Referensi analisis politik bulanan
edisi 1 | 2010
Kebangkitan Partai-partai Baru (Rising of New Political Parties)
Referensi
TENTANG KAMI
analisis politik bulanan
edisi 1 | 2010
Pemimpin Redaksi Willy Aditya
Redaktur Ahli Patrice Rio Capella
Redaktur Pelaksana David Krisna Alka
Redaksi Arief Rahman Hakim, Citra Ali Fikri, Jakfar Fauvis, M. Taufik, Mardoni, Melvin Hutabarat, Waskito Giri Sasongko, Dyah Pitaloka Distributor Doni Irawan
IT Wirmanto Suteddy
Designer Ridho Pamungkas
Penerbit Populis Institute bekerja sama dengan IWD dan FES Indonesia
Alamat Jl Salak 32 B, Guntur, Setia Budi Jakarta Selatan
Telephone/Fax 021 8292864, Email
[email protected] Website www.populisinstitute.com ISSN 9 772087 059004
Ilustrasi cover diambil dari lukisan karya Stefan Buana yang berjudul “Pilkada Rakyat Bantul”
Terbitan REFERENSI adalah analisis dwi bulanan tentang ABC Politik dalam format terbitan. REFERENSI hadir dalam skema keengganan mayoritas untuk mengunyah jurnal-jurnal berat dan terkesan sebagai projek pemenuhan harsat kaum intelektual belaka. Di sisi lain budaya massa yang berkembang lebih gandrung pada karya-karya dengan nuansa dan format dangkal, instan dan sesaat. Politik tidak hanya sebagai nalar kebinatangan untuk berkuasa, mistifikasi terhadap realitas serta justifikasi terhadap sebuah kemenangan. Politik merupakan suatu bangunan nilai (value), keutamaan (virtue) serta etika (ethic) sebagai peralatan memajukan peradaban manusia. Disinilah dibutuhkan media sebagai ranah pembelajaran bersama, pendokumentasikan peristiwa dan pemaknaan terhadap situasi. REFERENSI memberikan ruang ekspresi kepada kalangan politisi, aktifis dan penulis muda yang kadang tak tertampung oleh media mainstream. REFERENSI tidak hadir dalam ruang kosong yang terpisah dari realitas yang berkembang. Namun mencoba membuka ruang-ruang komunikasi diantara Pols dan Vols dalam ranah politik. Karena ia berperan sebagai komunikator, maka ia akan adaptif, responsif, dan eksploratif terhadap kebutuhan Pols dan Vols. REFERENSI juga menyediakan kanal feedback dalam ragam bentuknya seperti ketertarikan, kesadaran pembaca, pencerahan, ataupun pemikiran tandingan dalam ruang diskusi setiap tema yang akan dipilih pada setiap edisi. REFERENSI hadir dari proses kerjasama Populis Institute, Institute for Walfare Democracy, serta Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia.
Referensi
edisi 1 | 2010
1
DAFTAR ISI
Sumber: Cover buku “Potret Partai Politik di Indonesia”
EDITORIAL
3
Kebangkitan Partai-partai Baru (Rising of New Political Parties)
Partai politik adalah produk masa pencerahan (renaissance). Walau baru muncul sekitar akhir abad ke-18, lahirnya partai politik adalah anak kandung gerakan pencerahan itu.
diskusi
4
Dialektika Partai Politik Baru di Indonesia
David Krisna Alka Kedaulatan Rakyat atau Kedaulatan Partai?
9
Citra Ali Fikri Partai Politik: Antara Riwayat dan Hikayat
13
Mardoni Setiawan Selintas Tentang Regulasi Partai Politik
19
Arief Rahman Hakim Thai Rak Thai: Antara Uang, Program, dan Pencitraan
23
Jakfar S Fauvis Pembelajaran dari Kebangkitan Partai Politik Baru di Eropa
27
KOLOM Sudarmoko
31
Politik, Partai Politik, dan Budaya Politik Patrice Rio Capella
Demokrasi Politik di Daerah
Semenjak angin Reformasi 1998 berhembus, kemunculan partai politik (parpol) baru seperti kecambah di musim hujan.
2
edisi 1 | 2010
Referensi
35
EDITORIAL Kebangkitan Partai-Partai Baru (Rising of New Political Parties)
Partai politik adalah produk masa pencerahan (renaissance). Walau baru muncul sekitar akhir abad ke-18, lahirnya partai politik adalah anak kandung gerakan pencerahan itu. Sejak semangat renaissance dipancangkan kuat dalam peradaban kebudayaan, sosial, politik, dan teknologi di Eropa Barat, kemenangan akal budi dan eksistensi manusia (antroposentrisme) seolah tak terbantahkan. Perjuangan modernisasi pun dilembagakan dalam instrumen kelembagaan. Dalam wilayah politik, partai politik menjadi wadah pengorganisasian kepentingan publik dan pemenangan suatu paham politik. Usai Pemilu 2009 partai politik kembali menjadi fokus pemberitaan di beberapa media nasional. Mencuatnya kembali wacana sistem kepartaian berkaitan dengan usulan Badan Legislasi DPR untuk merubah Undang-Undang Paket Politik. Beberapa wacana yang mencuat antara lain adalah tentang fungsi dan tugas partai politik dalam menjalankan pendidikan politik, komunikasi politik, dan advokasi politik kepada publik. Hal itu menunjukkan begitu seksinya posisi instrumen politik partai bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Usulan perubahan Undang-Undang Paket Politik yang sekarang dijadikan program prioritas DPR bisa menjadi momentum bagi kehidupan partai politik di Indonesia. Setidaknya, sebagai bahan perenungan dari semangat renaissance yang ingin mengembalikan partai sebagai instrumentasi politik modern. Bila kehidupan partai politik sejauh ini mengalami proses birokratisme, kultus hirarki yang tersentral, atau tidak adaptif terhadap situasi lokal dan terhadap aspirasi publik yang berkembang, tentu realitas ini adalah suatu dialektika yang secara sadar harus dikoreksi oleh publik. Maka edisi perdana Terbitan ini kami mengangkat tema “Rising of New Political Parties”. Tema ini kami sajikan disela
hangatnya perdebatan tentang wacana penyederhanaan partai politik dengan menaikkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold hingga lima persen. Serta perdebatan tentang pematangan Rancangan Undang-Undang Paket Politik, termasuk mengenai sumber pendanaan politik dan aturan main bagi partai partai politik baru. Peristiwa perjalanan demokrasi di negeri ini selalu menyisakan beragam tanya dan tafsir bagi para pelaku dan pengamat. Tafsir tersebut tidak lepas dari cara pandang, pendirian, sikap, serta kepentingan suatu kelompok dalam menyikapi data, fakta dan cerita. Dari situ, tampaklah politik yang sedang dijalani di negeri ini masih buram letak koma dan titiknya. Satu sisi kita ingin yang “ini” dan sisi lain kita ingin yang “itu”. Akhirnya, “ini” dan “itu” menjadi nisbih. Kadangkala kita jenuh dengan kehidupan politik di negeri ini, tapi pada momen tertentu semangat kita tumbuh mengepalkan “segenggam tinju” untuk terjun memperbaiki semua itu. Maka, pendidikan politik sangat penting dalam upaya memerangi gejala depolitisasi dan apolitisasi massa Walau memang, terkadang sejarah politik kontemporer kita dihiasi dengan hal-hal yang di luar akal kita untuk menerimanya. Karenanya, Terbitan ini hadir agar kita bisa tahu apa-apa saja yang telah kita lakukan, apa kelebihannya, apa kekurangannya, dan lain sebagainya. Tentu, restorasi kepartaian dalam semangat renaissance adalah langkah untuk mamajukan peradaban dalam fase demokrasi yang masih belia ini. Harapan kita, dalam perjalanan ke depan politik di negeri ini akan bisa menjadi lebih baik. Selamat Membaca! Willy Aditya
Referensi
edisi 1 | 2010
3
diskusi
Doc. Referensi
Dialektika Partai Politik Baru di Indonesia
Semenjak angin Reformasi 1998 berhembus, kemunculan partai politik (parpol) baru seperti kecambah di musim hujan. Sejak saat itu, parpol yang ada tak hanya berjumlah dalam puluhan, tapi malah ratusan parpol lahir dari rahim kebebasan berdemokrasi di Indonesia. Meskipun, karena berbagai aturan yang ditetapkan, banyak dari parpol itu harus layu sebelum berkembang.
Sebab, pada pemilu berikutnya pada tahun 2009, jumlah partai peserta pemilu mengalami peningkatan kembali, yakni 44 parpol. Itupun tanpa menghitung parpol yang tidak lulus persyaratan. Tidak hanya itu, pada ajang lima tahunan kali ini, hadir enam partai lokal yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam. Artinya, secara keseluruhan ada 50 partai politik yang terlibat dalam pemilu tahun 2009 kemarin.
Alhasil, pemilu tahun 1999 hanya diikuti oleh 48 partai politik. Setelah melalui seleksi formal yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, lima tahun berikutnya peserta pemilu 2004 menyusut menjadi 24 parpol. Parpol itu mendapat kesempatan untuk ikut berkontestasi setelah melalui tiga tahap penyaringan yang cukup ketat. Dalam konteks ini, dialektika keberadaan partai politik baru dimulai.
Pemilu 2009 menunjukkan masih besarnya minat anggota warga negara Indonesia untuk mendirikan parpol. Padahal persyaratan formal bagi berdirinya pilar utama demokrasi ini sudah cukup lumayan ketat. Di sisi lain, aturan terkait dengan posisi keterwakilan partai di parlemen semakin ketat pula. Adanya parliamentary treshold dan electoral treshold pada pemilu kemarin menyebabkan partai yang hadir di parlemen dan pada pemilu mendatang menjadi terbatas.
4
edisi 1 | 2010
Referensi
Doc. Referensi
Populis Institute bersama Institute for Welfare Democracy (IWD), Friedrich Ebert Stiftung (FES) serta Kabinet Indonesia Muda (KIM) mengadakan sebuah diskusi pada 14 Mei 2010 bertajuk “Rising of New Political Parties”.
Kenyataan itu setidaknya menyampaikan kepada kita dua hal. Yang pertama, banyaknya partai yang lahir menunjukkan partisipasi dan kebebasan berdemokrasi di Indonesia yang cukup tinggi. Namun kedua, banyaknya parpol yang muncul ternyata tidak berbanding lurus dengan kemajuan praktek berdemokrasi itu sendiri. Setidaknya, dua ketentuan tersebut muncul didasarkan pada keinginan untuk menyederhanakan sistem kepartaian yang ada. Dasar dan motifnya bermacam-macam. Mulai dari biaya pemilu yang luar biasa besar hingga harmonisasi sistem presidensial yang kita anut. Dalam kaitan itulah Populis Institute bersama Institute for Welfare Democracy (IWD), Friedrich Ebert Stiftung (FES) serta Kabinet Indonesia Muda (KIM) mengadakan sebuah diskusi pada 14 Mei 2010 bertajuk “Rising of New Political Parties”. Potensi Kemunculan Partai Baru Titik bidik yang disasar dalam diskusi yang diadakan di “Istana Pembebasan” KIM itu adalah kemenangan yang diraih oleh sebuah partai yang tergolong baru. Itu tentunya menjadi fenomena. Sebab, tak hanya terjadi di Indonesia dengan partai Demokratnya, akan tetapi di belahan dunia lainnya.
Dalam konteks yang demikian, pengamat politik Indra Jaya Piliang ternyata tetap melihat bahwa kehadiran parpol baru masih besar sekali untuk masa ke depan. Ada beberapa alasan yang dikemukakannya. Yang pertama, banyak penelitian menyebutkan, orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan parpol tertentu, ternyata cukup kecil. Di Indonesia Party IDnya (orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan parpol tertentu - pen) hanya 20% saja. Sisanya adalah pemilih mengambang. Inilah corak yang ada di negara berkembang, khususnya di Indonesia. Di negara seperti Amerika dan Eropa, yang kecil justru pemilih independennya (swing voters). Inilah yang diperebutkan oleh partai-partai yang berkontestasi. Di AS misalnya, jumlah swing voters-nya hanya sekitar 2-5%. Demokrat dan Republik saling berebut terhadap kelompok ini, karena merekalah yang bisa berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Sementara di Indonesia ada 80% massa mengambang (floating mass) yang sejak tahun 1959 hingga sekarang masih terus diperebutkan. Dengan pandangan semacam itu, Indra melihat, siapapun parpol baru yang hadir, berpeluang untuk menang. Tinggal PR-nya adalah bagaimana si partai baru ini “mengambil hati”
Referensi
edisi 1 | 2010
5
�) (�5E5��.5�)5�5�) (-�(�1����5�1�,5�5�F! ��.��) ����) (-�(�1����5� Identifikasi diri dengan politik/merasa dekat 1�,5�5��� ��partai (�+�%����>���&�%9&
dengan partai politik tertentu (Party ID) (%)
��������
� 44
�
4#
4�
48
� �
8�
4/
4� 4�
4� 3� 3� 3�
�
38
�:
�;
�
�8
�;
�8
�424 �4 /�
�
�;
�4
�3 �3
��
��
��
/4
"
#$ � � � �� � � �� � � � ��� �� � �� � � �� ��� � � �� �� �� � �� � � !� � � " #$ � � � �� � � �� ��� �� � �� � � � � �� �� �� � ��� � � �� �� � � �� �� � � !� �� " � #$ � � � �� � �� � ��� � � �� �� � �� ��� � �� � ��� �� � ��� � � ��� � �� � ��� � �� �� " � #$ � �
Sumber : LEMBAGA SURVEY INDONESIA (LSI)
�������������������������������������!<����������� ������������������������ ����������������������������������� Dalam setahun terakhir hanya sekitar 25% pemilih loyal, selebihnya kurang loyal, dan ini mengindikasikan bahwa hubungan psikologis ������������� � ��������������������������������������������������
�
antara partai dan massa pemilih kurang stabil.
