KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
GUNAWAN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
GUNAWAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN GUNAWAN. E34103045. Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan Ketinggian Tempat di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu taman nasional yang ditetapkan pada tahun 2004. Penelitian ini diperlukan sebagai dasar dalam menyusun zonasi di TNGC. Sebagai taman nasional yang baru, TNGC belum memiliki data yang lengkap mengenai keanekaragaman jenis satwaliar, khususnya keanekaragaman jenis mamalia berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat. Penelitian ini difokuskan pada mamalia besar yang memiliki berat badan lebih dari 5 kilogram. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi jenis-jenis mamalia besar dan menentukan hubungan keanekaragaman jenis dengan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat di TNGC. Penelitian dilakukan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai Wilayah Kuningan dengan waktu penelitian dari bulan Mei hingga Juli 2007. Pengambilan data mamalia besar dilakukan dengan menggunakan metode transek jalur dan untuk vegetasi menggunakan metode garis berpetak. Analisis yang digunakan, yakni: analisis vegetasi, indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman jenis, indeks kemerataan, kesamaan komunitas, pendugaan populasi, dan asosiasi interspesifik. Berdasarkan hasil inventarisasi vegetasi didapatkan jumlah spesies tumbuhan sebanyak 57 spesies dengan famili Moraceae, Lauraceae dan Euphorbiaceae memiliki jumlah jenis tumbuhan yang terbanyak. Lokasi penelitian dibedakan menjadi 4 tipe habitat: hutan tanaman pinus, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan subalpin. Berdasarkan pengamatan langsung dan tidak langsung diketahui bahwa pada hutan pinus, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan subalpin memiliki 9 spesies mamalia besar dengan nilai heterogenitas pada indeks kekayaan jenis, keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis secara berurutan yakni: 1,04; 1,00 dan 0,52. Hutan dataran rendah dan hutan pegunungan memiliki nilai Jaccard yang tertinggi pada kesamaan komunitas sebesar 0,56. Macaca fascicularis memiliki kepadatan populasi yang tertinggi sebesar 53,61 individu/Km2, sedangkan yang terendah adalah Panthera pardus sebesar 0,22 individu/Km2. Mamalia besar lebih banyak melakukan aktivitasnya pada pagi hari dibandingkan sore hari atau malam hari. Berdasarkan pemanfaatan strata hutan, diketahui bahwa strata B (20-30m) banyak dimanfaatkan oleh jenis-jenis primata. Asosiasi interspesifik diantara jenis-jenis mamalia besar memiliki nilai yang bervariasi antara 0,25-1 dan hasil analisa mengindikasikan Sus scrofa berasosiasi dengan Paradoxurus hermaphroditus ataupun Prionailurus bengalensis dan Paradoxurus hermaphroditus berasosiasi dengan Prionailurus bengalensis. Keanekaragaman jenis mamalia besar berhubungan dengan kerapatan vegetasi (R2 = 0,501; y = -55,206x2 + 31,633x + 1,145; P < 0,05) dan ketinggian tempat (R2 = 0,881; y = 2,993x3 – 18,571x2 + 32,399x – 9,550; P < 0,05).
SUMMARY GUNAWAN. E34103045. Big Mammalian Diversity Based on Vegetation Composition and Altitudinal Range at Gunung Ciremai National Park. Under supervision of Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si. Gunung Ciremai National Park (GCNP) is one of the national park had that just been declaired in 2004. This stuudy was necessary as a base on to compile the zonation of GCNP. As a new national park, GCNP does not have complete data about biological diversity especially mammalian diversity based on composition of vegetation and altitudinal range. The research was focused on big mammals which are characterized by body weight more than 5 kilograms. The aim of this research is to identify the species of big mammals and to decide the relation between the diversity of big mammals with vegetation composition and altitudinal range at GCNP. The research was conducted at Gunung Ciremai National Park Region Kuningan, from Mei to July 2007. Collecting data of big mammals was done by using a method of strip transect and for data of vegetation with a method of terracing transect. Analyzing that was used are richness index, diversity index, evenness index, community similarity, and interspecific association. The inventory of vegetation, there are known 57 plant species from the family of Moraceae, Lauraceae, and Euphorbiaceae were dominant. The area of study were classified into 4 habitats: pine forest, lowland forest, mountain forest, and subalpine forest. By directly and indirectly investigation there were indicated that the pine, lowland, mountain, and subalpine forest have 9 big mammalian species, and the heterogenity of value species richness, species diversity and evenness index are: 1,04; 1,00 and 0,52 respectively. The lowland forest and mountain forest have the highest value of Jaccard in similiar community 0,56. Macaca fascicularis has the highest density with 53,61 individual/Km2 and the lowest is Panthera pardus 0,22 individual/Km2. Big mammals more active in morning, than in the evenning. According to forest stratification, the strata B (20-30 m) was dominanted primate. Interspecific association between big mammals diversity were varried 0.25-1.00, and the analyze indicated that Sus scrofa was associated with Paradoxurus hermaphroditus or Prionailurus bengalensis and Paradoxurus hermaphroditus associated with Prionailurus bengalensis. Big mammalian diversity correlated to density of vegetation (R2 = 0,501; y = -55,206x2 + 31,633x + 1,145; P < 0,05) and altitudinal range (R2 = 0,881; y = 2,993x3 – 18,571x2 + 32,399x – 9,550; P < 0,05).
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas setiap berkat yang diberikan
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
dengan
judul: ”Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis mamalia besar di TNGC dan menentukan hubungan antara jumlah jenis yang ditemukan dengan ketinggian tempat dan komposisi vegetasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaharui data mengenai keanekaragaman jenis mamalia di TNGC. Selain itu, informasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam penentuan dan pengambilan keputusan tentang konservasi keanekaragaman jenis mamalia di TNGC. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.
Bogor, Desember 2007
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 29 Maret 1986. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Drs. Guntur Simanjuntak, Ak. dan Nonna Sitanggang. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1990 di TK Santo Yakobus, Ujung Pandang. Pada tahun 1991 pendidikan sekolah dasar dilanjutkan pada Sekolah Dasar Santo Antonius Ujung Pandang, tetapi pada tahun 1992 penulis pindah ke Palembang dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Methodist. Pada tahun 1996, penulis pindah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan sekolah dasar pada SDN 07 Pondok Kelapa. Pada tahun 1997, pendidikan dilanjutkan pada SMP Negeri 252 Jakarta. Pada tahun 2000, penulis memasuki pendidikan menengah atas di SMU Negeri 91 Jakarta. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikannya dan kemudian diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK IPB). Pada periode 2005-2006, penulis menjabat sebagai ketua Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) HIMAKOVA dan Persekutuan Fakultas Kehutanan. Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Keanekaragaman Hayati “Surili” HIMAKOVA di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat pada tahun 2005 dan Taman Nasional Way Kambas, Lampung pada tahun 2006. Pada tahun yang sama dilakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA Leuweung Sancang, CA Kamojang dan KPH Tasikmalaya. Pada tahun 2007 melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi DKSH di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “ Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” dibawah bimbingan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M. Si.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas setiap berkat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga, yang terdiri dari Bapak, Mama, Bang Gumanti dan Kak Diana (Alm.), Bang Gordon serta Gerson atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si. yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda M.Sc. sebagai dosen penguji perwakilan dari Departemen Silvikultur dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut sebagai dosen penguji perwakilan dari Departemen Hasil Hutan. 4. Tim Ciremai 2007 (Awal Riyanto, S.Si, Dr. Woro A. Noerdjito, Drs. Mas Noerdjito, Ir. Ike Rachmatika, M.Sc, A. Saim, B.Sc, Ir. Heryanto, M.Sc, Drs. Razali Yusuf, Pak Anandang, Pak Sunardi, Pak Wahyudin, Mas Nova, Hadi dan Maryati) yang memberikan bantuan dan semangat selama penelitian. 5. Ir. Muhtadin Nafari sebagai Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 6. Pak Adji Dasji atas bantuannya mendampingi penulis selama di lapangan. 7. Semua pihak yang tidak dapat ditulis satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI............................................................................................... DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. I.
i iii iv v
PENDAHULUAN A Latar Belakang ................................................................................ B. Tujuan ............................................................................................. C. Manfaat ...........................................................................................
1 2 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Jenis.................................................................... B. Ekologi Mamalia ............................................................................ C. Habitat............................................................................................. D. Populasi dan Penyebaran Mamalia ................................................. E. Konservasi Mamalia .......................................................................
3 4 5 6 7
III. KONDISI UMUM LAPANGAN A Sejarah Kawasan ............................................................................. B. Letak dan Luas ................................................................................ C. Kondisi Fisik ................................................................................... 1. Iklim ......................................................................................... 2. Topografi ................................................................................. 3. Hidrologi .................................................................................. 4. Tanah ....................................................................................... 5. Vulkanologi dan Geologi ......................................................... D. Kondisi Hayati ................................................................................ 1. Vegetasi ................................................................................... 2. Fauna ........................................................................................
8 8 9 9 9 9 9 9 10 10 10
IV. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... B. Alat dan Bahan ............................................................................... C. Kerangka Pemikiran ....................................................................... D. Metode Pengumpulan Data............................................................. 1. Inventarisasi Mamalia .............................................................. 2. Inventarisasi Vegetasi .............................................................. E. Analisis Data .................................................................................. 1. Analisis Vegetasi ..................................................................... 2. Indeks Kekayaan Jenis ............................................................. 3. Indeks Keanekaragaman Jenis ................................................. 4. Indeks Kemerataan .................................................................. 5. Komunitas Mamalia Besar....................................................... 6. Pendugaan Populasi ................................................................. 7. Pembagian Stratifikasi dan Waktu Aktivitas ........................... 8. Asosiasi Intersepesifik .............................................................
11 11 12 13 13 14 15 15 16 16 16 16 17 17 18
i
9. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia Dengan Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi .......................... 10. Hubungan Tipe Habitat Dengan Indeks Heterogenitas ...........
18 19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... A. Kondisi Habitat ............................................................................... 1. Habitat Hutan Pinus ................................................................. 2. Habitat Hutan Dataran Rendah ................................................ 3. Habitat Hutan Pegunungan ...................................................... 4. Habitat Hutan Sub-alpin .......................................................... B. Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar .......................................... C. Kemerataan Jenis ............................................................................ D. Komunitas Mamalia Besar ............................................................. E. Pendugaan Populasi Mamalia Besar ............................................... F. Pemanfaatan Waktu Aktivitas dan Stratifikasi ............................... G. Asosiasi Interspesifik ...................................................................... H. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar dan Komposisi Vegetasi ........................................................................ I. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar dan Ketinggian Tempat .........................................................................
20 20 20 21 23 24 25 28 30 31 34 38
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
46
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
47
LAMPIRAN................................................................................................
53
ii
39 43
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan pinus ......................................................................................................
21
2. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan dataran ...................................................................................................
22
3. Jenis-jenis pohon yang mendominasi pada habitat hutan pegunungan ...........................................................................................
23
4. Jenis-jenis pohon yang mendominasi pada habitat hutan subalpin .................................................................................................
24
5. Jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC ...........................
25
6. Nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis pada setiap tipe habitat ...................................................................................
27
7. Kesamaan komunitas mamalia besar di TNGC ....................................
30
8. Pendugaan populasi jenis mamalia besar di TNGC ..............................
32
9. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia besar di TNGC.......................................................................................
36
10. Matriks asosiasi interspesifik pada jenis-jenis mamalia besar di TNGC
39
iii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Peta lokasi pengamatan di SPTN Wilayah Kuningan TNGC Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. ...........................................
11
2. Kerangka pemikiran penelitian “Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan Ketinggian Tempat ................................................................................
12
3. Bentuk unit contoh transek jalur dalam pengamatan mamalia besar.......................................................................................................
13
4. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam inventarisasi vegetasi ..................................................................................................
14
5. Jumlah jenis mamalia besar berdasarkan tingkat trofik ........................
26
6. Nilai indeks kemerataan jenis pada setiap tipe habitat ..........................
29
7. Pembagian bentuk aktivitas mamalia besar berdasarkan tipe aktivitas .................................................................................................
35
8. Bentuk pemanfaatan strata hutan oleh monyet-ekor panjang ...............
37
9. Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan kerapatan vegetasi pancang....................................................................................
41
10. Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan kerapatan vegetasi tiang .........................................................................................
42
11. Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan ketinggian tempat ....................................................................................................
44
12. Sumber air yang terdapat di TNGC .......................................................
45
iv
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Jenis-jenis tumbuhan di kawasan TNGC ..............................................
54
2. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan pinus ......................................................................................................
56
3. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan pinus.................................................................................
57
4. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan pinus ......................................................................................................
58
5. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan pinus ......................................................................................................
59
6. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan pinus ......................................................................................................
60
7. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan dataran rendah .......................................................................................
61
8. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan dataran rendah..................................................................
62
9. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan dataran rendah .......................................................................................
63
10. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan dataran rendah .......................................................................................
65
11. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan dataran rendah .......................................................................................
66
12. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan pegunungan ...........................................................................................
68
13. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan pegunungan ......................................................................
69
14. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan pegunungan ...........................................................................................
70
15. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan pegunungan ...........................................................................................
72
16. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan pegunungan ...........................................................................................
74
17. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan subalpin .................................................................................................
76
18. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan subalpin ............................................................................
77
v
19. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan subalpin .................................................................................................
78
20. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan subalpin .................................................................................................
79
21. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan subalpin .................................................................................................
80
22. Daftar jenis mamalia besar yang ditemukan secara langsung pada setiap habitat ................................................................................
81
23. Pendugaan populasi jenis-jenis mamalia besar .....................................
83
24. Data pertemuan langsung terhadap jenis-jenis mamalia besar ..............
84
25. Data pertemuan tidak langsung terhadap jenis-jenis mamalia besar.......................................................................................................
86
26. Penyebaran tumbuhan pakan satwa mamalia besar pada setiap daerah pengamatan ................................................................................
89
27. Uji regresi ..............................................................................................
92
vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu taman nasional yang baru ditetapkan pada tahun 2004 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004. Tipe vegetasi yang terdapat dalam kawasan taman nasional terbagi ke dalam beberapa tipe, yaitu hutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan subalpin dan hutan tanaman pinus. Kondisi habitat yang beragam dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis satwaliar, khususnya mamalia. Berdasarkan ukurannya, mamalia dibagi menjadi mamalia kecil dan mamalia besar. Menurut batasan International Biological Program (IBP), yang dimaksud dengan mamalia kecil adalah jenis mamalia yang memiliki berat badan dewasa yang kurang dari lima kilogram, sedangkan selebihnya termasuk ke dalam kelompok mamalia besar (Suyanto & Semiadi 2004). Jenis mamalia besar yang terdapat di TNGC, antara lain babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), lutung budeng (Trachypithecus auratus) serta macan tutul (Panthera pardus). Penyebaran jenis mamalia berdasarkan ekologis dapat diketahui melalui komposisi vegetasi suatu tipe habitat. Selain itu, penyebaran jenis mamalia juga dapat dilihat berdasarkan ketinggian tempat. Perubahan ketinggian tempat mempengaruhi komposisi vegetasi di suatu habitat yang juga dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis mamalia. Perubahan keanekaragaman satwa akan dijumpai sesuai dengan perubahan ketinggian tempat (Medway 1972 dalam Kartono et al. 2000). Pada ketinggian yang lebih rendah jumlah jenis yang ditemukan lebih banyak dibandingkan pada ketinggian yang lebih tinggi (Adhikerana & Komeda 1997; Primack et al 1998). Sebagai taman nasional yang baru, TNGC belum memiliki data yang lengkap mengenai keanekaragaman jenis satwaliar, khususnya keanekaragaman jenis mamalia berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat di TNGC.
2 B. Tujuan Penelitian tentang keanekaragaman jenis mamalia berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Mengidentifikasi jumlah jenis mamalia, khususnya mamalia besar di TNGC. 2. Menentukan hubungan keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan komposisi vegetasi dan posisi areal menurut ketinggian tempat dari permukaan laut di TNGC. C. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaharui data mengenai keanekaragaman jenis mamalia di TNGC. Selain itu, informasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam penentuan dan pengambilan keputusan tentang konservasi keanekaragaman jenis mamalia di TNGC.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini, beserta interaksinya (BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati memiliki dua komponen utama, yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu area dan kemerataan jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies (Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki nilai perhitungan yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa indeks tersebut digabungkan menjadi satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman. BAPPENAS (2003) menyatakan ada tiga tingkatan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, yaitu: a. Keanekaragaman ekosistem: Keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya. b. Keanekaragaman jenis: keanekaragaman jenis organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan. c. Keanekaragaman genetik: Keanekaan individu di dalam suatu jenis yang disebabkan oleh perbedaan genetis antara individu. Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya berdampak pada punahnya suatu jenis. Apabila populasi tumbuhan dan hewan di suatu tempat sudah habis, maka keanekaragaman genetika yang terdapat dalam setiap jenis yang memberi kemampuan bagi jenis tersebut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan juga hilang (Wolf 1990). Dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati yang ada, Indonesia ikut dalam meratifikasi lima konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, yaitu Konvensi Ramsar, Konvensi CITES, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Protokol Kyoto dan Konvensi Bio-safety (Noerdjito et al. 2005). Harmonis (2005) menyatakan bahwa dalam penyelamatan jenis satwaliar yang terancam, maka pengawasan harus terus diintensifkan, peningkatan kesadaran masyarakat, pendidikan konservasi satwaliar sejak dini, peningkatan
4 taraf perekonomian masyarakat, serta peningkatan penelitian dalam menemukan konsep yang tepat dalam pengelolaan satwaliar. Keanekaragaman jenis merupakan satu hal yang paling mendasar dalam keanekaragaman hayati. BAPPENAS (2003) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis tidak diukur dari banyaknya jenis di suatu daerah tertentu, tetapi juga dari keanekaan takson yaitu klas, famili atau ordo. Pengetahuan mengenai hal ini akan memberi manfaat dalam pengelolaan kawasan tersebut. Berdasarkan Checklist of The Mammals of Indonesia, keanekaragaman jenis mamalia yang terdapat di Indonesia sebanyak 701 jenis (Suyanto et al. 2002). B. Ekologi Mamalia Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya (Soerianegara & Indrawan 2002). Suatu sistem ekologi akan tercipta bila terjadi hubungan yang erat antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Mamalia merupakan salah satu kelas vertebrata yang memiliki hubungan dengan kondisi lingkungannya. Salah satu sifat dari mamalia adalah memiliki sifat homoitherm, yaitu suhu tubuhnya dapat diatur menyesuaikan dengan suhu lingkungan. Feldhamer et al. (1999) menyatakan bahwa mamalia dapat tinggal pada lingkungan yang ekstrim berdasarkan ketinggian tempat serta pada kondisi hujan ataupun bersalju. Selanjutnya dikatakan lagi, bahwa setiap jenis makhluk hidup membutuhkan makanan untuk dapat bertahan hidup dalam komunitasnya. Mamalia membutuhkan energi dan nutrisi untuk dapat tumbuh, beraktivitas dan berkembang biak agar tetap bertahan hidup. Berdasarkan keragaman jenis makanan pada satwa, Soemarwoto (2004); Noerdjito et al. (2005) membaginya ke dalam 3 kelompok, yaitu : a. Monophagus, jenis satwa yang hanya dapat memanfaatkan satu jenis makanan saja. b. Oligophagus, jenis satwa yang dapat memanfaatkan beberapa jenis makanan. c. Poliphagus, jenis satwa yang memiliki keragaman jenis makanan yang tinggi. Pembagian tipe pakan berdasarkan jenis makanannya yaitu: insectivora (pemakan serangga), herbivora (pemakan tumbuhan), karnivora (pemakan satwa
5 lainnya) serta omnivora (pemakan satwa dan tumbuhan). Alikodra (2002) menyatakan bahwa herbivora memerlukan kuantitas dan kualitas makanan berkaitan dengan kandungan gizi makanan. Karnivora lebih mementingkan kuantitas dan ketersediaan makanan dari pada kualitasnya. C. Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Hutan merupakan habitat alami yang terutama bagi begitu banyak jenis tumbuhan dan satwa. Perubahan habitat dapat membawa dampak terhadap terciptanya suatu masalah. Kartono et al. (2003) menambahkan bahwa kerusakan habitat dapat menyebabkan penurunan kekayaan jenis dan penurunan tersebut akan terlihat lebih jelas pada habitat terisolasi yang berukuran kecil dibandingkan pada habitat tidak terisolasi yang besar. Harmonis (2005) menyatakan bahwa kerusakan habitat melalui perambahan hutan merupakan salah satu penyebab yang memungkinkan terjadinya kerentanan kepunahan jenis satwaliar di Kalimantan Timur. Habitat yang sesuai bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Hal ini disebabkan bahwa setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002). Beberapa jenis mamalia yang dapat ditemukan pada habitat hutan sekunder yaitu: pelanduk kancil (Tragulus javanicus),
kijang
muncak
(Muntiacus
muntjak)
serta
musang
luwak
(Paradoxurus hermaphroditus) (Payne et al. 2000; Suyanto 2002). Jenis-jenis mamalia yang dapat ditemukan pada tipe habitat hutan primer antara lain: lutung surili (Presbytis comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan teledu sigung (Mydaus javanensis) (Suyanto 2002). Suatu masyarakat satwaliar dapat dibedakan menurut perbedaan lapisan hutan. Soerianegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa stratifikasi dalam hutan hujan tropis adalah sebagai berikut stratum A (tinggi > 30m), stratum B (tinggi 20-30m), stratum C (tinggi 4-20m), stratum D (tinggi 1-4m) dan stratum E (tinggi 0-1m). Arief (1999) membagi mamalia berdasarkan pemanfaatan strata
6 yaitu: strata di atas tajuk, strata tajuk paling atas, strata tajuk tengah dan strata lantai hutan. Alikodra (2002) menyatakan bahwa setiap stratum mempunyai kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis-jenis satwaliar tertentu. Satwa arboreal yang memanfaatkan strata atas diantaranya adalah ordo Primata, Chiroptera serta Rodentia, sedangkan satwa terestrial yang memanfaatkan lantai hutan ditunjukkan diantaranya ordo Perissodactyla dan Artiodactyla (Payne et al. 2000). D. Populasi dan Penyebaran Mamalia Populasi memiliki batasan dalam bidang pengelolaan satwaliar, yakni kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Vaughan (1985) menyatakan bahwa populasi mamalia umumnya berada pada keadaan dinamis yang seimbang dan cenderung stabil dalam batas kepadatan tertentu melalui proses interaksi seperti kompetisi, perkembangbiakan, pemangsaan, pemencaran dan penyakit. Dalam mempertahankan kelangsungan hidup satwaliar, terdapat suatu pola penyebaran satwa yang merupakan strategi dari individu atau kelompok suatu organisme (Alikodra 2002). Saimin (2001) menyatakan bahwa pola penyebaran individu maupun kelompok satwa disebabkan oleh faktor-faktor seperti aktivitas mencari makanan, persaingan untuk mendapatkan makanan, konflik antar individu atau kelompok dan lainnya untuk kelangsungan hidup satwaliar. Struktur vegetasi merupakan bagian dari komponen biotik yang terdapat pada suatu habitat. Struktur vegetasi memiliki peranan yang penting terhadap pergerakan dan penyebaran satwaliar (Alikodra 2002). Pencampuran beberapa jenis tumbuhan merupakan salah satu faktor ekologi yang penting. Pada hutan yang terdiri dari tegakan murni dan berumur sama memiliki jumlah jenis satwa yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan hutan campuran dengan diversifikasi umur. Faktor yang mempengaruhi jumlah jenis satwaliar yang ditemukan pada suatu habitat adalah keanekaragaman tipe habitat serta kualitas habitat tersebut (Fithria 2003).
