KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TERJADINYA TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PENGADILAN ( CONTEMPT OF COURT) ( STUDI KASUS REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. MEDAN)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh Agus Saleh Saputra Daulay 040200233 Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TERJADINYA TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PENGADILAN ( CONTEMPT OF COURT) ( STUDI KASUS REG. NO. 1444/ PID.B / 2001 / P.N. MEDAN)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh Agus Saleh Saputra Daulay 040200233 Departemen Hukum Pidana
Disetujui Oleh Ketua Departemen Hukum Pidana
Abul Khair SH, M.Hum NIP. 131 842 854
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M.Hum
Liza Erwina SH, M.Hum
NIP. 130 809 557
NIP. 131 835 565 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya kepada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat dalam memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya. Adapun judul skripsi yang Penulis kemukakan adalah : “ KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TERJADINYA TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PENGADILAN ( CONTEMPT OF COURT ) Studi Kasus Reg. No. 1444/Pid.B/2001/P.N. Medan”. Penulis telah bekerja semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini. Namun, Penulis menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisannya. Melalui kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2.
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, yang masing-masing selaku
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3.
Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuty, MA selaku Dosen Wali dari penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.
4.
Bapak Abul Khair, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.
5.
Ibu Nurmalawaty SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.
6.
Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
7.
Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih sempurna.
8.
Bapak Ahmad Semma, SH, Hakim di Pengadilan Negeri Medan selaku narasumber yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan data-data yang berhubungan dengan riset dalam penulisan skripsi yang dilakukan oleh Penulis.
9.
Kepada Ayahanda Mhd. Alimin Daulay, dan Ibunda Misrah Rangkuty, Spd., yang dengan penuh semangat dan kasih sayang telah menberikan dukungan kepada Penulis dalam studi Penulis.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
10. Kepada adinda Penulis
Erika Wahyuni Daulay, Arman Rinaldi Daulay,
Ahamad Fadly Daulay, dan Ahmad Sadikin Daulay, terima kasih atas kebersamaannya serta dukungan dan kasih sayang yang telah adinda sekalian berikan. 11. Kepada Keluarga di Medan Penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungannya terutama kepada keluarga tante di Amplas. 12. Kepada Pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum USU periode 2006-2007, terima kasih atas kebersamaan dan kesempatan yang diberikan kepada Penulis untuk menimba ilmu yang tak ternilai harganya dalam kebersamaan kita. 13. Kepada Om Boni selaku Pelatih Kepala Team Sepakbola USU yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk membela Team sepak bola USU di Kompetisi Futsal Kelme Futsalismo, Liga Mahasiswa Sumatera di Padang Sumatera Barat, dan IMT-GT di Medan. 14. Kepada seluruh Skuad Team Sepak bola USU di Kompetisi Futsal Kelme Futsalimo, Skuad Limas
USU di Padang, dan Skuad IMT-GT USU di
Medan. Terima kasih atas kebersamaan dan kenangannya. 15. Kepada seluruh Stambuk 2004 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kebersamaanya dan dukungannya. 16. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kemajuan di masa mendatang terutama dalam ranah penegakan hukum di tanah air. Penulis Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
juga berharap agar skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya pembangunan hukum di tanah air terutama dalam perkembangan hukum pidana.
Penulis
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………..
i
DAFTAR ISI……………………………………………………………
v
ABSTRAKSI……………………………………………………………
vii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………………………………………. 1 B. Permasalahan……………………………………………… 6 C. Tujuan Penelitian………………………………………….. 6 D. Manfaat Penelitian………………………………………… 7 E. Keaslian Penulisan………………………………………… 7 F. Tinjauan Pustaka………………………………………….. 8 1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana…………………..
8
2. Istilah dan Pengertian Contempt of Court………………
11
3. Penegakan Hukum……………………………………… 13 G. Metode Penelitian…………………………………………. 20 H. Sistematika Penulisan……………………………………… 23
BAB II PENGATURAN CONTEMPT OF COURT DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Pengaturan di dalam KUHP dan KUHAP…………………
25
B. Pengaturan di luar KUHP dan KUHAP…………………
28
BAB III KARAKTERISTIK TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PERADILAN ( CONTEMPT OF COURT ) A. Ruang lingkup Contempt of Court……………………….
30
B. Bentuk dan jenis Contempt of Court……………………..
31
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PERADILAN A. Ruang lingkup penegakan hukum……………………..
39
B. Penyelenggaraan penegakan hukum…………………..
40
C. Penanganan tindakan pelecehan terhadap peradilan…...
41
1. Aparat kepolisian……………………………………
43
2. Aparat kejaksaan…………………………………….
44
3. Aparat peradilan……………………………………..
44
a. Kinerja peradilan dalam menangani tindakan pelecehan terhadap peradilan…………………..
BAB V
44
b. Studi kasus………………………………………
47
b.1. Kasus posisi……………………………….
47
b.2. Analisis kasus……………………………..
70
4. Aparat lembaga pemasyarakatan……………………..
74
UPAYA PENANGGULANGAN CONTEMPT OF COURT A. Upaya Preventif………………………………………….
78
B. Upaya Represif…………………………………………..
79
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………. 82 B. Saran……………………………………………………… 88
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI Reformasi hukum yang menjadi agenda reformasi nasional secara menyuluruh, adalah merupakan bagian integral dari semangat dan motivasi lahirnya reformasi total secara umum. Essensi dari reformasi hukum adalah bagaimana perwujudan prinsip reformasi hukum secara menyeluruh dengan akhir supremasi hukum. Essensi dari supremasi hukum adalah prinsip penegakan hukum dalam semua segi secara tegak dan proporsional. Agenda reformasi nasional tidak hanya membawa kita ke dalam perubahan yang secara menyeluruh dan bersifat positif. Hal ini dibuktikan dengan masih lemahnya supremasi hukum di tanah air. Apabila kita melihat wajah peradilan ditanah air, maka kita akan melihat rendahnya apresiasi masyarakat terhadap lembaga penegak hukum terutama lembaga peradilan. Sehingga bukanlah hal yang baru, apabila kita melihat pengunjung sidang berteriak-teriak, melempar telur, bertepuk tangan, memakai topeng, dan melempar kursi kearah majelis hakim. Tak jarang terlihat pula pemandangan terjadinya “caci maki” seorang penasihat hukum dengan ketua majelis hakim yang diakhiri dengan pengusiran penasihat hukum tersebut dari ruang persidangan. Tindakan ini merupakan bentuk pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court). Keadaan ini merupakan dampak negatif daripada makna bebas yang disalahartikan. Penggunaan upaya hukum yakni hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial memegang peranan penting. Dalam upaya penggulangnya tidak terlepas dari proses penegakan hukum dalam mengatasi tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ).
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kemajuan dewasa ini telah melahirkan banyak perubahan. Segi-segi sosial kemasyarakatan yang semula dianggap tabu, akibat modernisasi tabu-tabu itu telah dilewati. Bahkan sesuatu yang sebelumnya dianggap wilayah yang tidak mungkin berubah telah mudah berubah dengan sendirinya. Ambil contoh misalnya soal tradisi keagamaan, hubungan sosial masyarakat, praktis politis dan hukum. Apabila kita melihat dunia peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Maka, hampir setiap hari kita disuguhi dengan berbagai cerita atau berita mengenai praktek peradilan yang tidak memuaskan. Berita-berita mengenai mafia peradilan , suap-menyuap pada setiap langkah peradilan, hakim-hakim yang tidak menjalankan tata cara pemeriksaan dengan benar, dan suasana sidang yang tak ubahnya seperti sebuah tempat tanpa aturan. Padahal peradilan merupakan tempat untuk mencari keadilan yang didasarkan pada aturan hukum yang berlaku.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Penegakan hukum telah menjadi ungkapan sehari-hari dikalangan masyarakat, pejabat, pengamat, mahasiswa, pelaku, dan anggota masyarakat biasa. Demikian pula kalangan pers, sangat bersahabat dengan ungkapan ini. Begitu juga ungkapan keadilan, berkeadilan atau lain-lain dengan maksud yang sama pula. Terdapat kesamaan dari berbagai kalangan tersebut mengenai masalah dan peristiwa penegakan hukum yang selama ini terjadi. Hampir semua ungkapan mengatakan hingga saat ini penegakan hukum masih jauh dari rasa keadilan. Mengapa? Karena didapati berbagai putusan penegakan hukum yang ternyata tidak mampu memberi kepuasan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya 1. Sehingga bukanlah hal yang baru, apabila kita melihat pengunjung
sidang
berteriak-teriak, melempar telur, bertepuk tangan, memakai topeng, dan melempar kursi kearah majelis hakim. Tak jarang terlihat pula pemandangan terjadinya “caci maki” seorang penasihat hukum dengan ketua majelis hakim yang diakhiri dengan pengusiran penasihat hukum tersebut dari ruang persidangan 2. Adapun kasus yang paling mencoreng wajah dan wibawa peradilan di Indonesia adalah pembunuhan yang terjadi di ruang sidang pengadilan agama sidoarjo jawa timur, hingga terbunuhnya seorang hakim. Selain itu, pada tahun 1986 Advokat Senior Adnan Buyung Nasution juga pernah terjerat tuduhan pelecehan terhadap lembaga peradilan pada perkara Dharsono dikarenakan komentar-komentarnya di majalah Tempo yang dinilai telah menggiring opini masa pada pengadilan yang berpihak 3.
1
Bagir Manan ( 2004).Sistem Peradilan Berwibawa ( Suatu Pencarian ). Yogyakarta: FH UII Press Yogyakarta, hal.1.
2
Artikel dari Hukumonline tentang Mematikan Peradilan yang Berwibawa, tanggal 1 Februari 2008 Artikel dari Hukumonline tentang Menangkal Pelecehan di Meja Hijau tanggal 1 Februari 2008
3
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Kurangnya kepercayaan publik ( public trust ) terhadap dunia peradilan merupakan akar dari persmasalahan timbulnya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Krisis kepercayaan publik
ini sangat berpengaruh terhadap integritas dan
kewibawaan peradilan sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan 4. Secara keseluruhan, semestinya wajah penegakan hukum tidak hanya diukur dari wajah peradilan. Tetapi, pada seluruh fungsi dan lembaga penegakan hukum selain pengadilan yang dianggap paling penting dan menentukan. Sangatlah perlu untuk juga mangamati lembaga-lembaga penegak hukum di dalam dan di luar proses peradilan. Di luar proses peradilan seperti keimigrasian, bea cukai, perpajakan, lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya. Demikian pula terhadap proses peradilan. Akan lebih baik dan sempurna kalau pengamatan proses peradilan tidak hanya sekedar di tujukan pada pengadilan.Proses di pengadilan sebagai perjalanan akhir memang penting, tetapi harus dilihat secara integral bersama-sama komponen penegak hukum lainnya atau unsur peradilan lainnya. Seperti halnya kepolisian. Kejaksaan, advokat, bahkan masyarakat atau individu pencari atau yang mewakili pencari keadilan 5. Proses peradilan adalah sebuah sistem ( integrated system ). Hakim bukanlah komponen tunggal dalam proses peradilan. Dala perkara perdata, tersangkut pihak-pihak ( parties ) dan penasihat hukum. Dalam perkara pidana tersangkut penyelidik, penyidik,
4
Binsar Gultom ( 2006 ). Pandangan Seorang Hakim Penegakan Hukum di Indonesia.Medan: Pustaka Bangsa Press , hal.30. 5 Bagir Manan,Op.Cit., hal.75. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
penuntut, hakim, advokat, dan terdakwa. Segala bentuk hubungan kolusif atau penyuapan dapat terjadi dalam semua tahap atau tingkat hubungan sistem tersebut. Namun, ketika ada putusan hakim berdasarkan penilaian publik tidak mencerminkan rasa keadilan, maka timbullah reaksi publik. Reaksi yang diakibatkan tidak jarang telah merendahkan wibawa/keluhuran peradilan. Padahal di negeri kita telah jelas diatur tentang kebebasan ( independensi ) hakim dalam membuat suatu putusan. Hal ini secara eksplisit diatur dalam pasal 24 ayat ( 1 ) UUD 1945, pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 32 ayat ( 5 ) Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Tindakan-tindakan pelecehan terhadap peradilan ini sebenarnya bukanlah hal baru. Namun berbagai tindakan tersebut makin sering terjadi semenjak bergulirnya era reformasi yang lebih bebas. Tindakan dan situasi yang terjadi di persidangan seperti yang disebutkan diatas dapat dikatakan sebagai tindakan Contempt Of Court. Istilah Contempt of Court di Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelesan umum UU. No. 14 tahun 1985 tentang MA. Butir 4 alinea ke-4. dalam penjelesan umum UU. No. 14 tahun 1985 diisyaratkan perlunya dibuat suatu Undang-undang yang mengatur tentang ancaman hukum dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan kehormatan peradilan. Apabila kita melihat hukum positif di Indonesia belum ada undang-undang yang secara khusus untuk menjadi payung hukum permasalahan ini. Walaupun hal ini bukanlah merupakan hal yang baru di Indonesia. Sehingga diperlukan suatu langkah yang progresif untuk mengantisipasi hal ini. Usaha penaggulangan kejahatan dnagn menggunakan Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
instrumen hukum pidana pada hakikatnya juga merupakanbagian dari usaha penegakan hukum ( penegakan hukum pidana ). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijkan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum ( law enforcement policy ). Penegakan hukum pidana yang rasional, terdiri atas tiga tahap, mencakup tahap formulasi oleh pembentuk undang-undang yang terkait dengan perbuatan pidana berikut sanksinya, tahap aplikasi yang merupakan tahap penerapan oleh kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, dan kehakiman sabagai aparat yang mengadili dan memutuskan, serta tahap eksekusi oleh aparat eksekusi. Upaya kriminalisasi dapat dilakukan dengan membuat suatu produk hukum dan konsep penegakan hukum terhadap kasus pelecehan terhadap peradilan (contempt of court). Walaupun pada dasarnya bukan hanya produk hukum berupa undang-undang yang dapat dijadikan sebagai suatu solusi untuk permasalah ini. Dimana reformasi birokrasi juga dapat dijadikan sebagai suatu langkah yang baik untuk meningkatkan kepercayaan publik (public trust) terhadap dunia peradilan di tanah air. Berdasarkan pada latar belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt of Court ) dengan studi kasus Reg.No. 1444/Pid.B/2001/P.N. Medan.