�
Merasa dekat dengan partai politik tertentu (Survei Nov 2008 (%))
ini sama sebagaimana halnya dialami oleh PKNU, PDIP, dan sebagainya. Faktor kedua, kinerja partai politik hingga saat ini belum menunjukkan warna yang semestinya. Hampir semua partai yang ada sekarang ini tidak ideal. Tidak ada partai yang sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan politik seperti yang banyak dipelajari di bangku-bangku kuliah. Kondisi yang demikian tentu saja menimbulkan kekecewaan dan apatisme rakyat terhadap parpol. Dalam keseharian bergaul dengan publik dewasa ini, kita bisa merasakan warna kekecewaan tersebut.
Faktor ketiga, partai saat ini sangat diuntungkan oleh undangundang dasar (UUD). Hasil amandemen terhadap UUD 1945 cukup memberikan kekuasaan lebih kepada partai politik. Seolah-olah ada dibawah konstitusi hanya ada partai. Hal ini tidak berlebihan adanya.
Sumber : LEMBAGA SURVEY INDONESIA (LSI)
mereka. Contoh yang paling mutakhir adalah Partai Demokrat. Dengan menguatkan satu figur yang ternyata cukup tepat, partai ini bisa sukses luar biasa – setidaknya dalam ajang kontestasi. Itu artinya, apapun partai yang muncul, punya kesempatan yang sama dengan partai yang telah lama mapan. Hal itu disebabkan karena massa tradisional partai-partai lama, misalnya Partai Golkar yang tak berubah secara signifikan, tidak ada peningkatan atau penurunan. Kondisi
6
edisi 1 | 2010
Bila kita cermati saat ini, hanya parpol yang boleh mengajukan pasangan capres dan cawapres. Partai pula yang bisa mengajukan calon legislatif, melakukan fit and proper test terhadap pemegang lembaga-lembaga bentukan negara, seperti KPK, BI, Komnas HAM, Hakim Agung, Kepala BUMN, dan sebagainya. Parahnya, “kekuasaan” yang besar itu tidak dibayar dengan kerja-kerja politik yang setimpal terhadap konstituennya. Semua ini pada gilirannya tetap membuka peluang kepada kelompok-kelompok yang hendak mendirikan partai baru.
Referensi
Doc. foto dari http://indonesia.newsbeet.com. dan newsmerdeka.wordpress.com
Hanura dan Gerindra adalah dua partai baru di Pemilu 2009 yang berhasil memperoleh kursi di parlemen, dua partai tersebut saat ini menjadi partai oposisi.
Masalah yang Belum Kunjung Sirna Boni Hargens, salah seorang panelis dalam diskusi ini memberikan pandangan, kondisi yang demikian itu tidak lepas dari masalah klasik yang ada dalam tubuh partai politik. Tidak ada kualifikasi bagi seseorang untuk masuk partai yang memadai. Siapapun bisa masuk partai apa saja. Hingga saat ini, dapat dipastikan semua partai politik yang ada belum memiliki sistem rekrutmen yang memadai bagi terbangunnya kondisi internal yang ideal. Bahkan, Partai Demokrat sekalipun! Mereka tidak memiliki “nilai” partai yang kuat, di samping manajemennya pun juga tidak cukup bagus. Kasus ini mirip dengan kasus Thai Rak Thai di Thailand. Mereka masuk menawarkan sesuatu yang berbeda dengan rezim militer. Mereka masuk ke desa-desa menawarkan demokrasi. Namun, lama-lama ternyata partai itu tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Bonny pada dasarnya menaruh apresiasi terhadap PKS. Tetapi, setelah masuk dalam barisan koalisi yang terwadahi oleh Sekretariat Bersama (Sekber), PKS pun belum bisa dikatakan konsisten. Padahal, PKS adalah partai yang cukup terdepan saat ini. Begitu setidaknya pandangan Bonny. Keberadaan Sekber sendiri dinilainya tidak memberikan pendidikan politik dan melemahkan peradaban politik di Indonesia. Gelagat yang paling mudah ditangkap oleh orang akan keberadaan sekber ini adalah politik transaksi. Namun, di sisi lain hal itu menjadi sisi positif bagi munculnya partaipartai baru guna memainkan peran yang terakhir ini. Pada galibnya, penguatan demokrasi akan tergantung pada kesadaran internal partai untuk menguatkan ideologinya.
Adapun peran dan kegiatan yang mendorong pembangunan tubuh internal partai akan menentukan nasibnya di tengah konstituen. Ruang bagi Partai Baru Sementara pembicara lain, Wakil Sekjend PAN, Patrice Rio Capella, berseloroh bahwa Indonesia adalah negeri yang senang berpolitik. Ini mungkin ada benarnya. Sebab, dalam sejarahnya Indonesia beberapa kali mengalami sistem era “booming party”. Misalnya saja tahun pada pemilu 1955. Saat itu jumlah parpol mencapai 172. Jumlah yang amat luar biasa jika dibanding jumlah pemilihnya saat itu. Dalam perkembangannya jumlah itu menyusut dengan berbagai dinamika politik yang terjadi, dan naik kembali pada pemilu 1999. Hal itu terjadi sampai saat ini. Dari situ, setidaknya menjadi semacam pertanda bahwa pada dasarnya masyarakat kita senang dalam berpolitik. Atau jika tidak, kehidupan demokrasi Indonesia memang relatif berjalan. Berkaitan dengan munculnya partai baru, kemunculan Partai Demokrat menjelang pemilu 2004 adalah fenomena yg menarik. Ia kalah jauh dengan Golkar dan PDIP. Rio Capella melihat faktor pencitraan menjadi faktor penting dari kemenangan signifikan Partai Demokrat. Hal itu menurut Rio Capella, sekaligus menandai kemunculan era pencitraan dalam politik di Indonesia. Namun demikian, dia melihat tidak ada kepastian pada Pemilu 2014 nanti itu akan terulang. Mengingat, pertama, referensireferensi dari luar menyatakan bahwa partai-partai yang menang karena faktor pencitraan yang determinan ternyata tidak terulang. Thai Rak Thai adalah contoh mutakhirnya. Pun demikian di Italia dengan Partai Kebebasan Rakyat (FDL)-
Referensi
edisi 1 | 2010
7
nya pimpinan Berlusconi. Pamor mereka menurun seiring berjalannya proses politik yang dilalui. Kedua, tingkat kebosanan publik atas pola yang sama. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang senang halhal yang baru meskipun jika itu instan adanya. Oleh karena itu, jika pun menjelang 2014 nanti muncul partai baru, partai politik tidak akan banyak. Hanya bagi mereka yang siaplah yang akan mampu tampil. Kesiapan di sini dalam arti siap secara infrastruktur maupun siap secara ide yang segar dan baru. Tantangan Bagi Partai Baru Massa mengambang (floating mass) adalah sebuah kejamakan di semua negara berkembang. Mereka senang berpindahpindah dari satu partai ke partai lainnya. Ini sebenarnya logis. Di negara yang baru berkembang demokrasinya, masyarakat tidak atau belum memiliki keyakinan terhadap satu dan nilai dari partai politik tertentu. Namun demikian, kondisi ini memiliki sisi positif. Positifnya, jika upaya demokratisasi dilakukan dengan baik terutama oleh parpol, maka situasi ini bisa membuat partai politik semakin kuat. Di sinilah peluang besar bagi partaipartai yang baru untuk tampil dan mengokohkan eksistensinya. Inilah yang menjadi warna dari sesi tanya jawab pada diskusi tersebut. Sementara untuk partai lama, dilematis posisinya. Jika mereka konsisten maka konstituen setianya akan tetap memilihnya dan usia partai itu akan tetap panjang. Namun jika sebaliknya, mereka akan ditinggal oleh pemilihnya yang berbondong-bondong memilih partai yang baru. Kunci dalam masyarakat transisi adalah bagaimana mengikat keyakinan publik terhadap nilai politik baru yang dibawa dan memberi keyakinan bahwa nilai yang dibawa bisa dilembagakan dalam institusi partai politik. Inilah tantangan sekaligus peluang pertama bagi partai-partai politik yang akan muncul nanti. Tantangan berikutnya adalah seberapa bisa partai baru memberikan nilai pembeda pada keadaan sebelumnya. Selama ini, munculnya kekuasaan baru – yang bermula dari partai baru sekalipun– tidak melahirkan nilai pembeda (diferensiasi) apapun dari kekuasaan sebelumnya. Seolah bisa dikata, meski berganti seribu kali, warna kekuasaan yang muncul hanya begitu-begitu saja. Dengan kata lain, kekuasaan sesungguhnya tidak bergeser.
itu dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi, hal ini terkait dengan soal parlementarisme. Sistem presidensial haruslah bisa merasionalisasi sistem kepartaian agar pemerintah bisa berjalan dengan baik. Apalagi selama ini, bukan partai yang memenangkan seorang kandidat tetapi oleh lembagalembaga (konsultan) pemenangan pemilu. Hal tersebut tidak lepas dari politik kemasan yang menjadi tren sekarang ini. Oleh karena itu, parpol juga dituntut untuk bisa mengatasi masalah demokrasi yang selama ini ada di Indonesia, yaitu institusionalisasi politik yang belum jelas. Disatu sisi ada partai politik, dan di sisi lain ada calon independen. Inilah tantangan bagi parpol-parpol baru, parpol baru yang sejatinya partai politik. Hal yang lain yang perlu diperhatikan adalah dari sisi aktor. Partai selama ini tidak memasang kadernya untuk dipromosikan. Malah asyik melamar figur-figur dengan pamor dan tingkat popularitas tertentu yang bisa menarik suara pemilih. Kualifikasi dan kualitas menjadi dinomorsekiankan. Inilah penyakit feodalisme yang muncul lagi belakangan ini di tubuh partai politik. Artinya, ada faktor kultural yang mendera partai politik saat ini. Maka, ruang kemunculan bagi partai politik baru saat ini harus disertai dengan identitas dan energi baru. Hal ini terutama pada sosok pemimpinnya. Nilai penting dari sosok pemimpin ini merupakan representasi sekaligus ikon dari partai yang dipimpin. Alhasil, secara umum, partai politik baru yang akan muncul harus menawarkan sesuatu yang baru untuk bisa memikat para pemilih. Selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah karakter rakyat Indonesia yang masih pragmatis dan belum bisa dikatakan melek politik. Oleh karenanya, kemunculan partai baru haruslah memberikan semangat konstruktif bagi kehidupan berpolitik ke depan. Apalagi masyarakat transisi cirinya adalah bingung. Tatkala nilai lama belum lepas, nilai baru sudah muncul. Akibatnya, tidak terjadi internalisasi nilai-nilai. Artinya, semua itu berkaitan dengan persoalan implementasi. Oleh karena itu, yang paling penting adalah nilai dalam praksis. Maka, masalahnya kemudian adalah soal agensi. Dan bicara soal agensi, berarti soal institusi politik yang tak lain adalah partai politik. (M. Taufiq)
Di sisi lain, ada situasi yang cukup ambigu dalam sistem politik di negara kita. Kenyataan politik Indonesia hari ini, multipartai dalam sebuah tata kelola presidensial. Benar hal
8
edisi 1 | 2010
Referensi
***
David Krisna Alka Kedaulatan Rakyat atau Kedaulatan Partai?
