Pointer diskusi
KEBEBASAN BERAGAMA DAN POLISI DI INDONESIA: KE ARAH PEMOLISIAN DEMOKRATIS? 1 Ihsan Ali-Fauzi
Pendahuluan 1. Yang akan saya sampaikan di bawah ini lebih merupakan sudut pandang seorang penggiat kebebasan beragama daripada sudut pandang seorang pemerhati polisi dan pemolisian, yang kemungkinan besar akan lebih mengerti tentang apa yang sedang berlangsung di dunia kepolisian Indonesia. Jadi saya akan lebih menyuarakan apa yang dirasakan, diamati, dikeluhkan dan dituntut oleh keharusan dihormatinya kebebasan beragama di Tanah Air dari Polri, daripada memahami berbagai kendala atau tantangan yang dialami pihak yang terakhir. Meskipun demikian, di bagian akhir, saya akan mencoba mengusulkan apa yang mungkin dan bisa dilakukan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama. 2. Mengaitkan kedua hal di atas, pemolisian dan kebebasan beragama, sangat penting. Karena, bukankah salah satu tugas polisi adalah menjamin keamanan warganegara, termasuk ketika mereka menjalankan hak untuk bebas beragama? Dan bukankah tugas polisi lainnya adalah menjaga ketertiban sosial, yang antara lain berbentuk diselesaikannya berbagai konflik – termasuk konflik agama – secara damai? Apalagi karena agama memainkan peran penting di sini. Sayangnya, kaitan keduanya ini, sekalipun cukup disadari, jarang dibicarakan, apalagi diperhatikan sungguh-sungguh, termasuk oleh para penggiat kebebasan beragama. 3. Pengaitan kedua hal di atas menjadi lebih penting lagi mengingat timing-nya, ketika kita berada dalam era yang disebut transisi menuju demokrasi. Di mana-mana, era ini ditandai oleh sebuah paradoks: sementara tuntutan akan penegakan hak meningkat, kapasitas negara (pemerintah) di dalam memenuhi kewajibannya justru sedang melemah. 4. Inilah kendala sekaligus tantangan yang dihadapi oleh kedua belah pihak: memperkuat praktik pemolisian yang lebih ramah terhadap kebebasan beragama, di tengah transisi kita menuju demokrasi yang lebih penuh. Yang diharapkan muncul darinya adalah sebuah praktik pemolisian yang oleh para penggiat HAM seperti Amnesty Internasional (2009) disebut “pemolisian berbasis HAM” (human right-based policing). Transisi Demokratis: Janji dan Kendala 5. Definisi demokrasi: Dalam pendekatan institusional mereka tentang demokrasi, Juan Linz dan Alfred Stepan mendefinisikan demokrasi sebagai “sebuah sistem regulasi konflik yang 1
Disampaikan dalam acara simposium “Polisi, Masyarakat Sipil dan Konflik Agama di Indonesia,” diselenggarakan atas kerjasama Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM), Yayasan Wakaf Paramadina (YWP), Institut Perdamaian Indonesia (IPI), dan The Asia Foundation (TAF), di Yogyakarta, 10 Desember 2009.
1
memungkinkan berlangsungnya persaingan terbuka di antara nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang hendak diperjuangkan oleh warganegara” (Stepan, 2001: 216). Ini berarti, sejauh sebuah kelompok, termasuk kelompok agama semacam Gereja Katolik atau NU dan Muhammadiyah, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, tidak melanggar hak-hak warganegara lain, dan bekerja di dalam aturan-aturan yang diizinkan dalam demokrasi, maka kelompok itu memiliki hak penuh untuk memperjuangkan kepentingan mereka. 2 6. Konsolidasi demokrasi: Belakangan, berdasarkan definisi tentang demokrasi di atas, dan menulis bersamaan dengan Richard Gunther, Linz dan Stepan lalu memberi batasan tegas mengenai kapan sebuah demokrasi terkonsolidasikan. Kata mereka, sebuah transisi menuju demokrasi dapat dinyatakan sudah berlangsung penuh jika kriteria-kriteria berikut ini terpenuhi: “Sebuah pemerintahan baru naik takhta sebagai akibat langsung dari pemilihan umum yang bebas dan populer; pemerintahan ini memiliki otoritas penuh di dalam membuat kebijakan-kebijakan baru; dan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang ditumbuhkan dari demokrasi baru ini tidak perlu berbagi kekuasaan dengan badan-badan lain yang sah” (1995: 78). Pendekatan institusional sejenis tentang konsolidasi demokrasi dikemukakan Gunther, Puhle, dan Diamandouros, yang memandang bahwa “sebuah rezim demokratis sudah terkonsolidasikan jika semua kelompok politik yang penting sudah menerima lembaga-lembaga politik utama dalam demokrasi sebagai satu-satunya kerangkakerja yang sah untuk persaingan politik, dan mereka tunduk kepada aturan-aturan main demokrasi” (1995: 7). 7. Transisi demokratis: (a) Hingga demokrasi terkonsolidasikan, kita akan berada dalam masa transisi menuju demokrasi penuh. (b) Inilah critical juncture, momen kritis dalam perjalanan bangsa atau negara mana pun, di mana kesepakatan-kesepakatan lama hendak ditinjau kembali secara radikal. (c) Transisi demokrasi bisa berakhir dengan dimatikannya demokrasi yang baru tumbuh – biasanya karena kemuakan orang akan anarki di dalam demokrasi memberi alasan bagi kelompok militer untuk mengambil alih kekuasaan ke tangan mereka. 