Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/02/2011
KEBERADAAN ETNIS TIONGHOA DALAM SOROTAN MEDIA MASSA (ANALISIS BINGKAI BERITA IMLEK 2011 DI METRO TV) Suwito* / Eko Harry Susanto**/Ahmad Junaidi*** email :
[email protected] [email protected]
ABSTRACT: The mass media in the midst of modernization have an critical role in its function of disseminating information. The media plays a role in cultural values bequeathed to the community. In highlighting the cultural content, the mass media construct reality often included in the package of events and cultural nuances of an ethnic event. Metro TV television media is understood as the ideology of pluralism in Indonesia. Based television news seems most have special concern for diversity to frame the nuances of Chinese, especially during Chinese New Year. In reporting, these journalists and the media often involves ideology of their personal values so that the nuances of Chinese news is framed in such a way. Some of the news broadcast is in conformity with reality, but there are also some things in the news there are hidden assumptions that can actually obscure the facts and lead to wrong perception by the public audience. Keywords: News, Construction
Journalism,
Television,
Culture,
Chinese,
Lunar,
Pendahuluan
K
edatangan etnis Tionghoa ke Indonesia sudah diperkirakan terjadi berabadabad silam. Berdasarkan fakta sejarah, label sebagai suku pendatang sudah melekat pada etnis Tionghoa di Indonesia. Suhandinata (2009: 31) mengatakan selama berabad-abad warga Cina dari dari bagian tenggara telah bermigrasi ke kepulauan Indonesia. Dari beberapa kelompok dialek migrasi utama, Hokkian merupakan pemukim perintis. Ini berarti, keberadaan etnis Tionghoa sudah menjadi bagian perjalanan Bangsa Indonesia Sensus penduduk tahun 2000 yang pertama kali mencatat latar suku/etnis seseorang menyebutkan etnis Tionghoa hanya menempati urutan ke-15 dari 101 kelompok yang tercatat. Sebesar 1.738.936 orang atau 0,86% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia sebanyak 201.092.238 orang. Namun, paling tidak hasil sensus menunjukkan bahwa di 11 propinsi Indonesia, jumlah warga etnis Tionghoa
*
Suwito adalah alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitras Tarumanagara Jakarta. Tulisan ini dibuat dari pengembangan skripsi penulis. ** Eko Harry Susanto adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta. *** Ahmad Junaidi adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta.
ISSN : 2085 1979
15
Suwito / Eko Harry Susanto / Ahmad Junaidi: Keberadaan Etnis Tionghoa Dalam Sorotan Media Massa (Analisis Bingkai Berita Imlek 2011 Di Metro TV)
cukup signifikan untuk diperhitungkan sebagai bagian dari masyarakat setempat (cwsgading.com). Sementara itu menurut Suhandinata (2009: 95) pada tahun 2006 dengan perkiraan jumlah populasi 10 juta, kelompok etnis Tionghoa Indonesia merupakan populasi Tionghoa terbesar di Asia Tenggara. Fakta statistik tersebut menunjukkan bahwa tidaklah tepat bila Tionghoa dilabel sebagai kelompok minoritas di Indonesia. Tionghoa bahkan telah menjadi bagian dariangsa Indonesia. Namun, beberapa kasus menunjukan adanya tindak diskriminasi yang diarahkan pada Etnis Tionghoa oleh birokrasi dan masyarakat. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1959 tentang Wilayah Dagang dan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Adat Istiadat China adalah dua momen yang menjadi pukulan bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Jati diri dan identitas etnis Tionghoa dalam puluhan tahun sempat tenggelam dan dipaksa untuk berasimilasi dengan budaya asli Indonesia. Tak hanya itu untuk pengurusan dokumen warga negara dan memiliki hak sebagi warga negara juga dipersulit oleh birokrasi masa itu. Barulah kebangkitan etnis Tionghoa mulai dirasakan saat reformasi 1998 yang juga menjadi batu awal bangkitnya pers di Indonesia. Etnis Tionghoa mulai tanpa merasa terasing menjadi bangsa Indonesia. Dalam menumbuhkan geliat budaya dan menemukan identitas ke-Tionghoa-annya, peran media juga berpengaruh di dalamnya. Tanggal 17 Januari 2000 Presiden K.H. Abdurrachman Wahid atau Gusdur mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruski Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Gusdur juga telah menugaskan Prof. Dr. J.E. Sahetapy untuk menindaklanjuti Keppres Nomor 6 Tahun 2000 itu, termasuk menginvetaris produk peraturanperaturan lainnya yang bersifat diskriminatif untuk segera bisa dicabut. Inpres Gusdur telah membuka kungkungan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Sejak Keppres Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan adat Istiadat, media massa dan pertelevisian pasca orde baru yang mulai mengagendakan perayaan besar etnis Tionghoa, Tahun Baru Imlek, dan konten bernuansa Tionghoa seperti nuansa warna merah yang dominan pada saat Imlek. Ini juga diikuti keleluasaan etnis Tionghoa dalam menjalankan aktivitas budayanya. Salah satu yang melakukannya adalah Metro TV. Jika stasiun televisi lain memuat pada program tertentu saja, Metro TV membuat special program Imlek dan membuat edisi khusus Imlek pada hampir tiap program siarannya. Metro TV menamainya Imlek Bersama dengan tema-tema nasionalisme setiap tahunnya seperti “Terima Kasih Indonesia” (2009), “Indonesia Tanah Airku” (2010), “Jayalah Indonesiaku” (2011) dan “Colourful Indonesia” (2011). Harold Lasswell, seorang pakar komunikasi, juga menyampaikan media telah mewariskan nilai dan norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurutnya, telah diketahui bahwa media dapat mengurangi perasaan terasing pada individu atau perasaan tak menentu melalui wadah masyarakat yang dapat mengidentifikasikan dirinya (Werner dan James, 2005: 386-389).
