama bagi pemenuhan hak atas kecukupan pangan. Namun akses terhadap sumber daya saja tidak cukup. Masyarakat harus dimampukan untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri melalui pemanfaatan sumber daya tersebut. Maka, negara harus mengembangkan strategi nasional yang komprehensif, yang jika menurut General Comment no 12 dan Petunjuk Tidak Mengikat Hak atas Pangan (Voluntary Guidelines on the Right to Food) yang diterbitkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organisation - FAO) (FAO, 2004) harus meliputi lima elemen yaitu: 1) identifikasi kelompok masyarakat yang rentan kelaparan dan gizi buruk, 2) peninjauan kembali peraturan yang berlaku dan identifikasi kebutuhan untuk melakukan perubahan peraturan, 3) rancangan dan implementasi kebijakan bagi seluruh kelompok rentan, 4) pemantauan implementasi dan efektifitas kebijakan terkait, 5) penyediaan mekanisme dan prosedur untuk membantu masyarakat yang kelaparan untuk mendapatkan akses-akses terhadap pemenuhan haknya. Strategi yang dijalankan harus mencakup pada isu-isu kritis dan standar yang terkait dengan semua aspek sistem pangan, termasuk aspek produksi, proses, distribusi, pemasaran dan konsumsi pangan yang aman, juga standar di bidang kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan jaminan sosial (UN CESCR 1999, hal. 7). [cetak miring sesuai teks asli] Ini berarti sistem pasar dan perdagangan harus diperhatikan dalam upaya mewujudkan hak atas kecukupan pangan. Dalam hal ini negara berkewajiban menciptakan situasi pasar yang adil yang merupakan salah satu kunci pendukung implementasi hak atas kecukupan pangan.
1. Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi
1.2 Kewajiban Lintas Negara (extra territorial obligations) Kewajiban negara untuk memenuhi hak asasi manusia, secara tradisional biasanya merujuk hanya pada tanggung jawab negara terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah kedaulatan negara tersebut. Ini benar,bahwa negara memang memiliki kewajiban yang lebih kuat terhadap rakyatnya, karena kebijakan dan keputusan yang diambil negara berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan warga yang tinggal di wilayah pemerintahannya. Namun bukan berarti bahwa negara tidak perlu memperhatikan pemenuhan hak atas pangan dan hak asasi lain yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di negara lain. Apalagi dalam era globalisasi, hubungan ekonomi dan politik internasional semakin intensif. Ambillah contoh, sejak awal 1980an institusi keuangan internasional (international financial institutions – IFIs) seperti World Bank (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund – IMF) telah memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan pertanian yang strategis di tingkat nasional. Kebijakan ekonomi dan perdagangan domestik dibanyak negara telah banyak dibentuk oleh organisasi-organisasi ini, dan semenjak 1995, Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation - WTO) juga turut dalam proses tersebut. Serupa dengan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa aktifitas korporasi transnasional (Transnational Corporations – TNCs) di bidang pertanian bisa memiliki dampak terhadap pemenuhan hak atas pangan di banyak negara. Sistem hak asasi manusia harus mempertimbangkan fenomena ini dan penting memastikan bahwa peluang suatu negara untuk mengimplementasikan kebijakan hak atas pangan tidak dibatasi oleh negara lain atau oleh organisasi antar pemerintah (intergovernmental organisation – IGO). Pandangan bahwasanya hak asasi manusia memiliki dimensi internasional bukanlah hal yang baru. Pasal 2 dari ICESCR menyatakan: Setiap negara yang meratifikasi kovenan ini berkewajiban mengambil langkah-langkah yang diperlukan - baik secara mandiri dan melalui asistensi ataupun kerjasama internasional khususnya dalam bidang ekonomi dan teknik – untuk memaksimalkan sumber daya yang mereka miliki dengan tujuan merealisasikan secara penuh hak-hak yang tercantum dalam konvenan ini melalui cara-cara yang relevan termasuk jika diperlukan mengadopsi langkah-langkah hukum. Pasal 11 hak atas pangan juga menekankan dimensi internasional: Negara-negara terkait akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan realisasi pemenuhan hak atas pangan, dan memahami pentingnya kerjasama internasional berdasarkan prinsip sukarela […] Menyadari bahwa adalah hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan maka negara-negara peratifikasi kovenan baik secara mandiri maupun melalui kerjasama internasional akan mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk program-program khusus, untuk merealisasikan pemenuhan hak atas pangan. Dalam General Comment no 12, CESCR menyatakan: Negara-negara terkait berkewajiban mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menghormati pemenuhan hak atas pangan di negara lain, untuk melindungi hak tersebut dan untuk memfasilitasi akses terhadap pangan serta memberikan dukungan yang dibutuhkan. Melalui perjanjian internasional yang relevan – negara berkewajiban menjamin bahwasanya hak atas kecukupan pangan terpenuhi sebagaimana mestinya dan mempertimbangkan penggunaan perangkat hukum internasional bagi pemenuhan hak tersebut. Pernyataan di atas dengan jelas menegaskan bahwa di tingkat internasional negara tidak hanya berkewajiban memenuhi hak asasi manusia bagi warga mereka sendiri namun juga bagi warga negara
13
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia lain dan bahwa dalam berbagai perundingan internasional – termasuk perundingan perdagangan – semua negara wajib mematuhi ketentuan tersebut. General Comment no 12 secara tersurat menyebutkan “kewajiban-kewajiban internasional” dengan penekanan khusus pada peran institusi keuangan internasional.
14
Institusi keuangan internasional, terutama IMF dan World Bank seharusnya memberikan perhatian lebih pada perlindungan hak atas pangan dalam kebijakan pemberian pinjaman dan persetujuan kredit serta dalam pelaksanaan perangkat –perangkat internasional yang dipakai guna menyelesaikan krisis utang. Kebijakan tersebut harus diterapkan selaras dengan General Comment no 2 alinea 9, pada semua program penyesuaian struktural (structural adjustment) guna memastikan terlindungnya hak atas pangan. Tidak diragukan lagi bahwa hukum internasional telah mengakui keberadaan dimensi internasional hak asasi manusia dan kewajiban negara dalam pemenuhan hak asasi manusia, namun sejauh ini tidak ada pemahaman yang jelas sejauhmana kewajiban tersebut diberlakukan (Coomans 2005:35f ). Pada tahun 2001 dalam rangka memperjelas dimensi internasional hak atas pangan, Bread for the World, German Protestant Asssociation for Cooperation in Development (EED) dan FIAN, bekerjasama dengan para pakar dan pembela hak asasi manusia, mengembangkan konsep “Kewajiban Lintas Negara” (Extraterritorial States Obligations – ETO) ( Windfuhr 2005:24-32). Mengacu pada konsep tersebut, negara juga memiliki kewajiban terhadap hak atas pangan penduduk yang tinggal di luar wilayah kedaulatan mereka. Dengan kata lain negara berkewajiban menghormati, melindungi dan mendukung pemenuhan hak atas pangan di negara lain melalui kebijakan bilateral dan dalam pengambilan keputusan dengan organisasi antar pemerintah. Jika suatu negara tidak mampu berkontribusi dalam mendorong diwujudkannya hak atas pangan di negara lain, maka paling tidak negara tersebut berkewajiban memastikan bahwa kebijakannya tidak melanggar hak atas pangan negara lain. Karena organisasi antar pemerintah seperti World Bank dan IMF tidak turut meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial Budaya, organisasiorganisasi tersebut tidak memiliki ”kewajiban” yang sama untuk mengimplementasikan hak asasi manusia sebagaimana halnya negara yang meratifikasi. “Kewajiban” untuk memastikan bahwa organisasi antar pemerintah Justin Coupertino/EAA tidak melanggar hak asasi manusia merupakan kewajiban dari negaranegara yang telah meratifikasi kovenan, sebagai bagian dari perjanjian hak asasi manusia. Namun di sisi lain organisasi antar pemerintah tetap harus tunduk pada hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia, terkait dengan posisi mereka sebagai lembaga legal internasional. Lebih jauh lagi, fakta menunjukkan bahwa dalam penyusunan kebijakan, organisasi antar pemerintah seringkali bertindak sendiri tanpa berkonsultasi dengan negara anggotanya. Inilah sebabnya, mengapa, menurut pendapat para pakar hak asasi manusia dan aktifis LSM, paling tidak organisasi antar pemerintah memiliki “tanggung jawab” untuk menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia (lihat Windfuhr 2005:25-26 dan Hausmann 2006:8).
1. Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi
Interpretasi hukum hak asasi manusia yang disampaikan kalangan LSM mendapatkan dukungan dari para pakar hak asasi manusia. Sigrun Skogly dari Universitas Lancaster yang menyatakan “dalam dunia global, pendekatan yang tidak menyeluruh (non global) dalam usaha melindungi hak asasi manusia tidak lagi sesuai”. Dasar dari pendekatan hak asasi manusia yang menyeluruh (global) adalah prinsipprinsip universitalitas (universality) hak asasi manusia: Jika kita menyetujui prinsip universal hak asasi manusia, maka [...] kewajiban yang menyertainya harus pula universal. Dengan semangat universalitas (universility) ini pula maka jika hak asasi manusia dilanggar, kita tidak bisa mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah pelanggaran, hanya karena pelanggaran itu dilakukan oleh negara lain. Konsep “Kewajiban lintas negara” telah diperdebatkan para pakar hak asasi manusia dan dari waktu ke waktu konsep tersebut mulai diakui oleh lembaga-lembaga hak asasi manusia PBB (lihat Windfuhr 2005). Jean Ziegler, pelapor khusus (Special Rapporteur) PBB untuk hak atas pangan, dalam laporannya kepada Komisi Hak Asasi Manusia pada Januari 2005, mengeluhkan bahwasanya negaranegara miskin tidak mampu lagi untuk selalu melindungi warga negaranya dari dampak kebijakan yang diambil oleh negara lain. Sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Bread for the World, EED dan FIAN, Ziegler menyatakan: Setiap negara harus menghormati, melindungi dan mendukung pemenuhan hak atas pangan bagi masyarakat yang tinggal di negara lain, termasuk diantaranya melalui keputusan-keputusan yang diambil oleh negara bersangkutan dalam kaitan dengan peran mereka dalam WTO, IMF dan World Bank. Pemerintah harus memastikan keterkaitan antara kebijakan di tingkat nasional dan internasional dengan menempatkan hak asasi manusia sebagai fokus utama semua kebijakan pemerintah (UN 2005:20). Menurut Ziegler, kewajiban lintas negara untuk menghormati pemenuhan hak atas pangan adalah “kewajiban minimal”. “Kewajiban untuk menghormati tidak menuntut negara terkait untuk menyediakan sumber daya apapun, hanya sebatas ‘tidak mengganggu’ pemenuhan hak atas pangan di negara lain. Termasuk juga dalam kewajiban ini adalah untuk mundur dari pengambilan keputusan dalam WTO, IMF atau World Bank yang berpotensi melanggar pemenuhan hak atas pangan di negara lain” (UN 2005:16). Menghormati kewajiban lintas negara juga berarti bahwa “Pemerintah tidak akan memberikan subsidi pada produksi pertanian yang hasilnya nanti akan diekspor ke negara agraris sedang berkembang, karena hal tersebut akan merusak pemenuhan hak atas pangan penduduk negara yang bersangkutan yang ditimbulkan karena hancurnya mata pencaharian mereka dan bahkan menyebabkan mereka tidak mampu untuk membeli makanan meskipun harga yang lebih murah” (UN 2005:ibid) Kewajiban lintas negara adalah konsep yang relatif baru dan masih perlu dikaji lebih dalam. Fons Coomans, koordinator dan peneliti senior pada Pusat Hak Asasi Manusia di Universitas Maastricht, menyimpulkan “kewajiban internasional untuk menghormati adalah bagian dari hukum hak asasi manusia yang ada saat ini (de lege lata), sedangkan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi adalah bagian dari hukum hak asasi manusia yang ‘dalam proses penyusunan’ (under construction)’ (de lege ferenda)” (Coomans 2005:50). Menurut Coomans, contoh dari keharusan untuk menghormati adalah “negara harus mundur dari kegiatan mempromosikan perdagangan dan subsidi produsen (pangan) yang menguntungkan hanya mereka sendiri namun berdampak negatif pada pedagang dan produsen lokal di negara berkembang” (Coomans 2005:45). Kewajiban minimal lintas negara untuk menghormati hak atas pangan inilah yang seringkali dilanggar melalui kebijakan perdagangan, sebagaimana akan dibahas dalam studi kasus penelitian ini.
15
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
1.3 Mengedepankan Hak Asasi Manusia Dalam hukum internasional sangat mungkin terjadi konflik antara ketentuan hukum (legal obligation) dari sistem yang berbeda, keadaan seperti ini dikenal sebagai “konflik antar rejim hukum” (conflict of law regimes). Dalam situasi tersebut negara harus menemukan titik imbang dalam memenuhi kewajibannya mematuhi hukum di tingkat nasional dan internasional. Namun situasi ini seringkali problematis ketika diperhadapkan dengan isu hak asasi manusia (FIAN Internasional 2003). Contoh, pembatasan hak asasi manusia dalam hal kebebasan memilih atau kebebasan berekspresi, tidak dapat dibenarkan demi mencapai pertumbuhan (ekonomi) yang tinggi. Hak asasi manusia tidak dapat dipertukarkan dan untuk itu memiliki kondisi khusus – Dalam konferensi PBB tentang hak asasi manusia yang dilakukan di Wina pada tahun 1993, disimpulkan: 16
Hak asasi dan kebebasan dasar manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia sejak ia dilahirkan; adalah tugas utama pemerintah untuk melindungi dan memajukan kedua hak tersebut (UN 1993). Berdasarkan deklarasi Vienna, ketentuan ini berlaku bukan saja bagi hak asasi manusia di bidang sipil dan politik namun juga di bidang sosial. Ketentuan ini ditegaskan dalam Kesimpulan Pengamatan CESCR (Concluding Observations of the CESCR) dalam laporan yang dipresentasikan di Kanada terkait implementasi ICESCR pada tahun 2006, secara khusus mengacu pada ancaman liberalisasi perdagangan: CESCR mengingatkan negara anggota bahwa meskipun liberalisasi perdagangan memiliki potensi menciptakan kemakmuran, liberalisasi semacam itu tidak dapat menciptakan lingkungan yang mendukung bagi terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Untuk itu maka, CESCR merekomendasikan pada negara yang telah meratifikasi kovenan untuk mempertimbangkan cara-cara yang mengutamakan hak-hak di dalam perjanjian perdagangan dan investasi dan secara khusus penyelesaian sengketa antara pemerintah dan investor yang diatur dalam bab XI perjanjian bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement - NAFTA). Sangat jelas bahwa hak asasi manusia harus menjadi perhatian utama dalam perjanjian perdagangan. Dalam negosiasi perjanjian perdagangan, setiap negara berkewajiban memastikan bahwa apapun kebijakan yang diambil tidak boleh membatasi pemenuhan hak atas kecukupan pangan baik di dalam negeri sendiri maupun wilayah di negara lain. Pada saat yang sama, tidak ada perjanjian perdagangan atau persyaratan pemberian pinjaman yang dapat dijadikan pembenaran bagi pelanggaran hak atas pangan. Artinya setiap perjanjian perdagangan dan investasi harus dilakukan dalam cara yang tidak mengarah pada pelanggaran hak atas pangan dan hak asasi manusia yang lain. Bila hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan, maka perubahan harus dilakukan terhadap perjanjian tersebut.
2. Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil Menurut FAO, “Beras berperan penting bagi ketahanan pangan dunia” (FAO 2004:8). Bagi setengah penduduk dunia, beras adalah sumber kalori utama. Hal ini terutama berlaku di negara-negara Asia, di mana selama berabad-abad beras adalah makanan pokok. Demikian pula halnya di belahan dunia lain seperti di sebagian kawasan Afrika, Timur Dekat, Amerika Latin dan Karibia, konsumsi beras meningkat dalam jumlah dan proporsi kalorinya. Pada saat yang sama penanaman padi dan pengolahan makanan berbahan baku beras adalah sumber penghasilan utama dan pekerjaan bagi sekitar dua milyar penduduk dunia. Dalam hal produksi dan konsumsi beras, peran petani kecil atau petani berlahan sempit, sangatlah signifikan. Mereka biasanya bekerja di atas lahan seluas kurang dari satu hektar dan sebagian besar adalah perempuan. FAO memperkirakan “sekitar 90% beras dunia dihasilkan dan dikonsumsi oleh petani kecil di negaranegara berkembang” (FAO, 2004:8). Di berbagai belahan dunia petani kecil ini adalah kelompok yang rentan terhadap kemiskinan dan kerawanan pangan. Dengan demikian keterkaitan antara kesulitan yang dialami produsen beras dengan pemenuhan hak atas pangan adalah nyata. Table 1: Leading Rice-producing, Rice-exporting and Rice-importing Countries in 2005
Rank
Producing
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
China India Indonesia Bangladesh Vietnam Thailand Myanmar Philippines Brazil Japan
Exporting Thailand Vietnam India United States Pakistan Egypt China Uruguay Argentina Guyana
Importing Nigeria Philippines Iran Iraq Saudi Arabia Bangladesh China Côte d’Ivoire Senegal European Union Based on: FAO 2007b:25.
Berdasarkan data World Bank, volume perdagangan dan konsumsi beras internasional meningkat dua kali lipat sejak tahun 1970an dan 1980an, namun persentase perdagangan internasional beras hanya sebesar 6,5% dari konsumsi beras dunia. Dibandingkan dengan persentase perdagangan internasional untuk komoditas jagung sebesar 12%, gandum 18% dan kedelai 35%, persentase beras sangatlah rendah. Hal ini dikarenakan pemerintah sebagian besar negara (yang penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok) melakukan intervensi yang diperlukan guna mempertahankan swasembada beras. “Kecilnya persentase tersebut juga disebabkan mekanisme proteksi yang
17
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia diterapkan negara-negara penghasil dan pengkonsumsi beras utama. Proteksi tersebut terkait dengan pencapaian tujuan kebijakan nasional mereka yaitu ketahanan pangan nasional dan perlindungan harga yang juga berarti perlindungan penghasilan para petani padi”. Berdasarkan perhitungan World Bank, bobot rata-rata perdagangan internasional beras (global trade-weighted average tariff) adalah 43,3% ( World Bank 2005:177-179).
18
Cina, India, Indonesia, Bangladesh dan Vietnam adalah lima negara terbesar penghasil dan pengkonsumsi beras. Amerika Serikat menduduki posisi ke-11 sebagai penghasil beras terbesar, namun berada urutan keempat pengekspor beras terbesar dunia. Lebih menakjubkan lagi, Uruguay, Argentina dan Guyana, ketiganya bukan penghasil beras skala besar, namun dalam hal ekspor mereka termasuk dalam 10 negara pengekspor beras terbesar dunia, diikuti oleh negara-negara Uni Eropa di posisi ke-11 (lihat FAO 2007b:25).
2.1 Gelombang Impor dan Latar Belakangnya Terlepas dari relatif rendahnya tingkat kepentingan perdagangan internasional beras, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan internasional beras telah mendominasi kebijakan perberasan di tingkat internasional dan nasional di banyak negara. Melepaskan kendali negara atas impor, ekspor dan harga, serta melakukan privatisasi layanan dan badan usaha milik negara, semuanya itu ditujukan untuk meningkatkan perdagangan internasional. Meningkatnya impor beras di negara berkembang menjadi faktor penting – bahkan untuk di sebagian negara menjadi faktor terpenting – dalam pengembangan pasar dan harga beras nasional. Berdasarkan tindakan-tindakan pengamanan khusus (Special Safeguard - SSG) yang di susun di bawah payung Perjanjian Pertanian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO Agreement on Agriculture – AoA), dalam kurun waktu 1982-2003 FAO mencatat 4082 kasus kenaikan impor beras di 102 negara. Jumlah tersebut sedikit lebih rendah dari impor daging sapi (431) dan daging unggas (509)3. Menurut FAO, “fenomena yang menonjol” adalah kenaikan impor beras yang terkonsentrasi di wilayah atau negara tertentu seperti Afrika Barat, Afrika Tengah, Timur Tengah dan Kepulauan Pasifik. Terdapat 20 negara Afrika yang mengalami tiga kali atau lebih kenaikan impor beras yang terjadi dalam periode yang relatif singkat yaitu antara tahun 1995-2003 (FAO 2007:2). Penyebab kenaikan impor sangatlah kompleks. Ada berbagai faktor penyebab baik internal dan eksternal dan satu kasus berbeda dengan lainnya. Namun ada tiga faktor yang paling sering menyebabkan gelombang impor atau kenaikan impor pada umumnya yaitu: 1) liberalisasi impor 2) harga rendah pasar dunia 3) hambatan di sisi penawaran di negara-negara pengimpor. Ketiga faktor ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan terkait.
2 Tabel 2 yang juga merujuk pada sumber yang sama (FAO) mencantumkan hanya 394 kasus kenaikan impor beras. Perbedaan ini terjadi karena angka 408 adalah jumlah kasus kenaikan impor beras yang terjadi dalam kurun waktu 1982-2003, sedangkan tabel 2 merujuk pada periode 1983-2003 dan tidak menghitung kenaikan yang terjadi pada tahun 1982. 3 Secara umum FAO menggunakan terminologi “gelombang impor” berdasarkan definisi yang tercantum dalam Pasal 2 Perjanjian WTO tentang Pengamanan: “ketika sebuah produk diimpor ke suatu negara dalam jumlah meningkat, secara mutlak atau relatif dibandingkan dengan produk dalam negeri yang sejenis, dan mengancam atau berpotensi mengancam industri dalam negeri yang menghasilkan produk tersebut”. Lebih khusus, FAO mendefinisikan “gelombang impor sebagai “kenaikan yang terjadi jika dalam kurun waktu satu tahun, impor meningkat sebesar 30% dari rata-rata kenaikan impor dalam tiga tahun berjalan” (FAO 2007:2).
2. Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil
Table 2: Import surges of rice in developing regions and sub-regions* 1983-2003
Region Total in developing regions Africa West Africa Southern Africa East Africa Central Africa North Africa South Asia South East Asia Pacific Islands Near East in Asia Central America/ Caribbean South America
Number of Countries
Number of Cases
92 49 16 4 17 9 3 7 9 7 5 12 13
394 220 88 16 61 48 7 19 12 40 35 54 14 Based on: FAO 2007:2.
*Analysis covering 92 countries of the groups of Low-Income Food-Deficit Countries (LIFDC), Least Developed Countries (LDC) and Net Food Importing Developing Countries (NFIDC). Countries in CIS and in Eastern Europe have been excluded, as most were not independent nations until the early 1990s.
1) Liberalisasi impor Faktor penting yang mempengaruhi gelombang impor yang terjadi sejak tahun 1980an adalah liberalisasi impor di negara-negara berkembang yang seringkali terjadi akibat tekanan internasional. Secara khusus, World Bank dan IMF telah mendorong negara berkembang untuk membuka pasar mereka, menghilangkan pembatasan impor non-tarif (non-tariff import barriers) dan memotong cukai impor beras. Penurunan harga beras terutama terjadi pada tahun 1980an dan 1990an sebagai dampak dari program penyesuaian struktural (structural adjustment) yang seringkali menjadi salah satu persyaratan untuk mendapatkan pinjaman. Perjanjian WTO tentang pertanian (AoA) mendukung kebijakan World Bank dan IMF dengan melarang pembatasan non tarif serta mengharuskan negara berkembang menurunkan harga rata-rata produk pertanian sebesar 24% selama kurun waktu 1995-20044. Secara umum dampak buruk AoA terhadap perlindungan pasar beras domestik sudah terbatas. Hal ini disebabkan karena di sebagian besar negara, batas harga beras maksimal (bound tariff) yang diharuskan oleh AoA masih berada di atas harga yang diterapkan saat ini (applied tariff). Namun, negosiasi AoA yang saat ini berlangsung dalam Konferensi Pembangunan Doha dapat dengan cepat memperburuk situasi. Berdasarkan perhitungan Oxfam Internasional, usulan Amerika Serikat untuk membuka akses pasar akan memaksa 25 negara menurunkan harga maksimal beras di negara-negara tersebut lebih rendah dari harga yang diterapkan saat ini. Bahkan usulan dari negara-negara Uni Eropa/G20, yang lebih lunak ketimbang usulan Amerika Serikat, 17 negara tetap harus menurunkan harga beras yang saat ini berlaku.5 4 Pembatasan harga (binding a tariff) artinya negara menetapkan batas maksimal dimana harga pasar tidak boleh melebihi batas tersebut. Harga yang diterapkan (applied tariff) harus berada di antara titik nol dan batas maksimal tersebut. 5 Kedua usulan (Amerika Serikat dan Uni Eropa/G20) disampaikan pada bulan Oktober 2005.
19
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Belakangan ini perjanjian perdagangan bebas regional dan bilateral, seperti NAFTA dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Tengah (Central American Free Trade Agreement - CAFTA) memainkan peran penting dalam penurunan harga. Saat ini negosiasi tarif eksternal bersama (Common External Tariff - CET) antara negara anggota Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (Economic Community of West African States - ECOWAS) juga mengancam tingkat harga yang diterapkan di kawasan Afrika, termasuk Nigeria. Negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement - EPA) antara Uni Eropa dan negara-negara di kawasan Afrika, Karibia dan Kepulauan Pasifik (ACP) juga akan memberikan tekanan yang cukup berat bagi blok Afrika Barat untuk menurunkan harga. Untuk negara-negara seperti Kenya, hal ini akan meningkatkan impor beras giling dari Amerika dan Asia yang diproses dan diekspor via Inggris. Semua ini akan meningkatkan tekanan impor termasuk impor beras dari Asia yang sudah berlangsung lebih dulu (Oxfam 2005b:31). 2) Harga rendah pasar dunia Menurut FAO, dari sisi eksternal, faktor utama yang menyebabkan gelombang impor adalah tingkat harga beras dunia dan tingkat persaingan antara negara pemasok (beras). Contoh antara tahun 2000-2003, harga beras di pasar dunia sangatlah rendah. Dalam kurun waktu tersebut, perdagangan internasional meningkat tajam dan seringkali berdampak terhadap terjadinya gelombang impor, terutama di negara-negara Afrika Barat seperti Kamerun, Pantai Gading dan Ghana. ”Studi kasus yang dilakukan dibawah proyek FAO tentang gelombang impor beras yang muncul semenjak pertengahan 1990an terjadi terutama ketika harga pasar dunia sedang rendah” (FAO 2007:3)
Figure 1: FAO Rice Price Index
6
1998-2000 = 100 140 120 100 80 60 40 20 2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
0 1987
20
Source: FAO 2007:3.
Rendahnya harga beras dunia terutama disebabkan karena tingginya pasokan beras di pasar dunia. Sebagian hal ini disebabkan oleh besarnya dukungan pemerintah negara-negara maju untuk proses produksi dan ekspor beras. Besarnya dukungan tersebut seringkali menyebabkan produksi yang berlebihan dan meningkatkan dumping beras melalui ekspor ke negara lain. Dumping artinya mengekspor beras dibawah harga pasar dalam negeri atau dibawah harga produksi.7 6 Indeks harga beras FAO berdasarkan data dari 16 negara pengekspor terbesar. 7 Berdasarkan definisi pasal 2.1 Perjanjian Antidumping Perjanjian Unum Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade - GATT) suatu produk dikatakan “dibuang” “jika produk tersebut dijual ke negara lain dibawah nilai normal, jika harga ekspor dibawah harga produk sejenis dalam perdagangan normal [...]. Pasal 2.2 membuka peluang perbandingan harga ekspor dengan biaya produksi di negara asal.
2. Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil
Pada tahun 2003 pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan US$ 1,3 milyar untuk mensubsidi sektor beras (Oxfam 2005b: 35f.). Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), 57% pertanian padi di Amerika Serikat tidak akan mampu memenuhi biaya produksi tanpa subsidi, pembayaran kompensasi (counter-cyclical), pinjaman pemasaran (marketing loan) dan sertifikat komoditas (commodity certificate). Selain dukungan langsung tersebut, pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan lain dalam jumlah yang sangat besar, seperti kredit ekspor kepada petani yang bertujuan agar produk mereka mampu bersaing di pasar internasional. Dukungan ini juga ditambah dengan penawaran dukungan kredit dari perbankan Amerika bagi importir-importir luar negeri yang membeli produk-produk pertanian Amerika Serikat. Jika importir tidak mampu mengembalikan kredit tersebut, negara turun tangan dan dengan demikian mengatasi resiko kerugian yang mungkin menimpa eksportir dalam negeri. Secara keseluruhan antara tahun 2000-2003, rata-rata biaya produksi beras di Amerika Serikat adalah US$ 415 per ton. Pada saat yang sama – sebagai hasil dari subsidi pemerintah – rata-rata harga ekspor beras Amerika Serikat hanya US$ 274 per ton, atau 34% lebih rendah dari biaya produksi. Praktek dumping beras semacam ini tidak hanya dilakukan Amerika Serikat, melainkan juga Jepang dan Uni Eropa. Praktek tersebut berdampak negatif terhadap harga pasar beras dunia dan menggerogoti penghasilan petani lokal di negara-negara yang dibanjiri beras ”buangan” tersebut. Namun rendahnya harga beras dunia tidak hanya disebabkan praktek dumping. Bahkan pada saat dukungan pemerintah relatif kecil, harga beras ekspor dapat menghancurkan harga dalam negeri di negara-negara penerima beras ekspor tersebut. Salah satu contoh nya adalah Vietnam, yang meski tidak lagi memiliki program dukungan produksi atau subsidi ekspor yang signifikan tetaplah menjadi negara pengekspor ketiga terbesar ( World Bank 2005:182). FAO menekankan bahwa perusahaan dagang negara di Cina dan India turut andil dalam depresi harga beras dunia sejak tahun 2000 hingga 2003 akibat dari penjualan kelebihan produksi mereka ke pasar internasional (FAO 2007:3). Terlepas dari apakah praktek dumping dilakukan atau tidak, akibat dari tidak adanya mekanisme perlindungan pasar, ekspor dengan harga rendah memiliki daya hancur yang sama bagi produsen di negara penerima beras ekspor. 3) Bantuan Pangan Dalam situasi ekstrim jika di wilayah tertentu tidak tersedia pangan dalam jumlah cukup dan pasar tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bantuan pangan seringkali menjadi komponen penting untuk menjaga ketahanan pangan. Namun jika bantuan pangan tidak dikelola dengan hati-hati, bantuan pangan dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar dan harga di tingkat produsen beras lokal. FAO menyatakan (2005, hal. 9): Bantuan pangan dapat menekan dan membuat tidak stabil harga pasar di negara penerima bantuan. Bantuan pangan yang datang pada saat yang tidak tepat atau tidak tepat sasaran yang akan
Table 3: US Rice Exports and Food Aid from 1990 to 2003 (in 1,000 Metric tonnes)
Fiscal Year 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
PL 480 276.0 210.0 228.5 198.8 222.0 195.8 178.8 114.9 178.3 541.8 208.7 144.3 241.1 262.5
Total Rice Exports 2 501.0 2 416.0 2 279.0 2 710.0 2 434.0 3 763.0 2 826.0 2 560.0 3 310.0 3 066.0 3 307.0 3 059.0 3 537.0 4 470.0 Source: USDA 2004:108.
21
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia mengguncang harga lokal dan menghancurkan penghidupan produsen dan pedagang lokal yang menggantungkan keberlangsungan ketahanan pangannya pada beras lokal.
22
Permasalahan seputar bantuan pangan sangatlah kompleks tetapi banyak masalah yang ada terkait dengan sasaran dari bantuan tersebut. Peng-uang-an bantuan pangan adalah salah satu isu penting ketika hendak memastikan bahwa bantuan tersebut benar-benar mencapai sasarannya yaitu orang yang membutuhkan. Beras bantuan pangan tidak seharusnya berakhir di pasar lokal. Peng-uang-an bantuan pangan adalah permasalahan yang besar bagi program bantuan dari Amerika Serikat ”Pangan untuk Perdamaian” yang bernaung di bawah Hukum Publik nomor 480. Dalam program tersebut, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Amerika Serikat diijinkan untuk menjual komoditas pangan di negara berkembang dengan harga rendah, dan menggunakan keuntungan dari penjualan tersebut guna membiayai proyek-proyek mereka. Bantuan pangan yang diuangkan hampir seluruhnya tidak memiliki target – semua bantuan tersebut berakhir di pasar lokal - dan tidak ada satupun bantuan yang langsung ditujukan kepada masyarakat yang paling menderita rawan pangan. Pada tahun 1999 ketika beras dalam jumlah besar dikirim dari Amerika Serikat ke Honduras dibawah bendera”Pangan untuk Perdamaian” lebih dari setengah dari bantuan tersebut diuangkan (Barret dan Maxwell, hal. 13). Mengingat besarnya subsidi pemerintah bagi sektor pertanian di Amerika Serikat maka Hukum Publik nomor 480 berpeluang untuk disalahgunakan sebagai instrumen untuk ”membuang” produk pertanian Amerika Serikat melalui mekanisme ekspor (export dumping) dan menjadi satu cara efektif untuk mengatasi masalah kelebihan produksi. Selama sepuluh tahun terakhir, masa dimana tingkat harga rendah, 20% dari impor beras Amerika Serikat adalah dalam bentuk bantuan pangan (Oxfam 2005a:19). 4) Hambatan Di sisi Penawaran Dari sudut negara pengimpor, faktor penting dari meningkatnya atau terjadinya gelompang impor adalah karena produksi beras dalam negeri kurang atau dengan kata lain terdapat kendala di sisi penyediaan. Menghadapi masalah seperti ini, tindakan yang sering diambil pemerintah adalah meningkatkan impor dalam rangka mengisi kesenjangan antara permintaan dan penawaran dan untuk menekan agar harga tetap rendah bagi konsumen. Di banyak negara berkembang hambatan di sisi penawaran adalah masalah utama dan menjadi alasan utama untuk meningkatkan impor. Namun di antara semua hal tersebut lebih penting untuk mengkaji penyebab terjadinya hambatan tersebut. Kadang kala bencana alam atau wabah penyakit dapat menjadi satu satu penyebab terhambatnya persediaan. Namun penyebab utama adalah faktor struktural yaitu berkurangnya dukungan bagi produsen beras di negara berkembang. Pada tahun 1980an dan 1990an dukungan pemerintah bagi produsen beras turun drastis. Dukungan tersebut meliputi subsidi produksi seperti dukungan bibit, pupuk atau peralatan pertanian, penyediaan barang publik (public procurement), jaminan harga dan kredit dengan bunga rendah bagi petani kecil serta pelayanan tambahan lainnya. Sebagian besar pengurangan dukungan ini akibat dari privatisasi yang dilakukan dengan dukungan World Bank dan IMF. FAO menyatakan ”bentuk lain dari liberalisasi yang sering diasosiasikan dengan program penyesuaian struktural (structural adjustment) kerap berkontribusi terhadap terjadinya gelombang impor akibat dari dampak yang ditimbulkan program tersebut, yaitu berkurangnya dukungan pemerintah terhadap produsen beras dalam negeri” (FAO 2007:5). FAO menyebutkan sebagian kecil contoh kasus adalah Honduras, Kamerun dan Tanzania. Kasus Honduras misalnya memperlihatkan bahwa bencana alam seringkali memberi pukulan lebih keras kepada petani padi, karena sebelumnya mereka telah berada dalam posisi lemah akibat program penyesuaian struktural (structural adjustment). Dan pada saat liberalisasi dan bencana alam datang bersamaan, seringkali menjadi hampir tidak mungkin bagi mereka untuk bangkit dari krisis.
2. Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil
Alasan lain menurunnya dukungan bagi produsen beras adalah pengabaian sektor pertanian, bukan hanya oleh pemerintah negara yang bersangkutan tetapi juga oleh lembaga donor internasional. Antara tahun 1984-2002 total dukungan untuk sektor pertanian turun lebih dari dua per tiga dibandingkan periode sebelumnya. Proporsi bantuan pertanian dari total bantuan donor turun dari 17% pada awal 1980an menjadi 8% pada akhir 1990an (Oxfam 2005b:32). Dalam hal bantuan pembangunan Amerika Serikat, dampak terhadap sektor beras lebih besar dibandingkan sektor lain. Misalnya bantuan Amerika Serikat melalui Millenium Challenge Account (MCA), secara eksplisit meniadakan bantuan produksi beras di negara seperti Ghana. Alasannya adalah produksi beras nasional Ghana akan bersaing dengan ekspor beras Amerika (ke Ghana) dan bantuan terhadap sektor beras Ghana akan bertentangan dengan kepentingan Amerika Serikat di sektor perberasan. Dapat disimpulkan bahwasanya kondisi cuaca pada umumnya dan bencana alam khususnya seperti kekeringan, angin ribut atau gempa bumi dapat berdampak besar terhadap produksi beras dan menyebabkan meningkatnya permintaan impor atau bantuan pangan. Namun dalam jangka panjang akar dari membanjirnya impor adalah kebijakan pertanian dan perdagangan yang diambil negara. Sejak awal 1980an kebijakan liberalisasi telah membuka pasar negara-negara berkembang terhadap serbuan impor baik dari sesama negara berkembang maupun dari negara maju. Kebijakan dumping di negara maju telah menyebabkan kelebihan produksi dan memampukan perusahaan pertanian di negara maju untuk mengekspor beras dengan harga dibawah biaya produksi bahkan dibawah harga pasar dalam negeri mereka. Di sisi lain, sebagian besar negara berkembang secara drastis menurunkan dukungan bagi produsen beras mereka dan dalam banyak kasus hal ini menyebabkan terhambatnya sisi persediaan yang mengakibatkan kesulitan untuk memenuhi peningkatan permintaan beras di dalam negeri. Dalam sebagian besar kasus, kombinasi dari faktor-faktor tersebut menyebabkan bukan hanya meningkatnya kebutuhan impor bahkan menyebabkan terjadinya gelombang impor besarbesaran yang menimbulkan dampak yang sangat membahayakan produksi beras dalam negeri.
2.2 Dampak terhadap Petani Kecil Ketidakadaan data dan faktor-faktor lainnya menyebabkan tidak mudah untuk memperkirakan besarnya dampak gelombang ekspor ini terhadap petani kecil. Namun dalam banyak hal terbukti bahwa serbuan impor telah mengakibatkan tersingkirnya banyak produsen beras dari pasar domestik. FAO menyatakan hal tersebut terjadi di Honduras pada tahun 1991 yang berakibat ”semakin berkurangnya padi lokal dan sebagai akibatnya petani menjadi tertekan”. FAO menambahkan bahwa ”di negara lain, gelombang impor mengakibatkan turunnya harga dalam negeri yang memukul produsen beras [lokal]”. Contohnya di Tanzania, FAO menemukan hubungan berbanding terbalik antara besarnya volume impor dan harga pasar dalam negeri. Namun sungguh mengejutkan, karena kenyataannya informasi yang komprehensif dan akurat tentang dampak serbuan impor atau kenaikan impor pada umumnya terhadap pendapatan dan penghidupan petani kecil masih sangat sedikit. Lembaga internasional seperti World Bank sejauh ini mengabaikan kemungkinan dampak tersebut terhadap permasalahan kemiskinan. Kajian tentang dampak impor terhadap petani kecil lebih banyak dilakukan oleh LSM seperti Action Aid, Christian Aid, Oxfam, Third World Network (TWN) dan lain-lain. Penelitian Oxfam misalnya memberikan banyak bukti bahwa impor secara signifikan menyebabkan meningkatnya kemiskinan bagi petani kecil di Haiti, Indonesia, Ghana, Honduras dan lain-lain (Oxfam 2005b). Karena 90% produsen beras adalah petani kecil dan seringkali mereka juga adalah kelompok paling miskin di dalam masyarakat, cukup beralasan untuk mengkhawatirkan dampak negatif impor terhadap ketahanan pangan dan hak mereka atas pangan. Ketika petani padi kehilangan akses mereka ke pasar berarti mereka kehilangan sumber utama penghasilan dan mungkin tidak mampu lagi memenuhi
23
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia kebutuhan pangan diri sendiri dan keluarganya dalam jumlah cukup setiap saat. Banyak petani kecil akan sangat kesulitan untuk menemukan alternatif sumber penghasilan, bukan hanya dalam jangka pendek namun juga jangka panjang.
2.3 Kepentingan Konsumen sebagai Legitimasi Liberalisasi
24
Argumen utama yang sering digunakan untuk mendukung kebijakan liberalisasi dan peningkatan perdagangan internasional beras adalah kepentingan konsumen untuk memperoleh harga yang rendah. Jelas bahwa kepentingan konsumen adalah kriteria penting saat menyusun kebijakan perdagangan yang dianggap tepat. Namun patut dipertanyakan apakah liberalisasi adalah cara terbaik untuk membela kepentingan konsumen? Sebagaimana disebutkan terdahulu, di sisi konsumen, kebutuhan beras dengan harga terjangkau tidak melulu dipenuhi melalui impor, namun juga melalui pengembangan proses produksi dan pemasaran dalam negeri. Lebih jauh, berbagai kajian menunjukkan bahwa harga impor yang rendah kadangkala tidak berarti harga yang rendah bagi konsumen karena terkonsentrasinya bisnis beras di tangan segelintir orang. Ambil contoh yang terjadi di Honduras, lima besar importir mengendalikan 60% perdagangan beras. Ketika pasar dibuka, harga impor turun sebesar 40% selama kurun waktu 1994-2000, namun harga konsumen meningkat 12%. Dan akhirnya ”pembedaan antara konsumen dan produsen di negara berkembang seringkali hanyalah rekayasa” (Oxfam 2005b:18). Petani kecil tidak hanya menjadi produsen utama beras dunia namun mereka juga adalah konsumen utama. Terutama di desa-desa miskin, lebih dari 80% produsen beras adalah juga konsumen beras. Pada saat sumber mata pencaharian petani berlahan sempit ini dihancurkan, mereka kehilangan penghasilan yang mereka butuhkan dalam posisi mereka sebagai konsumen. Mereka bahkan mungkin tidak akan mampu membeli beras bahkan jika harga beras lebih murah dari harga sebelumnya. Itulah sebabnya mengapa FAO menekankan bahwa “dalam menyusun kebijakan pertanian dan perdagangan, pemerintah harus menimbang dengan cermat agar harga beras terjangkau bagi konsumen dan tetap menguntungkan bagi produsen” (FAO 2004:9). Situasi saat ini cenderung mengabaikan kepentingan produsen dan jelas hanya membela kepentingan konsumen. Misalnya World Bank meminta diterapkannya liberalisasi radikal dan ekspansi perdagangan beras dunia. Berdasarkan perhitungan World Bank, liberalisasi total perdagangan beras dunia akan meningkatkan perdagangan beras international sebesar 10-15% dan surplus ekonomi sebesar US$ 7,4 milyar ( World Bank 2005:188 dan 192). Masih menurut World Bank, jika harga ekspor meningkat maka harga impor akan turun drastis dan keduanya berlangsung serempak. Namun World Bank mengakui liberalisasi perdagangan beras tidak menguntungkan semua negara secara sama. Di antara negara-negara pengekspor beras, Cina dan Amerika Serikat adalah dua negara yang paling diuntungkan, diikuti oleh Australia. Di sisi lain negara yang paling dirugikan adalah adalah negara-negara pengimpor beras seperti Turki, negara-negara Timur Tengah seperti Iran, Irak dan Saudi Arabia yang sebelumnya telah membuka pasar dalam negeri mereka terhadap impor beras. Hal ini karena meningkatnya harga ekspor akan langsung tercermin dalam peningkatan harga impor. World Bank juga mengakui bahwa ketidakstabilan harga beras dunia masih akan berlangsung setelah liberalisasi dilakukan dan akan memberikan dampak serius bagi banyak negara miskin. ”Liberalisasi perdagangan beras dunia akan membuat negara-negara berpenghasilan rendah dan pengimpor beras murni akan semakin tergantung pada perdagangan internasional beras, dan kemungkinan besar akan menurunkan ketahanan pangan dan keamanan politik mereka” ( World Bank 2005:192). Keuntungan dari liberalisasi ini terdistribusi secara berbeda antar negara dan juga berbeda antara konsumen dan produsen. ”Sesungguhnya yang terjadi adalah peralihan uang dalam jumlah besar antara konsumen dan produsen yang berujung pada perolehan keuntungan bersih. Di negara pengimpor, konsumen
2. Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil
memperoleh US$ 32,8 milyar sedangkan produsen kehilangan US$ 27,2 milyar ( World Bank 2005:192). Dari perspektif hak atas pangan, fenomena tersebut patut dipertanyakan. Dengan menerapkan liberalisasi perdagangan beras, World Bank dengan sadar menerima fakta bahwa jutaan petani kecil di negara-negara pengimpor beras akan kehilangan sumber penghidupan mereka tanpa memberikan alternatif lain yang akan memampukan mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan diri sendiri.
25
3. Pendekatan dan Metodologi
26
Sebagaimana telah dibahas di bab terdahulu, secara umum gelombang dan kenaikan impor telah meningkatkan tekanan bagi petani kecil di banyak negara berkembang dalam dua hingga tiga dekade terakhir. Pada tingkat makro, berbagai kajian menunjukkan bahwa masuknya beras impor membuat produksi beras dalam negeri menurun, baik dalam hal jumlah total dan persentase pasar. Di banyak negara berkembang area penanaman padi berkurang dan banyak petani kecil terpaksa meninggalkan sektor pertanian padi. Penelitian ini juga menumbuhkan keprihatinan bahwa ketahanan pangan akan terkena dampak serius dan terancam oleh gelombang impor beras. Namun memang mengejutkan bahwa sedikit penelitian yang menggali secara mendalam kerugian nyata gelombang impor terhadap sektor perberasan di negara-negara pengimpor dan dampak gelombang tersebut di tingkat mikro yaitu terhadap pendapatan, kemiskinan dan ketahanan pangan petani kecil (Sharma 2005). Lebih sedikit lagi penelitian yang menganalisis dampak tersebut dari perspektif hak asasi manusia terhadap pangan.
3.1 Pertanyaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat dampak negatif atau terjadi pelanggaran hak atas pangan sebagai dampak kebijakan perdagangan beras tertentu terhadap komunitas penghasil beras di Honduras, Ghana dan Indonesia. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Apakah kebijakan perdagangan seperti dumping atau liberalisasi pasar berkontribusi signifikan terhadap peningkatan tajam impor beras di Honduras, Ghana dan Indonesia? 2) Apakah impor beras berdampak negatif terhadap pendapatan petani kecil sampai pada kondisi dimana akses mereka terhadap pangan tertutup atau berkurang? 3) Apakah pemerintah Honduras, Ghana dan Indonesia telah melanggar kewajiban hukum untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kecukupan pangan petani kecil melalui kebijakan pertanian dan perdagangan yang mereka buat? 4) Apakah negara-negara Utara melanggar kewajiban lintas negara dalam menghormati hak atas pangan komunitas penghasil beras di Honduras, Ghana dan Indonesia melalui praktik curang seperti: dumping? atau menekan negara pengimpor atau negara yang berpotensi menjadi pengimpor untuk membuka pasar dalam negeri mereka terhadap impor beras? Atau mengurangi dukungan terhadap petani?
3.2 Ruang Lingkup, Tantangan dan Metodologi Ruang lingkup penelitian ini meliputi tinjauan makro perkembangan impor beras, produksi beras domestik dan analisis kebijakan beras dalam negeri termasuk kebijakan yang membatasi ekspor atau impor beras. Penelitian ini menganalisis pula kemungkinan praktek dumping yang dilakukan negara asal beras impor dan tekanan yang mungkin dilakukan negara kaya terhadap Honduras, Ghana dan Indonesia melalui perjanjian perdagangan bilateral, multilateral atau perjanjian antar organisasi pemerintah, agar ketiga negara tersebut menerapkan kebijakan perdagangan beras tertentu. Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif untuk membahas dampak meningkatnya
3. Pendekatan dan Metodologi
impor beras terhadap pendapatan, mata pencaharian dan ketahanan pangan komunitas penghasil beras di ketiga negara yang diteliti. Akhirnya penelitian ini ditutup dengan kesimpulan analisis perilaku negara dari perspektif hak asasi manusia atas pangan. Situasi perdagangan bukan faktor tunggal yang mempengaruhi pendapatan dan kondisi pangan petani. Bahkan dalam kasus dimana tingginya impor beras terjadi bersamaan dengan bencana kelaparan yang menimpa petani padi, kelaparan tersebut bukan disebabkan oleh tingginya impor beras. Tidak pula selalu berarti bahwa hak atas pangan telah dilanggar oleh kebijakan perdagangan. Tantangan utama penelitian ini adalah mencoba membuktikan ada tidaknya hubungan sebab akibat, pertama, antara tajamnya kenaikan impor beras dan bencana kelaparan atau gizi buruk di komunitas yang diteliti, kedua, hubungan antara tingginya impor dan kebijakan perdagangan dan pertanian tertentu. Pembuktian hubungan sebab akibat dan pembuktian adanya pelanggaran hak atas pangan mensyaratkan kehati-hatian dalam menilai faktor lain yang mungkin memperburuk akses petani padi terhadap pangan seperti: • bencana alam • konflik berdarah atau perang • perubahan dalam sistem sewa tanah • memburuknya akses terhadap infrastruktur, input pertanian, kredit atau pelatihan. Jika pada saat bersamaan terjadi perubahan kebijakan perdagangan dan terjadi pula salah satu atau lebih dari faktor di atas, serta keseluruhannya secara signifikan menimbulkan kerugian bagi petani, maka dalam situasi semacam ini, akan lebih sulit untuk membangun rantai hubungan sebab akibat antara tingginya impor dengan terjadinya kelaparan. Tantangan lain bagi analisis hak asasi manusia adalah untuk membedakan tanggung jawab berbagai negara terhadap kebijakan perdagangan yang diterapkan di ketiga negara yang diteliti. Contohnya, liberalisasi pasar dan penarikan dukungan terhadap sektor perberasan selalu dilakukan oleh pemerintah di negara yang bersangkutan sebagai bagian dari kebijakan nasional mereka. Namun tidak berarti bahwa tanggung jawab dari penerapan kebijakan tersebut berada hanya di tangan mereka saja. Dalam banyak kasus, tanggung jawab juga harus dibebankan kepada organisasi antar pemerintah atau negara lain yang mungkin menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menekan pemerintah Honduras, Ghana dan Indonesia untuk menerapkan kebijakan tertentu. Hanya jika kita bisa membuktikan hubungan sebab akibat antara kebijakan tersebut dan dampak negatif kebijakan terhadap petani dan dengan jelas mengidentifikasi tanggung jawab negara maka kita akan mampu mengidentifikasi adanya pelanggaran hak atas pangan. Dalam analisis ekonomi makro di Ghana dan Honduras kami tidak melakukan penelitian kuantitatif langsung namun lebih pada meninjau ulang data dan penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga internasional, LSM dan peneliti independen. Tambahan untuk kasus Indonesia adalah pemanfaatan tabulasi silang dari data yang ada dengan menghubungkan beberapa variabel yang relevan guna menganalisis beberapa problem khusus dan melihat model input-output untuk memperlihatkan dampak liberalisasi perdagangan terhadap stabilitas harga, produksi, konsumsi, ketenagakerjaan dan keuntungan dari pertanian padi. Lebih jauh di ketiga negara yang diteliti, kami mengumpulkan dokumen resmi yang membuka ruang analisis lebih dalam tentang kebijakan perdagangan dan pertanian. Dalam pengumpulan data empiris di komunitas penghasil beras di Honduras, Ghana dan Indonesia, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu wawancara semi terstruktur dengan para pakar, pejabat pemerintah, petani, tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait lain dalam sektor perberasan. Wawancara dilakukan dengan mengacu pada daftar pertanyaan (lihat lampiran 2) yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah daftar pertanyaan untuk para pakar dan pejabat pemerintah, bagian kedua untuk tokoh masyarakat dan bagian ketiga untuk petani. Sebagian pertanyaan dimodifikasi selama penelitian berlangsung tergantung informasi dan penekanan atas permasalahan tertentu yang
27
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia diberikan pihak-pihak yang diwawancarai. Pendekatan kualitatif di tingkat mikro yang dikombinasikan dengan analisis hak asasi manusia adalah inti dan nilai tambah utama dari penelitian ini.
3.3 Tingkat Analisis
28
Berdasarkan deskripsi sebelumnya pendekatan studi kasus menggunakan tiga tingkat analisis yang tercermin dalam struktur laporan penelitian ini yaitu: 1) Analisis konteks yang meliputi perkembangan perdagangan dan produksi beras di tingkat makro dan kebijakan terkait (termasuk kebijakan yang melibatkan aktor dalam negeri dan luar negeri); 2) Analisis mikro di tingkat komunitas, dan 3) Analisis hak asasi manusia yang mengkombinasikan temuan di tingkat makro dan mikro dan mengevaluasi temuan tersebut dari perspektif Hak asasi manusia atas pangan. Semua analisis tersebut meliputi perilaku negara yang bersangkutan, negara asing dan organisasi antar pemerintah.
3.3.1 Analisis Konteks Metodologi yang dibangun dalam proyek FAO tentang gelombang impor (FAO 2005 dan FAO 2006) sangat membantu dalam analisis konteks ekonomi makro di tiga negara yang diteliti. Namun terminologi dan definisi ”gelombang impor” (yang tercantum dalam proyek FAO) tidaklah terlalu relevan dengan tujuan penelitian ini. Pelanggaran hak atas pangan mungkin saja tetap terjadi bahkan dalam kasus dimana kriteria WTO tentang ”gelombang impor” tidak ditemukan. Kami tidak pula harus membuktikan terjadinya pelanggaran tersebut hingga sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam Perjanjian WTO tentang Pengamanan (WTO Agreement on Safeguard – ASG) sebagaimana dilakukan dalam penelitian FAO. Meski demikian, metodologi yang dibangun FAO untuk menganalisis kemungkinan kerugian yang disebabkan oleh gelombang impor – paling tidak sebagian – sangat relevan bagi analisis hak asasi manusia dalam kebijakan perdagangan. Terinspirasi dengan metodologi ini, kami mengembangkan daftar pertanyaan untuk menggali data yang digunakan dalam analisis konteks (lihat lampiran 1) yang meliputi aspek-aspek sbb: • Impor Dalam rangka memperlihatkan dampak negatif liberalisasi perdagangan (di tingkat makro) harus terdapat kenaikan impor beras yang cukup berpengaruh baik dalam hal volume, nilai, atau kenaikan relatif terhadap produksi dan konsumsi domestik. Dengan demikian diperlukan pengumpulan data dalam hal impor komersial dan impor bantuan pangan dari tiap-tiap negara yang diteliti. • Kebijakan-kebijakan pembatasan Kenaikan impor atau bahkan gelombang impor hanya dapat dipertautkan dengan kebijakan liberalisasi perdagangan jika kenaikan dan gelombang tersebut terjadi setelah penerapan kebijakan terkait. Oleh sebab itu diperlukan informasi yang terpercaya dalam hal keberadaan dan pencabutan tindakan proteksi pasar beras, yaitu: § tarif impor § pelarangan berkala atau tahunan atau kuota tarif § lisensi impor § persyaratan standar dan teknis § tindakan pemulihan perdagangan seperti tindakan pengamanan khusus dalam perjanjian WTO tentang pertanian (AoA) § impor minimal atau harga acuan.
3. Pendekatan dan Metodologi
• Perjanjian perdagangan eksternal dan persyaratan yang diperlukan Butir ini sangat penting untuk mengidentifikasi tanggung jawab negara-negara selain Ghana, Honduras dan Indonesia dalam hal liberalisasi perdagangan dan pelanggaran kewajiban lintas negara dalam pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak atas pangan. Sangat penting untuk mengetahui semua perjanjian perdagangan multilateral dan bilateral yang relevan yang ditandatangani oleh negaranegara terkait dan kewajiban-kewajiban yang menyertainya (misalnya pembatasan tariff [bound tariff] sesuai perjanjian WTO tentang pertanian [Agreement on Agriculture – AoA]), program penyesuaian struktural (structural adjustment program – SAP) dan program-program lain yang terkait dengan perdagangan beras yang oleh IMF dan World Bank dijadikan persyaratan mendapatkan pinjaman. • Dumping Kemungkinan pelanggaran kewajiban lintas negara dapat terjadi dalam praktik dumping. Bentukbentuk pelanggaran ini dapat berbentuk pemberian subsidi ekspor beras, program bantuan pangan dan subsidi internal yang pada akhirnya meningkatkan volume ekspor, dan menurunkan harga ekspor. • Produksi dalam negeri Di tingkat makro, dugaan terjadinya dampak negatif dari kenaikan impor hanya dapat dibuktikan jika dampak tersebut mengakibatkan penurunan volume dan/atau luasan area produksi lokal, atau paling tidak menghalangi kemungkinan kenaikan produksi (”cacat material”). Dampak tersebut bervariasi di berbagai wilayah, tergantung dari derajat integrasi pasar, daya saing dan mengalirnya beras impor. Oleh karena itu penelitian ini memerlukan data volume dan luasan area produksi padi berdasarkan wilayah. • Impor dan harga dalam negeri Penurunan harga beras di tingkat konsumen dan produsen dalam negeri diduga adalah dampak utama dari gelombang impor. Oleh karena itu penting untuk memiliki data yang memadai tentang perkembangan harga padi dan beras giling impor dan harga lokal komoditas yang sama di tingkat petani, penggilingan padi, grosir dan pedagang eceran. • Struktur pasar dan persaingan Penting untuk memasukkan struktur pasar beras sebagai dasar analisis di tingkat mikro. Analisis ini meliputi segmen pasar dan deskripsi pemain utama dalam rantai perdagangan beras dan penguasaan pasar, keterlibatan perusahaan dagang negara, saluran pemasaran beras impor, dan identifikasi pasar dimana produk impor bersaing dengan produk lokal. • Biaya produksi dan subsidi negara Dalam rangka membatasi dampak liberalisasi perdagangan, faktor lain harus pula dipertimbangkan antara lain biaya produksi dan subsidi negara. Hilangnya pendapatan (petani) yang mungkin terkait dengan meningkatnya biaya produksi atau berkurangnya subsidi negara. Secara khusus diperlukan data tentang ketersediaan dan besarnya biaya input produksi seperti bibit, pupuk, herbisida, pestisida, irigasi, peralatan/mesin (dan listrik), transportasi (dan bahan bakar), akses terhadap kredit dan suku bunga, subsidi negara dan program dukungan lainnya bagi petani padi. Jelas terlihat tujuan penelitian ini cukup ambisius dan tidak mungkin untuk mendapatkan semua data secara mendalam di ketiga negara yang diteliti. Sebagaimana disebutkan di muka, untuk kasus Honduras dan Ghana kami tidak melakukan analisis kuantitatif melainkan memanfaatkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh FAO dan pihak lain, dilengkapi dengan data dari pemerintah dan organisasi antar pemerintah. Daftar pertanyaan yang digunakan dalam pengumpulan data di ketiga negara yang diteliti digunakan sebagai panduan dalam mengumpulkan data yang relevan juga sebagai panduan bagi perbaikan daftar pertanyaan dalam wawancara semi terstruktur.