8. Paradoks transisi: (a) Kesempatan baik, karena partisipasi politik warganegara menjadi terbuka seluas-luasnya, sesudah lama sebelumnya terpasung dan disumbat. (b) Negara (pemerintah) lemah: elitenya terpecah dan saling cari selamat atau aliansi dan posisi baru; kemampuan menjalankan kewajiban terbatas. (c) Biasanya paradoks ini berjalan seiring dengan tekanan ekonomi yang berat akibat keharusan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan deregulasi. 9. Indonesia: (a) Semua perkembangan di atas dialami Indonesia pada era reformasi sekarang: dilema antara freedom dan order; paradoks meningkatnya tuntutan masyarakat di tengah kapasitas negara yang terbatas. (b) Upaya pemolisian yang demokratis atas kebebasan beragama harus berjalan di tengah-tengah itu juga. (c) Sekadar catatan: beberapa sarjana 2
Definisi ini dibangun di atas landasan pandangan tentang demokrasi yang lebih klasik yang ditawarkan Linz. Baginya, sebuah rezim adalah demokratis jika “ia [rezim itu] mengizinkan formulasi preferensi politik secara bebas, melalui pemanfaatan kebebasan berserikat, informasi dan komunikasi, untuk tujuan terlibat di dalam persaingan bebas di antara para pemimpin di dalam memvalidasi klaim mereka akan kekuasaan, yang dilakukan secara reguler dan dengan cara-cara nir-kekerasan, ... tanpa mengeksklusi pejabat politik yang sedang berkuasa dari kompetisi itu atau melarang anggota mana pun dari komunitas politik untuk menyatakan preferensi mereka” (dikutip dalam Gunther, Puhle, dan Diamandouros, 1995: 6).
2
(misalnya Mujani & Liddle 2009) berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia kini sudah cukup terkonsolidasikan. Kebebasan Beragama di Indonesia: Mengelola Konflik Agama secara Damai Jaminan Kebebasan Beragama 10. Sudah ada jaminan, dengan catatan: (a) Sekalipun rentan dan kontroversial, kebebasan beragama di Indonesia sudah memiliki jaminan konstitusional yang cukup kuat – baik dari sumber dalam maupun internasional. (b) masalah-masalah yang terkait dengan kebebasan beragama di Indonesia sebagian besarnya tumbuh dari masih ditemukannya sejumlah perangkat undang-undang yang tidak saling mendukung dan masih kurangnya aturan-aturan teknis yang bisa menegakkan jaminan kebebasan beragama itu. 11. UUD hasil amandemen: Bubarnya Orde Baru membuka peluang historis untuk mewujudkan cita-cita pemerintahan konstitusional. Salah satu terobosan paling pentingnya adalah empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002). Khusus tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan, hasil amandemen ini memberi jaminan konstitusional yang sangat kuat. Pasal 28E UUD 1945 memberi penegasan, bahwa: (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; dan (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” (cetak miring ditambahkan). Dengan begitu menjadi jelas bahwa hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan pilihan yang bebas “sesuai dengan hati nurani” seseorang. 12. Dokumen internasional: Terobosan lainnya datang ketika pemerintah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) lewat UU No. 12/2005. Kovenan tersebut, yang mengikat secara hukum dan mewajibkan negara peserta (state parties) untuk memasukkannya sebagai bagian dari perundang-undangan nasional, memberi jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang sangat luas, khususnya seperti tertera dalam pasal 18 ICCPR, beserta pembatasan lazimnya. 3 Kebebasan Beragama, Toleransi, Pluralisme: Konflik agama dan Kekerasan 13. Definisi kebebasan beragama: Jika dokumen-dokumen di atas diikuti, maka kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang memiliki kebebasan di dalam membuat keputusan apa 3
Mengikuti General Comment No. 22 (diterima dalam Sidang Umum ke-48 PBB, 1993) yang memberi kita petunjuk resmi penafsiran ICCPR, maka hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama itu harus dipahami secara luas dan komprehensif: “Article 18 protects theistic, non-theistic and atheistic beliefs, as well as the right not to profess any religion or belief. The terms ‘belief’ and ‘religion’ are to be broadly construed. Article 18 is not limited in its application to traditional religions or to religions and beliefs with institutional characteristics or practices analogous to those of traditional religions. The Committee therefore views with concern any tendency to discriminate against any religion or belief for any reason, including the fact that they are newly established, or represent religious minorities that may be the subject of hostility on the part of a predominant religious community.” Lihat UN Office of the High Commissioner for Human Rights, General Comments No. 22: The right to freedom of thought, conscience and religion (Art. 18), 30/07/93, paragraf 2.