16
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/02/2011
Berdasarkan fakta-fakta di atas bisa diketahui bahwa Metro TV memiliki perhatian khusus terhadap etnis Tionghoa. Jika dibandingkan dengan televisi lain, Metro TV begitu intens menyiarkan ke-Tionghoa-an baik budaya, tradisi dan kehidupan sosial politiknya saat perayaan Imlek. Di sisi lain, ada nilai-nilai tertentu yang disisipkan Metro TV dalam memberitakan sebuah kejadian. Konsep ini sesuai dengan framing atau pembingkaian peristiwa dalam membuat berita. Selanjutnya, hal-hal tersebut menjadi dasar untuk menganalisis bagaimana Metro TV membingkai keberadaan etnis Tionghoa melalui pemberitaan Imlek 2011.
Framing Menurut John Vivian, framing adalah pemilihan aspek dari realitas untuk ditekankan dalam pesan media dan karenanya mempengaruhi dan membentuk bagaimana kita memandang realitas. Tidak semua tentang kejadian atau isu dapat dipadatkan dalam berita 30 detik atau artikel 3000 kata. Reporter harus memilih apa-apa yang harus disampaikan dan memilih apa yang harus dimasukan dalam berita dan apa yang tidak. Adapun pilihan reporter menghasilkan cara audien memandang realitas (framing). (John Vivian, 2008: 568- 569). Sementara itu, menurut Goffman (dalam Alex Sobur, 2009: 163), framing bisa dipandang sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas. Gamson dan Modigliani (dalam Bungin, 2007:160) mengatakan framing adalah kemasan yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang diberitakan. Dalam pengertian lain, E ntman (dalam Alex Sobur, 2009: 163) memandang framing dalam dua dimensi besar, yakni seleksi isu dan penekanan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Lebih lanjut Deddy Mulyana (dalam Eriyanto, 2002: xiv) menuturkan analisis framing cocok digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Sedangkan Eriyanto (2002:3) menekankan analisis framing sebagai alat yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas ditekankan dan ditonjolkan. Secara sederhana, Eriyanto menggambarkan analisis framing sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, kondisi, aktor, kelompk, atau apa saja) dibingkai media. Pembingkai oleh media melalui suatu proses konstruksi. Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Hasilnya, berita di media massa hanya mengangkat sisi tertentu dan mewawancarai narasumber tertentu. Ditambahkan Eriyanto (2002 : 290), framing adalah pembingkaian atas suatu peristiwa dan secara umum dapat dilihat dari penonjolan bagian tertentu atas suatu isu dan penekanan dengan menggunakan perangkat wacana untuk memperkuat penonjolan tersebut. Frame media dipahami sebagai hasil suatu proses dalam bentuk teks. Dalam perspektif jurnalistik, Alex Sobur (2009: 172) menyatakan secara teknis, tidak mungkin bagi seorang jurnalis mem-framing seluruh bagian berita. Artinya framing dilakukan hanya pada bagian dari kejadian penting dalam sebuah ISSN : 2085 1979
17
Suwito / Eko Harry Susanto / Ahmad Junaidi: Keberadaan Etnis Tionghoa Dalam Sorotan Media Massa (Analisis Bingkai Berita Imlek 2011 Di Metro TV)
berita saja yang menjadi objek jurnalis. Selain aspek penting, aspek peristiwa dan ide juga diinginkan oleh khalayak. Frame, dalam pemahaman Entman (dalam Eriyanto, 2002: 292), bukan hanya sebuah metode analisis teks. Ia lebih jauh bisa dijadikan sebuah teori. Menurutnya, framing dalam perspekstif komunikasi memainkan peran penting. Ini bisa dilihat dari tahap-tahap proses komunikasi. Secara keseluruhan, framing dalam proses komunikasi akan menseleksi serta menonjolkan pemahaman atas peristiwa, bagaimana sebuah persitiwa terjadi, apa sebab suatu masalah, dan bagaimana pemecahannya. Tabel 1 Framing dalam Proses Komunikasi Tahap Pertama: Komunikator
Frame
