Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
KEBIASAAN MAKAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MOTAN (Thynnichthys polylepis) DI WADUK KOTOPANJANG, RIAU Asyari dan Khoirul Fatah Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 17 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 27 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011
ABSTRAK Ikan motan (Thynnichthys polylepis) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di Kabupaten Kampar. Ikan motan di Waduk Kotopanjang termasuk jenis ikan yang dominan dan digemari masyarakat. Penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan biologi reproduksi dilakukan pada bulan Agustus sampai Nopember 2009. Penelitian ini dilakukan melalui metode survei dengan pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling. Untuk mengetahui kebiasaan makan digunakan metode Indeks Preponderan, kematangan gonad diamati secara morfologi dan penentuan fekunditas dihitung dengan metode gravimetrik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ikan motan tergolong jenis ikan herbivora dengan pakan utama makrofita 49,9%, pakan pelengkapnya adalah phytoplankton 22,6% dan detritus 17,4%, dan pakan tambahan terdiri atas protozoa 0,8%, rotifera 0,5%, dan crustaceae 0,4%. Selain itu makanan yang tak teridentifikasi 8,4%. Ikan motan memijah secara bertahap (parsial) dimulai pada bulan Nopember. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198 butir dengan diameter telur pada kisaran antara 0,31-0,90 mm, serta indeks kematangan gonad antara 6,65-17,56%. KATA KUNCI:
Kebiasaan makan, biologi reproduksi, motan, Waduk Kotopanjang
ABSTRACT:
Food habit and biology reproduction of motan (Thynnichthys polylepis) in Kotopanjang Reservoir, Riau. By: Asyari and Khoirul Fatah
Motan (Thynnichthys polylepis) is one of fish species having the economically important value in Kampar Regency. In Kotopanjang Reservoir motan is a kind of fish which is dominant and it is liked by the people. The objectives of the research were to get data and information of food habit and the biology reproduction such as gonadal maturity, fecundity, and egg diameter has been carried out on August to November 2009. The research is done with the survey method, meanwhile the samples taken by purposive sampling. Food habit can used an index of preponderance method, the gonadal maturity is used by the morphology, meanwhile fecundity is counted by gravimetric. The result of the research shows that motan is belong to a herbivore fish with a mean food macrophyta of 49.9% as a mean food, phytoplankton of 22.6% and detritus of 17.4% as complement food. Meanwhile the addition food such as protozoa of 0.8%, rotiferas of 0.5% and crustaceae of 0.4%. Beside that, the unidentify part is 8.4%. Motan spawning by partial which is started on November. Fecundity of motan shows that the total egg varied between 25,360-61,198 with egg diameter is between 0.31-0.90 mm. Meanwhile index maturity of gonads is between 6.15-17.56 %. Based on the aspects some water quality. KEYWORDS:
food habit, biology reproduction, motan, Kotopanjang Reservoir
PENDAHULUAN Waduk Kotopanjang merupakan waduk baru yang dibangun pada tahun 1996, terjadi akibat dibendungnya Sungai Kampar Kanan dan Sungai Mahat. Luas daerah tangkapan air (cacthment area) diperkirakan mencapai 3.337 km2 dengan luas genangan sekitar 12.400 ha atau 124 km2 pada waktu air tinggi (Anonimous, 1996). Karakteristik keanekaragaman sumber daya ikan di Waduk Kotopanjang hampir sama dengan sungai yang menjadi sumber air utamanya, yaitu Sungai Kampar Kanan, Sungai Mahat, Sungai Tiwi, Sungai Takus, Sungai Osang, dan Sungai Gulamo. Menurut Nurfiarini et al. (2009) keragaman jenis ikan di Waduk Kotopanjang mencapai 24 spesies, beberapa di antaranya merupakan ikan yang dominan tertangkap di perairan waduk, yaitu jenis ikan barau atau kebarau (Hampala macrolepidota), motan,
baung (Mystus nemurus), siban (Cyclocheilichthys apogon), toman (Channa micropeltes), kalui (Osphronemus gouramy), katung (Pristolepis grooti), kapiek (Barbodes schwanenfeldi), paweh (Osteochilus hasselti), toakang (Helostoma temmincki), dan tapah (Wallago miostoma). Di antara berbagai jenis ikan tangkapan tersebut, ikan baung, toman, tabengalan (Puntius bulu), dan tapah merupakan ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan motan merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di Kabupaten Kampar, ditemukan di habitat-habitat danau, sungai, dan perairan umum lainnya. Di Riau dapat dijumpai di Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Siak, dan Sungai Indragiri (Hamidy et al., 1983). Ciri morfologis ikan motan sebagai berikut (Gambar 1) mempunyai sisik berwarna putih keperakan, ukuran
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
panjang lebih besar daripada ukuran tinggi tubuhnya, dan bentuk bilateral simetris. Kepala meruncing, mulutnya terletak di ujung depan kepala atau agak ke bawah dan kecil, moncongnya dapat ditonjolkan ke depan, tapi tidak ada bibir atas dan rahang bawah. Lipatan bibir yang kecil pada sudut rahang, overculum mempunyai kelopak yang besar, garis rusuk lurus dan memanjang ke tengah-tengah ekor, sirip dorsal kecil, dan terletak sejajar dengan sirip ventral. Memiliki tidak lebih delapan ruji bercabang, tapi
Gambar 1. Figure 1.
tidak mempunyai sisir insang. Gelembung renang terdiri atas dua bagian, di mana bagian belakang lebih kecil dari bagian depan (Mohsin & Ambak, 1992). Ikan motan tergolong famili Cyprinidae dan klasifikasi selengkapnya menurut Kottelat et al. (1993) adalah phylum Chordata, kelas Pisces atau Teleostei, ordo Cypriniformes, famili Cyprinidae, genus Thynnichthys, dan species Thynnichthys polylepis.
Bentuk morfologi ikan motan di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau Morphological pattern of motan at Kotopanjang Reservoir, Riau Province
Makanan bagi ikan dapat merupakan faktor yang menentukan populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan, Macam makanan satu spesies ikan tergantung pada umur, tempat, waktu, dan alat pencernaan dari ikan itu sendiri (Effendie, 1992). Pakan ikan secara ekologis merupakan hal yang utama dalam mempengaruhi penyebaran ikan khususnya ikan air tawar (Macpherson, 1981). Dengan mengetahui makanan atau kebiasaan makan satu jenis ikan dapat dilihat hubungan ekologi antara ikan dengan organisme lain yang ada di suatu perairan, misalnya bentukbentuk pemangsaan, saingan, dan rantai makanan (Effendie, 1992). Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari suatu siklus hidup organisme, dengan mengetahui biologi reproduksi ikan dapat memberikan keterangan yang berarti mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas, frekuensi dan musim pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad dan memijah (Nikolsky, 1963). Aspek kebiasaan makan dan biologi reproduksi ikan motan sejauh ini belum banyak diteliti dan dilaporkan, oleh sebab itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan indeks kematangan gonad dari ikan motan, sehingga diharapkan jadi masukan untuk pengelolaan ikan ini di masa mendatang.
BAHAN DAN METODE Data dan informasi dikumpulkan pada bulan Agustus, Oktober, dan Nopember 2009 dengan metode survei secara langsung di lapangan dan analisis di laboratorium. Contoh ikan didapat dari hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap jaring insang (gillnet). Pengambilan contoh dilakukan pada beberapa lokasi yaitu Dam site (lokasi pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang), Jembatan 1 (Desa Tanjung Alai), Jembatan 2 (Sungai Gulamo), Desa Batu Besurat, dan Desa Muara Takus (Gambar 2). Ikan motan yang tertangkap diukur panjang dan bobot tubuhnya. Untuk menentukan kebiasaan makan ikan, diambil organ pencernaannya yaitu lambung dan usus (Gambar 3). Jenis dan jumlah makanan dianalisis dengan metode indeks bagian terbesar (index of preponderance) dari Natarajan & Jhingran (Effendie, 1992): VixFi IP = -----------x100% ........................................... (1 ∑ VixFi di mana: IP Vi Fi
= index of preponderance = persentase volume satu macam makanan = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan ∑ Vi Fi = jumlah VixFi dari semua macam makanan
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
Untuk mengidentifikasi makanan yang terdapat dalam usus atau lambung digunakan acuan dari (American Public Health Association, 1981; Merrit & Cummins, 1996; Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).
Pengamatan fekunditas dan diameter telur ditentukan dari contoh ikan dengan tingkat kematangan gonad IV. Fekunditas total dihitung berdasarkan atas metode grafimetrik (Effendie, 1992):
Tingkat kematangan gonad didasarkan atas modifikasi (Cassie, 1954 dalam Effendie, 1992): 1. Tingkat kematangan gonad I: ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih atau transparan, dan butir telur belum kelihatan. 2. Tingkat kematangan gonad II: ukuran ovari lebih besar, berwarna lebih gelap kekuning-kuningan, butir telur mulai terlihat tapi belum jelas. 3. Tingkat kematangan gonad III: ovari berwarna kuning. Secara morfologi, telur mulai diamati butirannya dengan mata. 4. Tingkat kematangan gonad IV: ovari makin besar, telur berwarna kuning, butir telur mudah dipisahkan, mengisi 50-60% rongga perut, dan usus agak terdesak. 5. Tingkat kematangan gonad V: ovari berkerut habis memijah, dinding tebal, dan butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan. Perkembangan ovari kembali seperti pada tingkat II.
F=(G/g)n ...................................................................... (2 di mana: F = jumlah total telur dalam gonad (fekunditas) G = bobot gonad tiap satu ekor ikan g = bobot sebagian gonad (sampel) satu ekor ikan n = jumlah telur dari contoh gonad Indeks kematangan gonad mengacu kepada Effendie (1992) sebagai berikut: Bg IKG = ____ x100% ........................................................ (3 Bi di mana: IKG = indeks kematangan gonad Bg = bobot gonad (g) Bi = bobot ikan (g)
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 2. Figure 2.
Peta lokasi penelitian di Waduk Kotopanjang Riau, tahun 2009. Map showing research location at Kotopanjang Reservoir Riau, 2009. Keterangan/Remarks: 1. Dam site atau lokasi bendungan pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, 2. Di bawah Jembatan 1 atau Desa Tanjung ALAI, 3. Di bawah Jembatan 2 atau Sungai Gulamo, 4. Desa Batu Besurat, 5. Desa Muara Takus
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
Gambar 3. Figure 3.
Contoh organ pencernaan ikan motan yang akan diambil untuk pemeriksaan makanannya di laboratorium. Digestive organ of motan taken for food analysis in the laboratorium.
HASIL DAN BAHASAN Makanan dan Kebiasaan Makan
Persentase (%) / Percentage (%)
Makanan ikan adalah organisme hidup baik tumbuhan ataupun hewan yang dapat dikonsumsi ikan di habitatnya, dapat berupa tumbuhan (makrofita), algae, plankton, ikan, udang, cacing, benthos, dan serangga atau larva serangga. Menurut Nikolsky (1963) urutan kebiasaan makanan ikan dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu pakan utama, pelengkap, dan tambahan. Sebagai batasan yang dimaksud dengan pakan utama adalah jenis pakan yang mempunyai index of preponderance lebih besar dari 25%, pakan pelengkap mempunyai index of preponderance antara 425%, sedangkan pakan tambahan memiliki index of preponderance kurang dari 4%.
Dari sejumlah ikan motan yang telah diperiksa isi usus dan lambungnya, diketahui bahwa pakan utama ikan motan adalah makrofita (tumbuh-tumbuhan air) 49,9%. Pakan pelengkapnya terdiri atas phytoplankton 22,6% (Cholorophyceae 10,4%; Bacillariophyceae 8,1%; dan Cyanophyceae 4,1%), serta detritus (17,4%). Pakan tambahannya berupa Protozoa 0,8%; Rotifera 0,5%; dan Crustaceae 0,4% dan bagian yang tak teridentifikasi ditemukan 8,4% (Gambar 4). Dengan demikian ikan motan dapat digolongkan ke dalam kelompok ikan herbivora atau pemakan tumbuhan. Menurut Aprilianti (2007), ikan motan adalah pemakan plankton (plankton feeder) dan detritus (detritus feeder), hasil penelitian Pulungan (1999) menunjukan makanan yang paling banyak dikonsumsi ikan motan adalah detritus 53,5-67,6% dan phytoplankton 21,526,1%. Makrofita
60
Phytoplankton
50
Detritus
40
Protozoa Rotifera
30
Crustacea 20
Tak teridentifikasi
10 0 Jenis pakan / Food content
Gambar 4. Figure 4.
Komposisi makanan alami ikan motan. Food habit composition of motan.
Dari hasil analisis di laboratorium diketahui jenis-jenis plankton yang terdapat dalam usus ikan motan terdiri atas phytoplankton dan zooplankton (Tabel 1).
Menurut Andri (2006), makanan yang terdapat di saluran pencernaan ikan motan (Cyprinidae) di Waduk Kotopanjang adalah phytoplankton (Bacillariophyta,
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Chlorophyta, Chrysophyta, Cyanophyta, dan Euglenophyta), makrofita, dan zooplankton. Kelompok zooplankton terdiri atas Protozoa, Rotifera, Copepoda, dan Cladocera. Penelitian oleh Suryaningsih (2000) menemukan jenis plankton yang sering dimakan oleh ikan motan adalah Ankistrodesmus. sp. dan Synedra sp. Menurut Sanofel (2006) jenis Staurastrum dari Chlorophyceae sering ditemukan dalam saluran pencernaan ikan motan. Selanjutnya Lammens & Hoogenboezem (1981) mengatakan semua saluran pencernaan ikan telah disesuaikan dengan makanan yang dikonsumsi oleh ikan Tabel 1. Table 1.
Komposisi jenis phytoplankton dan zooplankton (%) yang terdapat dalam usus ikan motan di Waduk Kotopanjang The composition of phytoplankton and zooplankton organisms (%) found in stomach of motan at Kotopanjang Reservoir
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13.
1. 2. 3.
tersebut, agar proses mencerna makanan dapat berlangsung optimum. Ikan yang bersifat herbivora memiliki saluran pencernaan yang lebih panjang dibandingkan ikan omnivora dan karnívora karena jenis makanan yang dimakan seperti tumbuh-tumbuhan dan lainnya lebih susah hancur sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencernanya. Menurut Mudjiman (1991) pada ikan vegetaris (herbivora) saluran pencernaan dapat tiga kali panjang tubuhnya. Dari pengamatan panjang usus ikan motan, panjang saluran pencernaannya bahkan mencapai 5,9 kali panjang tubuh ikan tersebut.
Bacillariophyceae (%) Cyclotella (2,15) Diatoma (3,76) Fragillaria (1,92) Navicula (6,44) Nitzschia (7,70) Pinnularia (0,68) Stauroneis (1,28) Surirella (0,86) Synedra (7,38)
Kelompok/Group Phytoplankton Chlorophyceae (%) Cyanophyceae (%) Ankistrodesmus (8) Anabaena (3,28) Cladophora (2,14) Aphanizomenon (3) Closterium (4,75) Ghomphosphaeria (2) Cosmarium (5,66) Oscillatoria (5,56) Desmidium (0,86) Spirullina (1,77) Mougeotia (6,64) Oedogonium (0,77) Pediastrum (0,48) Scenedesmus (1,31) Spirogyra (3,82) Staurastrum (10,26) Ulothrix (1,06) Zygnema (0,72) Zooplankton Rotifera (%) Keratella (0,26) Rotatoria (1,08)
Euglenophyceae (%) Euglena (1,69)
Protozoa (%) Crustaceae (%) Brachionus (1,22) Cyclop (0,21) Coleps (0,71) Nauplius (0,12) Spirostomum (0,46) Jumlah total phytoplankton dan zooplankton/Total of phytoplankton and zooplankton = 100%
Tingkat Kematangan Gonad Kematangan gonad ikan adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Utiah, 2007). Perkembangan gonad pada ikan secara garis besarnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap pematangan (Lagler et al., 1977). Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan secara morfologis dan histologis. Secara morfologis, dapat dilihat dari bentuk, panjang, dan bobot, warna, dan perkembangan gonad melalui fase perkembangan gonad, pada umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat matang gonad (tingkat kematangan gonad IV) dapat mencapai 1025% dari bobot tubuh ikan, dan semakin meningkat tingkat
kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. (Anonimus, 2007). Pengamatan tingkat kematangan gonad yang dilakukan selama tiga kali survei, diketahui bahwa ikan motan mengalami proses pematangan gonad dari bulan Agustus sampai Nopember secara bertahap (Tabel 2). Pada bulan Nopember ikan motan banyak yang sudah memijah, ditandai oleh banyaknya telur pada tingkat kematangan gonad V. Secara keseluruhan, telur ikan motan akan dipijahkan antara 2-3 kali sampai semua telur dikeluarkan. Menurut Murtini (2006), ikan motan melakukan pemijahan secara parsial dan berkala karena mengalami kematangan gonad secara bertahap dari bulan ke bulan berikutnya.
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
Tabel 2. Table 2.
Tingkat kematangan gonad ikan motan di Waduk Kotopanjang Gonad maturity stage of motan in Kotopanjang Reservoir Persentase tingkat kematangan gonad/ Percentage gonad maturity stage Agustus Oktober November 34 45 21 32 68 26,5 73,5
Tingkat kematangan gonad/ Gonad maturity stage I II III IV V Keterangan/Remarks: - tidak ada data/no data available
Fekunditas, Indeks Kematangan Gonad, dan Diameter Telur Fekunditas, indeks kematangan gonad, dan diameter telur yang dihitung adalah telur dengan tingkat kematangan gonad IV, karena telur pada saat itu sudah masak dan siap
Gambar 5. Figure 5. Tabel 3. Table 3. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
untuk dipijahkan (Gambar 4). Fekunditas ikan motan di Waduk Kotopanjang pada penelitian ini berada pada kisaran antara 25.360-61.198 butir, dan indeks kematangan gonad berada antara 6,6-17,5% (Tabel 3). Diameter telur antara 0,31-0,90 mm (Gambar 5).
Telur ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV. The eggs of motan on gonad maturity stage IV.
Fekunditas dan indeks kematangan gonad ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau Fecundity and gonado somatic index of motan at stadium IV in Kotopanjang Reservoir, Riau Province Panjang total/ Total length (cm) 24,2 19,6 20,2 20,6 23,8 22,5 20,6 21,4 21,5 21,0 19,3 18,6 18,2 20,6 25,0 21,2
Bobot total/ Total weight (g) 148 64 73 100 150 121 102 112 116 103 74 63 61 76 155 115
Bobot gonad Gonad weight (g) 12,70 7,83 8,17 6,65 14,44 14,76 10,83 13,24 8,80 10,09 9,20 8,83 8,90 8,55 9,54 7,20
GSI (%) 8,58 12,23 11,20 6,65 9,62 12,20 10,62 11,82 7,57 9,79 12,43 14,01 14,59 11,25 6,15 6,26
Fekunditas/ Fecundity 52.120 35.576 42.780 25.360 56.165 54.374 30.656 46.686 29.384 43.826 38.742 36.425 31.420 34.506 41.664 32.108
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
25,4 20,5 19,2 20,3 19,0 20,5 20,3 21,7 26,0 22,5
162 72 69 90 70 98 84 100 160 110
18,26 9,16 6,90 12,82 8,12 17,21 9,16 10,23 11,34 8,73
Murtini (2006) mendapatkan dari 40 ekor ikan motan mempunyai fekunditas antara 36.057-83.968 butir. Tingginya fekunditas ini mungkin disebabkan karena ukuran ikan yang diperoleh relatif lebih besar bahkan ada yang bobotnya mencapai 180 g.
11,64 12,72 10,00 14,24 11,61 17,56 10,90 10,20 7,09 7,93
54.672 42.702 29.442 49.240 39.424 61.198 34.645 36.062 40.314 25.346
tingkat kematangan gonad IV antara 6,65-17,56%. Dengan demikian telur ikan motan berada pada indeks kematangan gonad yang lebih kecil (<20%). Menurut (Bagenal, 1978 dalam Nasution, 2005), ikan betina yang mempunyai nilai indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20 % dapat melakukan pemijahan beberapa kali setiap tahunnya.
Sementara pada penelitian ini bobot ikan motan hanya berkisar 61-162 g. Nilai fekunditas ada hubungannya dengan ukuran ikan, semakin besar atau bobot ukuran ikan semakin bobot atau besar gonad sehingga fekunditas juga semakin banyak. Royce (1984) mengatakan fekunditas satu spesies ikan selain dipengaruhi oleh bobot dan panjang ikan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetis, ketersediaan pakan, dan juga berkaitan dengan umur ikan. Menurut Nasution (2005), korelasi fekunditas dengan bobot total ikan lebih tinggi dibandingkan dengan panjang total ikan.
Dari 1.881 butir telur yang teramati, diameter telur ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV berada antara 0,31-0,90 mm (Gambar 5). Pada Gambar tersebut terlihat bahwa ukuran telur ikan motan tidak seragam. Ukuran diameter telur yang paling banyak ditemukan antara 0,610,70 mm (D) 38,65% selanjutnya ukuran 0,71-0,80 mm (E) 35,57%. Selain itu ukuran diameter telur dari 0,31-0,40 mm (A) hanya berjumlah 2,23%, dan ukuran yang paling besar 0,81-0,90 mm (F) hanya 6,11%. Analisis yang dilakukan terhadap seluruh telur yang teramati rata-rata diameter telur ikan motan 0,67 mm, telur yang paling banyak ditemukan mempunyai diameter 0,70 mm. Beragamnya ukuran telur ikan motan ini juga terjadi pada penelitian Murtini (2006), di mana diameter telur ikan motan yang ditemukannya berkisar antara 0,40-0,75 mm. Ukuran telur yang tidak seragam menyebabkan ikan ini melakukan pemijahan secara parsial karena telur belum siap dipijahkan secara keseluruhan.
Indeks kematangan gonad adalah suatu nilai persentase hasil perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan secara keseluruhan, nilai indeks kematangan gonad semakin besar dengan semakin berkembangnya gonad sampai ikan memijah atau mengeluarkan telur. Nilai indeks kematangan gonad tertinggi sejalan dengan perkembangan gonad, dan dicapai pada tingkat kematangan gonad IV (Nasution, 2005). Nilai indeks kematangan gonad ikan motan pada 45.00% 40.00% 35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% A
B
C
D
E
F
Diamet e r
Gambar 6. Figure 6.
Kisaran diameter telur ikan motan di Waduk Kotopanjang, tahun 2009. Range of eggs diameter of motan in Kotopanjang Reservoir, 2009. Keterangan/Remarks:
A = 0,31-0,40 mm; B = 0,41-0,50 mm; C = 0,51-0,60 mm; D = 0,61-0,70 mm; E = 0,710,80 mm; F = 0,81-0,90 mm
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
KESIMPULAN 1. Ikan motan merupakan ikan herbivora dengan pakan utama makrofita, pakan pelengkap berupa phytoplankton dan detritus, sedangkan pakan tambahannya adalah Protozoa, Rotifera, dan Crustaceae. 2. Tingkat kematangan gonad stadium IV terjadi pada awal musim hujan (bulan Oktober). Pemijahan terjadi beberapa kali setelah musim hujan pada bulan Nopember. 3. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198 butir dengan diameter 0,31-0,90 mm. Indeks kematangan gonad antara 6,15-17,56%.
Effendie, M. I. 1992. Metoda Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bagian Ichtiology. Institut Pertanian Bogor. 112 pp. Hamidy, R., M. Ahmad, T. Dahril, H. Alawi, M. M. Siregar, & C. P. Pulungan. 1983. Identifikasi dan inventarisasi jenis ikan di Sungai Siak, Riau. Pusat Penelitian. Universitas Riau. Pekanbaru. 63 pp. Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions-Proyek EMDI. Jakarta.
