VI.
KEBIJAKAN PENGENDALIAN MUTU LAHAN KERING BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN PONOROGO
6.1.
Kebijakan pada saat ini (eksisting) Seperti telah dikemukakan di muka bahwa salah satu faktor yang
menentukan baik tidaknya pengendalian mutu lahan kering adalah tingkat keberdayaan masyarakat petani lahan kering, yang mencakup aspek: pengetahuan, sikap, motivasi, ketersediaan dana, dan ketersediaan sarana untuk operasional. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini digali pula informasi mengenai kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo tentang aspek-aspek pemberdayaan masyarakat tersebut, termasuk masalah dan alternatif penyelesaiannya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu pejabat Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo serta sejumlah pejabat dinas dan instansi terkait dapat dikemukakan beberapa kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengendalian mutu lahan kering di Kecamatan Bungkal, Balong, Sambit, dan Sawoo sebagaimana diuraikan pada bagian berikut. 6.1.1. Kebijakan Penyuluhan dan Bimbingan Kepada Petani Kebijakan ini ditujukan agar pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif masyarakat petani dalam hal pengendalian mutu lahan kering semakin meningkat, kemudian diharapkan tingkat produktivitas mereka juga meningkat. Dasar hukum kebijakan ini di antaranya ialah: (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2009 Tentang: Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006, Pasal 6 ditetapkan bahwa kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan sistem penyuluhan.
Penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi
dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan; dan
154
penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi pemerintahan. Strategi penyuluhan yang digunakan meliputi metode pendidikan orang dewasa; penyuluhan sebagai gerakan
masyarakat;
penumbuhkembangan
dinamika
organisasi
dan
kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional. Badan pelaksana penyuluhan pada tingkat kabupaten oleh pejabat setingkat eselon II dan bertanggung jawab kepada bupati atau walikota, yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati atau walikota. Balai penyuluhan yang ada di tingkat kecamatan mempunyai tugas: (a) menyusun programa penyuluhan pada tingkat kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten atau kota; (b) melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan; (c) menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar; (c) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha; (e) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya, dan penyuluh
swasta
melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan; dan (f) melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Balai Penyuluhan berfungsi sebagai tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha. Balai Penyuluhan bertanggung jawab kepada badan pelaksana penyuluhan kabupaten atau kota yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati atau walikota. Kerja sama penyuluhan dapat dilakukan antar kelembagaan penyuluhan, baik secara vertikal, horisontal, maupun lintas sektoral. Pemerintah, pemerintah daerah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan penyuluhan swadaya menyediakan sarana dan prasarana penyuluhan. Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik provinsi maupun kabupaten atau kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumber sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan.
155
Rancangan frekuensi dan bentuk penyuluhan dan bimbingan teknis di setiap kecamatan bervariasi; disesuaikan dengan situasi dan kondisi masingmasing daerah. Sebagai contoh di 12 desa dalam 4 kecamatan yang pernah mendapat bantuan program swasta (PIDRA), frekuensi penyuluhan dan bimbingan teknis dengan sistem pendampingan oleh petugas pertanian dan petugas lembaga sosial masyarakat (LSM) ditentukan sebanyak 2 kali dalam satu bulan dengan jumlah sasaran 10 kelompok petani desa; selain itu dilakukan pula kunjungan rumah sesuai kebutuhan. Sementara di desa-desa lainnya rancangan frekuesi penyuluhan dan bimbingan teknis hanya bersifat umum dan rutin sekitar satu kali per bulan dengan sasaran para petani dan kelompok petani desa. Pihak yang bertanggungjawab atas kebijakan penyuluhan di Kabupeten Ponorogo ialah Dinas Pertanian dibantu oleh kelompok (jabatan) fungsional penyuluhan yaitu BAPELUH (Badan Pelaksana Penyuluhan) hasil penetapan Bupati Ponorogo.