Bagaimana seseorang mengkonstruksi peristiwa, membingkai pesan tertentu. Secara sadar dan tidak sadar komunikator telah memproduksi frame ketika berkomunikasi. Kedua: Isi pesan Isi pesan komunikasi baik eksplisit maupun implisit mempunyai perangkat frame tertentu. Ini bisa ditemukan dalam gaya bahasa, pemakaian label, atau metafora tertentu dalam pesan, baik dalam level tematik maupun pada perangkat pendukungnya (kata, kalimat, dan sebagainya. Ketiga: Penerima Penerima bukan pihak yang pasif. Mereka tidak menyerap begitu saja pesan yang datang. Sebaliknya, ia menggunakan kerangka penafsirannya untuk menafsirkan pesan yang datang sehingga bisa jadi bingkai yang disediakan oleh penerima berbeda dengan bingkai yang diberikan oleh komunikator. Keempat: Masyarakat juga menyediakan bingkai tertentu berupa Masyarakat perspektif bagaimana peristiwa dipahami. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat adalah bahan yang siap sedia dipakai oleh anggota komunitasnya untuk menafsirkan pesan. Sumber: Entman dalam Eriyanto (2002: 292) Dari teori-teori yang dipaparkan oleh para pakar, dapat ditafsirkan bahwa
framing layaknya seperti bingkai sungguhan, membatasi sebuah peristiwa. Ia
memetakannya agar terlihat rapi dan lebih menonjol. Dalam suatu peristiwa terlalu banyak yang menjadi perhatian, sehingga media dengan perangkat bingkainya membatasi peristiwa itu agar khalayak fokus pada hal tertentu saja. Selain itu, durasi atau halaman juga terbatas, sehingga tidak semua sudut suatu peristiwa dapat dimasukkan. Metode Analisis Untuk menganalisis data, digunakan analisis framing atau analisis bingkai. Sesuai dengan identifikasi masalah bahwa program televisi menyisipkan nilai-nilai tertentu di dalamnya. Lalu, berangkat dari paradigma penelitian bahwa realitas di media massa telah dikonstruksi, analisis framing tepat digunakan untuk menganalisis data. 18
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/02/2011
Sebelumnya, data dipilah terlebih dahulu. Program televisi terdiri dari audio dan visual, sehingga penelitian melihat keduanya untuk dianalisis. Data-data itu kemudian diklasifikasi berdasarkan ketentuan di model analisis framing yang digunakan. Sementara itu, data melalui hasil wawancara dan dokumentasi akan diuraikan secara deskriptif dan naratif. Uraian ini bersifat memberi gambaran analisa yang telah dilakukan berdasarkan pengamatan, dokumentasi, dan wawancara yang dilakukan untuk menyeimbangi atau verifikasi. Teknik analisis bingkai / framing adalah suatu teknik analisis data dengan melihat dan menemukan frame atau media package yaitu suatu perspektif untuk melihat sebuah perspektif yang digunakan untuk pengamatan, analisis, dan interpretasi terhadap sebuah realitas sosial di masyarakat. (Bungin, 2007: 159). Ada beberapa model analisis bingkai. Namun, penelitian menggunakan Model Pan dan Kosicki yang memiliki 4 unsur yaitu struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, dan retoris. Elemen-elemen ini dirasakan dapat menggambarkan seluruh komponen yang terpisah dan tersembunyi di balik suatu berita. Menurut Model Pan dan Kosicki setiap berita mempunyai bingkai yang berfungsi sebagai pusat ide. Maka, ide ini dapat menghubungkan antar komponen di dalam berita dan narasi berita. Dengan model ini bisa mengetahui bagaimana sebuah program jurnalistik di telivisi dibentuk untuk disampaikan kepada masyarakat. Di sisi lain dengan model ini, nilai-nilai dan paham tertentu pada program televisi yang dianalisis bisa ditemukan dan dipaparkan karena bingkai menurut Pan Kosicki berhubungan dengan makna dalam berita. Eriyanto (2002: 251) mengungkapkan bahwa bagi Pan dan Kosicki, model yang ia kemukankan daoat menjadi salah satu alternatif dalam menganalisis teks media di samping analisis isi kuantitatif. Pan dan Kosicki menilai model analisis framing yang diajukannya agak berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam analisis isi kuantitatif. Analisis isi yang lainnya melihat berita sebagai hasil stimuli psikologis yang objektif dan karenanya makna dapat diidentifikasi dengan ukuran yang objektif. Sebaliknya dengan model analisis framing yang mereka buat teks berita dilihat terdiri dari berbagai simbol yang disusun lewat perangkat simbolik yang dipakai untuk mengkonstruksikan memori khalayak. Dengan kata lain menurut Pan dan Kosicki tidak ada pesan dan stimuli yang objektif. Analisis Framing Pan dan Kosicki ditambahkan Eriyanto (2002: 251) tidak melihat teks berita sebagai suatu pesan yang hadir begitu saja seperti yang ada dalam analisis isi tradisional. Dalam model analisis framing Pan dan Kosicki teks berita disusun berdasarkan formasi dan struktur tertentu, melibatkan proses produksi dan konsumsi dari suatu teks. Tabel 2. Model Analisis Framing Pan dan Kosicki Struktur