3
pun sehubungan dengan agama – untuk memercayai, memeluk dan mempraktikkannya – baik sebagai pribadi maupun kelompok, baik secara diam-diam maupun terbuka. Kebebasan itu mencakup pula kebebasan seseorang atau kelompok untuk mengekspresikan keyakinan dan nilai-nilai agama, sejauh hal itu tidak mengakibatkan hilang atau terhambatnya kebebasan agama orang atau kelompok lain. 14. Toleransi beragama: Toleransi beragama berarti menghormati kebebasan beragama semua orang yang berasal dari tradisi agama apa saja. Jika kita hendak hidup berdampingan secara damai dengan orang-orang lain yang tak seagama dengan kita, penghormatan itu penting dan harus kita lakukan, meskipun kita tidak setuju dengan ajaran atau praktik agama mereka. 15. Toleransi dan kebebasan beragama: (a) Toleransi agama terkaitan erat dengan kebebasan beragama: Jika kita dapat memperluas cakupan sikap dan perilaku toleran kita kepada semua penganut agama, termasuk mereka yang tidak menganut agama apa pun, maka setiap orang kemungkinan besar akan bisa menikmati kebebasan beragama. (b) Mengapa? Karena kita juga ingin memperoleh jaminan dari orang lain bahwa kebebasan beragama kita tidak diganggu. (c) Di sini berlaku aturan pokok hubungan harmonis di antara umat manusia, yang disebut etika timbal-balik atau “Prinsip Emas” dalam hubungan di antara sesama manusia: “Jangan kamu lakukan apa yang kamu sendiri tidak ingin orang lain lakukan terhadap kamu.” 16. Toleransi agama dan pluralisme: Sebagian besar orang cenderung memandang agama-agama di luar agama mereka dalam satu di antara tiga cara pandang sebagai berikut: (1) eksklusif, yakni cara pandang bahwa tradisi agama sendiri adalah satu-satunya agama yang benar dan yang lain salah; (2) inklusif, yakni cara pandang bahwa tradisi agama sendiri adalah satusatunya agama yang sepenuhnya benar, sedang tradisi agama lainnya tidak sempurna atau hanya mengandung sebagian kebenaran; dan (3) pluralis, yakni cara pandang bahwa semua agama adalah sah, valid dan benar di mata pemeluknya masing-masing, dan semua tradisi agama layak dihormati. Sikap dan prilaku toleran kepada agama-agama lain bisa tumbuh dari ketiga cara pandang itu. Namun, cara pandang pluralis tentu lebih menopang toleransi agama dibanding kedua cara pandang lainnya. 17. Relevansi Polri: (a) Agar kita bisa hidup aman, sikap dan perilaku toleran saja sudah cukup. (b) Tapi polisi wajib ada, agar bahkan seseorang yang tidak toleran pun tidak bisa melakukan kekerasan kecuali karenanya ia dikenai hukuman setimpal. 18. Konflik agama dan kekerasan atas nama agama: (a) Konflik di antara manusia adalah sesuatu yang niscara, karena manusia berbeda satu sama lain, termasuk dalam hal agama. (b) Konflik kadang mendatangkan manfaat: perubahan individual dan sosial sulit dibayangkan terjadi tanpa diawali dengan konflik. Yang harus dihindarkan dan diatasi adalah konflik yang disalurkan dengan cara-cara kekerasan. (c) Demokrasi adalah sistem politik yang paling baik untuk mengelola konflik secara damai. Pelanggaran: Laporan Kebebasan Beragama 2008 19. Kekerasan atas nama agama dan pelanggaran kebebasan beragama: Sayangnya, semboyan kita, kesatuan dalam keragaman, bhinneka tunggal ika, masih sering dicederai: ketika
4
berbagai perbedaan – juga konflik-konflik – agama disalurkan dengan cara-cara kekerasan. Dari segi hak warganegara untuk bebas beragama, di sini kita menemukan pelanggaran atas hak itu. Masih tampak jelas bahwa rasa aman warganegara di dalam menjalankan agama dan keyakinan mereka masing-masing belum terjamin; ada jurang yang cukup lebar di antara cita-cita kebebasan beragama dan berkepercayaan, seperti tertuang dalam konstitusi kita, dengan fakta diskriminasi atas nama agama di lapangan. 20. Insiden pelanggaran 2008: Laporan tiga lembaga: Pada waktu yang hampir bersamaan di akhir 2008 dan awal 2009, tiga lembaga merilis tiga laporan tentang kebebasan beragama di Indonesia pada tahun 2008. Ketiganya adalah: The Wahid Institute (WI), Setara Institute (SI), dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada (CRCSUGM). Dari studi kami, Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRK-UGM, atas ketiga laporan, kami menemukan bahwa pada 2008, terjadi 107 insiden pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Dari jumlah itu, 44 insiden (41%) termasuk ke dalam kategori regulasi negara, sedang sisanya, 63 insiden (59%), termasuk ke dalam kategori regulasi sosial. 