Di setiap kecamatan dibentuk BPK (Badan Penyuluh
Kecamatan) yang bertanggungjawab kepada BAPELUH. Dalam menjalankan tugas sehari-hari BPK berkoordinasi dengan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Pertanian Kecamatan (semacam Cabang Dinas Pertanian) yang bertanggungjawab terhadap Kepala Dinas Pertanian Kabupaten. Masalah yang dihadapi dalam rangka pengimplementasian kebijakan penyuluhan dan bimbingan kepada petani atau kelompok petani selama ini ialah kurang melembaganya kerjasama lintas program dan lintas sektoral; ditambah lagi dengan minimnya dana dan sarana yang dapat digunakan untuk operasional. Masalah lainnya yang perlu diselesaikan yaitu penyempurnaan metode kerja dalam kaitannya dengan prosedur penyuluhan dan bimbingan teknis yang baku dan berbasis kebutuhan masyarakat. 6.1.2. Kebijakan peningkatan bantuan sarana dan prasarana pertanian kapada petani lahan kering Kebijakan ini ditujukan untuk mendukung petani agar benar-benar mampu menyelenggarakan aktivitas pertanian di lahan kering dengan baik atau berproduksi secara optimal. Dasar hukum kebijakan ini, di antaranya ialah tentang otomomi daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
156
Programa yang dikembangkan dalam rangka implementasi kebijakan ini dalam dua tahun belakangan pemberian sejumlah bantuan bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Ponorogo yaitu: 1. Alat penepung singkong kepada 12 federasi yang telah dirintis oleh program PIDRA (satu federasi sekitar 150 orang). 2. Kambing etawa kepada masyarakat tani untuk meningkatkan populasi kambing dan perbaikan genetika terhadap kambing lokal (kambing kacang). Bantuan ini tidak diberikan setiap tahun. Bantuan pada tahun pertama (2009) dialokasikan pada 6 desa bekas program PIDRA, dan bantuan pada tahun 2011 dialokasikan ke 5 desa selain desa bekas garapan PIDRA yang membutuhkan. Satu paket bantuan berupa 4 ekor kambing etawa (3 ekor betina dan 1 ekor jantan). 3. Program perbaikan pekarangan; pada tahun 2009 di 10 desa bekas program PIDRA dan di 10 selain desa bekas garapan PIDRA tapi dalam kecamatankecamatan bekas program PIDRA. Pihak yang berperan bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan ini ialah Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo beserta jajarannya di tingkat kecamatan. Dinas yang terkait ialah Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Perindustrian. Masalah yang dihadapi dalam rangka pengimplementasian kebijakan peningkatan bantuan sarana dan prasarana pertanian kapada petani lahan kering tersebut selama ini
ialah bahwa realisasi bantuan dari pemerintah pusat dan
provinsi adalah senantiasa tidak sesuai dengan jumlah dan jenis usulan yang diajukan. 6.1.3. Kebijakan peningkatan bantuan teknologi tepat guna untuk pengendalian mutu lahan kering Kebijakan ini ditujukan untuk mendukung petani agar semakin mampu menyelenggarakan aktivitas pertanian di lahan kering dengan produktivitas yang optimal. Upaya yang dilakukan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut ialah antara lain dengan cara meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti lembaga pendidikan tinggi, lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi, serta lembaga atau institusi lainnya. Di samping itu setiap tahun dibuat dan diajukan usulan bantuan kepada pemerintah pusat dan provinsi.
157
Pihak yang berperan atau bertanggungjawab dalam rangka usaha mengimplementasikan kebijakan ini ialah Bupati Ponorogo dibantu oleh Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo bekerjasama dengan Dinas Perindustrian, dan Dinas Sosial. Masalah yang dihadapi dalam rangka pengimplementasian kebijakan peningkatan bantuan teknologi tepat guna untuk pengendalian mutu lahan kering tersebut selama ini ialah bahwa realisasi bantuan dari banyak pihak sangat minim. Di samping itu, seperti telah dikemukakan di atas
bahwa kerjasama lintas
program dan sektoral masih kurang memadai. 6.2.
Kebijakan Pendukung Pengendalian Mutu Lahan Kering Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Ponorogo Dari uraian hasil penelitian di atas tampak bahwa upaya pengendalian
mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo belum sepenuhnya menggunakan pendekatan sistem yang mencakup sub sistem kependudukan, layanan pemerintah, dan lingkungan. Penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat petani lahan kering selama ini bersifat parsial dan reduksionisme; dan hal ini kurang berdampak positif terhadap produksi lahan kering, dalam arti hasil yang diperoleh belum sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mendukung dan melengkapi kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo tentang peningkatan dan pengendalian mutu lahan kering tersebut, berikut ini penulis merumuskan beberapa kebijakan yang berfokus pada dimensi kependudukan, dimensi kelembagaan, dan dimensi lingkungan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan otonomi daerah, serta visi dan misi Kabupaten Ponorogo. Kebijakan ini dirumuskan berdasarkan data dan informasi yang relevan dari hasil penelitian, yaitu: (1) data dan informasi hasil analisis jawaban responden masyarakat petani lahan kering, (2) data dan informasi hasil analisis jawaban responden pejabat dinas dan instansi pemerintah tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa, (3) data dan informasi hasil analisis jawaban responden pakar dalam ISM, (4) data dan informasi hasil analisis jawaban responden pakar dalam AHP, (5) data dan informasi hasil simulasi skenario-skenario model yang
