Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI MANGGA (Mangifera spp., Anacardiaceae) KOLEKSI KEBUN RAYA PURWODADI Apriyono Rahadiantoro UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi email:
[email protected]
ABSTRACT Kebun Raya Purwodadi merupakan area konservasi eksitu yang mengoleksi berbagai jenis tumbuhan khususnya tumbuhan dataran rendah beriklim kering. Kebun Raya Purwodadi telah mengoleksi ribuan jenis tanaman yang sebagian besar berasal dari kawasan Indonesia. Salah satu koleksi tanaman yang memiliki keanekaragaman tinggi dan belum banyak diketahui potensinya adalah Mangifera. Genus Mangifera merupakan salah satu yang terbesar di dalam suku Anacardiaceae. Koleksi Mangifera Kebun Raya Purwodadi menarik untuk dikaji secara mendalam meliputi aspek keanekaragaman dan potensinya. Kebun Raya Purwodadi tercatat memiliki 7 jenis dan 33 kultivar koleksi Mangifera dengan potensinya antara lain sebagai buah segar, makanan olahan, kontruksi bangunan dan bahan baku farmasi. Kata kunci: Mangifera, Anacardiaceae, Kebun Raya Purwodadi
PENGANTAR Tanaman mangga yang memiliki nama genus Mangifera dikenal oleh masyakat sebagai penghasil buah, baik untuk konsumsi langsung (buah segar) maupun diolah terlebih dahulu (makanan olahan). Mangifera merupakan genus terbesar setelah Rhus dan termasuk ke dalam kelompok suku Anacardiaceae. Di seluruh dunia tercatat sekitar kurang lebih 69 spesies mangga yang tersebar di kawasan Asia Tropik. Keanekaragaman mangga terbesar berlokasi di Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Thailand, Sumatra dan Jawa dengan jumlah jenis berturut-turut 28, 27, 27, 13 dan 9 (Bompard, 2009). Tidak semua jenis mangga tersebut dapat dikonsumsi langsung sebagai buah segar, hanya sekitar setengahnya saja berpotensi sebagai buah segar. Jenis mangga yang umumnya dikonsumsi secara langsung sebagai buah segar antara lain meliputi Mangifera caesia, M. foetida, M. odorata dan M. indica. Mangga jenis M. indica adalah jenis mangga yang paling dikenal oleh masyarakat. Mangga jenis M. indica diduga berasal dari kawasan Indo-Myamar dan ditanam di India sekitar ribuan tahun yang lalu, kemudian menyebar ke kawasan Asia Tenggara (Indonesia) dan sekarang dapat dijumpai di negara tropik hingga subtropik (Chin, 2003). Di Indonesia, berbagai jenis mangga dapat ditemukan di habitat alami di kawasan hutan, beberapa memiliki status terancam punah karena sudah tidak dapat lagi ditemukan pada habitat alamih, misalnya pada jenis mangga M. casturi dan M. rubropetala (Risna dkk., 2010). Keanekaragaman jenis mangga di Indonesia merupakan aset yang berharga dan perlu dijaga keberadaannya di alam sebagai sumber plasma nutfah indonesia. Mangga selain dilihat dari sisi keanekaragaman jenis juga menyimpan potensi atau pemanfaatan yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Oleh sebab itu sebagai salah satu, lembaga konsenservasi eksitu, Kebun Raya Purwodadi memiliki peran penting dalam pelestarian flora asli indonesia. Dalam lingkup yang lebih kecil adalah berperan penting dalam pelestarian jenis-jenis mangga asli kawasan Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis mangga dihubungkan dengan potensi yang dimilikinya. BAHAN DAN CARA KERJA Kebun Raya Purwodadi berlokasi di kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dilakukan di Kebun Raya Purwodadi pada bulan Maret-Juni 2014. Mangga koleksi Kebun Raya Purwodadi diinventarisasi menggunakan panduan data nama dan peta koleksi dari Unit Registrasi-Kebun Raya Purwodadi. Kemudian observasi dan pengamatan langsung di lapang. Data pengamatan studi pustaka menggunakan buku, jurnal dan literatur penunjang lainnya.