7 Faktor abiotik yang berpengaruh pada keanekaragaman jenis adalah ketinggian tempat. Perubahan ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap komposisi vegetasi yang terdapat di suatu kawasan. Dalam bukunya, van Steenis (2006) menyatakan bahwa pada hutan pegunungan di Jawa, komposisi vegetasi yang ditemukan pada ketinggian diatas 2000 mdpl lebih sedikit dibandingkan dengan ketinggian dibawah 2000 mdpl. Mackinnon (1982) dalam Alikodra (2002) menyatakan bahwa kenaikan ketinggian suatu tempat akan diikuti dengan penurunan
dalam
kekayaan
jenisnya.
Adhikerana
&
Komeda
(1997)
menambahkan bahwa pada ketinggian yang lebih rendah lebih banyak jumlah jenisnya. E. Konservasi Mamalia Mamalia memiliki peranan yang penting dalam kelestarian ekosistem hutan. Suyanto (2002) menjelaskan peranan mamalia, antara lain sebagai penyubur tanah, penyerbuk bunga, pemencar biji, serta pengendali hama secara biologi. Kepunahan akan terjadi apabila tidak dilakukan suatu perlindungan terhadap satwa-satwa mamalia. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kepunahan suatu jenis adalah peningkatan populasi manusia, konversi hutan serta pengrusakan habitat satwa (Feldhamer et al. 1999). Perlindungan terhadap keanekaragaman jenis hayati di Indonesia dilakukan pada jenis-jenis yang rawan punah, berpotensi sebagai stabilisator ekosistem serta jenis-jenis yang memiliki adaptasi rendah terhadap perubahan lingkungan (Noerdjito et al. 2005). Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu kawasan konservasi yang memiliki fungsi antara lain sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. Riyanto et al. (2006) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia yang ditemukan pada wilayah barat (Majalengka) di TNGC, antara lain surili (Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus auratus), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) dan babi hutan (Sus scrofa).
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Kawasan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816.603 hektar telah ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung. Di dalamnya termasuk Kawasan Hutan Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta bermanfaat dalam penyediaan sumber air bagi masyarakat sekitar kawasan. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka pemerintah memutuskan untuk mengubah fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai seluas ± 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka (Jawa Barat) sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Penetapannya diikuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/MenhutII/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penetapan Hutan Lindung Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Pada tanggal 30 Desember 2004, dilakukan penunjukkan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat II sebagai pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai hingga terbentuknya organisasi Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK. 140/IV/Set-3/2004. B. Letak dan Luas Secara geografis, Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) terletak pada koordinat 6o50’25” LS – 6o58’26” LS dan 108o21’35” BT – 108o28’0” BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan TNGC termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Kuningan (bagian timur) dan Kabupaten Majalengka (bagian barat) dengan luas + 15.500 Ha.
9 C. Kondisi Fisik 1. Iklim Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai termasuk ke dalam tipe iklim B. Jumlah hari hujan merata sepanjang tahun dengan kisaran curah hujan per tahun 2000 – 4000 mm/tahun. Kelembaban udara di TNGC pada malam hari berkisar antara 94 – 99%, sedangkan pada siang hari berkisar antara 63%-92%. Suhu udara berkisar 15 – 20oC pada saat malam hari, sedangkan pada saat siang hari berkisar 19 – 24oC. 2. Topografi Gunung Ciremai merupakan salah satu gunung tertinggi yang terdapat di Indonesia dengan ketinggian 3.078 mdpl. Pada umumnya topografi kawasan TNGC bergelombang, berbukit dan bergunung. Kemiringan lahan yang termasuk landai (0-8%) hanya 26,52%, sedangkan kemiringan yang diatas 8% sebesar 73,48%. 3. Hidrologi Potensi hidrologis Gunung Ciremai di kawasan timur (Kuningan) meliputi 43 sungai dan 156 sumber air, sebanyak 147 titik sumber mata air mengalirkan air sepanjang tahun dengan rata-rata debit 50 – 2000 liter/detik. Pada kawasan barat (Majalengka) terdapat 36 sumber mata air dan 7 sungai dengan debit berkisar antara 50 – 200 liter/detik untuk debit sungai dan 0,5 – 40 liter/detik untuk debit sumber mata air. 4. Tanah Kelompok hutan Gunung Ciremai memiliki pola penyebaran jenis tanah meliputi: regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, latosol, kelompok asosiasi andosol coklat dan regosol, kelompok latosol coklat serta latosol coklat kemerahan. 5. Vulkanologi dan Geologi Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif, tipe A (yakni, gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk kerucut. Gunung ini merupakan gunung api soliter, yang dipisahkan oleh zona sesar
10 Cilacap – Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur yang terletak pada zona Bandung. Letusan G. Ciremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ciremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. D. Kondisi Hayati 1. Vegetasi Kondisi vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Gunung Ciremai terdiri dari tipe hutan hujan dataran rendah,
hutan hujan pegunungan serta hutan
pegunungan sub alpin. Flora yang ditemukan di Taman Nasional Gunung Ciremai pada wilayah timur (Riyanto et al. 2007) diantaranya adalah pinus (Pinus merkusii), saninten (Castanopsis javanica), petag (Syzygium densiflorum) serta pasang (Lithocarpus ewyckii). 2. Fauna Keanekaragaman jenis satwaliar yang ditemukan pada wilayah barat TNGC adalah sebagai berikut: 23 jenis reptil dan ampfibi, 26 jenis mamalia serta 102 jenis burung (Riyanto et al. 2006). Jenis mamalia yang terdapat di TNGC diantaranya adalah macan tutul (Panthera pardus), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Hystrix brachyura) serta babi hutan (Sus scrofa). Primata yang dapat ditemukan antara lain surili (Presbytis comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus) yang merupakan satwa dilindungi. Burung yang terdapat di TNGC antara lain elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang ular (Spilornis cheela) serta kacamata gunung (Zoosterops montanus) yang merupakan jenis-jenis burung dilindungi. Reptil yang dapat ditemukan di TNGC yaitu bunglon hutan (Gonocephalus chamaeleontinus) dan cecak batu (Cyrtodactylus sp.).
IV. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah Kuningan, Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat. Lokasi pengamatan yang diamati adalah sebagai berikut: Linggarjati, Palutungan, Cibeureum, Seda, Sayana, Bandorasa, Pajambon dan Sukamukti. Pengambilan data lapangan dilakukan selama lebih kurang dua setengah bulan mulai tanggal 16 Mei 2007 sampai 29 Juli 2007. Peta lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 1.
Peta Lokasi Pengamatan Mamalia N
6°51' 6°52' 6°53' 6°54' 6°55' 6°56'
S 1
0
1
2
3 Km
LEGENDA # Lokasi Pengamatan Kawasan TNGC
6°56' 6°58'
6°58'
6°57'
6°57'
6°55'
# Palutungan # Sukamukti # Pajambon
6°54'
# Bandorasa Sayana #
E
6°53'
# Linggarjati
6°52'
Cibeuereum #
W
6°51'
# Seda
6°50'
6°50'
6°49'
6°49'
6°48'
6°48'
108°18'108°19'108°20'108°21'108°22'108°23'108°24'108°25'108°26'108°27'108°28'108°29'108°30'
108°18'108°19'108°20'108°21'108°22'108°23'108°24'108°25'108°26'108°27'108°28'108°29'108°30'
Sumber: Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (BPKH 2004)
Gambar 1. Peta lokasi pengamatan di SPTN Wilayah Kuningan TNGC Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat B. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: teropong binokuler, kompas brunton, altimeter, GPS (Global Positioning System) receiver, kamera digital, higrometer, pita meter, tali rafia, buku lapang serta buku panduan
12 lapangan mamalia. Objek utama dari penelitian, yakni keanekaragaman jenis mamalia besar beserta habitatnya. C. Kerangka Pemikiran Salah satu pembahasan terhadap ekologi mamalia adalah ditinjau melalui habitatnya. Setiap jenis mamalia memiliki preferensi tertentu dalam memilih habitatnya. Tidak semua jenis mamalia dapat ditemukan dalam satu kondisi habitat. Faktor penyusun yang dapat mempengaruhi habitat adalah ketinggian tempat dan komposisi vegetasi yang ditinjau berdasarkan kerapatan vegetasi dan ketersediaan sumberdaya pakan. Ketinggian tempat dan komposisi vegetasi memiliki suatu hubungan dengan keanekaragaman jenis mamalia. Ketinggian tempat menunjukkan hubungan yang negatif terhadap keanekaragaman jenis. Hal ini menyatakan bahwa peningkatan ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah jenis mamalia. Komposisi vegetasi menunjukkan hubungan positif terhadap keanekaragaman jenis mamalia. Peningkatan komposisi vegetasi terkait dengan kerapatan vegetasi dan ketersediaan sumberdaya pakan akan menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan akan semakin bertambah. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 2. Ekologi Mamalia
Ketinggian Tempat
Habitat
Keanekaragaman Jenis Mamalia
Hubungan
Negatif
Komposisi Vegetasi
Hubungan
Positif
Habitat Rusak
Pengelolaan Satwaliar
Populasi Rendah
Upaya Konservasi Mamalia
Gambar 2.
Kerangka pemikiran penelitian ”Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan Ketinggian Tempat”
13 Pengelolaan satwaliar perlu dilakukan apabila diketahui kondisi habitat dari mamalia besar mengalami kerusakan serta populasinya yang rendah. Hal ini diperlukan
sebagai
dasar
dalam
upaya
konservasi
mamalia,
sehingga
keanekaragaman jenis mamalia akan tetap terjaga kelestariannya. D. Metode Pengumpulan Data 1. Inventarisasi Mamalia Kegiatan inventarisasi mamalia dilakukan untuk mendapatkan data mengenai jenis mamalia serta jumlah individu setiap jenis. Data dikumpulkan berdasarkan perjumpaan langsung dan perjumpaan tidak langsung dengan satwa. Data hasil perjumpaan tidak langsung berupa jejak kaki, sarang, kotoran, suara, serta bekas makanan satwa dianggap sebagai 1 tanda. NRC (1981) dalam Sugardjito et al. (1997) menyatakan bahwa pengambilan data lapangan untuk primata menggunakan metode transek garis (line transect). Namun, untuk penelitian ini digunakan metode transek jalur (strip transect). Jalur pengamatan yang digunakan adalah jalur yang biasa digunakan oleh masyarakat. Pada Gambar 3 disajikan bentuk metode jalur transek yang dibuat dalam pengamatan mamalia besar di TNGC. 100 m
o
o
100 m
o
o
+ 1,7 km
Gambar 3. Bentuk unit contoh transek jalur dalam pengamatan mamalia besar; o= posisi satwa ditemukan Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap jalur pengamatan. Panjang jalur pengamatan rata-rata sepanjang 1691,67 meter dengan setiap jalur memiliki lebar 200 meter. Total luas areal pengamatan sebesar 406 Ha dengan IS
14 (Intensitas Sampling) sebesar 2,62% berdasarkan luas kawasan TNGC secara keseluruhan. 2. Inventarisasi Vegetasi Kegiatan inventarisasi vegetasi dilakukan pada jalur yang sama dengan jalur pengamatan mamalia, dengan tujuan untuk mengetahui kondisi dan komposisi vegetasinya. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, diameter batang setinggi dada (130 cm), tinggi total dan tinggi bebas cabang. Sedangkan data yang dikumpulkan untuk pertumbuhan tingkat semai dan pancang hanyalah jenis dan jumlah individu setiap jenis yang ditemukan. Metode yang digunakan dalam analisis vegetasi yaitu metode garis berpetak (Soerianegara & Indrawan 2002). Panjang jalur yang digunakan sebesar 100 meter dengan lebar sebesar 20 meter, sehingga luas setiap jalur sebesar 0,2 ha. Soerianegara
&
Indrawan (2002) menjelaskan bahwa pada
tingkat
pertumbuhan semai (a) digunakan ukuran dengan besar 2x2 m, sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pancang (b) ukurannya sebesar 5x5 m. Pada tingkat pertumbuhan tiang (c) memiliki besar ukuran 10x10 m, sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon (d) digunakan petak berukuran 20x20 m. Bentuk metode garis berpetak disajikan pada Gambar 4.
10 m
a
a b
b c
c
10 m
c b d
d
a 100 m
Gambar 4. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam inventarisasi vegetasi Jumlah jalur inventarisasi vegetasi pada setiap daerah pengamatan, adalah sebagai berikut: Linggarjati sebanyak 3 jalur, Palutungan dan Seda sebanyak 2 jalur serta
Cibeureum, Pajambon, Sayana, Bandorasa dan Sukamukti sebanyak 1 jalur.
15 Jumlah jalur pada setiap daerah disesuaikan dengan luas daerah pengamatan. Inventarisasi vegetasi terhadap hutan pinus dilakukan di dua tempat yaitu Bintangot (daerah pengamatan Seda) serta Cibunar (daerah pengamatan Linggarjati). Hutan dataran rendah dilakukan inventarisasi pada lokasi-lokasi sebagai berikut: Ayakan (daerah pengamatan Seda), Cibeureum (daerah pengamatan Cibeureum) serta Cilengkrang (daerah pengamatan Pajambon). Inventarisasi vegetasi pada hutan pegunungan dilakukan pada wilayah Kondang Amis (daerah pengamatan Linggarjati), Alas Bandorasa (daerah pengamatan Bandorasa), Japarana (daerah pengamatan Sayana), Gunung Putri (daerah pengamatan Sukamukti) serta Panggoyangan badak (daerah pengamatan Palutungan). Inventarisasi vegetasi pada hutan subalpin dilakukan pada dua lokasi yakni Tanjakan Asoy (daerah pengamatan Palutungan) dan Leuweung Gede (daerah pengamatan Linggarjati). E. Analisis Data 1. Analisis
Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan komposisi dan dominasi suatu jenis pohon pada suatu komunitas. Soerianegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa persamaan yang digunakan dalam menentukan komposisi vegetasi adalah sebagai berikut: INP
= KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang) = KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan pohon)
Kerapatan (K)
= Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh
Kerapatan Relatif (KR)
= Kerapatan suatu jenis Jumlah kerapatan seluruh jenis
Frekuensi (F)
= Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh
Frekuensi Relatif (FR)
= Frekuensi suatu jenis x 100% Jumlah frekuensi seluruh jenis
Dominasi (D)
= Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh
Dominasi Relatif (DR)
= Dominansi suatu jenis x 100% Jumlah dominansi seluruh jenis
x 100 % x 100%
16 Keterangan: Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ π D2 2. Indeks Kekayaan Jenis Kekayaan jenis mamalia dihitung dengan menggunakan metode Margalef (Ludwig & Reynolds 1988). Persamaan untuk menemukan jumlah kekayaan jenis adalah: Dmg =
S −1 ln( N )
Keterangan: Dmg = Indeks Margalef N = Jumlah individu seluruh jenis S = Jumlah jenis mamalia besar 3. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia ditentukan dengan menggunakan Indeks keanekaragaman ShannonWiener dengan rumus: H’ = - ∑ pi ln pi; dimana pi = ni/N
Keterangan: H’ = Indeks Shannon-Wiener ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis 4. Indeks Kemerataan (J’) Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa proporsi kelimpahan jenis mamalia dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan yakni: J’ = H’/ln S
Penentuan nilai indeks kemerataan ini berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis mamalia dalam areal pengamatan yang ditentukan, sehingga dapat diketahui keberadaan dominansi jenis mamalia besar. 5. Komunitas Mamalia Besar Komunitas mamalia besar ditentukan dengan menggunakan indeks koefisien Jaccard. Indeks Jaccard digunakan untuk membandingkan diantara komunitas mamalia besar secara kualitatif (Krebs 1989) dengan memperhatikan keberadaan mamalia besar dalam komunitas. Keberadaan mamalia besar, digabungkan antara
17 pertemuan langsung dan tidak langsung. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai indeks Jaccard, adalah: JI =
a a+b+c
Keterangan: a = Pada kedua habitat ditemukan jenis yang sama b = Mamalia besar hanya ditemukan pada habitat A c = Mamalia besar hanya ditemukan pada habitat B 6. Pendugaan Populasi Persamaan yang dapat digunakan untuk menduga kepadatan populasi suatu jenis mamalia berdasarkan metode transek jalur antara lain adalah persamaan King (King Methods). Metode ini digunakan oleh Jamaludin (2007) dalam melakukan pendugaan populasi terhadap babi hutan sulawesi (Sus celebensis). Bentuk persamaan penduga kepadatan populasi satwa untuk setiap jalur: Dj =
∑x
i
2 Lw
atau Dj =
∑x
i
a
Keterangan: Dj = Kepadatan populasi dugaan untuk jalur ke-j (ind/ha) Xi = Jumlah individu yang dijumpai pada kontak ke-i (individu) L = Panjang transek jalur pengamatan (m) w = Lebar kiri atau kanan jalur pengamatan (m) a = Luas jalur setiap pengamatan (ha) i = Kontak pengamat dengan satwaliar Jika pengamatan dilakukan lebih dari satu jalur pengamatan pada lokasi studi, maka ukuran populasi untuk seluruh wilayah pengamatan adalah: P=
∑ a .D ∑a j
j
×A
j
Keterangan: P = ukuran populasi dugaan (ind) A = luas total areal yang diteliti (ha) aj = luas jalur pengamatan ke-j (ha)
7. Pemanfaatan Stratifikasi dan Waktu Aktivitas Analisis pada pemanfaatan stratifikasi dan waktu aktivitas, yakni dengan memperhatikan jumlah individu setiap jenis mamalia besar dalam memanfaatkan strata hutan serta waktu untuk beraktivitas.
18
8. Asosiasi Interspesifik Asosiasi interspesifik dihitung dengan menggunakan indeks Jaccard (Ludwig & Reynolds 1988). Asosiasi ini memperhatikan jenis-jenis mamalia besar berdasarkan perjumpaan langsung atau tidak langsung di lapangan. Persamaan yang digunakan adalah: JI =
a a+b+c Untuk menentukan keberadaan 2 jenis mamalia berasosiasi atau saling
bebas, maka dilakukan uji khi-kuadrat dengan persamaan (Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut:
χ2 =
[a − E (a)] 2 + [b − E (b)] 2 + [c − E (c)] 2 + [d − E (d )] 2 , dimana E (a)
E (b)
E (c )
E (d )
E(a) = (a+b)(a+c)/N E(b) = (a+b)(b+d)/N E(c) = (c+d)(a+c)/N E(d) = (c+d)(b+d)/N Keterangan: a = kedua jenis mamalia berada pada lokasi yang sama b = Pada lokasi A hanya terdapat satu jenis mamalia besar c = Pada lokasi B hanya terdapat satu jenis mamalia besar d = kedua jenis mamalia tidak berada pada lokasi yang sama Pengujian dilakukan dengan menggunakan selang kepercayaan 95%. Hipotesa yang disusun dalam menguji asosiasi interspesifik, yaitu: H0: Tidak terdapat asosiasi antara jenis mamalia besar. H1: Terdapat asosiasi antara jenis mamalia besar. Pengambilan kesimpulan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
Jika χ2hitung > χ2 tabel, maka tolak H0 Jika χ2hitung < χ2 tabel, maka terima Ho
9. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia Dengan Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi Untuk menentukan hubungan keanekaragaman jenis mamalia dengan ketinggian tempat dan komposisi vegetasi digunakan uji regresi. Data keanekaragaman jenis mamalia besar meliputi seluruh jenis mamalia besar yang teramati secara langsung ataupun secara tidak langsung. Dalam melakukan uji
19 regresi, digunakan program SPSS 11.5 dengan nilai uji nyata < 0,05 dan tidak nyata > 0,05. Dalam hubungannya dengan ketinggian tempat, keanekaragaman jenis mamalia besar dihitung berdasarkan selang ketinggian tempat 300 m. Setiap kenaikan ketinggian sebesar 300 m, dihubungkan dengan keanekaragaman jenis mamalia besar yang ditemukan secara langsung ataupun tidak langsung pada selang ketinggian tersebut. Hubungan dengan komposisi vegetasi, memperhatikan hubungan antara kerapatan vegetasi dengan keanekaragaman jenis mamalia besar. Selain itu, menghubungkan juga kerapatan vegetasi yang digunakan sebagai sumber pakan mamalia besar dengan keanekaragaman mamalia besar. Data kerapatan vegetasi menggunakan data kerapatan vegetasi pada setiap tipe habitat.