4 21. Sebaran dan Isu Pelanggaran: Analisis statistik atas pelanggaran yang ada memperlihatkan, pelanggaran terutama terjadi di Jawa Barat (40 insiden, 37%), Nusa Tenggara Barat (12 insiden, 11%), dan Sumatra Barat (9 insiden, 8%). Dilihat dari segi isu, insiden pelanggaran terutama terjadi terkait dengan masalah paham keagamaan (72 insiden; 67%), yang sangat dominan dibanding dua isu lainnya: tempat ibadah (15 insiden, 14%), dan aktivitas keagamaan (12 insiden, 11%). Yang dominan di dalam isu paham keagamaan adalah insiden pelanggarabn yang menimpa Jamaah Ahmadiyah Indonesia (55 insiden; 51%). 22. Pelaku Penggaran: Pada 2008, dari laporan WI dan SI yang kami olah kembali, kami menemukan bahwa warga (tidak diidentifikasi lebih detail) tampil sebagai pelaku paling dominan berbagai insiden (39 insiden, 36%), disusul pemerintah daerah (26 insiden, 24%), dan kelompok-kelompok keagamaan (19 insiden, 18%). 23. Tiga Poros Pelanggaran: Jika dilihat lebih rinci, sebagian besar insiden pelanggaran itu berporos pada tiga tataran permasalahan: pertama, keberadaan UU No 1/PNPS/1965; kedua, eksistensi lembaga Bakor PAKEM (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat); dan, akhirnya, kerancuan pada sistem hukum nasional kita. 5 Pemolisian Konflik Agama: Masalah dan Kendala Polri? Polri dan Kebebasan Beragama 24. Dasar Kewenangan Polri: Sebagai bentuk pelaksanaan undang-undang, aparat negara, dalam hal ini kepolisian, diberi wewenang untuk mengatur dan menjaga kebebasan beragama. Hal 4
Jumlah insiden yang termuat dalam laporan kami lebih rendah baik dari jumlah insiden yang dilaporkan dalam laporan WI maupun SI. Ini terutama karena dua alasan: (1) kami menerapkan cara penghitungan insiden yang berbeda; dan (2) beberapa unsur yang dimasukkan sebagai pelanggaran dalam kedua laporan kami pandang bukan merupakan pelanggaran. Diskusi lengkap kami tentang kedua laporan, plus laporan CRCS-UGM, dapat dilihat dalam Ali-Fauzi, Panggabean, Sutanto dan Alam (2009). 5 Keterangan lengkapnya termuat dalam Ali-Fauzi, Panggabean, Sutanto, Alam (2009).
5
ini dengan gamblang dijabarkan dalam UU Kepolisian nomor 2 tahun 2002. Dalam UU tersebut disebutkan (pasal 13), bahwa tugas-tugas pokok kepolisian adalah: (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 25. Tugas Operasional Polri: Tugas-tugas pokok tersebut kemudian dijabarkan dalam tugas operasional polisi (pasal 14), sebagai berikut: (1) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; (2) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; (3) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (4) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; dan (5) melakukan menyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakan pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. 26. Rendahnya kinerja Polri: Laporan LBH dan Kontras: Maka wajar, bahkan harus, jika para penggiat HAM mempertanyakan atau mengecam kinerja Polri dalam menjamin kebebasan beragama warganegara. Salah satunya tampak dalam hasil penelitian LBH dan Kontas tentang aksi-aksi kekerasan yang dialami kelompok minoritas seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dari penelitian itu, Asfinawati (2009) menyimpulkan bahwa kekerasan itu “dapat terjadi karena peran serta aparat penegak hukum dan birokrasi.” Dari investigasi itu, dia antara lain melihat adanya kesamaan pola diskriminasi yang dilakukan Polri terhadap kelompok minoritas sebagai berikut: (a) Pihak kepolisian setempat kurang mengantisipasi terjadinya aksi kekerasan; (b) Aparat kepolisian yang berjaga kurang melakukan perlindungan terhadap benda milik komunitas korban; (c) Aparat kepolisian kurang melakukan tindakan pengendalian massa atau upaya paksa terhadap para pelaku kekerasan; (d) Aparat kepolisian, sebaliknya, melakukan evakuasi paksa terhadap komunitas korban, yang dilanjutkan dengan penyegelan tempat ibadah dengan menggunakan garis polisi; (e) Aparat kepolisian terlibat pula dalam upaya intimidasi atau kriminalisasi terhadap korban; dan (f) Aparat kepolisian kurang melakukan tindakan yang serius terhadap para pelaku kekerasan; proses peradilan hanya dilakukan terhadap pelaku lapangan, dan bukan aktor intelektualnya. Karena aksi-aksi polisi itu, Asfinawati juga menyebutkan, (g) Pemerintah lokal pun kemudian membuat kebijakan pelarangan kegiatan atau penutupan tempat ibadah. 27. “Ini era demokrasi, bung!”: Kinerja Polri dalam laporan lain: Dalam memberi penilaian seperti di atas, LBH dan Kontras tidak sendirian. Belakangan ini, bukti-bukti seperti itu mulai banyak diterbitkan secara terbuka. Selain dalam ketiga laporan kebebasan beragama di atas, yang ditulis para penggiat HAM dalam negeri dan di sana-sini menyinggung dimensi kepolisian, laporan dengan tema sejenis juga diterbitkan misalnya oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Center for Religious Freedom, AS. Hal yang sama juga dilakukan oleh organisasi-organisasi advokasi HAM dan pencegahan konflik seperti Amnesty International dan International Crisis Group, sekalipun umumnya tidak khusus tentang kebebasan beragama. Akhirnya, laporan sejenis juga bisa kita baca dari testimoni para korban atau para penggiat HAM yang menulis tentang mereka, seperti yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Lamardy (2009), M. Syafi’i Anwar (2009), Ahmad Suaedy (2009),
