Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
ISSN 2302-0180 pp. 51- 59
9 Pages
KEBERADAAN PUTUSAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ADAT DALAM KAITAANNYA DENGAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (SuatuPenelitian di Kabupaten Aceh Besar)
Iskandar1, Taqwaddin Husen.2Mohd Din,3 1)
Magister IlmuHukum Program PascasarjanaUniversitasSyiah Kuala Banda Aceh e-mail :
[email protected]@yahoo.co.id 2,3) Staff PengajarIlmuHukumUniversitasSyiah Kuala
Abstract:The research shows that firstly, in the level of investigation if there is a peace based on customary law, hence the investigation process of the case is stopped, at the pre accusation level and prosecution level by the prosecution office can be stooped through the authority of general attorney. This never happens due to long process and technical problems. In the trial level there is no acknowledgement of this abolition, there is only not guilty or peace or decrease of punishment. Keywords : Peace in Customary Law Abstrak: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pada tingkat penyidikan apabila terjadi perdamaian menurut hukum adat maka proses penyidikan perkara dihentikan , pada tahap prapenuntutan dan penuntutan oleh kejaksaan pada dasarnya dapat dilakukan penghentian penuntutan melalui mekanisme deponiring yang merupakan kewenangan Jaksa Agung. Hal
ini tidak pernah terjadi karena alasan tehnis dan proses yang panjang. Pada tingkat pemeriksaan pengadilan tidak dikenal penghentian peradilan hanya ada keputusan dibebaskan atau perdamaian atau alasan yang meringankan hukuman. Kata kunci : Perdamaian dalam hukum adat
Akibatnya adalah semakin menumpuk PENDAHULUAN
perkara pada pengadilan dan sering terjadi
Hukum dibuat atau diciptakan untuk memberikan rasa aman damai dan tenteram kepada
semua
keharminisan
orang hidup
atau dalam
untuk
menjaga
bermasyarakat,
bernegara bahkan dalam pergaulan antar bangsa. Sedangkan tujuan dari penghukuman tidaklah selamanya untuk memberi efek jera kepada pelaku kejahatan atau orang yang telah melanggar hukum, karena selain memberikan rasa jera, tujuan dari penghukuman itu juga untuk mendidik atau memberi rasa adil kepada orang yang telah dizalimi atau rasa keadilannya telah di rampas oleh orang lain. 51 -
Volume 2, No. 2, Mei 2014
perulangan peristiwa yang telah diputuskan serta, tidak menjamin keteriban dan kedamaian dalam msayarakat,
sebenarnya
pihak-pihak
yang
bersengketa tersebut dapat saja menggunakan dan menempuh jalan lain dalam menyelesaikan persoalan tersebut, minimnya upaya pemulihan yang dilakukan, seharusnya si pelaku dapat dibina dengan baik dengan memberikan pemahaman hukum
atas
terhadap
si
perlakuan korban,
yang dan
dilakukannya
sekaligus
dapat
membangun upaya perdamaian diantara pelaku dan korban. Proses inilah yang belum terjadi di dalam
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala proses penegakan hukum kita, hasilnya adalah
menyampaikan
putusan pengadilan menjadi pegangan untuk
dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan
memenjarakan
untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti
kreatifitas
si
pelaku,
dan
mengenai
rugi,
dari
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal
yang
seharusnya
dapat
diupayakan penyelesaiannya di luar peradilan.
ini
menjadi
kerja
sosial,
yang
memenjarakan hak-haknya selaku warga akibat perbuatannya
perdamaian,
kerugian
penting?
Karena
maupun
proses
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok
pemidanaan konvensional tidak memberikan
permasalahan yang akan diteliti lebih mendalam
ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini
pada penelitian ini, adalah sebagai berikut:
korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif
1. Apakah perdamaian menurut hukum adat dapat menghentikan proses peradilan.
dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi
tindak
pidana,
tanpa
2. Apakah perdamaian menurut hukum adat
memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan
dapat menghilangkan atau menghapuskan
terus digulirkan ke ranah penegakan hukum
sifat melawan hukum.
yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak
3. Bagaimanakah ke efektivitan hukum dari
hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat
putusan perdamaian dalam menimbukan rasa
seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya
keadilan masyarakat.
hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi. Dalam proses acara pidana konvensional
B. TINJAUAN PUSTAKA Perdamaian dalam perkara pidana ini
misalnya apabila telah terjadi perdamaian
telah dikenal dan menjadi bagian dari budaya
antara pelaku dan korban,
masyarakat indinesia pada umumnya dan
memaafkan pelaku, maka hal tersebut tidak
masyarakat Aceh secara khusus, Perdamaian
akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak
ini merupakan suatu pendekatan yang lebih
hukum
menitik-beratkan pada kondisi terciptanya
tersebut ke ranah pidana yang nantinya
keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak
berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana
pidana serta korbannya sendiri. Dalam
proses
untuk
terus
korban telah
meneruskan
perkara
Kewenangan untuk menyampingkan
peradilan
pidana
perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai
konvensional dikenal adanya restitusi atau
perwujudan asas oportunitas yang hanya
ganti rugi terhadap korban, model penyeleaian
dimiliki oleh Jaksa Agung. (M. Yahya
ini dikenak juga dengan nama restorasi,
Harahap, 2009).
dimana dalam proses ini adanya pemulihan hubungan
antara
diluar
dilakukan
dengan
dan
pengadilan
ini
bisa
megenyampingkan proses penegakan hukum
didasarkan atas kesepakatan bersama antara
melalui lembaga formal tersebut. Namun
korban dan pelaku. Pihak korban dapat
perbedaanya dilakukan untuk mencapai suatu
hubungan
yang
perkara
korban
pelaku. Pemulihan
pihak
Penyelesaian
Volume 2, No. 2, Mei 2014
- 52
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak
yang
bersengketa
atau
Keuntungan utama dari penyelesaian perselisiahan
atau
persengketaan
diluar
berseslisih sehingga diharapkan akan lebih
pengadilan adalah
memberi perlindungan atau menyembuhkan
kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan
(healing) terutama pada korban, serta lebih
penyelesaian pada umumnya diserahkan
resolutif yang dapat dalam mengakhiri suatu
kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan
perselisihan
lain yang juga amat menonjol adalah biaya
atau
persengketaan
bisa
dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka. ( Mas Achmad Santosa & Wiwiek Awiati, tt)
yang murah. Sebelumnya beberapa
Alternatif terkait pengenyampingan
dalam menyelesaikan
alasan
penyelesaian
perkara
perlu
dikemukakan
bagi
dilakukannya
pidana
di
tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan
pengadilan pidana sebagai berikut:
lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut
atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan
termasuk kategori delik aduan
metode penyelesaian sengketa alternatif atau
2. Pelanggaranhukumpidanatersebutme
alternative dispute resolutions (selanjutnya
milikipidanadendasebagaiancamanpi
disebut dengan ADR).
danadanpelanggartelahmembayarden
Penyelesaian
diluar
tidaklah identik dengan
pengadilan
datersebut (Pasal 80 KUHP)
ADR, meskipun
3. Pelanggaranhukumpidanatersebutter
terdapat kesamaan dimana suatu perkara
masukkategori “pelanggaran”, bukan
pelanggaran
“kejahatan”,
pidana
tidak
diajukan
ke
hanyadiancamdenganpidanadenda
pengadilan.(Mudzakkir, 2007). Penyelesaian Pengadilan
perkara
merupakan
yang
di
luar
kebijakan
yang
4. pelanggaranhukumpidanatersebutter masuktindakpidana
di
dilakukan oleh aparat penegak hukum yang
bidanghukumadministrasi
yang
memiliki wewenang dalam proses tertentu
menempatkansanksipidanasebagaiult
untuk menutup atau mengakhiri suatu proses
imumremedium
untuk
5. Pelanggaranhukumpidanatersebutter
memberi kesempatan kepada para pihak yang
masukkategoriringan/serbaringandan
bersengketa
untuk
aparatpenegakhukummenggunakanw
menemukan suatu resolusi dalam perkara
ewenangnyauntukmelakukandiskresi
yang sedang berjalan yang didasari pada
6. Pelanggaranhukumpidanabiasa yang
penegakan hukum secara formal
atau
berselisih
kewenangan
melakukan
dihentikanatautidakdiproseskepenga
diskresi/penyampingan perkara pidana yang
dilan
(deponir)
dilakukan oleh pihak tertentu.
olehJaksaAgungsesuaidenganwewen anghukum yang dimilikinya
53 -
Volume 2, No. 2, Mei 2014
luar
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk hukum
kategori pidana
disebutkan bahwa mediasi, sebagai salahsatu
pelanggaran adat
bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib
yang
untuk perkara kecil baik perdata maupun
diselesaikan melalui lembaga adat Sedangkan
pidana. Itulah yang menjadikan penanganan
kelemahan
dari
masalah secara alternatif ini relevan untuk
penggunaan sistem ini adalah, dapatnya
dikaitkan dengan proses penegakan hukum
menjadi sumber penyalahgunaan wewenang
Polri, khususnya menyangkut perkara pidana
dari para penegak hukum, khususnya apabila
yang ringan.
diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”.
