KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY 2002 TENTANG TERORISME DI IRAK PADA MASA PRIODE GEORGE W. BUSH TAHUN 2003 – 2009
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial ( S. Sos)
Oleh Siti Hasanawati 106083003673
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
t:
LEMBAR PERSETUJUAN
Kebijakan National Security Strategy 2002 Tentang Terorisme Di lrak Pada Masa Priode George W. Bush Tahun 2003 - 2009
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik unhrk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
Oleh: Siti Hasanawati
NIM.
106083003673
Menyetujui
Asus Nilmada Azmi. M.Si NrP. 19?80 8042009 t21ffi2
NrP. 197808M2009121002
PROGRAM STUDI HIJBTINGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA zA14
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI Dengan ini, Pembimbing Skripsi Menyatakan bahwa mahasiswa
Nama NIM Pnogram
:
: Siti Hasanawati
: 106083003673
Studi
: Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY DI IRAK TENTANG TERORISME PADA MASA GOERGE W.-BUSH TAHUN 2003-2009. dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji
Jakarta, 7 Desember 2013
Mengetahui, Ketua/Sekretaris Program Studi
Menyetujui, Pembimbing
Agus Nilmada Azmi, M.Si NrP. l 97808042009r 2 I 002
Agus Nilmada Azmi, iU.Si
NIP. I 978080.12009
I2I
002
SKRIPSI
KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY DI IRAK TENTANG TERORISI\IE PADA I\TASA GEORGE \Y. BUSH TAHUN 2OO3 _ 2OO9 Oleh Siti Hasanawati 106083003673 Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal l0 Januari 2014. Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Srudi Hubungan Internasional.
Ketua,
Sekretaris,
Agus Nilmada Azmi. M.Si. NIP. 1 978080420091 2t002
Azus Nilmada Azmi. M.Si. NrP. l 97808042009t21002
Penguji I
Penguji II r----
&u)--IvI. Adian Firnas,
M. Si.
Febri Di rgantara/H asibuan,s. E..lvl. lr{
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kerurusan pada tanggar 10 Janua i 2014. Ketua Prodi Hubungan Internasional Fisip UIN Syarif giyatullah Jakarta
^Kiky Rizky. M.Si NIP. I 9730321200801 1002
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Skripsi yang berjudul : KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY DI IRAK TENTANG TERORISME PADA MASA GEORGE W. BUSH TAHUN 2003 - 2009 : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Desember 2013
Siti Hasanawati
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Robill’aalamiin, segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT serta junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “KEBIJAKAN
NATIONAL
SECURITY
STRATEGY
2002
TENTANG
TERORISME DI IRAK PADA MASA PRIODE GEORGE W. BUSH TAHUN 2003 – 2009”. Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tak sanggup penulis gambarkan kepada kedua orang tua tercinta, bapak H. Slamet Riyadi dan Ibu Hj. Mulyanah. Terima kasih atas seluruh cinta dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih tak terhingga atas berbagai bentuk dukungan tulus baik moril maupun materi. Serta, dengan penuh pengertian dan kesabarannya memberikan kepercayaan, memotivasi dan mendoakan penulis agar tetap sehat dan selalu semangat berjuang untuk menuju pintu keberhasilan. Lebih lanjut, penulis sangat menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik dalam bentuk waktu, tenaga, ide dan pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2. Kiky Rizky, M. Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. 3. Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Serta sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah
iv
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan serta motivasi yang sangat berharga hingga selesainya penulisan skripsi ini. 4. Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis. 5. Pak Jajang dan Pak Amali yang sudah sangat banyak membantu dalam proses administrasi penulis. 6. Seluruh Bapak / Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswi HI. 7. Terimakasih kepada Ketua yayasan MIS Al- Alawiyah Pak. Muhtadin S. Pd., selaku Kepala Sekolah Bapak Nawawi S. Pd. Pak. Fuad, Pak. Yamin, Pak. Dede, Pak. Agus dan seluruh dewan guru MIS AL- Alawiyah yang selalu mengerti, memalumi dan memberi semangat. 8. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Terimakasih kepada kakak tersayang yaitu Halimatussadiah, S. Pd. Saebatul Islamiah, S. Pd. Miftahuddin. SE. dan kepada adik Nurma Sulistia Ningsih yang selalu mewarnai hari-hari penulis dengan suka dan duka. Terima kasih atas dukungan semangat, baik secara materil dan do’a kalian selama ini kepada penulis. 9.Sahabat-sahabat terbaik penulis. Desty, Diah, Ochy, Maya, Mawar, Ika, Yeyen, Alfi, Majid, Nani, Ka Dodo, Bang Jo, Bang Musonif, Rusman, Agus, Ozi, Azi, Rinan, Sail, Sila, Ida, Dewi, Karima, Rizqi, Maskur, Puroh, Yuyun, Indri dan Novi, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dengan segala bantuan baik dalam bentuk tukar pikiran, perdebatan maupun pencarian data. Serta yang selalu memotivasi, menyemangati dan menghibur penulis. Dunia ini jadi lebih berwarna dengan adanya kalian brosis., hehee… ^_^
v
10.Teruntuk sahabat penulis yang telah tiada (Alm.) Izzun Nahdliyah. Terimakasih telah menjadi pendengar yang baik, yang dengan sabar mendengarkan semua curhatan penulis. Terimakasih atas dukungan semangat, motivasi, do’a, serta pengertian dan perhatianmu menemani hari-hari penulis dengan canda tawa. Penulis tidak akan pernah melupakanmu. Kamu salah satu sahabat terbaik penulis. I really miss U., ^_^ 11.Teman-teman seperjuangan HI angkatan 2006 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 12.Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih. Terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya.Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai hargannya ini menandapat imbalan di sisi Allah SAW sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan kedepannya.
Jakarta, 7 Desember 2013
Siti Hasanawati
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR………………………………………………..…………..... iv DAFTAR ISI…………………………………………………………….……..….. vii ABSTRAK………………………………..…..……………………………….…....ix DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………….……………... 1 B. Pertanyaan Penelitian …………..………………………..………………. 5 C. Tujuan dan Manfaat ….…………………………………..……………… 6 D. Kerangka Pemikiran .…………………………………….…………….... 6 E. Metode Penelitian …………………………………………………….... 12 F. Sistematika Penulisan …..……………………………………………… 14 BAB II EKSISTENSI AMERIKA SERIKAT DI IRAK……….……………… 16 A. Irak di Bawah Renzim Saddam Hussen…………………. …………..... 16 vii
B. Operasi Pembebasan Amerika Serikat di Irak…..…………………..…. 17 C. Pengaruh Peristiwa 9/11 Terhadap Kebijakan AS……………………... 22 D. Kebijakan Keamanan AS: Pra dan Paska Peristiwa 9/11…………….. 25 1. Kebijakan Keamanan AS sebelum 9/11 …………………………. 25 2. Kebijakan Keamanan Paska 9/11………………………………….. 26 E. Akibat Perang Irak …………………………………………………….. 29 BAB III A. Pandangan Umum Strategi Internasional Amerika Serikat……….…… 32 B. Sejarah Dibentuknya National Security Strategy…………...………...… 35 C. National Security Strategy…………………...……….. …………......…… 39 D. Pandangan Terhadap National Security Strategy ..…………………….. 40 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN…………………………………........ 42 A. Pandangan George W. Bush Tentang Terorisme dan Invasi Irak….. 42 B. Kebijakan Amerika Serikat dalam Mengatasi Terorisme..……….… 44 C. Kerjasama Amerika Serikat- Irak tentang Terorisme pada tahun 2003 – 2009……………………………….………………………………... 49 D. Kerjasama Amerika Serikat- Irak untuk Melawan Terorisme Sebagai Kompensansi Pasca Invasi ………………………………………… 52 BAB V KESIMPULAN …………………….…………………………………...... 55 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 57 viii
ABTSRAK Skripsi ini membahas mengenai kebijakan Amerika serikat dalam National Security Strategy 2002 tentang terorisme di Irak pada masa periode George W Bush Tahun 2003 – 2009. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami kebijakan AS dalam NSS 2002. Penelitian ini dilaksanakan dengan studi pustaka. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah perspektif realisme dan teori kebijakan luar negeri. Penulis menyimpulkan bahwa invansi Amerika Serikat ke Irak hanya merupakan obsesi Amerika untuk membuat tatanan dunia baru dan lebih mengukuhkan Amerika sebagai Negara “super power”. Dimana agenda penyerangan dan menjatuhkan pemerintahan Saddam Husein sudah lama menjadi agenda neokonservatif yang menjadi mimpi Bush untuk menjadikan Irak sebagai negara demokratis yang mengatasnamakan pembasmian terhadap terror dan terorisme di dunia. Penyerangan Bush ke Irak tanpa didasari oleh persetujuan PBB dan banyak mendapat kecaman dari berbagai negara. Bush memakai NSS-2002 doktrin yang tertuang didalamnya yaitu With Us or Againts Us dan preemptive strike sebagai dasar legitimasi penyerangan tersebut. Amerika menuduh Irak dengan alasan salah satunya sebagai Negara pemilik senjata pemusnah masal yang bisa menghancurkan dunia untuk alasan menyerangnya, walau sampai saat ini tidak terbukti tentang kepemilikan tersebut. Bush sebagai presiden Amerika tetap berpendapat bahwa invasi Amerika ke Irak merupakan perang yang dimandatkan oleh Tuhan kepadanya, maka tidak gampang bagi Bush untuk menyerah dan mengaku kalah. Namun Bush tak menyadari dampak dari invansi Amerika ke Irak justru membawa Irak ternyata malah memupuk dan memicu berkembang biaknya terorisme. Kata kunci: Invasi Amerika ke Irak, Peledakan gedung WTC 9 September 2001, National Security Strategy (NSS), kebijakan NSS AS di Irak terkait terorisme pada masa George W. Bush
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah National Security Strategy merupakan sebuah konsep yang menjadi landasan atas invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak. Selain itu, invasi tersebut juga dilandasi oleh doktrin preemptive strike. Doktrin inimemberikan legitimasi untuk menyerang lebih dulu sebelum diserang musuh seperti yang telah diterapkan AS di Afghanistan dan dilanjutkan pada Irak1. Di dalam The National Security Strategy of The United States of Amerika (NSS-2002) mengizinkan AS menyerang negara manapun yang dianggap berpotensi mengancam keamanannya tanpa meminta persetujuan PBB dan mendasari AS melakukan invasi ke Irak tanpa adanya mandat dari PBB2. Dalam NSS 20023, terdapat beberapa hal yang menjadi orientasi AS dalam strategi kebijakan luar negeri. Pertama AS dengan tegas menyatakan kesuksesan nasional hanya dengan cara menerapkan kebebasan, demokrasi, dan kebebasan dalam mendirikan suatu usaha. Untuk itu, AS akan berusaha keras menyebarkan nilai-nilai yang dianut ke seluruh pelosok dunia. Pemerintahan Bush berkeinginan untuk menjadikan AS sebagai negara yang menjadi kiblat ekonomi seluruh bangsa. Pemerintahan Bush juga menginginkan adanya sebuah era baru bagi pertumbuhan ekonomi global yang diwujudkan melalui pasar bebas dan 1
Aleksus Jemadu. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional.Graha Ilmu. Yogyakarta. 2007. Hal; 81.
2
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal; 26 – 27.
3
Abdul Halam Mahally. Menjarah Negara Muslim Menguak Agenda Besar AS, dibalik Invasi ke Irak dan Afganistan. Bekasi, Fima Rodeta,hal: 132- 135. 1
perdagangan bebas. AS juga menyatakan memiliki hak untuk menyingkirkan ancaman-ancaman bagi keamanan nasionalnya dengan cara menggunakan kekerasan militer dan menyerang lebih dulu sebelum terjadi suatu serangan dari pihak musuh, baik ancaman itu benar-benar nyata ataupun belum pasti, secara multilateral ataupun unilateral. Kemudian AS akan menanggulangi masalah terorisme dengan cara melalukan pengembangan kekuasaan militer secara besarbesaran. Pemerintahan Bush merasa perlu meningkatkan kemampuan teknologi militernya, baik itu dengan cara mengembangkan sistem pertahannan rudal ataupun melakukan uji coba kapabilitas senjata pemusnah massalnya. National Security Strategy (NSS-2002) atau yang dapat juga disebut sebagai Doktrin Bush ini merupakan sebuah kebijakan keamanan Amerika Serikat, yang muncul paska terjadinya peristiwa 11 September 2001. Doktrin baru yang menjadi kebijakan resmi AS seolah menyatakan bahwa pemerintahan presiden Bush akan memerangi terorisme menurut caranya sendiri dengan mengabaikan hukum internasional4. Terorisme pada dasarnya bertujuan bukan untuk membunuh sebanyakbanyaknya manusia. Akan tetapi, menebarkan ketakutan sebesar-besarnya dan seluas-luasnya tanpa korban yang besar dan perang yang dikobarkan disebut sebagai perang psikologis5, seperti peristiwa teror yang terjadi di AS pada tanggal 11 September 2001 atau yang dikenal dengan peristiwa 9/11. Peristiwa tersebut terjadi ketika dua pesawat komersil menabrak gedung WTC dan satu pesaawat menabrak Pentagon. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan parah bahkan 4
Ibid hal: 130.