B. Permasalahan Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas yang menjadi permasalahan adalah : 1.
Perbuatan apa sajakah yang dikategorikan sebagai suatu bentuk tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court )?
2.
Bagaimana penegakan hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court )?
3.
Bagaimana upaya penaggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap pengadilan ( contempt of court )?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court );
2.
untuk mengetahui penegakan hukum dalam kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court);
3.
untuk mengetahui upaya penaggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua keguanaan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan perkembangan hukum pidana serta proses penanganannya, khususnya terhadap masalah terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Selain itu penelitian ini juga di harapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam penanggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum ( polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, advokat ) dalam sistem peradilan pidana ( criminal justice system ). Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menangani kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan, sehingga aparat penegak hukum mempunyai persepsi yang sama.
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang kebijakan hukum pidana dalam menaggulangi terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) belum pernah dilakukandalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian tentang kebijakan hukum pidana dalam menaggulangi terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan adalah asli karena sesuai dengan asa-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun sehubungan dengan perumusan dan pendekatan masalah. F. Tinjauan Pustaka 1.
Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah “ kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “ policy “ atau bahasa Belanda “politeik”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “ politik”, oleh karena itu kebijkan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena huku pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum. Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendakai dan
diperkirakan dapat digunakanuntuk mngekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan 6. Senada dengan pernyataan diatas, Solly Lubis juga mengatakan bahwa politik hukum pidana adalah kebijaksanaan
politik yang menentukan peraturan hukum apa
seharusnya berlaku mengatur berbagai kehidupan masyarakat dan bernegara 7. Mahfud M.D., juga memberikan definisi politik hukum
sebagai kebijakan
mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal
6
Soedarto (1981). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, hal.159.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
ini juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu 8. Dalam konteks ini hukum tidak hanya bisa dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya( pasal-pasal), maupun dalam penegakannya. Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan diatas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana memberlakukan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya di masa kini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. Lebih lanjut Sudarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna 9. A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan : 1. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; 2. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;
7
Solly Lubis (1989). Serba Serbi Politik dan hukum. Bandung: Mandar Maju, hal.19. Mahfud M.D. (1998). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta. LP3ES,hal.2. 9 Soedarto,Op.Cit.,hal.161 8
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
3. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan 10. Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan oleh A. Mulder diatas, maka ruang lingkup kebijkan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pada masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui komponen Sistem Peradilan Pidana , serta yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi. 2. Pengertian Contempt of Court Contempt of Court adalah suatu mekanisme hukum yang pertama kali timbul dalam sistem Common Law dengan case law-nya, diantaranya aalah Inggris dan Amerika Serikat. Menurut sejarah, Contempt atau penghinaan merupakan perbuatan dalam menentang setiap perintah langsung raja atau setiap penentangan langsung kepada raja atau perintahnya. Sejak tahun 1742, Inggris telah menerapkan Contempt of Court dengan adanya doktrin pure streams of justice yang dianggap sebagai dasar untuk memberlakukan Contempt of Court yang selanjutnya pada tahun 1981 diadakan pembaruan dengan
10
Barda Nawawi Arief (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya bakti, hal.28.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
diterapkannya Contempt of Court Act 1981 11. Amerika Serikat pertama kali diundangkan Contempt of Court ialah pada tahun 1789. Pengaturan Contempt of Court dimaksudkan untuk menegakkan dan menjamin proses peradilan berjalan tanpa rongrongan dari berbagai pihak, antara lain pihak yang terlibat dalam proses peradilan, mass media, maupun pejabat pengadilan itu sendiri. Pengaturan tentang Contempt of Court merupakan upaya hukum untuk membela kepentingan umum dan supremasi hukum agar proses peradilan dapat dilaksanakan dengan sewajarnya dan adil, tanpa diganggu, dipengaruhi atau dirongrong oleh pihak-pihak lain, baik selama proses peradilan berlangsuang di pengadilan maupun di luar gedung pengadilan. Dalam Black Laws dictionary dijelaskan bahwa: Contempt of court is any act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct court in administration of justice or which ic calculated to lessen its authority or dignity or tending to impede or frustate te administration of justiceor by one who being under court’s authority as a party to a proceeding therein, willfull disobeyes its lawfull order oe fail to comply with an undertaking which he has give 12. ( Terjemahan bebas : Contempt of Court adalah suatau perbuatan yang dipandang mempermalukan,
menghalangi
atau
merintangi
pengadilan
di
dalam
penyelenggaraan peradilan, atau dipandang sebagai mengurangi kewibawaan atau martabatnya. Dilakukan oleh orang yang sungguh melakukan suatu perbuatan
11
Andi Hamzah dan Bambang Waluyo (1988). Delik-delik Terhadap Pelanggaran Contempt Of court. Jakarta:Sinar Grafika, hal.10. 12 Black Laws Dictionary( 1979). Fifth Edition. St. Paul Sons West Publishing Co, hal..288. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
yang melanggar secara sengaja kewibawaan atau martabat atau cenderung merintangi atau menyia-nyiakan penyelenggaraan peradilan atau oleh seseorang yang berada dalam kekuasaan pengadilan sebagai pihak dalam perkara di pengadilan itu, dengan sengaja tidak menaati perintah pengadilan yang sah atau tidak memenuhi hal yang ia telah akui ) Sedangkan di Indonesia, istilah Contempt of Court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah agung butir 4 alinea ke-4, yaitu sebagai berikut : “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, maka perlu di buat suatu Undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong keweibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal dengan contempt of court. Berdasarkan defenisi Contempt of Court di atas, maka secara singkat Contempt of Court dapat diartikan sebagai suatu perbuatan baik secara aktif maupun pasif, yang dilakukan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan yang dianggap melecehkan atau merongrong kewibawaan peradilan. 3.Pengertian Penegakan Hukum Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum ( yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum ) menjadi kenyataan 13. Secara konsepsional, inti dan dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk mencipta, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum adalah seluruh kegiatan dari penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat maupun ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945. penegakan hukum yang dikaitkan dengan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan tentunya berkaitan dengan masalah penegakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi, ada 4 ( empat ) aspek dari perlindungan masyarakat yang harus juga mendapat perhatian dalam penegakan hukum pidana, yaitu : a. masyarakat memerlukan perlindunagn terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penaggulangan kejahatan. b. masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahaya seseorang. Oleh karena itu wajar pula, apabila penegakan hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mangubah dan mempengaruhi tingkah
13
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal.24.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
lakunya agar kembali patuh kepada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. c. Masyarakat memerlukan pula perlindunagn terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.
d. Masyarakat memerlukan perlindunagn terhadap keseimbangan dan keselarasan berbagai kepentingan nilai yang terganggu sebagai akibat adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat 14. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia terlindungi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Hukum yang telah dilanggar itu dalam hal ini harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum ini hukum itu akan menjadi kenyataan. Ada 3 ( tiga ) unsur yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum yaitu kepastian hukum ( rechtsicherheit ) , kemanfaatan ( zweckmassigheit ) dan keadilan ( gerechtigheit ) 15.
14
Barda Nawawi Arief ( 1998). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, hal.13. 15 Sudikno Mertokusumo ( 1999 ).Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, hal.145. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Di dalam suatu negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan. Sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound ( 1870-1874 ) salah seorang tokoh Sociological Jurisprudence, hukum adalah as a tool af sociological engineering disamping as a tool of social control. Politik hukum pidana ( kebijakan hukum pidana ) sebagai slah satu usaha dalam menaggulangi kejahatan, mengejewantah dalam penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional tersebut terdiri dari 3 ( tiga ) tahap 16. Adapun tahapan tersebut adalah : 1. Tahap Formulasi Merupakan tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan yang baik. Adapun tujuannya adalah untuk memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahapan ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislatif. 2. Tahap Aplikasi Merupakan tahap penegakan hukum pidana ( tahap penerapan hukum hukum pidana ) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan
16
Muladi dan Barda Nawawi arief (1993).Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana.Bandung:Alumni, hal.173.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undangundang. Tahap kedua ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap Eksekusi Merupakan tahap penegakan ( pelaksanaan ) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelksana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang ( legislatur ) dan nilai-nilai keadilan atau daya guna. Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses yang rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus dan bersumber dari nilainilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
dalam
kaidah-kaidah,
perundang-undangan
yang
mantap
dan
mengejewantahkannya dalam sikap dan tindakan sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup masyarakat. Tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat erat yaitu hukum dan aturannya sendiri 17.
17
Soerjono Soekanto ( 1983 ). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta:PT.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement, tetapi juga peace maintenance. Hal ini karena pada hakikatnya penegakan hukum merupakan proses penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Oleh karena itu tugas utama penegakan hukum adalah mencapai keadilan. Penegakan hukum dalam suatu negara dilakukan secara preventif dan represif. Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat dan tugas ini pada umumnya di berikan pada badan-badan eksekutif dan kepolisian. Penegakan hukum represif dilakukan apabila penegakan secara preventif telah dilakukan, tetapi pelanggaran hukum masih terjadi. Hukum ditegakkan secara represif oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat operasionalnya didukung dan melaui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu sama lain. Namun, tetap berada dalam kerangka penegakan hukum mulai dari kepolisian, kejasaan, pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan. Hukum harus ditegakkan dan dilaksanakan. Setiap ornag mengharapakan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Hukum itu harus berlaku sebagaimana mestinya dan pada dasarnya tidak dibolehkan menyeimpang, fiat justitia et pereat mundus ( meskipun dunia runtuh, hukum harus ditegakkan ). Hal itulah yang dinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa sesorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam kepastian hukum. Unsur penegakan hukum lainya adalah Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus dilakukan dengan adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapamencuri harus di hukum, tanpa membedakan siapa yang mencuri. Keadilan bersifat sebaliknya yaitu bersifat subjektif. Individualistis, dan tidak menyamaratakan. Adil menurut pandanagan seseorang berbeda dengan pandangan orang lain. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : a. faktor hukum itu sendiri, misalnya undang-undang. b. faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. faktor masyarakat,
yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan. e.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup 18.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya. Oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.
18
Soerjono Soekanto. Op.Cit.,hal.8.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Unsur-unsur yang terkait dalam menegakkan hukum tidak hanya diperhatikan satu unsur saja. Tidak hanya memperhatikan kepastian hukum, dan unsur-unsur lain dikorbankan. Demikian pula apabila yang diperhatiakan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan
dan begitu selanjutnya. Proses dalam
menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus diperhatikan secara proporsional seimbang. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang menggabungkan antara penelitaian hukum normatif dengan penelitian hukum sosiologis ( penelitian hukum empiris) 19. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris 20. Penelitian hukum sosiogis mempunyai istilah lain yaitu penelitian hukum empiris dan dapat disebut penelitian lapangan. Penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer. Data primer adalah data yang didapat langsung dari penelitian lapangan.
19
Soerjono Soekanto( 1998). Pengantar penelitian Hukum. Jakarta: UI. Press, hal.42.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dalam prakteknya dpat dilakukan dengan melalui pengamatan, wawancara atau dengan penyebaran kuesioner 21. Berdasarkan hal di atas, jika dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi maka dalam permasalahan nomor dua dan tiga lebih cenderung kepada penelitian hukum sosiologis. Sedangkan permasalahan yang pertama dapat dilakukan dengan melakukan penelitian yang bersifat normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan skripsi ini dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan tindkan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ), penegakan hukum pidana terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) serta bagaimana upaya penanggulangannya. Penelitian hukum sosilogis dilakukan di lakukan dengan melakukan penelitian terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dilakukan di Pengadilan Negeri Medan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan tempat kejadian perkara ( locus delicti ) tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan.
Selain pertimbangan tersebut lokasi penelitian dapat dijadikan sebagai tempat yang tepat untuk memberikan data dan informasi yang lengkap terkait kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).
20
Bambang waluyo ( 1996). Penelitian Hukum dalam praktek. Jakarta: Sinar Garfika, hal.13.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
3. Metode Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Namun penelitian ini menekankan pada data sekunder, sedangkan data primer lebih bersifat penunjang dan pelengkap dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : a. Studi kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan hakim yang berkaitan dengan penelitaian ini. b. Penelitian lapangan Penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara mendalam ( indepth interview ) dengan menggunakan pedoman wawancara ( interview guide ) . Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data primer sebagai pelengkap bahan kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan hakim di Pengadilan Negeri Medan.