Pengadilan Adat di Aceh sejak masa
Salahsatu persoalan penting yang menjadi
pertanyaan
Iskandar
Muda
yang
tersebar
bagimana
diseluruh wilayah kerajaan Aceh, Pengadilan
hubungan antara ADR dan Restorative
Adat di Aceh Besar diketuai di wilayah Aceh
Justice (selanjutnya disebut dengan RJ). RJ
Besar ada yang diketuai oleh Uleebalang, dan
merupakan salah satu model ADR dimana
diwilayah Sagoe diketuai oleh Panglima
lebih ditujukan pada kejahatan terhadap
Sagoe, sedangkan di wilayah lain dalam
sesama
kerajaan Aceh terdapat pengadilan yang
individu/
adalah,
kerajaan
anggota
masyarakat
daripada kejahatan terhadap negara. Dalam
diketuai
RJ,
pengadlan tertinggi dikenal dengan malikul
pihak-pihak
yang
terlibat
lebih
diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya
tetapi
memberikan
kesempatan
Panglima
Sagoe,
adapun
adil (Moehammad Hoesin, 1970).
bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum,
oleh
Pada semua
masa
penjajahan
Belanda
Panlima
Sagoe
Pengadilan
kepada para pihak yang terlibat untuk
dihapuskan kecuali yang berada di Aceh
menentukan solusi, membangun rekonsiliasi
Besar, Pengadilan Panglima sagoe di Aceh
demikian pula membangun hubungan yang
Besar
baik antara korban dan pelaku. Hubungan
Distrctspgerecht
baik ini berguna untuk, salah satunya,
Balang
menekan residivisme (Adrianus Meliala,
Landschapsgerechil yang di pinpin oleh
Mamiek Sri Supatmi, Santi Kusumaningrum,
Uleebalang
Kisnu Widagso dan Fikri Somyadewi).
kewedanaan
dan
di
diganti
Tjut
Wilayah untuk
Singkil pengadilan
ulee
dengan
nama
nama
dan
degan
setiap
ibu
kota
diluar Aceh Besar diadakan
Kepolisian, sebagai elemen awal
pengadilan dengan Musapat yang anggotanya
dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
para uleebalang dalam wiayah tersebut
maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah
(Moehammad Hoesin, 1970).
Akademis
mengenai
Court
Dispute
Pada masa penjajahan Belanda di
Resolution dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia di kenal dengan peradilan :
Indonesia pada tahun 2003, dalam salah satu
1. Pengadilan
kesimpulan
terakhirnya
antara
lain
Swapraja
(zelfbestuurs
rechpraak). Volume 2, No. 2, Mei 2014
- 54
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2. Pengadilan Adat (in heemscprolak)
sengketa dengan cara adatsebagai sarana
3. Pengadilan Desa
penyelesaian sengketa hukum nonligitasi
Dengan berlakunya UU darurat no.
sampai saat ini masih efektif, walaupun
1/1951 maka berdasarkan pasl 1 ayat (2) a
tidak sepenuhnya baik dalam aspek
dan b, maka pengadilan Swapraja dan
perdata maupun aspek pidana(Harun
Pengadilan
Syahidin).
Adat
dihapus.
Sedangkan
Pengadilan Desa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU
Darurat
No.
1/1951
Terdapat beberapa metode dan pola
tetap
penyelesaian sengketa yang ilakukan dalam
memberlakukan pasal 3 a. R.O Stbl. 1847 No.