5
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisi Agama.Jakarta.Libri. 2009. Hal: 88. 2
menyebabkan runtuhnya gedung Pentagon. Selain itu peristiwa tersebut juga menyebabkan banyak korban jiwa yang diperkirakan jumlah korban 2.992 hingga 3000 jiwa6. Dari peristiwa 9/11, Bush mengeluarkan kebijakan mengenai perang melawan teror, dalam pidatonya Bush mengatakan. “Our war on terror begins with Al-Qaeda, but it does not end there. It will not end until every terrorist group of global reach has been found, stopped and defeated….. Every nation in every region now has a decision to make. Either you are with us or you are with terrorists7” Pidato Presiden George W. Bush ini disampaikan pada 20 September 2001, paska terjadinya peledakan gedung World Trade Center (WTC). Secara tidak langsung Bush membagi dunia menjadi dua. Pertama adalah Al-Qaeda sebagai musuh dan negara- negara yang dianggap memberi dukungan, melindungi dan mendanai kegiatan teroris. kedua mereka adalah para pendukung dan sekutu Amerika Serikat . George W. Bush mampu secara cepat mempengaruhi pihak lain atau negara-negara lain untuk turut mendukung kampanye melawan teroris. Ia pun sangat mudah untuk melakukan berbagai kerjasama dan membentuk barisan dalam melawan pihak-pihak yang dianggap sebagai musuh atau pendukung tindakan teroris. Pernyataan ini dibuktikan dengan serangan AS ke Afghanistan pada tahun 2001, Penyerangan ini mendapat dukungan dari masyarakat
6
Ahmad Dumyati Bashori. Osama bin Laden Melawan Amerika.Mizan. Bandung. 2000. Hal; 44
7
http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html. Diakses 8 januari 2013. 3
internasional dan masyarakat AS sendiri8. Dukungan tersebut memberikan legitimasi untuk AS melakukan penyerangan tersebut ke Afghanistan beserta sekutunya. Penyerangan yang dilakukan AS ini berlanjut ke Irak pada 2003. Motif dari penyerangan tersebut ialah terkait dengan peledakan WTC di New York. Bush menuduh Irak berdiri di balik jaringan Al-Qaeda yang divonisnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peledakan WTC dan Pentagon pada 11 September 20019, meskipun pada akhirnya tidak ditemukan bukti atas penyerangan itu. Dugaan AS atas keterlibatan Irak dalam serangan 9/11 yang tidak terbukti membuat AS mencari alasan lain untuk melegitimasi tindakan penyerangan tersebut. AS menjadikan penyerangan tersebut sebagai bentuk pembebasan rakyat Irak dari teror rezim Saddam Hussein dan Partai Ba‟ath yang dinilai telah melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Selain itu AS juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal (nuklir) yang dapat membahayakan dan menjadi teror bagi keamanan dunia, meskipun pada akhirnya AS ternyata tidak dapat membuktikan bahwa Irak memiliki senjata nuklir10. Ini dikuatkan dengan peryataan dari United Nations Security Council pada 7 Maret 2003 …”Tidak ada indikasi bahwa Irak berusaha untuk mengimpor tabung alumunium untuk penggunaan peningkatan mesin pemisah, meskipun Irak 8
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisi Agama.Jakarta.Libri. 2009. Hal: 71.
9
Ibid. Hal: 95
10
Ibid. Hal: 126. 4
merencanakanya.Hal itu akan sulit untuk membuat atau memproduksi mesin pemisah dari tabung alumuniam”11. Berdasarkan atas berbagai macam permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut alasan AS mengeluarkan kebijakan luar negeri untuk melaksanakan invasi terhadap Irak dan implementasi kebijakan National Security Strayegy AS tentang terorisme di Irak pada masa George W. Bush periode 20032009. Penulis membatasi penelitian ini pada interval tahun 2003 hingga 2009. Pada periode waktu tersebut, merupakan masa jabatan Presiden George W. Bush yang merupakan tokoh pemrakarsa NSS dan War Against Terrorism.
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menentukan sebuah pertanyaan penelitian sebagai acuan atas permasalahan yang akan diteliti. Pertanyaan penelitian tersebut yaitu: “Bagaimana kebijakan National Security Strategy 2002 tentang terorisme di Irak pada masa George W. Bush priode 2003 – 2009?”
11
Statement to the United National Security Council.
http;//www.iaea.org/newscenter/statement/2003/ebsp2003n006.shtml. 5
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian a.
Menentukan orientasi kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak pasca peristiwa 9/11.
b.
Menjelaskan langkah-langkah AS dalam memerangi terorisme.
c.
Menganalisis kebijakan National Security Strategy Amerika Serikat di Irak tentang terorisme pada pemerintahan George W. Bush priode 2003 – 2009.
2. Manfaat Penelitian a.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian yang berkaitan dengan kebijakan Amerika Serikat terhadap aksi terorisme.
b.
Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam bidang hubungan internasional
D. Kerangka Pemikiran Perspektif Realisme Realisme merupakan paham yang lebih menekankan pada keamanan negara dan power (kekuatan). Menurut Morgenthau, ketidak sempurnaan dunia adalah akibat dari adanya paksaan-paksaan yang menjadi sifat manusia. Ia mengklasifikasikan enam prinsip realisme politik yang secara keseluruhan
6
merumuskan pendekatan teoritisnya terhadap studi hubungan internasional. Keenam prinsip tersebut antara lain.12; 1) Politik ditentukan oleh hukum- hukum objektif yang berakar pada kodrat manusia. 2) Kunci untuk memahami politik internasional adalah mendefinisikan konsep kepentingan dalam kaitannya dengan kekuasaan. 3) Bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam dalam waktu, tempat dan konteks, tetapi konsep kepentingan masih tetap sama. 4) Prinsip-prinsip moral universal tidak menuntut sikap negara, meski sikap negara jelas akan memiliki implikasi moral dan etika. 5) Tidak ada serangkaian prinsip- prinsip moral yang disetujui secara universal. 6) Secara intelektual, bidang politik itu otonom dari bidang perhatian manusia lainnya, entah bidang-bidang yang lainnya tersebut bersifat legal, moral atau ekonomi. Hans J. Morgenthau juga berpendapat bahwa negara-bangsa sebagai entitas yang menjadi fokus dan aktor-aktor yang lain hanya bersifat sekunder karena dinamika politik global sepenuhnya dikendalikan oleh negara13. Thomas Hobbes beranggapan para pemikir realis mendasari pemikirannya
12
Scott Burchill, Kinklater. Teori Hubungan Internasional. Nusamedi, Bandung. 2009. Hal; 100 102
13
Aleksus Jemadu. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Graha Ilmu. Yogyakarta. 2007. Hal; 20. 7
bahwa
negara
diperlukan
untuk
menjamin
ketertiban
umum
dan
mengemukakan pemikiran tentang bellum omnium contra omnes (semua melawan semua). Demikian pula Hans J. Morgenthau14, dimaksudkan bahwa negara selalu mencari jalan untuk menjaga kedaulatannya yang tidak jarang menggunakan segala cara termasuk kekuatan militer. Untuk mendukung analisa ini perspektif realis yang digunakan, ini juga sesuai dengan pemikiran George W. Bush. Bush menganut pendekatan realis yang lebih keras dan bersifat unilateral15, karena pada dasarnya realis adalah sebuah pendekatan yang berpikir sesuai fakta. Dari pendekatan ini juga muncul balance of power, yang diartikan sebagai kemampuan untuk menentukan hasil akhir (outcome) dari suatu proses interaksi. Karena itu kekuasaan merupakan bentuk penggunaan pengaruh yang bersifat memaksa individu
atau
negara
lain
melakukan
suatu
tindakan
yang
tidak
dikehendakinya16. Dengan demikian, apabila melihat posisi AS sebagai negara adikuasa, maka AS akan lebih mudah mengimplementasikan berbagai jenis kebijakan, baik dalam level bilateral, unilateral, ataupun multilateral. Kebijakan yang diterapkan oleh AS pun dapat dengan mudah didukung negara lain, yang merupakan sekutunya, tanpa ingin adanya kekuatan penanding. Oleh sebab itu, AS mengeluarkan kebijakan membolehkan menyerang terlebih dulu sebelum diserang. 14
Ibid. Hal; 20
15
Richard M Daulay,.Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama, Jakarta. Libri Hal; 69
16
Horold D. Lasswell and Abraham Kaplan, Power and Society, A famework for Political Inquiry. New haven; Yale University Press; Hal; 73 8
Kepentingan Nasional Kepentingan nasional dalam pendekatan realisme diartikan sebagai kepentingan negara sebagai unitary actor, yang penekanannya terdapat pada kepentingan kekuasaan nasional. Kepentingan nasional tersebut ditujukan untuk mempertahankan keamanan nasional dan merupakan sebuah bentuk survival dari negara tersebut. Kepentingan nasional lainnya, seperti pembangunan ekonomi, dikategorikan sebagai elemen dari kekuasaan nasional17. Menurut Morgenthau, ”Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik”18. Selain itu dalam buku Pengantar Studi Hubungan Internasional karangan Anak Agung Banyu Perwita, realisme menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui teknik pemaksaan atau kerjasama. Oleh sebab itu, kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup19.
17
Aleksius jemadu, Politik Global dalam teori dan praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta. 2008. Hal; 68
18
H. J. Morgenthau, In Defense of the National Interest: A Critical Examination of American Foreign Policy. New York: University Press of America. 1951
19
Anak Agung Banyu Perwita, dan Yanyan Mochammad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, h. 35. 9
Dengan begitu dapat dipahami bahwa dalam kepentingan nasional setiap negara akan mendahulukan kepentingannya masing-masing meski terjadi kerjasama antar negara, dan kurang mementingkan kepentingan negara lain, serta sering berakhir pada terjadinya konflik. Kepentingan nasional merupakan titik awal terbentuknya sebuah kebijakan luar negeri suatu negara, sehingga menciptakan hubungan atau kerjasama dalam berbagai bidang, untuk memenuhi kebutuhan negara tersebut dalam mempertahankan kedaulatan maupun pembangunan di berbagai bidang.
Kebijakan Luar Negeri Kebijakan luar negeri adalah putusan yang di keluarkan suatu negara atas keberlangsungan hubungan antara negara tersebut dengan negara lain. Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai explicit and implicit action of governmental officials designed to promote national interests beyond a country’s territorial boundaries20. Webber dan Smith mengemukakan pengertian mengenai kebijakan luar negeri yang terdiri dari tujuan untuk mencari kumpulan nilai-nilai, membuat keputusan dan aksi yang diambil negara, dan pemerintah bertindak berdasarkan pada kepentingannya, dalam konteks hubungan luar negeri warganegaranya21. Sedangkan menurut James N. Rosenau menguraikan
20
Mark R. Amstutz. International Conflict and Cooperation: An Introduction to World Politicts. Dubuque; Brown & Benchmark. Hal; 146
21
Mark, Webber, Michael Smith, Foreign Policy in a Transformed World, Essex : Pearson Education Limited, hal; 2. 10
konsep foreign policy bahwa kebijakan luar negeri dipahami sebagai seperangkat prinsip atau orientasi umum yang menjadi dasar pelaksanaan hubungan luar negeri suatu negara, kebijakan luar negeri juga bisa diartikan sebagai seperangkat rencana dan komitmen yang menjadi pedoman bagi perilaku pemerintah dalam hubungan dengan aktor – aktor lain di lingkungan eksternal yang kemudian rencana dan komitmen tersebut diterjemahkan ke dalam langkah nyata berupa mobilisasi sumberdaya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek dalam pencapaian tujuan22. Dari berbagai pendapat mengenai konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional dalam pendekatan realisme, dapat dimengerti bahwa kedua konsep tersebut saling berkaitan satu sama lain. Kebijkan luar negeri merupakan hasil dari rencana kepentingan nasional suatu negara yang melampaui batas-batas teritorial suatu negara selama ada keuntungan, dan kerjasama ini dapat berupa kerjasama ekonomi, politik, sosial budaya dan militer yang dapat didukung dengan aktor- aktor non-negara. Kemudian John P. lovell dalam bukunya Foreign Policy in Perspective Strategy Adaptation Decision Making menuliskan terdapat beberapa faktor yang melandasi sebuah analisa dalam pembuatan keputusan kebijakan luar negeri yaitu23; Pertama, situasi keadaan dalam negeri dan kemampuan menciptakan strategi. Situasi diinterpretasikan secara tetap dalam hubungan terhadap
22
James N. Rosenau. The Study of Foreign Policy dalam James N. Rosenau, kanneth Thomson and Boyd. World Politics: An Introduction. New York: Free Press. Hal; 16
23
John P. lovell Foreign Policy in Perspective Strategy Adaptation Decision Making Hal; 229 11
estimasi kemampuan pemerintah untuk merespon. Kedua, faktor personal, yakni kebijakan luar negeri juga dipengaruhi oleh kelemahan dan keberanian manusia, kebodohan dan kejeniusan atau karakteritik seorang aktor untuk konflik dan kerjasama. Ketiga, kebiasaan politik. Keempat, pemilihan, rekrutmen meliputi sebuah proses pemilihan dan pemilihan diri sendiri yaitu; membuat kebijakan menggunakan istilah untuk merujuk terhadap orang dengan pertanggung jawaban formal atau informal yang ditujukan untuk pembuatan kebijakan yang merujuk atau ditetapkan terhadap posisi mereka, akan tetapi mereka juga membuat pilihan dan komitmen pekerjaan yang membuat mereka mampu untuk pemilihan atau penetapan. Kelima, sosialisasi. Keenam, birokrasi; konteks stuktur. Ketujuh, pola penguasa, tingkat keahlian individu dalam posisi pemimpin terhadap persoalan perintah untuk mematuhi perintah yang ada pada posisi kepemimpinan atau pemilik otoritas. Yaitu para ahli dan pemilik legitimasi kekuasaan.dan ke delapan, struktur kekuatan tidak resmi24.
E.
Metode Penelitian Jenis penelitian skripsi ini adalah jenis deskriftif analisis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan analisis berupa gejala dan situasi yang menjadi bagian permasalahan yang diteliti25. Jenis penelitian seperti ini menggunakan metode analisis kualitatif. Menurut Blaxter, dalam metode
24
Horold D. Lasswell and Abraham Kaplan, Power and Society, A famework for Political Inquiry.New haven; Yale University Press; hal 133.
25
John W. Creswell, Research Design; Qualitative and Quantitative Approach. California: Sage Publication, 1994, h. 148. 12
penelitian politik, metode analisis kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan banyak data untuk membuat generalisasi dan prediksi, yang mendasarkan pada penelitian kepustakaan, yang cenderung fokus pada usaha mengeksplorasi sedetail mungkin26. Dalam proses pembuatan skripsi ini menggunakan metode yang bersifat kualitatif yang mengandalkan data primer. Aspek utama dari riset kualitatif: apa yang sebenarnya kita cari jawabannya adalah bukan hanya “apa” yang terjadi, tetapi juga “mengapa” dan “bagaimana”27 terhadap sebuah fenomena yaitu invasi Amerika Serkat ke Irak dalam rangka menjalankan kebijakan luar negerinya untuk menghadapi terorisme. Untuk proses pengumpulan data yang pertama di lakukan penulis adalah
melakukan
studi
kepustakaan,
seperti
mendatangi
beberapa
perpustakaan, antara lain Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat UI depok, Perpustakaan FISIP UI, Perpustakaan Kementerian Luar Negeri, (KEMLU)
Perpustakaan LIPI, Perpustakaan
Universitas Budi Luhur (BL), dan Perpustakaan Freedom Institute di berbagai lembaga atau instansi yang berkaitan dengan topik pembahasan skripsi ini. Di samping itu, untuk melengkapi data peneliti juga mengambil data dari surat kabar, majalah dan sumber- sumber lainnya, serta dari alamat- alamat web yang dapat di pertanggung jawabkan, data yang telah di dapat akan di gunakan sebagai referensi penulisan penelitian ini.