10. Hubungan Tipe Habitat dengan Indeks Heterogenitas Untuk menentukan pengaruh antara tipe-tipe habitat terhadap kekayaan jenis, keanekaragaman jenis serta kemerataan jenis, maka dilakukan uji khikuadrat dengan persamaan (Walpole 1997) sebagai berikut:
χ2 =
(Oi − Ei ) 2 ∑ Ei i =1 k
Keterangan : Oi = Frekuensi hasil pengamatan Ei = Frekuensi yang diharapkan Pada pengujian ini, digunakan hipotesa sebagai berikut: H0: Tipe-tipe habitat tidak mempengaruhi keanekaragaman jenis mamalia besar H1: Tipe-tipe habitat mempengaruhi keanekaragaman jenis mamalia besar Pengambilan kesimpulan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
Jika χ2hitung > χ2 tabel, maka tolak H0 Jika χ2hitung < χ2 tabel, maka terima Ho
Pengujian akan dilakukan pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas (db) = (b-1) (k-1), dengan b = baris dan k = kolom.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Habitat Tipe-tipe habitat yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) diklasifikasikan menjadi 4 tipe habitat, yakni sebagai berikut: hutan pinus, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan sub alpin. Vegetasi yang terdapat pada keempat tipe habitat ini cenderung beragam. Jumlah jenis tumbuhan yang dapat teridentifikasi sebanyak 57 jenis dari 35 famili. Berdasarkan familinya, Moraceae memiliki jumlah jenis yang terbanyak yakni sebanyak 10 jenis, lalu famili Lauraceae dan Euphorbiaceae sebanyak 8 jenis. Secara lebih rinci, jenis-jenis tumbuhan yang teridentifikasi disajikan pada Lampiran 1. 1. Habitat Hutan Pinus Dalam kawasan TNGC terdapat habitat hutan pinus yang sebelumnya menjadi kawasan Perhutani. Pada habitat ini, terdapat beberapa lahan garapan masyarakat berupa kebun. Interaksi masyarakat pada habitat ini cukup sering, terlihat dengan aktivitas masyarakat dalam mengambil rumput untuk kebutuhan ternak. Perbedaan komposisi vegetasi lebih ditunjukkan pada tingkat pertumbuhan tumbuhan bawah. Tumbuhan kaliandra merupakan vegetasi yang dominan ditemukan pada habitat ini. Vegetasi yang terdapat pada hutan pinus ini sebagian besar adalah tumbuhan bawah dan beberapa jenis alang-alang. Tumbuhnya alangalang disebabkan penutupan tajuk pada habitat hutan pinus yang terbuka mempengaruhi tumbuhnya tumbuhan-tumbuhan pionir yakni alang-alang. Pada tingkat pertumbuhan semai, didominasi oleh kiseer dengan INP sebesar 100%. Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh kaliandra dengan IPN sebesar 44,30%. Untuk tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh pohon simpur dengan INP sebesar 76,19%. Pohon pinus mendominasi pada tingkat pertumbuhan tiang (INP= 219,74%) dan pohon (INP=226,99%). Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan pinus disajikan pada Tabel 1 dan secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 2-6.
21 Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan pinus Tingkat Pertumbuhan
Semai
Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Jenis Tumbuhan
Nama Ilmiah
INP (%)
Kiseer
Antiaesta tetrandrum
-
-
-
-
-
-
Kaliandra
Caliandra caliandra
44,30
Kirinyuh
(?)
15,94
Oyeh
(?)
14,94
Simpur
(?)
76,19
Antret
(?)
47,62
Kopi
(?)
30,95
Pinus
Pinus merkusii
219,74
Bisoro
(?)
44,00
Kacu
Artocarpus sp.
36,27
Pinus
Pinus merkusii
226,99
Saninten
Castanopsis javanica
37,32
Afrika
(?)
35,69
100
Untuk tingkat pertumbuhan pancang, vegetasi yang terdapat di TNGC cukup beragam dan terdapat 3 jenis tumbuhan yang tumbuh secara alami, yaitu simpur, antret dan binuang. Pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon, terdapat jenis-jenis yang tumbuh secara alami yaitu bisoro, kacu serta saninten. Tumbuhnya jenis-jenis alami ini perlahan-lahan akan mendominasi vegetasi pinus yang ada. Suksesi hutan pinus sudah mulai terlihat dengan tumbuhnya jenis tumbuhan hutan primer (Soerianegara & Indrawan 2002), yakni saninten (Castanopsis javanica). 2. Habitat Hutan Dataran Rendah Tipe habitat hutan dataran rendah yang berada dalam kawasan TNGC tersebar diantara ketinggian 500 mdpl hingga 1000 mdpl. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan pada ketiga wilayah ini adalah jenis-jenis yang umumnya ditemukan pada habitat hutan dataran rendah. Riyanto et al (2007) menyatakan jenis-jenis tumbuhan hutan dataran rendah yaitu binuang (Tetrameles nudiflora), gempol (Nauclea excelsa), huru kapundung (Cleidion spiciflorum) serta kondang (Ficus variegata).
22 Pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yakni huru langsep (INP=27,69%). Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh jukut galunggung (INP=27,11%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh kacu dengan INP sebesar 21,45%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh huru kadoya (INP=18,75%). Pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh kondang dengan INP sebesar 24,29%. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan dataran rendah disajikan pada Tabel 2 dan secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 7-11. Tabel 2.
Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan dataran rendah
Tingkat Pertumbuhan
Semai
Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Jenis Tumbuhan
Nama Ilmiah
INP (%)
Huru langsep
(?)
27,69
Huru kapundung
(?)
27,38
Jelutung
(?)
23,69
Jukut galunggung
(?)
27,11
Manis mata
(?)
17,89
Kaliandra
(?)
13,67
Kacu
Artocarpus sp.
21,45
Huru meuhmal
Acronychia sp.
12,37
Kaliandra
Caliandra caliandra
12,00
Huru kadoya
(?)
18,75
Nangsi
Villebrunea rubescens
17,44
Ipis kulit
Decaspermum fruticesum
17,08
Kondang
Ficus variegata
24,29
Gempol
Nauclea excelsa
16,12
Benda
Artocarpus elasticus
13,44
Kaliandra merupakan jenis tumbuhan yang dapat hidup pada tegakan yang terbuka. Dominasi tumbuhan kaliandra pada hutan dataran rendah menunjukkan bahwa kondisi hutan dataran rendah tergolong terganggu. Kondisi hutan yang terganggu dapat juga diketahui dengan interaksi masyarakat yang berbatasan dengan hutan dataran rendah dalam mencari rumput ataupun kayu bakar.
23 3. Habitat Hutan Pegunungan Hutan pegunungan adalah ciri khas dari TNGC yang tersebar pada ketinggian 1000 mdpl hingga 2400 mdpl. Pada habitat ini, interaksi masyarakat dengan kawasan hutan lebih sedikit, dipengaruhi lokasi yang lebih jauh dari permukiman. Namun, masih terdapat bentuk-bentuk aktivitas masyarakat pada habitat ini, terlihat dengan ditemukannya potongan kayu di dalam kawasan. Pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yakni bubuai (INP=24,78%). Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh pecah beling (INP=48,99%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh pasang dengan INP sebesar 17,04%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh pasang (INP=23,53%). Pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh saninten dengan INP sebesar 26,51%. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada hutan pegunungan disajikan pada Tabel 3 dan secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran12-16. Tabel 3. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan pegunungan Tingkat Pertumbuhan Semai
Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Jenis Tumbuhan Bubuai Kileho Pakis Pecah beling Paku-pakuan Gurunggutu Pasang Nangsi Pulus Pasang Saninten Kileho Saninten Surian Kiplik
Nama Ilmiah Pinanga conorata Saurauia sp. (?) (?) Cyathea sp. (?) Lithocarpus ewyckii Villebrunea rubescens Ficus sp. Lithocarpus ewyckii Castanopsis javanica Saurauia sp. Castanopsis javanica (?) Ficus sp.
INP (%) 24,78 16,50 15,37 48,99 23,49 16,40 17,04 12,09 10,91 23,53 22,57 15,64 26,51 13,84 10,66
Pohon saninten dan pasang memiliki regenerasi yang baik. Hal ini dapat diketahui dengan ditunjukkannya dominasi oleh kedua jenis ini pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon. Soerianegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa jenis ini merupakan jenis-jenis tumbuhan primer. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi hutan pegunungan di TNGC masih tergolong baik.
24 4. Habitat Hutan Sub-Alpin Hutan sub-alpin pada kawasan TNGC terletak di ketinggian 2400 mdpl hingga puncak gunung Ciremai yaitu 3078 mdpl. Jumlah jenis yang ditemukan pada hutan sub alpin lebih sedikit dari hutan pegunungan. Faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhinya adalah terbatasnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan semakin meningkatnya ketinggian tempat. Pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yakni huru madam (INP=26,74%). Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh pecah beling (INP=34,26%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh huru piit dengan INP sebesar 29,52%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh huru cantigi (INP=28,03%). Pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh pasang dengan INP sebesar 29,79%. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada hutan subalpin disajikan pada Tabel 4 dan secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 17-21. Tabel 4. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan subalpin Tingkat Pertumbuhan Semai
Tumbuhan Bawah
Pancang
Tiang
Pohon
Jenis Tumbuhan Huru madam Huru tangkil Kibeunter Pecah beling Paku-pakuan Teki Huru piit Pasang Huru tangkil Huru cantigi Hambirung Huru tangkil Pasang Kijago Ipis kulit
Nama ILmiah Litsea sanguinolenta Psychotria viridiflora Debregeasia sp. (?) Cyathea sp. (?) Prunus arborea Lithocarpus ewyckii Psychotria viridiflora Aglaia odorata Engelhardia servata Psychotria viridiflora Lithocarpus ewyckii Macropanax dispermum Decaspermum fruticosum
INP (%) 26,74 26,04 24,31 45,40 32,28 19,48 29,52 22,70 21,34 28,03 25,20 25,20 29,79 22,89 21,39
Kondisi habitat hutan subalpin masih tergolong baik. Hal ini dapat diketahui dengan dominannya pohon pasang yang merupakan indikator hutan yang tidak terganggu. Terganggunya hutan subalpin dapat disebabkan oleh pendakian yang dilakukan masyarakat umum ke puncak Gunung Ciremai.
25 B. Keanekaragaman Jenis Mamalia besar Krebs (1989) menyatakan bahwa ada 4 tipe informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data keanekaragaman jenis, yaitu jumlah jenis, jumlah individu tiap jenis, lokasi yang ditempati oleh individu setiap jenis dan lokasi yang ditempati oleh individu sebagai individu-individu yang terpisah. Jumlah jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC secara langsung dan tidak langsung (melalui suara, jejak kaki, sarang, kotoran yang ditinggalkan serta bekas makan mamalia besar) sebanyak 9 jenis dari 6 famili, yaitu Cercopithecidae (3 jenis) dan Lorisidae (1 jenis) yang termasuk ke dalam ordo Primata, Suidae (1 jenis) dan Cervidae (1 jenis) yang termasuk ke dalam ordo Artiodactyla serta Felidae (2 jenis) dan Viverridae (1 jenis) termasuk ke dalam ordo Carnivora. Jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC Nama Lokal Kukang jawa Surili Lutung budeng Monyet-ekor panjang Babi hutan Kijang muncak Musang luwak Kucing hutan Macan tutul
Nama Ilmiah Nycticebus javanicus Presbytis aygula Trachypithecus auratus Macaca fascicularis Sus scrofa Muntiacus muntjac Paradoxurus hermaphroditus Prionailurus bengalensis Panthera pardus
Famili
Jumlah individu setiap tipe habitat HPin
HDR
HPeg
HSub
Lorisidae
0
0
4
0
Cercopithecidae
0
0
32
0
Cercopithecidae
0
18
59
2
Cercopithecidae
0
191
2
0
Suidae
0
0
2
0
Cervidae
0
0
1
0
Viverridae
0
0
0
0
Felidae
0
0
0
0
Felidae
0
0
0
1
Keterangan: HPin = Hutan Pinus, HDR = Hutan Dataran Rendah, HPeg = Hutan Pegunungan, HSub = Hutan Subalpin
Umumnya jumlah individu yang ditemukan berdasarkan perjumpaan langsung, diketahui bahwa jumlahnya lebih banyak pada hutan pegunungan. Hal ini dapat disebabkan jenis-jenis mamalia besar yang terdapat di TNGC telah beradaptasi dengan baik dengan kondisi habitat hutan pegunungan. Sebaliknya pada habitat hutan subalpin jumlah individu yang ditemukan jauh lebih sedikit.
26 Hal ini terkait dengan perubahan komposisi jenis mamalia besar dengan adanya peningkatan ketinggian tempat. Keanekaragaman jenis mamalia besar dapat dikelompokkan ke dalam 3 tingkat trofik (pemilihan terhadap jenis makanannya), yaitu herbivora (makanan utama berupa tumbuhan bawah, daun serta buah), karnivora (makanan utama berupa daging) dan omnivora. Berdasarkan hal tersebut, terdapat 3 jenis yang merupakan satwa omnivora, yakni monyet-ekor panjang, kukang jawa dan babi hutan. Terdapat 2 jenis yang termasuk satwa karnivora, yakni kucing hutan dan macan tutul. Satwa herbivora sebanyak 4 jenis, yakni lutung budeng, surili, musang luwak dan kijang muncak. Untuk mamalia besar yang bersifat karnivora, yakni kucing hutan dan macan tutul. Jumlah jenis berdasarkan tingkat trofik disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Jumlah jenis mamalia besar berdasarkan tingkat trofik Berdasarkan pengelompokkan jenis mamalia besar menurut tingkat trofik diketahui bahwa keseimbangan ekosistem pada mamalia besar masih tergolong baik. Hal ini diketahui berdasarkan jumlah jenis herbivora yang lebih banyak dari omnivora dan karnivora yang membentuk bentuk piramida. Apabila jumlah jenis karnivora lebih banyak dari jumlah jenis herbivora, maka jejaring makanan dalam ekosistem akan menjadi tidak seimbang. Noerdjito et al. (2005) menyatakan keseimbangan ekosistem telah diatur secara alami melalui mekanisme rangkaian penyediaan dan keseimbangan jejaring makanan.
27 Pada habitat hutan pinus tidak ditemukan satupun jenis mamalia besar secara langsung. Hal ini dapat disebabkan tidak tersedianya sumberdaya pakan bagi mamalia besar di habitat hutan pinus. Heriyanto & Iskandar (2004) menyatakan bahwa habitat yang baik diketahui dari tersedianya sumber pakan bagi satwaliar. Jumlah jenis mamalia besar beserta jumlah individunya yang ditemukan dalam suatu kawasan akan berpengaruh terhadap nilai indeks kekayaan jenis Margalef. Toth & Kiss (1999) menyatakan bahwa peningkatan jumlah jenis akan menyebabkan nilai indeks Margalef semakin tinggi. Dikatakan lebih lanjut bahwa bila jumlah individu setiap jenis yang meningkat akan menyebabkan nilai indeks Margalef semakin menurun. Dalam penghitungan terhadap keanekaragaman jenis mamalia besar di TNGC didapatkan nilai indeks kekayaan jenis Margalef berkisar antara nilai 0,191,09 pada setiap tipe habitat. Untuk nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener berkisar antara 0,29-1,01. Nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis pada setiap tipe habitat disajikan pada Tabel 6. Secara lebih rinci, nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis disajikan pada Lampiran 22. Tabel 6. Nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis pada setiap tipe habitat Tipe Habitat Hutan dataran rendah Hutan pegunungan Hutan subalpin Seluruh habitat
Indeks Kekayaan Jenis
Indeks Keanekaragaman Jenis
0,19 1,09 0,91 1,04
0,29 1,01 0,64 1,00
Keanekaragaman jenis mamalia besar lebih tinggi pada habitat hutan pegunungan dibandingkan habitat lainnya. Hal ini disebabkan TNGC yang merupakan kawasan pegunungan yang lebih luas dari habitat lainnya. Zorenko & Leontyeva (2003) menyatakan bahwa faktor luasan mempengaruhi nilai indeks yang dimiliki. Soerianegara & Indrawan (2002) menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah. Keanekaragaman jenis mamalia besar di TNGC tergolong rendah. Zorenko & Leontyeva (2003) pada keaneakaragaman jenis mamalia di Riga, didapatkan
28 nilai indeks kekayaan jenis Margalef yang bervariasi antara 0,58-4,43. Ditambahkan
lebih
lagi
pada indeks
kekayaan
jenis
Shannon-Wiener,
keanekaragaman jenis dikatakan tinggi bila nilainya lebih dari 3,5 (Soerianegara 1996). Tipe-tipe habitat yang terdapat di TNGC memiliki pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman jenis mamalia besar yang ditemukan. Berdasarkan uji khi-kuadrat, diketahui bahwa nilai uji khi-kuadrat hitung (χ²hitung) sebesar 443,09. Nilai ini lebih besar dari khi-kuadrat tabel (χ²tabel
0,05;30)
sebesar 43,77.
Keanekaragaman jenis mamalia besar yang rendah, dipengaruhi atas kondisi hutan di TNGC yang cenderung telah terganggu. Hal ini menyebabkan hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat bertahan dalam kondisi yang terganggu. Tobing (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis yang dapat beradaptasi pada gangguan maka akan tetap lestari. Jenis-jenis yang ditemukan umumnya adalah jenis-jenis yang dapat hidup pada habitat hutan sekunder atau hutan terganggu, antara lain surili, monyet-ekor panjang, kijang muncak dan babi hutan (Supriatna & Wahyono 2000; Payne et al. 2000; Farida et al. 2003). Keanekaragaman jenis di suatu kawasan dipengaruhi oleh keanekaragaman dan kualitas habitat, keberadaan kompetitor dan gangguan dari aktivitas manusia yang berupa konversi hutan, pembakaran hutan serta (Sodhi 2004; Gunawan et al. 2005).
Faktor
gangguan
merupakan
faktor
utama
terhadap
rendahnya
keanekaragaman jenis mamalia besar pada TNGC. Gangguan-gangguan yang ditemukan pada TNGC, yaitu kebakaran hutan, konversi hutan menjadi lahan perkebunan serta perburuan liar. Banyaknya pendakian di Gunung Ciremai dapat juga menjadi faktor terganggunya satwaliar C. Kemerataan Jenis Kemerataan jenis dalam suatu habitat dapat ditandai dengan tidak adanya jenis-jenis yang dominan. Pada saat setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama-sama berlimpah akan menyebabkan didapatkannya nilai indeks kemerataan yang maksimum. Sebaliknya bila kelimpahan individu pada masing-masing jenis berbeda jauh maka menyebabkan nilai indeks kemerataan semakin menurun.
29 Habitat hutan dataran rendah memiliki nilai indeks kemerataan yang terendah. Semakin tinggi nilai dari indeks kemerataan, mengindikasikan bahwa dalam suatu komunitas tidak terdapat jenis yang dominan (Kurnia et al. 2005). Hutan
subalpin
memiliki
indeks
kemerataan
yang
tertinggi.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa tidak terdapat jenis yang mendominasi pada komunitas mamalia besar pada hutan subalpin. Nilai indeks kemerataan yang didapatkan selama pengamatan berkisar antara 0,42-0,92. Nilai indeks kemerataan jenis pada setiap tipe habitat disajikan pada Gambar 6 dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 22.