6
atau Rizal Panggabean (2009). Ingat, kata orang, “Sekarang ini zaman demokrasi, Bung”: Polri tidak bisa lagi semena-mena melarang orang menulis dan menerbitkan tulisan. 28. Polri dan kebebasan beragama: Kabar baik: Di atas sudah disebutkan beberapa contoh laporan tentang kinerja rendah polisi dalam mengamankan kebebasan beragama. Harus juga disebutkan bahwa kinerja Polri kadang dipuji dalam laporan-laporan di atas. Baru-baru ini, misalnya, laporan Deplu AS (2009) secara khusus menyebut kemajuan berarti yang dicapai Polri dalam soal kebebasan beragama. Ada empat inisiatif terpuji yang disebutkan agak detail: (1) penangkapan dan pemerjaraan Rizieq Shihab dan Munarman akibat serangan yang mereka pimpin terhadap demonstrasi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008; (2) Inisiatif Kapolda Maluku – bersama Gubernur, pimpinan MUI setempat, Ketua Sinode Maluku, dan para pemimpin masyarakat lain – di dalam meredam eskalasi konflik komunal yang terjadi akibat penodaan agama oleh seorang guru di Masohi pada Desember 2008; (3) Inisiatif Kapolda Maluku untuk rajin mengunjungi masjid dan gereja untuk meningkatkan rekonsiliasi antara komunitas Kristen dan Muslim di sana, dengan melibatkan para pemimpin agama dan masyarakat sipil; dan (4) Ketegasan Polda Sulawesi Tengah di dalam mencegak perseteruan agama di Poso. Di bagian lain laporan yang sama juga disebutkan bahwa Polri kadang juga menghentikan aksi-aksi kekerasan oleh kelompok garis keras Islam, khususnya aksi-aksi sepihak “anti-maksiat” oleh FPI di bulan Ramadhan (Deplu AS 2009). Polisi dan Kekerasan atas Nama Islam 29. Kaitan Polri dan kelompok milisia dan paramiliter: Sejumlah aktivis Muslim memilih tidak memanfaatkan sistem demokrasi yang ada untuk memperjuangkan kepentingan mereka lewat jalur formal. Ini karena alasan bahwa demokrasi tidak sesuai dengan ajaran Islam atau karena anggapan bahwa perjuangan lewat partai politik tidak akan membawa hasil yang efektif (atau mereka sebenarnya takut kalah?). Daripada membentuk partai-partai politik, mereka memilih bekerja melalui organisasi masyarakat sipil atau kelompok penekan yang mengatasnamakan Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI) atau Forum Betawi Rembug (FBR). Kadang mereka memanfaatkan keterbukaan untuk memperjuangkan agenda mereka secara damai, namun dengan tujuan akhir mendiskriminasikan kelompok lain, bekerjasama dengan politisi Muslim atau sekular di parlemen pusat maupun daerah (lihat misalnya Bush 2008; Ali-Fauzi & Mujani 2009; SETARA Institute 2008; The Wahid Institute 2008; Suaedy et al 2009; CRCS 2008). Di kesempatan lain, mereka tak ragu-ragu menggunakan aksi-aksi kekerasan, menjadi semacam kelompok paramiliter, seperti Laskar Jihad. Tentang mereka, kita membaca cukup banyak laporan bahwa ada unsur Polri yang mendukung mereka atau sengaja membiarkan aksi-aksi mereka (Bubalo & Fealy 2005; Hefner 2005; Wilson 2006; Brown & Wilson 2007; Hasan 2005; dan lainnya). 30. Polri dan kekerasan teroris: Aktivis Muslim lain sudah sejak awal menyatakan bahwa demokrasi itu ciptaan setan dan membenarkan cara-cara penggunaan kekerasan, kadang teroris, di dalam memperjuangkan kepentingannya. Yang paling notorius adalah kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Sedikitnya ada tiga isu di sini: (1) Sementara kinerja Polri dinilai baik, bahkan salah satu yang terbaik di dunia (lihat misalnya Deplu AS 2009), mengapa dukungan publik terhadapnya masih cukup rendah? (2) Bagaimana proses deradikalisasi bisa
7