26 27
Lissa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007, h. 86 Ibid hal. 89 13
E. . Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat D. Kerangka Pemikiran E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan BAB II Eksistensi Amerika Serikat di Irak A. Irak di bawah Rezim Saddam Husein B. Operasi pembebasan Amerika Serikat di Irak C. Pengaruh Peristiwa 9/11 terhadap Kebijakan AS D. Kebijakan Keamanan AS pra dan pasca Peristiwa 9/11 E. Akibat Perang Irak BAB III Kebijakan National Security Strategy AS Di Irak A. Pandangan Umum Strategi Internasional Amerika Serikat B. Sejarah dibentuknya National Security Strategy C. National Security Strategy 2002 D. Pandangan terhadap National Security Strategy 14
BAB IV Analisis Dan Pembahasan Kebijakan National Security Strategy Amerika Serikat di Irak terkait terorisme pada masa George W. Bush tahun 2003 – 2009 A. Pandangan George W. Bush Tentang Terorisme dan Invasi Irak B. Kebijakan Amerika Serikat Dalam Mengatasi Terorisme C. Kerjasama Amerika Serikat-Irak tentang Terorisme pada periode tahun 2003-2009 D. Kerjasama Amerika Serikat-Irak untuk Melawan Terorisme Sebagai Kompensasi Pasca Invasi
BAB V Kesimpulan Daftar Pustaka
15
BAB II EKSISTENSI AMERIKA SERIKAT DI IRAK A. Irak di bawah Rezim Saddam Husein Saddam Hussein dilahirkan pada tanggal 28 April 1937 di daerah AlAwja, Irak dania meninggal di Kadhimiya, Irak, 30 Desember 2006 pada umur 69 tahun. Ia menyelesaikan studinya di Universitas Kairo pada tingkat sarjana, dan dilanjutkan dengan mengambil gelar master di Universitas Baghdad pada 1971, Saddam sempat merasakan buih pahit ketika partai Ba‟ath mengalami kekalahan pada tahun 196828. Saddam Hussein adalah seorang sekuler yang berkuasa di Irak melalui partai politik Baath, sebelum masa kekuasaannya
memimpin Irak Saddam
melakukan kudeta membantu sepupunya Hasan al- Bark dalam menggulingkan kekuasaan Abdul Rahman Arif, hingga Saddam dipilih menjadi wakil presiden dan Hasan al- Bark menjadi presidennya, namun pada tahun 1979 Saddam berhasil menyingkirkan Hasan al- Bark29. Saddam menciptakan pemerintahan yang otoriter, ia mempertahankan kekuasaanya melalui perang Irak-Iran (1980-1989) dan perang teluk (1991). Kedua perang tersebut menyebabkan dampak buruk yang signifikan terhadap masyarakat sipil seperti taraf kesejahteraan dan keamaan masyarakat menurun hingga banyaknya hak-hak asasi manusia yang dilanggar oleh pemerintah. Sadam banyak menindas dan tak segan-segan untuk membantai gerakan yang dianggap 28 29
Profil.merdeka.com/mancanegara/s/saddam-hussein/ 8 Januari 2014. Richard M. Daulay.Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama.Libri. 2009. Hal; 94 – 98. 16
mengancam stabilitas keamanan negara, khususnya gerakan yang muncul dari kelompok-kelompok etnis dan keagamaan yang memperjuangkan kemerdekaan dan menuntut pemerintah yang otonom.30
B. Operasi Pembebasan Amerika Serikat di Irak Penyerbuan Amerika ke Timur Tengah bukanlah tanpa sejarah yang panjang. Pada 17 Oktober 1985, Reagan, Presiden Amerika, bertemu dengan perdana menteri Israel, Shimon Peres di Washington. Peres berkata kepada Reagen bahwa Israel telah siap mengambil langkah-langkah besar di Timur Tengah dan memperluas “tangan perdamaian” ke Yordania. Karena hal ini, Peres disambut hangat oleh media Amerika sebagai tokoh perdamaian, dan memuji komitmen kukuhnya untuk “lebih baik menanggung biaya perdamaian dari pada membayar harga peperangan. Sedangkan ucapan-ucapan Reagan tentang terorisme dilaporkan dan dibahas dengan sangat serius dalam media arus-utama. Tetapi kadang-kadang, para kritikus menyoroti kemunafikan orang-orang yang mengutuk keras teorisme internasional sementara mengirim tentara-tentara klien mereka untuk membunuh, memotong-motong, menyiksa dan menghancurkan warga sipil sebuah negara yang dituduh sebagai negara yang melindungi terorisme.31 Isu tentang terorisme dijadikan sebagai legitimasi Amerika untuk menyerbu Timur Tengah, bermula dengan penyerbuan Afghanistan karena
30 4
Profil.merdeka.com/mancanegara/s/saddam-hussein/ 8 januari 2014
Noam Chomsky, Amerika sang teroris, Mizan, 2001, h : 41 17
dianggap sebagai sarang Al-Qaeda hingga Irak yang dicurigai memiliki senjata pemusnah masal. Adapun puncak isu terorisme adalah ketika terjadi insiden 11 september 2001. Setelah kejadian tersebut, Amerika melaksanakan invansi besarbesaran ke Afghanistan yang diduga sebagai pelindung Osama Bin
Laden
pimpinan Al-Qaeda karena bertanggung jawab penuh atas peledakan gedung WTC pada 11 September 2001. Tidak lama setelah menggempur Afghanistan, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan secara resmi National Securty Concept atau yang dikenal dengan NSS – 2002. Bush mengeluarkan dua doktrin yaitu “with us or against us‖ dan “preemptive strike”. Konsep ini disebut sebagai “doktrin kebijakan keamanan terbaru AS” atau disebut juga dengan doktrin Bush. Doktrin baru ini menyatakan kesewenang-wenangan pemerintah presiden Bush yang akan memerangi terorisme dengan caranya sendiri serta mengabaikan hukum internasional. Isi pidato presiden Bush menunjukkan bahwa Amerika tidak ingin cita-citanya untuk menciptakan “The New World Order” (Tata Dunia Baru) -yang seluruhnya mengandung nilai-nilai Amerika- mendapat tantangan, disamping langkah AS untuk mengekalkan gelar „The Sole Superpower‟di muka bumi. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa AS juga merupakan teroris karena mampu menghancurkan sebuah negara yang dianggapnya mengganggu keamanan nasional tanpa alasan dan bukti yang nyata32. Tidak butuh waktu lama setelah dikeluarkannya NSS, pada tanggal 19 Maret 2003 Amerika memulai melaksanakan operasi pembebasan di Irak. Operasi 32
Abdul Halim Mahally. Menjelajah Negara Muslim Menguak Agenda Besar AS, dibalik invasi ke Irak dan Afganistan. Fima Rodheta. Hal: 130 18
dilaksanakan untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang berkuasa pada saat itu, karena Saddam memimpin Irak dengan diktaktor dan melakukan banyak pembunuhan. Selain menyingkirkan kediktaktoran Saddam Hussein, Amerika memiliki beberapa alasan lain seperti yang dikutip dari Eric Alterman dan Mark Green dalam bukunya the book on Bush; How George Bush Misleads America, ia mencatat sejumlah sinyalemen yang mungkin menjadi motif mengapa Amerika menyerang Irak, diantaranya adalah: Pertama, Bush menyerang Irak terkait dengan peledakan WTC di New York. Bush menuduh Irak berdiri dibalik jaringan Al-Qaeda yang divonisnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peledakan WTC dan Pentagon. Kedua, adanya isu senjata pemusnah massal.Amerika menyerang Irak dikarenakan adanya isu bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Yang mana kalau tidak segera diamankan, Irak dengan senjata massal tersebut akan akan membahayakan stabilitas keamanan dunia. Ketiga, minyak.Irak merupakan negara penghasil minyak kedua setelah Arab Saudi. Oleh karena itu Amerika ingin menguasai minyak di Irak untuk kebutuhan industri dan militer. Dan satusatunya cara untuk menguasai Irak adalah dengan menaklukannya. Keempat, Untuk membebaskan warga Irak.Selama pemerintahan Hussein yang notabennya diktator dan represif, banyak rakyat sipil 19
yang tertindas dan kehilangan hak asasinya bahkan nyawanya. Oleh karena itu, Amerika ingin membebaskan rakyat Irak dari ketertindasan dan kediktatoran pemerintahnya. Kelima, demi Israel.Amerika menyerang Irak untuk melemahkan kekuatan Irak. Sebagai sekutu Amerika di Timur Tengah, Israel merasa terancam akan kekuatan Irak dan pemerintahan yang tidak demokratis. Keenam, Untuk membuka akses yang lebih besar bagi militer Amerika dalam memperkuat basisnya di Timur Tegah. Timur Tengah merupakan kawasan strategis yang harus dikendalikan dan hingga saat ini, kebutuhan minyak Amerika sangat bergantung pada pasokan minyak dari Timur Tengah. Ketujuh, Untuk mendemontrasikan kepada dunia dan jaringan teroris bahwa Amerika memiliki kekuatan yang lebih besar untuk membalas setiap serangan yang dilakukan teroris maupun negara yang membangkang terhadap Amerika, kapanpun dan dimanapun. Kedelapaan, Bush menyerang Irak untuk menutupi kelemahannya yang tidak sanggup menangkap Osama dalam Perang Afganistan. Karena sebelum serangannya ke Irak, Bush pernah menjanjikan ke warga Amerika bahwa dia akan menangkap bin Laden: “Dead or alive”. Kesembilan,
Untuk
menciptakan
suasana
ketakutan
bagi
masyarakat Amerika dalam rangka memenangkan pemilihan 20
presiden 2004. Politik ketakutan (the politics of fear) digunakan sebagai alat kampanye pemilihan presiden. Kesepuluh, Bush menyerang Irak untuk melampiaskan dendam keluarga Bush terhadap Saddam Hussein yang pernah berencana membunuh George H.W. Bush (ayahnya) ketika keluarga Bush berkunjung ke Kuwait tahun 1993. Laporan CIA mengungkapkan bahwa Saddam Hussein berkonspirasi dengan agen-agen Kuwait untuk membunuh Bush senior bersama istri dan anggota keluarga yang turut serta. Tentang hubungan antara insiden Kuwait dengan invasi Irak, Presiden Bush Junior pernah berkata, “The guy who tried to kill my dad”. Kesebelas, Bush menyerang Irak karena ingin menata negaranegara di Timur Tengah agar menjadi negara demokratis, dan tidak menjadi lahan subur bagi berkembangnya teroris33. Alasan – alasan di atas dipakai oleh Bush untuk meratifikasi kebijakan dan melancarkan invansi ke Irak. Dengan kekuatan retorika yang diperkuat pemakaian bahasa-bahasa keagamaan dan idealisme Amerika, Bush sanggup memukau rakyat Amerika, termasuk para politisinya (parlemen dan senat) yang tergabung dalam kongres.
33
Richard M Daulay.Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama.Libri. 2009. Hal; 94 – 98. 21
C. Pengaruh Peristiwa 9/11 terhadap Kebijakan AS Satu tahun setelah peristiwa 9/11, AS mengeluarkan National Security Strategy pertamanya di bulan September 2002 untuk memberantas terorisme yang semakin merajalela. AS menetapkan jaringan teroris Al-Qaeda yang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, Afghanistan yang dianggap sebagai sarang Al-Qaeda diserang habis-habisan oleh Amerika. Pada 28 Januari 2003, Presiden Bush mendeklarasikan bahwa ancaman keamanan terbesar dunia ada pada Saddam Hussein, karena Hussein memiliki senjata pemusnah massal (WMD) dan Bush juga menyatakan bahwa Irak „membantu dan melindungi‟ organisasi teroris Al Qaeda, dan bisa saja Irak menyuplai senjata pemusnah massal kepada Al Qaeda34. Tepat pada tanggal 15 April 2003, Presiden Bush mengumumkan bahwa rezim Saddam Hussein sudah habis, dan Saddam Hussein ditangkap pada 13 Desember 2003 di dekat rumahnya, Tikrit. AS menganggap perang Irak sebagai sebuah perang pencegahan terhadap teroris (a preventive war of terorism). Dalam pidatonya pada 7 Oktober 2002 di Cincinatti, Bush bertanya, “jika kita mengetahui Saddam Hussein memiliki senjata yang berbahaya hari ini,
dan kita juga memiliki, apakah kita harus
menunggu untuk menyerang sampai dia tumbuh lebih kuat dan mengembangkan senjatanya menjadi lebih berbahaya lagi?”.
34
Text of President Bush‟s speech at West Point, http:/www.nytimes.com/2002/06/01/international/02PTEX-WEB.html.Hereinafter “Speech at West Point.” 22
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apa sebenarnya hubungan antara Al-Qaeda, yang menjadi prioritas utama Amerika, dengan Irak (menurut Bush)?. Pada akhir September 2002, Bush mengumumkan bahwa “kamu tidak bisa memisahkan antara Al Qaeda dan Saddam saat kamu berbicara tentang perang atas terorisme. Mereka berdua sama jahatnya, seperti setan, dan sama-sama menghancurkan. Bahayanya adalah Al-Qaeda menjadi perpanjangan tangan dari Saddam Hussein, dengan kebencian dan kapasitany, mereka akan menggunakan senjata pemusnah massal tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu 35.” Bukannya sebagai kekuatan pelindung keamanan dunia, AS memiliki peran yang paradoksal. AS lebih terlihat sebagai sebuah kekuatan yang berbayang teror daripada pengaman dunia, di satu sisi menciptakan suatu aturan tertentu namun disisi lainnya terdapat bayang- bayang terror. Akibat peristiwa 9/11 tersebut, Amerika mengambil langkah cepat dan tegas dengan mengeluarkan NSS 2002 tersebut, dan itu terlihat jelas saat presiden Bush memberikan pidatonya di berbagai kesempatan seperti di Cincinnati, West Point dan lain sebagainya. Peristiwa 9/11 merupakan „kiamat kecil‟ bagi Amerika. Banyak terjadi perubahan yang yang disebabkan peristiwa tersebut, dan perubahan tersebut dibagi menjadi dua wilayah: Konsekuensi secara Politik dan Konsekuensi secara Sosial. Perubahan secara politik adalah dengan dibentuknya Department of Homeland Security (DHS). DHS memiliki tugas untuk melindungi wilayah
35
National Security Strategic, p.15 23
Amerika dari serangan terorisme dan bencana alam. Departemen ini memiliki hampir 184 ribu pegawai dan merupakan kabinet terbesar ketiga di dalam pemerintahan federal Amerika36. Adapun perubahan sosialnya: pertama, kecurigaan yang tinggi, banyak orang Amerika yang mencurigai aktivitas orang-orang asing, terlebih apabila orang asing tersebut adalah orang yang terlihat seperti orang Arab 37. Kedua, diskriminasi, banyak warga muslim Amerika mengalami diskriminasi setelah peristiwa 9/11 tersebut. Ketiga, keamanan, banyak warga Amerika yang lebih memilih menggunakan mobil dari pada pesawat karena ketakutan akibat insiden 9/11, dan ini menyebabkan 1,595 kematian di jalan raya di tahun berikutnya38. keempat, Penyensoran, setelah insiden 9/11 banyak program-program stasiun televisi maupun radio yang disensor. Dan yang terakhir, imigrasi, pemerintah Amerika melakukan operasi besar-besaran terhadap warga imigran. Pada tahun 2001, jumlah orang yang dideportasi adalah dua ratus ribu orang39.