158
dibangun dan hasil expert judgment, dan (6) data dan informasi tentang kebutuhan stakeholder untuk pengendalian mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo. Selain berbasis data dan informasi yang relevan dan mutakhir, perumusan kebijakan-kebijakan juga didasarkan pada sejumlah prinsip pokok yaitu: 1. berorientasi pada tujuan, dalam arti kebijakan tersebut diimplementasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yaitu peningkatan mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan pendapatan masyarakat petani sehingga semua bebas dari kemiskinan; 2. layak dan realistis, dalam arti bahwa kebijakan-kebijakan tersebut benar-benar layak diimplementasikan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dengan adaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat; 3. berimplikasi untuk aksesibilitas, dalam arti bahwa dengan kebijakan tersebut para petani lahan kering memperoleh kemudahan akses kepada pihak-pihak pemangku kepentingan, perbankan atau lembaga keuangan; pendukung sumberdaya manusia, sarana dan teknik baik pemerintah maupun swasta; 4. berimplikasi untuk kredibilitas dalam jangka panjang, dalam arti hasil kebijakan tersebut benar-benar menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan semua pihak; 5. berimplikasi untuk efisiensi, dalam arti bahwa kebijakan tersebut memiliki sifat termudah dari segi mental; tercepat dari segi waktu; terringan dari segi tenaga; termurah dari segi biaya; paling hemat dari segi material, paling singkat dari segi jarak penggunaan ruang; 6. berimplikasi untuk kesetaraan, dalam arti bahwa hasil implementasi kebijakan tersebut memenuhi kebutuhan para petani lahan kering dan keluarga masingmasing berdasarkan kebutuhan (needs); 7. berimplikasi bagi mutu layanan, dalam arti bahwa dengan adanya kebijakan tersebut memacu pemerintah untuk meningkatkan layanan kepada petani lahan kering, khususnya dalam hal peningkatan program penyuluhan dan bimbingan teknis pertanian; 8. berimplikasi kerjasama lintas program dan lintas sektoral, dalam arti bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut harus ditangani secara terpadu oleh
159
banyak instansi di semua tingkat administrasi pemerintahan mulai
tahap
perencanaan sampai tahap evaluasi. Hasil analisis data jawaban responden masyarakat tani menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan signifikan secara statistik (dalam = 0,05) dengan mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo ialah pengetahuan bertani (pvalue= 0,03) dan perilaku bertani (p-value=0,04). Tampak ada perbedaan antara masyarakat yang memiliki pengetahuan yang cukup dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan kurang terhadap pengendalian mutu lahan kering. Implikasinya diperlukan tindak lanjut dari pemerintah dan para stakeholder berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat tani lahan kering melalui program penyuluhan dan bimbingan teknis secara terorganisir dan berjenjang pada setiap administrasi pemerintahan.
Mutu lahan kering yang
terjaga dengan baik diharapkan mampu mengentaskan petani dalam menjalankan usaha taninya secara baik, sehingga semakin berdaya dalam menjalankan kehidupannya. Seiring dengan itu perlu dikembangkan pula perilaku positif bertani lahan kering dalam kalangan masyarakat petani lahan kering, seperti mengembangkan kebiasaan menanam dan memelihara pohon tanaman keras di areal lahan kering miliknya, kebiasaan menggunakan pestisida secara tertib dan proporsional, kebiasaan memupuk lahan dari bahan organik. Hasil uji statistik menunjukkan pula bahwa keberdayaan masyarakat tani lahan kering yang diindikasikan melalui indikator ketahanan gizi dan pangan, tempat tinggal dan sanitasi, dan pendidikan (nilai γ = (1), (0.23), dan (0.24) dipengaruhi secara positif oleh kemampuan petani dalam melakukan coping strategy (β=0.41). Tampak kecenderungan bahwa semakin baik kemampuan petani melakukan coping strategy maka tingkat keberdayaan petani akan semakin baik. Implikasinya diperlukan pembinaan berkala dari pemerintah dan pihak terkait berkenaan dengan peningkatan kemampuan masyarakat tani melakukan upaya coping strategy yaitu kemampuan petani dalam mengelola emosi (stress) dan upaya pemecahan nyata atas persoalan yang dihadapi terkait dengan kegiatan produksi, konsumsi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa coping strategy masyarakat tani dipengaruhi secara positif oleh faktor faktor ekonomi (β=0.22);
160
artinya semakin baik keadaan ekonomi petani akan meningkatkan kemampuan masyarakat tani dalam melakukan coping strategy.
Implikasinya diperlukan
pembinaan dari pemerintah dan pihak terkait berkenaan dengan perbaikan keadaan ekonomi petani sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat tani melakukan upaya coping strategy.
