PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA FAKULTAS HUKUM Arief Budiono1, Wafda Vivid Izziyana2 Universitas Muhammadiyah Ponorogo
[email protected] Abstrak Pendidikan karakter untuk tingkat strata satu yaitu fakultas hukum telah banyak menuai kritik dan masukan. Pendidikan pada fakultas fakultas hukum dilakukan dengan mengolah dan mengambil kebijakan pendidikan hukum yang banyak berkutat kepada keahlian hukum semata. Pendidikan hukum dilakukan dengan kebijakan kebijakan yang menumbuh kembangkan kemampuan legal maupun teknis sehingga lulusan lulusan hokum memiliki kemampuan dan kemahiran hukum yang memadai. Pendidikan Hukum di Indonesia dapat dirasakan cukup minimal dalam hal pembangunan karakter (character building), sehingga dapat dirasakan bahwa para sarjana hukum atau lulusan hukum justru tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi di bidang hukum. Pendidikan Hukum di indonesia acapkali justru menghasilkan lulusan yang tidak memiliki kepedulian terhadap rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Cukup banyak perkara atau kasus yang muncul justru mengoyak rasa keadilan di masyarakat karena hanya berorientasi kepada prosedur dan peraturan belaka. Konsep pendidikan hukum di Indonesia yang teraplikasikan melalui berbagai kebijakan negara dalam dunia pendidikan hukum justru menjadikan lulusannya melenceng dari hakekat yang seharusnya. Pendidikan hukum yang harusnya mampu untuk membentuk hukum Indonesia yang berkeadilan dan responsif sesuai dengan cita cita nasional menjadi tidak tercapai. Maraknya kondisi dimana aparat hukum yang bertindak tidak sesuai keadilan di masyarakat, runtuhnya kepercayaan masyarakat pada dunia hukum dan penyelewengan hukum menjadi indicator yang cukup jelas bahwa sebahagian besar materi pendidikan hukum tidak membangun karakter. Dalam dunia pendidikan hukum sendiri sangat diutamakan hanya pendidikan skill hukum maupun yang berorientasi pelaksana dari peraturan saja dan bukan aparat hukum yang bervisi progresif dan responsif.. Proses pendidikan hukum selama ini juga kerap menomorduakan pendidikan karakter maupun transcendental religius yang menghasilkan manusia manusia yang kreatif dan ahli dalam bidang hukum namun secara substansi merugikan bangsa dan Negara. Akibat dari hal tersebut maka kepercayaan masyarakat kepada institusi institusi hukum menjadi ambruk serta masyarakat menganggap hukum hanyalah prosedur belaka dan tidak memiliki orientasi keadilan, tentu ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Diperlukan kebijakan yang komprehensif dalam membenahi dunia pendidikan hukum agar cita cita nasional keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai. Kata kunci : Kebijakan, Pendidikan Hukum, Responsif, Progresif
PENDAHULUAN Hukum tidaklah muncul begitu saja dari ruang yang kosong dan sunyi tetapi melalui berbagai macam tahapan dan diantaranya melalui pendidikan. Kondisi hukum di Indonesia saat ini sungguh sungguh memprihatinkan dengan ketidak sesuaian antara das sein dan das sollen, atau antara aturan hukum sebagai sebuah ideal dengan kenyataan yang ada. Diperlukan pendidikan (hukum) yang komprehensif berkarakter dengan kepribadian bangsa sehingga yang terpisah jauh dari realitas social. (Paulo Freire, 2000: 194). Perbaikan dan pembenahan sektor pendidikan hukum di Indonesia yang selama ini dianggap amburadul dengan berbagai ketidak sinkronan
antar berbagai kebijakan menjadi sesuatu tuntutan yang menggejala dewasa ini. Karena kelemahan proses dan hasil pendidikan hukum ini menimbulkan berbagai dampak yang mengerikan dimana akan berpengaruh kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengaruh dari sebuah proses pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan (Dede Rosyada, 2004:1) dan pada akhirnya menghambat kemajuan masyarakat. Kemajuan dunia pendidikan dapat dijadikan dari cermin kemajuan masyarakat, dan dunia pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi masyarakatnya yang juga penuh persoalan. (Ngainum, 2008
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