berjalan lebih programatis, terukur dan transparan dan berorientasi kepada pemecahan akar masalah (ICG 2007); (3) Jangan-jangan, seperti disinyalir ICG (2007b), ini masalah PR yang kurang dikelola Polri dengan baik: harus ada langkah-langkah 31. Apresiasi rendah terhadap kinerja Polri dalam menumpas terorisme: Sementara itu, ketika polisi berhasil dengan cukup sukses dalam menjalankan tugasnya, seperti dalam penangkapan sejumlah pengikut Jamaah Islamiyah (JI) yang dituduh terlibat dalam aksi-aksi terorisme belakangan ini, kita juga merasakan kurangnya apresiasi masyarakat umum terhadap capaian penegak hukum itu. Perumusan Masalah?: MPRK-UGM dan Paramadina 32. Prinsip: kemitraan dan berorientasi pada problem solving: Sudah saatnya kita bersungguhsungguh memikirkan keterbatasan, inkompetensi, dan kendala yang dihadapi Polri dalam hal ini dan bersama-sama memikirkan jalan keluarnya. Mengecam Polri sebagai aparat negara tidaklah memadai. Perlu dipikirkan masalah yang dihadapi polisi ketika melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat, dan bagaimana masalah tersebut terkait dengan unsur-unsur lain yang terkait dan berkepentingan di dalam masyarakat sipil dan sistem governance. 33. Masalah I: Pengetahuan dan Ketrampilan Polri: Pengetahuan dan keterampilan Polri di bidang manajemen dan penanganan konflik yang melibatkan agama masih terbatas. (1) Seringkali polisi tampak tidak memiliki pedoman atau prosedur yang tepat dalam melaksanakan tugas mereka. Atau, prosedur yang digunakan sudah tidak memadai lagi dalam menangani masalah yang ada. Selain itu, polisi juga sering merasa tidak mendapat dukungan dari masyarakat agama-agama sehingga mereka tampak kikuk, tidak percaya diri, dan “takut melanggar HAM.” (2) Polisi juga memerlukan pengetahuan dan keterampilan di bidang manajemen konflik yang melibatkan agama karena pemilahan sosial berdasarkan agama dan sekte sangat penting di masyarakat kita. Kadang-kadang, pemilahan berdasarkan garis agama ini tumpang tindih dengan garis pemilahan lain seperti kesukuan, kelas ekonomi, dan afiliasi politik. Ini menyebabkan, antara lain, konflik sektarian dan antaragama terkait dengan, atau merupakan cerminan dari, konflik etnis dan kelas. 34. Masalah II: Kemitraan Polri dan masyarakat: Hubungan dan kerjasama timbal-balik antara tokoh agama dan polisi sering kali lemah atau tidak ada di tempat-tempat terjadinya konflik agama. Tokoh agama seringkali tidak menjalin hubungan dengan polisi, dan polisi seringkali tidak menjalankan fungsi kemitraan dan pengayoman dengan baik, sehingga cenderung tampil dan berperan hanya sebagai penegak hukum atau aparat keamanan yang berusaha menanggulangi keadaan yang sudah terlanjur rumit. Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap polisi dalam melaksanakan tugasnya, masyarakat sipil, khususnya organisasi keagamaan dan forum antariman, perlu melakukan pendekatan terhadap polisi supaya pemahaman polisi di bidang hubungan antaragama dan penanganan konflik antaragama dan sektarian meningkat dan memadai. 35. Masalah III: Tatakelola pemerintahan di bidang agama: Ada kelemahan dalam sistem governance di Indonesia khususnya di bidang kehidupan keagamaan.
8
Ke Arah Pemolisian Demokratis? Sumberdaya: Internal Pemerintah (dan Polisi) 36. Buah Demokratisasi: Reformasi sektor kepolisian: (a) Pemisahan Polri dari TNI, menjadikan Polri lebih mandiri dan dengan anggaran lebih besar. (b) Pengarusutamaan polmas: tumbuhnya kesadaran untuk memperkuat kemitraan dengan aktor-aktor masyarakat dan lebih berorientasi kepada problem solving. (c) Ada dukungan hampir menyeluruh agar Polri lebih profesional – salah satunya pernyataan Presiden SBY, sekalipun cukup terlambat, sesudah peristiwa penyerangan terhadap demonstrasi damai AKKBB, bahwa Polri tidak boleh kalah oleh premanisme. (d) Pendidikan HAM, baik umum maupun khusus, mulai diberikan di lembaga-lembaga pendidikan kepolisian. 37. Kinerja pemerintah, sektor kesejahteraan: Menyempitnya ruang bagi ekstremisme: Selain oleh tersumbatnya partisipasi politik, ekstremisme kekerasan umumnya memperoleh justifikasi dari buruknya kinerja pemerintah dalam menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan pokok (dalam sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan). Dalam hal ini, kinerja pemerintah di bawah SBY dianggap baik oleh publik, sekalipun belum sepenuhnya memuaskan. Data LSI (2009) menunjukkan: Sepanjang lima tahun terakhir, jumlah orang yang berpandangan bahwa kinerja pemerintah di sektor-sektor ini sudah baik atau sangat baik memang bervariasi, tetapi dengan kecenderungan umum tinggi dan meningkat dari 75% (September 2005), 79% (September 2006), 69% (September 2007), 67% (September 2008), dan 85% (Juli 2009). 