4. Analisis Hasil
21
Ibid.hal.15
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan hasil wawancara dioleh dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan : a. menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum ( konseptualisasi )yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tercebut; b. mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum pidana dalam kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ); c. menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah; c. menjelaskan dan menguraikan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan perundang-undngan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. H. Sistematika Penulisan Pada penulisan penelitian ini agar tidak menyimpang dari permasalahan yang akan diuraikan, maka secara garis besar gambaran isi di dalam skripsi ini terdiri atas 6 ( enam ) bab dan sub bab yang akan diuraikan sebagai berikut : Bab I tentang Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang pemilihan judul, permasalahan yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Bab II tentang pengaturan contempt of court dalam hukum positif Indonesia. Bab ini berisi tentang ketentuan hukum yang menjadi dasar pengaturan tindakan pelecehan terhadap pengadilan (contempt of court ) dalam hukum di Indonesia. Bab III tentang karakteristik tindakan pelecehan terhadap pengadilan ( contempt of court ). Bab ini berisi tentang ruang lingkup tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ), dan bentuk serta jenis tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Bab IV tentang penegakan hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Bab ini berisi tentang pengertian penegakan hukum, ruang lingkup penegakan hukum, penegakan hukum oleh aparat penegak hukum terkait kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ), serta analisis kasus.
Bab V tentang upaya penaggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Bab ini berisi tentang upaya penaggulangan terjadinya kejahatan yaitu upaya preventif dan upaya represif. Bab VI tentang penutup. Bab ini merupakan perumusan suatu kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, serta merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan pada penulisan skripsi ini. Bagian saran menguraikan saran dari penulis untuk masalah yang ada dalam skripsi ini sehingga dapat dijadikan sebagai bakhan referensi dalam praktik.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB II PENGATURAN CONTEMPT OF COURT DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Pengaturan dalam KUHP dan KUHAP Di lapangan hukum pidana Indonesia dikenal adanya kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP ) yang berfungsi sebagai ketentuan materil. Sedangkan, dalam pelaksaanya Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
di dasarkan kepada ketentuan yang tekandung dalam kitab hukum acara pidana (KUHAP ). Kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP ) merupakan induk dari kitab hukum pidana yang hingga kini tetap berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. KUHP yang berlaku sekarang di Indonesia lahir pada zaman ( zietgeist ) liberalos individual dan rasionalisme abad ke-19 di Eropa. Dari wujud aslinya, Wetboek Van Straftrechts, mulai berlaku di Belanda pada tahun 1886, kemudian tanggal 15 oktober 1915 lewat titah Raja belanda diusulkan diberlakukan di Indonesia. Di Indonesia dikenal dengan nama Wetboek Van Straftrechts Voor Netherlandesch Indie. Dalam kaitanya dengan tindakan pelecehan terhadap peradilan (contempt of court ), maka kita harus melihat sejarah daripada contempt of court. Dalam sejarahnya, contempt of court prana hukum muncul dari negara common law yang kebanyakan menganut adversary system, yaitu sistem hukum dimana dalam pemeriksaan pemeriksaan dipersidangan hakim lebih bersifat pasif atau dapat diibaratkan hakim hanya sebagai wasit saja. Sistem ini lebih bertumpu kepada kemampuan para pihak dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing. Konsekuensi dari sistem ini adalah terbatasnya kekuasaan hakim dalam ruang persidangan. Untuk mengimbangi hal inilah, maka negara yang menganut adversary system mengatur contempt of court dalam suatu perturan perundangundangan. Sedangkan kebanyakan negara Civil Law termasuk Indonesia menganut sistem inquisitorial system ( non adversary sytem ) dimana dalm proses peradilan penemuan fakta, kesalahan, hukum dan hukuman merupakan pendelegasian wewenang saja. Sehingga dalam persidangan, hakim adalah pemeimpin dan menjaga tata tertib persidangan. Oleh sebab itu Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
segala sesuatu yang terjadi di dalam persidangan harus dengan seizin hakim. Kekuasaan hakim yang besar ini diberikan melalui kitabundang-undang hukum pidana ( KUHP ) dan hukum acaranya ( KUHAP ). Padmo Wahjono berpendapat bahwa di Indonesia perlindunagn terhadap pengadilan sehingga dapat mencegah ( preventif ) dan menghukum ( represif ) setiap usaha untuk mencemarkan nama baik berupa gangguan, hambatan, tantangan maupun ancaman sudah ada pengaturannya, yaitu dalam KUHP dan KUHAP 22. Dalam ketentuan pasal yang terdapat di KUHP dan KUHAP ada beberapa perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Contempt of Court. Adapun ketentuan pasal tersebut adalah 23:
1. Ketentuan dalam KUHP Pasal 207 : lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia Pasal 208 : menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum Paal 209 : memberi atau menjanjikan sesuatau kepada seseorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak
22
Padmo wahjono( 1986). Contempt of Court dalam Peradilan di Indonesia, Hukum dan Pembangunan, hal.336. 23 Andi Hamzah dan Bambang Waluyo, Loc.cit.,hal.186. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
berbuat esuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajubannya Pasal 210 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, penasihat atau adviseur Pasal 211 : memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah Pasal 212 : melawan sorang pejabat yang seang menjalankan tugas yang sah Pasal 216 : tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu Pasal 217 : menimbulkan kegaduhan dalam ruang persidangan
2. Ketentuan dalam KUHAP Pasal 217 1.
Hakim ketua sidang yang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib persidangan
2.
Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat
Pasal 218 1.
Dalam ruang persidangan siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
2.
Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang tas perintahnya yang bersangkuatan dikeluarkan dari ruang sidang
3. Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak menutup kemugkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya
B. Pengaturan di luar KUHP dan KUHAP Seperti telah disebutkan di atas, bahwa istilah Contempt of Court di Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelaan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4. Dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 disyaratkan perlu dibuat suatu Undang-undang yang mengatur tentang ancaman hukuman dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingakah laku, sikap, ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan pejabat peradilan. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama ( SKB ) No : M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 tentang Tata cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14 tahun itu telah terlaksana tetapi tidk sesuai dengan yang diharapkan,
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
yauitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur tentang Contempt of Court yang dilakukan oleh penasihat hukum saja. Selain itu, dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Propenas kembali disebutkan bahwa pembuatan undang-undang tentang Contempt of Court menjadi bagian matriks kebijakan hukum tahun 2002. Disamping ketentuan tersebut Menteri Kehakiman melalui keputusannya No.01/M.01.PW.07.03Th.1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP menyinggung tentang kemungkinan adanya Contempt of Court, sehingga perlu diberikannya kewenangan bagi hakim yang memeriksa perkara di persidangan untuk menjaga ketertiban selama berlangsung sidang. Dalam keputusan ini dikatakan bahwa KUHAP mengisyaratkan adanya sifat terbuka pada sidang pengadilan. Hal ini mencerminkan asaa demokrasi di bidang pengadilan dan tidak dapat dilepaskan dari fungsi pers untuk mengadkan pemveritaan, reportase tentang
jalannya peradilan. Pada sidang peradilan yang terbuka inilah
dilaksanakan pemeriksaan yang seobyektif-obyektifnya dan dihadiri oleh khalayak ramai dengan tertib agar dapat mengikuti dan mengawasi jalannya pemeriksaan.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB III KARAKTERISTIK TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PERADILAN ( CONTEMPT OF COURT )
A. Ruang Lingkup Contempt of Court Apabila dihubungkan dengan pengertian Contempt of Court sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka pengertian Contempt of Court terutama tertuju pada wibawa , martabat, dan kehormatan badan peradilan. Nuamun karena Badan atau Lembaga Peradilan adalah sesuatu yang abstrak ( dianggap sebagai sesuatu yang konkrit karena mempunyai fisik walaupun benda mati ), maka ketiga hal tersebut diatas ditujukan kepada : a. manusianya yang menggerakkan lembaga tersebut; b. hasil buatan lembaga tersebut; c. proses kegiatan daripada lembaga tersebut.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pada kedua hal terakhir sebenarnya tidak dapat dikatakan secara harfiah memiliki wibawa, martabat, dan kehormatan. Lebih tepat apabila dikatakan kedua hal tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar apabila terjadi suatu Contempt of Court terhadapnya. Selanjutnya, pengertian Contempt of Court ini dapat diberlakukan kepada siapa saja baik secara individu atau bersama-sama. Pengertian tersebut tidak hanya terbatas kepada pencari keadilan, terdakwa, penasihat hukum, saksi, pers, atau orang yang hadir dalam persidangan saja, tetapi juga aparat penegak hukum seperti jaksa, polisi dan hakim.
B. Bentuk Contempt of Court Akibat luasnya ruang lingkup dan variasi Contempt of Court, maka tidak mudah untuk menjelaskan bentuk Contempt of Court. Hal in disebabkan selau berkembangnya Contempt of court dari masa ke masa dan dari kasus ke kasus. Menurut Oemar Seno Adji terdapat 5 ( lima ) bentuk konstitutif dari Contempt of Court, yaitu 24 : 1. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap peradilan yang dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi ( sub judice rule ). Sub judice rule adalah suatu usaha berupa perbuatan, atau sikapyang ditujkan ataupun pernyataan secra lisan apalagi secara tulisan, yang nantinya menjadi persoalan pers dan aspek hukumnya untuk dapat mempengaruhi suatu putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
2. Tidak memenuhi perintah peradilan ( disobeying a court order ). Disobeying court order
suatu perbuatan yang tidak memenuhi printah pengadilan ataupun yang
merendahkan otoritas , wibawa atau keadilan dari pengadilan. Unsur ini umumnya terdiri atas perbuatan dari pihak lain dari pada yang dimintakan, dituntut dari padannya , ataupun tidak melakukan perbuatan apa yang diperintahkan atau diminta oleh proses tidak dalm kernagka “ Contempt of Court “ khususnya yang mengenai bentuk disobeying court’s order terdapat dalam KUHP suatu ketentuan pidana yang mungkin dapat dikategorisasi sebagai suatu tak pematuahan terhadap perintah perngadilan. 3. Mengacaukan peradilan ( obstructing justice ) . Obstruction justice merupakan suatu perbuatan yang ditujukan terhadap, ataupun yang mempunyai efek memutarbalikan, mengacaukan fungsi normal dan kelancaran suatu proses judisial. Obstruction justice, apabila dilihat sebagai suatu perbuatan adlah ebagai pengurangan kebaikan, fairness, ataupun efficiency dari suatu proses. Sedangkan disruption lebih merupakan suatu tantangan langsung dan fisik. 4.Menyerang integritas dan impartialitas peradilan ( scandalizing the court ). Scancalizing the court adalah pernyataan di luar pengadilan dan sering merupakan publikasi yang mengandung suatu lapangan yang luas mengenai situasi. Scandalizing the court merupakan tipe lain dari misbehaving in court atupun disrupsi dalam pengadilan. Hal demikian terjadi, apabila ia merupakan hasil dari bahasa yang merupakan penghinaan ringan terhadap pengadilan ataupun serangan terhadap impartialitas selama proses berjalan.
24
Oemar Seno Adji, Contempt of Court suatu pemikiran, prasaran dalam Seminar tentang Contempt of Court tanggal 24 Maret 1986 di Jakarta, hal.28
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Scancalizing the court meliputi pernyataan yang menjengkelkan, mengandung kata-kata penyalahguanaan ataupun ucapan yang mengandung penghinaan. Semua perbuatan tersebut ditujukan terhadap hakim ataupun pernyataan yang meragukan impartialitas dari hakim tersebut. Tujuan dari tipe scancalizing the court adalh untuk mengadakan perlindungan terhadap reputasi peradilan, obyektifitas ataupun kejujuran dari peradilan itu sendiri. Selain itu, scancalizing the court, juga bermaksud untuk mengadakan promosi, menganjurkan suatu kepercayaan umum pada berbagai institusi judisial. 5. Tidak berkelakuan baik dalam pengadilan ( misbehaving in court ) . Misbehaving in court adalah tiap perbuatan isyarat ( gesture ) ataupun kata-kata yang merupakan rintangan ataupun mengadakan obstruksi terhadap aliran ( flow ) normal dan harmonis dari proses di persidangan. Contempt of Court yang terjadi karena adanya misbehaving in court memenuhi dua fungsi yang berlainan. Pertama, secara meniadakan, mengadakan eliminasi terhadap kekisruhan ( nuisance ) dengan mengadakan restorasi ketertiban dan menjamin fungsionering yang lancar dari pemeriksaan judisial. Kedua, fungsinya lebuh bersifat judicial represif untuk dapat menghukum dan atau memidanakan orang yang melakukan perbuatan yang tidak patut di puji dan harus ditegur. Pada dasarnya Contempt of Court merupakan suatu istilah umum untuk menggambarkan setiap perbuatan ( atau tidak berbuat ) yang pada hakikatnya bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang seharusnya. Istilah Contempt of Court dikatakan merupakan istilah umum
(
generic term ) karena masih dapat dibedakan lagi antara : Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
1. Civil Contempt Merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan atau perintah pengadilan ( disobedience to the judgements and orders of courts ). Oleh karena itu, dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan/ pelanggaran terhadap pelaksanaan atau penegakan hukum ( an offence against the enforcement of justice). Adapun sanksi yang dikenakan terhadap bentuk civil contempt ini adalah bersifat paksaan ( coercive nature ). 3. Criminal Contempt Merupakan bentuk perbuatan yang bertujuan mengganggu atau menghalangi penyelenggaraan peradilan yang seharusnya ( acts tending to hinder or to obstruct the due administration of justice ). Oleh karena itu secara singkat sering disebut sebagai an offence against the administrations of justice. Adapun sanksi yang dikenakan terhadap bentuk criminal contempt ini bersifat penghukuman / pidana ( punitive nature ). Adapun bentukbentuk criminal contempt dapat diklasifikasikan bermacam-macam, antara lain sebagai berikut 25: a. Gangguan dimuka atau di dalam ruang persidangan
( Contempt in face of the
Court, Direct Contempt, Contemptin Facie ) sekalipun istilahnya Contempt in face of the Court, namun masalhnya bukan apakah martabat pengadilan ( the dignity of the court ) telah diserang atau dilanggar, tetapi apakah proses pengadilan terganggu atau tidak. Tujuannya bukanlah untuk menunjang atau melindungi martabat hakim, tetapi untuk melindungi hak-hak masyarakat umumdengan memberikan jaminan bahwa penyelenggaraan peradilan tidak terganggu.