: 13) Peranan pendidikan hukum sangat penting bagi kemajuan, masyarakat, bangsa dan negara maka tanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan hukum yang berkualitas menjadi tanggung jawab negara maupun masyarakat. Negara memang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam hal penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya (Mustafa Bacharudin, 2001 : 12). Bangsa Indonesia saat ini mengalami krisis penegakan hukum (law enforcement). Indikasi nyata dari hal tersebut adalah ketika dalam penegakan hukum semata mata hanya mengutamakan aspek kepastian hukum dan mengabaikan kemanfaatan dan keadilan hukum. Adagium bahwa keadilan merupakan cita hukum adalah keadilan (justice) dalam konteks hukum keIndonesiaan telah berubah dimana yang diutamakan adalah skill atau nalar hukum yang hampa arti keadilan dalam gerak hukum masyarakat (Romli Atmasasmita, 2001 : 30). Ini karena jelas bahwa hukum atau aturan hukum terutama dalam implementasinya seharusnya adil tetapi ternyata yang terjadi justru ketidak adilan namun aparat hukum tidak menyadari dan memahami karena dalam alam fikiran mereka keadilan hanyalah persoalan prosedur belaka (Carl Joachim Freidrich, 2004 : 279). Alam fikiran tersebut terbentuk adalah karena pola pendidikan hukum selama ini memiliki kecenderungan mendidik tukang tukang hukum yang terampil menerapkan peraturan secara prosedural an sich belaka tetapi tidak memahami substansi dari hukum. Selain krisis penegakan hukum juga terjadi kecenderungan pengabaian terhadap hukum, ketidak hormatan terhadap perangkat maupun aturan hukum sebagai akibat dari amruknya kepercayaan masyarakat kepada hukum. Sebagai contoh dari ketidak percayaan masyarakat kepada perangkat hukum termasuk aturan hukum adalah adanya persepsi yang
luas dikalangan public bahwa perangkat hukum termasuk aturannya adalah sesuatu yang mengabaikan keadilan sosial. Kondisi ini juga dialami institusi hukum yaitu peradilan yang pada faktanya sangat berbelit belit dalam penyelesaian kasus hukum atau persengketaan bahkan diperlukan waktu bertahun tahun. Penegakan hukum dianggap sebagai sesuatu yang inkonsisten dan terkesan tebang pilih serta perlindungan hukum yang berbelit belit secara prosedur bagi masyarakat (Sultan Hamengkubuwono, 2007 : 275). Pendidikan hukum selama ini memakai Pendekatan Hukum Konservatif, yaitu pendidikan hukum yang mengajarkan agar hukum dipahami sebatas secara legal-formal. Pendidikan hukum mengajarkan hukum secara eksplisit seperti yang terdapat pada bunyi pasal-pasal suatu perundang-undangan tanpa memahami konteks sosiologis dalam masyarakat. Penegak hukum atau lulusan hukum sekedar sebagai mulut perundangundangan belaka. Dengan pendidikan semacam ini maka Hukum telah kehilangan konteks rasa keadilan masyarakat. Produk atau output dari pendidikan hukum yang berorientasi kepada skill hukum sesuai dengan legal formal akan menghasilkan sarjana hukum atau ahli hukum yang sematamata untuk mewujudkan keadilan prosedural bukan keadilan substansial (rasa keadilan msyarakat). Reaksi terhadap kelemahan pendidikan dengan visi pendekatan konservatif yang legal formal muncullah Pendekatan Hukum Progresif. Beberapa pemikiran Satjipto Rahardjo (M. Najibur Rohman, Pak Tjip dan Hukum Progresif, 2010 : 1) dalam Kompas, 20 Januari 2010), tentang hukum progresif yaitu di dasarkan pada pencarian makna hukum sebagai sebuah wasilah perantara untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan,. Karena selama ini
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
pemahaman hukum seringkali hanya didasarkan pada “logika hukum” dan mengesampingkan “ logika-logika sosial kemanusiaan”. Tulisan dalam paper ini akan menelaah dan menganalisa tentang pendidikan hukum yang dilaksanakan pemerintah secara konsep. Sekaligus mencoba menganalisis dengan realita dilapangan pelaksanaan, agar dapat memberikan inspirasi dan solusi pemikiran. Dengan harapan dapat memberikan sumbangsih pemikiran tentang pendidikan hukum yang berkarakter dalam membentuk aparat hukum yang progresif dan responsif. PEMBAHASAN Tujuan pendidikan hukum perlu dievaluasi mengingat reformasi pendidikan hukum yang dilakukan di