29
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
3.3.2 Analisis di tingkat komunitas Meskipun analisis makro studi ini tidak seambisius penelitian FAO, namun dalam hal analisis mikro studi ini lebih menantang karena menggali dampak nyata liberalisasi perdagangan terhadap komunitas penghasil beras di ketiga negara yang diteliti. Sampai sejauh ini analisis mikro belum tercakup dalam penelitian FAO, terutama di Honduras dan Ghana. Di tiap negara yang diteliti, masing-masing terdapat satu sampai empat komunitas yang diteliti tergantung situasi setempat. Pemilihan komunitas dilakukan dengan bantuan LSM lokal, organisasi petani dan berdasarkan asumsi terjadinya dampak negatif impor beras terhadap komunitas tersebut. Tujuan utama analisis mikro adalah menggali dampak meningkatnya impor beras terhadap penghidupan dan hak atas kecukupan pangan petani dan keluarganya. 30
Dampak liberalisasi perdagangan digali melalui wawancara semi terstruktur selama sekitar tujuh hari penelitian lapangan di tiap komunitas. Wawancara dalam bentuk diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan 15-50 petani. Wawancara perorangan dilakukan dengan tokoh masyarakat, petani dan jika memungkinkan dengan pemilik penggilingan padi dan perempuan pedagang pasar. Di tiap komunitas yang diteliti, minimal lima orang diwawancarai secara perorangan. Mereka dipilih sebagai tindak lanjut diskusi kelompok terfokus dan atas rekomendasi tokoh masyarakat. Dalam rangka mendapatkan data yang representatif, responden dipilih berdasarkan kriteria tertentu seperti gender, usia, dan luas kepemilikan atau pengelolaan lahan. Informasi tentang latar belakang komunitas yang diteliti didapatkan melalui wawancara dengan pemimpin setempat terutama untuk mendapatkan data jumlah penduduk, jumlah petani kecil, infrastruktur yang tersedia dan sejarah komunitas termasuk konflik dan bencana alam yang pernah terjadi. Lebih jauh, wawancara dengan mereka meliputi lembaga sosial dan politik yang ada di komunitas tersebut, sistem penyewaan tanah, organisasi yang ada terkait proses produksi, jenis dan tujuan produksi beras, saluran pemasaran dan dukungan dari pemerintah. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang peran beras bagi pendapatan petani kecil dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, juga untuk mendapat gambaran lebih luas tentang masyarakat dalam rangka memastikan bahwa faktorfaktor penting selain situasi perdagangan tercakup dalam analisis secara memadai. Dalam rangka menilai dampak nyata impor terhadap pendapatan petani, bagian yang menentukan dari wawancara baik dengan tokoh masyarakat dan petani kecil difokuskan pada perubahan pola produksi beras - terutama sejak atau selama periode saat impor beras meningkat tajam. Pertanyaan wawancara meliputi perubahan yang terjadi selama kurun tersebut dalam hal volume penjualan padi lokal, harga di tingkat produsen, keuntungan, dan pendapatan produsen. Tantangan analisis di tingkat mikro, sebagaimana halnya di tingkat makro, terletak pada pembuktian adanya hubungan sebab akibat antara impor beras dan dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap petani lokal. Dalam rangka pembuktian tersebut maka sangat penting untuk menganalisis struktur dan saluran pemasaran juga saluran rantai makanan di tingkat lokal dan derajat integrasi pasar petani dan tempat dimana beras lokal dijual. Dampak langsung impor terhadap pendapatan petani hanya dapat diasumsikan terjadi jika beras lokal secara langsung bersaing dengan beras impor. Oleh sebab itu penting untuk mengidentifikasi pasar lokal di mana beras impor dan lokal sama-sama dijual, dan menganalisis saluran pemasaran dari tingkat petani melalui pedagang lokal (“perempuan pedagang pasar” dan lainnya) dan saluran pemasaran dari penggilingan padi ke pasar tradisional atau pedagang eceran. Wawancara dilakukan pula terhadap pemilik penggilingan padi dan perempuan pedagang pasar guna mendapatkan informasi apakah mereka menemukan adanya peningkatan keberadaan beras impor di pasar dimana beras lokal juga dijual, dan apakah penjualan beras lokal menurun sebagai akibatnya dari masuknya beras impor.
3. Pendekatan dan Metodologi
Dalam rangka mengidentifikasi adanya pelanggaran hak atas pangan, dampak yang ditimbulkan oleh masuknya beras impor harus dilihat sampai pada tingkat dimana ketahanan pangan petani kecil menurun dengan tajam. Jika pendapatan keluarga turun dibawah tingkat tertentu yang berakibat gizi buruk atau berbagai bentuk pelanggaran hak asasi lain sebagaimana tercantum dalam pasal 11 ICESCR, dan jika terbukti bahwa kebijakan tertentu adalah penyebabnya, maka pelanggaran hak atas pangan dapat diasumsikan terjadi. Tugas penting bagi analisis di tingkat mikro adalah untuk menemukan apakah akses terhadap pangan memburuk selama kurun waktu peningkatan impor. Indikator pelanggaran hak atas pangan adalah keluarga petani terpaksa mengurangi kuantitas makan mereka atau terjadi penurunan kualitas pangan karena variasi jenis makan juga terpaksa dikurangi, misalnya pengurangan konsumsi sayuran. Indikator lain yang lebih kuat adalah memburuknya kesehatan keluarga terutama anak-anak, termasuk yang berkaitan dengan kelaparan dan gizi buruk. Hak atas pangan selalu terkait erat dengan hak atas standar hidup yang layak. Ini yang menyebabkan analisis pelanggaran hak atas pangan melibatkan dimensi standar penghidupan yang layak, seperti pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, sandang dan papan. Berdasarkan General Comment no 12 CESCR tentang hak atas kecukupan pangan, “biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memperoleh makanan yang cukup harus berada pada tingkat dimana pencapaian dan pemenuhan kebutuhan pokok lain tidak terancam atau berkurang”.
3.3.3 Analisis Hak atas Pangan Analisis hak asasi manusia mengkombinasikan temuan makro dan mikro dan mengevaluasinya dari perspektif hak asasi manusia atas pangan. Analisis ini meliputi konteks ekonomi, perilaku negara yang bersangkutan, negara asing dan organisasi antar pemerintah dan dampak yang terjadi di tingkat komunitas. Seperti yang diuraikan sebelumnya, tantangan utama analisis hak asasi manusia adalah membuktikan adanya hubungan sebab antara kebijakan negara dan meningkatnya impor dalam jumlah besar di satu sisi, dan di sisi lain antara peningkatan impor tersebut dengan menurunnya pendapatan dan terjadinya kelaparan atau gizi buruk di komunitas yang diteliti. Analisis hak asasi manusia juga melihat pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengimplementasikan hak atas kecukupan pangan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Pilihan kebijakan dapat berdampak positif atau negatif terhadap kelompok rentan, dan pemerintah mungkin saja menginvestasikan sumber daya dalam jumlah substansial atau hampir tidak menginvestasikan apapun bagi kelompok tersebut. Tantangan lain adalah untuk membedakan tanggung jawab yang berbeda dari berbagai aktor yang terlibat dalam penerapan kebijakan yang diidentifikasi sebagai penyebab utama kelaparan dan gizi buruk. Mengikuti pola yang telah diuraikan di bab 1, analisis hak asasi manusia di ketiga negara meliputi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah negara yang bersangkutan, negara asing dan organisasi antar pemerintah.
31
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana 32
4.1 Pendahuluan Hingga beberapa waktu lalu, beras masihlah menjadi komoditas bagi kelompok elit perkotaan, namun permintaan beras di Ghana meningkat tajam selama sepuluh tahun terakhir. Perkembangan ini membuka peluang bagi pertumbuhan produksi beras lokal dan penurunan kemiskinan bagi sekitar 800,000 produsen beras Ghana. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Volume produksi beras lokal justru berkurang, begitu pula dengan luas lahan persawahan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penghasilan petani padi menurun dalam beberapa tahun terakhir ini dan kondisi tersebut sudah dalam taraf yang sangat mengancam situasi kemiskinan dan ketahanan pangan mereka (ActionAid Internasional, 2005). Krisis beras ini memukul keras sebagian penduduk yang miskin dan rentan terhadap kelaparan. Survei standar hidup Ghana menunjukkan bahwa pada tahun 1999, 59,4% penduduk miskin adalah petani dan 70% dari mereka adalah perempuan. Jika di Accra persentase kemiskinan hanya sekitar 2% dari jumlah penduduknya, di pedesaan Savannah angka ini mencapai 70% (lihat UNDP 2005:60). Ada beragam penyebab krisis produksi beras. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah meningkatnya impor beras selama periode 1990an dan gelombang impor yang terjadi antara tahun 1998-2003 (FAO 2006). Meningkatnya permintaan dalam negeri direspon oleh pemerintah Ghana dengan membuka keran impor beras terutama dari Amerika Serikat, Vietnam dan Thailand. Akibatnya beras lokal di pasar-pasar di perkotaan Ghana tersingkirkan oleh beras impor. Petani padi di wilayah miskin di Utara Ghana menyaksikan pasar-pasar dijejali beras impor murah dari Amerika Serikat (UNDP 2005:132). Penelitian ini bertujuan menjawab apakah kebijakan perdagangan beras Ghana dan kebijakan yang ada di negara lain telah melanggar hak atas kecukupan pangan petani padi di Desa Dalun yang berada di dekat Tamale di Utara Ghana. Dalun dipilih
Beras impor di sebuah pasar dekat Dalun. Armin Paasch/EAA
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
sebagai studi kasus melalui kerja sama yang dilakukan dengan Yayasan SEND Afrika Barat (http:// www.sendfoundation.org/index.asp) karena banyak petani kecil di Dalun yang mengeluhkan dampak buruk masuknya beras impor. Penelitian di Dalun berupaya menjawab tiga pertanyaan yang juga menjadi kerangka laporan penelitian: 1) Apa saja dimensi, latar belakang kebijakan dan dampak dari kenaikan impor beras di tingkat makro? Analisis makro berlandaskan pada penelitian dan data yang ada, dokumen dari berbagai kementrian, parlemen, pengadilan dan lembaga swadaya masyarakat, wawancara semi terstruktur dengan pejabat pemerintah dari Kementrian Perdagangan dan Industri (Ministry of Trade and Industry - MOTI) dan Kementrian Pangan dan Pertanian (Ministry of Food and Agriculture - MOFA) serta pakar dari organisasi petani, lembaga swadaya masyarakat dan akademisi. Ruang lingkup analisis meliputi praktik dumping oleh negara asal beras impor, perkembangan produksi beras di dalam negeri, saluran pemasaran bagi beras impor dan beras lokal, mekanisme proteksi dan dukungan bagi produsen beras di Ghana. Bagian ini juga menganalisis pengaruh aktor eksternal terutama IMF terhadap kebijakan pertanian dan perberasan di Ghana. 2) Apakah impor beras berdampak buruk terhadap ketahanan pangan keluarga petani padi di Dalun? Dalun adalah sebuah desa di Distrik Tolon Kumbungu di Utara Ghana, terletak sekitar 50 km dari ibu kota Tamale. Sebagian besar dari 10.000 penduduknya bekerja di sektor perberasan, beberapa dari mereka adalah petani yang mendapat mendapat fasilitas irigasi dari Proyek Irigasi Botanga (Botanga Irrigation Project – BIP). Namun sebagian besar penduduk Dalun tinggal di dataran rendah tanpa fasilitas irigasi. Penggalian data tentang dampak gelombang impor terhadap kehidupan petani dilakukan pada bulan Maret 2007. Dalam rangka mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang situasi dan masalah yang dihadapi, dilakukan beberapa tahap penelitian. Pertama, diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan sekitar 50 petani dari 13 desa tetangga yang kesemuanya merupakan penghasil beras dibawah Proyek Irigasi Botanga. Kemudian wawancara semi terstruktur dilakukan secara individual dengan sembilan petani padi Dalun, lima diantaranya memiliki akses terhadap Proyek Irigasi Botanga. Sebagai tambahan diwawancarai pula seorang pemilik penggilingan padi, dua perempuan pedagang dari Dalun dan dua dari Tamale yang menjadi perantara perdagangan beras lokal. Mereka semua diwawancarai perihal pemasaran beras dan dampak impor beras. 3) Apakah negara melanggar kewajiban hukum mereka dalam pemenuhan hak atas kecukupan pangan petani padi dan keluarganya? Bagian ketiga menggabungkan temuan penelitian di tingkat makro dan studi kasus di tingkat mikro lalu menganalisisnya dari perspektif hak atas kecukupan pangan sebagaimana diuraikan di bab 1. Bagian ini bukan hanya menganalisis perilaku pemerintah Ghana namun juga perilaku pemerintah negara-negara pengekspor beras (Amerika Serikat dan lain lain) dan IMF.
4.2 Konteks: Krisis Produksi Beras dan Latar Belakang Kebijakan Pemerintah 4.2.1 Ledakan dan Krisis Produksi Beras di Ghana Produksi beras di Ghana memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Beras telah dibudidayakan di Afrika Barat sejak 3000 tahun yang lalu (ODI: 2007). Selama abad 17 dan 18, beras adalah salah satu produk pertanian komersial utama di wilayah tersebut. Produksi beras dalam kurun waktu tersebut sebagian besar berasal dari produser berskala kecil (ODI 2003:7). Pada tahun 1970an,”Operasi Beri Makan Diri Sendiri” (Operation Feed Yourself) diluncurkan oleh pemerintah Jendral Acheampong,
33
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas, mencapai swasembada pangan, mekanisasi pertanian padi, pembangunan irigasi dan kerjasama dengan perusahaan pertanian besar (ODI 2003:15). Saat ini, padi terutama dihasilkan oleh produsen skala kecil dan melibatkan sekitar 800.000 rumah tangga petani (MOFA 2002:48). Area produksi terutama terletak di wilayah Utara, Timur Jauh dan Volta, dimana tiap wilayah dapat menghasilkan lebih dari 20 kg padi dan 13 kg beras per kapita dan keseluruhannya sama dengan 70% dari produksi nasional ( JICA 2006:3-4). Wilayah lain yang berperan penting menghasilkan beras adalah di wilayah Timur, Barat, Barat Jauh dan Ashanti.
34
Terlepas dari sejarah panjang perberasan, hingga beberapa waktu lalu beras dianggap sebagai produk elit dan konsumsi kaum elit perkotaan. Petani kecil biasanya tidak menanam padi untuk konsumsi sendiri namun lebih sebagai produk pertanian komersial untuk mendapatkan penghasilan atau untuk tujuan lain. Namun lebih dari sepuluh tahun terakhir pola konsumsi telah berubah signifikan, dan beras menjadi makanan pokok di perkotaan dan juga di pedesaan dalam tingkat tertentu. Menurut FAO, konsumsi beras per kapita meningkat hampir dua kali lipat dari 11 kg per tahun pada tahun 1999 menjadi 21,6 kg pada tahun 2003. Dan berdasarkan survey dasar yang dilakukan pada tahun yang sama, rata-rata konsumsi beras per kapita adalah 38 kg per tahun bagi penduduk perkotaan dan 9,2 kg bagi penduduk pedesaan ( JICA 2006:5.1.f ). Tingginya permintaan beras bisa diasumsikan sebagai hasil dari peningkatan pesat produksi beras dalam negeri. Namun MOFA menyampaikan data yang bertolak belakang. Hanya ada perubahan kecil dalam hal total area penanaman padi di Ghana dalam sepuluh tahun terakhir. Area tersebut berkurang dari 130.000 hektar pada tahun 1998 menjadi 120.000 hektar pada tahun 2005 (MOFA 2006:46). Tingkat produksi juga berkurang dari 281.000 ton pada tahun 1998 menjadi 237.000 ton pada tahun 2005 dengan fluktuasi besar terjadi di antara tahun tersebut (MOFA 2006:45). Table 1: Annual Paddy Production and Planted Area in Ghana from 1995 to 2005
Year
Production Volume
Planted Area
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
221 300 215 700 197 100 281 100 209 800 214 600 253 200 280 000 239 000 241 800 236 500
99 900 105 300 117 700 130 400 105 300 93 600 88 000 122 800 117 700 119 400 120 300
in Metric tonnes
in Hectares
Source: MOFA (2006:45-46).
Meskipun data Kementrian Pangan dan Pertanian mengindikasikan penurunan produksi beras yang relatif kecil, banyak pakar dan pihak terkait sangat meragukan keabsahan data tersebut. Salah satunya adalah Ibrahim Akalbila, koordinator Koalisi Perdagangan dan Penghidupan Ghana (Ghana Trade and Livelihoods Coalition - GTLC). Ia menunjukkan fakta bahwa lahan persawahan utama seperti lahan yang mendapat pengairan dari Proyek Irigasi Kpong (Kpong Irrigation Project – KIP) di dataran Accra jelas memperlihatkan penurunan tingkat produksi (wawancara A.11). Produksi total di area
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
tersebut turun drastis dari 12.156 ton pada tahun 2000 menjadi 5.865 ton pada tahun 2003. Dua tahun kemudian, terjadi peningkatan produksi, namun tidak pernah mencapai angka 2000 ton (Ayine 2006:23f ). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh ActionAid Internasional, pada tahun 2002 dan 2004 sekitar 66% petani padi menderita kerugian yang berimplikasi serius bagi kehidupan dan ketahanan pangan mereka. Mereka mengeluhkan banyak rekan mereka yang berhenti bertani karena alasan yang sama. Tingginya kerugian dari sektor perberasan mencerminkan rendahnya dan menurunnya tingkat pendapatan petani padi, dan karena itu memperburuk tingkat kemiskinan di antara mereka (ActionAid Internasional 2005:27). Secara kebetulan meningkatnya permintaan beras terjadi bersamaan dengan krisis produksi beras. Krisis buruk terutama terjadi pada tahun 2000-2003. Kedua fenomena yang bertolak belakang ini menjelaskan bahwasanya peluang meningkatnya permintaan beras di Ghana direspon pemerintah dengan membuka keran impor beras, terutama dari Amerika Serikat, Vietnam dan Thailand. Berdasarkan data FAO, sejak tahun 1998-2003, impor beras meningkat dari 250.000 ton atau meningkat hampir 70% (FAO Briefs, nomor 5, 2006:1). Pemasaran beras lokal turun dari 43% pada tahun 2000 menjadi hanya 29% pada tahun 2003 (ibid). Menurut ActionAid ”tingginya impor beras berdampak buruk terhadap tingkat dan stabilitas pendapatan dari produsen beras lokal” (ActionAid 2005:30). Bagi banyak petani kecil, hal ini benar-benar sebuah tragedi yang menyeret mereka ke jurang kemiskinan dan juga kelaparan. Dan bagi perekonomian nasional, peluang yang hilang dalam mengembangkan produksi beras lokal mengambil biaya yang sangat besar. Saat ini Ghana membelanjakan lebih dari US$ 100 juta per tahun untuk impor beras. Kementrian Pangan dan Pertanian tampaknya menyadari hal ini: ”Dari perspektif ketahanan pangan dan cadangan mata uang asing, meningkatnya produksi beras lokal berhadapan dengan semakin ketatnya persaingan dengan beras impor adalah issue yang paling penting bagi sektor pertanian Ghana” ( JICA 2006:1-1).
4.2.2 Beras Impor Dumping Menangkap Peluang Pasar a. Bukti dan Asal Muasal Gelombang Impor Beras di Ghana Impor beras bukan hal baru di Ghana. Setiap tahun antara tahun 1970 dan 1990 beras impor memasuki Ghana, dengan pengecualian tahun 1975-1976. Namun dalam periode tersebut, kecuali empat tahun diantaranya, volume produksi beras lokal melebihi beras impor, bahkan di sebagian besar tahun kelebihan tersebut cukup besar (ODI 2003:8f ). Situasi tersebut berubah drastis ketika beras impor dalam jumlah besar memasuki pasar Ghana pada tahun 1990an sebagai tindak lanjut liberalisasi perdagangan yang diberlakukan pada tahun 1992 (lihat bab II..3.b). Tingginya volume beras impor terutama terjadi pada tahun 1993 dan 1994, jumlah ini menurun pada tahun 1995 dan 1997, dan meningkat drastis pada tahun 1998 (ActionAid International:18-19). Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan atas nama FAO, beras impor menguasai konsumsi dalam negeri sebesar 60% pada tahun 1998 dan lebih dari 70% pada tahun 2003 (Asuming-Brempong 2006)8. Volume impor meningkat dari 249.289 ton pada tahun 1998 menjadi 415.150 ton pada tahun 2003. Kenaikan impor telah mencapai tingkat dimana FAO dalam studinya menggunakan terminologi “gelombang impor”9. Dua komponen utama yang diteliti adalah volume dan dampak masuknya beras impor terhadap harga beras lokal di Ghana. Penelitian ini menunjukkan bahwa dampak 8 Penelitian ini belum dipublikasikan, namun temuan utama penelitian tersebut telah dimuat dalam “FAO Brief on Import Surges, No. 5: Ghana: rice, poultry and tomato paste”, dipublikasikan pada bulan November 2006. 9 Untuk definisi gelombang impor lihat bab 2, catatan kaki 2.
35
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
36
signifikan masuknya beras Figure 1: Rice Imports and Domestic Production impor terhadap harga beras lokal tidak terlalu terlihat, Imports Local Milled Rice Production namun gelombang impor – sesuai definisi WTO – terjadi 450 000 terutama dalam bentuk 400 000 meningkatnya volume beras 350 000 impor sebesar 154% selama kurun waktu 2002-2003, 300 000 sementara pada saat yang 250 000 sama produksi padi dalam negeri menurun dari 280.000 200 000 ton menjadi 239.000 ton atau 150 000 turun sebesar 16% (AsumingBrempong 2006:29). FAO 100 000 menyimpulkan bahwa 50 000 ”berdasarkan metodologi 0 yang disusun WTO tentang 1998 1999 2000 2001 2002 2003 implementasi SSG terhadap Based on Asuming-Brempong 2006. dampak buruk gelombang impor, volume pemicu untuk beras yang didasarkan pada pergerakan rata-rata selama tiga tahun, dan angka ini telah dilampaui pada tahun 2002” (FAO 2006:1). Berdasarkan data tahun 1998 dan 2003, persentasi beras impor yang memasuki Ghana berdasarkan negara asal adalah Amerika Serikat (33%), Thailand (30%), Vietnam (17%), Cina (12%) dan Jepang (8%) (FAO 2006:2). Menurut ActionAid, ”secara konsisten harga rata-rata beras lokal di tingkat grosir lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata CIF10 beras impor” (ActionAid International 2005:19). ”Harga beras impor yang rendah berakibat meningkatnya permintaan beras impor, sedangkan harga beras lokal yang relatif tinggi mendorong konsumen beralih dari beras lokal ke beras impor yang lebih murah” (ActionAid International 2005:19). Menurut FAO rendahnya harga beras dunia, terutama antara tahun 2000-2003, adalah faktor yang menentukan terjadinya gelombang impor di Ghana (FAO 2007:3). Figure 2: Average Local Rice Prices versus Average CIF Prices of Imported Rice
Local Price
Imported Price
5 000 000 4 000 000 3 000 000 2 000 000 1 000 000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Source: ActionAid International 2005:21.
10 CIF singkatan dari Cost (biaya), Insurance (asuransi) dan Freight (pengangkutan).
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
Gambar 2 memperlihatkan harga rata-rata beras lokal lebih tinggi dari beras impor. Data ini terlihat bertolak belakang dengan data hasil wawancara yang menyatakan bahwa harga beras lokal sering dijual lebih murah dibandingkan beras impor. Beras impor seringkali dipersepsikan memiliki kualitas lebih baik sebagai hasil dari pengolahan yang lebih canggih dan oleh karenanya harganya lebih mahal. Namun jika harga beras impor kualitas tinggi dibandingkan dengan harga beras lokal kualitas tinggi, harga beras impor pada umumnya lebih murah. Dominic Ayine menyimpulkan: ”Beras impor rata-rata memukul beras lokal dalam hal harga. Semua aspek lain adalah sama” (Ayine 2006:20). Akhirnya bagi penjual dan distributor besar di Ghana seperti House of Rhema, semakin lama semakin sulit untuk menjual beras lokal long-grain karena harga beras impor jenis yang sama lebih murah dan lebih ”halus” (Ayine 2006:25). Harga rendah tampaknya menjadi salah satu nilai lebih beras impor dibandingkan beras lokal (lihat juga FAO 2007:3). Namun harga rendah bukan alasan tunggal meningkatnya impor. Analisis berikut menunjukkan bahwa beras impor juga diuntungkan dari sistem pemasaran dan infrastruktur yang lebih baik dan dianggap lebih berkualitas. Di sisi lain, beras lokal tidak mendapatkan perlindungan pasar dan produsen beras lokal tidak lagi mendapat dukungan pemerintah. b. Dumping Penelitian Oxfam yang dilakukan oleh Dominic Ayine menunjukkan bahwa alasan utama rendahnya harga beras impor dan terjadinya gelombang impor di Ghana adalah ”dumping”11 . Penelitian tersebut membandingkan harga grosir beras varietas long-grain Amerika, Thailand dan Vietnam di pasar luar negeri12 dengan harga grosir varietas yang sama di pasar Ghana13, dan terungkap bahwa harga di pasar luar negeri berada pada tingkat ”normal” (Ayine 2006:16). Selisih dumping dihitung berdasarkan perbedaan antara harga di pasar domestik di negara asal beras impor dan harga saat beras tersebut diekspor (Ayine 2006:19). Ayine menyimpulkan bahwa “importir beras dari ketiga negara mungkin terlibat dalam praktik dumping yang juga dikenal sebagai diskriminasi harga” dan bahwa “nilai normal varietas beras tertentu yang diimpor ke Ghana melampaui harga ekspor” (Ayine 2006:19). Menurut Ayine rata-rata selisih tertinggi harga dumping dari berbagai jenis beras Amerika mencapai US$ 4.06. Satu karung berisi 50 kg beras long grain Amerika dijual di pasar lokal Amerika Serikat dengan harga rata-rata US$ 19,00 namun di pasar Ghana beras yang sama dijual dengan harga rata-rata US$ 14,94 (Ayine 2006:20). Pada umumnya selisih dumping beras Thailand sedikit lebih rendah, namun untuk satu varietas tertentu batas tersebut mencapai US$ 6,13. Bagi semua varietas beras Vietnam, Ayine juga menemukan margin dumping, namun lebih rendah dibandingkan dengan beras Amerika dan Thailand. Perbandingan antara harga beras di pasar domestik negara pengekspor (Amerika Serikat, Thailand, Vietnam) dengan harga ekspor hanya salah satu cara mengukur dumping. Pasal 2.2. Perjanjian Antidumping GATT memperbolehkan perbandingan antara harga ekspor dengan biaya produksi di negara pengekspor. Karena kesulitan dalam mendapatkan data akurat biaya produksi di negara pengekspor, Ayine tidak melakukan pendekatan ini. Namun penelitian lain yang dilakukan oleh 11 Definisi dumping lihat bab 2, catatan kaki 6. 12 Hanya terdapat sedikit perbedaan antara free on board price (FOB) dan harga beras di pasar dalam negeri negaranegara pengekspor (Oxfam 2006:16). 13 Sebagai perbandingan pembobotan harga grosir rata-rata di Ghana ditentukan dengan memperhitungkan tarif, pajak/ biaya lain, asuransi, dan pengangkutan, semuanya untuk mendapatkan ”harga total ekspor” (Oxfam 2006:17).
37
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Table 2: Margin of Dumping of Selected US Long-grain Rice Imported into Ghana Normal Type of Quantity Value Rice (US $ -
Export Price (US $)
wholesale)
Average Wholesale Price
Less 37% Tariffs & Taxes
Less Cost of Less 20% Insurance Freight (1.5%)
Margin of Total EP Dumping
(US $ NV-EP)
US #2 L/G US #4 L/G
50 kg
$19.00
$36.00
$13.32
$0.54
$7.20 $14.94
$4.06
Ghana Specs
50 kg
$17.75
$34.00
$12.58
$0.51
$6.80 $14.11
$3.64
US L/G #4
50 kg
$18.00
$35.00
$12.95
$0.52
$7.00 $14.53
$3.47
US L/G #5
50 kg
$17.50
$33.82
$12.52
$0.50
$6.76 $20.80 - $3.30
15% broken
Source: Ayine 2006:27.
38
Oxfam memperkirakan bahwa pendekatan tersebut akan memperjelas pembedaan di antara negara pengekspor dalam hal selisih dumping. Berdasarkan penelitian Oxfam, antara tahun 2000 dan 2003, biaya penanaman dan penggilingan beras putih Amerika Serikat adalah US$ 415 per ton. Namun beras tersebut diekspor dengan harga rata-rata US$ 274 atau 34% lebih rendah dibandingkan biaya produksi (Oxfam 2005:36). Selisih dumping ini lebih tinggi dibandingkan Vietnam dan Thailand karena biaya produksi kedua negara tersebut jauh lebih rendah. Selama tahun 1999-2000, Oxfam memperkirakan rata-rata biaya produksi satu ton beras kasar di Thailand dan Vietnam masing-masing sebesar US$ 70 dan US$ 79. Di Amerika Serikat biaya tersebut sebesar US$ 188 atau dua setengah kali lipat biaya di Thailand dan Vietnam (Oxfam 2005:35). Penyebab utama tingginya biaya tersebut adalah besarnya dukungan yang diberikan pemerintah terhadap sektor beras di Amerika Serikat, dengan jumlah total US$ 1,3 juta pada tahun 2003 saja (lihat juga bab 2). Dapat disimpulkan bahwa dumping adalah salah satu penyebab terus meningkatnya impor pada tahun 1990an dan terjadinya gelombang impor di Ghana sejak tahun 1998. Tanpa dumping, beras Amerika mungkin tidak pernah masuk ke pasar Ghana dengan harga bersaing. Harga beras impor yang relatif rendah menyingkirkan beras lokal dari pasar, terutama beras lokal kualitas tinggi. Beras lokal kualitas rendah juga tersingkir dari pasar, namun bukan karena faktor harga saja melainkan karena pemasaran dan kualitas beras impor yang memang lebih baik. Semua faktor tersebut; praktik dumping, lemahnya perlindungan pasar dan minimnya dukungan untuk petani lokal, membuat beras impor menang bersaing dalam harga dan kualitas dan lebih menarik perhatian konsumen. c. Saluran Pemasaran FAO menunjukkan fakta bahwa di Ghana “impor beras adalah bisnis dengan tingkat konsentrasi yang tinggi dengan hanya lima importir utama yang menguasai lebih dari 75% impor. Konsentrasi tersebut meningkat antara tahun 1998-2004” (FAO Briefs, No. 5, 2006:1). Sejak pertengahan 1990an, tiga importir yaitu CCTC, OLAM dan NABB Brothers menguasai lebih dari 60% impor beras. Sejak 1999, CCTC melakukan konsolidasi dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar. Tahun 2003 CCTC bahkan menguasai hampir dua kali lipat kuantitas beras yang diimpor secara bersamaan oleh IMEXCO, OLAM dan NABB (Ayine 2006:14). Tingginya konsentrasi bisnis impor beras sangat bertolak belakang dengan sangat lemahnya koordinasi dan manajemen bisnis beras lokal. Beras impor membanjiri pasar dan beredar di seluruh negeri, namun membeli beras lokal dapat menimbulkan tantangan tersendiri karena tidak selalu tersedia di pasar (AsumingBrempong 2006:32).
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
Table 3: Share of Rice Imports by Major Rice Importers
Importer CCTC IMEXCO OLAM NABB
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 29.45 8.43 5.39 1.18
27.02 5.97 16.61
10.10
21.28
14.77 16.73
32.81 31.97
43.95 49.51 10.43 21.81 2.32 3.93 5.34
27.10 20.77 17.52
32.14 48.50 6.34 13.62 4.32 12.80 4.28
Source: Ayine 2006:14, based on BMOS Agro-Consults Ltd (2004).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Badan kerjasama internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency - JICA) dan MOFA memberikan informasi yang berharga perihal saluran pemasaran beras impor. Sebagian besar beras tersebut masuk Ghana melalui pelabuhan Tema di dataran Accra lalu disimpan di sana sementara waktu sebelum dipasarkan melalui sebuah jaringan yang sangat canggih yang melibatkan grosir dan pedagang eceran. Grosir terdapat di kota-kota besar di Ghana dan berfungsi sebagai “terminal penghubung” bagi distribusi beras. Para pedagang eceran dan konsumen besar biasanya membeli beras dari grosir ini, sebagian membeli langsung dari importir. Beras didistribusikan dalam karung ukuran 25 atau 50 kg. “Hampir semua konsumen besar seperti restoran dan hotel menggunakan beras impor dan mendapatkannya terutama dari importir dan grosir” ( JICA 2006:5-7f ). Fenomena yang bertolak belakang terjadi pada beras lokal, kuantitas dan distribusinya sangat rendah dibandingkan dengan beras impor dan hanya sedikit pedagang yang bersedia menempuh jarak jauh untuk menjual beras ini ( JICA 2006:5-10). Pada umumnya kolektor beras lokal atau di wilayah Utara disebut “ibu-ibu pasar” (market mammies) langsung mendatangi petani untuk membeli padi, membawanya ke penggilingan lokal dan menjual beras giling kepada konsumen dan pedagang perantara, atau menjualnya ke beberapa pedagang eceran. Saat ini sangat jarang ditemui beras lokal dari daerah yang jauh karena saluran pemasaran dan infrastruktur yang buruk. Semua masalah tersebut sangat membatasi ketersediaan beras lokal di pasar. Bahkan toko-toko di kota-kota di wilayah Utara dan Timur Jauh yang memiliki total surplus produksi beras lebih dari 25.000 ton, lebih banyak menjual beras impor ( JICA 2006:5-5). Namun ada tidaknya beras lokal di pasaran bukan satu-satunya masalah. Bahkan pada saat beras lokal tersedia di pasar-pasar perkotaan, seperti di Tamale, sebagian besar konsumen lebih menyukai beras impor. Berdasarkan survei kecenderungan konsumen di Accra, Takoradi, Kumasi dan Tamale, jelas terlihat konsumen lebih menyukai beras impor yang “wangi”. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kecenderungan tersebut adalah adanya persepsi bahwa beras impor lebih baik. Persepsi ini lahir karena negara asal beras impor memiliki sumber daya lebih untuk mempromosikan produk mereka. Oxfam mengutip USA Rice, kelompok lobi terbesar dalam industri beras di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa konsumen Ghana “familiar dengan beras Amerika yang berkualitas baik dan mereka memiliki kecenderungan kuat untuk membeli beras tersebut. Namun di pasar terdapat persaingan antara beras
Spanduk iklan beras Amerika di sebuah pasar lokal di Dalun. Armin Paasch/EAA
39
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Amerika dengan beras dari negara lain. Dalam rangka menjaga agar tingkat permintaan tetap tinggi, USA Rice mengembangkan kampanye pemasaran yang terintegrasi” (dikutip dalam Oxfam 2005:37). Kampanye tersebut yang berlangsung sejak bulan Mei hingga Juni 2004, melibatkan lima stasiun radio lokal, dua surat kabar nasional dan tiga saluran TV utama. “Pemilik penggilingan padi dan pedagang beras lokal Ghana tidak memiliki sumber daya seperti halnya USA Rice guna menumbuhkan kebanggaan terhadap produk lokal (Oxfam 2005:38).
40
Dengan demikian terlihat bahwa persepsi publik tentang kualitas beras tidak hanya berdasarkan kriteria obyektif, karena persepsi tersebut dipengaruhi oleh iklan. Namun bukan berarti kriteria obyektif diabaikan sama sekali. Contohnya, konsumen seringkali mengeluhkan ditemukannya batu dalam beras lokal, kurang serupa dan memasaknya tidak semudah beras impor ( JICA 2006:5-13). Di sisi lain para pakar dan petani yang diwawancarai dalam penelitian lapangan menekankan fakta bahwa kandungan gizi beras lokal biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan beras impor karena proses penggilingan yang lebih sederhana. Namun terlihat bahwa dalam benak sebagian besar konsumen faktor gizi kalah penting oleh faktor lain, seperti waktu untuk memasak nasi. Mungkin karena sebagian besar konsumen adalah penduduk perkotaan dan lebih menekankan pentingnya menghemat waktu untuk memasak nasi ketimbang kandungan gizi. Alasan ketidakmampuan sektor beras dalam negeri untuk memenuhi keinginan konsumen, terkait dengan kebijakan perberasan dalam negeri yang sejak tahun 1983 banyak mengikuti saran IMF sebagaimana dibahas di sub bab berikut ini.
4.2.3 Kebijakan Beras Nasional Dibawah Bayang-bayang IMF a. Ketiadaan Proteksi Pasar Sejalan dengan tujuan swasembada pangan, hingga pertengahan 1980an pemerintah memberikan perlindungan kuat terhadap produk pertanian lokal melalui sistem dukungan harga dan subsidi impor terutama terhadap komoditas beras dan jagung (lihat bagian 4.2.3.b). Beras lokal dilindungi dari beras impor melalui sejumlah perlakuan khusus terhadap beras impor yaitu pengenaan tarif tinggi, pembatasan jumlah, lisensi impor, penjatahan mata uang asing dan pengendalian harga beras dalam negeri (Ayine 2006:11). Seperti disebutkan terdahulu, bahkan pada tahun 1970an beras impor telah masuk Ghana, keseluruhannya selama dua tahun. Namun saat itu impor beras dikendalikan dan dibatasi dengan mekanisme tertentu sehingga jumlah beras impor di pasar tidak melebihi beras lokal. Situasi ini mulai berubah pada tahun 1983 ketika pemerintah Ghana meliberalisasikan impor melalui Program Pemulihan Ekonomi (Economic Recovery Programme – ERP) diikuti dengan Program Penyesuaian Struktural sebagai prasyarat mendapatkan bantuan finansial dari World Bank dan IMF. Pada tahun 1986, sistem kuota digantikan dengan pengenaan tarif yang bervariasi, sementara tarif yang ditetapkan pada tahun 1992 sebesar 20% masih berlaku (Asuming-Brempong 2006:21). Setahun kemudian, yaitu sejak tahun 1993, kuantitas beras impor meningkat drastis (lihat bab 4.2.2.a). Liberalisasi ini membuat Ghana menjadi “salah satu pasar yang sangat terbuka di Afrika” dan “menghasilkan kebangkrutan di sektor manufaktur karena perusahaan-perusahaan lokal tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing dan akhirnya mati” (Ayine 2006:12). Pada tahun 1992, World Bank mengakui bahwa penghapusan kebijakan pembatasan kuantitas dan penurunan tarif “dirasakan sangat tiba-tiba bagi sebagian industri” ( World Bank 1992:12). Tinjauan Bantuan Negara (Country Assistance Review) yang dilakukan World Bank sejak tahun 1996 juga mengkonfirmasikan bahwa ruang lingkup dan susunan kebijakan perdagangan yang baru menghasilkan “kebangkrutan meluas bagi sektor swasta” ( World Bank 1996:98) Ghana adalah anggota WTO sejak WTO lahir pada tahun 1995. Pemerintah Ghana menetapkan batas tarif (bound tariff) sektor pertanian sebesar 125%. Atas permintaan WTO tarif ini harus diturunkan hingga
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
24% paling lambat pada tahun 2004. Ini berarti bahwa dibawah aturan WTO, Ghana dapat meningkatkan tarif impor beras yang diterapkan (applied import tariff) sebesar 125% sampai tahun 2004, dan masih dapat meningkatkan tarif tersebut hingga 99% (Assuming-Brempong 2006:23). Fakta bahwa pemerintah Ghana tidak menerapkan kebijakan ini dan menetapkan tarif hanya sebesar 20% selama kurun waktu yang panjang melahirkan kritik pedas dari kalangan petani dan organisasi masyarakat sipil. Pada saat rejim baru berkuasa pada tahun 2001 mereka sepenuhnya sadar bahwa masalah impor beras adalah juga masalah sektor pertanian dan ketahanan pangan di Ghana. Dalam kebijakan pembangunan sektor pangan dan pertanian (Food and Agriculture Sector Development Policy – FASDEP) tahun 2002, MOFA menguraikan garis besar tujuan kebijakan sektor beras sebagai berikut: Kebijakan impor adalah untuk mengamankan ketahanan pangan dan mempromosikan substitusi impor dengan menurunkan impor sebesar 30% paling lambat pada tahun 2004 dan meningkatkan produksi beras lokal sekitar 370.000 ton (MOFA 2002:48). Meningkatkan tarif impor adalah salah satu kebijakan MOFA dalam strategi barunya pada tahun 2002. Dengan tujuan menurunkan ketergantungan bantuan asing dan untuk memobilisasi dana bagi kredit pertanian “diusulkan pengenaan pajak terhadap impor produk pangan tertentu” (MOFA 2005:21). Pengenaan pajak adalah salah satu keputusan yang diambil pemerintah Ghana. Menteri Keuangan dan Perencanaan Ekonomi Yaw Osafo-Maafo mengusulkan hal tersebut dalam rencana anggaran pada bulan Februari 2003. Ia mengusulkan untuk meningkatkan tarif impor beras dari 20% menjadi 25% dan bagi impor unggas dari 20% menjadi 40%. Melalui rapat parlemen, usulan ini sah menjadi ketentuan hukum dan dituangkan dalam lembaran negara pada tanggal 17 April 2003 (Undangundang nomor 641). Pada tanggal 8 Mei 2003 Kantor Pelayanan Bea Cukai (Customs, Excise and Preventive Services – CEPS) mulai menerapkan kebijakan kenaikan tarif impor. Namun aneh sekali, kebijakan tersebut dibatalkan empat hari kemudian yaitu pada tanggal 12 Mei 2003 melalui surat yang dikirim ke semua pelabuhan dan stasiun di seluruh negeri. Implementasi kebijakan kenaikan tarif impor akhirnya dihentikan oleh CEPS melalui Surat Perintah Penghentian Tarif nomor 2/2003 pada tanggal 8 Agustus 2003. Surat tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif impor dibatalkan (ISODEC 2007 dan High Court 2005). Pembatalan UU nomor 641 menimbulkan protes keras dari organisasi tani dan lembaga swadaya masyarakat. Atas nama Asosiasi Peternak Unggas Ghana (Ghana National Association of Poultry Farmers), Centre for Public Law (CEPIL) melalui pengadilan tinggi mengajukan tuntutan kepada pemerintah karena tidak melaksanakan putusan hukum. Pada tanggal 11 Maret 2005 pengadilan yang berpihak pada para peternak menyatakan “penundaan penerapan kebijakan kenaikan tarif impor melanggar UU nomor 641 dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Ghana tahun 1992”. Penundaan kebijakan bukanlah wewenang CEPS namun “hanya dapat diatasi oleh parlemen” (High Court 2005:2 dan 7). Kasus ini menjadi menarik karena terjadi tarik menarik kepentingan. Pada tanggal 18 Maret 2005 pemerintah bergegas menemui parlemen untuk mendiskusikan pembatalan UU nomor 641, bahkan sebelum Yang Mulia Ashong-Yakubu menyampaikan pendapatnya. Dalam pemungutan suara yang panas di parlemen, partai berkuasa yaitu Partai Patriotik Baru (New Patriotic Party) dengan susah payah berhasil meloloskan pembatalan undangundang tersebut dengan 98 suara melawan 92 suara Kongres Nasional Oposisi Demokrasi (Opposition National Democratic Congress) (ISODEC 2007). Dari sudut pandang konstitusional, manuver seperti ini sangat patut dipertanyakan dan masih terdapat peluang untuk mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah Agung berdasarkan surat yang diajukan
41
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia oleh CEPIL yang mengatasnamakan peternak unggas (Supreme Court 2005). Namun dari perspektif politik dan hak asasi manusia, pertanyaan paling penting adalah mengapa pemerintah membatalkan implementasi undang-undang tersebut, padahal pemerintah sendiri yang mengusulkannya kepada parlemen sebulan sebelumnya. Wawancara dengan perwakilan petani dan lembaga swadaya masyarakat mengindikasikan, bahwa IMF memainkan peran penting dalam pembatalan undang-undang tersebut dengan cara menekan pemerintah dengan diam-diam. Dalam menanggapi surat protes dari Christian Aid, Thomas C. Dawson, Direktur Departemen Hubungan Eksternal IMF menegaskan tuduhan tersebut:
42
Dalam rancangan anggaran awal tahun 2003, pemerintah menawarkan untuk menaikkan tarif berbagai jenis komoditas impor, termasuk didalamnya produk perunggasan. Setelah berkonsultasi dengan staf IMF, karena berbagai alasan pemerintah memutuskan untuk tidak menerapkan kenaikan tarif tersebut (IMF 2005, cetak miring oleh penulis) Penting untuk dikemukakan bahwa pada tanggal 9 Mei 2003, Badan Eksekutif IMF mengadakan pertemuan konsultasi dengan Ghana (Pasal IV Konsultasi) dan menyetujui program kerjasama tiga tahun “Penurunan Kemiskinan dan Fasilitasi Pertumbuhan” (Poverty Reduction and Growth Facility – PRGF) sebesar 185,5 juta SDR14 (US$ 258) serta tambahan dana antara dalam bentuk bantuan untuk “Negara-negara Miskin dengan Utang Tinggi” (Highly Indebted Poor Countries – HIPC) sebesar 15,15 juta SDR (sekitar US$ 22 juta) (IMF 2003a:5, IMF 2003c dan IMF 2003d:5). Dalam kedua program tersebut jelas terlihat sejumlah besar pinjaman finansial yang diberikan IMF kepada Ghana, yang kemungkinan digunakan sebagai alat yang kuat untuk menekan Ghana agar tidak menaikkan tarif impor beras dan unggas. Kenyataannya, laporan IMF (IMF country report) Mei 2003 menyebutkan bahwa tarif impor beras dan ayam adalah salah satu topik yang diperdebatkan dalam pertemuan konsultasi dengan Ghana. ”Staff IMF berpandangan bahwa kenaikan tarif tersebut kemungkinan akan berdampak buruk terhadap program pemerintah untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan karena kenaikan tarif akan menaikan harga di tingkat konsumen untuk produk yang menjadi makanan pokok di Ghana (beras dan ayam) dan dalam jangka panjang berdampak buruk pula terhadap daya saing kedua sektor tersebut” (IMF 2003a:24). Laporan yang sama juga mencantumkan hasil positif pertemuan konsultasi dengan Ghana bagi IMF: ”Pemerintah Ghana berkomitmen bahwa kenaikan tarif impor tidak akan diberlakukan selama periode Armin Paasch/EAA kerjasama”. Kenyataannya, pembatalan UU nomor 641 resmi diberlakukan pada tanggal 12 Mei 2003, hanya tiga hari setelah persetujuan bantuan dana IMF dalam kedua program PRGF dan HIPC. Meskipun IMF menyetujui bantuan dana untuk penurunan kemiskinan, IMF berhasil meyakinkan pemerintah Ghana untuk tidak menerapkan kebijakan kenaikan tarif impor yang sebenarnya akan melindungi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kemiskinan dan kelaparan yaitu petani kecil. Kronologi kejadian dan komitmen pemerintah Ghana untuk tidak memberlakukan kenaikan tarif impor “selama 14 SDR singkatan dari Special Drawing Rights, cadangan aset internasional IMF.
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
periode kerjasama” dengan jelas mengindikasikan bahwa IMF menggunakan dana PRGF sebagai alat untuk menekan pemerintah Ghana untuk membatalkan kenaikan tarif tersebut. Meskipun tekanan IMF adalah yang terkuat dan paling jelas terlihat, IMF bukan satu-satunya aktor yang dengan gigih menentang kenaikan tarif impor. Menurut German Church Development Service (EED), pada tanggal 23 April 2003, komisi perdagangan Uni Eropa Pascal Lamy, berkunjung ke Accra untuk berkonsultasi dengan pemerintah Ghana tentang awal negosiasi EPA antara Uni Eropa dan ECOWAS. Dalam pertemuan dengan perwakilan masyarakat sipil ia mengkritik keras keputusan parlemen Ghana untuk menaikkan tarif impor, karena kenaikan tersebut akan berdampak buruk terhadap kelompok miskin, dan ia pun mengumumkan akan menyampaikan keprihatinannya kepada pemerintah (Mari 2007). Jelas bahwa Uni Eropa dan negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat dan Brazil sangat berkepentingan dengan tarif impor yang rendah, karena eksportir mereka akan dirugikan dengan kenaikan tarif tersebut dan kemungkinan akan kehilangan sebagian pasar mereka di Ghana. Dalam wawancara dengan staf MOTI dan MOFA memang tidak disebutkan secara tersurat tekanan kuat IMF terhadap keputusan pemerintah, namun secara tersirat mereka mengakui adanya tekanan tersebut. Seorang staf MOTI mengatakan bahwa “pemerintah negara manapun tidak akan berterus terang mengakui bahwa mereka telah dipaksa oleh IMF”. Pada saat dikonfrontasikan dengan pertanyaan apakah telah terjadi pemaksaan oleh IMF terkait pembatalan UU nomor 641, ia menjawab diplomatis ”saya tidak tahu”. Namun ia menunjukkan surat IMF kepada Christian Aid yang telah disebutkan diatas dan menambahkan bahwa ”mereka mengatakan hal yang seharusnya tidak mereka katakan”. Jawaban yang sama terungkap dalam wawancara dengan MOFA. Tanpa menyebutkan negara atau lembaga internasional tertentu, staf MOFA mengakui bahwa ”kita semua tahu bahwa terdapat tekanan internasional” dan menambahkan bahwa tekanan ini tidak hanya datang dari IMF namun ”semua donor menentang kenaikan tarif impor” dan ”terdapat seruan dari seluruh lembaga donor”. Mereka mengatakan bahwa pemerintah Ghana tidak berhak untuk mengambil keputusan sendiri dalam kebijakan perdagangan karena ketergantungan tinggi Ghana terhadap bantuan luar negeri. Fakta menunjukkan bahwa sepertiga dari pengeluaran publik Ghana berasal dari Bantuan Pembangunan Luar Negeri (Overseas Development Aid – ODA) atau penghapusan utang, dengan donor terbesar adalah World Bank, Uni Eropa dan Departemen Pembangunan Internasional mlik Inggris (Department for International Development - DfID) termasuk baru-baru ini Millenium Challenge Account dari Amerika Serikat (German Embassy 2006:2, 12 dan 13). Secara formal pemerintah Ghana tidak mengakui adanya pengaruh IMF atau donor lain dalam pembatalan kenaikan tarif impor. Namun yang menarik adalah alasan MOTI untuk tidak melakukan kenaikan tarif, sama dengan yang tertulis dalam surat IMF yaitu komitmen Ghana dengan negaranegara Afrika lain dibawah perjanjian internasional ECOWAS serta komitmen untuk menyediakan harga beras rendah bagi konsumen miskin. Sayang sekali kedua argumen tersebut salah. Dalam sebuah wawancara MOTI menyatakan bahwa kenaikan tarif impor tidak mungkin dilakukan karena CET ECOWAS tidak mengijinkan penetapan tarif lebih dari 20%. Betul bahwa pertimbangan CET adalah tujuan ECOWAS sejak lama, namun MOTI tidak mampu menunjukkan perjanjian formal perihal tersebut sebelum parlemen menyetujui UU nomor 641. Berdasarkan dokumen MOTI, baru pada tanggal 12 Januari 2006 para kepala negara anggota ECOWAS mendeklarasikan: Kami menyetujui penetapan CET bagi negara-negara anggota ECOWAS (ECOWAS 2006).
43
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Berdasarkan deklarasi tersebut, CET akan diimplementasikan setelah masa transisi yang akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2007.15 Oleh sebab itu, perjanjian tahun 2006 tidak dapat dianggap sebagai halangan bagi penerapan UU [nomor 641] yang disahkan parlemen pada tahun 2003. Christian Aid dan ISODEC mengklaim bahwa argumentasi ECOWAS bukan berasal dari pemerintah: Selama penelitian jelas terlihat bahwa IMF telah membawa wacana ini ke dalam kancah perdebatan seputar UU nomor 641 (Christian Aid/ISODEC 2005).
44
Bahkan jika CET diadopsi masuk ke dalam butir kesepakatan untuk jangka waktu sementara, CET tidak bisa digunakan sebagai dalih untuk tidak menaikan tarif, karena waktu pemberlakuannya masih dinegosiasikan. Sebagai contoh Nigeria telah mengusulkan tambahan batas tarif 50%. Ghana dapat mendukung usulan ini dalam rangka meningkatkan peluang pemberlakuan kebijakan yang pro petani. Argumentasi bahwa kenaikan tarif impor beras akan menimbulkan dampak buruk terhadap konsumen miskin juga tidak meyakinkan. Survei konsumen sebagaimana disebutkan terdahulu menunjukkan bahwa beras masih menjadi konsumsi utama penduduk perkotaan (38 kg per orang per tahun), sedangkan penduduk pedesaan – sebagian besar adalah rakyat miskin dan rawan pangan - mengkonsumsi beras dalam jumlah lebih kecil (9,2 kg). Sebagian besar beras yang dikonsumsi di pedesaan adalah jenis lokal. Rakyat miskin yang tinggal di pedesaan relatif tidak terkena dampak naiknya harga beras impor. Sebaliknya, produsen beras, yang seringkali masuk dalam kelompok miskin –akan sangat diuntungkan dengan tarif impor yang lebih tinggi. Kesimpulannya, dampak positif tarif impor beras yang lebih tinggi kemungkinan akan jauh lebih besar dibandingkan dampak buruknya. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kita mengabaikan kemungkinan dampak buruk kenaikan tarif impor terhadap konsumen di perkotaan. Dukungan untuk kaum miskin di perkotaan mungkin akan diperlukan jika harga beras naik, namun, solusi apapun yang ditempuh, tidak boleh merugikan petani padi yang jauh lebih rentan terhadap kemiskinan. Meliberalisasikan impor bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan tingkat harga konsumen yang layak. Semakin tingginya dukungan terhadap produsen beras lokal dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan pasokan beras lokal di dalam negeri dan menjaga tingkat harga agar tetap terjangkau bagi rakyat miskin. Skema dukungan khusus bagi rakyat miskin perkotaan juga akan membantu menghindari dampak buruk yang tidak diinginkan terhadap kelompok ini. b. Penghentian Dukungan Pemerintah Ghana dan didukung antara lain oleh penelitian yang dilakukan Asuming-Brempong (2006) menggarisbawahi hambatan pasokan beras lokal sebagai salah satu alasan peningkatan impor. Meskipun dalam hal tertentu memang benar bahwa produksi beras lokal menurun dan tampaknya tidak mampu memenuhi meningkatnya permintaan dalam negeri, sangat penting untuk melihat bahwa terjadinya hambatan di sisi penawaran ini sangat terkait dengan masuknya beras impor dan penghentian dukungan pemerintah bagi sektor pertanian yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun sejalan dengan diterapkannya kebijakan penyesuaian struktural. Bersamaan dengan liberalisasi perdagangan, program penyesuaian struktural yang dimulai pada tahun 1983 menghasilkan: • penghapusan sebagian kebijakan pengendalian harga • privatisasi badan-badan usaha tertentu milik negara 15 Menurut catatan resmi, tanggal ini adalah tanggal dimulainya perjanjian kerjasama ekonomi (Economic Partnership Agreement – EPA) antara ECOWAS dan Uni Eropa. Hal ini bukan kebetulan karena adopsi Common External Tariff (CET) adalah prasyarat perjanjian kerjasama ekonomi manapun.
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
• • •
penghentian subsidi input dan fasilitas kredit yang menyebabkan bunga naik hingga 46% penarikan dukungan institusional seperti pengiriman peralatan/mesin pertanian dan input secara bertahap “kehancuran semu sistem institusi yang bertanggungjawab terhadap pengembangan, pemeliharaan, dan penggandaan budi daya bibit dan juga unit-unit perbaikan varietas” (ODI 2003:8).
Dalam sebuah konferensi nasional tentang dampak SAP, yang diadakan di Accra, Ghana pada bulan November 1998 dengan melibatkan masyarakat sipil, pemerintah dan perwakilan World Bank, diidentifiksi pula masalah-masalah yang sama. Konperensi tersebut mencatat adanya “pergeseran dalam produksi pertanian yaitu lebih banyak lahan dan sumber daya dialokasikan untuk menanam tanaman komoditas ekspor, dan relatif sedikit lahan dan sumber daya yang dialokasikan untuk tanaman pangan”. Sesungguhnya melalui program Percepatan Pertumbuhan Pertanian dan Strategi Pembangunan (Accelerated Agricultural Growth and Development Strategy – AAGDS), pada tahun 1996 pemerintah Ghana secara tersurat memutuskan untuk memprioritaskan tanaman ekspor dengan mengorbankan tanaman pangan. Laporan tersebut menyatakan bahwa “kebijakan ini […] berkontribusi terhadap penurunan investasi di bidang pertanian dalam jumlah yang besar, yang akan berujung dengan menurunnya produktifitas produsen pangan” (SAPRIN 1998:2). Menurut ActionAid Internasional, porsi dari portfolio peminjaman komersial perbankan terhadap sektor pertanian turun dari 13,6% pada tahun 1993 menjadi 1% pada tahun 2004. Penurunan ini sangat berdampak terhadap petani, terutama semenjak awal 1990an ketika Otoritas Pembangunan Irigasi Ghana (Ghana Irrigation Development Authority – GIDA) menghentikan dukungan modal kerja bagi petani anggota GIDA sebagai bagian dari SAP. Penghentian dukungan tersebut mengakibatkan biaya yang harus ditanggung petani meningkat drastis. Pada tahun 1985 pemerintah memberikan subsidi pupuk impor sebesar 59%, pada tahun 1990 semua subsidi tersebut dihapuskan. Dukungan teknis juga dipangkas: dukungan traktor berakhir tahun 1987, dukungan untuk combine harvester berakhir tahun 1988 dan dukungan peralatan pembajak tanah dihentikan tahun 1991 (Khor 2006:7-8). Perusahaan Distribusi Pangan Ghana (Ghana Food Distribution Corporation) yang sebelumnya menyediakan pasar bagi petani dan memberikan jaminan harga, juga mati akibat kebijakan liberalisasi pasar. Action Aid menyimpulkan ”kebijakan pemerintah di sektor pertanian selama dua dekade terakhir merugikan petani tanaman pangan pada umumnya dan petani padi khususnya” (ActionAid Internasional 2005:43). Dalam kebijakan pembangunan sektor pangan dan pertaniannya pada tahun 2002, MOFA menyadari betul persoalan ini. Menurut MOFA “faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan sektor pertanian” adalah investasi pemerintah dan pengembangan sumber daya manusia yang tidak memadai bagi sektor pertanian, yang mengakibatkan koordinasi yang lemah antara sektor penelitian di satu sisi dan petani di sisi lain, sistem pemasaran yang tidak efisien, fasiltas pengangkutan yang tidak memadai, pasar yang tidak higienis, produksi dibawah kapasitas, fasilitas irigasi yang terbatas, tingginya perbandingan biaya input dengan biaya output, bunga perbankan yang tinggi dan biaya transaksi kredit (MOFA 2002:13-14). Penelitian bersama antara JICA dan MOFA menunjukkan bahwa sejak bulan Desember 2006 sebagian infrastruktur sektor perberasan berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Jumlah combine harvester turun tajam yaitu 200 buah selama kurun waktu 1985-1990 menjadi 21 pada tahun 2002. Dalam periode yang sama jumlah wheel tractor turun dari 4.120 menjadi 2.100 dan jumlah crawler tractor dari 40 menjadi hanya 4 (JICS 2006:6-4). Sebagian besar penggilingan padi modern yang ada beroperasi di bawah kapasitas (JICA 2006:4-7) Di sisi lain, sebagian besar penggilingan padi menggunakan mesin tipe Engelberg yang penggunaannya dilarang di beberapa negara Asia (JICA 2006:6-5). Dalam kebijakan FASDEP, MOFA menyusun sebuah strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas melalui pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan institusi, meningkatkan akses
45
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia petani terhadap keuangan, teknologi yang tepat guna, infrastruktur dan pasar. “Tujuan besarnya adalah untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi dan keuntungan bagi semua skala produksi. Diharapkan kebijakan ini dapat mewujudkan perubahan struktural dari budaya produksi subsisten menjadi produksi skala tingkat menengah”. Visinya adalah untuk mengubah “dari pengurangan kemiskinan menjadi penciptaan kemakmuran” (MOFA 2002:15 dan 39). Namun dibandingkan dengan situasi pada tahun 2002, sektor beras semakin menjauhi tujuan tersebut, dimana seharusnya tujuan kebijakan adalah menggantikan impor dan meningkatkan tingkat produksi menjadi 370.000 ton. Berdasarkan perhitungan MOFA, tingkat produksi beras malah turun dari 281.100 ton pada tahun 2002, menjadi 241.800 ton pada tahun 2004 dan terus menurun menjadi 236.500 ton pada tahun 2005 (SRID 2006:45). 46
Table 4: Comparison between the 1980s and 2002: Number of Farm Machines
Farm Machines Wheel tractors Crawler tractors Combine harvesters Power threshers Rice mill plants Hand tillers Reapers
Number
Number
Operational
4 120 40 200 none 50 200 120
3 500 4 21 90 300 4 500 200
2 100 4 21 90 300 1 800 200
1985-1990
2002
2002
Source: JICA 2006:6-4.