Gambar 6. Nilai indeks kemerataan jenis pada setiap tipe habitat Pada keseluruhan habitat, didapatkan nilai indeks kemerataan jenis sebesar 0,52. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat jenis-jenis yang dominan dalam kawasan TNGC, yang diketahui dengan melimpahnya jumlah individunya dan menyebar pada setiap habitat. Lutung budeng menyebar pada setiap habitat yang ada, dari hutan dataran rendah hingga hutan subalpin. Surili yang termasuk ke dalam satu famili yang sama dengan lutung budeng memiliki penyebaran yang lebih rendah. Sugardjito et al. (1997) menyatakan bahwa surili memiliki penyebaran yang lebih rendah dibandingkan lutung budeng pada Taman Nasional Gunung Halimun. Selama pengamatan, surili tidak ditemukan pada habitat hutan dataran rendah. Hal ini berbeda dengan Nijman & Balen (1998); Heriyanto & Iskandar (2004) yang
30 menemukan surili pada habitat hutan dataran rendah pada kawasan hutan yang berbeda. D. Komunitas Mamalia besar Suatu komunitas terdiri dari banyak jenis yang memiliki perubahan populasi dan interaksi satu dengan yang lainnya. Terdapat beberapa habitat yang memiliki komunitas yang sama, tetapi ada juga yang tidak sama. Komunitas yang sama dilihat dengan terdapatnya jenis yang sama pada kedua habitat yang diperbandingkan. Soendjoto & Gunawan (2003) menyatakan bahwa kehadiran suatu jenis merupakan faktor yang penting dalam penilaian habitat dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan habitat. Habitat hutan dataran rendah dan hutan pinus memiliki kesamaan komunitas yang tertinggi saat komunitasnya dibandingkan dengan hutan pegunungan. Hal ini dapat disebabkan jumlah jenis yang sama pada hutan pinus dan hutan dataran rendah. Walaupun jumlah jenisnya sama, tetapi komposisi jenis mamalia besar pada kedua habitat ini tidaklah sama. Hal ini juga yang menyebabkan kesamaan komunitas antara hutan pinus dan hutan dataran rendah cukup rendah. Kesamaan komunitas mamalia besar disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kesamaan komunitas mamalia besar di TNGC x/y HPin HDR HPeg HSub
HPin -
HDR 0,43 -
HPeg 0,56 0,56 -
HSub 0,14 0,14 0,33 -
Keterangan: HPin = Hutan Pinus, HDR = Hutan Dataran Rendah, HPeg = Hutan Pegunungan, HSub = Hutan Subalpin
Semakin tinggi suatu lokasi memiliki pengaruh terhadap komunitas mamalia besar. Hal ini terlihat pada komunitas hutan dataran rendah dengan hutan subalpin. Komunitas yang terdapat pada kedua habitat ini mendekati tidak sama (mendekati nilai 0). Pada saat diperbandingkan antara hutan dataran rendah dengan hutan pegunungan, nilai kesamaannya tidak terlalu rendah. Namun, penurunan komunitas terlihat saat terjadi peningkatan ketinggian. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi lokasi akan berpengaruh terhadap
31 rendahnya kesamaan komunitas mamalia besar. Faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi lingkungan yang berbeda antara tiap habitat berpengaruh terhadap kemampuan mamalia besar dalam beradaptasi. Apabila jenis-jenis mamalia besar di TNGC dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda, baik itu disebabkan adanya gangguan ataupun perubahan iklim dengan peningkatan ketinggian tempat akan menyebabkan komunitas mamalia besar tetap lestari. E. Pendugaan Populasi Mamalia besar Populasi suatu jenis satwaliar perlu diketahui dalam melakukan manajemen pengelolaan kawasan konservasi. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui bentuk pengelolaan terhadap jenis yang populasinya menurun disebabkan oleh faktor-faktor iklim, habitat, predator serta satwa itu sendiri. Syaukani et al. (2004) menyatakan bahwa penyebab menurunnya populasi dan penyebaran jenis hayati disebabkan oleh rusaknya ekosistem hutan. Kondisi
topografi
hutan
sangat
mempengaruhi
dalam
melakukan
penghitungan populasi. Topografi yang cenderung datar akan lebih mudah dalam melakukan pengamatan terhadap satwaliar dibandingkan dengan topografi yang berlereng. Sifat dan perilaku suatu jenis satwaliar juga mempengaruhi terhadap teramatinya jenis satwaliar. Departemen Kehutanan (1992) menyatakan bahwa mamalia besar sukar untuk disensus karena populasinya menyebar dan kemampuan menjelajahnya yang tinggi. Selain itu, sifat satwaliar yang memiliki aktivitas nokturnal menyebabkan kesulitan dalam menemukan mamalia besar. Setiap jenis mamalia besar memiliki kepadatan populasi yang berbeda-beda. Perbedaan nilai kepadatan terlihat pada masing-masing ordo, yakni ordo Primata memiliki jenis-jenis dengan kepadatan yang lebih tinggi dari ordo Artiodactyla dan ordo Karnivora. Kepadatan yang tertinggi adalah monyet-ekor panjang sebesar 53,61 ind/km2. Kartono (1999); Supartono (2001) menyatakan kepadatan populasi monyet-ekor panjang pada daerah penelitiannya masing-masing sebesar 0,80 ind/ha atau 80 ind/km2. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat kemungkinan peningkatan kepadatan monyet-ekor panjang. Pendugaan populasi
32 terhadap jenis-jenis mamalia besar di TNGC disajikan pada Tabel 8 dan secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 23. Tabel 8. Pendugaan populasi jenis mamalia besar di TNGC Nama Lokal
Nama Ilmiah
Kukang jawa Surili Lutung budeng Monyet-ekor panjang Babi hutan Kijang muncak Macan tutul
Nycticebus coucang Presbytis aygula Trachypithecus auratus Macaca fascicularis Sus scrofa Muntiacus muntjak Panthera pardus
Kepadatan (ind/Km2) 1,19 3,66 7,05 53,61 0,60 1,11 0,22
Status Konservasi RI CITES IUCN P 2 P 1 E P 2 V 2 P P 1 E
Sumber: Suyanto et al. 2002; Maryanto & Soebekti 2007
Populasi monyet-ekor panjang lebih terpusat pada satu lokasi, yakni pada daerah pengamatan Cibeureum yang habitatnya terfragmentasi dan berbatasan dengan permukiman masyarakat. Semakin besar kepadatan monyet-ekor panjang pada daerah ini dapat menyebabkan terjadinya perkawinan dalam antar kerabat jenis (Nurjaman et al. 2002). Apabila hal ini terjadi, maka dapat menyebabkan penurunan variasi genetik dari populasi tersebut yang berpengaruh terhadap menurunnya kemampuan dalam bertahan hidup. Jenis-jenis primata lainnya selain dari monyet-ekor panjang memiliki kepadatan yang tinggi dibandingkan jenis-jenis mamalia besar terrestrial yang ditemukan di TNGC. Lutung budeng memiliki kepadatan sebesar 7,05 ind/km2; surili sebesar 3,66 ind/km2 dan kukang jawa sebesar 1,19 ind/km2. Kepadatan surili pada hutan tak terganggu di kawasan hutan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun sebesar 23,38 ind/km2 dan pada hutan yang terganggu sebesar 8,25 ind/km2 (Tobing 1999). Dikatakan lebih lagi, kepadatan lutung budeng sebesar 71,50 ind/km2 pada hutan tak terganggu dan sebesar 6,14 ind/km2 pada hutan yang terganggu. Rendahnya kepadatan surili dan lutung budeng di TNGC dapat dipengaruhi oleh kondisi dan kualitas habitat di TNGC. Habitat yang baik adalah habitat yang dapat menyediakan sumberdaya pakan bagi satwaliar (Chivers 1998; Heriyanto & Iskandar 2004; Li & Rogers 2006). Jenis-jenis mamalia besar dari ordo Artiodactyla memiliki kepadatan yang lebih rendah. Kijang muncak memiliki kepadatan populasi sebesar 1,11 ind/km2 dan babi hutan sebesar 0,60 ind/km2. Rendahnya populasi dari kedua jenis ini
33 dapat disebabkan oleh perburuan masyarakat. Kijang muncak dan babi hutan umumnya mencari makan pada areal garapan masyarakat. Hal ini yang menyebabkan kedua jenis ini diburu karena dianggap sebagai hama pada lahan garapannya. Selain faktor perburuan, rendahnya kepadatan kedua jenis ini dapat disebabkan terdapatnya satwa karnivora yang menjadikan kijang muncak dan babi hutan sebagai satwa mangsanya. Kepadatan macan tutul di TNGC merupakan yang terendah dibandingkan jenis-jenis mamalia besar lainnya. Hal ini disebabkan bahwa berdasarkan tingkat trofik, satwa ini merupakan karnivora teratas di TNGC. Namun, kepadatannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan kepadatan macan tutul di TNGH. Harahap & Sakaguchi (2005) menyatakan bahwa kepadatan macan tutul di TNGH sebesar 0,15 individu/km2. Populasi macan tutul akan meningkat dengan bertambahnya kelimpahan hewan mangsanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marker & Dickman (2005) tentang hubungan kelimpahan hewan mangsa dengan kepadatan macan tutul. Selain itu, Carroll et al. (2001) menambahkan bahwa jenis-jenis mamalia besar karnivora umumnya memiliki tingkat kesuburan yang rendah, sehingga pertumbuhan populasinya menjadi tidak cepat. Kepadatan setiap jenis mamalia besar di TNGC perlu mendapatkan perhatian, khususnya jenis-jenis yang dilindungi keberadaannya. Terdapat 23 kriteria penentuan jenis hayati untuk dilindungi, salah satunya adalah populasi hayati yang rendah atau cenderung menurun (Noerdjito 2005). Perlindungan terhadap jenis-jenis mamalia besar ditandai dengan status konservasi yang dimiliki setiap jenis mamalia besar. Status konservasi diberikan oleh Pemerintah RI (PP No.7 Tahun 1999), CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Jenis-jenis mamalia besar yang terdapat di TNGC umumnya merupakan satwa yang dilindungi keberadaannya. Sebagian besar jenis-jenis primata yang ditemukan memiliki status dilindungi. Oleh karena itu kelestariannya perlu dijaga, salah satunya dengan tidak terjadinya penebangan hutan dalam kawasan TNGC.
34 Rusaknya hutan akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya pakan bagi jenis-jenis primata yang akan menyebabkan populasinya akan semakin langka (Jones 1997). Apabila populasi jenis-jenis primata di TNGC mengalami penurunan bahkan kepunahan, akan memiliki dampak pada kondisi ekosistem di TNGC. Primack & Corlett (2005) menyatakan bahwa primata memiliki peran besar dalam ekologi hutan, yaitu sebagai pemencar biji. Macan tutul merupakan salah satu jenis mamalia besar dilindungi yang keberadaannya tergantung pada satwa mangsa. Harahap & Sakaguchi (2005) menyatakan bahwa berdasarkan analisis feses macan tutul, diketahui bahwa satwa mangsanya yakni surili, babi hutan dan kijang muncak. Perburuan yang terjadi pada babi hutan dan kijang muncak yang dianggap mengganggu ladang, akan menyebabkan populasi macan tutul semakin rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul di TNGC. Primack & Corlett (2005) menyatakan bahwa karnivora merupakan elemen yang penting pada komunitas satwaliar. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk perlindungan terhadap jenis-jenis mamalia besar dari perburuan. F. Pemanfaatan Waktu Aktivitas dan Stratifikasi Setiap jenis makhluk hidup akan selalu berinteraksi dengan lingungannya. Vaughan (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran mamalia besar yaitu faktor fisik (iklim, air dan substrat) dan faktor biotik (vegetasi dan makanan). Faktor-faktor ini akan menyebabkan setiap jenis satwaliar, khususnya mamalia besar memiliki kebiasaan tertentu dalam memanfaatkan lingkungannya berupa hutan berdasarkan stratifikasi hutan dan waktu aktivitas. Bentuk pemanfaatan waktu aktivitas dan stratifikasi disajikan pada Lampiran 24 dan Lampiran 25, terkait dengan data pertemuan langsung dan tidak langsung terhadap jenis-jenis mamalia besar. Pola aktivitas setiap jenis mamalia besar yang ditemukan berbeda berdasarkan waktu. Aktivitas yang umumnya dilakukan oleh mamalia besar ini dikategorikan berdasarkan pengamatan di lapangan menjadi 5, yaitu aktivitas bersuara, bergerak, makan, berkelahi, dan lainnya. Aktivitas berkelahi berupa
35 kegiatan satwa dalam mempertahankan wilayah teritorinya dari individu-individu atau kelompok lainnya. Dalam melakukan aktivitasnya, jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan umumnya melakukan aktivitasnya lebih banyak pada pagi hari dibandingkan sore hari. Hal ini didasarkan jenis mamalia besar yang ditemukan secara langsung sebagian besar adalah satwa bersifat diurnal. Satwa yang bersifat nokturnal umumnya tidak ditemukan secara langsung, salah satunya adalah kucing hutan yang diketahui keberadaannya melalui suara yang dikeluarkan. Pembagian berdasarkan tipe aktivitas, aktivitas bergerak, bersuara dan berkelahi lebih banyak dilakukan pada pagi hari. Pada aktivitas berkelahi atau aktivitas jenis mamalia besar dalam mempertahankan teritorinya yang teramati pada monyet-ekor panjang hanya dilakukan pada pagi hari. Perbedaan pada total individu jenis mamalia besar disajikan dalam persentase dalam pembagian waktu aktivitas pagi dan sore hari. Total individu setiap jenis yang melakukan aktivitas pada pagi hari sebesar 63%, sedangkan yang memanfaatkan pada sore hari sebesar 37%. Pembagian bentuk aktivitas mamalia besar pada saat pagi dan sore hari disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Pembagian bentuk aktivitas mamalia besar berdasarkan tipe aktivitas Pada aktivitas makan, jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan lebih banyak melakukannya pada sore hari. Hal ini dapat disebabkan dari bentuk
36 adaptasi jenis-jenis mamalia besar dalam menghindari adanya gangguan. Pada saat pagi hari, masyarakat banyak melakukan aktivitas ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar atau rumput. Hal ini yang diduga berpengaruh terhadap bentuk adaptasi jenis-jenis mamalia besar lebih banyak memanfaatkan waktu sore hari untuk makan. Bentuk adaptasi terhadap kebutuhan akan sumber pakannya terlihat juga pada macan tutul yang melakukan aktivitas pada pagi hari antara pukul 06.00-09.00 WIB di TNGH sebagai salah satu pola adaptasi macan tutul terhadap satwa mangsa utamanya yaitu kijang (Harahap & Sakaguchi 2003). Selain ditinjau berdasarkan pemanfaatan waktu aktivitas satwaliar, dikategorikan juga berdasarkan pemanfaatan stratifikasi hutan yaitu sebagai satwa arboreal dan terestrial. Vieira & Filho (2003) menyatakan bahwa perubahan ketinggian pada hutan hujan di Atlantic dapat mengubah komposisi dari komunitas pada lapisan hutan yang berbeda tanpa mengubah pola pemanfaatan habitat vertikal secara spesifik. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa kekayaan vertebrata yaitu mamalia berkorelasi dengan struktur kompleks dari hutan. Setiap strata hutan memiliki kemampuan dalam mendukung kehidupan jenis-jenis
satwaliar
tertentu
(Alikodra
2002).
Kartono
et
al.
(2000)
mengelompokkan sebaran spasial vertikal pada jenis-jenis mamalia yang ditemukan di Muara Bungo, Jambi ke dalam 5 kelompok. Soerianegara & Indrawan (2002) membagi strata hutan atas strata A (> 30m), strata B (20-30m), strata C (4-20m), strata D (1-4m) dan strata E (0-1m). Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia besar disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia besar di TNGC Nama Jenis Kukang jawa Surili Lutung budeng Monyet ekor panjang Babi hutan Kijang muncak Macan tutul
A (>30m) 0 0 34 13 0 0 0
B (20-30m) 1 19 32 45 0 0 0
Strata Hutan C (4-20m) 3 13 13 46 0 0 0
D (1-4m) 0 0 0 2 0 0 0
E (<1m) 0 0 0 87 2 1 1
37 Dalam pembagian berdasarkan stratifikasi hutan, diketahui bahwa monyetekor panjang memiliki sebaran vertikal yang lebih luas dibandingkan seluruh jenis mamalia besar. Monyet-ekor panjang memanfaatkan setiap strata hutan yang telah dibagi. Hal ini dapat disebabkan kebiasaan monyet-ekor panjang untuk tidak memilih sumberdaya pakan tertentu. Selama pengamatan, satwa ini ditemukan di lantai hutan (strata E) sedang mencari makanan dalam tumpukan sampah di lokasi kawasan yang berbatasan dengan permukiman. Bentuk pemanfaatan strata hutan oleh monyet-ekor panjang disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Bentuk pemanfaatan strata hutan oleh monyet-ekor panjang Mamalia besar yang memanfaatkan strata A hanya monyet-ekor panjang dan lutung budeng. Santoso (1996) menyatakan bahwa pola aktivitas monyet-ekor panjang di Pulau Tinjil yang banyak aktif pada tajuk pohon mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya pakannya sedang berlimpah pada stratifikasi atas. Lutung budeng lebih banyak memanfaatkan strata A dibandingkan jenis-jenis mamalia besar lainnya. Seperti halnya pernyataan Santoso (1996), lutung budeng juga lebih banyak memanfaatkan strata A disebabkan kebutuhannya akan daun muda yang terdapat di tajuk pohon teratas. Jenis-jenis primata di TNGC lebih banyak dijumpai pada strata B. Berdasarkan data pengamatan, rata-rata primata memanfaatkan pada ketinggian pohon berkisar dari 19-24m. Hal ini dapat disebabkan pada ketinggian ini, tersedia sumber pakan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis primata seperti buah, daun dan
38 serangga. Selain itu, jenis-jenis primata dapat melakukan pergerakan yang lebih mudah dari strata B untuk berpindah ke strata A atau strata C. Heriyanto & Iskandar (2004) menyatakan bahwa surili yang ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon berada pada ketinggian 20-25 m dari permukaan tanah untuk kegiatan makan, istirahat, bermain dan melakukan perjalanan. Jenis-jenis mamalia besar lainnya selain ordo primata, merupakan jenisjenis yang mendiami strata E atau lantai hutan. Jenis-jenis yang teramati memanfaatkan strata E adalah kijang muncak, babi hutan dan macan tutul. Namun, terdapat dugaan bahwa macan tutul memanfaatkan juga stratifikasi lainnya untuk beristirahat. Kebutuhan akan satwa mangsanya menyebabkan satwa ini memiliki kebiasaan untuk hidup pada strata terbawah. Payne et al. (2000) menyatakan bahwa beberapa jenis Felidae memiliki sifat terestrial, tetapi juga memanfaatkan strata hutan yang lebih tinggi (arboreal). Kijang muncak dan babi hutan bersifat terestrial, yakni hidup pada lantai hutan. Kijang muncak memanfaatkan lantai hutan dalam memenuhi kebutuhannya akan rumput sebagai sumber pakan, sedangkan babi hutan memerlukan biotabiota dalam tanah ataupun rumput. Baubet et al. (2003) menyatakan bahwa babi hutan memiliki kecenderungan memakan cacing tanah sepanjang tahun. Alikodra (2002) menyatakan bahwa variasi jenis-jenis satwaliar di lantai hutan ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan, kerapatan dan letak tempatnya. G. Asosiasi Interspesifik Interaksi merupakan bentuk asosiasi yang terjadi pada makhluk hidup dalam lingkungannya. Hal ini didasari atas sifat yang saling membutuhkan antara setiap jenis makhluk hidup. Alikodra (2002) menyatakan terdapat bentuk interaksi yang melibatkan antara individu-individu dalam satu jenis yang disebut interaksi intraspesifik. Selain itu, terdapat juga bentuk interaksi yang melibatkan dua jenis atau lebih yang disebut dengan interaksi interspesifik atau asosiasi interspesifik. Asosiasi interspesifik diantara jenis-jenis mamalia besar di TNGC memiliki nilai yang bervariasi antara 0,25 hingga 1. Nilai asosiasi yang tertinggi ditunjukkan antara babi hutan dengan kucing hutan, babi hutan dengan musang
39 luwak serta musang luwak dengan kucing hutan. Matriks asosiasi interspesifik pada setiap jenis mamalia besar di TNGC disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Matriks asosiasi interspesifik pada jenis-jenis mamalia besar di TNGC Ku -
x/y Ku Su Lu Mo Ba Ki Mus Kuc Ma
Su 0,33ns -
Lu 0,33 ns 0,50 ns -
Mo 0,50 ns 0,25 ns 0,67 ns -
Ba 0,33 ns 0,50 ns 0,50 ns 0,67 ns -
Ki 0,50 ns 0,67 ns 0,25 ns 0,33 ns 0,67 ns -
Mus 0,33 ns 0,50 ns 0,50 ns 0,67 ns 1,00* 0,67 ns -
Kuc 0,33 ns 0,50 ns 0,50 ns 0,67 ns 1,00 * 0,67 ns 1,00 * -
Ma 0,50 ns 0,67 ns 0,67 ns 0,33 ns 0,25 ns 0,33 ns 0,25 ns 0,25 ns -
Keterangan: * = Significant (Tolak Ho); ns = Not Significant (Terima Ho)
Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat, diketahui bahwa diantara jenis-jenis mamalia besar terdapat asosiasi. Asosiasi ini ditunjukkan pada jenis-jenis yang memiliki nilai asosiasi sebesar 1, yakni babi hutan dengan musang luwak, babi hutan dengan kucing hutan serta musang luwak dengan kucing hutan. Bentuk asosiasi diantara ketiga jenis ini dapat berupa predasi, yakni kucing hutan yang merupakan satwa karnivora. Asosiasi diantara babi hutan dan musang luwak berupa interaksi netralisme, yakni kedua jenis mamalia besar tidak saling mempengaruhi. Hal ini dapat disebabkan tidak terdapat kesamaan diantara kedua jenis ini. Musang luwak merupakan satwa yang bersifat arboreal (Suyanto 2002), sedangkan babi hutan satwa terestrial. H. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia besar dengan Komposisi Vegetasi Selisih jarak ketinggian yang besar berpengaruh terhadap banyaknya tipe habitat
dan
keanekaragaman
hayati
yang
ditemukan.
Alikodra
(2002)
menyebutkan bahwa peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat pegunungan akan menyebabkan perubahan dalam komposisi jenis dalam vegetasi. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa pada dataran rendah, komposisi komunitas lebih kompleks dan keanekaragaman hayatinya lebih tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi.
40 Araujo et al (2004) menyatakan bahwa tumbuhan dengan mamalia besar memiliki nilai hubungan yang tinggi sebesar 0,799. Nilai ini menunjukkan bahwa ketergantungan mamalia besar terhadap tumbuhan cukup tinggi. Bentuk kebutuhan mamalia besar terhadap keberadaan tumbuhan dapat berupa: sebagai sumber pakan, tempat tidur dan untuk berlindung dari predator. Orrock & Pagels (2003) menyatakan bahwa komunitas dari jenis-jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu habitat dapat berpengaruh terhadap jenis satwaliar
dan
jumlah
individunya
yang
ditemukan
di
setiap
habitat.
Keanekaragaman jenis mamalia besar dicari hubungannya dengan komposisi vegetasi, yakni kerapatan vegetasi. Santoso (1996) menyatakan dalam hubungannya dengan kerapatan pohon, monyet-ekor panjang di Pulau Tinjil lebih menyukai pada kerapatan pohon yang lebih jarang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kerapatan vegetasi dengan monyet-ekor panjang. Hubungan antara kerapatan vegetasi dengan keanekaragaman jenis mamalia besar menunjukkan nilai yang tidak nyata pada parameter kerapatan vegetasi tiang dan pohon. Hal ini mengindikasikan perubahan kerapatan vegetasi tiang dan pohon tidak akan memiliki pengaruh pada keanekaragaman jenis mamalia besar. Hubungan yang nyata hanya pada kerapatan vegetasi pancang (r2= 0,501 dan p= 0,044) dengan model quadratik. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat titik maksimum pada kerapatan vegetasi pancang yang memiliki keanekaragaman jenis mamalia besar tertinggi. Hubungan keanekaragaman jenis mamalia besar dengan kerapatan vegetasi pancang disajikan pada Gambar 9. Apabila ditinjau berdasarkan tingkat trofik, yakni jumlah jenis satwa karnivora tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kerapatan vegetasi pancang, tiang dan pohon. Hal ini dapat disebabkan, kerapatan vegetasi akan lebih berpengaruh terhadap wilayah jelajah satwa karnivora. Untuk hubungan pada jumlah jenis satwa herbivora dengan kerapatan vegetasi pancang, tiang dan pohon menunjukkan nilai yang tidak nyata. Namun, pada jumlah jenis satwa omnivora memiliki hubungan yang nyata dengan kerapatan vegetasi tiang (r2= 0,491 dan p= 0,048) dengan model quadratik.