Perangkat Framing
Sintaksis Cara wartawan menyusun fakta
1. Skema berita
Skrip Cara wartawan mengisahkan fakta
2. Kelengkapan berita
ISSN : 2085 1979
Unit yang Diamati
Headline,
informasi, sumber, penutup 5W1H
lead,
latar kutipan, pernyataan,
19
Suwito / Eko Harry Susanto / Ahmad Junaidi: Keberadaan Etnis Tionghoa Dalam Sorotan Media Massa (Analisis Bingkai Berita Imlek 2011 Di Metro TV) Tematik Cara wartawan menulis (naskah berita pada TV)
berita
Retoris Cara wartawan menekankan fakta
3. Detail 4. Maksud kalimat, hubungan 5. Nominalisasi antarkalimat 6. Koherensi 7. Bentuk kalimat 8. Kata ganti 9. Leksikon 10. Grafis 11. Metafora 12. Pengandaian
Paragraf. Proposisi
Kata, idiom, foto, grafis
gambar/
Sumber: Alex Sobur, 2009: 176 Validitas analisis framing model Pan dan Kosicki tidaklah diukur dari objektivitas atas pembacaan dari teks berita yang diamatinya. Analisis framing ini bisa dinilai validitasnya dari bagaimana teks berita menyimpan kode-kode tertentu yang ditafsirkan dengan jalan tertentu pula oleh peneliti. Sebenarnya tidak ada ukuran yang valid atas hasil analisis dengan model ini karena tergantung pada bagaimana seseorang menafsirkan pesan dari teks berita tersebut. Pemilihan Berita Total keseluruhan dari yang dicatat terhadap program Metro TV dengan konten menyambut Imlek 2011 adalah sebanyak 19 program siaran yang di antaranya dengan 93 tanyangan konten dengan nuansa Tionghoa dan Imlek. Dari 93 tayangan terdapat 82 yang berjenis berita. Maka dari sekian banyak program, episode, dan berita, akan dipilih program yang sesuai dengan batasan masalah saja. Sesuai dengan itu, penelitian hanya memilih program yang menyiarkan straight news, news feature, dan feature saja. Kemudian data yang sudah dipilah akan dikategorikan. Tabel 3. Pemilihan Berita No. 1
Kategori Keadaan Masyarakat
2
Ritual Merayakan Imlek Peleburan Budaya
3
Total durasi
Jenis Berita Lola Tak Mampu Bikin Kue: NF Pecinan Semarang:F Perayaan Imlek di Semarang: LR Petak Sembilan Dipadati Warga: LR Budaya China-Bali Berpadu di Wihara Darmayana: NF Misa Katolik Sambut Imlek: NF
Keterangan : NF=News Feature, F=Feature, LR=Live Report : Durasi= jam.menit.detik
Durasi 00.01.37 00.17.38 00.03.09 00.03.11 00.00.44 00.03.37 00.29.16
Hasil Analisis Berikut adalah perbandingan analisis yang dilakukan pada setiap berita suatu kategori.
20
dalam
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/02/2011
Tabel 4. Perbandingan Analisis Kategori Keadaan Masyarakat
Frame Elemen Skematis/ Sintaksis
Skrip
Lola dan Keluarga Tak Mampu Bikin Kue Imlek Keadaan Masyarakat
Lead/Intro: Tak semua orang
bisa merayakan Imlek dalam sukacita Informasi Latar Belakang: Merayakan Imlek dalam keprihatinan Soundbite: Keluhan Lola Lengkap menggambarkan perayaan Imlek dengan serba memprihatinkan.
Tematik
1. Lola ingin merasakan kemeriahan Imlek 2. Lola hidup dalam kemiskinan 3. Lola dan keluarga merayakan Imlek dengan seadanya 4. Lola mengharapkan berkah di Tahun Baru Imlek ini.
Retoris
Tampak dalam gambar grafis keadaan rumah.
Pecinan Semarang Keadaan Masyarakat
Lead/Intro: Berupa highligth
Informasi Latar Belakang: Deskripsi dan narasi, suasana pecinan Semarang Soundbite: berupa obrolan seharihari dengan masyarakat dan seniman. Lengkap (terutama pada unsur how) dalam menyajikan keunikan dan keharmonisan masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang. 1. Kelenteng sebagai medium budaya Tionghoa 2. Aktivitas ekonomi dengan perdagangan 3. Rumah bergaya Tionghoa kuno di Pecinan Semarang 4. Kesenian Wayang Potehi 5. Meramal 6. Harapan di Tahun Baru Imlek untuk kemajuan Indonesia Pengunaan kata “China” di sepanjang berita daripada “Tionghoa” oleh wartawan.