Dalam wawancara dengan pejabat-pejabat MOFA terungkap itikad pemerintah untuk meningkatkan dukungan terhadap sektor beras, misalnya dengan mengenakan pajak impor rendah untuk pupuk dan mesin pertanian atau skema pembayaran yang meringankan untuk pembelian traktor. Pemerintah juga menghimbau institusi publik seperti sekolah untuk membeli beras dari produsen lokal. Pemerintah menjelaskan bahwa kebijakan sektor pangan dan pertanian saat ini sedang direvisi melalui konsultasi dengan mitra pembangunan pemerintah. Menurut pejabat MOFA, JICA dan Agence Francaise du Developpement (AFD) terbuka untuk membantu berbagai upaya untuk meningkatkan produksi beras Ghana, misalnya melalui pinjaman untuk membantu petani melakukan pengolahan padi yang lebih baik. Namun secara umum, pejabat-pejabat tersebut mengeluhkan bahwa di masa lampau, lembaga donor tidak berminat untuk mendorong sektor pertanian dan terutama menentang usulan pemberian pinjaman atau hibah untuk mensubsidi sektor pertanian. Keengganan lembaga donor untuk mendukung sektor pertanian sangat mencengangkan jika kita melihat tingkat subsidi yang sangat tinggi bagi sektor pertanian di negara-negara Uni Eropa atau Amerika Serikat. Satu contoh adalah saat program bantuan disusun berdasarkan kepentingan pemerintah negara donor yang tergabung dalam lembaga donor US Millenium Challenge Account (MCA). Dibawah skema MCA, Ghana memenuhi syarat untuk menerima bantuan sebesar US$ 547.000.000 selama lima tahun untuk mengembangkan sektor pertanian di tiga wilayah Ghana. Wawancara dengan pejabat MOFA mengungkapkan bahwa dana tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan jenis tanaman pangan tertentu seperti jagung, singkong, ubi dan holtikultura lain, tapi secara jelas tertulis tidak untuk padi. Alasannya karena beras lokal akan bersaing dengan beras Amerika dan dukungan terhadap sektor perberasan Ghana akan bertentangan dengan kepentingan sektor beras Amerika. Hukum publik 108-109 yang disetujui oleh Kongres Amerika pada bulan Januari 2004 dan yang juga mengesahkan pembentukan Millennium Challenge Account menyatakan “bantuan dalam skema ini tidak akan diberikan pada program-program yang berpeluang menyebabkan kerugian terhadap sektor
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
ketenagakerjaan atau sektor produksi di Amerika Serikat” (US Public Law 108-199, Sec.605 (e) (2), 118 STAT, 214-215). Jelas terlihat pemerintah Amerika Serikat khawatir bahwa peningkatan produksi beras di Ghana akan mempersempit lapangan kerja di Amerika Serikat. Lebih jauh, salah satu syarat untuk mendapatkan bantuan MCA adalah negara yang bersangkutan harus memiliki “kebebasan ekonomi” (US Public Law 108-199, Sec. 607 (b) (2), 118 STAT.216). Kriteria kebebasan ekonomi berdasarkan indeks kebebasan ekonomi yang disusun oleh Yayasan Heritage dan Wall Street Journal. Satu dari 10 kriteria tersebut adalah “kebebasan perdagangan” yaitu “kebijakan yang mengatur ketiadaan hambatan tarif dan non-tarif yang dapat mempengaruhi impor dan ekspor barang dan jasa”. Kriteria lain adalah “kebebasan dari pemerintah” yang didefinisikan sebagai “memperhitungkan seluruh pembiayaan pemerintah – termasuk konsumsi dan transfer – dan badan usaha milik negara. Pada tataran ideal negara hanya menyediakan komoditas yang benar-benar dibutuhkan publik dengan pembiayaan seminimal mungkin”. (http://www.heritage.org/research/features/index/chapters/htm/index2007_chap3.cfm)
4.3 Studi Kasus: Impor Beras dan Hak atas Pangan di Dalun 4.3.1 Komunitas Dalun a. Profil Desa dan Produksi Beras di Dalun Dalun adalah sebuah desa yang terletak di Distrik Tolon Kumbungu di Utara Ghana, sekitar 50 km dari ibu kota Tamale. Menurut anak kepala desa, Adam Mahama (wawancara C.2), berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 tercatat 8.000 orang tinggal di desa tersebut. Saat ini jumlah Desa Dalun: Menampi beras sambil menunggu ibu-ibu pedagang penduduk diperkirakan 10.000 orang. dari Tamale. Armin Paasch/EAA Dalun adalah salah satu desa terkaya di Distrik Tolon Kumbungu dengan standar infrastruktur yang relatif baik, termasuk keberadaan 10 sekolah, tiga toilet umum, satu radio komunitas, beberapa telepon, dan masyarakat memiliki akses terhadap air minum dan listrik. Otoritas tertinggi di desa Dalun dipegang oleh kepala desa yang juga berperan sebagai kepala adat. Secara politis kepala desa adalah pemimpin yang didukung oleh 12 tetua desa yang sekaligus berperan sebagai pembantu kepala desa dalam pengambilan keputusan politik. Penduduk desa tidak harus membayar pajak kepada kepala desa, namun dari waktu ke waktu mereka memberikan bingkisan. Adam Mahama menekankan bahwa pemberian bingkisan tersebut bukanlah suatu kewajiban. Kepala desa adalah juga penjaga tanah adat, ia memiliki otoritas memberikan hak guna tanah kepada petani. Dalun sendiri memiliki arti “tanah yang memberi penghidupan”. Faktanya, sektor pertanian adalah sumber kehidupan bagi seluruh penduduk desa. Menurut Adam Mahama, semua petani memiliki akses terhadap tanah, minimal 5-7 acre dan maksimal 15-20 acre per orang. Sebagian besar petani adalah laki-laki, 30-40 diantara mereka adalah petani perempuan, terutama para janda yang ditinggal mati suaminya. Petani tidak harus membayar sewa tanah jika mereka ingin mengelola lahan tersebut. Total area pertanian di Dalun sekitar 1.000 hektar, 850 hektar diantaranya adalah lahan tadah hujan dan sisanya seluas 150 hektar adalah lahan yang mendapat fasilitas irigasi dari BIP. Hanya 100 petani
47
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Dalun yang memiliki akses terhadap fasilitas ririgasi dan sisanya sekitar 900 petani tergantung dari pertanian tadah hujan. Petani Dalun menghasilkan padi, jagung, lada dan kacang okra, namun padi adalah tanaman pangan yang paling penting bagi penduduk Dalun. Meskipun secara bertahap beras menjadi bagian dari menu sehari-hari penduduk Dalun, beras bukan makanan pokok mereka melainkan hasil bumi utama untuk tujuan komersial. Penghasilan dari pertanian padi digunakan petani untuk membeli makanan pokok mereka yaitu jagung, sayuran dan memenuhi kebutuhan pokok lain seperti biaya kesehatan, pendidikan, sandang dan prasarana lain. Beras adalah juga komponen utama dalam berbagai acara adat.
48
Dalun adalah desa terkaya diantara 13 desa lain dan diuntungkan dengan keberadaan BIP yang dijalankan oleh GIDA. Pembangunan sistem irigasi dimulai tahun 1980 dan selesai tahun 1983. Air dari sungai Botanga dibendung dan dengan memanfaatkan gravitasi bumi, air tersebut dipompa untuk mengairi lahan pertanian seluas 490 hektar. Pada tahun 2003/2004, dari seluas 326 hektar total lahan pertanian yang diairi oleh BIP, 275 hektar diantaranya ditanami padi16. Dari 550 rumah tangga yang memiliki akses ke lahan irigasi, sekitar 100 diantaranya adalah penduduk Dalun. Mereka tidak harus membayar sewa lahan kepada BIP, namun hanya membayar biaya penggunaan air. Di area ini dimungkinkan panen padi dua kali setahun, satu kali di musim kemarau dan satu kali di musim hujan. Saat musim hujan biasanya sekitar 70 dari 100 petani tidak membajak di lahan irigasi karena mereka sibuk bertani di lahan tambahan yang mereka miliki, yang terletak di dataran rendah tadah hujan di luar area irigasi. Di musim hujan, bertani di lahan tadah hujan tampaknya lebih menguntungkan. Dan untuk mengelola kedua tempat produksi menguras lebih banyak sumber daya melebihi dari apa yang mereka miliki. Kondisi sekitar 900 petani Dalun yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas irigasi lebih buruk dibandingkan 100 petani yang memiliki akses terhadap fasilitas irigasi BIP. Aktifitas ke-900 petani tersebut terbatas hanya di atas lahan tadah hujan yang menghasilkan panen padi hanya sekali setahun, yaitu pada saat musim hujan. Sebagian besar dari mereka juga memiliki keterbatasan akses terhadap mesin pertanian, pupuk, bibit, informasi pasar dan infrastruktur lain dibandingkan rekan mereka yang mendapat fasilitas irigasi. Bukan hanya petani yang mendapatkan sumber penghasilan dari pertanian padi. Buruh musiman yang sebagian besar perempuan, membantu petani menyiapkan lahan, menyebarkan bibit, mengusir burung dan hewan lain, memanen, menebas dan membantu pengangkutan padi. Ibu-ibu pedagang pasar membeli padi dari petani, merebusnya setengah matang, membawanya ke penggilingan untuk diproses lebih lanjut dan menjualnya ke pasar lokal. Hal lain yang mereka kerjakan adalah menjual beras kepada sesama pedagang pasar dari wilayah lain yang mengunjungi Dalun secara teratur sebagai perantara untuk menjual beras di pasar mingguan di Tamale (Interview E.2). b. Saluran Pemasaran dan Persaingan Beras Lokal dengan Beras Impor Ibu-ibu pedagang, terutama di pusat-pusat kota, menghubungkan petani dengan pasar. Mereka menjual beras yang berasal dari Dalun dan desa-desa sekitarnya di tiga pasar: dua pasar desa di desa tetangga Kumbungu dan Tolon, dan satu pasar besar di kota Tamale. Permintaan beras di pasar lokal relatif rendah karena beras bukan makanan pokok di pedesaan dan karena banyak penduduk desa adalah petani yang memproduksi beras mereka sendiri. Menurut 16 Berdasarkan laporan dampak proyek irigasi terhadap partisipasi petani dalam manajemen irigasi (Farmers Participation in Irrigation Management – FAPIM), pada tahun 2006, proyek BIP melibatkan 550 rumah tangga, 570 hektar lahan potensial, 450 hektar diantaranya dikembangkan dan hanya 390 hektar yang benar-benar dimanfaatkan ( JICA 2006:3-10).
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
para petani, sebelum tahun 2001 biasanya beras impor tidak tersedia di pasar lokal (wawancara B). Terjadinya gelombang impor dalam beberapa tahun terakhir membuat situasi di pasar lokal berubah dan terjadi gejolak besar dalam hal kuantitas. Ibu-ibu pedagang pasar melaporkan bahwa pada tahun 2002 dan 2003, jumlah beras Amerika di pasar lokal sangat besar. Dalam observasi di pasar Kumbungu, beras lokal masih dominan, pada saat yang sama tersedia pula beras impor. Beras Dalun terutama dipasarkan di Tamale. Sementara itu pasar Tamale adalah pintu masuk utama beras impor di Utara Ghana dan tempat dimana beras impor bersaing dengan beras lokal. Sebagaimana disebutkan dimuka, meskipun wilayah Utara Ghana memiliki produksi per kapita beras sebanyak 31 kg per tahun, beras impor mendominasi pasar Tamale melebihi konsumsi per kapita. Hasil survey preferensi konsumsi beras penduduk perkotaan yang menjadi bagian dari survey dasar mengindikasikan bahwa penduduk Tamale memiliki pilihan dan kebiasaan makan nasi yang sama dengan penduduk Accra, Kumasi dan Secondi yang berada di wilayah tengah dan Selatan Ghana. Jadi dapat dipastikan bahwa beras impor tetap memasuki pasar perkotaan meskipun di area tersebut terjadi surplus beras lokal ( JICA 2006:3-4 dan 5-5). Seluruh hasil wawancara dengan ibu-ibu pedagang mengindikasikan bahwa mereka menghadapi persaingan keras dengan beras impor, terutama sejak tahun 2000. ”Pembeli tidak lagi membeli beras lokal dalam jumlah besar karena kehadiran beras impor. [...] Sebelum tahun 2000 beras impor jauh lebih sedikit di pasar dibandingkan sekarang” kata Mariama Mohammed, pedagang di pasar Dalun (wawancara E.2). Ibu-ibu pedagang lain yang berjualan di pasar yang sama memberikan jawaban seragam dan menambahkan: “Dulu situasi pasar stabil, sekarang terjadi banyak gejolak”. Situasi yang sama juga disampaikan oleh Fati Abdullai, seorang ibu pedagang dari Tamale, yang datang ke Dalun sebagai perantara penjualan beras Dalun di pasar Tamale: “Tujuh tahun lalu [tahun 2000] situasi pasar mulai memburuk dengan cepat” (wawancara E.3). Fati Adullai menyatakan bahwa di masa lalu ia menjual 10-20 karung beras per minggu di Tamale, dan telah berlangsung selama 20 tahun (wawancara E4). Ia menyatakan bahwa kehadiran beras impor dalam jumlah besar terjadi sejak tahun 2000. “Sejak saat itu situasi memburuk”. Lebih jauh ia menyatakan bahwa tahun 2002 dan 2003 adalah masa dimana pasar dibanjiri oleh mayoritas beras impor. Ia beranggapan situasi saat ini sedikit lebih baik, namun masih jauh lebih buruk dibandingkan tahun 1990an saat ia mampu menjual 20 karung beras dalam tiga hari di pasar Tamale. Setelah semua terjual, biasanya ia kembali ke desa untuk mengambil
Beras impor di pasar lokal di Kumbungu. Armin Paasch/EAA
Beras lokal di pasar di Kumbungu.
Armin Paasch/EAA
49
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
50
20 karung lainnya untuk dijual kembali di Tamale. Ketika itu semua berlangsung dengan mudah. Selain menjual beras langsung kepada konsumen, dahulu ia juga menjual beras kepada sesama pedagang perantara. ”Mereka (perantara) berhenti membeli beras saya sejak tujuh tahun lalu”. Saat ini, rata-rata volume penjualan beras Fati Abdullai adalah 10 karung per minggu. Menurutnya, hal ini karena Lahan persawahan di Dalun. Armin Paasch/EAA kehadiran beras impor. Kesimpulannya, volume penjualan mingguan beras lokal oleh ibu-ibu pedagang di Tamale turun dari maksimal 20 karung pada tahun 1990an menjadi 4 saat ini, dan dari 40 menjadi 10. Pada kedua kasus tersebut persentase penurunan sekitar 75%. Sebelum terjadinya gelombang impor, pemasaran beras petani Dalun tidak tergantung pada pasar Dalun dan Tamale saja, melainkan juga pasar Kumasi dan Accra (wawancara E.2). Frederic Kyei adalah contoh pedagang perantara dari Kumasi yang berperan penting membeli beras lokal dari penggilingan besar di Tamale seperti penggilingan Nasia, dimana padi diproses menjadi beras putih kualitas tinggi dalam jumlah besar (wawancara A2). Beras kualitas tinggi ini dijual ke seluruh negeri, bahkan hingga ke wilayah Selatan yaitu Accra. ”Sekarang beras impor lebih murah”, kata Alhassan Alhassan, pejabat direktur pelaksana Nasia. ”Beras impor datang sebagai produk jadi dan mereka tidak menghadapi masalah seperti halnya beras lokal”. Di masa lalu terdapat empat penggilingan besar di wilayah Utara, namun saat ini Nasia adalah satu-satunya perusahaan penggilingan padi yang masih beroperasi meskipun dibawah kapasitas. Pada tahun 1980 Nasia memiliki rata-rata 15 pegawai tetap plus 20 pegawai tidak tetap. Saat ini hanya ada 3 pegawai tetap dan 10 pegawai tidak tetap telah mengundurkan diri. Sejalan dengan mundurnya kinerja penggilingan besar yang mampu menghasilkan beras kualitas tinggi, beras lokal kalah bersaing dengan beras impor karena menurunnya kualitas. Tidak diragukan lagi bahwa di Dalun, beras impor dalam skala besar telah menggeser posisi beras lokal dari pasar utama di Tamale. Grosir tidak lagi tertarik untuk menjual beras lokal, demikian pula sebagian besar pedagang eceran dan konsumen besar. Di wilayah ini secara tradisional penduduk mengkonsumsi beras yang diproses setengah jadi dan hampir semua beras di wilayah ini diproses setengah jadi. Namun hampir semua restoran, hotel dan juga konsumen perkotaan membeli beras giling impor biasa” ( JICA 2006:5-6) Dalam kasus Dalun, masalah utama bukan harga nominal beras namun keterkaitan antara harga dan persepsi konsumen tentang kualitas serta ketersediaan beras impor. Petani dan ibu-ibu pedagang yang diwawancarai memperkirakan beras lokal mereka dijual dengan harga lebih murah dibandingkan beras impor pada umumnya (wawancara B, C.2., E.2 dan E.3). “Beras impor lebih mahal, namun konsumen tidak menyukai beras lokal kami”, demikian dikatakan oleh anak kepala desa Adam Mahama. Ibu-ibu pedagang tersebut tidak dalam posisi untuk meminta harga penjualan beras lokal yang lebih tinggi, karena beras lokal diproses dengan standar rendah. Jika beras lokal diproses dengan lebih baik, maka beras lokal akan lebih mahal harganya dibandingkan dengan beras impor yang banyak mendapat fasilitas subsidi, demikian penjelasan Pejabat Direktur Penggilingan Padi Nasia. Kombinasi minimnya perlindungan dan dukungan bagi produksi beras lokal serta kebijakan dumping menyebabkan beras lokal baik berkualitas rendah atau tinggi tersingkir dari pasar akibat kalah bersaing dengan beras impor. Dampak yang dirasakan petani Dalun atas hilangnya akses terhadap pasar adalah volume beras lokal yang diproses dan dijual di pasar turun dengan drastis. Yakubu Mahama, manajer salah satu
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
penggilingan padi lokal di Dalun melaporkan bahwa tujuh tahun lalu ia mampu menggiling 40 karung padi setengah matang per minggu selama musim panen. Sekarang ia hanya mampu menggiling 10 karung per minggu karena “ibu-ibu pedagang memiliki lebih sedikit uang dibandingkan di masa lalu” (wawancara F.1). Yakubu Mahama yakin alasan berkurangnya dana mereka karena “di pasar lebih banyak beras impor. Jumlah beras impor mulai meningkat sejak tahun 2000 dan terus berada dalam jumlah besar hingga saat ini”. Akibatnya ia merasa kondisi ekonominya juga turun signifikan dalam 10 tahun terakhir. Sub bab berikut akan menjelaskan situasi lebih buruk yang dihadapi petani karena posisi mereka yang berada di ujung rantai harga. Dalam diskusi kelompok terfokus di tahap awal penelitian, hampir semua petani menekankan masalah utama mereka adalah hilangnya akses terhadap pasar yang disebabkan meningkatnya impor. Di akhir diskusi, sebagian besar petani meminta pengendalian dan penurunan impor.
4.3.2 Perkembangan Produksi Padi dan Penghasilan Petani sejak tahun 1999 a. Harga di tingkat Petani Dalam diskusi kelompok terfokus, banyak petani melaporkan bahwa harga yang mereka terima dari ibu-ibu pedagang terus menurun dalam enam tahun terakhir. “Pada tahun 2000 kami menerima 200.000 Cedi per satu karung padi. Sejak saat itu harga tidak pernah naik bahkan turun” demikian diungkapkan seorang petani dari desa tetangga Dalun yang dibenarkan oleh beberapa petani lain. Informasi yang sama didapatkan pula dari wawancara perorangan. Setelah kenaikan nominal yang signifikan sejak 19992000, harga di tingkat petani turun pada tahun 2001 dan tetap rendah sampai tahun 2004 saat harga kembali membaik. Issahaku Mohammed Alhassan, seorang mantan guru SD yang rajin mencatat pengeluaran dan pendapatannya, menyatakan bahwa harga satu karung padi pada tahun 1999 adalah 34.000 Cedi, naik menjadi 200.000 Cedi pada tahun 2000. Pada tahun 2001, harga turun hampir setengahnya yaitu Petani padi Issahaku Mohammed Alhassan. 110.000 Cedi dan bertahan hingga tahun 2004. Pada Armin Paasch/EAA tahun 2005 dan 2006, harga bervariasi antara 140.000150.000 Cedi per karung padi (wawancara C.3). Petani lain, banyak diantaranya berpendidikan rendah, tidak mampu memberikan informasi akurat perihal harga yang mereka terima. Seorang responden perempuan ingat bahwa 200.000 Cedi per karung padi adalah harga pada tahun 2000 dan menurun di tahun-tahun berikutnya. Responden lain menyatakan, harga padi tidak pernah mencapai 200.000 Cedi. Namun semua petani yang diwawancarai menyatakan bahwa harga antara tahun 2001-2003 berada di tingkat 100.000-120.000 Cedi dan sedikitmembaik pada tahun 2004. Perlu ditekankan di sini bahwa angka-angka tersebut mengacu hanya pada harga nominal. Bahkan mereka yang merasa harga nominal relatif tetap namun sebenarnya nilai tukar sesungguhnya turun drastis, karena inflasi mengurangi nilai tukar uang dan menurunkan daya beli petani (lihat tabel 5). Tingkat inflasi sangat tinggi pada tahun 1999 dan 2000, dan tampaknya inflasi tersebut menjelaskan kenaikan harga nominal di tingkat petani sejak tahun 1999 dan 2000. Pada bulan Juni 2000, US$ 1 setara
51
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
52
dengan 2.470 Cedi, naik menjadi 4.530 Cedi pada Table 5: Exchange Rate Cedi/ US-Dollar bulan yang sama dan 7.500 Cedi pada bulan Juni 2001. Sejak saat itu laju kenaikan inflasi melambat Year* Cedi per 1 USD namun tidak pernah berhenti naik. Pada bulan Juni 2004 US$ 1 setara dengan dengan 8.850 1999 2470 Cedi. Mengagetkan bahwa sejak Juni 2000 sampai 2000 4530 Juni 2003, nilai mata uang Cedi turun sebesar 2001 7500 46%. Sebagian petani menyatakan dalam kurun 2002 7800 waktu yang sama harga nominal di tingkat petani 2003 8450 turun dari 200.000 Cedi menjadi 120.000 Cedi per 2004 8850 karung padi. Petani yang lain menyatakan selama kurun waktu tersebut harga padi relatif tetap. 2005 8925 Analisis kuantitatif terkait hal ini tidak mungkin 2006 8758 dilakukan karena ketiadaan data. Namun terbukti *respectively on June 1st Calculated with www.oanda.com bahwa kombinasi dari penurunan nilai nominal uang dan inflasi berkesinambungan selama periode Juni 2000 – Juni 2003 mengakibatkan penurunan nilai tukar harga per karung padi di tingkat petani. Jika menyesuaikan dengan inflasi, harga nominal seharusnya naik dua kali lipat dalam kurun waktu yang sama. Alasan utama terjadinya penurunan tersebut adalah melemahnya posisi tawar petani saat berhadapan dengan ibu-ibu pedagang pasar. Petani mengeluhkan bahwa ibu-ibu tersebut mendikte harga. Sebagian petani ingat bahwa beberapa tahun sebelumnya para ibu pedagang lebih terbuka untuk bernegosiasi (wawancara C.3, G.1 dan G.2). Dulu mereka datang langsung ke lokasi panen untuk membeli padi, sekarang kadang kala mereka datang hanya sampai ke desa. Dampaknya bagi petani adalah mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengangkut padi dari persawahan menuju desa. Dulu para ibu pedagang langsung membayar padi yang mereka beli, sekarang kadang kala mereka mengambil padi terlebih dahulu dan membayar kemudian setelah berhasil menjualnya di pasar atau kepada sesama pedagang (wawancara C.3). Paul Amoah, staf teknis BIP menjelaskan bahwa pada umumnya harga di tingkat petani sepanjang tahun sangat bergejolak. Pada bulan Januari sampai Maret, harga agak rendah, harga mulai naik pada bulan April, dan mencapai tingkat tertinggi pada bulan Mei sampai September, sebelum turun kembali pada bulan Oktober sampai Desember (wawancara A.13). Sebelum tahun 2001, para ibu pedagang biasa mendatangi lokasi panen selama musim panen pada bulan Mei dan Juni dan membeli seluruh padi sekaligus karena permintaan beras lokal yang tinggi. “Sekarang permintaan menurun karena kehadiran beras impor. Petani harus menyimpan beras mereka di rumah dan menjualnya sedikit demi sedikit kepada ibu-ibu pedagang”. Ini berarti petani seringkali berada dalam posisi tidak menguntungkan karena mereka tidak bisa menjual beras pada saat harga tinggi. Kadang kala sebagian petani tidak mampu menjual semua beras mereka. Ini sesuai dengan keluhan yang disampaikan oleh Abdullai Salifu: “Ibu-ibu pedagang membeli dalam jumlah lebih kecil dibandingkan sebelumnya. Bahkan pernah terjadi mereka menolak membeli beras saat panen.” Menurut Salifu, peristiwa tersebut dialaminya pada tahun 2002 dan 2003. Namun Salifu menambahkan “Sekarang situasi membaik” (wawancara D.4). Dari sudut pandang petani, para ibu pedagang pasar adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas situasi buruk yang dialami petani. Kepala desa Dalun menyatakan “Petani terlilit utang karena para ibu pedagang mengambil keuntungan […] dan menurunkan penghasilan mereka” (wawancara C.1). Namun jika kita mempertimbangkan sudut pandang para ibu pedagang, terbukti bahwa pada dasarnya mereka mentransfer kemiskinan mereka sendiri kepada para petani. Kemiskinan tersebut terutama disebabkan oleh persaingan beras lokal dengan beras impor.
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
b. Biaya Input dan Mekanisme Dukungan Besarnya biaya produksi sangat ditentukan oleh sejauhmana petani menggunakan input dan mesinmesin pertanian untuk budidaya padi. Ke-100 petani yang memiliki akses terhadap fasilitas irigasi BIP mengeluarkan biaya produksi yang tinggi. Biaya tersebut meliputi biaya input seperti bibit, herbisida, pupuk, sewa mesin seperti mesin bajak, combined harvester, traktor dan karung untuk mengemas padi. Mereka masih harus mengeluarkan biaya tambahan yaitu biaya tenaga kerja untuk penyiapan lahan, pemetikan, pengusiran hama, panen, transportasi, penebasan dan biaya irigasi. Mayoritas petani Dalun tidak memiliki akses terhadap fasilitas irigasi BIP dan hampir tidak memiliki akses terhadap input atau permesinan. Mereka mengandalkan kekuatan sendiri dan mengerahkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja, sehingga biaya produksi mereka relatif rendah. Karena situasi tersebut, kenaikan harga input tidak terlalu berpengaruh sebagaimana halnya kenaikan yang sama mempengaruhi petani yang memiliki akses terhadap fasilitas irigasi BIP. Table 6: Rice Production Costs per Hectare for Wet Season
Year
Cedi per Hectare
USD per Hectare
2000 2001 2002 2003 2004
2 141 000 2 722 500 not available 2 730 000 3 355 000
452 387 not available 323 381
Source: Botanga Irrigation Project, Handwritten Calculations by Paul Amoah.
Hampir semua petani yang diwawancarai – terutama mereka yang mendapat fasilitas irigasi BIP – mengeluhkan semakin tingginya biaya produksi. “Pada tahun 2000, biaya produksi mulai naik. Sebelumnya biaya tersebut relatif stabil” demikian diungkapkan oleh Issahaku Mohammed Alhasassan. “Biaya produksi meningkat dan kami tidak lagi menerima subsidi negara” kata Saratu Mahama (wawancara C.4). Semua ungkapan tersebut dibenarkan oleh Paul Amoah – staf teknis BIP (lihat tabel 6). Saat musim hujan, biaya produksi per hektar pada tahun 2000 adalah 2.141.000 Cedi dan naik menjadi 2.722.500 pada tahun 2001. Biaya tersebut relatif tetap hingga tahun 2003 dan naik kembali menjadi 3.355.000 pada tahun 2004. Kenaikan mencolok terutama terjadi pada tahun 20002001, karena pada saat yang sama harga padi di tingkat petani menurun tajam. Meskipun secara nominal biaya produksi turun 56% selama periode 2000-2004, kenyataannya yang terjadi adalah hal yang bertolak belakang. Jika kita memperhitungkan inflasi, biaya produksi tidak meningkat namun sedikit turun sekitar 15,7% selama periode yang sama, dari US$ 452 menjadi US$ 381. Artinya secara faktual, biaya produksi relatif stabil selama periode 2000-2004. Bertolak belakang dengan persepsi petani, kenaikan biaya produksi bukanlah faktor utama penurunan produksi, karena kenaikan seiring dengan laju inflasi. Yang menjadi masalah bagi petani adalah harga jual padi di tingkat petani tidak berjalan seiring dengan berbagai kenaikan tersebut. Secara nominal harga di tingkat petani jatuh dan secara faktual jatuh lebih besar lagi. Kesenjangan inilah yang menjadi alasan utama meredupnya pertanian padi di Dalun sejak tahun 2000. Dampak buruk yang dialami petani sebenarnya lebih disebabkan penghentian subsidi pemerintah sebagai bagian SAP dan bukan semata-mata akibat kenaikan biaya produksi. Dalam wawancara terungkap banyak petani mengeluhkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir mereka tidak lagi mendapat subsidi pemerintah. Memburuknya infrastruktur pertanian padi Ghana berdampak langsung terhadap semakin tingginya pengeluaran petani dan menurunnya kualitas beras yang
53
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia mereka hasilkan. Dalam diskusi kelompok terfokus, Paul Amoah menyatakan bahwa pada awal 1990an mereka kehilangan akses terhadap peralatan yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dan sekarang mereka terpaksa menggunakan traktor berat yang tidak sesuai untuk dataran rendah tempat mereka bertanam padi. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa pada tahun 1996 GIDA melelang 10 combine harvester karena kebijakan privatisasi pemerintah. Sebelumnya petani dapat menyewa combine harvester tersebut dengan biaya sewa relatif rendah. Hal yang sama terjadi dengan bibit dan pupuk yang sebelumnya disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya terjangkau bagi petani. Sekarang petani harus membayar harga tinggi untuk semua input tersebut (wawancara B).
54
Petani juga kehilangan akses terhadap skema dukungan finansial yang menguntungkan mereka, juga dukungan teknis dan pemasaran yang sebelumnya mereka dapatkan pada awal 1990an. National Investment Bank (NIB) menghentikan bantuan kredit kepada petani kecil karena mereka tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya. Saat ini jika masih ada bantuan kredit, mereka mendapatkannya dari Ghanaian Danish Community Programme (GDCP) dengan skema pinjaman yang lebih buruk. Pada tahun 1990an GIDA memberikan bantuan informasi bagi petani perihal komposisi pupuk dan bibit, sekarang dukungan tersebut dihentikan. “Sebelumnya mereka memberi kami tiga jenis bibit: GR 18, IET dan Thailand. Sekarang kami menggunakan bibit kami sendiri yang tidak selalu berkualitas prima”, demikian diungkapkan seorang petani. “Kadang kala kami mencampur sendiri berbagai varietas bibit, akibatnya padi tidak masak bersamaan” (wawancara B). Campuran bibit yang tidak sesuai berdampak buruk terhadap kualitas beras yang dihasilkan petani Dalun. Hal yang sama terjadi dengan ketiadaan combine harvester. Para petani mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus mereka sangat kesulitan menyewa combine harvester pada saat panen dan terpaksa menunda pemanenan. Akibat terlambat dipanen, padi tidak lagi dalam kondisi prima dan kualitasnya menurun. Ketiadaan skema kredit yang baik berdampak negatif terhadap pemasaran produk petani. Menurut Issahaku Mohammed Alhassan, petani harus mengembalikan pinjaman dalam waktu relatif singkat. Padahal kredit tersebut sangat diperlukan untuk menutup biaya produksi. Mereka bahkan terpaksa menjual padi saat harga berada di titik rendah (wawancara C3). Dapat disimpulkan bahwa meskipun secara nominal biaya produksi meningkat, kenyataannya biaya tersebut menurun sejak tahun 2000 sampai 2001. Masalah utama terletak pada penghentian sebagian besar dukungan bagi petani semenjak tahun 1990an, baik dalam bentuk bibit, pupuk, mesin-mesin maupun kredit. Saat ini biaya input tersebut harus ditanggung sendiri oleh petani. Penghentian dukungan juga berdampak negatif terhadap kualitas beras yang dihasilkan petani Dalun dan menurunkan daya saing beras tersebut di pasaran. c. Dampak terhadap Keuntungan dan Pendapatan Petani Keuntungan petani ditentukan oleh: • volume permintaan beras dari ibu-ibu pedagang pasar • harga per karung padi di tingkat petani • luas lahan persawahan • volume panen padi per acre • biaya produksi • dukungan pemerintah. Perlu ditambahkan bahwa jam kerja untuk menanam padi dan memasarkannya harus diperhitungkan juga. Perhitungan akurat keuntungan bersih petani tidak mungkin dilakukan dengan mengandalkan data kualitatif. Dalam rangka menghitung rata-rata keuntungan bersih petani di Dalun, penting untuk mendapatkan data akurat semua faktor tersebut selama jangka waktu penelitian dan melibatkan sejumlah responden petani yang dapat mewakili populasi petani. Meskipun demikian, wawancara semi terstruktur masih memungkinkan untuk menarik kesimpulan penting perihal keuntungan dan
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
pendapatan petani. Tiga faktor utama telah berubah banyak dan perubahannya berdampak negatif terhadap keuntungan petani Dalun yaitu: turunnya volume permintaan beras lokal di pasar Tamale, rendahnya harga per karung padi di tingkat petani dan penghentian dukungan pemerintah. 1) Seluruh ibu-ibu pedagang yang diwawancarai menyatakan bahwa terutama sejak tahun 2000 beras impor dalam jumlah besar telah menguasai pasar Tamale. Akibatnya kuantitas beras lokal yang mereka beli dari petani Dalun dan desa-desa sekitar untuk dijual di pasar Tamale turun drastis hingga 75%. Angka ini sejalan dengan informasi dari penggilingan lokal yang menyatakan bahwa tujuh tahun lalu mereka dapat memproses padi setengah matang sebanyak 40 karung seminggu selama musim panen, dan saat ini mereka hanya dapat memproses sekitar 10 karung. Fenomena ini juga sejalan dengan keluhan petani bahwa mereka tidak lagi mampu menjual padi hasil panen kepada ibu-ibu pedagang dan para ibu pedagang tersebut tidak lagi membeli padi sekaligus di lokasi panen melainkan membelinya sedikit demi sedikit di desa. 2) Terlihat jelas penurunan harga di tingkat petani sejak tahun 2000. Sejak Juni 2000 sampai Juni 2003, nilai mata uang Cedi turun sebesar 46%. Dalam kurun waktu yang sama sebagian petani menyatakan bahwa harga nominal beras turun jauh sementara petani lain mengatakan harga tersebut tetap. Dalam kedua kasus tersebut turunnya nilai tukar berlangsung drastis. Perubahan ini terkait erat dengan semakin tingginya persaingan dengan beras impor di Tamale. Persaingan ini secara nyata memaksa para ibu pedagang untuk lebih alot bernegosiasi dengan petani atau dengan sesama pedagang dari Dalun. 3) Sekilas biaya produksi ini adalah akar masalah petani karena biaya tersebut secara nominal terus naik. Namun kenyataannya, selama tahun 2000-2004 biaya produksi tidak naik melainkan turun sebesar 15,7%. Masalah muncul karena penurunan biaya produksi lebih kecil dibandingkan penurunan harga di tingkat petani. Pada tahun 2000, harga di tingkat petani turun tajam sementara biaya produksi turun tidak terlalu tajam, sehingga memperbesar kesenjangan yang telah berlangsung sejak tahun 2000. Masalah kedua menyangkut biaya produksi adalah diberhentikannya dukungan pemerintah dalam hal penyediaan bibit, pupuk, mesin-mesin pertanian, kredit dan input lain semenjak akhir 1980an. Masalah ketiga yaitu persoalan pemasaran dan persaingan beras lokal dengan beras impor, terutama mempengaruhi petani yang bertanam di lahan irigasi. Meski demikian bukan berarti kondisi petani yang mendapat fasilitas irigasi selalu lebih parah dibandingkan petani yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Sebaliknya, petani termiskin tanpa akses terhadap irigasi pada umumnya memiliki kondisi yang lebih parah, karena sebelumnya mereka telah berada dalam situasi sulit dan merekapun menghadapi masalah yang sama bahkan lebih buruk dalam hal pemasaran dan persaingan dengan beras impor. Sangat mungkin bahwa semua masalah di atas terkait satu sama lain. Harga dan volume beras yang rendah yang dijual kepada ibu-ibu pedagang pasar mengurangi jumlah uang yang ada untuk membeli input dan membayar upah tenaga kerja untuk musim tanam berikutnya. Berkurangnya investasi berakibat pada turunnya produksi dan kualitas. Semua ini memperburuk situasi harga dan penjualan. Dengan kata lain kombinasi dari persaingan beras lokal dengan beras impor dan penghentian dukungan dari pemerintah membuat petani berada dalam lingkaran masalah, yang menjadikan mereka semakin miskin dan menurunkan daya saing mereka. Faktanya menurut beberapa petani, dalam beberapa tahun terakhir hasil produksi per acre turun (wawacara C.4 dan C.3). Sebagian petani melaporkan bahwa mereka terpaksa berutang dan semakin lama semakin sulit untuk mengembalikan utang tersebut. “Dari 1,4 acre lahan yang saya miliki, produksi yang dihasilkan setara dengan 15 karung beras. Dari 15 karung tersebut 11 karung diantaranya untuk membayar utang” (wawancara B)”. Demikian diungkapkan seorang petani dalam diskusi kelompok terfokus. Seorang petani lain mendukung pernyataan tersebut: “Semua hasil yang saya dapatkan digunakan untuk melunasi utang. Biaya input lebih besar dibandingkan hasil yang didapat”.
55
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
56
Terlepas dari situasi sulit tersebut, para petani yang diwawancarai masih tetap menekuni sektor pertanian, bahkan tidak terpikir oleh mereka untuk meninggalkan sektor tersebut. Sebagian petani yang mendapat fasilitas irigasi menanam kacang okra dan lada, dan salah satu dari mereka menyatakan bahwa di masa depan ia ingin menanam lebih banyak kacang okra dan mengurangi menanam padi. Pertanyaannya adalah, sejauh mana kedua komoditas tersebut dapat menjadi alternatif pengganti padi atau menjadi sumber penghasilan tambahan untuk mengentaskan kemiskinan. Tentu saja masalah tersebut memerlukan kajian tersendiri. Namun dari perspektif ketahanan pangan, strategi mengganti jenis tanaman mengandung resiko yang harus diwaspadai. Bagian berikut akan menunjukkan bahwa sesungguhnya fungsi padi sebagai tanaman pangan komersial telah beralih menjadi sumber pangan pokok bagi petani. Ketika petani tidak mampu menjual padi mereka karena situasi pasar yang buruk, mereka masih dapat mengkonsumsinya dan terhindar dari kematian akibat kelaparan. Jika mereka tidak lagi bertanam padi, mereka akan kehilangan sumber kalori yang relatif stabil. Artinya jika terjadi hal negatif dalam pemasaran kacang okra atau lada, dampak yang ditimbulkan lebih berbahaya bagi kehidupan dan ketahanan pangan petani dibandingkan jika kasus yang sama terjadi terhadap pemasaran beras. Oleh karena itu meskipun mungkin komoditas lain dapat melengkapi produksi padi, namun tidak untuk menggantikannya sebagai produk pertanian utama. Perbaikan situasi produksi dan pasar bagi sektor perberasan tetap berperan vital bagi peningkatan penghasilan petani dan keluarganya di Dalun.
4.3.3 Potret Kelaparan di Dalun Menurut anak kepala desa Dalun, Adam Mahama, kelaparan adalah fenomena yang terjadi secara luas di desa: “Tidak ada makanan di rumah. Anak-anakpun mengemis. Mereka meminta ikan dari nelayan. […] Orang-orang tua dan perempuan juga menderita, laki-laki mendapat jatah makan lebih baik” (wawancara C.2). Semua wawancara dengan petani padi mengungkapkan hal yang sama. Anak-anak bermain di sekitar saluran irigasi di Dalun. Mereka semua mengeluh bahwa Armin Paasch/EAA mereka tidak mampu memberi makan keluarga mereka, dan terutama anakanak menderita kelaparan. ”Terjadi kelaparan di keluarga kami. Anak-anak makan, namun tidak banyak” kata Rukaya Abdul Rahman, salah satu petani miskin yang tidak mendapat fasilitas irigasi (wawancara D.3). Namun masalah kelaparan dihadapi tidak hanya oleh petani. Amina Mahama, salah seorang istri kepala desa mengatakan: “Dari 16 karung padi [hasil produksi per acre], hanya lima karung yang menjadi keuntungan bertanam padi. Dua karung dijual untuk biaya anak-anak sekolah. […] Terjadi kelaparan di keluarga kami. Situasi sulit terjadi terutama sebelum panen saat dua karung padi habis. […] Saya juga menderita namun kondisi saya lebih baik”. (wawancara C.5). Semua hasil wawancara menyatakan hal yang sama sebagaimana diungkapkan oleh Amina Mahama: kelaparan terutama terjadi pada bulan-bulan sebelum panen, yaitu saat hasil panen padi yang lalu dan atau keuntungan dari bertani telah habis dikonsumsi dan mereka semua menunggu panen berikutnya. Saratu Mahama, istri kepala desa yang lain mengatakan: “Tidak ada makanan. Setelah panen ada sesuatu untuk dimakan namun makanan tidak tersedia dalam jumlah cukup. Sebelum panen di musim hujan, yaitu bulan Juli dan Agustus, kami makan hanya dua kali sehari, di pagi dan malam hari” (wawancara C.4). Pada umumnya penduduk makan tiga kali sehari. Masa sebelum panen
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
adalah saat di mana sebagian keluarga makan hanya dua kali sehari. Namun yang lebih penting adalah, sebagian besar keluarga, terlepas dari apakah mereka makan tiga atau dua kali sehari, mereka semua harus menurunkan konsumsi dalam kuantitas dan kualitas makanan. ” Semua anggota keluarga menderita”, kata Issahaku Mohammed Alhassan, ”Saya tidak mendapatkan apa yang saya mau”. Berdasarkan penelitian ActionAid fenomena kelaparan tidak hanya terjadi di Dalun: Kerugian yang dialami petani padi dan penurunan kapasitas produksi padi mengakibatkan saat musim paceklik sebagian penduduk kekurangan makanan pokok. Wawancara dengan 76% rumah tangga di wilayah Utara Ghana memperlihatkan rata-rata masa kekurangan pangan berlangsung selama tiga bulan yaitu sejak Mei hingga Juli. Selama masa tersebut 66% rumah tangga hanya mampu makan sekali sehari (ActionAid International 2005:31-32). Secara tradisional, beras bukanlah makanan pokok bagi petani kecil di Dalun. Makanan pokok mereka adalah jagung yang dikonsumsi dengan lauk pauk ikan dan sayuran yang dimasak dengan garam, bawang putih, minyak goreng dan air (wawancara C.3). Padi adalah tanaman komersial yang menghasilkan uang untuk membeli lauk pauk dan bumbu-bumbu tersebut dan untuk memenuhi kebutuhan dasar lain seperti sandang, pendidikan dan kesehatan. Akibat menurunnya pendapatan, keluarga petani kecil seringkali harus mengurangi konsumsi lauk pauk dan bumbu-bumbu tersebut serta meningkatkan konsumsi beras dalam menu mereka. Informasi ini didapatkan dari petani kecil di Dalun dan ini sesuai dengan laporan ActionAid yang menemukan fenomena yang sama dihadapi oleh sebagian besar petani padi. Gelombang impor, kondisi pasar yang buruk, turunnya investasi dan menurunnya produksi, memaksa 84% rumah tangga petani mengkonsumsi beras hasil produksi mereka selama tiga bulan pertama setelah panen (lihat ActionAid International 2005:32). Hal ini mengindikasikan rendahnya daya beli dan tingginya kerentanan petani terhadap kelaparan dan kemiskinan setelah panen usai. Abdullai Salifu mengatakan bahwa keluarganya hanya mengkonsumsi jagung dan bubur untuk makan pagi, siang dan malam. Ia menambahkan ”Anak-anak dan semua anggota keluarga mengalami kelaparan. Sebelumnya kondisi lebih baik […]. Kesehatan anak-anak terganggu” (wawancara (D.4). Terganggunya kesehatan anak-anak juga diungkapkan oleh responden Iddrisu Haruna yang mengatakan: “Kami menderita kelaparan. Kami makan tiga kali sehari namun tidak sebanyak yang kami butuhkan. [...] Kesehatan anak-anak terganggu. […] Kadang saya dapat mengobatinya, namun tidak selalu berhasil. Pada tahun 2003 banyak beras impor memasuki pasar. Ketika ibu-ibu pedagang datang, mereka menentukan harga” (wawancara G.2). Kingsley Ofei-Nkansah dari Persatuan Pekerja Pertanian (General Agricultural Workers’ Union – GAWU) membenarkan: “Masuknya beras impor telah merusak produksi beras lokal. Beras impor menurunkan harga beras lokal dan petani kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pangan dan kebutuhan lain. Anak-anak juga ikut menderita, kesehatan mereka terganggu” (wawancara A.8). Menurunnya kuantitas dan keragaman pangan meningkatkan resiko kesehatan anak-anak. Sebagaimana pernyataan Abdullai Salifu, Iddrisu Haruna dan Kingsley Ofei-Nkansah, wawancara dengan banyak responden lain menyatakan hal yang sama yaitu dalam beberapa tahun terakhir akses terhadap pangan memburuk sebagai dampak dari rendahnya harga padi di tingkat petani dan naiknya biaya produksi. ”Saat ini jumlah makanan lebih sedikit dibandingkan di masa lalu”, demikian diungkapkan Mohamad Abubakari (wawancara G.1). Rudolf Amenga Etego, direktur Yayasan Inisiatif Masyarakat Akar Rumput (Foundation for Grassrotts Initiatives) di Afrika bahkan menyatakan: ”Petani padi adalah salah satu kelompok yang sangat rentan [...]. Kelaparan meningkat; bahkan hingga dua kali lipat, terutama di wilayah Utara” (wawancara A.7). Adam Nashiru, Presiden Asosiasi Petani Kecil (Peasant Farmer Association) Ghana mengatakan: ”Pekerja sektor formal menerima penghasilan tetap. Namun mayoritas penduduk Ghana tidak berada dalam kategori ini. Petani adalah kelompok
57
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia yang terkena dampak terbesar. Semua petani padi menderita kelaparan. Kondisi mereka semakin buruk karena mereka tidak dapat lagi menggunakan mesin-mesin yang diperlukan dan situasi pasar tidak berpihak pada mereka (wawancara A.3).
58
Menurut Ibrahim Akalbila, analis kebijakan ISODEC dan koordinator Koalisi Perdagangan dan Penghidupan Ghana (Ghana Trade and Livelihood Coalition), petani kecil adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kelaparan. Menurut Akalbila: “Yang terjadi adalah mereka tidak makan dengan layak, kekurangan gizi dan kurang gizi sama saja dengan kelaparan” (wawancara A.11). ”Kelaparan bukan hanya masalah ketiadaan pangan” Jika kelaparan diartikan secara sempit seperti itu maka situasi petani ”sedikit lebih baik”. Beras sendiri sebenarnya sangat kaya gizi dan kecil kemungkinan bagi petani padi meninggal karena kelaparan, karena kandungan gizi yang cukup dalam beras. Namun masalahnya adalah menurunnya pendapatan mengakibatkan tidak ada lagi uang tersisa untuk membeli jenis makanan lain untuk mendapatkan menu yang beragam dan gizi yang baik. ”Saya sering mengunjungi daerah pedesaan dan saya hanya dapat mengatakan bahwa mereka memasak nasi. Mereka hanya memasak nasi dan memakannya dengan sedikit sheabutta [...]. Hanya itu yang mereka makan. Mereka tidak mampu lagi untuk membeli tomat, sayuran, minyak goreng dan menumisnya untuk dijadikan saus”. Akalbila menekankan bahwa hak atas pangan tidak dapat dipisahkan dari hak atas standar hidup yang layak. ”Untuk sekedar makan, petani memiliki makanan. Namun pengorbanan apa saja yang mereka lakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan?” Kekurangan uang mempengaruhi seluruh kehidupan mereka, termasuk kekurangan dana untuk memenuhi layanan kesehatan dan pendidikan. ”Banyak orang harus berkorban dalam rangka mendapatkan makanan, seluruh kehidupan mereka terpengaruhi oleh tuntutan mendapatkan makanan”. Akalbila menyimpulkan bahwa hak atas pangan dipengaruhi oleh gelombang impor. Semua petani Dalun yang diwawancarai merasakan bahwa keluarga mereka menderita kelaparan. Mereka tidak memiliki akses tetap terhadap pangan dalam jumlah cukup karena pada masa sebelum panen mereka harus menurunkan konsumsi pangan baik dalam hal kuantitas, kualitas dan keragaman. Dalam wawancara, berulang kali terungkap masalah kesehatan anak yang disebabkan kekurangan pangan. Demikian pula pendapatan petani menurun sehingga mereka terpaksa berutang dan tidak lagi memiliki tabungan. Kesehatan keluarga, terutama anak-anak juga sangat rentan terhadap turunnya produksi padi akibat kejadian tak terduga seperti kekeringan atau serangan hama. Tentu saja peristiwa seperti ini menimpa sebagian besar petani kecil yang bahkan tanpa ada kekeringan atau serangan hama, mereka sudah berada dalam posisi termiskin dan sangat rentan terhadap gizi buruk. Hal seperti ini terutama menimpa petani di lahan tadah hujan. Namun indikasi fenomena gizi buruk juga menimpa petani di lahan irigasi yang memiliki sumber daya relatif lebih baik dibandingkan petani di lahan tadah hujan. Temuan diatas sangat bertentangan dengan pendapat MOFA. Pejabat MOFA yang diwawancarai menyatakan bahwa tidak ada kelaparan yang menimpa petani kecil. Salah seorang pejabat bahkan menyatakan: ”Tidak ada kelaparan di Ghana [...]. Jika mereka malas dan tidak mau bekerja, konsekuensinya tidak boleh makan” (wawancara H.2). Pernyataan ini yang didukung oleh para pakar yang turut serta dalam wawancara ini menunjukkan pengabaian luar biasa terhadap kelaparan, dan tidak adanya pemahaman yang mendalam tentang masalah kelaparan.
4.4 Pelanggaran Hak atas Pangan melalui Kebijakan Perdagangan Sebagaimana ditulis dimuka, dalam beberapa tahun terakhir keluarga petani kecil di Dalun menghadapi situasi yang semakin sulit dibandingkan dengan tahun 1990an. Situasi sulit terutama
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
terjadi ketika hasil panen telah habis dikonsumsi dan panen mendatang belum lagi tiba. Dalam situasi tersebut mereka terpaksa menurunkan kuantitas dan kualitas pangan. Hasil wawancara dengan semua responden penelitian mengungkapkan bahwa korban pertama adalah anak-anak, kedua adalah perempuan. Petani kecil semakin tertekan dengan utang yang sulit mereka bayar kembali. Sejalan dengan menurunnya volume penjualan padi dan harga di tingkat petani, terutama pada tahun 2000-2003, petani kecil semakin rentan terhadap peristiwa tak terduga seperti kegagalan panen yang disebabkan oleh kekeringan atau serangan hama. Lebih lanjut para petani menyatakan bahwa mereka harus membelanjakan lebih banyak uang untuk membeli makanan, terutama di “musim kelaparan”, menurunkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar lain seperti kesehatan dan pendidikan. Semua informasi ini menunjukkan bahwa keluarga petani kecil tidak memiliki “akses ekonomi dan fisik yang berkesinambungan untuk mendapatkan kecukupan pangan” sebagaimana disyaratkan dalam General Comment no 12 yang disusun oleh CESCR. Dalam penjelasan yang sama ditekankan bahwa pemenuhan hak atas pangan harus dilakukan dengan syarat “pencapaian dan pemenuhan kebutuhan dasar lain tidak terancam atau berkurang”. Penelitian ini menunjukkan bahwa persaingan beras lokal dengan beras impor adalah faktor penting yang menyebabkan turunnya pendapatan petani. Gelombang impor, terutama yang terjadi pada tahun 2000-2003 membuat beras impor membanjiri pasar kota Tamale dan menurunkan penjualan beras lokal dari Dalun dan beberapa desa sekitarnya. Sejak tahun 2000, ibu-ibu pedagang pasar di Tamale menjual dan membeli beras lokal dari Dalun dalam jumlah jauh lebih kecil. Hal ini sejalan dengan turunnya volume beras yang di proses di penggilingan lokal. Petani tidak mampu lagi menjual beras kepada para ibu pedagang dalam volume besar seperti di masa lalu dan harga rendah dari beras yang mereka jual berdampak terhadap hilangnya sebagian besar pendapatan. Jelas semua ini adalah dampak dari meningkatnya beras impor terutama pada tahun 2000-2003, dari 170.290 ton menjadi 415.000 ton beras impor per tahun, sebagaimana tertulis dalam sebuah penelitian FAO (FAO 2006 dan Assuming Brempong 2006). Penelitian ini membuktikan ada tiga kebijakan yang menyebabkan meningkatnya impor yaitu: • Pertama, pembatalan pengendalian impor dan penerapan tarif rendah sebesar 20% bagi beras impor pada tahun 1992, mengakibatkan meningkatnya impor selama periode 1990an. Karena UU nomor 641 tahun 2003 tidak jadi diberlakukan, tarif rendah tersebut tetap berlaku hingga kini. • Kedua, tingginya selisih dumping beras yang diimpor dari Amerika Serikat, Vietnam dan Thailand. Harga beras tersebut pada tahun 2003 dibawah harga dalam negeri asal. Dalam kasus Amerika Serikat, harga beras yang diekspor ke luar negeri jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi di dalam negeri. Dumping adalah alasan penting mengapa dalam hal harga, beras impor mampu bersaing dengan beras lokal bahkan dengan harga lebih rendah dibandingkan beras lokal Ghana. • Ketiga, penghentian dukungan pemerintah bagi sektor beras Ghana yang berlangsung cepat pada tahun 1983 sampai akhir 1990an. Penghentian ini menyebabkan sangat memburuknya infrastruktur produksi, proses dan pemasaran beras lokal, dengan akibat lanjutan, menurunnya jumlah pasokan dan kualitas beras lokal. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan erat antara liberalisasi impor, dumping dan penghentian dukungan pemerintah dengan meningkatnya fenomena gizi buruk, turunnya ketahanan pangan petani, dan semua ini berujung pada terjadi pelanggaran hak atas kecukupan pangan terhadap petani Dalun dan keluarganya. Alternatif sumber penghasilan untuk menggantikan penghasilan yang hilang tidak tersedia bagi petani kecil. Meskipun sebagian petani melakukan diversikasi produksi pertanian, semua petani yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka masih tergantung pada pertanian padi sebagai sumber penghasilan utama.
59
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Tiga aktor yang bertanggungjawab terhadap berbagai kebijakan yang merugikan petani dan yang melanggar hak atas pangan petani dan keluarganya adalah: 1) pemerintah Ghana, 2) IMF dan negaranegara anggota IMF dan 3) negara asal beras impor, terutama Amerika Serikat.