“Rakyat adalah jantung hati bangsa. Rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup atau matinya Indonesia merdeka, semuanya bergantung kepada semangat rakyat, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya.” (Bung Hatta) Harapan adalah sarapan yang baik tetapi makan malam yang buruk. Namun, harapan bahwa partai-partai politik di negeri ini mampu menjadi agen perubahan politik untuk mengartikulasikan kedaulatan dan keresahan-keresahan rakyat masih berupa sarapan yang belum baik tapi hidangan makan malam yang buruk. Ada kerinduan akan masa ketika parpol (parpol) diolah secara berkualitas dan bernilai. Karena parpol mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Akan tetapi, sistem demokrasi di negeri ini masih belum memihak pada demokrasi sosial. Suatu pemihakan politik yang menjunjung tinggi cita-cita keadilan dan harapan kesejahteraan. Parpol Gagap Di zaman Orde Baru, negara merupakan an absolute state. Masa itu kuatnya budaya birokratis yang telah menempatakan rakyat sebagai pihak yang harus melayani birokrasi, bukan sebaliknya. Padahal, seharusnya birokrasilah yang harus menjadi pelayan kepentingan-kepentingan rakyat (societal state). Parpol adalah alat bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Tetapi, demokrasi multipartai yang kembali dijalankan belum mampu menghadirkan budaya politik alternatif yang solutif. Sementara tampilnya sejumlah partai baru, parpol pecahan, parpol lama tapi nama baru, pun belum begitu bisa mengambil hati perhatian publik. Akibatnya, ruang
publik masih belum berfungsi secara beradab. Pandangan sinis acapkali terdengan keluar dari mulut nan manis bahwa parpol itu tak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa, atau berniat memuaskan birahi kekuasaannya sendiri. Parpol hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ atau kepentingan umum. Munculnya beraneka ragam parpol baru, terkesan hanya terdengar di telinga tapi tidak terasa di hati. Demokrasi parpol hanya bunyinya saja yang nyaring tapi gagap dalam pemikiran dan gagasan baru yang orisinal dan berkarakter kuat untuk mengatasi permasalahan bangsa. Tampak, proses politik sangat terpisah antara yang dipikirkan partai dan politikusnya dengan masalah objektif dalam kehidupan nyata rakyat biasa. Membaca jajak pendapat Litbang Kompas, sejak reformasi kepartaian diluncurkan pada tahun 1999 dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1999 yang membuat menjamurnya parpol (181 parpol), masyarakat pemilih tampaknya masih terus-menerus dirundung janji dan harapan kosong. Jajak pendapat Kompas yang mengikuti kiprah parpol sejak awal masa reformasi mendapati kekecewaan publik yang senantiasa berulang terhadap kiprah parpol. Lebih separuh responden pada jajak pendapat Februari 2000 menyatakan
Referensi
edisi 1 | 2010
9
peluang lebih besar atas partisipasi masyarakat dalam politik ketika dominasi orang-orang tua dalam parpol lama begitu dominan. Tetapi, jangan dulu terlalu berharap dengan kemunculan partai-partai baru dapat memperbaiki keadaan negeri ini.
sumber: weinarifin.wordpress.com
ketidakpuasan terhadap kinerja partai yang dipilihnya pada Pemilu 1999. Rata-rata kekecewaan terhadap berbagai fungsi kepartaian mencapai 51-65 persen (kecuali terhadap PKB yang hanya 37,5 persen). Kekecewaan itu kian tinggi dua tahun kemudian. Lebih tiga perempat responden menyatakan kecewa dengan kinerja parpol meskipun saat itu (Maret 2002) sudah ada 164 parpol yang disahkan untuk bertarung dalam Pemilu 2004.1
Disamping itu, meski pada awal Pemilu 2004 nada kepuasan dan optimisme pada partai disuarakan lebih dari separuh responden (55-63 persen), namun penilaian itu sudah meruntuh. Lebih tiga perempat responden menyatakan tidak puas dengan kinerja parpol yang ada. Kekecewaan dan skeptisme publik yang terekam sama besar kondisinya dengan opini tahun 2005 dan awal tahun 2006. Jika dilihat dari citra parpol, bahkan nyaris belum pernah ada perbaikan signifikan terhadap kiprah parpol. Jika pada bulan Agustus 2004 hanya 45,3 persen yang menilai buruk, tahun 2007 penilaian buruk disuarakan 60,8 persen responden.2 Banyak pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap parpol baru bahkan juga terhadap parpol lama. Karena sulit untuk menemukan perbedaan yang signifikan antara partai lama dan partai yang mengklaim dirinya sebagai partai baru. Bila bicara soal program parpol, hampir semua partai lama maupun baru bicara tentang pengentasan kemiskinan, tentang penyediaan lapangan pekerjaan, tentang pendidikan gratis, soal perbaikan fasilitas pendidikan, bicara tentang jaminan kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari tokoh atau pengurus partai, yang tampak dalam kenyataan, tokoh atau pengurus partai baru merupakan wajah-wajah lama dalam dunia politik tanah air. Namun, memang kemunculan partai-partai baru memberikan 1
2
10
Belum lama ini, hasil jajak pendapat Kompas, 26-27 Mei 2010, memperlihatkan gambaran ketidakpuasan masih disuarakan dalam berbagai fungsi politik partai, seperti representasi, fungsi sosialisasi politik, mobilisasi, partisipasi, legitimasi, dan aktivitas politik. Upaya parpol menjalankan fungsi representasi termasuk yang paling lemah diapresiasi publik (68,9 persen) ketimbang fungsi-fungsi lainnya. Ketidakpuasan responden terhadap parpol dapat pula dilihat dari penilaian mereka terhadap kiprah parpol dalam melakukan pendidikan politik dan kaderisasi terhadap warga negara. Minimnya aktivitas partai dalam memberikan pendidikan politik secara lugas membuat rakyat tidak paham logika politik dan ”muara”-nya. Mereka menjadi tidak berani menyuarakan aspirasinya secara konkret atau dalam tindakan nyata.3 Padahal, seharusnya partai sepantasnya berupaya menggalang warga negara untuk lebih aktif dalam kegiatankegiatan politik, seperti memilih pemimpin, membangkitkan kesadaran berpolitik, penggalangan dana, dan kegiatan politik lainnya. Menurut Wicipto Setiadi (2010), pelembagaan partai biasanya dilakukan melalui penguatan empat komponen kunci, yakni pengakaran (party rooting), legitimasi partai (party legitimacy), aturan dan regulasi (rule and regulation), dan daya saing partai (competitiveness). Becermin pada keempat komponen kunci di atas, tampaknya lampu kuning masih menyala bagi keberadaan parpol saat ini. Apabila secara kelembagaan parpol tidak mulai berbenah untuk memperbaiki diri menjadi sebuah partai yang modern: punya basis massa yang loyal, organisasi yang rapi, mempunyai mekanisme memilih pemimpin yang demokratis, dan punya daya saing yang tinggi.4 Nyalanya lampu kuning bagi keberadaan parpol saat ini menimbulkan kesan sangat dalam terasa dalam hati nurani
Lihat Toto Suryaningtyas, “Geliat Parpol Disikapi Dingin,” http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/31/ Politikhukum/2843118.htm
3
Lihat Anung Wendyartaka, “Saatnya Titik Balik Parpol,” Kompas, 31 Mei 2010
Ibid
4
Ibid
edisi 1 | 2010
Referensi
rakyat bahwa parpol sekadar menjadi alat negosiasi dengan penguasa untuk mencapai kompensasi politik ketimbang benar-benar memperjuangkan aspirasi konstituen. Padahal, fungsi mendasar sebuah parpol sebagai pilar demokrasi adalah sarana artikulasi, agregasi dan sarana pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat.
Demokrasi Karnaval Sejarah politik di negeri ini pernah memiliki masa ketika parpol diolah secara berkualitas dan bernilai. Periode yang disebut demokrasi liberal 1950-an itu adalah sebuah masa ketika retorika politik diukur berdasarkan mutu argumen di parlemen dan bukan hanya spanduk partai di jalanan. Periode itu adalah masa ketika politik bekerja dalam kendali etika. Ada prinsip dalam menyelenggarakan politik.
Sistem politik ketatanegaraan Indonesia mengandalkan peran parpol. Namun, tampaknya parpol belum banyak beranjak dari fungsi praktis jangka pendek sebagai alat meraih kekuasaan. Parpol menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka Di era itu, politik lebih dihayati sebagai inisiasi kebudayaan pendek, dimana parpol memakai konstituen sebagai pendulang ketimbang transaksi kekuasaan. Namun kini, pemilu terasa suara dalam Pemilu, alat legitimasi dan alat mobilisasi. benar merupakan ‘pesta’ kaum elit terutama politisi penguasa Tatkala instrumen partai membutuhkan untuk merebut dan dan jauh dari memberi nikmat kepada rakyat, kecuali sebagai mempertahankan kekuasaan. Konstituen diposisikan sebagai penonton alias peserta ‘pesta demokrasi’ secara pasif. sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan Demokrasi menjadi elitis dibawah dominasi politisi Partai. politik partai. Menurut Rocky Gerung, produk politik kepartaian cenderung Maka dari itu, parpol harus berusaha membangun hubungan lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai dengan konstituen yang stabil dan berjangka panjang. Agar ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat. hubungan dengan konstituen dapat didirikan dan dikelola Oportunisme kekuasaan jauh mendahului normativisme dengan baik, parpol harus mengembangkan pemahaman demokrasi: politik masih dilihat sebagai peralatan ideologi dan nilai-nilai dasar partai dan membangun (infra-) kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban struktur partai dulu. jangka panjang. 6 Instrumen demokrasi salahsatunya ditentukan oleh parpol, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.7
Konstituen Sumber Daya Manusia
Prosedur / Mekanisme
Sumber Keuangan
Ideologi / Nilai-nilai
Partai politik bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara. Menghubungkan antara Thinking (Pemikiran) warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Robert Michels dalam bukunya, “Political Parties, A Sociological Perilaku dan Aktivitas Politik Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy”, “... organisasi ... merupakan satu-satunya sarana ekonomi Infra struktur partai di atas adalah jalinan yang saling memiliki sinergi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif.”8 Tetapi, satu sama lain. Antara partai sebabgai institusi politik dan politisi politisi partai gagal memperkuat pondasi kehidupan politik sebagai pelaku politik dan konstituen sebagai atap pemilih politik.5 kenegaraan sehingga menyulitkan mengoperasikan demokrasi secara maksimal
5 Pola hubungan dan komunikasi parpol dengan masyarakat 6 Lihat Rocky Gerung, “Tersesat di Jalan yang Benar,” yang merupakan konsisten dan dua arah dapat stabilisator Tempo, Edisi 13-19 Agustus 2007
bagi partai, sebab pemilih merasa lebih akrab dan terikat pada partai dan akan memberikan kontribusi kepadanya. Untuk lebih jauh lihat http://book-online.net/doc/Po/Pola-PengelolaanHubungan-Partai-Politik-dengan-Konstituen-doc/, diunduh pada 28 Mei 2010
Majalah
7
Lihat buku karya Schattscneider, E.E., Party Government (New York: Farrar and Rinehart, Inc. 1942)
8
Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, (Jakarta: Rajawali, 1984) hal.23.
4
Referensi
edisi 1 | 2010
11
mempertahankan nasib bangsa dalam menyongsong masa depan. Hubungan yang terjalin tampak bukan hubungan ideologis tapi hubungan transaksional.9
sumber : angganabunawan.wordpress.com
Demokrasi tidak sesederhana sebagai prosedural dan bukan sekadar jadwal kegiatan karnaval-karnaval politik nasional semata. Demokrasi adalah alat politik untuk menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial, sebab inti yang paling inti dalam cita-cita demokrasi adalah agar terjadi representasi yang seluas-luasnya dalam mengambil keputusan. Maka, perlunya mencari nilai kehidupan, a social imaginary, tentang horizon makna yang menjadi rujukan kebebasan dan kesetaraan dalam prinsip demokrasi modern.10
Maraknya aksi-aksi negatif semacam praktik politik uang membuktikan bahwa demokrasi ala Indonesia kini sudah dibajak oleh kekuatan uang. Memang, demokrasi dari segi biayanya mahal. Karena mahal, maka tentu rakyat sebagai warga negara akan semakin kehilangan sumber daya politiknya ketika berhadapan dengan kekuatan politik uang. Dalam perebutan kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi, hampir semua dibelakangnya bukanlah pertarungan untuk memperebutkan cita-cita politik. Tapi tampak dipahami sebagai persaingan kepentingan ekonomi kapital. Semua gagasan dan cita-cita ideologis apapun tampak telah digeser oleh pertimbangan kapital (capitaloparliamentarisme: pekerjaan dan keberadaannya didikte kapital). Sehingga, yang terjadi di negeri ini adalah gejala seperti layaknya seorang saudagar sedang memperebutkan posisi politik sebagai penguatan simbol hegemoni elit yang sangat menonjol. Demokrasi mencari dan menggalang kekuatan untuk mencapai konsensus politik. Bukan sekadar demokrasi yang mengandalkan kebebasan, yang hanya menguntungkan segelintir orang. Pada pengalaman Pemilu 2009, Daniel Dhakidae mempertanyakan apakah parpol sudah melepaskan akar-akarnya: ideologi, identitas, dan independensi. Sehingga, mitos tentang parpol besar sudah hancur. Semua konsep tentang parpol besar dan kecil telah runtuh. Semua yang besar terguncangguncang. Besar dan kecil menjadi nisbih. Ditambah dengan tingkat kesetiaan yang rendah pemilih terhadap parpol baru tanpa beban dan ideologi. Pemilu sekadar hanya perhelatan, dolanan, tanpa berkeyakinan bahwa pemilu untuk
12
edisi 1 | 2010
Jika membaca sejarah demokrasi negeri ini, sosok Bung Hatta dinilai sebagai salah seorang peletak dasar utama negara demokrasi konstitusional yang modern, baik dalam tataran nilai-nilai maupun praktek pelembagaannya. Tapi kini, apa yang diletakkan Bung Hatta terhadap demokrasi yang kita perjuangkan, kenyataan yang muncul dalam proses politik adalah kuatnyaa supremasi partai-partai dengan kultur kapitalnya, bukankah kedaulatan politik di tangan rakyat yang nasibnya semakin miskin, termasuk miskin politik dalam era reformasi sekarang ini. Namun, kehidupan politik negeri ini masih memiliki harapan. Harapan yang bukan hanya sarapan dan makan malam. Harapan itu adalah menempatkan rakyat sebagai yang utama karena rakyatlah yang mempunyai kedaulatan. Menurut Bertrand Russell, kemiskinan dalam demokrasi lebih baik daripada apa yang disebut kemakmuran di bawah tirani, persis seperti kita memilih kebebasan daripada perbudakan.11 Hanya daulat rakyat yang mampu mengantarkan perubahan dan kemajuan, bukan daulat parpol Oleh karena itu, demokrasi untuk perubahan dan demokrasi untuk kemajuan adalah niscaya segera dilakukan. Walau, perubahan adalah suatu hal, kemajuan adalah hal lain lagi. Perubahan bersifat ilmiah, kemajuan bersifat etis. Perubahan adalah suatu hal yang niscaya, sedangkan kemajuan selalu bisa diperdebatkan. ***
9
Danil Dhakidae, Parpol, Partai Politik, Demokrasi dan Oligarki (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004).