penyelesaian setiap perkara yang terjadi di
32 jo 1935 No. 102. Sedangkan pasal 5 ayat
dalam masyarakat adat, antara lain yaitu:
(3) sub b U.U Darurat No. 1/1951 tentang
1. Penyelesaian secara personal
dimungkinkannya dilakukan Hukum Pidana
2. Penyelesaian melalui pihak keluarga
Adat. Jadi pemerintah penjajahan Belanda
3. Duek ureung tuha
dahulu mengakui adanya hukum perdamaian
4. Penyelesaian
menurut adat. Pasal 3 a. R.O masih berlaku sampai
sekarang
dicabut,
karena
mengetahui
Perdamaian
pernah
adanya
Desa”
dorpsjustitle)
belum
“Hakim
(dorpsrechter,
untuk menangani
perkara-
melalui
Lembaga
Adat
Keujreun Blang 5. Penyelesaian melalui Peradilan Gampong 6. Penyelesaian
melalui
Peradilan
Mukim(Harun Syahidin). Tempat
Pelaksanaan
dalam
perkara yang diajukan oleh kepala Desa,
penyelesaian secara adat seperti tersebut
yaitu setiap sengketa apa saja yang terjadi di
didalam Pasal 14 ayat 4 Qanun no. 9 tahun
desa
2008 yaitu: Hukum adat merupakan alternatif
yang sangat efektif bagi masyarakat setempat
Sidang
musyawarah
penyelesaian
sengketa atau perselisihan dilaksanakan :
terutama Aceh. Ada tiga penyebab utama
a. Di Menasah pada tingkat Gampong,
dipergunakannya cara non-ligitasi dalam
b. Di Mesjid pada tingkat Mukim atau
penyelesaian
sengketa
terutama
Penyelesaiannya di luar pengadilan dengan cara perdamaian:
sengketa damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. ketidakpuasaan
masyarakat
Indonesia,
atas
Aceh
terdapat kecenderungan menyelesaikan 55 -
Volume 2, No. 2, Mei 2014
sengketa laoet. Dalam penyelesaian perselihan atau sengketa haruslah dilakukan dengan cara:
penyelesaian perkara melalui pengadilan. c. Pada
Keuchik atau Imeum Mukim. c. Di Bale Nelayan untuk penyelesaian
a. Di Indonesia tata cara penyelesaian
b. Adanya
tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh
a. Dimusyawarahkan dalam rapat adat. b. Kedua belah pihak harus hadir. c. Diberi kesempatan untuk memberi penjelasan atau membela diri.
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala d. Dibuat berita acara rapat.
tentangPembinaanAdatdanAdatIstiadatjug
e. Dibuat surat keputusan.
amasihadaperkara
f.
Tidak
berlatar
belakang
pada
lain
tidakdiaturdalamQanuntersebut
kepentingan pribadi.
yang yang
dapatdilakukanpenghentianpenyidikansep
g. Pengumuman hasil musyawarah di
anjangtelahdilakukanperdamaiandanpihak
Menasah atau mesjid.
pelaporataukorbanmencabutpengaduanda
Hukuman atau sanksi adat yang
nperkaratersebutbelum
di
masih berlaku dalam masyarkat hukum
buatsuratpemberiathuandimulaipenyidika
adat pada umumnya adalah :
n, penghentian proses pemeriksaanperkara
a. Nasehat.
di
b. Peringatan.
tingkatKepolisaninidapatdilakukansesuaik
c. Minta maaf didepan umum.
ewenangan
d. Ganti rugi.
dimilikiKepolisianuntukmenlakukandiskr
e. Diusir dari kampung
esi.
f.
Pencabutan gelar adat.
yang
Terhadapperkara
yang
g. Diboikot.
sudahsampaipadatahapprapenuntutandanp
h. Dikucilkan dari pergaulan.
enututanolehKejakasaanpadadasarnyadap atdilakukanpenghentianpenuntutanmelalui
D. PENUTUP.
mekanismedeponiring
Berdasar uraian-uraian dari hasil penelitian
yang
merupakankewenanganJaksaAgung,
sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
halinitidakpernahterjadikarenaalasantehni
maka kesimpulan dan saran yang dapat ditarik
sdan proses yang panjang.
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
PadatingkatpemeriksaanPengadilantida kdikenalpenghentianperadian,
A. Kesimpulan 1.
Perkarapidana
yang
hanyaadakeputusandibebaskanataudihuku
telahdilakukanperdamaianmelaluiperadila
m,
nhukumadatkhusunyaterhadapperkarapida
terjadiperdamaianhanyadipertimbangkans
nasebagaimana yang diaturdalampasal 13
ebagaialasan yang meringankanhukuman.
Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2009
2.
akantetapi
Perdamaiandalam
yang
yang
padatingkatpenyidikandapatdilakukanpen
terjadidalamsuatuperistiwapidanapadadas
gentianpenyidikan,
arnyatelahmemulihkansesuatukondisikepa
sehinggaperkaratidakdilanjutkanke proses
dakondisisemula, tidakadalagipihak yang
penuntutandanperadilan.
dirugikanseolah-
Adapunterhadapperkarapidana
yang
olahperistiwatersebuttidakpernahterjadida
tidakdiaturdalamQanun Aceh Nomor 9
nbahkanbisamenjadilebihbaik,
Tahun
akantetapidalamhalinimasihada
2008
Volume 2, No. 2, Mei 2014
para - 56
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala praktisihukum
yang
keputusan tersebut benar-benar dirasakan
menganutajaranpositifisme
yang
sebagai upaya memperbaiki diri dan dapat
berpegangpadaadagiumdalamilmuhukump
memelihara
idana
masyarakat.