60
1) Pada tahun 1992 pemerintah Ghana membuka keran impor dengan cara membatalkan kebijakan yang membatasi impor dan mengenakan tarif sebesar 20% terhadap beras impor. Semua ini menyebabkan beras impor memasuki pasar Ghana dalam jumlah tidak terbatas. Pemerintah tidak memperhatikan ancaman dumping terhadap produsen lokal dan tergesernya beras lokal dari pasar. Ketika impor meningkat sepanjang 1990an dan terutama antara tahun 1998-2003, pemerintah Ghana melanggar kewajibannya melindungi hak atas pangan petani padi di Dalun dan di tempat lain di Ghana, dengan cara tidak meningkatkan tarif impor. Masuknya beras impor mengakibatkan turunnya volume penjualan beras lokal dan harga padi di tingkat petani, yang berarti pula turunnya pendapatan petani. Pemerintah Ghana tidak menaikan tarif impor meskipun Kebijakan Pembangunan Sektor Pangan dan Pertanian (Food Armin Paasch/EAA and Agriculture Sector Development Policy – FASDP) pada tahun 2002 menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah sadar betul masuknya beras impor akan berdampak buruk bagi sektor beras dan bagi ketahanan pangan petani padi. Memang patut dipertanyakan apakah UU nomor 641 tahun 2003 yang menentukan kenaikan tarif bagi beras impor dari 20% menjadi 25% akan dapat meredam gelombang impor. Namun bahkan hal sederhana seperti itu tidak dilakukan oleh pemerintah. Selanjutnya pemerintah Ghana menurunkan dukungan bagi petani padi berskala kecil. Penurunan tersebut berlangsung progresif sejak tahun 1983 sampai akhir 1990an. Pemerintah menghentikan dukungan seperti kredit, bibit, pupuk, penyewaan mesin-mesin pertanian yang menguntungkan petani dan mendukung pemasaran produk mereka. Dapat dikatakan bahwa pemerintah Ghana secara aktif menaikan biaya produksi padi di Dalun, menurunkan pendapatan bersih petani dan menyebabkan kerentanan pangan bagi mereka. Dengan kata lain pemerintah Ghana melanggar kewajibannya untuk menghormati hak atas pangan petani dengan mempersempit akses mereka terhadap kecukupan pangan dan melanggar kewajibannya untuk memenuhi hak atas pangan dengan menerapkan kebijakan yang tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi petani dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri sendiri. 2) IMF berperan penting dan secara aktif meyakinkan serta menekan pemerintah Ghana untuk meniadakan perlindungan pasar dan menghentikan dukungan bagi petani. Semua kebijakan ini melanggar hak atas pangan petani padi berskala kecil di Dalun dan di tempat lain di Ghana. Dengan mendesakkan SAP semenjak tahun 1983, IMF telah menekan pemerintah Ghana untuk secepatnya menghilangkan proteksi impor, hingga pada akhirnya pemerintahan Ghana menurunkan tarif impor menjadi hanya 20% pada tahun 1992. Penghentian dukungan pemerintah untuk input produksi seperti bibit, pupuk, infrastruktur serta privatisasi kredit bagi petani kecil juga terkait erat dengan SAP IMF. Pada tahun 2003 saat parlemen Ghana menyetujui UU nomor 641, IMF berperan besar dalam menekan pemerintah untuk menunda pelaksanaan undang-undang tersebut hanya dalam waktu empat hari
4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana
setelah undang-undang diterapkan. IMF menyatakan hal tersebut dalam suratnya kepada Christian Aid yang menyebutkan bahwa keputusan penundaan implementasi UU nomor 641 diambil oleh pemerintah Ghana “setelah berkonsultasi dengan staf IMF”. Pasal IV hasil konsultasi antara pemerintah Ghana dan IMF mengungkapkan bahwa selama proses konsultasi “pemerintah Ghana berkomitmen bahwa kenaikan tarif impor tidak akan dilakukan selama periode kerjasama (IMF 2003a:24). Semua rangkaian kejadian tersebut membuktikan bahwa IMF menggunakan dana bantuan sebagai alat untuk menekan atau “meyakinkan” pemerintah untuk mematuhi kehendak IMF. Pada tanggal 8 Mei 2003 CEPS mulai menerapkan UU nomor 641. Pada 9 Mei, Badan Eksekutif IMF menyelesaikan pasal IV Strategi Pengentasan Kemiskinan Ghana (Ghana Poverty Reduction Strategy – GPRS) dan menyetujui program kerjasama tiga tahun dibawah skema PRGF senilai SDR 185,5 juta (US$ 258 juta) dan sejumlah dana tambahan di bawah program bantuan bagi HIPC senilai SDR 15,15 juta (sekitar US$ 22 juta). Tanggal 12 Mei 2002, hanya tiga hari setelah persetujuan bantuan IMF, pemerintah mengeluarkan perintah pembatalan UU nomor 641. Dalam konsultasi perihal bantuan dana dalam kedua program tersebut, IMF berhasil ”meyakinkan” pemerintah Ghana untuk mengembalikan tarif impor ke tarif semula. Dengan kata lain IMF menyetujui memberikan sejumlah dana untuk pengentasan kemiskinan, pada saat yang sama menghalangi langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak atas pangan petani padi kecil, yang dikenal sebagai salah satu kelompok yang rentan terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan. Jelas terlihat bahwa IMF melanggar tanggung jawabnya untuk menghormati hak atas pangan dengan menekan pemerintah Ghana untuk menghentikan dukungan dan perlindungan bagi petani padi miskin selama 1980an dan 1990an dan menunda implementasi UU nomor 641 pada tahun 2003. IMF memberikan saran kebijakan yang menghalangi kewajiban pemerintah memenuhi hak atas kecukupan pangan bagi petani padi kecil di Dalun dan di tempat lain. Pelanggaran yang dilakukan IMF adalah juga pelanggaran yang dilakukan oleh negara-negara anggota IMF, sebagian besar dari mereka adalah juga negara yang meratifikasi Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Seharusnya negara-negara tersebut berkewajiban memastikan bahwa IMF tidak mengambil tindakan yang mengancam pemenuhan hak atas pangan di negara manapun. Dalam hal ini UU nomor 641 mungkin akan berdampak negatif bagi eksportir beras dan ayam dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Apapun alasannya, yang terjadi adalah anggota IMF malah aktif mendukung tindakan IMF atau tidak melakukan apapun untuk mencegah IMF melanggar hak atas pangan negara lain. Aktor lain seperti Uni Eropa juga menentang kenaikan tarif impor dan menekan pemerintah Ghana untuk tidak menerapkan UU nomor 641. Paling tidak dalam kasus Uni Eropa, tekanan tersebut terdokumentasikan, meskipun sampai saat ini dokumen tersebut tidak bisa dijadikan bukti sebagaimana halnya dokumen IMF, namun tetap masih menunjuk tanggung jawab Uni Eropa dalam masalah yang sama. 3) Selama periode 1998-2003, 33% beras impor yang memasuki Ghana berasal dari Amerika Serikat, 30% dari Thailand, 17% dari Vietnam, 12% dari Cina dan 8% dari Jepang. Berdasarkan perhitungan Oxfam, tiga negara pemasok terbesar beras ke Ghana – Amerika Serikat, Thailand dan Vietnam – menjual beras varietas tertentu dengan harga jauh dibawah harga dalam negeri (”harga normal”) mereka. Misalnya dalam penjualan beras long grain Amerika nomor 2, perbedaan harga per 50 karung (“margin of dumping”) mencapai US$ 4,06. Pada umumnya selisih dumping beras Thailand sedikit lebih rendah, namun untuk satu varietas tertentu margin tersebut mencapai US$ 6,13. Selisih dumping juga terjadi pada seluruh varietas beras Vietnam namun lebih rendah dibandingkan selisih dumping beras Amerika dan Thailand. Berdasarkan definisi WTO, perbandingan antara harga ekspor dengan harga dalam negeri adalah salah satu cara menghitung besaran dumping. Cara lain adalah dengan membandingkan harga ekspor
61
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia dengan biaya produksi. Dengan pendekatan ini, selisih dumping akan lebih tinggi bagi eksportir Amerika Serikat dibandingkan dengan dua eksportir lain yaitu Thailand dan Vietnam. Antara tahun 2000-2003, penanaman dan penggilingan satu ton beras putih Amerika menelan biaya US$ 415. Namun beras tersebut diekspor dengan harga rata-rata hanya US$ 274 atau 34% lebih rendah dari biaya produksi. Selisih dumping ini lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, karena biaya produksi di kedua negara tersebut jauh lebih rendah. Pada tahun 1999-2000, Oxfam memperkirakan biaya rata-rata penanaman satu ton beras kasar di Thailand dan Vietnam masing-masing US$ 70 dan US$ 79. Di Amerika Serikat, biaya yang sama menelan US$ 188 per ton atau dua setengah kali lipat lebih tinggi (Oxfam 2005:35).
62
Meskipun harga beras impor di Ghana tidak selalu lebih rendah dibandingkan harga beras lokal, terbukti bahwa dumping adalah satu faktor penting yang membuat beras impor mampu bersaing dan menarik konsumen Ghana, terutama dalam hal harga yang kompetitif. Jadi subsidi pemerintah di negara asal beras impor, kredit ekspor dan penyalahgunaan bantuan pangan yang berlanjut dengan dumping, semuanya berkontribusi terhadap tersingkirnya beras lokal dari pasar di kota-kota Ghana seperti Tamale, dan hilangnya pendapatan petani kecil di Dalun. Melalui praktik dumping, negara pengekspor terutama Amerika Serikat telah melanggar kewajibannya untuk menghormati hak atas pangan petani padi dan keluarganya di Dalun dan di tempat lain di Ghana. Dalam semua kasus, pemerintah Ghana, IMF, negara-negara anggota IMF dan negara-negara pengekspor beras telah gagal menganalisa dampak kebijakan mereka di bidang pertanian dan perdagangan terhadap hak atas kecukupan pangan petani padi di Ghana. Wawancara dengan pejabat MOFA dan MOTI mengungkapkan dengan jelas tak adanya kesadaran pemerintah perihal dimensi hak asasi manusia dalam masalah pangan dan impor beras. Kebijakan disusun hanya dari sisi kepentingan penduduk perkotaan, padahal mayoritas penduduk miskin dan rawan pangan tinggal di pedesaan dan hidup mereka tergantung dari sektor pertanian. Upaya untuk menyusun dan mengimplementasikan pilihan kebijakan yang berpihak pada petani kecil masih jauh dari harapan. Bahkan upaya untuk mewujudkan harapan tersebut kadang kala dihambat oleh aktor eksternal seperti halnya kasus pembatalan UU nomor 641. Dari perspektif hak asasi manusia, kebijakan yang hanya berpihak pada kepentingan penduduk perkotaan tidak dapat diterima. Kewajiban untuk memenuhi hak atas kecukupan pangan meminta kehati-hatian dalam menganalisis situasi pangan semua pihak dan pilihan kebijakan baru yang mampu memberdayakan kelompok rentan agar bebas dari kelaparan. Peningkatan perlindungan dan dukungan bagi petani padi harus menjadi bagian dari strategi baru tersebut. Aktor eksternal tidak seharusnya membatasi kebijakan pemerintah Ghana untuk merealisasikan pemenuhan hak asasi manusia, sebaliknya mereka harus bertindak positif untuk memerangi kelaparan. Pada saat yang sama aktor eksternal seperti IMF dan negara-negara anggota IMF harus menghentikan dukungan terhadap kebijakan yang berdampak buruk terhadap pemenuhan hak atas kecukupan pangan petani padi Ghana. Kebijakan perberasan dan perdagangan tidak seharusnya dikendalikan oleh kepentingan ekonomi semata, pertama-tama harus dikedepankan adalah hak asasi manusia.
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras 5.1 Pendahuluan Honduras adalah negara agraris. Hampir setengah dari delapan juta penduduknya tinggal di pedesaan dan mereka secara langsung atau tidak langsung terkait dengan sektor pertanian. Pada tahun 2005, sekitar satu juta orang atau 40% dari penduduk yang aktif secara ekonomi, bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2004, sektor pertanian memberikan 23% kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product - GDP). Kemiskinan dan kekurangan gizi adalah fenomena yang meluas di Honduras. Sekitar 70% dari rumah tangga pedesaan hidup dibawah garis kemiskinan. Tingkat kekurangan gizi relatif tinggi. Berdasarkan pemantauan kondisi gizi anak dengan metode pengukuran lingkar pinggang, 79,1% anak laki-laki dan perempuan berusia 3 bulan hingga 5 tahun menderita kurang gizi sedang, dan 48,2% kurang gizi parah. Berdasarkan berat badan mereka, 67,2% anak lakilaki dan perempuan menderita kekurangan gizi (UNDP 2006:25ff; CEPAL 2005:51). Ada tiga alasan utama mengapa beras berperan penting di Honduras. Pertama secara ekonomi, beras adalah produk
63 Table 1: National Consumption Development 1981-2006
Year 1981 1928 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Domestic Supply
(national consumption)
36.500 37.302 22.358 47.140 50.064 46.915 38.948 60.179 37.811 51.846 79.642 56.654 40.880 39.620 47.533 84.333 89.810 101.870 87.737 115.301 88.829 84.147 98.757 117.165 127.059 108.007
Average of 5 years
38.673
47.140
52.866
95.810
103.192
Source: Author’s graphic based on data provided by DICTA.
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia kunci bagi perekonomian pedesaan; kedua secara budaya beras tidak terpisahkan dari pola konsumsi tradisional di sebagian wilayah Honduras; dan ketiga dalam konteks ketahanan pangan, beras adalah konsumsi utama bagi penduduk pedesaan. Hampir setengah asupan kalori dasar berasal dari bijibijian, dan sebagai makanan pokok, beras menduduki posisi ketiga setelah jagung dan kedelai (MFEWS 2006; Ponce 2003:12).
Selama periode yang sama, pada dekade 1990an, sektor beras mengalami kejatuhan. Skandal beras atau yang dikenal sebagai Arrozazo menandai berakhirnya 25 tahun pertumbuhan sektor beras Honduras yang berlangsung dengan kecepatan sedang namun stabil, yang ditunjukkan dengan peningkatan produksi padi dari 9.300 ton menjadi 47.300 ribu ton yang terjadi selama periode 1966-1990. “Selama kurun waktu tersebut, beras adalah sumber kesejahteraan bagi ribuan keluarga Honduras. Beras menghasilkan sumber daya mencukupi untuk membangun rumah, jalan aspal dan fasilitas air minum dan listrik” (Oxfam 2004:13). Figure 1: Production, Import and Rice Donation 1990-2005 (in Mt) Paddy Rice Production
Paddy Rice Import
Milled Rice Import
Rice Donations
200 000 180 000 160 000 140 000 120 000 100 000 80 000 60 000 40 000
5
200
4
3
200
200
2
1
200
0
200
200
9
8
199
199
7
6
199
199
5 199
4
3
199
199
2
1
199
199
0
0
20 000
199
64
Meningkatnya peran beras sebagai salah satu sumber gizi utama terlihat dari pertumbuhan konsumsi beras per kapita. Pada tahun 1993 rata-rata konsumsi beras adalah 9 kg per orang per tahun, saat ini konsumsi tersebut melebihi 16 kg per orang per tahun. Peningkatan tajam konsumsi beras selama tahun 1990an dapat terlihat dalam data konsumsi beras nasional yang secara statistik sama dengan jumlah pasokan beras dalam negeri. Rata-rata konsumsi nasional beras selama tahun 1990-1995 adalah 53.000 ton beras giling per tahun; pada tahun 1996-2000 jumlah tersebut meningkat menjadi 96.000 ton. Dengan kata lain selama satu dekade (1990-2000) terjadi kenaikan sebesar 80%. Pada lima tahun berikutnya (2001-2005), konsumsi nasional terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan sekitar 7% atau sama dengan 103.000 ton (lihat tabel 1).
Source: Author’s graphic based on data provided by FAO (http://faostat.fao.org).
Arrozazo memicu krisis berkepanjangan dengan titik terendah produksi padi nasional yang hanya mencapai hanya 7.200 ton pada tahun 2000 (lihat gambar 1). Saat itu luas area penanaman padi kurang dari 3.200 ribu hektar atau 15% dari luas area sembilan tahun sebelumnya (lihat gambar 3).
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Akibatnya ribuan petani padi kehilangan sumber penghasilan utama mereka. Jika pada tahun 1980, sektor beras menyerap 25.000 orang tenaga kerja maka pada tahun 2005 hanya 1.300 orang terserap di sektor tersebut (Oxfam 2004, Agrobolsa 2006). Saat ini sektor beras masih bertahan karena perjanjian beras yang ditandatangani antara produsen, sektor agro industri dan pemerintah memutuskan bahwa seluruh produksi nasional padi harus dibeli oleh sektor agro industri. Namun sektor beras masih belum pulih dari masa sulit dan hanya sebagian yang mengalami perbaikan. Peta dibawah ini menunjukkan bahwa mayoritas produsen terkonsentrasi di wilayah Utara (Colón, Atlántida, Cortez, Yoro) dan tengah Honduras (Comayagua, Intibucá). Terdapat pula sejumlah besar lahan persawahan di wilayah Timur. Di wilayah Selatan Honduras praktis tidak lagi terdapat area persawahan. 65
Figure 2: Rice-growing Areas According to the 2006 Census
Rice Areas 2006
Department Limit
Municipality Limit
Source: Agrobolsa 2006.
5.2 Konteks Pertumbuhan sektor beras terjadi pada tahun 1970an dan 1980an yang dipicu oleh proses reforma agraria, dengan melakukan ”modernisasi” produksi terutama dalam sistem irigasi, mekanisasi, teknik budidaya dan pemanfaatan input produksi. Banyak produsen yang berhasil meningkatkan produktivitas selama masa tersebut berada dalam ”sektor yang direformasi”. Mereka adalah orangorang yang menjadi penerima manfaat reforma agraria. Sama halnya dengan sektor pertanian lain, sektor biji-bijian juga diperkokoh dengan penerapan kebijakan perlindungan di tingkat ekonomi makro (tarif impor, regulasi pasar dalam negeri) dan juga di tingkat mikro dengan kebijakan yang mendukung proses produksi (dukungan teknis, pemasaran, investigasi, kredit, dan lainnya). Dalam hal ini kerjasama internasional berperan penting dalam pembangunan pedesaan dan sektor pertanian, terutama di sektor-sektor yang direformasi. Reformasi bertujuan memulihkan ekonomi pedesaan yang terpuruk dan kegetiran yang lahir dari produksi subsisten dan pendapatan buruh tani yang tidak mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia dasar mereka. Usaha ini terkait dengan upaya pemerintah untuk meredam keresahan sosial dan politik, yang dalam sejarah Amerika Tengah ditandai dengan berbagai konflik bersenjata. Namun ternyata, hanya sebagian sektor perekonomian pedesaan yang terkena dampak positif kebijakan reformasi. Ada banyak terdapat kekurangan dan pertentangan dalam proses reformasi. Dalam kondisi tersebut, perubahan ekonomi dan politik yang terjadi sejak tahun 1990 berdampak negatif terhadap petani kecil yang sangat rentan.
66
Selama kurang dari 15 tahun semenjak awal 1990an sektor beras di Honduras mengalami keterpurukan dan proses tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu: 1) Arrozazo atau skandal beras (1991-1998). 2) Angin topan Mitch (1998-2002). 3) Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas antara Republik Dominika dan negaranegara Amerika Tengah (Dominican Republic – Central America Free Trade Agreement - DR-CAFTA). Perjanjian tersebut pertama-tama menguntungkan sebagian kecil produsen beras yang masih bertahan (2003-2006)
5.2.1
Arrozazo dan Kebijakan Penyesuaian Struktural (Tahun 1991-1998)
Presiden baru Honduras Leonardo Callejas (1990-1994) menerapkan beberapa kebijakan makro ekonomi sebagai bagian dari SAP yang dipandu oleh lembaga keuangan internasional terutama World Bank dan IMF. Kebijakan yang pertama-tama diterapkan adalah menurunkan nilai mata uang Honduras dan mengambangkannya terhadap Dolar Amerika. Tujuan strategis dari kebijakan ini adalah untuk memacu ekspor dengan cara menurunkan harga produk pertanian Honduras di pasar global dan diharapkan penurunan tersebut akan mempercepat pertumbuhan sektor pertanian ( World Bank 1994:43). Namun menurunnya nilai mata uang Lempira terhadap Dolar Amerika justru meningkatkan harga input pertanian. Peningkatan harga dan dampak lain dari penerapan kebijakan penyesuaian struktural di sektor pertanian, termasuk didalamnya penghentian dukungan teknis dari pemerintah menyebabkan hambatan besar bagi sektor pertanian yang tidak berorientasi ekspor seperti sektor biji-bijian. Produsen beras dihadapkan dengan kebijakan negara yang didukung oleh lembaga keuangan internasional yang berpendapat bahwa sektor tersebut tidak memiliki prospek pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam analisis World Bank: Potensi utama untuk memacu pertumbuhan adalah peluang mengubah sejumlah besar area yang ditanami produk pertanian bernilai rendah dengan teknologi tradisional seperti jagung dan ternak yang digembalakan di padang rumput alam, menjadi area yang ditanami produk pertanian bernilai tinggi, sebuah fenomena yang telah berlangsung pada sejumlah besar lahan dengan tanaman komersial non tradisional. Mengubah jenis tanaman dari biji-bijian menjadi tanaman komoditas ekspor berarti telah menambah Jose Alfredo Escobar menanam padi di Guangolola. keuntungan bersih dalam Paul Jeffrey/EAA penyediaan lapangan kerja dan pendapatan per hektar ( World Bank 1994:39).
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Dengan bantuan seorang ekonom Amerika, pemerintah Honduras mempersiapkan Undang-undang Modernisasi dan Pembangunan Sektor Pertanian (Law for the Modernisation and Development of the Agricultural Sector – LMA)17 yang dikenal dengan “Undang-Undang Norton”18 dan diberlakukan pada tahun 1992 menggantikan Undang-Undang Reforma Agraria tahun 1975. Undang-undang Norton menjadi instrumen hukum untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi keterlibatan negara di sektor pertanian. Kebijakan tersebut meliputi liberalisasi pasar input dan produk pertanian, serta pasar keuangan dan kredit, dan perombakan akses dan peraturan terkait pertanahan untuk mempromosikan pasar tanah ( Walter and Pino 2004:4). Dengan adanya LMA praktis masa reforma agraria berakhir karena praktek-praktek yang berubah. Larangan menjual tanah dan pembatasan luas lahan kepemilikan dibatalkan (Thorpe 2000:228-229). Situasi ini direspon berbeda oleh setiap sektor yang telah direformasi, misalnya dengan menjual lahan yang didapatkan melalui reforma agraria (Baumeister 2000:50). Liberalisasi pasar pertanian dimulai pada tahun 1991. Saat itu Institut Pemasaran Pertanian Honduras (Honduran Institute of Agricultural Marketing – IHMA) dan jaminan harga dihapuskan. Setelah penyerahan keputusan eksekutif untuk mengurangi monopoli negara dalam perdagangan internasional produk pertanian, kongres Republik Honduras memanfaatkan masa kekosongan hukum dengan memberikan ijin sementara impor beras dengan penurunan tarif sebesar 1% (Walter dan Pino 2004:5; World Bank 1994:44). Akibatnya, impor melesat naik. Pada saat terjadi keberhasilan panen yang menghasilkan lebih dari 54.000 ton padi, pada waktu itu pula terdapat 32.000 ton beras giling impor dan 12.500 ton padi impor (lihat gambar 1). Akibatnya pasar jatuh. Liberalisasi pasar yang tiba-tiba ini dikenal dengan sebutan arrozazo atau dalam terminologi FAO (2007:2) disebut “gelombang impor”, untuk menggambarkan kondisi ketika terjadi peningkatan jumlah impor dalam besaran diluar kebiasaan yang berdampak buruk terhadap harga produk nasional dan pada harga di tingkat petani. Data FAO menunjukkan bahwa harga padi di tingkat petani jatuh sebesar 13% pada tahun 1991 dan 30% pada tahun 1992 (lihat tabel 2). Pada tahun 1992, mekanisme pembatasan harga untuk produk biji-bijian seperti seperti jagung, padi dan gandum diperkenalkan. Tujuannya adalah untuk meredam naik turunnya harga akibat perubahan harga di tingkat internasional dalam skenario perdagangan yang telah diliberalisasikan. Kebijakan ini membolehkan kenaikan tarif impor hingga 45% ,tergantung harga di pasar internasional. Akibatnya pada tahun 1992 dan 1993 impor turun sampai pada tingkat sebelum terjadinya arrozazo. Produksi beras nasional mulai pulih kembali pada tahun 1994, namun pada saat yang sama impor meningkat. Berdasarkan pengamatan FAO, impor dalam jumlah besar terjadi sejak tahun 1996 khususnya untuk impor beras giling. Menurut FAO, penyebab meningkatnya impor ini adalah: • meningkatnya permintaan beras dalam negeri • peraturan baru phytosanitary bagi impor padi, yang mendorong impor beras giling • penyeragaman batas harga untuk padi dan beras giling, artinya kedua produk tersebut dikenakan tarif yang sama. Kombinasi semua faktor di atas menyebabkan terjadinya kenaikan impor beras pada umumnya, dan khususnya beras giling. Impor beras giling dilakukan oleh jaringan supermarket dan grosir. Hal ini mengakibatkan tersingkirnya industri penggilingan padi dan posisinya di dalam pasar perberasan tergeser. Perusahaan penggilingan juga mengurangi pembelian padi lokal yang kemudian menyebabkan berkurangnya luasan budidaya tanaman padi dari 16.000 hektar menjadi 10.000 hektar. Ini terjadi diantara tahun 1997 dan 1998 (Oxfam 2004:14; FAO 2007:3; lihat gambar 3). Pada akhir Oktober 1998, musibah angin topan Mitch menerpa Honduras. 17 LMA singkatan dari Ley de Modernización Agrícola. 18 Mengikuti nama Roger Norton yang merupakan seorang ekonom pertanian yang direkrut oleh Lembaga Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (United States Agency for International Development - USAID) untuk menyusun rancangan LMA (Oxfam 2004:47).
67
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
5.2.2 Angin topan Mitch dan Dumping: Dua Peristiwa dengan Dampak yang sama (1998-2002)
Figure 3: Cultivated Area and Imports
Total Imports (MT)
Cultivated Area (Ha)
180 000
25 000
160 000 20 000
140 000 120 000
15 000
100 000 80 000
10 000
60 000 40 000
5 000
5
0
200
2 200 3 200 4
200
1
0
200
200
9
8
199
199
5 199 6 199 7
199
4
3
199
199
0
0 199 1 199 2
20 000 199
68
Secara umum, bencana angin topan Mitch berdampak besar terhadap sektor pertanian Honduras. Secara khusus, pertanian padi terpukul lebih keras karena sektor ini kehilangan hampir seluruh infrastruktur produksinya, termasuk sistem irigasi dan penyiapan lahan. Akibat hancurnya infrastruktur ini, maka tidak mengejutkan jika antara tahun 1998 dan 2000 area penanaman padi turun sebesar 70% dan mencapai titik terendah dalam 40 tahun terakhir (lihat gambar 3). Namun angin topan Mitch bukan satu-satunya bencana alam yang berdampak negatif terhadap pertanian padi pada periode 19902005. Pada bulan Oktober 2001 badai tropis Michelle – yang kemudian berubah menjadi angin topan – menyerang enam wilayah Honduras, terutama wilayah Timur Laut dan Utara, dan pantai Karibia termasuk Santa Bárbara, Yoro, Colón, Atlántida dan Gracias a Dios. Semua wilayah tersebut adalah area penanaman padi19. Lebih lagi, ditahun-tahun tersebut fenomena alam El Nino memberikan dampak lokal dan regional, termasuk masa kemarau yang panjang. Berbagai faktor tersebut mempengaruhi rendahnya produksi padi yang dilakukan dengan penanaman padi tradisional yang berlokasi di lereng gunung, yang dicirikan oleh tidak adanya sistem irigasi dan memiliki lahan berundak. Budidaya semacam ini terutama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan penjualan ke pasar lokal dilakukan hanya jika terjadi kelebihan produksi. Prakteknya, sistem tradisional ini menghilang pada tahun 1990an.
Source: Author’s chart based on data provided by FAO (http://faostat.fao.org).
Seluruh wilayah Selatan Honduras praktis menghilang dari peta produksi padi nasional. Terdapat bukti kuat bahwa akar masalah terpuruknya sektor beras pada akhir 1990an dan awal abad 21 tidak saja disebabkan oleh faktor ”alam”, tetapi juga perilaku ekonomi manusia. Sejak tahun 1996, harga ekpor untuk padi Amerika mengalami kejatuhan lebih dari 60% mencapai US$ 108 per ton pada tahun 2002. Pada periode yang sama, harga yang dibayarkan kepada petani padi Honduras meningkat sekitar 20% dari US$ 195 per ton menjadi US$ 237 per ton dan turun sebesar 40% pada tahun 2001-2002. Dalam artian yang sesungguhnya, keuntungan dari pendapatan penjualan padi jatuh diantara tahun 1996 dan 19 El Nuevo Herald, 5 November 2001 http://www.latinamericanstudies.org/honduras/alerta.htm (11 Juni 2007).
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Table 2: Domestic farm prices of paddy and world prices of milled rice, expressed in national currency in real terms, 1990-2005
Year
Farm Prices a
US Gulf Portsb
World Prices Index c
42 36 25 27 26 23 19 26 24 24 23 22 22 22 22 22
54 57 50 50 62 52 59 56 48 37 28 26 20 27 34 28
103 113 110 100 114 129 136 127 129 114 98 84 82 93 118 117
(paddy)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
(milled)
(all rice)
a Farm gate, Lempiras/cwt (1cwt=45.4kg), real terms base 1990. Secretaría de Agricultura y Ganadería b Long grain, milled, Lempiras/cwt, real terms base 1990. Jackson Son & Co. (London) Ltd c All rice FAO price index (1982-84=100). Rice Market Monitor, FAO Source: FAO 2007.
2002. Kecenderungan ini sesuai dengan perhitungan FAO yang mengacu pada nilai konstan mata uang Lempira (lihat tabel 2). Dalam situasi tersebut, tidak mengherankan bahwa dalam jangka waktu dua tahun sejak angin topan Mitch menerpa Honduras dan saat produksi padi turun, harga di tingkat petani tidak naik. Jelas kecenderungan ini terkait dengan pasokan beras murah yang tersedia di pasar internasional dalam periode yang sama. Sebagaimana tersirat dalam berbagai penelitian, salah satu penyebab turunnya harga beras lokal adalah dumping beras Amerika.
Oxfam (2004:26ff ) menunjuk bahwa produksi beras Amerika Serikat bertambah sebesar 44,3% pada periode 1980-2002. Namun di sisi lain konsumsi beras di Amerika Serikat tidak berjalan seiring dengan peningkatan produksi. Jadi pada paruh kedua tahun 1990an, diperlukan ”saluran darurat” untuk memasarkan hampir 50% volume produksi tersebut. Meksiko dan negaranegara Amerika Tengah adalah wilayah yang menerima sebagian besar surplus beras Amerika. Pada tahun 2003, 60% padi Amerika diekspor ke Meksiko dan negara-negara Amerika Tengah. Analisa penelitian Oxfam menemukan bahwa sektor beras di Amerika menerima subsidi yang sangat besar dan subsidi inilah yang menjadi faktor pendorong tingginya volume produksi. Pada tahun 2003 petani di Amerika Serikat menerima subsidi pemerintah dan fasilitas lain yang mencapai US$ 1.279.000.000. Besarnya subsidi ini memungkinkan sektor beras Amerika mengekspor satu ton padi dengan harga 20% lebih rendah dari biaya produksi. Di tahun-tahun sebelumnya, perbedaan antara biaya produksi dan harga ekspor malah lebih besar20. Akibatnya sejak tahun 1999, harga padi Amerika yang dipasarkan di Honduras lebih rendah dibandingkan harga padi lokal di tingkat petani (lihat gambar 4). Selain praktik dumping, bantuan pangan juga berkontribusi terhadap terjadinya kelebihan beras di Honduras. Tidak ada data rinci perihal jumlah sumbangan beras dibawah program bantuan pangan yang 20 Tahun 2000: 26%; 2001: 24%; 2002: 46%. Perhitungan sendiri berdasarkan data Oxfam (2004:44). Kecenderungan ini sesuai dengan penelitian yang dipublikasikan oleh Institut Pertanian dan Kebijakan Perdagangan (Institute for Agriculture and Trade Policy (Murphy, Liliston dan Lake 2005:xi), yang menghitung persentase dumping beras pada tahun 2000-2003 sebesar 19%, 20%, 34% dan 26%.
69
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
70
diterima Honduras setelah musibah angin topan Mitch namun demikian, analisa tetap dapat dilakukan. FAO memperkirakan sekitar 23.000 ton beras giling disumbangkan ke Honduras pada tahun 1998, 70% diantaranya berasal dari Amerika Serikat. Pada tahun 1999, 5.700 ton beras kembali disumbangkan oleh Amerika Serikat untuk Honduras. Bantuan beras Amerika disalurkan Penggilingan padi kecil di Honduras. Paul Jeffrey/EAA melalui USAID di bawah payung “Undang Undang Publik 480 Bagian II”21. Laporan FAO bulan Januari 1999 mengindikasikan bahwa segera setelah musibah angin topan Mitch, sekitar 2.000 ton beras didistribusikan. Karena bencana angin topan terjadi pada akhir Oktober/ awal November 1998, tampaknya sebagian besar dari 23.000 ton beras yang dialokasikan untuk tahun 1998 tidak mencapai daerah tujuan sampai tahun berikutnya. Oleh sebab itu direncanakan pasokan tambahan 26.000 ton beras untuk konsumsi nasional tahun 1999. Laporan yang sama juga menghitung adanya kehilangan produksi beras giling akibat angin topan sebesar 7.800 ton pada tahun 1998, tetapi meski ada pengurangan produksi, produksi padi dalam negeri mencapai 28.000 ton. Selain dari bantuan pangan, terdapat kenaikan impor sebesar 25.000 ton padi dan 8.000 ton beras giling. Program bantuan pangan dan impor secara bersamaan menambah pasokan sebesar 34.000 ton beras giling dan 25.000 ton padi pada tahun 1999. Dengan kata lain dibandingkan tahun sebelumnya (1998) pada tahun 1999 terjadi kenaikan impor sebesar 125% untuk beras giling dan 71% untuk padi. Figure 4: Paddy Rice - Farm Gate Prices and Import Prices (USD/Tm)
Farm Gate Price
Import Price FOB USA
Import Price CIF Honduras
400 350 300 250 200 150 100 50 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Source: Author’s graphic based on data provided by FAO, USDA and SIECA. (http://faostat.fao.org; http://www.fas.usda.gov/ustrade/USTExFatus.asp?QI; http://www.sieca.org.gt).
21 Program bantuan pangan ini terdiri dari dua bagian: “bantuan darurat” meliputi bantuan pangan yang diberikan pada tahun 1998-1999; dan “bantuan pembangunan” sebagai bantuan tambahan yang diterima Honduras. Menurut Laporan Bantuan Pangan Internasional Amerika Serikat (US International Food Assistance Report) tahun 1998-2001, sumbangan beras diberikan dibawah skema “bantuan pembangunan”. Namun laporan tersebut tidak merinci jumlah yang disumbangkan. Menurut Oxfam (2005:12), 70% sumbangan pangan dibawah skema “bantuan pembangunan” diuangkan. Artinya bantuan tersebut dijual di pasaran untuk membiayai berbagai proyek pembangunan.
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Dalam kondisi seperti ini, hampir tidak ada peluang bagi sektor beras untuk pulih dari krisis keuangan yang dialaminya sejak tahun 1991 akibat bencana alam, Undang Undang Norton dan arrozazo. Ribuan produsen beras yang berhasil melewati masa 1990an tidak lagi mampu mengatasi kehancuran keuangan pada awal milenium baru.
5.2.3 Antara Hidup dan Mati: Perjanjian Beras dan DR-CAFTA (2003-2006) Pada tahun 1999 atau setahun setelah bencana angin topan Mitch, asosiasi perusahaan penggilingan padi, asosiasi petani padi dan pemerintah Honduras menandatangani perjanjian beras. Jika kita mencermati tanggal penandatanganan perjanjian , maka terlihat perjanjian tersebut dibuat sebagai respon atas krisis yang dihadapi sektor beras yang porak poranda setelah bencana angin topan Mitch. Namun dalam konteks yang lebih luas, perjanjian beras disusun sebagai respon terhadap krisis yang dihadapi perusahaan penggilingan padi dan sektor agro industri akibat meningkatnya beras giling impor sejak tahun 1996 yang mempertaruhkan nasib beras lokal di pasar dalam negeri. Dibawah perjanjian beras disusun serangkaian peraturan baru, tetapi peraturan-peraturan tersebut lebih berfokus pada impor beras dibandingkan upaya untuk menghidupkan kembali produksi beras nasional. Perjanjian beras menyatakan bahwa perusahaan penggilingan padi dapat membeli padi impor dengan tarif (preferential tariff) 1% sepanjang mereka membeli semua padi lokal dengan harga standar tahunan yang ditetapkan oleh pihak-pihak terkait. Pada saat yang sama, tarif impor beras giling dan jenis beras lainnya, termasuk padi, dipertahankan di tingkat 45%.
Butir-butir penting perjanjian beras • • • • • • • • •
Pihak yang terlibat dalam perjanjian beras adalah Asosiasi Perusahaan Penggilingan Padi Honduras (Honduras Millers’ Association – ANAMH), asosiasi pemerintah dan produsen beras: AHPRA, PROGRANO dan EMAPROC. Menentukan kesepakatan dalam hal kuantitas dan harga beli beras antara industri beras dan produsen nasional. Memberi ijin industri beras (perusahaan penggilingan padi) untuk mengimpor padi dengan tarif 1%, agar dapat menutup kesenjangan antara besarnya permintaan dan produksi beras dalam negeri. Menentukan kuantitas padi yang harus dibeli oleh tiap penggilingan dari petani lokal dan menetapkan hak mereka untuk membeli padi impor dengan tarif 1% berdasarkan persentasi pembelian produk dalam negeri. Menetapkan tarif impor untuk berbagai tipe beras lainnya tetap sebesar 45%. Menetapkan kuantitas beras yang harus dibeli per bulan dan waktu ketika pembelian beras impor tidak boleh dilakukan. Menentukan mekanisme pemantauan pelaksanaan perjanjian beras, juga peraturan terkait mutu padi yang dikirim kepada perusahaan penggilingan padi. Menentukan mekanisme sangsi jika terjadi pelanggaran peraturan. Menetapkan kriteria bagaimana aktor-aktor yang terlibat (produsen dan penggilingan padi) dapat berpartisipasi dalam perjanjian beras. Sumber: catatan penulis
Pada dasarnya perjanjian beras yang masih berlaku sampai sekarang ini memberi ruang bagi perusahaan penggilingan padi lokal untuk melakukan oligopoli, menjadi pemasok utama untuk memenuhi permintaan beras dalam negeri, baik beras lokal atau impor. Oleh karena itu
71
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia perusahaan penggilingan padi yang turut menandatangani perjanjian beras dapat mengendalikan seluruh rantai agroindustri dan komersial, dari produksi di tingkat petani hingga penjualan di tingkat pedagang eceran. Terlepas dari kekuasaan yang berada pada tangan perusahaan penggilingan padi, perjanjian beras juga menguntungkan petani. Secara keseluruhan perjanjian tersebut mampu menstabilkan sektor beras. Patut dipertanyakan, apakah sektor beras akan mampu bertahan tanpa jaminan harga dan tanpa jaminan bahwa petani dapat menjual seluruh hasil panen mereka, sesuai ketentuan yang tertera dalam perjanjian beras. Kepastian pendapatan adalah keuntungan utama yang didapatkan dari perjanjian beras, meskipun sebenarnya harga yang dibayarkan kepada mereka, tidak meningkat secara faktual tetapi hanya stabil di tingkat harga rendah sebagaimana terlihat dalam data FAO (lihat tabel 2). 72
Diberlakukannya perjanjian beras berdampak langsung terhadap penurunan impor beras giling dan peningkatan impor padi. Sejak tahun 2003, perjanjian tersebut juga berdampak terhadap kenaikan produksi, terutama karena perbaikan sistem administrasi dan pengendalian harga yang merupakan bagian dari perjanjian beras. Pada tahun 2003 pemerintah Honduras memulai perundingan perjanjian perdagangan beras dengan Amerika Serikat yang dituangkan dalam DR-CAFTA. Perusahaan penggilingan padi di Honduras menunjukkan minat yang tinggi untuk memastikan keberlangsungan sebagian produsen beras dalam negeri ketika DR–CAFTA telah diberlakukan, dalam rangka menjamin keberadaan penggilingan padi di negara tersebut. Namun data administratif perjanjian beras, Agrobolsa, menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi beras nasional berhenti pada tahun 2003. Table 3: Import tariffs for paddy and milled rice, exchange rates and consumer price index 1990-2005
Year 1990 1991 1992 d 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Milled Paddy a ad valorem ad valorem tariff (%) tariff (%) 15 15 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 45 45 45 45 45 45
15 15 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 20 - 45 45 45 45 45 45 45
Exchange rateb
CPI c
4.4 5.4 5.6 6.6 8.5 9.6 11.8 13.2 13.5 14.3 15.0 15.7 16.6 17.5 18.4 19.0
20 27 29 32 39 51 63 75 85 95 106 116 125 135 146 159
a ‘ad valorem’ is a percentage of the price b Lempira/US$ c Consumer price index in Honduras d First year of the price band mechanism Source: FAO 2007.
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Sejak saat itu jumlah padi lokal yang dibeli perusahaan penggilingan padi hanya berkisar 20.000 ton. Belakangan ini bahkan terjadi penurunan produksi dalam negeri (lihat gambar 1). Kejadian-kejadian ini merupakan bagian dari perjanjian beras yang meskipun telah menyelamatkan sektor beras, namun secara bersamaan telah menghalangi pengembangan sektor beras di masa depan. Bagi sektor agro industri, perjanjian beras berfungsi menurunkan produksi beras nasional sampai pada tingkat yang memberi peluang masuknya beras impor. Sektor ini tidak memiliki ketertarikan untuk mendukung pertumbuhan produksi nasional, sepanjang mereka mendapatkan untung dari subsidi yang diberikan kepada produsen beras Amerika dapat tetap menjaga harga beras impor pada tingkat yang tidak bisa disaingi oleh beras lokal Honduras. Sebuah penelitian di El Salvador menemukan kecenderungan yang sama. Penelitian tersebut menekankan masalah utama sektor beras adalah fasilitas pengurangan tarif yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil perusahaan dan rendahnya volume produksi biji-bijian dalam negeri yang didorong dalam mekanisme perjanjian beras. Di El Salvador hanya produsen beras skala besar yang diuntungkan oleh perjanjian tersebut (Tolentino 2006:24). Ini bersumber dari orientasi DR-CAFTA yang memposisikan hanya produsen yang memiliki daya saing tinggi yang mampu bersaing dengan Amerika Serikat dalam sebuah pasar bebas. Hal ini menjadi lucu, karena setelah mengalami kehancuran sektor beras akibat sepuluh tahun liberalisasi sektor tersebut di Honduras, negara ini mempersiapkan diri untuk sebuah pasar yang benar-benar bebas dan memilih untuk mengakhiri berbagai peraturan pemerintah yang menjamin harga serta penentuan pembeli dan produsen. Sejak April 2006 sampai sekarang Honduras adalah anggota DR-CAFTA. Negosiasi ikut tidaknya Honduras dalam DR-CAFTA berlangsung sepanjang tahun 2003, diikuti oleh penandatanganan perjanjian pada bulan Mei 2004 dan diratifikasi oleh parlemen Honduras pada bulan Maret 2005. Meskipun sudah menandatangani perjanjian DR-CAFTA, Honduras diijinkan untuk melanjutkan kebijakan terdahulu termasuk perjanjian beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun penerapan berbagai kebijakan tersebut harus dihentikan saat berakhirnya “masa kelonggaran tarif ” untuk padi. Dengan demikian dibawah skema DR-CAFTA pemberlakuan perjanjian beras dibatasi. Dalam negosiasi DR-CAFTA, beras dianggap “produk sensitif ” bagi Honduras. Hal ini memberikan keleluasaan bagi Honduras untuk memiliki masa transisi yang lebih panjang sebelum pada akhirnya memasuki era perdagangan bebas. Setelah 10 tahun kelonggaran tarif, dalam delapan tahun Honduras harus mulai menurunkan tarif impor dari 45% menjadi 0%. Selain itu diberlakukan pula kuota bebas tarif kuota. Kuota untuk padi adalah 92.000 ton dan setiap tahun naik 2% dimulai sejak tahun pertama setelah perjanjian perdagangan bebas diberlakukan. Kuota untuk beras giling adalah 8.900 ton dan setiap tahun naik 5%. Beras dilindungi oleh mekanisme perlindungan khusus pertanian (special agricultural safeguard) yang diberlakukan saat beras lokal terancam oleh kehadiran beras impor Amerika dalam jumlah yang besar22. Mekanisme transisi diberikan untuk mempersiapkan tercapainya tujuan akhir dari DR-CAFTA, yaitu deregulasi total pasar beras paling lambat pada tahun 2024. Namun tingginya kuota padi dan terus naiknya kuota beras giling, efek yang diharapkan dari mekanisme transisi berakhir lebih cepat. Pihak yang pertama kali terkena dampak adalah perusahaan penggilingan padi. Dengan meningkatnya kuota impor beras giling, oligopoli yang selama ini mereka nikmati akan berakhir. Perjanjian beras akan diakhiri paling tidak ketika tarif padi dan beras sedemikian rendahnya sampai-sampai tidak memberikan keuntungan bagi industri perberasan. Produsen beras Honduras akan semakin rentan 22 Pengamanan khusus sektor pertanian (special agricultural safeguard) adalah mekanisme yang dapat diterapkan oleh sektor terkait saat beras impor melebihi kuantitas yang tercantum dalam perjanjian liberalisasi perdagangan. Mekanisme tersebut meliputi meningkatkan tarif sebagaimana tercantum dalam perjanjian liberalisasi. Pengamanan khusus sektor pertanian dibatasi oleh masa pembebasan tarif dan hanya dapat dilakukan sekali dalam 4 tahun (Garbers and Gauster 2004:26)
73
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia terhadap fluktuasi harga di pasar internasional dan dengan demikian, terhadap masa depan yang sangat tidak pasti. Penting dikemukakan bahwa dalam perundingan DR-CAFTA, Amerika Serikat menolak untuk mendiskusikan masalah subsidi. Perjanjian DR-CAFTA hanya menentukan tujuan bersama dari negara anggota perihal pembatasan subsidi ekspor melalui WTO (Garbers dan Gauster 2004:33). Namun negosiasi WTO yang sementara ini dihentikan, mengandung ancaman tambahan terhadap pasar beras karena di dalam negosiasi tersebut bukan hanya perdagangan beras antara Honduras dengan Amerika Serikat yang akan diliberalisasikan, melainkan juga perdagangan beras antara Honduras dengan semua negara. 74
5.2.4 Menuju Masa Depan yang Kontradiktif: Perspektif Baru Sektor Biji-bijian? Menurut pengamat dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (US Department of Agriculture – USDA), skenario perubahan mendalam yang dihadapi oleh sektor pertanian saat ini disebabkan karena pertumbuhan produksi bio energi. Berdasarkan rencana, kapasitas produksi etanol Amerika akan meningkat dari 5.000.000 galon pada tahun 1996 menjadi 9.000.000 galon pada tahun 2012. Jagung adalah bahan baku utama bagi produksi etanol (Schonover dan Muller 2006:5). Berdasarkan perkiraan mereka, permintaan jagung untuk produksi etanol pada tahun 2008 berkisar antara 60.000.000–139.000.000 ton (Earth Policy Institute 2007). Sebagian permintaan ini akan dipenuhi melalui penurunan eskpor, sebagaimana diindikasikan oleh penelitian yang dilakukan Institut Pertanian dan Perdagangan (Institute for Agriculture and Trade) (Schonover dan Muller 2006:10ff ) Perubahan yang terjadi di sektor pertanian Amerika Serikat akan berdampak langsung terhadap situasi pasar Honduras yaitu kenaikan harga impor jagung Amerika dan kemungkinan pada penurunan kuantitas impor jagung. Kenaikan harga yang terjadi di bulan-bulan awal tahun 2007 dapat diartikan sebagai awal dari trend kenaikan harga , tidak hanya pada komoditas jagung. Menurut Earth Policy Institute (2007), sektor beras juga akan mengalami efek substitusi dari konsumsi Amerika dan perubahan fungsi tanah, karena lahan budidaya padi akan digunkan untuk bertanam jagung. Bagi produsen biji-bijian di Honduras, fenomena ini berpotensi menimbulkan perubahan yang berarti. Setelah hampir dua dekade diabaikan oleh negara, saat ini mereka menjadi pusat perhatian kebijakan pertanian nasional. Namun patut dipertanyakan apakah sektor produktif yang telah “rusak berat” dapat pulih dengan cepat untuk memenuhi permintaan pasar. Terlebih lagi, apakah pendekatan politik-ideologi yang selama ini menguntungkan ekspor yang telah mengakar kuat pada pemerintah dan hak kelas politik dapat berubah dalam waktu singkat? Jika produksi dan kebijakan tidak mampu beradaptasi dan skenario yang telah digambarkan sebelumnya benar-benar terjadi maka dampak yang ditimbulkannya akan benar-benar buruk. Bahaya krisis pangan yang dialami oleh sektor-sektor yang rentan terhadap perubahan ekonomi akan semakin meningkat. Kenaikan harga biji-bijian tidak hanya terbatas pada komoditas jagung dan padi, tetapi juga meluas ke harga produk daging ayam atau telur yang bergantung pada harga biji-bijian. Pihak pertama yang akan terkena dampak adalah masyarakat perkotaan yang miskin, yang tidak memiliki kemungkinan menutupi sebagian kebutuhannya melalui aktivitas bertani subsiten.
5.3 Dua Studi Kasus Perihal Harapan dan Kekecewaan Produsen Beras Studi kasus dilakukan di dua komunitas: komunitas Guangolola di wilayah Yoro dan komunitas Guayamán di lembah Otoro di wilayah Intibucá. Kedua komunitas tersebut adalah bagian dari “sektor yang direformasi” dan diorganisasikan oleh asosiasi bisnis tingkat kedua atau koperasi yaitu
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Cooperativa Agropecuaria Regional El Negrito Limitada (CARNEL 23di Guangolola, dan Empresa Asociativa de Campesinos de Transformación y Servicios Otoreña (EACTSO) di Guayamán. Guangolola terletak di Utara Honduras, sekitar 230 km dari Tegucigalpa dan 10 km dari kota utama El Negrito. Komunitas ini terdiri dari dua perkampungan (Guangolola I dan II) dan ada 152 keluarga yang tinggal di kedua kampung tersebut. Di desa Guangolola terdapat empat koperasi masyarakat akar rumput yang beranggotakan 105 orang. Sementara itu, komunitas Guayamán terletak 150 km dari Tegucigalpa dan 15 km dari kota utama Jesús de Otoro dan ditinggali oleh sekitar 30 keluarga, 23 diantaranya anggota kelompok bisnis lokal dan EACTSO.
5.3.1 Komunitas Guayamán dan Asosiasi Bisnis Petani Kecil EACTSO Jesús de Otoro dan EACTSO Selama periode 1980an dan 1990an, Jesús de Otoro dikenal sebagai “ibu kota beras” di Honduras, karena kota tersebut merupakan satu dari pusat-pusat penanaman padi. Saat ini Jesús de Otoro masih berperan penting dalam produksi beras nasional, meskipun jumlah produsen beras telah turun drastis dibandingkan dengan akhir tahun 1980an dan awal 1990an. EACTSO didirikan untuk merespon semakin bertambahnya luasnya area penanaman padi di lembah Otoro selama periode 1980an. EACTSO terdiri dari enam asosiasi bisnis petani akar rumput yang mewakili enam komunitas di wilayah tersebut, lima diantaranya adalah komunitas produsen beras tradisional24. Asosiasi tersebut memiliki 96 anggota di enam komunitas, 72 diantara mereka dahulunya adalah produsen beras, sampai terjadinya kejatuhan produksi pada tahun 1990an. Saat ini hanya ada 12 produsen anggota EACTSO, dan mereka menghasilkan beras dalam situasi yang sangat berbeda dengan masa-masa yang lalu. Petani EACTSO mendapatkan manfaat dari reforma agraria yang dilakukan pada awal 1980an. Diatas tanah yang diberikan kepada mereka melalui program reforma agraria tersebut, mereka membentuk komunitas. Pada awalnya mereka mengalami masa-masa sulit karena ketiadaan infrastruktur seperti jalan, perumahan dan ketiadaan dukungan produksi dan permodalan. Mereka Reyes Aguilar berdiri di lahan di Guayamán. Lahan tersebut masa mulai menanam komoditas seperti lalu digunakan untuk menanam padi oleh koperasi setempat. jagung atau kacang-kacangan untuk Paul Jeffrey/EAA konsumsi sendiri. Kemudian pada tahun 1980an beberapa petani mulai menanam padi dan ini kemudian diikuti oleh petani lainnya. Mereka menghasilkan dan menjual sendiri hasil bumi yang mereka budidayakan, sehingga sangat bergantung pada pedagang perantara yang disebut “coyote”. Dengan dukungan dari organisasi kerjasama internasional Spanyol, proses modernisasi produksi ditingkatkan, organisasi produksi dan pemasaran direstrukturisasi. Hasil produksi pertanian 23 CARNEL adalah anggota Asociación Campesina Nacional (ACAN) 24 Enam komunitas di wilayah Otoro adalah Guayamán, Tatumbla, Ismael Cruz, Cruzita del Oriente, Juan Benito Montoga dan Santa Fe Agrícola.
75
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia ditingkatkan melalui perataan tanah, perbaikan sistem irigasi dan penggunaan pupuk dan bahan kimia lain. EACTSO didirikan pada tahun 1989 sebagai lembaga bisnis tingkat kedua yang beranggotakan enam kelompok bisnis akar rumput yang telah diorganisir sebelumnya yang kemudian bertindak sebagai pendiri organisasi. EACTSO bertugas menyediakan layanan pokok pertanian seperti dukungan teknis, input, kredit dan mengatur sistem pemasaran beras. Dengan bantuan dana dari Spanyol, sebuah mesin pengering dan mesin pengupas/penggiling untuk memproses padi menjadi beras diberikan kepada EACTSO. Dengan merek “El Gran Chef ” produsen beras anggota EACTSO menguasai hampir seluruh rantai pemasaran dari hulu ke hilir dan tidak lagi memerlukan jasa perantara. Reformasi kebijakan ekonomi pada paruh pertama dekade 1990an berdampak besar terhadap EACTSO dan asosiasi-asosiasinya. 76
Ketika kerjasama dengan Spanyol mulai memberikan asistensi, situasi kami berubah dan kondisi kami baik selama empat tahun tersebut. Kami menangani produksi dan tanaman… Namun saat kebijakan ini berlaku, pihak Spanyol sudah berhenti memberikan asistensi dan kami tidak menerima dukungan lagi (…). Kebijakan pemerintah cenderung merugikan petani karena mereka tidak berkonsultasi dengan para produsen. Dan ketika kami menyadari hal tersebut, semua telah terlambat dan kami tidak mampu mengambil tindakan apapun (wawancara B.II.1.a) Produsen beras anggota EACTSO tidak mampu pulih dari dampak kebijakan reformasi ekonomi selama periode tersebut, bahkan sampai sekarang. Semua anggota EACTSO yang diwawancarai menekankan tahun-tahun terbaik bagi mereka adalah akhir 1980an sampai awal 1990an. Pada tahun 1991 arrozazo menimbulkan krisis berkepanjangan dan terutama sejak tahun 1995 berdampak serius bagi anggota EACTSO. Pada awal abad 21, krisis terburuk terjadi yaitu produksi berhenti sama sekali. Mesin pengering berhenti berproduksi sejak lebih dari empat tahun lalu, karena kami tersingkir dari pasar: kami tidak mampu lagi bersaing. Pada tahun 1995, kami terkena dampak dari kebijakan pemerintah karena (…) sejumlah beras dari luar negeri memasuki pasar. Kami ingin menjual beras kami tapi tak ada seorangpun yang berminat membelinya. Menurut mereka beras kami berkualitas rendah dan tidak mampu bersaing di pasar. Beras kami sangat mahal, kualitas beras [dari luar negeri] lebih baik dan harganya bersaing. Lalu di gudang kami menumpuk 18.000 kuintal25 beras. Kami hampir kehilangan hampir 100% keuntungan karena hama. Beras-beras itu ditumpuk di gudang, kami tidak memiliki tempat yang lebih baik untuk menyimpannya. Terlebih lagi kami memiliki utang dan kami berusaha menjual beras tersebut (…) untuk membayar utang, namun kami kalah bersaing. Kami terpaksa menjualnya dengan harga 50% lebih rendah. Harganya terlalu rendah dan sebagian besar habis untuk membayar utang. Sebagian orang-orang yang membeli pun hingga saat ini belum membayarberas-beras itu (wawancara B.II.1.a). Krisis di pasar beras menyebabkan anggota berutang kepada EACTSO karena mereka tidak mampu mengembalikan pinjaman dari asosiasi bisnis masing-masing yang diberikan dalam bentuk input produksi. Lebih buruk lagi EACTSO terjerat dalam utang jangka panjang karena tidak mampu mengembalikan pinjaman dari bank. Menurut Badan Direktur EACTSO, sekitar 1.300.000-2.000.000 Lempira hilang pada tahun 1995 dan mengakibatkan utang sebesar 1.000.000 Lempira. Terlepas dari masalah diatas, petani anggota EACTSO tetap bertanam dan menjual padi sampai tahun 1997 ketika fenomena El Nino menimbulkan kekeringan yang berdampak buruk terhadap produksi padi 25 Lihat lampiran 4 “kuintal”.
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
di lembah Otoro (Medina Agurcia 2006:6). Pada tahun yang sama, pemasaran langsung dibawah bendera “El Gran Chef ” berhenti. Tahun berikutnya, 1998, angin topan Hurricane bukan hanya menghancurkan produksi padi tapi merusak pula sistem irigasi. Semua bencana tersebut yang berlangsung terus menerus selama dua tahun dan menghentikan petani anggota EACTSO menanam padi. Setelah arrozazo, musim panas tahun 1997 adalah masa yang sangat mengerikan dan menakutkan bagi kami. Musim panas 1997 adalah musim yang sangat buruk, kami mengalami kegagalan panen. Saya memiliki kurang lebih 9 manzanas26 sawah tapi tidak menghasilkan apapun. Dan pada tahun 1998 angin topan Hurricane menyerang wilayah kami dan banjir akibat Hurricane merusak tanaman padi sebelum kami sempat memanennya. Dan kami tidak lagi memiliki peluang kredit untuk melanjutkan bertanam padi. Asosiasi bisnis juga tidak mampu lagi membantu kami. Penyebabnya adalah: pertama, mereka tidak lagi memiliki akses terhadap kredit; kedua, mereka tidak memiliki sistem irigasi atau dukungan teknis. Tidak ada seorangpun yang bersedia menanggung resiko untuk terus bertanam padi tanpa kredit dan irigasi karena bisa kehilangan segala-galanya, meskipun mereka masih memiliki asosiasi (EACTSO) di sini. Lalu sampailah pada tahun 2002 dan sejak saat itu hingga kini berbagai infrastruktur belum berfungsi, semuanya masih berhenti beroperasi (wawancara B.II.1.c) Menurut Badan Direktur EACTSO, pengaktifan kembali produksi beras setelah angin topan Mitch tidak hanya terhalang oleh ketiadaan kredit dan dukungan teknis, namun disebabkan pula bantuan pangan yang diterima Honduras dengan masuknya beras giling dari luar negeri yang membuat pasar dalam negeri jenuh. Angin topan Mitch menyebabkan arrozazo yang lain, datangnya beras giling bantuan. Di sini kami memiliki semua yang dibutuhkan dalam produksi beras: kami memiliki mesinmesin pertanian dan seharusnya kami dapat menjual beras ke pasar. Namun beras giling datang dari luar negeri membuat seluruh kota dipenuhi oleh beras tersebut. Para pejabat kota mulai membagikan beras ini kepada setiap orang. Pasar menjadi jenuh dan produsen beras tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dengan beras mereka. Masuknya beras bantuan luar negeri mempengaruhi produksi kami (wawancara B.II.1.a). Kesaksian ini menegaskan bahwa upaya yang dilakukan untuk memulihkan produksi padi dalam negeri pasca bencana angin topan Mitch gagal. Saat itu tidak mungkin untuk kembali berjualan langsung dengan menggunakan merek sendiri. Akhirnya penggilingan padi EACTSO berhenti beroperasi. Mesin pengering masih beroperasi selama bulan-bulan pertama tahun 2000, lalu berhenti total hingga tahun 2002 ketika hampir semua aktifitas asosiasi anggota EACTSO berhenti yaitu saat implementasi perjanjian beras. Ini adalah pukulan terakhir bagi EACTSO. Perjanjian beras melibatkan asosiasi produsen beras, penggilingan padi dan pemerintah. Lalu semua pedagang perantara menghilang dan EACTSO semakin terjerembab jatuh. Petani tidak lagi menjual padi kepada EACTSO namun langsung ke penggilingan padi karena EACTSO tidak bisa disamakan dengan penggilingan padi. Harga ditentukan oleh pemerintah pusat; jika EACTSO tetap membeli gabah basah dari petani, EACTSO harus membeli sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah dan menjualnya kembali dengan harga yang sama (wawancara B.II.1.d). Pasca bencana angin topan Mitch sebagian petani masih menanam padi - meskipun dalam situasi sulit - dan menjualnya kepada perusahaan penggilingan padi sebagai gabah kering. Namun pilihan ini 26 1 manzana = 0.7 hektar
77
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
78
tidak bertahan lama karena adanya konsolidasi perjanjian beras. Di satu sisi dibawah payung perjanjian beras, kartel penggilingan beras tidak menganggap EACTSO sebagai mitra bisnis mereka; dan di sisi lain perjanjian beras telah menghilangkan pedagang perantara. EACTSO pun tersingkir pasar dan tidak lagi memiliki peran. Sebagian anggota EACTSO secara individual melanjutkan usaha di bawah ketentuan perjanjian beras dengan cara menjual langsung padi mereka kepada perusahaan penggilingan padi.