10
Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan, (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2009) h.41.
11
Bertrand Russell, Sceptical Essays and Unpopular Essays, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1984)
Referensi
Citra Ali Fikri Partai Politik: Antara Riwayat dan Hikayat
Kehadiran partai politik dalam sejarah perjalanan republik ini tak bisa dinegasikan dari sejarah awal pergerakan nasional. Sebelum merdeka, perlawanan mengusir penjajah pada tingkat lokal oleh para pejuang kita dengan segala kekuatan fisik yang ada belum mampu membawa Indonesia bebas dari belenggu para kolonialisme.
kepentingan mendirikan partai politik adalah untuk merebut kemerdekaan. Pada pasca kemerdekaan semua telah terjadi pergeseran. Kebutuhan untuk berorganisasi secara modern dalam hal politik kepartaian adalah untuk menguatkan dan menjaga kedaulatan yang secara de jure telah kita rebut meski stabilitas negara belum normal.
Saat itu, beberapa anak bangsa terdidik yang berpikiran modern menggagas formulasi baru untuk melakukan perlawanan penjajah secara modern. Hal itu di tunjukkan dengan munculnya beberapa organisasi massa yang bemuatan politis dan bersifat nasional untuk melakukan konsolidasi kekuatan melawan tindakan rezim kolonial.
Dalam situasi seperti itu, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, mengusulkan kepada Pemerintah untuk memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk membentuk partai politik demi kepentingan menjaga dan memperkuat kemerdekaan. Menanggapi usulan tersebut, sesuai kondisi objektif saat itu, pada 3 November 1945 dikeluarkanlah Maklumat No X tentang keleluasaan pendirian partai politik yang ditandatangani oleh Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta.
Segar dalam ingatan kita, bagaimana Indishe Partji (Desember 1912), Indische Sosial Democratishe Vereninging (ISDV, Mei 1914), Indische Khatolic Partij ,(November 1918), PKI (Mei 1920), PNI (Juli 1924), Partai Indonesia (April 1931), Partai Rakyat Indonesia (September 1930), Parindra (Januari 1931), dan Gerindro ( Mei 1937), secara nyata mewarnai dominasi kekuatan politik penjajah. Pada zaman itu, meski suasana darurat perang dan dalam keadaan abnormal, sejarah politik kita mencatat, bahwa kaum muda bangsa telah menaburkan embrio partai dari bermacam-macam ideologi yang berbeda dan merancang strategi merebut kemerdekaan dari penjajahan kolonial. Dan, menggemalah semangat berdaulat yang diterjemahkan melalui kebutuhan berorganisasi secara modern serta mendefenisikannya dalam kerja-kerja perjuangan merebut kemerdekaan yang diatur dalam skema partai. Politik Transparan dan Fluktuasi Politik Deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh SoekaranoHatta pada tanggal 17 Agustus 1945, sontak merubah domain partai politik dan kehidupan politik di tanah air. Kala itu,
Setali tiga uang, sekitar tiga puluhan partai politik bermunculan dan lebih dari seratus daftar kumpulan calon perorangan hadir mewarnai demokrasi pasca kemerdekaan. Pada fase inilah pertama kali politik Indonesia memiliki multipartai. Untuk pertama kalinya pada tahun 1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu yang diikuti banyak partai dengan sistem parlementer. Hasil Pemilu pada tahun 1955 itu menempatkan empat partai besar sebagai peraih electoral tertinggi, antara lain PNI, Masyumi, NU dan PKI. Dalam hal ini, PKI adalah partai lama, karena sebelum Maklumat No X partai itu sudah berdiri. Akan tetapi, dalam proses menjalankan sistem pemerintahan, keempat partai besar yang berbeda ideologi itu tidak pernah bertemu secara politik dalam menjaga nilai (value) pada Maklumat No X. Partai-partai itu malah lebih sibuk menonjolkan eksistensi kepartaian, sehingga kabinet yang dibangun tersendat-sendat dalam menjalankan agenda pemerintah.
Referensi
edisi 1 | 2010
13
Hal itu dapat dilihat sangat kontras, karena adanya aura-aura pertentangan antar partai saat itu. Bahkan, sampai adanya upaya penculikan terhadap pimpinan, seperti yang terjadi pada masa Kabinet Syahrir (1946) oleh Persatuan Perjuangan (PP) yang notabene dibawah pengaruh kepemimpinan Tan Malaka. Bila dibandingkan dengan potret politik hari ini, dinamika politik partai yang bisa disebut “politik pasar rakyat” tidak pernah terjadi di awal pemerintahan orde lama. Ketika itu, Sutan Syahrir dengan idiom diplomasinya teguh menerapkan instrumen berjuangnya dalam mempertahankan kemerdekaan. Berbeda dengan Tan Malaka, melalui program “seratus persen kemerdekaan” bersama gerilya zonenya, kemerdekaan seratus persen itu adalah sebuah manifesto yang tidak bisa ditawar. Walaupun Syahrir dan Tan Malaka sama-sama mengambil peran dalam pemerintahan, atau hal yang lebih mendasar, misalnya meraka samasama terlahir dari alam minangkabau yang terkenal dengan sistem dagang yang kental, dalam pegangan politik identitas mereka merupakan sesuatu yang mutlak.
Berikut adalah grafik perolehan suara partai politik dalam kurun waktu sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2009:
Pada grafik 1.1 di atas menjelaskan lima besar pemenang pemilu untuk anggota DPR ditempati oleh PNI, Masyumi, NU, PKI, PSII. Dari kelima partai tersebut, PKI adalah partai lama ,karena sebelum Indonesia Merdeka PKI sudah berdiri sebagai Partai Politik. Perolehan suara untuk anggota konstituante, tidak jauh berbeda dengan perolehan suara untuk anggota DPR (bandingkan tabel 1,1 dengan 1,2). Hal itu menunjukkan konstituen pada waktu itu konsisten dengan pilihan partainya.
Tingginya aura pertentangan serta tidak bertemunya titik kompromi diantara partai politik masa itu menyebabkan kabinet yang terbentuk tidak lama bertahan. Maka, menyebabkan mekanisme pemerintahan tidak berjalan baik. Dan, output sitem pemerintahan pun berganti dalam waktu relatif singkat seiring dikeluarkannya beberapa kebijakan oleh Presiden Soekarno. Dalam sejarahnya, kemunculan partai poltik, tidak selalu linear dengan pencapaian suara dan kursi di ranah kekuasaan. Beberapa faktor yang bersifat intern ataupun eksterm, siginifikan dalam mempengaruhi fluktuasi partai politik di parlemen.
14
edisi 1 | 2010
Referensi
Grafik 1.3 Menjelaskan pada periode ini Partai Golkar keluar sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara siginifikan. Pada pemilu tahun itu Golkar adalah peserta baru dalam kontestasi Pemilu diawal Orde Baru. Pemilu pada tahun 1999 merupakan pemilu multipartai pertama setelah berakhirnya Orde Baru. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah peserta pemilu yang terdiri dari 48 partai. Sedangkan untuk perolehan suara di parlemen masih dikuasai oleh partai lama.
Pada grafik 1.4 di atas menjelaskan PDIP sebagai partai lama yang diaktivasi unggul bersama Golkar dalam kontestasi Pemilu 1999. Sedangkan PKB dan PAN sebagai partai baru yang belum mampu menggeser dominasi partai lama.
Pada grafik (1.5) secara komulatif perolehan suara pada periode ini menggambarkan partai-partai baru mendapat tempat di kalangan konstituen. Hal itu ditunjukkan dengan besarnya jumlah suara partai baru secara komulatif dibandingkan dengan komulatif partai lama.
Referensi
edisi 1 | 2010
15
Untuk Pemilu 2004, dominasi Golkar dan PDIP belum mampu digusur oleh kehadiran partai baru. Grafik (1.6) menunjukkan satu-satunya partai pendatang baru yang bisa masuk jajaran lima besar pemenang Pemilu adalah Partai Demokrat.
Pada grafik (1.7) di atas menggambarkan komulatif perolehan suara partai baru tidak signifikan dalam mendulang suara pemilih. Sedangkan untuk partai lama masih mendapat tempat dikalangan konstituen. Pemilu pada tahun 2009 merupakan pemilu multipartai ketiga di era reformasi. Perolehan suara signifikan Partai Demokrat terjadi pada periode ini (lihat tabel 1.6 dan 1.8). Hal itu menunjukkaan bahwa dominasi Golkar dan PDIP mulai tergeser dengan kehadiran Partai Demokrat yang masih tergolong baru dalam kontestasi politik parlemen.
16
edisi 1 | 2010
Referensi
Untuk Pemilu tahun 2009, kehadiran partai baru belum mampu menggeser perolehan suara komulatif partai lama. Dalam tabel (1.9) di samping menunjukkan bahwa perolehan suara partai lama secara komulatif jauh di atas perolehan suara komulatif partai baru.
Merujuk grafik ini, kemunculan partai baru per periode pemilu, lonjakan signifikan terjadi pada Pemilu 1999. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya partai baru sebanyak 43 partai politik yang ikut ambil bagian dalam kontestasi Pemilu 1999. Sedangkan pada tahun 2004 dan 2009 tidak menunjukkan gejala signifikan dalam proses kemunculan partai politik.
Referensi
edisi 1 | 2010
17
Periode kemunculan partai dan kebijakan yang mempengaruhinya
1
No
Pemilu 1955
2
1971
3
1977 - 1997
4
1999
5
2004
6
2009
Kebijakan Partai Maklumat X/Maklumat Mohammad 30-an partai politik dan lebih dari seratus Hatta, 3 November 1945, tentang anjuran daftar kumpulan dan calon perorangan (172 organisasi). Empat besar: PNI (22,3 mendirikan parpol %), Masyumi (20,9%), Nahdlatul Ulama (18,4%), dan PKI (15,4%). UU No UU No 27 Tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No 2 Tahun 1949 tentang Pemilu UU No 7 Tahun 1953 tentang Pemilu UU No 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD
Partai lama: Partai Katolik, PSII, NU->PNU, Parkindo, Partai Murba, PNI, IPKI->Partai Semua kursi IPKI terbagi habis di setiap daerah Partai baru: Partai Muslimin Indonesia, pemilihan Golkar, PERTI UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik Golkar, PPP, PDI Sistem dan Golkar proporsional di daerah pemilihan UU No 2/1999 tentang Partai Politik, UU 2% Partai lama: Golkar->P. Golkar, PPP, PDI, No 3/1999 tentang Pemilihan Umum, dan UU No 4/1999 tentang Susunan Partai baru: 45 partai Kedudukan MPR, DPR, DPRD UU No 12 tahun 2003 tentang Susunan 24 Partai politik 3% dan Kedudukan anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004; UU No 22 tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif; UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden UU No 22 Tahun 2007 tentang 38 Partai politik ditambah 6 partai lokal Penyelenggara Pemilu; UU No 2 Tahun Aceh ET: 2,5 % 2008 tentang Partai Politik; UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan Partai yang tidak Lolos verifikasi KPU PT: 2,5 % DPRD; UU No 42 Tahun 2008 Pemilihan 1.Partai Islam Umum Presiden dan Wakil Presiden; 2. Partai Kristen Demokrasi Indonesia 3. Partai Tenaga Kerja Indonesia 4. Partai Masyarakat madani 5. Partai Pemersatu Nasional Indonesia 6. Partai Republik 7. Partai Bela Negara 8. Partai Nasional Indonesia 9. Partai persatuan perjuangan rakyat 10. Partai Kerakyatan Nasional 11. partai Reformasi demokrasi Partai Politik yang mengundurkan diri karena tidak berbadan Hukum dan HAM 1.Partai Kemakmuran rakyat 2. Partai Islam Indonesia Masyumi
(Diolah dari berbagai sumber)
18
Ambang Batas
edisi 1 | 2010
Referensi
Mardoni Setiawan
sumber : pemilu-online.com
Selintas Tentang Regulasi Partai Politik
Berbagai permasalahan menyelimuti Undang-Undang Partai Politik. Perubahan undang-undang partai politik yang disahkan setiap menjelang pemilu justru sekarang ini semakin mempersempit peluang untuk mendirikan dan mengembangkan partai baru.
kecamatan pada tiap kabupaten/kota yang bersangkutan; (c) Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; (d) mempunyai kantor tetap.