Berita Lola dan Keluarga Tak Mampu Bikin Kue Imlek menekankan kondisi ekonomi orang Tionghoa yang tidak semuanya mapan. Metro TV menekankan bahwa warga Cina Benteng menjadi cermin bahwa beberapa Etnis Tionghoa hidup dalam kondisi memprihatinkan. Di saat orang-orang merayakan Imlek dengan suka cita, Etnis Tionghoa di Cina Benteng merayakannya dengan kondisi keterbatasan. Imlek di keluarga Lola tidak ada pernak-pernik hiasan Imlek, baju baru, dan kue Imlek. Dalam berita ini Metro TV mengkritik pemerintah untuk lebih memprihatikan kesejahteraan rakyat di tengah klaim bahwa angka kemiskinan pada pemerintahan kali ini menurun. Dengan membandingkan perayaan yang umumnya disambut meriah, Metro TV juga mengkritik Etnis Tionghoa untuk tidak berlebihan menyambut Imlek. Sementara pada liputan feature Pecinan Semarang, Metro TV banyak menekankan kekuatan akar dan nilai budaya Tionghoa pada masyarakat Semarang. Hal ini digambarkan dengan bagaimana kelenteng sangat berperan sebagai medium ekspresi budaya Tionghoa serta bagaimana keadaan pecinan Semarang yang mempertahankan warisan leluhur. Namun, Metro TV mengkritik generasi muda yang tidak lagi menanamkan nilai tersebut saat ini. Melalui liputan ini pula, Metro TV tampak menekankan kesan eksklusif Etnis Tionghoa dengan ISSN : 2085 1979
21
Suwito / Eko Harry Susanto / Ahmad Junaidi: Keberadaan Etnis Tionghoa Dalam Sorotan Media Massa (Analisis Bingkai Berita Imlek 2011 Di Metro TV)
tinggal berkelompok di pecinan, tidak ada pembauran, kemeriahan di Pasar Semawis, penggunaan kata “China” daripada “Tionghoa” dan sebagainya. Saat menutup liputan, wartawan juga memiliki harapan bahwa semuanya bisa bertambah lebih baik dan maju bersama Indonesia. Di sini tampak, Metro TV mengajak Etnis Tionghoa lebih meningkatkan rasa nasionalisme-nya dengan tidak hanya berdoa untuk kemakmuran pribadi tetapi juga untuk kemajuan tanah airnya, Indonesia. Metro TV dengan doa dan harapan itu juga mengkritik Indonesia agar bisa berjalan lebih baik di tahun baru ini. Tabel 5. Perbandingan Frame Perayaan Imlek
Frame Elemen Skematis/ Sintaksis
Perayaan Imlek di Semarang
Petak Sembilan Dipadai Warga
Ritual Merayakan Imlek Lead/Intro: Suasana Kelenteng Tay Kak Sie Semarang. Informasi Latar Belakang: laporan langsung suasana kelenteng dan ritual Imlek. Soundbite: tidak menggunakan petikan.
Ritual Merayakan Imlek Lead/Intro: Antusias warga Jakarta untuk menyambut Imlek Informasi Latar Belakang: Detail perayaan, kondisi, dan antusias warga menyambut Imlek. Soundbite: Komentar wisatawan asing yang mengunjungi kelenteng Petak Sembilan Jakarta. Lengkap mengisahkan apa yang terjadi di Kelenteng Petak Sembilan Jakarta, terutama pada unsur how. 1. Ritual Imlek di Kelenteng Petak Sembilan 2. Membagikan sedekah dan angpao 3. Ritual Imlek menjadi daya tarik wisatawan asing
Skrip
Lengkap menggambarkan ritual Imlek di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang.
Tematik
1. Ritual sembahyang di kelenteng 2. Filosofi ornamen di kelenteng saat Imlek 3. Barongsai sebagai media hiburan 4. Keberadaan dewa uang Filosofi dan makna ornamen yang digunakan pada ritual.
Retoris
Menggunakan kata Vihara dan Kelenteng. Reporter juga membandingkan perayaan tahun ini dan tahun lalu.