25
Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992).Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:Alumni,hal.209.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Bentuk-bentuk gangguan yang termasuk direct contempt ini dapat berupa katakata atau perbuatan, misalnya : -
mengeluarkan kata-kata mengancam ( threatening language ) atau serangan fisik (
phisical attack ) kepada hakim, anggota juri, advokad, saksi dan
sebagainya; -
saksi yang tidak datang atas perintah pengadilan, tidak mau menjawab pertanyaan ( kecuali mempunyai hak tolak ) menolak untuk disumpah atau tidak mau meniggalakan ruangan sidang atas perintah hakim;
-
terdakwa yang secara langsung menghina hakim.
Apabila dilihat aspek yuridisnya menurut KUHP Indonesia, serangan fisik terhadap pejabat dapat diidentikkan dengan pasal 212 KUHP ( dengan kekerasan melawan pejabat; dikenal dengan istilan danga ) dan pasal 356 KUHP ( penganiayaan terhadap pejabat ) dan apabila mengguanakan ancaman dimasukkan pasal 211 KUHP ( memaksa pejabat dengan kekerasan atau ancaman kekerasan ) atau ditujukan kepada seorang saksi maka dapat dikenakan pasal 336 KUHP. Menimbulkan kegaduhan di dalam runag sidang atau tidak mau meniggalkan ruang sidang atas perintah hakim/pejabat yang berwenag dapat diidentikkan dengan pasal 217 atau 168 KUHP. Sedangkan saksi yang tidak memenuhi kewajiban, dapat diidentikkan dengan pasal 224 atau 522 KUHP. Penghinaan terhadap hakim dapat diidentikkan dengan pasal 316 KUHP ( penghinaan terhadap pejabat ). b. Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak memihak ( Acts calculated to prejudice the fair trial ) Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Perbuatan yang termasuk dalam bentuk ini adalah yang terjadi di luar pengadilan. Oleh karena itu sering disebut contempt out of court atau indirect contempt. Dalam hal ini termasuk melakukan pengancaman, intimidasi, penyuapan atau mencoba mempengaruhi dengan cara lain terhadap para hakim, juri, saksi dan sebagainya. Mempengaruhi dengan cara lain itu termasuk : -
melakukan komunikasi pribadi dengan hakim untuk
mempengaruhi
putusannya; -
mengomentari disurat kabar, majalah dan sebagainya suatu kasus yang sedang menuggu keputusan;
-
menginformasikan atau mempublikasikan sesuatu yang sifatnya memihak untuk mempengaruhi keputusan.
Dalam kasus-kasus di atas tidak perlu dibuktikan, bahwa proses peradilan dalam kenyataannya
betul-betul
terpengaruh
atau
memihak.
Khusus
mengenai
upaya
mempengaruhi fair trial lewat pemberitaan atau publikasi, bentuk criminal contempt ini dikenal dengan istilah violation of the sub judice rule. Yang dimaksud dengan sub judice rule adalah suatu aturan umum ( general rule ) yang menyatakan, bahwa tidak diperbolehkan publikasi untuk mencampuri peradilan yang bebas atau tidak memihak untuk suatu kasus tertentu. Aspek yuridis dari criminal contempt bentuk kedua ini, dapat juga antara lain diidentikkan dengan pasal 209 KUHP ( penyuapan pejabat ) dan pasal 210 KUHP ( untuk penyuapan terhadap hakim ).
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
c. Perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi peradilan ( scandalizing the court ) Scandalizing the court merupakan bentuk contempt of court yang terjadi di luar pengadilan.
Tetapi
yang
lebih
khusus
ditujukan
untuk
menurunkan
wibawa
hakim/pengadilan, misalnya dengan mempublikasikan kritik atau tuduhan di surat kabar mengenai penyalahgunaan atau perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang tidak patut dilakukan oleh hakim. Misalnya menuduh hakim telah menyalahguanakan hukum pembuktian, telah berpihak atau telah mendapat tekanan-tekanan dari pihak luar. Kritikkritik terhadap pengadilan dapat tidak merupakan contempt of court apabila merupakan kritik yang cukup beralasan ( reasonable criticism ) atau dikemukakan berdasarkan argumen yang masuk akal. d. Mengganggu pejabat pengadilan ( Obstructing court officer ) Perbuatan ini termasuk contempt of court apabila terjadi di luar pengadilan, misalnya dengan menyerang/memukul atau mengancam hakim, jaksa atau juru sita setelah meniggalkan ruang sidang. Dalam hukum positif di Indonesia perbuatan ini dapat diidentikkan dengan ketentuan dalam pasal 214, 216, 356 KUHP. d. Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama proses pengadilan berjalan ( Revenge for acts done in the course of litigation ) Perbutan yang termasuk dalam bentuk ini adalah pada dasarnya ditujukan pada saksi yang telah memberikan kesaksiannya di muka sidang. Perbutannya juga dapat dengan memukul/menyerang atau mengancam saksi tersebut ( misalnya akan dipecat dari kedudukan atau jabatannya ). Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
e. Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan ( Breach of duty by an offecer of the court ) Menurut Prof. Nico Keijzer, pelanggaran kewajuban oleh the king’s officer merupakan the oldest form of contempt. Termasuk bentuk pelanggaran ini misalnya petugas penjara/lembaga pemasyarakatan yang menahan dokumen atau surat-surat dari nara pidana yang dikirim ke pembelanya atau ke pejabat pengadilan. Secara teoritis menurut Keijzer, pelanggaran kewajiban inipun dapat dilakukan oleh para hakim. Namun sepengatuhuannya belum pernah ada hakim yang dipersalahkan karena contempt of court. Erat hubungannya dengan masalah pelanggaran terhadap kewajuban menyimpan rahasia. Oleh karena itu publication of information that is not to be inclosed ( mempublikasikan informasi yang bersifat rahasia/tidak boleh diungkapkan juga termasuk contempt of court. f. Pelanggaran oleh pengacara ( contempt of court by advocates ) Bebrapa contoh contempt of court yang dilakukan oleh pengacara di negara common law system, antara lain : -
A dan B bersama-sama melakukan perampokan. A pergi membawa hasil rampokanya. B menuntut bagiannya ke pengadilan lewat pengacarannya. Oleh pengadilan pengacara B dinyatakan melakukan contempt of court karena mengajukan tuntutan yang memalukan atau tidak sopan/kurang ajar ( scandalous and impertinent claim );
-
Pengacara yang dengan sengaja mengajukan pernyataan tertulis yang palsu ke pengadilan;
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PERADILAN ( CONTEMPT OF COURT )
A. Ruang lingkup penegakan hukum Untuk sedikit memperluas cakrawala, akan lebih baik pembicaraan mengenai penegakan hukum atau menegakkan hukum ( law enforcement ) didahului dengan tinjauan bersama terhadap fungsi membuat hukum ( law making ), dan fungsi menjalankan hukum atau melaksanakan hukum ( law applying ). Dalam kenyataan, fungsi membuat, menjalankan, dan melaksanakan hukum berjalan tumpang tindih ( overlapping ). Bahkan yang satu merupakan fungsi dari yang lain 26.
26
Bagir Manan. Op.Cit.,hal.29
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Hukum dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada hukum yang dapat dijalankan kalau hukumnya tidak ada. Agar hukum dapat dijalankan, atau ditegakkan harus terlebih dahulu ada hukum.Penegakan hukum adalah sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut. Secara konsepsional, inti dan dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk mencipta, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
B. Penyelenggaraan penegakan hukum Pada prinsipnya penegakan hukum bukanlah merupakan fungsi dari peradilan saja, apalagi fungsi dan proses di pengadilan saja. Secara keseluruhan, semestinya wajah penegakan hukum tidak hanya diukur dari wajah peradilan, tetapi pada seluruh fungsi dan lembaga penegakan hukum. Selain pengadilan yang dianggap paling penting dan menentukan, sangatlah perlu untuk juga mengamati lembaga-lembaga penegak hukum di dalam dan di luar proses peradilan di samping pengadilan. Demikian pula halnya terhadap proses peradilan. Akan lebih baik dan sempurna kalau pengamatan proses peradilan tidak hanya sekedar ditujukan terhadap proses peradilan. Proses di pengadilan sebagai perjalanaan akhir penegakan hukum memang penting, tetapi harus dilihat secara integral bersama-sama komponen atau unsur peradilan Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
lainnya yaitu kepolisian, kejaksaan, advokat, bahkan masyarakat atau individu pencari keadilan. Sudah lama dibicarakan mengenai integrated judicial system atau integrated criminal juctice system 27. Selain belum ada bentuk-bentuk dan tatanan mewujudkannya, dalam berbagai wacana kita sering terlepas dari konsep tersebut. C. Penanganan tindakan pelecehan terhadap peradilan Sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menaggulangi masalah kejahatan. Sistem peradilan pidana mempunyai komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dalam mekanisme peradilan pidana. Peranan aparat penegak hukum sangat besar dalam upaya penanganan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan : 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; 3. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya 28. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
27 28
Ibid.,hal.35 Mardjono Reksodiputro ( 1994 ). Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam HAM dan SPP. Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, hal. 84.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Badan-badan
tersebut
yaitu
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
dan
lembaga
pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat 29. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.
29
Sudarto ( 1981 ). Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung: Alumni, hal.121.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuranukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sistem lainnya. Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal. Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum 30.
1. Penanganan Oleh Aparat Kepolisian
30
Muladi( 1995 ). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP Semarang, hal. 16.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pihak kepolisian sebagai pengayom masyarakat sangat berperan penting dalam melakukan penertiban terhadap bebagai tindakan pelecehan terhadap peradilan 31. Kepolisian sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum harus dapat bergerak cepat dan tanggap terhadap berbagai tindak pidana yang terjadi di wilayahnya karena tugas utama kepolisian adalah untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat 32. Polisi mempunyai peran penting dalam hal melakukan penyelidikan terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of cour ).
2. Penanganan Oleh Aparat Kejaksaan Lembaga kejaksaan dalam sitem peradilan pidana yang terpadu merupakan salah satu subsistem. Undang-undang terakhir yang mengtur tentang Kejaksaan adalah UU. No.5 Tahun 1991. dalam UU No. 5 Tahun 1991, diatur mengenai bagaimana lembaga kejaksaan dalam memerankan dirinya menjadi salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang bertugas dalam melakukan penuntutan33. Dalam kaitannya dengan tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ) jaksa berperan dalam melakukan penuntutan di depan pengadilan. 3. Penanganan Oleh Aparat Peradilan a. Kinerja Peradilan dalam Menangani Tindakan Pelecehan Terhadap Peradilan ( Contempt of Court )
31
Pasal 2 UU. No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Irwan Suwarto ( 2003 ). Polri dan Dinamika Ketatanegaraan Indonesia. Padang: Ekaakti Press, hal.134. 33 Marwan Effendy ( 2005 ). Kejaksaan R.I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal.126. 32
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas identik dengan sistem kekuasaan kehakiman yang pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum. Bekerjanya sistem peradilan pidana atau sistem kekuasaan kehakiman yang dikenal dengan istilah “Criminal Justice System” melalui tahap yang cukup panjang. Lembaga peradilan bertugas untuk memberikan putusan yang adil terhadap setiap kasus yang mereka tangani baik perdata maupun pidana 34. Sistem peradilan pidana ( Criminal Justice System ) secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Dalam kaitanya dengan tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ), penulis telah melakukan wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Medan. Adapun tujuan dari wawancara yang dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimana proses penegakan hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ). Narasumber yang ditemui oleh penuis berpendapat bahwa ada beberapa faktor kumulatif penyebab terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan yaitu : 1. Kurangnya kepercayaan publik terhadap peradilan dan hakim 2. Belum adanya suatu aturan yang baku tentang sejauh mana perbuatan yang dapat dikategorikan sebgai suatu tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). 3. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya hukum
34
Barda Nawawi Arief (1996 ). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penagguulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 37.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
4. Masyarakat salah mengartikan makna dari reformasi35 Narasumber mengatakan perlu adanya suatu langkah progresif untuk membuat suatu aturan yang spesifik untuk mengatur tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Dalam menjatuhkan putusan terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ), didasarkan kepada KUHP yang dikualifikasikan dan didasarkan kepada fakta yang ada. Hal ini diakibatkan belum adanya aturan baku dan batasan yang spesifik tentang pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Narasumber mencontohkan kasus dengan register No. 1444/Pid.b/PN Medan yang menjadi objek studi kasus dalam penelitian ini. Berdasarkan fakta yang diajukan dipersidangan, terdakwa hanya terbukti melakukan pengrusakan barang di Pengadilan Negeri Medan. Narasumber juga menyoroti tentang perlunya pengamanan sidang. Sehingga integritas dan martabat peradilan dapat dijaga. Selain itu, pengawasan tehadap putusan dan kinerja hakim perlu dilakukan baik secara internal maupun eksternal 36. Institusi peradilan merupakan pihak yang berperan memutuskan hukuman atau pidana yang akan dijatuhkan terhadap suatu kasus yang terjadi. Hakim sebagai pihak yang intelektual sangat berperan penting dalam memutuskan suatu perkara, karena dalam memutuskan suatu perkara, hakim harus berpegang kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku selain daripada keyakinan hakim itu sendiri. Putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang itu, dimana putusan tersebut diucapakan di persidangan yang bertujuan untuk menghakimi atau menyelesaikan
35
Wawancara dengan Bapak Ahmad Semma SH, Hakim di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 6 Maret 2008. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
suatu perkara 37. Suatu konsep putusan ( tertulis ) tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan apabila belum diucapkan hakim di muka persidangan di pengadilan. Hakim seharusnya tidak sekedar menjalankan sistem hukum acara ( kepastian hukum ), tetapi hakim harus mampu menyelesaikan persoalan hukum dengan jaminan mendapat keadilan bagi pencari keadilan.
b. Studi Kasus b.1. Kasus Posisi
PUTUSAN NO. 1444 / Pid. B / 2001 / P.N. Medan
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan acara biasa telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa : Nama lengkap
: Hotman Sihombing alias Putun
Tempat lahir
: Medan
Umur/tanggal lahir
: 37 tahun
36
Wawancara dengan Bapak Ahmad Semma SH, Hakim di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 6 Maret 2008 37 Sidik Sunaryo ( 2005 ). Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press, hal. 29 Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Jl. Tempuling No. 14 Kel. Medan Tembung
Agama
: Kristem Protestan
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan
: STM
Terdakwa ditahan sejak tanggal
05 mei 2001
sampai dengan
sekarang; PENGADILAN NEGERI TERSEBUT; Telah membaca berkas perkara: Telah mendengar keterangan Saksi-saksi dan keterangan terdakwa; Menimbang, bahwa Penuntut Umum dalam tuntutan pidana terhadap terdakwa pada pokoknya sebagai berikut : 1.