Untuk membangun partai baru ditentukan syarat-syarat teknis sesuai UU, yaitu: (a) Memiliki akta notaris pendirian partai politik sesuai UUD 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya; (b) Mempunyai sekurangnya 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada tiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah
Selain itu, ada kekurangan yang serius tentang kejelasan peraturan dan regulasi. Maka, sudah seharusnya dilakukan penguatan dalam hal regulasi partai politik. Untuk perbandingan, berikut tabel Komparasi dan Trend UU Partai Politik Pasca Reformasi dan Komparasi Trend UU Pemilu Pasca Reformasi:
Referensi
edisi 1 | 2010
19
Komparasi dan Trend UU Pemilu Pasca Reformasi Bab
UU Tahun 1999
UU No 12 Tahun 2003
UU No 10 tahun 2008
KETENTUAN UMUM
(Bab 1, Pasal 1 Ayat 4) Pemilihan Umum dilaksanakan untuk memilih Anggota Dewan Penvakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut DPR, DPRD I, dan DPRD II, kecuali untuk Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
(Bab 1, Pasal 1, Ayat 1) Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(Bab I, Pasal 1, Ayat 1) Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
PENYELENGGARAAN DAN ORGANISASI
(Bab III, Pasal 8, Ayat 2) Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur partai‑partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah. yang bertanggung jawab kepada Presiden.
(Pasal 1 Ayat 3) Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, untuk menyelenggarakan Pemilu.
(Pasal 1, Ayat 6) Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(Pasal 9, Ayat 1) Keanggotaan KPU terdiri dari 1 (satu) orang Wakil dari masing‑masing Partai Politik peserta Pemilihan Umum dan 5 (lima) orang wakil Pemerintah.
(Bab IV, Pasal 19, Ayat 1) Calon anggota KPU diusulkan oleh Presiden untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditetapkan sebagai anggota KPU.
(Bab VII, Pasal 39, Ayat 1 (a,b,c,d) Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat‑syarat sebagai berikut
(Pasal 7, Ayat 1 (a,b,c,d) Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat:
SYARAT KEIKUTSERTAAN DALAM PEMILIHAN UMUM
(Bab III, Pasal 8, Ayat 1 (a,b,c,d,e) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. Diakui keberadaannya sesuai a. Diakui keberadaannya sesuai a. Berstatus badan hukum dengan Undang‑undang tentang dengan Undang-undang Nomor sesuai dengan UndangPartai Politik; 31 Tahun 2002 tentang Partai Undang tentang Partai Politik; Politik; b. Memiliki pengurus di lebih dari b. Memiliki pengurus lengkap b. Memiliki kepengurusan 1/2 (setengah) jumlah propinsi di sekurang-kurangnya di 2/3 (dua di 2/3 (dua pertiga) jumlah Indonesia; pertiga) dari seluruh jumlah provinsi; provinsi;
20
edisi 1 | 2010
Referensi
Bab
UU Tahun 1999
UU No 12 Tahun 2003
UU No 10 tahun 2008
c. Memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/ kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;
c. Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/ kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
c. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik
d. Memiliki anggota sekurangkurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;
d. Menyertakan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
(Pasal 39 Ayat 3) Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang‑kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang‑kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.
(Pasal 9 Ayat 1 (a,b,c) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:
e. Memiliki anggota sekurangkurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
a. Memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;
(Pasal 8, Ayat 2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
b. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di ? (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ? (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Referensi
edisi 1 | 2010
21
Bab DANA KAMPANYE
22
UU Tahun 1999
UU No 12 Tahun 2003
UU No 10 tahun 2008
(Bab IX, Pasal 48, Ayat 1 (Pasal 78, Ayat 1 (a,b)) (a,b,c,d)) Dana kampanye Pemilu dapat Dana kampanye Pemilihan Umum diperoleh peserta Pemilu dari: masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat diperoleh dari :
(Bab VIII, Bagian Sepuluh, Pasal 129, Ayat 2 (a,b,c)) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
a. Partai Politik Peserta Pemilihan a. Anggota Partai Politik Peserta Umum yang bersangkutan; Pemilu yang bersangkutan termasuk calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
a. partai politik; b. Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota dari partai politik yang bersangkutan; dari. c. Sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
b. Pemerintah. yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
b. Pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi badan hukum swasta, atau perseorangan, baik yang disampaikan kepada Partai Politik Peserta Pemilu maupun kepada calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(Pasal 131, Ayat 1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
c. Pihak‑pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi badan‑badan swasta, perusahaan. yayasan, atau perorangan.
(Pasal 78, Ayat 2) Sumbangan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan dari badan hukum swasta tidak boleh melebihi Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(Pasal 131, Ayat 2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
edisi 1 | 2010
Referensi
Arief Rahman Hakim
sumber : http://asiapacific.anu.edu
Thai Rak Thai: Antara Uang, Program, dan Pencitraan
Thailand adalah salah satu negeri dengan dinamika politik yang tinggi, termasuk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peristiwa berbagai serial kudeta militer dan pergantian kekuasaan silih berganti terjadi di Thailand. Berbagai kelompok politik lahir sebagai resultan dari berbagai macam konflik maupun dinamika politik tersebut, salah satunya adalah Partai Thai Rak Thai. Tulisan ini akan mengkaji faktor-faktor yang membuat Partai Thai Rak Thai menjadi sebuah kekuatan yang signifikan dalam panggung politik Thailand dengan memenangkan pemilu 2001. Sebuah kemenangan yang kemudian akan menjadi fondasi Partai Thai Rak Thai dalam memenangkan pemilupemilu berikutnya.
Sejarah Thai Rak Thai Thai Rak Thai (ไทยรักไทย, lit. Thais Love Thais: TRT) dinyatakan sebagai partai terlarang pada 30 Mei 2007 oleh Mahkamah Konstitusi Thailand karena melakukan pelanggaran Undang Undang Pemilu pada pemilu legislatif 2006. Dalam kurun waktu 2001-2006, TRT adalah rulling party di bawah pimpinan Thaksin Shinawatra sekaligus sebagai Perdana Menteri saat itu. Partai TRT secara resmi berdiri pada 15 Juli 1998 diketuai oleh Thaksin Shinawatra, seorang entrepreneur bidang telekomunikasi bersama dengan 22 orang pendiri lainnya. Partai TRT sangat dikenal sebagai partai yang memiliki platform populis terutama bagi masyarakat urban, khususnya masyarakat petani yang terjerat utang pada saat krisis finansial Asia pada tahun 1997.
Referensi
edisi 1 | 2010
23
Dihitung dari tahun didirikannya, TRT dibawah kepemimpinan Thaksin hanya membutuhkan waktu 3 (tiga) tahun untuk menjadi partai yang paling sukses di Thailand. Antara tahun 2001 dan 2006, Shinawatra bersama TRT memenangkan 3 (tiga) pemilihan umum. Pada pemilu 2001, TRT memenangkan 248 dari 500 kursi di parlemen (McCargo, 2002:248). Sedangkan pada pemilu 2005 TRT berhasil meraup 377 dari 500 suara. Basis dukungan utamanya adalah Thailand bagian Selatan. Terlepas dari perilaku pemerintahan Thaksin yang korup serta seringnya penggunaan kekerasan dalam menangani pemberontak Muslim di Thailand Selatan, kemenangan Thaksin dan Thai Rak Thai dalam 3 pemilu tersebut menarik untuk dikupas. Strategi dan Taktik Pemenangan TRT Kemenangan TRT sampai saat ini memang masih menjadi perdebatan apakah ia adalah resultan dari keterampilan politik partai dalam menghasilkan kebijakan dan program yang jitu yang berhasil mengkristalisasi kepentingan pemilih (McCargo, 2002:253), atau kesuksesan TRT tak lebih karena kekuatan modal, dimana keberhasilan TRT sangat diwarnai money politic, jual beli suara, dan patronase (Kengkit, 2006:95-6). Dilihat dari aspek kewilayahan, salah satu battle field dalam perebutan suara pemilih adalah di bagian timur-laut atau yang biasa disebut “Isan”. Secara geopolitik, Isan sangatlah krusial dalam perebutan suara pemilih karena di disana berdiam sepertiga dari 60 juta penduduk Thailand, sekaligus menjadi daerah asal dari sebagian besar anggota parlemen. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, tidak pernah ada satupun partai yang bisa memonopoli dominasi perolehan suara di daerah Isan secara jangka panjang. Meskipun TRT adalah partai baru dalam pemilu 2001, namun TRT telah difavoritkan menjadi pemenang karena keberhasilannya dalam merangkul anggota lama parlemen dari hasil pemilu periode sebelumnya. Pada pemilu 2001, 189 anggota lama parlemen bergabung ke TRT (lihat tabel 1). Keberhasilan TRT dalam merangkul anggota lama parlemen salah satunya disebabkan faktor uang. Menurut Case (2001: 536-7), TRT mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membuat anggota lama parlemen menyeberang ke TRT. Disamping itu, TRT juga memberikan fasilitas tunjangan bulanan dan dana kampanye cuma-cuma bagi anggota lama parlemen tersebut (Matichon Sutsapda, 21 Maret 2000, dalam Ockey, 2003:678). Dalam merangkul kandidatkandidat tersebut, TRT sangat memperhatikan latar belakang serta prestasi politik dari masing-masing anggota parlemen.
24
edisi 1 | 2010
Table 1. TRT Candidates for the 2001 General Election MP returned MPs returned in other in 1996 previous elections Party list 31 16 Constituency 86 56 Total 117 72
Total 47 142 189
Sumber: dikutip secara penuh dari :Matichon Sutsapda [Matichon Weekly], 11 Desember 2000 dalam Ockey, 2003:678.
Pada saat bersamaan, sedang terjadi kekecewaan di kalangan masyarakat Thailand terhadap Partai Demokrat karena keputusannya untuk bekerjasama dengan IMF dalam mengatasi krisis 1997 yang kemudian dianggap tidak mengatasi permasalahan ekonomi nasional. Kekecewaan terhadap pemerintahan Chuan Leekpai dan Partai Demokrat membuat masyarakat Thailand mencari alternatif politik, dan harapan inilah yang dibayar lunas oleh TRT. Dalam rangka memenangkan pemilu, Thaksin tidak hanya memanfaatkan kaum kaya perkotaan, namun juga kaum miskin desa. Selama krisis ekonomi melanda Thailand, Thaksin menjadikan kaum miskin desa sebagai titik tumpu setiap agenda politiknya. Dalam paruh awal 1990an, terjadi banyak protes dari kalangan petani, khususnya di Isan. Protes petani tersebut sebenarnya mereda pada pertengahan 1997, namun hantaman krisis asia membuat protes tersebut membara kembali. Pada bulan Mei 2008, ribuan petani isan yang terjerat utang mengorganisir sebuah protes akibat kebijakan pemerintahan Chuan Leekpai yang memberikan keistimewaan dengan memberikan dana hasil pinjaman sebesar 700 miliar Baht kepada perusahaan-perusahaan besar yang terjerat utang. Situasi ini memicu kecemburuan sosial, terutama terhadap para petani yang juga terjerat utang. Mereka beranggapan jika pemerintah bisa membantu perusahaan besar yang terjerat uang, maka utang para petani pun juga harus dibantu. Muncullah tuntutan dari para petani untuk meminta moratorium utang selama lima tahun terhadap Bank of Agriculture dan Koperasi Pertanian, serta menuntut keberadaan Dana Rehabilitasi Petani untuk membantu meringankan para petani yang terjerat utang serta sebagai modal untuk usaha komunitas. Thaksin kemudian dengan cepat mengkapitalisir situasi tersebut. Pada awal tahun 2000, dia mengadopsi tuntutan petani mengenai moratorium uang sebagai salah satu program kampanyenya. Belakangan Thaksin mengembangkan
Referensi
Chart 1. Thaksinomic Model in Winning Vote by Populist Scheme Financed by Tax from Middle Class People
Sumber: Pongsak Hoontraku l(2006),” An Update on Thailand’s Political Leadership in Transition”. Mimeo, hal.3. kebijakan-kebijakan populis lainnya seperti: dana bergulir sebesar satu juta baht untuk masing-masing desa dan komunitas di seluruh Thailand, serta 30 baht untuk setiap pemeriksaan dan pengobatan kesehatan1. Kebijakan Thaksin ini kemudian semakin diterima oleh khalayak. Pencitraan Thaksin Keberhasilan TRT dalam memenangkan pemilu 2001 tidak bisa dilepaskan dari peran Thaksin sebagai seorang enterpreneur. Thaksin Shinawatra—seorang keturunan keluarga SinoThai— sempat mengenyam pendidikan di akademi polisi dan meraih pangkat letnan kolonel sebelum akhirnya mengubah haluan menjadi pengusaha dan politisi. Karir bisnisnya bermula dari penunjukkan dia sebagai penyedia komputer secara monopoli untuk kepolisian Thailand. Kekuatan monopolinya kemudian berkembang dan menjalar ke bidang telepon seluler dan media. Dengan dukungan media, jaringan, dan modal yang besar.