PERSANTUNAN
Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, & D. R. M. Passino. 1977. Ichthyology. 2nd ed. New York. John Wiley & Sons.
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset pakan alami dan biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys polylepis) di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Perairan UmumMariana, Palembang dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Lammens, E. H. R. R & W. Hoogenboezem. 1981. Diets and feeding behavior. In Winfield, I. J. & J. S. Nelson (Eds): Cyprinid Fishes: Systematics, Biology, and Exploitation. Chapman & Hall. London. 353-376.
DAFTAR PUSTAKA
Macpherson, E. 1981. Resource partitioning in a Mediterranian demersal fish community. Mar. Ecol. Prog. Str. 39: 183-193.
American Public Health Association. 1981. Standart Methods for Examinations of Water and Waste Water. American Public Health Association Inc. New York. 1,134 pp.
Mudjiman, A. 1991. Makanan Ikan: Seri Perikanan. PT. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta. 190 pp.
Anonimus. 1996. Studi zonasi daerah genangan proyek pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang. Buku I: Utama. Laporan Akhir. Lembaga Penelitian. Universitas Padjadjaran. Bandung. 75 pp. Andri, R. J. 2006. Analisis isi saluran pencernaan ikan famili Cyprinidae yang memanfaatkan diatom di sekitar keramba di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 119 pp. Anonimus. 2007. Pemeriksaan Gonad Ikan. Diunduh Tanggal 23 Nopember 2009. http://jlcome,blogspot.Come/2007/05. Aprilianti, R. 2007. Hubungan kelimpahan fitoplankton dengan jumlah ikan motan (Thynnichthys polylepis) di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Dipublikasikan). 55 pp.
Mohsin, A. K. M. & A. M. Ambak. 1992. Freshwater Fishes of Western Peninsular Malaysia. Penerbit University Pertanian. Malaysia. Merrit, R. W. & K. W. Cummins. 1996. An Introduction to the Aquatic Insect of North America. Murtini, S. 2006. Biologi Reproduksi Ikan Motan (Thynnichthys polylepis) secara Histologi di Waduk Kotopanjang, Kabupaten Kampar, Riau. Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasikan). 59 pp. Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater Biology. Holden Day Inc. Sanfransisco. 108 pp. Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. 325 pp. Nasution, S. H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebencis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (2): 29-37.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Nurfiarini, A., F. N. Priyatna, & A. S. N. Krismono. 2009. Status sosial budaya dan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2009. Jilid II. Manajemen Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Sosial Ekonomi Perikanan/SE.01. Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 1-7. Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of United Stated. Second Edition. A Wellow Inter Science Publication. Jhon Willey & Sons. New York. 803 pp. Pulungan, C. P. 1999. Biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys polylepis) dari waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung Bungsu, Kecamatan XIII, Koto Kampar, Riau. Jurnal Terubuk. 31: 36-40. Royce, W. 1984. Introduction to the Practice of Fishery Science. Academic Press Inc. New York. 753 pp.
Suryaningsih. 2000. Aspek biologi ikan motan (Thynnichthys polylepis C. V.) di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung Bungsu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 67 pp. Sanofel, D. 2006. Studi keberadaan ikan motan (Thynnichthys polylepis) pada jenis vegetasi air yang berada di waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, Kecamatan XIII, Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 76 pp. Utiah, A. 2007. Penampilan reproduksi induk ikan baung (Mystus nemurus) dengan pemberian pakan buatan yang ditambah asam lemak N-6 dan N-3 dan dengan implantasi estradiol-17 B dan tiroksin. Makalah Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2006. http://www.damandiri.or.id/detail.php. Diunduh Tanggal 25 Nopember 2009.
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN SEMBILANG (Plotosus canius) DI PERAIRAN ESTUARIA BANYUASIN, SUMATERA SELATAN Khoirul Fatah dan Asyari Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 21 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 24 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011
ABSTRAK Ikan sembilang (Plotosus canius) merupakan salah satu sumber daya ikan di perairan estuaria, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan sembilang dilakukan pada bulan April sampai Juli 2007. Contoh ikan diperoleh dari nelayan yang menangkap dengan alat tangkap belad dan rawai dasar. Hasil penelitian ini menunjukan ratio kelamin jantan terhadap betina yaitu 1:2. Organisme yang ditemukan dalam saluran pencernaan terdiri atas lima jenis yaitu potongan kepiting, udang, ikan, cacing, dan keong, sehingga ikan sembilang dapat digolongkan sebagai ikan karnivora. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik (b=3), berarti pertumbuhan panjang seiring dengan pertumbuhan bobot. Kelompok ukuran panjang ikan sembilang tertangkap didominansi oleh ukuran panjang antara 25,1-30,1 cm. KATA KUNCI:
aspek biologi, ikan sembilang, estuaria Banyuasin
ABSTRACT:
Some biological aspect of eeltailed catfish (Plotosus canius) in the estuarine waters of Banyuasin, South Sumatera. By: Khoirul Fatah and Asyari
Eeltailed catfish (Plotasus canius) is one of the fish resources in the estuarine waters of Banyuasin South Sumatera. Research on some biological aspect of Plotosus canius was conducted from April to July 2007. Fishes were caught by fishermen using barrier traps and bottom long line. The results show that the sex ratio of male to female was 1:2. Organisms found in the digestive tract consists of five types crabs, shrimp, fish, worms, and snails. Thus eeltailed catfish can be classified as a carnivorous fish. The constant (=b) of length weight relationship of Plotosus canius was 3 (t-test) suggesting this species was length increment as fast as weight increment. Based on total length size group measured, fish dominontly caught in length of 25.1-30.1 cm. KEYWORDS:
fish biology, eeltailed catfish, Banyuasin estuary waters
PENDAHULUAN Estuaria merupakan bagian dari daerah aliran sungai yang berada di bagian hilir. Selain menjadi penangkap hara dan polutan, perairan estuaria sangat dinamis, dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan aliran air dari hulu. Secara ekologi, perairan estuaria mempunyai ciri khas oleh adanya pengaruh pasang surut air laut dan fluktuasi salinitas dengan keragaman jenis ikan air tawar maupun ikan laut. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah estuari mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan (Wardoyo et al., 2001). Ikan sembilang secara taksonomi, termasuk kelas Actinopterygii, ordo Siluriformes, dan famili Plotosidae. Daerah penyebarannya meliputi perairan laut, muara sungai, dan perairan tawar. Ikan ini merupakan predator
yang memangsa anakan ikan dan hewan yang hidup di dasar dari kelompok gastropoda, moluska, dan crustasea. Menurut Webber & Beufort (1913), ikan sembilang terdiri atas tujuh spesies yaitu satu dari genus Paraplotosus dan enam spesies dari genus Plotosus. Ikan sembilang tersebar di kawasan Indo-Pasifik barat dan kepulauan IndoAustralia. Di Sumatera Selatan, ikan sembilang terdapat di daerah Musi Banyuasin dan kadang-kadang di Sungai Musi bagian tengah (Utomo, 2007). Menurut Gaffar et al. (2006), ikan sembilang yang hidup di Banyuasin didominansi oleh jenis Plotosus canius (Gambar 1). Selanjutnya (Webber & Beufort, 1913; Kottelat et al., 1993) mengatakan ciri-ciri ikan sembilang antara lain sirip punggung kedua terletak pada garis tegak antara sirip dubur dan sirip perut; bibir atas dapat membuka ke atas atau ke depan; sungut dapat mencapai bagian belakang mata, dan berwarna gelap kecoklatan. Panjang total dapat mencapai 134 cm.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Figure 1.
Ikan sembilang. Eeltailed catfish.
Sampai saat ini belum tersedia data produksi ikan sembilang di Banyuasin, tetapi dari indikator di lapangan menunjukan ikan sembilang yang di tangkap oleh nelayan didominansi oleh ikan yang berukuran kecil dan belum matang gonad. Ikannya tersebut ditangkap dengan alat tangkap yang tidak selektif misal belad pantai yang mempunyai ukuran mata jaring 0,5 inci. Upaya penangkapan yang dilakukan terus-menerus, dikhawatirkan akan menganggu proses rekruitmen karena banyak ikan yang kecil tertangkap. Sementara upaya pengelolaan sumber daya ikan di daerah estuaria Banyuasin belum dilakukan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan sembilang merupakan tahap awal dalam mempelajari dinamika populasinya sebagai masukan untuk pengelolaanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui beberapa aspek biologi seperti kebiasaan, makanan, dan hubungan panjang dan bobot ikan sembilang di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. BAHAN DAN METODE Pengambilan Contoh Ikan Penelitian tentang ikan sembilang dilakukan pada bulan April sampai Juli 2007 di perairan estuaria Upang, Sungsang, dan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin (Gambar 2). Pengamatan biologi dilakukan di Laboratorium Biologi, Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang.
LS U
A
2,0°
B C S
2,25°
2,5° 103°
Gambar 2. Figure 2.
104°
105°
BT
Peta lokasi daerah penelitian ikan sembilang di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin. Map showing the research location of eeltailed catfish in the estuarine waters of Banyuasin District. Keterangan/Remarks:
A = estuaria Banyuasin; B = estuaria Musi; C = estuaria Upang
Waktu pengambilan contoh ikan dilakukan setiap bulan pada minggu pertama. Contoh ikan dikumpulkan dari hasil tangkapan nelayan yang mengunakan alat tangkap belad (barrier trap), rawai dasar (long line), dan pancing (hook
and line). Pengamatan parameter biologi dilakukan terhadap panjang total dan bobot individu serta kandungan isi lambung dan nisbah kelamin.
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
Identifikasi isi lambung mengacu pada (Kottelat et al., 1993; Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).
(1979) yaitu: W = aLb ....................................................................... (2
Analisis Data 1. Parameter biologi Untuk penentuan sebaran frekuensi panjang ikan sembilang jantan dan betina didasarkan atas Walpole (1993). Menentukan banyaknya selang kelas, k=1+3,32 log n, menentukan wilayah kelas, r=db-dk (r = wilayah kelas, db = data terbesar, dk = data terkecil), menghitung lebar kelas, L = r/jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah kelas), menentukan limit bawah kelas interval pertama dan batas bawah kelas, mendaftarkan semua limit kelas dan batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang bawahnya, menentukan titik tengah kelas bagi masing-masing selang dengan meratakan limit kelas atau batas kelasnya, menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas. Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan betina yang diperoleh sesuai dengan Haryani (1998). Penentuan seimbang atau tidaknya nisbah kelamin jantan dan betina dilakukan uji Chi-square (Walpole, 1993).
di mana: W = bobot ikan (g) L = panjang ikan (mm) a dan b = konstanta regresi 4. Faktor kondisi Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan ponderal indeks untuk pertumbuhan isometrik (b=3) dengan rumus (Effendie, 1979):
K=
W 5 x10 ………………………………………. (3 3 L
di mana: K = faktor kondisi W = bobot rata-rata ikan (g) L = panjang rata-rata ikan (mm) Bila pertumbuhan tersebut bersifat alometrik (b≠3) maka faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Effendie, 1979):
2. Kebiasaan makan Untuk mengetahui kebiasan makan maka dilakukan analisis isi lambung ikan dengan menghitung index of preponderance yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dengan metode volumetrik sebagai berikut (Effendie, 1979): VixOi IP = ----------- x100% .................................................. (1 ∑Vi x Oi di mana: Vi Oi
= persentase volume satu macam makanan = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan ∑VixOi = jumlah VixOi dari semua macam makanan IP = index of preponderance
Suatu jenis organisme disebut sebagai makanan utama jika memiliki nilai index of preponderance di atas 40% dan dikatakan sebagai makanan pelengkap jika nilai index of preponderance diantara 4-40%. Jika nilai index of preponderance di bawah 4% maka termasuk kategori makanan tambahan (Noor, 2001). 3. Hubungan panjang dengan bobot Hubungan bobot tubuh dengan panjang (total) ikan sembilang ditentukan berdasarkan atas rumus Effendie
Kn =
W n ………………………………………….. (4 cL
di mana: Kn = faktor kondisi nisbi W = bobot rata-rata (g) C = a dan n = b adalah konstanta yang diambil dari hubungan panjang dan bobot ikan HASIL DAN BAHASAN Nisbah Kelamin Jumlah contoh ikan sembilang yang dikumpulkan selama penelitian 137 ekor, terdiri atas kelamin jantan 49 ekor (35,51%) dan betina 89 ekor (64,49%) atau dengan perbandingan 1:2. Rasio kelamin diperlukan untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin, sehingga dapat diduga keseimbangan populasinya. Populasi ikan sembilang betina di daerah penelitian lebih banyak dibandingkan dengan jantan. Menurut Rahmawati (2002), rasio kelamin ikan sembilang jantan terhadap betina di perairan estuaria Sungai Siak 1:2. Menurut Effendie (2002), kenyataan di alam perbandingan kelamin jantan dan betina tidak mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola penyebaran yang disebabkan oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Kebiasan Makan Pengamatan isi lambung terhadap 137 ekor ikan sembilang dengan ukuran panjang total antara 20,6-57,6 cm, diperoleh lima jenis makanan yaitu potongan ikan, udang, kepiting, keong, dan cacing. Analisis kebiasaan makanan dengan metode index of preponderance diperoleh nilai masing-masing untuk udang 44,45%, kepiting 39,71%, keong 11,34%, ikan 4,21%, dan cacing 0,29% (Gambar 3).
11,34%
Makanan utama ikan sembilang adalah udang dengan makanan pelengkap adalah kepiting, keong, ikan, dan sebagai makanan tambahan adalah cacing. Jenis udang yang dimakan ikan sembilang didominansi oleh udang ende (Metapenaeus ensis) lokal pepe. Pada bulan April sampai Juli diduga merupakan musim penangkapan udang ende dan berdampak lebih banyaknya ikan sembilang memakan udang bila dibandingkan dengan jenis makanan lainnya.
0,29% 4,21%
44,45% 39,71%
Ikan
Gambar 3. Figure 3.
Udang
Kepiting
Keong
Cacing
Histogram nilai index of proponderance (%) ikan sembilang. Histogram index of proponderance of eeltailed catfish.
Pengukuran panjang usus terhadap 130 ekor ikan sembilang dengan panjang total berkisar antara 20,6-94,5 cm, rata-rata 32,5 cm diperoleh panjang usus 10-62 cm, dengan rata-rata 25,5 cm. Panjang usus ikan sembilang didapatkan 78,30% dari panjang total. Menurut Tamsil (2000), panjang usus adalah panjang saluran pencernaan ikan yang dikatakan dalam persen dari panjang badan total. Ikan sembilang dapat digolongkan ke dalam ikan karnivora, dan pada umumnya memiliki panjang usus yang lebih pendek dari panjang total tubuh. Menurut (Effendie, 1979; Affandi et al., 1992; Lagler et al., 1977) Ikan karnivora mempunyai usus pendek dan panjang usus tersebut lebih pendek daripada panjang tubuhnya. Kondisi tersebut dikarenakan makanan ikan sembilang berupa
daging, dan dalam proses pencernaannya tidak memerlukan waktu yang lama seperti pada ikan pemakan tumbuhan. Hubungan Panjang dan Bobot Analisis statistik terhadap hubungan panjang dan bobot tubuh ikan sembilang diperoleh persamaan W=5x10-6 L3.0057 dengan nilai b sebesar 3,0057 dan r2 (koefisien korelasi) sebesar 0,96 (Gambar 4). Besarnya nilai r2 tersebut menunjukan bahwa antara panjang dan bobot tubuh mempunyai hubungan yang erat. Uji t terhadap nilai b, diperoleh thitung
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
4.500 W=5x10-6L3,0057 R²=0,964 r=0,982
4.000
Bobot (g)
3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 0
200
400
600
800
1.000
Panjang (mm)
Gambar 4. Figure 4.
Hubungan panjang dan bobot ikan sembilang di perairan estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli 2007. Length and weight relationship of eeltailed catfish in the estuarine water of Banyuasin, April until July 2007.
Nilai faktor kondisi ikan sembilang berkisar antara 0,581, 50. Nilai tersebut menunjukan adanya variasi nilai. Menurut Effendie (1979) yang menyebabkan bervariasinya nilai faktor kondisi adalah tingkat kematangan gonad. Perkembangan gonad seiring dengan pertambahan bobot gonad yang dapat meningkatkan faktor kondisi. Distribusi Panjang dan Bobot Ikan sembilang yang tertangkap dengan belad pantai pada bulan April sampai Juli 2007 sebanyak 125 ekor,
dengan distribusi panjang total dan bobot tubuh adalah ikan jantan berukuran panjang total antara 234-597 mm dengan modus panjang 378 mm dan bobot tubuh 61-924 g, ikan betina berukuran panjang total antara 200-550 mm dengan modus panjang 380 mm dan bobot antara 20-1110 g Berdasarkan atas kelompok ukuran panjang total, ikan sembilang baik yang jantan dan betina yang terbanyak pada kelompok ukuran panjang antara 251-301 mm yaitu untuk jantan sekitar 16,80% dan untuk betina sekitar 28,80%, sedangkan pada kelompok ukuran 557-607 mm hanya ditemukan kelompok ikan jantan (Gambar 5).
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
35
30
A
JANTAN
BETINA
J u m la h (% )
25
20
15
10
5
0 200 - 250
251 - 301
302 - 352
353 - 403
404 -454
455 - 505
506 - 556
557-607
Kelas panjang (mm) 60
B
JANTAN
BETINA
50
Jumlah (%)
40
30
20
10
0 20 -158
159 -297 298 -436
437 -575 578 -716
71 - 855 856 - 994 995 -1133
Kelas berat (gr)
Gambar 5. Figure 5.
Histogram ukuran panjang total (A) dan bobot (B) ikan sembilang hasil tangkapan belad di perairan estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli 2007. Histogram of length and weight of eeltailed catfish caught by barrier trap in the estuarine water of Banyuasin, Aprl until July 2007.
Bedasarkan atas ukuran panjang total dan bobot tubuh ikan sembilang yang tertangkap, semakin besar ukuran panjang dan bobot tubuhnya semakin sedikit yang tertangkap, hal ini dikarenakan ikan sembilang sebelum mencapai ukuran dan bobot tersebut tertangkap oleh nelayan, sehingga tidak sempat tumbuh mencapai ukuran dan bobot tubuh yang maksimal. Menurut Soumakil (1996), ukuran ikan berbanding terbalik dengan jumlahnya, karena semakin besar ukuran ikan jumlah tangkapan cendrung semakin sedikit dan sebaliknya. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan persentase yang cukup besar antara ikan jantan dan betina.
Menurut Sumassetiyadi (2003) perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh aktivitas ikan dalam perairan, kemampuan beradaptasi, dan faktor genetik ikan jantan dan betina berbeda. KESIMPULAN 1. Rasio kelamin ikan sembilang jantan terhadap betina di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin adalah 1:2. 2. Pengamatan terhadap 137 ekor ikan sembilang diperoleh komposisi jenis makanan terdiri atas potongan udang 44,45%, kepiting 39,71%, keong 11,34%, ikan
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
4,21%, dan cacing 0,29%. Ikan sembilang digolongkan sebagai ikan karnivora dengan makanan utama adalah udang. 3. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik di mana pertumbuhan panjang seiring dengan pertumbuhan bobot. 4. Ukuran panjang ikan sembilang jantan dan betina yang terbanyak berkisar antara 25,1-30,1 cm dengan komposisi ikan jantan 16,80% dan ikan betina 28,80%. 5. Ukuran bobot ikan sembilang jantan dan betina yang terbanyak berkisar antara 20-158 g dengan komposisi ikan jantan 23,8% dan ikan betina 48,4%. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset penangkapan ikan di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, T. A. 2007, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang. DAFTAR PUSTAKA Affandi, R., D. S. Syafei, M. F. Rahardjo, & Sulistiono. 1992. Fisiologi Ikan: Pencernaan Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. 160 pp. Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. Effendie. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 pp. Gaffar, A. K., K. Fatah, & Rupawan. 2006. Riset perikanan tangkap di perairan estuaria yang bermuara di Selat Bangka. Laporan Teknis Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Palembang. (Tidak Diterbitkan). 33 pp. Haryani, G. S. 1998. Analisa histologi gonad ikan-ikan di perairan Danau Semayang, Kalimantan Timur. Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi Tahun 1997/1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Cibinong. 632-637. Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Editions Limited. Jakarta. 293 pp. Lagler, J. E. Bardach, R. P. Miller, & D. R. M. Passino.
1977. Ichthyology. Jhon Wiley & Sons. Inc. New York. 650 pp. Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater Biology. Holden Day Inc San Francisco. 108 pp. Noor, A. 2001. Makanan ikan belanak (Mugil dussumien) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 48 pp. Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of the United State. Jhon Wiley & Sons. New York. 803 pp. Rahmawati, I. 2002. Aspek biologi reproduksi ikan sembilang (Plotosus canius) di estuaria Sungai Siak, Provinsi Riau. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasi.). 75 pp. Soumakil, A. 1996. Telah beberapa parameter populasi ikan moma putih (Decapterus rasselli) di perairan Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, dan alternatif pengelolaanya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 60 pp. Sumassetiyadi, M. A. 2003. Beberapa aspek reproduksi ikan opudi (Telmaterina antoniae) di Danau Metano, Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 75 pp. Tamsil, A. 2000. Studi beberapa karakteristik reproduksi prapemijahan dan kemungkinan pemijahan buatan ikan bungo (Glossogobius aureus) di Danau Tempe dan Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 80 pp. Utomo, A. D. 2007. Dinamika sumber daya perikanan di estuaria. Prosiding Seminar Nasional Kelautan III. Universitas Hang Tuah. Surabaya. 12 pp. Weber, M. & De Beufort. 1913. The Fishes of the IndoAustralian Archipelago. E. J. Brill ltd. Leiden. Jilid 2. Walpole, R. V. E. 1993. Pengantar Statistik. Terjemahan B. Sumantri (Edisi Tiga). PT. Gramedia. Jakarta. 521 pp. Wardoyo, H. Ferry, & P. Joko. 2001. Laporan Survei Perikanan di Kawasan CTN Sembilang, Bulan Juli 2001. Proyek Konservasi Lahan Basah Pesisir BerbakSembilang GEF MSP (TF-0240011). Wetland International-Asia Pasipic Indonesia Program. 35 pp.