Salah satu upaya coping strategy
yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat tani lahan kering adalah menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI), sebagian besar ke Malaysia dan Korea Selatan bagi laki-laki dan menjadi TKI ke Arab Saudi dan Hongkong untuk kaum wanitanya. Ada kaitan secara tidak langsung antara keberadaan TKI ke luar negeri dengan mutu lahan kering. Perbaikan keadaan ekonomi masyarakat tani lahan kering, diindikasikan mengurangi tekanan terhadap lahan kering yang ada di sekitarnya, karena tindakan eksploitatif terhadap lahan untuk mendapatkan pendapatan berbasis lahan kering sedikit berkurang. Adapun upaya penting untuk meningkatkan mutu lahan kering menurut sebagian besar responden dinas dan instansi adalah pentingnya melakukan konservasi lahan kering. Sejalan dengan itu mereka berpendapat bahwa faktor yang berhubungan dengan masalah degradasi lahan kering adalah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang bertani lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tani lahan kering menghendaki konservasi lahan kering dapat berhasil dengan baik melalui gerakan penghijauan oleh masyarakat melalui bimbingan pemerintah. Implikasinya perlu tindak lanjut pembinaan masyarakat tani lahan kering melalui penyuluhan dan bimbingan teknis konservasi lahan kering dengan melibatkan sektor-sektor terkait secara terpadu. Menurut sebagian besar responden dinas dan instansi, metode yang paling efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat dalam rangka pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat ialah metode pendidikan atau penyuluhan serta bimbingan teknis oleh petugas pertanian dengan cara mengembangkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral serta partisipasi aktif masyarakat desa. Adapun cara paling efektif untuk meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral ialah pembagian tugas yang jelas disertai pendanaannya, meningkatkan pertemuan berkala, dan pengembangan sistem kerjasama. Implikasinya perlu tindak lanjut peningkatan pengetahuan dan
161
keterampilan petani lahan kering melalui penyuluhan dan bimbingan teknis pengendalian mutu lahan kering dengan melibatkan sektor-sektor terkait dalam kerjasama secara terpadu. Untuk itu perlu pula disusun pedoman atau petunjuk pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tentang pengendalian mutu lahan kering untuk semua tingkat administrasi pemerintahan. Metode yang paling efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan, menurut sebagian besar responden dinas dan instansi, ialah dengan penegakan hukum dan sistem pendidikan. Hasil ini dinilai dapat menggambarkan kebutuhan para pejabat dinas dan instansi di Kabupaten Ponorogo. Implikasinya perlu sosialisasi sejumlah peraturan perundangan kepada seluruh masyarakat berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan secara efektif. Sejalan dengan itu perlu dikembangkan pula teladan yang baik dari para tokoh masyarakat dan para penyelenggara negara dalam hal pelestarian lingkungan di kawasan lahan kering. Faktor utama yang paling berkaitan dengan tingkat mutu layanan petugas kepada petani lahan kering, menurut sebagian besar responden dinas dan instansi, ialah sumberdaya manusia, dana, teknologi, dan sarana. Implikasinya perlu adanya tinjauan ulang terhadap alokasi dana pengendalian mutu lahan kering dalam APBN, APBD; ketersediaan sumberdaya manusia penyuluh dan pembimbing teknis, dukungan teknologi tepat guna, dan bantuan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi. Sejalan dengan itu, cara pengembangan dana operasional pengendalian mutu lahan kering menurut pendapat sebagian besar responden dinas dan instansi ialah dengan pengajuan usulan tambahan anggaran kepada Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, serta penggalian swadaya masyarakat. Implikasinya perlu adanya kesepakatan sumber pendanaan pengendalian mutu lahan kering mengacu pada prinsip-prinsip otonomi daerah. Mengenai cara meningkatkan pendapatan petani, menurut pendapat sebagian besar responden dinas dan instansi, ialah dengan pelatihan pemanfaatan potensi di masyarakat, menanami tanaman tumbuhan, dan mengendalikan harga pemasaran. Implikasinya jelas yaitu pemerintah atau swasta memberi bantuan permodalan usaha untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan di daerah, misalnya dengan menumbuhkan industri kerajinan rumah tangga yang bernilai seni dan ekonomis dengan jaminan pemasaran yang kondusif.
Cara
162
meningkatkan dukungan tokoh masyarakat dalam rangka pengendalian mutu lahan kering, menurut pendapatsebagian besar responden dinas dan instansi, ialah mengaktifkan mereka dalam wadah organisasi partisipasi masyarfakat
atau
dengan pendekatan perorangan. Implikasinya perlu ditingkatkan hubungan yang harmonis antara pemerintah dan tokoh masyarakat melalui mekanisme pertemuan berkala Menurut pakar berdasarkan AHP, adapun urutan “aktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo yaitu prioritas pertama ialah Pemerintah Kabupaten Ponorogo, prioritas kedua ialah pemerintah desa di Kecamatan Bungkal, Balong, Sambit, dan Sawoo; prioritas ketiga ialah Lembaga Kemasyarakatan; dan prioritas keempat ialah Pemerintah Kecamatan Bungkal. Implikasinya perlu memprioritaskan penguatan wewenang Pemerintah Kabupaten Ponorogo untuk meninjau dan merumuskan kembali kebijakan pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo dengan mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya otonomi daerah. Aktor-aktor penting dalam urutan prioritas berikutnya berkewajiban mendukung dan menjabarkan kebijakan pemerintah kabupaten dalam program-program aksi sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masingmasing. Adapun urutan “faktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo, menurut pakar berdasarkan AHP, yaitu prioritas pertama ialah lingkungan: prioritas kedua ialah teknologi; prioritas ketiga ialah layanan pemerintah; dan prioritas keempat ialah kependudukan. Implikasinya perlu diprioritaskan peningkatan sosialisasi tentang pentingnya pelestarian lingkungan dalam rangka pengendalian mutu lahan kering, seperti penghijauan dengan penanaman pohon keras, pengawasan penggunaan pestisida dalam pertanian, mencegah penebangan pohon yang menyalahi aturan, dan sebagainya.