membangun pencitraan atas dirinya sebagai pemimpin yang mengakomodir kepentingan kaum miskin pedesaan. Programprogram populis atau yang biasa dikenal dengan Thaksinomic memang sengaja didesain untuk meningkatkan daya beli masyarakat pedesaan, antara lain: 1. Moratorium utang selama 3 (tiga) tahun untuk petani. Program ini didukung dengan menggalakkan perluasan kredit secara ekstensif dengan memanfaatkan dana dari bank pemerintah. 2. Memberikan subsidi solar dan diesel, termasuk juga subsidi rumah, taksi, dan asuransi. 3. Skema OTOP (One Tambon One Product) untuk meningkatkan produktivitas masyarakat2. 4. Serta gencar membangun mega proyek 2
Melalui program-program populisnya, Thaksin mampu 1
Lihat Pasuk dan Baker (2004: 81-2)
Referensi
Kebijakan ini dirancang Thaksin tidak hanya untuk memperluas akses masyarakat miskin pedesaan terhadap pasar, namun lebih dari itu, untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin pedesaan untuk menjadi pelaku pasar dengan memproduksi satu produk khas dari masing-masing Tambon (sub distrik, atau kecamatan).
edisi 1 | 2010
25
sumber : http://asiapacific.anu.edu
Kesimpulan:
Referensi:
Kemenangan Thai Rak Thai pada pemilu 2001 adalah sebuah resultan dari kerja politik yang didukung kemampuan untuk memobilisir jaringan, media massa, modal. Di sisi lain, keunggulan resources tersebut juga didukung kemampuan untuk memanfaatkan momentum serta mengkapitalisir isu maupun konflik yang berkembang di masyarakat Thailand pasca krisis 1997.
Case,W. (2001), “Thai Democracy, 2001: Out of Equilibrium”, Asian Survey, 41, 3, hal.525-47
***
McCargo, D. (2002), “Thailand’s January 2001 General Election : Vindicating Reform?”, dalam McCargo, D (ed.), Reforming Thai Politics, Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies Press, hal. 247-60. Kengkit Kitiriannlap (2006) ‘‘Prachaniyom thai rak thai: wikrit thuniyom rat lae kantawsu thang chonchan’’ [Thai Rak Thai’s Populism: Capitalism in Crisis, State and Class Struggle], Rathasat Sarn [Political Science], 27, 2, hal. 73101. Ockey, J. (2003) ‘‘Change and Continuity in the Thai Political Party System,’’ Asian Survey, 43, 4, hal. 663-80. Phatharathananunth, Somchai, “The Thai Rak Thai Party and Elections in North-eastern Thailand”. Journal of Contemporary Asia Vol. 38, No. 1, February 2008, hal. 106 – 123.
26
edisi 1 | 2010
Referensi
Jakfar S Fauvis
sumber : www.libertymagazine.org
Pembelajaran dari Kebangkitan Partai Politik Baru di Eropa
Saat perang dingin berakhir wajah politik dunia telah berubah. Perubahan itu ditandai dengan robohnya patung Lenin dan runtuhnya tembok Berlin, menjadi akhir dari terbelahnya dua arus besar ideologi yang terus berusaha saling menjatuhkan. Reruntuhan puing perang ideologi mengantarkan umat manusia pada hamparan luas pertarungan ideologi. Kini, hal itu bukan lagi menjadi paling penting dan dominan. Tetapi, bagaimana membangun demokrasi sebagai jalan utama untuk mencapai kesejahteraan di dunia.
Demokrasi yang sejatinya bermakna bahwa komunikasi menjadi pilihan pertama dipelbagai negara yang baru saja meruntuhkan rezim otoriter. Pelaksanaan demokrasi seperti menjadi keniscayaan bagi banyak negara di Eropa, Amerika Latin, Amerika Tengah, Afrika, hingga ke Asia. Demokrasi mampu membuat perubahan besar pada konsep dan praktek politik diberbagai negara. Baik itu negara yang baru menjalankan demokrasi atau negara yang telah melakukan pergulatan demokrasi selama ratusan tahun. Lalu,
Referensi
edisi 1 | 2010
27
sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki, http://rnw.nl, www.smev.de dan http:// farm1.static.flickr.com
memutuskan bahwa demokrasi menjadi pilihan terbaik untuk semua masyarakatnya. Kemungkinan masyarakat untuk mendirikan partai politik baru sebagai saluran aspirasi kian terbuka. Jika partai politik lama tidak lagi mampu mewadahi ide dan banyaknya ruang kosong yang ditinggalkan oleh partai politik lama yang mengalami stagnasi, maka akan kesulitan melakukan komunikasi politik dengan masyarakat sebagai pemegang tertinggi demokrasi. Partai politik sebagai pilar utama bangunan demokrasi memang harus secara terus menerus melakukan penggalian terhadap nilai-nilai baru dan memberi garis pemisah antara partai yang satu dengan partai lainnya. Dibanyak negara, kehadiran partai politik baru menjadi fenomena karena mampu menjadi pemenang pemilu. Stagnasi yang dialami oleh partai lama dan konservatifisme yang menggerogoti struktur partai membuat partai-partai lama tergerus oleh kemajuan zaman dan perkembangan masyarakat yang semakin sadar akan hak-hak politiknya. Program partai lama yang tidak dijalankan secara konsisten membuat massa pemilih dengan mudah bermigrasi dari satu partai ke partai lain. Kelahiran partai politik baru bisa bermakna ganda. Pertama, banyaknya tuntutan yang tidak terakomodasi melalui parpolparpol yang sudah ada, baik secara ideologi dan platform partai ataupun turunan program yang tidak menyentuh
28
edisi 1 | 2010
rakyat. Kedua, kegagalan individu untuk bertarung dalam internal partai, lalu meninggalkan partai karena dianggap sudah tidak mampu mewadahi perbedaan antar elit partai. Ketiga, hasrat memburu kekuasaan yang begitu kuat. Namun, tidak memiliki wadah atau instrument yang menggerakkan ide dan program. Hal lain yang tidak kalah penting adalah tidak berjalannya reformasi di internal partai, agar mampu memberikan ruang seluas mungkin kepada kader terbaik dan transformasi manajemen dari politik patron menjadi politik kolektif yang tidak tergantung pada satu tokoh saja. Kehadiran partai politik baru juga mengindikasikan ada persoalan serius sehingga dengan mudah ditinggalkan oleh kader-kader terbaiknya. Forza Italia dan UMP Perancis Dua bulan sebelum pemilu tahun 1994, Silvio Berlusconi yang berlatar belakang seorang Bankir dan pengusaha media terbesar di Italia memasuki dunia politik dengan mendirikan partai politik bernama Forza. Pemilu 1994 merupakan pemilu pertama bagi Forza. Alhasil, Forza langsung menang pada pemilu tersebut dan mengantarkan Berlusconi menjadi perdana menteri Italia. Sebuah pencapaian fenomenal yang belum tentu mampu dilakukan oleh partai politik di negara manapun. Apalagi Italia merupakan Negara yang telah lama bergulat dan menggali nilai-nilai demokrasi. Bahkan, Italia
Referensi
pernah berada di bawah kekuasaan fasis Musolini yang lahir dari proses demokrasi ketika itu dan kemudian membawa Italia mengingkari demokrasi. Kemenangan Forza yang fenomenal ini tentu perlu dilihat bukan hanya karena partai ini membawa nilai yang berbeda dari partai-partai politik di Italia saat itu. Tetapi disebabkan oleh banyak faktor pendukung. Faktor pertama, hilangnya kekuatan dua partai terbesar Italia pada awal tahun 1990an, yaitu Kristen Demokrat (Democrazia Cristiana) dan Partai Sosialis (Partito Socialista Italiano). Skandal Mani Pulite adalah skandal yang menyebabkan hilangnya kekuatan dua partai besar Italia itu akibat tuduhan korupsi terhadap tokoh dan banyak anggota utama kedua partai tersebut. Tak dinyana, ternyata kemenangan diraih oleh Forza. Kemenangan Forza itu menganulir segala pendapat orang bahwa pemilu akan dimenangkan oleh Partai Demokratis Kiri (sebelumnya: Partai Komunis Italia) dan partai oposisi utama serta sekutu-sekutu dari koalisi Progresif. Skandal korupsi dan sumber : www.a7.idata.over blog.com ketakutan akan kemenangan komunisme inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Berlusconi dan dijadikan sebagai platform politik. Faktor kedua, bangunan aliansi yang digalang oleh Berlusconi merupakan aliansi pragmatis hanya untuk memenangkan pemilu. Dua aliansi pemilihan terpisah dengan Liga Utara di sekolah-sekolah tinggi Italia Utara. Memasuki kampus partai yang memiliki legitimasi dari intelektual dan dengan pascafasis Aliansi Nasional di tengah dan di selatan. Dalam suatu langkah yang pragmatis, ia tidak mengadakan persekutuan dengan Aliansi Nasional di Utara, karena Liga tidak menyukai mereka, Forza Italia kemudian bersekutu dengan kedua partai itu yang tidak bersekutu satu sama lain. Faktor ketiga, adanya tren baru dan perubahan gerak demokrasi di Eropa yang kemudian diterapkan oleh Forza Italia yaitu penggunaan media massa dan iklan politik sebagai kekuatan utama untuk melakukan kampanye. Sebagai pemilik tiga jaringan televisi nasional dan jaringan media terbesar di Italia Berlusconi melakukan kampanye besar-besaran selama menjelang pemilu. Ini bertolak belakang dengan partai politik modern di Eropa yang lebih mengedepankan pendekatan akar rumput (voters) yang terorganisir dengan manajemen modern.