41
Gambar 9.
Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan kerapatan vegetasi pancang
Apabila komposisi vegetasi yang ada lebih diperkecil lagi cakupannya, yakni hanya pada jenis-jenis yang menjadi sumber pakan saja akan menyebabkan hasil yang berbeda. Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan sebagai sumber pakan disajikan pada Lampiran 26. Parameter yang memiliki hubungan hanya kerapatan vegetasi tiang saja, sedangkan kerapatan vegetasi pancang dan pohon tidak memiliki hubungan dengan jumlah jenis mamalia besar. Hubungan antara kerapatan vegetasi tiang dengan keanekaragaman jenis mamalia besar bersifat linear positif (r2= 0,592 dan p= 0,009). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan vegetasi tiang akan menyebabkan keanekaragaman jenis mamalia besar semakin tinggi. Hubungan antara kerapatan vegetasi tiang dengan jumlah jenis mamalia besar disajikan pada Gambar 10. Faktor yang mempengaruhi nilai positif pada hubungan antara kerapatan vegetasi tiang dengan keanekaragaman jenis mamalia besar dapat disebabkan oleh faktor pemanfaatan jenis-jenis mamalia besar pada vegetasi tiang, yakni dari ordo atau kelompok Primata. Kerapatan vegetasi tiang memiliki hubungan linear yang positif dengan keanekaragaman jenis primata (r2= 0,558 dan p= 0,013). Jenis-jenis primata yang ditemukan, memanfaatkan ketinggian pohon pada kisaran 19m hingga 24m. Pemanfaatan pada ketinggian seperti ini dipengaruhi kebutuhan akan daun muda ataupun buah oleh jenis-jenis primata yang termasuk pemakan daun
42 dan buah (Chivers 1998; Kool 1993). Untuk jenis primata pemakan serangga yakni kukang jawa, banyaknya daun-daun muda dan buah berpengaruh terhadap semakin banyaknya serangga yang ditemukan.
Gambar 10.
Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan kerapatan vegetasi tiang
Pada ordo atau kelompok Artiodactyla, didapatkan hubungannya bersifat linear positif dengan kerapatan tiang (r2= 0,413 dan p= 0,045). Kerapatan vegetasi tiang dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat berbentuk parabola (r2= 0,728 dan p= 0,010). Hal ini mengindikasikan bahwa keanekaragaman jenis Artiodactyla juga akan berbentuk parabola dengan peningkatan ketinggian tempat. Faktor yang mempengaruhi satwa Artiodactyla dalam memilih habitat yang lebih rapat vegetasi tiangnya adalah kecenderungan untuk dapat berlindung. Selain itu, tajuk yang tidak terlalu tertutup menyebabkan tumbuhan-tumbuhan bawah dapat tumbuh dikarenakan cahaya yang masuk ke lantai hutan. Salah satu satwa artiodactyla adalah kijang muncak. Kijang merupakan satwa herbivora yang memperlihatkan pengaruh atau hubungan pada komposisi dan struktur vegetasi dalam komunitas tumbuhan (Frank et al. 1992; Skhierenbeck et al. 1994; Teng et al. 2004). Diantara ketiga ordo atau kelompok yang ditemukan di TNGC, hanya kelompok Karnivora saja yang tidak memiliki hubungan dengan komposisi vegetasi. Hal ini dapat disebabkan, keanekaragaman jenis Karnivora akan lebih
43 dipengaruhi oleh produktivitas satwa mangsa. Carroll et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat suatu asosiasi antara penyebaran satwa karnivora dengan pola produktivitas habitat. Ray & Sunquist (2001) menambahkan bahwa dalam komunitas karnivora pada hutan hujan Afrika memperhatikan adanya ukuran keanekaragaman dan kelimpahan satwa mangsa. Produktivitas suatu habitat dalam menghasilkan sumberdaya pakan berpengaruh pada ukuran wilayah jelajah dari mamalia besar (Lindstedt et al. 1986; Pough et al. 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan dari jenis satwaliar justru berpengaruh terhadap wilayah jelajah yang dimiliki oleh jenis-jenis mamalia besar. I.
Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia besar dengan Ketinggian Tempat Distribusi keanekaragaman jenis mamalia besar dapat dipengaruhi oleh
faktor ketinggian tempat. Maharadatunkamsi (2001) menyatakan bahwa penyebaran tikus di Gunung Botol, TN Gunung Halimun dapat disebabkan oleh faktor ketinggian tempat. Gentilli (1971) menyatakan bahwa perubahan ketinggian tempat akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu. Penurunan suhu menyebabkan jenis tertentu saja yang dapat hidup dan beradaptasi. Hal ini disebabkan kemampuan setiap jenis makhluk hidup berbeda dalam menanggapi perubahan kondisi lingkungan yang dirasakan. Zhigao et al (2007) menyatakan bahwa perubahan ketinggian tempat berpengaruh terhadap kekayaan jenis mamalia di Cagar Alam Niubeiliang di China. Cryan et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ketinggian tempat dengan kelimpahan rata-rata betina kelelawar reproduktif. Seperti halnya kelelawar, mamalia besar juga termasuk ke dalam kelas mamalia, sehingga pernyataan tersebut dapat saja berlaku juga bagi mamalia besar yaitu terdapatnya suatu hubungan antara ketinggian tempat dengan kelimpahan individu pada setiap jenis mamalia besar. Hubungan antara keanekaragaman jenis mamalia besar dengan ketinggian tempat menunjukkan bahwa terdapat titik maksimum yang memiliki jumlah jenis yang terbanyak (r2= 0,881 dan p= 0,025). Pada ketinggian yang rendah hingga titik maksimum, keanekaragaman jenis mamalia besar mengalami peningkatan.
44 Namun, setelah melewati titik maksimum keanekaragaman jenis mamalia besarnya semakin menurun. Keanekaragaman jenis mamalia besar yang tertinggi berada pada kelas ketinggian 1100 mdpl hingga 1400 mdpl. Faktor yang dapat mempengaruhinya adalah pada kelas ketinggian rendah, kawasan hutan lebih dekat dengan permukiman masyarakat. Intensitas masyarakat pada hutan di kelas ketinggian yang lebih rendah menyebabkan kondisi hutan menjadi lebih terganggu. Salah satu bentuk gangguannya berupa penebangan pohon untuk dijadikan kayu bakar oleh masyarakat. Folke et al. (1996) menyatakan bahwa dalam pendekatan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati memasukkan interaksi manusia sebagai salah satu implikasi. Hubungan keaneakaragaman jenis mamalia besar dengan ketinggian tempat disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan ketinggian tempat Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap rendahnya keanekaragaman jenis mamalia besar pada ketinggian tempat tertentu dapat disebabkan oleh faktor sumber air. Alikodra (2002) menyatakan bahwa air diperlukan oleh setiap satwaliar untuk memenuhi kehidupannya. Pada Gunung Ciremai, sumber air tidak terdapat pada ketinggian melebihi 1800 mdpl. Pada daerah pengamatan Linggarjati, sumber air masih ada pada ketinggian 1200 mdpl dan pada daerah pengamatan Palutungan, hingga ketinggian 1700 mdpl. Kurangnya sumber air
45 pada posisi areal yang lebih tinggi menyebabkan keanekaragaman jenis mamalia besar menjadi lebih rendah pada posisi tempat yang tinggi. Sumber air yang terdapat di TNGC disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Sumber air yang terdapat di TNGC Peningkatan
ketinggian
tempat
juga
dapat
berpengaruh
terhadap
keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan ordo atau kelompok mamalia besar, yakni Artiodactyla (r2= 0,910 dan p= 0,002) dan Karnivora (r2= 0,769 dan p= 0,026). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat menyebabkan semakin rendah keanekaragaman jenis mamalia besar dari ordo Artiodactyla dan Karnivora. Semakin menurunnya jumlah jenis mamalia besar dari ordo Artiodactyla dapat disebabkan semakin tinggi suatu tempat mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan. Semakin tinggi suatu tempat menyebabkan semakin sedikit keanekaragaman jenis tumbuhan (Primack et al. 1998), sehingga variasi dalam memilih sumber pakan menjadi terbatas. Seperti pada ordo Artiodactyla, ordo Karnivora juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Hal ini dapat disebabkan pada kebutuhan akan sumberdaya pakan dari ordo Karnivora terhadap jenis-jenis dari ordo Artiodactyla. Harahap & Sakaguchi (2005) menyatakan bahwa babi hutan dan kijang muncak merupakan satwa mangsa dari macan tutul yang termasuk ke dalam ordo Artiodactyla.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Jenis mamalia besar yang ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai sebanyak 9 spesies dari 6 famili, yakni Nycticebus javanicus (Lorisidae), Presbytis aygula (Cercopithecidae), Trachypithecus auratus (Cercopithecidae), Macaca fascicularis (Cercopithecidae), Sus scrofa (Suidae), Muntiacus muntjac (Cervidae), Paradoxurus hermaphroditus (Viverridae), Prionailurus bengalensis (Felidae) dan Panthera pardus (Felidae). Keanekaragaman jenis mamalia besar tidak berhubungan dengan komposisi vegetasi hampir pada seluruh tingkat pertumbuhan, kecuali tingkat pertumbuhan pancang. Keanekaragaman jenis mamalia besar memiliki hubungan dengan komposisi vegetasi berdasarkan sumber pakan pada tingkat pertumbuhan tiang. Keanekaragaman jenis mamalia besar meningkat hingga ketinggian tertentu dan selanjutnya mengalami penurunan. B. Saran 1. Kegiatan inventarisasi secara berkelanjutan oleh pihak taman nasional untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada keanekaragaman jenis mamalia di TNGC. 2. Kebijakan
pihak
TNGC
dalam
penentuan
zonasi
kawasan
perlu
memperhatikan jenis-jenis mamalia besar secara umum dan satwa yang dilindungi secara khususnya. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan keanekaragaman jenis mamalia besar dengan ketinggian tempat dan komposisi vegetasi. Selain itu, dapat juga dilakukan penelitian lebih mendalam untuk masing-masing spesies.
DAFTAR PUSTAKA Adhikerana AS and S Komeda. 1997. Altitudinal Distribution of Birds in Gunung Halimun National Park. Dalam: Yoneda M, J Sugardjito and H Simbolon (eds). Research and Conservation Biodiversity in Indonesia Vol. II. The Inventory of Natural Resources in Gunung Halimun National Park. LIPI, JICA and PHPA, Bogor. 94-104. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar, Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. 366 hal. Araujo MB, PJ Densham and PH Williams. 2004. Representing species in reserves from patterns of assemblage diversity. Journal of Biogeography 31: 1037-1050. Arief H. 1999. Teknik pengamatan mamalia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 74 hal. BAPPENAS. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta: BAPPENAS. 150 hal. Baubet E, Y Roupet-Codert and S Brandt. 2003. Seasonal and annual variations in earthworm consumption by wild boar (Sus scrofa scrofa L.). Wildlife Research 30: 179-186. Carroll C, RF Noss and PC Paquet. 2001. Carnivores as focal species for conservation planning in The Rocky Mountain Region. Ecological Applications 11(4): 961-980. Chivers DJ. 1998. Measuring food intake in wild animals: primates. Proceeding of the Nutrition Society 57:321-332. Cryan PM, MA Bogan and JS Altenbach. 2000. Effects of elevation on distribution of female bats in the Black Hills, South Dakota. Journal of Mammalogy 81(3): 719-725. Departemen Kehutanan. 1992. Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam dalam Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 54 hal. Farida WR, LE Setyorini dan G Sumaatmadja. 2003. Habitat dan keragaman tumbuhan makanan kancil (Tragulus javanicus) dan kijang (Muntiacus muntjak) di Cagar Alam Nusakambangan Barat dan Timur. Biodiversitas 4(2): 97-102. Feldhamer GA, LC Drickamer, SH Vessey and JF Merritt. 1999. Mammalogy: Adaptation, Diversity and Ecology. Boston: McGraw-Hill. 563 hal. Fithria A. 2003. Keanekaragaman jenis satwaliar di areal hutan PT. Elbana Abadi Jaya Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Rimba Kalimantan 9(1): 63-70. Folke C, CS Holling and C Perrings. 1996. Biological diversity, ecosystems and the human scale. Ecological Application 6(4): 1018-1024.
48 Frank DA and SJ McNaughton. 1992. The ecology of plants, large mammalian herbivores, and drought in Yellowstone National Park. Ecology 73(6): 20432058. Gentilli J. 1971. Sun, Climate and Life. London: Blond Educational. 207 hal. Gunawan H, IASLP Putri dan M Qiptiyah. 2005. Keanekaragaman jenis burung di Wanariset Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2(3): 241-250. Harahap SA and N Sakaguchi. 2003. Monitoring research on the javan leopard Panthera pardus melas in a tropical forest, Gunung Halimun National Park, West Java. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia 9: 2-19. Harahap SA and N Sakaguchi. 2005. Ecological research and conservation of the javan leopard Panthera pardus melas in Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Dalam: The Wild Cats: Ecological Diversity and Conservation Strategy. The 21st Century Center of Excellence Program International Symposium, 7th August 2005. Satellite Symposium of IX International Mammalogical Congress, Okinawa, Japan. Harmonis. 2005. Pelaksanaan prinsip-prinsip konvensi kehutanan dan keanekaragaman hayati KTT Bumi Rio de Janeiro pada pengelolaan satwaliar di Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan 10(2): 71-80. Heriyanto NM dan S Iskandar. 2004. Status populasi dan habitat surili (Presbytis comata Desmarest) di kompleks hutan Kalajaten-Karangranjang, Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1(1): 89-98. Jamaludin M. 2007. Studi populasi dan penyebaran babi hutan sulawesi (Sus celebensis Muller dan Schlegel, 1843) di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 107 hal. Jones CB. 1997. Rarity in primates: implication for conservation. Mastozoologia Neotropical 4(1): 35-47. Kartono AP. 1999. Analisis pertumbuhan populasi monyet-ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles) di Hutan Konservasi HTI PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Bogor: Laboratorium Ekologi Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. 26 hal. Kartono AP, I Maryanto dan MH Sinaga. 2000. Keragaman mamalia pada berbagai tipe habitat di Muara Bungo, Jambi. Media Konservasi 7(1): 21-28. Kartono AP, I Maryanto and MA Jayasilan. 2003. Diversity of big mammals in Pa’Raye, Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan. Joint Biodiversity Expedition in Kayan Mentarang National Park. Hal 137-152. Kool KM. 1993. The diet and feeding behavior of the silver leaf monkey (Trachypithecus auratus sondaicus) in Indonesia. International Journal of Primatology 14(5): 667-700.
49 Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper & Row, Publishers. 654 hal. Kurnia I, H Fadly, U Kusdinar, WG Gunawan, DW Idaman, RS Dewi, D Yandhi, GS Saragih, GF Ramadhan, TD Djuanda, R Risnawati dan M Firdaus. 2005. Keanekaragaman jenis burung di Taman Nasional Betung Kerihun Kabupaten Kapuas hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi 9(2):37-46. Li Z and ME Rodgers. 2006. Food items consumed by white-headed langurs in Fusui, China. International Journal of Primatology 27(6): 1551-1567. Lindstedt SL, BJ Miller and SW Buskirk. 1986. Home range, time, and body size in mammals. Ecology 67(2): 413-418. Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and computing. New York: John Wilwy & Sons. 338 hal. Maharadatunkamsi. 2001. Relationship between altitudinal changes and distribution of rats: a preliminary study from Gunung Botol, Gunung Halimun National Park. Berita Biologi 5(6): 697-701. Marker LL and AJ Dickman. 2005. Factor affecting leopard (Panthera pardus) spatial ecology, with particular reference to Namibian farmlands. South African Journal of Wildlife Research 35(2): 105-115. Maryanto I dan K Soebekti. 2007. Mamalia. Dalam: Noerdjito M dan I Maryanto (eds). Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI & Perhimpunan Biologi. 3-24. Nijman V and S Bas van Balen. 1998. A faunal survey of the Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: distribution and conservation of endemic primate taxa. Oryx 32(2): 145-156. Noerdjito M, I Maryanto, SN Prijono, EB Waluyo, R Ubaidillah, Mumpuni, AH Tjakrawidjaja, RM Marwoto, Heryanto, WA Noerdjito dan H Wiriadinata. 2005. Kriteria Jenis Hayati Yang Harus Dilindungi Oleh dan Untuk Masyarakat Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI & World Agroforestry Centre-ICRAF. 97 hal. Nurjaman, M Bismark and S Iskandar. 2002. Status populasi dan kondisi habitat surili (Presbytis comata) di Cagar Alam Situ Patengan, Jawa Barat. Berita Biologi 6(3): 455-459. Orrock JL and JF Pagels. 2003. Tree communities, microhabitat characteristics and small mammals associated with the endangered rock vole, Microtus chrotorrhinus, in Virginia. Southeastern Naturalist 2(4): 547-558. Payne J, CM Francis, K Phillips dan SN Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan: Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. Jakarta: Prima Centra Indonesia. 386 hal. Pough FH, CM Janis and JB Heiser. 2005. Vertebrate Life. 7th Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. 684 hal.
50 Primack RB, J Supriatna, M Indrawan dan P Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 345 hal. Primack R and R Corlett. 2005. Tropical Rain Forests: an Ecological and Biogeographical Comparison. Oxford: Blackwell Science. 319 hal. Ray JC and ME Sunquist. 2005. Trophic relations in a community of African rainforest carnivores. Oecologia 127: 395-408. Riyanto A, Maharadatunkamsi, M Noerdjito, I Rachmatika, Heryanto, Purwaningsih, E Chotik, Harun, Anandang, Ismail, Mulyadi dan N Supriatna. 2006. Kajian zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan sebaran satwa. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Riyanto A, WA Noerdjito, M Noerdjito, I Maryanto, I Rachmatika, Heryanto, R Yusuf, A Saim, Anandang, Sunardi, M Wahyudin dan Sarino. 2007. Kajian zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan sebaran satwa [Laporan Perjalanan]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Saimin S. 2001. Pendugaan parameter demografi populasi owa kelawat (Hylobates mulleri funereus Geoffroy, 1850) di Hutan Simpan KabiliSepilok Sandakan Sabah, Malaysia [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 50 hal. Santoso N. 1996. Analisis habitat dan potensi pakan monyet ekor pajang (Macaca fascicularis, Raffles) di Pulau Tinjil. Media Konservasi 5(1): 5-9. Schierenbeck KA, RN Mack and RR Sharitz. 1994. Efect of herbivory on growth and biomass allocation in native and introduced species of lonicera. Ecology 75(6): 1661-1672. Sodhi NS, LP Koh, BW Brook and PKL Ng. 2004. Southeast Asian biodiversity: an impending disaster. TRENDS in Ecology and Evolution 19(2): 654-660. Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi ke-10. Jakarta: Djambatan. 381 hal. Soendjoto MA dan Gunawan. 2003. Keragaman burung di enam tipe habitat PT Inhutani I Labanan, Kalimantan Timur. Biodiversitas 4(2): 103-111. Soerianegara I. 1996. Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 294 hal. Soerianegara I dan A Indrawan. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 104 hal. Sugardjito J, H Sinaga and M Yoneda. 1997. Survey of the distribution and density of primates in Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia. Dalam: Yoneda M, J Sugardjito and H Simbolon (eds). Research and Conservation Biodiversity in Indonesia Vol. II. The Inventory of Natural Resources in Gunung Halimun National Park. LIPI, JICA and PHPA, Bogor. 56-62.
51 Supartono T. 2001. Studi habitat dan populasi monyet-ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 72 hal. Supriatna J dan EH Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 332 hal. Suyanto A. 2002. Mamalia di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Bogor : BCP-JICA. 121 hal. Suyanto A, M Yoneda, I Maryanto, Maharadatunkamsi and J Sugardjito. 2002. Checklist of the mammals of Indonesia. Bogor: LIPI-JICA-PHKA. Joint Project for Biodiversity Conservation in Indonesia. 63 hal. Suyanto A dan G Semiadi. 2004. Keragaman mamalia di sekitar daerah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak. Berita Biologi 7(1): 87-94. Syaukani HR, HS Alikodra, C Kusmana, D Darusman dan K Mudikdjo. 2004. Analisis resiko ekologi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Media Konservasi 9(1): 17-24. Teng L, Z Liu, YL Song and Z Zeng. 2004. Forage and bed sites characteristics of indian muntjac (Muntiacus muntjak) in Hainan Island, China. Ecological Research 19: 675-681. Tobing ISL. 1999. Pengaruh perbedaan kualitas habitat terhadap perilaku dan populasi primata di kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Bogor: Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Tobing ISL. 2002. Respon primata terhadap kehadiran manusia di kawasan Cikanik, Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi 6(1): 99-105. Toth F and J Kiss. 1999. Comparative analysis of epigeic spider assemblages in Northern Hungarian winter wheat fields and their adjacent margins. The Journal of Arachnology 27:241-248. van Steenis CGGJ. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. 259 hal. Vaughan TA. 1986. Mammalogy. 3rd Edition. Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 576 hal. Vieira EM and ELAM Filho. 2003. Vertical stratification of small mammals in the Atlantic rainforest of south-eastern Brazil. Journal of Tropical Ecology 19: 501-507. Walpole RE. 1997. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 515 hal. Wolf EC. 1990. Di Ambang Kepunahan: Melestarikan Keanekaragaman Kehidupan. Dalam: Kartawinata K dan AJ Whitten. Krisis Biologi Hilangnya Keanekaragaman Biologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1-38.