36
http://www.dhs.gov/blog/2014/01/16/dhs-welcomes-new-director-tribal-affairs 17 januari 2014
37
Poll: Suspicion of Arabs, Arab-Americans deepen". USA Today. September 16, 2001.
38
39
Gardner, Daniel The Science of Fear: Why We Fear the Things We Shouldn't—and Put Ourselves in Greater Danger. Dutton Adult. 2008. Hal. 3 http://fusion.net/justice/story/ways-immigration-system-changed-911-15422 24
D. Kebijakan Keamanan AS: Pra dan Pasca Peristiwa 9/11 1.
Kebijakan Keamanan AS sebelum 9/11 Kebijakan keamanan sebelum 9/11 yang penulis maksud dalam hal ini
adalah hanya pada saat perang dingin terjadi agar pembahasannya tidak terlalu melebar. Semasa perang dingin, AS dan Soviet memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia. AS ingin melebarkan kekuasannya dengan menanamkan paham kapitalis dan demokrasinya sementara Soviet dengan paham komunis dan sosialisnya. Kemudian AS mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan nama Containment Policy. Kebijakan ini digagas oleh seorang diplomat AS Joseph Kennan pada masa kepresidenan Harry Truman, dan Containment Policy ini tertuang dalam NSC-68 yang dikeluarkan oleh Presiden40.
Berbeda dengan
pembahasan sub bab kebijakan pasca 9/11 yang tertuang pada National Security Strategy 2002 sebagai rujukan kebijakan keamanan AS pasca 9/11, strategi keamanan pada NSC-68 ini bersifat rahasia. Pada tahun 1995, AS menerbitkan A National Security Strategy Engagement and Enlargement yang memfokuskan pada tiga hal pokok sebagai tujuan utama strategi keamanan AS41 yakni: pertama, memelihara keamanan AS dengan kekuatan militer yang selalu siap tempur. Kedua, meningkatkan
40
Peter G. Tinsley, “Grand Strategy for the United State in the 21th Century. U.S. Army War College. 2005, hal. 11
41
A National Security Strategy Engagement and Enlargement 1995, (The White House) February 1995, Hal. i 25
revitalisasi terhadap kemampuan perekonomian AS. Dan yang terakhir, mempromosikan demokrasi secara luas. Kemudian tahun 1998, AS kembali mengeluarkan National Security Strategy 1998 sebagai upaya untuk mengamankan keamanan negara dari aktoraktor non-negara seperti terorisme, pengungsi ilegal, penyelendupan narkoba dan senjata ilegal yang akan membawa ancaman baik kepada kepentingan nasional AS ataupun ancaman yang mengarah kepada keselamatan masyarakat AS baik di wilayah kedaulatan AS sendiri maupun di luar negeri.
2. Kebijakan Keamanan Setelah 9/11 Penyerangan menara kembar WTC dan gedung Pentagon menyadarkan AS kepada konsep keamanan yang selama ini mereka andalkan untuk menjaga keamanan wilayahnya. Pentagon memprediksikan bahwa pada tahun 1998 hingga 2015 akan ditandai dengan ketiadaan kekuatan global yang mampu menandingi Amerika dalam hal kapabilitas militer seperti yang dilakukan Soviet dimasa perang dingin42. Kejadian 9/11 merubah paradigma AS bahwa stabilitas keamanan akan dapat dihasilkan melalui superioritas di bidang militer. Ancaman kini berbeda dan mengharuskan AS untuk merespon perubahan ancaman yang dilakukan oleh terorisme.
42
Robert J. Art, A Grand Strategy for America. New York: Century Foundation Book. 2003. Hal. 13 26
Dalam merespon penyerangan 9/11, pemerintah AS memberikan maklumat melalui penerbitan Quadrennial Defense Review (QDR) pada tanggal 30 september 2001 dengan tujuan pemahaman kepada publik menyangkut keterbatasan kekuatan milter yang dimiliki AS terhadap penyerangan yang dilakukan ke dalam wilayah kedaulatan AS43. AS tampak mengalami kesulitan untuk merespon serangan teroris, hal ini mengingat tidak adanya strategi yang nyata dalam merespon serangan teroris. Sejumlah instrumen kebijakan diterbitkan untuk menjaga keamanan AS, diantaranya Patriot Act. Patriot Act yang memberikan wewenang terhadap jaksa agung untuk melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang disangkakan terlibat dalam teroris tanpa melalui proses persidangan dan kemudian ditempatkan di Penjara Guantanamo44. Selain menerbitkan Patriot Act, AS juga melakukan tindakan Preemtive Strike yang bertujuan untuk mencegah semakin berkembangnya terorisme dengan cara menindak rezim-rezim yang dicurigai memiliki hubungan sebagai pihak yang mensponsori tindakan terorisme45. Kemudian pada tahun 2002, AS mengeluarkan National Security Strategy yang berbunyi: melakukan tindakan secara langsung serta berkelanjutan untuk senantiasa menggunakan kekuatan nasional maupun internasional, berupaya melindungi warga AS beserta kepentingan negara baik di dalam negeri maupun 43
Sam J. Tangredi, Assesing New Mission, dalam Transforming Americas Military, Hans Binnendijk (Ed). Washington, D.C.: National Defense University Press. 2002. Hal. 4
44
Dora Kostakopoulou, “How to do Things with Security Post 9/11”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 28. Hal. 317
45
The National Security Strategy 2002, (The President of United State America), September 2002, hal. 6. 27
kepentingan yang berada di luar negeri, berupaya meniadakan negara-negara yang di kemudian hari akan menjadi sponsor terhadap gerakan terorisme46. Pada bulan Juli 2002, dua bulan sebelum dikeluarkannya NSS, pemerintah Bush juga telah mengeluarkan kebijakan strategi keamanan dalam negeri atau National Strategy for Homeland Security 2002 (NSHS). Dalam naskah NSHS Bush menyatakan bahwa AS menghadapi perubahan ancaman baru47. Dalam NSHS 2002, banyak pembenahan yang dilakukan oleh pemerintah Bush yakni: mampu mencegah serangan teroris terhadap AS, mengurangi kerentanan AS terhadap bahaya teroris, dan meminimalisir kehancuran yang ditimbulkan akibat serangan teroris serta melakukan upaya pemulihan paska penyerangan tersebut48. Saat ini, konflik bersenjata justru dilakukan oleh aktor-aktor non-negara dengan kekuatan relatif kecil jika dibandingkan dengan kekuataan yang dimiliki oleh suatu negara. Namun dengan kekuatan yang kecil ini ternyata mampu menciptakan sebuah kehancuran yang sifatnya besar untuk itu AS selalu melakukan transformasi agar mampu secara objektif mengantisipasi perang yang saat ini terjadi49.
46
The National Security Strategy 2002, (The President of United State America), September 2002
47
George W. Bush, National Strategy for Homeland Security 2002, (Office of Homeland Security), July 2002.
48
The National Security Strategy 2002, (The President of United State America), September 2002. Hal. vii
49
Steven Metz and Raymond A Millen, “Future War/Future Battlespace: The Strategic Roleof American Land Power”, Strategic Studies Institute Monographs. U.S Army War College. 2003. Hal. 3. 28
Perubahan kebijakan keamanan AS setelah 9/11 akhirnya melahirkan sebuah doktrin yang terkenal yakni NSS 2002 (doktrin Bush). Melalui NSS 2002, pemerintah Amerika mengambil langkah-langkah progresif yang kemudian dikenal dengan Preemtive Strike. Afghanistan dan Irak menjadi negara sasaran AS karena kedua negara ini dianggap mensposori jaringan teroris Al-Qaeda hingga AS meluluhlantahkan negera-negara tersebut.
E. Akibat Perang Irak Tujuan perubahan rezim (regime change) di Irak adalah untuk menciptakan sebuah negara yang stabil, sah dan ramah kepada AS atau menjadi „Negara boneka AS‟. Namun, bagaimanapun juga, negara yang diinginkan AS tersebut tidak kunjung menunjukkan hasil malah menunjukkan negara yang gagal karena banyak terjadi perang saudara. Banyak yang menentang langkah Bush terhadap langkah pergantian rezim di Irak hingga malah menjadi negara gagal. Menurut Anthony Cordesman, AS telah membuat “multiple strategic mistakes”50. AS merencanakan perang untuk melemahkan tentara Irak, tidak untuk menyelesaikan pemberontakan yang terus menerus. AS mengharapkan untuk merebut kontrol tertinggi di Irak, menerapkan ideologinya; demokrasi dan menjarah minyaknya. Penyerbuan AS terhadap Irak menyisakan duka yang mendalam dan kerusakan yang besar -kerusakan rumah sakit, infrastruktur, keamanan, dan 50
Anthony Cordesman, Irak‟s Envolving Insurgence., Washington, D.C.:Center For Strategic Studies, (23 June 2005) 29
korban yang meninggal sekitar 100 ribu orang di tahun pertama pendudukan AS di Irak51. Semenjak pendudukan AS di Irak pengangguran meningkat tinggi, banyaknya prajurit AS dan kontraktor, korupsi yang merajalela, kekerasan dimana-mana. Cordesman berpendapat bahwa kesalahan terbesar Irak dalam melawan pendudukan AS adalah kegagalannya untuk menciptakan sistem keamanan Irak sebagai sebuah prioritas utama52. Sikap ketidak senangan warga Irak terhadap AS tumbuh begitu cepatnya, hasil poling pada tahun setelah pendudukan Amerika terhadap Irak menunjukkan bahwa 82% warga Irak menolak pendudukan, 57% ingin agar tentara asing meninggalkan Irak secepatnya, 5% percaya bahwa AS melakukan pendudukan untuk membantu warga Irak menghancurkan senjata pemusnah masal atau untuk membangun demokrasi, sementara 43% menganggap bahwa tujuan pendudukan AS adalah untuk mengambil minyak. Lebih dari 50% mengatakan
untuk
menyerang tentara AS53. Tidak hanya Irak yang menanggung kerugian akibat pendudukan. Amerika juga menanggung kerugian besar pula baik dari segi materi biaya operasional, biaya persenjataan. maupun imateri psikologi para tentara. Adapun berikut biaya administrasi
yang
harus
ditanggung
Amerika
selama
tahun
pertama
pendudukannya di Irak.
51
The British Medical Journal Lancet, October 2004
52
Anthony Cordesman, Irak’s Envolving Insurgence., Washington, D.C.:Center For Strategic Studies, (23 June 2005)
53
Washington Post, 13 May 2004, “Agence France Press, 12/1/13, http:/www.middleeast-online.com
30
Table 2. Perkiraan biaya yang ditanggung Amerika selama tahun pertama pendudukan (dalam juta dolar)54. Kategori
54
Biaya
Biaya
minimal
maksimal
Satu atau dua bulan perang
33.0
59.8
Tentara
19.0
38.8
Rekonstruksi
5.0
10.0
Bantuan untuk musuh
10.0
18.0
Bantuan kemanusiaan
1.2
2.4
Total
67.6
129.0
“Irak War Coast Could Soar, Pentagon Says,” Los Angeles Times, February 26, 2003. 31
BAB III A. Pandangan Umum Strategi Internasional Amerika Serikat Amerika Serikat (AS) merupakan sebuah negara yang menganut paham demokrasi55 AS menganggap demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki dunia56. Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut, AS mencoba untuk menyebarkan ajaran demokrasi tersebut ke berbagai negara. Hal tersebut dilakukan AS dengan tujuan untuk mencapai perdamaian dunia dengan menghormati hak-hak dan kebebasan individu. Di dalam tatanan pemerintahan, para pembuat kebijakan AS menganut dua ideologi
yang
berbeda,
yaitu
fundamentalisme
dan
neo-konservatisme.
Fundamentalisme sebagai sebuah konsep atau pemikiran teologis yang lahir dan berkembang dalam pemikiran rakyat AS sejak awal abad ke-20. Fundamentalis pada masa itu di AS terkenal di kalangan umat Kristen yang berjuang untuk mempertahankan ajaran-ajaran dasar Agama Kristen57. Mereka menjadi sangat relegius, sehingga tidak jarang gereja menjadi pusat informasi tidak hanya dalam bidang agama, tetapi ekonomi, politik, kesehatan, budaya dan hal- hal umum lainnya. Salah satu tokoh fundamentalisme adalah Bob Jones. Sebagai seorang fundamen, ia menolak teori evolusi Darwin58. Hal ini disebabkan Darwin menganggap manusia terlahir dari perkembangan kera yang berlanjut menjadi
55
56
Dalam bukunya dasar dasar politik, Prof. Miriam Budiarjo di jelaskan bahwa kata demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos (kratein) berarti kekuasaan jadi demokrasi adalah rakyat berkuasa. Miriam Budiaro. Dasar – dasar logika, gramedia, hal: 50. Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. Libri Hal; 22
57
Ibid. Hal; 33
58
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal; 44 32
manusia, bukan dari azas ketuhanan bahwa tuhan menciptakan manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Pemahaman ini kemudian menjadi kepercayaan besar untuk pemimpin AS George W. Bush. Sejak tragedi 9/11, Bush menjalankan politik fundamentalisme agama, yaitu politik yang mencampurkan antara agama dan politik, Bush menggunakan istilah crusade (perang salib) untuk menyebut operasi militer melawan Taliban di Afghanistan. Artinya, dia cenderung menggunakan istilah yang mencerminkan simbolisme religius, seperti crusade, infinite justice (keadilan tak terbatas)59 dan pernyataan tersebut mengundang kekecewaan umat muslim di dalam dan diluar AS dan juga mengingatkan bangsa Eropa dengan peristiwa traumatis pada perang salib, yang kemudian Bush meralat perkataan tersebut. Meskipun AS dengan jelas menyebutkan mereka adalah negara demokrasi tetapi Bush tetap mencampurkan antara agama dan negara dalam setiap keputusannya60. Selain Fundamentalisme, para pembuat kebijakan AS juga memiliki dasar pemikiran neo-konservatisme atau biasa disebut neocon. Dengan pemikiran neocon ini AS dibawa kepada kesuksesan, dengan ekonomi, politik dan budaya yang maju, bahkan menjadi super power.Hal ini di buktikan dengan teknologi yang canggih yang juga digunakan kedalam sistem persenjataan militer.Bahkan neo-konservatif beranggapan bahwa untuk menjamin AS dari segala ancaman dari
59
Wawancara Azumardi Azzra, http://islamlib.com/?site=1&aid=667&cat=content&cid=12&title=bush-sering-pakai-istilahistilah-biblikal diakses pada 7 Januari 2014
60
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal: 76 33
luar61, AS harus menggunakan kekuatan militernya dan mengubah pemerintahanpemerintahan di dunia menjadi negara demokrasi. Dijelaskan di dalam buku Amerika vs Irak bahwa yang paling bertanggung jawab dalam kebijakan Gedung Putih untuk menginvasi Irak adalah neokonservatisme, hingga menyebabkan dampak negatif bagi Irak bahkan AS sendiri. Dari sini pula terjadinya kolaborasi antara fundamentalisme (ideologi agama) dan neokonservatif (ideologi politik) yang kemudian mengambil wujudnyata dengan melahirkan kebijakan politik luar negeri presiden Bush62. Disisi lain, dari meningkatnya semangat fundamentalisme AS, neokonservatif mengalami penguatan. Selain itu, neokon mempengaruhi AS untuk mengambil kebijakan yang cenderung lebih keras dan agresif. Presiden Bush, secara keagamaan, sangat fanatik, dan itu tercermin dari beberapa aturan yang dia lakukan, diantaranya aturan- aturan AS pasca tragedi 9/11. Dengan demikian, kedua pemikiran yang berkembang di kalangan pejabat pembuat kebijakan di AS ini sangat mempengaruhi berbagai jenis kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan strategi dan keputusan yang akan dijalankan oleh AS untuk
direalisasikan
dalam
lingkup
domestik
atupun
internasional.