38. Kinerja pemerintah, sektor keamanan: Menyempitnya ruang bagi ekstremisme: Era SBY memperlihatkan kemajuan berarti dalam sektor keamanan. Menurut survei LSI pada 2006, 69% masyarakat Indonesia percaya bahwa polisi telah melakukan tugasnya dengan “baik” (LSI 2006). Hal yang sama juga terkait dengan ancaman terorisme. Menurut polling Gallup (2009), masyarakat Indonesia berpandangan bahwa pemerintah sudah memperlihatkan kemajuan signifikan dalam upayanya memerangi terorisme. Beberapa bulan sebelum serangan bom terjadi di Jakarta pada Agustus 2009, 68% responden yang ditanya Gallup menyatakan bahwa pemerintahan sudah “doing enough”, peningkatan cukup berarti dari tahun 2007 (51%) dan 2008 (66%). Sumberdaya: Rendahnya dukungan Publik kepada ekstremisme 39. Data Kompas dan Antara 1990-2008: Konflik agama sebagian besar damai: Dari segi tingkat insiden (Gambar 1), riset kami menemukan bahwa duapertiga (66%, 547 insiden) dari konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia mengambil bentuk aksi damai, dan hanya sepertiganya (34%, 285 insiden) yang terwujud dalam bentuk berbagai aksi kekerasan. Temuan ini tidak boleh dibaca dalam arah yang mengecilkan arti penting kekerasan, karena kekerasan, betapa pun rendah intensitasnya, harus terus diberantas. Melainkan, temuan ini harus dibaca dari segi bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki kapasitas untuk mewujudkan respons mereka terhadap konflik keagamaan dalam bentuk aksi-aksi damai. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana mendorong agar masyarakat menjadikan aksi damai
9
sebagai pilihan utama, jika bukan satu-satunya, respons mereka terhadap berbagai isu keagamaan yang menjadi penyebab atau pemicu konflik. 6 40. Data Kompas dan Antara 1990-2008: Konflik agama yang damai makin menonjol di era Reformasi: Studi kami juga menunjukkan (Gambar 2) bahwa pola naik-turunnya tingkat insiden aksi damai mengikuti pola naik-turunnya tingkat insiden aksi kekerasan, kecuali untuk periode tertentu, yaitu periode transisi dari rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan periode pertengahan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini terkait dengan mulai dibukanya pintu partisipasi politik sesudah rezim Orde Baru tumbang pada 1998, di mana aksi-aksi damai yang melibatkan massa mulai lebih sering dipilih untuk menyalurkan kepentingan. 41. Data Kompas dan Antara 1990-2008: Aksi massa dominan, tapi damai: Dalam studi kami, jenis aksi damai dibagi ke dalam dua subjenis: aksi massa dan aksi non-massa (Gambar 3). Dari 547 insiden aksi damai, 79% (433) insiden berupa aksi massa, sedangkan 21% (144) sisanya berupa aksi non-massa. Dari segi bentuknya, mayoritas (85%) aksi massa adalah aksi demonstrasi, longmarch, pawai atau tablig akbar, disusul bentuk delegasi/pengaduan sebesar 13%. Sementara itu, 3% sisanya mengambil bentuk aksi mogok/boikot dan pertunjukan seni/budaya. 42. Keterbatasan internal kalangan Islam ekstremis: Sumberdaya kalangan Islam ekstremis sendiri tidak tak terbatas. (a) Banyak dilaporkan bahwa organisasi-organisasi itu memperoleh dukungan dana, persenjataan dan latihan dari kelompok-kelompok tertentu bahkan dalam jajaran aparat keamanan pemerintah sendiri. Dukungan ini tidak abadi, bisa dihentikan kapan saja, dengan beragam alasan. Laskar Jihad, misalnya, membubarkan diri karena dukungan kepada mereka oleh kelompok militer tertentu dihentikan (Hefner 2005; Hasan 2005). (b) Selain itu, mereka sendiri tidak selamanya satu suara dan tindakan, menghadapi perpecahan internal. Misalnya dilaporkan bahwa perselisihan mulai terjadi di antara para pendukung JI ketika JI, di bawah Hambali, mulai membenarkan pemboman terhadap rumahrumah ibadah dan masyarakat sipil. Sebagian pemimpin JI menolak kebijakan itu. Ini antara lain berpengaruh pada dukungan orang kepada aktivis JI yang sedang melarikan diri dari kejaran pemerintah. Di antara mereka ada yang berkata: “Mereka yang berak, kita yang membersihkan” (dikutip dalam Abas 2009: 309). 43. Peran organisasi Islam moderat: Pengaruh kalangan Islam ekstremis juga ditandingi oleh pengaruh organisasi-organisasi Islam moderat dalam sektor yang sama. Yang terpenting di antaranya adalah NU dan Muhammadiyah, yang memiliki berbagai lembaga pendidikan dan kesehatan (lihat misalnya Mujani & Liddle 2004; Bush 2008), meskipun ada indikasi bahwa kedua organisasi Islam moderat ini pun sudah disusupi ideologi Islam ekstremis (Wahid [ed.] 2009).
6
Untuk laporan lengkap mengenai riset ini, lihat Ali-Fauzi, Alam dan Panggabean (2009). Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap pola-pola konflik keagamaan di Indonesia pada periode antara Januari 1990 dan Agustus 2008. Dalam penelitian ini, yang dijadikan sumber data adalah laporan harian Kompas dan kantor berita Antara.