52 Zhigao Z, S Yanling, M Yingtai, W Xifeng, W Xuntao, X Zhenfeng, S Jianbin and L Chunning. 2007. Fauna characteristics and ecological distribution of Carnivora and Artiodactyla in Niubeiliang National Nature Reserve, China. Frontiers of Biology in China 2(1): 92-99. Zorenko T and T Leontyeva. 2003. Species diversity and distributions of mammals in Riga. Acta Zoologica Lituanica 13(1): 78-86.
LAMPIRAN
54 Lampiran 1. Nama Lokal Hurip cai Kileho Kerteu Lame Kijago Bubuai Paku tihang Paku Huru dapung Jamuju Huru lamcang Bungur Binuang Huru kadu Huru koneng Kareumbi Mareme Mara Kurai Kipare Kiseer Wuni Huru kimuning Kaliandra Pasang dadap Pasang Saninten Picung Kimeri Hambirung Kiteja Kitales Huru madam Huru terong Huru kiteja Huru nangka Kiamis Kipahit Hanjawar Huru cantigi Walen Calodas Kondang Beunying Hampelas Benda Kiplik Pulus Hamberang Kacu Huru kiamis Petag Petag kopo Putat manggung Huru salam Ipis kulit Kilaki Kitamiang Huru piit Kimeong
Jenis-jenis tumbuhan di kawasan TNGC Spesies Pteudoran themum Saurauia sp. Alangium rotundifolium Alstonia angusitluba Macropanax dispermum Pinanga coronata Cyathea contaminans Cyathea sp. Combretum sp. Podocarpus imbricatus Connarus sp. Crypteronia paniculata Tetrameles nudiflora Elaeagnus latifolius Antidesma tetandrum Omalanthus populneus Glochidion arborescens Macaranga rhicinoides Mallotus paniculatus Glochidion rubrum Antiaesta tetrandrum Antidesma sp. Derris sp. Caliandra caliandra Lithocarpus sundaicus Lithocarpus ewyckii Castanopsis javanica Pangium edule Engelhardia servata Engelhardia servata Cinnamomum burmanii Notaphoebe umbelliflora Litsea sanguinolenta Persea exalsa Litsea lanceolata Persea rimosa Cinnamomum iners Litsea tomentosa Cordyline terminalis Aglaia odorata Ficus ribes Ficus microcarpa Ficus variegata Ficus fistulosa Ficus ampelas Artocarpus elasticus Ficus sp. Ficus sp. Ficus sp. Artocarpus sp. Syzygium sp. Syzygium densiflorum Syzygium pycnanthum Syzygium lineatum Syzygium pyctanthum Decaspermum fruticosum Zizyphus horsfieldii Prunus arborea Prunus arborea Timonius sp.
Famili Acanthaceae Actinidiaceae Alangiaceae Apocynaceae Araliaceae Arecaceae Ceatheaceae Ceatheaceae Combretaceae Coniferaceae Cornaceae Crypteroniaceae Datiscaceae Elaegnaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Fagaceae Fagaceae Fagaceae Flacouraceae Juglandaceae Juglandaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Liliaceae Meliaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Rhamnaceae Rosaceae Rosaceae Rubiaceae
55 Lampiran 1. Lanjutan Nama Lokal Cangcaratan Huru tangkil Gempol Huru meuhmal Kitiwu Kibima Lingsir Kigambir Rerak Carui Bintinu Huru sawo Huru petag Kibeunter Leksa Ruyung Nangsi Laja gowa
Spesies Psychotria sp. Psychotria viridiflora Nauclea excelsa Acronychia sp. Miliosma pinnata Mischocarpus sundaicus Guioa pleuroptesis Mischocarpus sundaicus Mischocarpus pentapetankul sundaicus Pterospermum javanicum Melochia umbullata Symplocos odoratissima Phaleria apitata Debregeasia sp. Poikilospermum suaveolens Villebrunea rubescens Villebrunea rubescens Alpinia malaccensis
Famili Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rutaceae Sabiaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Symplocaceae Thymelaeaceae Urticaceae Urticaceae Verbenaceae Verbenaceae Zingiberaceae
56 Lampiran 2. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan pinus Nama Jenis Kiseer Total
K (ind/Ha) 250 250
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
0.50 100.00
0.10 0.10
1.28 100.00
1.78 200.00
57 Lampiran 3.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan pinus
Nama Jenis Sentul (Andewi) Kirinyuh Harendong Rinai Paku-pakuan Kiseer Jukut kilaki Babadotan Jukut rambat Nilam Oyeh Pungpurutan Sengserehan Kaliandra Jukut bau Lantanan Talas-talasan Laos Kacang-kacangan Lantoro Petai-petaian Orok-orok Babakoan Bosot Kutupuk Singkong Total
K (ind/Ha) 2750 3500 1500 1000 2000 250 2500 1250 750 250 3000 3250 750 17750 250 500 1250 1750 250 2000 1000 250 1750 250 250 250 50000
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
5.47 6.97 2.99 1.99 3.98 0.50 4.98 2.49 1.49 0.50 5.97 6.47 1.49 35.32 0.50 1.00 2.49 3.48 0.50 3.98 1.99 0.50 3.48 0.50 0.50 0.50 100.00
0.60 0.70 0.30 0.20 0.50 0.10 0.50 0.30 0.30 0.10 0.70 0.60 0.30 0.70 0.10 0.10 0.10 0.30 0.10 0.30 0.20 0.10 0.30 0.10 0.10 0.10 7.70
7.69 8.97 3.85 2.56 6.41 1.28 6.41 3.85 3.85 1.28 8.97 7.69 3.85 8.97 1.28 1.28 1.28 3.85 1.28 3.85 2.56 1.28 3.85 1.28 1.28 1.28 100.00
13.16 15.94 6.83 4.55 10.39 1.78 11.39 6.33 5.34 1.78 14.94 14.16 5.34 44.30 1.78 2.28 3.77 7.33 1.78 7.83 4.55 1.78 7.33 1.78 1.78 1.78 200.00
58 Lampiran 4. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan pinus Nama Jenis Antret Kopi Singkong Binuang Simpur Total
K (ind/Ha) 160 80 40 40 160 480
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
33.33 16.67 8.33 8.33 33.33 100.00
0.10 0.10 0.10 0.10 0.30 0.70
14.29 14.29 14.29 14.29 42.86 100.00
47.62 30.95 22.62 22.62 76.19 200.00
59 Lampiran 5. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan pinus Nama Jenis Pinus Bisoro Kacu Total
K 470 10 10 490
KR (%) 95.92 2.04 2.04 100.00
F 1.00 0.10 0.10 1.20
FR (%) 83.33 8.33 8.33 100.00
D 4604.05 3823.25 2944.27 11371.56
DR (%) 40.49 33.62 25.89 100.00
INP (%) 219.74 44.00 36.27 300.00
60 Lampiran 6. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan pinus Nama Jenis Pinus Saninten Afrika Total
K 405 5 5 415
KR (%) 97.59 1.20 1.20 100.00
F 1.00 0.10 0.10 1.20
FR (%) 83.33 8.33 8.33 100.00
D 2962.88 1681.93 1787.02 6431.83
DR (%) 46.07 26.15 27.78 100.00
INP (%) 226.99 35.69 37.32 300.00
61 Lampiran 7.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan dataran rendah
Nama Jenis Bubuai Nangsi Bintinu Huru kapundung Wuni Kawung monyet Kibonteng Huru langsep Kopi Huru kadoya Jelutung Hampelas Total
K (ind/Ha) 250,00 250,00 250,00 750,00 250,00 750,00 500,00 1250,00 500,00 250,00 1000,00 250,00 6250.00
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
4,00 4,00 4,00 12,00 4,00 12,00 8,00 20,00 8,00 4,00 16,00 4,00 100.00
0,10 0,10 0,10 0,20 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 1.30
7,69 7,69 7,69 15,38 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 7,69 100.00
11,69 11,69 11,69 27,38 11,69 19,69 15,69 27,69 15,69 11,69 23,69 11,69 200.00
62 Lampiran 8.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan dataran rendah
Nama Jenis Jukut galunggung Babadotan Hurip cai Kingkilaban Kaliandra Rerambatan Canar Meniran Andewi Sawuhem Talas hutan Jukut embun Baboyoran Manis mata Bunga sagu Seruh Karas tulang Pecah beling Paku-pakuan Rumput gajah Bunga talas Harendong Kilaki Seta Total
K (ind/Ha) 8000,00 3500,00 1250,00 750,00 4500,00 3750,00 250,00 250,00 1250,00 500,00 1500,00 2750,00 1250,00 4500,00 500,00 1500,00 3000,00 2250,00 3500,00 1750,00 250,00 500,00 2000,00 750,00 50000,00
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
16,00 7,00 2,50 1,50 9,00 7,50 0,50 0,50 2,50 1,00 3,00 5,50 2,50 9,00 1,00 3,00 6,00 4,50 7,00 3,50 0,50 1,00 4,00 1,50 100,00
0,50 0,30 0,20 0,10 0,30 0,30 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,40 0,10 0,30 0,30 0,20 0,30 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 4,50
11,11 6,67 4,44 2,22 6,67 6,67 2,22 2,22 2,22 2,22 2,22 2,22 2,22 8,89 2,22 6,67 6,67 4,44 6,67 2,22 2,22 2,22 2,22 2,22 100,00
27,11 13,67 5,67 3,06 13,17 11,84 2,17 2,72 4,72 3,22 5,22 7,72 4,72 17,89 3,22 9,67 12,67 8,94 13,67 5,72 2,72 3,22 6,22 3,72 200,00
63 Lampiran 9.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan dataran rendah
Nama Jenis Walen Hampelas Bin-bin Pereng Pongporotan Panggang Nangsi Kaliandra Kisereh Pulus Tepus Kibonteng Huru langsep Huru lancang Lame Huru Kapundung Simpur Kacu Huru meuhmal Sawo manggung Beunying Huru kadoya Wuni Ceremeh Kisampang Kopi Kawung monyet Picung Binuang Kirinyuh Canar Salam Daho Petag hurang Ipis kulit Huru saninten Kame atau Pule Pasang dadap Pulus hujan Bisoro Pandan Kitamiang Mara Kadoya Cangcaratan Kiteja Kurai
K (ind/Ha) 34.29 11.43 57.14 11.43 11.43 91.43 45.71 160.00 11.43 11.43 34.29 68.57 80.00 34.29 22.86 57.14 11.43 182.86 114.29 68.57 22.86 102.86 22.86 11.43 11.43 102.86 80.00 22.86 45.71 11.43 11.43 34.29 22.86 22.86 57.14 11.43 11.43 11.43 11.43 11.43 11.43 34.29 11.43 34.29 11.43 11.43 11.43
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1.79 0.60 2.98 0.60 0.60 4.76 2.38 8.33 0.60 0.60 1.79 3.57 4.17 1.79 1.19 2.98 0.60 9.52 5.95 3.57 1.19 5.36 1.19 0.60 0.60 5.36 4.17 1.19 2.38 0.60 0.60 1.79 1.19 1.19 2.98 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 1.79 0.60 1.79 0.60 0.60 0.60
0.09 0.03 0.09 0.03 0.03 0.14 0.06 0.11 0.03 0.03 0.03 0.11 0.09 0.03 0.06 0.06 0.03 0.37 0.20 0.09 0.03 0.14 0.06 0.03 0.03 0.06 0.14 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.06 0.06 0.14 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.09 0.03 0.09 0.03 0.03 0.03
2.75 0.92 2.75 0.92 0.92 4.59 1.83 3.67 0.92 0.92 0.92 3.67 2.75 0.92 1.83 1.83 0.92 11.93 6.42 2.75 0.92 4.59 1.83 0.92 0.92 1.83 4.59 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 1.83 1.83 4.59 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 2.75 0.92 2.75 0.92 0.92 0.92
4.54 1.51 5.73 1.51 1.51 9.35 4.22 12.00 1.51 1.51 2.70 7.24 6.92 2.70 3.03 4.81 1.51 21.45 12.37 6.32 2.11 9.94 3.03 1.51 1.51 7.19 8.75 2.11 3.30 1.51 1.51 2.70 3.03 3.03 7.56 1.51 1.51 1.51 1.51 1.51 1.51 4.54 1.51 4.54 1.51 1.51 1.51
64 Lampiran 9. Lanjutan Nama Jenis Huru koneng Saninten Gempol Total
K (Ind/Ha) 11.43 11.43 11.43 1920.00
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
0.60 0.60 0.60 100.00
0.03 0.03 0.03 3.11
0.92 0.92 0.92 100.00
1.51 1.51 1.51 200.00
65 Lampiran 10. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan dataran rendah Nama Jenis Pakis Nangsi Kondang Beunying Walen Lame Kiseer Hambirung Pulus Panggang Hampelas Bungur Hamberang Huru kadoya Kisampang Simpur Ipis kulit Carui Kibonteng Binuang Sawo manggung Salam Huru kapundung Kacu Kopi Daho Kihurang Pulus hujan Bisoro Huru kembang Benda Huru meuhmal Kitales Pasang Kareumbi Kitamiang Total
K (Ind/Ha) 45.71 80.00 11.43 22.86 11.43 11.43 11.43 34.29 57.14 34.29 11.43 11.43 22.86 91.43 45.71 22.86 68.57 34.29 45.71 22.86
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
4.49 7.87 1.12 2.25 1.12 1.12 1.12 3.37 5.62 3.37 1.12 1.12 2.25 8.99 4.49 2.25 6.74 3.37 4.49 2.25
0.09 0.11 0.03 0.06 0.03 0.03 0.03 0.09 0.14 0.06 0.03 0.03 0.06 0.14 0.06 0.06 0.17 0.06 0.11 0.03
4.11 5.48 1.37 2.74 1.37 1.37 1.37 4.11 6.85 2.74 1.37 1.37 2.74 6.85 2.74 2.74 8.22 2.74 5.48 1.37
3667.99 3934.45 6121.02 4749.20 3082.80 5925.16 6121.02 2379.17 2638.86 1850.84 2063.69 975.32 6823.25 2800.72 5593.55 5732.48 2034.22 3641.72 5247.39 1484.87
3.81 4.09 6.37 4.94 3.21 6.16 6.37 2.47 2.74 1.92 2.15 1.01 7.10 2.91 5.82 5.96 2.12 3.79 5.46 1.54
12.42 17.44 8.86 9.93 5.70 8.65 8.86 9.95 15.21 8.04 4.64 3.51 12.08 18.75 13.05 10.95 17.08 9.90 15.43 5.16
22.86
2.25
0.03
1.37
3676.75
3.82
7.44
11.43
1.12
0.03
1.37
2070.86
2.15
4.65
34.29
3.37
0.06
2.74
1065.63
1.11
7.22
68.57 11.43 11.43 11.43 34.29 11.43
6.74 1.12 1.12 1.12 3.37 1.12
0.14 0.03 0.03 0.03 0.09 0.03
6.85 1.37 1.37 1.37 4.11 1.37
1075.56 2944.27 1570.00 1343.33 887.05 384.65
1.12 3.06 1.63 1.40 0.92 0.40
14.71 5.56 4.13 3.89 8.40 2.89
11.43
1.12
0.03
1.37
534.29
0.56
3.05
11.43
1.12
0.03
1.37
635.85
0.66
3.15
11.43
1.12
0.03
1.37
565.20
0.59
3.08
34.29 11.43 11.43 11.43 1017.14
3.37 1.12 1.12 1.12 100.00
0.06 0.03 0.03 0.03 2.09
2.74 1.37 1.37 1.37 100.00
1035.60 432.73 643.07 432.73 96165.30
1.08 0.45 0.67 0.45 100.00
7.19 2.94 3.16 2.94 300.00
66 Lampiran 11.
Nama Jenis Pakis Kondang Kibeunter Nangsi Kawung Ruyung Lame Mara Hampelas Bintinu Pasang sapu Kaliandra Lingsir Hamberang Pulus Renghas Beringin Simpur Gintung Sawo manggung Benda Carui Petag Huru kadu Huru kadoya Kigambir Calodas Kibonteng Huru meuhmal Kisampang Afrika Wuni Binuang Kacu Ipis kulit Gempol Kiplik Daho Hambirung Pangsor Huru kibeunter Kame/pule Bisoro Kitales
Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan dataran rendah K (Ind/Ha) 1.43 19.29 0.71 2.14 0.71 2.86 3.57 2.14 2.14 1.43 0.71 0.71 0.71 0.71 1.43 0.71 2.14 2.86 3.57
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
1.13 15.25 0.56 1.69 0.56 2.26 2.82 1.69 1.69 1.13 0.56 0.56 0.56 0.56 1.13 0.56 1.69 2.26 2.82
0.03 0.26 0.03 0.09 0.03 0.09 0.11 0.09 0.09 0.06 0.03 0.03 0.03 0.03 0.06 0.03 0.09 0.06 0.06
0.91 8.22 0.91 2.74 0.91 2.74 3.65 2.74 2.74 1.83 0.91 0.91 0.91 0.91 1.83 0.91 2.74 1.83 1.83
0.46 0.32 0.91 0.91 0.91 0.68 0.73 0.91 1.37 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.46 0.37
1.18 0.82 2.37 2.37 2.37 1.78 1.89 2.37 3.55 2.37 2.37 2.37 2.37 2.37 2.37 2.37 2.37 1.18 0.95
3.23 24.29 3.84 6.80 3.84 6.77 8.37 6.80 7.98 5.32 3.84 3.84 3.84 3.84 5.32 3.84 6.80 5.27 5.60
7.86
6.21
0.17
5.48
0.50
1.29
12.98
8.57 1.43 0.71 2.14 5.71 2.14 0.71 1.43
6.78 1.13 0.56 1.69 4.52 1.69 0.56 1.13
0.17 0.06 0.03 0.06 0.11 0.09 0.03 0.06
5.48 1.83 0.91 1.83 3.65 2.74 0.91 1.83
0.46 0.91 0.91 0.61 0.46 0.91 0.91 0.91
1.18 2.37 2.37 1.58 1.18 2.37 2.37 2.37
13.44 5.32 3.84 5.10 9.36 6.80 3.84 5.32
1.43
1.13
0.06
1.83
0.91
2.37
5.32
0.71 0.71 0.71 0.71 2.86 2.86 17.14 1.43 0.71 3.57 3.57
0.56 0.56 0.56 0.56 2.26 2.26 13.56 1.13 0.56 2.82 2.82
0.03 0.03 0.03 0.03 0.06 0.11 0.07 0.06 0.03 0.14 0.11
0.91 0.91 0.91 0.91 1.83 3.65 2.31 1.83 0.91 4.56 3.65
0.91 0.91 0.91 0.91 0.46 0.91 0.10 0.91 0.91 0.91 0.73
2.37 2.37 2.37 2.37 1.18 2.37 0.25 2.37 2.37 2.37 1.89
3.84 3.84 3.84 3.84 5.27 8.28 16.12 5.32 3.84 9.76 8.37
0.71
0.56
0.03
0.91
0.91
2.37
3.84
0.71 0.71 4.29
0.56 0.56 3.39
0.03 0.03 0.14
0.91 0.91 4.56
0.91 0.91 0.76
2.37 2.37 1.97
3.84 3.84 9.93
67 Lampiran 11. Lanjutan Nama Jenis Huru madam Cangcaratan Huru kapundung Kadoya Total
K (Ind/Ha) 0.71 0.71
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
0.56 0.56
0.03 0.03
0.91 0.91
0.91 0.91
2.37 2.37
3.84 3.84
0.71
0.56
0.03
0.91
0.91
2.37
3.84
0.71 126.43
0.56 100.00
0.03 3.13
0.91 100.00
0.91 38.57
2.37 100.00
3.84 300.00
68 Lampiran 12.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan pegunungan
Nama Jenis Saninten Petag Buah pari (mangga) Panggang Beunying Walen Pereng Laja gowa Bubuai Pakis Nangsi Kibeunter Bin-bin Kitales Huru meuhmal Huru koneng Pasang Huru madam Huru cantigi Kileho Huru sawo Kilaki Huru piit Total
K (Ind/Ha) 200,00 600,00 100,00 500,00 600,00 200,00 200,00 400,00 1300,00 900,00 500,00 100,00 400,00 100,00 200,00 500,00 300,00 100,00 100,00 800,00 100,00 100,00 100,00 8400,00
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
2,38 7,14 1,19 5,95 7,14 2,38 2,38 4,76 15,48 10,71 5,95 1,19 4,76 1,19 2,38 5,95 3,57 1,19 1,19 9,52 1,19 1,19 1,19 100,00
0,08 0,12 0,04 0,12 0,08 0,04 0,04 0,08 0,16 0,08 0,08 0,04 0,12 0,04 0,04 0,12 0,12 0,04 0,04 0,12 0,04 0,04 0,04 1,72
4,65 6,98 2,33 6,98 4,65 2,33 2,33 4,65 9,30 4,65 4,65 2,33 6,98 2,33 2,33 6,98 6,98 2,33 2,33 6,98 2,33 2,33 2,33 100,00
7,03 14,12 3,52 12,93 11,79 4,71 4,71 9,41 24,78 15,37 10,60 3,52 11,74 3,52 4,71 12,93 10,55 3,52 3,52 16,50 3,52 3,52 3,52 200,00
69 Lampiran 13.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan pegunungan
Nama Jenis Lampuyan Canar Pecah Beling Paku-pakuan Limus Karastulang Kaliandra Tembelekan Pongporotan Harendong Hurip cai Jukut galunggung Sereh gunung Pandan Rumput-rumputan Ilalang Bokoran Rinai Depak Kirinyuh Gurunggutu Pokpongsueng Rerambatan Begonia Cabe hutan Cerem Pakis hatta Singadapa Beti Total
K (Ind/Ha) 500 700 9000 3400 100 3000 400 200 1100 100 1100 1600 200 100 600 1100 100 300 400 500 3400 500 100 300 300 300 100 300 200 30000
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1,67 2,33 30,00 11,33 0,33 10,00 1,33 0,67 3,67 0,33 3,67 5,33 0,67 0,33 2,00 3,67 0,33 1,00 1,33 1,67 11,33 1,67 0,33 1,00 1,00 1,00 0,33 1,00 0,67 100,00
0,04 0,16 0,60 0,48 0,04 0,20 0,04 0,04 0,16 0,04 0,16 0,08 0,08 0,04 0,04 0,16 0,04 0,08 0,08 0,08 0,16 0,04 0,04 0,08 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 3,16
1,27 5,06 18,99 15,19 1,27 6,33 1,27 1,27 5,06 1,27 5,06 2,53 2,53 1,27 1,27 5,06 1,27 2,53 2,53 2,53 5,06 1,27 1,27 2,53 1,27 1,27 1,27 1,27 1,27 100,00
2,93 7,40 48,99 23,49 1,31 16,33 2,60 1,93 8,73 1,60 8,73 7,86 3,20 1,60 3,27 8,73 1,60 3,53 3,86 4,20 16,40 2,93 1,60 3,53 2,27 2,27 1,60 2,27 1,93 200,00