Faktanya,sistem demokrasi yang dianut oleh AS, melahirkan sebuah kebijakan national security yang terdapat dalam “The National Security of the United States of America September 2002 atau NSS-2002”.
61
Ibid. Hal; 8
62
Ibid hal: 11 34
B. Sejarah dibentuknya National Security Strategy National Security Strategy (Strategi Keamanan Nasional) adalah dokumen yang disiapkan secara periodik oleh pemerintah Amerika Serikat untuk Kongres. Isu keamanan nasional yang menjadi fokus AS disebabkan karena kekhawatiran AS akan adanya serangan dari pihak-pihak yang dikategorikan sebagai musuh. Dokumen tersebut berlandaskan pada Undang-Undang Goldwater-Nichols atau Beyond Goldwater-Nichols (BG-N) yang terintegrasi oleh rekomendasi praktis dan ditindaklanjuti untuk mengatur aparatur pertahanan dan keamanan nasional AS untuk memenuhi tantangan abad ke-2163. Pada 11 September 2001 (9/11) Ameika Serikat digemparkan dengan peledakan gedung kembar pencakar langit World Trade Center (WTC) di New York dan gedung Pentagon (Departemen Pertahanan Amerika) di Washington DC23. Semua terjadi akibat adanya tiga pesawat sipil American Airlines berpenumpang 92 orang, yang terbang dari Boston menuju Los Angeles dan menabrakan pesawat tersebut ke gedung kembar pencakar langit menara utara, kemudian pesawat United Airlines menabrak menara selatan, pesawat ketiga menabrak gedung Pentagon. Setelah peristiwa ini, PBB atas desakan AS melakukan sidang, yang kemudian dari sidang itu lahirlah resolusi nomor 1372 dan 1390 tentang terbentuknya lembaga PBB yaitu Counter Terrorism Committee (CTC) yang kemudian mewajibkan bagi anggota memerangi terorisme global dengan
63
http://csis.org/program/beyond-goldwater-nichols 35
membekukan aliran dana bagi jaringan terorisme di negara manapun24. Peristiwa ini membuat seluruh warga AS merasa terancam dan tersakiti serta menyebarkan ketakutan keseluruh dunia. Teror dan terorisme menjadi kata baru yang menakutkan, sehingga semua menanti apa yang akan dilakukan Bush sebagai presiden AS. Pidato presiden Bush yang memproklamirkan perang terhadap terorisme secara gencar, dimulai dengan penyerangan terhadap Afghanistan, yang dengan secara singkat AS dapat menjatuhkan kepemimpinan Afghanistan masa itu, lalu dilakukanlah pemilihan umum baru dengan secara demokrasi. Peristiwa ini telah menjadi sebuah kunci menakutkan dalam membuka dunia baru, dunia teror. Sampai akhirnya AS sebagai negara yang memiliki kekuasaan, dengan mudah membuat kebijakan melawan terorisme, ini dituangkan dalam sebuah konsep yang disebut dengan National Security Strategy. Sejak peristiwa 9/11 tersebut,perlawanan terhadap teroris menjadi agenda besar AS. Segala bentuk tindakan dan hal- hal yang mulai mencurigakan akan langsung menjadi sorotan. Tidak hanya di Amerika,tetapi di seluruh dunia. Peristiwa ini sangat mendapat simpati dari dunia internasional. Hal ini di ungkapkan dengan banyaknya belasungkawa terhadap Amerika diantarannya64:
PM Kanada Jean Chretien mengatakan bahwa „serangan – serangan tersebut merupakan sebuah aksi kekacauan yang sangat kejam‖.
24
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal;2
64
Abdul Halim Mahally. Menjarah Negara Menguak Agenda Besar AS, dibalik Invasi ke Irak dan Afganistan. Bekasi. Fima Rodeta, hal: 9- 16 36
Sekjen NATO Lord Robertson mengatakan “Suatu serangan terhadap salah satu anggota NATO dinyatakan sebagai serangan terhadap seluruh anggota NATO‖.
Sekjen PBB Kofi Annan berpendapat bahwa “tidak diragukan lagi serangan- serangan ini adalah aksi- aksi terrorisme, yang secara hati- hati direncanakan dan dikoordinir serta saya mengutuknya secara terang- terangan. Terorisme harus diperangi secara tegas dimanapun ia berada‖.
PM Inggris Tony Blair ―telah terjadi peristiwa menakutkan sekaligus menggambarkan
di
Amerika
Serikat.Kami
hanya
dapat
membayangkan terror dan pembunuhan disana serta banyak warga tidak berdosa yang kehilangan nyawa. Aksi ini jelas dilakukan oleh orang – orang berpahan fanatik yang tidak menghargai arti kehidupan dan kami pemuja demokrasi di dunia ini akan bergandengan tangan untuk memeranginya dan mengenyahkan kejahatan ini dari dunia kami‖.
Ratu Elizabeth II (Inggris), “saya menyaksikan perkembangan demi perkembangan dalam keadaan tidak percaya dan shock total‖.
PM Israel Ariel Sharon “Hati kami bersama anda ( penduduk Amerika) dan kami siap memberikan bantuan kapan saja diperlukan. Ini adalah perang antara kebaikan versus kejahatan dan antara kemanusiaan versus penumpahan darah.
Pemimpin Palestina, Pakistan, dubes Taliban bahkan pemimpin Hamas turut mengungkapkan bela sungkawanya. 37
Palestina Yasser Arafat “saya mengirimkan ungkapan bela sungkawa dan bela sungkawa penduduk Palestina kepada Presien Amerika George W. Bush berikut jajaran pemerintahannya dan kepada penduduk Amerika atas aksi mengerikan ini. Kami mengutuk keras operasi serius ini kami benar- benar merasa terguncang, tragedi itu sangat tidak dapat dipercaya, tidak dapat dipercaya, tidak dapat dipercaya.‖
Sheikh Ahmed Yassin (tokoh Hamas)” kami tidak melakukan gerakan untuk mengekspor serangan semacam itu keluar dari wilayah Palestina. Kami belum siap membuka front- front bersekala internasional. Akan tetapi, kami juga mengkritik posisi Ameika yang tidak tegas.
Presiden Pakistan Jendral Prvez Musharraf menyatakan” kejahatan era modern.
Dubes Taliban untuk Pakistan Mullah Abdul Salam Zaeef “Kami ingin mengatakan kepada rakyat Amerika bahwa Afghanistan turut merasakan rasa duka yang mereka alami. Kami berharap para pelaku terorisme itu segara diringkus dan diadili.― ia juga membantah keterlibatan Osama Bin laden “Osama hanyalah orang biasa. Ia tidak memiliki fasilitas- fasilitas yang dapat digunakan untuk melakukan aktifitas itu‖..
Berbagai macam tanggapan dari berbagai negara, selain simpati ternya ada sebagian beranggapan berbeda, mereka menganggap bahwa peristiwa ini adalah akibat dari kebijakan- kebijakan Luar negeri Amerika. 38
C. National Security Strategy 2002 Telah disinggung dalam latar belakang bahwa AS telah menciptakan kebijakan baru yang tertuang dalam NSS-2002 yang muncul pasca terjadinya peristiwa 11 September 2001. Dokumen ini salah satunya berisikan tentang kebijakan keamanan AS, yang akan mempertahankan perdamaian, memerangi teroris dan tiran serta memperluas perdamaian dengan bekerjasama dengan negara- negara lain untuk memperkokoh kekuatan. Dan telah disinggung dalam bab pertama ada tiga poin25. Poin kedua dan ketiga ini disebut juga doktrin preemptive Strike, doktrin ini membolehkan untuk menyerang lebih dulu sebelum diserang. Doktrin ini mulai direalisasikan pasca peristiwa 11 September 2001 dan target utama doktrin ini adalah Afghanistan karena dianggap telah menseponsori Osama bin Laden dan Al-Qaida. Invasi ini tidak berjalan terlalu lama karena Afghanistan merupakan negara lemah sehinggga rezim Mullah Muhammad Umar tumbang di gantikan dengan kepimpinan yang lahir dari demokrasi yang di usung AS. Langkah yang dilakukan oleh AS tidak berhenti sampai disitu, setelah Afganistan, Irak menjadi tujuan selanjutnya. AS melakukan Invasi ke Irak pada 19 Maret 200365. Invasi tersebut mendapat kecaman keras dari berbagai pihak. Dari pihak AS sendiri, yakni kubu Powell (seorang jenderal bintang empat yang sangat disegani di AS) yang didukung oleh Brent Scowcroft mantan penasihat keamanan nasional di zaman pemerintahan Gerald Ford dan George H. W. Bush pendapat itu dimuat di harian The wall Street Journal edisi 15 agustus 2002 yang berjudul 25 26
lih. Hal: 2. Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal;; 6 39
“Don’t Attack Saddam‖66. Invasi AS ke Irak melahirkan banyak pertannyaan dari kalangan luas “Mengapa AS menyerang Irak, bagaimana dan disebabkan oleh apa? Pada awalnya AS melakukan serangan ke Irak dengan dua alasan67, Pertama, menjatuhkan Saddam Hussein dari Irak karena dianggap terlibat pada peristiwa 11 September atau AS menganggap terjalinnya kerjasama antara Irak dan Al-Qaeda. Kedua, AS beranggapan bahwa Irak sedang membangun dan menyimpan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction).
D. Pandangan terhadap National Security Strategy Kebijakan National Security Strategy yang dicanangkan oleh AS bukan berarti tanpa masalah dan perdebatan. Permasalahan tersebut berkisar pada koherensi antara cara-cara atau langkah-langkah yang dilakukan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh AS68. Pasca peristiwa 9/11, AS mengarahkan fokus membangun sebuah kemitraan dengan negara-negara lain pada masalah perang melawan terorisme. Di satu sisi, fokus pada perang melawan terorisme merupakan sebuah langkah yang patut dilaksanakan guna mencapai sebuah keamanan nasional dan internasional. Akan tetapi, fokus perang melawan terorisme ini menimbulkan perdebatan. 27
Kuncahyono, Trias, Irak Korban Ambisi Kaum Hawkis halt; 110
28
68
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal;: 6 Ivo H. Daalder, James M. Lindsay and James B. Steinberg. 2009. The Bush National Security Strategy: An Evaluation. Dilihat dari http://www.brookings.edu/research/papers/2002/10/defense-daalder. Diakses pada 16 Januari 2014 pukul 22.55 WIB. 40
Perdebatan ini muncul karena terdapat sebuah inkonsistensi dalam politik luar negeri AS. Penilaian terhadap inkonsistensi orientasi politik luar negeri AS dapat dilihat dari tujuan AS untuk menyebarkan demokrasi yang di dalamnya terdapat sebuah nilai kebebasan yang terdapat dan mesti dijunjung tinggi di dalam tiap-tiap individu. Hal ini jelas menjadikan AS berada dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Di satu sisi ingin menyebarkan ajaran tentang demokrasi dan perdamaian, di lain sisi, AS mencanangkan program untuk melawan terorisme. Kedua kebijakan yang kontradiktif tersebut telah menjauhkan AS dari segala cita-cita yang telah lama dicanangkan, yakni penyebaran demokrasi, kebebasan, dan perdamaian. Cita-cita luhur tersebut telah digeser dengan adanya kebijakan yang bersifat spontan atas sebuah realita berupa ancaman terorisme yang AS hadapi.