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
EVALUASI KEBERHASILAN PENEBARAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI WADUK IR. H. DJUANDA Didik Wahju Hendro Tjahjo1), Sri Endah Purnamaningtyas1), dan Endi Setiadi Kartamihardja2) 2)
1) Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 13 April 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Desember 2010; Disetujui terbit tanggal: 4 Pebruari 2011
ABSTRAK Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai potensi pengembangan budi daya ikan yang tinggi, dan pertumbuhan budi daya tersebut berkembang sangat pesat. Perkembangan yang pesat tersebut sangat berdampak pada penurunan kualitas air dan mendorong peningkatan kelimpahan plankton yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah melakukan penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) pada bulan Juli sampai Agustus 2008 sebanyak 2.116.000 ekor benih dalam upaya menanggulangi kelimpahan plankton yang tinggi dan sekaligus meningkatkan produksi ikannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan setiap bulan pada periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Pengamatan dilakukan dengan metode teratifikasi dengan enam titik stasiun pengamatan. Evaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng dievaluasi kemampuan memanfaatkan kelimpahan plankton, pertumbuhannya, dan dapat tertangkap kembali. Hasil analisis kebiasaan makan, ikan bandeng mempunyai kemampuan yang tinggi memanfaatkan kelimpahan plankton di perairan tersebut, dan ikan ini mempunyai laju pertumbuhan yang sangat cepat (K=3.381 dengan L∞=45 cm). Ikan bandeng ini dapat tertangkap kembali oleh nelayan setempat pada bulan September 2008 sampai Pebuari 2009 dan juga secara tidak langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan dampak penebaran ikan bandeng untuk memperbaiki kualitas perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, maka perlu dilanjutkan penelitian strategi penebaran ikan bandeng dan penguatan kelembagaan nelayan yang ada. KATA KUNCI:
ikan bandeng (Chanos chanos), kebiasaan makan, pertumbuhan, tertangkap kembali, Waduk Ir. H. Djuanda
ABSTRACT:
Evaluation of successfulness of fish stocking on bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda Reservoir. By: Didik Wahju Hendro Tjahjo, Sri Endah Purnamaningtyas, and Endi Setiadi Kartamihardja
Ir. H. Djuanda Reservoir has high potency in developing of fish culture, that the growth has developed very fast. The fast growth of fish culture affected the degradation of water quality and push increasing of plankton abundance. Therefore, government conduct stocking of bandeng on July until August 2008 as much 2,116,000 individual as on effort of overcoming of plankton bloom and increasing of fish production. The aim of this study is to evaluate the successfulness of fish stocking of bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda Reservoir, Purwakarta, and West Java. The research was conducted every month at period of July 2008 until January 2009. Observation was done by sampling stratification method at 6 point of observation station. Evaluation of successfulness fish stocking base on the ability using of plankton, the growth and percentage of recaptured. The result should that bandeng have high ability inusing of plankton in waters as a feed (97.8%), and this fish had high growth rate (K=3.381 and L∞=45 cm). This fish could be recaptured by local fisherman in September 2008 until February 2009. Beside, this bandeng stocking indirectly have been able to improve waters quality of Ir. H. Djuanda Reservoir. Therefore, the effort of increasing impact of bandeng stocking improved waters quality and improvement of fisherman prosperity, thus require to be continued of bandeng stocking and reinforcement institute of local fisherman. KEYWORDS:
bandeng (Chanos chanos), food habit, growth, recaptured, Ir. H. Djuanda Reservoir
PENDAHULUAN Waduk Ir. H. Djuanda terletak di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat dan selesai dibangun tahun 1967. Waduk ini mempunyai luas genangan maksimum 8.300 ha dengan kedalaman maksimum 95 m, kedalaman rata-rata 36,4 m dan pengembangan garis pantai 5,96 (Tjahjo, 1986) atau panjang garis pantai 163 km dan terletak pada ketinggian 111,5 m di atas permukaan laut. Waduk ini merupakan waduk serbaguna dan mempunyai fungsi utama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air, irigasi,
pencegah banjir, dan penyedia bahan baku air minum. Saat ini Waduk Ir. H. Djuanda lebih diutamakan ke fungsi penyedia bahan baku air minum untuk wilayah Purwakarta, Karawang, Bekasi, dan Jakarta. Selain fungsi utama waduk tersebut di atas, waduk ini juga dimanfaatkan untuk perikanan, pariwisata, dan transportasi yang disebut sebagai kegiatan tambahan. Pengembangan kegiatan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di Waduk Ir. H. Djuanda telah jauh melampaui jumlah yang diizinkan, pada tahun 2005 telah mencapai
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
lebih dari 15.000 unit dan jumlah yang diizinkan 2.100 unit (berdasarkan atas Surat Keputusan Bupati Purwakarta No.06/2000). Perkiraan limbah organik yang berasal dari kegiatan budi daya di Waduk Ir. H. Djuanda mencapai 21.365,1 ton/tahun (Nastiti et al., 2001) dan meyebabkan perairan tersebut telah mencapai eutrofik dan hipertrofik. Dampaknya terhadap perairan, antara lain blooming algae dan perairan dalam kondisi anoxia yang menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S, sehingga sering terjadi kematian massal (Tjahjo et al., 2008). Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kedalaman maksimum 97 m, dan luas daerah limnetiknya berkisar antara 5.200-7.100 ha atau 63-86% dari luas total (Kartamihardja, 2007). Perkembangan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di waduk ini telah berkembang dengan pesat, bahkan telah melampaui daya dukung perairan itu sendiri. Unsur hara (N dan P) yang dihasilkan dari kegiatan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di waduk ini pada tahun 1996 ditaksir 36.531,3 ton untuk total N dan 33.968,4 ton untuk total P (Nastiti et al., 2001). Peningkatan unsur hara tersebut telah berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi dalam waktu yang singkat (blooming). Daerah limnetik yang kaya akan fitoplankton tersebut dihuni oleh sedikit jenis ikan pemakan plankton. Hasil penelitian aliran energi biomassa di daerah limnetik oleh Kartamihardja (2007) menunjukan bahwa untuk meningkatkan optimasi pemanfaatan plankton di daerah limnetik, dapat dilakukan penebaran ikan pemakan plankton 4,118 juta ekor pada tahun pertama dan 1,235 juta ekor pada tahun berikutnya. Berdasarkan atas hasil penelitian tersebut, ditindaklanjuti oleh pemerintah telah melakukan penebaran ikan bandeng pada bulan Juli sampai Agustus 2008 dengan jumlah total benih 2.116.000 ekor. Penebaran ikan bandeng tersebut dilaksanakan 28 kali selama tanggal 2 Juli sampai 20 Agustus 2008 dengan ukuran panjang total 2,8-8,5 cm atau bobot 0,1-5,1 g. Tujuan penebaran ikan bandeng ini untuk memanfaatkan kelimpahan plankton yang tinggi, peningkatan hasil tangkapan nelayan, dan secara tidak langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Dalam kaitan tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Metode Pengumpulan Data Pelaksanaan penelitian dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda (Kabupaten Purwakarta). Pengumpulan data tangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan metode survei (stratified sampling method) (Nielsen & Johnson, 1985). Pengumpulan data tersebut di lapangan
direncanakan tujuh kali, setiap bulan selama periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Titik pengambilan contoh ditentukan enam titik stasiun pengamatan untuk Waduk Ir. H. Djuanda, yaitu Sodong, Bojong-Jamaras, Kerenceng, Baras Barat-DAM, Taroko, dan Cilalawi (Gambar 1). Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan menggunakan jaring insang percobaan dan ukuran mata jaringnya 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; dan 4 inci dengan panjang 37,5 m dan dalam 100 mata. Jaring insang tersebut dipasang pada sore hari (pukul 17.00 WIB) dan diangkat pagi hari berikutnya (pukul 7.00 WIB). Ikan bandeng yang tertangkap diukur panjang dan bobotnya, dan diambil lambungnya. Lambung ikan tersebut diawetkan dalam formalin 4%, selanjutnya dianalisis kebiasaan makannya di Laboratorium Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Jatiluhur. Analisis Data Ada tiga faktor untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, yaitu ikan bandeng dapat ditangkap kembali, ikan bandeng mampu memanfaatkan plankton sebagai makanannya, dan ikan bandeng mampu tumbuh dengan cepat. Kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan sumber daya pakan melalui analisis kebiasaan makan dengan menggunakan indeks preponderance (Natarajan & Jhingran dalam Effendie, 1979) dengan rumus sebagai berikut:
Ii =
Vi × O i × 100 …........................................... (1 ∑ Vi × O i
(
)
di mana: Vi Oi
= persentase volume satu macam makanan = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan Σ(VixOi) = jumlah VixOi dari semua macam makanan
Variabel pertumbuhan panjang ikan bandeng dengan analisis pergerakan modus dan pengukuran pertumbuhan panjang menggunakan rumus yang dikatakan von Bertalanffy dalam King (1995); Quinn II & Deriso (1999); Sparre & Venema (1999), yaitu:
L t = L ∞ 1 − e di mana: Lt L∞ K (t1-t0) Ikan
= = = =
−K(t −t ) 1 0 ....................................... (2
panjang ikan pada umur t panjang ikan tak terhingga (panjang asimtotik) laju pertumbuhan umur ikan
bandeng
dapat tertangkap kembali melalui
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
pengoperasian jaring insang percobaan pada bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Analisis komposisi jenis ikan yang tertangkap berdasarkan atas persentase jumlah, bobot, dan frekuensi kejadian. Di samping itu, juga dilakukan
Gambar 1. Figure 1.
wawancara dengan nelayan kaitannya dengan penangkapan ikan bandeng.
Peta Waduk Ir. H. Djuanda dan stasiun pengamatannya. Ir. H. Djuanda Reservoir map and observation station.
HASIL DAN BAHASAN Evaluasi keberasilan penebaran ikan di suatu badan air secara biologis ada tiga faktor, yaitu ikan yang ditebar dapat ditangkap kembali, ikan yang ditebar mampu memanfaatkan sumber pakan alami yang tersedia, dan ikan tersebut mampu tumbuh cepat (Tjahjo, 2004). Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Hasil percobaan penangkapan ikan selama periode penelitian menunjukan bahwa ada 22 jenis ikan yang tertangkap, yaitu ikan gabus (Channa striata), tagih (Mystus nemurus), hampal (Hampala macrolepidota), kebogerang (M. negriceps), lalawak (Barbonymus bramoides), beunter (Puntius binotatus), lepuk (Ompok bimaculatus), nila (Oreochromis niloticus), patin (Pangasionodon hypopthalmus), mas (Cyprinus carpio), mola (Hypophthalmichthys molitrix), bandeng, tawes (Barbonymus gonionotus), nilem (Osteochilus hasselti), dan
sepat (Trichogaster pectoralis). Komposisi jenis ikan yang tertangkap berdasarkan atas bobot ikan di Waduk Ir. H. Djuanda didominansi oleh ikan oskar (Amphilophus citrinellus) (21,468 kg), bandeng (20,173 kg), golsom (Amphilophus alfari) (11,951 kg), nila (6,005 kg), dan hampal (3,908 kg) (Gambar 2). Komposisi berdasarkan atas frekuensi kejadian didominansi oleh ikan golsom (62,3%), bandeng (57,1%), oskar (52%), nila (20%), dan kebogerang (16,4%). Sedangkan berdasarkan atas jumlah individu didominansi oleh ikan oskar (575 ekor), golsom (319 ekor), bandeng (134 ekor), kebogerang (74 ekor), dan kepiat (Thynnichthys thynnoides) (46 ekor). Sehingga secara umum, komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda baik secara bobot, frekuensi kejadian, dan jumlah, didominansi ikan introduksi, yaitu ikan oskar, golsom, dan bandeng. Hasil tangkapan ikan bandeng menduduki urutan ketiga baik secara jumlah, bobot, maupun frekuensi kejadian. kondisi tersebut menunjukan bahwa ikan bandeng dapat mudah tertangkap kembali, sehingga menunjukan keberhasilan penebaran ikan bandeng di perairan Waduk Ir.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
H. Djuanda. Hasil penangkapan ikan bandeng oleh nelayan tertingi pada bulan September 2008, dengan rata-rata hasil tangkapan nelayan berkisar 100-150 kg/orang/hari dan ukuran ikan berkisar antara 200-250 g/ekor. Ukuran mata jaring insang yang digunakan nelayan pun cepat berubah, rata-rata setiap dua minggu sekali mata jaringnya dinaikan
Gambar 2. Figure 2.
0,25 inci dari 2-2,5 inci. Pada bulan Oktober 2008 hasil tangkapan ikan bandeng mulai menurun, dan bulan Pebuari 2009 ikan bandeng sudah jarang tertangkap. Hal tersebut disebabkan ikan bandeng ini bersifat bergerombol dalam jumlah yang besar, dan intensif penangkapan oleh nelayan. Karakteristik ikan bandeng tersebut sangat baik untuk digunakan sebagai jenis ikan stoking dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.
Komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda. Fish species composition in Ir. H. Djuanda Reservoir.
Pertumbuhan Komposisi ukuran panjang hasil tangkapan ikan bandeng pada pengamatan bulan September, Oktober, Nopember, dan Desember 2008, serta bulan Januari 2009 tertera dalam Tabel 1. Pada bulan September 2008 ikan bandeng yang tertangkap 61 ekor dengan rata-rata panjang
total 23,7 cm (14,7-31,0 cm) dan rata-rata bobot 134 g (25280 g). Pada bulan Oktober 2008 ikan bandeng yang tertangkap 35 ekor dengan rata-rata panjang totalnya 27,3 cm (20,7-32,5 cm) dan rata-rata bobotnya 179 g (67-342 g). Pada bulan Nopember 2008 ikan yang tertangkap 38 ekor dengan rata-rata panjangnya 26,9 cm (20,0-34,5 cm) dan rata-rata bobotnya 158 g (66-347 g). Bulan Desember 2008
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
ikan bandeng yang tertangkap 54 ekor dengan rata-rata ukuran panjang totalnya 27,5 cm (23,0-31,5 cm) dan ratarata bobotnya 159 g (95-230 g). Terakhir pengamatan bulan Januari 2009 ikan bandeng yang tertangkap 17 ekor dengan rata-rata ukuran panjang totalnya 31,5 cm (27,6-38,5 cm) dan rata-rata bobotnya 220 g (143-375 g). Perubahan Tabel 1. Table 1.
ukuran ikan bandeng menurut waktu pengamatan menunjukan laju pertumbuhan yang sangat cepat. Hal tersebut juga terlihat dari hasil analisis pentumbuhan von Bertalanfii menunjukan bahwa laju pertumbuhan (K) ikan bandeng ini mencapai 3,381 dengan panjang asimtotnya (L∞) mencapai 45 cm (Gambar 3).
Jumlah dan ukuran (panjang total dan bobot) benih ikan bandeng yang ditebar dan ditangkap menurut waktu pengamatan Number and size (total length and weight) of seed for stocking and bandeng recaptured during observation
Peubah/Variables Jumlah (individu) Panjang (cm) Rata-rata Minimum Maksimum Bobot (g) Rata-rata Minimum Maksimum Regresi panjang dan bobot a b R2
Benih yang ditebar/ Seeds are stocked Juli Agustus 2.116.000
Hasil ikan yang ditangkap/The result of the fish caught September 61
Oktober 35
Nopember 38
Desember 54
Januari 17
5,8 3,2 7,8
4,7 2,8 8,5
23,7 14,7 31
27,3 20,7 32,5
26,9 20,0 34,5
27,5 23,0 31,5
31,5 27,6 38,5
1,3 0,3 3,3
0,8 0,1 5,1
134 25 280
179 67 342
158 66 347
159 95 230
220 143 375
0,0033 3,32 0,99
0,0015 3,52 0,97
0,0079 2,99 0,96
0,0244 2,65 0,61
0,007 3,00 0,93
Pertumbuhan bobot ikan bandeng ini mulai bulan Nopember menunjukan penurunan, sehingga ikan tersebut cenderung lebih langsing. Hal tersebut terlihat nyata dari hubungan panjang dan bobot untuk bulan September, Oktober, Nopember, dan Desember 2008, serta bulan Januari 2009 masing-masing adalah 3,32; 3,52; 2,99; 2,65; dan 3,00. Hal tersebut diduga berhubungan dengan
kandungan oksigen terlarut yang menurun dan kembali naik pada bulan Januari 2009 (Gambar 4), dan ikan bandeng tidak tahan terhadap oksigen terlarut rendah (Anonimus, 2009). Secara umum, hubungan faktor kondisi ikan bandeng terhadap waktu relatif sama dengan hasil penelitian Kumagai et al. (1985) di Pulau Naburut, Philipina.
L∞=45
cm K=3,381
Gambar 3. Figure 3.
Komposisi ukuran ikan bandeng dan pertumbuhan di Waduk Ir. H. Djuanda. Size of bandeng composition and its growth in Ir. H. Djuanda Reservoir.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
4.5 4.0
O2 (mg/L)
3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 JUL
Gambar 4. Figure 4.
AGU
SEP
OKT
NOV
DES
JAN
Kandungan rata-rata oksigen terlarut di Waduk Ir. H. Djuanda pada periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Concentration mean of dissolved oxygen in period of July 2008 until Januari 2009 at Ir. H. Djuanda Reservoir. Sumber/Sources: Tjahjo et al. (2009)
Kemampuan Memanfaatkan Plankton Ikan bandeng distribusi terbatas di daerah tropik maupun belahan bumi sebelah utara yang sub tropis sepanjang laut perairan kontinetal dan di sekitar pulau, di mana suhu adalah lebih besar dibanding 20ºC (Anonimus, 2009). Ikan ini mempunyai makanan alami berupa klekap (lab-lab) atau kombinasi antara fitoplankton dan makro algae (Anonimus, 2009). Hasil penelitian kebiasaan makan ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda sangat bervariasi. Pada bulan September 2008, ikan ini mempunyai makanan utama berupa fitoplankton (50,16%) dan zooplankton (48,72%) (Gambar 5). Pada bulan Oktober dan Nopember 2008 konsumsi akan fitoplankton meningkat secara nyata (77,33-77,76%) dan sebaliknya zooplankton (20,02-
20,44%). Pada bulan Desember 2008, konsumsi ikan bandeng terhadap fitoplankton sedikit menurun menjadi 70,91%, zooplankton menurun secara nyata menjadi 1,62%, dan sebaliknya terhadap detritus (27,48%). Penurunan konsumsi ikan bandeng tersebut akan fitoplankton terus berlanjut sampai bulan Januari 2009 menjadi 47,51% dan detritus menjadi 3,88%, sebaliknya untuk zooplankton meningkat menjadi 48,35%. Dinamika kebiasaan makan ikan bandeng yang cukup tinggi ini diduga dipengaruhi oleh perkembangan umur dari ikan tersebut, kesediaan makanan alami dan kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kumagai & Bagarinao dalam Kumagai et al. (1985) bahwa ikan bandeng ini mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan sangat baik terhadap perubahan habitat dan makanan.
KOMPOSISI PAKAN
100% 80% 60% 40% 20% 0% SEP Fitopl.
Gambar 5. Figure 5.
OKT Zoopl.
NOV Makrofita
DES
JAN
Detritus
Kebiasaan makan ikan bandeng menurut waktu pengamatan. Food habit of bandeng according to observation time.
Keberhasilan penebaran ikan bandeng ini di samping mudah ditangkap kembali dan laju pertumbuhannya yang
tinggi, tetapi juga kemampuannya memanfaatkan kelimpahan plankton yang tinggi. Penebaran ikan ini secara
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
tidak langsung meningkatkan kualitas air lebih baik. Hal tersebut disebabkan tingginya tingkat konsumsi ikan bandeng terhadap fitoplankton, akan merangsang fitoplankton tersebut tumbuh dengan cepat dengan memanfaatkan unsur hara yang berlimpah. Akibat dari siklus tersebut secara tidak langsung mendorong peningkatan kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. KESIMPULAN DAN SARAN
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. Kumagai, S., T. Bagarinao, & A. Unggui. 1985. Growth of juvenile milkfish Chano chanos in natural habitat. Mar. Ecol. Prog. Ser. 22: 1-6. King, M. 1995. Fisheries Biology Assessment and Management. Blackwell Science Ltd. London. 341 pp.
Kesimpulan 1. Penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda menunjukan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Hal tersebut terbukti bahwa ikan ini dengan mudah dapat ditangkap kembali, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam pemanfaatkan kelimpahan plankton dan laju pertumbuhannya sangat cepat. 2. Dampak penebaran ikan ini dapat mencegah terjadinya blooming plankton dan secara tidak langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. 3. Langkah selanjutnya, dalam upaya peningkatan dampak penebaran ikan bandeng untuk memperbaiki kualitas perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, maka perlu dilanjutkan penelitian strategi penebaran ikan bandeng dan penguatan kelembagaan nelayan yang ada. Saran 1. Kelembagaan nelayan belum terlalu siap mendukung program ini, sehingga pencatatan hasil tangkapan ikan bandeng sangat minim. Selanjutnya kelembagaan tersebut setelah ada dan berfungsi, perlu program penebaran secara swadaya oleh nelayan. 2. Ikan bandeng ini terlalu mudah untuk ditangkap kembali dan pertumbuhannya sangat cepat, sehingga perlu disusun kembali strategi penebaran ikan ini agar manfaatnya dapat dirasakan oleh nelayan sepanjang tahun. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat, T. A. 2008-2009, di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2009. Chanos chanos, Cultured Aquatic Species Information Programme. http://fao.org/fishery/culturedspecies/Chanos_chanos/en . Tanggal 25 Juli 2009.
Kartamihardja, E. S. 2007. Spektra ukuran biomassa plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas ikan di zona limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 137 pp. Nielsen, L. A. & D. L. Johnson. 1985. Fisheries Techniques. American Fisheries Society. Bethesda. Maryland. 468 pp. Nastiti, A. S., Krismono, & E. S. Kartamihardja. 2001. Daya dukung perairan Waduk Jatiluhur untuk budi daya ikan dalam keramba jaring apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (2): 14-21. Quinn II, T. J. & R. B. Deriso. 1999. Quantitative Fish Dynamics. Oxford University Press. New York. 542 pp. Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1. Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 pp. Tjahjo, D. W. H. 1986. Ciri-ciri morphologi Waduk Saguling dan beberapa waduk lainnya hubungannya dengan potensi pengembangan perikanan. Buletin Penelitian Perikanan Darat. 5 (1): 47-55. Tjahjo, D. W. H. 2004. Kemantapan hasil tangkapan, keterkaitannya dengan sintasan, pertumbuhan, dan intensitas penangkapan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) yang ditebarkan di Waduk Darma, Kuningan, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 pp. Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, A. Suryandari, Y. Sugianti, & Rahmadi. 2008. Biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat. Laporan Kegiatan Riset 2008. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Jatiluhur. Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, M. R. A. Putri, Y. Sugianti, & H. Saifullah. 2009. Biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat. Laporan Kegiatan Riset 2009. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Jatiluhur.
Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)
BEBERAPA PARAMETER POPULASI IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT Masayu Rahmia Anwar Putri dan Didik Wahju Hendro Tjahjo Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Teregistrasi I tanggal: 1 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 7 Pebruari 2011
ABSTRAK Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) saat ini merupakan ikan konsumsi yang telah banyak dibudidayakan karena proses produksinya yang cukup singkat dan tahan terhadap serangan penyakit. Penelitian ini dilakukan untuk menduga hubungan panjang dan bobot, parameter pertumbuhan, mortalitas, dan upaya penangkapan ikan bawal air tawar. Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata Jawa Barat pada tahun 2008 dan 2009. Hubungan panjang dan bobot ikan bawal air tawar digambarkan dalam persamaan W=0,0365L2,7788 dengan faktor kondisi 1,07. Pendugaan parameter pertumbuhan yang diperoleh adalah L∞=29,40 cm, K=0,19 per tahun, dan t0=0,89 tahun. Nilai Z=0,82 per tahun, M=0,61 per tahun, F=0,20 per tahun, dan E=0,25, karena E<Eopt maka diduga belum terjadi lebih tangkap. KATA KUNCI:
parameter populasi, Colossoma macropomum, Waduk Cirata
ABSTRACT:
Some population parameters of bawal freshwater (Colossoma macropomum) at Cirata Reservoir, West Java. By: Masayu Rahmia Anwar Putri and Didik Wahju Hendro Tjahjo
Present, bawal freshwater (Colossoma macropomum) was a consumption fish that have been cultivated because the short production process and was very resistant to diseases. This study was carried out for estimating length weight relationship, growth parameter, mortality, and catching effort of bawal freshwater. This research was carried out at Cirata Reservoir, West Java on 2008 and 2009. The length weight relationship was described by the equation W=0.0365L2.7788 with condition factor 1.07. Estimating of growth parameters which obtained were L∞=29.40 cm, K=0.19 per year, and t0=0.89 year. The value of Z=0.82 per year, M=0.61 per year, F=0.20 per year and E=0.25. Because E<Eopt, then estimated, that the fish population has not over exploited. KEYWORDS:
population parameters, Colossoma macropomum, Cirata Reservoir
PENDAHULUAN Ikan bawal air tawar bukan ikan asli Indonesia tetapi merupakan ikan asli yang berasal dari Brazil, Amerika Selatan. Ikan ini didatangkan ke Indonesia dari Taiwan pada tahun 1986. Awalnya ikan ini didatangkan sebagai ikan hias yang dipelihara di akuarium ataupun kolamkolam. Akan tetapi karena memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat dan dapat mencapai ukuran besar, ikan ini menjadi kurang pantas untuk dipajang (Anonimus, 2009). Oleh karena itu, ikan ini kemudian lebih populer menjadi ikan konsumsi dikarenakan rasa dagingnya enak dan gurih. Ikan ini pun mulai banyak dibudidayakan karena proses produksinya yang cukup singkat dan termasuk jenis ikan yang tahan terhadap serangan penyakit. Menurut Hakim (2009), saat ini harga ikan bawal air tawar mencapai Rp.16.000/kg. Jika dibandingkan dengan harga jual ikan patin (Pangasius spp.) (Rp.6.000/kg) dan lele (Clarias sp.) (Rp. 9.000/kg) maka ikan bawal air tawar dapat dikatakan sebagai ikan ekonomis tinggi. Keberadaan ikan bawal air tawar di Waduk Cirata tidak sengaja ditebar dan merupakan ikutan dari dari penebaran
yang dilakukan untuk menunjang potensi perikanan di waduk tersebut. Waduk ini menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar melalui aktivitas perikanan tangkap dan budi daya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung. Sama halnya dengan ikan introduksi lainnya, ikan ini juga dapat menjadi ancaman bagi kelestarian ikan asli di perairan Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian akan keberadaan ikan ini agar tidak mengganggu keberadaan dari ikan-ikan asli di Waduk Cirata. Sebagai langkah awal, perlu diketahui parameter populasi dari ikan bawal air tawar di antaranya hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, parameter pertumbuhan, dan mortalitas ikan ini di Waduk Cirata. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata, Jawa Barat (Gambar 1) pada tahun 2008 dan 2009. Contoh ikan didapatkan dari hasil tangkapan nelayan dan enumerator di Waduk Cirata dengan menggunakan gill net ukuran 2-4 inci. Ikan yang tertangkap diukur panjang dan bobotnya untuk kemudian data tersebut dianalisis.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Figure 1.