70 Lampiran 14.
Nama Jenis Kiamis Saninten Leksa Pulus Huru tangkil Nangsi Kileho Walen Kiteja Lingsir Petag Bin-bin Kawung Beunying Huru menceng Hampelas Kibonteng Pasang Kitales Renghas Tepus Rerak Huru koneng Petag kopo Kurai Mara Kibeunter Wuni Huru nangka Canar Kopi Huru meuhmal Hamberang Hantap Kibereum Kereteup Huru nangka Mareme Pereng Kicarirang Kimeri Huru dapung Kait besi Canggogo Simpur Cangcaratan Huru kadoya
Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan pegunungan K (Ind/Ha) 48.00 144.00 64.00 208.00 64.00 224.00 192.00 48.00 128.00 16.00 112.00 176.00 16.00 32.00 32.00 32.00 16.00 336.00 80.00 32.00 272.00 32.00 32.00 16.00 16.00 32.00 48.00 16.00 16.00 16.00 128.00 224.00 32.00 16.00 32.00 16.00 32.00 16.00 48.00 32.00 16.00 16.00 48.00 32.00 16.00 16.00 32.00
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1.32 3.96 1.76 5.73 1.76 6.17 5.29 1.32 3.52 0.44 3.08 4.85 0.44 0.88 0.88 0.88 0.44 9.25 2.20 0.88 7.49 0.88 0.88 0.44 0.44 0.88 1.32 0.44 0.44 0.44 3.52 6.17 0.88 0.44 0.88 0.44 0.88 0.44 1.32 0.88 0.44 0.44 1.32 0.88 0.44 0.44 0.88
0.12 0.20 0.16 0.28 0.12 0.32 0.28 0.12 0.20 0.04 0.16 0.16 0.04 0.08 0.04 0.08 0.04 0.44 0.12 0.04 0.12 0.08 0.08 0.04 0.04 0.04 0.12 0.04 0.04 0.04 0.08 0.16 0.04 0.04 0.04 0.04 0.08 0.04 0.12 0.08 0.04 0.04 0.04 0.08 0.04 0.04 0.04
2.22 3.70 2.96 5.19 2.22 5.93 5.19 2.22 3.70 0.74 2.96 2.96 0.74 1.48 0.74 1.48 0.74 8.15 2.22 0.74 2.22 1.48 1.48 0.74 0.74 0.74 2.22 0.74 0.74 0.74 1.48 2.96 0.74 0.74 0.74 0.74 1.48 0.74 2.22 1.48 0.74 0.74 0.74 1.48 0.74 0.74 0.74
3.54 7.67 4.73 10.91 3.98 12.09 10.47 3.54 7.23 1.18 6.05 7.81 1.18 2.36 1.62 2.36 1.18 17.40 4.42 1.62 9.71 2.36 2.36 1.18 1.18 1.62 3.54 1.18 1.18 1.18 5.01 9.13 1.62 1.18 1.62 1.18 2.36 1.18 3.54 2.36 1.18 1.18 2.06 2.36 1.18 1.18 1.62
71 Lampiran 14. Lanjutan Nama Jenis Kiplik Panggang Huru sawo Huru cantigi Jirag Huru kopi Huru madam Kitambaga Huru piit Surian Kilaki Total
K (Ind/Ha) 16.00 48.00 16.00 48.00 16.00 128.00 16.00 16.00 16.00 32.00 32.00 3632.00
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
0.44 1.32 0.44 1.32 0.44 3.52 0.44 0.44 0.44 0.88 0.88 100.00
0.04 0.04 0.04 0.12 0.04 0.16 0.04 0.04 0.04 0.04 0.08 5.40
0.74 0.74 0.74 2.22 0.74 2.96 0.74 0.74 0.74 0.74 1.48 100.00
1.18 2.06 1.18 3.54 1.18 6.49 1.18 1.18 1.18 1.62 2.36 200.00
72 Lampiran 15.
Nama Jenis Nangsi Huru madam Calodas Walen Huru kadoya Kileho Pulus Rukem Kibonteng Pasang Huru mungkal Saninten Kitiwu Huru kawoyang Kerteu Buah pari (mangga) Benda Petag kopo Huru Koneng Huru meuhmal Mara Bintinu Kitales Kisampang Pasang dadap Kiteja Kareumbi Kibeureum Camun Lingsir Huru nangka Wuni Kimeri Beunying Kiamis Kihoe Huru dapung Hamberang Petag Kitambaga Kiputih Panggang Surian Huru kopi Huru cantigi Cangcaratan
Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan pegunungan K (Ind/Ha) 32.00 20.00 4.00 32.00 4.00 44.00 32.00 8.00 4.00 72.00 4.00 72.00 4.00 4.00 8.00
KR (%)
F
FR (%)
D
5.33 3.33 0.67 5.33 0.67 7.33 5.33 1.33 0.67 12.00 0.67 12.00 0.67 0.67 1.33
0.28 0.16 0.04 0.28 0.04 0.32 0.20 0.08 0.04 0.48 0.04 0.44 0.04 0.04 0.08
5.88 3.36 0.84 5.88 0.84 6.72 4.20 1.68 0.84 10.08 0.84 9.24 0.84 0.84 1.68
0.74 0.67 0.84 0.74 0.84 0.61 0.53 0.84 0.84 0.56 0.84 0.51 0.84 0.84 0.84
DR (%) 1.90 1.74 2.17 1.90 2.17 1.58 1.36 2.17 2.17 1.45 2.17 1.33 2.17 2.17 2.17
4.00
0.67
0.04
0.84
0.84
2.17
3.68
4.00 8.00 8.00 12.00 12.00 4.00 16.00 4.00 8.00 20.00 4.00 4.00 4.00 8.00 4.00 12.00 4.00 8.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 8.00 4.00 4.00 12.00 16.00 8.00 4.00
0.67 1.33 1.33 2.00 2.00 0.67 2.67 0.67 1.33 3.33 0.67 0.67 0.67 1.33 0.67 2.00 0.67 1.33 0.67 0.67 0.67 0.67 0.67 1.33 0.67 0.67 2.00 2.67 1.33 0.67
0.04 0.04 0.08 0.12 0.04 0.04 0.12 0.04 0.08 0.16 0.04 0.04 0.04 0.08 0.04 0.12 0.04 0.08 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.12 0.12 0.04 0.04
0.84 0.84 1.68 2.52 0.84 0.84 2.52 0.84 1.68 3.36 0.84 0.84 0.84 1.68 0.84 2.52 0.84 1.68 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 2.52 2.52 0.84 0.84
0.84 0.42 0.84 0.84 0.28 0.84 0.63 0.84 0.84 0.67 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.42 0.84 0.84 0.84 0.63 0.42 0.84
2.17 1.09 2.17 2.17 0.72 2.17 1.63 2.17 2.17 1.74 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 2.17 1.09 2.17 2.17 2.17 1.63 1.09 2.17
3.68 3.26 5.19 6.70 3.57 3.68 6.82 3.68 5.19 8.43 3.68 3.68 3.68 5.19 3.68 6.70 3.68 5.19 3.68 3.68 3.68 3.68 3.68 3.26 3.68 3.68 6.70 6.82 3.26 3.68
INP (%) 13.12 8.43 3.68 13.12 3.68 15.64 10.89 5.19 3.68 23.53 3.68 22.57 3.68 3.68 5.19
73 Lampiran 15. Lanjutan Nama Jenis Mareme Pakis Kiseer Kacu Kiputri Total
K (Ind/Ha) 12.00 8.00 4.00 4.00 4.00 600.00
KR (%)
F
FR (%)
D
2.00 1.33 0.67 0.67 0.67 100.00
0.08 0.08 0.04 0.04 0.04 4.76
1.68 1.68 0.84 0.84 0.84 100.00
0.56 0.84 0.84 0.84 0.84 38.64
DR (%) 1.45 2.17 2.17 2.17 2.17 100.00
INP (%) 5.13 5.19 3.68 3.68 3.68 300.00
74 Lampiran 16.
Nama Jenis Saninten Kimeri Surian Ruyung Petag Calodas Nangsi Kileho Benda Gintung Beringin Huru langsep Kibonteng Aren (Kawung) Kitales Huru kawoyang Hampelas Wuni Huru madam Mareme Pasang dadap Huru mungkal Kiamis Walen Kitiwu Kijago Kawoyang Huru nangka Renghas Kitambaga Hamberang Pasang sapu Petag kopo Pasang Kipare Tarisi Kimeong Kondang Kareumbi Kihiur Cangcaratan Lingsir Huru terong Kihoe Kiteja Jamuju Kilaki
Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan pegunungan K (Ind/Ha) 44.00 2.00 25.00 11.00 6.00 1.00 14.00 7.00 1.00 6.00 2.00 2.00 3.00 1.00 12.00 2.00 3.00 2.00 17.00 3.00 11.00 2.00 9.00 1.00 1.00 1.00 4.00 1.00 1.00 1.00 4.00 2.00 3.00 22.00 3.00 1.00 3.00 1.00 1.00 2.00 8.00 1.00 1.00 1.00 7.00 1.00 5.00
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
14.29 0.65 8.12 3.57 1.95 0.32 4.55 2.27 0.32 1.95 0.65 0.65 0.97 0.32 3.90 0.65 0.97 0.65 5.52 0.97 3.57 0.65 2.92 0.32 0.32 0.32 1.30 0.32 0.32 0.32 1.30 0.65 0.97 7.14 0.97 0.32 0.97 0.32 0.32 0.65 2.60 0.32 0.32 0.32 2.27 0.32 1.62
0.84 0.08 0.32 0.40 0.20 0.04 0.36 0.24 0.04 0.20 0.04 0.04 0.08 0.04 0.32 0.04 0.12 0.08 0.20 0.08 0.28 0.08 0.24 0.04 0.04 0.04 0.16 0.04 0.04 0.04 0.16 0.08 0.08 0.04 0.12 0.04 0.12 0.04 0.04 0.08 0.32 0.04 0.04 0.04 0.16 0.04 0.16
11.29 1.08 4.30 5.38 2.69 0.54 4.84 3.23 0.54 2.69 0.54 0.54 1.08 0.54 4.30 0.54 1.61 1.08 2.69 1.08 3.76 1.08 3.23 0.54 0.54 0.54 2.15 0.54 0.54 0.54 2.15 1.08 1.08 0.54 1.61 0.54 1.61 0.54 0.54 1.08 4.30 0.54 0.54 0.54 2.15 0.54 2.15
0.26 0.54 0.39 0.22 0.45 0.54 0.35 0.46 0.54 0.45 0.27 0.27 0.36 0.54 0.36 0.27 0.54 0.54 0.16 0.36 0.34 0.54 0.36 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.36 0.02 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.31 0.54 0.43
0.94 1.96 1.43 0.78 1.63 1.96 1.26 1.68 1.96 1.63 0.98 0.98 1.31 1.96 1.31 0.98 1.96 1.96 0.58 1.31 1.25 1.96 1.31 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.31 0.09 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.12 1.96 1.57
26.51 3.69 13.84 9.73 6.27 2.82 10.65 7.18 2.82 6.27 2.17 2.17 3.36 2.82 9.51 2.17 4.55 3.69 8.78 3.36 8.58 3.69 7.46 2.82 2.82 2.82 5.41 2.82 2.82 2.82 5.41 3.69 3.36 7.77 4.55 2.82 4.55 2.82 2.82 3.69 8.86 2.82 2.82 2.82 5.54 2.82 5.34
75 Lampiran 16. Lanjutan Nama Jenis Huru kadoya Kiputih Kiplik Carui Huru meuhmal Huru jambu Simpur Bintinu Huru sawo Huru cantigi Pakis Kacu Huru kopi Kiputri Total
K (Ind/Ha) 4.00 2.00 19.00 1.00 2.00 1.00 2.00 1.00 2.00 1.00 5.00 1.00 1.00 4.00 308.00
KR (%)
F
1.30 0.65 6.17 0.32 0.65 0.32 0.65 0.32 0.65 0.32 1.62 0.32 0.32 1.30 100.00
0.12 0.08 0.28 0.04 0.08 0.04 0.08 0.04 0.04 0.04 0.08 0.04 0.04 0.08 7.44
FR D (%) 1.61 0.40 1.08 0.54 3.76 0.20 0.54 0.54 1.08 0.54 0.54 0.54 1.08 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 1.08 0.22 0.54 0.54 0.54 0.54 1.08 0.27 100.00 27.40
DR (%)
INP (%)
1.47 1.96 0.72 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 0.78 1.96 1.96 0.98 100.00
4.38 3.69 10.66 2.82 3.69 2.82 3.69 2.82 3.15 2.82 3.48 2.82 2.82 3.35 300.00
76 Lampiran 17.
Nama Jenis Huru tangkil Pasang Saninten Kiseer Pasang Dadap Huru Duren Jirak Putat Huru Madam Huru piit Petag Beunying Kibeunter Total
Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan subalpin K (Ind/Ha) 750 750 500 500 500 250 250 250 1250 500 500 500 1500 8000
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
9,38 9,38 6,25 6,25 6,25 3,13 3,13 3,13 15,63 6,25 6,25 6,25 18,75 100,00
0,30 0,20 0,20 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,20 0,10 0,10 0,10 0,10 1,80
16,67 11,11 11,11 5,56 5,56 5,56 5,56 5,56 11,11 5,56 5,56 5,56 5,56 100,00
26,04 20,49 17,36 11,81 11,81 8,68 8,68 8,68 26,74 11,81 11,81 11,81 24,31 200,00
77 Lampiran 18.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di habitat hutan subalpin
Nama Jenis Pecah beling Paku-pakuan Kisuruh Kispong Kembang kingkong Canar Jukut rambat Rerambatan Sawo manggung Hahapan Teki Seruni Jukut Rambat Babadotan Gurunggutu Poh-pohan Total
K (Ind/Ha) 9750 3250 500 500 250 1000 1250 1250 250 3750 4750 500 1250 2500 1000 2750 34500
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
28,26 9,42 1,45 1,45 0,72 2,90 3,62 3,62 0,72 10,87 13,77 1,45 3,62 7,25 2,90 7,97 100
0,60 0,80 0,20 0,10 0,10 0,20 0,20 0,10 0,10 0,20 0,20 0,10 0,10 0,10 0,20 0,20 3,5
17,14 22,86 5,71 2,86 2,86 5,71 5,71 2,86 2,86 5,71 5,71 2,86 2,86 2,86 5,71 5,71 100
45,40 32,28 7,16 4,31 3,58 8,61 9,34 6,48 3,58 16,58 19,48 4,31 6,48 10,10 8,61 13,69 200
78 Lampiran 19.
Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan subalpin
Nama Jenis Huru tangkil Pereng Kiputih Huru kiteja Kiseer Hambirung Pasang Saninten Huru kapundung Kijago Ipis kulit Huru Salam Kibima Kileho Huru Piit Huru Duren Huru Madam Pasang Dadap Huru Cantigi Huru sawo Kitambaga Petag Huru nangka Kadoya Kiendog Total
K 320.00 40.00 40.00 120.00 80.00 200.00 440.00 120.00 40.00 80.00 40.00 40.00 40.00 40.00 680.00 40.00 200.00 40.00 80.00 80.00 40.00 480.00 120.00 80.00 40.00 3520.00
KR (%) 9.09 1.14 1.14 3.41 2.27 5.68 12.50 3.41 1.14 2.27 1.14 1.14 1.14 1.14 19.32 1.14 5.68 1.14 2.27 2.27 1.14 13.64 3.41 2.27 1.14 100.00
F 0.60 0.10 0.10 0.30 0.20 0.30 0.50 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.50 0.10 0.40 0.10 0.20 0.10 0.10 0.30 0.10 0.10 0.10 4.90
FR (%) 12.24 2.04 2.04 6.12 4.08 6.12 10.20 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 10.20 2.04 8.16 2.04 4.08 2.04 2.04 6.12 2.04 2.04 2.04 100.00
INP (%) 21.34 3.18 3.18 9.53 6.35 11.80 22.70 5.45 3.18 4.31 3.18 3.18 3.18 3.18 29.52 3.18 13.85 3.18 6.35 4.31 3.18 19.76 5.45 4.31 3.18 200.00
79 Lampiran 20.
Nama Jenis Sawo manggung Kipahit Kiteja Huru saninten Huru kiteja Hambirung Jamuju Ipis kulit Pasang Kijago Huru piit Huru cantigi Huru madam Huru sawo Kiseer Huru tangkil Pasang dadap Pakis Kareumbi Total
Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan subalpin K KR (%) (Ind/Ha)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
30.00
4.17
0.20
4.35
1.45
4.37
12.88
10.00 10.00 20.00 50.00 100.00 40.00 20.00 30.00 40.00 30.00 100.00 30.00 60.00 20.00 100.00 10.00 10.00 10.00 720.00
1.39 1.39 2.78 6.94 13.89 5.56 2.78 4.17 5.56 4.17 13.89 4.17 8.33 2.78 13.89 1.39 1.39 1.39 100.00
0.10 0.10 0.20 0.40 0.40 0.30 0.20 0.20 0.30 0.30 0.50 0.30 0.20 0.20 0.40 0.10 0.10 0.10 4.60
2.17 2.17 4.35 8.70 8.70 6.52 4.35 4.35 6.52 6.52 10.87 6.52 4.35 4.35 8.70 2.17 2.17 2.17 100.00
2.17 2.17 2.17 1.74 0.87 1.63 2.17 1.45 1.63 2.17 1.09 2.17 0.72 2.17 0.87 2.17 2.17 2.17 33.19
6.55 6.55 6.55 5.24 2.62 4.91 6.55 4.37 4.91 6.55 3.28 6.55 2.18 6.55 2.62 6.55 6.55 6.55 100.00
10.11 10.11 13.68 20.88 25.20 16.99 13.68 12.88 16.99 17.24 28.03 17.24 14.86 13.68 25.20 10.11 10.11 10.11 300.00