Menyatakan terdakwa Hotman Sihombing alias Putun bersalah melakukan tindak pidana terang-terangan dan dengan tenaga bersam-sama menggunakan kekerasan terhadap barang sebagaimana diatur dalam pasal 170 (1) KUHPidana dalam surat dakwaan pertama;
2.
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hotman Sihombing alias Putun dengan pidana penjara selama 5 ( lima ) bulan dikurangi selama berada dalam tahanan sementara;
3.
Menyatakan barang bukti berupa : 1 ( satu ) unit papan penutup ruang sidang, 1 ( satu ) unit bingkai dan tulisan tata tertib persidangan, 17 unit kursi panjang
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
pengunjung sidang, 1 ( satu ) unit detektor pintu masuk ruang sidang, 2 ( dua ) unit tiang bendera merah putih dan bendera pengayom, 2 ( dua ) unit speaker pengeras suara, 5 ( lima ) unit mikrophone, 2 ( dua ) lembar kain laken penutup alas meja sidang dan meja jaksa penuntut umum, dikembalikan kepada Pengadilan Negeri Medan; 4.
Menetapkan agar terdakwa, jika ternyata dipersalahkan dan dijatuhi pidana, supaya ia dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.500,- ( lima ratus rupiah).-
Menimbang, bahwa atas tuntutan pidana tersebut, terdakwa telah mengajukan permohonan yang pada pokoknya mohon agar dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya; Menimbang, bahwa terdakwa Penuntut Umum berdasarkan surat dakwaan tanggal 7 Juni 2001 No. REG. PERK: PDM-154/EP.2/MDN yang berbunyi sebagai berikut :
Pertama :
Bahwa ia terdakwa Hotman Sihombing alias Putun secara besama-sama dengan temannya Ukurta br karo Sinulingga alias Dewi. Ucok Piliang alias Ucok Padang ( yang perkaranya diajukan secara terpisah ) dan Mail, Zul, Gupron, Dafri, Elbadal, Jamil, Ali Wanto, Surianto, serta teman-temannya yang lain ( yang belum tertangkap) pada hari rabu, tanggal 2 Mei 2001 , sekira pukul 14.00 Wib, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Mei tahun 2001 di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan, jalan Pengadilan No.8 Medan, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, terang-terangan dan dengan tenaga bersam-sama mengguanakan kekerasan terhadap barang berupa : 1 ( satu ) unit papan penutup ruang sidang, 1 ( satu ) unit bingkai dan tulisan tata tertib persidangan terbuat dari kayu, 17 unit kursi panjang pengunjung sidang, 1 ( satu ) unit detektor pintu masuk ruang sidang, 2 ( dua ) unit kursi sidang terdakwa, 2 ( dua ) unit tiang bendera merah putih dan bendera pengayom, 2 ( dua ) unit speaker pengeras suara, 5 ( lima ) unit mikrophone, 4 ( empat ) unit daun jendela kaca nacoventilasi, 4 ( empat ) unit kursi sidang hakim, 6 ( enam ) unit tiang penyangga microphone, 2 ( dua ) lembar kain laken penutup alas meja sidang dan meja jaksa penuntut umum milik atau inventaris Pengadilan Negeri Medan, perbuatan mana dilakukan terdakwa bersama-sama temannya dengan cara sebagai berikut : Semula pada waktu serta tempat seperti tersebut di atas terdakwa dan temantemannya yang lain tersebut berada di ruang sidang utama Pengadilan Negeri
Medan,
sedang
menghadiri
jalannya
persidangan
perkara
pembunuhan yang dilakukan oleh Eduardo Horas Harahap, yang disidangkan oleh Hakim Majelis K. Sianturi, SH, anggotanya : R. M. Malau, SH dan Prof. Dr. J. Nababan, SH dimana pada saat itu terdakwa duduk di bagian depan yang berdampingan dengan Ucok Piliang alias Ucok Padang dan saksi Ukurta br Sinulingga alias Dewi, serta temannya yang lain berada di dalam ruang sidang tersebut dan beberapa saat setelah sidang dibuka yang Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
kemudian sidang diundurkan oleh karena penasehat hukum Eduardo Horas Harahap tersebut tidak hadir dan Eduardo Horas Harahap tersebut tidak mengizinkan sidang dilanjutkan, mendengar itu lalu terdakwa Hotman sihombing alias Putun terebut mendekati Majelis Hakim dan memukul meja hakim, menarik taplak mejanya sehingga microphone yang di atas meja terebut dan alat lainnya berserakan dan terdakwa membantingkan kursi panjang, sambil berteriak dengan mengatakan “Ayo kita tangkap hakimnya, kita gotong ramai-ramai kehadapan Dewan” dan teman-teman terdakwa membantingkan barang-barang tersebut sehingga pecah/dan tulisan tatatertib persidangan, kursi sidang terdakwa, meja sidang penuntut umum, speaker pengeras suara, microphone, daun jendela kaca nacoventilasi, kursi sidang hakim, tiang penyangga microphone dan kain laken penutup meja sidang dan meja Penuntut Umum dan akibat dari perbuatan terdakwa dan temantemannya tersebut saksi Ali Murad Harahap SH, selaku yang mewakili Kepala Kantor Pengadilan Negeri Medan menderita kerugian sebesar Rp. 60.000.000.Perbuatan mana diatur dan diancam pidana dalam pasal 170 ayat (1) KUHPidana; Kedua :
Bahwa ia terdakwa Bahwa ia terdakwa Hotman Sihombing alias Putun secara besama-sama dengan temannya Ukurta br karo Sinulingga alias Dewi. Ucok Piliang alias Ucok Padang ( yang perkaranya diajukan secara terpisah ) dan Mail, Zul, Gupron, Dafri, Elbadal, Jamil, Ali Wanto, Surianto, serta
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
teman-temannya yang lain ( yang belum tertangkap ) pada waktu serta tempat yang telah disebut dalam surat dakwaan Pertama di atas, mereka yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu berupa 1 ( satu ) unit papan penutup ruang sidang, 1 ( satu) unit bingkai dan tulisan tata tertib persidangan terbuat dari kayu, 17 unit kursi panjang pengunjung sidang, 1 ( satu ) unit detektor pintu masuk ruang sidang, 2 ( dua ) unit kursi sidang terdakwa, 2 ( dua ) unit tiang bendera merah putih dan bendera pengayom, 2 ( dua ) unit speaker pengeras suara,5 ( lima ) unit mikrophone, 4 ( empat ) unit daun jendela kaca nacoVentilasi, 4 ( empat ) unit kursi sidang hakim, 6 ( enam ) unit tiang penyangga microphone, 2 ( dua ) lembar kain laken penutup alas meja sidang dan meja jaksa penuntut umum milik atau inventaris Pengadilan Negeri Medan yang seluruhnya atau sebahagian adalah kepunyaan orang lain, perbuatan mana dilakukan terdakwa mendatangi meja Hakim Majelis, lalu memukul meja tersebut sehingga microphone dan alat lainnya berserakan disebabkan alas mejanya ditarik oleh terdakwa, kemudian terdakwa membantingkan kursi panjang yang ada di ruang sidang tersebut, sedang teman-teman terdakwa yang lainnya membanting kursi panjang dan barang-barang lain di atas, sehingga barangbarang tersebut rusak/pecah dimana pada saat itu terdakwa dan temantemannya yang lain berada di dalam ruang sidang Utama Pengadilan Negeri Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Medan tersebut menghadiri jalannya persidangan perkara pembunuhan yang dilakukan oleh Eduardo Horas Harahap, yang disidangkan oleh Hakim Majelis K. Sianturi, SH, anggotanya : R. M. Malau, SH dan Prof. Dr. J. Nababan, SH, dan beberapa saat setelah sidang dibuka, yang kemudian sidang diundurkan oleh karena penasehat hukum Eduardo Horas Harahap tersebut tidak hadir dan Eduardo Horas Harahap tersebut tidak mengizinkan sidang dilanjutkan, lalu terdakwa dan teman-temannya tersebut melakukan pengrusakan tersebut dan akibat dari perbuatan akibat dari perbuatan terdakwa dan teman-temannya tersebut saksi Ali Murad Harahap SH, selaku yang mewakili Kepala Kantor Pengadilan Negeri Medan menderita kerugian sebesar Rp. 60.000.000.Perbuatan mana diatur dan diancam pidana dalam pasal 406 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) KUHPidana; Menimbang bahwa untuk menguatkan dakwaan tersebut, Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi, yaitu : 1. Saksi H. Ali Murad P. Harahap atas sumpah menerangkan : -
Bahwa benar pada hari rabu tanggal 2 mei 2001 pukul 01.00 wib telah terjadi pengrusakan barang-barang di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan, dan kejadian tersebut saat sidang perkara Eduardo Horas harahap, yang persidanganya setiap minggu.
-
Bahwa saat kejadian saksi berada di ruang operation room , karena ada pertemuan, dan mendengar suara ribut-ribut, kemudian salah seorang petugas
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Pengadilan Negeri Medan yakni Benapsen Saragih melaporkan kejadian dengan mengatakan bahwa massa menghancurkan barang dan pelakunya adalah satgas PDI-P. -
Bahwa saksi melihat ruang sidang berantakan, dan di ruang sidang tidak ada orang, yang ada di lobi dan terasnya.
-
Bahwa selain barang-barang yang di rusak pada Ruang Utama, juga reng balok pada lokasi asbes ruangan tersebut juga rusak.
-
Bahwa barang-barang yang dirusak tersebut tidak dapat diperbaiki lagi dan menderita kerugian sebesar Rp. 60.000.000.-kerugian tersebut tidak termasuk kerusakan reng balok dimaksud.
-
Bahwa pelaku pengrusakan tersebut adalah pengunjung sidang yang terdiri dari organisasi PDI-P, AMI, dan Pemuda Pancasila.
-
Bahwa saksi membenarkan keterangan pada poin 7 BAP yakni tentang jumlah atau jenis barang-barang yang dirusak tersebut.
-
Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di depan persidangan.
-
Bahwa pihak PDI-P tidak ada minta maaf, walaupun saksi pernah mendatangi satgas PDI-P tersebut.
2. Saksi Benapsen Saragih atas janji menerangkan : -
Bahwa saksi membenarkan keterangannya kepada polisi.
-
Bahwa pada tanggal 02 mei 2001 pukul 01.00 wib telah terjadi pengruskan barang-barang yang ada di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
-
Bahwa pada saat kejadian saksi berada di luar ruangan tersebut, dimana saksi bertugas mengawasi semua ruang sidang.
-
Bahwa saksi mendengar keributan, lalu saksi masuk kedalam ruangan tersebut, dan melihat barag-barang sudah rusak.
-
Bahwa saksi tidak mengetahui keberadaan terdakwa saat kejadiaan.
-
Bahwa saksi melihat Satgas PDIP di luar sebanyak 20 orang.
-
Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di depan sidang.
3. Saksi Samino atas sumpah menerangkan : -
Bahwa saksi membenarkan tanda tangan dan keterangannya pada BAP penyidik.
-
Bahwa benar telah terjadi pengrusakan barang yang ada di dalam ruang utama Pengadilan Negeri Medan, dan pelaku pengrusakan tersebut adalah pengunjung yang terdiri dari 100 orang seragam PDIP yang sat itu semua di dalam ruangan.
-
Bahwa perbuatan tersebut dilakukan setelah sidang ditutup/diundur.
-
Bahwa saat persidangan tersebut saksi di belakang meja Hakimbertugas menjaga mike.
-
Bahwa saksi tidak dapat memastiakan bahwa terdakwa tersebut adalah pelakunya karena pada saat kejadian pelaku pengrusakan tersebut pakai topi dan kaca mata.