Indonesia tidak lepas dari apa yang dikehendaki oleh suatu pemerintahan dan kondisi tertentu. Sejak diperkenalkannya pendidikan tinggi hukum di Indonesia, paling tidak terdapat empat masa pemerintahan: pemerintahan Kolonial, pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto dan pemerintahan pasca Soeharto.Pada tiaptiap pemerintahan akan dievaluasi apa yang menjadi tujuan dari pendidikan hukum. Tujuan pendidikan hukum rupanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang terjadi di Indonesia dan dikehendaki oleh pemerintah. Istilah yang digunakan oleh Soetandyo, tujuan pendidikan hukum 'bukan suatu proses yang otonom', melainkan: "Suatu proses yang tertuntut secara fungsional mengikuti perkembangan politik, khususnya politik yang yang bersangkut-paut dengan kebijakan dan upaya pemerintah untuk mendayagunakan hukum guna meraih tujuan-tujuan yang tak selamanya berada di ranah hukum dan/atau ranah keadilan (Soetandyo Wignyosoebroto, 1995 : 4)." Dengan demikian, tujuan pendidikan hukum seolah
bukanlah suatu yang netral dan karenanya tidak mungkin diberlakukan sepanjang masa. Pemerintahan Kolonial Belanda memperkenalkan pendidikan hukum di Indonesia karena adanya kebutuhan untuk mengisi lowongan birokrat hukum oleh para penduduk pribumi. Para lulusan diharapkan dapat menjadi hakim landraad atau sebagai petugas•petugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri. Tujuan pendidikan hukum pada masa pemerintahan Kolonial Belanda adalah untuk menghasilkan birokrat hukum atau rechtsambtenaren. Kurikulum pendidikan hukum yang dirancang Saat Indonesia merdeka, tujuan pendidikan hukum-pun berubah. Tujuan pendidikan hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi pimpinan negeri atas hukum. Soetandyo menggambarkan persepsi ini sebagai berikut: "Presiden Soekarno menyerukan perlunya menciptakan hukum revolusi untuk menggantikan semua sisa hukum colonial yang sampai saat itu menurut kaidah-kaidah formalnya masih harus dipandang sebagai hukum yang berlaku. Presiden Soekarno mencela secara terbuka para ahfi hukum dan hukum-hukum formal yang dikukuhinya sebagai kekuatan-kekuatan konservatif yang akan menghamba/ berputarnya roda revolusi. Para ahli yang selalu berkutat secara legalis/ik pada hukum-hukum formal inilah yang- dengan dalih demi kepastian hukum-selalu bercenderung untuk mempertahankan sistem- sistem dan tertib-terlib yang lama, yang sesungguhnya amat kolonial ". Tidak
heran
bila
tujuan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
pendidikan hukum diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang berani dan memiliki kemampuan membuat terobosan secara revolusioner. Tujuan pendidikan hukum kembali diubah ketika pemerintahan Soekarno digantikan oleh pemerintahan Soeharto. Pada masa ini pendidikan hukum ditujukan untuk menghasilkan lulusan yang dapat mendukung proses pembangunan di Indonesia. Para mahasiswa hukum diharapkan mengetahui teori dan peraturan perundang- undangan, tetapi menganut paham law as social tools enginering yaitu fungsi terhadap berlakunya hukum di masyarakat untuk sarana pengendalian sosial. Hal ini ditekankan berulang kali tentang pentingnya hukum sebagai alat control sosial dalam setiap upaya pendidikan dan kajian hukum' Dengan demikian hukum itu - dalam teori maupun praktik- selalu berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan sosialekonomi yang mutakhir. Sedikit catatan pada masa ini, tepatnya tahun 1993, untuk merespons kebutuhan dari pengguna lulusan fakultas hukum yang menganggap lulusan tidak siap pakai, kurikulum pendidikan hukum mengalami perubahan. Perubahan ditujukan agar para lulusan tidak sekedar memahami teori tetapi juga menguasai ketrampilan hukum. Inilah akar dari konsep pendidikan Hukum yang mengedepankan pemahaman teori sekaligus praksis bagi ahli ahli hukum, sehingga kental nuansa positivistic yang menjadikan ahli hukum sekadar corong undang undang tanpa memahami efektifitas, pengaruh dan keberlakuan secara sosiologis (Hikmahanto Juwana, 2005 : 4-5) . Pasca pemerintahan Soeharto dimana era demokratisasi di Indonesia mencuat, muncul keinginan agar pendidikan hukum dapat menghasilkan lulusan yang progresif. Ide dimunculkan, antara lain, oleh Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro. Menurut Rahardjo pendidikan hukum