Dalam kedua liputan langsung dijumpai sejumlah kemiripan bingkai. Keduanya menggambarkan ritual Imlek oleh Etnis Tionghoa dilakukan di kelenteng. Kelenteng dalam bingkai Metro TV adalah pusat kebudayaan Tionghoa. Selain itu, tradisi ritual merayakan Imlek lebih dihubungkan dengan ritual agama. Tempat keduanya meliput pun sama, kawasan pecinan. Jika dalam liputan Pascalis mengangkat Pecinan di Semarang dengan kelenteng Tak Kak Sie-nya, Yohana mengangkat Pecinan di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta barat. Keduanya
22
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/02/2011
menjadikan Pecinan sebagai kawasan unik dengan terdapat kemeriahan Imlek di sana. Dalam kedua liputan beberapa ritual juga disampaikan dengan menekankan makna dari tiap ritual. Dengan demikian Metro TV membingkai ritual Imlek di kelenteng memiliki simbol-simbol dengan makna dan filosofi tertentu. Pada liputan Perayaan Imlek di Semarang ritual yang disorot dilaksanakan pada siang hari sehingga keadaan kelenteng tampak sepi. Ritual dijelaskan dengan harapan doa dan sembahyang yang dipanjatkan umat dan makna atribut-atribut yang digunakan. Di Kelenteng Tay Kak Sie tidak dijelaskan adanya ritual Fangshen (melepas makhluk hidup) seperti yang dilakukan umat-umat di Kelenteng Petak Sembilan. Dalam liputan ini pula kemeriahan Imlek di Semarang tergambarkan dengan atraksi barongsai yang dilakukan di sebuah tempat wisata serta menjadi tontonan menarik. Sementara itu pada laporan langsung Petak Sembilan Dipadati Warga, ritual merayakan Imlek ditekankan pada ramainya umat yang datang berdoa. Ritual sendiri dilaksanakan pagi hari yang memang umumnya dilaksakan sembahyang sebelum melakukan kunjungan ke keluarga. Dalam liputan ini dijelaskan doa-doa yang dipanjatkan serta persiapan yang dilakukan untuk melakukan ritual doa di kelenteng. Ritual lain yang dilakukan adalah melepas burung sebagai makna melepas kesialan. Keunikan ritual dibingkai dengan kehadiran turis asing yang ingin melihat langsung kemeriahan Imlek di Petak Sembilan. Kehadiran turis asing menjadi nilai berita khusus untuk laporan ini serta menjadi bingkai dimana keberagaman dapat memperkuat persatuan bangsa. Tabel 6. Tabel Perbandingan Frame Peleburan Budaya
Frame Elemen Skematis/ Sintaksis
Skrip Tematik
ISSN : 2085 1979
Budaya China-Bali Berpadu di Wihara Darmayana Peleburan Budaya Lead: Tahun Baru Imlek di Bali dirayakan dengan nuansa adat budaya Bali. Informasi latar belakang: Bentuk-bentuk akulturasi di kelenteng Tak ada soundbite Kurang menekankan pada unsur why. 1. Warga bersembahyang dengan menggunakan pakaian adat Bali dan menggunakan atribut Hindu di vihara. 2. Akulturasi sudah berlangsung sejak jaman
Misa Katolik Sambut Imlek Peleburan Budaya
Lead/ intro: Imlek pada umumnya
dan yang seharusnya. Informasi latar belakang: Budaya Tionghoa di Gereja Katolik. Soundbite: Pastor Gereja Antonius Jakarta, Panitia Misa, dan umat gereja. Lengkap dalam mengisahkan budaya Tionghoa dalam lingkup Gereja Katolik. 1. Bentuk-bentuk akulturasi yang ada dalam Misa Katolik menyambut Imlek 2. Jemaat non-Tionghoa juga ikut menyambut Imlek 3. Makna Imlek dalam Agama Katolik 23
Suwito / Eko Harry Susanto / Ahmad Junaidi: Keberadaan Etnis Tionghoa Dalam Sorotan Media Massa (Analisis Bingkai Berita Imlek 2011 Di Metro TV)
Retoris
nenek moyang. Penggunaan kata wihara/vihara, kta “China” daripada “Tionghoa”.
Penekanan tampak dalam grafis: altar, hiasan, dan jemaat gereja.
Setelah mengamati kedua frame mengenai peleburan budaya pada berita
Budaya China-Bali Berpadu di Wihara Darmayana dan Misa Katolik Sambut Imlek
ditemukan perbedaan wartawan Metro TV membingkainya. Perbedaan tersebut tampak pada pemahan wartawan terhadap ritual Imlek yang dijalankan masingmasing pada nilai-nilai budaya tertentu. Pada berita pertama, Budaya China-Bali Berpadu di Wihara Darmayana lebih menekankan akulturasi yang terjadi lebih pada adat tradisi agama leluhur. Imlek masih melekat pada agama leluhur Etnis Tionghoa. Ini terbukti dengan meliput perpaduan yang terjadi pada ritual sembahyang di wihara (mewakili budaya Tionghoa) dengan penggunaan atribut khas Hindu Bali. Berita yang disajikan tidak digali begitu mendalam mengapa akulturasi bisa terjadi di Bali sehingga bingkai yang didapat adalah instan dimana peleburan atau akulturasi antara Tionghoa dan Bali terjadi begitu saja dan alamiah. Digambarkan bahwa alasan akulturasi merujuk pada Agama Hindu dan Budha yang hampir sama. Sementara itu, pada berita Misa Katolik Sambut Imlek sejak awal menenkankan bahwa tradisi ini tidak hanya dengan ritual agama leluhur, maka akulturasi bisa terjadi pada upacara keagamaan di Gereja Katolik. Berita yang disiarkan Metro Xinwen ini cukup