-
Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di depan persidangan.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
4. Saksi Ukurta br Sinulingga alias Dewi atas janji menerangkan : -
Bahwa pada hari rabu tgl.2 mei 2001 saksi dan Hotman Sihombing alias Putun ada di ruang sidang dengan posisi duduk berdampingan demikian juga dengan Ucok Piliang duduk berdekatan dengan Hotamn Sihombing tersebut, dan saksi
bersam Hotman Sihombing dan teman-temannya mengikutu
persidangan pembunuhan terhadap Masdinah oleh terdakwa Eduardo horas Harahap. -
Bahwa sat sidang ditunda oleh karena penasihat hukum terdakwa tidak hadir, dan atas penundaan sidang tersebut pengunjung kesal kemudian ribut-ribut.
-
Bahwa setelah melihat ribut-ribut dan pengunjung maju ke depan lalu saksi dan Hotman Sihombing alias Putun berdiri dan menghadang massa dengan merentangkan
kedua
tangan
sambil
terdakwa
Hotamn
sihombing
mengucapkan kata-kata janganlah. -
Bahwa saksi mencabut keterangannya pada BAP poin (7) yang menyebutkan saksi bersam Hotaman sihombing alias Putun telah melakukan pengrusakan barang-barang yang ada di ruang sidang tersebut, dimana keterangan tersebut tidak ada saksi katakan.
-
Bahwa pengunjung saat itu terdiri dari AMI, PP, PDIP, dan terdakwa saat itu memakai seragam PDIP, sedangkan saksi memakai pakaian biasa.
-
Bahwa keterangan pada BAP poin (5) tentang yang menyebutkan motif dilakukannya pengrusakan tersebut, saksi mencabut seluruhnya keterangan pada poin tersebut karean keterangan tersebut tidak benar.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
-
Bahwa saksi tidak kenal dengan nama Mansyah maupun diantara yang banyak yang disebut dalam BAP.
Keterangan terdakwa Hotaman Sihombing alias Putun : -
Bahwa terdakwa tidak keberatan atas keterangan saksi-saksi.
-
Bahwa terdakwa pernah memberikan keterangan di Penyidik, namun tidak mengerti isinya, saat di Penyidik terdakwa dipaksa.
-
Bahwa terdakwa mencabut keterangannya pada BAP dimaksud.
-
Bahwa terdakwa membenarkan tanda tanganya pada tiap-tiap halaman pada BAP tersebut.
-
Bahwa saat pemeriksaan terhadap terdakwa oleh Penyidik ada dilakukan pemaksaan pisik, terdakwa diperiksa dalam suatu ruangan diman di dalm ruangan terdapat kayu dan ada kabel listrik.
-
Bahwa terdakwa ditangkap pada tanggal 4 mei 2001 dan pada malamnya diperiksa dan petugas memberikan kertas buram kepada terdakwa dan menyuruh terdakwa mencoret-coret dan menyebut nama-nama anggota PDIP yang terdakwa kenal.
-
Bahwa setelah sidang ditunda, pengunjung ribut dan menyerbu kedepan, pengunjung mana terdiri dari AMI, PDIP, PP dan masyarakat lalu terdakwa bangkit dan berdiri dan menghadang pengunjung/massa tersebut dengan merentangkan kedua tangan terdakwa dengan maksud untuk supaya pengunjung jangan menyerbu ke depan, namun terdakwa terjatuh.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
-
Bahwa saat terjadi keributan dan pengrusakan barang-barang di ruang sidang tersebut, terdakwa tidak ada melakukan pengrusakan tersebut.
Keterangan saksi Suhartono, SH ( Saksi Verbalisan ) atas sumpah menerangkan bahwa : -
Bahwa benar saksi yang melakukan pemeriksaanterhadap Hotman Sihombing alias Putun dan terhadap Ukurta br Sinulingga alias Dewi.
-
Bahwa setelah dilakukan terhadap Hotman Sihombing alias Putun, langsung dilakukan pemeriksaan.
-
Bahwa untuk pemeriksaan yang pertama terhadap Hotamn Sihombing alias Putun tidak didampingi oleh penasihat hukum, dan pemeriksaan besoknya baru didampingi oleh penasihat hukumnya.
-
Bahwa pemeriksaan dilakukan dengan cara; saksi yang bertanya dan lansung dijawab oleh terdakwa, yang kemudian tanya jawab tersebut dituangkan dalam BAP, dan diberikan 1 lembar kepada yang bersangkutan, setelah dibaca lau ditandatanganinya.
-
Bahwa saksi tidak ada melakukan pemaksan saat melakukan pemeriksaan tersebut.
-
Bahwa saksi melakukan pemeriksaan kepada terdakwa di dalam kamar Reserse Umum dan saat itu di dampingi oleh Kanit.
Konfrontir antara Terdakwa dengan Saksi Suhartono, SH ( Saksi Verbalisan ) : -
Bahwa terdakwa Hotamn Sihombing alias Putun ditangkap pada tangga 4 mei 2001, diperiksa malam-malam, dan diberi kertas buram, dan menyuruh
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
terdakwa coret-coret atau menyebut nama-nama anggota PDIP yang terdakwa kenal, lalu terdakwa menuliskan nama-nama yang dimintakan oleh petugas polisi tersbut. -
Bahwa saat dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, oleh Suhartono, SH, tidak ada pemaksaan, namun saat terdakwa memberikan keterangan dengan jiwa yang tertekan.
-
Bahwa terdakwa mengakui keterangannya pada BAP tersebut.
Saksi Suhartono, SH : -
Bahwa pada saat saksi melakukan pemeriksan terhadap terdakwa, ianya memberikan keterangan secara rilex, dan pemeriksaan dilakukan pada jam kantor.
-
Bahwa Hotaman Sihombing terlebih dahulu membaca isi BAP kemudian menandatanganinya.
-
Bahwa yang pertama kali ditangkap adalah Hotaman Sihombing, lalu melakukan penahanan setelah BAP.
Saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah dan janji yang pada pokoknya sama dengan keterangan dalam Berita Acara yang dibuat oleh Penyidik; Menimbang, bahwa terdakwa dipersidangan telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sama dengan keterangan dalam Berita Acara yang dibuat oleh Penyidik; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur dari pasal 170 (1) KUHPidana, dengan unsurunsur sebagai berikut: Unsur barang siapa : Bahwa dalam hl ini yang dimaksud adalah orang atau badan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, dan dalam perkara ini yang dimaksud adalah terdakwa Hotman Sihombing alias Putun yang dihadapkan ke depan persidangan, dimana terdakwa membenarkan identitasnya sedangkan terhadap tindak pidana yang didakwakan terhadapnya, yakni secara bersama-sama dengan temannya Ukurta br Karo Sinulingga alias Dewi dan Ucok Piliang alias Ucok Padang ( perkara terpisah ) dan temannya yang lain, terng-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap barang inventaris yang ada dalam Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Medan, di depan persidangan semula terdakwa tidak mengakui ada melakukan pengrusakan tersebut, namun terdakwa mengaku ada di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan saat mengikuti persidangan pembunuhan yang dilakukan Eduardo Horas Harahap terhadap Marsinah, dan terdakwa mencabut keterangannya pada BAP tentang perbuatan melakukan pengrusakan tersebut, dan membenarkan tanda tangannya pada tiap-tiap halaman pada BAP, dan alasan terdakwa mencabut keterangannya pada BAP tersebut karena pada saat ianya memberi keterangan tersebut telah dipaksa dimana ianya diperiksa malam-malam tanggal 4 mei 2001, dan diperiksa dalam suatu ruanagan yang di dalam ruangan tersebut berisi kayu, dan kabel listrik, dan saat itu petugas memberikan kertas buram kepada terdakwa dan menyuruh terdakwa mencoret-coret dan menyebut nama-nama anggota PDIP yang terdakwa kenal, dan atas kemungkirannya tersebut terdakwa tidak dapat mengajukan bukti pendukung Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
untuk membenarkan kemungkirannya dimaksud, dan atas kemungkirannya juga telah dihadirkan penyidik yakni saksi Suhartono,SH, dimana saksi menerangkan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, tidak adaa melakukan pemaksaan, dan setelah dilakukan penangkapan langsung dilakukan pemeriksaan, dan untuk pemeriksaan yang pertama terhadap terdakwa Hotaman sihombing alias Putun, tidak didampingi oleh Penasehat Hukum, dan pemeriksaan besoknya baru didampingi Penasehat Hukum, dan pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara saksi yang bertanya dan langsung dijawab oleh terdakwa, kemudian tanya jawab tersebut dituangkan dalam BAP, dan diberikan 1 lembar kepada terdakwa, setelah dibaca lalu ditandatanganinya dan pemeriksaan tersebut dilakukan terhadap terdakwa pada jam kantor, di kamar Reserse Umum didampingi oleh kanit, dan atas keterangan saksi suhartono, SH, ( saksi verbalisan ) tersebut kemudian dikonfrontir dengan terdakwa, dan oleh terdakwa mengatakan bahwa saksi Suhartono, SH tidak ada melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, namun saat terdakwa memberikan keterangan dengan keadaan jiwa tertekan, karena sebelumnya pad malam tanggal 4 mei 2001 setelah terdakwa ditangkap diperiksa malam-malam, dan petugas memberikan kertas buram dan menyuruh mencoret-coret atau menyebut nama-nama anggota Satgas PDIP yang terdakwa kenal; yang akhirnya terdakwa mengakui keterangannya pada BAP tersebut, sedangkan saksi Suhartono,SH mengatakan bahwa sewaktu saksi melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa ianya memberikan keterangan secara rileks dan pemeriksaan di BAP kemudian menandatanganinya, dari uraian tersebut diatas sesuai dengan Yurisprudensi Nomor : 1043 K/Pid/1988 tanggal 19 februari 1988, yang mengatakan : “ Bahwa pencabutan keterangan di muka Penyidik, dengan alasan keterangan tersebutdiberikandalam keadaan dipaksa Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
karena dipukuli, tidak dapat dibenarkan” yang dihubungkan dengan keterangan saksi saksi Ukurta br Karo sinulingga alias Dewi mengatakan didepan sidang: bahwa pada hari rabu tgl.2 mei 2001 saksi dan Hotman Sihombing alias Putun ada di ruang sidang dengan posisi duduk berdampingan demikian juga dengan Ucok Piliang duduk berdekatan dengan Hotamn Sihombing tersebut, dan saksi bersam Hotman Sihombing dan teman-temannya mengikutu persidangan pembunuhan terhadap Masdinah oleh terdakwa Eduardo horas Harahap, bahwa saat sidang ditunda oleh karena penasihat hukum terdakwa tidak hadir, dan atas penundaan sidang tersebut pengunjung kesal kemudian ribut-ribut, bahwa setelah melihat ribut-ribut dan pengunjung maju ke depan lalu saksi dan Hotman Sihombing alias Putun berdiri dan menghadang massa dengan merentangkan kedua tangan sambil terdakwa Hotman Sihombing mengucapkan kata-kata “janganlah”, bahwa saksi mencabut keterangannya pada BAP poin (7) yang menyebutkan saksi bersama Hotaman Sihombing alias Putun telah melakukan pengrusakan barang-barang yang ada di ruang sidang tersebut, dimana keterangan tersebut tidak ada saksi katakan, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut di atas, terdapat perbedaan didepan persidangan dengan keterangannya di BAP, yakni tentang pelaku pengrusakan dimaksud, perbedaan mana adalah dikarenakansaksisaksi mencabut atau menarik keterangannya pada BAP tersebut, namun pencabutan atau menarik keterangan saksi-saksi tersebut, tidak memberikan alasan untuk menguatkan penarikan atau pencabutan keterangan tersebut, oleh karena mana sksi-saksi membenarkan tanda tangannya pada BAP, dan sebelum membubuhkan tanda tangannya pada Bap terlebuh dahulu membaca keterangannya dimaksud, dengan demikian keterangan saksisaksi yang benar adalah keterangannya pada BAP, yang menyebutkan bahwa pelaku Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
pengrusakan terhadp barang-barang di ruang sidang Utama tersebut adalah terdakwa dan Ukurta br karo sinulingga alias Dewi dengan temannya yang lain yang dihubungkan lagi dengan keterangan saksi H. Ali Murad P. Harahap, SH, saksi Benapsen Saragih, saksi Samino yang menyatakan bahwa pelaku pengrusakan barang-barang di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan adalah anggota Satgas PDIP, yang saat itu memakai seragam/atribut PDIP. Pada uraian terbukti secara sah dan meyakinkan. Unsur terang-terangan : Bahwa yang dimaksud dengan terang-terangan ini adalah di tempat umum atau di muka umum, dimana tempat terjadinya pengrusakan tersebut adalah di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan, dimana tempat tersebut setiap persidangan dapat dikunjungi para pengunjung sehingga temapt tersebut termasuk di muka umum; yang dihubungkan dengan keterangan saksi H. Ali Murad P. Harahap, SH, saksi Benapsen Saragih; saksi Samino; saksi Ukurta br Sinulingga alias Dewi yang masing-masing menerangkan bahwa benar tempat terjadinya pengrusakan barang-barang adalah di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan, dan pelakunya adalah pengunjung sidang saat persidangan Eduardo Horas Harahap, dan setelah sidang ditunda karena Penasehat Hukum terdakwa tidak hadir lalu pengunjung sidang ribut kemudian melakukan pengrusakan atas barangbarang di ruang sidang tersebut, demikian juga halnya terdakwa Hotman Sihombing alias Putun menerangkan bahwa terjadinya pengrusakan tersebut adalah di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Medan, dan pelakunya adalah pengunjung, dan pada mulanya terdakwa tidak mengakui ianya ada melakukan pengrusakan tersebut, namun pada akhirnya ia mengakui setelah menghadirkan saksi Suhartono SH ( saksi verbalisan ). Dari uraian Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