80 Lampiran 21.
Nama Jenis Kijago Petag kopo Pasang Jamuju Sawo manggung Huru saninten Petag Huru kapundung Ipis kulit Hambirung Mara Huru kiteja Simpur Huru tangkil Saninten Huru madam Kimeong Gintung Huru cantigi Huru sawo Huru piit Angrit Pasang dadap Kitambaga Kiseer Kareumbi Kiendog Total
Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan subalpin K KR (%) (Ind/Ha) 50.00 10.58 2.50 0.53 72.50 15.34 32.50 6.88
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
0.80 0.10 1.00 0.70
9.88 1.23 12.35 8.64
0.49 1.23 0.43 0.66
2.44 6.09 2.10 3.28
22.89 7.85 29.79 18.80
5.00
1.06
0.20
2.47
1.23
6.09
9.62
5.00 17.50
1.06 3.70
0.10 0.50
1.23 6.17
0.62 0.88
3.04 4.35
5.34 14.23
12.50
2.65
0.10
1.23
0.25
1.22
5.10
40.00 47.50 5.00 10.00 2.50 15.00 5.00 32.50 12.50 5.00 40.00 7.50 5.00 22.50 7.50 2.50 2.50 5.00 7.50 472.50
8.47 10.05 1.06 2.12 0.53 3.17 1.06 6.88 2.65 1.06 8.47 1.59 1.06 4.76 1.59 0.53 0.53 1.06 1.59 100.00
0.80 0.40 0.10 0.30 0.10 0.20 0.10 0.50 0.20 0.10 0.50 0.10 0.20 0.30 0.20 0.10 0.10 0.20 0.10 8.10
9.88 4.94 1.23 3.70 1.23 2.47 1.23 6.17 2.47 1.23 6.17 1.23 2.47 3.70 2.47 1.23 1.23 2.47 1.23 100.00
0.62 0.26 0.62 0.93 1.23 0.41 0.62 0.47 0.49 0.62 0.39 0.41 1.23 0.41 0.82 1.23 1.23 1.23 1.23 20.27
3.04 1.28 3.04 4.57 6.09 2.03 3.04 2.34 2.44 3.04 1.90 2.03 6.09 2.03 4.06 6.09 6.09 6.09 6.09 100.00
21.39 16.27 5.34 10.39 7.85 7.67 5.34 15.39 7.55 5.34 16.54 4.85 9.62 10.50 8.12 7.85 7.85 9.62 8.91 300.00
81 Lampiran 22. Daftar jenis mamalia besar yang ditemukan secara langsung pada setiap habitat a. Habitat hutan dataran rendah Nama Lokal Nama Ilmiah Lutung budeng Trachypithecus auratus Monyet-ekor panjang Macaca fascicularis Total Jumlah Spesies (S) Indeks Kekayaan Jenis (Dmg) Indeks Keanekaragaman Jenis (H') Indeks Kemerataan Jenis (J’)
Famili Cercopithecidae Cercopithecidae
Jumlah Individu 18 191 209 2 0,19 0,29 0,42
Famili Lorisidae Cercopithecidae Cercopithecidae Cercopithecidae Suidae Cervidae
Jumlah Individu 4 32 59 2 2 1 100 6 1,09 1,01 0,56
Famili Cercopithecidae Felidae
Jumlah Individu 2 1 3 2 0.91 0.64 0.92
Famili Lorisidae Cercopithecidae Cercopithecidae Cercopithecidae Suidae Cervidae Felidae
Jumlah Individu 4 32 79 193 2 1 1 312 7
b. Habitat hutan pegunungan Nama Lokal Nama Ilmiah Kukang jawa Nycticebus javanicus Surili Presbytis aygula Lutung budeng Trachypithecus auratus Monyet-ekor panjang Macaca fascicularis Babi hutan Sus scrofa Kijang muncak Muntiacus muntjak Total Jumlah Spesies (S) Indeks Kekayaan Jenis (Dmg) Indeks Keanekaragaman Jenis (H') Indeks Kemerataan Jenis (J’)
c. Habitat hutan subalpin Nama Lokal Nama Ilmiah Lutung budeng Trachypithecus auratus Macan tutul Panthera pardus Total Jumlah Spesies (S) Indeks Kekayaan Jenis (Dmg) Indeks Keanekaragaman Jenis (H') Indeks Kemerataan Jenis (J’)
d. Keseluruhan habitat Nama Lokal Kukang jawa Surili Lutung budeng Monyet-ekor panjang Babi hutan Kijang muncak Macan tutul Total Jumlah Spesies (S)
Nama Ilmiah Nycticebus javanicus Presbytis aygula Trachypithecus auratus Macaca fascicularis Sus Scrofa Muntiacus muntjak Panthera pardus
82 Lampiran 22. Lanjutan Indeks Kekayaan Jenis (Dmg) Indeks Keanekaragaman Jenis (H') Indeks Kemerataan Jenis (J’)
1.04 1.00 0.52
83 Lampiran 23. Pendugaan populasi jenis-jenis mamalia besar Nama Lokal Kukang jawa Surili Lutung budeng Monyet ekor panjang Babi hutan Kijang muncak Macan tutul
JP 1,16 6,98 11,24 0,78 0,39 -----
JL --0,89 2,01 ------0,22
Kepadatan Jenis-Jenis Mamalia Besar (individu/km2) Ba Sa GP PB Cil Cib Ay ----1,28 --------8,97 3,33 ----------16,67 2,22 2,56 10,00 8,33 --23,33 ----------414,29 28,33 1,28 --------------1,11 -------------------------
Total 1,19 3,66 7,05 53,61 0,60 1,11 0,22
Keterangan: JP = Jalur Palutungan, JL = Jalur Linggarjati, Ba = Bandorasa, Sa = Sayana, GP = Gunung Putri, PB = Panggoyangan Badak, Cil = Cilengkrang, Cib = Cibeureum, Ay = Ayakan
84 Lampiran 24. Data pertemuan langsung terhadap mamalia besar a. Kukang jawa (Nycticebus coucang) Waktu 06.07 17.17
Jumlah individu 3 1
Ketinggian (mdpl) 2097 1184
Aktivitas Bergerak Bergerak
Posisi Satwa 15 m 28 m
Tipe Habitat Hutan pegunungan Hutan pegunungan
Daerah Pengamatan Palutungan Sukamukti
b. Surili (Presbytis aygula) Waktu 07.35 15.45 15.45 05.57 17.20 08.51 07.05 07.05 16.48 16.12 06.39
Jumlah individu 1 4 1 3 2 3 5 4 2 4 3
Ketinggian (mdpl) 1198 1180 1180 1180 1260 1228 1265 1265 1689 1799 1363
Aktivitas Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak
Posisi Satwa 23 m 21 m 23 m 26 m 24 m 18 m 23 m 17 m 15 m 19 m 23 m
Tipe Habitat Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan
Daerah Pengamatan Linggarjati Bandorasa Bandorasa Linggarjati Bandorasa Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Sayana
c. Lutung budeng (Trachypithecus auratus) Waktu 10.17 09.30 17.55 17.55 06.00 06.21 06.35 06.47 17.19 17.23 17.23 17.23 17.35 17.35 05.58 16.05 16.33 17.56 10.56 10.40 14.10 06.32 17.17 13.15
Jumlah individu 4 1 3 2 2 2 10 2 7 2 3 1 3 2 6 1 6 8 3 4 2 2 1 2
Ketinggian (mdpl) 1800 1950 1220 1220 1180 568 575 575 1260 1770 1770 1770 1791 1791 1818 1822 1833 1797 1750 975 1250 1363 1184 2690
Aktivitas Bergerak Bergerak Makan Bergerak Makan Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Makan Diam Makan Bergerak Bergerak Makan Bergerak Makan Begerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak
Posisi Satwa 35 m 33 m 37 m 35 m 29 m 21 m 31 m 35 m 30 m 8m 15 m 12 m 23 m 12 m 25 m 10 m 31 m 24 m 28 m 31 m 20 m 31 m 28 m 6m
Tipe Habitat Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan subalpin
Daerah Pengamatan Linggarjati Linggarjati Bandorasa Bandorasa Linggarjati Seda Seda Seda Bandorasa Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Pajambon Sukamukti Sayana Bandorasa Linggarjati
d. Monyet-ekor panjang (Macaca fascicularis) Waktu 09.01 09.01 14.45
Jumlah individu 9 8 2
Ketinggian (mdpl) 549 549 1619
Aktivitas Berkelahi Berkelahi Bergerak
Posisi Satwa 0m 0m 5m
Tipe Habitat Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan pegunungan
Daerah Pengamatan Seda Seda Palutungan
85 Lampiran 24. Lanjutan
09.10 09.10 09.10 09.10
Jumlah individu 5 3 6 8
Ketinggian (mdpl) 569 569 569 569
09.10
1
569
09.27 09.27 15.43 15.46 15.46 15.46 15.56 15.56 16.40 06.30 06.30 06.30 06.30 06.30 06.30
1 1 4 5 7 5 11 2 17 5 13 2 3 3 2
539 539 580 580 580 580 580 580 530 530 530 530 530 530 530
06.30
2
530
06.52 08.45 08.45 09.05 09.05 09.05
5 23 17 15 3 5
575 575 575 575 575 575
Waktu
Aktivitas Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Diam (istirahat) Makan Makan Bergerak Makan Bergerak Bergerak Bergerak Makan Makan Makan Makan Bergerak Bergerak Makan Makan Diam (istirahat) Bergerak Berkelahi Berkelahi Bergerak Bergerak Bergerak
Posisi Satwa 21 m 31 m 38 m 23 m
Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah
Daerah Pengamatan Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum
38 m
Hutan dataran rendah
Cibeureum
20 m 15 m 22 m 18 m 21 m 25 m 27 m 16 m 0m 13 m 0m 7m 15 m 11 m 12 m
Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah
Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum
4m
Hutan dataran rendah
Cibeureum
25 m 0m 0m 15 m 31 m 10
Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah
Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum Cibeureum
Tipe Habitat
e. Babi hutan (Sus scrofa) Waktu 15.30 17.23
Jumlah individu 1 1
Ketinggian (mdpl) 1556 1184
Aktivitas Bergerak Bergerak
Posisi Satwa 0m 0m
Tipe Habitat Hutan pegunungan Hutan pegunungan
Daerah Pengamatan Palutungan Bandorasa
f. Kijang muncak (Muntiacus munjak) Waktu 14.07
Jumlah individu 1
Ketinggian (mdpl) 1280
Aktivitas Makan
Posisi Satwa 0m
Tipe Habitat Hutan pegunungan
Daerah Pengamatan Sayana
g. Macan tutul (Panthera pardus) Waktu 07.35
Jumlah individu 1
Ketinggian (mdpl) 2430
Aktivitas Bergerak
Posisi Satwa 0m
Tipe Habitat Hutan subalpin
Daerah Pengamatan Linggarjati
86 Lampiran 25. Data pertemuan tidak langsung terhadap mamalia besar a. Surili (Presbytis aygula) Waktu
Jumlah tanda
Ketinggian (mdpl)
17.00 05.55 05.10 07.21 11.45 16.40 17.47 06.50 08.26 17.07 17.52 06.15 07.14 07.54 08.43 14.15 16.17 09.43 08.40
1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2200 1100 1198 2080 1417 1170 1309 1248 1403 1763 1763 1818 2082 1868 1175 1250 1160 2617 1069
Bentuk perjumpaan tidak langsung Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara Suara
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan subalpin Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan subalpin Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan subalpin Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan subalpin Hutan pinus
Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Sayana Bandorasa Bandorasa Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Sukamukti Sukamukti Bandorasa Linggarjati Linggarjati
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan
Linggarjati Linggarjati Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Linggarjati
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan pinus Hutan pinus Hutan pinus Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan
Linggarjati Linggarjati Seda Sayana Sayana Sayana Sayana Sayana Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan
b. Lutung budeng (Trachypithecus auratus) Waktu
Jumlah tanda
Ketinggian (mdpl)
09.51 17.00 15.34 16.15 16.40 16.50 17.30 05.57 06.47 07.59 14.41
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1216 1300 1556 1799 1833 1868 1868 1619 1619 1868 1800
Bentuk perjumpaan tidak langsung Kotoran Suara Kotoran Suara Kotoran Kotoran Suara Suara Kotoran Kotoran Suara
c. Babi hutan (Sus scrofa) Waktu
Jumlah tanda
Ketinggian (mdpl)
06.17 07.00 07.30 08.25 10.45 11.16 12.07 12.21 10.12 10.12 11.35 17.07 06.15
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1069 1090 539 1108 1370 1416 1177 1184 1263 1263 1309 1763 1818
Bentuk perjumpaan tidak langsung Sarang babi Kotoran Galian-galian Kotoran Jejak kaki Jejak kaki Galian-galian Jejak kaki Kotoran Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki
87 Lampiran 25. Lanjutan Waktu
Jumlah tanda
Ketinggian (mdpl)
06.25 07.42 11.15 11.26 14.21 17.07 08.13 08.40 10.04 15.27 08.43 10.07 18.13 16.15 09.03 14.10 06.23 08.30
2 1 1 1 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2
1927 2116 1790 1750 1619 1872 1870 1890 938 955 1175 1390 1309 1160 1272 1375 1270 1069
Bentuk perjumpaan tidak langsung Jejak kaki Jejak kaki Jejak galian Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Jejak kaki Suara Jejak kaki Jejak kaki Sarang babi Jejak kaki Jejak kaki
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pinus
Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Pajambon Pajambon Sukamukti Sukamukti Bandorasa Bandorasa Sukamukti Sukamukti Palutungan Linggarjati
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan pinus Hutan pinus Hutan pinus Hutan pinus Hutan pinus Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan pegunungan Hutan pegunungan Htan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan pegunungan
Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Seda Seda Linggarjati Sayana Sayana Bandorasa Linggarjati Palutungan Palutungan Bandorasa Linggarjati Linggarjati Seda Linggarjati
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan subalpin
Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati
d. Kijang muncak (Muntiacus muntjak) Waktu
Jumlah tanda
Ketinggian (mdpl)
06.50 09.15 05.47 06.05 06.46 10.34 10.47 16.31 15.20 08.05 09.20 17.07 10.15 17.23 11.26 17.34 10.50 11.37 10.51 13.30
1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1320 1990 1088 1088 1062 1100 745 720 1900 1020 1204 1244 854 1770 1750 1211 1320 1493 813 1790
Bentuk perjumpaan tidak langsung Jejak kaki Jejak kaki Suara Suara Jejak kaki Jejak kaki Suara Jejak kaki Suara Jejak kaki Kotoran Kotoran Jejak kaki Kotoran Jejak kaki Kotoran Jejak kaki Jejak kaki Bekas makan kotoran
e. Musang luwak (Paradoxurus hermaphrditus) Waktu
Jumlah individu
Ketinggian (mdpl)
09.30 10.15 10.30 07.10 07.43 10.15 12.17
1 1 1 1 1 1 1
1215 1350 1400 1410 1545 1800 2070
Bentuk perjumpaan tidak langsung Kotoran Kotoran Kotoran Jejak kaki Kotoran Kotoran Kotoran
88 Lampiran 25. Lanjutan Waktu
Jumlah individu
Ketinggian (mdpl)
11.09 06.10 06.17 07.21 15.57 08.25 11.45 12.07 17.07 10.13 09.31 11.21 06.37 09.15 14.45 11.00 10.04 09.20 09.15 10.07 11.15 08.23 08.32 06.03 17.04 08.05 10.14 06.17 09.15 09.18 09.53 10.43
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1460 1120 1090 1260 720 1108 1417 1177 1244 1004 1205 1274 1210 1232 1619 1083 938 1225 1250 1390 1580 945 930 1275 1139 938 1503 1237 1150 1161 1320 1492
Bentuk perjumpaan tidak langsung Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran Kotoran
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan dataran rendah Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutanj dataran rendah Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan
Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati Seda Sayana Sayana Sayana Bandorasa Linggarjati Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Palutungan Linggarjati Pajambon Sukamukti Sukamukti Sukamukti Sukamukti Pajambon Pajambon Sayana Bandorasa Pajambon Sukamukti Palutungan Linggarjati Linggarjati Linggarjati Linggarjati
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan pegunungan Hutan pinus Hutan pinus Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan dataran rendah Hutan pinus Hutan pinus
Linggarjati Linggarjati Linggarjati Palutungan Bandorasa Pajambon Linggarjati Linggarjati
Tipe Habitat
Daerah Pengamatan
Hutan subalpin Hutan pegunungan Hutan pegunungan Hutan pegunungan
Linggarjati Sayana Palutungan Sayana
f. Kucing hutan (Prionailurus bengalensis) Waktu
Jumlah individu
Ketinggian (mdpl)
18.35 09.15 10.33 06.15 17.58 08.19 07.57 08.30
2 1 1 1 1 1 1 1
1198 971 1025 1818 1184 985 929 957
Bentuk perjumpaan tidak langsung Suara Jejak kaki Kotoran Jejak kaki Suara Kotoran Jejak kaki Kotoran
g. Macan tutul (Panthera pardus) Waktu
Jumlah individu
Ketinggian (mdpl)
11.15 11.38 11.24 17.05
1 1 1 1
2500 1425 1790 1182
Bentuk perjumpaan tidak langsung Kotoran Jejak kaki Jejak kaki Suara
PB
ki lu,su ki ki ki mu lu,su ki su lu,su lu,su lu,su lu,su lu,su
Nama Lokal
Gurung gutu Kileho Ilalang Rerambatan Cabe hutan Beunying Huru piit Pecah beling Jirak Huru madam Pasang Saninten Cangcaratan Kiplik Teki Pasang dadap Jukut rambat Babadotan Pohpohan Petag Huru salam Ipis kulit Kisuruh Petag kopo Mara Buah pari Walen
mu lu,su ki su lu,su lu,su lu,su lu,su lu,su ki lu,su ki ki ki mu,lu,su lu su
lu,su
TA
su ki mu lu
mu,lu,su
mu,lu,su mu
mu,lu,su
lu,su
lu,su lu,su lu,su
lu,su lu,su lu,su
ki
ki
mu
lu,su
KA
ki
ki
LG
ki ki
Ci
mu
mu
mu,lu,su
lu,su
lu,su
lu,su
ki
mu
lu,su
Ja
mu
mu lu
mu,lu,su
lu,su lu,su
ki
AB
mu
mu,lu,su
lu,su lu,su lu,su lu,su
ki
ki
GP
Lampiran 26. Penyebaran tumbuhan pakan satwa mamalia besar pada setiap daerah pengamatan
su
mu,lu,su
ki
mu
Cib
lu,su
Bi
mu
lu
su
lu,su
lu,su lu,su lu,su lu,su lu,su
Ay
mu
lu
ki
mu
Cil
89
Nama Lokal Pereng Binbin Kawung Calodas Rukem Kitiwu Kerteu Benda Ruyung Beringin Wuni Rumput gajah Harendong Rumput rambat Jukut kilaki Kirinyuh Kaliandra Pungpurutan Sentul atau Andewi Sengserehan Kondang Bubuai Meniran Pongporotan Afrika Laja gowa Sereh gunung Tembelekan
Lampiran 26. Lanjutan
PB
TA
LG mu
KA mu mu mu,mo lu,su lu,su lu,su lu,su lu,su mu,lu,su lu,su lu,su
ki
ki ki ki ki ki ki
mu
Ci
mu,lu,su mu
lu,su
lu,su
mu ki ki
ki
mu
ki
mu
mu,lu,su
lu,su
AB mu mu
mu,lu,su
Ja mu
ki
ki
lu,su
mu,lu,su
GP mu mu
lu,su lu,su ki mu ki ki ki
lu,su
mu mu,mo lu,su
Cib
mu
ki ki ki ki ki
Bi
mu,lu,su
lu,su
lu,su
mu mu,mo
Ay
mu,lu,su mu ki ki
ki
ki
ki
mu,lu,su lu,su
Cil mu mu mu,mo
90
Keterangan:
Nama Lokal Tepus Kurai Kawoyang Rinai Kopi Rumput-rumputan Total jenis
TA
16
PB
14
PB = Panggoyangan Badak TA = Tanjakan Asoy LG = Leuweung Gede KA = Kondang Amis Ci = Cibunar (Pinus Linggarjati) Ja = Japarana AB = Alas Bandorasa GP = Gunung Putri Cib = Cibeuereum Bi = Bintangot Ay = Ayakan Cil = Cilengkrang
Lampiran 26. Lanjutan
12
LG
21
KA
mu ki 17
lu
Ja
ki = Kijang muncak mu = Musang luwak lu = Lutung budeng su = Surili mo = Monyet-ekor panjang
12
ki mu
Ci
21
AB mu lu,su lu
15
ki
GP
16
mu
Cib
7
Bi
15
lu,su
Ay
17
Cil mu
91
92 Lampiran 27. Uji regresi a. Uji ketinggian tempat dengan parameter-parameter Parameter
Ketinggian (500mdpl-2900mdpl) R2 Sigf. 0,455 0,066 0,793 0,019 0,881 0,025 0,433 0,076 0,589 0,108 0,614 0,241 0,436 0,075 0,580 0,108 0,766 0,094 0,031 0,679 0,471 0,203 0,565 0,298 0,542 0,037 0,727 0,039 0,781 0,083 0,194 0,274 0,294 0,419 0,546 0,322 0,739 0,006 0,910 0,002 0,916 0,013 0,218 0,243 0,769 0,026 0,808 0,064
Model
Seluruh jenis
Omnivora
Herbivora
Karnivora
Omnivora+Herbivora
Ordo Primata
Ordo Artiodactyla
Ordo Karnivora
Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic
b. Uji kerapatan vegetasi dengan parameter-parameter Parameter
Seluruh jenis
Omnivora
Herbivora
Karnivora
Model Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic
Kerapatan vegetasi pancang R2 Sigf. 0,006 0,807 0,501 0,044 0,529 0,095 0,102 0,311 0,121 0,560 0,136 0,745 0,002 0,893 0,407 0,095 0,444 0,174 0,000 0,992 0,354 0,140 0,357 0,292
Kerapatan vegetasi tiang R2 Sigf. 0,058 0,450 0,060 0,757 0,120 0,781 0,118 0,274 0,491 0,048 0,546 0,083 0,001 0,919 0,079 0,689 0,172 0,659 0,093 0,335 0,117 0,572 0,223 0,544
Kerapatan vegetasi pohon R2 Sigf. 0,012 0,734 0,044 0,816 0,112 0,801 0,038 0,542 0,083 0,678 0,173 0,658 0,006 0,814 0,066 0,735 0,204 0,588 0,002 0,887 0,054 0,779 0,139 0,737
93 Lanjutan 27. Lanjutan Parameter Omnivora + Herbivora Ordo Primata Ordo Artiodactyla Ordo Karnivora
Model Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic
Kerapatan vegetasi pancang R2 Sigf. 0,011 0,746 0,466 0,059 0,525 0,098 0,178 0,171 0,516 0,038 0,517 0,105 0,035 0,560 0,147 0,490 0,285 0,417 0,014 0,714 0,392 0,107 0,400 0,229
Kerapatan vegetasi tiang R2 Sigf. 0,036 0,555 0,036 0,848 0,071 0,892 0,014 0,711 0,028 0,881 0,029 0,969 0,039 0,540 0,069 0,724 0,142 0,730 0,052 0,475 0,163 0,450 0,277 0,433
Kerapatan vegetasi pohon R2 Sigf. 0,027 0,612 0,046 0,808 0,094 0,840 0,019 0,673 0,019 0,917 0,103 0,820 0,059 0,448 0,064 0,741 0,413 0,212 0,009 0,773 0,119 0,566 0,262 0,463
c. Uji kerapatan vegetasi (sebagai sumber pakan) dengan parameter-parameter Parameter
Seluruh jenis
Omnivora
Herbivora
Karnivora Omnivora + Herbivora Ordo Primata Ordo Artiodactyla Ordo Karnivora
Model Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic Linear Quadratic Cubic
Kerapatan vegetasi pancang R2 Sigf. 0,000 0,976 0,058 0,812 0,111 0,858 0,013 0,750 0,069 0,778 0,573 0,140 0,003 0,890 0,073 0,767 0,254 0,595 0,001 0,939 0,118 0,645 0,275 0,556 0,000 0,994 0,030 0,900 0,049 0,956 0,048 0,541 0,065 0,791 0,069 0,926 0,035 0,606 0,041 0,862 0,070 0,925 0,000 0,983 0,199 0,460 0,342 0,440
Kerapatan vegetasi tiang R2 Sigf. 0,592 0,009 0,602 0,040 0,626 0,097 0,131 0,304 0,271 0,331 0,310 0,494 0,421 0,042 0,432 0,138 0,489 0,228 0,221 0,170 0,264 0,343 0,349 0,428 0,659 0,004 0,661 0,023 0,768 0,025 0,558 0,013 0,681 0,018 0,805 0,015 0,413 0,045 0,443 0,129 0,512 0,202 0,285 0,112 0,293 0,298 0,309 0,497
Kerapatan vegetasi pohon R2 Sigf. 0,193 0,204 0,216 0,426 0,346 0,433 0,014 0,742 0,351 0,220 0,379 0,381 0,077 0,438 0,089 0,723 0,231 0,637 0,342 0,076 0,368 0,201 0,509 0,206 0,110 0,348 0,128 0,620 0,227 0,645 0,055 0,514 0,163 0,536 0,224 0,652 0,053 0,522 0,084 0,734 0,138 0,810 0,289 0,109 0,292 0,298 0,431 0,304