41
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Kebijakan National Security Strategy Amerika Serikat di Irak terkait terorisme pada masa George W. Bush tahun 2003 – 2009 A. Pandangan George W. Bush Tentang Terorisme dan Invasi Irak George Walker Bush merupakan anak dari George Herbert Walker Bush presiden ke 41 AS. Bush junior pertama kali terlibat di dunia politik pada tahun 1988 dalam kampanye ayahnya sebagai senator di Texas. Kemudian pada tahun 1994 Bush junior mencalonkan diri sebagai gubernur Texas. Langkah awal ini Bush berhasil bahkan ia menjabat selama dua priode. Kemudian pada tahun 2000 Bush kembali mencalonkan diri namun sebagai presiden dan ia menjadi presiden ke 43 Amerika Serikat. Pada masa jabatannya Bush mengikrarkan perlawanannya terhadap terorisme terutama pasca peristiwa 9/1169. Di awal kepemimpinannya, Bush membuat sebuah tim kecil yang dipimpin oleh Condaleezza Rice untuk membantunya dalam memahami masalahmasalah internasional. Di sisi lain, Bush merupakan seorang pemimpin yang tegas dalam sikap dan pendirian70, ia lebih suka membicarakan masalah dengan langsung pada pokok permasalahan tanpa perlu basa-basi. Pada 20 September 2001 Bush berpidato 69
Profil.merdeka.com/mancanegara/g/George-welker-bush/
70
Amerika vs irak. Hal: 62 42
Peristiwa yang terjadi pada 9 September 2001 menjadi peristiwa besar bagi AS. Dalam pernyataan George Bush tersebut dapat dicermati lebih dalam, ada tiga hal penting yang dapat diambil intisarinya; Pertama, AS akan melakukan penggulingan terhadap pemerintahan-pemerintahan yang dianggap menentang. Kedua, AS akan menggunakan kekerasan senjata terhadap pemerintahan, jika pemerintahan tersebut dianggap AS melakukan program proliferasi senjata pemusnah massal dan memberikan dukungan atau mendalangi kegiatan terorisme, apapun bentuknya. Ketiga, AS akan melancarkan serangan milier secara unilateral jika dipandang perlu ataupun menjadi suatu keharusan dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan AS, bahkan mungkin dunia. Pada awalnya Bush lebih mengutamakan agenda tentang aspirasi pendukung utamanya, yakni kelompok evangelikal fundamentalisme yang berjuang untuk memulihkan moralitas warga AS, namun semenjak peristiwa 9/11 agenda tersebut berubah haluan menjadi agenda teroris71.Perubahan tersebut lebih didasari oleh adanya kekhawatiran dari AS terhadap rangkaian aksi teror yang meledakkan gedung WTC dan Pentagon.Semenjak peristiwa 9/11, AS dilanda ketakutan yang tinggi. Berbagai kebijakan yang dilandasi oleh program perang terhadap terorisme dikeluarkan sebagai upaya untuk menutupi ketakutan dan kekhawatiran tersebut, Menurut Baudllard terdapat dua pandangan tentang terorisme.Pertama, terorisme merupakan aksi balasan bagi penghinaan yang dilakukan oleh system dominasi terhadap singularitas terdesak, dan pola kejadiannya pun tidak memiliki kepastian bentuk.Bagi Baudlard terorisme merupakan sebentuk permainan 71
Amerika vs Irak. Hal; 64 43
kematian dengan kekuasaan yang menyerang kekuasaan.Menurutnya, tujuan teroris adalah menunjukkan ketidakmampuan kekuasaan, para teroris meraih kemenangan pada wilayah simbolik.Kedua, terorisme terjadi disebabkan adanya lahan yang disediakan untuk perluasan efek terornya dan merupakan hegemoni global.Baginya terorisme merupakan kristalisasi dari ketegangan sistem global.
B. Kebijakan Amerika Serikat Dalam Mengatasi Terorisme Dalam melindungi kedaulatan negaranya, Amerika Serikat senantiasa berupaya menciptakan berbagai kebijakan dan konsep yang berkaitan dengan keamanan nasional. Hal ini dapat dilihat sejak peristiwa 11 September 2001. AS yang merasa terancam pada akhirnya menciptakan konsep baru yang dinamakan NSS 2002.Kebijakan ini juga disebut sebagai doktrin Bush yang lebih radikal. Seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa dalam pengambilan keputusan dalam memerangi teror AS berhak melakukan apapun dan bagi negara- negara di dunia. Bagi negara lain dalam pandangan AS, jika ingin merasa aman maka mereka diserukan untuk berpihak
kepada AS untuk melawan teroris dan jika tidak
berpihak maka lebih baik diam dan tidak bersikap. AS sebagai negara berkuasa dengan mudah menunjuk negara- negara yang dianggap sebagai ancaman, seperti julukan yang diberikan kepada Irak, Iran dan Korea Utara dengan sebutan negara poros setan (exis of evil), dan Irak mendapatkan bukti kecurigaan yang tertanam dalam pemikiran Amerika bahwa Irak memiliki nuklir yang dapat mengancam. Pada sisi lain, AS adalah lambang dari dominasi kekuasaan, dan kelompok fanatik merupakan lambang dari 44
ketertutupan yang sempit yang juga dipengaruhi oleh hegemoni. Kedua sudut pandang tersebut sebenarnya merupakan hal yang dapat menghasilkan sebuah teror itu sendiri72. Pada dasarnya jauh sebelum invasi AS ke Irak pada tahun 2003, ini sudah dipikirkan pada masa Clinton. Awal mula inisiatif tersebut ialah dilayangkan surat terbuka kepada Clinton yang disampaikan oleh Wolfowitz, Perle, Feith dan Wurmser diikuti Rumsfeld, Abrams, Kristol, John Bolton sebagai menteri keamanan internasional. Pada saat itu, Frank Carlucci sebagai menteri pertahannan Reagen, Richart Armitage Deputi Menteri Luar Negeri saat itu bersepakat membuat argumen yang menyatakan bahwa kekuasaan Saddam Husein harus dihentikan.Menurut mereka, Saddam telah banyak menimbulkan bahaya bagi AS dan dunia dengan adanya kepemilikan senjata pemusnah massal73. Baru pada masa kepemimpinan Bush, kekuasaan Saddam Hussein berhasil dihentikan. Bush meyakini bahwa dirinya dipanggil Tuhan untuk menyelesaikan suatu misi khusus untuk melawan terror74, dan ia benar- benar membuktikan diri sebagai seorang fundamnetalis yang kuat dalam setiap pandangan yang kemudian ia tuangkan dalam kebijakannya seperti dalam NSS 2002 mengenai doktrin Bush (preemptive strake). Preemptive Strake adalah sebuah doktrin yang tertuang dalam The National Security Strategy yang kemudian disebut NSS 2002 yang dibentuk pada 72 73 74
Silver Ule.Terorisme Global.Ledalero. 2011. Hal; 92 Bernd Hamm, the Bush Gang, Ina Publikatama, Jakarta, 2006.Hal: 94 Richard m. Daulay.Amerika vs Irak.gunung mulia. Jakarta. Hal; 75 45
September 2002, dengan ini Amerika mempersiapkan diri untuk menyerang lebih dulu sebelum diserang. Dan inilah tersangka utama dalam invasi di Irak pada tahun 2003.Doktrin ini merupakan strategi terbaru AS. Pasca 9/11 terjadi perubahan rezim akibat dari kebijakan yang terikat oleh doktrin dalam NSS. Hal ini bertujuan pada sebuah solusi untuk terciptannya keamanan nasional dengan menggulingkan pemerintahan dari negara- negara yang dianggap sulit diatur75 seperti Irak. Dokumen NSS berisikan sembilan bab, dan setiap bab selalu dibuka dengan kutipan pidato Bush dalam berbagai kesempatan. Dalam berbagai pidato tersebut ditegaskan bahwa AS adalah sebuah negara adidaya yang kekuatannya dan pengaruhnya tanpa bandingan.NSS di keluarkan secara resmi pada 17 September 2002.Doktrin yang tertuang di dalamnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran- pemikiran neocon. Doktrin ini juga dapat dikatakan fotokopi doktrin Wolfowitz yang disusun pada tahun 1992 atas perintah Bush senior76. Zbigniew Brzezinski dalam bukunya The Grand Chessboard mengatakan dunia tanpa dominasi AS akan menjadi dunia yang banyak diisi dengan kekacauan dan kesemrautan serta akan lebih tidak demokratis dan tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang memuaskan dibandingkan dengan sebuah dunia di mana Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat dari negara manapun dalam menyelesaikan masalah-masalah global. Namun dari seluruh rangkaian kebijakan dan tanggapan tentang hegemoni AS terdapat berbagai kritik keras yang
75
Bernd Hamm. The Bush Gang.Ina Publikatama, Jakarta, 2006. Hal: 83
76
Richard M, Daulay. Ameika vs Irak.Gunung Mulya; Jakarta. Hal: 77 46
disebabkan efek dari kebijakan AS tersebut juga dianggap banyak menimbulkan keburukan. Pasca peristiwa 11 September 2001 selalu di identikan antara terorisme dan Islam.Hal ini menyebabkan banyak kerugian bagi umat Islam di dunia, bahkan di AS sendiri. Terjadinya penangkapan besar-besaran bagi imigran muslim di AS dan bagi warga muslim AS yang dianggap mencurigakan tanpa alasan yang jelas. Pada masa itu juga Amerika membuat aturan lebih ketat bagi imigran. Tercatat 14 ribu kasus yang di tangani oleh CAIR ( Council on American Islamic Relation), yang merupakan sebuah organisasi Islam yang menjembatani warga AS dengan umat muslim di AS. Namun dibalik itu semua dengan perjuangan justru Islam berkembang pesat di Amerika77 NSS 2002 membuat Amerika mengeluarkan kebijakan lanjutan yang merupakan penjabaran dari National Strategy For Combatting Terorism (NSCT), yang dibuat enam bulan pasca NSS. Didalamnya terdapat langkah-langkah dan usaha yang akan dilakukan guna memerangi terorisme. Hal ini pulalah yang pada akhirnya melahirkan Gerakan Koalisi Dunia atau seringkali disebut Global War Against Terorism oleh AS. Dua kebijakan ini membuat Amerika melakukan beberapa hal diantaranya, 1. Invansi Amerika ke Irak pada tahun 2003 2. Pada september 2003 AS mengeluarkan beberapa pernyataan dalam progress report on Global War Terorisme yaitu, AS berhasil
77
Wawancara Ramadhan Pohan dalam islamlib.com/? 47
mempengaruhi 170 negara untuk mendukung perang melawan terorisme, AS berhasil menangkap terorisme dunia, AS berhasil mensponsori pertemuan G8 untuk mengambil tindakan melawan kelompok teroris, AS juga menyediakan dana beasiswa untuk memberikan pemhaman dalam rangka counter terorisme sebesar $20 pertahun. 3. AS mengeluarkan kebijakan NSCT pada tahun 2006, dimana didalamnya terdapat
2 pendekatan untuk
melawan terorisme
internasional, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Pendekatan jangka panjangnya adalah penerapan demokratisasi dan HAM. Sedangkan untuk jangka pendek Amerika menempatkan 4 hal utama yaitu, mencegah serangan teroris, menghlangkan senjata pemusnah masal, menghilangkan Negara yang mendukung dan melindungi teroris, menghilangkan kelompok teroris. 4. Amerika juga melakukan kerjasama bilateral kepada Negara-negara lain untuk memerangi terorisme yang dilakukan oleh Bush pada masa pemerintahannya yaitu tahun 2003 – 2009. Diantara Negara-negara yang menjadi tujuan kerjasama Amerika adalah Arab Saudi, Mesir, Malasyia, Indonesia, Australia dan lainnya.
48
C. Kerjasama Amerika Serikat-Irak tentang Terorisme pada periode tahun 2003-2009
Serangan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Irak merupakan salah satu langkah unilateral yang dilakukan negara adidaya tersebut dalam rangka implementasi kebijakan perang terhadap terorisme global (War onTerror Policy) yang digaungkan oleh George Walker Bush.
Para ahli menilai bahwa invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun 2003 mengandung misi utama antara lain: menghancurkan senjata pemusnah massal (Mass Destruction Weapon), memerangi terorisme, dan menyebarkan paham demokrasi untuk membebaskan rakyat Irak dari rezim diktator Saddam Hussein.78
Pada dasarnya, Amerika Serikat tengah berada pada kekhawatiran akan kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Sehingga, AS berupaya untuk melakukan serangan ke Irak. Oleh karena itu, AS memanfaatkan posisi strategisnya di PBB untuk memuluskan langkahnya menginvasi Irak.
AS
berupaya untuk mempengaruhi Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi dan akhirnya, PBB mengirimkan Tim Inspeksi Senjata Kimia UNSCOM (United Nations Special Commision) ke Irak untuk menyelidikan dugaan AS. Tidak lama setelah itu, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan lagi Resolusi 1441 mengenai perlucutan senjata destruksi atau pemusnah massal Irak dan pembentukan Tim Inspeksi yang diberi nama UNMOVIC (United Nations 78
Abdul Halim Mahally. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 49
Monitoring, Verification, and Inspection Commision). Menurut resolusi itu, dalam jangka waktu satu bulan Irak harus menyerahkan laporan mengenai senjata pemusnah missal dan program pengembangannya. Pada resolusi disebutkan bahwa jika Irak gagal memenuhi ketentuan resolusi maka serangan militer AS akan dilancarkan.79 Tim Inspeksi PBB yang diketuai Hans Blix terlebih dahulu melakukan verifikasi mengenai isu senjata pemusnah masal yang dimiliki Saddam Husein. Namun, tim tersebut menyatakan tidak menemukan bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal. Oleh karena itu, banyak kalangan yang melihat bahwa Amerika Serikat menyebarkan isu tersebut untuk melegalkan serangan AS terhadap Irak. Bahkan AS juga menuding bahwa Saddam Hussein menjalin relasi dengan kelompok teroris paling dimusuhi oleh Amerika Serikat, Al-Qaida. Untuk itulah, Amerika Serikat mengklaim bahwa rakyat Irak harus tebebas dari terorisme dan rezim diktator yang selama ini diskriminatif terhadap kaum Syi‟ah.80 Menurut
Wirawan
Sukarwo
terdapat
dua
alasan
utama
yang
melatarbelakangi serangan AS ke Irak. Pertama, keinginan AS untuk menghentikan proyek pengembangan senjata pemusnah massal di Irak. Kedua, menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang dianggap memiliki hubungan dengan Al-Qaeda yang mengancam stabilitas regional. 81 Pada awal tahun 2003, tepatnya pada tanggal 20 Maret Amerika Serikat melakukan tanpa menghiraukan laporan Tim Inspeksi Senjata PBB, AS 79
Ibid.
80
Budiarto Shambazy (ed). 2003. Obrak-abrik Irak. Jakarta : Kompas.
81
Ibid. 50
mengerahkan kekuatan militernya di perbatasan Irak. Suadron udara dengan pesawat tempur F-15, F-16, AV-8 Harrier, A-10 Warthog dan pesawat pembom B-1, B-2, B-523, pesawat tanpa awak F-117, pesawat pemandu AWACS, pesawat pengintai U-2, serta beberapa kapal induk, dan pasukan marinir dan infanteri sebanyak 200.000 orang telah disiagakan untuk menunggu komando serangan.82 Sejak hari pertama invasi, National Intelligence Council (NIC) telah memperingatkan bahwa tindakan AS hanya akan menimbulkan konflik sektarian dan kemunculan gerakan terorisme yang lebih massif lagi di Irak. Invasi AS ke Irak ini berakhir pada 9 April 2003 dengan didudukinya kota Baghdad oleh pasukan AS dan sekutunya. Dampak positif yang didapat dari invasi ini adalah terbebasnya rakyat Irak dari Rezim diktator Saddam Hussein. Pada tanggal 15 Desember 2005, Pemilu demokratis diadakan di Irak dimana kelompok Sunni yang diwakili oleh United Iraqi Alliance memperolah kursi terbanyak di Parlemen Irak yaitu sebanyak 128 dari total 275 kursi yang ada. Terlihat bahwa dengan adanya Pemilu legislatif di Irak, seluruh masyarakat Irak bisa menyuarakan aspirasinya secara bebas dan tanpa tekanan seperti pada masa rezim Saddam Hussein dulu. Kaum Syiah, Sunni, dan juga Kurdi memiliki representasi yang hampir sesuai dengan populasi mereka di Irak, dan ini sudah menggambarkan demokratisasi sudah berjalan di Irak dan memberikan dampak posistif bagi kehidupan politik rakyat Irak.83
82
Mohammad Safari dan Almuzzamil Yusuf. 2003. Perang Irak-AS Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya. Jakarta : Ceter for Middle East Studies.