Peta Waduk Cirata. Map of Cirata Reservoir.
Analisis hubungan panjang dan bobot dari ikan bawal air tawar menggunakan rumus sebagai berikut:
b W = aL ..................................................................... (1 di mana: W = bobot ikan (g) L = panjang ikan (mm) a dan b = konstanta Rumus umum tersebut bila ditranformasikan ke dalam logaritma, maka akan mendapatkan persamaan Log W=log a+b log L, yaitu persamaan linier atau persamaan garis lurus. Harga konstanta b adalah nilai pangkat yang cocok dari panjang ikan agar sesuai dengan bobot ikan (Effendie, 1997). Nilai konstanta b kemudian diuji ketepatannya terhadap b≠3 menggunakan uji t. Faktor kondisi dihitung menggunakan rata-rata panjang total dan bobot ikan bawal air tawar. Persamaan rumus perhitungannya seperti berikut (Effendie, 1997):
K=
W ................................................................... (2 b aL
di mana: K = W = L = a dan b =
Growth Function (Sparre & Venema, 1999). Sedangkan total mortalitas (Z) didapatkan dengan menggunakan persamaan Beverton and Holt (Gayanilo et al., 2005).
Untuk koefisien mortalitas alami (M) menggunakan persamaan empiris Pauly (1980) dalam Sparre & Venema (1999), di mana: Log (M)=-0,0066-0,279 Log (L∞)+0,654 Log (K)+0,4634 Log (T) .. (3
di mana: M = mortalitas alami L∞ = panjang asimtotik K = percepatan pertumbuhan T = suhu rata-rata perairan Mortalitas penangkapan (F) didapatkan dari pengurangan total mortalitas terhadap mortalitas alami, dan upaya penangkapan (E) didapatkan dari pembagian mortalitas penangkapan dengan total mortaliltas (Gayanilo et al., 2005). Rasio penangkapan akan mencapai optimal jika E=0,50, yang artinya hasil tangkapan terhadap suatu populasi atau suatu stok ikan akan mencapai tangkapan yang lestari (maximum sustainable yield) jika mortalitas penangkapan sebesar mortalitas alami (F=M) (Gulland, 1971 dalam Wouthuyzen et al., 1984). HASIL DAN BAHASAN
faktor kondisi bobot rata-rata ikan yang sebenarnya (g) panjang total rata-rata ikan (cm) konstanta
Analisis data untuk mengetahui parameter pertumbuhan ikan dilakukan dengan menggunakan FiSAT II. Program ELEFAN adalah modul dalam program FiSAT yang menggunakan data frekuensi panjang. Persamaan yang digunakan oleh ELEFAN adalah rumus Von Bertalanffy
Contoh ikan bawal air tawar yang didapatkan di Waduk Cirata merupakan salah satu jenis ikan dari famili Characidae dan satu-satunya spesies dari genus Colossoma. Ikan ini dapat berumur panjang (dapat mencapai 15 tahun) dan memiliki perilaku migrasi musiman yang kompleks, baik dari segi reproduksi maupun kebiasaan makan (Nozawa et al., 2008).
Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)
Ikan bawal air tawar bersifat soliter dan merupakan ikan omnivor yang mengkonsumsi zooplankton, insekta, siput, dan tumbuh-tumbuhan yang telah hancur. Ikan ini dapat hidup dalam perairan yang miskin mineral dan juga tahan terhadap penyakit (Anonimus, 2010).
Gambar 2. Figure 2.
Total tangkapan ikan bawal air tawar tertinggi didapatkan pada bulan Juni, baik pada tahun 2008 maupun 2009. Total ikan bawal air tawar yang diperoleh pada penelitian ini berjumlah 434 ekor dengan panjang antara 10-28 cm dan bobot 18-380 g. Ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata ditampilkan pada Gambar 2.
Ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata. Bawal freshwater found at Cirata Reservoir.
Hubungan Panjang, Bobot, dan Faktor Kondisi
Hasil analisis hubungan panjang dan bobot dari ikan bawal air tawar di Waduk Cirata dihasilkan persamaan W=0,0407L2,7323 (r2=0,8536) dengan nilai b=2,7323. Setelah dilakukan uji t, nilai t hitung (thitung=131,16) lebih besar dari t table (ttabel=1.965) dengan tingkat kepercayaan 95% yang artinya peningkatan pertambahan bobot tidak sebanding dengan pertambahan panjangnya (≠3).
Berdasarkan atas perhitungan tersebut dapat diindikasikan bahwa ikan bawal air tawar di Waduk Cirata mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif dengan b lebih kecil dari 3 (b=2,73) yang menunjukan pertumbuhan bobot dari ikan ini tidak secepat pertambahan panjangnya (Gambar 3). Pola pertumbuhan ikan bawal air tawar di Waduk Cirata juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Villacorta-Correa & Saint-Paul (1999) yang memiliki pola pertumbuhan alometrik dengan b=2,904.
Berat (gram)
400 2.7323
350
2,7323 yW=0,0407L = 0.0407x
300
RR2=0,8536 = 0.8536
2
250 200 150 100 50 0 0
5
10
15
20
25
30
Panjang Total (cm)
Gambar 3. Figure 3.
Hubungan panjang dan bobot ikan bawal air tawar. Length and weigth relationship of bawal freshwater.
Nilai rata-rata faktor kondisi dari ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata 1,07. Faktor kondisi (k)
dari ikan bawal air tawar di Waduk Cirata tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan di Amazon, Brazil yaitu
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
berkisar antara 0,9-1,08 (Villacorta-Corea & Saint-Paul, 1999). Faktor kondisi ikan bawal air tawar di Waduk Cirata tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Juni. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Amazon diketahui bahwa faktor kondisi berfluktuasi setiap bulannya, di mana nilai rata-rata terendah ditemukan pada bulan Agustus dan Oktober ketika akhir musim kemarau dan turunnya muka air, kemudian
saat air naik terjadi kenaikan nilai rata-rata faktor kondisi dari ikan bawal ini. Gambar 4 menunjukan perbandingan fluktuasi faktor kondisi (k) ikan bawal air tawar di Amazon dan Waduk Cirata. Perbedaan faktor kondisi menurut Olurin & Aderibigbe (2006) dipengaruhi oleh jenis kelamin, musim, kondisi lingkungan, stress, dan ketersediaan makanan.
(a) 1.15 1.1 1.05 1 0.95 0.9
Agustus
Juni
April
Desember
Oktober
Agustus
Juni
April
0.85
(b) Gambar 4. Figure 4.
Perbandingan fluktuasi nilai rata-rata faktor kondisi ikan bawal air tawar (a) Amazon, Brazil (VillacortaCorea & Saint Paul, 1999) dan (b) Waduk Cirata. Comparison of fluctuations in average condition factor of fish, bawal freshwater (a) Amazon, Brazil (Villacorta-Corea & Saint Paul, 1999) and (b) Reservoir Cirata.
Pendugaan Parameter Pertumbuhan
Panjang total maksimum ikan bawal air tawar di Waduk Cirata 28 cm. Diduga ikan bawal air tawar yang tertangkap di Waduk Cirata selama pengamatan bukan ikan dewasa karena jika dibandingkan dengan pendugaan laju pertumbuhan dari ikan bawal air tawar di habitat aslinya, perairan Amazon, Brazil, panjang asimtotik ikan ini dapat mencapai lebih dari 1 m (Tabel 1). Panjang maksimum ini tentu jauh berbeda dengan estimasi panjang asimtotik ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata. Perbedaan karakteristik lingkungan diduga menjadi faktor
utama kecilnya ukuran ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata. Menurut Tjahjo et al. (2009), limbah organik di Waduk Cirata mencapai 338.462,6 ton/tahun yang berasal dari kegiatan budi daya. Tingginya beban bahan organik di suatu perairan akan mempengaruhi pertumbuhan dari biota yang hidup di perairan tersebut. Hal ini dikarenakan tingginya bahan organik akan mengganggu proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen yang digunakan untuk respirasi biota air sehingga akhirnya secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan dari biota air tersebut dalam hal ini adalah ikan bawal air tawar.
Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)
Tabel 1. Table 1.
Panjang asimtotik (L∞) beberapa penelitian dari ikan bawal air tawar Asymptotic length (L∞), several studies of bawal freshwater
Penulis/Author Petrere (1983) Isaac & Ruffino (1996) dalam Penna et al. (2005) Villacorta-Correa & Saint Paul (1999)-otolith Costa (1998) dalam Penna et al. (2005) Penna et al. (2005)-otholith Penna et al. (2005)-scales
Dengan mengasumsikan L∞=29,40 cm maka nilai K dari ikan bawal air tawar di Waduk Cirata 0,19 pertahun dengan t0=0,89 tahun. Nilai K sendiri menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimtotiknya. Ikan dengan nilai K yang tinggi pada umumnya memiliki umur yang relatif pendek (Pauly, 1980 dalam OTS Ongkers, 2008). Nilai k yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan penelitian dari
Gambar 5. Figure 5.
Lokasi/Location Brazil Brazil Brazil
Brazil Brazil
L∞ (cm) 107,3 119,85 92,316 107,4 100,39 85,125
k (tahun/year) 0,23 0,23 0,16 0,156 0,137 0,225
Petrere (1983); Villacorta-Correa & Saint Paul (1999); Penna et al. (2005) yang masing-masing percepatan pertumbuhannya 0,23; 0,16; dan 0,13. Nozawa et al. (2008) bahwa ikan ini dapat berumur panjang sampai berumur 15 tahun sangat mungkin terjadi jika melihat nilai k yang tidak tinggi. Gambar 5 menampilkan grafik Von Bertalanffy Growth Function dari ikan bawal air tawar.
Grafik Von Bertalanffy Growth Function dari ikan bawal air tawar. Graph Von Bertalanffy Growth Function of bawal freshwater.
Ikan bawal yang tertangkap di Waduk Cirata diduga merupakan ikan yang terlepas dari kolam budi daya. Ikan ini tidak melakukan reproduksi secara alami sehingga pendugaan pola rekruitment (masuknya kohort baru ke dalam suatu perairan) tidak dapat dilakukan. Menurut Frimodt (1995) dalam Anonimus (2010), ikan bawal air tawar dijadikan sebagai ikan budi daya karena ikan ini dapat hidup dalam perairan yang miskin mineral serta tahan terhadap berbagai macam penyakit yang sering menyerang ikan. Mortalitas
Total mortalitas (Z) dari ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata 0,82 per tahun (selang kepercayaan Z antara 0,65-0,99). Rata-rata suhu tahunan di Waduk Cirata 28,8°C, maka jika dimasukan dalam persamaan empiris Pauly (1980) didapatkan mortalitas alami (M) dari ikan ini 0,614 per tahun.
Mortalitas penangkapan yang didapatkan dari F=Z-M adalah 0,206 per tahun dengan rasio eksploitasi yang diperoleh 0,25 per tahun. Menurut Gulland (1971) dalam Wouthuyzen et al. (1984), suatu stok ikan akan mencapai tangkapan maksimum yang lestari (maximum sustainable yield) jika mortalitas penangkapan sebesar mortalitas alami, sehingga rasio eksploitasi akan mencapai optimal jika Eopt=0,5. Dari nilai tersebut dapat dikatakan belum terjadi lebih tangkap (over fishing) terhadap ikan bawal air tawar di Waduk Cirata. Walaupun begitu, pemakaian jaring dengan ukuran mata jaring yang kecil (tidak selektif) diharapkan dapat dikendalikan sehingga ikan-ikan yang kecil dapat tumbuh menjadi lebih besar. Kondisi ini tentunya dapat menguntungkan nelayan karena ikan dengan ukuran yang lebih besar tentunya memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan ikan yang berupa anakan.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Didownload dari http://www.radar-bogor.co.id. Tanggal 12 Maret 2010.
KESIMPULAN
1. Tangkapan ikan bawal air tawar tertinggi terjadi pada bulan Juni. 2. Persamaan dari hubungan panjang dan bobot dari ikan bawal air tawar adalah W=0,0407L2,7323 (r2=0,8536) dengan faktor kondisi 1,07. 3. Hasil pendugaan parameter pertumbuhan ikan bawal air tawar di Waduk Cirata didapatkan L∞=29,4 cm, K=0,19 per tahun, dan t0=0,89 tahun. 4. Nilai total mortalitas ikan bawal air tawar adalah 0,82 per tahun dengan mortalitas alami dan mortalitas penangkapan masing-masing 0,614 dan 0,206 per tahun. 5. Rasio eksploitasi ikan bawal air tawar di Waduk Cirata belum mencapai over fishing dengan rasio eksploitasi 0,25 per tahun. PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat, T. A. 2008, di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2009. Ikan Hias: Kenali tentang Ikan Bawal Air Download dari http://acan-onTawar. skyes.blogspot.com/search/label/ikan%20hias. Tanggal 12 Maret 2010. Anonimus.
2010.
Colossoma
macropomum
(Cuvier,
1816).
http://fishbase.org/Summary/speciesSummary.php?ID= 263&genusname=Colossoma&speciesname=macropom um&lang=English Download 12 Maret 2010. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Utama.Yogyakarta.
Nozawa, S. R., F. M. Casanova, M. S. Ferreira-Nozawa, R. T. Honda, P. H. R. Aride, A. L. Val, & V. M. F Almeida-Val. 2008. Identification and characterization of genes in amazonian tambaqui (Colossoma macropomum) exposed to copper and cadmium. The proceedings of the 5th World Fisheries Congress. Japan. Olurin, K. B. & O. A. Aderibigbe. 2006. Length and weight relationship and condition factor of pond reared juvenile Oreochromis niloticus. World Journal of Zoology. 1 (2): 82-85. OTS Ongkers. 2008. Parameter populasi ikan teri putih (Stolephorus indicus) di Teluk Ambon bagian dalam. Jurnal ikhtiologi Indonesia. 8 (2): 85-92. Pauly, D. 1980. On the interrelationships between natural mortality, growth parameters, and mean environmental temperature in 175 fish stocks. J. Cons. CIEM. 39 (2): 175-192. Petrere, M. 1983. Yield per recruit of the tambaqui, Colossoma macropomum cuvier, in the Amazonas State, Brazil. Journal of Fish Biology. 22: 133-144. Penna, M. A. H., M. A. Villacorta-Corrêa, T. Walter, & M. Petrere-Jr. 2005. Growth of the tambaqui Colossoma macropomum (Cuvier) (Characiformes: Characidae): Which is the best model?. Brazilian Journal Biology. 65 (1): 129-139. Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 pp. Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, M. R. A. Putri, & D. I. Kusumaningtyas. 2009. Laporan Tahunan Kegiatan Biolimnologi dan Hidrologi Waduk Kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat Tahun 2008. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur. Tidak Dipublikasikan.
Gayanilo, F., C. P. Sparre, & D. Pauly. 2005. Food and Agriculture Organization-ICLARM Stock Assessment Tools II Revised Version: User’s Guide. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Download dari ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/y5997e/y5997e07.pdf 28 Juli 2009.
Villacorta-Corrêa, M. A. & U. Saint-Paul. 1999. Structural index and sexual maturity of tambaqui Colossoma macropomum (Cuvier, 1818) (Characiformes: Characidae) in Central Amazon, Brazil. Rev. Bras. Biol. 59: 637-652.
Hakim, L. L. 2009. Upaya Forum Lingkar Kampus Kembangbiakan Ikan Bawal (2-habis): Mudah Dibudidayakan, Punya Nilai Ekonomi Tinggi.
Wouthuyzen, S., A. Suwartana, & O. K. Sumadhiharga. 1984. Studi tentang populasi ikan kuri merah, Stolephorus heterolobus (ruppel) dan kaitannya dengan perikanan umpan di Teluk Ambon bagian dalam. Oseanologi di Indonesia. 18: 1-20.
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DI SITU PANJALU, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT Andri Warsa dan Kunto Purnomo Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Teregistrasi I tanggal: 17 Oktober 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Desember 2010; Disetujui terbit tanggal: 12 Januari 2011
ABSTRAK Situ Panjalu merupakan badan air yang secara administratif terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dengan luas 45 ha. Produktivitas primer adalah laju produksi karbon organik per satuan waktu pada suatu ekosistem akuatik yang merupakan hasil penangkapan energi matahari oleh tumbuhan hijau untuk diubah menjadi energi kimia melalui fotosintesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu. Penelitian di lakukan pada bulan Agustus 2010. Pengukuran produktivitas primer fitoplankton horisontal dilakukan pada tiga stasiun penelitian yaitu Kampung Duku, Banjar Waru, dan Simpar sedangkan secara vertikal pada kedalaman 0,5 m (permukaan) dan 2 m dengan metode botol gelap dan terang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Situ Panjalu merupakan perairan yang subur (eutrofik dan hipertrofik) dengan nilai produktivitas primer kotor, bersih, dan respirasi masing-masing berkisar antara 47,1-207,8; 2,2-193,8; dan 9,4-173,3 mgC/m3/jam. Kelimpahan individu fitoplankton berkisar 1.006437.610 ind./L dengan genera yang banyak ditemukan adalah genera Closterium dari kelas Chlorophyceae, genera Oscillatoria dari kelas Cyanophycea, dan genera Peridinium dari kelas Dinophyceae. KATA KUNCI:
produktivitas primer, fitplankton, status tropik, Situ Panjalu
ABSTRACT:
The primary productivity of phytoplankton at Panjalu Pond, Ciamis Regency, West Java Province. By: Andri Warsa and Kunto purnomo
Panjalu Pond located at Ciamis Regency, West Java Province with area is 45 ha. Primary productivity represents the synthesis of organic matter of aquatic system. The aim of this research to know primary productivity of phytoplankton at Panjalu Pond. This research was done in August 2010 at 3 stations include Kampung Duku, Banjar Waru, and Simpar. Sampling site was at 2 in depth that were surface (0.5 m) and 2 m. Sampling method was done with dark light bottle method. Result of the research showed that Panjalu Pond was eutrophic and hypereutrophic level with gross primary productivity, net primary productivity, and respiration respectively range from 47.1-207.8; 2.2-193.8; and 9.4-173.3 mgC/m3/h. Abundance of phytoplankton range from 1,006-437,610 ind./L with dominant genera Closterium from class Chlorophyceae, genera Oscillatoria from class Cyanophycea, and genera Peridinium from class Dinophyceae. KEYWORDS:
primary productivity, phytoplankton, trophic level, Panjalu Pond
PENDAHULUAN Produktivitas primer adalah laju produksi karbon organik per satuan waktu pada suatu ekosistem akuatik yang merupakan hasil penangkapan energi matahari oleh tumbuhan hijau untuk diubah menjadi energi kimia melalui fotosintesis (Jorgensen, 1980; Odum, 1995). Proses tersebut tergantung pada faktor biotik dan abiotik misalnya cahaya, subtrat anorganik (CO2 dan H2S), serta nutrien anorganik (N, P, dan Si) (Noges & Kangro, 2005). Produktivitas primer, biomassa fitoplankton dan kandungan klorofil-a merupakan tiga komponen yang dapat menjelaskan karakteristik fitoplankton di perairan lentik (Hasan, 2008). Situ Panjalu merupakan badan air yang secara administratif terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Situ ini memiliki luas 45 ha yang merupakan sumber mata pencaharian bagi penduduk sekitar yang berprofesi sebagai nelayan. Badan air tersebut memiliki keragaman jenis ikan yang tinggi dengan jenis-jenis ikan antara lain ikan beunteur (Puntius binotatus), oskar (Amphilopus
citrinellus), keril (Aequidens rivulatus), goldsom (Aequidens goldsom), patin (Pangasianodon hypophthalmus), nila (Oreochromus niloticus), betok (Anabas testudineus), nilem (Osteochilus hasselti), dan lele (Clarias batrachus). Beberapa jenis ikan tersebut dapat memanfaatkan fitoplankton sebagai pakan alaminya antara lain ikan patin, nila, dan beunteur (Purnomo et al., 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas primer fitoplanton di Situ Panjalu. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian di lakukan di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada bulan Agustus 2010. Pengukuran produktivitas primer fitoplankton secara horisontal dilakukan pada tiga stasiun penelitian (Gambar 1 dan Tabel 1). dan secara vertikal pada kedalaman 0,5 m (permukaan) dan 2 m.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Figure 1. Tabel 1. Tabel 1.
Lokasi penelitian. Research locations.
Karakteristik stasiun penelitian di Situ Panjalu Characteristic of research stations at Panjalu Pond
Lokasi/ Locations Kampung Dukuh Banjar Waru Simpar
Posisi geografi/ Geography positions S=07°07’31,68” E=108°16’19,98” S=07°07’42,30” E=108°16’25,92” S=07°07’42,96” E=108°16’6,30”
Kondisi lingkungan/Environmental conditions Daerah sekitar merupakan tanah gundul, banyak aktivitas penangkapan, dan dekat dengan pemukiman penduduk. Lokasi lebih ke tengah badan air, tidak terdapat tumbuhan air, dan aktivitas penangkapan sedikit. Dekat lokasi pariwisata, transportasi air padat, dan banyak tumbuhan tingkat tinggi.