lengkap untuk memperkuat bingkai dengan menggunakan berbagai pendapat yang variasi ssehingga cukup jelas mengapa akulturasi bisa terjadi. Pada kedua berita sama-sama juga menggambarkan akulturasi yang terjadi tampak dalam atribut yang digunakan di rumah ibadah. Namun, pada berita Misa Katolik Sambut Imlek penjelasan tentang bentuk akulturasi itu lebih banyak mendapat penekanan lewat beberapa pernyataan dan gambar yang digunakan. Selain itu, keduanya juga jelas menggambarkan hubungan timbal balik antar kedua budaya. Nilai budaya Tionghoa di vihara yang terbuka dengan nilai budaya lokal di Bali dan sebaliknya budaya Bali yang juga terbuka untuk nilai budaya Etnis Tionghoa dibingkai Metro TV pada berita pertama. Selanjutnya pada berita Misa Katolik Sambut Imlek Metro TV menggambarkan nilai budaya Tionghoa yang kuat tetap bisa melebur dalam nilai Katolik sebaiknya Gereja Katolik juga menerima dan terbuka terhadap nilai-nilai kultur yang ada dalam masyarakat. Terdapat 6 berita Imlek 2011 yang telah diamati dengan metode analisis framing model Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Berita-berita tersebut menggambarkan bingkai Metro TV terhadap keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia. Pengamatan dilakukan dengan meneliti bagaimana Metro TV bingkai keadaan masyarakat, ritual merayakan Imlek, dan peleburan budaya. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang didapat melalui penelitian yang sudah dilakukan: 1. Metro TV Membingkai Etnis Tionghoa Sebagai Bagian dari Bangsa Indonesia 24
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/02/2011
Metro TV membingkai hampir pada semua liputannya dengan pandangan yang positif dan mendukung. Metro TV memiliki latar belakang idealisme yang mendukung keberagaman sehingga Etnis Tionghoa sebagai bagian Bangsa Indonesia mendapat tempat yang baik dalam peliputan televisi tersebut. Dalam membingkai keadaan masyarakat, Metro TV mengangkat gambaran warga Tionghoa Cina Benteng yang hidup memprihatinkan dan merayakan Imlek dengan keterbatasan. Kondisi ini yang dihadapi pula oleh masyarakat kecil lainnya di Indonesia. Artinya Metro TV mencoba melepas stereotipe etnis Tionghoa adalah golongan ekonomi mapan. Bingkai yang baik juga dilakukan pada liputan feature Pecinan Semarang yang menggambarkan pola kehidupan dan budaya yang unik masyarakat Tionghoa di Kota Semarang. Metro TV juga membingkai bahwa beberapa warisan budaya Tionghoa telah luntur dan perlunya pelestarian budaya ke generasi muda. Metro TV juga memberikan penilaian yang positif terhadap ritual perayaan Imlek. Dalam ritual yang dijalankan di kelenteng Metro TV menggambarkan bahwa kebudayaan Tionghoa memiliki simbol-simbol dengan makna dan filosofi yang dalam. Sementara itu akulturasi juga dibingkai dengan penilaian yang positif oleh Metro TV. Metro TV menggambarkan bahwa nilai-nilai budaya Tionghoa yang kuat dapat mudah diserap oleh nilai-nilai budaya lain. Seperti yang digambarkan di Bali, akulutrasi dengan cantiknya melebur pada ritual perayaan Imlek di vihara. Begitu juga nilai budaya Tionghoa yang juga diterima di Gereja Katolik lewat misa menyambut Tahun Baru Imlek. Dalam pembingkaian tersebut, Metro TV juga menggambarkan bahwa akulturasi terjadi dalam hubungan bolak-balik dimana nilai-nilai lokal menerima dan diterima oleh nilai budaya Tionghoa. 2. Metro TV Membingkai Peristiwa dengan Baik dalam Perangkat yang Ada (Sintaksis, Skrip, Tematik dan Retoris) Pengamatan yang dilakukan dengan meneliti sintaksis, skrip, tematik dan retoris dapat mengetahui bagaimana berita mengeksplorasi fakta. Saat melihat keadaan masyarakat, Metro TV mengeksplorasi etnis Tionghoa sama seperti etnis lainnya yang ada di Indonesia dan memiliki nilai-nilai budaya tersendiri. Kehidupan mereka juga tidak semuanya rata hidup mapan, tetapi ada pula yang hidup dalam kemiskinan. Pada beberapa liputan, Metro TV berfokus pada ritual bersembahyang di kelenteng. Dengan demikian bisa disimpulkan Metro TV memiliki pemahaman bahwa ritual Imlek lebih identik dengan adat tradisi agama leluhur. Namun, pandangan tersebut mulai disangkal, bahwa Imlek lebih tepat merupakan tradisi etnis daripada sebuah ritual agama. Pada berita yang mengangkat peleburan budaya di Bali, jurnalis justru kurang bereksplorasi. Fakta-fakta kurang ditonjolkan. Tidak ada penjelasan tentang mengapa akulturasi sudah terjalin erat di Bali. Hal ini bisa diamati pada penggalian terhadap perangkat skrip dan tematik. 3. Nilai-Nilai Pribadi Jurnalis dan Ideologi Media Ikut Terlibat dalam Meliput Peristiwa Melalui hasil analisis tersebut bisa diketahui bahwa Metro TV sebagai komunitator dalam komunikasi massa telah membingkai keberadaan Etnis ISSN : 2085 1979
25