83
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/20/118468110/Satu-Dekade-Invasi-Amerika-Serikatke-Irak diakses pada 14 Januari 2014 Pukul 21.13. 51
Secara resmi perang Irak dinyatakan berakhir dengan diambilnya kebijakan untuk menarik pasukan dari Irak oleh Amerika Serikat. Para pengamat menilai bahwa kebijakan tersebut diambil karena Amerika Serikat mulai mengalami defisit anggaran untuk membiayai perang. Selainn itu juga, pemerintah AS mendapat tekanan dari warganya untuk segera menarik pasukan dari Irak karena tuduhan AS mengenai isu senjata pemusnah masal yang dimilki Irak tidak terbukti. Mantan Kepala Angkatan Pertahanan Australia Jenderal Peter Gration merupakan salah satu yang menentang sikap pemerintahnya yang ikut bergabung dalam invasi itu. Ia menyebut perang itu "tidak bermoral, ilegal, dan tidak perlu". Gration mengaku tidak tahu alasan sebenarnya untuk pergi berperang karena tidak ada senjata pemusnah massal yang ditemukan dan Irak tak terlibat dalam serangan 11 September 2001 ke AS. Hal inilah yang membuat Australia mengambil kebijakan yang bersebrangan dengan sekutunya itu. 84
D. Kerjasama Amerika Serikat-Irak untuk Melawan Terorisme Sebagai Kompensasi Pasca Invasi Pasca tergulingnya Saddam Hussein dan didudukinya Kota Baghdad, Amerika Serikat praktis menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas segala korban jiwa dan kerusakan infrastruktur di Irak. Selain itu, paska invasi Amerika Serikat, kelompok terorisme semakin meningkat di Irak terbukti dengan beberapa
84
Ibid. 52
teror dan bom bunuh diri yang terjadi di beberapa kota di Irak. Oleh karena itu, Amerika Serikat terus melakukan upaya-upaya kerjasama dengan pemerintah Irak untuk memperbaiki keadaan Irak setelah invasi. Salah satunya melalui bantuan politik dan militer baik berupa bantuan persenjataan maupun pelatihan masukan militer Irak. Bentuk kerjasama antara Irak dan Amerika Serikat yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi Irak paska invasi dan untuk mengatasi persoalan terorisme yang semakin marak di negara tersebut, kedua pihak sepakat untuk bekerjasama dalam mengatasi kedua persoalan tersebut. Gagasan awal kerjasama pada mulanya diajukan oleh AS sebagai pihak yang bertanggungjawab atas serangan ke Irak. Untuk mencegah aksi terorisme paska tergulingnya Saddam Hussein, AS membantu Irak untuk segera menentukan pemerintahan baru yang demokratis. Maka pada akhir bulan Mei 2003, AS membentuk Dewan Pemerintah yang beranggotakan para wakil dari seluruh komponen yang ada di Irak, baik Sunni, Syi‟ah, Kurdi, maupun Kristen. Dewan Pemerintah yang dipilih oleh AS itu beranggotakan 25 orang. Dan jumlah anggota masing-masing komponen pun disesuaikan dengan jumlah mereka secara keseluruhan. Musim Syiah memiliki 13 wakil, Muslim Sunni lima wakil, Kurdi lima wakil, Kristen satu wakil, dan Turki satu wakil.85 Dewan pemerintah tersebut dibentuk agar semua pihak dapat terlibat dalam perbaikan Irak sehingga aksi-aksi terorisme dapat diminimalisir.
85
www.aljazeerah.com diakses pada 14 Januari 2014 pukul 21.45. 53
Seiring berjalannya waktu, dimana dari sisi pemerintahan Irak sudah mulai stabil walaupun masih rapuh dan rawan konflik, kerjasama pemerintahan tetap dilakukan, namun salah satu anggota parlemen Irak yang berasal dari Partai Aliansi Irak Bersatu, Sami Al-Askari mengatakan jika Dewan Politik-Keamanan Nasional Irak mengajukan tiga syarat bagi kerjasama AS-Irak pada masa mendatang, yakni tidak ada kemudahan dan kekebalan hukum bagi pelaku kriminal seperti terorisme, Amerika dilarang membangun pangkalan militer tetap di Irak dan syarat ketiga adalah militer Amerika tidak punya hak untuk menangkap dan menahan warga Irak tanpa mendapat izin dan konfirmasi dari pemerintah Baghdad dan atau militer Irak.86 Selain itu, kerjasama yang terjalin antara AS dan Irak meliputi bantuan militer. Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki berencana untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan lebih besar dari Amerika dalam upaya melawan kekerasan yang meningkat di negaranya. Maliki melanjutkan pembicaraan di Washington dengan menyampaikan pidato di sebuah acara yang memusatkan perhatian pada hubungan Amerika-Irak dan tantangan yang dihadapi Irak pasca perang, dimana konflik antar golongan agama yang meningkat telah menewaskan lebih 7.500 orang tahun ini.87
86
www.indonesian.irib.ir diakses pada 14 Januari 2014, pukul 21.56.
87
Ibid. 54
BAB V KESIMPULAN Peristiwa 11 September 2001 merupakan selasa kelabu bagi setiap warga negara AS, dan sekaligus menjadi penanda sejarah yang tak terlupakan serta memberikan sebuah perubahan besar dalam sistem keamanan dunia. Kekuasaan AS berhadapan dengan tantangan baru yang tidak bisa dianggap remeh; terorisme. Kekuatan yang tak pernah jelas siapa, dan dimana tempat mereka, membuat AS hanya bisa waspada dan antisipasi, termasuk menyerang negara yang dianggap mendukung aksi terorisme. Dalam National Security Strategy 2002 tertera bahwa AS berhak menyerang lebih dulu sebelum diserang atau preemptive strike. Melalui doktrin Bush tersebut, AS menjadi negara yang tidak segan-segan menyerang negara lain yang dianggapnya mengganggu stabilitas keamanan dunia serta menjadi kekuatan yang dapat menyelesaikan perbedaan. Kebijakan AS seringkali merupakan hasil dari kumpulan dari beberapa faktor. Tanpa ancaman nyata, AS menjadikan perang sebagai komunikasi dengan cara lain. Menurut Baudrillad, AS sebagai lambang dari hegemoni dan kekuasaan dunia yang bisa melakukan apapun, AS lebih terlihat sebagai sebuah kekuatan yang berbayang teror daripada pengaman dunia, di satu sisi menciptakan suatu aturan tertentu namun disisi lainnya terdapat bayang- bayang teror1. Selain sikap neokonservatif AS yang menggunakan peristiwa 11 September sebagai tameng untuk memulai rencana mereka, hegemoni dunia, perang dinggap hal yang menguntungkan bagi militer agar mampu mengontrol 55
pihak lain dalam bermacam hal, seperi ekonomi, politik hingga hasil bumi di suatu negara. Sedangkan bagi warga AS, segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahnya dianggap baik dan untuk kebaikan bersama, karena sejak peristiwa 11 September 2001, yang dilatarbelakangi oleh terorisme, warga AS mengalami trauma yang sangat berat, sehingga mereka mendukung pemerintahnya untuk mencegah tindakan terorisme dengan melakukan invasi ke Negara-negara yang dicurigai sebagai sarang terorisme. Dengan kebijakan National Security Strategy (NSS), AS berusaha menghadang dan memerangi terorisme -termasuk Iraq yang dianggap telah membantu dan melindungi jaringan teroris Al Qaeda. Tentu saja, NSS menjadi sebuah legitimasi bagi AS untuk menyerang „Negara-negara yang dianggap mengancam dan membelot‟ dari kebijakan AS. Iraq menjadi „Negara korban‟ NSS AS. Setelah dilakukannya pendudukan di Iraq, salah satu agenda utama Amerika adalah melucuti senjata pemusnah (WMD) Saddam Hussein dan menyerang basisbasis terorisme yang ada di Iraq. Selama masa pendudukan Amerika di Iraq dari tahun 2003, kekerasan di Iraq mengalami peningkatan yang luar biasa. Bisa dibilang kalau dampak NSS 2002 AS terhadap Iraq sangatlah tidak menguntungkan, banyak persoala-persoalan yang muncul setelah pendudukan Amerika di Iraq diantaranya yaitu meningkatnya aksi terror di Iraq dengan banyaknya bom bunuh diri, amburadul sistem pemerintahan, perang saudara, dan lain-lain.
56
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abbas, Muhammad, 2004. Bukan Tapi Perang Terhadap Islam, Solo: Wacana Ilmiah Press. Abdurahman, Irman. 2008. Potret Buram Ham Amerika Serikat , Citra. Adi susilo, Taufik. 2009. Mengenal Amerika Serikat. Jogjakarta: Garasi, Amstutz, Mark R. 1995. International Conflict and Cooperation: An Interoduction to World Politicts. Dubuque: Brown & Bencmark. Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Mochammad Yani. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan International. Bandung: Remaja Rosdakarya. Burchill, Scott, Andrew Linklater. 2009. Teori- Teori Hubungan Internasional terjemahan, Bandung: Nusamedia. Cipto, Bambang, 2003. Politik dan Pemikiran Amerika, Yogyakarta: Lingkaran. Creswell, John W. 1994. Research Design; Qualitative and Quantitative Approch. California; Sage Publication. Chomsky, Noam. 2001. Amerika Sang Teroris. Bandung: Mizan. Daulay, Richard M. 2009. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama, Jakarta: Libri. Dumyathi Bashori, Ahmad. 2000.
Osama bin Laden Melawan Amerika.
Bandung: Mizan. Erawan, Ibra. 2007. Perang Irak Kisah Pertempuran Garda Republik Melaan Agresi Militer Amerika. Yogyakarta: Narasi.
57
Halim Mahally, Abdul. 2006. Menjelang Negara Miuslim Menguak Agenda Besar AS, dibalik Invasi ke Irak dan Afganistan. Bekasi: Fima Rodeka.
Hamm, Bernd. 2006. The Bush Gang, Jakarta: Ina Publikatama, Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik., Jakarta: Kencana. Jemadu. Aleksus. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kuncahyono, Trias, 2005. Irak Korban Ambisi Kaum Hawkist, Jakarta: Kompas. Laswell, D, Harold, and Abraham Kaplan. 1950. Power and Society A Framework For Political Inquiry. New Haven: Yale University press. Lovell, John P. 1970. Foreign Policy in Perspective Strategy Adaptation Decision Making. America. Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES. Morgenthau, H. J. 1951. In Defense of the National Interest: A Critical Examination of American Foreign Policy. New York: University Press of America. Rosenau, James N. 1976. The Study of Foreign Policy dalam James n. Rosenau, Kanneth Thomson and Boyd.World Politics: An Introduction. New York: Free Press. Safari, Mohammad. Almuzzamil Yusuf. 2003. Perang Irak- AS Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya. Jakarta: Center for Middle East Studies. Suhelmi, Ahmad. 2004. Pemikiran Politik Barat, Jakarta. Gramedia. Ule. Silver. 2011. Terorisme Global. Maumera: Ledaleto. Weber, Mark. Michael Smith. The Foreign Policy in a Transformed Worlk. Essex: Pearsen Education , Pendididkan Kewarganegaraan (civic education), Jakarta, Kencana,
58
Jurnal Antony Cordesman, Irak’s Envolving Insurgance., Washington, D. C.: Center For Strategic Studies, (23 June 2005). Irak War Coast Could Soar, Pentagon Says, Los Angeles Times, February 26, 2003. The Britisth Medical Journal Lancet, Oktober 2004 Wiryono, S, 2006. Jurnal Duta Indonesia and The World, Constructing Peace, Deconstructing Terrorism, Surat Kabar Kompas.Budiarto Shambazy (ed). 2003. Obrak- abrik Irak. Jakarta. Internet www.aljazeerah.com diakses pada 14 Januari 2014. pukul 21. 45. www.indonesian.irib.ir diakses pada 14 Januari 2014, pukul 21.56 http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/09/tgl/12/time/ 083948/idnews/673355/idkanal/10 http://www.whitehouse.gov/new/releases/2001/09/20010920-8.html diakses pada 7 Januari 2014 Statement to the United National Security Council. Lihat http;//www.iaea.org/newscenter/statement/2003/ebsp2003n006.shtml http://csis.org/program/beyound-goldwater-nichols diakses pada 7 Januari 2014 http://www.tempe.co/read/news/2013/03/20/118468110/Satu-Dekade-InvasiAmerika-Serikat-ke-Irak diakses pada 14 Januari 2014 Washington Post, 13 May 2004, Agence http://www.middle-east-online.com
France
Press,
12/1/13,
Wawancara Ramadhan Pohan islamlib.com/? diakses pada 7 Januari 2014. Profil.merdeka.com/mancanegara/g/George-Walker-bush/ diakses pada 8 Januari 20014 59
LAMPIRAN I PIDATO BUSH For Immediate Release Office of the Press Secretary September 20, 2001 Address to a Joint Session of Congress and the American People United States Capitol. Washington, D.C. 9:00 P.M. EDTTHE PRESIDENT: Mr. Speaker, Mr. President Pro Tempore, members of Congress, and fellow Americans: In the normal course of events, Presidents come to this chamber to report on the state of the Union. Tonight, no such report is needed. It has already been delivered by the American people. We have seen it in the courage of passengers, who rushed terrorists to save others on the ground -- passengers like an exceptional man named Todd Beamer. And would you please help me to welcome his wife, Lisa Beamer, here tonight. We have seen the state of our Union in the endurance of rescuers, working past exhaustion. We have seen the unfurling of flags, the lighting of candles, the giving of blood, the saying of prayers -- in English, Hebrew, and Arabic. We have seen the decency of a loving and giving people who have made the grief of strangers their own. My fellow citizens, for the last nine days, the entire world has seen for itself the state of our Union -- and it is strong. Tonight we are a country awakened to danger and called to defend freedom. Our grief has turned to anger, and anger to resolution. Whether we bring our enemies to justice, or bring justice to our enemies, justice will be done. I thank the Congress for its leadership at such an important time. All of America was touched on the evening of the tragedy to see Republicans and Democrats joined together on the steps of this Capitol, singing "God Bless America." And you did more than sing; you acted, by delivering $40 billion to rebuild our communities and meet the needs of our military. Speaker Hastert, Minority Leader Gephardt, Majority Leader Daschle and Senator Lott, I thank you for your friendship, for your leadership and for your service to our country. And on behalf of the American people, I thank the world for its outpouring of support. America will never forget the sounds of our National Anthem playing at Buckingham Palace, on the streets of Paris, and at Berlin's Brandenburg Gate. We will not forget South Korean children gathering to pray outside our embassy in Seoul, or the prayers of sympathy offered at a mosque in Cairo. We will not forget moments of silence and days of mourning in Australia and Africa and Latin America. Nor will we forget the citizens of 80 other nations who died with our own: dozens of Pakistanis; more than 130 Israelis; more than 250 citizens of India; men and women from El Salvador, Iran, Mexico and Japan; and hundreds of British citizens. America has no truer friend than Great Britain. Once again, we are joined together in a great cause -- so honored the British Prime Minister has crossed an ocean to show his unity of purpose with America. Thank you for coming, friend. On September the 11th, enemies of freedom committed an act of war against our country. Americans have known wars -- but for the past 136 years, they have been wars on foreign soil, except for one Sunday in 1941. Americans have known the