Mesin pengering dan gudang yang tidak beroperasi lagi di Jesús de Otoro. Paul Jeffrey/EAA
Badan Direktur EACTSO menyatakan bahwa sekarang kartel penggilingan padi menerima anggota baru namun penerimaan tersebut terhambat beberapa masalah pokok. Dalam tiga tahun pertama setelah perjanjian beras berlaku efektif, perusahaan penggilingan baru hanya berhak mendapat 5% padi impor. Akibatnya perusahaan penggilingan baru tidak tertarik untuk berbisnis di bawah payung perjanjian beras karena bisnis tersebut tidak lagi menguntungkan mereka. Bagi perusahaan penggilingan padi keuntungan terletak pada hak untuk mendapatkan padi impor dengan tarif impor 1% sebagai ganti pembelian beras lokal. ”Mereka mencekik kami sampai mati” demikian digambarkan oleh Presiden EACTSO Eduardo Benítez. Sebagaimana terlihat dalam kasus bisnis akar rumput di Guayamán, perkembangan yang terjadi membawa masyarakat kembali ke model ekonomi seperti pada awal tahun 1980an ketika mereka mulai menetap di lahan tersebut. Komunitas Guayamán Pada awal 1990an semua petani di Guayamán menanam padi secara kolektif di area persawahan seluas hampir 100 manzanas dengan kapasitas produksi sebesar 100 kuintal per manzana per tahun. Puncak produksi mencapai sekitar 9.000 kuintal per tahun. Sebagian hasil panen digunakan petani untuk konsumsi sendiri dan sebagian disimpan sebagai bibit untuk digunakan kembali pada masa tanam berikutnya. Sebagian lain dijual kepada EACTSO, dan hasil penjualan digunakan untuk membayar pinjaman yang digunakan untuk membiayai input produksi, sewa mesin dan lain-lain pengeluaran. Keuntungan dari penjualan ke EACTSO didistribusikan di antara anggota berdasarkan jumlah hari kerja bertanam padi. Setiap anggota EACTSO mendapatkan penghasilan antara 1.500-3.000 Lempira per tahun tergantung kapasitas kerja mereka. Berdasarkan perhitungan Comisión Económica para América Latina y el Caribe (CEPAL) penghasilan terendah masih dibawah garis kemiskinan wilayah pedesaan Honduras tahun 1990 yaitu 1.692 Lempira per tahun. Sedangkan penghasilan tertinggi jauh diatas garis tersebut. Namun penting untuk digarisbawahi bahwa penghasilan terendahpun masih berada jauh di atas garis kemiskinan ekstrim tahun 1990 yaitu 972 Lempira. Tetapi situasi ini berubah drastis beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1994, pendapatan 3.000 Lempira per tahun hanya sedikit berada di atas garis kemiskinan ekstrim yaitu 2.172 Lempira (Morazán, Gallardo dan Negre 2005:56; lihat Tabel 4). Data ini harus dilihat dalam konteks situasi sulit yang dialami petani padi setelah mereka mendapatkan akses terhadap tanah pada awal 1980an. Tahun-tahun pertama dilalui dengan kegiatan ekonomi subsisten untuk mencapai ketahanan pangan bagi petani dan keluarganya. Setelah masa sulit berlalu, untuk pertama kalinya budi daya padi mencapai kondisi yang relatif stabil, meskipun memberikan pendapatan yang relatif terbatas. Kondisi ini berubah setelah pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi baru sejak tahun 1990. Dari sudut pandang petani di Guayamán, kenaikan harga input
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Table 4: Poverty lines (in Lempiras)
Year (August) 1990 1994 1997 1999 2002
Urban Poverty Extreme Moderate 115 257 481 561 689
229 513 963 1122 1378
Rural Poverty Extreme Moderate 81 181 339 395 485
141 316 593 691 849
Source: Data provided by CEPAL, elaborated by Morazán et al. 2005.
produksi adalah alasan utama mereka meninggalkan pertanian padi sebagaimana diungkapkan oleh María Marco Ramírez, anggota asosiasi bisnis Guayamán. Sebagian besar petani bertanam padi secara kolektif. Kemudian mereka berhenti menanam padi karena harga input produksi yang sangat mahal (...). Jika anda tidak mendapatkan pupuk, padi tidak akan tumbuh dengan baik dan anda akan kehilangan peluang panen. Masalah lain adalah irigasi, jika anda tidak dapat mengairi sawah karena tidak punya uang, anda juga akan kehilangan peluang panen. Sekarang pupuk sangat mahal dan semakin mahal. Demikian pula pestisida. Petani meninggalkan lahan mereka dan bermigrasi dengan tujuan mendapatkan lebih banyak uang di tempat lain. Tidak mungkin lagi bagi mereka tinggal di sini lebih lama. Sulit untuk bertahan karena harga input yang tinggi (...). Perdagangan bebas juga berdampak buruk bagi kami karena banyak beras datang dari luar negeri dan membuat kami berhenti bertanam padi (wawancara C.II.1). Saat ini hanya ada 4-5 petani di Guayamán yang tetap bertani secara individual dan menanam padi di area seluas 20 manzana. Mereka menjual padi langsung kepada perusahaan penggilingan padi sesuai dengan ketentuan perjanjian beras. Menurut petani anggota asosiasi, mereka akan tetap menanam padi jika mendapat modal atau dapat mengakses modal dari bank. Sebagian besar penduduk Guayamán kembali pada sistem produksi biji-bijian tradisional untuk bertahan hidup sambil bekerja sambilan di Guayamán atau Tegucigalpa. María Marco Ramírez menjelaskan bahwa kebutuhan gizi dasar dipenuhi dari jagung, kacang-kacangan dan beternak ayam. Kami mampu bertahan hidup berkat jagung. Kami selalu mendapatkan jagung dan kacang-kacangan dari lahan kami. Bukan untuk dijual, hanya untuk dikonsumsi sendiri. Jika kami menjualnya artinya tidak ada makanan tersisa bagi kami (...). Saya tidak ingat kapan terakhir saya makan daging. Kami makan jagung, kacang-kacangan dan telur; kami memelihara beberapa ekor ayam agar terus mendapatkan telur (...). Sebagian ayam kami jual untuk mendapatkan uang untuk biaya sekolah anak-anak, membeli sepatu dan seragam mereka. Memang tidak mudah, namun kami mampu mengatasinya (wawancara C.II.1). Kadang kala sebagian petani bereksperimen dengan komoditas baru seperti menanam semangka. Namun sejauh ini mereka belum mampu menemukan komoditas pertanian yang dapat memberikan pendapatan sebesar padi. Pada tahun 2001, asosiasi bisnis lokal meluncurkan proyek bersama peternakan. Saat ini mereka memiliki 83 ekor ternak. Setiap anggota mendapat satu galon susu per hari, sisanya dijual. Sejak tahun lalu, setiap anggota proyek juga mendapatkan sapi jika ada sejumlah sapi yang dapat dibagikan. Beternak juga menjadi salah satu alternatif kegiatan ekonomi bagi beberapa petani yang memiliki satu atau dua ekor ternak. Saat ini banyak lahan persawahan berubah menjadi peternakan. Namun, komunitas memiliki lahan seluas 400 manzanas yang terlihat tidak
79
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia dimanfaatkan akibat kurangnya modal untuk membangun sektor produktif baru.
80
Salah satu ancaman terselubung yang dihadapi oleh penduduk desa Guayamán adalah sertifikat tanah milik bersama dijaminkan oleh EACTSO kepada BANDESA (Bank Pembangunan Nasional) dalam rangka mendapatkan kredit. Menurut Eduardo Benítes di lahan persawahandi Guayamán. Badan Direktur EACTSO total utang Paul Jeffrey/EAA kepada BANDESA mencapai 4.000.000 Lempira. Meskipun saat ini Bank tidak akan menyita tanah mereka sebagai ganti pengembalian kredit namun terdapat ketidakpastian di kalangan penduduk Guayamán. Terlebih lagi jika penduduk tidak mengembalikan pinjaman kepada BANDESA yang disebabkan oleh krisis 12 tahun lalu, maka tertutup peluang bagi mereka mendapatkan kredit baru.
5.3.2 Komunitas Guangolola dan Koperasi Regional CARNEL (El Negrito) Di masa lalu tanah yang sekarang dimiliki oleh komunitas Guangolola dikelola oleh petani tanpa lahan dan kemudian diberikan secara legal kepada mereka sebagai bagian dari program reforma agraria pada paruh kedua era 1970an. Selama periode ini, petani-petani yang pertama kali datang ke Guangolola mulai bertanam padi meski dalam kondisi sulit akibat sulitnya pengolahan tanah untuk bertanam padi. Jumlah petani dan perluasan lahan persawahan secara bertahap meningkat pada paruh pertama tahun 1980an. Selama masa tersebut, budi daya padi di Guangolola dicirikan oleh penggunaan metode ”tradisional”: persiapan lahan dilakukan secara manual dan tanpa sistem irigasi, pupuk ataupun input produksi yang lain. Metode tradisional ini secara luas dihentikan sejak tahun 1980an karena proses modernisasi yang didukung oleh Proyek Pembangunan Pedesaan Yoro (Integrated Rural Development Project of Yoro - DRI-YORO)27 dan lembaga bantuan internasional. Karena lahan yang terletak di dataran rendah dianggap berprospek baik, proses [modernisasi] pertanian padi dimulai di Goangolola pada tahun 1980. Beberapa institusi membantu untuk meratakan tanah, yang di sisi lain berarti menghilangkan lapisan tanah yang subur. Sebelumnya mereka mampu menghasilkan panen sekali setahun, namun dengan teknologi baru, perataan tanah dan sistem irigasi yang memanfaatkan gravitasi bumi, mereka mampu panen dua kali setahun. Namun saat tanah diratakan, unsur-unsur yang membuat tanah subur semakin masuk ke bawah dan sisi pinggir, akibatnya perlu ditambahkan pupuk (...), dan herbisida, insektisida dan fungisida (wawancara B.I.2.d). DRI-YORO membantu petani meratakan tanah, membangun sistem irigasi dan akses jalan menuju lahan persawahan. Kerjasama teknis dengan Taiwan memperkenalkan cara baru dalam menanam padi. Namun teknik bersebut mensyaratkan modal untuk membeli input dan pemeliharaan infrastruktur produksi. 27 Proyek Pembangunan Pedesaan Yoro (The Integrated Rural Development Project of Yoro) berjalan selama lebih dari 13 tahun (1984-1995) dengan bantuan dana dari pemerintah Swiss dan Honduras. Program ini dipandang sebagai proses tak terpisahkan dalam perubahan struktur ekonomi, budaya, sosial dan politik. Strategi program adalah mempromosikan pembangunan berkelanjutan di tiga bidang: pertanian berkelanjutan, pembangunan sosial dan kewirausahaan (Gottret dan Westermann 2001:7).
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Persyaratan tersebut dapat dipenuhi berkat bantuan koperasi masyarakat akar rumput Guangolola (Guangolola grassroot cooperative) melalui pembentukan CARNEL pada akhir tahun 1980an. CARNEL sendiri resmi berdiri pada tahun 1991 dan membantu memberikan bantuan pertanian bagi anggotanya dalam bentuk bantuan finansial untuk membeli input produksi. CARNEL adalah sebuah koperasi [tingkat kedua] yang beroperasi hampir sepenuhnya menggunakan dana sendiri dan tanpa dukungan dana dari pemerintah atau perbankan (...). Sebagian besar dana koperasi digunakan untuk memberikan layanan jasa. Jika salah satu koperasi akar rumput membutuhkan peralatan maka CARNEL yang menyediakannya. Demikian pula halnya jika membutuhkan insektisida: semua kebutuhan input produksi dapat disediakan oleh CARNEL (wawancara B.I.1). Petani Guangolola mengingat arrozazo sebagai akhir pertumbuhan produksi padi dan merupakan awal kesulitan dekade 1990an. Ketika itu padi mereka dipasarkan melalui pedagang perantara atau dijual langsung ke perusahaan penggilingan padi. Sebelum tahun 1990an menjual padi langsung ke penggilingan atau melalui pedagang perantara (coyote) masih menguntungkan. Mereka menerima padi lokal dan saat itu tidak ada padi impor. Situasi memburuk setelah arrozazo (wawancara B.I.2.d). Sebagian petani membiayai produksi padi mereka menggunakan kredit yang diberikan perusahaan penggilingan padi dan mengembalikannya saat panen. Arrozazo membuat pihak penggilingan menolak menerima produksi, akibatnya petani terjerat utang. Pada tahun 1990an menjual padi lokal ke penggilingan menjadi lebih sulit karena mereka menolak membeli padi lokal. Saat kami membawa banyak padi ke sebuah penggilingan, pemilik penggilingan akan mengatakan “kamu bukan membawa padi tapi sampah”. Ia tega menolak membeli padi saya sambil memperlihatkan padi Amerika dan mengatakan “ini baru padi”. Padahal kami yakin padi kami berkualitas baik (wawancara B.I.2.b) Dihadapkan pada situasi sulit seperti ini, petani Guangolola menerapkan dua strategi. Pertama mereka mengeringkan dan menggiling sendiri padi mereka dengan cara sederhana. Mereka menjemur padi dan membeli mesin penggiling kecil untuk mengupas padi-padi tersebut. CARNEL juga menyediakan sebuah mesin penggiling. Dengan cara ini petani mampu memperbesar peluang penjualan padi dengan mendekatkan diri kepada pembeli. Namun mereka harus sangat fleksibel dan harus memiliki mobilitas tinggi dalam mencari peluang pasar. Dalam situasi ini, memiliki kendaraan atau akses terhadap sarana transportasi adalah faktor kunci agar mereka tetap bertahan di pasaran padi. Tidak setiap petani mampu menjual padi. Bahkan jika mereka memiliki kereta untuk mengangkut padi dan membawanya ke El Progreso, mereka harus siap menerima kenyataan pemilik gudang atau teman yang mengatakan ”tinggalkan saja padimu di sini” (wawancara B.1.2.b). Petani yang menjual padi mereka ke sesama penduduk desa atau di wilayah desa mereka sendiri mendapatkan harga yang sangat rendah, tidak sampai setengah harga yang mungkin mereka dapatkan jika menjual padi di wilayah lain. Ini sebabnya mengapa situasi ekonomi di kalangan petani Guangoloa sangat berbeda dibandingkan pada tahun 1990an. Karena situasi sulit tersebut sebagian petani berhenti berproduksi sementara. Mereka bertahan hidup dengan cara menyewakan lahan, menjual hak guna tanah atau berutang. Sebagian besar dari mereka mampu bertahan dengan mempertahankan kapasitas produksi.
81
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Selama krisis tidak ada alternatif lain yang tersisa. Petani terus menanam padi dengan harapan mereka mampu menjualnya saat beras impor tidak lagi mampu memenuhi permintaan pasar. Mereka menjual padi dengan harga sangat rendah. Kualitas padi dan kesuburan tanah yang baik membantu petani bertahan. Namun tidak mudah bagi mereka menanam komoditas lain karena sistem irigasi memang dirancang untuk memastikan lahan tergenang air. Jika mereka ingin berganti tanaman, mereka harus menghancurkan sistem irigasi yang ada. (wawancara B.I.1).
82
Situasi ini berubah pada tahun 1998 ketika angin topan Mitch menghancurkan infrastruktur produksi termasuk sistem irigasi yang mengairi sawah di seluruh desa. Tiga tahun kemudian, angin topan Michelle berdampak sama seperti halnya angin topan Mitch. Dengan demikian dalam tiga tahun produsen beras terpaksa dua kali membangun kembali fasilitas produksi yang rusak. Beras bantuan pangan yang diberikan dalam dua kali bencana ini menambah beban pemasaran dan sistem produksi yang baru saja pulih. Angin topan Mitch mengakibatkan krisis yang serius (…). Kami tidak bisa menggarap tanah. Budi daya padi di Guangolola terhenti dan lahan persawahan berubah menjadi semaksemak. Penduduk kembali melirik sektor pertanian hanya jika kondisi membaik. Sebagian petani tidak mampu lagi berproduksi dan mulai menyewakan lahan mereka. Sebagian lain yang tidak terlalu parah terkena dampak angin topan Mitch kembali bertani (…). Namun kerusakan akibat badai tropis Michelle sama beratnya dengan angin topan Mitch. Banyak orang harus mulai dari nol. Setelah dua tahun memperbaiki kondisi lahan, mereka siap berproduksi kembali dan memasarkan hasilnya (…) (wawancara B.I.2.i/B.I1). Dampak bencana alam diperburuk dengan keputusan politik. Setelah diterpa angin topan Mitch, banyak beras disumbangkan ke Honduras melalui program bantuan internasional (…). Petani tetap menanam padi, namun tidak ada seorangpun yang akan membeli beras jika beras dibagikan gratis. Biasanya seorang petani akan meninggalkan sawahnya sambil memikul 1 kuintal beras dan menjualnya dengan harga hanya 20 Lempira. Bantuan pangan berdatangan dari luar negeri terutama dalam bentuk beras dan dalam jumlah besar. Gudang-gudang penuh beras. Krisis ini berlangsung selama 2-3 tahun. Selama krisis tersebut banyak penduduk Guangolola menanam jagung dan mencari pekerjaan ke kota besar. Mereka juga menerima bantuan darurat dan rekonstruksi setelah ditimpa angin topan Mitch. Namun faktor kunci untuk memulihkan sektor beras setelah tahun 2001 adalah perjanjian beras yang ditandatangani oleh produsen beras, pemerintah dan perusahaan penggilingan padi. Selama krisis situasi sangat buruk bagi desa Guangolola sehingga sebagian penduduk menjual lahan mereka dengan harga murah dan bermigrasi ke tempat lain. Mau tidak mau kami harus menghadapi situasi buruk tersebut, sebagian anak-anak kami terpaksa bekerja di San Pedro untuk dapat tetap bertahan hidup. Situasi sulit ini berlangsung sekitar enam tahun. Terlepas dari situasi tersebut kami mengucapkan terima kasih kepada APRAH dan CARNEL, melalui mereka kami menandatangani perjanjian beras langsung dengan pemerintah (wawancara C.I.1) Setelah penandatanganan perjanjian beras, produsen beras Guangolola mendapatkan kestabilan tingkat ekonomi yang tidak pernah mereka alami sejak awal tahun 1990an. Pada tahun 2007 harga jual beras yang dijamin oleh pemerintah adalah 240 Lempira per kuintal beras. Jika satu manzana menghasilkan rata-rata 100 kuintal beras dan biaya produksi berkisar antara 10.000-12.000 Lempira, petani menerima kembali 12.000-14.000 Lempira per manzana. Namun saat mereka mulai bertanam padi, semua petani memiliki luas lahan yang sama yaitu sekitar 3 manzana. Saat ini situasi telah
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
berubah. Tidak semua petani menanam padi di bentangan lahan yang sama. Sebagian petani harus menjual sebagian dari hak guna tanah yang mereka miliki, sedangkan yang lain tidak memiliki modal cukup untuk menanami seluruh lahan yang ada dan terpaksa menyewakannya kepada petani lain. Ada pula petani yang belum melunasi utang akibat krisis berkepanjangan dan tidak semua orang meminta asistensi ke CARNEL, sehingga mereka bergantung pada BANDESA. Semua ini melahirkan kesenjangan ekonomi yang tajam antara penduduk Goangolola. Banyak petani menghadapi saat-saat sulit dan tidak semua berhasil mengatasinya. Sebagian petani sedang berjuang mempertahankan hidup (…) mereka tetap berada dalam situasi krisis. Bagaimana petani dan keluarganya bertahan hidup dengan utang 50.000-100.000 Lempira? Tidak mungkin mereka dapat bertahan. Mungkin saja ada petani yang memiliki lahan persawahan dan sukses panen, namun semua itu tidak berguna jika tidak ada yang membeli hasil panen mereka. Jadi tidak ada baju baru untuk istri, tidak ada seragam sekolah untuk anak-anak. Semua orang di sini berbusana buruk (wawancara B.I.2.b). Terlepas dari perbedaan kondisi ekonomi antara penduduk Guangolola, mereka sadar dalam tingkat tertentu perjanjian beras menghasilkan keuntungan ekonomi yaitu jaminan penghasilan. Hal ini sangat penting bagi keberlanjutan produksi padi, apalagi jika dibandingkan sektor produktif lain seperti jagung yang juga menghadapi krisis. Bagaimanapun juga petani kuatir bahwa di masa depan hal positif ini tidak akan berlanjut dan perusahaan penggilingan besar akan memperkuat posisi mereka dalam oligopoli padi dan memanipulasi perjanjian beras dengan cara menurunkan pembelian padi dari petani, sementara pada saat yang sama mengendalikan pasar dan mengambil keuntungan dari masuknya padi impor. Tahun lalu terjadi perselisihan antara perusahaan penggilingan padi: semakin banyak sebuah penggilingan membeli, semakin banyak beras mereka impor. Inilah sebabnya mengapa harga yang mereka bayar terus naik. Awalnya mereka membeli padi dengan harga yang ditentukan pemerintah yaitu 240 Lempira. Namun tidak satupun perusahaan penggilingan besar membeli padi dengan standar harga tersebut, mereka membeli dengan harga lebih tinggi. Akibatnya perusahaan penggilingan kecil tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar dan bangkrut. Kami, produsen beras, hidup dalam ketidakpastian. Ada 4-5 perusahaan besar yang tersisa dan mereka tidak akan bersedia berbagi keuntungan dengan produsen, sebaliknya mereka memilih untuk membayar tarif impor dan menjadi ekslusif (wawancara B.I.2.d).
Juan Bautista Yanez menebah padi di Guangolola. Paul Jeffrey/EAA
Pilihan strategis mereka adalah untuk mengambil keuntungan maksimal dari segala situasi perberasan dalam rangka mendapatkan akses ke industri pengolahan beras, seperti yang telah dilakukan CARNEL. Namun layaknya EACTSO, gerak langkah mereka dibatasi oleh perjanjian beras. CARNEL tidak pernah berhasil menembus bisnis pemasaran beras karena perjanjian beras mengutamakan penjualan langsung. Tapi sekarang CARNEL memikirkan dan mendorong
83
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia industrialisasi beras. (...) ini merupakan saat untuk mengambil keuntungan dari setiap tingkat pemasaran beras, menangkap setiap peluang, termasuk peluang finansial (...). Dari sini CARNEL mampu meraih keuntungan dan beras dapat didatangkan dari tempat lain. Sebuah koperasi pengolahan beras dapat didirikan di wilayah kerja CARNEL dan berpeluang menguntungkan kelompok lain di wilayah yang sama (wawancara B.I.1/BI.2.i).
5.3.3 Konsekuensi Krisis Beras di Guayamán and Guangolola
84
Kasus Guayamán dan Guangolola adalah dua contoh yang mewakili perkembangan industri beras pada tahun 1980an dan 1990an. Ada dua pendekatan yang dikembangkan selama masa produktif pertumbuhan sektor beras pada tahun 1980an yaitu: pendekatan ”modern” yang mensyaratkan lebih banyak perataan tanah, irigasi dan penggunaan intensif input produksi, dan pendekatan”tradisional” yaitu budi Keluarga Hernandez Romero makan siang saat panen di daya padi di lereng pegunungan Guangolola. Paul Jeffrey/EAA dengan produktifitas relatif rendah namun tidak memerlukan banyak modal seperti halnya pendekatan modern. Perbedaan antara kedua pendekatan budi daya padi tidak ditentukan oleh skala usaha petani, besar atau menengah, namun lebih pada orientasi petani dalam bertanam padi, orientasi bisnis dan subsisten. Produsen beras yang tergabung dalam EACTSO dan CARNEL menjelaskan dengan baik proses modernisasi pertanian dan proses dimulainya modernisasi pada proses produksi dan pemasaran, yang dilakukan oleh negara dan didukung oleh organisasi kerjasama internasional. Disinilah letak perbedaan antara budi daya padi modern dan tradisional. Meskipun akhirnya sistem tradisional menghilang pada tahun 1990an, dalam sistem tersebut budi daya padi tidak berorientasi bisnis dan petani lebih fleksible untuk berpindah ke budi daya tanaman biji-bijian lain seperti jagung. Sebagai bagian dari EACTSO, penduduk Guayamán mengalami proses transformasi yang berpengaruh terhadap kelembagaan produksi dan komersial pertanian. Sebagai sebuah organisasi “kolektif ” EACTSO membayar anggotanya yang bekerja menanam, mengolah dan memasarkan padi/beras hingga ke tingkat konsumen. Seluruh tahap tersebut adalah faktor kunci bagi pengembangan ekonomi lokal di Guayamán. Sebaliknya, di Guangolola tidak ada produksi padi dan pemasaran beras “kolektif ”. Situasi ini memungkinkan penduduk Guangolola mengambil langkah fleksibel selama krisis yang berlangsung sejak tahun 1991. Sejauh mereka mampu, setiap petani berusaha mendiversifikasi penjualan hasil panen mereka yaitu menjual padi, gabah kering atau beras giling. Selanjutnya mereka mampu menemukan cara untuk memasarkan beras mereka di wilayah lain. Terlepas dari perbedaan strategi bertahan yang dikembangkan petani Guangolola dan Guayamán, di tingkat rumah tangga keduanya mengalami hal yang sama: meningkatnya utang pribadi dan utang terhadap asosiasi atau koperasi dimana mereka menjadi anggota, juga penurunan pendapatan keluarga yang berdampak langsung terhadap pola konsumsi. Di awal milenium baru, setelah 15 tahun berada dalam situasi krisis, produksi beras lokal hampir hilang dari sektor produktif Honduras. Dampak ganda dan jangka panjang bagi organisasi produsen beras tingkat kedua dan juga bagi penduduk kedua desa tersebut adalah:
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
• Ketahanan ekonomi termasuk pendapatan penduduk Guayamán dan Guangolola turun signifikan dan berdampak buruk terhadap ketahanan pangan mereka. Khusus dalam kasus Guayamán terbukti bahwa dalam beberapa fase krisis, keluarga petani padi terpaksa mengurangi kuantitas dan kualitas makan mereka. Petani Guayamán kembali mengerjakan pertanian subsisten secara permanen sedangkan petani Guangolola mengerjakannya sementara waktu. Keduanya terpaksa mencari penghasilan tambahan baik dalam lingkup sektor pertanian atau sektor lain. Berkat budi daya padi, di masa lalu petani Guayamán dan Guangolola berhasil mengatasi masalah ekonomi mereka dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan seperti pendidikan anak-anak. Saat itu jika penghasilan dari padi tidak mencukupi dapat ditutup dengan usaha subsisten di bidang peternakan seperti menjual telur dan ayam. • Pembangunan ekonomi terhalang oleh utang asosiasi, koperasi dan bisnis akar rumput, selain oleh utang individual. Kasus EACTSO menunjukkan bahwa krisis beras menghentikan semua aktitifas dan potensi pengembangan ke depan. Menggadaikan lahan pertanian sebagai jaminan pinjaman bank adalah ancaman laten bagi penduduk Guayamán. Meskipun tidak ada resiko yang segera terjadi, ketiadaan jaminan lahan berpengaruh negatif terhadap pengembangan potensi desa. • Terutama dalam kasus Guayamán dan EACTSO, keuntungan yang didapatkan dari perkembangan produksi padi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam skala besar, meskipun dengan dukungan lembaga internsional, hancur. EACTSO kehilangan fungsinya dalam rantai produksi dan pemasaran beras dan anggota EACTSO mulai beroperasi sebagai pemasok bahan mentah secara individual. • Krisis beras yang terjadi antara tahun 1991-1998 meningkatkan kerentanan produsen beras ketika terjadi bencana alam yang terbukti dalam kasus angin topan Mitch. Kesulitan petani untuk bangkit kembali pasca bencana banyak terkait dengan ketidakberdayaan mereka dalam hal permodalan, dukungan teknis dan akses pasar. • Dalam relasi sesama penduduk desa, krisis beras memicu individualisasi proses produksi dan pemasaran beras di Guayamán. Di kedua desa Guayamán dan Guangolola terjadi pula kecenderungan konsentrasi lahan atau hak guna lahan di tangan segelintir orang karena sebagian petani terpaksa menjual hak guna lahan mereka. Fakta ini berkontribusi terhadap terbukanya kesenjangan ekonomi antar petani.
5.4 Dampak Krisis Sektor Beras terhadap Hak atas Pangan: Aktor yang terlibat dan tanggungjawabnya
Dalam penelitian di Honduras tidak terbukti adanya “kelaparan” dalam arti penderitaan yang muncul karena ketiadaan pangan yang mengakibatkan penyakit atau kematian. Namun besaran masalah dan panjangnya masa krisis beras sebagaimana terungkap dalam kesaksian para narasumber mengindikasikan bahwa kuantitas dan kualitas pangan petani padi Honduras menurun dalam berbagai fase krisis beras. Dapat ditambahkan pula bahwa persaingan beras lokal dengan beras impor adalah faktor kunci penyebab krisis beras di Honduras terutama dalam tiga hal berikut ini: • saat arrozazo pada tahun 1991, yang disebabkan dibukanya keran impor oleh pemerintah di bawah kebijakan penyesuaian struktural • meningkatnya beras giling impor pada tahun 1996-1998 karena kebijakan baru pemerintah • surplus beras di pasaran karena masuknya beras bantuan pangan dan meningkatnya impor padi pada tahun 1999. Sejak tahun 2000 perjanjian beras menjadi strategi kunci dalam kebijakan negara di sektor perberasan. Secara praktis perjanjian tersebut membuka jalan bagi masuknya padi impor dalam jumlah besar.
85
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Jaminan dari perusahaan penggilingan padi untuk membeli seluruh produksi padi nasional tidak mengancam sebagian kecil petani lokal yang tersisa, namun tidak memberi peluang bagi petanipetani yang sebelunya meninggalkan budi daya padi untuk kembali bertani padi. Dinamika ini akan dianalisis dalam perspektif ketahanan pangan dengan menekankan pada peran aktor-aktor yang terlibat: pemerintah Honduras, pemerintah Amerika Serikat dan lembaga keuangan internasional ( World Bank dan IMF).
5.4.1 Pemerintah Honduras
86
Dalam ingatan petani padi Honduras, arrozazo adalah masa traumatik dalam hidup mereka. Arrozazo merupakan perlambangan dari kebijakan negara yang tidak berpihak pada sektor beras dalam negeri dan awal kegagalan negara untuk memenuhi kewajibannya menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan petani padi. Kewajiban pemerintah menghormati hak atas pangan a) Dalam kerangka modernisasi teknologi pertanian yang dilakukan pada tahun 1980an, banyak petani dilibatkan dalam sistem produksi bisnis beras. Hanya dengan dukungan dan perlindungan dari negaralah, maka petani dapat berproduksi dibawah sistem ini. Masalah muncul saat terjadi penghapusan dukungan negara terhadap sektor pertanian padi dibawah pendekatan ekonomi yang lain dan yang lebih buruk, diterapkannya kebijakan baru yang merupakan bagian dari SAP yang berdampak sangat buruk bagi petani. Salah satu kebijakan tersebut adalah devaluasi mata uang Lempira terhadap dolar Amerika yang mengakibatkan naiknya biaya produksi. Kenaikan tidak bisa teratasi karena harga padi di tingkat petani jatuh lebih dari 50% dan pasar kelebihan pasokan beras terutama pada tahun 1990-1996 sebagaimana terlihat dalam data statistik dan kesaksian penduduk Guayamán dan Guangolola. b) Berbagai indikasi memperlihatkan bahwa perjanjian beras melahirkan dampak yang bertolak belakang. Di satu sisi perjanjian tersebut menyelamatkan sektor beras di Honduras, namun di sisi lain menekan produksi padi di tingkat yang rendah. Penduduk Guangolola menyatakan bahwa mereka sangat menghargai dampak positif dari perjanjian beras terhadap stabilitas rumah tangga mereka. Namun EACTSO yang merupakan institusi bisnis berpendapat lain, karena perjanjian beras menyebabkan EACTSO kehilangan peranannya sebagai perantara dalam perdagangan beras. Hingga tahun 2005, perusahaan penggilingan padi harus berafiliasi dengan Asosiasi Perusahaan Penggilingan Padi Nasional (ANAMH) agar ikut diuntungkan oleh perjanjian beras. Namun EACTSO tidak pernah berhasil menjadi anggota ANAMH. Sejak perjanjian beras berlaku pada tahun 2006, peraturan perihal afiliasi perusahaan penggilingan baru berubah. Perjanjian ini juga menimbulkan hambatan besar dan mendiskriminasi calon anggota baru terutama melalui penerapan pasal 3 dan 8, sebagai berikut: • Padi impor akan diserahkan ke setiap perusahaan penggilingan padi berdasarkan persentase pembelian padi nasional dalam tiga (3) tahun terakhir. • Perhitungan awal berdasarkan pada pembelian dalam tiga (3) tahun pertanian terakhir (2003-2005), sebagaimana tertulis dalam daftar pembelian milik badan pengendali selama tahun tersebut. • Distribusi persentase padi impor akan disesuaikan tiap tahun berdasarkan pembelian selama tiga (3) tahun kalender, segera sebelum tahun berjalan. • Perjanjian beras dapat diikuti oleh semua petani dan perusahaan penggilingan padi yang bersedia memenuhi ketentuan perjanjian. Mereka berhak mendapatkan keuntungan pada tahun berikutnya saat membeli hasil panen berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam alinea 3 perjanjian beras ini (...).
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Amandemen ini secara ekonomis merugikan perusahaan penggilingan padi non tradisional, yang turut dalam perjanjian beras pada tahun 2003-2005. Perusahaan penggilingan padi yang baru bergabung dengan ANAMH harus menunggu hingga tiga tahun kedepan untuk dapat menikmati membeli padi impor dengan tarif 0%. Situasi ini melindungi praktik oligopoli perusahaan penggilingan padi dan mendiskriminasi asosiasi bisnis dan koperasi tingkat ke dua yang juga ingin memiliki akses terhadap rantai produksi dan pemasaran beras. Diskriminasi ini terbukti dalam kasus EACTSO yang memiliki seluruh instruktur yang diperlukan untuk mengolah padi dan pengalaman pemasaran karena sebelumnya telah berjualan beras dengan merek sendiri. Negara sebagai salah satu aktor perjanjian beras mengijinkan praktik oligopoli dan bertindak bertentangan dengan kewajibannya menghormati hak atas pangan, karena negara menghalangi anggota EACTSO memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebijakan yang menghambat bukan hanya budi daya padi namun juga penggilingan dan pemasarannya. Negara juga melakukan diskriminasi terhadap petani anggota EACTSO dengan tidak mengakui status organisasi dan hak-hak mereka sebagaimana yang didapatkan oleh perusahaan penggilingan padi. Kebijakan ini membuat petani semakin rentan kehilangan sumber penghasilan mereka dalam situasi pasar beras di bawah DR-CAFTA. Kewajiban pemerintah melindungi hak atas pangan c) Penelitian ini menemukan bahwa arrozazo, dalam hal ini masuknya beras impor dalam jumlah besar pada tahun 1991, adalah satu bentuk pelanggaran yang dilakukan negara, yang seharusnya melindungi hak atas kecukupan pangan petani yang kehidupannya tergantung dari sektor ekonomi yang tidak mampu bersaing dengan beras impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Dari tahun ke tahun, produksi padi nasional turun lebih dari 30% akibat arrozazo. Harga padi di tingkat petani turun sebesar 40% antara tahun 1990-1992. FAO (2007:4) memperkirakan bahwa arrozazo menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari sektor beras sebesar US$ 42.500.000 Kesaksian penduduk Guayamán and Guangolola menjelaskan dampak hilangnya pendapatan ini di tingkat lokal. d) Penelitian (FAO) yang sama tentang gelombang impor beras di Honduras menunjukkan bahwa kebijakan phytosanitary dan penyeragaman harga padi dan beras giling menyebabkan beras impor giling dalam jumlah besar memasuki Honduras sejak tahun 1996. Kebijakan ini berpengaruh buruk terhadap perusahaan agroindustri seperti penggilingan padi, juga petani anggota asosiasi bisnis atau Eddy Jose Vasquez memanen padi di Guangolola. Paul Jeffrey/EAA koperasi, dan lembaga yang memiliki infrastruktur untuk mengolah padi seperti EACTSO. Tahun 1997 saat Honduras mengimpor lebih banyak beras giling, EACTSO harus menghentikan aktifitas mengolah padi dan menjualnya dengan merek sendiri. Berbagai kesaksian menyatakan bahwa hal tersebut sebagian adalah akibat bencana alam yang menimpa wilayah Otoro. Namun masuknya beras giling impor dalam jumlah besar antara tahun 1996-1999 sangat berpengaruh terhadap berhentinya produksi padi kolektif di Guayamán dan pemasaran beras oleh EACTSO. e) Menurut berbagai kesaksian, pasca bencana angin topan Mitch, petani di Guangolola dan Guayamán menghadapi kendala lain, yaitu masuknya beras bantuan pangan dari luar negeri. Akibat dari penambahan pasokan beras ini maka tidak heran jika produksi nasional turun dari 12.500 ton pada tahun 1999 menjadi 7.200 ton pada tahun 2000. Ini berarti produksi padi dalam negeri dan luas lahan persawahan turun dalam jumlah besar tidak hanya selama tahun 1998-1999, namun termasuk
87
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia pula tahun 1999-2000. Penurunan ini bukan hanya disebabkan bencana angin topan Mitch. Data yang ada mengindikasikan bahwa masuknya beras impor dan beras bantuan pangan dari luar negeri pada tahun 1999, berperan besar terhadap memburuknya krisis sektor beras pasca bencana. Dapat dikatakan bahwa dalam konteks bencana angin topan Mitch, negara gagal memenuhi kewajibannya melindungi hak atas pangan kelompok masyarakat yang rentan kemiskinan dan kelaparan. Pasokan beras yang berlebih karena datangnya beras bantuan pangan, berkontribusi terhadap hancurnya sumber penghasilan petani yaitu budi daya padi dan mengakibatkan pelanggaran hak atas pangan mereka. Hal ini mungkin terjadi karena perencanaan pemerintah yang tidak memadai. Dengan kata lain, bentuk dan kuantitas bantuan pangan telah melanggar hak atas pangan sebuah populasi yang secara ekonomis tergantung pada budi daya padi. 88
f ) Harus pula disadari bahwa lahirnya perjanjian beras pada tahun 1999 berarti pemerintah Honduras menerima sebagian kewajibannya untuk melindungi hak atas pangan petani padi yang rentan kemiskinan dan kelaparan. Perlindungan ini dibatasi pada petani yang memutuskan mengikuti ketentuan perjanjian beras secara individual, namun tidak termasuk mereka yang masuk dalam struktur asosiasi bisnis petani. Di sisi lain penandatangan perjanjian perdagangan bebas antara Honduras dan Amerika Serikat membuat perlindungan yang setengah-setengah ini pun semakin terbatas. Pasar beras Honduras yang semakin diliberalisasi selama masa transisi DR-CAFTA membuat perjanjian beras tidak berarti lagi. Sebagai dampak terjalinnya hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat, terutama praktik dumping, petani menjadi tidak terlindungi sama sekali dan harus menanggung beban berat yang sebelumnya menjadi tanggungan negara. Maka dapat dikatakan bahwa dengan menandatangi DR-CAFTA, pemerintah Honduras meniadakan peluang bagi penyusunan kebijakan yang sebenarnya diperlukan untuk melindungi hak atas pangan petani padi Honduras. Masalah ini berlanjut dengan pelanggaran kewajiban negara untuk melindungi hak atas pangan petani dalam situasi dimana tindakan perlindungan diperlukan. Kewajiban pemerintah memenuhi hak atas pangan g ) Sebagaimana disebutkan di muka, perjanjian beras menstabilkan produksi beras dalam negeri meskipun pada tingkat rendah, menjamin penjualan bagi sebagian kecil petani yang berhasil mengatasi tahun-tahun krisis. Pada saat yang sama, perjanjian beras menjadi kendala dalam pengembangan sektor beras Honduras karena perjanjian tersebut tidak mempertimbangkan tindakan-tindakan yang bertujuan meningkatkan produksi dalam negeri melalui peningkatan produksi padi dan perluasan lahan tanam. Kerangka perjanjian beras adalah bukti ketiadaan kehendak baik pemerintah untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi beras karena perjanjian tersebut tidak mempertimbangkan tindakan-tindakan yang memotivasi petani kecil yang telah berhenti menanam padi untuk kembali menekuni pertanian padi. Pemerintah secara khusus tidak membantu mereka memecahkan masalah utang, membangun kembali fasilitas irigasi dan teknologi pertanian lain, tidak ada dukungan teknis dan lain-lain. Perjanjian beras tidak bertujuan mengaktifkan kembali sektor produktif ini bagi petani yang terpaksa berhenti menanam padi saat krisis. Dengan demikian pemerintah Honduras telah gagal menciptakan lingkungan yang mendukung pemenuhan hak atas kecukupan pangan petani padi.
5.4.2 Amerika Serikat h) Amerika Serikat bertanggung jawab langsung atas terjadinya krisis beras pasca bencana angin topan Mitch. Pertama, melalui subsidi produksi padi di Amerika Serikat yang mengakibatkan dumping dan penurunan signifikan harga padi impor asal Amerika di Honduras. Kedua, karena Amerika Serikat merupakan donor bantuan pangan terbesar dalam bentuk beras dan temuan Oxfam (2005:15) mengindikasikan bahwa distribusi semua bantuan pangan berpotensi merusak perdagangan dan selalu memenuhi permintaan pasar ketika didistribusikan.
5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras
Di tempat di mana rakyat terlalu miskin untuk membeli makanan, atau saat pasar tidak berfungsi, kecil sekali atau hampir tidak ada penyimpangan pasar karena konsumsi apapun hanya tambahan saja. Di sisi lain, bantuan pangan berpotensi menurunkan produksi pangan lokal di negara penerima bantuan, merusak penghidupan penduduk pedesaan dan mengganti ekspor dari negara lain masuk ke pasar negara penerima (Oxfam 2005:15). Kesaksian penduduk Guayamán dan Guangolola adalah bukti bahwa setelah angin topan Mitch berlalu, petani padi tidak mampu memasarkan beras mereka karena ada kelebihan pasokan beras di pasar yang bersumber dari bantuan pangan dan beras impor murah.
5.4.3 World Bank dan IMF i) World Bank dan IMF berperan penting dalam implementasi kebijakan penyesuaian struktural, termasuk juga yang diterapkan pada pertanian. Evaluasi World Bank tentang implementasi kebijakan tersebut dalam memerangi kemiskinan di Honduras menyatakan bahwa ”implementasi yang memuaskan dalam hal kebijakan makro ekonomi” dan program-program IMF sangat terkait dengan restrukturisasi utang bilateral Honduras ( World Bank 1994:viii). Evaluasi yang sama yang juga melibatkan Roger Norton, penulis buku “Agricultural Modernization Law” (Hukum Modernisasi Pertanian), yang menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian menunjukkan “kemajuan signifikan dalam kebijakan perdagangan, pemasaran dan harga”. Norton juga merekomendasikan langkah-langkah yang harus diterapkan, contohnya amandemen program pengendalian phytosanitary yang dianggap World Bank menghalangi impor ( World Bank 1994:48). Kesimpulannya, saran IMF dan World Bank adalah alasan utama dibalik penerapan SAP, yang meliputi pengurangan proteksi pasar dan dukungan bagi petani kecil Honduras. Karena IMF dan World Bank telah meningkatkan kerentanan pangan para produsen beras berskala kecil, makakedua organisasi multilateral ini dengan jelas melanggar tanggung jawab mereka untuk menghormati hak atas pangan di Honduras. Pada saat yang sama, pelanggaran tersebut adalah juga tanggung jawab negara-negara anggotanya karena mereka turut serta tidak memenuhi kewajiban menghormati hak atas kecukupan pangan. Baik IMF, World Bank dan negara-negara anggotanya menuntut pemerintah Honduras menerapkan SAP yang menyebabkan pelanggaran hak atas pangan (lihat bagian 5.4.1).
89
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat 90
6.1 Pendahuluan Indonesia adalah negara penghasil beras ketiga terbesar dunia dengan produksi tahunan 54.800.000 ton padi pada tahun 2006. Namun konsumsi beras masyarakat Indonesia 5% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi dalam negeri, malah laju permintaan lebih cepat dibandingkan laju produksi. Inilah yang menyebabkan Indonesia juga menjadi salah satu importir beras terbesar dunia. Karena alasan diatas dan berbagai alasan lain maka di Indonesia, beras adalah komoditas strategis and penting: • Pertama, beras adalah makanan pokok yang paling penting bagi hampir 215.000.000 penduduk Indonesia, memberikan 60% kontribusi asupan kalori per orang per hari (FAO 2006a). Beras adalah basis ketahanan pangan nasional. Secara politis semua kalangan di Indonesia sepakat bahwa ketahanan pangan nasional harus mengacu pada produksi dalam negeri dan Indonesia harus mampu berswasembada beras. • Kedua, padi adalah produk kunci bagi ekonomi pedesaan dan sumber penghidupan bagi petani kecil dan tanpa lahan. Padi dihasilkan oleh sekitar 13.600.000 petani, 65% diantaranya adalah petani kecil dan miskin dengan pemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar28. Berdasarkan penelitian PATANAS (2005), penghasilan petani padi berkisar antara Rp 3.065–8.466 per hari atau kurang dari US$ 1,29 per hari (lihat tabel 1). Akibatnya mayoritas petani padi termasuk dalam kategori sangat miskin dan terus menerus terancam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri dalam jumlah cukup dan dengan cara bermartabat. • Ketiga, produksi padi masih menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini memberikan kontribusi Rp 57.000.000.000.000 atau US$ 6.200.000.000 terhadap GDP dan menyerap sekitar 21.000.000 tenaga kerja. Kebijakan beras Indonesia mengakibatkan harga beras dalam negeri 40% lebih tinggi dari harga beras dunia. Menurut berbagai kalangan, harga tersebut terlalu tinggi dan kebijakan impor terlalu ketat. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa kepentingan konsumen diabaikan, terutama masyarakat miskin perkotaan yang tergantung pada beras murah. Dari sudut pandang tersebut, pembatasan impor dan tarif dianggap halangan bagi peningkatan daya saing dan 28 Data sensus pertanian (2003)
Seorang petani di Indonesia mengangkut sekarung beras miliknya untuk dijual di pasar. Paul Jeffrey/EAA
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
Table 1: Level and income distribution in Indonesia, 2005
Province and agro ecosystem basis
% lowest income 20% 40% 60% 80%
Gini Index
Income per capita Rp 000 Rp per year per day
Lampung Field (irrigated area) Unirrigated agricultural field
3.61 4.07
10.4 13.05
21.73 28.71
42.84 53.09
0.523 0.468
2305.7 1770.2
6316 4849
2.56 3.49
9.52 11.68
22.38 25.2
46.16 46.65
0.501 0.467
2145.6 1863.9
5878 5106
4.01 3.82
11.4 11.67
22.97 24.39
42.75 46.25
0.488 0.493
2449.3 2936.6
6710 8045
3.23 1.41
11.59 4.89
23.39 13.57
40.95 31.11
0.49 0.573
2492.6 2603.3
6829 7132
4.35 3.65
12.56 13.26
37.14 29.43
45.77 55.05
0.49 0.452
3090.2 1936.4
8466 5305
2.05 2.55
6.56 12.32
15.72 27.31
30.56 49.86
0.566 0.423
1448.5 1118.9
3968 3065
Jawa Barat (west Java) Field (irrigated area) Unirrigated agricultural field
Jawa Tengah Field (irrigated area) Unirrigated agricultural field
Jawa Timur Field (irrigated area) Unirrigated agricultural field
Sulsel Field (irrigated area) Unirrigated agricultural field
NTB Field (irrigated area) Unirrigated agricultural field
Source: Patanas (2005).
efisiensi yang mengakibatkan kemiskinan berkepanjangan. Atas dasar pemikiran ini, World Bank dan berbagai pihak lain menghimbau agar pasar Indonesia dibuka bagi beras impor murah. Apakah mereka benar? Siapa sebenarnya yang akan mendapatkan keuntungan dan yang menderita kerugian dengan adanya liberalisasi perdagangan? Pada tahun 1997-2001 atas desakan IMF, Indonesia memasuki fase liberalisasi radikal pasar beras. Pelajaran apa yang dapat ditarik dari liberalisasi tersebut? Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dan menilai dampak pasar bebas beras di Indonesia dari perspektif hak atas pangan. Untuk tujuan tersebut, penelitian ini menggabungkan analisis makro kebijakan sosial-ekonomi pemerintah dengan studi lapangan partisipatif di empat desa di Jawa Barat yang terkena dampak liberalisasi. Penelitan ini ditutup dengan kesimpulan analisis hak atas pangan berdasarkan temuan lapangan.
6.2 Konteks Politik dan Ekonomi Makro – Liberalisasi Pasar Beras di Negara Rawan Pangan 6.2.1 Indonesia Indonesia yang terletak di Asia Tenggara adalah negara kepulauan terbesar di dunia, membentang lebih dari 5.200 km sepanjang garis khatulistiwa, diantara benua Asia dan Australia. Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau dan berpenduduk 225.000.000 jiwa. Dengan demikian Indonesia adalah
91
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia negara keempat terbesar di dunia dan negara dengan penduduk Muslim terbesar. Ibu kota negara, Jakarta, terletak di pulau Jawa yang merupakan salah satu pulau terpadat di dunia yang menampung lebih dari setengah penduduk Indonesia.
92
Republik Indonesia didirikan oleh Sukarno pada tahun 1945. Setelah 50 tahun berganti rejim pemerintahan, dengan rejim terlama di bawah kepemimpinan Suharto (1965-1998), pemilu demokratis pertama kali diadakan pada tahun 1999. Hingga saat ini, Indonesia secara umum masihlah negara agraris. Krisis ekonomi Asia yang terjadi pada akhir tahun 1997 yang diikuti runtuhnya bursa efek Asia pada tahun 1998, menyebabkan krisis ekonomi yang parah di Indonesia. Dalam situasi krisis, pemerintah Indonesia terpaksa mengikuti saran World Bank untuk membuka pintu bagi investasi asing dan saran IMF untuk menerapkan SAP. Kebijakan ini menyebabkan penurunan drastis ketahanan pangan (yang hampir tercapai pada pertengahan 1990an), meningkatkan kemiskinan dan meluasnya konflik sosial, termasuk perebutan sumber daya, terutama antara tahun 1997-2002. Sejak saat itu pemerintah Indonesia menyesuaikan kebijakannya agar tercapai keseimbangan antara intervensi negara pada tingkat sedang dengan neo-liberalisme.
6.2.2 Konteks Kebijakan Nasional a. Kebijakan Beras Sejak kemerdekaannya di tahun 1945, setiap rejim pemerintah berusaha menyeimbangkan harga beras. Di satu sisi pemerintah berusaha agar harga beras tetap rendah bagi konsumen dan di sisi lain memberikan pendapatan tinggi bagi petani padi. Slogan orde baru di bawah kepemimpinan Suharto adalah “beras harus selalu tersedia setiap saat dengan harga terjangkau”. Pada saat yang sama sektor pertanian – terutama padi – didorong dan dijadikan mesin penggerak ekonomi. Inilah tujuan tetap yang berusaha dicapai pemerintah. Namun kebijakan untuk mencapai tujuan yang berpotensi bertolak belakang tersebut, selalu berubah dari waktu ke waktu. Kebijakan meningkatkan produksi padi di Indonesia dimulai secara sistematis pada tahun 1967. Kebijakan pertanian bertujuan meningkatkan produksi melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekspansi area persawahan dilakukan dengan dukungan pengembangan infrastruktur dan irigasi, namun saat ini pengembangan tersebut dihentikan karena secara teknis – jika program ekstensifikasi dilanjutkan – akan memakan biaya sangat besar. Program intensifikasi pertanian meliputi penggunaan varietas unggul (“revolusi hijau”), promosi penerapan sistem pertanian dan penanganan pasca panen yang lebih efisien untuk mengurangi hilangnya sebagian hasil panen. Untuk membantu petani melaksanakan program intensifikasi, pemerintah menyediakan subsidi bibit, pupuk, kredit berbunga rendah dan “harga pengadaan” (procurement price) untuk maksimal 5% produksi gabah. Penerapan kebijakan pertanian dilakukan berdampingan dengan kebijakan ketahanan pangan dan kebijakan konsumen yang bertujuan untuk mendiversifikasi menu harian penduduk Indonesia termasuk mengurangi konsumsi beras. Kebijakan menurunkan konsumsi beras dilakukan dengan mengkampanyekan secara luas diversifikasi pangan, termasuk mempromosikan makanan pokok alternatif seperti mie dan menurunkan ketergantungan terhadap beras impor dan bahan pangan lain melalui peningkatan konsumsi produk dalam negeri. Kebijakan beras di Indonesia sejak tahun 1967 terdiri dari tiga fase: Tahun 1967-1996 adalah fase pertama saat pemerintah mengendalikan pasar beras dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), lembaga pemerintah yang bertanggung jawab mengelola logistik. Saat itu impor diatur
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
dengan ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif serta bertujuan menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional. Pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1985-1987 murni menjadi pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras murni. Tahun 1997-2001, pemerintah Indonesia meliberalisasi pasar beras, memprivatisasi BULOG dan menghapuskan hambatan perdagangan. Semua ini dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan IMF yang memaksa pemerintah menandatangani surat perjanjian (Letter of Intent - LOI) sebagai usaha untuk keluar dari dampak dari krisis ekonomi Asia. Selama kurun waktu tersebut swasembada pangan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap beras impor meningkat, dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras menjadi tidak stabil. Sejak tahun 2001 secara bertahap pemerintah kembali mengendalikan pasar beras dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi dibandingkan masa sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras. Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga pembelian pemerintah dengan batas harga atas yang ternyata tidak efektif. Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan Table 2: Floor price policy (HDG) and government procurement price policy for paddy
Description
HDG Policy
HPP Policy
1. Policy objectives
1. Maintain price at or above a 1. Help to buffer price of unhusked minimum floor level (HDG) paddy, particularly during harvest, throughout the year to avoid unacceptable low price 2. Policy instruments 2. Purchasing of unhusked paddy 2. Purchasing of unhusked paddy up at the guaranteed minimum to a maximum volume at a level until the market price guaranteed minimum price (no rises above that level (no mandate to keep market price of limitation of purchasing volume) unhusked paddy above the minimum price) 3. Supporting instruments 3. Tariff and import limitation 3. Tariff and import limitation 4. Policy effectiveness 4. Effective to keep the 4. Effective to stabilise prices outside marketplace price of unhusked the high season; not as effective paddy above the stipulated during harvest because of the too level limited volume that comes under this measure 5. Costs of policy 5. Approximately double the cost 5. Currently, the purchased volume of the second option because it of unhusked paddy is 2 million was usually necessary to buy Metric tonnes (around Rp 8 trillion) about 4 million Metric tonnes (approximately Rp 16 trillion) of rice during the peak harvesting season to keep the price up 6. Political accountability 6. Government is obliged 6. Government is not obliged Source: Author’s notes.
93
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia harga pembelian pemerintah tercantum dalam tabel 2 di bawah ini. BULOG melakukan operasi pasar beras hanya saat terjadi kenaikan harga. Kebijakan perdagangan saat ini bertujuan khusus menstabilkan harga padi dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan mengatur persediaan beras melalui privatisasi BULOG. Bagian berikut ini menganalisis lebih dalam kebijakan liberalisasi perdagangan.
94
b. Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Sebagaimana tertulis sebelumnya, hingga tahun 1994 sektor beras mendapat banyak dukungan dari pemerintah dalam bentuk subsidi input, stabilisasi harga dan proteksi dari persaingan internasional. Sampai tahun 1997 dukungan pemerintah masih diberikan dalam jumlah terbatas. BULOG, sebagai lembaga pemerintah memonopoli impor dan mengimpor beras hanya dalam jumlah yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan (jika ada) antara penawaran dan permintaan dalam negeri. Kebijakan ini membuat harga beras dalam negeri relatif stabil selama lebih dari dua dekade. Pada tahun 1995 Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation – WTO) dan mulai menerapkan AoA yang meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk impor, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160% dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA Indonesia harus membuka akses masuknya beras dengan kuota minimal 70.000 ton per tahun. Dengan kuota tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90%. Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300.000 ton beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28.000.000 per tahun (UNDP 2005:14).
Selama tahun 1995-2003, data FAO menunjukkan bahwa secara berurutan Thailand, Vietnam, Cina, India, Pakistan, Myanmar dan Amerika Serikat menjadi pengekspor beras utama ke Indonesia (FAOSTAT 2007). Namun data FAO memiliki keterbatasan, salah satunya adalah tidak menghitung impor gelap yang jumlahnya melebihi impor resmi, paling tidak selama tahun 2004-2006 (lihat sub bab 6.3.5). Karena itu sangat sulit untuk menghitung dengan akurat jumlah beras impor dumping selama tahun 19951997, selain bahwa hal tersebut diluar lingkup penelitian. Namun penting dikemukakan, bahwa petani padi Indonesia tidak mampu bersaing di pasar dunia bahkan jika tidak terjadi dumping sekalipun, karena mereka harus memikul biaya produksi yang tinggi. Sumber: Catatan penelitti.
Namun sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berganti menjadi pengimpor murni. Sejak tahun 1995 Indonesia membuka pasar dalam negeri melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor, sebaliknya kuota impor diterapkan fleksibel dan mengundang masuknya 3.100.000 ton beras impor pada tahun 1995, 1.000.000 ton pada tahun 1996 dan 400.000 ton pada tahun 1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat adalah pemasok utama beras impor selama periode tersebut (UNDP 2005:24). Pada tahun 1997 penerapan AoA bertumpang tindih dengan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank dan melampaui ketetapan WTO. Pada tahun yang sama Indonesia dan negara Asia lain mengalami krisis ekonomi yang parah. Di Indonesia, krisis tersebut diikuti oleh runtuhnya bursa efek pada tahun 1998 dan krisis politik yang parah. Untuk mengatasi situasi tersebut, pemerintah meminta bantuan keuangan dari IMF. Dana bantuan IMF diberikan dengan syarat Indonesia menandatangani
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
surat perjanjian yang mencantumkan persetujuan Indonesia untuk menerapkan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank. SAP secara radikal mengubah kebijakan perdagangan dan pertanian nasional. Dalam konteks tersebut pemerintah menghapuskan atau menurunkan dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang sebelumnya berperan penting dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan BULOG kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor nol persen dan impor dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999. Jumlah beras impor melonjak hingga 6.000.000 ton pada tahun 1998 dan 4.000.000 ton pada tahun 1999. Beras impor terbanyak berasal dari Thailand, diikuti Vietnam (UNDP 2005:39-40). Pemberian fasilitas kredit impor dan subsidi input pertanian di Thailand dan Vietnam membuat harga ekspor mereka rendah dan membanjiri pasar Indonesia dengan beras dumping. Akibatnya pada tahun 1998 Indonesia kembali menjadi pengimpor beras terbesar dunia. Impor pada awalnya ditujukan untuk menutup kesenjangan yang semakin lebar antara menurunnya produksi padi dalam negeri dan meningkatkan permintaan konsumen. Pada tahun yang sama, Indonesia, seperti halnya negara-negara Asia Tenggara lain terkena dampak parah kekeringan yang dipicu oleh arus tenggara fenomena alam El Niño. Pada tahun 1999 produksi padi dalam negeri mulai pulih namun impor beras berlanjut, mengakibatkan kelebihan penawaran (oversupply) beras di pasar dan turunnya harga padi lokal. Secara faktual, kehilangan produksi padi akibat El Niño hanya berkisar 4% 5%, namun beras impor menguasai 12% pasar, artinya jumlah beras impor 2-3 kali lebih tinggi dari sekedar kebutuhan menutup kekurangan produksi dalam negeri. Akibatnya swasembada pangan turun tajam dari 95% menjadi 88% (lihat SIDIK 2004), dan ketahanan pangan nasional semakin tergantung dari pasar dunia yang berubah-ubah dan lesu. Petani padi sangat terpukul karena turunnya harga padi (lihat gambar 3) yang dikombinasikan dengan naiknya harga input pertanian, turunnya subsidi (lihat table 2) dan hilangnya produksi padi karena El Niño. Akibatnya margin keuntungan petani turun tajam. Kesengsaraan dalam berbagai bentuk terus berlangsung hingga sekarang (UNDP 2005:40). Untuk membantu petani kecil yang sangat rentan, pada tahun 1998-2001 pemerintah mengadakan program bantuan pangan yang disebut Operasi Pasar Khusus (OPK) dan selanjutnya diganti menjadi raskin (lihat berikut ini). Justin Coupertino/EAA
Setelah pergantian kekuasaan dari rejim pemerintah otoriter ke rejim demokratis dan meningkatnya kemiskinan di pedesaan akibat banjir beras impor, pada tahun 2000 rejim baru sedikit mengubah kebijakan pasar: pertama, pengenaan tarif impor khusus Rp 430/kg atau setara dengan US$ 45 per ton . Tarif tersebut sama dengan 30% harga beras dunia dan masih jauh dibawah batas tarif WTO. Kedua, impor beras yang dilakukan oleh swasta harus melalui pemeriksaan pabean ”jalur merah”, artinya mereka terkena pemeriksaan yang lebih ketat dibandingkan pemeriksaan yang harus dilalui impor produk pangan lainnya, dan juga harus memenuhi persyaratan impor khusus ( Warr 2005:3).