Cara Kerja
1 Salah satu alternatif yang digunakan untuk menghitung produktivitas primer perairan adalah dengan menghitung besarnya perubahan oksigen dalam suatu medium, karena oksigen merupakan zat yang dilepaskan dalam proses fotosintesis dan digunakan untuk penguraian hasil fotosintesis dalam respirasi (Pitoyo & Wiryanto, 2002). Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan menggunakan metode oksigen (botol gelap dan terang atau dark and light bottle). Contoh air diambil pada kedalaman 0,5 dan 2 m dengan menggunakan kemmerer water sampler bervolume 5 L. Air contoh yang diperoleh kemudian dimasukan ke dalam botol gelap dan terang dan diinkubasi selama 4 jam sesuai dengan kedalaman pengambilan contoh yaitu 0,5 dan 2 m. Perhitungan produktivitas primer fitoplankton berdasarkan atas botol gelap dan terang (dark and light bottles) menggunakan rumus dari Wetzel & Likens (2000), sebagai berikut:
(BT − BG) t
x
0,375 x 1.000 PQ
...................................... (1
(BT − BA) 0,375 x 1.000 x t PQ ............................... (2
(BA − BG)x RQ x 10.00 0,375 t di mana: GPP NPP R BA BT BG
= = = = = =
t = 0,375 = PQ = RQ =
............................ (3
produktivitas primer kotor (mg C/m3/Jam) produktivitas primer bersih (mg C/m3/Jam) resiprasi (mg C/m3/Jam) konsentrasi okasigen terlarut awal (mg/L) konsentrasi okasigen terlarut dalam botol terang (mg/L) konsentrasi okasigen terlarut dalam botol gelap (mg/L) lamanya waktu inkubasi (jam) faktor konversi dari oksigen terlarut ke karbon 1,2 1,0
Pengukuran beberapa parameter kualitas air dilakukan baik langsung di lapangan (insitu) maupun di laboratorium.
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Analisis parameter kualitas air berdasarkan atas metode American Public Health Association (2005). Metode atau Tabel 2. Table 2.
1. 2. 1. 2. 3. 4. 5.
alat yang digunakan di sajikan pada Tabel 2.
Parameter lingkungan dan metode atau alat yang digunakan Environmental parameters and method or equipment used Parameter/Parameters Fisika/Physical parameters Kecerahan/Transparency Suhu/Temperature Kimia/Chemical parameters pH N-NO3 N-NO2 N-NH4 P-PO4
Satuan/Unit cm o C
Ca=11,85(OD664)-1,54(OD647)-0,08 (OD630) Klorofil-a (mg chlorofil-a/m3)=
di mana: Ca Volume ekstrak
Volume contoh d OD664 ,OD647, OD630
Secchi disk Termometer
mg/L mg/L mg/L mg/L
Analisis kandungan klorofil-a dilakukan dengan menggunakan metode trichromatik (determinasi spektrofotometrik klorofil-a, b, dan c). Contoh air dengan volume 250 mL kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring wahtman dengan diameter pori 0,45 µm yang sebelumnya telah diawetkan terlebih dahulu dengan larutan MgCO3 sebanyak 1 mL. Kertas saring kemudian diekstrasi dengan menggunakan aseton 90% setelah itu disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm. Perhitungan klorofil-a mengikuti persamaan American Public Health Association (2005) sebagai berikut:
.... (4
= konsentrasi klorofil-a dalam ekstrak (mg/L) = volume contoh setelah dilarutkan dalam aseton (L) = volume air yang disaring (m3) = diameter atau celah kuvet yang digunakan (1 cm) = absorban yang diperiksa (celah cahaya 1 cm) pada setiap panjang gelombang (664, 647, dan 630 nm) setelah dikurangi dengan absorban pada panjang gelombang 750 nm.
Contoh plankton diperoleh dengan menyaring contoh air 5 L menggunakan plankton net dengan mesh size 40 µm dan dimasukan ke dalam botol bervolume 25 mL. Contoh kemudian diawetkan dengan larutan lugol 1% dan diberi label. Jenis dan kelimpahan fitoplankton diidentifikasi di
Metode/Methods
pH indicator solution 4-10 Brucine sulfat/Spektrofotometri Naftilamine/Spektrofotometri Nessler/Spektrofotomettri SnCl2/Spektrofotometri
bawah miskroskop Olympus dengan pembesaran 10 kali. Identifikasi fitoplankton berdasarkan atas Edmonson (1959); Needham & Needham (1963). Penentuan kelimpahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan metode lackey drop microtransect counting chamber (American Public Health Association, 2005) dengan persamaan sebagai berikut: N=nxA/BxC/Dx1/E .............................................. (5 di mana: N = jumlah total fitoplankton (ind./L) n = jumlah rata-rata total individu per lapang pandang (ind./lapang pandang) A = luas gelap penutup (mm2) B = luas satu lapang pandang (mm2) C = volume air terkonsentrasi (mL) D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas penutup E = volume air yang disaring (L) Penentuan status kesuburan Situ Panjalu menggunakan trophic state index Carlson (Carlson, 1977) berdasarkan atas parameter kecerahan (SD) dan klorofil-a (CHL) dengan rumus sebagai berikut: ................................................. (6 ............................. (7
............................................ (8 Nilai trophic state index yang dihitung berdasarkan atas parameter kecerahan dan klorofil-a kemudian dibandingkan dengan kategori status kesuburan perairan berdasarkan atas Carlson (1977) (Gambar 2).
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 2. Figure 2.
Klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan atas indeks Carlson. Trophic level classification based on Carlson index.
Untuk memperkuat status kesuburan perairan di Situ Panjalu, maka digunakan juga kriteria kesuburan perairan Tabel 3. Table 3.
menurut Linkens (1975) dalam Jorgensen (1980) (Tabel 3).
Klasifikasi status trofik menurut Likens (1975) dalam Jorgensen (1980) Trophic status classification according Likens (1975) in Jorgensen (1980)
Status trofik/Trophic status Oligotrofik/Oligotrophic Mesotrofik/Mesotrophic Eutrofik/Eutrophic Hypereutrofik/Hypereutrophic
Klorofil-a/Chlorophyll-a (mg/m3) <2,5 2,5-8 8-25 >25
Untuk mengetahui pengaruh nutrien N dan P terhadap produktivitas primer, dilakukan analisis dengan menggunakan regresi linier berganda menggunakan bantuan program Minitab Versi 15. Persamaan yang digunakan yaitu: Y=a+bx+ ...+ nx .......................................................... (9 di mana: Y = variabel bergantung (produktivitas primer) x = variabel bebas (N-NH4, N-NO2, N-NO3, dan PPO4) a,b,n = konstanta HASIL DAN BAHASAN Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di Situ Panjalu disajikan pada Tabel 4. Konsentrasi nitrat dan ammonium di Situ Panjalu masing-masing berkisar 0,0630,322 mg/L dengan rata-rata 0,32 mg/L dan 0,254-0,388 mg/L dengan rata-rata 0,322 mg/L. Konsentrasi ammonium tertinggi terdapat di Stasiun Kampung Dukuh pada permukaan dan terendah terdapat di Stasiun Banjar Waru pada dasar perairan. Konsentrasi nitrat tertinggi terdapat pada lokasi penelitian Simpar pada permukaan. Konsentrasi amonium yang tinggi di Stasiun Kampung Dukuh dan nitrat di Simpar kemungkinan berasal dari limbah domestik karena kedua lokasi tersebut dekat dengan pemukimam penduduk dan merupakan lokasi wisata. Konsentrasi
Kecerahan/Transparency (m) >6 6-3 3-1,5 <1,5
ammonium dan nitrat membentuk kesetimbangan di mana nitrat dapat berasal dari oksidasi ammonium dengan bantuan oksigen terlarut (Effendie, 2003). Konsentrasi orthofosfat di Situ Panjalu berkisar 0,0170,030 mg/L dengan rata-rata 0,022 mg/L dan pada umumnya tinggi di dasar perairan. Tingginya konsentrasi orthofosfat di dasar perairan kemungkinan dikarenakan lepasnya ikatan fosfor dari sedimen pada kondisi anaerob (Ji, 2008). Konsentrasi orthofosfat tertinggi terdapat di stasiun pengamatan Simpar. Sumber utama nutrien fosfor di Simpar kemungkinan berasal dari dekomposisi bahan organik baik dari seresah tumbuhan dan limpasan catchment area. Daerah sekitar Situ Panjalu berupa daerah pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan di tengahtengah perairan terdapat pulau yang banyak ditumbuhi tanaman yang dapat menjadi sumber seresah tanaman. Konsentrasi orthofosfat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar 0,9-3,5 mg/L dan 0,091,8 mg/L (Mackentum, 1969 dalam Yuliana & Thamrin, 2006). Konsentrasi orthofosfat di Situ Panjalu secara umum dapat mendukung kehidupan fitoplankton. Kisaran suhu air di Situ Panjalu 27-29°C dengan ratarata 28°C. Fitoplankton dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu air antara 28-32°C (Ray & Rao dalam Pratiwi et al., 2000), sehingga suhu air di Situ Panjalu dapat mendukung kehidupan fitoplankton. Di daerah perairan yang hangat laju fotosintesis pada umumnya cukup tinggi (Widodo &
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Suadi, 2006). Kecerahan di Situ Panjalu berkisar antara 8090 cm. Menurut Siagian (2004) mengatakan bahwa kecerahan yang produktif berkisar 20-60 cm di mana proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Kandungan klorofil-a di Situ Panjalu berkisar 47,7-87,3 mg/m3 dengan rata-rata 71,367 mg/m3 dan tertinggi terdapat di Stasiun Simpar. Hal ini diduga karena memiliki kelimpahan fitoplankton di Stasiun Simpar juga lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Beberapa genera fitoplankton yang terdapat di Situ Panjalu (Tabel 6) yaitu Microcystis dan Oscilatoria mempuyai kandungan klorofila masing-masing 1,12 dan 0,84% dari bobot keringnya (Reynold, 1984) atau untuk Mycrocystis dan Anabaena masing-masing memiliki konsentrasi klorofil-a 32 dan 45 pg/sel (Reynold, 2006).
Berdasarkan atas parameter kecerahan dan klorofil-a perairan Situ Panjalu masuk ke dalam kategori hypereutrofik seperti klasifikasi pada Tabel 3. Nilai indeks status trofik yang dihitung berdasarkan atas indeks Carlson’s perairan Situ Panjalu juga masuk ke dalam kategori eutrofik dan hypereutrofik dengan nilai trophic state index 61,5. Status trofik ini juga diperkuat dengan adanya dominansi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dan Clorophyceae (Tabel 5) yang menandakan perairan tersebut bersifat eutrofik (Jorgensen, 1980). Kehadiran jenis-jenis dari golongan Cyanophyceae terutama dalam bentuk koloni misalnya Microcystis dan Oscilatoria memberi gambaran perairan yang eutrofik ke hipertrofik dan kondisi eutrofikasi yang parah dapat menyebabkan terjadinya blooming alga pengganggu (Wetzel, 2001; Manage et al., 1999 dalam Hartoto, 2004).
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Tabel 4. Table 4.
Beberapa parameter lingkungan di Situ Panjalu Environmental parameters at Panjalu Pond
Stasiun/ Stations Simpar Banjar Waru Kampung Dukuh
Kedalaman/ Depth (m) 0 2 0 2 0 2
Suhu air/ Water temperature (°C) 28,6 27,5 27,4 27,1 28,8 27,5
Kecerahan/ Transparency (cm) 90 80 80
pH/ pH 7,0 7,0 7,0 7,0 7,5 7,0
Nitrit/ Nitrite (mg/L) 0,011 0,013 0,015 0,013 0,010 0,011
Nitrat/ Nitrate (mg/L) 0,340 0,092 0,086 0,083 0,074 0,063
Amonium/ Ammonium (mg/L) 0,331 0,366 0,289 0,254 0,388 0,303
Ortofosfat Orthophosphate (mg/L) 0,023 0,030 0,018 0,025 0,018 0,017
Klorofil-a/ Chlorophyl-a (mg/m3) 83,9 79,7 87,5 47,7 70,7 58,7
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Pada ekosistem akuatik tergenang sebagian besar produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton (Wetzel, 1983). Spesies fitoplankton memberikan kontribusi sekitar 95% dari produktivitas primer di perairan (Nielson, 1975 dalam Valiela, 1995). Biomassa fitoplankton yang berukuran lebih kecil akan mempunyai biomassa yang lebih besar jika dibandingkan dengan fitoplankton yang berukuran lebih besar. Pada daerah tropis picoplankton menyusun 39-63% dari total klorofil-a sedangkan nanoplankton dan microplankton masing-masing hanya 27Tabel 5. Table 5. No. A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. B. 21. 22. 23. C. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. D. 31. 32. E. 33. 34.
42% dan 9-16% (Pena et al., 1990). Cyanophyceae adalah kelas fitoplankton yang termasuk ke dalam kelompok picoplankton (ultrananoplankton) yang mempunyai ukuran <2 µm (Dussart, 1965 dalam Basmi, 2000). Ukuran sel fitoplankton yang lebih kecil dapat menggunakan nutrin lebih cepat dibandingkan dengan fitoplankton yang mempunyai sel yang berukuran lebih besar di badan air yang tidak terlalu subur (Valiela, 1995). Kelimpahan fitoplankton di Situ Panjalu disajikan pada Tabel 5.
Kelimpahan fitoplankton di Situ Panjalu Phytoplankton abundance at Situ Panjalu
Kelas/Genus/ Class/Genus Clorophyceae Ankistrodesmus Aphanocapsa Arthrodesmus Chlorella Chrococcus Chodatella Coelastrum Closterium Cosmarium Crucigenia Dictyosphaerium Pandorina Pediastrum Radiococcus Raphidiosis Scenedesmus Staurastrum Tetraedron Ulothrix Xanthidium Cyanophyceae Lyngbya Microcystis Oscilatoria Bacillariophyceae Asterionella Cyclotella Navicula Nitzschia Pinnularia Synedra Surirella Dinophyceae Ceratium Peridinium Euglenophyceae Phacus Trachelomonas Jumlah Total Jumlah Genera
1.006 2.012 10.060 3.018
Simpar % 2m 67,4 462.760 1.006 0,1 2.012 0,3 1,4 12.072 0,4 8.048
418.496 24.144 4.024 1.006 2.012 2.012
56,5 3,3 0,5 0,1 0,3 0,3
3.018 25.150
0,4 3,4
3.018
0m 498.976
% 68,6 0,1 0,3
0m 342.040 2.012
Dukuh % 2m 65,6 338.016 1.006 0,4
1,8 1,2
20.120 1.006
3,9 0,2
269.608 11.066 1.006
1.006 379.262 21.126
0,1 56,2 3,1
3.018
0,4
0,4
2.012 28.168 1.006 4.024
0,3 4,2 0,1 0,6
182.086
24,6
156.936
23,2
24.144 157.942 4.024
3,3 21,3 0,5
13.078 143.858 2.012
1,9 21,3 0,3
2.012
0,3 2.012
1.006 1.006 54.324
0,1 0,1 7,3
54.324 1.006
7,3 0,1
1.006 740.416 24
0,1
52.312 1.006 51.306 1.006 1.006 675.026 22
Banjar Waru % 2M 65,8 164.984
% 66,9 0,2
0m 269.608
12.072
2,4
11.066 11.066
2,7 2,7
5.030
1,9
51,7 2,1 0,2
279.668 14.084 5.030
55,4 2,8 1,0
223.332 6.036
54,5 1,5
146.876 1.006 1.006
55,5 0,4 0,4
1.006 1.006 1.006 4.024 28.168 1.006 1.006
0,2 0,2 0,2 0,8 5,4 0,2 0,2
1.006
0,2
1.006
0,2
1.006 4.024 18.108
0,2 0,8 3,6
1.006 14.084 1.006
0,2 3,4 0,2
1.006 10.060
0,4 3,8
2.012
119.714 1.006 4.024 114.684 1.006
23,0 0,2 0,8 22,0 0,2
115.690
0,4 0,0 22,9
1.006 103.618
0,2 25,3
75.450
28,5
14.084 101.606 2.012 1.006 1.006
2,8 20,1 0,4 0,2 0,2
5.030 98.588 3.018
1,2 24,1 0,7
10.060 65.390 2.012
3,8 24,7 0,8
1.006
0,2
2.012
0,5 1.006 1.006
0,4 0,4
0,3
7,7 0,1 7,6 0,1 0,1
57.342
11,0
57.342 1.006
11,0 0,2
1.006 521.108 23
0,2
Di Situ Panjalu ditemukan lima kelas fitoplankton yaitu Chlorophyceae (20 genera), Cyanophyceae (tiga genera), Bacillariophyceae (tujuh genera), Dinophyceaea (dua genera), dan Euglenaphyceae (dua genera). Kelimpahan individu fitoplankton yang ditemukan di Situ Panjalu berkisar 1.006-437.610 ind./L. Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di Stasiun Simpar dan terendah terdapat
48.288 1.006 47.282 1.006
9,6 0,2 9,4 0,2
1.006 505.012 21
0,2
% 62,4
1.006
0,2
33.198
8,1
22.132
8,4
33.198
8,1
22.132
8,4
409.442 17
264.578 14
di Banjar Waru. Hal ini diduga karena konsentrasi ortofosfat, nitrat, amonium, serta kecerahan di Stasiun Simpar yang lebih tinggi dibandingkan dua stasiun lainnya. Chlorophyceae dan Cyanophyceae merupakan kelas fitoplankton yang banyak ditemukan di Situ Panjalu dengan kelimpahan kelas masing-masing berkisar antara 164.984462.760 ind./L dan 75.450-182.086 ind./L (Tabel 6).
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Genera fitoplankton yang banyak ditemukan di Situ Panjalu adalah Closterium, Oscillatoria, dan Peridinium. Genera yang sama juga ditemukan di Danau Limboto yang merupakan danau yang subur (eutrofik) (Krismono et al., 2009). Genera Closteriun sangat umum ditemukan pada danau eutrofik dan mesotrofik dengan kelimpahan yang tinggi (Gonulol et al., 1993 dalam Naz & Turkmen, 2005). Oscillatoria membutuhkan suhu air 28°C dan 30°C untuk pertumbuhan optimalnya (Whitton, 1973) dan suhu di Situ Panjalu berada pada kisaran tersebut sehingga mendukung pertumbuhan Oscillatoria. Tabel 6. Table 6.
Produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu Primary productivity of phytoplankton at Situ Panjalu
Stasiun/ Stations Kampung Dukuh Banjar Waru Simpar
Produktivitas primer suatu ekosistem perairan pada dasarnya merupakan hasil perubahan energi cahaya matahari menjadi energi kimia dalam tubuh organisme autotrof perairan tersebut melalui fotosintesis. Sebagian organisme autotrof dapat melakukan sintesis tanpa bantuan cahaya matahari, namun persentasenya sangat kecil (Barnes & Mann, 1994 dalam Pitoyo & Wiryanto, 2002). Hasil pengukuran produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu disajikan pada Tabel 6.
Kedalaman/ Depth (m)
Produktivitas primer kotor/ Gross primary productivity (mgC/m3/jam)
0,5 2,0 2,0 0,5 0,5 2,0
118,1 47,1 91,4 78,3 107,8 207,8
Faktor yang mempengaruhi produktivitas primer fitoplankton adalah cahaya, nutrien, dan suhu air (Bourterfas et al., 2002). Penggunaan nutrien yang berhubungan dengan kecepatan fotosintesis yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Nutrien ammonium dapat digunakan oleh fitoplankton secara perlahan pada kondisi gelap. Pengkayaan suatu badan air oleh nutrien khususnya nitrogen atau fosfor merangsang pertumbuhan fitoplankton yang akan kemungkinan dapat mengganggu keseimbangan organisme hidup dan kualitas air (Loureiro et al., 2005). Hasil analisis regresi linier berganda menunjukan bahwa nutrien yang berpengaruh secara nyata (P<0,05 dan R2=0,998) terhadap produktivitas primer di Situ Panjalu adalah amonium dan orthofosfat. Nitrat tidak berpengaruh secara nyata (P>0,05) terhadap produktivitas primer di Situ Panjalu. Persamaan hubungan regresi linier berganda sebagai berikut: Y=-466,6+896,6 N-NH4+603,6 P-PO4 ...................... (10 Alga menggunakan amonium dan nitrat untuk pertumbuhanya melalui proses fotosintesis, namun amonium merupakan bentuk nitrogen yang lebih disukai oleh fitoplankton dari pada nitrat. Amonium tersebut digunakan untuk membentuk protein selama proses fotosintesis. Orthofosfat dapat merupakan senyawa fosfor yang secara mudah dapat digunakan oleh fitoplankton (Effendie, 2003; Ji, 2008). Yuliana et al. (2002) juga mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kandungan nutrien orthofosfat dan produktivitas primer.
Produktivitas primer bersih/ Net primary productivity (mgC/m3/jam) 85,3 2,20 50,6 -95 100,0 193,8
Respirasi/ Respiration (mgC/m3/jam) 39,7 59,1 49,9 173,3 9,40 16,9
Produktivitas primer kotor adalah jumlah total fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan produktivitas primer bersih adalah besarnya sintesis senyawa karbon organik selama proses fotosintesis dikurangi besarnya aktivitas total respirasi pada waktu terang dan gelap dalam jangka waktu tertentu (Folkowski & Raven, 1997 dalam Pitoyo & Wiryanto, 2002). Produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu pada umumnya tinggi pada permukaan dibandingkan dengan kedalaman 2 m. Hal ini diduga karena pada permukaan mempunyai kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedalama 2 m. Nilai produktivitas primer lebih tinggi di permukaan dibandingkan dengan lapisan yang lebih dalam juga terdapat di Waduk Cengklik, Jawa Tengah (Pitoyo & Wiryanto, 2002) dan Danau Batu, Kalimantan Tengah (Veronica & Ardianor, 2007). Besarnya produktivitas primer suatu perairan mengindikasikan besarnya ketersediaan nutrien terlarut (Krismono & Kartamihardja, 1995). Produktivitas pimer kotor fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun pengamatan Simpar dengan nilai 207,8 mgC/m3/jam dan terendah pada Stasiun Kampung Dukuh dengan nilai 47,1 mgC/m3/jam. Nilai produktivitas primer kotor, bersih, dan respirasi di Situ Panjalu lebih tinggi jika dibandingkan Danau Batu, Kalimantan Tengah dengan nilai masing-masing 12,8; 7,7; dan 20,5 mgC/m3/jam (Veronica & Ardianor, 2007) namum jauh lebih rendah dibandingkan dengan Waduk Cengklik, Boyolali, Jawa Tengah dengan nilai produktivitas primer kotor di permukaan berkisar 11.122.500-22.545.600 mgC/m3/hari (Pitoyo & Wiryanto, 2002). Perairan Situ
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Panjalu berdasarkan atas nilai produktivitas primer kotor termasuk ke dalam kategori eutrofik dengan nilai produktivitas primer >62,5 mgC/m3/jam (Suwignyo, 1983; Linken, 1975 dalam Hartoto, 2004). KESIMPULAN 1. Perairan Situ Panjalu merupakan perairan yang subur (eutrofik dan hypertrofik). 2. Nilai produktivitas primer kotor, bersih, dan respirasi masing-masing berkisar antara 47,1-207,8 mgC/m3/jam, 2,2-193,8 mgC/m3/jam, dan 9,4-173,3 mgC/m3/jam. 3. Kelimpahan individu fitoplankton berkisar 1.006437.610 ind./L dengan genera yang banyak ditemukan adalah genera Closterium dari kelas Chlorophyceae, genera Oscillatoria dari kelas Cyanophycea, dan genera Peridinium dari kelas Dinophyceae.
Hartoto, D. I. 2004. Pengembangan Budi Daya Perikanan di Perairan Waduk Suatu Upaya Pemecahan Masalah Budi Daya Ikan dalam Keramba Jaring Apung: Dinamika Populasi Plankton sebagai Indikator Pencemaran pada Perairan Waduk. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 57-74. Hasan, Z. 2008. Spatial and temporal distribution of phytoplankton at Cirata Reservoir in relation to aquatic primary produktivity. In Procedding Internastional Conference on Indonesia Inland Waters. Research Institute for Inland Fisheries. 191-195. Jorgensen, S. E. 1980. Lake Management: Water Devolopment, Supplay, and Management. Volume 14. Pergamon Press. 167 pp. Ji, Zhen-Gang. 2008. Hydrodynamics and Water Quality: Modeling Rivers, Lakes, and Estuaries. John Willey & Sons. New Jersey. 676 pp.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset perikanan berbasis budi daya (culture base fisheries) di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis-Jawa Barat dan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes-Jawa Tengah, T. A. 2010, di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta.