Faktor-faktor penting dalam urutan prioritas berikutnya:
teknologi, layanan pemerintah, dan kependudukan penting pula diperhatikan dalam rangka pengendalian mutu lahan kering, karena semua merupakan kesatuan yang utuh saling berhubungan, saling mempengaruhi.
163 Dari sisi “tujuan” pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo, menurut pakar berdasarkan AHP, prioritas pertama ialah tercegahnya degradasi lahan kering degradasi lahan kering; prioritas kedua ialah meningkatnya produktivitas lahan kering; dan prioritas ketiga ialah meningkatnya pendapatan masyarakat. Implikasinya semua kegiatan diarahkan kepada perwujudan berkurangnya kerusakan lahan kering akibat pengelolaan yang tidak tepat, atau akibat perbuatan manusia yang salah; sekaligus meningkatkan upaya pengelolaan hingga mutu lahan kering semakin baik, produktivitas lahan semakin meningkat, dan pada gilirannya pendapatan masyarakat tani semakin meningkat pula. Urutan prioritas dari “kriteria” pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo menurut pakar berdasarkan AHP ialah edukatif; prioritas kedua ialah sumberdaya manusia; prioriras ketiga ialah dana; dan prioritas keempat ialah sarana.
Implikasinya adalah bahwa
seluruh rangkaian kegiatan pengendalian mutu lahan kering perlu didasari oleh prinsip edukatif, bukan dengan cara serampangan atau cara-cara yang berdampak negatif. Kriteria penting lainnya yaitu keadaan sumberdaya manusia, dana, dan sarana untuk pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat perlu terus dimonitor, dievaluasi, diteliti, dan direncanakan ulang sehingga jumlah yang dianggarkan semakin mendekati jumlah yang dibutuhkan. “Strategi” pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo yang menjadi prioritas pertama menurut pakar berdasarkan AHP ialah peningkatan pemberdayaan masyarakat; prioritas kedua ialah peningkatan layanan Pemerintah; prioriras ketiga ialah peningkatan gerakan penghijauan; dan prioritas keempat ialah peningkatan pemupukan lahan kering. Implikasinya perlu upaya sistematis dan berkesinambungan dari pemerintah
untuk
meningkatkan
pengetahuan
masyarakat,
sikap
positif
masyarakat; atau motivasi masyarakat; atau sarana dan prasarana sesuai jumlah dan jenis yang dibutuhkan masyarakat sehingga mereka benar-benar siap dan semakin mampu meningkatkan produktivitas lahan kering hingga sampai pada taraf yang optimal. Strategi prioritas berikutnya yaitu peningkatan layanan pemerintah; peningkatan gerakan penghijauan; dan peningkatan pemupukan lahan
164
kering untuk pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat perlu dilanjutkan dengan teknik atau metode terkini tanpa meninggalkan kearifan lokal. Faktor kunci pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo menurut pakar berdasarkan ISM ialah peningkatan kerjasama lintas program dan sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan. Empat faktor penting dalam urutan berikutnya yaitu peningkatan frekuensi dan mutu layanan penyuluhan dan bimbingan petugas pertanian kepada masyarakat; peningkatan kesiapan masyarakat untuk bersikap positif dalam mengelola lahan kering; peningkatan kesiapan masyarakat untuk menerima pengetahuan dan berperilaku tani yang lebih baik, peningkatan kemampuan teknis masyarakat tani dalam mengelola lahan kering secara baik. Implikasinya perlu ada evaluasi terhadap kerjasama lintas program dan lintas sektoral selama ini kemudian ditindaklanjuti dengan perencanaan kembali tentang bentuk dan langkah-langkah kerjasama pada masa yang akan datang. Kerjasama lintas program dan sektoral yang baik akan mendorong semakin meningkatnya frekuensi dan mutu layanan penyuluhan dan bimbingan petugas pertanian kepada masyarakat. Keadaan ini selanjutnya akan mendorong semakin meningkatnya frekuensi peningkatan kesiapan masyarakat untuk bersikap positif dalam mengelola lahan kering; dan juga mendorong peningkatan kesiapan masyarakat untuk menerima pengetahuan dan berperilaku tani yang lebih baik. Dampak lain dari kerjasama yang baik tersebut ialah meningkatnya frekuensi peningkatan kemampuan teknis masyarakat tani dalam mengelola lahan kering secara baik. Implikasi dari semua ini perlu ditangani oleh pemerintah dengan baik mulai dari evaluasi terhadap kerjasama lintas program dan lintas sektoral selama ini kemudian ditindaklanjuti dengan perencanaan kembali tentang hal-hal yang akan dicapai pada masa yang akan datang. Dari skenario model yang dibangun: eksisting, optimistik, moderat dan pesimistik, disimpulkan bahwa hasil simulasi skenario kondisi optimistik selama 20 tahun (2011-2030) menunjukkan dampak yang lebih baik dibandingkan dengan hasil simulasi skenario kondisi lainnya. Beberapa gambaran perbandingan atau perbedaan hasil simulasi skenario tersebut adalah sebagai berikut:
165
1. Pendapatan domestik regional bruto (PDRB) menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011 sebesar Rp 8.007.063.080.000,00 meningkat menjadi Rp 38.620.048.920.000,00 pada tahun 2030; kenaikan rata-rata per tahun sebesar Rp 1.530.649.292.000,00 lebih besar dari kenaikan rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting, PDRB berturut-turut sebesar Rp
1.446.873.540.000,00;
Rp
1.359.144.200.000,00;
dan
Rp
1.369.286.000.000,00. 2. Kesejahteraan yang dalam penelitian ini merupakan nilai transformasi manfaat langsung dari pendapatan, menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011, selisih pendapatan setelah semua kebutuhan pokok petani dipenuhi ratarata sebesar Rp 39.845,46 (KK/bulan) meningkat menjadi Rp 259.307,50 (KK/bulan) pada tahun 2030; kenaikan rata-rata per tahun sebesar Rp 10.978,10 (KK/bulan) lebih besar dari kenaikan rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting, berturut-turut sebesar Rp 9.981,53; Rp 8.937,95; dan Rp 9.058,59 (KK/bulan). 3. Persepsi masyarakat terhadap pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011 sebesar 62,81% meningkat menjadi 94,93 pada tahun 2030; kenaikan ratarata per tahun sebesar 1,60% lebih besar dari kenaikan rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting, berturut-turut sebesar 1,23%; -0,54%; dan 0,287%. 4. Luas lahan kering yang dapat digarap untuk usaha tani menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011 sebesar 45.530,49 ha menurun menjadi 42.586,48 ha pada tahun 2030; penurunan rata-rata per tahun sebesar 147,2 ha lebih kecil dari penurunan rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting, berturut-turut sebesar 478,55 ha; 885,92 ha; dan 760,97 ha. Implikasi dari hasil ini perlu dikembangkan sistem peningkatan pendapatan masyarakat dengan menggunakan skenario optimistik model yang dibangun, sehingga berdampak positif terhadap kesejahteraan mereka. Hal ini juga akan mendorong persepsi positif mereka ke arah yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Dari hasil analisis data penelitian tergambar berbagai
166
masalah yang dihadapi dan perlu diselesaikan dalam rangka pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo. Seiring dengan itu diperoleh pula banyak bahan yang dapat dijadikan masukan untuk menyusun kebijakan alternatif pemecahan masalah tersebut. Adapun pokok permasalahan utama yang dihadapi dan perlu segera diselesaikan yaitu
(1)
kerjasama lintas program dan sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan kurang optimal; (2) frekuensi dan mutu layanan penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat kurang optimal; (3) kesiapan masyarakat untuk bersikap positif dalam mengelola lahan kering kurang optimal; (4) kesiapan masyarakat untuk menerima pengetahuan dan berperilaku tani kurang optimal; dan (5) kemampuan teknis masyarakat tani dalam mengelola lahan kering kurang optimal. Sebagian besar masalah ini merupakan masalah mengenai keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengendalian mutu lahan kering. Mengacu pada hasil penelitian tersebut berikut ini penulis uraikan rumusan beberapa kebijakan pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat sebagai pendukung kebijakan yang sedang dilaksanakan: 1. Kebijakan intensifikasi forum koordinasi antar penanggungjawab program dan stakeholder tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dalam rangka pengendalian mutu lahan kering. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan koordinasi atau keterpaduan dalam sistem pembinaan masyarakat petani lahan kering di Kabupaten Ponorogo, khususnya di Kecamatan Bungkal, Balong, Sawoo, dan Sambit. Hasil pembinaan yang terpadu, efektif, dan efisien diharapkan masyarakat tani lahan kering semakin mampu meningkatkan dan memelihara mutu lahan kering garapannya. Keadaan ini akan meningkatkan hasil atau produktivitas lahan kering dan akan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat tani. Indeks pendapatan atau tingkat konsumsi masyarakat yang meningkat, langsung atau tidak langsung, akan menunjang terhadap laju pertumbuhan indeks pendidikan dan indeks kesehatan masyarakat; dan pada akhirnya meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) masyarakat.
Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan
kebijakan ini antara lain (a) penyusunan matrik kerja bersama dalam rangka pengendalian mutu lahan kering; (b) pertemuan berkala antar penanggungjawab
167
program dan stakeholder tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dalam rangka pengendalian mutu lahan kering; (c) penyediaan informasi terpadu yang dibutuhkan petani lahan kering, yang dapat diakses secara mudah oleh semua stakeholder, seperti: peta potensi lahan pertanian, daftar perbankan atau lembaga keuangan mikro, daftar lembaga pendukung teknologi, perkembangan harga sarana produksi pertanian, perkembangan harga jual hasil pertanian, dan informasi perkembangan usahatani. 2. Kebijakan peningkatan kesiapan masyarakat untuk menerima pengetahuan dan berperilaku tani lahan kering yang lebih baik. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, motivasi, disiplin, keterampilan, dan ketersediaan dana dan sarana para petani dalam rangka pengelolaan lahan kering garapannya. Perwujudan tujuan ini akan memudahkan proses pembinaan kepada petani, khususnya dalam adopsi ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan pengendalian mutu lahan kering. Kondisi ini akan berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas lahan kering garapan para petani; dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat petani lahan kering serta
menunjang pengentasan kemiskinan masyarakat.
Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan ini antara lain (a) pemantapan koordinasi antar penanggungjawab program dan stakeholder tingkat kabupaten, kecamatan dan desa penyuluhan kepada masyarakat secara rutin dan sistematis dalam hal usahatani lahan kering; (b) peningkatan bina suasana dan hubungan baik antara penanggungjawab program, stakeholder dan pihak terkait lainnya dengan masyarakat; (c) menciptakan iklim dan suasana pertanian lahan kering yang kondusif, termasuk pengaturan pemasaran dan harga-harga hasil produksi lahan kering yang menggairahkan petani; (d) pemberian insentif kepada para petani lahan kering yang berprestasi baik; (d) pembinaan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendukung t enaga, dana, dan sarana pengendalian mutu lahan kering; (e) meningkatkan peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh wanita, tokoh seni dalam penyuluhan lahan kering.
168
3. Pengembangan kemampuan teknis masyarakat tani dalam mengelola lahan kering secara baik. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan keterampilan petani lahan kering dalam mengelola garapannya. Dengan keterampilan yang memadai maka diharapkan hasil produksi lahan kering semakin mendekati target yang diharapkan. Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan ini ialah (a) pelatihan intensif kepada masyarakat tani lahan kering secara sistematis dan berjenjang; (b) peningkatan kegiatan praktek kelas dan lapangan tentang manajemen usaha tani lahan kering, manajemen transportasi pengangkutan hasil panen,
pengelolaan pasca panen; (c) pengembangan tenaga penyuluh dan
pembimbing teknis dengan merekrut ketua-ketua kelompok tani untuk kemudian disebarluaskan kepada anggota-anggota kelompoknya; (d) pengembangan sistem insentif berbasis kinerja atau prestasi bagi petugas pembina dan masyarakat tani. 4. Kebijakan gerakan penghijauan terpadu di wilayah Kabupaten Ponorogo Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan luasan lahan kering yang bermutu baik untuk usaha tani masyarakat. Dengan tercapainya tujuan ini, maka seiring dengan tersedianya dana dan sarana secara memadai, maka akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan per kapita masyarakat tani lahan kering, yang selanjutnya akan memberi konstribusi yang besar dalam upaya pengentasan kemiskinan. Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut adalah dengan penentuan target dan pembagian tugas per wilayah, termasuk penanggungjawab masing-masing berdasarkan musyawarah dan mufakat; diikuti dengan acara-acara edukatif, seperti: lomba hasil tanam pohon, cerdas cermat tentang manfaat tanam pohon, loka-karya penghijauan dan pelestarian lingkungan, studi banding dan semacamnya dengan melibatkan stakeholder. 6.3.
Implikasi Keilmuan Beberapa temuan penting penelitian ini akan berimplikasi pada beberapa
bidang ilmu yang terkait antara lain ilmu pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, ilmu pemberdayaan masyarakat dan ilmu penyuluhan. keilmuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Implikasi
169
1. Implikasi terhadap keilmuan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan Pengendalian mutu lahan kering adalah bagian penting dari upaya mencapai pembangunana berkelanjutan, khususnya pilar yang ketiga dari pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan Munasinghe (1993), yaitu tujuan ekologis. Hasil penelitian ini memperkaya teori pembangunan berkelanjutan tersebut, bahwa tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai secara simultan dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat yaitu (1) tujuan ekonomi: pertumbuhan ekonomi, peningkatan output, pembentukan modal dan peningkatan daya saing; (2) tujuan sosial: kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketenteraman; (3) tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak ekternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan. Hasil simulasi model pengendalian mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo dari penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi ekologis (mutu lahan) yang baik perlu memperhatikan: (1) sejauh mana tingkat keseriusan pemerintah melakukan layanan kepada stakeholder dalam upaya pengendalian
ekologis
tersebut;
(2)
faktor
kependudukan
yang
selalu
bersinggungan secara langsung dengan lahan (ekologi), baik dalam konteks memanfaatkan, mengeksploitasi dan sekeligus memelihara atau mengkonservasi; dan (3) keadaan lingkungan, baik yang bersifat given seperti curah hujan, ketersediaan mata air, jenis tanah, topografi, angin, kelembaban, dan lain-lain maupun yang bisa diusahakan seperti jumlah pohon tanaman tegakan, teknologi yang ada untuk melakukan rekayasa atas kondisi yang telah given pada lingkungan tersebut. Hasil penelitian yang diuraikan di atas merupakan cara pandang alternatif yang melengkapi atau memperkaya teori pembangunan berkelanjutan yang menjadi arus utama (mainstream) dalam ilmu pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang selama ini dipahami. Cara pandang baru ini bisa menjadi cara pandang alternatif atau merinci lebih detail metode yang telah pernah dikembangkan sehingga khasanah ilmu pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan menjadi lebih kaya.