tersebut Unsur dengan Terang-terangan atau di muka umum telah terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan. Unsur dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap barang berupa : 1 ( satu ) unit papan penutup ruang sidang, 1 ( satu ) unit bingkai dan tulisan tata tertib persidangan terbuat dari kayu, 17 unit kursi panjang pengunjung sidang, 1 ( satu ) unit detektor pintu masuk ruang sidang, 2 ( dua ) unit kursi sidang terdakwa, 2 ( dua ) unit tiang bendera merah putih dan bendera pengayom, 2 ( dua ) unit speaker pengeras suara, 5 ( lima ) unit mikrophone, 4 ( empat ) unit daun jendela kaca nacoVentilasi, 4 ( empat ) unit kursi sidang hakim, 6 ( enam ) unit tiang penyangga microphone, 2 ( dua ) lembar kain laken penutup alas meja sidang dan meja jaksa penuntut umum; bahwa dalam hal ini telah terjadi pengrusakan terhadap barang tersebut dilakukan oleh pengunjung sidang perkara pembunuhan yang dilakukan oleh Eduardo horas Harahap terhadap Masdaniah pada hari rabu tanggal 2 mei 2001 pukul 14.00 wib, dan sesuai dengan dengan keterangan Ukurta br Sinulingga, keterangan saksi mana yang benar adalah keternagnnya pada Bap, yang mengatakan bahwa pelaku pengrusakan barang-barang yang ada di ruang sidang utama tersebut adalah terdakwa Hotman Sihombing alias Putun bersama temannya yang lain serta saksi Ukurta br Sinulingga alias Dewi tersebut; yang dihubungkan lagi dengan keterangan saksi H. Ali Murad P. Harahap, SH, saksi Benapsen Saragih yang masing-masing menerangkan bahwa pelaku pengrusakan atas barang-barang yang ada di ruang sidang utama tersebut adalah pengunjung dari Satgas PDIP yang sebagian pakai seragam/atribut satgas PDI-P, dan barang-barang yang dirusak tersebut tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga Pengadilan Negeri Medan menderita kerugian sebesar Rp. 60.000.000.- dan oleh saksiAgus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan oleh Majelis Hakim di depan persidangan, demikian juga terdakwa Hotman Sihombing alias Putun membenarkan barang bukti yanag diperlihatkan oleh Majeleis hakim di depan persidangan tersebut, namun pada mulanya terdakwa tidak mengaku ada melakukan pengrusakan dimaksud, dan terdakwa mangkir dari keterangannya pada BAP yang mengatakan bahwa pada hari rabu tanggal 2 mei 2001 pukul 14.00 wib terdakwa bersam temnnya yang lain, telah melakukan pengrusakan barang-barang berupa : kursi panjang untuk tamu, seluruh kursi dan meja yang ada di ruang sidang, papan penutup ruang sidang dan barang lainnya yang ada di ruang sidang tersebut, dan penyebab terjadinya pengrusakan tersebut karena diundurkannya sidang pembunuhan yang dilakukan Eduardo Horas Harahap terhadap Marsinah, dengan alasan kemungkinan terdakwa atas keterangannya pada Bap tersebut oleh karena keterangan tersebut diberikannya dengan dipaksa, dan atas kemangkiran terakwa tersebut telah dihadirkan saksi Suhartono SH ( saksi verbalisan ), yang kemudian keterangan terdakwa dan saksi verbalisan dikonfrontir, yang akhirnya terdakwa mengakui keterangannya pada BAP tersebut di atas, dengan demikian Unsur dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap barang telah terbukti secara sah meyakinkan. Menimbang, bahwa oleh karena itu terdakwa dinyatakan terbukti secra sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana sebagaimana disebutkan pada amar putusan ini; Menimbang, bahwa Majelis Hakim dalam persidangan tidak menemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan karena itu terdakwa harus dijatuhi pidana; Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Menimbang, bahwa karena terdakwa berada dalam tahanan, maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan memerintahkan pula agar terdakwa tetap berada dalam tahanan; Menimbang, bahwa mengenai barang bukti yang diajkan oleh Penuntut Umum di persidangan akan ditetapkan dalam amar putusan di bawah ini; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara ini ; Menimbang, bahwa sebelumnya terdakwa dijatuhi pidana perlu, dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan ; Yang memberatkan : Bahwa perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian keuangan negara yang ada di bawah pengelolaan Pengadilan Negeri Medan
Yang meringankan : 1. Bahwa terdakwa bersikap sopan di depan persidangan 2. Bahwa terdakwa belum pernah dihukum Menimbang, bahwa dengan mempertimbangkan segala sesuatu yang termuat dalam berita acara persidangan ini dianggap merupakan bagian yang tidak terlepas dari putusan ini. Mengingat pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan. MENGADILI
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Menyatakan bahwa terdakwa Hotman Sihombing alias Putun tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : Di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 4 ( empat ) bulan 26 ( dua puluh enam ) hari Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; Menetapkan terdakwa tetap ditahan; Memerintahkan agar barang bukti berupa : a. 1 ( satu ) unit papan penutup pintu ruang sidang b. 1 ( satu ) unit bingkai dan tulisan tat tertib persidangan c. 17 ( tujuh belas ) unit kursi panjang pengunjung sidang d. 1 ( satu ) unit detektor pintu masuk ruang sidang e. 2 ( dua ) unit kursi terdakwa f. 2 ( dua ) unit meja sidang Jaksa Penuntut Umum g. 2 ( dua ) unit tiang bendera merah putih dan bendera pengayom h. 2 ( dua ) unit speaker pengeras suara i.
5 ( lima ) unit mikrophone
j.
4 ( empat ) unit jendela ventilasi
k. 4 ( empat ) unit kursi sidang hakim l.
6 ( enam ) unit tiang penyangga mikrophone
m. 2 ( dua ) lembar kain laken penutup alas meja sidang dan meja JPU Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1000.( seribu rupiah ). Demikianlah diputus dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan pada hari SELASA tanggal 12 Maret 2002 oleh kami JAMES BUTAR-BUTAR,SH sebagai Hakim Ketua, ARIFIN SANI, SH dan W.PARDAMEAN, SH masing-masing sebagai Hakim-Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Hakim Ketua didampingi Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh ELVY LUBIS Panitera Pengganti, dihadiri oleh ARBINE SITUMORANG,SH Penuntut Umum dihadapan terdakwa maupun Penasehat Hukum.
Hakim Anggota
Hakim Ketua
d.t.o
d.t.o
ARIFIN SANI, SH
JAMES BUTAR-BUTAR, SH
d.t.o W. PARDAMEAN, SH
Panitera Pengganti d.t.o ELVY LUBIS b.2. Analisis Kasus Berdasarkan kasus dengan register nomor : 1444 /Pid. B/ 2001 /PN. Medan yang menjadi bahan hukum dalam penulisan skripsi ini, yang bersumber dari Pengadilan Negeri Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Medan terkait tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ). Berdasarkan kasus ini, maka penulis akan memberikan tanggapan dan analisa sebagai berikut : 1. Bahwa syarat formil dari putusan pidana tersebut telah terpenuhi secara sah berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf (a) jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP yakni dua syarat surat dakwaan, yakni : a. Harus memuat syarat formil Syarat formil memuat hal-hal yang berhubungan dengan : 1) Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh jaksa Penuntut Umumm/Jaksa 2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka b. Syarat materil Syarat materil memuat dua unsur yang tidak boleh dilalaikan : 1) Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan 2) Dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan ( tempus delicti dan locus delicti) 38 2. Alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan telah sesuai menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo Pasal 183 KUHAP, diantaranya : Adanya keterangan saksi yaitu : H. Ali Murad P. Harahap, SH, saksi Benapsen Saragih; saksi Samino; saksi Ukurta br Sinulingga alias Dewi, Suhartono, SH, dan adanya
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
keterangan terdakwa yaitu Hotman Sihombing
yang
mengakui dan menyesali
perbuatannya. Selain itu di depan persidangan di ajukan barang bukti berupa barang-barang inventaris Pengadilan Medan yang telah dirusak terdakwa bersama teman-temannya berupa: 1 ( satu ) unit papan penutup ruang sidang, 1 ( satu ) unit bingkai dan tulisan tata tertib persidangan terbuat dari kayu, 17 unit kursi panjang pengunjung sidang, 1 ( satu ) unit detektor pintu masuk ruang sidang, 2 ( dua ) unit kursi sidang terdakwa, 2 ( dua ) unit tiang bendera merah putih dan bendera pengayom, 2 ( dua ) unit speaker pengeras suara, 5 ( lima ) unit mikrophone, 4 ( empat ) unit daun jendela kaca nacoVentilasi, 4 ( empat ) unit kursi sidang hakim, 6 ( enam ) unit tiang penyangga microphone, 2 ( dua ) lembar kain laken penutup alas meja sidang dan meja jaksa penuntut umum. 3. Unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwaan kepada terdakwa yaitu pasal 170 ayat (1) KUHPidana pada dakwaan pertama dari Penuntut Umum terbukti scara sah dan meyakinkan, yang unsur-unsurnya sebagai berikut : a. Barang siapa b. Dengan terang-terangan c. Dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap barang Pada prinsipnya perbuatan yang dilakukan terdakwa dapat dikualifikasikan sebgai suatu tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Tindakan yang dilakukan terdakwa telah merendahkan martabat peradilan sebagai benteng terakhir mencari keadilan. Hal inilah yang menjadi kendala diakibatkan belum adanya ketentuan
38
M. Yahya Harahap ( 1988 ). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I. Jakarta: Pustaka Kartini, hal. 419. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
secara spesifik tentang perbuatan yang dianggap sebagai suatu tindakan peleehan terhadap peradilan ( contempt of court). 4. Bahwa dalam persidangan perkara ini Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf sehingga Majelis hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepadanya. 5.
Bahwa
dalam
menjatuhkan
hukuman
hakim
telah
memperhatikan
pertimbangan-petimbangan sebagai berikut : a. Hal-hal yang memberatkan : Bahwa perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian keuangan negara yang ada di bawah pengelolaan Pengadilan Negeri Medan b. Hal-hal yang meringankan : 1) Bahwa terdakwa bersikap sopan di depan persidangan 2) Bahwa terdakwa belum pernah dihukum 6. Bahwa pemeriksaan sidang terhadap kasus terdakwa merupakan sidang terbuka untuk umum sehingga dalam hal ini penerapan terhadap sidang tersebut telah sisuai Pasal 153 ayat (3) KUHAP jo. Pasal 153 ayat (4) KUHAP yakni mengatur prinsip pemeriksaan sidang di pengadilan yang menentukan pemeriksaan sidang pengadilan mulai awal pembukaan sidang sampai akhir persidangan harus dinyatakan terbuka untuk umum yang dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP mengancam apabila dalam pemeriksaan persidangan tidak dinyatakan terbuka untuk umum akan mengakibatkan batalnya pemeriksaan dan putusan batal demi hukum. Sedangkan menurut Pasal 195 KUHAP yang berisi : Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
“ Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum” Berdasarkan ketentuan dalam pasal 195 KUHAP tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sahnya suatu putusan serta mempunyai kekuatan hukum, harus diucapkan di sidang pengadilan terbuka untuk umum. Semua putusan tanpa kecuali harus diucapakan dalam sidang yang terbuka untuk umum 39. 4. Penanganan Oleh Lembaga Pemasyarakatan Penegakan hukum ( acara ) pidana sebagai suatu sistem harus merupakan suatu kesatuan aparat penegak hukum yang bertugas menindak para pelanggar hukum. Pemasyarakatan merupakan bagian yang paling akhir dari sistem pemidanaan dalam tata atau sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan pemidanaan terakhir, sudah semestinya dalam tingkatan ini harus dapat diupayakan tercapainya tujuan pemidanaan. Dalam kaitannya dengan tindakan pelecehan terhadap peradilan, strategi pemasyrakatan dapat dilihat dalam kerangka suatu criminal justice system. Strategi pemasyarakatan dalam lembaga pemasyarakatan tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu rangkaian lanjutan dalam pelaksanaan penegakan hukum yang panjang. Pada prinsipnya lembaga pemasyarakatan bertujuan agar nantinya terdakwa yang telah diputus oleh peradilan bersalah, apabila ia telah dikembalikan kemasyarakat dapat kembali seperti sebelum terdakwa menjalani proses hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB V UPAYA PENANGGULANGAN TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PERADILAN ( CONTEMPT OF COURT )
Kejahatan atau tindakan kriminal merupakan salah satu bentuk dari prilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Menurut Dr. Saparinah Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan dan keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangaan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan di samping merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan masalah sosial 40. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah saosial termasuk mangatasi masalah sosial dalam bidang kebijakan
39
M. Yahya Harahap ( 1988 ). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, hal. 901.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
penegakan hukum. Di samping itu karena tujuananya adalah untuk mencapai kesejahteraan masayarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha rasional untukmencapai kesejahteraan masyarakat 41. Tidak absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Prof. Dr. Muladi , SH menyampaikan bahwa dalam usaha penaggulangan kejahatan, politik kriminal membagai dalam berbagai bentuk. Bentuk yang pertama adalah bersifat represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem peradilan pidana ( criminal justice system ). Dalam hal ini secara luas sebenarnya mencakup pula proses kriminalisasi. Yang kedua berupa usaha-usaha prevention without punishment ( tanpa menggunakan sarana penal ) dan yang ketiga adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui media massa secara luas 42. Menurut G.P. Hoefnagels upaya penaggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: a. Penerapan hukum pidana ( criminal law application ) b. Pencegahan tanpa pidana ( prevention without punishment ) dan c. Memnuhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa ( influencing views of society on crime and punishment/mass media) 43. 40
Muladi dan Barda Nawawi Arief ( 1998 ). Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, hal.148. 41 Ibid.,hal.149. 42 Muladi ( 1992 ). Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: alumni, hal.8. 43 Barda Nawawi Arief ( 1996 ). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit PT. Citra aditya Bakti, hal. 48. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Upaya penaggulangan kejahatan tersebut secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” ( hukum pidana ) dan jalur “ non penal” ( bukan/di luar hukum pidana ). Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal” 44. Secara kasar dapat dibedakan bahwa upaya penggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat represif (Penindasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif ( pencegahan/penagkalan) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kaar dikarenakan tindakan represif pada hakekatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas 45. Mengingat upaya penaggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan diantaranya : 1.