Faktor keempat, kemampuan membaca psikologi masyarakat Italia yang mengalami kejenuhan dan bosan dengan namanama seperti Liberal, Sosialis, Kristen Demokrat, atau Sosial Demokrat. Berlusconi kemudian masuk ke ranah privat dengan mengatakan bahwa Forza mendukung kebebasan, individu, keluarga, usaha, tradisi Italia, tradisi Kristen dan cinta-kasih bagi orang-orang yang lemah. Faktor kelima, Forza tidak melakuan identifikasi diri melalui identitas ideologi yang hanya memiliki segmen pemilih tertentu, karena bangunan partai ini benar-benar disiapkan hanya untuk memenangkan pemilu. Pengaburan identitas partai ini kemudian ditutupi dengan personalisasi partai politik atau lebih mengedepankan tokoh utama partai yaitu Berlusconi. Ini terlihat dengan tidak adanya demokrasi di internal partai atau tidak ada faksi yang berusaha saling bersaing dalam konvensi partai. Setiap orang di dalam perangkat partai ditunjuk oleh Berlusconi sendiri. Di Perancis, Union pour un Mouvement Populaire (UMP) partai politik tengahkanan yang didirikan oleh Jacques Chirac pada tahun 2002, untuk menjadi kendaraan politik pada kampanye pemilihan presiden 2002 dan penyokong pemerintahan Chirac. Hal ini terjadi dibebabkan para pendukung Presiden Chirac yang terbagi dalam tiga partai parlemen sayap kanan yang kemudian mendirikan asosiasi bernama Uni di Move (Uni en Mouvement) yang menjadi cikal bakal UMP. Pada tahun yang sama Chirac kembali terpilih sebagai presiden Perancis dan UMP resmi dijadikan sebagai organisasi permanen (partai politik) bukan lagi sekadar organisasi payung bagi pendukung Jacques Chirac. UMP yang lahir dari pertemuan empat tradisi utama politik Perancis Gaullisme Konservatif Republik (RPR), Liberal konservatif-liberal Demokrasi (DL), Kristen Demokrasi (Popularism) dan Radikalisme. Tahun 2004, UMP melakukan perubahan setelah popularitas Jacques Chirac terpuruk dan mundurnya Ketua Umum UMP Alain Juppé. merupakan pendukung dan rekan dekat Chirac. Alain Juppe didakwa korupsi politik pada bulan januari pada tahun yang sama. Jean-Pierre Raffarin seorang tokoh yang berasal dari faksi RPR memimpin sebagian besar anggota UMP untuk mendukung Nicolas Sarkozy yang merupakan saingan Chirac dalam internal Partai. Gerak cepat UMP untuk mengganti tokoh utama partai menjadikan proses demokrasi
Referensi
edisi 1 | 2010
29
dalam tubuh UMP berjalan dinamis dimana terjadi silang pendapat antar faksi yang mendirikan UMP. Serangkaian kekalahan pada pemilihan gubernur diberbagai wilayah menjadi faktor eksternal yang memaksa UMP melakukan perombakan struktur partai. Pemilihan Sarkozy sebagai ketua umum UMP yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan merupakan bagian dari persiapan UMP untuk menghadapi pemilihan presiden dan meneruskan kepemimpinan UMP sebagai partai terbesar yang sebelumnya mampu mengantarkan Chirac menjadi presiden. Pada pemilu tahun 2007 Sarkozy menang atas calon dari partai Sosialis Perancis bernama Calon Ségolène Royal dengan 53,1% suara pada pemilu presiden 2007. Kemenangan ini kemudian mendongkrak perolehan suara UMP pada pemilu legislatif yang dilaksanakan pada bulan juni 2007 dengan perolehan suara 313 dari 577 kursi. Kemenangan Sarkozy dan UMP pada pemilu 2007 tidak terlepas dari kondisi ekonomi dan politik Perancis yang sedang bergolak dengan isu lapangan kerja, masalah imigran, dan pertumbuhan ekonomi Perancis yang merosot. Pertumbuhan ekonomi Perancis yang tumbuh 2,3 % pada tahun 2006, dengan prediksi pertumbuhan yang tidak akan mencapai diatas 2 % persen pada tahun 2007 membuat pengangguran sangat besar di Perancis. Ditambah lagi terdapatnya gejala pemindahan pabrik (delokalisasi) ke kawasan Eropa Timur kian tak terbendung, karena tingginya upah tenaga Kerja di Perancis. Politik Perancis yang selama berabad dikenal ramah terhadap imigran seolah menemukan titik didihnya yang mengakibatkan kerusuhan terjadi diberbagai kota seperti di Lyon, Toulouse, Marseille, dan Lille. Peristiwa ini merupakan kerusuhan terburuk setelah revolusi (modern) ala mahasiswa tahun 1968. Kerusuhan yang terjadi mencerminkan keretakan sosial yang akut akibat gagalnya proses integrasi para imigran generasi kedua yang umumnya berasal dari Arab dan Afrika Utara. Peristiwa itu salah satu alasan kegagalan kepemimpinan Chirac dan keberhasilan Sarkozy sebagai Menteri dalam negeri yang berhasil memadamkan kerusuhan. Rasa aman dan perbaikan ekonomi yang sedang terpuruk itu yang kemudian yang menjadi tema kampanye Sarkozy.
pemilih yang plural cenderung tidak mengidentifikasi diri secara ideologis karena pilihan menjadi partai ideologis akan mensegmentasi pemilih partai tersebut. Menjadi partai tengah merupakan pilihan paling tepat agar bisa masuk keseluruh segmen pemilih. Hal ini berbeda dengan politik Amerika Latin yang mengidentifikasi diri dengan ideologi jelas karena telah melakukan pengorganisasian dalam jangka waktu yang lama. Pembelajaran yang tak kalah penting dari kebangkitan partaipartai politik baru di Eropa adalah melakukan terobosan dalam pendekatan dan komunikasi politik yang mengemas isu dan program agar lebih mudah diterima oleh pemilih. Berbeda dengan partai lama yang cendrung konservatif dalam hal pendekatan atau komunikasi politik. Tentu, kebangkitan partai-partai politik baru akan terus menjadi harapan untuk menggerakkan demokrasi dan sepenuhnya mampu memenuhi hak politik serta membuka katup-katup kesejahteraan masyarakat yang tertutup. *** Daftar Bacaan Samuel P Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Jakarta: Qalam, 2002) Dedy N. Hidayat, Pengantar Buku Iklan Politik TV (Jakarta: LKIS, 2009) Matt Frei, Italy The Unifished Revolution (Sinclair-Stevenson, 1997) Hafied Canagara, Komuniskasi Politik; Konsep, Teori dan Strategi ( Jakarta: Rajawali Press, 2009) Erika, Perancis dan kebijakan Imigrasi Uni Eropa, makalah untuk mata kuliah Hubungan Internasional di Universitas Indonesia (2009)
Epilog Kebangkitan partai-partai politik baru tidak terlepas dari liberalisasi politik yang berarti juga terjadinya personalisasi politik. Dimana partai politik lebih menyandarkan perolehan suara pada tokoh atau simbol partai untuk mampu memenangkan pemilih. Hal itu dilakukan oleh Forza Italia dan UMP Perancis yang bersandar pada Popularitas Berlusconi, Chirac, dan Sarkozy. Disisi lain, partai baru di negara dengan
30
edisi 1 | 2010
Referensi
KOLOM Politik, Partai Politik, dan Budaya Politik
Kenyataan bahwa partai politik masih menjadi sentral dalam pembicaraan politik dan budaya politik haruslah diikuti dengan kenyataan lain bahwa golongan putih masih menjadi kelompok yang penting dalam politik. Ini menjadi salah satu hal yang terabaikan dalam pembicaraan politik setelah usai pemilu. Partai politik dan Kebutuhan Politik Sudarmoko (Dosen Tamu Dept. of Malay-Indonesia Interpretation and Translation HUFS Yongin, Korea)
Membicarakan politik sekarang ini sudah menjadi bagian dari kehidupan hampir semua orang. Simpang siur arus perpolitikan menjadi menu yang tak terbendung lewat media massa. Karena itu, apapun profesi Anda, membicarakan politik adalah hal yang lumrah. Tulisan singkat ini ingin mempertanyakan sejumlah hal yang sederhana. Meski demikian, hal yang sederhana ini mungkin saja terlewatkan dalam gemuruh isu-isu politik yang sangat cepat dan masif berlangsung. Pada titik tertentu, diperlukan sedikit ruang untuk melihat dan mempertanyakan hal-hal yang kecil seperti ini. Diskusi yang dihadirkan di sini berkisar pada masalah hubungan partai politik, budaya politik, dan pentingnya membangun partisipasi masyarakat dalam dunia politik.
Untuk memasuki akses kekuasaan, katakanlah dalam sebuah sistem demokratis, partai politik memegang peran yang cukup penting. Dengan partai politik, proses kekuasaan berlangsung dan mendapat pengakuan. Permainan ini dibuat dengan alasan yang jelas, ada peraturan, ada proses dan pelibatan, ada pemeran, ada saksi, dan bahkan ketersediaan dana yang tidak main-main. Ini semacam seni pertunjukan nyata dalam sebuah sistem. Dulu, partai politik pernah dikenal kekuatannya ketika Orde Baru berkuasa. Menggunakan Golkar melakukan intimidasi, ancaman, dan paksaan untuk kemenangannya. Terutama bagi para pegawai negeri, BUMN, atau yang berhubungan dengan pemerintah. Rahasia umum tergelar di depan mata. Dan pemilihan umum hanya menjadi sebuah drama amatiran, dengan sebutan pesta demokrasi. Mereka yang memilih untuk dua partai lainnya, PPP dan PDI, hanyalah sekelompok orang yang benar-benar tidak berurusan dengan pemerintahan, yang tidak berhasil dijangkau oleh kekuasaan. Partai politik bukan sebuah kebutuhan yang riil bagi sebagian orang. Karena kita belum mendapatkan gambaran bagaimana partai politik berperan sebagaimana mestinya. Ideologi yang dibangun hanya kamuflase, untuk menarik simpati dan suara. Beberapa partai politik yang memiliki ideologi, memang mulai tumbuh, mengakar kuat pada kadernya. Inilah mungkin nanti yang akan menjadi tonggak bagi proses demokrasi yang sebenarnya, memerankan diri sebagai partai politik dalam arti yang sesungguhnya. Tidak semua masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap partai politik. Pertanyaan pandangan atau afiliasi partai politik tidak secara nyata ditunjukkan oleh sebagian masyarakat. Karena itu, partai politik bisa saja
Referensi
edisi 1 | 2010
31
mendapatkan jumlah pendukung yang besar pada satu masa, tetapi akan mendapatkan sedikit pendukung pada masa yang lain. Belum lagi ditambah kenyataan jumlah partai politik baru, yang berebut mendapatkan konstituen atau penggemar.
Sayang sekali, hingga saat ini kondisi seperti itu masih belum terlihat. Partai politik tidak mengetahui dengan persis apa yang diinginkan oleh para pendukungnya, hanya menggunakan perkiraan-perkiraan, asumsi-asumsi, yang bahkan hanya diinstruksikan oleh para elit partai untuk kepentingan yang terbatas. Idealnya, proses kebijakan dalam dua lembaga itu didasarkan pada survei, penelitian, penjaringan, dan proses yang berakar dari masyarakat. Hingga tak heran kita jumpai banyak kebijakan yang mengecewakan banyak kalangan. Partai politik dan Masyarakat Sebagai sebuah medium aspirasi masyarakat, partai politik seharusnya mampu berperan penting dalam menyalurkan kepentingan rakyat. Ada beberapa hal yang menjadi fenomena dalam masyarakat di sekitar saya berkaitan dengan partai politik ini. Dalam lingkup yang kecil, ternyata partai politik menjadi sebuah sarana yang diyakini mampu membawa sebagian kecil orang untuk duduk dalam lembaga legislatif.
32
edisi 1 | 2010
sumber : politikana.com
Gejala ini dapat dilihat sebagai sebuah kenyataan dalam dunia perpolitikan kita. Termasuk di dalamnya kematangan budaya politik, proses perpolitikan, dan juga yang lebih luas iklim demokrasi dengan partai politik sebagai salah satu elemennya. Bagi partai politik, terutama yang mendapatkan suara dan wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif, jumlah konstituen ini dapat dijadikan parameter dalam proses yang berlangsung. Mereka, sebagai wakil masyarakat, hendaklah menyuarakan kepentingan yang luas.
Ini sebuah fenomena yang menarik dalam karir atau keinginan untuk mendapatkan posisi yang strategis. Kedua adalah terkotaknya masyarakat karena perbedaan partai politik. Meski dalam konsep idealnya partai politik hanya berbeda dalam nama atau jenis partainya, ternyata ini membawa perpecahan, dalam beberapa kasus, memecah belah persatuan dan keharmonisan bermasyarakat. Ketiga, harapan akan partai politik di tingkat yang lebih kecil, ternyata tidak sekeras perdebatan atau perbedaan seperti yang ditunjukkan oleh elite partai. Partai politik lebih sering abai dengan kepentingan masyarakat pendukungnya. Saya tidak tahu persis bagaimana sistem penjaringan aspirasi oleh para legislator dari masyarakat bawah untuk kemudian dibawa pada proses di tingkat legislatif itu. Yang nyata, banyak kebijakan yang didasarkan pada logika si wakil rakyat, menurut mereka itu sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Jadilah berlaku istilah mengukur isi perut orang dengan perut kita, mengukur ukuran baju orang dengan ukuran badan kita. Kemunculan Partai Baru Ada kesan tidak puas dengan jumlah dan kehadiran partai politik kita. Karena itu muncul partai politik baru, terutama menjelang pemilu. Atau juga untuk menyiasati keikutsertaan dalam pemilu, karena tidak berhasil memperoleh syarat minimal
Referensi
pada pemilu sebelumnya. Apakah ini bagian dari siasat belaka? Atau adakah memang kemunculan partai politik baru ini sebagai wujud ketidakpuasan terhadap partai politik yang telah ada sebelumnya?
bersama, yang dibangun dan direncanakan secara utuh. Sehingga, partai politik dan para legislator yang menjadi bagian penting dalam mengawal dan menilai pembangunan dapat berjalan untuk meraih keinginan itu.1
Kesan kuat dari kemunculan partai politik ini memang beragam. Lihat misalnya partai politik yang muncul belakangan: Partai Demokrat, Partai Hanura, dan Partai Gerindra. Sosok-sosok yang berada di belakang masing-masing partai; SBY, Wiranto, dan Prabowo. Sebelumnya dua nama belakangan ini masuk dalam jajaran Partai Golkar. Namun, setelah terjadi beberapa peristiwa penting, di antaranya pemilihan di dalam diri Golkar dalam jalur konvensi untuk mengusung calon presiden, keduanya tersingkir. Dan lalu membentuk partai baru. Jumlah suara yang diraup cukup signifikan untuk memasukkan kadernya dalam lembaga legislatif. Ketiga partai itu termasuk partai politik baru yang berhasil.