Krismono, A. S. N. & E. S. Kartamihardja. 1995. Status trofik perairan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah, sebagai dasar pengelolaan perikanannya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 1 (3): 26-35. Krismono, L. P Astuti, & Y. Sugianti. 2009. Karakteristik kualitas air Danau Limboto, Provinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (1): 59-68.
DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association. 2005. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. 21st Edited. Eaton, A. D., L. S. Clesceri, E. W. Rice, & A. E. Greenberg. Amer. Publ. Health Association Inc. New York. 1,296 pp. Basmi, H. J. 2000. Planktonologi: Terminologi dan Adaptasi. Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 pp.
Loureiro, S. A., Newton 2, & J. Icely. 2005. Effects of nutrient enrichments on primary production in the Ria Formosa coastal lagoon (Southern Portugal). Hydrobiologia. 550: 29-45. Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and Enlarged. Holden Day. Inc. San. Fransisco. 180 pp. Naz, M. & M. Turkmen. 2005. Phytoplankton biomass and spesies composition of Lake Golbasi (Hatay-Turkey). Turkey Journal Biology. 9: 49-56.
Bouterfas, R. M., M. Belkoura, & A. Duta. 2002. Light and temperature effect on the growth rate of three freshwater algae isolated from eutrophic lake. Hydrobiologia. 489: 207-217.
Noges, T. & K. Kangro. 2005. Primary production of phytoplankton in a strongly stratified temperate lake. Hydrobiologia. 547: 105-122.
Carlson, R. E. 1977. A Trophic State Index for Lake, Limnology, and Oceanography. 22 (2): 361-369.
Odum, P. 1995. Dasar-Dasar Ekologi. (Terjemahan). Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 674 pp.
Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biology. 2nd Ed. John Wiley & Sonc. Inc. New York. 1,248 pp.
Pena, M. A., M. R. Lewis, & W. G. Horrison. 1990. Primary productivity and size structure of phytoplankton biomassa on transect bb equator at 135oW in the Pasific Ocean. Deep-Sea Res. 37: 295315.
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 257 pp.
Pratiwi, N. T. M, K. Praptokardiyo, & N. Indrayani. 2000.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Tingkat kesuburan perairan Situ Ciguded, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung. Pitoyo, A. & Wiryanto. 2002. Produktivitas primer perairan Waduk Cengklik, Boyolali. Biodiversitas. 3 (1): 189195. Purnomo, K., E. S Kartamihardja, A. Nurfiarini, & Z. Nasution. 2009. Penelitian Perikanan Berbasis Budi Daya (Culture Based Fisheries) di Perairan Waduk/Danau di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. (Tidak Dipublikasi). 98 pp. Reynold, C. S. 1984. The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge University Press. 357 pp. Reynold, C. 2006. Ecology, Biodiversity, and Conservation: Ecology of Phytoplankton. Cambridge. 535 pp. Suwignyo. 1983. Penyelidikan Tanaman Air dan Perikanan pada Proyek Irigasi Widas. Biotrop. Seameo. Regional Center for Tropical Biology. Bogor. Indonesia. Siagian, M. 2004. Diktat Kuliah Ekologi Perairan. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekabaru. (Tidak Diterbitkan). 50 pp. Valiela, I. 1995. Marine Ecological Processes. Second Edition. Springer. 686 pp. Veronica, E. & Ardianor. 2007. Primary production of
phytoplankton in Lake Batu, a tropical oxbow lake of central Kalimantan. Journal of Tropical Fisheries. 2 (1): 165-171. Whitton, B. A. 1973. Freshwater Plankton in Botanical Monograf Vol 9: The Biology of Blue Green Algae. Blackwell scientific publication. 676 pp. Wetzel, R. G. 1983. Limnology. Saunder Company. Philadelphia. 919 pp. Wetzel, R. G. & G. E. Likens 2000. Limnological Analyses. 3rd edition. Springer. Verlag New York. Inc. USA. 429 pp. Wetzel, R. G. 2001. Limnology: Lake and River Ecosystems. Third Edition. Academic Press. 1,006 pp. Widodo, J. & Suadi. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. 252 pp. Yuliana, E. M. Adiwilaga, & R. F. Kaswadji. 2002. Hubungan antara kandungan nutrien dan intensitas cahaya dengan produktivitas primer fitoplankton di perairan Teluk Lmpung. Forum Pasca Sarjana. 25 (4): 321-330. Yuliana & Tamrin. 2006. Struktur komunitas dan kemelimpahan fitoplankton dalam kaitannya dengan parameter fisika kimia perairan di Danau Laguna Ternate, Maluku Utara. Dalam Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006: Pengelolaan Sumber Daya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi. Jakarta.
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAERAH TERTUTUP DAN TERBUKA DI PERAIRAN SEKITAR PULAU PAMEGARAN, TELUK JAKARTA Anthony Sisco Panggabean dan Bram Setiadji Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 24 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 17 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 27 Januari 2011
ABSTRAK Lingkungan perairan dapat membedakan bentuk pertumbuhan karang. Untuk mengetahui bentuk pertumbuhan karang pada dua lingkungan perairan karang yang berbeda di perairan sekitar Pulau Pamegaran Teluk Jakarta menggunakan metode life form transek (line intercept transec). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2005. Hasil pengamatan menunjukan bahwa genus karang yang mendominansi adalah Acropora, Porites, dan Montipora dengan bentuk pertumbuhan karang bercabang dan karang batu atau masif. Adaptasi bentuk pertumbuhan karang yang dominan pada daerah tertutup (leeward) yaitu bercabang dan genus dominan Acropora. Pada daerah terbuka (windward) bentuk pertumbuhan karang yang dominan yaitu karang batu dari genus Porites. Kondisi substrat di sekitar perairan terbuka di bagian utara Pulau Pamegaran terdiri atas pasir (medium sand) dan di perairan tertutup bagian timur kerikil (pebble) dan pecahan karang mati (rubble). KATA KUNCI:
pertumbuhan karang, perairan tertutup, perairan terbuka, Pulau Pamegaran
ABSTRACT:
The bend of coral shape in leeward and winward areas at Pamegaran Island, Jakarta Bay. By: Anthony Sisco Panggabean and Bram Setiadji
Marine envinronment can make the bend of coral shape were different in the certain areas. Line intercept transec was used to study live coral cover in the waters around of Pamegaran Island, Jakarta Bay. The research was done in May until July 2005. The results showed that Acropora, Porites, and Montipora were dominat with the bend of coral shape branching and massive. Adaptation of the bend of coral shape in leeward was branching with the dominat genera Acropora. Meanwhile, in the windward area the dominat genera was Porites with bend of coral shape massive. Substrat condition in leeward ares at Pamegaran Island wre dominated by medium sand and the winward areas were dominated by pebble and rubble KEYWORDS:
bend of coral shape leeward, windward, Pamegaran Island
PENDAHULUAN Perairan karang mempunyai produktivitas dan keragaman jenis yang tinggi dan berfungsi sebagai feeding ground (daerah mencari makan), spawning ground (daerah untuk berkembang biak), dan nursery ground (daerah asuhan) serta sebagai shelter (tempat berlindung) bagi beberapa jenis ikan (Nybakken, 1993). Ekosistem terumbu karang sangat rapuh dan peka, sedikit terjadi perubahan pada lingkungan akan mempengaruhi kondisinya. Walaupun demikian karang memiliki daya pemulihan yang sangat baik. Faktor lingkungan perairan secara langsung akan mempengaruhi kondisi dan bentuk pertumbuhan karang serta simbiosa antara ikan karang dengan karang. Terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan karang juga tinggi dan dengan pertambahan penduduk yang cepat serta kemajuan teknologi mempercepat eksploitasi dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang (Kementerian Lingkungan Hidup, 1990). Meningkatnya pemanfaatan sumber daya ekosistem terumbu karang, maka permasalahan yang timbul adalah seringkali terjadi aktivitas manusia (anthropogenic causes) dan alam (natural causas)
yang dapat merusak pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Hampir seluruh penduduk yang hidup di daerah Kepulauan Seribu bergantung kepada sumber daya ikan yang berada di terumbu karang untuk penghasilan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga terjadi pemanfaatan yang berlebih yang dapat mengancam ekosistem terumbu karang terdegredasi (Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, 2000). Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan mengungkapkan bahwa degredasi ekosistem terumbu karang yang terjadi di Kepulauan Seribu pada saat ini disebabkan oleh adanya kegiatan manusia yang memanfaatkan karang tersebut untuk kepentingan pribadi antara lain pengembangan wilayah pesisir, penambangan karang batu, tangkap lebih (over exploitation), penangkapan merusak, dan pemanfaatan rekreasi intensif. Hasil penelitian Yosephine et al. (1995) mengatakan bahwa persen tutupan karang Acropora branching (Acropora bercabang) dan coral massive (karang batu) di Pulau Nyamuk Besar, Pulau Damar Besar, PulauTikus, dan
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Pulau Kotok Besar Kepulauan Seribu pada tahun 1985 berkisar antara 5-37%, persen tersebut semakin membesar semakin ke utara kemudian perbandingan persen tutupan karang tersebut menunjukan penurunan pada tahun 1995 yaitu berkisar 1-24%. Kondisi perairan di Pulau Pamegaran didominansi oleh substrat pasir untuk bagian permukaan dan pecahan karang pada bagian dasar perairan yang berbentuk bagian-bagian kecil yang terpisah-pisah (patch reef). Tipe terumbu karang adalah tipe terumbu karang tepi atau pantai (fringing reef) dengan kedalaman pertumbuhan karang kurang dari 40 m. Pada bagian utara merupakan perairan karang yang tertutup dikarenakan terdapat Pulau Bira Kecil dan Pulau Bulat yang menghalangi dari gerakan arus dan gelombang yang kuat sedangkan pada bagian timur merupakan perairan karang yang bebas tanpa ada penghalang (barrier). Beberapa faktor lingkungan perairan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan karang yaitu antara lain suhu (mempengaruhi bentuk pertumbuhan cabang dan metabolisme karang baik secara langsung dan tak langsung), salinitas (secara fisiologis berhubungan dengan penyesuaian tekanan osmotik sitoplasma sel tubuh), phospat dan nitrat (zat hara yang dibutuhkan), substrat (media yang menentukan bentuk pertumbuhan), dan arus (gerakan air yang dapat merubah suhu menjadi lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat hara).
(leeward) (Sukarno et al., 1983). Ciri-ciri habitat karang tertutup yaitu jarang sekali mengalami perubahan suhu, salinitas, dan kadar nutrien yang disebabkan oleh pengaruh gerakan arus dan gelombang yang kuat atau dapat dikatakan selalu berada pada suhu dan salinitas rata-rata tahunan (suhu 23-25°C dan salinitas 32-35‰) sedangkan habitat karang terbuka lebih sering mengalami perubahan suhu, salinitas, dan kadar nutrien dikarenakan terkena pengaruh langsung gerakan arus dan gelombang yang kuat sehingga suhu, salinitas, dan kadar nutrien akan berubah tergantung pada musim atau iklim. Bentuk pertumbuhan dari beberapa jenis karang juga bervariasi, tergantung kepada lokasi di mana karang tersebut hidup. Jenis karang yang terdapat di perairan yang lebih dalam mempunyai bentuk lebih tipis dan kurus dikarenakan kurangnya klasifikasi. Gerakan gelombang cenderung memaksa tipe karang bercabang mempunyai bentuk cabang yang pendek dan tumpul dengan bentuk percabangan sesuai dengan arah arus air laut (Bengen & Widnugraheni, 1995). Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bentuk pertumbuhan dan perkembangan karang pada dua lokasi lingkungan perairan yang berbeda BAHAN DAN METODE
Kondisi suatu perairan karang yang mendapat pengaruh atau tekanan secara langsung terhadap faktor lingkungan perairan setiap waktu atau secara terus-menerus setiap musim merupakan lokasi perairan yang berada pada perairan terbuka (windward) sebaliknya apabila lokasi perairan tersebut berada pada daerah yang terlindung dari tekanan faktor lingkungan perairan dikarenakan adanya daerah atau daratan sebagai penghalang (barrier) terhadap pengaruh lingkungan disebut daerah perairan tertutup
Penelitian ini dilakukan di Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta pada posisi geografis antara 05°24'-05°45' LS dan 106°25'-106°40' BT (Gambar 1). Wilayah penelitian mencakup perairan karang yang tertutup (leeward) di bagian utara dan terbuka (windward) di bagian timur. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2005.
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
5’’24’ 106°40’
106°25’
106°40’
106°25’ 5’’40’
Gambar 1. Figure 1.
Lokasi penelitian. Research location. Keterangan/Remarks: U = daerah bagian utara atau perairan karang yang tertutup (leeward); T = daerah bagian timur atau perairan karang yang terbuka (winward)
Peralatan penelitian yang dipergunakan yaitu global positioning system, peralatan selam, dan alat pencatat identifikasi jenis.
HASIL DAN BAHASAN
Metode penelitian yang digunakan adalah garis transek (line intercept transec atau life form) (Gomez & Yop, 1984). Transek garis sepanjang 30 m dan diletakan sejajar garis pantai pada kedalaman 5 m dengan pengamatan tiga kali ulangan.
Pembagian klasifikasi pertumbuhan karang dapat dilihat melalui tipe substrat yang terdapat di perairan tersebut. Menurut Sukarno (1995) bahwa pertumbuhan karang batu terdapat pada substrat yang keras seperti pada karang mati dan berpasir. Kondisi substrat yang demikian cocok untuk tempat melekatnya karang-karang muda serta untuk pertumbuhan dan perkembangan karang. Planula karang hanya dapat menempel pada substrat yang keras dan kuat
Bentuk Pertumbuhan Karang
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
seperti kerikil, pecahan karang mati, karang batu yang telah mati, dan kerangka dari organisme lain (cangkang moluska). Berdasarkan atas tipe substratnya merupakan kombinasi dasar perairan yang terdiri atas pasir, kerikil dan dan pecahan karang mati (coral rubble) merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan jenis-jenis karang dan merupakan faktor pembeda klasifikasi karang yang mendiami subtrat tersebut. Pecahan karang yang terdapat pada habitat karang berasal dari patahan karang Acropora dan non Acropora yang merupakan hasil dari degredasi karang. Penelitian Lazuardi & Wijoyo (1999) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor yang dilakukan di perairan karang gugusan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu menunjukan pada kedalaman 3 m penurunan persen tutupan karang masif berkisar 0,8441,36% sedangkan karang lunak berkisar 0,26-15,14% dan peningkatan persen tutupan karang masif berkisar 2,6429,14% sedangkan karang lunak berkisar 0,40-4,20%. Pada kedalaman 10 m penurunan persen tutupan karang masif berkisar 2,60-12,06% sedangkan karang lunak berkisar 0,34-15,26% dan peningkatan persen tutupan karang masif berkisar 1,82-16,08% sedangkan karang lunak berkisar 1,00-15,50%. Pada daerah penelitian kategori karang Acropora Tabel 1. Table 1.
bercabang (Acropora branching) dan karang batu (coral massive) tumbuh dominan di sekitar Pulau Pamegaran. Karang bercabang dan karang batu atau masif lebih menyukai daerah yang bersubstrat keras dan yang berarus dikarenakan adanya sirkulasi unsur hara yang cukup berlimpah. Sebagian besar jenis karang batu dapat tumbuh di perairan dengan kecepatan arus permukaan yang relatif kuat sehingga dapat mensuplai bahan-bahan makanan. Pada umumnya kategori karang bercabang dan karang batu atau masif merupakan koloni karang yang menempati daerah tubir. Bentuk pertumbuhan cabang atau adaptasi morfologi karang di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan terutama arus. Arus permukaan sangat mempengaruhi bentuk pertumbuhan cabang karang. Keberadaan karang pada perairan yang dangkal (0-5 m) pada umumnya mempunyai bentuk pertumbuhan bercabang yang merupakan adaptasi morfologi terhadap arus permukaan. Kondisi tutupan karang hidup dan karang mati merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan dan perkembangan karang. Hasil pengamatan menunjukan tutupan karang di sekitar Pulau Pamegaran berbeda. Secara umum, lebih dari 60% berupa tutupan karang hidup, baik pada lingkungan yang terbuka maupun tertutup (Tabel 1).
Tutupan karang hidup dan mati di sekitar Pulau Pamegaran Life and dead coral reef coverage in the waters arround of Pamegaran Island
Lingkungan perairan/Environmental waters Tertutup Terbuka Pada lingkungan perairan tertutup di sebelah utara Pulau Pamegaran dijumpai bentuk pertumbuhan karang yang dominan adalah bercabang (branching) dari genus Acropora (Acropora branching) (Gambar 2). Di lingkungan perairan terbuka bagian timur Pulau Pamegaran yang banyak dijumpai pertumbuhan karang yang dominan adalah
Persen tutupan karang/Percent coral cover (%) Hidup/Life Mati/Dead Lainnya/Other 64,26 14,36 21,38 62,35 15,36 22,29 karang batu atau masif (coral massive) dari genus Porites. Karang Acropora tidak dapat tumbuh optimum di daerah berombak kuat. Bentuk karang ini lebih sesuai untuk mengalirkan air dan menghadapi tekanan arus yang cukup kuat dibandingkan dengan bentuk yang lain.
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
Gambar 2. Figure 2.
Genus Acropora bercabang yang tumbuh di lingkungan perairan tertutup. Acropora branching as a dominant coral in the leeward area.
Karena memiliki percabangan yang pertumbuhannya cepat, maka komunitas Acropora mengalahkan pertumbuhan jenis lain dalam kompetisi ruang dan akan berlimpah di daerah yang massa airnya senantiasa bergerak dan bukan di daerah pecahan ombak (surf zone). Karang batu mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan perairan dan merupakan tipe karang yang banyak ditemukan pada daerah dengan tutupan karang mati yang tinggi. Kecepatan pertumbuhan karang bervariasi sesuai dengan jenis, umur, dan habitat. Bentuk pertumbuhannya dipengaruhi oleh suhu, intensitas cahaya, dan sirkulasi air. Koloni yang muda dan bentuknya kecil cenderung tumbuh
Gambar 3. Figure 3.
lebih cepat daripada koloni yang sudah tua. Di samping itu koloni yang besar dan bercabang atau berbentuk seperti daun tumbuh lebih cepat daripada karang otak (Boarden & Seed, 1985). Keberadaan karang lunak (soft coral) dapat merupakan indikator kondisi karang keras (hard coral). Pertumbuhan jenis karang lunak mengalami blooming apabila kondisi karang keras sudah dalam keadaan kritis atau rusak. Karang ini tumbuh dengan baik pada kondisi air yang kecerahannya rendah dan kandungan nutriennya tinggi. Selain karang batu, di sebelah utara dan timur Pulau Pamegaran ada dua genus karang lunak yang dapat tumbuh baik yaitu Xenia dan Nepthea (Gambar 3 dan 4).
Karang lunak genus Xenia di perairan Pulau Pamegaran. Soft corals from genus Xenia in the waters around of Pamegaran Island.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 4. Figure 4.
Karang lunak genus Nepthea di perairan Pulau Pamegaran. Soft corals from genus Nepthea in the waters around of Pamegaran Island.
Karang lunak merupakan kelompok karang yang relatif mudah tumbuh dalam waktu singkat dibandingkan dengan karang batu. Gerakan air yang disebabkan oleh arus menyebabkan karang lunak mampu bertahan dan melekat pada substrat yang keras dan mendukung proses pertumbuhan. Profil Dasar Perairan Kondisi dasar perairan merupakan faktor utama yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang. Hasil pengamatan substrat di sekitar Pulau Pamegaran menunjukan bahwa pasir (medium sand) sangat dominan di
bagian utara sedangkan di bagian timur didominansi oleh kerikil (pebble) dan pecahan karang mati (rubble). Tipe substrat di suatu perairan juga dipengaruhi oleh kondisi arus. Arus yang deras menyebabkan partikel halus di dasar perairan tidak dapat mengendap. Pada perairan yang relatif tenang memungkinkan terjadinya endapan partikel halus sehingga terbentuk dasar perairan yang berlumpur. Kecepatan arus permukaan (drift currents) merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi penyebaran karang, bentuk cabang, dan perkembangan karang. Profil substrat dasar pada lokasi penelitian di Pulau Pamegaran dapat dilihat pada Gambar 5.
gerakan gelombang
ACB
Pb Rb
5m
Gr CM
Cs Ms Es S L
Gambar 5. Figure 5.
Profil dasar perairan di sekitar Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta. Bottom profile in the waters arround of Pamegaran Island, Jakarta Bay. Keterangan/Remarks:
Pb: pebble (kerikil); Rb: rubble (pecahan karang); Gr: granule (butiran); Cs: coarse sand (pasir kasar); ACB: Acropora branching; Ms: medium sand (pasir); Fs: fine sand (pasir halus); S: silt (lanau); CM: coral massive
Bentuk pertumbuhan karang batu (massive), melebar (encrusting), dan lembaran (foliose) merupakan suatu cara bagi karang tersebut untuk mentoleransi kondisi kecepatan arus permukaan yang dapat menyebabkan perairan yang keruh agar dapat menyerap sinar matahari untuk kegiatan
fotosintesis Zooxanthelae yang melekat di atas karang tersebut. Dasar perairan yang relatif dangkal sangat ideal bagi pertumbuhan karang secara horisontal sehingga
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
memungkinkan penetrasi cahaya matahari mencapai dasar perairan.
Matahari, dan Macan Kecil. Laporan Proyek Pengembangan Taman Nasional Laut Pulau Seribu. Jakarta.
KESIMPULAN 1. Pada perairan tertutup di bagian utara Pulau Pamegaran bentuk pertumbuhan karang yang dominan bercabang atau branching genus Acropora dan di perairan terbuka bagian timur Pulau Pamegaran bentuk pertumbuhan karang yang dominan karang batu atau massive genus Porites. 2. Bentuk pertumbuhan karang lainnya di sekitar perairan Pulau Pamegaran adalah karang lunak yaitu genus Xenia dan Nepthea. 3. Kondisi substrat di sekitar perairan terbuka di bagian utara Pulau Pamegaran terdiri atas pasir (medium sand) yang sangat dominan dan di perairan tertutup bagian timur kerikil (pebble) dan pecahan karang mati (rubble) sangat mendominansi. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset usaha perikanan teripang melalui pengkayaan stok (stock enchancement) di Kepulauan Seribu, T. A. 20042005, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Boarden, P. J. S. & R. Seed. 1985. An Introduction to Coastal Ecology Tertiary Level Biologi. Breackie Son Ltd. Chapman and Hall. New York. 90-105. Bengen, D. G. & P. Widnugraheni. 1995. Sebaran spatial karang Scleractinia dan asosiasinya dengan karakteristik habitat di Pantai Blebu dan Pulau Sekapal, Lampung Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu Karang. 81-95. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2000. Laporan inventarisasi terumbu karang dan ikan hias di wilayah perairan Pulau Putri Timur, Putri Barat, Putri Gundul,
Gomez, E. D. & H. S. Yop. 1984. Monitoring reef condition. Kenchington, R. A. & B. E. T. Hudson (Eds) In Coral Reef Management Handbook Unesco Publisher. Jakarta. 171 pp. Kementrian Lingkungan Hidup. 1990. Perlindungan Lingkungan Laut dalam Proyek Pembinaan Kelestarian Sumber Daya Laut dan Pantai. Jakarta. 43 pp. Lazuardi, M. E. & N. S. Wijoyo. 1999. Perubahan kondisi terumbu karang di Gugusan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Prosiding Lokakarya dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Tanggal 22-23 Nopember 1999. 214-221. Nybakken, J. W. 1993. Marine Biology: An Ecological Approach. Third Edition. U. S. A. Harper Collins College Publisher. X+462. Sukarno, M. Hutomo, M. K. Moosa, & P. Prapto. 1983. Terumbu karang di Indonesia sumber daya, permasalahan, dan pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumber Alam Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sukarno. 1995. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah Pengelolaannya dalam Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1-8. Yosephine, M. I., Suharsono, & I. Amir. 1995. Kondisi terumbu karang pada tahun 1985 dan 1995 di beberapa pulau di Kepulauan Seribu. P3O. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu Karang. Jakarta. Tanggal 10-12 Oktober 1995. 182-188.
Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN TEGAL DAN SEKITARNYA Duranta Diandria Kembaren dan Tri Ernawati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 24 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 20 Januari 2011
ABSTRAK Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu ikan demersal dari famili Mullidae banyak tertangkap di perairan Laut Jawa. Penelitian ini tentang beberapa aspek biologi ikan kuniran di perairan Tegal dan sekitarnya dilakukan pada bulan Maret, April, dan Agustus 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi ikan kuniran, seperti nisbah kelamin, sebaran frekuensi panjang, hubungan panjang dan bobot, tingkat kematangan gonad, panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity), dan faktor kondisi. Ikan yang diamati 358 ekor yang terdiri atas 170 jantan dan 188 betina. Perbandingan jumlah ikan jantan dan betina menunjukan rasio kelamin yang tidak seimbang. Berdasarkan atas sebaran frekuensi panjang, ikan dengan panjang 9 cmFL mendominansi hasil tangkapan pada bulan Maret dan April dan pada bulan Agustus didominansi ikan dengan panjang 11 cmFL. Pertumbuhan ikan kuniran pada bulan Maret bersifat allometrik negatif, sedangkan pada bulan April dan Agustus bersifat isometrik. Analisis tingkat kematangan gonad menunjukan bahwa pada bulan Agustus banyak ditemukan tingkat kematangan gonad I dan II dan pada bulan Maret banyak ditemukan tingkat kematangan gonad III dan IV. Ikan kuniran diduga pertama kali matang gonad pada ukuran panjang 9,87 cmFL. Faktor kondisi menunjukan tidak ada perbedaan antara bulan Maret, April, dan Agustus. KATA KUNCI:
ikan kuniran, rasio kelamin, sebaran frekuensi panjang, lenght at first maturity
ABSTRACT:
Some biological aspects of the silver goatfish (Upeneus sulphureus) in the Tegal and adjacent waters. By: Duranta Diandria Kembaren and Tri Ernawati
The silver goatfish (Upeneus sulphureus) is demersal fish which caught excessively in the Java Sea and taxonomically belong to the family Mullidae. Some biological aspects of the silver goatfish in Tegal and adjacent waters were studied on March, April, and August in 2009. The objective of this research were to know some biological aspects, i.e. sex ratio, length frequency distribution, length weight relationship, gonad maturity stage, length at first maturity, and condition factor. A total of 358 fishes that consisted of 170 males and 188 females were examinated their biological aspects. The composition of male and female showed an unequal sex ratio. According to the lenght frequency distribution, the fishes of 9 cmFL were dominant on March and April, while on August was dominated by the fishes of 11 cmFL. The growth characteristic of the silver goatfish were allometric negative on March and isometric on April and August. Gonad maturity stage level 1 and 2 were dominant on August and level 3 and 4 on March. Lenght at first maturity (Lm) of silver goatfish were 9,87 cmFL. The condition factor showed that there is no difference on March, April, and August. KEYWORDS:
silver goatfish, sex ratio, lenght frequency distribution, lenght at first maturity
PENDAHULUAN Ikan kuniran termasuk salah satu ikan demersal ekonomis penting yang banyak tertangkap di perairan Laut Jawa. Sejak tahun 2000-an ikan ini banyak dicari untuk dijadikan fillet dan kemudian diolah menjadi makanan ringan untuk diekspor. Negara tujuan utama dari makanan ringan dengan bahan baku ikan kuniran ini adalah Malaysia (Anonimus, 2010). Nilai produksi ikan kuniran baru tercatat dalam Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2004 (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006). Secara taksonomis, ikan ini termasuk famili Mullidae dengan ciri khusus yaitu di bagian dagu memiliki sepasang sungut yang panjang dan tidak bercabang, menyerupai jenggot pada kambing sehingga dinamakan goatfish. Sungut ini merupakan organ sensoris untuk membantu mencari makanan. Ciri-ciri lainnya antara lain bentuk badan
memanjang dan langsing, panjangnya dapat mencapai 23 cm, sungut lebih pendek dibandingkan jenis lain dalam famili Mullidae, mempunyai dua sirip punggung, cenderung hidup di perairan yang relatif dalam yaitu antara 10-90 m, dan kadang membentuk gerombolan yang besar (schooling) (Sommers et al., 1996; Food and Agriculture Organization, 1974; Pauly et al., 1996). Ikan kuniran ini tersebar di perairan tropis bahkan sampai ke perairan sub tropis di sebelah utara Cina dan selatan Australia (Food and Agriculture Organization, 1974). Di Indonesia ikan kuniran tersebar dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, sampai Seram (Weber & Beaufort, 1931). Ikan kuniran juga ditangkap di perairan Selat Sunda (Genisa, 2003), Teluk Jakarta (Martosejowo & Djamali, 1980), perairan utara Jawa Tengah (Pujiati et al., 2008), perairaan utara Jawa Timur (Sumiono & Nuraini, 2007), dan Teluk Kwandang,
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gorontalo (Fahmi & Adrim, 2002). Menurut Garces et al. (2006), ikan kuniran paling tinggi kelimpahannya di perairan Bengal, Banglades. Menurut Badrudin (1978), potensi ikan kuniran (potential annual yield) di Laut Jawa sekitar 51.000 ton dan merupakan 18% dari total potensi yield tahunan foodfish.
lenght) yang dikatakan dalam cm dan bobot dikatakan dalam gram (g).
Alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan kuniran adalah cantrang. Alat ini merupakan alat penangkap ikan tradisional yang keberadaannya dipertahankan oleh para nelayan, khususnya di pantai utara Jawa (Sumiono & Nuraini, 2007). Selain alat tangkap cantrang, ikan kuniran juga ditangkap dengan bottom trawl (Genisa, 2003; Fahmi & Adrim, 2002; Pujiati et al., 2008).
W=a.Lb ........................................................................ (1
Tulisan ini membahas secara ringkas beberapa aspek biologi ikan kuniran di Laut Jawa, khususnya di perairan Tegal dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi ikan kuniran, seperti nisabah kelamin, sebaran frekuensi panjang cagak (fork lenght), hubungan panjang dan bobot, tingkat kematangan gonad, panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity), dan faktor kondisi. Aspek biologi yang diperoleh berguna untuk mendapatkan informasi dasar bagi penelitian selanjutnya dan juga sebagai masukan untuk tujuan pengelolaan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Pengambilan contoh dilakukan pada bulan Maret, April, dan Agustus 2009. Ikan diperoleh dari hasil tangkapan alat cantrang yang di daratkan di Tempat Pelelangan Ikan Tegalsari, Tegal. Panjang yang diukur adalah panjang cagak (fork Tabel 1. Table 1.
Analisis hubungan panjang dan bobot panjang ikan kuniran digunakan fungsi berpangkat (Hile,1936 dalam Effendie, 1979) yaitu:
di mana: W = bobot tubuh ikan (g) L = panjang tubuh ikan (cm) a dan b = konstanta Untuk mengetahui nilai konstanta b sama dengan 3 atau tidak maka dilakukan uji statistik (uji-t). Untuk mendapatkan nilai faktor kondisi (K) berdasarkan atas hubungan panjang dan bobot menggunakan persamaan W=a.Lb, maka nilai faktor kondisi relatif (Kn) dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979): Kn = W ....................................................................... (2 a.Lb Harga b adalah harga pangkat yang cocok dengan panjang ikan agar sesuai dengan bobot ikan. Nilai praktis yang didapat dari perhitungan panjang dan bobot ini dapat digunakan untuk menduga bobot dan panjang ikan atau sebaliknya, serta kondisi ikan mengenai pertumbuhan kemontokan dan perubahan dari lingkungan. Penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan berdasarkan atas acuan Holden & Raitt (1974), yang terdiri atas lima tingkatan (Tabel 1).
Tingkat kematangan gonad ikan Gonad maturity stage of fish
Tingkat kematangan gonad/ Gonad maturity stage I (belum matang) II (belum matang) III (matang) IV (matang) V (spent)
Keterangan/Remarks Ovarium dan testes, panjang 1/3 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerahmerahan. Telur tidak dapat dilihat dengan mata biasa. Panjang ovarium sekitar 1/2 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerahmerahan. Telur belum dapat dilihat dengan mata biasa. Panjang ovarium dan testes sekitar 2/3 rongga perut. Warna ovarium pink-kuning dan butiran telur sudah tampak. Panjang ovarium 2/3 memenuhi rongga perut. Ovarium berwarna orange dengan pembuluh darah sudah mulai kurang jelas. Transparan dan butiran telur terlihat jelas. Ovarium mengerut sampai panjang 1/2 rongga perut sebagai tanda pemijahan tetapi ada butir-butir telur.
Sumber/Sources : Holden & Raitt (1974)
Pendugaan panjang saat pertama matang gonad (length at first maturity), dilakukan sesuai dengan metode Spearman-Karber dengan persamaan sebagai berikut (Udupa, 1986):
m=Xk+X/2-(X∑pi) ................................................ (3 di mana: m = log ukuran ikan saat pertama matang ovarium
Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)
Xk = log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah matang X = selang log ukuran (log size increment) pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i Rata-rata ukuran ikan pertama kali matang gonad diperoleh dari nilai antilog (m). HASIL DAN BAHASAN
Demak, Jawa Tengah, nisbah kelamin ikan kuniran juga menunjukan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu 1:1,1 (Saputra et al., 2009). Nisbah kelamin digunakan untuk melihat populasi ikan dalam mempertahankan kelestariannya. Agar kelestarian populasi tetap terjaga idealnya nisbah kelamin berada pada keadaan seimbang atau betina lebih banyak (Wahyuono et al., 1983). Pada penelitian ini, jumlah betina lebih banyak daripada jantan sehingga diduga bahwa kelestarian ikan kuniran di perairan Tegal dan sekitarnya tetap terjaga.
Nisbah Kelamin Sebaran Frekuensi Panjang Ikan kuniran yang dihasilkan dari tiga kali pengamatan terkumpul 525 ekor, terdiri atas 170 jantan dan 188 betina, sedangkan sisanya tidak terindentifikasi jenis kelaminnya (Tabel 2). Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1,1. Berdasarkan atas uji X2 (chi-square) nisbah kelamin jantan betina berada pada keadaan tidak seimbang. Di perairan Tabel 2. Table 2.
Kisaran panjang pada masing-masing pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2. Secara keseluruhan, kisaran panjang ikan jantan dan betina secara berurutan 7-15 cm dan 8,513,8 cm.
Kisaran panjang dan bobot ikan kuniran, tahun 2009 Lenght and weight scale of silver goatfish, 2009 Jantan/Male Bulan/ Month
N (ekor)
Maret April Agustus Jumlah
49 54 67 170
Betina/Female
Kisaran panjang/ Long range (cm) 8,5-11,5 7-11 7,7-15
Ikan dengan panjang 9,5 cmFL mendominansi hasil tangkapan pada bulan Maret dan April, sedangkan pada bulan Agustus didominansi oleh ikan dengan panjang 11 cmFL (Gambar 1). Berdasarkan atas hasil tersebut dapat dilihat bahwa ikan kuniran yang tertangkap pada bulan Agustus memiliki ukuran yang lebih besar dibanding bulan Maret dan April, dan diduga ikan yang ditangkap pada bulan Agustus berusia lebih tua dibanding ikan yang ditangkap pada bulan Maret dan April. Hasil penelitian Beck & Sudradjat (1978) di Laut Jawa, kisaran panjang ikan kuniran 8-15,8 cm, tidak berbeda nyata dengan
N (ekor) 76 51 61 188
Kisaran panjang/ Long range (cm) 8,5-12 8,5-11,5 9-13,8
penelitian ini. Di Selat Sunda kisaran panjang ikan kuniran ini berkisar antara 5,41-17,3 cm (Genisa, 2003), dan di Teluk Kwandang, Gorontalo berkisar antara 5,4-13,7 cm (Fahmi & Adrim, 2002). Di perairan Andhra-Orissa, India kisaran panjang ikan kuniran antara 9,1-20 cm (Reuben et al., 1994). Ikan kuniran berukuran 20 cm tidak pernah ditemukan di perairan Laut Jawa (Beck & Sudrajat, 1978). Hal ini mirip dengan ukuran panjang ikan kuniran pada penelitian ini yang hanya memperoleh ikan dengan ukuran panjang maksimum 15 cm.
Frekuensi/Frequency (%)
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Figure 1.
Frekuensi panjang ikan kuniran, tahun 2009. Lenght frequency of silver goatfish, 2009.
Hubungan Panjang dan Bobot Hubungan panjang dan bobot menggambarkan sifat pertumbuhan ikan. Persamaan eksponensial hubungan panjang dan bobot ikan kuniran yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai b dari persamaan hubungan panjang dan bobot ikan total telah diuji-t pada selang kepercayaan 95%. Hasil uji pada bulan Maret menunjukan hasil yang berbeda nyata, sedangkan pada bulan April dan Agustus tidak berbeda nyata. Pola pertumbuhan ikan kuniran pada bulan Maret adalah Tabel 3. Table 3. Pengamatan/ Observation Maret April Agustus
allometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,576 (pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya), pada bulan April dan Agustus pola pertumbuhan ikan tersebut adalah isometrik dengan nilai b secara berurutan 3,2478 dan 2,9915 (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan bobotnya). Penelitian yang dilakukan oleh Badrudin (1978), menunjukan sifat pertumbuhan ikan kuniran di Laut Jawa bagian tengah bersifat isometrik. Di perairan Demak, sifat pertumbuhan ikan kuniran allometrik negatif (Saputra et al., 2009).
Hubungan panjang dan bobot ikan kuniran, tahun 2009 Lenght and weight relationship of silver goatfish, 2009 Jantan/Male
Betina/Female
Kombinasi/ Combination
W=0,0568 L2,5574 W=0,0095 L3,3113 W=0,0140 L3,0826
W=0,0514 L2,6026 W=0,0068 L3,4555 W=0,0236 L2,8715
W=0,0547 L2,576 W=0,0110 L3,2478 W=0,0176 L2,9915
α (Kombinasi/ Combination) 95% 95% 95%
Sifat pertumbuhan/ Growth properties Allometrik Isometrik Isometrik
Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)
Tingkat Kematangan Gonad Analisis tingkat kematangan gonad ikan kuniran yang didaratkan di Tegal menunjukan bahwa tingkat kematangan gonad I dan II ikan betina banyak ditemukan pada pengamatan bulan Agustus masing-masing 62,30 dan Tabel 4. Table 4.
36,07%. Sedangkan tingkat kematangan gonad III dan IV banyak ditemukan pada bulan Maret masing-masing 40,79 dan 19,74% (Tabel 4). Dengan demikian dapat diduga bahwa stok ikan kuniran setelah bulan Maret memasuki masa pemijahan.
Komposisi tingkat kematangan gonad ikan kuniran yang didaratkan di Tegal, tahun 2009 Gonad maturity stage composition of silver goatfish landed at Tegal, 2009 Maret
Tingkat kematangan gonad/ Gonad maturity stage I II III IV Jumlah
Jantan/ Male
N 32 11 6 0 49
% 65,31 22,45 12,24 0,00 100
April Betina/ Female
N 16 14 31 15 76
Jantan/ Male
% 21,05 18,42 40,79 19,74 100
N 48 6 0 0 54
% 88,89 11,11 0,00 0,00 100
Betina/ Female
N 22 12 16 1 51
% 43,14 23,53 31,37 1,96 100
Agustus Betina/ Female % N % 86,57 38 62,30 13,43 22 36,07 0,00 1 1,64 0,00 0 0,00 100 61 100
Jantan/ Male
N 58 9 0 0 67
Hasil penelitian Saputra et al. (2009) menunjukan bahwa ikan kuniran betina di perairan Demak paling banyak ditemukan pada tingkat kematangan gonad I dan paling sedikit tingkat kematangan gonad IV. Hasil tersebut tidak berbeda dengan penelitian ini.
beberapa hal, antara lain persediaan dan jenis makanan yang kurang mencukupi atau terbatas, persaingan dari kompetitor lain dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Length at First Maturity)
1. Nisbah kelamin ikan kuniran jantan dan betina adalah 1:1,1, dan kondisi ini berada pada keadaan tidak seimbang.
Analisis kematangan gonad dengan menggunakan metode Spearman-Karber, diketahui bahwa ikan kuniran pertama kali matang gonad pada ukuran panjang (length at first maturity) 9,87 cmFL dan berkisar antara 9,39-10,30 cmFL (Lampiran 1). Hasil penelitian Saputra et al. (2009) di perairan Demak, diperoleh ukuran pertama kali matang gonad 21,97 cmFL. Penelitian oleh Herianti & Subani (1993), diperoleh ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran di Laut Jawa 12 cmFL dengan kisaran antara 11,412,6 cmFL. Kondisi ini menunjukan adanya penurunan nilai length at first maturity jenis ikan kuniran. Hal ini diduga disebabkan oleh tekanan penangkapan yang intensif di perairan Laut Jawa sehingga ikan-ikan yang berukuran relatif kecil sudah matang gonad untuk mempertahankan keberadaan populasinya.
KESIMPULAN
2. Ikan kuniran yang tertangkap pada bulan Agustus memiliki ukuran yang lebih besar dibanding pada bulan Maret dan April. 3. Pola pertumbuhan ikan kuniran pada bulan Maret adalah allometrik negatif, dan pada bulan April dan Agustus adalah isometrik. 4. Faktor kondisi pada bulan Maret, April, dan Agustus tidak berbeda nyata. 5. Panjang pertama kali matang gonad ikan kuniran 9,87 cmFL dengan kisaran antara 9,39-10,30 cmFL. PERSANTUNAN
Faktor Kondisi Faktor kondisi ikan merupakan suatu nilai yang mengatakan kemontokan ikan. Faktor kondisi ikan kuniran pada penelitian ini sebagai berikut 1,005 (bulan Maret), 1,019 (bulan April), dan 1,009 (bulan Agustus). Hasil ini menunjukan faktor kondisi pada bulan Maret, April, dan Agustus tidak berbeda. Menurut Effendie (1979), faktor kondisi ikan-ikan yang memiliki bentuk badan pipih (compressed) berkisar antara 1-3. Faktor kondisi ikan kuniran yang diperoleh penelitian ini tergolong rendah. Rendahnya nilai faktor kondisi ini disebabkan oleh
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dinamika populasi dan lingkungan sumber daya ikan demersal dan udang penaeid di Laut Jawa (losari transect), T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2010. Panganan Olahan Membalik Nasib Nelayan Setempat dan Nasib Ikan Kuniran.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
http://www.trobos.com/show_article.php?rid=23&aid=1 017. Diunduh Tanggal 15 Juni 2010. Badrudin. 1978. Stok ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di perairan Laut Jawa dan beberapa aspek biologinya. Simposium Moderenisasi Perikanan Rakyat. Jakarta. Tanggal 27-30 Juni 1978. 43 pp. Beck, U. & A. Sudradjat. 1978. Variation in size and composition of demersal trawl cathces from the north coast of Java with estimated growth parameters for three important food fish Species. Laporan Penelitian Perikanan Laut. (4): 1-80. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2006. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2004. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Food and Agriculture Organization. 1974. Species Identification Sheet for Fishery Purpose I-IV. Rome. Fahmi & M. Adrim. 2002. Fauna ikan demersal di Teluk Kwandang, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara. Perairan Sulawesi dan Sekitarnya: Biologi, Lingkungan, dan Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 19-24. Genisa, A. S. 2003. Struktur komunitas ikan dan sebarannya di perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Torani. 13 (3): 109-114. Garces, L. R., I. Stobutzki, M. Alias, W. Campos, N. Koongchai, L. Lachica-Alino, G. Mustafa, S. Nurhakim, M. Srinath, & G. Silvestre. 2006. Spatial structure of demersal fish assemblages in South and Southeast Asia and implications for fisheries management. Journal Fishres Elsevier. 143-157. Holden, M. J. & D. F. S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries Science. Food and Agriculture Organization. Rome. Part 2. Methods of Resources Investigation and their Application. 135 pp. Herianti, I. & W. Subani. 1993. Perbandingan ukuran pertama kali matang gonad beberapa jenis ikan demersal di perairan utara Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 78: 46-58.
Martosewojo, S. & A. Djamali. 1980. Distribusi dan komposisi jenis ikan di perairan Teluk Jakarta. Evaluasi Hasil Akhir Pemonitoran Kondisi Perairan Teluk Jakarta Tahun 1975-1979. 67-76. Pauly, D., A. Cabanban, & F. S. B. Torres, Jr. 1996. Fishery biology of 40 trawl caught teleosts of western Indonesia. 135-216. In D. Pauly & P. Martosubroto (Eds.) Baseline Studies of Biodiversity: The Fish Resource of Western Indonesia. ICLARM Studies and Reviews 23. Pujiati, S., Suwarso, B. P. Pasaribu, I. Jaya, & D. Manurung. 2008. Pendekatan metode hidroakustik untuk eksplorasi sumber daya ikan demersal di perairan utara Jawa Tengah. Ichtyos. 7 (1): 15-20. Reuben, S., K. Vijayakumaran, & Kchittibabus. 1994. Growth, maturity, and mortality of Upeneus sulphureus from Andhra-Orissa coast. Indian Journal of Fisheries. 2: 87-91. Sommer, C., W. Schneider, & J. M. Poutiers. 1996. Food and Agriculture Organization Species Identification Field Guide for Fishery Purposes. The Living Marine Resources of Somalia. Food and Agriculture Organization. Rome. 376 pp. Sumiono, B. & S. Nuraini. 2007. Beberapa parameter biologi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) hasil tangkapan cantrang yang didaratkan di Brondong, Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 7 (2): 83 pp. Saputra, S. W., P. Soedarsono, & G. A. Sulistyawati. 2009. Beberapa aspek biologi ikan kuniran (Upeneus spp.) di perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5 (1): 1-6. Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte. ICLARM. Manila. 4 (2): 8-1. Weber, M. & L. F. de Beaufort. 1931. The Fishes of the Indo Australian Archipelago. Perciformes (Serranidae, Mullidae). E. J. Brill. Laiden. 6: 448 pp. Wahyuono, H., S. Budihardjo, Wudianto, & R. Rustam. 1983. Pengamatan parameter biologi beberapa jenis ikan demersal di perairan Selat Malaka, Sumatera Utara. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 26: 29-48.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Lampiran 1. Appendix 1.