Kurang sempurnya peraturan perundang-undangan yang mengtur tindakan pelecehan terhadap peradilan
2.
Kurangnya kepercayaan publik terhadap dunia peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan
44 45
Ibid, hal. 48. Sudarto ( 1981 ).Kapita selekta Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru, hal. 118.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
3.
Rendahnya budaya hukum ( legal culture ) masyarakat Indonesia yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.
Dengan demikian, dalam upaya merumuskan kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan secara konseptual dapat dilakukan melalui sarana-sarana: A. Upaya Preventif Kebijakan awal dan mendasar untuk menanggulangi terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) adalah dengan sarana non-penal ( prevention without punishment ). Penegakan hukum secara preventif ini dapat dilakukan dengan sistem kontrol, supervisi, memberi kemudahan dan penghargaan ( reward ) bagi mereka yang menjalankan dan menaati hukum. Penegakan hukum secara preventif ini mengandung makna menegakkan hukum dari kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Itulah sebabnya dalam pengertian penegakan hukum dimasukkan juga pengertian kemungkinan melanggar atau melawan hukum. Usaha-usaha non-penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat. Usaha-usaha non penal ini meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dalam hal mencegah terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) dapat dilakukan dengan jalan :
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
1.
Memformulasikan hal-hal tentang kewenangan yuridis ( kompetensi) aparat penegak hukum dalam bentuk perundang-undangan yang berfungsi sebagai payung hukum
2.
Mengadakan suatu
kegiatan
berupa seminar
yang
bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya hukum. Di samping itu diadakan penyuluhan hukum sehingga masyarakat mengetahui perkembangan hukum di tanah. 3.
Mengadakan eksaminasi terhadap produk dan kinerja peradilan sebagai wujud kontrol terhadap kinerja peradilan di tanah air.
4.
Mengadakan reformasi birokrasi di dalam lembaga penegak hukum pada umumnya dan peradilan pada khususnya. Sehingga peradilan mempunyai wibawa di mata masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) sarana non-penal memegang peranan penting. Sehingga upaya ini harus diefektifkan dan dioptimalkan.
B. Upaya Represif Penaggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya “older philosophy of crime
school”.
Dilihat
sebagai
suatu
masalah
kebijakan,
maka
ada
yanag
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana 46. Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menaggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundangundangan selama ini yang menunjukkan bahwa pengguanaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan politik hukum yang dianut Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-oleh eksistensinya tidak lagi dipermasalahkan. Dalam upaya penaggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan dengan upaya penal merupakan penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional tersebut terdiri dari 3 ( tiga ) tahap. Adapun tahapan tersebut adalah : 1. Tahap Formulasi Merupakan tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan yang baik. 2. Tahap Aplikasi Merupakan tahap penegakan hukum pidana ( tahap penerapan hukum hukum pidana ) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan
46
Barda Nawawi arief. Op.cit., hal 149.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undangundang. 3. Tahap Eksekusi Merupakan tahap penegakan ( pelaksanaan ) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
BAB VI P E N U T U P
A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan dan penelitian terhadap permasalahan yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis akhirnya sampai pada suatu kesimpulan dari pembahasan dan penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam poin-poin sebagai berikut : 1. Tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ) adalah suatu mekanisme hukum yang pertama kali timbul dalam sistem Common Law dengan case lawnya, diantaranya adalah Inggris dan Amerika Serikat. Menurut sejarah, Contempt atau penghinaan merupakan perbuatan dalam menentang setiap perintah langsung raja atau setiap penentangan langsung kepada raja atau perintahnya. Sejak tahun 1742, Inggris telah menerapkan Contempt of Court dengan adanya doktrin pure streams of justice yang dianggap sebagai dasar untuk memberlakukan Contempt of Court yang selanjutnya pada tahun 1981 diadakan pembaruan dengan diterapkannya Contempt of court Act 1981. Amerika Serikat pertama kali diundangkan Contempt of Court ialah pada tahun 1789. Istilah Contempt of Court pada dasarnya mempunyai ruang lingkup dan variasi yang sangat luas sehingga tidak mudah untuk menjelaskan bentuk dan karakteristik
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
perbuatan yang dapat dikategorikan suatu Contempt of Court. Menurut Oemar Seno Adji terdapat 5 ( lima ) bentuk konstitutif dari Contempt of Court, yaitu : a. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap peradilan dilakukan dengan pemberitahuan atau publikasi ( sub judice rule ). b. Tidak memenuhi perintah peradilan (disobeying the court order ) c. Mengacaukan peradilan ( obstructing justice ) . d. Menyerang integritas dan impartialitas peradilan (scandalizing the court) e. Tidak berkelakuan baik dalam pengadilan ( misbehaving in court ) Perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ) pada prinsipnya dapat dilakukan di dalam ruang persidangan dan dapat juga dilakukan di luar persidangan. Dalam beberapa kasus dapat kita lihat seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Sidoarjo. Pelecehan tersebut dilakukan di dalam ruang persidangan dan telah mencoreng wibawa peradilan Indonesia. Insiden ini berakibat terbunuhnya seorang hakim di ruang persidangan. 2. Dalam hal penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali, yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan,
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat. Hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung “Local Characteristics” seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum Disadari ataupun tidak, modernisasi dan globalisasi memang dapat menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum. Meski demikian masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yang berdampak positif ataupun negatif terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto, adalah sebagai berikut : a.
Faktor hukum itu sendiri yaitu Undang-undang
b.
Faktor penegak hukum yaitu pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
c.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d.
Faktor masyarakat atau lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
e.
Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil cipta dan rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Diantara faktor-faktor tersebut di atas, maka faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebabkan oleh karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap kebijakan hukum pidana yang dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum. 3. Dalam upaya penanggulangan terjadinya tindakan pelecehan tehadap peradilan ( Contempt of Court ) secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” ( hukum pidana ) dan jalur “ non penal” ( bukan/di luar hukum pidana ). Pada dasarnya dapat dibedakan bahwa upaya penggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat represif (Penindasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada siafat preventif ( pencegahan/penagkalan) sebelum kejahatan terjadi. Mengingat upaya penaggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menagani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ). Sehingga diupayakan tindakan untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court). Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan diantaranya : a.
Kurang sempurnya peraturan perundang-undangan yang mengtur tindakan pelecehan terhadap peradilan
b.
Kurangnya kepercayaan publik terhadap dunia peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan
c.
Rendahnya budaya hukum ( legal culture ) masyarakat Indonesia yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.
Dalam upaya penaggulangan terhadap terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ) dengan upaya penal merupakan suatu bentuk upaya penegakan hukum ( law enforcement ) dengan menggunakan hukum pidana. Dalam praktisnya akan dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu: a. Tahap Formulasi Merupakan tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan yang baik. Dalam kaitannya dengan upaya merumuskan suatu Undang-undang yang mengatur khusus tentang tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ) sesuai dengan perintah yang tersirat dalam ketentuan Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir ke-4 alinea Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
ke-4 hingga sat ini belum terlaksana. Hal ini menyebabkab kurangnya salah satu elemen dalam penegakan hukum yaitu substansi hukum ( legal substance), walaupaun pengaturannya ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan KUHAP. Hal ini diakibatkan karena ketentuan perundang-undangan yang ada belum bisa secara efektif di gunakan pada tingkatan aplikasi dan eksekusi karena masih jauh dari yang diharapakan. b.Tahap Aplikasi Merupakan tahap penegakan hukum pidana ( tahap penerapan hukum hukum pidana ) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undangundang.
c. Tahap Eksekusi Merupakan tahap penegakan ( pelaksanaan ) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankan tugasnya harus berpedomn kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang (legislatur ) dan nilai-nilai keadilan serta daya guna. B. Saran
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Berdasarkan hasil penelitian dalam penulisan skripsi yang telah penulis uraikan dalam kesimpulan di atas, maka penulis juga mempunyai saran-saran dan harapan yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana dalam upaya penaggulangan tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Adapun saran-saran dari penulis akan diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut : 1.
Sebaiknya perlu dibuat suatu peraturan yang mengatur tentang tindakan
pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ).
Pengaturan tentang tindakan
pelecehan terhadap peradilan ( Contemp of Court ) harus dibuat dalam suatu Undangundang tersendiri. Hal ini diperlukan sebagai suatu langkah progresif dalam proses penegakan hukum di tanah air. Adapun pertimbangan utama adalah karena selama ini menjadi suatu kendala bagi aparat penegak hukum dalam menangani tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ). Belum adanya suatu batasan yang jelas karena pengaturan yang ada sekarang masih bersifat umum seperti yang diatur dalah KUHP. 2. Aparat penegak hukum diharapkan meningkatkan profesionalisme dan segera melakukan reformasi birokrasi dari segi internal. Khususnya lembaga peradilan, sangat sensitif terhadap protes dan reaksi atas kinerjanya terutama dalam menangani kasus-kasus yang penting. Hal ini dapat kita lihat seperti putusan dari lembaga peradilan dalam kasus Adelin Lis di Medan. Kinerja aparat penegak hukum merupakan suatu aspek penting dalam proses penegakan hukum. 3. Kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum perlu ditingkatkan. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat merupakan aspek penting dalam proses penegakan hukum ( law enforcement ). Tanpa adanya budaya hukum yang baik dari masyarakat ( legal Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
culture), perundang-undangan yang baik ( legal substance) dan aparat penegak hukum yang profesional ( legal structure ) tidak dapat befungsi dengan baik. Peningkatan kesadaran masyarakat merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan terhadap terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan. 4. Apabila kita melihat akar permasalahan timbulnya tindakan pelecehan terhadap peradilan adalah karena kurang puasnya masyarakat terhadap badan peradilan yang di konkritisasi dari bentuk putusan yang dihasilkan. Ketidakpuasan ini berdampak kepada rendahnya rasa hormat masyarakat terhadap peradilan. Sehingga perlu adanya suatu bentuk pengawasan baik secara internal maupun eksternal terhadap lembaga peradilan. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan melakukan eksaminasi terhadap putusan yang dibuat oleh hakim terhadap suatu perkara di pengadilan. Pengujian ini dapat dilakukan secara internal ataupun oleh sebuah lembaga independen yang mempunyai integritas dan kapabilitas dalam hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Arief, Nawawi, Barda ( 1996 ).Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Arief, Nawawi, Barda ( 1996 ). Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penaggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Aspandi, Ali ( 2002 ). Menggugat Sistem Peradilan Indonesia yang Penuh Ketidakpastian. Surabaya : LeKSHI dan Luthfansah Mediatama. Bungin, Burhan ( 2003 ). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Raja Garfindo Persada. Bryan A. Garner ( 1999). Black’s Law Dictionary. Fifth Edition, West Publishing Co. Chazawi, Adami ( 2002 ). Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Grafindo. Effendy, Marwan ( 2005 ). Kejaksaan RI. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gultom, Binsar ( 2006 ). Pandangan Seorang Hakim Penegakan Hukum di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press. Hamzah, Andi., Bambang Waluyo ( 1989 ).Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Peradilan ( Contempt of Court ). Jakarta: Sinar Grafika. Lubis, Solly ( 1989 ). Serba Serbi Politik dan Hukum. Bandung: Mandar Maju. Manan, Bagir ( 2005 ). Sistem Peradilan Berwibawa ( Suatu Pencarian ). Yogyakarta: FH UII Press. Mardjono Reksodiputro( 1994 ). Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi ). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Mertokusumo, Soedikno ( 1999 ). Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty Moleong, Lexy ( 1999 ). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muladi( 1995 ).Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Muladi ( 1997 ). Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit UNDIP. Muladi, Barda Nawawi Arief ( 1992 ). Teori-Teori Kebijakan dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Muladi, Barda Nawawi Arief ( 1992 ). Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Soedarto ( 1981 ). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: alumni Soedarto ( 1983 ). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru. Soekamto, Soedjono ( 1983 ). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soekamto, Soerjono ( 1986 ). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soenaryo, Sidik ( 2005 ). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press. Waluyo, Bambang ( 1996 ). Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Garafika. II. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang RI No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Undang-undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000 tentang Prog. Pembangunan nasional Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) Kitab Undang-undang Hukum Acara Hukum Pidana ( KUHAP ) III. Internet http://hukumonline.com http:// pemantauperadilan.com
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009
Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008. USU Repository © 2009