Budaya politik kita masih mencita-citakan itu. Ambil saja satu kasus, misalnya pendidikan. Sebagai salah satu bidang yang sangat penting, pendidikan masih saja menghadapi banyak masalah. Pada tingkat implementasi, memang kita bisa belajar banyak tentang kekurangan yang ada dalam bidang pendidikan. Bahkan, hampir dipastikan seluruh anggota partai politik, pemerintahan, dan semuanya pernah mengenyam pendidikan hingga ke tingkat universitas. Tapi kenyataan bahwa pada tingkat kebijakan pun, pendidikan masih diperdebatkan, bukan pada pencarian solusi, tapi berkutat pada anggaran, proyek pengadaan, dan sebagainya. Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana sistem pendidikan, pengadaan guru, fasilitas pendidikan, dan lingkungan pendidikan dapat lebih baik pada sekian tahun yang akan datang.
Apa setelah pemilu? Kinerja partai politik setelah pemilu adalah satu persoalan yang paling menonjol. Tak ada agenda partai yang jelas sebagai bagian dari lembaga atau institusi sosial dan politik yang berperan dalam masyarakat. Pemilu menjadi satusatunya tujuan dan program bagi partai politik. Inilah satu kelemahan dalam budaya partai politik di Indonesia. Seakan, begitu selesai pemilu, partai politik yang menang mendapatkan angin segar dan kekuasaan. Mereka kemudian merasa bahwa segalanya sudah di tangan. Bagi partai yang kalah, mereka berhenti, lalu mengatur dan menunggu dan menggalang kekuatan untuk mendapatkan suara pada pemilu berikutnya. Para pemilih, konstituen itu, hanya menjadi penonton yang ditinggalkan oleh para pemain. Mereka hanya dibutuhkan sebagai salah satu syarat dalam permainan pemilu. Dihitung, didaftar, diajak datang ke TPS, diajak menyoraki partai, dan lalu ditinggalkan begitu pesta usai. Arti Penting Partai Politik Partai politik perlu dan penting dalam menjalankan mesin demokrasi. Itu sudah menjadi kesadaran kita bersama. Demikian juga praktik yang terjadi di Indonesia, dengan segala dinamika partai politiknya. Tapi yang menjadi masalah adalah partai politik dalam hubungannya dengan budaya politik. Rencana besar negara yang dirumuskan dalam (dulu) Pelita dan Repelita atau pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang (RPJM, RPJP) haruslah diutamakan. Design pembangunan ini menjadi acuan bagi seluruh lembaga, termasuk di dalamnya partai politik yang nantikan akan menjadi penentu dalam lembaga legislatif. Kepentingan pembangunan nasional dapat dijadikan sebagai cita-cita
Kita mungkin bisa menargetkan untuk 10-20 tahun yang akan datang, kita tak lagi mengirimkan tenaga kerja tak terdidik, yang hanya menjadi pembantu rumah tangga atau buruh perusahaan di luar negeri. Tapi sebagai ganti, kita akan mengirimkan tenaga ahli, dosen, peneliti, pengusaha, untuk dikirim ke berbagai negara di dunia. Apakah, misalnya, pemerintah dan legislatif pernah berhubungan dengan jurusan-jurusan yang membuka kajian Indonesia di luar negeri? Melakukan kerja sama, penelitian bersama, diskusi, dan sebagainya? Saya khawatir itu tidak banyak terjadi. Nah, partai politik dapat berperan penting dalam hal ini. Menjaga agar anggaran 20% dari APBN atau APBD tetap terjaga atau meningkat. Pengawasan yang seksama atas pendidikan. Memberikan keleluasaan dunia pendidikan dalam mengembangkan apresiasi dan kreatifitasnya. Mendukung pengembangan universitas kelas dunia, penelitian yang berkembang, publikasi yang terpakai, termasuk dalam perencanaan pembangunan. Semestinya juga di lembaga legislatif itu berlangganan jurnal-jurnal akademik, selain hanya langganan koran atau majalah. Ini dapat mendukung cara berpikir dan analisis dalam kebijakan, selain juga menambah luas distribusi jurnal-jurnal akademik yang agak macet. 1
Referensi
Hal ini yang diharapkan oleh UU no 2 tahun 1999 mengenai partai politik, terutama pada pasal 5 ayat 1, yang menegaskan tujuan partai politik dalam kaitannya dengan tujuan negara.
edisi 1 | 2010
33
sumber : cover buku iklan politik dalam realitas media
terhadap politik, partai politik, dan pemilu kita. Ini juga menjadi tantangan dalam membangun budaya politik. Tentu saja jika tingkat partisipasi dan kepercayaan terhadap politik dan partai politik dapat meningkat, budaya perpolitikan kita akan semakin baik dan kuat. Aspirasi mereka yang tak tersalurkan, mungkin saja, kemudian hadir di antara mereka yang berdemonstrasi di luar gedung bundar yang kini sedang miring, di jalanan, di depan istana, depan kantor gubernur, DPRD, dan sebagainya. Mereka terus mengimbangi kekuatan yang ‘diresmikan’ melalui permainan pesta demokrasi itu. Simpulan
Non partai: Golput dan aspirasi luar Dari sekian banyak partai politik yang ada dan mengikuti pemilu, sudah sekian banyak pula suara yang tersalurkan melalui partai politik. Namun demikian, tidak sedikit suara yang terjaring melalui partai politik. Banyak yang memilih untuk abstain alias golput, atau karena sebab lain menjadi golput. Jumlah pemilih pada pemilu 2009 adalah 171.068.667 orang.2 Tentu angka ini memperlihatkan banyak juga masyarakat yang tidak terdaftar. Dalam sumber website yang sama diberitakan, bahwa jumlah golput mencapai hampir 50.000.000 orang.3 Ini jumlah yang sangat mengesankan. Setidaknya melebihi jumlah suara partai pemenang pemilu itu sendiri. Suara-suara ini tidak tersalurkan dalam pemilu. Sebelumnya di lembaga legislatif ada perwakilan daerah yang dipilih dengan suatu mekanisme tersendiri. Sekarang ini adalah Dewan Perwakilan Daerah, yang dipilih bersama pemilu, namun dengan menghitung suara yang dikumpulkan. Mereka masuk ke lembaga legislatif dengan pemilihan langsung yang tidak berhubungan dengan partai politik. Mungkin perlu satu penelitian khusus untuk meneliti aspirasi para golput ini. Bisa dibayangkan, sebenarnya, posisi mereka yang tidak ikut memilih, dalam hubungannya dengan partai politik. Dengan melihat angka yang cukup meyakinkan itu, patut pula disandingkan dengan keberadaan dan tingkat kepercayaan masyarakat 2
dikunjungi 25/5/2010
3
< http://www.pemiluindonesia.com/pemilu-2009/jumlah-golput-hampir-50-juta-orang. html> dikunjungi 25/5/2010
34
edisi 1 | 2010
Referensi
Diskusi dalam tulisan ini memperlihatkan bagaimana budaya politik dan partai politik dilihat dengan cara yang sederhana dan dengan pertanyaan yang sederhana saja. Politik, partai politik, dan budaya politik kita masih banyak yang harus diperbaiki. Kekuatan untuk ke arah itu sangat terbuka lebar. Pada situasi di dalam partai politik itu sendiri, tantangannya adalah bagaimana menjadi partai yang stabil dalam mendapatkan kepercayaan masyarakat, memiliki peran selain hanya mengejar suara dalam pemilu, mempunyai kekuatan dalam membangun bangsa dan budaya politik Nasional. Jika proses politik berlangsung dengan baik, tentu budaya politik akan terbangun dan terjaga. Budaya politik yang baik akan turut menyangga bangsa besar bernama Indonesia ini. Sebuah keinginan yang mendesak untuk diwujudkan. ***
KOLOM Demokrasi Politik di Daerah
Pemberdayaan Demokrasi
Patrice Rio Capella Wakil Sekjen DPP PAN
Pilkada merupakan wadah pendidikan politik yang tercermin dalam pemilihan kepala daerah langsung. Mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, di mana rakyat di daerah secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih caloncalon yang didukungnya, dan caloncalon bersaing dalam suatu medan politik dengan atuaran main yang sama, yaitu Pilkada. Proses demokratisasi dan demokrasi itu sendiri dapat viable jika demokrasi berakar kuat pada tingkat lokal atau daerah. Jika tidak berakar kuat di daerah, maka demokrasi hanya menjadi hiasan dalam sebuah negara.
Dalam konteks politik lokal, menurut Azyumardi Azra dengan mengutip Peter Gran (223:1983) ada tiga unsur pembelajaran politik. Pertama, meningkatkan kesadaran politik masyarakat yang bukan merupakan bagian dari elite politik dan ekonomi. Sehingga, mereka dapat memiliki pemahaman tentang realitas politik yang ada, dan kemungkinan mereka untuk secara aktif mengubahnya. Proses ini dapat juga disebut conscientization (penyadaran). Kedua, mengorganisasi rakyat melalui suatu organisasi atau perkumpulan yang tidak birokratis dan hirarkis. Struktur organiasiasi itu haruslah horizontal, yang memberikan peluang besar kepada setiap masyarakat ntuk berpartisipasi dan terlibat. Fungsi dan tujuan pokok organisasi ini adalah mengaktifkan dan mendidik para anggotanya untuk menjadi warga negara yang pro aktif dalam setiap prosesproses politik. Ketiga, mengembangkan struktur masyarakat lokal menjadi memungkinakan bagi masyarakat lokal untuk memiliki akses dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Masyarakat lokal hendaklah diorganisir menjadi unit-unit relatif kecil. Setiap unit bertanggung-jawab menangani aspek-aspek tertentu yang berkenaan dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Lebih jauh struktur seperti itu memberikan kemungkiann untuk menyusun berbagai masalah yang dihadapi masyarakat lokal dalan sebuah kerangka prioritas. Dari paparan itu, partai politik mesti bisa menciptakan peran emansipatoris dan partisipatoris bagi masyarakat. Politisi di daerah, perlu ada kemampuan untuk memberdayakan masyarakat dengan menyusun penyesuaian rencana ekonomi, teknologi, dan politik dengan aspirasi rakyat dan elite lokal. Secara umum, satu permasalahan utama yang selama ini dihadapi oleh pemimpin daerah adalah sikap yang tidak ingin memahami kegiatan masyarakat dan membiarkan pelayanan publik menjadi terbengkalai. Seolah-olah kepala daerah hanya menjadi penandatangan atau sekadar meresmikan kegiatan ini dan itu saja.
Referensi
edisi 1 | 2010
35
sumber: bikin-pin47.blogspot.com
Akibatnya, selain tidak mampu memahami aspek politik dari masyarakat lokal, aspek budaya pun terabaikan. Sehingga, menimbulkan ketimpangan kultural (cultural gap) dalam masyarakat lokal. Salah satu bentuk ketimpangan kultural tersebut adalah sikap yang hanya mengupayakan agar sektor pelayanan publik lebih menitikberatkan pada sektor pelayanan terhadap kelas menengah ke atas saja, bukan membangun kultur tersendiri yang lebih sesuai di daerah sebagai kekuatan tradisi lokal. Maka, peran partai politik dan politisi daerah adalah menguatkan tradisi lokal dan dan melepaskan belenggu yang mengitari pergerakan perekonomian rakyat yang sulit maju. Lemahnya peran kepala daerah selama ini akibat dari hiruk pikuk tarikan politik yang ada dan kurang perhatian serta tidak terkoordinasinya kepala daerah dengan bawahannya dalam memobilisasi masyarakat untuk bergerak bersama membangun daerahnya masing-masing. Akibat yang terjadi adalah terkikisnya tatanan sosial dan budaya masyarakat yang selama ini telah menjadi identitas diri dan kekuatan sosial.
kekuatan lokal tersebut dengan partisipasi dan pendidikan yang membebaskan dengan tetap membuka diri terhadap kemajuan Selain itu, demokrasi yang kuat dan sehat adalah buah dari doktrin egalitarianisme yang menempatkan manusia setara di depan hukum dan sejarah. Watak pemimpin daerah yang diharapkan adalah watak yang tak hanya cukup memiliki kecerdasan intelektual saja. Tetapi juga harus memiliki pengalaman dalam gerakan kemasyarakatan, kejujuran, kecintaan terhadap negeri, serta sikap seiya dalam laku dan perbuatan. Kekuasaan pemimpin memang tidak pernah mutlak dan selalu terbatas. Kehidupan demokrasi di negeri ini masih muda. Sosok pemimpin daerah lebih kuat jika diorganisir oleh pemimpin muda. Oleh sebab itu, masyarakat sungguh berharap dalam berbagai pemilihan langsung tingkat daerah tidak adanya praktik-praktik yang akan merusak demokrasi politik di daerah.
Sejatinya, kepala daerah dan elemen pemerintah daerah lainnya melindungi segala kebutuhan masyarakat dan menguatkan tatanan sosial budaya lokal. Proses yang dapat dilakukan dalam mengokohkan kekuatan lokal tersebut melalui pendidikan kritis dan partisipasi yang autentik dari masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dibangun terus
36
edisi 1 | 2010
Referensi
***
H. MOHAMMAD HATTA 1902-1980
“Apakah
yang dimaksud dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang adil
maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya diperlakukan secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat.”