yang
menyatakan ”meskipuntelahterjadiperdam
3.
dalam
2. Kepolisian dalam memeriksa/melakukan
aian,
penydikan suatu perkara
namunperdamaiantersebuttetaptidakmeng
memberikan peluang kepada pihak-pihak
hilangkansifatmelawanhukumdariperbuata
yang bersengketa atau berselisih untuk
npidana.
melakukan
Suatuperbuatanpidana
yang
diselesaikanmelaluimekanismeperadilanh ukumadatdalammasyarakatdirasakansanga
hendaknya
perdamaian,
menghentikan
pemeriksaan
serta, apabila
terdapat perdamaian. 3. Kejaksaan dalam
penuntutan atau pra
tefektif,
penuntutan suatu perkara pidana yang
halinidapatdirasakandengantelahpulihnyas
telah terjadi perdamaian hendaknya dapat
uatukondisi
yang
menutup perkara tersebut baik dengan
telahmenjaditerganggukarenaterjadiperisti
kewenangan untuk melakukan deponiring
wapidanatersebut.
atau alasan lain, karena dengan telah
Terhadapputusanperdamaianinitidakperlu
adanya perdamaian permalahan sudah
dilakukaneksekusisecarapaksa,
selesai.
karenatelahterjadikesepakatandankerelaan daripihak-pihak
yang
4. Pengadilan atau hakim sebagai institusi terakhir
dalam
pencarian
keadilan,
terlibatdalamperistiwatersebut,
hendaknya dalam memeriksa perkara
tidaktimbulpersoalan
pidana yang telah terjadi perdamaian
di
kemudianhari.
Berbedadenganputusanpengadilanterhada
menganulir perdamaian yang telah terjadi
pperbuatanpidana, meskipuntelahdihukum,
antara pihak-pihak dalam pertibangan
akantetapitidakmemulihkansuatukondisi,
hukumnya serta memberikan putusan
sehinggabisamenimbulkanefek
sesuai
di
kemudianhari.
pihak-pihak
dalam
5. Pemerintah harus membuat suatu aturan
1. Para perangkat adat dalam menyelesaikan perselisihan
harapan
perdamaian tersebut.
B. Saran-Saran
atau
perngketaan
dalam
yang institusi
sinergi
antara
penegak
masing-masing hukum
tentang
masyarakat hendaknya memperhatikan
kewenangan pemeriksaan suatu perkara
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
serta
memberikan suatu pertimbangan atau
pemeriksaan suatu perkara, sehingga tidak
sanksi yang sesuai denga hukum adat
terjadi penumpukan perkara, pemborosan
serta 57 -
kedamaian
bersifat
mendidik,
Volume 2, No. 2, Mei 2014
sehingga
pengakhiran
suatu
proses
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala anggaran, serta dapat menjamin rasa keadilan masyarakat.
----------., dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, , Bandung, 1998 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002. Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996.
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Has Asasi Manusia di Indonesia, Alumni, Bandung, 2001.
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1989. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. -------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Baksi, Bandung, 1998.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1986. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2005 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1986. --------, Hukum Pidana, Jilid I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1991. Taqwaddin Husin , Aspek Hukum Kehutanan &Mastarakat Hukum Adat Di Indonesia, Intan Cendikia, Jogyakarta, 2011. --------, Kapita Selekta Hukum Adat Aceh Dan Qanun Wali NanggRoe, Bandar Publising, Banda Aceh, 2013, --------, Kapita Selekta Hukum Adat, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2009. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hal. 196. Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN Departemen Kehakiman, 1980. Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, 1992.
Mohd.Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Dari Aceh Untuk Nasional, Unpad Pres,Bandung , 2009.
Lili Rasjidi dan Ira Rasidi, Dasar-dasar Filsafat dan teori hukum, PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung. 2001
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970.
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970.
M. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, PT.Tiara Wacana, Yogyakarta 1991.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995. Ranoemihardja, R. Atang, Hukum Pidana, Azasazas, Pokok Pengertian dan Teori serta Pendapat Sarjana, Tarsito, Bandung, 1984.
Volume 2, No. 2, Mei 2014
- 58
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Roeslan Saleh, Mencari Azas-Azas Umum Yang Sesuai Untuk Hukum Pidana Nasional, Kumpulan Bahan Upgrading Hukum Pidana, 1971. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Criminal Justice System, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, 1993. Sahardjo, Pohon Beringin Pengajoman Hukum Pantjasila/Manipol/Usdek, Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia, Jakarta, 5 Juli 1963. ______, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta, 1989.
59 -
Volume 2, No. 2, Mei 2014