Suwito / Eko Harry Susanto / Ahmad Junaidi: Keberadaan Etnis Tionghoa Dalam Sorotan Media Massa (Analisis Bingkai Berita Imlek 2011 Di Metro TV)
Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian komunikator dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat telah mengkonstruksikan realitas sosial atau suatu peristiwa yang disesuaikan dengan pemahaman serta nilai pribadi para komunikator media tersebut. Di samping itu, para jurnalis yang merupakan bagian dari komunikator memiliki strategi tertentu dalam meliput berita dan membingkai peristiwa tersebut dengan nilai-nilai jurnalistik yang ada. Akibatnya, ada hal-hal tertentu yang ditonjolkan untuk membuat berita semakin bernilai. Penonjolan yang dilakukan lewat perangkat penyajian berita yang tersebar di sintaksis/skematis, skrip, tematik, dan retoris. Saran Penelitian terhadap bingkai yang dilakukan Metro TV terhadap keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia ini melalui analisis yang subjektif. Hasil penelitian dapat diukur dengan seberapa kuat penafsiran peneliti. Validitas penelitian tidak dapat diukur dari objektifitas dari Peneliti. Ini menandakan dalam penelitian ini tidak ada ukuran yang valid karena tergantung pada bagaimana seseorang menafsirkan pesan dari teks berita tersebut. Maka kekurangan dalam penelitian bisa ditemukan dalam beberapa bagian yang terlewatkan oleh Peneliti saat menganalisis karena penyajian berita di televisi sangat cepat dan sekilas. Beberapa berita karena menuntut kesegeraan memungkinkan terjadinya produksi yang instan sehingga kurang mendalam dan ditemukan ketidakakuratan data yang lemah. Wartawan dalam berita televisi untuk mengejar kecepatannya kadang hanya menonjolkan nilai-nilai tertentu dan mengabaikan nilai-nilai lainnya yang sebenarnya bisa digali lebih dalam. Lalu, secara substansial, berikut adalah saran-saran yang diajukan: 1. Media Diperlukan untuk Menemukan Identitas Etnis Tionghoa Dalam penelitian ini, disepakati bahwa media berfungsi sebagai penyebarluasan informasi. Lebih lanjut lagi, media mewarisi nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Etnis Tionghoa yang sudah kehilangan identitas karena tekanan politik selama lebih dari 30 tahun bisa terbantu menemukan jati dirinya tersebut. Dengan menemukan kembali identitas itu, etnis Tionghoa juga bisa menjadi benar-benar merasa dalam bagian Bangsa Indonesia tanpa harus tersakiti. Oleh karena itu, media memiliki peran penting dalam proses penemuan identitas etnis Tionghoa. Maka, media di Indonesia khususnya televisi diharapkan bisa mempertahankan fungsi tersebut atau bahkan meningkatkannya, tak hanya bagi etnis Tionghoa melainkan bagi etnis lain yang ada di Indonesia. 2. Wartawan Televisi Seharusnya Menggali Fakta dan Data Lebih mendalam Selama menganalisis, ditemukan beberapa liputan yang cenderung mengikuti pemahaman umum. Wartawan dan para jurnalis yang terlibat dalam penelitian tidak lagi sempat menggali data lebih dalam. Narasumber yang digunakan hanya berupa pandangan sepihak sehingga validitas liputan agak diragukan. Liputan yang mendalam dan nilai-nilai yang lebih menarik bisa digali oleh wartawan lewat liputan feature. Feature bisa menjadi kemasan para wartawan 26
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/02/2011
televisi untuk membuat liputan yang tak hanya menarik tetapi lebih mendalam daripada hanya sekadar berita langsung (straight news). 3. Wartawan Seharusnya Tidak Memperkeruh Suatu Isu Dalam meliput berita tak terhindarkan sikap subjektifitas wartawan. Menyadari hal tersebut, sebaiknya para wartawan lebih mendalami topik liputannya agar tidak mengkonstruksi peristiwa sedemikian rupa yang akhirnya bisa memperkeruh, menyesatkan, dan memprovokasi saat disiarkan pada masyarakat. Liputan mengenai kebudayaan seperti nuansa Tionghoa dan Imlek sangat rentan membawa isu provokatif dan menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat. Selain itu, kepentingan berbagai pihak terhadap isi pemberitaan sebaiknya dihindarkan. Metro TV dengan visi misi yang mencerdaskan diharapkan bisa menjadi refleksi media di Indonesia untuk memperkaya budaya Bangsa Indonesia. Dan terpenting dengan isu keberagamannya justru lebih dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Daftar Pustaka Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS Sobur, Alex. 2009. Analisi Teks Media. Bandung: Remaja Rosda Karya Suhandinata,Justian. 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: PT: Gramedia Pustaka Utama Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Werner, J.Severin dan james W. Tankard. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, metode, dan terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana
ISSN : 2085 1979
27