170
2. Implikasi terhadap keilmuan pemberdayaan masyarakat Penelitian ini juga mengungkapkan secara jelas bahwa mutu lahan kering sangat terkait dengan tingkat keberdayaan masyarakat. Hasil penelitian ini juga menjelaskan aspek apa yang perlu mendapat perhatian dalam proses pemberdayaan masyarakat. Orientasi pemberdayaan masyarakat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlunya meningkatkan coping strategy agar masyarakat survive dalam mengarungi kehidupan lahan kering yang sulit. Agar masyarakat survive, kemudian berdaya maka masyarakat harus memiliki kemampuan pengendalian emosi dan kemampuan problem solving secara kreatif dalam memecahkan persoalan yang dihadapi dalam aspek produksi dalam arti luas: bertani, berkebun dan beternak; dalam aspek pengolahan hasil produksi untuk meningkatkan nilai tambah; dalam aspek pemasaran hasil produksi dan/atau pengolahan hasil serta dalam aspek konsumsi, baik dalam arti konsumsi asupan (intake) gizi untuk menjaga kualitas hidupnya maupun konsumsi dalam arti mengatur pengeluaran rumah tangganya sehingga ekonomi rumah tangganya berlangsung dengan baik. Temuan yang diuraikan di atas memberikan arah kegiatan pemberdayaan masyarakat tani lahan kering secara jelas dan rinci. Arah atau fokus kegiatan pemberdayaan masyarakat tani lahan kering ini penting dan merupakan kontribusi yang sangat berharga dalam pengembangan ilmu pemberdayaan masyarakat. Hal ini disebabkan dengan modifikasi seperlunya, pola yang sama bisa diterapkan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan tipe yang lain. 3. Implikasi terhadap keilmuan penyuluhan Sasaran penyuluhan pada umumnya selalu ditujukan untuk meningkatkan tiga
ranah:
(keterampilan).
kognitif
(pengetahuan),
afektif
(sikap)
dan
psikomotorik
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan
perilaku (bisa disetarakan dengan ranah psikomotorik) berhubungan nyata dengan mutu lahan kering. Namun dijelaskan lebih rinci dalam alat analisis yang lain (AHP) bahwa menurut para pelaku (actor) dana menjadi hal yang prioritas. Dana dalam hal ini bisa bermakna untuk menggerakan sarana dan prasarana penyuluhan pada tahap awal, namun bisa juga bermakna bahwa masyarakat perlu segera mendapatkan pertolongan cepat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebelum
171
ditingkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan mengelola lahan agar bermutu baik. Namun setelah kebutuhan dasar terpenuhi, menurut hasil AHP juga baik dari sudut pandang aktor, faktor, tujuan dan kriteria menjelaskan bahwa strategi yang berfokus pada peningkatan tiga ranah di atas (strategi pemberdayaan) menjadi prioritas. Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyuluhan penting memperhatikan kondisi ekonomi masyararakat yang menjadi sasaran penyuluhan. Penyuluhan akan efektif jika secara paralel juga memperhatikan upaya perbaikan ekonomi masyarakat sasaran penyuluhan. Tata urutan (sequence) dalam melakukan kegiatan penyuluhan sebaiknya dilaksanakan sebagai berikut: melihat keadaan ekonomi kelompok sasaran penyuluhan – memberikan intervensi perbaikan (jika kondisi ekonominya buruk) – melakukan penyuluhan- pengetahuan, sikap dan keterampilan meningkat – kondisi ekonomi sasaran penyuluhan meningkat – inovasi mudah diterima kelompok sasaran – meningkatkan kesejahteraan kelompok sasaran penyuluhan. Uraian di atas menjelaskan kontribusi hasil penelitian ini terhadap ilmu penyuluhan pertanian dan konservasi lingkungan. Kegiatan penyuluhan yang akan datang diharapkan akan lebih efektif jika mengikuti tata urutan (sequence) sebagaimana yang direkomendasikan dari hasil penelitian ini.