progresif merupakan lawan dari pendidikan status quo. Ide ini lIluncul sebagai reaksi dari tidak responsifnya hukum terhadap perubahan yang terjadi secara mendasar di Indonesia. Hukum dijalankan secara dogmatis dan dianggap tidak peka pada proses transisi yang sedang dialami oleh Indonesia. Bahkan Komisi Hukum Nasional (KHN) menilai pendidikan hukum yang ada cenderung bersifat monolitik.1Ciri dari pendidikan progresif adalah pendidikan yang (I) kreatif, (2) responsif, (3) protagon is, (4) berwatak pembebasan, (5) berorientasi kepada Indonesia dan kebutuhan Indonesia (Satjipto Rahardjo, 2004 : 6). Pendidikan Hukum yang menekankan keadilan hanya dari aspek kepastian hukum atau hanya asal sesuai prosedur merupakan akar dari berbagai krisis penegakan hukum. Hal ini adalah sebagai akibat dari tidak ditanamkannya karakter yang menjadikan lulusan lulusan hukum mampu menjadi aparatur yang progresif dan responsif terhadap keadilan. Pendidikan Hukum kurang mengembangkan pendidikan karakter yang jujur, responsif, menjunjung tinggi keadilan serta memahami dinamika kemasyarakatan yang bergerak melampaui peraturan peraturan statis. Pendidikan hukum di Indonesia tidak dapat dipungkiri memang menghasilkan ahli ahli hukum yang cekatan dalam mengaplikasikan peraturan peraturan hukum secara an sich. Aparatur hukum yang demikian akan memandang aturan sebagai segalanya yang harus dipenuhi walaupun harus mencederai keadilan dan kemanfaatan hukum. Ahli ahli hukum yang berfungsi hanya semata sebagai robot robot hukum yang tidak memiliki jiwa dan tidak peka dengan kondisi yang hidup dan berkembang disekeliling hukum. Perlu ditanamkan bahwa secara filosofis dari pendidikan hukum adalah bahwa hukum untuk manusia.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Karenanya hukum seharusnya memahami kondisi yang ada terkait psikologis dan sosiologi dari hukum dalam masyarakat. Pendidikan hukum haruslah memberikan keteladanan dan pendidikan yang berkarakter diantaranya kejujuran. Pendidikan hukum haruslah pula menanamkan nilai nilai bahwa hukum bukanlah untuk golongan tertentu yang memiliki capital sehingga terasa “sangar” untuk rakyat kecil. Pendidikan hukum perlu menanamkan nilai nilai kesetaraan dan egaliter dimana hukum tidak boleh diskriminitaif dan berpihak karena hal ini akan sulit memenuhi hasrat keadilan. Hukum perlu dijalankan dengan penuh pengertian (understanding) dan rasa keterlibatan yang bahkan memuncak dengan menampilkan kecerdasan spiritual dalam supremasi hukum dan ini tidak hanya berkaitan dengan aturan saja (Cholisin, 2010 : 3). Hukum perlu juga mempertimbangkan beberapa variable di luar hukum seperti sosial, budaya bahkan politik. Untuk memenuhi kualifikasi pendidikan hukum progresif serta responsif diperlukan sejak masa pendidikan. Penting menanamkan pemikiran dan pemahaman kepada para peserta didik yang kelak akan menjadi aparatur penegak hukum untuk berhukum tidak hanya berlandaskan aturan-aturan formal, namun juga berdasarkan hati nurani dan rasa keadilan dan kemanfaatan yang berkembang di masyarakat. Diperlukan pendidikan hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar bagi pendekatan hukum dari sisi moral maupun sosiologis yang lahir dari konsep rule of morality, bukan sekedar rule of law. Bahkan masyarakat Indonesia tentunya lebih memuji para penegak hukum karena komitmen pada keadilan, bukan semata karena mampu menghukum dengan berbasis kepada peraturan perundangundangan belaka. Diantara contoh kasus yang