95
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Penerapan hambatan tarif dan non-tarif mengakibatkan menurunnya volume beras impor (lihat tabel 3) dan naiknya harga, persis seperti yang terjadi dengan beras lokal. Menurut data BULOG, harga rata-rata c.i.f. pada bulan Januari – Oktober 2001 sekitar Rp 1.692/kg. Pada bulan sama, harga ratarata beras lokal di pasar terbesar di Jakarta sekitar Rp 2.040/kg. Jika kita menambahkan tarif Rp 430/ kg bagi beras impor, maka harga beras impor 5% lebih mahal dibandingkan beras lokal (perhitungan berdasarkan data BULOG yang dikutip dalam UNDP 2005:13).
96
Penting untuk menggarisbawahi bahwa pemerintah telah bertindak tepat dalam rangka membela kepentingan petani padi yang termarginalkan dan sangat rentan. Namun tindakan tersebut tidak mencukupi untuk mengatasi situasi genting petani padi. Salah satu alasannya adalah kebijakan perdagangan yang berdampak terbatas: manajemen beras impor menjadi semakin sulit sejak tahun 2002. Untuk menghindari cukai impor, mengatasi kesulitan mendapatkan lisensi impor dan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, penyelundupan beras menjadi hal biasa. Kondisi wilayah dengan 13.000 pulau membuat penyelundupan 1.000.000-2.000.000 ton beras per tahun atau 5% konsumsi total, relatif mudah. Perkiraan jumlah beras selundupan ini - yang melebihi jumlah impor beras resmi – secara luas diakui oleh berbagai sumber di kalangan pejabat pemerintah dan tokoh petani. Tampaknya kemampuan pemerintah untuk mengawasi secara efektif pelabuhan-pelabuhan yang tersebar berada diluar jangkauan. Untuk menstabilkan harga di tingkat petani, pada tahun 2001 pemerintah membangun sistem baru harga pembelian yang bertujuan melindungi petani dari penurunan harga, terutama saat panen. Dalam sistem ini pemerintah membeli 2.000.000 ton gabah dengan harga minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (disebut pula harga pembelian pemerintah). Namun sistem ini hanya memiliki efek yang terbatas karena kurang dari 5% produksi beras nasional yang dihargai sebesar harga pembelian tersebut. Jadi kombinasi kebijakan harga dan kebijakan perdagangan hanya memberikan pengaruh yang sangat sedikit terhadap pemulihan kondisi petani hingga akhir tahun 2001 (SIDIK 2004:6). Table 3: Rice production, import and consumption 1990-2003
Paddy Yield Harvested (Metric production Year area tonnes (million 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Milled rice
(000 ha)
per ha)
Mt)
(million Mt)
10 502 10 282 11 103 11 013 10 734 11 439 11 569 11 141 11 613 11 963 11 793 11 415 11 521 11 453
4.30 4.35 4.34 4.38 4.35 4.35 4.41 4.43 4.17 4.25 4.40 4.39 4.47 4.53
45 179 45 689 48 240 48 181 46 641 49 744 51 101 49 377 48 472 50 866 51 898 50 181 51 379 51 849
29 336 29 048 31 356 31 318 30 317 32 334 33 315 32 095 30 537 31 118 32 345 31 283 32 369 32 697
Rice Rice Rice consumption production import per capita per capita (million (kg/year)
(kg/year)
Mt)
147 143 152 149 142 149 151 139 137 136 137 134 132 n.a.
131 131 131 131 131 130 131 132 132 131 n.a. n.a. n.a. n.a.
0.029 0.178 0.634 0 0.876 3.014 1.090 0.406 5.765 4.183 1.513 1.400 3.100 2.000
Note: Milling recovery rate of paddy to milled rice: 0.65 before 1998 & 0.63 since 1998. Sources: Central Statistics Agency 2003 (in Sidik 2003:6) & Mashuri/Fukui (in UNDP 2005:40).
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2002, di bawah ketentuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area – AFTA), Indonesia wajib menerapkan tarif impor 0-5% bagi produk-produk pertanian paling lambat pada bulan Januari 2010. Namun karena beras dianggap produk sensitif, pemerintah tetap memberlakukan tarif yang berlaku saat ini sampai tahun 2010 dan penetapan tarif maksimal 20% sampai tahun 2020 (UNDP 2005:15). Sejalan dengan kondisi tersebut, dalam jangka pendek dan menengah AFTA tidak meminta penurunan tarif impor beras. Pada tahun 2003, harga beras dunia relatif stabil dan 40% lebih rendah dari harga beras dalam negeri. Karena ancaman yang kerap muncul, petani padi terus menuntut pemberlakuan proteksi produksi beras dalam negeri terhadap masuknya beras impor murah. Untuk melindungi produsen beras dalam negeri, menteri pertanian mengusulkan kenaikan tarif 75% - dari Rp 430 menjadi Rp 750 – dengan demikian menaikan tarif pajak ad valorem dari 25% menjadi 45%. Usulan ini didukung oleh organisasi petani namun mendapat tentangan keras dari menteri keuangan dan menteri perdagangan, keduanya adalah pejabat yang bertanggungjawab penuh dalam penetapan tarif. Untuk lebih melindungi produksi nasional, pada awal tahun 2004 menteri pertanian memutuskan pembatasan impor “sementara” ( WARR 2005:3) yang berlaku hingga tahun 2007. Sejak saat itu wewenang monopoli impor kembali dipegang oleh BULOG. Jumlah impor beras dibatasi hanya untuk menutup kesenjangan antara produksi dalam negeri dan konsumsi nasional. Kesenjangan tersebut ditandai dengan kenaikan harga beras lokal melebihi batas atas yaitu Rp 3.350/kg, atau saat cadangan beras nasional turun dibawah angka 1.000.000 ton. Dengan pembatasan ini, pada awalnya impor beras turun menjadi rata-rata 625.000 ton per tahun selama periode 2004-2006, namun menurut prediksi FAO pada tahun 2007 naik lagi menjadi 1.800.000 ton. Akibatnya pada tahun 2004-2006 Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia (bahkan tidak lagi termasuk dalam enam besar pengimpor beras dunia). Namun pada tahun 2007, Indonesia kembali berada dalam posisi pengimpor dengan pemasok utama Vietnam dan Thailand, keduanya memasok dua pertiga beras impor yang masuk ke Indonesia (Lihat The Rice Trader, berbagai edisi). Tampaknya kebijakan pelarangan impor tidak mencapai hasil yang diharapkan yaitu tingkat harga yang menguntungkan bagi petani dan terjangkau bagi konsumen. Pada tahun 2004, pelarangan impor tidak lagi berdampak signifikan karena panen yang sukses dan cadangan beras nasional dalam jumlah cukup. Sejak saat itu panen normal dan berkurangnya cadangan beras mengakibatkan terus naiknya harga di tingkat konsumen sedangkan harga di tingkat petani hanya mengalami kenaikan kecil. Pada bulan April 2007, konsumen membayar Rp5.000/kg beras, atau dua kali lipat harga yang mereka bayarkan setahun sebelumnya. Menurut perhitungan penulis, dalam periode yang sama harga di tingkat petani naik kurang dari 20%. Namun bukan petani yang mendapatkan keuntungan utama dari kenaikan harga beras, melainkan para pedagang. Akibatnya pemerintah semakin terdesak untuk mempertimbangkan kembali kebijakan beras nasional. Pada tahap pertama, impor ad hoc pada tahun 2007 akan naik signifikan. Menjadi pertanyaan tersendiri, apakah pemerintah akan sepenuhnya membatalkan pelarangan impor? Situasi ini menunjukkan betapa sulitnya bagi pemerintah “mengatur” pasar yang dikendalikan oleh oligopoli pedagang (lihat sub bab berikut). Selain kebijakan perdagangan, peran pemerintah dalam sektor pertanian dan kebijakan harga tampaknya menjadi faktor yang menentukan bagi petani padi. Sebelum periode liberalisasi perdagangan (1995-2001), harga beras berada di tingkat menengah dan stabil akibat dari intervensi negara. Baik petani dan konsumen keduanya terlindungi, petani terlindungi dari penurunan harga yang berlebihan dan konsumen dari kenaikan harga yang tinggi. Kedua, terlepas dari rendahnya harga di tingkat petani, untuk mendorong produksi padi, petani mendapat subsidi input pertanian. Subsidi tersebut terutama berperan penting selama tahun 1990-1994 (UNDP 2005:15). Penandatangan surat perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat situasi berubah drastis. IMF menyaratkan semua subsdi pertanian dan penetapan harga oleh pemerintah dihapuskan
97
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia (UNDP 2005:15). Sejak tahun 1998-2000, harga pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar dan kebijakan stabilisasi harga dimodifikasi menjadi kebijakan bantuan pangan nasional bagi rakyat miskin (lihat juga tabel 2).
98
Berkurangnya dukungan pemerintah bagi sektor pertanian juga diperlihatkan dengan berkurangnya apa yang disebut WTO, dukungan non perdagangan yang mengganggu (non-trade-distorting support) atau ’kebijakan kotak hijau’ (green box measures) dengan tajam. Dari US$ 209.000.000 pada tahun 1997 menjadi US$ 168.000.000 pada tahun 2000 (UNDP 2005:18). Penurunan dukungan terutama terjadi pada subsidi pupuk yang berakibat memburuknya situasi bagi petani selama kurun waktu diberlakukannya liberalisasi perdagangan (lihat tabel 4). Semua ini – ditambah penghapusan kebijakan penetapan harga padi karena masuknya beras impor melalui BULOG – mengakibatkan selama masa liberalisasi perdagangan pendapatan petani padi turun tajam (lihat juga bagian terkait). Selain dampak ekonomi bagi petani, berhentinya dukungan pemerintah juga memberikan dampak lain yang tidak bisa diremehkan yaitu: setelah berpuluh tahun petani miskin menganggap pemerintah sebagai satusatunya pelindung dari kegetiran hidup, perubahan berbagai kebijakan pertanian dan penghapusan dukungan pemerintah yang tiba-tiba, sangat mengagetkan dan membuat mereka depresi. Dampak ini belum lagi terlewati, meskipun sekarang dukungan tersebut diberikan kembali. Sejak tahun 2001, terutama antara tahun 2003-2007, pemerintah Indonesia secara bertahap kembali memberikan subsidi tidak langsung bagi sektor pertanian. Antara tahun 2000-2003 volume “kebijakan Table 4: Worsening terms of trade - comparison of dried husked rice & fertiliser prices 1980 - 2003
Year
Rice price
Fertiliser price
Ratio
(1)
(Rp/kg) (2)
(Rp/kg) (3)
(4=2/3)
1980 - 1982 1986 1995 - 1997 2003
320 600 1 200 2 750
113 250 1 100 1 150
2.83 2.40 1.09 2.39
Source: BULOG (in UNDP 2005:2).
kotak hijau” meningkat dua kali lipat menjadi US$ 373.000.000 (UNDP 2005:18). Demikian pula input pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida kembali disubsidi pemerintah, terutama melalui penentuan harga eceran maksimum. Berdasarkan perhitungan World Bank yang tidak dipublikasikan kepada umum, subsidi terus meningkat hingga lebih dari 30% selama tahun 2003-2007. Pada tahun 2007, 45% anggaran menteri pertanian dialokasikan untuk subsidi. Namun di sisi lain harga input pertanian secara substansial lebih tinggi dari harga pasar dunia dan laporan dari petani menunjukkan bahwa toko-toko penyalur resmi input pertanian seringkali menjual pupuk dengan harga lebih tinggi dari ketetapan pemerintah. World Bank juga melihat bahwa fasilitas kredit dan program dukungan lain memiliki jangkauan yang sangat terbatas. Semua kondisi tersebut berakhir pada kesimpulan bahwa diperlukan lebih banyak subsidi pertanian untuk merevitalisasi kembali sektor pertanian, termasuk investasi dalam jumlah besar untuk memperbaiki buruknya sistem irigasi dan dalam rangka perluasan dukungan pertanian. Sangat menarik jika kita mengamati perubahan yang terjadi pada kebijakan World Bank: sepuluh tahun sebelumnya World Bank mendesak pemerintah untuk mengurangi dukungan bagi petani. Kini mereka menyarankan lebih banyak dukungan dan investasi karena “dalam beberapa tahun terakhir infrastruktur pedesaan memburuk” sebagaimana yang mereka lihat sekarang. Namun saran pemberian dukungan domestik yang lebih besar, tidak menghalangi World Bank untuk tetap
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
memaksa Indonesia membuka pasar dalam negerinya untuk beras impor murah. Saat ini pembelian beras oleh BULOG dengan harga perantara yang ditetapkan pemerintah berhasil mewujudkan stabilisasi, namun pada saat yang sama memiliki keterbatasan karena kurang dari 5% pembelian yang dibayar dengan harga tersebut. Dapat disimpulkan bahwa kondisi petani berlahan sempit lebih buruk saat liberalisasi perdagangan (1997-2002) dibandingkan kondisi mereka sekarang. Namun kerugian yang disebabkan liberalisasi pada masa tersebut belum teratasi, dan pendapatan dari pertanian padi masih terlalu kecil untuk merangsang investasi yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas atau memperluas total area persawahan. Oleh sebab itu tidak mengejutkan jika laju pertumbuhan sektor pertanian melambat dari 2,5% per tahun selama periode 1969-1992 menjadi hanya 0,1% selama tahun 1993-2006. Namun menteri pertanian, melalui penerapan kembali kebijakan bantuan pertanian memperkirakan laju pertumbuhan sektor padi dapat mencapai 4% pada tahun 2007, sebagaimana dinyatakan dalam salah satu wawancara penelitian.
6.2.3 Dampak sosial-ekonomi liberalisasi pasar beras tahun 1997-2001 Liberalisasi perdagangan bukan satu-satunya penyebab kegetiran hidup petani padi, namun liberalisasi berada di urutan pertama di antara penyebab lain yang berkontribusi terhadap marginalisasi mereka. Untuk memahami situasi ini analisis makro ekonomi bukan hanya penting dilakukan namun membantu lebih memahami situasi yang kompleks ini. Bahkan tanpa ada persaingan dengan beras impor, petani padi memiliki posisi tawar yang lemah karena volume surplus beras yang siap dijual relatif kecil, kapasitas penyimpanan terbatas dan karena krisis likuiditas petani - tekanan untuk menjual secepatnya sangat tinggi. Mereka biasanya langsung menjual padi setelah panen. Dengan demikian – dalam terminologi ekonomi – pasar padi tersegmentasi secara lokal, sedangkan pasokan dari petani padi sangat tidak elastis. Karena itu di tingkat petani, pasar padi lokal menciptakan kondisi yang sangat tidak menguntungkan mereka namun menguntungkan pedagang. Kombinasi antara tingkat produksi padi yang berubah-ubah dan ketidakelastisitasan pasokan padi mengakibatkan di tingkat petani terjadi fluktuasi harga yang tinggi dan tidak dapat diramalkan. Akibatnya, disamping resiko produksi, petani juga menghadapi resiko tingginya harga, keseluruhannya membuat budi daya padi menjadi bisnis pertanian yang beresiko. Terlebih lagi secara alami struktur pasar beras Indonesia bersifat monopolistis. Segelitir pedagang bekerjasama untuk mengendalikan harga beras. Contohnya, di pulau Jawa hanya ada tiga pedagang beras besar. Penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan asimetris antara harga di tingkat konsumen dan di tingkat produsen. Kenaikan harga beras di tingkat konsumen menular perlahan dan tidak sempurna ke harga di tingkat petani. Demikian pula penurunan harga di tingkat konsumen menular cepat dan sempurna ke harga di tingkat petani. Sebaliknya kenaikan harga di tingkat petani menular cepat dan sempurna ke harga di tingkat konsumen, sedangkan penurunan harga di tingkat petani menular perlahan dan tidak sempurna ke harga di tingkat konsumen. Sepintas terlihat bahwa fluktuasi harga yang terjadi dalam jangka pendek cenderung merugikan kedua belah pihak, petani dan konsumen. Jika ada keuntungan dari fluktuasi tersebut, maka pedaganglah yang mendapatkannya. Gambar 1 memperlihatkan bahwa secara struktural Indonesia adalah negara pengimpor beras murni. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi beras nasional melebihi produksi dalam negeri. Namun pada tahun 1969-2003 - saat rata-rata defisit beras hanya sebesar 7% - pangsa pasar beras impor murah tercatat sebesar 12%. Hal ini terjadi pada puncak liberalisasi perdagangan pada tahun 1999 atau hampir dua kali lipat rata-rata defisit beras (gambar 2). Artinya – jika kita ambil contoh hanya tahun 1999 – akibat liberalisasi, Indonesia mengimpor paling sedikit 1.500.000 ton beras, melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dan produksi nasional,
99
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
Figure 1: Production and Consumption 1969-2003
Production
Consumption
35 000 30 000 25 000 20 000 15 000 10 000 5 000
196 9 197 1 197 3 197 5 197 7 197 9 198 1 198 3 198 5 198 7 198 9 199 1 199 3 199 5 199 7 199 9 200 1 200 3
0
Calculations of Dr. Nizwar Syafa’at based on NBM data published by Badan Pusat Statistik.
Figure 2: Rice Imports 1969-2006
Mt 5 000 4 500 4 000 3 500 3 000 2 500 2 000 1 500 1 000 500
9 197 1 197 3 197 5 197 7 197 9 198 1 198 3 198 5 198 7 198 9 199 1 199 3 199 5 199 7 199 9 200 1 200 3 200 5 200 6
0
196
100
Calculations of Dr. Nizwar Syafa’at based on BULOG statistics.
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
Figure 3: The Development of Rice and Paddy Prices in the Domestic Market, 1974-2005
HARGKP (paddy prices)
HARBER (rice price)
Rp/kg
5 000 4 000 3 000 2 000 1 000 101
197 4 197 6 197 8 198 0 198 2 198 4 198 6 198 8 199 0 199 2 199 4 199 6 199 8 200 0 200 2 200 4 200 6
0
(HARBER = rice price & HARGKP = paddy prices); Calculations of Dr. Nizwar Syafa’at.
termasuk kesenjangan akibat kekeringan yang disebabkan oleh El Niño. Tak terhindarkannya impor beras dalam jumlah besar menimbulkan ketergantungan yang tidak perlu terhadap pasar dunia yang selalu berubah, menurunkan ketahanan pangan Indonesia, merongrong sumber penghidupan petani padi, namun sama sekali tidak menurunkan harga di tingkat konsumen yang seharusnya dapat menguntungkan rakyat miskin perkotaan. Gambar 3 menunjukkan bahwa harga nominal di tingkat konsumen secara faktual meningkat lebih cepat selama masa liberalisasi pasar dibandingkan saat pasar terkendali sebelum dan pada tahun pertama setelah liberalisasi. Gambar 3 lebih jauh menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 harga nominal padi meningkat lebih lambat dibandingkan harga beras yang mengakibatkan penurunan pendapatan petani (yang juga disebabkan naiknya biaya produksi). Kasus liberalisasi pasar beras di Indonesia jelas membuktikan bahwa janji World Bank dan IMF tidak terpenuhi: harga beras di tingkat konsumen bukan turun malah naik dan semakin bergejolak, terutama saat liberalisasi total pada tahun 1998-2001. Petani juga dirugikan. Harga rendah pasar dunia yang merupakan hasil rekayasa menjadi faktor penghambat meningkatnya produktifitas dan akhirnya berdampak negatif terhadap kemiskinan di pedesaan. Terbukti bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat setelah diterapkannya liberalisasi perdagangan dan juga karena krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Fakta juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2001, penurunan kemiskinan di pedesaan lebih lambat dibandingkan di perkotaan (UNDP 2005:64). Jelas terlihat bahwa hanya ada satu kelompok yang diuntungkan oleh liberalisasi yaitu para pedagang.
6.2.4 Dampak yang diharapkan dari kemungkinan penerapan putaran baru liberalisasi perdagangan tahun 2007 Situasi saat ini tidak menguntungkan baik bagi produsen maupun konsumen. Petani padi terus berjuang untuk bertahan hidup dan rakyat miskin menderita karena kenaikan harga beras yang tinggi yang terjadi sejak tahun 2006. Jelas terlihat bahwa regulasi ulang impor yang memuncak dengan diterapkannya pelarangan impor sejak tahun 2004, meningkatnya program dukungan bagi sektor pertanian dalam negeri, pembelian hasil pertanian oleh pemerintah dan program bantuan pangan raskin tidak membuahkan hasil sesuai harapan. Akibatnya pemerintah semakin banyak mendapat tekanan dari berbagai pihak, termasuk para pemilih.
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Menurut survey pra pemilu pada bulan April 2007, 34% responden tidak percaya bahwa partai politik mewakili kepentingan mereka dalam hal kebijakan sensitif seperti kebijakan impor beras (The Jakarta Post, 17 April 2007, hlm. 1). Beras tetap menjadi isu politik utama. ”Hampir semua presiden jatuh karena harga beras yang tinggi”, demikian diungkapkan Lutfiyah Hanim dari Institute for Global Justice (wawancara A-4).
Namun kalangan orang-orang dalam menekankan bahwa makalah kebijakan World Bank telah beredar dan akan dipublikasikan secepatnya. Makalah tersebut menghimbau pemerintah membatalkan pelarangan impor, memberikan lisensi impor kepada sektor swasta dan membuka jalan bagi impor beras dengan tarif rendah ad valorem sekitar 10-15%. Di satu sisi menarik untuk mengkaji bahwa saat ini World Bank cenderung menolak tarif nol (untuk menghindari gangguan pasar) dan sebagai gantinya menghimbau lebih banyak pemberian dukungan pertanian dan kompensasi bagi petani kecil, bertolakbelakang dengan sikap World Bank pada tahun 1990an. Di sisi lain, pelajaran yang dapat ditarik dari liberalisasi perdagangan pada tahun 1995-2001 adalah liberalisasi saat itu melahirkan keprihatinan yang mendalam. Apa dampaknya bagi petani miskin di pedesaan yang sudah sangat terpinggirkan? Agronomis Dr. Nizwar Syafa’at membuat model liberalisasi perdagangan dengan berbagai macam skenario serta kemungkinan dampak yang muncul dari tiap-tiap skenario tersebut. Model tersebut memiliki tiga variabel utama yaitu GDP, ketenagakerjaan dan pendapatan petani padi.
Figure 4: The Impact of Increased Rice Imports on National GDP
Import (% production) 0
2.5
5.0
7.5
10.0
-2 000 000 -4 000 000 -6 000 000 Rp million
102
Dalam situasi ini tidak mengejutkan jika pihak-pihak yang berpengaruh, termasuk World Bank, kembali menekankan pentingnya liberalisasi perdagangan. Benar bahwa pemerintah tampaknya tetap teguh dengan pendiriannya: ”Beras adalah komoditas strategis dan perdagangan beras sangatlah sensitif. Kebijakan beras kami melindungi petani dalam negeri. Liberalisasi akan menurunkan harga beras lokal dan menjadi disinsentif bagi petani untuk menanam padi. Karena itu saya tidak percaya bahwa kita akan meliberalisasi pasar secepatnya” demikian diungkapkan Dr. Hermanto, Sekertaris Direktorat Jendral Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dalam sebuah wawancara penelitian (wawancara A-5). Ir Minuk atas nama Departemen Perdagangan berpendirian agar regulasi impor tetap ada namun ia menekankan “semua keputusan kabinet tentang impor berdasarkan usulan parlemen dan rekomendasi dari Badan Ketahanan Pangan” (wawancara A-6).
-8 000 000 -10 000 000 -12 000 000 -14 000 000 -16 000 000 -18 000 000 Source: Calculations of Dr Nizwar Syafa’at.
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
Figure 5: The Impact of Increased Rice Imports on Employment
Import (% production) 0
2.5
5.0
7.5
10.0
-500 000 -1 000 000
People
-1 500 000 -2 000 000
103
-2 500 000 -3 000 000 -3 500 000 -4 000 000 -4 500 000 Source: Calculations of Dr Nizwar Syafa’at.
Figure 6: The Impact of Tariff Reduction on Farm Revenues
Indonesia
Java
Off Java
5 000 000 4 500 000 4 000 000
Rp/ha
3 500 000 3 000 000 2 500 000 2 000 000 1 500 000 1 000 000 500 000 0
Base Rp 450
Rp 225
Rp 0
Tariff (Rp/kg) Source: Calculations of Dr Nizwar Syafa’at.
Dalam situasi saat harga pasar dunia lebih rendah dari harga dalam negeri (baik karena dumping atau bukan), liberalisasi pasar akan meningkatkan impor. Hal ini mengakibatkan penurunan kontribusi padi/beras terhadap GDP dan juga meningkatkan pengangguran. Gambar 4 dan 5 menggambarkan hasil penghitungan dampak impor beras terhadap GDP dan ketenagakerjaan. Perhitungan dilakukan berdasarkan empat skenario yang berbeda dalam hal persentase impor sebagai indikator derajat liberalisasi, yaitu 2,5%, 5,0%, 7,5%, dan 10%. Jika beras impor menggantikan 2,5% produksi beras
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia lokal, kehilangan GDP diperkirakan sebesar Rp 4 trilyun, sedangkan jumlah petani yang kehilangan pekerjaan sekitar 1.000.000 orang. Jika beras impor menggantikan 10% produksi beras lokal, kehilangan GDP sekitar Rp 16,7 trilyun, dan 4.000.000 petani akan kehilangan pekerjaan.
104
Dalam hal tarif, Nizwar Syafa’at membuat model kemungkinan dampak pemotongan tarif sebesar 50% atau 100% dibandingkan dengan tarif sebelumnya Rp 450/kg di tingkat petani. Jika tarif diturunkan 50% atau Rp 225/kg, keuntungan per hektar di tingkat petani akan turun pula dari Rp 4,018,379 menjadi Rp 3,213,750 atau turun sekitar 20%. Jika tarif dihapuskan seluruhnya, keuntungan per hektar di tingkat petani turun dari Rp 4,018,379 menjadi Rp 2,433,855 atau turun sekitar 39%. Jelas terlihat bahwa liberalisasi perdagangan akan menurunkan keuntungan petani terutama di Pulau Jawa, menurunkan daya saing padi terhadap gula tebu dan akan mendorong perpindahan penanaman padi menjadi gula tebu. Selanjutnya perpindahan ini akan menurunkan kontribusi Pulau Jawa terhadap produksi padi nasional dan akhirnya berdampak pula terhadap kerawanan pangan nasional. Jika kerugian di tingkat petani yang muncul sebagai akibat liberalisasi perdagangan dianalisis terpisah dari luas pemilikan lahan mereka (lihat tabel 5), keuntungan yang tersisa bagi sebagian besar rumah tangga petani sangat rendah. Kelompok terbesar rumah tangga petani (38%) memiliki lahan kurang dari 0,25 hektar. Keuntungan yang tersisa dari 0,25 hektar lahan persawahan dengan dua kali panen per tahun, akan turun menjadi Rp 1.606.875 atau US$ 175 per tahun dengan asumsi pemotongan tarif 50%. Jika tarif dihapuskan seluruhnya, keuntungan yang tersisa adalah US$ 132 per tahun atau 36 sen per rumah tangga per hari. Berdasarkan data sensus, rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4,2 orang per rumah tangga dan keuntungan dari pertanian padi memberikan kontribusi 25% dari total pendapatan rumah tangga. Dengan demikian pendapatan perkapita sekitar US$ 0,35. Standar World Bank menetapkan bahwa seseorang disebut miskin jika pendapatan per hari kurang dari US$ 1. Jelas terlihat bahwa liberalisasi pasar beras (tanpa kompensasi memadai bagi petani padi) melanggar hak asasi manusia, karena kehidupan mereka yang sulit menjadi semakin sulit saat penghasilan turun. Menurut UNDP (2005:45) kemiskinan adalah, “fenomena multi dimensi, dan perdagangan bukan satu-satunya faktor penyebab kemiskinan. Namun, perdagangan dapat menimbulkan dampak yang besar jika dikaitkan dengan variabel ekonomi yang mempengaruhi pendapatan, ketenagakerjaan dan pengeluaran rumah tangga”. Dapat dikatakan bahwa dampak tersebut terjadi karena liberalisasi terdahulu dan mungkin akan terjadi lagi jika diberlakukan putaran baru liberalisasi.
Table 5: Distribution of households which cultivate paddy based on land size (2003)
Land Size (hectares)
< 0.25 0.25 - 0.50 0.50 - 0.75 0.75 - 1.00 > 1.00
Household (%)
37.48 25.66 15.68 5.70 15.48 Source: Agricultural Census (2003).
Sulit untuk menentukan dengan pasti dampak AoA karena implementasi perjanjian tersebut bertumpang tindih dengan SAP IMF pada tahun 1995-2001. Namun terbukti bahwa kombinasi dari impor beras murah dan berkurangnya dukungan bagi sektor pertanian memperburuk kondisi petani padi. Jutaan petani padi hidup dibawah garis kemiskinan, artinya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dalam jumlah memadai. Bagi mereka sangat sulit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pasar yang berubah karena kemiskinan dan ketergantungan yang tinggi terhadap pemilik tanah, pedagang perantara dan pemberi kredit, semuanya akan dibahas dalam sub bab berikut ini.
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
6.3 Dampak Liberalisasi Pasar Beras terhadap Empat Komunitas Petani Padi di Jawa Barat 6.3.1 Metodologi dan Profil Komunitas Petani Padi Bagaimana liberalisasi pasar beras pada umumnya dan kebijakan perdagangan khususnya mempengaruhi petani kecil di wilayah lumbung padi Indonesia? Apa persisnya yang berubah dalam kehidupan mereka dan bagaimana tanggapan mereka terhadap perubahan tersebut? Apakah terdapat bukti meningkatnya kerawanan pangan? Apakah terdapat ancaman atau pelanggaran hak atas pangan penduduk? Apa pendapat petani kecil terhadap impor? Apa harapan mereka dan siapa yang mereka anggap agen perubahan? Untuk menjawab pertanyaan di atas dan melengkapi analisis makro, pada bulan April 2007 dilakukan penelitian lapangan di empat komunitas petani padi di tiga wilayah Subang, Karawang dan Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Ketiga wilayah tersebut dipilih karena ketiganya adalah pusat produksi beras, yang terkenal dengan sebutan lumbung padi Jawa Barat. Karena lokasi ketiganya relatif dekat dengan pusat perdagangan utama – Jakarta – dapat diasumsikan bahwa dampak liberalisasi perdagangan lebih terasa di ketiga wilayah tersebut dibandingkan area terpencil di wilayah lain Indonesia. Di semua desa di ketiga wilayah tersebut, sektor beras berkorelasi langsung dengan kondisi sosial ekonomi petani padi dan berdampak besar terhadap ekonomi pedesaan. Menurut para petani, pemerintah seharusnya membuat kebijakan pertanian yang menguntungkan mereka. Namun sebagaimana dibahas sebelumnya, dalam kenyataannya, hal sebaliknyalah yang terjadi. Menurut para petani selama lebih dari tiga dekade, terutama sejak liberalisasi pasar beras pada tahun 1997, kondisi mereka semakin memburuk. Rasio input dan output budi daya padi menurun, akses terhadap sumber daya produktif sangat langka dan saat ini sebagian besar petani memiliki utang menumpuk terhadap pedagang perantara dan pemilik tanah, semuanya membuat mereka sangat tergantung kepada pihak lain. Situasi tersebut memperlemah posisi petani dalam rantai produksi, membuat mereka sangat rentan terhadap resiko pertanian padi, mengurangi berbagai peluang, merongrong ketahanan pangan dan berujung pada kehilangan lahan garapan. Semua hal tersebut mendorong eksodus generasi muda pedesaan ke kota untuk bekerja di sektor informal. Bahkan banyak perempuan muda menjadi pekerja migran di luar negeri seperti di negara-negara Arab, Taiwan, Hong Kong atau Korea. Mereka yang tetap bertahan Paul Jeffrey/EAA di desa sebagian besar adalah orang-orang tua. Desa pertama yang diteliti adalah Desa Samudrajaya di Bekasi, Jawa Barat. Bekasi terletak di Timur Jakarta dan Utara Jawa Barat. Bekasi adalah daerah penyangga Jakarta dan dicirikan oleh tingkat migrasi yang tinggi, pertumbuhan penduduk 4,6% per tahun dan konversi lahan pertanian menjadi lahan industri dan perkotaan. Akibatnya produksi padi menurun dan Bekasi yang dulu dikenal sebagai salah satu lumbung padi Indonesia dalam waktu dekat akan menjadi importir beras murni.
105
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Desa Samudrajaya terletak dekat dengan Jakarta. Menurut data Potensi Desa 2006, luas desa 71 hektar, hampir setengahnya adalah lahan persawahan. Jumlah penduduk 4.880 orang, terdiri dari 2.543 lakilaki dan 2.337 perempuan. Mata pencaharian penduduk adalah petani padi (608), petani perkebunan (126), nelayan (132), buruh harian (183), dan lain-lain (31). Dua desa lain, Cikuntul dan Cikalong, terletak di Kabupaten Karawang di Timur Bekasi. Pemerintah Kabupaten Karawang mempertahankan status Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat. Pada tahun 2001, 1.100.000 ton beras dihasilkan oleh Karawang dari lahan sawah seluas 93.590 hektar. Produktifitas pertanian padi yang tinggi di Karawang juga didukung sistem irigasi yang memadai. Pemerintah Kabupaten Karawang berniat mempertahankan bahkan memperluas posisi Karawang sebagai lumbung padi Jawa. 106
Desa Cikuntul terletak di Timur Laut Kabupaten Karawang, 3 km dari ibu kota kabupaten dan 80 km dari Jakarta. Berdasarkan data Potensi Desa (2006), luas desa 577 hektar, termasuk 351 hektar (61%) lahan persawahan. Jumlah penduduk 4.842 orang, terdiri dari 2.366 laki-laki dan 2.476 perempuan. Mata pencaharian penduduk adalah 266 petani, dan 1.896 lainnya petani kecil tanpa lahan. Desa Cikalong terletak 5 km dari ibu kota Kabupaten Karawang dan 85 km dari Jakarta. Luas Desa Cikalong 318 hektar, 260 hektar (82%) diantaranya adalah lahan persawahan. Jumlah penduduk 4.115 orang, terdiri dari 1.193 KK, 2.032 laki-laki dan 2.083 perempuan. Separuh penduduk Karawang tergantung pada pertanian padi, sebagian besar dari mereka adalah petani tanpa lahan. Sekertaris desa menyatakan bahwa 40% lahan persawahan di Cikalong dimiliki oleh penduduk dari luar desa namun penanaman padi dilakukan oleh penduduk lokal. Menurut data pemilikan tanah, hanya seorang penduduk Desa Cikalong yang memiliki lebih dari 10 hektar lahan, lima orang 5-10 hektar, 7 orang 1-5 hektar, 20 orang 0,5-1 hektar dan 110 orang memiliki lahan seluas kurang dari 0.5 hektar. Desa keempat yang diteliti adalah Desa Pinangsari yang terletak di Kabupaten Subang, sebelah Timur Karawang. Dataran rendah Subang didominasi lahan persawahan dan sebagian besar (70%) mendapat fasilitas irigasi. Dengan air berlimpah, tidak diragukan lagi Subang adalah salah satu lumbung padi Jawa Barat. Desa Pinangsari terletak di Barat Daya Kabupaten Subang, 12 km dari ibu kota kabupaten dan 90 km dari Jakarta. Pada tahun 2006 luas desa adalah 1.085 hektar, 821 hektar (76%) diantaranya adalah lahan irigasi dan 76 hektar (7%) lainnya adalah sawah pasang surut. Penduduk Desa Pinangsari berjumlah 7.798 orang (3.901 laki-laki, 3.897 perempuan) yang terbagi dalam 2.418 KK. Sebanyak 4.259 orang tinggal dalam rumah tangga petani kecil. Hanya delapan KK memiliki lebih dari 1 hektar lahan, 373 KK memiliki 0,5- 1 hektar lahan dan 706 KK memiliki kurang dari 0,5 hektar lahan. Sisanya penduduk tanpa lahan.
6.3.2 Ciri-ciri utama pertanian padi di desa-desa yang di teliti Berdasarkan kepemilikan tanah, petani padi di keempat desa yang diteliti terbagi dalam: 1) Petani pemilik – – mereka menggarap lahan milik sendiri atau lahan mereka digarap petani lain 2) Petani pemilik penggarap dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar – mereka menanami sendiri lahan miliknya, juga menggarap lahan orang lain, berdasarkan sistem sewa, gadai atau maro 3) Petani penggarap – menggarap lahan orang lain sebagai sumber mata pencaharian. Sistem yang biasanya diterapkan adalah: • Sistem sewa adalah ketika penggarap menyewa sebagian lahan dalam jangka waktu tertentu.
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
• Sistem gadai adalah ketika petani pemilik penggarap menggadaikan tanahnya kepada pemilik lahan yang lain tetapi dia tetap dapat menanami lahan yang digadaikan tersebut sampai ia dapat mengembalikan utangnya. • Sistem bagi hasil adalah ketika petani menanami lahan milik orang lain, membayar di muka semua biaya input produksi (bibit, pupuk, pestisida). Keuntungan bersih (setelah dipotong biaya input produksi) dibagi secara proporsional dengan pemilik lahan. 4) Buruh tani yaitu petani yang sepenuhnya tergantung pada tenaganya sebagai sumber penghidupan. Buruh tani dibayar tunai per hari. Di Bekasi, Karawang dan Subang, upah buruh tani laki-laki dan perempuan bekisar antara Rp 25.000-30.000 (sekitar US$ 3) per hari. Saat panen, selain mendapat bayaran tunai, buruh tani mendapat bagian padi dengan perbandingan 5:1 (5 bagian pemilik lahan, 1 bagian buruh tani). Upah dalam bentuk padi mensyaratkan mereka bekerja tanpa bayaran di sejumlah hari tertentu di luar musim panen (jeblok). Lahan persawahan di ketiga Kabupaten Karawang, Subang dan Bekasi dibagi dalam beberapa jenis sbb: 1) Sawah teknis yaitu lahan sawah yang dihubungkan dengan saluran primer melalui saluran air sekunder. 2) Sawah setengah teknis yaitu lahan sawah yang dihubungkan dengan saluran air sekunder melalui saluran air tersier. 3) Sawah non teknis yaitu lahan sawah yang mendapatkan air irigasi melalui saluran alami yang dijaga oleh petani. 4) Sawah tadah hujan yaitu lahan sawah yang mengandalkan hujan. Sebagian besar padi yang dibudidayakan di wilayah penelitian adalah jenis hybrid seperti IR-64, Way Apu Buru dan Widas. Rata-rata produksi gabah kering panen (GKP) di Bekasi, Karawang dan Subang bervariasi antara 4,5-5 ton per hektar. Dalam satu tahun biasanya terdapat dua kali atau maksimal tiga kali musim tanam dengan pola padipadi-padi atau padi-padi-palawija. Namun sebagian besar petani kecil menanam padi hanya dua kali setahun dan sama sekali tidak menanam padi di musim ketiga karena ketiadaan air. Petani padi biasanya tergantung pada faktor input produksi seperti bibit, pupuk dan pestisida. Pupuk merupakan faktor pembiayaan yang selalu muncul, sedangkan penggunaan pestisida tergantung dari ada tidaknya hama tanaman. Saat penelitian lapangan, terdapat hama brown plant hopper, yang mengharuskan petani menyemprotkan pestisida seminggu sekali.
6.3.3 Rantai Produksi Biasanya petani menjual padi secara individual kepada tengkulak yang berasal dari desa yang sama atau dari desa tetangga. Penjualan biasanya melalui perantara lokal. Posisi tawar petani sangat lemah, antara lain karena kuantitas produksi yang kecil dan kualitas yang bervariasi, namun juga karena petani kekurangan informasi tentang harga pasar dan sangat tergantung kepada tengkulak sebagai sumber informasi: “Tidak ada informasi harga resmi dari pemerintah, hanya ada informasi harga dari tengkulak” demikian diungkapkan Pak Olang, seorang petani di Cikalong (wawancara B-1). Saat ditanyakan tentang harga perantara resmi dari pemerintah, Pak Olang menjawab dengan gusar bahwa tidak ada harga pemerintah di Cikalong. Satu-satunya harga yang mereka ketahui adalah harga tengkulak. “Terserah apa yang mereka katakan tentang ini itu harga pemerintah”.
107
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Situasi bertambah buruk saat petani berutang kepada tengkulak – maka ia terpaksa menerima harga yang sangat rendah. Akibat permasalahan keuangan sehari-hari dan ketiadaan kredit pemerintah, sebagian besar petani, terutama petani berlahan sempit atau petani tanpa lahan, terpaksa mengajukan pinjaman untuk membiayai ongkos-ongkos produksi. Biasanya mereka mendapat pinjaman dari pedagang lokal yang menjual input pertanian, tengkulak atau pemilik tanah. Akibatnya petani membeli input produksi dengan harga mahal dan menjual padi mereka dengan harga murah: Pemilik toko pestisida atau pemilik modal memberi kami sejumlah pinjaman uang sehingga kami dapat membayar biaya produksi. Namun utang tersebut belum terbayar. Saya telah mengalami dua kali gagal panen dan kekurangan modal. Satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan berutang. 108
Faturohman dari Cikuntul mengatakan, tahap selanjutnya dalam rantai perdagangan beras adalah tengkulak membawa padi ke penggilingan (wawancara B-7). Di sini proses konsentrasi perdagangan beras terlihat nyata sejak tahun 1999. Konsentrasi ini dipercepat oleh kebijakan pemerintah karena Dolog (depot logistik) membeli beras hanya dari penggilingan besar. Akibatnya banyak penggilingan kecil tutup.
Penggilingan padi di Karawang, Indonesia. Justin Coupertino/EAA
Selanjutnya tengkulak lain menjual beras giling ke pasar grosir. Sebagian besar produksi beras dari ketiga kabupaten - Bekasi, Karawang, Subang - dipasarkan di Pasar Induk Beras yang merupakan tempat pemasaran beras utama di Jakarta, sebelum didistribusikan ke berbagai wilayah di dalam dan di luar Pulau Jawa. Pasar induk beras menerapkan sistem oligopoli. Hanya ada tiga pemain utama yang mengendalikan sebagian besar pemasaran beras di Pulau Jawa dan tidak lebih dari lima pemain utama pemasaran beras di seluruh Indonesia, dimana Ayong memimpin. “Sistem oligopoli ini setiap saat dapat menyebabkan kelangkaan beras di pasar”, demikian diungkapkan Agusdin Pulungan, ketua WAMTI, organisasi masyarakat petani Indonesia (wawancara A-10).
6.3.4 Perubahan yang terjadi sejak liberalisasi pasar pada tahun 1997 Banyak keluarga petani tinggal di desa yang sama secara turun temurun. Sebagian besar bekerja sebagai petani padi sejak muda. Biasanya mereka petani tanpa lahan atau memiliki hanya sebidang kecil lahan. Hanya sebagian kecil petani yang memiliki lebih dari 0,5 hektar lahan dan rata-rata luas lahan mereka terus menurun karena pembagian lahan akibat pewarisan dari orang tua ke anak atau karena terjerat utang. Dengan demikian, semakin sulit bagi petani untuk mencari nafkah dengan bermartabat. Hingga tahun 1970an, banyak orang merasa bangga menjadi petani. Meskipun berpenghasilan rendah, status sosial petani tinggi. ”Meskipun anda memiliki rumah bagus, namun jika anda bukan petani anda tidak akan merasa sebagai masyarakat kelas atas”, demikian diungkapkan Daipin (wawancara B-2). Di masa lalu menjadi petani bukan hanya sekedar status, namun juga menjadi pilihan lapangan pekerjaan yang pertama. Seorang petani, pada masa-masa tersebut mampu membiayai sekolah empat
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
anak. Saat ini, terutama sejak akhir 1990an, banyak anak-anak petani tidak melanjutkan sekolah setelah menamatkan Sekolah Dasar, karena orang tua mereka tidak mampu membiayai ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Rusdiawan (wawancara B-20): Nenek moyang saya berasal dari Samudra Jaya. Profesi petani diwariskan turun temurun. Ayah saya seorang petani. Meskipun ia hanya menggarap lahan sewaan ia mampu membiayai sekolah empat anaknya karena saat itu penghasilan sebagai petani padi memampukan dia melakukan hal tersebut. Waktu muda saya bersekolah di ibtidaiyah dan pesantren. Sekarang, banyak anak-anak petani terpaksa putus sekolah dan harus bekerja. Sangat sulit bagi petani untuk mendeskripsikan dengan tepat perubahan apa saja yang mereka alami, kapan dan mengapa. Namun semua memiliki perasaan yang sama tentang kondisi kehidupan mereka sekarang: semakin sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari karena biaya hidup semakin tinggi dan pendapatan dari pertanian padi yang rendah. Dibandingkan dengan kehidupan orang tua mereka meskipun memiliki banyak anak - namun mereka mampu membiayai pendidikan anak-anak. Terutama sejak 10 tahun terakhir, para petani merasa kesulitan membiayai pendidikan anak-anak mereka, juga sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petani bahkan harus berutang untuk memenuhi kebutuhan harian karena penghasilan dari pertanian padi tidak mencukupi. Sulit untuk memahami penyebab kegetiran hidup petani dan sebagian penjelasan mereka terkesan samar-samar. Namun banyak hal memburuk sejak krisis ekonomi dan liberalisasi pasar sejak akhir tahun 1990an. Sektor pertanian umumnya atau pertanian padi khususnya semakin sulit diandalkan sebagai sumber mata pencaharian, bahkan berubah menjadi sumber kerugian. Pada saat tertentu satu-satunya cara untuk menutup defisit penghasilan adalah dengan menjual satu-satunya aset petani yaitu lahan mereka (Rusdiawan, wawancara B-20). Di masa lalu kehidupan petani lebih baik dari sekarang. Saat ini penghasilan sebagai petani tidak mencukupi untuk membayar berbagai pengeluaran dan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup banyak di antara mereka terjerat utang. Berdasarkan perhitungan mereka sendiri, seorang petani dengan satu hektar lahan sawah menerima pendapatan hanya Rp 4.800 (US$ 0,50) per hari. Jelas jumlah tersebut tidak mencukupi jika mereka hanya mengandalkan pertanian padi. Oleh sebab itu sebagian besar petani padi harus bekerja sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan seperti menjadi tukang batu, pekerja konstruksi, pedagang, atau pekerjaan lain di sektor informal. Dan semakin banyak anggota-anggota keluarga mereka yang perempuan, yang pergi menjadi pekerja migran, bahkan hingga keluar negeri. Situasi yang semakin sulit berdampak lebih besar terhadap perempuan pedesaan yang pada umumnya bertanggung jawab untuk mengelola ekonomi rumah tangga dan memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga. Tekanan ekonomi seringkali memaksa mereka berkorban lebih banyak. Selain mengurus rumah tangga, bekerja di sawah, mereka harus mencari penghasilan tambahan lain, banyak diantaranya terjun di sektor informal. Dalam kasus ekstrim, mereka harus meninggalkan keluarga sementara waktu karena harus mencari nafkah sebagai pekerja migran di Jakarta atau di luar negeri, terutama di negara-negara Arab. Sebagian besar petani berpendapat bahwa pemerintah bertanggungjawab terhadap kondisi menyedihkan yang mereka alami. Pemerintah seharusnya memastikan agar harga di tingkat petani tetap stabil dan tinggi, memperluas dukungan pertanian dan kredit, dan dukungan lain terutama untuk rakyat miskin. Berbagai tindakan pemerintah dipandang tidak tepat. Di semua desa yang diteliti, dukungan pemerintah terbatas pada program raskin (beras untuk masyarakat miskin). Dalam program tersebut keluarga miskin berhak membeli 20 liter beras per keluarga per bulan dengan harga subsidi Rp 1.000 (US$ 0,10) per liter. Namun dalam praktek, beras raskin didistribusikan merata
109
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia kepada semua penduduk desa dengan jatah hanya 4 liter per keluarga. Oleh sebab itu penduduk desa menyebut program raskin menjadi program rasta beras merata. “Jarang program subsidi yang benar-benar mencapai masyarakat yang membutuhkan. Ini sebabnya saya tidak percaya dengan program subsidi”, demikian diungkapkan oleh seorang petani perempuan di Pinangsari. Sangat jelas bahwa pemerintah dianggap bertanggungjawab terhadap kehidupan petani, namun harapan petani terhadap peluang perubahan sangatlah kecil.
6.3.5 Liberalisasi Perdagangan – Pandangan Petani 110
Bagaimana liberalisasi pasar berdampak terhadap kegetiran hidup petani padi? Pada umumnya petani kecil di semua desa yang diteliti tidak mengenal terminologi ”perdagangan bebas” atau ”liberalisasi pasar”. Kedua issue tersebut berada diluar jangkauan pemikiran mereka. Dalam derajat tertentu rendahnya pendidikan politik dan ketidakpahaman petani tentang dimensi internasional dalam kebijakan pertanian, menimbulkan kesulitan menghubungkan aspek makro dan mikro dalam penelitian ini. Namun terlepas dari ketidakpahaman para petani tentang fungsi pasar global, mereka mengerti bahwa masuknya beras impor murah adalah ancaman bagi mereka: Beras impor menimbulkan kerugian bagi kami! Jika impor berlanjut, siap-siap saja para petani - terutama petani berlahan sempit - mati kelaparan. Dalam pemahaman saya, 70% Indonesia adalah negara agraris. Kita dulu mampu berswasembada pangan. Vietnam yang dulunya tidak berswasembada pangan, sekarang malah mengekspor beras ke Indonesia. Pada saat yang sama kami hanya menerima janji-janji pemerintah. Demikian diungkapkan Dedi, sekertaris Desa Pinangsari (wawancara B-12). Para petani menyatakan bahwa beras impor membuat harga di tingkat petani turun. Sebagian besar petani tidak pernah melihat langsung karung-karung beras impor, namun mereka menganggap beras impor adalah ancaman dan informasi tentang beras impor mereka dapatkan dari tengkulak yang menyatakan bahwa pasokan beras impor murah menurunkan harga di tingkat petani. Tampaknya secara sistematis tengkulak memanfaatkan ketidaktahuan petani perihal beras impor. Daipin, penduduk Cikalong yang mulai bertani sejak tahun 1966 menyatakan bahkan kabar angin yang menyatakan naiknya beras impor mampu menurunkan harga padi: Saat ini kita berada dalam era informasi. Saat harga beras di Jakarta turun, beberapa detik kemudian harga di desa ikut turun. Tengkulak cukup mengirim SMS melalui telepon genggam mereka. Meskipun kita tengah tawar menawar, segera setelah ia tahu harga di Jakarta turun, harga yang ia tawarkan turun pula. (Wawancara B-2). Pada bulan Januari harga beras relatif baik, hampir mencapai Rp 350.000 per 100 kg. Kemudian berita TV menyatakan bahwa harga
Prapto Winarto, petani padi di Jawa Tengah, Indonesia. Paul Jeffrey/EAA
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
beras impor mungkin akan turun pada bulan Maret. Akibatnya harga GKP di Watas anjlog menjadi Rp 220.000. Demikian ditambahkan oleh teman Daipin yang bernama Abdul Yasa (71 tahun) (wawancara B-5). Pernyataan- pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pedagang berhasil menekan harga di tingkat petani agar tetap rendah. Dan ini tetap bahkan terjadi meskipun kebijakan pemerintah telah berubah dari kebijakan pasar terbuka menjadi kebijakan intervensi pasar semenjak 2001 dan terlepas pula dari fakta meningkatnya kelangkaan beras setelah tahun 2004. Tampaknya salah satu penyebab utama rendahnya harga di tingkat petani adalah ancaman berlanjut beras impor murah, terlepas apakah impor yang sesungguhnya terjadi atau hanya gosip kemungkinan masuknya beras impor di masa yang akan datang. Abdul Yasa terheran-heran saat ditanyakan bagaimana pendapatnya tentang rakyat miskin perkotaan yang sangat tergantung pada beras murah. Menurutnya bagaimana bisa ibu-ibu di kota tidak pernah mengeluh saat harga gula dan daging naik, tapi mengeluhkan kenaikan harga beras. Saat ibu-ibu di kota berdemonstrasi dan menjerit agar harga sembako diturunkan, artinya mereka ingin membunuh petani! (wawancara B-5). Para petani menekankan bahwa laju kenaikan biaya produksi dalam sepuluh tahun terakhir lebih cepat dibandingkan laju produkfitas dan kenaikan harga padi di tingkat petani. Mereka juga menekankan bahwa biaya hidup terus naik sedangkan keuntungan turun. Hampir semua petani menyatakan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarga mereka jika hanya mengandalkan pertanian padi saja. Meskipun tidak memahami sepenuhnya mengapa perbandingan pemasukan dan pengeluaran semakin tidak seimbang, mereka paham betul keterkaitan antara kebijakan perdagangan dan pertanian. Tindakan pemerintah, terutama pemberian subsidi input produksi dan kebijakan stabilisasi harga, tidak mencapai petani atau berdampak minimal karena kegagalan sistem. Ibu Marni (32 tahun), istri Pak Mukrim (36 tahun), dan juga merupakan ibu dari tiga anak, sekaligus petani kecil yang memiliki lahan sawah seluas 2.700 m2 di Desa Samudrajaya berkomentar perihal tindakan pemerintah: Pemerintah menetapkan harga perantara sebesar 220 Rp/kg padi, namun saat panen kami hanya menerima 150 Rp/kg untuk padi hasil panen kami (wawancara B-17). Sebagaimana telah ditulis sebelumnya, meskipun semua desa tersebut berlokasi dekat dengan Jakarta namun tingkat kesadaran politik sebagian besar petani di desa-desa yang diteliti belum cukup terbangun. Sebaliknya kesadaran tentang isu perdagangan sangatlah tinggi pada tingkat gerakan petani kecil di tingkat nasional. Bagi mereka beras impor adalah salah satu isu terpanas, terlepas dari fakta bahwa kebijakan pelarangan impor sejak tahun 2004 masih berlaku. ”Beras adalah kehidupan, budaya dan harga diri!” (FSPI/slogan Via Campesina). Sama halnya dengan petani di beberapa negara tetangga, organisasi petani [di Indonesia] sangat menentang liberalisasi pasar beras karena mengancam kehidupan petani kecil, petani tanpa lahan dan ekonomi pedesaan. Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan afiliasi Via Campesina, menyerukan pelarangan impor beras dan mempromosikan pertanian padi berbasis keluarga guna memastikan swasembada pangan. Menurut FSPI saat ini Indonesia memproduksi cukup pangan dan tidak perlu mengimpor apapun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah harus mensubsidi harga padi di tingkat petani untuk memastikan harga tersebut dapat menutup biaya produksi dan memberikan keuntungan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup mereka (La Via Campesina/ FSPI, 2006, hlm.39). Menurut FSPI harga yang memadai di tingkat petani adalah Rp 2.350/kg untuk panen tahun 2007 (di Jawa Tengah), sedangkah harga yang dibayar BULOG hanya Rp 2.000/kg. Di
111
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia tingkat petani sendiri harga bervariasi antara Rp 1.800/kg- Rp 2.500/kg sebagaimana dinyatakan oleh penasehat kebijakan dan penelitian FSPI, Mohamed Ikhwan dalam sebuah wawancara penelitian (wawancara A-3). Agusdin Pulungan, Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia ( WAMTI), juga menyerukan penghentian total impor beras dan penetapan harga minimum di tingkat petani sebesar Rp 2.500/kg (A-10). Ia menghitung bahwa beras impor telah menurunkan harga padi sebesar 20-30%. Ia juga menekankan bahwa pemerintah tidak mampu mengendalikan impor dengan efektif. Menurutnya sejak tahun 2000, 1.000.000-2.000.000 ton beras selundupan memasuki pasar setiap tahun. Hal yang sama dibenarkan oleh para pakar, termasuk pejabat pemerintah. 112
Dalam wawancara terhadap organisasi petani seperti API, FSPI, WAMTI, dan organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Nasional Melawan Kelaparan (ANMK), Bina Desa, Institute for Global Justice (IGJ) dan Koalisi rakyat untuk Kedaulatan Pangan, terungkap bahwa semua sepakat dalam kritik mereka bahwa dibukanya pasar dalam negeri terhadap beras impor selama tahun 1997-2001 hanya menguntungkan kelompok dan orang-orang yang berada dekat dan dalam lingkar kekuasaan, tetapi tidak menguntungkan rakyat miskin. Hingga kini pendapat mereka tidak banyak berubah. Tampaknya ada sekelompok kecil politisi berpengaruh yang mengambil keputusan untuk keuntungan diri mereka sendiri, keluarga ataupun teman dekat mereka. Dan kenyataan ini terbukti dengan temuan baru kasus korupsi BULOG yang dikenal dengan sebutan ”Bulogate” (lihat 6.4.1). Isu lain dikemukakan oleh Carla June Natan, koordinator Pelayanan Masyarakat Kota Jakarta, perihal perlunya kembali ke diversifikasi makanan pokok di Indonesia: Selama lima dekade terakhir, jagung, sagu, singkong dan bermacam makanan pokok tradisional lainnya di berbagai pulau di Indonesia digantikan oleh beras yang dipromosikan pemerintah sebagai pangan murah (wawancara A-8).
6.3.6 Kemiskinan dan Kerawanan Pangan Sebagian besar petani bertanam padi untuk dikonsumsi sendiri, termasuk mengalokasikan cadangan beras untuk kebutuhan tak terduga dan acara khusus seperti kondangan. Sisanya baru dijual untuk mendapatkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama uang sekolah anak-anak dan untuk membeli input produksi untuk musim tanam berikutnya. Namun liberalisasi mempercepat proses dimana semakin banyak petani terjerat utang dan memaksa mereka menjual padi sebelum panen. Sehingga, ketika panen mereka tidak dapat mengambil padi mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka terpaksa berutang lagi untuk membayar biaya produksi, dan bahkan untuk menutupi biaya-biaya konsumsi sampai mereka dapat membayarnya di musim panen berikutnya (yarnen). Sejauh ini proses tersebut terus berlanjut – bahkan setelah pemerintah kembali mengintervensi pasar, sebagian besar petani kecil yang diwawancarai tidak mampu hidup layak dari pertanian padi. Saat ini setiap musim tanam seorang petani pemilik lahan mendapatkan keuntungan Rp 4.000.000/ hektar - Rp 6.000.000/hektar. Buruh tani atau petani penyewa lahan hanya mendapatkan setengah dari jumlah tersebut. Dengan pendapatan kurang dari US$ 1 per hari, sangat sulit bagi mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai pendidikan anak-anak. Terlepas dari kondisi keuangan yang sangat terbatas, sebagian besar responden yang diwawancarai tidak menganggap diri mereka rawan pangan meskipun sebenarnya tidak demikian. Bagi mereka kebutuhan pangan pada dasarnya terpenuhi saat mereka memiliki cukup nasi. Selain nasi mereka
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
menambahkan sayuran, baik yang tumbuh liar atau yang dibudidayakan di kebun atau di halaman rumah. Kadang kala mereka memancing untuk mendapatkan ikan sebagai tambahan gizi. Saat kejadian luar biasa misalnya karena gagal panen, petani berutang kepada tetangga, pemilik tanah atau tengkulak. Bahkan saat kemarau, petani mampu makan paling tidak dua kali sehari Bagaimanapun juga kerawanan pangan bukan hanya menyangkut persoalan kuantitas namun juga kualitas pangan. Ibu Tarpen (35 tahun) adalah seorang petani penggarap. Ia tinggal di Desa Cikuntul bersama Sugiri, suaminya yang juga seorang petani penggarap bersama kedua anak mereka. Ia menyatakan bahwa kebutuhan sehari-hari sepenuhnya mengandalkan penghasilannya yang paspasan, yaitu Rp30.000/hari selama musim panen. Untuk memastikan dirinya akan direkrut sebagai buruh tani saat panen, ia melakukan jeblok, istilah lokal yang artinya seseorang bekerja tanpa bayaran diluar musim panen dengan imbalan ia mendapat jaminan direkrut sebagai buruh tani saat panen. Dalam setahun Ibu Tarpen menganggur selama 2-4 bulan. Selama itu pula tidak ada jaminan mereka mampu memenuhi kualitas minimal pangan keluarga: Seperti biasa kami makan tiga kali sehari, namun biaya makan turun dari Rp 2.000 menjadi Rp 1.000, kami harus memetik sesuatu dari kebun, menjual barang-barang rumah tangga, atau berutang (wawancara B-8). Pada saat terbebani utang, petani seringkali menjual padi untuk membeli beras. Dalam terminologi lokal, hal tersebut disebut Beron’tok artinya setelah panen, hasil panen lewat begitu saja. Saat seorang petani berutang kepada tengkulak, terbuka kemungkinan penerapan sistem tebas, yaitu ketika tengkulak langsung mengambil hasil panen dari sawah. Saat kekurangan uang – terutama pada waktuwaktu sulit tanpa penghasilan sebelum musim panen – petani memangkas biaya hidup mereka pada tingkat paling minimal, jauh dibawah tingkat hidup yang layak. Haji Rifai dari Cikalong mengatakan: “Saat panen kami mampu berbelanja Rp 5.000. Saat paceklik kami hanya mampu berbelanja Rp 3.000 dan makan hanya dua kali sehari serta memangkas semua pengeluaran” (wawancara B-14). Ibu Inah (66 tahun) setiap hari bekerja keras sebagai buruh di lahan siapa saja di Pinangsari. Ia hidup bersama suami, dua anak dan seorang cucu. Ibu Inah dan suaminya tidak memiliki lahan dan tidak mampu menyewa. Kebutuhan pangan sehari-hari mereka penuhi melalui jatah beras yang mereka dapatkan sebagai upah bekerja di sawah orang lain saat panen. Pemilik sawah memberi mereka 1 kuintal (100 kg) dari total 6 kuintal padi hasil panen. Ibu Inah dan keluarganya hanya sekali mendapat jatah beras raskin. Kondisi mereka memburuk saat kemarau dan terpaksa harus mengganti menu sehari-hari. Ibu Inah mengatakan: Untuk membeli telur butuh uang, jadi besok kami makan dengan kacang panjang. Jika kami kehabisan uang, kami makan apa saja yang ada. Tapi tidak pernah kami makan tanpa nasi (wawancara B.14).