Penghitungan panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) Measurement of length at first maturity Maturity stage
Midlength
Maturing
Fully mature (ri)
Prop.fully mature (pi)
0 0 0 1 6 4 1 1 2
0 0 0 5 19 11 6 2 3
#DIV/0! 0,000 0,000 0,417 0,731 0,786 0,750 0,667 1,000 4,350
Log Midlength
No.Sample
I
II
III
IV
(Xi)
(ni)
Immature
Immature
Maturing
0 1 9 12 26 14 8 3 3
0 1 7 5 3 0 0 0 0
0 0 2 2 4 3 2 1 0
0 0 0 4 13 7 5 1 1
8 0,9031 8,5 0,9294 9 0,9542 9,5 0,9777 10 1,0000 10,5 1,0212 11 1,0414 11,5 1,0607 12 1,0792 Total Average m = Xk+X/2-(X∑pi) m = 1,0792+(0,022/2)-(0,022*4,350) m = 0,9945
Xi+1-Xi=X
qi=1-pi
(pi.qi)/(ni-1)
0,0263 0,0248 0,0235 0,0223 0,0212 0,0202 0,0193 0,0185
1,000 1,000 0,583 0,269 0,214 0,250 0,333
#DIV/0! 0 0,022096 0,00787 0,012951 0,026786 0,111111 0,181
0,022 m Xk X Pi
= log ukuran ikan saat pertama matang ovarium = log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah matang = selang log ukuran (log size increment) = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i
Antilog (0,9945) = 9,87 Panjang ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity) 9,87 cm 95% CL
Upper limit Lowerlimit
Antilog (0,9945+1,96 Sqrt (0,022) kwadrat (0,181) Antilog (0,9945-1,96 Sqrt (0,022) kwadrat (0,181) 0,9945+(1,96*((0,022^2)*(0,181))^0,5) 0,9945-(1,96*((0,022^2)*(0,181))^0,5)
1,0128 0,9762
Antilog (1,0128) Antilog (0,9762)
10,30 9,39
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
SEBARAN LONGITUDINAL FITOPLANKTON DI SUNGAI MARO, KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA Lismining Pujiyani Astuti dan Yayuk Sugianti Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Teregistrasi I tanggal: 4 Maret 2009; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 Nopember 2010; Disetujui terbit tanggal: 12 Januari 2011
ABSTRAK Sungai Maro merupakan salah satu sungai besar di Kabupaten Merauke, berfungsi sebagai habitat ikan hias yang bernilai ekonomis penting yaitu ikan arwana (Scleropages jardinii) dan kakap batu (Datnioide aquadraticus). Wilayah sekitar sungai merupakan rawa-rawa yang merupakan habitat ikan arwana terutama di wilayah tengah sampai hulu sungai. Fitoplankton merupakan produser dan pakan alami beberapa jenis ikan di Sungai Maro. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sebaran longitudinal fitoplankton yang ada di Sungai Maro, Kabupaten Merauke. Penelitian ini dilakukan dengan survei dan pengambilan contoh dilakukan pada bulan Desember 2007 di lima stasiun pengamatan pada lokasi pemijahan ikan arwana di ruas Sungai Maro. Parameter yang dianalisis adalah komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton. Hasil pengamatan di lima stasiun pengamatan, ditemukan lima kelas fitoplankton yang terdiri atas kelas Chlorophyceae (14 genus), Cyanophyceae (satu genus), Bacillariophyceae (tujuh genus), Dinophyceae (dua genus), dan Euglenaphyceae (satu genus), dengan kelimpahan fitoplankton berkisar 49.294-66.396 ind./L. Persentase fitoplankton tertinggi dari ruas atas sampai bawah adalah Staurastrum dominan dari Stasiun Barkey dan Weloyah, Synedra di Stasiun Mouwer dan Toray, Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo. Sedangkan urutan keberadaan kelas fitoplankton dari ruas atas sampai bawah di Sungai Maro adalah Chlorophyceae di Stasiun Barkey, Weloyah, dan Mouwer, kemudian Bacillariophyceae di Stasiun Toray dan Chlorophyceae di Stasiun Kaliwanggo. KATA KUNCI:
sebaran longitudinal, fitoplankton, Sungai Maro, Merauke Papua
ABSTRACT:
Longitudinal distribution of phytoplankton at Maro River, Merauke Regency, Papua Province. By: Lismining Pujiyani Astuti and Yayuk Sugianti
Maro River is one of big river in Merauke Regency and serve as ornamental fish habitat of arowana (Sleropages jardinii) and Datnioides aquadraticus that economically has high value. Around of this river are wetland area that is arwana habitat mainly at middle and upper river. Phytoplankton is natural feed producer for several fishes species at Maro River. Aim of this paper was to know longitudinal distribution of phytoplankton at Maro River. The research was conducted by survey method and sampling was conducted in December 2007 at 5 sampling stations on arwana fish spawning sites located at Maro River. The parameters were analyzed include composition and abundance of phytoplankton. Result showed that at five sampling stations were found 5 classes of phytoplankton which consists of the class Chlorophyceae (14 genera), Cyanophyceae (1 genera), Bacillariophyceae (7 genera), Dinophyceae (2 genera), and Euglenaphyceae (1 genera) with the abundance of phytoplankton ranges from 49,294-66,396 ind./L. The highest percentage of phytoplankton in each station was found from upper to lower segment was Staurastrum found at Barkey and Weloyah Synedra at Mouwer and Toray, Ulothrix at Kaliwanggo. While the presence of phytoplankton class was found from upper to lower on Maro River was Chlorophyceae at Barkey, Weloyah, and Mouwer, Bacillariophyceae at Toray and Chlorophyceae at Kaliwanggo. KEYWORDS:
longitudinal distribution, phytoplankton, Maro River, Merauke Papua
PENDAHULUAN Sungai Maro merupakan salah satu sungai besar di Kabupaten Merauke dengan panjang 207 km dan lebar 47900 m yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan dan transportasi. Sungai ini juga berfungsi sebagai habitat ikan hias yang bernilai ekonomis penting yaitu ikan arwana dan kakap batu. Wilayah sekitar sungai merupakan rawa-rawa yang merupakan habitat ikan arwana terutama di wilayah tengah sampai hulu sungai. Ikan-ikan di sepanjang Sungai Maro bardasarkan atas hasil penelitian 2007 selain ikan arwana dan kakap batu antara lain ikan tulang (Nematalosa flyensis), bulanak (Mugil sp.), nila (Oreochromis niloticus), gabus (Channa
striata), saku (Strongylura kreffti), duri (Arius sp.), kaca (Parambassis sp.), sumpit (Toxotes chatareus), serta kakap rawa (Lates calcarifer). Ikan-ikan yang memanfaatkan plankton sebagai makanannya adalah ikan tulang, nila, dan bulanak (Satria et al., 2008). Plankton terutama fitoplankton merupakan komponen penting dalam rantai makanan pada ekosistem perairan. Fitoplankton merupakan produser primer dan pakan alami beberapa jenis ikan di Sungai Maro seperti ikan tulang, nila, dan bulanak (Satria et al., 2008). Menurut Kim & Joo (2000) perubahan menyeluruh fungsi ekologi sistem sungai berperan penting dalam dinamika plankton. Komunitas plankton sungai
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
berkembang di sungai pada umumnya terjadi pada sungai yang panjang di mana organisme ini mempunyai cukup waktu untuk tumbuh dan berkembang biak (Walks & Cyr, 2004). Fitoplankton di sungai pada umumnya mempunyai pertumbuhan yang cepat dan berukuran lebih kecil dibandingkan fitoplankton danau atau waduk (Wetzel, 2001). Tujuan penulisan ini untuk mengetahui sebaran longitudinal fitoplankton yang ada di Sungai Maro, Kabupaten Merauke. Tabel 1. Table 1.
Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan pada bulan Desember 2007 saat musim pemijahan ikan arwana di lima stasiun pengamatan di Sungai Maro bagian tengah pada daerah pemijahan ikan arwana yaitu dari wilayah Barkey sampai Kaliwanggo Kabupaten Merauke (Gambar 1). Karakteristik masing-masing lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 1.
Karakteristik fisik dan posisi geografi stasiun pengamatan Physical characteristic and geographical position of sampling stations
1.
Stasiun pengamatan/ Observation station Barkey
2.
Weloyah
3.
Mouwer
4.
Toray
5.
Kaliwanggo
No.
BAHAN DAN METODE
Posisi geografi/ Geographical position S=07°51’24.7” E=140°58’10.6” S=07°52'12.2" E=140°54'26.6" S=07°57'53.6" E=140°58'12.8" S=08°00’29.2” E=140°58’36.4” S=08°02’29.6” E=140°58’27.0”
Keterangan/Remarks Ruas atas, arus lambat, dan daerah sekitar rawa. Daerah rawa dan ada masukan air dari sungai-sungai kecil. Ruas tengah. Ruas bawah, dekat dengan perkampungan Toray, dan banyak tumbuhan air. Ruas bawah dengan arus yang deras dan terdapat masukan air dari anak Sungai Maro.
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
Gambar 1. Figure 1. Contoh plankton diambil menggunakan kemmerer water sampler 5 L, kemudian disaring memakai plakton net nomor 25 (mesh size 60 µm) dan dimasukan ke dalam botol
Lokasi penelitian. Research site. contoh berukuran 25 mL. Contoh plankton hasil proses penyaringan selanjutnya diawetkan dengan larutan lugol 1%. Pengamatan dilakukan terhadap 20 lapang pandang
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
dengan menggunakan mikroskop binokuler pada perbesaran 100x. Rujukan yang digunakan untuk identifikasi fitoplankton adalah dari Whiple (1947); Edmonson (1959); Needham & Needham (1963); Sachlan (1982).
C = volume air terkonsentrasi (mL) D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas penutup E = volume air yang disaring (L) HASIL DAN BAHASAN
Penentuan kelimpahan sel dilakukan dengan menggunakan metode lackey drop microtransect counting chamber (American Public Health Association, 1989) dengan persamaan sebagai berikut: N= nx
A B
x
C D
x
1 E ..................................................... (1
di mana: N = jumlah total fitoplankton (ind./L) n = jumlah rata-rata total individu per lapang pandang A = luas gelap penutup (mm2) B = luas satu lapang pandang (mm2) Tabel 2. Table 2. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 1. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 1.
Jenis-Jenis Plankton Ditemukan 25 genus dari lima kelas fitoplankton (Tabel 2) di Sungai Maro dengan persentase yang berbeda-beda. Persentase tertinggi adalah Synedra di Stasiun Toray kemudian Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo. Secara urut, dari ruas atas yaitu Stasiun Barkey, Weloyah, Mouwer, Toray, dan Kaliwanggo mempunyai fitoplankton dengan persentase tertinggi yang berbeda-beda yaitu Staurastrum dominan di Stasiun Barkey dan Weloyah, Synedra di Stasiun Mouwer dan Toray serta Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo atau secara rinci disajikan pada Tabel 2.
Persentase keberadaan fitoplankton pada masing-masing stasiun pengamatan Percentage of phytoplankton existance at every sampling station Kelas dan genus/ Classes and genus Chlorophyceae Anthordesmus Ankistrodesmus Cosmarium Crucigenia Dictyosphaerium Eudorina Euastrum Oocystis Scenedesmus Spirogyra Staurastum Tetraedron Ulothrix Xanthidium Cyanophyceae Oscllatoria Bacillriophyceae Asterionella Melosira Navicula Nitzchia Penium Surirella Synedra Dinophyceae Ceratium Peridinium Euglenaphyceae Euglena
Barkey
Persentase/Percentage (%) Weloyah Mouwer Toray
Kaliwango
6,9 10,2 8,16
1,52 7,58 7,58 1,52
10,2
10,34 0 3,45
9,52
5,17 3,03 14,81
22,45 16,33 10,2
8,16 2,04 2,04 4,08 4,08
30,3 9,09 4,55 12,12
10,34 13,79 8,62 5,17
31,75
5,17
22,22
6,9 3,45
5,56
11,11
18,97
38,89
4,76 23,81
10,61 3,03 1,52 3,03
1,52
18,52 1,72
2,04
6,35
3,03
12,7
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
Secara umum, Staurastrum ditemukan di semua stasiun pengamatan. Staurastrum merupakan desmid uniselluler dengan 8-12 dan 20 lengan yang banyak ditemukan pada air lunak (soft water) dan pH rendah (Silva, 2006) dan hal ini sesuai dengan kondisi perairan yang mempunyai pH 5 (Tabel 3). Menurut Cousel (1983) dalam Henny & Susanti (2009), Staurastrum merupakan salah satu jenis famili Chlorophyta yang menjadi indikator kondisi perairan eutrofik selain Cosmarium dan Closterium. Staurastrum tertinggi di wilayah Barkey (22,45%) dan Weloyah (30,30%). Synedra ditemukan dengan persentase tertinggi di wilayah Toray (38,89%) yang diduga berkaitan dengan kondisi perairan yang telah mendapat gangguan antropogenik karena wilayah ini dekat dengan permukiman penduduk. Sedangkan di wilayah Kaliwanggo yang banyak ditemukan adalah Ulothrix mencapai 31,75%. Untuk Cyanophyceae hanya ditemukan Oscillatoria dan hasil ini Tabel 3. Table 3. No. 1. 2. 3. 4. 5.
sama dengan hasil penelitian Mansor & Muthaiya (1998) di sungai wilayah Kinibalu Park, Sabah. Jenis ini memproduksi neurotoksin jenis anatoxin a dan homoanatoxin a yang berbahaya bagi organisme. Anatoxin a merupakan alcaloid neurotoxic yang beraksi sebagai neuromuscular blocking agent (Hamill, 2001). Hasil pengamatan di Sungai Ciliwung, Jakarta yang merupakan sungai dengan pencemaran berat menunjukan bahwa Microcystis sp. dan Merismopedia sp. dari kelas Cyanophyceae serta Closteriopasis sp., dan Ankistrodesmus sp. dari kelas Chlorophyceae yang dominan (Fachrul et al., 2008). Sementara di hulu Sungai Asahan, Porsea, Sumatera Utara yang melimpah adalah Ulothrix dan Pediastrum dari kelas Chlorophyceae serta Pinnularia dan Navicula dari kelas Bacillariophyceae (Siregar, 2009).
Kualitas air di Sungai Maro Water quality at Maro River Parameter/Parameter Kecerahan pH Total alkalinitas N-NO3 P-PO4
Satuan/Unit cm mg/L eq CaCO3 mg/L mg/L
Barkey 50 5 10 2,012 0,16
Weloyah 100 5 10 1,173 0,208
Mouwer 70 5 10 1,132 0,22
Torai 80 5 12,5 1,214 0,291
Kaliwanggo 80 5 7,5 1,903 0,754
Sumber/Sources: Astuti & Satria (2009)
Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan fitoplankton berfluktuasi, berkisar 49.29466.396 ind./L dan tertinggi di wilayah Weloyah kemudian Kaliwanggo (Gambar 2). Berdasarkan atas kelimpahan fitoplankton yang >15.000 ind./L maka perairan Sungai Maro termasuk perairan yang subur (Lander dalam Basmi, 1991). Hal ini diduga berkaitan dengan lokasi penelitian yang sebagian merupakan rawa-rawa yang kaya akan bahan organik yang bersumber dari dedaunan dan tumbuhan air
yang ada di rawa-rawa. Dedaunan dan tumbuhan air yang telah membusuk dan terdekomposisi akan menghasilkan unsur hara bagi pertumbuhan fitoplankton. Perairan wilayah Weloyah merupakan daerah rawa-rawa dan mendapatkan masukan dari beberapa sungai kecil sehingga nutrien bagi fitoplankton tinggi yaitu NO3 sebesar 1,173 mg/L dan PO4 sebesar 0,208 mg/L (Tabel 3) Wilayah Kaliwanggo merupakan daerah lebih bawah dan mendapatkan masukan dari sungai yang cukup besar.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 2. Figure 2.
Fluktuasi kelimpahan fitoplankton berdasarkan atas stasiun pengamatan. Fluctuation of phytoplankton abundance base on station of observation.
Pada lokasi pengamatan ditemukan lima kelas fitoplankton (Tabel 2) terdiri atas kelas Chlorophyceae (14 genus), Cyanophyceae (satu genus), Bacillariophyceae (tujuh genus), Dinophyceae (dua genus), dan Euglenaphyceae (satu genus). Jumlah genus yang paling banyak ditemukan adalah Chlorophyceae kemudian disusul Bacillariophyceae dan ini sama dengan hasil penelitian di Sungai Lithuania di daerah temperate (Kostkeviciene et al., 2001). Namun demikian pada tiap-tiap stasiun pengamatan tidak semua kelas tersebut ditemukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Onyema (2007); Zalocar de Domitrovic et al. (2007), bahwa komposisi fitoplankton tidak selalu merata pada setiap lokasi di dalam suatu ekosistem, di mana pada suatu ekosistem sering ditemukan beberapa jenis melimpah sedangkan yang lain tidak. Hanya kelas Chlorophyceae dan Bacillariophyceae yang ditemukan pada tiap stasiun pengamatan seperti tertera pada Tabel 4. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Patriono et al. (2005) di daerah lebak lebung dengan pH berkisar 4,5-5 dan fitoplankton yang dominan ditemukan adalah Bacillariophyceae (73,45%) dan Chlorophyceae (26,00%). Berikut ini urutan keberadaan kelas fitoplankton yang dominan dari ruas atas sampai bawah di Sungai Maro adalah Chlorophyceae dominan di Stasiun Barkey, Weloyah, dan Mouwer dan Bacillariophyceae di Stasiun Toray serta Chlorophyceae di Stasiun Kaliwanggo. Kelas Chlorophyceae sendiri merupakan kelas plankton yang banyak, sekitar 64% terdapat di perairan tawar, mempunyai flagel yang sama panjangnya (isokon), mempunyai pigmen antara lain klorofil-a dan b, karoten,
dan santofil, berkembang biak secara aseksual dengan membentuk spora juga dengan membelah diri (Sachlan, 1982). Chlorophyceae menempati persentase tertinggi pada setiap lokasi pengamatan kecuali di Toray (Tabel 4). Menurut Presscot (1951) dalam Patriono et al. (2005), kelas Chlorophyceae akan melimpah baik kualitas maupun kuantitas pada perairan dengan pH<7 atau perairan yang bersifat asam. Kelas Chlorophyceaea tertinggi di wilayah Weloyah yang diduga berkaitan dengan kecukupan nutrien karena wilayah ini merupakan daerah rawa dan mendapat masukan dari beberapa anak sungai kecil. Di Toray didominansi oleh Bacillariophyceae yaitu 44,44% (Tabel 4). Hal ini diduga berkaitan dengan lokasi penelitian yang sekitarnya banyak tumbuhan air yang merupakan salah satu tempat hidup alga penempel. Menurut Sulawesty & Lukman (2009), kelas Bacillariophyceae dapat merupakan bagian dari komunitas alga penempel. Kelas Cyanophyceae hanya ditemukan di Toray dan Mouwer, di wilayah Toray yang merupakan daerah permukiman mempunyai Cyanophyceae lebih tinggi dibandingkan Chlorophyceae. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya masukan limbah antropogenik dari penduduk sekitar. Menurut Hum & Wicks (1980) dalam Patriono et al. (2005) Cyanophyceae dapat berlimpah pada habitat dengan pH netral atau sedikit basa dan kelas ini sedikit atau bahkan tidak ditemukan pada perairan dengan pH kurang dari empat atau lima.
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
Tabel 4. Table 4.
Persentase keberadaan kelas fitoplankton pada masing-masing stasiun Percentage of class phytoplankton existence at each sampling site
Kelas/Classes Chlorophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae Dinophyceae Euglenaphyceae
Barkey (%) 77,55 0,00 20,41 0,00 2,04
Weloyah (%) 77,27 0,00 18,18 1,52 3,03
KESIMPULAN 1. Sebaran longitudinal fitoplankton di Sungai Maro didominansi oleh genus Staurastrum dari kelas Chlorophyceae dan Synedra dari kelas Bacillariophyceae dengan urutan dari ruas atas sampai bawah adalah Staurastrum dominan di Barkey 22,45% dan Weloyah 30,3%; Synedra di Stasiun Mouwer 18,97% dan Toray 38,89%; serta Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo 31,75%. Urutan keberadaan kelas fitoplankton dari ruas atas sampai bawah di Sungai Maro adalah Chlorophyceae di Stasiun Barkey 77,55%; Weloyah 77,27% dan Mouwer 63,79%; Bacillariophyceae di Stasiun Toray 44,44% dan Chlorophyceae di Stasiun Kaliwanggo 47,62%. 2. Kelimpahan fitoplankton selama pengamatan berkisar 49.294-66.396 ind./L sehingga termasuk perairan yang subur. 3. Kelimpahan fitoplankton dari ruas atas sampai bawah berfluktuasi dan tertinggi di daerah Weloyah yang merupakan daerah rawa-rawa dengan beberapa masukan air dari sungai kecil.
Stasiun/Station Mouwer (%) 63,79 5,17 29,31 1,72 0,00
Toray (%) 14,81 22,22 44,44 18,52 0,00
Kaliwango (%) 47,62 0,00 39,68 12,70 0,00
Basmi, J. 1991. Fitoplankton sebagai Indikator Biologis Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 pp. Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biologi. 2nd Ed. John Wiley & Sonc. Inc. New York.1,248 pp. Fachrul, M. F., S. H Ediyono, & M. Wulandari. 2008. Komposisi dan model kemelimpahan fitoplankton di perairan Sungai Ciliwung. Biodiversitas. Jakarta. 9 (4): 296-300. Hamill, K. D. 2001. Toxicity in benthic freshwater cyanobacteria (blue-green alga) first observation in New Zealand. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research. 35: 1,057-1,059. Henny, C. & E. Susanti. 2009. Karakteristik limnologis kolong bekas tambang timah di Pulau Bangka. Limnotek. XVI (2): 119-131. Kim, H. W. & G. J. Joo. 2000. The longitudinal distribution and community dynamics of zooplankton a regulated large river: A case study of the Nakdong River (Korea). Hydrobiologia. 438: 171-184.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset peningkatan stok ikan arwana (Scleropages jardinii) melalui konservasi habitat di Sungai Maro, Merauke, T. A. 2007, di Loka Riset Pemacuan Stok Ikan-Jatiluhur, Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association. 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. Amer. Publ. Health Association Inc. New York. 1,134 pp. Astuti, L. P. & H. Satria. 2009. Kondisi perairan pada musim pemijahan ikan arwana Irian (Scleropages jardinii) di Sungai Maro bagian tengah, Kabupaten Merauke. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 2 (4): 155-161.
Kostkeviciene, J., J. Bakunaite, & J. R. Naujilis. 2001. Analysis of phytoplankton structure in Lithuanian River. Biologija Nr. 2: 84-87. Mansor, M. & G. Muthaiya. 1998. Notes on Montane stream algae of sayap Kinabalu Park. Sabah. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation. Article V. Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco. 180 pp. Onyema, I. C. 2007. The phytoplankton composition. abundance and temporal variation of a polluted estuarine creek in Lagos. Nigeria. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 7: 89-96. Patriono, E., D. Anggraeni, & E. Nofyan. 2005. Studi komposisi fitoplankton sebagai pakan alami ikan sepat
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
rawa (Trichogaster trichopterus Pall) stadium muda di lebak lebung Teluko, Sumatera Selatan. Prosiding Forum Perikanan Indonesia I. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 149-153. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang. 156 pp. Silva, E. I. L. 2006. Ecology of phytoplankton in tropical water: Introduction to the topic and ecosystem chane from Sri Lanka. Asian Journal of Water, Environment, and Pollution. 4 (1): 25-35. Satria, H., K. Purnomo, E. S. Kartamiharja, A. S. Ronny, L. P. Astuti, Y. Sugianti, A. Warsa, & Haryono. 2008. Peningkatan stok ikan arwana (Scleropages jardinii) di Sungai Maro melalui konservasi. Laporan Akhir Tahun. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. 64 pp. Siregar, M. H. 2009. Studi keanekaragaman plankton di hulu Sungai Asahan, Porsea. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. 76 pp.
Sulawesty, F. & Lukman. 2009. Komunitas Fitoplankton Danau Paparan Banjir. Kalimantan Timur. Limnotek. XVI (2): 99-108. Whipple, G. C. 1947. The Microscopy of Drinking Water. John Wiley & Sons. Inc. London. Chapman & Hall. Limited. 586 pp. Wetzel, R. G. 2001. Lymnology Lake and River Ecosystem. Third Edition. Academic Press. California. 1,006 pp. Walks, D. J. & H. Cyr. 2004. Movement of plankton through lake stream systems. Freshwater Biology. 49: 745-759. Zalocar de Domitrovic, Z. Y., A. S. G. Poi de Neiff, & S. L. Casco. 2007. Abundance and diversity of phytoplankton in the Paraná River (Argentina) 220 km downstream of the Yacyretá reservoir. Brazilian Journal of Biology. 67 (1): 53-63.