casualties of war -- but not at the center of a great city on a peaceful morning. Americans have known surprise attacks -- but never before on thousands of civilians. All of this was brought upon us in a single day -- and night fell on a different world, a world where freedom itself is under attack. Americans have many questions tonight. Americans are asking: Who attacked our country? The evidence we have gathered all points to a collection of loosely affiliated terrorist organizations known as al Qaeda. They are the same murderers indicted for bombing American embassies in Tanzania and Kenya, and responsible for bombing the USS Cole. Al Qaeda is to terror what the mafia is to crime. But its goal is not making money; its goal is remaking the world -- and imposing its radical beliefs on people everywhere. The terrorists practice a fringe form of Islamic extremism that has been rejected by Muslim scholars and the vast majority of Muslim clerics -- a fringe movement that perverts the peaceful teachings of Islam. The terrorists' directive commands them to kill Christians and Jews, to kill all Americans, and make no distinction among military and civilians, including women and children. This group and its leader -- a person named Osama bin Laden -- are linked to many other organizations in different countries, including the Egyptian Islamic Jihad and the Islamic Movement of Uzbekistan. There are thousands of these terrorists in more than 60 countries. They are recruited from their own nations and neighborhoods and brought to camps in places like Afghanistan, where they are trained in the tactics of terror. They are sent back to their homes or sent to hide in countries around the world to plot evil and destruction. The leadership of al Qaeda has great influence in Afghanistan and supports the Taliban regime in controlling most of that country. In Afghanistan, we see al Qaeda's vision for the world. Afghanistan's people have been brutalized -- many are starving and many have fled. Women are not allowed to attend school. You can be jailed for owning a television. Religion can be practiced only as their leaders dictate. A man can be jailed in Afghanistan if his beard is not long enough. The United States respects the people of Afghanistan -- after all, we are currently its largest source of humanitarian aid -- but we condemn the Taliban regime. (Applause.) It is not only repressing its own people, it is threatening people everywhere by sponsoring and sheltering and supplying terrorists. By aiding and abetting murder, the Taliban regime is committing murder. And tonight, the United States of America makes the following demands on the Taliban: Deliver to United States authorities all the leaders of al Qaeda who hide in your land. Release all foreign nationals, including American citizens, you have unjustly imprisoned. Protect foreign journalists, diplomats and aid workers in your country. Close immediately and permanently every terrorist training camp in Afghanistan, and hand over every terrorist, and every person in their support structure, to appropriate authorities. Give the United States full access to terrorist training camps, so we can make sure they are no longer operating.These demands are not open to negotiation or discussion. The Taliban must act, and act immediately. They will hand over the terrorists, or they will share in their fate. I also want to speak tonight directly to Muslims throughout the world. We respect your faith. It's practiced freely by many millions of Americans, and by millions more in countries that America counts as friends. Its teachings are good and
peaceful, and those who commit evil in the name of Allah blaspheme the name of Allah. The terrorists are traitors to their own faith, trying, in effect, to hijack Islam itself. The enemy of America is not our many Muslim friends; it is not our many Arab friends. Our enemy is a radical network of terrorists, and every government that supports them. Our war on terror begins with al Qaeda, but it does not end there. It will not end until every terrorist group of global reach has been found, stopped and defeated. Americans are asking, why do they hate us? They hate what we see right here in this chamber -- a democratically elected government. Their leaders are selfappointed. They hate our freedoms -- our freedom of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other. They want to overthrow existing governments in many Muslim countries, such as Egypt, Saudi Arabia, and Jordan. They want to drive Israel out of the Middle East. They want to drive Christians and Jews out of vast regions of Asia and Africa. These terrorists kill not merely to end lives, but to disrupt and end a way of life. With every atrocity, they hope that America grows fearful, retreating from the world and forsaking our friends. They stand against us, because we stand in their way. We are not deceived by their pretenses to piety. We have seen their kind before. They are the heirs of all the murderous ideologies of the 20th century. By sacrificing human life to serve their radical visions -- by abandoning every value except the will to power -- they follow in the path of fascism, and Nazism, and totalitarianism. And they will follow that path all the way, to where it ends: in history's unmarked grave of discarded lies. Americans are asking: How will we fight and win this war? We will direct every resource at our command -- every means of diplomacy, every tool of intelligence, every instrument of law enforcement, every financial influence, and every necessary weapon of war -- to the disruption and to the defeat of the global terror network. This war will not be like the war against Iraq a decade ago, with a decisive liberation of territory and a swift conclusion. It will not look like the air war above Kosovo two years ago, where no ground troops were used and not a single American was lost in combat. Our response involves far more than instant retaliation and isolated strikes. Americans should not expect one battle, but a lengthy campaign, unlike any other we have ever seen. It may include dramatic strikes, visible on TV, and covert operations, secret even in success. We will starve terrorists of funding, turn them one against another, drive them from place to place, until there is no refuge or no rest. And we will pursue nations that provide aid or safe haven to terrorism. Every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorists. (Applause.) From this day forward, any nation that continues to harbor or support terrorism will be regarded by the United States as a hostile regime. Our nation has been put on notice: We are not immune from attack. We will take defensive measures against terrorism to protect Americans. Today, dozens of federal departments and agencies, as well as state and local governments, have responsibilities affecting homeland security. These efforts must be coordinated at the highest level. So tonight I announce the creation of a Cabinet-level position reporting directly to me -- the Office of Homeland Security. And tonight I also announce a distinguished American to lead this effort,
to strengthen American security: a military veteran, an effective governor, a true patriot, a trusted friend -- Pennsylvania's Tom Ridge. (Applause.) He will lead, oversee and coordinate a comprehensive national strategy to safeguard our country against terrorism, and respond to any attacks that may come. These measures are essential. But the only way to defeat terrorism as a threat to our way of life is to stop it, eliminate it, and destroy it where it grows. Many will be involved in this effort, from FBI agents to intelligence operatives to the reservists we have called to active duty. All deserve our thanks, and all have our prayers. And tonight, a few miles from the damaged Pentagon, I have a message for our military: Be ready. I've called the Armed Forces to alert, and there is a reason. The hour is coming when America will act, and you will make us proud. This is not, however, just America's fight. And what is at stake is not just America's freedom. This is the world's fight. This is civilization's fight. This is the fight of all who believe in progress and pluralism, tolerance and freedom. We ask every nation to join us. We will ask, and we will need, the help of police forces, intelligence services, and banking systems around the world. The United States is grateful that many nations and many international organizations have already responded -- with sympathy and with support. Nations from Latin America, to Asia, to Africa, to Europe, to the Islamic world. Perhaps the NATO Charter reflects best the attitude of the world: An attack on one is an attack on all. The civilized world is rallying to America's side. They understand that if this terror goes unpunished, their own cities, their own citizens may be next. Terror, unanswered, can not only bring down buildings, it can threaten the stability of legitimate governments. And you know what -- we're not going to allow it. Americans are asking: What is expected of us? I ask you to live your lives, and hug your children. I know many citizens have fears tonight, and I ask you to be calm and resolute, even in the face of a continuing threat. I ask you to uphold the values of America, and remember why so many have come here. We are in a fight for our principles, and our first responsibility is to live by them. No one should be singled out for unfair treatment or unkind words because of their ethnic background or religious faith. I ask you to continue to support the victims of this tragedy with your contributions. Those who want to give can go to a central source of information, libertyunites.org, to find the names of groups providing direct help in New York, Pennsylvania, and Virginia. The thousands of FBI agents who are now at work in this investigation may need your cooperation, and I ask you to give it. I ask for your patience, with the delays and inconveniences that may accompany tighter security; and for your patience in what will be a long struggle. I ask your continued participation and confidence in the American economy. Terrorists attacked a symbol of American prosperity. They did not touch its source. America is successful because of the hard work, and creativity, and enterprise of our people. These were the true strengths of our economy before September 11th, and they are our strengths today. And, finally, please continue praying for the victims of terror and their families, for those in uniform, and for our great country. Prayer has comforted us in sorrow, and will help strengthen us for the journey ahead. Tonight I thank my fellow Americans for what you have already done and for what you will do. And ladies and gentlemen of the Congress,
I thank you, their representatives, for what you have already done and for what we will do together. Tonight, we face new and sudden national challenges. We will come together to improve air safety, to dramatically expand the number of air marshals on domestic flights, and take new measures to prevent hijacking. We will come together to promote stability and keep our airlines flying, with direct assistance during this emergency. We will come together to give law enforcement the additional tools it needs to track down terror here at home. (Applause.) We will come together to strengthen our intelligence capabilities to know the plans of terrorists before they act, and find them before they strike. We will come together to take active steps that strengthen America's economy, and put our people back to work. Tonight we welcome two leaders who embody the extraordinary spirit of all New Yorkers: Governor George Pataki, and Mayor Rudolph Giuliani. (Applause.) As a symbol of America's resolve, my administration will work with Congress, and these two leaders, to show the world that we will rebuild New York City. After all that has just passed -- all the lives taken, and all the possibilities and hopes that died with them -- it is natural to wonder if America's future is one of fear. Some speak of an age of terror. I know there are struggles ahead, and dangers to face. But this country will define our times, not be defined by them. As long as the United States of America is determined and strong, this will not be an age of terror; this will be an age of liberty, here and across the world. Great harm has been done to us. We have suffered great loss. And in our grief and anger we have found our mission and our moment. Freedom and fear are at war. The advance of human freedom -- the great achievement of our time, and the great hope of every time -- now depends on us. Our nation -- this generation -- will lift a dark threat of violence from our people and our future. We will rally the world to this cause by our efforts, by our courage. We will not tire, we will not falter, and we will not fail. It is my hope that in the months and years ahead, life will return almost to normal. We'll go back to our lives and routines, and that is good. Even grief recedes with time and grace. But our resolve must not pass. Each of us will remember what happened that day, and to whom it happened. We'll remember the moment the news came -- where we were and what we were doing. Some will remember an image of a fire, or a story of rescue. Some will carry memories of a face and a voice gone forever. And I will carry this: It is the police shield of a man named George Howard, who died at the World Trade Center trying to save others. It was given to me by his mom, Arlene, as a proud memorial to her son. This is my reminder of lives that ended, and a task that does not end. I will not forget this wound to our country or those who inflicted it. I will not yield; I will not rest; I will not relent in waging this struggle for freedom and security for the American people. The course of this conflict is not known, yet its outcome is certain. Freedom and fear, justice and cruelty, have always been at war, and we know that God is not neutral between them. Fellow citizens, we'll meet violence with patient justice -- assured of the rightness of our cause, and confident of the victories to come. In all that lies before us, may God grant us wisdom, and may He watch over the United States of America, Thank you. END 9:41 P.M. EDT http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html
LAMPIRAN II Korban Invasi AS ke Irak tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 total
US 486 849 846 822 904 314 149 60 54 4484
UK 52 22 23 29 47 4 1 0 0 179
Other 41 35 28 21 10 4 0 0 0 139
Irak
Kontraktor
375.000+pasukan biasa
~48.000
Pemberontak Sunni
Kurdi
60.000~
50.000
Tentara Mahdi
Tentara Baru Irak
25.000
129.760
Organisasi Badr
Polisi Irak
4.000-10.000
79-140.000
al Qaeda/lainnya
Militer Irak tewas:
1.300
(era Saddam)
Koalisi
4.895-6.370
315.000 sewaktu invasi 162.000 sekarang
Sumber: http://icasualties.org/Iraq/index.aspx
Total 580 906 897 872 961 322 150 60 54 4802
LAMPIRAN III
Para Pembajak Pesawat American Airlines Flight 11 dan United Airlines Flight 175 sengaja ditabrakkan ke menara utara dan dan menara selatan WTC 11 September 2001, dan dampak ekonomi bagi Amerika dan pihak terorisme. American Airlines Penerbangan 11: Mohamed Atta, berkebangsaan Mesir Abdulaziz Alomari, berkebangsaan Arab Saudi Satam M.A. Al Suqami, berkebangsaan Arab Saudi Wail M. Alshehri, berkebangsaan Arab Saudi Waleed M. Alshehri, berkebangsaan Arab Saudi
United Arlines Penerbangan 175: Marwan Al-Shehhi, berkebangsaan Uni Emirat Arab Fayez Rashid Ahmed Hassan Al Qadi Banihammad, berkebangsaan Arab Saudi Ahmed Alghamdi, berkebangsaan Arab Saudi Hamza Alghamdi, berkebangsaan Arab Saudi Mohand Alshehri, tidak diketahui kebangsaannya
08:46 ET - American Airlines Flight 11 (rute Boston menuju Los Angeles) menghantam menara utara World Trade Center di New York City. 09:03 ET - United Airlines Flight 175 (rute Boston menuju Los Angeles) menghantam menara selatan World Trade Center di New York City.
Dampak Ekonomi: US$ 500.000 - Perkiraan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pelaku untuk merencanakan dan melaksanakan serangan 9/11 itu. US$ 123 miliar - Estimasi kerugian ekonomi selama 2-4 minggu setelah menara World Trade Center runtuh di New York City, serta penurunan perjalanan udara selama beberapa tahun sesudahnya $ 60 miliar - Perkiraan biaya kerusakan situs WTC, termasuk kerusakan bangunan sekitarnya, dan infrastruktur kereta bawah tanah $ 40 miliar - Nilai paket darurat anti -terorisme yang disetujui oleh Kongres AS pada 14 September 2001. $ 15 miliar - Paket bantuan yang disahkan oleh Kongres untuk menyelamatkan perusahaan penerbangan. $ 9,3 miliar - Klaim asuransi yang timbul akibat serangan 9/11.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/11/116512516/Sejumlah-Fakta-SoalPeringatan-Serangan-911 20 januari 2014
LAMPIRAN IV
1
1
http://911research.wtc7.net/planes/evidence/passengers.html 20 Januari 2014