6.4 Penilaian dari pandangan Hak Asasi Manusia Penelitian lapangan di Desa Cikuntul, Cikalong (Karawang), Pinangsari (Subang) dan Samudrajaya (Bekasi) di Jawa Barat membuktikan bahwa sebagian besar petani kecil di keempat desa tersebut tidak mendapatkan secara penuh hak asasi mereka dalam hal kecukupan pangan termasuk hak untuk memberi makan diri sendiri sebagaimana tertulis dalam Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ikut ditandatangani oleh Indonesia.
113
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
114
Berdasarkan data Potensi Desa, pada bulan April 2007 sekitar 11.470 orang di keempat desa yang diteliti termasuk dalam rumah tangga petani kecil dan tergantung pada pertanian padi sebagai sumber penghasilan utama. Kurang dari 1% rumah tangga petani yang memiliki lebih dari 2 hektar lahan. Ukuran lahan tersebut dianggap memadai untuk mencapai standar hidup layak. Lebih dari Justin Coupertino/EAA setengah keluarga petani kecil sama sekali tidak memiliki lahan sendiri. Semua data statistik dan hasil wawancara dengan jelas mengindikasikan bahwa sebagian besar keluarga petani kecil hidup kurang dari US$ 1 per hari, akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dengan rutin. Mengurangi jatah makan adalah langkah terakhir yang diambil oleh petani miskin. Sebagian besar dari mereka dapat memenuhi kuantitas pangan dalam jumlah cukup namun tidak demikian halnya dengan kandungan gizi (kualitas) pangan yang mereka konsumsi. Dalam rangka mendapatkan pangan dalam jumlah cukup, sebagian besar petani miskin mengorbankan kebutuhan dasar lain seperti perumahan, kesehatan dan pendidikan. Bahkan ada sejumlah orang yang terpaksa mengurangi konsumsi pangan harian pada bulan-bulan sebelum panen karena ketiadaan penghasilan. Fenomena di atas tidak hanya terjadi di keempat desa yang diteliti namun mencerminkan kecenderungan umum dan ciri khas desa-desa lumbung padi di Jawa. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2003, situasi ini sangat mirip dengan kondisi mayoritas petani padi di Indonesia.
6.4.1 Peran dan tanggungjawab pemerintah Indonesia Pemerintah Indonesia wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan warganya. Pemerintah harus mengambil langkah maju untuk merealisasikan hak atas pangan sebagaimana halnya realisasi hak asasi manusia yang lain dengan cara memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang ada. Pelanggaran yang dilakukan pemerintah dalam pemenuhan hak atas pangan warganya terjadi berlapis. Liberalisasi pasar beras yaitu pembukaan pasar domestik terhadap beras impor (terutama selama tahun 1998-2001), deregulasi kebijakan harga (deregulasi harga di tingkat konsumen dan petani, terutama sejak tahun 2003), dan pengurangan dukungan pertanian (terutama selama tahun 1998-2001), semuanya telah berdampak buruk terhadap kondisi petani padi dan terlebih lagi karena mereka tidak mendapat kompensasi apapun atas kehilangan pendapatan yang mereka derita dan kegetiran hidup yang mereka alami. Sampai tahun 1995 pemerintah menerapkan kebijakan yang berbeda dalam intervensi pasar beras yang cukup berhasil membuat harga beras relatif stabil, meningkatkan produksi dan produktifitas, kesejahteraan serta pertumbuhan ekonomi pedesaan, dan menghasilkan minimal 95% swa sembada beras. Pada tahun 1984 saat puncak penerapan kebijakan ini, ketahanan pangan keluarga mencapai tingkat tertinggi. Namun krisis ekonomi Asia memukul Indonesia pada tahun 1997-1998 dan berdampak parah terhadap kebijakan ekonomi nasional. Atas desakan IMF, pada tahun 1988 pemerintah memutuskan deregulasi dan liberalisasi pasar beras. Sejak tahun 1995, terutama selama tahun 1997-2000, dukungan bagi petani seperti subsidi input dan kredit juga dikurangi. Pemberlakuan kembali pembatasan impor yang dimulai dengan pengenaan kuota tarif pada tahun 2000 dan diikuti
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
pelarangan sementara impor pada tahun 2004, yang hanya mengijinkan impor beras untuk menutup kesenjangan antara produksi nasional dan konsumsi dan meniadakan impor beras saat panen, dapat dilihat sebagai kehendak baik pemerintah untuk melindungi produksi padi nasional dan menyusun kebijakan yang berpihak kepada penduduk desa yang marjinal yang menggantung hidupnya pada pertanian padi sebagai sumber mata pencaharian. Hanya saja, isu ini masih sangat sensitif dan butuh perjuangan politis terus menerus. (Mulyo Sidik 2004:9) menyimpulkan: Selama bertahun-tahun, kebijakan pangan dan kebijakan beras khususnya berubah cepat. Seringkali perubahan tersebut dibuat tanpa analisis menyeluruh atau bahkan tanpa mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi-politik dan bagaimana menerapkannya dengan efektif. Perubahan mendadak reformasi kebijakan memperlemah kapasitas institusional pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakan pangan nasional. Terlebih sejak Kementrian Pangan dihapuskan pada tahun 1998, tidak ada satupun institusi yang bertanggungjawab memformulasikan kebijakan pangan yang menyeluruh dan saling bertautan. Benar bahwa beberapa departemen yang berbeda terlibat dalam kebijakan pangan namun masing-masing departemen memiliki visi dan tujuan yang berbeda yang menambah panjang kompleksitas formulasi kebijakan. Dalam situasi tersebut, tidak mengejutkan jika BULOG menjadi sarang korupsi. Kenyataannya penyuapan terhadap BULOG yang dikenal dengan sebutan “Bulogate” adalah skandal korupsi yang paling nyata di Indonesia saat ini. Berdasarkan temuan awal kasus korupsi BULOG, mantan kepala BULOG Widjanarko Puspoyo dan keluarganya menerima US$ 1.500.000 dari Vietnam Southern Food Corporation ( VSFC) terkait ekspor beras dari Vietnam ke Indonesia antara tahun 2001-2005. Uang tersebut dianggap sogokan dari VSFC untuk memastikan keluarnya ijin ekspor beras ke Indonesia dari BULOG (lihat The Jakarta Post, 20 April 2007, hlm. 9). Keputusan pemerintah menderegulasi pasar beras dan memangkas dukungan pertanian dalam negeri bukan satu-satunya penjelasan ketiadaan realisasi hak atas pangan dan hak memenuhi kebutuhan pangan sendiri di desa-desa yang diteliti dan ditempat lain. Kebijakan pemerintah berada di urutan pertama diantara berbagai faktor lain yang meminggirkan petani seperti ketiadaan lahan, tidak adanya kemandirian, rendahnya tingkat pendidikan dan tidak adanya kemampuan mengorganisir diri. UNDP (2005) menyimpulkan: Keputusan pemerintah menderegulasi pasar beras dan memangkas dukungan pertanian dalam negeri bukan satu-satunya penjelasan ketiadaan realisasi hak atas pangan dan hak memenuhi kebutuhan pangan sendiri di desa-desa yang diteliti dan ditempat lain. Kebijakan pemerintah berada di urutan pertama diantara berbagai faktor lain yang meminggirkan petani seperti ketiadaan lahan, tidak adanya kemandirian, rendahnya tingkat pendidikan dan tidak adanya kemampuan mengorganisir diri. UNDP (2005) menyimpulkan. Keputusan pemerintah pada tahun 1997/1998 untuk membuka perdagangan bebas beras di Indonesia sama dengan pemerintah melanggar kewajibannya melindungi hak petani padi atas pangan di keempat desa yang diteliti – Cikuntul, Cikalong, Pinangsari dan Samudrajaya di Jawa Barat – yang menghadapkan mereka dengan persaingan tidak seimbang dengan beras impor murah, sebagian adalah beras impor dumping. Hal ini mengakibatkan petani kehilangan pangsa pasar dan keuntungan, sehingga banyak petani jatuh dibawah garis kemiskinan dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan diri sendiri dan pangan dalam jumlah mencukupi. Perlu ditekankan bahwa pemerintah Indonesia mengambil keputusan jauh melebihi ketentuan liberalisasi yang disyaratkan dalam AoA dan AFTA, dua perjanjian yang ditandatangani Indonesia
115
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia pada tahun 1995 dan 2002, sebelum Indonesia meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada bulan Februari 2006.
116
Penurunan dalam jumlah besar dan bahkan penghapusan dukungan bagi sektor pertanian dalam negeri yang telah didapatkan petani padi selama puluhan tahun pada tahun 1998, penghapusan sebagian kebijakan harga pembelian yang ditetapkan pemerintah dan kebijakan stabilisasi harga lainnya, keseluruhannya telah mengancam sumber mata pencaharian petani (lihat sebelumnya) dan berarti pemerintah telah melanggar kewajibannya memenuhi hak mereka atas pangan.
Menyalurkan air menuja area persawahan di Karawang. Justin Coupertino/EAA
Penanganan program raskin yang tidak efisien juga berarti bahwa pemerintah melanggar kewajibannya memenuhi hak atas kecukupan pangan rakyat yang tidak mampu secara mandiri memenuhi hak atas pangan dan yang tergantung pada skema bantuan pangan atau jaring pengaman sosial. Kombinasi semua pelanggaran ini melahirkan situasi dimana ketahanan pangan rumah tangga petani kecil lebih rentan dari masa sebelum liberalisasi perdagangan. Situasi tersebut muncul karena negara melanggar kewajibannya untuk memenuhi hak atas pangan dan mengarah pada asumsi bahwa sumber daya yang ada tidak dimanfaatkan secara maksimal, sebagaimana telah ditentukan oleh hukum hak asasi manusia. Seperti yang telah ditunjukkan dalam penelitian ini, bahwa semenjak tahun 2001, dan terutama dalam tiga tahun terakhir, pemerintah telah mengetahui dampak negatif kebijakannya terhadap pemenuhan hak atas pangan dan mulai mengambil tindakan serta menginvestasikan sumber daya dengan mengubah kebijakannya. Namun sejauh ini hasil yang dicapai tidak cukup untuk memenuhi hak atas kecukupan pangan dan hak untuk memenuhi kebutuhan pangan diri sendiri di keempat desa yang diteliti. Pemerintah belum mampu menstabilkan harga di tingkat petani pada tingkat yang memadai, ataupun memberikan dukungan pertanian yang memadai bagi petani di keempat desa tersebut. Demikian pula halnya dengan keterbatasan jangkauan program bantuan pangan raskin.
6.4.2 Peran dan Tanggungjawab Pemenuhan Hak Asasi Manusia IMF dan World Bank Setelah krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, IMF – sebagaimana tertulis dalam surat perjanjian – telah mendesak pemerintah Indonesia untuk menerapkan liberalisasi pasar beras sebagai syarat mendapatkan pinjaman US$ 49.000.000.000. Kebijakan deregulasi yang diminta IMF, disusun dengan kerjasama erat antara IMF dan World Bank. Dengan memaksa pemerintah Indonesia agar menerapkan kebijakan yang mengakibatkan pelanggaran hak atas kecukupan pangan dan hak memenuhi kebutuhan pangan diri sendiri para petani kecil di keempat desa yang diteliti, artinya IMF melanggar kewajibannya menghormati hak atas pangan. Dari perspektif hak asasi manusia, saran kebijakan World Bank bagi Indonesia yang diberikan pada tahun 1997/1998, agar membuka pasar dalam negeri terhadap beras impor, sangat dipertanyakan karena saran tersebut secara tidak langsung telah berujung pada pelanggaran hak atas pangan. Saat
6. Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat
ini World Bank kembali menekan pemerintah Indonesia untuk membatalkan pelarangan impor dan mengijinkan sektor swasta mengimpor beras dalam jumlah tak terbatas dengan tarif rendah. World Bank menyebutnya kebijakan “pro rakyat miskin”. World Bank mengakui bahwa petani padi akan dirugikan namun bisa diatasi dengan pemberian kompensasi langsung. Menjadi tanda tanya besar mengapa World Bank masih saja memberi saran seperti itu meskipun di sisi lain ia sepenuhnya sadar akan situasi kritis petani padi di Indonesia. Dari sudut pandang hak asasi manusia, dorongan semacam itu adalah pelanggaran tanggung jawab World Bank untuk menghormati hak atas ketercukupan pangan.
6.4.3 Peran dan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia negara lain Tanggung jawab utama IMF dan World Bank adalah terhadap negara-negara anggotanya, yang sebagian besar telah meratifikasi CESCR dan terikat dibawah hukum internasional. Dengan membiarkan IMF dan World Bank memberikan pinjaman dan menerapkan SAP dengan dampak yang diuraikan dimuka, artinya negara-negara anggota IMF dan World Bank melanggar kewajiban lintas negara untuk menghormati dan melindungi hak atas kecukupan pangan petani kecil. Selama kurun waktu penelitian, minimal tiga dari eksportir beras utama ke Indonesia yaitu Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam telah merusak pasar beras dalam negeri dan merugikan petani padi melalui persaingan tidak sehat seperti subsidi ekspor dan kemungkinan penyuapan (kasus BULOG yang melibatkan perusahaan milik negara dari Vietnam VFSC). Namun karena batasan dan ruang lingkup penelitian maka masalah ini tidak dibahas secara mendalam, selain kurangnya referensi berbahasa Inggris. Lebih penting lagi, faktor dumping adalah faktor nomor dua untuk memahami situasi petani padi Indonesia, karena dalam hal harga, bahkan jika tidak ada dumping, mereka sama sekali tidak mampu bersaing dengan harga pasar dunia. Namun demikian, dapat dianggap bahwa negara-negara tersebut juga melanggar kewajiban lintas negara untuk menghormati hak atas pangan petani padi Indonesia melalui praktik dumping dan penyuapan. Paul Jeffrey/EAA Terdapat pula indikasi bahwa bantuan pangan Amerika Serikat disalahgunakan dan mengganggu pasar dalam negeri serta memperburuk kondisi petani padi, paling tidak antara tahun 1998-2000. Namun karena tidak ada bukti perihal tersebut di keempat desa yang diteliti, isu ini tidak dapat dibahas lebih jauh dalam penelitian ini.
117
7. Ringkasan dan Kesimpulan
118
Akses terhadap kecukupan pangan adalah hak asasi dasar bagi setiap orang. Hal tersebut tercantum dalam pasal 25 Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia dan pasal 11 Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights - ICESCR). Berdasarkan definisi resmi Komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic, Social and Cultural Rights - CESCR), hak atas pangan tidak harus diartikan secara sempit sekedar hak untuk diberi makan, namun lebih pada terbukanya akses – fisik dan ekonomi – terhadap ”kecukupan pangan” dan kemampuan mendapatkannya setiap saat. Kuantitas dan kualitas pangan harus tersedia dalam jumlah cukup dan dapat diterima secara budaya. Pemenuhan hak atas pangan tidak boleh mengancam ”pencapaian dan pemuasan kebutuhan dasar lain” seperti kesehatan, perumahan dan pendidikan. Hak atas Pangan Dalam Era Globalisasi Sebanyak 156 negara telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kecukupan pangan. Setiap negara wajib membangun strategi untuk mewujudkan secara progresif hak atas pangan bagi semua orang, dengan memanfaatkan ”secara maksimal semua sumber daya yang ada”. Strategi tersebut harus mengacu pada semua bagian rantai pangan, termasuk produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran dan konsumsi. Akses terhadap sumber daya produktif adalah elemen kunci hak atas kecukupan pangan. Hal ini berlaku terutama di pedesaan dimana hampir 80% rakyat yang lapar tinggal. Lebih lanjut, mereka harus mampu memberi makan diri sendiri dengan cara bermartabat melalui aktifitas di sektor pertanian. Kondisi pasar yang berkeadilan adalah kunci utama bagi negara untuk membentuk sebuah lingkungan yang mampu memenuhi hak atas kecukupan pangan. Kewajiban negara tidak terbatas hanya pada penduduk di negara yang bersangkutan, namun berdimensi internasional. Brot für die Welt, EED dan FoodFirst Information and Action Network (FIAN) mengusulkan terminologi ”kewajiban lintas negara” (extraterritorial obligations - ETO) untuk menjelaskan dimensi internasional kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pangan dan merupakan bagian dari Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dimensi internasional ini diterapkan sama dengan dimensi nasional, terutama ”kewajiban minimal” untuk menghormati hak atas pangan yang menurut para pakar sudah menjadi bagian dari ketentuan hak asasi manusia. Jadi tidak ada satu negarapun yang boleh mengganggu hak atas kecukupan pangan warga negara lain. Kewajiban lintas negara ini terutama sangat terkait dengan program bantuan pembangunan, investasi atau perdagangan internasional. Contoh pelanggaran lintas batas pemenuhan hak atas pangan adalah ketika dumping atau dibukanya pasar, menghancurkan akses pasar lokal, sumber pendapatan dan ketahanan pangan petani kecil. Kewajiban menghormati hak atas pangan warga negara lain tidak hanya mengacu pada hubungan bilateral namun meliputi mencakup pula keputusan yang diambil organisasi internasional seperti World Bank (Bank Dunia), IMF (International Monetary Fund / Dana Moneter Internasional) atau WTO ( World Trade Organisation / Organisasi Perdagangan Dunia). Menurut CESCR, ”dalam perjanjian internasional, negara harus memastikan bahwa hak atas kecukupan pangan mendapat perhatian cukup dan mempertimbangkan hal-hal yang diperlukan bagi pengembangan instrumen hukum internasional”.
7. Ringkasan dan Kesimpulan
Liberalisasi Perdagangan Beras Sebagai Ancaman bagi Produsen Kecil Penelitian ini bertujuan untuk menggali kemungkinan terjadinya pelanggaran hak atas kecukupan pangan melalui kebijakan perdagangan beras. Beras dipilih sebagai contoh kasus karena peran sentral beras bagi ketahanan pangan dunia. Beras adalah sumber kalori utama bagi setengah penduduk dunia, sumber penghasilan utama bagi dua milyar manusia, sebagian besar dari mereka petani kecil dan perempuan. Hanya 6,5% beras dunia yang diperdagangkan secara internasional. Dewasa ini negara-negara pengekspor beras terbesar adalah Thailand, Vietnam, India, Amerika Serikat dan Pakistan. Meskipun persentasenya kecil, namun perdagangan internasional beras berdampak serius terhadap perkembangan pasar dan harga beras dalam negeri. FAO (Food and Agriculture Organisation / Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mencatat 408 kasus gelombang impor beras di 102 negara yang terjadi antara tahun 1983-2003, sebagian besar terjadi di Afrika, Kepulauan Pasifik dan Amerika Tengah. Ada tiga faktor utama yang diidentifikasi sering menjadi alasan pemicu terjadinya gelombang impor khususnya dan kenaikan impor umumnya: 1) Sejak awal tahun 1980an, banyak negara membuka pasar dalam negeri mereka terhadap impor sebagai bagian dari program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programmes - SAP) yang seringkali dipaksakan oleh IMF dan World Bank, perjanjian perdagangan bebas regional dan juga AoA. 2) Tingginya dukungan pemerintah negara maju untuk produksi, proses dan ekspor beras di negara-negara tersebut berkontribusi terhadap timbulnya gelombang impor di negara berkembang. Gelombang impor ini terutama paling sering terjadi saat harga beras dunia sangat rendah, seperti pada tahun 2000-2003. Menurut Oxfam, pada tahun 2003 Amerika Serikat mengekspor beras dengan harga 34% lebih rendah dari biaya produksi. Hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai praktik dumping. 3) Pemangkasan dukungan di negara berkembang untuk input pertanian, mesin-mesin pertanian, penyediaan publik, jaminan harga, dan lainnya sebagai bagian dari SAP, seringkali mennyebabkan penurunan atau kemandegan kapasitas produksi beras dalam negeri. Banyak pemerintah tidak mendukung produksi beras dalam negeri, malah cenderung mengisi kesenjangan antara produksi dan konsumsi dalam negeri dengan impor beras murah. Relatif sedikit informasi yang komprehensif dan tepat perihal dampak gelombang atau kenaikan impor terhadap pendapatan dan kehidupan petani padi kecil. Dalam berbagai studi dan saran kebijakan yang diberikan oleh sebagian besar organisasi antar pemerintah, cenderung memfokuskan perhatian pada kepentingan konsumen. Contohnya saja World Bank yang menyarankan liberalisasi radikal perdagangan beras dan menghitung peluang surplus ekonomi dibawah kebijakan liberalisasi total. Sebagai akibat dari liberalisasi ini, di negara pengimpor, konsumen mendapatkan US $ 32.800.000.000 sedangkan produsen kehilangan US $ 27.200.000.000. Dari perspektif hak atas kecukupan pangan dan hak asasi manusia lainnya, saran seperti itu bukanlah saran yang baik karena akan menghancurkan kehidupan jutaan petani kecil yang sebelumnya sudah rentan terhadap kelaparan dan kemiskinan, apalagi hal ini dilakukan tanpa menawarkan alternatif lain bagi mereka. Pendukung liberalisasi cenderung mengabaikan kenyataan bahwa harga rendah beras impor tidak selalu berarti harga rendah pula bagi konsumen. Ini disebabkan karena tingginya konsentrasi bisnis beras di tangan tertentu. Pendukung liberalisasi juga cenderung memfokuskan perhatian hanya pada konsumen perkotaan dan mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar konsumen beras tinggal di pedesaan dan kehidupan mereka tergantung pada sektor pertanian. Pada saat sumber penghasilan sebagai produsen dihancurkan, keuntungan mereka sebagai konsumen juga berkurang. FAO menekankan bahwa pemerintah harus menyelaraskan kebijakan beras untuk menjaga harga beras tetap terjangkau bagi konsumen dan menguntungkan bagi produsen. Dibukanya pasar dalam negeri terhadap beras impor bukan satu-satunya cara dan bukan pula cara terbaik untuk mencapai tingkat harga yang terjangkau bagi konsumen.
119
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Memberi dukungan bagi produksi beras domestik adalah salah satu alternatif yang mengakomodasi kepentingan konsumen dan produsen. Pendekatan dan Metodologi
120
Meskipun banyak penelitian mengungkapkan keprihatinan bahwa gelombang impor akan berdampak serius terhadap ketahanan pangan, relatif sedikit penelitian yang menggali secara mendalam dampak nyata gelombang impor terhadap sektor beras di negara pengimpor dan juga dampak gelombang impor ini di tingkat mikro terhadap petani kecil dalam hal pendapatan, kemiskinan dan ketahanan pangan. Penelitian yang menganalisis dampak tersebut dari perspektif hak atas kecukupan pangan bahkan lebih sedikit lagi. Penelitian ini bertujuan menjawab apakah kebijakan perdagangan tertentu berdampak negatif atau melanggar hak atas pangan komunitas petani padi di Honduras, Ghana dan Indonesia. Studi kasus meliputi tinjauan makro perkembangan impor beras, produksi dan kebijakan beras nasional termasuk tindakan-tindakan pembatasan. Studi ini juga menganalisis kemungkinan praktik dumping oleh negara asal beras impor dan kemungkinan tekanan yang dilakukan negara lain terhadap Honduras, Ghana dan Indonesia, melalui perjanjian perdagangan bilateral atau multilateral atau tekanan dari Inter-Governmental Organisation - IGO, agar ketiga negara tersebut menerapkan kebijakan perdagangan tertentu. Komponen utama penelitian ini meliputi analisis kuantitatif kemungkinan dampak meningkatnya impor beras terhadap penghasilan, penghidupan dan ketahanan pangan komunitas penghasil padi di ketiga negara yang menjadi subyek penelitian. Akhirnya penelitian ini ditutup dengan analisis perilaku negara dari perspektif hak atas pangan. Tantangan utama penelitian ini adalah membuktikan adanya hubungan sebab akibat, pertama, antara kenaikan tajam impor beras dengan kelaparan atau gizi buruk di komunitas yang diteliti, dan kedua, keterkaitan antara tingginya impor dengan kebijakan perdagangan dan pertanian tertentu. Pembuktian adanya hubungan sebab akibat ini dan masalah pelanggaran hak atas kecukupan pangan meminta kehati-hatian dalam menilai, termasuk mempertimbangkan faktor lain yang mungkin memperburuk akses petani padi terhadap pangan seperti bencana alam, konflik berdarah/perang, perubahan peraturan sewa lahan, menurunnya akses terhadap infrastruktur, input pertanian, kredit atau pelayanan tambahan lain. Tantangan lain dalam analisis hak asasi manusia adalah membedakan kewajiban berbagai negara dalam kebijakan perdagangan. Dalam banyak kasus, kewajiban ini ditanggung bersama oleh pemerintah, organisasi antar pemerintah dan aktor-aktor eksternal lain. Hanya jika terbukti adanya hubungan sebab akibat tersebut dan identifikasi dengan jelas tanggung jawab negara, kami mampu membuktikan adanya pelanggaran hak atas pangan. Ghana: Liberalisasi perdagangan beras dibawah bayang-bayang IMF Meskipun sampai saat ini beras adalah produk elit bagi kaum elit perkotaan, dalam sepuluh tahun terakhir permintaan beras meningkat signifikan di Ghana. Perkembangan ini membuka peluang pertumbuhan produksi beras nasional dan penurunan kemiskinan bagi sekitar 800.000 produsen beras Ghana yang sebagian besar merupakan petani berlahan sempit. Meski permintaan akan beras meningkat, namun semejak tahun 1998-2005, area penanaman padi turun dari 130.000 hektar menjadi 120.000 hektar dan tingkat produksi padi turun dari 281.000 ton menjadi 237.000 ton per tahun. Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa penghasilan petani dalam beberapa tahun terakhir turun dan menurunan ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan terkait kemiskinan dan kerawanan pangan. Krisis ini memukul sebagian penduduk yang sangat miskin dan rentan kelaparan. Kemiskinan menimpa hampir 60% petani tanaman pangan, 70% diantaranya adalah perempuan.
7. Ringkasan dan Kesimpulan
Fenomena yang bertolak belakang ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa meningkatnya permintaan beras di Ghana dipenuhi dengan masuknya beras impor, terutama dari Amerika Serikat, Vietnam dan Thailand. Sejak tahun 1998-2003, impor beras meningkat dari 250.000 ton menjadi 415.000 ton, atau meningkat hampir 70%. Pangsa pasar beras lokal jatuh dari 43% pada tahun 2000 menjadi hanya 29% pada tahun 2003. Menurut FAO ”gelombang impor” terjadi antara tahun 2002-2003. Saat itu volume beras impor naik 154%, sementara volume produksi padi nasional turun dari 280.000 ton menjadi 239.000 ton atau turun sebesar 16%. Alasan utama terjadinya gelombang impor adalah rendahnya harga beras dunia antara tahun 20002003 dan rendahnya harga CIF beras impor yang memang selalu lebih rendah dari harga rata-rata beras lokal Ghana di tingkat grosir. Beras lokal yang diproses secara sederhana seringkali dijual lebih murah. Beras impor memukul beras lokal karena secara umum kualitas dan harganya lebih baik. Beras impor berkualitas tinggi lebih murah dibandingkan beras lokal kualitas tinggi. Beras impor juga diuntungkan oleh saluran pemasaran yang lebih baik antara lain karena bisnis beras impor yang sangat terkonsentrasi di tangan tertentu. Akibatnya beras impor tersedia di mana-mana, sedangkan beras lokal sulit ditemui di sebagian pasar di perkotaan dan nyaris gagal mencapai konsumen besar seperti restoran, hotel, dan lain-lain. Penelitian ini menemukan bukti kuat adanya tiga kebijakan yang memicu impor: 1) Pembatalan pengendalian impor dan pengenaan tarif rendah bagi beras impor sebesar 20% pada tahun 1992 telah mengakibatkan naiknya impor selama tahun 1990an. Pemerintah dan parlemen Ghana yang berusaha menaikan tarif impor beras dari 20% menjadi 25% (dan tarif impor ayam dari 20% menjadi 40%) melalui UU nomor 641 yang semuanya dibuat dalam rangka merespon kenaikan impor, dihalangi oleh aktor eksternal terutama IMF. Implementasi UU nomor 641 dibatalkan hanya empat hari setelah UU tersebut berlaku. Dalam pasal IV konsultasi strategi penurunan kemiskinan Ghana, IMF mengungkapkan bahwa selama konsultasi tersebut, pemerintah Ghana berkomitmen bahwa kenaikan tarif tidak akan diberlakukakan ”selama masa kerjasama”. Sesungguhnya pada tanggal 9 Mei, badan eksekutif IMF sudah memfinalkan pasal IV tersebut dan menyetujui program kerjasama tiga tahun penurunan kemiskinan dan fasilitasi pertumbuhan dengan mengucurkan bantuan sebesar SDR 185.500.000 (US$ 258.000.000) dan bantuan antara dibawah program inisiatif bagi negara-negara peminjam dan miskin (Initiative for Highly Indebted Poor Countries) sebesar SDR 15.150.000 (sekitar US$ 22.000.000). Pada tanggal 12 Mei, hanya tiga hari setelah persetujuan pinjaman IMF, pemberlakuan UU nomor 641 ditunda. Jadi pertemuan yang menyetujui bantuan keuangan IMF, pada saat yang sama juga ”meyakinkan” pemerintah Ghana untuk menurunkan tarif impor ke tarif semula. 2) Alasan kedua adalah tingginya selisih dumping beras impor dari Amerika Serikat, Vietnam dan Thailand. Berdasarkan perhitungan yang diminta Oxfam terhadap tiga negara utama pengekspor beras pada tahun 2003, harga ekspor varietas beras tertentu yang diimpor ke Ghana jauh dibawah harga dalam negeri (”harga normal”) di negara pengekspor. Amerika Serikat terbukti melakukan dumping dan menduduki selisih dumping tertinggi, karena saat harga ekspor tahun 2003 dibandingkan dengan biaya produksi pada tahun yang sama, harga ekspor 34% lebih rendah dari biaya produksi. Dumping adalah alasan utama yang menyebabkan harga beras impor mampu bersaing bahkan lebih murah dari harga beras lokal Ghana. 3) Penghentian dukungan bagi sektor beras Ghana antara tahun 1983 hingga akhir tahun 1990an mengakibatkan memburuknya infrastruktur produksi, pengolahan dan pemasaran beras yang memberikan dampak serius terhadap sisi penawaran, kualitas dan kuantitas beras lokal. Dihentikannya dukungan ini berarti juga hilangnya akses kredit, bibit, pupuk, dan penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemasaran. Penghentian bantuan ini mengikuti kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank yang terjadi sejak tahun 1983.
121
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
122
Penelitian mikro dampak impor beras dilakukan di Dalun, sebuah desa penghasil padi yang berpenduduk 10.000 orang. Desa Dalun terletak di Distrik Tolon Kumbungu di Wilayah Utara Ghana, sekitar 50 km dari ibu kota propinsi Tamale. Semua ibu-ibu pedagang pasar yang diwawancarai menyatakan, terutama sejak tahun 2000, beras impor mengambil alih perdagangan beras di pasar Tamale. Akibatnya kuantitas beras lokal yang mereka beli dari produsen beras di Dalun dan desadesa sekitarnya untuk dijual di Tamale, turun drastis hingga 75%. Perusahaan penggilingan lokal di Dalun dan sekitarnya memberikan informasi yang sama. Mereka menyatakan bahwa volume padi yang mereka giling juga turun dalam jumlah besar. Demikian pula para petani menyatakan mereka sekarang menjual padi lebih sedikit dibandingkan di masa lalu. Bahkan semenjak tahun 2000, petani juga mengalami penurunan drastis harga jual padi yang mereka terima. Sejak bulan Juni 2000 hingga Juni 2003, nilai mata uang Cedi turun sebesar 46%. Menurut sebagian petani harga nominal juga jatuh, sedangkan petani lain menyatakan harga tersebut relatif tetap. Dalam semua kasus, jatuhnya harga berlangsung drastis. Semua ini langsung berdampak negatif terhadap pendapatan petani karena pada saat yang sama biaya produksi hanya turun sedikit. Akibatnya semakin banyak keluarga petani mengalami gizi buruk dan rawan pangan. Semua petani kecil yang diwawancarai mengatakan bahwa keluarga mereka menderita kelaparan. Mereka tidak memiliki akses berkelanjutan untuk mendapatkan pangan dalam jumlah cukup. Pada masa sebelum panen, sebagian besar petani harus menurunkan konsumsi pangan mereka dalam jenis, jumlah dan kualitas. Anak-anak terkena dampak terbesar dari kekurangan pangan dan masalah kesehatan anak seringkali terungkap dalam wawancara. Turunnya penghasilan petani menjerumuskan mereka dalam hutang dan ketiadaan tabungan. Kehilangan produksi padi karena faktor tak terduga seperti kekeringan atau serangan hama, berdampak sangat besar bagi kesehatan keluarga petani kecil, terutama anak-anak. Lebih lanjut para petani menyatakan bahwa mereka harus membelanjakan sejumlah besar penghasilan untuk membeli makanan terutama saat ”musim kelaparan” dan menurunkan pengeluaran bagi pemenuhan hak asasi lain seperti kesehatan dan pendidikan. Kesimpulannya adalah, terdapat bukti kuat bahwa kombinasi liberalisasi impor, dumping dan penghentian dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian dalam negeri, secara signifikan meningkatkan fenomena gizi buruk dan kerawanan pangan. Artinya telah terjadi pelanggaran hak atas kecukupan pangan bagi petani kecil di Dalun. Tiga aktor utama yang bertanggungjawab meluncurkan kebijakan tersebut dan pada saat yang sama melanggar kewajiban dan atau tanggung jawab mereka dalam dalam memenuhi hak atas pangan adalah: 1) Pemerintah Ghana yang telah melanggar kewajibannya melindungi hak atas kecukupan pangan petani padi kecil di Dalun dan di berbagai tempat lain di Ghana dengan cara memangkas perlindungan pasar pada tahun 1992 dan tidak mengembalikan perlindungan pasar di kemudian hari meskipun terbukti kebijakan impor merugikan petani padi. Dengan pemangkasan tersebut, pemerintah Ghana juga melanggar kewajibannya menghormati hak atas pangan petani kecil dan melanggar kewajibannya memenuhi hak atas pangan melalui kebijakan yang tidak menciptakan kondisi yang memberdayakan petani padi dan keluarganya agar mampu memenuhi kebutuhan pangan diri sendiri. 2) IMF melanggar tanggungjawabnya menghormati hak atas kecukupan pangan dengan menekan pemerintah Ghana agar menghentikan dukungan dan proteksi bagi petani padi kecil dan miskin selama tahun 1980an dan 1990an serta menekan pemerintah untuk membatalkan UU nomor 641 pada tahun 2003. Artinya, negara-negara anggota IMF juga melanggar kewajiban mereka untuk menghormati hak atas pangan petani padi kecil dan keluarganya di Dalun dan di berbagai tempat lain di Ghana. 3) Akhirnya, negara-negara pengekspor beras yang terlibat dalam praktik dumping, terutama Amerika Serikat, telah melanggar kewajiban mereka menghormati hak atas pangan petani padi kecil dan keluarganya. Pemerintah Amerika Serikat mensubsidi dan memberikan kredit ekspor serta menyalahgunakan penyaluran bantuan pangan. Semuanya menyebabkan beras lokal menghilang dari pasar di perkotaan Ghana, seperti Tamale dan berdampak hilangnya pendapatan petani padi kecil Dalun.
7. Ringkasan dan Kesimpulan
Honduras: Bencana Alam dan Bencana Buatan Manusia Separuh dari hampir 8.000.000 penduduk Honduras tinggal di pedesaan dan secara langsung atau tidak langsung terkait dengan sektor pertanian. Sekitar 70% rumah tangga pedesaan hidup dibawah garis kemiskinan. Di Honduras beras adalah makanan pokok ketiga terpenting setelah jagung dan kacang-kacangan. Rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun naik dari 8 kg pada tahun 1993 menjadi 16 kg pada tahun 2004. Sangat aneh, ketika produksi beras dalam negeri jatuh tak terduga. Antara tahun 1966-1990 produksi padi meningkat dari 9.300 ton menjadi 47.300 ton per tahun. Namun, selama tahun 1990an produksi padi turun drastis menjadi 7.200 ton pada tahun 2000. Dalam skala besar, pasar diambil alih oleh beras impor dari Amerika Serikat Perubahan sektor beras yang terjadi dalam waktu kurang dari 15 tahun dapat dibagi dan dianalisis dalam tiga tahapan: 1) Liberalisasi pasar pertanian dimulai sejak tahun 1991, saat Institut Pemasaran Pertanian Honduras (Honduran Institute of Agricultural Marketing - IHMA) dihapuskan dan harga jaminan yang ditetapkan pemerintah dibatalkan. Setelah penyerahan keputusan eksekutif untuk menghapuskan monopoli negara dalam perdagangan internasional produk pertanian, Kongres Republik Honduras memanfaatkan masa kekosongan hukum untuk membuka sementara keran impor beras dengan penurunan tarif sebesar 1%. Akibatnya impor langsung naik. Pada tahun panen padi yang baik, lebih dari 54.000 ton padi, 32.000 ton beras giling dan 12.500 ton beras padi (paddy rice) impor masuk ke Honduras. Akibatnya pasar hancur. FAO mendeskripsikan liberalisasi yang sangat tiba-tiba ini disebut arrozazo atau gelombang impor. Pada tahun 1991 harga di tingkat petani turun sebesar 13% dan pada tahun 1992 turun 30%. Pada tahun 1992 pemerintah menerapkan mekanisme pembatasan harga yang membuka peluang kenaikan tarif hingga 45% tergantung situasi harga di pasar internasional. Impor turun pada tahun 1992 sampai pada tingkat sebelum arrozazo. Namun sejak tahun 1996 Honduras memasuki periode baru impor yaitu masuknya beras impor dalam jumlah besar, kali ini berfokus pada beras giling. Regulasi baru phytosanitary bagi impor padi dan penyeragaman batas harga beras giling dan padi (tarif keduanya disamakan) telah memicu impor beras giling. Akibatnya industri penggilingan beras terlantar dan posisi pasarnya terimbas dampak negatif. Industri penggilingan beras membeli lebih sedikit padi lokal yang mengakibatkan penurunan area persawahan dari 16.000 hektar menjadi 10.000 hektar yang terjadi antara tahun 1997 dan 1998. Kondisi petani yang buruk akibat impor menjadi semakin buruk melalui liberalisasi pasar input pertanian, kredit dan lahan yang muncul sebagai hasil dari Undang-undang Modernisasi Sektor Pertanian (Law for the Modernization of the Agricultural Sector - LMA) pada tahun 1992. Penurunan perlindungan impor dan pengurangan dukungan bagi produsen beras adalah bagian dari SAP IMF dan World Bank di Honduras. 2) Sektor beras telah mengalami krisis parah sebelum angin topan Mitch menerpa Honduras pada tahun 1998 dan kemudian badai tropis Michelle pada tahun 2001. Seluruh wilayah Selatan Honduras praktis menghilang dari peta produksi beras nasional. Terdapat bukti yang sangat jelas bahwa kerusakan akibat bencana alam yang dialami petani padi diperburuk oleh program bantuan bencana. Satu hal yang mengagetkan ketika mengetahui bahwa bahkan dalam dua tahun setelah angin topan Mitch melanda, saat produksi beras turun signifikan, harga di tingkat petani tidak naik. Hal ini terjadi karena masuknya beras impor dumping dalam jumlah besar dengan harga murah. Sejak tahun 1999, harga beras impor dari Amerika Serikat lebih rendah dari harga yang diterima produsen lokal Honduras. Selain ekspor komersial, bantuan pangan – 70% diantaranya dari Amerika Serikat – berkontribusi terhadap terjadinya kelebihan beras di Honduras setelah angin topan Mitch. Dari keseluruhan total produksi nasional, impor komersial dan bantuan pangan, jika dibandingkan dengan tahun 1998 maka pada tahun 1999 terdapat lebih banyak pasokan, beras giling dan padi, masing-
123
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia masing sebesar 34.000 ton dan 25.000 ton. Tidak diragukan lagi dalam rangka menjaga ketahanan pangan setelah bencana angin topan Mitch, bantuan pangan sangat diperlukan. Hanya saja, jumlah dan lamanya masa pemberian bantuan berubah menjadi instrumen dumping dan berpengaruh buruk terhadap pasar beras dalam negeri. Dalam kondisi semacam ini, sektor beras hampir tidak memiliki peluang untuk pulih kembali. Ribuan produsen beras yang berhasil melalui masa sulit era 1990an, tidak dapat menghindari kejatuhan finansial pada awal milenium baru.
124
3) Sebagai respon terhadap krisis berkepanjangan yang dihadapi sektor beras, pada tahun 1999 ditandatangai perjanjian beras antara industri beras (penggilingan padi nasional), sektor produktif dan pemerintah. Perjanjian yang masih berlaku hingga sekarang ini menyatakan bahwa perusahaan penggilingan dapat mengimpor padi dengan tarif 1% sepanjang mereka juga membeli seluruh produksi padi nasional dengan harga tahunan yang telah ditetapkan. Pada saat yang sama, tarif untuk beras giling dan berbagai jenis beras lainnya tetap 45%. Di satu sisi, perjanjian tersebut memperbolehkan 22 perusahaan penggilingan nasional untuk membangun oligopoli terhadap pasokan beras dalam negeri, baik beras produksi lokal maupun impor, dan menguasai seluruh rantai perdagangan beras dari tingkat produksi hingga pedagang eceran di Honduras. Perjanjian tersebut jelas berpengaruh menstabilkan sektor beras. Petani-petani yang menjadi bagian dalam perjanjian tersebut, secara perlahan mengalami perbaikan dan mendapatkan jaminan penghasilan. Namun perjanjian perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Tengah plus Republik Dominika (Dominican RepublicCentral America Free Trade Agreement - DR-CAFTA) yang berlaku sejak April 2006, akan menekan kemajuan yang telah dicapai Honduras dan kemungkinan akan mengakibatkan produksi beras di Honduras mati perlahan. Setelah 10 tahun, tarif impor beras maksimal 45% yang saat ini masih berlaku, akan diturunkan hingga 0% dalam kurun waktu delapan tahun (sampai 2024). Saat itu produsen beras Honduras akan secara penuh berhadapan dengan beras impor dumping dari Amerika Serikat. Dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas ini, Amerika Serikat menolak membicarakan subsidi sektor beras yang diberikannya untuk industri beras dalam negeri Amerika. Penelitian di tingkat mikro tentang dampak impor beras dilakukan terhadap dua komunitas penghasil beras: komunitas Guangolola di wilayah Yoro dan komunitas Guayamán di lembah Otoro di wilayah Intibucá. Kedua komunitas tersebut mengorganisasikan diri dalam asosiasi bisnis atau koperasi bernama Cooperativa Agropecuaria Regional El Negrito Limitada (CARNEL) di Guangolola dan Empresa Asociativa de Campesinos de Transformación y Servicios Otoreña (EACTSO) di Guayamán. Kedua komunitas tersebut adalah penerima manfaat reforma agraria dan keduanya berhasil keluar dari kondisi pertanian subsisten berkat pembangunan sektor beras yang dinamis selama tahun 1980an di Honduras. Produsen beras Guangolola ingat bahwa arrozazo menandai akhirnya masa pertumbuhan dan dimulainya masa sulit yang terjadi pada tahun 1990an. Saat itu banyak perusahaan penggilingan beras menolak produksi padi lokal dan banyak petani terjerat hutang. Pada tahun 1998, angin topan Mitch menghancurkan infrastruktur produksi, termasuk seluruh sistem irigasi komunitas. Tiga tahun kemudian angin topan Michelle membawa dampak serupa. Beras bantuan pangan yang diberikan di antara kedua bencana tersebut mempengaruhi pemasaran produksi beras yang sempat pulih. Faktor kunci untuk memulihkan produksi beras setelah tahun 2001 adalah perjanjian beras. Produsen beras di Guangolola mencapai stabilitas ekonomi yang tidak pernah mereka dapatkan sejak awal tahun 1990an. Demikian pula petani di Guayamán, mereka mengingat arrozazo sebagai awal krisis berkepanjangan. Berkurangnya dukungan dan kenaikan harga input produksi juga dipandang sebagai faktor kunci turunnya produsi beras di Honduras. Kerusakan akibat bencana alam semakin diperparah ketika beras bantuan pangan membanjiri pasar. Saat ini hanya empat atau lima keluarga dari 30 keluarga petani yang ada yang melanjutkan bertanam padi secara individual dan menanami area persawahan seluas kurang lebih 20 manzana. Mereka menyalurkan padi mereka langsung ke penggilingan sebagaimana
7. Ringkasan dan Kesimpulan
tercantum dalam ketentuan perjanjian beras, karena kartel penggilingan padi tidak menerima koperasi EACTSO sebagai bagian dari rantai bisnis beras seperti tertulis dalam perjanjian beras. Sebagian besar penduduk desa mencoba bertahan dengan mencari penghasilan tambahan untuk menutup kekurangan pendapatan dari pertanian padi dengan cara bekerja sampingan di desa mereka atau di Tegucigalpa, meskipun dengan keberhasilan yang terbatas. Pernyataan-pernyataan yang muncul menyatakan bahwa tingkat ketahanan ekonomi penduduk Guayamán dan Guangolola turun signifikan sejak awal tahun 1990an. Dalam kasus Guayamán ditemukan bukti bahwa minimal dalam fase tertentu selama krisis, keluarga petani padi terpaksa mengurangi kuantitas dan kualitas pangan mereka. Pencapaian-pencapaian reforma agraria menjadi mundur karena konsentrasi lahan di kedua desa tersebut kembali naik. Di Guayamán, petani kembali bertani subsisten secara permanen, sedangkan di Guangolola pertanian subsisten hanya dilakukan untuk sementara waktu. Padahal pertanian subsisten pernah berhasil mereka atasi pada awal tahun 1990an. Banyak petani kecil terbebani hutang dan krisis beras menutup potensi pengembangan di masa depan. Di kedua desa, tingkat kerawanan pangan sangat tinggi terutama saat berhadapan dengan faktor pengganggu eksternal. Kesimpulannya adalah hak atas kecukupan pangan keluarga petani padi di Guayamán dan Guangolola telah dilanggar melalui kebijakan pertanian dan perdagangan. 1) Pemerintah Honduras melanggar kewajibannya menghormati hak atas pangan dengan memangkas dukungan bagi petani kecil melalui Undang-undang Modernisasi Sektor Pertanian pada tahun 1992 dan melalui naiknya biaya input produksi akibat devaluasi mata uang Lempira. Pemerintah Honduras juga melanggar kewajibannya menghormati hak atas pangan keluarga petani di Guayamán dengan memangkas akses mereka terhadap pasar melalui berbagai peraturan yang ada dalam perjanjian beras yang membatasi gerak langkah mereka, tanpa menawarkan alternatif lain. Pemerintah Honduras melanggar kewajibannya melindungi hak atas pangan dengan membuka pasar dalam negeri terhadap beras impor dumping pada tahun 1991 dan 1996, meskipun terbukti kebijakan tersebut berdampak buruk terhadap petani kecil. Manajemen krisis yang tidak memadai setelah bencana angin topan Mitch membuka pintu masuknya bantuan pangan dalam jumlah besar, yang berkontribusi memperburuk krisis yang dihadapi petani kecil. Dengan meratifikasi DR-CAFTA, pemerintah Honduras memperkecil ruang kebijakan yang sesungguhnya dibutuhkan untuk melindungi hak atas pangan produsen beras nasional. Dan akhirnya, melalui implementasi perjanjian bebas tersebut dan sebelumnya, melalui pembatasan potensi pengembangan yang tak terpisahkan dari perjanjian beras, pemerintah Honduras gagal menciptakan lingkungan yang memampukan terwujudnya hak atas kecukupan pangan produsen beras. 2) IMF dan World Bank jelas melanggar tanggung jawab mereka menghormati hak atas pangan di Honduras dengan memaksa pemerintah membuka pasar dalam negeri untuk beras impor dan memangkas dukungan bagi produsen beras miskin. Negara-negara anggota IMF dan World Bank juga ikut bertanggungjawab terhadap pelanggaran tersebut karena dukungan yang mereka berikan terhadap kebijakan yang jelas melanggar kewajiban mereka menghormati hak atas kecukupan pangan petani padi di Honduras. 3) Amerika Serikat melanggar kewajibannya menghormati hak atas kecukupan pangan melalui ekspor beras dumping ke Honduras sejak tahun 1991 dan penyalahgunaan bantuan pangan sebagai cara menyalurkan beras dumping. Amerika Serikat juga melanggar kewajibannya menghormati hak atas kecukupan pangan dengan mendesakan kepentingannya dan memaksa pemerintah Honduras menandatangani DR-CAFTA, yang secara bertahap menyingkirkan produsen beras miskin Honduras dari pasar.
125
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Indonesia: pasar terbesar beras dunia yang terancam Indonesia adalah penghasil padi ketiga terbesar dunia dengan produksi tahunan 54.800.000 ton padi per tahun (2006). Beras dihasilkan oleh sekitar 13.600.000 petani, 65% diantaranya adalah petani miskin berlahan sempit dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Diperkirakan 21.000.000 tenaga kerja terserap di sektor beras. Pada saat yang sama, beras adalah makanan pokok terpenting bagi hampir 215.000.000 penduduk, memberi kontribusi 60% asupan kalori per kapita per hari. Saat ini konsumsi beras 5% lebih tinggi dari produksi nasional dan laju permintaan lebih tinggi dari penawaran. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu importir beras terbesar dunia.
126
Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, setiap rejim pemerintah ingin mencapai tingkat harga beras yang terjangkau bagi konsumen dan memberikan pendapatan tinggi bagi petani padi. Sejak tahun 1967 kebijakan beras di Indonesia terbagi dalam tiga fase: 1) Selama kurun waktu 1967-1996, pemerintah mengendalikan pasar beras dalam negeri melalui intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi dan menjaga stabilitas harga beras. Keterlibatan pemerintah dilakukan dalam bentuk mengelola cadangan besar beras nasional melalui lembaga pemerintah BULOG (Badan Urusan Logistik). Saat itu impor beras diatur ketat melalui kebijakan pengendalian tarif dan impor dan bertujuan untuk menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi beras nasional. Indonesia mencapai swa sembada pangan pada tahun 1984 dan menjadi negara pengekspor beras selama tahun 1985 dan 1987. Setelah itu Indonesia kembali menjadi pengimpor beras murni 2) Liberalisasi impor dimulai sejak tahun 1995 sebagai bagian dari AoA. Namun liberalisasi radikal baru terjadi pada tahun 1997 dibawah tekanan runtuhnya ekonomi Asia. Atas saran IMF, pemerintah Indonesia terpaksa menandatangani surat perjanjian yang didalamnya termasuk komitmen untuk menerapkan SAP. Sebagai akibat dari komitmen itu, BULOG diprivatisasi dan dukungan bagi pemasaran beras dihentikan. Tarif impor dihapus dan impor dalam jumlah tak terbatas diijinkan memasuki Indonesia antara tahun 1998 dan 1999. Pemerintah mengurangi subsidi dalam jumlah signifikan, termasuk subsidi input pertanian yang sebelumnya sangat membantu petani. Kebijakan baru tersebut memicu masuknya 6.000.000 ton beras impor pada tahun 1998, yang menjadikan Indonesia menjadi importir beras terbesar dunia pada tahun tersebut dan diikuti impor sebesar 4.000.000 ton pada tahun 1999. Beras impor terutama berasal dari Thailand dan diikuti Vietnam. Melalui pemberian kredit ekspor dan subsidi input pertanian, Thailand dan Vietnam berhasil menekan harga ekspor tetap rendah dan beras dumping mereka membanjiri pasar Indonesia. Penyebab lain krisis beras adalah kekeringan yang ditimbulkan oleh arus tenggara El Niño pada tahun 1998. Kehilangan produksi karena El Niño hanya sekitar 4-5%, sementara impor mencapai 12% pangsa pasar, melebihi kehilangan produksi yang muncul akibat El Niño. Selama kurun waktu tersebut, perbandingan swasembada pangan Indonesia turun dan ketergantungan terhadap impor meningkat. Petani padi sangat terpukul dengan kombinasi turunnya harga padi, tingginya harga input pertanian, pengurangan subsidi input pertanian, dan kehilangan produksi karena El Niño. Struktur oligopolistik pasar beras Indonesia membuat liberalisasi pasar tidak berdampak apapun terhadap penurunan harga bagi konsumen perkotaan. Sebaliknya selama masa liberalisasi, harga di tingkat konsumen meningkat. 3) Dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras membuat pemerintah sejak tahun 2001 secara bertahap kembali mengendalikan pasar beras dalam negeri. Kebijakan awal mengambangkan harga gabah digantikan dengan kebijakan harga pembelian pemerintah dengan penetapan batas harga atas. Di kemudian hari terlihat bahwa kebijakan tersebut ternyata tidak efektif. BULOG melakukan operasi pasar hanya selama periode kenaikan tajam harga beras. Kebijakan perdagangan saat ini terutama bertujuan menstabilkan harga gabah dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan pengelolaan cadangan beras oleh BULOG yang telah
7. Ringkasan dan Kesimpulan
diprivatisasi. Meskipun pemerintah telah mengambil beberapa tindakan yang memihak petani padi yang marginal dan rentan, sistem yang ada tidak mendukung pencapaian hasil yang diharapkan. Konsumen menderita akibat kenaikan harga, sedangkan harga ditingkat produsen tetap rendah, hanya oligopoli pedagang yang mendapatkan keuntungan paling besar. Dukungan pertanian dalam negeri yang diberikan kepada produsen beras belum menjadi faktor menentukan dalam peningkatan kesejahteraan petani. Meski ada kenaikan subsidi sejak tahun 2003, namun itu belum mencapai tingkat yang dibutuhkan dan dukungan pertanian pun tidak selalu mencapai petani yang paling membutuhkan dukungan. Saat ini World Bank mendorong kebijakan pembatalan pelarangan impor, memberikan jaminan ijin impor bagi sektor swasta dan penetapan tarif impor hanya 10-15%. Pengalaman liberalisasi sebelumnya mengindikasikan bahwa kebijakan World Bank tersebut akan mengancam kehidupan jutaan petani padi di Indonesia. Penelitian lapangan dampak kebijakan perdagangan dan kebijakan beras dilakukan di empat desa - Cikuntul, Cikalong, Pinangsari dan Samudrajaya – yang terletak di tiga kabupaten Subang, Karawang, Bekasi di Propinsi Jawa Barat. Ketiga kabupaten tersebut dipilih karena mereka adalah pusat produksi beras yang dikenal dengan sebutan lumbung padi Jawa Barat. Di semua desa tersebut, impor beras berdampak negatif terhadap pendapatan petani. Tengkulak merespon meningkatnya pasokan beras impor dengan cara menurunkan harga beli terhadap petani. Setelah regulasi ulang impor, para tengkulak tetap berhasil menekan harga di tingkat petani tetap rendah, seringkali dengan menyalahgunakan ketidaktahuan petani tentang informasi pasar. Harga rendah berdampak negatif langsung terhadap pendapatan petani, sementara pada saat yang sama biaya produksi dan biaya hidup meningkat. Menurut para petani, selama lebih dari tiga dekade - terutama sejak liberalisasi pasar beras pada tahun 1997 - kondisi mereka semakin memburuk. Semua data statistik dan wawancara di lapangan dengan jelas mengindikasikan bahwa sebagian besar petani kecil dan keluarganya hidup kurang dari US$ 1 per orang per hari dan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dengan teratur. Mengurangi makan adalah langkah terakhir yang mereka ambil. Dalam hal kuantitas pangan, sebagian besar petani kecil mampu memenuhinya dalam jumlah cukup namun dari sisi kualitas mereka tidak selalu mampu menyediakan pangan bergizi. Untuk mendapatkan pangan dalam jumlah cukup, sebagian besar petani kecil tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar lain seperti perumahan, kesehatan dan pendidikan. Cukup banyak dari warga yang terpaksa mengurangi makan harian mereka pada bulan-bulan sebelum panen akibat dari ketiadaan penghasilan. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan perdagangan dan pertanian memilih pengaruh besar terhadap pelanggaran hak atas kecukupan pangan bagi komunitaskomunitas petani padi ini. Kebijakan-kebijakan tersebut telah memperkuat situasi kompleks yang buruk yang harus dihadapi petani padi, seperti akses yang tidak memadai terhadap lahan dan sumber daya produktif lain, ketidakpahaman situasi pasar dan ketergantungan tinggi pada tengkulak. 1) Pemerintah Indonesia melanggar kewajibannya dalam menghormati dan memenuhi hak atas pangan dengan mengurangi dalam jumlah besar bahkan menghapuskan dukungan bagi sektor pertanian dalam negeri pada tahun 1998. Dukungan tersebut sebelumnya didapatkan petani padi selama berpuluh tahun. Pelanggaran yang dilakukan pemerintah mencakup pula penghapusan harga pembelian pemerintah dan kebijakan lainnya yang bertujuan menstabilkan harga. Dengan demikian pemerintah juga telah melanggar kewajibannya memenuhi hak atas pangan dengan tidak menciptakan lingkungan yang memberdayakan keluarga petani padi merealisasikan hak atas pangan. Dengan dibukanya pasar Indonesia untuk perdaganganan bebas beras pada tahun 1997/1998, berarti pemerintah melanggar kewajibannya melindungi hak atas pangan petani padi. Hal ini menimbulkan kerugian dalam pangsa pasar dan keuntungan petani padi, sehingga banyak di antara mereka jatuh di bawah garis kemiskinan dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan dirinya sendiri dalam jumlah memadai.