10
44. Rendah: Dukungan publik kepada organisasi ekstremis: Survei LSI: Secara keseluruhan, pengaruh organisasi-organisasi Islam radikal dan ekstremis tidak besar. Survei LSI pada 2007 (lihat LSI 2007) menunjukkan bahwa publik cukup mengenal organisasi-organisasi Islam ini, tapi dalam tiga tahun terakhir tingkat awareness mereka relatif stabil. Ini mengindikasikan bahwa sosialisasi dan branding organisasi-organisasi ini tidak berkembang. Yang lebih penting lagi, dukungan terhadap apa yang diperjuangkan organisasi-organisasi Islam ekstremis ini jauh lebih rendah lagi. Sepanjang 2004 hingga 2007, rata-rata hanya ada sekitar 17% responden yang mendukung apa yang dierjuangkan FPI, 11% yang diperjuangkan MMI, 10% yang diperjuangkan JI, dan hanya sekitar 5% yang diperjuangkan HTI. Tapi ini pun hanya “dukungan” atau “simpati” dan bukan tindakan konkret: di antara Muslim di Indonesia yang mengaku anggota organisasi-organisasi Islam ekstremis itu jumlahnya di bawah 2%. 45. Meningkatnya dukungan internasional: Sudah saya singgung di atas, dari segi instrumen HAM maupun pelaporan pelanggaran dan advokasi. (Tambahan: mulai tahun ini, Freedom House akan memiliki kantor cabang di Indonesia.) Sayangnya, meskipun mengampanyekan HAM, mereka kurang memberi perhatian khusus kepada pentingnya kaitan pemolisian dan kebebasan beragama dan kadang kurang peka terhadap tradisi lokal (misalnya, tuduhan yang serampangan kepada pesantren sebagai “sarang terorisme”). Kendala, Peluang, Tantangan: Beberapa Catatan tentang Agenda 46. Kurangnya perhatian pada kaitan pemolisian dan kebebasan beragama: (a) Misalnya, dalam laporannya baru-baru ini tentang Polri (2009), Amnesty International sama sekali tidak menyebut masalah pemolisian kebebasan beragama. (b) Kesan saya, para penggiat kebebasan beragama juga tidak terlalu peduli dengan institusi polisi, sekalipun mereka memahami dan menyadari urgensinya. 47. Peran MUI: Banyak laporan dan opini (misalnya SI 2009; WI 2009) menyebutkan bahwa fatwa MUI bertanggungjawab atas berlangsungnya kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ini isu yang sangat peka dan kita harus sangat hati-hati dalam menyikapinya. Meskipun menyadari kemungkinan dampak fatwa-fatwa itu bagi berkembangnya intoleransi agama dan pelanggaran atas kebebasan beragama, saya memandang bahwa fatwa-fatwa penyesatan MUI itu sendiri bukan pelanggaran kebebasan beragama karena alasan-alasan berikut. (1) Secara prinsip, atas nama demokrasi dan penegakan hak warganegara untuk bebas beragama, negara tidak boleh melarang MUI untuk mengeluarkan fatwa. Adalah hak MUI, jika bukan kewajibannya (menurut sebagian orang), untuk mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan, terlepas dari apa pun isi fatwa-fatwa itu. (2) Pelanggaran kebebasan beragama baru terjadi ketiga fatwa penyesatan MUI diikuti oleh aksi-aksi kekerasan yang membatasi kebebasan beragama. Dan dalam kasus ini, yang harus diidentifikasi sebagai pelanggaran bukanlah fatwa “penyesatan” itu sendiri, melainkan aksi-aksi kekerasannya. Demikian, karena kita tidak bisa menghukum pikiran atau pandangan seseorang atau kelompok; yang bisa dihukum adalah implikasi pikiran dalam aksi-aksi kekerasan. (3) Pada prinsipnya, bukanlah salah MUI jika lembaga itu begitu dominan dan mengklaim mewakili umat Islam. Jika sebagian umat Islam merasa dirugikan oleh fatwa-fatwa MUI, maka mereka harus lebih rajin menegur lembaga itu dan menggerogoti ligitimasinya. (4) Jika negara (pemerintah)
11
lebih sering bertanya atau tunduk kepada fatwa lembaga seperti MUI dalam memutuskan perkara seperti status Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) daripada kepada pandangan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), yang jelas berwenang untuk menangani masalah ini, maka lagi-lagi yang harus dipersalahkan bukanlah MUI itu sendiri, tetapi negara (pemerintah). (5) Kita harus mendahulukan prinsip, desain kelembagaan, yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, dan tidak menomorsatukan siapa melakukan apa. Dalam kasus seperti fatwa MUI, kita perlu hati-hati agar tidak terjatuh ke dalam ironi atau tragedi ini: maksud hati membela kebebasan beragama, kita justru membatasi kebebasan beragama pihak lain. 48. Kebebasan beragama: Polri dan media massa: (a) Berkah transisi: kebebasan pers, yang sayangnya belum diiringi oleh kesadaran tentang perlunya mengaitkan kebebasan beragama dan kinerja polisi. (b) Masih dominannya prinsip “bad news is good news”: (c) Imparsialitas media massa atau para wartawannya: mungkin tidak tahu, mungkin juga tidak mau. (d) Polisi harus memperkuat PR-nya, sambil menandingi publikasi kalangan ekstremis agama yang belakangan makin banyak dan terkelola baik (buku, majalah, website) (misalnya Hefner 2003). 49. Data Kompas dan Antara 1990-2008: Sedikitnya informasi tentang peran Polri: (a) Riset kami menunjukkan bahwa keterlibatan polisi dalam konflik agama sangat sedikit dilaporkan. Dari 832 laporan tentang insiden konflik agama (damai dan kekerasan) yang kami temukan dalam Kompas dan Antara, laporan yang memberi keterangan mengenai peran polisi hanya berjumlah 172 (24%), sedang sisanya, 546 (76%), tidak menyebutkan apa-apa. (b) Ketika kami mendiskusikan hasil riset ini dengan redaksi Kompas, tampak jelas ketidakpercayaan pada institusi polisi dan ketakutan kepada tekanan kalangan ekstremis Muslim. 50. Dukungan dunia usaha: Dunia usaha termasuk kelompok yang kepentingannya at stake oleh konflik-konflik agama, apalagi yang bentuknya kekerasan. Mereka harus dilibatkan lebih dalam. Yogyakarta, 10 Desember 2009
12