menyentak rasa keadilan masyarakat dan menganggap bahwa hukum adalah tajam kebawah dan tumpul keatas adalah kasus nenek minah yang diperkarakan karena dituduh mencuri kakao, Nenek Minah ditangkap lalu ditahan sekian lama, padahal kerugiannya sangat minimal hanya 3 buah kakao senilai 5000 rupiah. Pak Tjip (Satjipto Rahardjo) menilainya sebagai “sesuatu yang berlebihan” karena seharusnya dapat diselesaikan dengan metodemetode komunalistik yang dianggap lekat dengan kultur bangsa Indonesia sendiri dan tidak perlu dibawa ke pengadilan. Kasus lain adalah tentang Gayus Tambunan yang merupakan seorang koruptor pajak kelas kakap dengan kerugian negara mencapai ratusan milyar justru bebas berkeliaran. Dalam pendidikan hukum haruslah ditanamkan pendekatan hukum progresif keadilan substansial (keadilan yang sesuai hati nurani) harus menjadi pertimbangan utama dalam keputusan pengadilan serta bukan hanya dari aturan hukum an sich. Dewasa ini pendidikan hukum dengan membangun karakter yang memahami pendekatan hukum progresif ada kecenderungan mulai menguat. Mahfud MD ketua MK menyatakan bahwa MK memegang empat kaidah penuntun dalam merumuskan pendidikan hukum di Indonesia. Pertama, tak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa, baik secara ideologi maupun teritorial. Kedua, tidak boleh dibuat berdasarkan menangmenangan jumlah pendukung semata, tetapi juga memahami kultur, gerak masyarakat, kondisi sosiologis dari masyarakat (Cholisin, 2010 : 5). Bangsa Indonesia menanti pendidikan hukum yang progresif sekaligus responsif, membawa visi keadilan, memahami kondisi sosiologis hukum, dan jujur. Namun sayang, kebijakan pendidikan hukum di Indonesia terlalu kuat dalam mengedepankan positivisme atau
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
menganggap bahwa hukum hanyalah hukum murni yang terlepas dari aspek moral, sosial dan etika. Pendidikan hukum yang semacam itu akan selalu diwarnai kepentingan politik praktis dan kerdil oleh segelintir orang yang menjadi pihak yang memformulasikan hukum. Sebagai sebuah pendidikan hukum maka dengan pemikiran dan pemahaman progresif, pendidikan hukum perlu juga memahami bahwa sesungguhnya hukum adalah sebagai produk politik. Sebuah produk yang dihasilkan dari kesepakatan kesepakatan atau voting oleh institusi yang merupakan institusi politik dan diiisi oleh politisi sehingga hukum bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Mahfud MD (Mahfud MD 1998 : 24 -27) menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik/konfigurasi politik adalah susunan kekuatan politik yang secara dikotomis meliputi konfigurasi politik demokratis dan otoriter. Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk aktif memenetukan kebijaksanaan umum. Sedangkan konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif dalam pembentukan kebijaksanaan negara. Konfigurasi politik demokratis menghasilkan produk hukum responsif / populistik, yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Sedangkan konfigurasi politik otoriter menghasilkan produk hukum konservatif / ortodok/ elitis, yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivisinstrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana dari penguasa yang represif. Kondisi hukum yang di hasilkan dari konfigurasi politik ini menjadikan
hukum rawan tercemar dengan intensi pribadi, golongan maupun kelompok sehingga hukum menjadi sesuatu yang tidak bebas nilai. Sungguh sebuah bencana jika para ahli hukum atau sarjana hukum bervisi atau berpemahaman positivisme konservatif yang menganggap bahwa hukum adalah undang undang atau peraturan belaka. Keadilan pun tereduksi menjadi sekadar prosedural belaka dengan prosedur dan aturan yang dibuat oleh politikus sebagai produk politik sehingga hukum menjadi tidak lagi bervisi sebagai keadilan. Pendidikan hukum yang berorientasi kepada positivisme inilah yang sesungguhnya meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada hukum. Keruntuhan kepercayaan dari masyarakat berakibat kepada terjadinya krisis hukum dimana orang atau rakyat lebih suka menyelesaikan sendiri kasus atau permasalahan yang dialami, misalnya dengan cara main hakim sendiri. Pada tahap akhir dari krisis hukum ini akan menjadi anarki atau kerusuhan. Realitas membuktikan bahwa kebijakan pendidikan hukum diarahkan oleh kepentingan penguasa. Pada akhirnya pendidikan terkungkung oleh kebijakan kebijakan yang tidak konstruktif sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas bangsa ini. Namun perlu juga diingat bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan hukum bukan hanya menjadi tanggung jawab dan kebijakan dari pemerintah semata, karena hal itu juga tergantung dari berbagai komponen-komponen pendidikan lainnya dalam memajukan dunia pendidikan (Soedjiarto, 2007: 18). Meskipun ada perbedaan tujuan dari pendidikan hukum dari waktu ke waktu, namun tidak ada perbedaan yang mencolok dari lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum. Para lulusan tahun 1930-an, 1950-an, 1970-an, I 980-an hingga 2000-an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderung legalistik tidak berbeda dengan lulusan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
pada masa pemerintahan Kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca Indonesia merdeka. Ada beberapa alasan mengapa berbagai tujuan pendidikan hukum tidak terlihat secara signifikan pad a lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum (Hikmahanto Juwana, 2003 : 95). Pertama, kurikulum inti pendidikan hukum yang berlaku sejak masa pemerintahan kolonial hingga sekarang masih berlaku. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan tersebut terletak pada pemberlakuan sistem kredit semester dan penekanan pada mata kuliah yang bernuansa terapan. Selanjutnya, bila dicermati mayoritas substansi mata kuliah dalam kurikulum inti dan metode pengajaran tidak berubah secara mendasar sejak masa pemerintahan Kolonial hingga sekarang. Substansi mata kuliah dan metode pengajaran telah terlanggengkan karena faktor pengajar. Pengajar resisten berubah meskipun tujuan pendidikan hukum telah berubah. Pelanggengan juga terjadi karena sistem rekrutmen pengajar. Pengajar baru direkrut dengan menjadikan mereka asisten terlebih dahulu. Perekrutan dilakukan segera setelah calon pengajar menyelesaikan kuliah, bahkan pada di masa lalu pada saat calon pengajar masih menjadi mahasiswa. Pengajar utama melakukan rekrutmen berdasarkan kepatuhan calon pengajar pada pengajar utama, kepatuhan substansi perkuliahan dan metode pengajaran yang digunakan. Pengajar baru harus mendampingi pengajar utama selama bertahun-tahun sebelum diberi kepercayaan untuk berada di depan mimbar. Pelanggengan juga terjadi karena Pola pola pendidikan hukum tersebut memang pada akhirnya hanya akan mampu membentuk ahli ahli hukum yang terampil, memahami peraturan sekaligus sangat hafal dengan peraturan yang ada namun mini nurani. Tidak terdapat perbedaan signifikan
buku pegangan yang digunakan dari tahun ke tahun tidak berubah. Apa yang disampaikan dalam perkuliahan oleh pengajar utama dijadikan bahan ajar berupa diktat ataupun buku oleh pengajar berikutnya. Mahasiswa tidak diberi keleluasaan untuk mendapatkan perspektif berbeda karena jawaban atas ujian didasarkan pada kesesuaian jawaban dengan pengajar. Materi pembelajaran tidak lebih dari pengqiyasan sebuah kasus untuk dicari dasar hukum dalam undang undang daripada pengungkapan berbagai perspektif dari ahli lain atas pertanyaan maupun kasus Mayoritas pengguna lulusan fakultas hukum cenderung menginginkan tipe lulusan yang tahu peraturan perundang• undangan, bukan yang tahu hukum secara holistic dalam pengertian yang luas. Hukum telah direduksi menjadi peraturan perundang-undangan semata. Sehingga apapun tujuan yang ditetapkan pada pendidikan hukum, fakultas hukum akan tetap menghasilkan lulusan yang disesuai kan dengan selera pengguna. Masyarakat men-stereotip-kan lulusan fakultas hukum sebagai sangat legalistik, pandai menghafal dan taat pada doktrin. Akibatnya penyelenggara pendidikan hukum, para pengajar maupun mahasiswa tidak mempunyai pilihan selain ikut dengan stereotip yang dipersepsikan oleh masyarakat. Secara singkat dapat disimplilkan berbagai tujuan pendidikan hukum ternyata tidak berdampak pada lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum. Fakultas hukum telah dan akan terus menghasilkan lulusan yang mirip dengan apa yang dihasilkan oleh fakultas hukum selama ini (Hikmahanto Juwana, 2005 : 5-7). antara sebuah fakultas hukum dengan fakultas hukum lain terkait materi pengajaran sehingga lulusan hukum memiliki profil hampir sama yaitu corong undang undang. Desentralisasi maupun otonomi yang diunggulkan dalam belum mampu dijalankan secara