127
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia 2) Dengan memaksa pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan-kebijakan liberalisasi yang meningkatkan kerawanan pangan petani kecil di keempat desa yang diteliti, IMF telah melanggar tanggung jawabnya untuk menghormati hak atas pangan. Demikian pula World Bank yang telah mendesak pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang sama, artinya World Bank melanggar tanggung jawabnya menghormati hak atas pangan petani kecil. Negara-negara anggota IMF dan World Bank juga ikut melanggar kewajiban mereka menghormati hak atas kecukupan pangan. Kesimpulan Akhir
128
Berbagai studi kasus dalam penelitian ini menunjukkan bukti kuat bahwa liberalisasi perdagangan dan pertanian berkontribusi signifikan bagi pelanggaran hak atas kecukupan pangan bagi komunitas petani padi di Ghana, Honduras dan Indonesia. Meningkatnya pasokan beras impor murah, berpengaruh besar terhadap menurunnya akses petani padi terhadap pasar perkotaan di wilayah mereka dan menurunkan harga yang mereka terima. Oleh karena itu liberalisasi menurunkan penghasilan, memperparah kemiskinan dan meningkatkan gizi buruk dan kerawanan pangan produsen beras. Meskipun secara umum tidak terdengar laporan kematian akibat kelaparan, berbagai pernyataan dengan jelas mengindikasikan banyak petani padi tidak memiliki akses berkelanjutan terhadap kecukupan pangan, baik dalam hal kuantitas dan kualitas, sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan hak atas pangan. Anak-anak dan perempuan adalah pihak yang paling parah terkena dampak gizi buruk. Untuk menyediakan pangan di rumah berarti mereka harus mengorbankan pemenuhan kebutuhan dasar dan hak asasi lain seperti layanan pendidikan dan kesehatan. Kerawanan terhadap kejadian tak terduga semakin meningkat. Dampak buruk liberalisasi memukul kelompok sosial yang dalam banyak hal telah terpinggirkan, karena akses mereka terhadap tanah yang sangat terbatas, lemahnya posisi tawar terhadap tengkulak, dan lemahnya infrastruktur. Bencana alam seperti angin topan Mitch, badai tropis Michelle dan kekeringan adalah faktor penting lain yang berdampak buruk dan mempengaruhi kemampuan petani padi Honduras dan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi dirinya sendiri. Namun penting dicatat, bahwa sebelum bencana, akses petani terhadap pasar dan penghasilan mereka telah turun akibat meningkatnya impor beras, sehingga bencana alam memukul mereka lebih keras dari seharusnya. Lebih jauh, beras impor dumping dan bantuan pangan yang berlebihan seringkali menekan pasar lebih lama dari yang seharusnya dan menjadi kendala bagi petani untuk pulih. Kerawanan terhadap kejadian-kejadian baru yang datang dari luar petani kecil sekarang semakin tinggi, sebagian besar karena kebijakan liberalisasi. Studi kasus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dibukanya pasar adalah faktor utama meningkatnya impor bahkan penyebab utama gelombang impor. Liberalisasi perdagangan pada awalnya terjadi tahun 1990an di Ghana dan Honduras, dan tahun 1997 di Indonesia. Di ketiga negara tersebut liberalisasi diikuti peningkatan impor dalam jumlah yang besar. Di semua negara, liberalisasi perdagangan adalah bagian dari SAP yang disyaratkan oleh IMF dan World Bank. Di ketiga negara tersebut, komitmen pemerintah yang dibuat dibawah AoA tidak mempengaruhi tarif, karena tarif yang diatur dalam perjanjian tersebut berada di atas tarif yang berlaku saat ini. Setelah tahun 2000, pemerintah Ghana, Honduras dan Indonesia mengatur ulang kebijakan impor sebagai respon terhadap meningkatnya impor dalam jumlah yang besar. Tindakan ini, yang sangat penting (meskipun tidak memadai) dalam rangka melindungi hak atas kecukupan pangan petani padi, dicampuri oleh aktor-aktor eksternal. Contoh paling nyata adalah Ghana dimana IMF berhasil menekan pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan tarif hanya empat hari setelah kebijakan tersebut diberlakukan. Di Honduras, DR-CAFTA berhasil menekan pemerintah agar menurunkan tarif impor beras hingga nol persen di tahun 2024. Dan di Indonesia, World Bank saat ini berusaha keras menekan pemerintah agar meliberalisasikan impor. Semua fakta ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan erat antara tekanan eksternal dan keperluan untuk memperkuat kewajiban lintas negara di bawah ketentuan hak atas pangan.
7. Ringkasan dan Kesimpulan
Dalam studi kasus di ketiga negara, bagian lain kebijakan penyesuaian struktural seperti privatisasi pelayanan pertanian dan pemberian kredit, liberalisasi input pasar, pencabutan harga jaminan dan harga pembelian, semuanya telah menambah beban berat yang harus dipikul petani padi. Melalui berbagai kebijakan tersebut, akses petani terhadap bibit, pupuk, mesin-mesin pertanian, pelayanan tambahan dan fasilitas pemasaran dikurangi dalam jumlah yang sangat berpengaruh dan ini berarti meningkatkan biaya produksi bagi petani. Tersingkirnya petani dari pasar lokal dan tertekannya harga di tingkat petani akibat masuknya beras impor dikombinasikan dengan pemangkasan dukungan bagi petani, menyebabkan penurunan pendapatan petani secara drastis dan menjadi penyebab utama gizi buruk dan kerawanan pangan. Sangat ironis bahwa di ketiga negara ini, pemerintah mengurangi dukungan bagi produksi beras dalam negeri sementara mereka menerima beras impor murah yang hanya dimungkinkan karena subsidi besar yang diberikan pemerintah negara asal beras impor tersebut. Contohnya di Honduras dan Ghana, beras dumping Amerika Serikat yang masuk melalui ekpor komersial dan penyalahgunaan bantuan pangan, merupakan faktor penting yang menyebabkan gelombang impor. Di semua negara yang diteliti, tekanan eksternal dan internal bagi pemerintah untuk menurunkan atau untuk tidak meningkatkan tarif impor sangatlah tinggi. Alasan yang sering digunakan adalah agar harga beras di tingkat konsumen miskin tetap rendah. Namun semua studi kasus menunjukkan bahwa setelah liberalisasi dilakukan, harga di tingkat konsumen tidaklah turun. Di Indonesia, harga beras di tingkat konsumen malah naik selama masa liberalisasi pasar. Di Honduras, turunnya harga beras impor dan beras lokal di tingkat produsen tidak tercermin pada harga konsumen. Kondisi dalam kedua kasus ini disebabkan karena struktur pasar yang oligopolistik – faktor yang banyak diabaikan oleh para pendukung liberalisasi. Penelitian ini menunjukkan betapa mendesaknya untuk mengeksplorasi dan mengimplementasikan pilihan kebijakan yang sesuai dengan kewajiban memenuhi hak asasi manusia di negara berkembang dan negara maju. Kebijakan yang dimaksud haruslah secara terus menerus memberikan perlindungan yang lebih besar dari masuknya beras impor murah dan dukungan yang lebih banyak kepada produsen lokal. Kebijakan tersebut juga harus memasukkan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasi konsentrasi pasar yang tinggi, terutama jika faktor konsentrasi ini mendorong naiknya harga di tingkat konsumen. Hak atas kecukupan pangan mensyaratkan kebijakan beras yang mampu menciptakan lingkungan yang memberdayakan produsen beras di negara mereka sendiri. Ketergantungan pemenuhan kebutuhan pokok penting seperti beras, terhadap pasar internasional yang berubah-ubah adalah ancaman bukan hanya bagi produsen namun juga bagi konsumen beras.
129
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia
130
8. Daftar Pustaka Bab 1: Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi Coomans, Fons 2005: Progressive Development of International Human Rights Law: Extraterritorial Application of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dalam: Windfuhr, Michael (Ed.): Beyond the Nation State. Human Rights in Times of Globalization, Uppsala, Swedia: hlm. 33-50. FAO 2004: Voluntary Guidelines to Support the Progressive Realization of the Right to Adequate Food in the Context of National Food Security. Diadopsi dalam Sesi ke-127 Badan FAO, November 2004. http://www.fao.org/docrep/meeting/009/y9825e/y9825e00.htm (9.8.2007). FIAN International 2003: A New Perspective, Heidelberg. Hausmann, Ute 2006: Germany’s extraterritorial human rights obligations in multilateral development banks. Introduction and case study on three projects in Chad, Ghana and Pakistan. Brot für die Welt, FIAN dan EED, Oktober 2006. Skogly, Sigrun 2006: Human Rights Beyond National Borders – What are Germany’s Obligations? Simposium, 9 November 2006, Berlin – Evangelical Church Council di Jerman, diselenggarakan oleh: Bread for the World, Church Development Service, FIAN Jerman dan FIAN International, Laporan Konferensi oleh Michael Krennerich. UN 1948: Universal Declaration of Human Rights. Diadopsi dan diproklamirkan dalam Resolusi Sidang Umum 217 A (III) tahun 1948), http://www.un.org/Overview/rights.html, (28.6.2007). UN 1976: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights diadopsi, ditandatangani, diratifikasi dan di akses oleh dalam Resolusi Sidang Umum PBB 2200A (XXI) 11 Desember 1966, berlaku efektif per 3 Januari 1976, dalam kaitan dengan pasal 27 lihat: http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm, (28.6.2007). UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) 1999: Substantive Issues arising in the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. General Comment no 12, Hak atas Kecukupan Pangan (Pasal 11), Sesi ke-20, 1999, lihat: http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/0/3d02758c707031d58025677f003b73b9?Opendocument, (28.6.2007). UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) 2006: Concluding Observations of the UN-Committee on Economic, Social and Cultural Rights on Canada, http://www.ohchr.org/english/bodies/cescr/cescrs36.htm, (29.6.2007). UN Economic and Social Council 2005: Economic, Social and Cultural Rights: The Right to Food. Laporan Pelapor Khusus Hak atas Pangan, Jean Ziegler, E/CN.4/2005/47, ( January 24, 2005). http://
131
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/104/24/PDF/G0510424.pdf?OpenElement (28.6.2007). Windfuhr, Michael (Ed.) 2005: Beyond the Nation State. Human Rights in Times of Globalization, Uppsala, Sweden 2005.
Bab 2: Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman Bagi Petani Chris Barrett dan Dan Maxwell, Food aid after fifty years: recasting its role. 2004: Cornell University. (Powerpoint) http://aem.cornell.edu/faculty_sites/cbb2/presentations/BarrettMaxwellApr2004.ppt 132
FAO 2004: State of Food Insecurity in the World, Rome 2004. FAO 2006, The state of food and agriculture: food aid for food security? Rome: FAO, 2006. FAO 2007: Briefs on Import Surges: Commodities No. 2: Import Surges in Developing Countries: the Case of Rice, Rome 2007. FAO 2007: Rice Market Monitor, June 2007, Volume X – Issue No. 2, Rome 2007. Oxfam 2005a, Food aid or hidden dumping? Briefing paper 71. Oxford 2005. Oxfam 2005b: Kicking down the door, Briefing Paper 72, London 2005. World Bank 2005: Global Agricultural Trade and Developing Countries, Washington DC, 2005. USDA 2004: Rice Situation and Outlook Yearbook, Washington DC, 2004.
Bab 3: Pendekatan dan Metodologi FAO 2006: Briefs on Import Surges – Issues, No. 1: Import Surges: What are they and how can they be identified, Rome. FAO 2005: Import Surge Project Working Paper No. 7: Extent and Impact of Food Import Surges in Developing Countries: An analytical Approach and Research Methodology for Country Case Studies, Rome. Sharma, Ramesh 2005: Overview over Reported Cases of Import Surges from the Standpoint of Analytical Content, FAO Import Surge Project Working Paper No. 1, Rome.
Bab 4: Dampak Impor dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana ACT 641 2003 (UU nomor 641 tahun 2003): Undang-undang nomor enam ratus empat puluh satu Parlemen Republik Ghana berjudul “The Customs and Excise (Duties and other Taxes) (Amendment) Act, 2003” disetujui pada tanggal 11 April 2003, diterbitkan dalam lembaran negara pada tanggal 17 April 2003.
8. Daftar Pustaka
ActionAid International 2005: The Impacts of Agro-Import Surges in Developing Countries: A Case Study from Ghana, Accra, 2005. Ayine, Dominic 2006: A Study on Dumping of Rice in Ghana and of possible Material Injury caused or threatened to the Domestic Industry, dilakukan oleh Oxfam Inggris, Accra, 2006 (tidak dipublikasikan). Assuming-Brempong, Samuel, Yaw Bonsu Osei Asare dan Henry Anim-Somuah 2006: Import Surge and their Effect on Developing Countries. Ghana Case Study. Rice, Poultry Meat and Tomato Paste. Diedit oleh Nancy Morgan, Merritt Cluff dan Alexandra Rottger, Oktober 2006 (tidak dipublikasikan). Christian Aid dan ISODEC 2005: Surat dari Dr Daleep Mukarji dan Bishop Akolgo kepada Thomas C. Dawson (IMF). London/Accra, 9.9.2005. Kedutaan Besar Jerman di Accra. 2005: Jahreswirtschaftsbericht Ghana 2005, Juni 2006. Economic Community of West African States (ECOWAS) 2006: Sesi Ke-29 Pemimpin Negara-negara Anggota ECOWAS. Keputusan A/Desember 17/1/06 mengadopsi tarif eksternal bersama negaranegara anggota ECOWAS, Niamey, 12 Januari 2006. FAO 2006: FAO Briefs on Import Surges – Countries, No. 5 Ghana: Rice, Poultry and Tomato Paste, Rome, 2006. FAO 2007: FAO Briefs on Import Surges: Commodities No. 2: Import Surges in Developing Countries: the Case of Rice, Rome 2007. High Court 2005: Pengadilan Tinggi Ghana, Maret 2005 di depan Yang Mulia Mrs Ivy Ashong-Yakubu, J. IMF 2003a: Country Report No. 03/133, Mei 2003, dalam: http://www.imf.org/external/pubs/ft/scr/2003/cr03133.pdf. IMF 2003b: Pernyataan perwakilan staf IMF, 9 Mei, 2003. IMF 2003c: IMF Approves US 258 Million PRGF Arrangement for Ghana. Lembaran Pers nomor 03/66, 12 Mei 2003. IMF 2003d: IMF Country Report No. 03/395. Desember 2003. IMF 2005: Surat dari Thomas C. Dawson, Direktur Hubungan Eksternal IMF kepada Dr Daleep Mukarji, Direktur Christian Aid. Washington, 2.8.2005. ISODEC 2007: Pressure mounts on Government to implement new Tariffs on Imported Poultry and Rice. http://www.isodec.org.gh/campaings/Trade/tradenews_tariffs.htm (23.02.2007). Japan International Cooperation Agency ( JICA) and Ministry of Food and Agriculture (MOFA) 2006: The Study on the Promotion of Domestic Rice in the Republic of Ghana. Laporan Kemajuan 1 (Progress Report 1), Nippon Koei Co., Ltd., Desember 2006 (tidak dipublikasikan). Khor, Martin dan Tetteh Hormeku 2006: The Impact of Globalisation and Liberalisation on Agriculture and Small Farmers in Developing Countries: The Experience of Ghana. Third World Network (TWN), Accra, 2006.
133
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Mari, Francisco dan Rudolf Buntzel 2007: Hühnerdumping mit HIPC-Erpressung. Ghanas Schutzversuche gegen Billigimporte von Hühnerresten aus der EU scheitern am Druck der internationalen Gebergemeinschaft, Eins Entwicklungspolitik, 15-16-2007, dalam: http://www.entwicklungspolitik.org/home/15-16-007-03/. Ministry of Food and Agriculture (MOFA) 2002: Food and Agriculture Sector Development Policy (FASDEP), Accra 2002. MOFA 2006: Agriculture in Ghana. Facts and Figures (2005) diterbikan oleh Direktorat Statistik, Penelitian dan Informasi MOFA (SRID), Juni 2006. 134
Ministry of Trade and Industry (MOTI) 2004: Ghana Trade Policy, Accra, 2004. ODI 2003: Kranjac-Berisavljevic, Gordana, Roger Blench dan Robert Chapman: Multi-Agency Partnerships (MAPS) for Technical Change in West African Agriculture. Rice Production and Livelihoods in Ghana, diterbitkan oleh Overseas Development Institute (ODI) dan University of Development Studies (UDS), London/Tamale 2003. Oxfam International 2005: Kicking down the Door. How upcoming WTO Talks threaten Farmers in poor Countries, Oxfam Briefing Paper 72, London, 2005. SAPRIN 1998: Ghana Opening National SAPRI Forum, 10-12 November 1998, http://www.saprin.org/ ghana/ghana_forum1.htm, (8.5.2007). Superior Court of Judicature in the Supreme Court Accra ad 2005: Surat Perintah untuk menarik Keputusan Mahkamah Agung). 16.5.2005. UNDP 2005: Human Development Report 2005, International cooperation at a crossroads: Aid, trade and security in an unequal world, 2005. US Public Law “Consolidated Appropriations Act” 108-199. Pembentukan Millennium Challenge Account. 23.1.2004.
Bab 5: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Produksi Padi di Honduras Agrobolsa 2006: Informe registro de producción y comercialización de arroz 2007. Mimeo. Agrobolsa: Tegucigalpa. Agrobolsa 2005: Informe de intervención en el convenio de arroz granza. Periodo 2004-2005. Mimeo. Agrobolsa: Tegucigalpa. Baumeister, Eduardo 2000: Institutional change and response at the grassroots level: examples from Nicaragua, Honduras, an El Salvador. En: Annelies Zoomers & Gemma van der Haar. Current Land Policy in Latin America: Regulating Land Tenure under Neo-Liberalism . Royal Tropical Institute, Amsterdam. CEPAL 2005: Istmo Centroamericano: Evolución del Sector Agropecuario, 2003-2004. CEPAL: México.
8. Daftar Pustaka
Earth-Policy-Institute 2007: Distillery demand for grain to fuel cars vastly understated. World may be facing highest grain prices in history. http://www.earth-policy.org/Updates/2007/Update63.htm FAO 1999: Special Report. Misi penilaian pasokan tanaman dan makanan FAO/WFP ke Honduras. http://www.fao.org/docrep/004/x1056e/x1056e00.HTM FAO 2007: FAO Briefs on Import Surges No. 11. The extent and impact of import surges in Honduras: The case of rice. FAO: Rome. Garbers, Frank dan Susana Gauster 2004: La economía campesina en el contexto de la apertura comercial en Guatemala: Una aproximación después de la firma del TLC-CAUSA. CONGCOOP: Guatemala. Gottret, Maria Veronica dan Olaf Westermann 2001: Local Platforms for Achieving Sustainable Rural Livelihoods: Towards an Integrated Resource Management Approach. CIAT: Colombia. http://www.ciat.cgiar.org/inrm/workshop2001/docs/titles/7-2BPaperMVGottret.pdf Morazán, Pedro; Jorge Gallardo dan Mario Negre 2005: Operacionalización del Crecimiento Pro Pobre en Honduras. Opciones de política para fortalecer la participación de los pobres en el crecimiento. UNAT/Südwind: Bonn/Tegucigalpa. Medina Agurcia, Neptalí 2006: Taller de Consulta Nacional. Documento de País Honduras (Preparación V DIPECHO). http://ec.europa.eu/echo/pdf_files/calls/ dipecho_5_2006_central_america/honduras_pais.pdf MFEWS (Mesoamerican Food Security Early Warning System) 2006: Honduras: Situación de Seguridad Alimentaria. Mayo 2006. MFEWS: Tegucigalpa. http://www.fews.net/centers/?f=r5 Murphy, Sophia; Ben Liliston dan Marie Beth Lake 2005: WTO Agreement on Agriculture: A Decade of Dumping. United States Dumping on Agricultural Markets. Institute for Agriculture and Trade Policy: Minneapolis, Minnesota. Oxfam International 2004: El arroz se quemó en el DR-CAFTA. Cómo el Tratado amenaza los medios de vida de los campesinos centroamericanos. Oxfam Briefing Paper 68. Oxfam International 2005: Foodaid or hidden dumping. Separating wheat from chaff. Oxfam Briefing Paper 71. Ponce Sauceda, Marvin 2003: Las Negociaciones del Tratado de Libre Comercio Estados Unidos – Centroamérica (CAFTA) y su Impacto en la Economía Rural en Honduras. Mimeo. Tegucigalpa. Ponce Sauceda, Marvin 2004: Análisis del Mercado de Arroz en Honduras y el Impacto del Dumping Estadounidense. Mimeo. Tegucigalpa. Schonover, Heather; Mark Muller 2006: Staying Home. How Ethanol will Change U.S. Corn Exports. Institute for Agriculture and Trade Policy. Minneapolis, Minnesota. Thorpe, Andy 2000: “Modernising” agriculture: neoliberal land tenure reform in Honduras. En: Annelies Zoomers y Gemma van der Haar. Current Land Policy in Latin America: Regulating Land Tenure under Neo-Liberalism. Royal Tropical Institute, Amsterdam. Tolentino, José Angel; Gerson E. Martínez y Sherry Stanley 2006: El Salvador: Perspectivas de los Granos Básicos en el Tratado de Libre Comercio entre Centroamérica y Estados Unidos. FUNDE: San Salvador.
135
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia UNDP 2006: Informe de Desarrollo Humano Honduras 2006. UNDP: Tegucigalpa. Walker, Ian y Hugo Noé Pino 2004: Desarrollo Rural y Pobreza en Honduras y Nicaragua: ¿Qué sigue? Políticas, Estrategias y Acciones en Desarrollo Rural y Reducción de Pobreza en Honduras. RUTA, DFID, ODI: San José, Costa Rica. World Bank 1994: Honduras: Country Economic Memorandum/ Poverty Assessment. Report No. 13317-Ho.
136
Bab 6: Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani Padi di Jawa Barat Achmad Rozany Nurmanaf et al. 2005: National Farmers Panel. Laporan Penelitian. Center for Agricultural Social Economic and Policy Studies. Bogor. Tanpa nama, 2006: Kajian Kebijakan Tata Niaga Beras. Laporan Penelitian. Kerjasama antara Research Centre for Domestic Trade Development, Kementrian Perdagangan dan PT Indef Eramadani. Jakarta. Budiman Hutabarat et.al 2005: Analisis Perubahan dan Dampak Perdagangan Bebas Regional dan Penetapan Modalitas Perjanjian Multilateral di Sektor Pertanian. Laporan Penelitian. Center for Agricultural Social Economic and Policy Studies. Bogor. FAO 2006a: Statistical Yearbook. Roma. FAO 2006b: FAO Briefs on Import Surges – Issue No. 1. Import Surges: What Are They and How Can They Be Identified. Roma. FAO 2006c: Rice Market Monitor. September 2006. Volume IX – Isu nomor 3. Roma. FAO 2006d: Rice Market Monitor. Desember 2006. Volume IX – Isu nomor 4. Roma. FAO 2007: Rice Price Update. Januari 2007. Roma. FSPI – Federasi Serikat Petani Indonesia. 2006: Strengthening the Organization of Peasants’ Movements in Establishing Genuine Agrarian Reform and Struggling Against Neo-Liberalism and Imperialism. Jakarta. FSPI – Federasi Serikat Petani Indonesia. 2006: Seruan Petani Kecil untuk Menolak Impor Beras dan Lainnya). Lembaran Pers. Jakarta. IATP – Institute for Agriculture and Trade Policy 2005: WTO Agreement on Agriculture – A Decade of Dumping. United States Dumping on Agricultural Markets. La Via Campesina 2005: Impact of the WTO on Peasants in Southeast Asia and East Asia. La Via Campesina / Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) 2006: Rice and Food Sovereignty in Asia. Jakarta. Mulyo Sidik (BULOG) 2004: Indonesia Rice Policy in View of Trade Liberalization. Pada FAO, 2004: Konferensi beras FAO, Roma, Italia, 13-15 February 2994. Roma.
8. Daftar Pustaka
Nizwar Syafa’at, et al 2006: Analisis Kendala Penawaran beberapa Komoditas Pangan, Hortikultura dan Peternakan serta Implikasi Kebijakan. Laporan Penelitian. Bank Indonesia. Jakarta Nizwar Syafa’at dan Prajogo U. Hadi 2007: Operasionalisasi Kebijakan Harga Dasar Gabah dan Harga Atas Beras. Makalah Analisis Kebijakan. Center for Agricultural Social Economic and Policy Studies. Bogor. Oxfam International 2005: Kicking down the Door. How Upcoming WTO Talks Threaten Farmers in Poor Countries. Oxfam Briefing Paper 72. London. Pantjar Simatupang 1989: Integrasi Harga Ubikayu dan Gaplek di Lampung. Forum Statistik. No. 8(1):21-28. Pantjar Simatupang dan Nizwar Syafa’at 2006: Menuju Kebijakan Harga Gabah dan Beras Terkelola Seimbang. Makalah Analisis Kebijakan. Center for Agricultural Social Economic and Policy Studies. Bogor. OECD 2005: New OECD Report on Agriculture: Agricultural Policy in OECD Countries 2005, and Agricultural Outlook 2005-2014. Directorate for Food, Agriculture and Fisheries. Jenewa dan Washington, 21 Juni, 2005. Sharma, Devinder 2005: Trade Liberalization in Agriculture. Lessons from the First Ten Years of WTO. Diedit oleh APRODEV. Utrecht. The Jakarta Post, edisi 17, 20, 21 April 2007. UNDP 2005: Integrated Assessment of the Impact of Trade Liberalization. A Country Study on the Indonesian Rice Sector. Warr, Peter 2005: Food Policy and Poverty in Indonesia. A General Equilibrium Analysis.
137
9. Lampiran Bab 2: Liberalisasi Perdagangan Beras – Ancaman bagi Petani Kecil 138
Lampiran 1: Daftar Tabel dan Gambar Tabel 1: Peringkat Negara Penghasil, Pengekspor dan Pengimpor Beras (2005), hal. 17 Tabel 2: Gelombang Impor Beras di Negara-negara Berkembang (1983-2003), hal. 19 Gambar 1: Indeks Harga Beras FAO, hal. 20 Tabel 3: Ekspor Beras Amerika Serikat dan Bantuan Pangan tahun 1990-2003 (dalam 1.000 metrik ton), hal. 21
Bab 3: Pendekatan dan Metodologi Lampiran 2: Daftar Pertanyaan untuk Analisis Konteks Data apa yang relevan untuk penelitian beras? • Impor dan ekspor Dalam rangka menunjukkan bahaya liberalisasi pasar (di tingkat makro), harus ada kenaikan impor beras yang berarti dalam hal volume, nilai dan dalam perbandingan relatif terhadap produksi dan konsumsi dalam negeri. Selain beras harus pula dipertimbangkan produk pesaing dan pengganti. Sisi ekspor juga harus diperhitungkan, karena ada kemungkinan sebagian beras impor di ekspor kembali (re-export). Hal ini akan mengubah dampak yang mungkin dari kenaikan impor. Sehingga kita memerlukan data sejak tahun 1975 tentang: - Nilai dan volume impor dan ekspor komersial untuk padi, beras pecah kulit dan beras giling, jagung, kaoliang dan ubi rambat, per tahun, per empat bulan, per bulan dan dari tiap negara - Impor bantuan pangan produk yang sama oleh tiap negara • Kebijakan Pembatasan Kenaikan impor atau gelombang impor hanya dapat dikaitkan dengan politik liberalisasi perdagangan jika gelombang tersebut terjadi segera setelah liberalisasi berjalan. Ini sebabnya kita memerlukan data yang baik tentang (penghapusan) kebijakan proteksi pasar (untuk produk yang sama dan dalam waktu tertentu) seperti: - Tarif impor (khusus dan ad valorem). - Pelarangan musiman atau pelarangan tahunan atau kuota tarif. - Ijin impor: apakah impor harus memiliki ijin dan bagaimana distribusinya? - Kebijakan perbaikan kondisi perdagangan seperti tindakan pengamanan khusus di dalam. - Impor oleh perusahaan dagang negara.
9. Lampiran
- - - -
Persyaratan standar dan teknis. Impor minimal atau harga referensi. Keputusan atau debat pemerintah dan parlemen terkait topik yang relevan. Segala keputusan pengadilan atau perselisihan yang terkait dengan kebijakan pembatasan perdagangan.
• Perjanjian perdagangan eksternal dan persyaratannya Butir ini penting untuk mengidentifikasi tanggung jawab negara lain dalam kebijakan liberalisasi perdagangan atau pelanggaran kewajiban hak asasi manusia lintas negara terhadap hak atas pangan. Untuk itu sangat penting mengetahui: - semua perjanjian perdagangan multilateral dan bilateral yang relevan yang ditandatangani oleh negara terkait (misalnya batas tarif dalam AoA) - semua SAP, strategi bantuan negara atau kertas strategi penurunan kemiskinan atau persyaratan lain yang dikenakan atau disetujui IMF dan World Bank terkait perdagangan beras - Tekanan informal dari negara lain atau lembaga multilateral (seperti email IMF kepada pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif ) - Semua keputusan pengadilan atau perselisihan hukum yang relevan • Dumping Kemungkinan pelanggaran kewajiban lintas negara oleh negara lain yang kemungkinan disebabkan karena dukungan dalam negeri mereka untuk ekspor beras murah. Termasuk di dalamnya: - subsidi ekspor beras atau jagung - program bantuan pangan (oleh Amerika Serikat dan Jepang) - subsidi internal secara bertahap untuk menurunkan harga ekspor • Tingkat produksi dalam negeri Di tingkat makro, hipotesis adanya bahaya yang timbul dari kenaikan impor hanya dapat diakui jika kenaikan tersebut menyebabkan penurunan volume produksi dan atau area produksi. Dan sekali lagi, kita tetap harus mempertimbangkan produk lokal serupa, karena kerugian yang mungkin timbul dari kenaikan impor bisa saja juga menimpa produk-produk pertanian yang lain. Lebih lanjut, dampak yang timbul mungkin berbeda untuk setiap wilayah, tergantung derajat integrasi pasar, daya saing dan aliran masuk barang-barang impor. Sehingga kita memerlukan data sejak tahun 1975 tentang: - total volume dan area produksi beras, jagung, kaoliang dan ubi rambat per wilayah. • Impor dan harga dalam negeri Penurunan harga di tingkat konsumen dan produsen dalam negeri diasumsikan merupakan konsekuensi utama dari gelombang impor. Inilah sebabnya penting untuk mendapatkan data tentang perkembangan (selama periode yang sama, untuk produk yang sama, dan idealnya per bulan) tentang: - harga impor beras pecah kulit, padi, beras giling (dan jagung) - harga domestik produk yang sama di tingkat petani, penggilingan padi, grosir dan pedagang eceran - untuk analisis di tingkat komunitas, penting mendapatkan data harga yang dibayarkan oleh pedagang lokal kepada produsen. • Struktur pasar dan persaingan Untuk melihat lebih jauh dari sekedar tingkat makro, penting mempertimbangkan struktur pasar produk yang sama (terutama beras). Untuk tingkat mikro, analisis segmen pasar khusus akan lebih baik ketimbang analisis data umum. Sehingga kita memerlukan tinjauan: - saluran pemasaran dari tingkat petani melalui pedagang lokal (”ibu-ibu pedagang pasar”
139
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia - - - -
140
dan lain-lain), penggilingan ke pasar lokal dan pedagang eceran pemain utama dalam rantai beras ini dan besar pangsa pasar mereka peran perusahaan dagang negara bagaimana dan di mana beras impor memasuki pasar? Bagaimana beras impor bersaing dengan beras lokal? Pertanyaan ini difokuskan di komunitas yang diteliti apa peran koperasi di komunitas yang diteliti
• Biaya produksi dan dukungan pemerintah Dalam rangka membedakan dampak liberalisasi perdagangan, kita harus melihat faktor-faktor terkait lain diantaranya biaya produksi dan dukungan pemerintah. Kehilangan penghasilan mungkin terkait dengan kenaikan biaya produksi dan berkurangnya dukungan pemerintah. Secara khusus diperlukan informasi tentang: - biaya input produksi seperti bibit, pupuk, herbisida, pestisida, irigasi, mesin-mesin pertanian (dan listrik) dan transportasi (dan bahan bakar) - akses terhadap kredit dan tingkat bung - subsidi pemerintah dan program dukungan lain bagi petani padi selama tahun-tahun tertentu • Kepemilikan lahan Faktor penting lain adalah tentang kepemilikan lahan. Apakah petani adalah pemilik lahan? Jika ya, apakah mereka memiliki sertifikat perorangan atau kolektif? Jika mereka bukan pemilik, apakah ada pengaturan pembagian tanaman? Dan apa bagian petani? • Faktor-faktor lain Selain faktor-faktor yang disebutkan diatas, apakah ada faktor lain yang mungkin mempengaruhi pendapatan petani padi, seperti bencana alam, wabah penyakit atau konflik bersenjata?
Lampiran 3: Daftar pertanyaan untuk wawancara semi terstruktur A) Wawancara dengan narasumber/pakar anggota kelompok tertentu di luar komunitas yang diteliti (”orang luar yang paling dalam”) 0. Data Pribadi: Nama, jabatan, institusi 1. Data dasar: pertanian padi, perdagangan dan konsumsi 1.1 Struktur agro-ekonomi produksi beras (per wilayah dan per jenis produsen) 1.2 Struktur pengolahan dan pemasaran 1.3 Perkembangan produksi beras, harga dan pasar sejak tahun 1975 (termasuk saat puncak produksi) 1.4 Perkembangan impor beras dan dampaknya terhadap harga beras dalam negeri (harga di tingkat petani dan konsumen) 1.5 Perkembangan konsumsi nasional 1.6 Negara asal beras impor dan kemungkinan keterkaitannya dengan kebijakan pertanian di di negara asal (termasuk dumping) 2. Kebijakan 2.1 2.2
Perdagangan dalam kebijakan pertanian: liberalisasi pasar beras (bagaimana dan kapan) Kebijakan pertanian nasional: proteksi produsen nasional (bagaimana dan kapan)
9. Lampiran
2.3 2.4
Peran aktor-aktor politik dan tanggung jawab khusus; pemerintah, partai politik, pengaruh kelompok bisnis, kelompok sosial dan aktor internasional ( World Bank, IMF, WTO, dan lain-lain) Kemungkinan pengaruh bantuan pangan
3. Konsekuensi dan dampak 3.1 Pihak yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan tersebut diatas 3.2 Dampak kebijakan bagi rakyat Indonesia (di perkotaan, pedesaan, berdasarkan gender, produsen/konsumen, sebagian besar kelompok rentan) 3.3 Dampak di tingkat komunitas: produsen/konsumen 3.4 Kelaparan, kekurangan gizi, rawan pangan (kapan, dimana, dalam konteks apa) dalam kaitannya dengan liberalisasi pasar B) Wawancara dengan pakar, tokoh masyarakat anggota komunitas 0. Data Pribadi: Nama, jabatan, institusi 1. Informasi umum 1.1 Nama dan lokasi komunitas 1.2 Status formal di dalam komunitas dan status formal produsen (koperasi, asosiasi dan lain-lain) 1.3 Jumlah orang/keluarga anggota komunitas 1.4 Jumlah total petani padi di komunitas yang diteliti/jumlah produsen perempuan 1.5 Infrastruktur yang ada: jalan, sekolah, puskemas, air minum, sanitasi, listrik dan lain-lain 1.6 Sejarah komunitas (konteks regional, latar belakang etnis, migrasi/kolonisasi, konflik, bencana alam, dan lain-lain) 2. Organisasi Komunitas 2.1 Organisasi politik/pemerintah lokal/kepemimpinan masyarakat 2.2 Organisasi produksi beras 2.2.1 Produksi/pemasaran 2.2.2 Kolektif/individual (mekanisme redistribusi, pendampingan kolektif bagi kelompok paling rentan) 2.3 Hak guna lahan/konflik 3. Produksi pertanian 3.1 Kuantitas dan nilai produksi beras/produk pertanian lain 3.2 Jenis produksi (agro-industri/berkelanjutan) 3.3 Tujuan produksi (konsumsi sendiri, produksi berorientasi pasar) 3.4 Struktur komersial dan perdagangan / pemborong beras 3.5 Dukungan agro teknis/kredit/input 3.6 Program dukungan pemasaran 3.7 Perhitungan Keuntungan 4. Perubahan sejak tahun 1975 4.1 Perkembangan produksi dan pemasaran sejak tahun 1975 4.2 Ambruknya produksi/harga di tingkat petani/pasar selama tahun 1975-2006, termasuk menggali alasan ambruknya produksi dari sudut pandang komunitas 4.3 Peran impor beras dalam kaitannya dengan ambruknya produksi 4.4 Apakah ambruknya produksi sebagaimana tertulis dimuka adalah fenomena umum atau khusus (jelaskan bagaimana pengaruhnya terhadap desa sekitar/
141
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia 4.5 4.6
wilayah/negara) Tanggung jawab dan faktor utama ambruknya produksi Pilihan sumber penghidupan alternatif (ekonomi/pertanian)bagi anggota komunitas
5. Dampak terhadap pasar beras yang berubah 5.1 Di tingkat ekonomi/agro-ekonomi (kelaparan, penggantian jenis tanaman pangan/sewa lahan) 5.2 Di tingkat sosial (bentuk dan fungsi struktur organisasi/migrasi/gender/pemuda) 5.3 Terhadap kelompok rentan anggota komunitas 142
C) Wawancara di tingkat rumah tangga 0. Data pribadi: nama, jenis kelamin, usia, profesi 1. Informasi dasar 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Anggota keluarga, usia, profesi dan jenis kelamin Sejak kapan anda tinggal di desa/kelompok produksi ini? Luas lahan produktif dan lokasinya Jenis hak guna lahan/situasi finansial (termasuk kemungkinan terjerat utang)/kredit Perumahan (rumah, kebun, lahan pertanian sekitar)
2. Produksi 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Produksi beras saat ini Perkembangan produksi beras sejak tahun 1975 Hubungan antara konsumsi sendiri dan produksi berorientasi pasar Runtuhnya produksi/harga di tingkat petani/pasar periode 1975-2006, termasuk menggali data penyebab keruntuhan tersebut dari sudut pandang keluarga Total pendapatan keluar/penghasilan dari produksi beras dan perubahan yang terjadi sejak tahun 1970 Perhitungan keuntungan padi (jika mungkin: keuntungan dalam periode yang berbeda selama tahun-tahun terakhir dan dalam kaintannya dengan liberalisasi pasar) Dukungan, subsidi, dan pelayanan tambahan oleh pemerintah atau aktor lain
3. Dampak perubahan pasar beras 3.1 Kelaparan/kekurangan gizi/kerawanan pangan/sumber daya untuk mendapatkan pangan 3.2 Konsekuensi terhadap produksi padi/dampak terhadap pembangunan pedesaan: perubahan jenis tanaman pangan, kehilangan investasi, kehilangan alat produksi 3.3 Daya beli/perubahan pola konsumsi 3.4 Kerentanan anggota keluarga yang berbeda (laki-laki, perempuan, anak laki-laki, anak perempuan) 3.5 Alternatif ekonomi di dalam dan di luar komunitas/migrasi Dibutuhkan data statistik tahun 1975-2006 tentang - Produksi nasional beras - Tujuan penjualan padi dan pengolahan
9. Lampiran
- - - - - - -
Konsumsi nasional Impor beras dan daerah asal impor Ekspor beras Harga beras (harga produsen, konsumen dan impor) Sistem kuota dan tarif Kemiskinan Kerawanan pangan dan kekurangan gizi kronis
Bab 4: Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana Lampiran 4: Daftar tabel 1) Produksi dan area penanaman padi di Ghana (1995-2005), hal. 34 2) Keuntungan dumping beras Amerika long grain yang diimpor ke Ghana, hal. 38 3) Jumlah beras impor berdasarkan importir utama, hal. 39 4) Perbandingan jumlah mesin pertanian tahun 1980an dan 2002, hal. 46 5) Kurs mata uang Cedi terhadap dolar Amerika, hal. 52 6) Biaya produksi beras per hektar saat musim hujan, hal. 53
Lampiran 5: Daftar gambar Gambar 1: Impor beras Ghana dan produksi domestik dalam ton metrik (1998-2003), hal. 36 Gambar 2: Harga rata-rata beras lokal dan harga rata-rata CIF beras impor, hal. 36
Lampiran 6: Daftar responden yang diwawancarai A. Pakar Nomor, Nama, Organisasi, Jabatan 1) Nashiru Issifu Kadri, Apex Organisasi petani Ghana, Presiden 2) Alhassan Alhassan, Nasia Rice Mills Tamale, Ag. Direktur pelaksana 3) Adam Nashiru, Peasant Asosiasi Petani Ghana, President 4) Alhaji Iddrisu Salifu, Wienco Fertiliser Depot – Tamale, Distributor (Agen Wienco) 5) Rev. Albert B. Kwabi, Dewan Kristen Ghana (Christian Council of Ghana), Direktur keuangan 6) Poonyth Daneswar, FAO PBB, Kantor regional Afrika, Ahli ekonomi 7) Rudolf Amenga Etego, Foundation for Grassroots Initiatives, Direktur 8) Ofei-Nkansah, Kingsley, General Agricultural Workers’ Union (GAWU) 9) Issah, Mohammed, Send Foundation, Staf perdagangan 10) Dr. Ayine, Dominic, Centre for Public Interest Law (CEPIL), Direktor, Universitas Ghana, dosen perdagangan dan investasi 11) Akalbila, Ibrahim, ISODEC and Ghana Trade and Livelihood Coalition (GTLC), Coordinator GTLC 12) Dr. Samuel Asuming-Brempong, Universitas Ghana, Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, dosen senior 13) Paul Amoah, Proyek irigasi Botanga (Botanga Irrigation Project (BIP), Staf teknis
143
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia B. Wawancara/diskusi kelompok terfokus: proyek irigasi Botanga (Botanga Irrigation Project - BIP) – forum petani yang terdiri dari perwakilan 13 komunitas
144
Musah Abdullai, Moro Aba, Musah Alhassan, Imoro Baba, Issah Dawuda, Zakaria Haruna, Baba Sulemana, Adam Mahamadu, Abdullai Abu, Fusieni Salifu, Seidu Alhassan, Issah Dahamani, Sule Yakubu, Sulemana Abukari, Mohammed Amadu, Alhassan Sandow, Salifu Issah, Issah Abukari, Zakaria Fusieni, Yipelnaa Abdullai, Imoro Adam, Sulemana Abukari, Sulemana Yakubu, Sumani Sumani, Mahama Haruna, Yakubu Iddi, Yakubu Abukari, Fusieni Baako Alhassan, Mahama Issah, Abdulrahmani Yakubu, Fusieni Yakubu, Abukari Moro, Seidu Mumuni, Salifu Sumani, Iddrisu Abukari, Baba Fusieni, Issahaku Ibrahim, Adam Mahama, Azara Fusieni, Ibrahim Abdulhasan, Zakaria Ibrahim, Addullai Iddrisu, T.M Alhassan, Adam Iddisu, Seidu Abdullai, Iddrisu Ibrahim, Alhaji Lansah, Addo Siaw, Joe Tong-Kurubil, Paul Amoah, Abdul manani Ibrahim, Gundanah Mahama C. Wawancara perorangan petani di Dalun yang bekerja di BIP 1. Kepala Desa Dalun 2. Adam Mahama 3. Issahaku Mohammed Alhassan 4. Saratu Mahama 5. Amina Mahama D. Petani di Dalun yang tidak bertanam padi dibawah proyek BIP 1. Yakubu Lansah 2. Haruna Yakubu 3. Rukaya Abdul Rahman 4. Abdullai Salifu E. Wawancara dengan ibu-ibu pedagang pasar 1. Ayi Abdullai – penjual nasi (Dalun) 2. Mariama Mohammed – merebus setengah matang sebelum menjual (Dalun) 3. Fati Abdullai (agen, Tamale) 4. Zenabu Musah (agen, Tamale) F. Penggilingan padi 1. Yakubu Mahama G. Wawancara di Dalun Kukou (sebuah desa dekat Dalun) 1. Mohamad Abubakari 2. Iddrisu Haruna H. Pejabat Pemerintah Nomor, Nama, Kementrian, Jabatan 1) L.Y. Sae-Brawusi, Kementrian perdagangan dan industri (MOTI), Direktur perdagangan multilateral, bilateral dan regional 2) Dr. Lawson K. Alorvor, Kementrian Pangan dan Pertanian (MOFA), Direktur Perencanaan Kebijakan 3) Tetteh-Bio, Immanuel, Ghana Rice Inter-Professional Bodies Executive Secretary, Badan Eksekutif,
9. Lampiran
konsultan MOFA 4) Twumasi-Ankrah, Richard, MOFA,koordinator proyek beras Nerica 5) Opoku-Agyemang, Jeremy, MOFA, Divisi kebijakan
Bab 5: Dampak Liberalisai Perdagangan terhadap Hak atas Pangan – Studi Kasus Pangan di Honduras Lampiran 7: Daftar tabel Tabel 1: Konsumsi beras nasional (1981-2006), hal. 63 Tabel 2: Harga padi di tingkat petani dalam negeri dan harga beras giling dunia dalam mata uang nasional (1990-2005), hal. 69 Tabel 3: Tarif impor padi dan beras giling, nilai tukar dan indeks harga konsumen (1990 – 2005), hal. 72 Tabel 4: Garis kemiskinan (dalam Lempira), hal. 79
Lampiran 8: Daftar gambar Gambar 1: Jumlah produksi padi, impor dan sumbangan beras dalam metrik ton (1990-2005), hal. 64 Gambar 2: Area persawahan berdasarkan sensus tahun 2006, hal. 65 Gambar 3: Area persawahan dan jumlah impor beras, hal. 68 Gambar 4: Harga padi di tingkat petani dan harga impor (US $/Tm), hal. 70
Lampiran 9: wawancara A) Wawancara kontekstual A1: Marvin Ponce, Investigador, Diputado del Parlamento Hondureño A2: Arturo Galo – Director Ejecutivo, Dirección de Ciencia y Tecnología Agropecuaria. Secretaria de Agricultura y Ganadería A3: Andrés Carias – Gerente General, Agrobolsa A4: Wilfredo Pérez – Presidente, Asociación de Productores de Arroz (AHPRA) A5: Jacqueline Chenier Gólcher – Coordinadora, Asociación nacional para el Fomento de la Agricultura Ecológica (ANAFAE) A6: Santos Aquiles, Martín Cardoso – Consejo de Coordinación de Organizaciones Campesinas de Honduras (COCOCH) A7: Luis Álvarez Walches – FAO Honduras. A8: Hector Hermilo Soto - Federación Luterana, Oficina de Honduras A10: Rafael Alegría – Vía Campesina A11: José Trinidad Sánchez – Red de Comercialización Comunitaria Alternativa (REDCOMAL) B) Wawancara dengan tokoh masyarakat I = Guangolola/ CARNEL B.I.1: Inés Fuentes (Asesor/ Ex Presidente de la CARNEL) B.I.2: Productores de Guangolola a) Edwin Nuñez, Guangolola
145
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia b) Fernando Pérez c) Santos Banelas d) Luis Aquilar, Guangolola II e) Gilberto Barrela, Guangolola II f ) Heladia Galeas, Guangolola II g) Marco Tulio Díaz, Presidente de la CARNEL (Productor de Maíz) h) Alfredi Soleriano (CCD) i) Inés Fuentes (Asesor) II = EACTSO/ Guayamán 146
B.II.1: Junta Directiva EACTSO a) Eduardo Benítes – Guayamán (Presidente) b) Juan Pablo Mendoza – Tatumbla c) José Pérez Gámez – Tatumbla ( Vicepresidente) d) Gerardo Arturo Turón (Asesor del Instituto Nacional Agrario - INA) e) Carlos Gutiérrez – Ismael Cruz f ) Carlos Gutiérrez – Ismael Cruz g) Natan Noel Reyes – Cruzita del Oriente h) Alejandro Girón – Juan Benito Montoya C) Wawancara di tingkat keluarga C.I.1: Familia Calderón Ortiz C.I.2: Familia Canales C.II.1: María Marcos Ramírez C.II.2 Salvador Alvarado
Lampiran 10: Satuan berat dan volume 1 libra (1 lb.) = 454 grams (1 U.S. pound) 1 libra (Spanish) = 460 grams = 1.0144 U.S. lb. 1 arroba = 25 lb. (Spanish) = 25.36 U.S. lb. = 11.503 kg 1 quintal (1qq.) = 4 arrobas = 100 lb. (Spanish) = 101.44 lb. (U.S.) = 46.01 kg 1 metric quintal = 100 kg 1 garrafón = 5 gallons 1 onza = 1 ounce 1 gramo = 1 gram
Lampiran 11: DR-CAFTA CATATAN UMUM TINGKAT TARIF REPUBLIK HONDURAS Beras Kasar (Rough Rice) 10. (a) Honduras boleh menetapkan dan menjalankan ketentuan yang ada untuk beras kasar, pada tanggal mulai berlakunya perjanjian ini dengan catatan: (i) ketentuan [jumlah beras kasar sesuai perjanjian] dijaga pada jumlah yang tidak melebihi kuota yang ditentukan bagi [beras kasar]
9. Lampiran
(ii) ketentuan dijalankan sepanjang tidak melanggar kuota dan semua tindakan dijalankan sepanjang tidak merusak urutan jumlah sesuai kuota; dan (iii) ketentuan dihentikan saat kelebihan kuota mencapai titik nol. (b) Jumlah barang yang masuk dibawah ketentuan yang tercantum dalam sub alinea (d) harus dibebaskan dari pajak sepanjang tahun sebagaimana tercantum dalam perjanjian dan tidak boleh melebihi jumlah yang ditentukan dibawah ini. Hal ini berlaku bagi Amerika Serikat setiap tahun: Tahun Kuantitas (metrik ton) 1 91,800 2 93,600 3 95,400 4 97,200 5 99,000 6 100,800 7 102,600 8 104,400 9 106,200 10 108,000 11 109,800 12 111,600 13 113,400 14 115,200 15 117,000 16 118,800 17 120,600 18 tidak terbatas Honduras harus mengalokasikan jumlah sesuai kuota yang ditentukan pada orang-orang yang dapat menjalankannya dengan baik. (c) Pajak barang-barang yang masuk dalam jumlah melebihi ketentuan dalam sub alinea (a) harus disingkirkan sesuai dengan kategori tahap P dalam alinea 3(d) Catatan Umum Honduras di lampiran 3.3. (d) Sub alinea (a), (b) dan (c) berlaku dalam penyediaan SAC 10061090. Beras Giling 11. (a) Jumlah barang yang masuk dibawah ketentuan yang tertulis dalam sub alinea (c) harus dibebaskan dari pajak sepanjang tahun sebagaimana tertulis dalam perjanjian, dan tidak boleh melebihi jumlah yang ditentukan dibawah ini. Hal ini berlaku bagi Amerika Serikat setiap tahun: Tahun Kuantitas (metrik ton) 1 8,925 2 9,350 3 9,775 4 10,200 5 10,625 6 11,050 7 11,475 8 11,900 9 12,325 10 12,750
147
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia 11 12 13 14 15 16 17 18
13,175 13,600 14,025 14,450 14,875 15,300 15,725 tidak terbatas
(b) Pajak barang yang masuk dalam jumlah melebihi ketentuan yang tercantum dalam sub alinea (a) harus disingkirkan sesuai dengan tahapan kategori P dalam alinea 3 (d) Catatan Umum Honduras di lampiran 3.3. 148
(c) Sub alinea (a) dan (b) berlaku bagi penyediaan SAC 10062000, 10063010, 10063090 dan 10064000. Alinea 3 (d) Pajak barang asli yang disediakan dalam kategori P harus berada pada tarif dasar sejak tahun pertama hingga tahun ke sepuluh. Pada tanggal 1 Januari tahun ke-11 pajak diturunkan 8,25% dari tarif dasar dan ditambah 8,25% dari tarif dasar setiap tahun hingga tahun ke-14. Pada tanggal 1 Januari tahun ke-15, pajak diturunkan sebesar 16,75% dari tarif dasar dan ditambah 16,75% dari tarif dasar setiap tahun hingga tahun ke-17, dan barang tersebut harus bebas bajak yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari tahun ke-18.
Bab 6: Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani Padi di Jawa Barat Lampiran 12: Daftar Tabel Tabel 1: Tingkat dan distribusi penghasilan di Indonesia (2005), hal. 91 Tabel 2: Harga dasar gabah (HDG) dan harga perantara padi yang ditetapkan pemerintah, hal. 93 Tabel 3: Produksi, Impor dan Konsumsi Beras (1990-2003), hal. 96 Tabel 4: Kondisi perdagangan yang memburuk – perbandingan harga gabah kering dan harga pupuk (1980- 2003), hal. 98 Table 5: Distribusi rumah tangga petani berdasarkan luas lahan pertanian (2003), hal. 104 Tabel 1: Biaya produksi padi per hektar dan per musim dalam rupiah (2007) Faktor Petani 1 Petani 2 Bibit 112,500 137,500 Pupuk 680,000 770,000 Pestisida 300,000 340,000 Tenaga kerja 1,400,000 1,400,000 Biaya traktor 400,000 300,000 Biaya lahan 3,000,000 4,000,000 Lain-lain 392,500 682,000 Modal 6,285,000 7629,500 Bunga 6 % 6 % Biaya Total 6,662,100 8,087,270 Sumber: WAMTI – 2007, tidak dipublikasikan
Petani 3 125,000 1 740,000 370,000 1,500,000 600,000 2,000,000 400,000 5,835,000 6 % 6,185,100
Petani 4 75,000 812,500 638,800 1,515,000 600,000 4,000,000 146,000 7,887,300 6 % 8,360,538
Rata-rata 137,500 750,625 412,200 1,453,750 475,000 3,250,000 405,125 6,884,200 6% 7,297,252
9. Lampiran
Lampiran 13: Daftar Gambar Gambar 1: Produksi dan konsumsi beras (1969-2003), hal. 100 Gambar 2: Impor Beras (1969-2006), hal. 100 Gambar 3: Perkembangan harga beras dan gabah di pasar dalam negeri (1974-2005), hal. 101 Gambar 4: Dampak peningkatan impor beras terhadap GDP, hal. 102 Gambar 5: Dampak peningkatan impor beras terhadap ketenagakerjaan, hal. 103 Gambar 6: Dampak penurunan tarif terhadap pendapatan petani, hal. 103
Lampiran 14: Daftar responden yang diwawancarai 2.1 Wawancara kontekstual dengan tokoh masyarakat, pakar dan pejabat pemerintah Nomor, Nama, Organisasi/Institusi, Jabatan A-1) Mr Benny Benyamin, ASFARNET – Asian Framers Regional Network, Koordinator jaringan A-2) Isabelle Delforge, Via Campesina, Manajer Media A-3) Mohamed Ikhwan, FSPI – Federasi Serikat Petani Indonesia, Peneliti A-4) Lutfiyah Hanim, IGJ – Institute for Global Justice, Peneliti A-5) Dr Hermanto, Departemen Pertanian, Sekertaris Direktur Jendral Ketahanan Pangan A-6) Ir Minuk, Departemen Perdagangan, Peneliti senior A-7) Ms Indera Nababan, PMK HKBP Jakarta, Koordinator A-8) Carla June Natan, Urban Community Mission, Jakarta, Koordinator A-9) Mohammad Noor Uddin, Aliansi Petani Indonesia, Sekertaris Jendral A-10) Agusdin Pulungan, WAMTI – Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Ketua 2.2 Wawancara dengan komunitas petani padi Nomor B-1 B-2 B-3 B-4 B-5 B-6 B-7 B-8 B-9 B-10 B-11 B-12 B-13 B-14 B-15 B-16 B-17 B-18 B-19 B-20 B-21
Nama Pak Olang Daipin Didin Haji Rifai Abdul Yasa Ibu Ati Faturohman Ibu Tarpen Teh Rayen Babak Amin Babak Hasanuddin Dedi Babak Kusnadi Ibu Inah Ibu Noni Ibu Fani Hassan Ibu Marni Pak Miin Pak Muk Rusdiawan Samudera Jaya
Peran dalam komunitas Cikalong, Kabupaten Karawang Cikalong, Kabupaten Karawang Cikalong, Kabupaten Karawang Cikalong, Kabupaten Karawang Cikalong, Kabupaten Karawang Cikuntul, Kabupaten Karawang Cikuntul, Kabupaten Karawang Cikuntul, Kabupaten Karawang Cikuntul, Kabupaten Karawang Pinangsari, Kabupaten Subang Pinangsari, Kabupaten Subang Pinangsari, Kabupaten Subang Pinangsari, Kabupaten Subang Pinangsari, Kabupaten Subang Pinangsari, Kabupaten Subang Samudrajaya, Kabupaten Bekasi Samudrajaya, Kabupaten Bekasi Samudrajaya, Kabupaten Bekasi Samudrajaya, Kabupaten Bekasi Samudrajaya, Kabupaten Bekasi Samudrajaya, Kabupaten Bekasi
Seluruh rekaman wawancara tersedia dalam CD dan transkrip.
petani berlahan sempit petani berlahan sempit pemimpin petani lokal petani tanpa lahan pemimpin petani lokal buruh tani petani berlahan sempit petani tanpa lahan pedagang petani berlahan sempit tengkulak sekertaris desa petani berlahan sempit buruh tani petani organik petani tanpa lahan petani berlahan sempit penggilingan padi petani tanpa lahan petani tanpa lahan pemimpin petani lokal
149
Ecumenical Advocacy Alliance
Ecumenical Advocacy Alliance merupakan sebuah jaringan kerja internasional antara gereja dan organisasi Kristen, yang bekerja sama untuk melakukan advokasi terhadap perdagangan global dan HIV/AIDS. Organisasi yang terlibat dalam aliansi ini merupakan representasi dari puluhan juta umat Kristen di seluruh dunia yang percaya bahwa advokasi melawan struktur yang tidak adil merupakan dasar dari iman serta harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan tercermin dalam kelakuan dan perbuatan. Dengan bekerja bersama-sama, anggota aliansi dapat dengan lebih baik menghadapi perkembangan kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, institusi internasional, korporasi dan komunitas. Semua ini dilakukan untuk mencapai dunia yang lebih berkeadilan, damai dan berkelanjutan. Tindakan strategis dilakukan di berbagai tingkatan dengan memakai metode yang berbeda-beda, termasuk lobi, pendidikan, kampanye akar rumput dan membangun kapasitas. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini Ecumenical Advocacy Alliance juga bekerja sama dengan organisasi berbasiskan agama lainnya dan juga dengan organisasiorganisasi masyarakat sipil.
Kampanye Perdagangan untuk Manusia (The Trade For People Campaign)
Ecumenical Advocacy Alliance berkomitmen untuk bekerja demi terwujudnya keadilan dalam perdagangan global. Perdagangan seharusnya tidaklah menjadi sebuah tujuan akhir, melainkan sebuah alat untuk memajukan kesejahteraan manusia, keberlanjutan kehidupan komunitas dan keadilan ekonomi. Sistem perdagangan seharusnya memberikan prioritas kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan. Menurut ketentuan Alkitab, kegiatan ekonomi, haruslah adil dan memihak kepada yang miskin: pembayaran yang adil, hubungan yang terbuka, tidak mengeksploitasi, menghargai kehidupan. Kampanye global tahun 2005-2008 dengan tema “Perdagangan untuk Manusia, Bukan Manusia untuk Perdagangan” (“Trade for People, Not People for Trade”) bekerja untuk mendorong agar gereja dan organisasiorganisasi Kristen memajukan perdagangan yang adil. Seruan kampanye ini adalah untuk mengingatkan bahwa kesepakatan akan hak asasi manusia juga harus menjadi prioritas dalam kesepakatan-kesepakatan perdagangan. Tiga isu utama yang menjadi fokus kampanye adalah: * hak atas pangan * akses untuk layanan-layanan mendasar * pengaturan korporasi transnasional.
Foodfirst International Action Network
The Foodfirst International Action Network (FIAN) adalah organisasi hak asasi manusia internasional yang selama 20 tahun telah mengadvokasi pemenuhan hak atas pangan. Keanggotaan FIAN terdiri dari cabang nasional dan anggota individu yang berada di lebih dari 50 negara di seluruh dunia. FIAN merupakan organisasi yang tidak berorientasi pada laba dan tidak berafiliasi dengan kelompok agama maupun politik tertentu. FIAN juga memiliki status konsultatif dengan Perserikatan Bangsa Bangsa.