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
serius oleh pemerintah. Secara standar kelulusan hanya didasarkan kepada standar standar bersifat teknis yang bertumpu pada aturan hukum belaka, namun tidak diajarkan untuk memutus dengan nurani, dengan etika, dengan pertanggung jawaban moral. Kebijakan tentang kelulusan ditentukan juga dari hasil yang telah distandarkan dengan minimum nilai kelulusan yang ditentukan secara terpusat (Abudin Nata, 2008 : 63). Dengan pola pendidikan hukum semacam itu tidak menjadi hal yang mengherankan jika terjadi pencuri sandal atau kasus nenek minah maka apara hukum menjadi sangat tegas tanpa kemanusiaan. Aparat atau ahli hukum tidak memeriksa terlebih dahulu apakah perbuatan dilakukan karena terdapat kearifan local disana, atau kemanusiaan ketika seorang nenek mengambil kurang dari 5000 rupiah justru ditahan sekian lama. Proses pendidikan hukum memerlukan perbaikan yang signifikan sehingga mampu mencapai tujuan nasional yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang berdasar Ketuhanan yang Maha Esa dan bukan berdasar Undang Undang belaka. Diperlukan kerjasama yang baik antar segenap pihak untuk mewujudkan pendidikan hukum yang mengarusutamakan substansi yaitu keadilan diatas bentuk formal perundang undangan belaka. KESIMPULAN Pendidikan memang bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar dan terdidik, tapi juga menciptakan manusia yang terdidik, bermoral dan berbudaya (educated civilized human being). Karenanya pendidikan tidak bisa terlepas dari kebudayaan maupun aspek religiusitas. Pendidikan merupakan proses yang komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan untuk mempersiapkan manusia yang mampu mengatasi segala tantangan dan permasalahan. Ki Hajar
Dewantara pernah menyatakan, “pendidikan adalah sebuah proses pemberdayaan manusia dengan cara mentransformasikan nilai-nilai budaya yang keadaanya tidak selalu sama dengan nilai-nilai budaya masa lampau. pendidikan akan selalu menghargai perbedaan dan keberbedaan budaya”. DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, HAM dan Penegakan Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2001 Bacharudin, Musthafa, Education Reform (The Case of Indonesia), The Republic of Indonesia and The World Bank : Jakarta, 2001 Cholisin, Membentuk Karakter dalam Pendidikan Hukum Untuk Warga, Makalah disampaikan dalam seminar nasional “Peran Civil Society Terhadap Pendidikan Hukum dan Penegakan Hukum Di Indonesia”, Prodi Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang, 2010 Freidrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Bandung, : Nuansa dan Nusa Media, 2004 Freire, Paulo. Pendidikan Pembebasan. Jakarta : LP3S, 2000. Hamengkubuwono X, Sultan, Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007 Juwana, Hikmahanto, Memikirkan Kembali Sistem Pendidikan Hukum di Indonesia, Jentera Pustaka : Jakarta, 2003 Juwana, Hikmahanto, Reformasi Pendidikan Hukum di Indinesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Volume 35 Nomor 1, 2005 Mahfud MD, Mohammad, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2006 Nata, Abudin. Manajemen Pendidikan Mengatasi kelemahan Pendidikaan Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2008.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Ngainum, Naim Dan Ahmad Sauqi. Pendidikan Multikultural; Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta : Ar-ruzz, 2008. Rahardjo, Satjipto, Dimanakah Pendidikan Hukum, Kompas, 8 April 2004 .Rohman, M Najibur, Pak Tjip dan Hukum Progresif, Harian Kompas, 20 Januari 2010 Soejiarto Dkk. Kurikulum Yang Mencerdaskan. Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2007.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di Indonesia, 1995, Dapat diakses di http://www.huma.or.id/document/01_ analisahukum/perkembanganhukumn asionaldan pendidikandiIndonesiapadaerapascak olonial/soetandyo.pdf Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia. Jogjakarta : ArRuzz Media, 2009
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017