304
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragamaan Mangifera koleksi Kebun Raya Purwodadi Kebun Raya Purwodadi mengoleksi sebanyak 7 jenis, 33 kultivar varietas mangga, 83 nomor koleksi dan 148 spesimen mangga yang berasal dari berbagai kawasan indonesia, meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat hingga Maluku. Mangifera indica merupakan jenis mangga yang memiliki jumlah kultivar terbanyak yaitu sebanyak 30 kultivar varietas. Jenis-jenis mangga tersebut dapat dilihat pada tabel 1 di bawah.
Tabel 1. Keanekaragaman mangga koleksi Kebun Raya Purwodadi No 1 2 3 4 5 6 7
Mangifera M. casturi Kosterm. M. foetida Lour. M. indica L. M. longipes Griff. M. minor Blume M. odorata Griff. M. similis Blume M.
Asal Kalimantan Selatan Indochina-Malesia barat India dan Malesia Tenggara Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Jawa Tengah Kalimantan Timur, Sumatra
Nama lokal Mangga kasturi Mangga pakel, bacang Mangga Kuweni -
Mangifera casturi Kosterm Jenis M. casturi (mangga kasturi) berasal dari Kalimantan Selatan dan saat ini sangat sulit ditemukan di habitat alami. Mangga kasturi seperti jenis-jenis mangga lainnya memiliki habitus berupa pohon dengan permukaan kulit batang batang kasar dan tebal. Daun memiliki pola daun yang memanjang, rasio panjang dan lebar daunnya dapat mencapai 5:1 (Gambar 1). Mangga kasturi memiliki ukuran buah yang berukuran relatif kecil, dengan daging buah berserat tinggi dan dengan rasa yang tidak terlalu manis. Mangga kasturi terdapat di Vak XVI.D.II dan Vak XVI.E dengan total sebanyak 6 spesimen tanaman.
Gambar 1. Daun Mangifera casturi 1
Mangifera foetida Lour. Di kebun Raya Purwodadi terdapat dua macam varietas M. foetida, yaitu mangga pakel dan mangga pakel lumut. Daun mangga M. foetida menyerupai M. indica tetapi dengan ukuran yang relatif lebih besar serta urat daun yang lebih menonjol. Daun M. foetida bersifat coriaceous (seperti kulit) dan kaku (Gambar 2). Perbungaan membentuk susunan yang tegak dengan warna yang terang sehingga terlihat sangat aktraktif. Pada bagian kulit buahnya tampak jelas banyak bintik noda (Kostermans dan Bompard, 1993). M. foetida (bacang atau limus) ditemukan liar di kawasan hutan dipterocarp di Sumatra, Kalimantan, Malaysia hingga Thailand (Verheij dan Koronel, 1992).
305
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Gambar 2. daun Mangifera foetida 2
3
Mangifera indica L. Mangga jenis Mangifera indica merupakan jenis mangga yang paling terkenal luas penyebaran serta memiliki variasi morfologi, terutama buah dan daunnya. Daun M. indica memiliki karakter khas yaitu pada permukaan atas daun dewasanya membentuk pola urat daun yang tenggelam atau membentuk kanal. Berapa kultivar yang ada di Kebun Raya Purwodadi antara lain: Mangga lempeni, mangga kopyor, mangga kepodang, mangga gandik mlati, mangga gondo lumut, mangga bajul, mangga endok, mangga kapasan, mangga gayam dan mangga putihan. Dari 10 varietas M. indica tersebut terdapat karakter khas (IPGRI, 2006). Letak daun terhadap batang terdiri dari 3 macam, meliputi semi-erect (setengah tegak), horinzontal (mendatar) dan semi-drooping (setengah terkulai). Daun ada yang berbentuk oblong (memanjang) dan elliptic. Sementara getah daun ada yang tak berbau, berbau sedang dan berbau menyengat (kuat). Mangifera longipes Griff. Ciri khas pada mangga M. longipes terdapat pada karakter daun. Daun mangga jenis ini bagian permukaan bawah di antara secondary veinnya melekuk ke dalam (Gambar 3). Habitat M. longipes meliputi kawasan dataran rendah di kawasan Sumatra, Jawa dan Kalimantan (Ding Hao, 1978).
Gambar 3. Daun Mangifera longipes 4
5
6
Mangifera minor Blume Daun M. minor memiliki kemiripan dengan M. indica tetapi berukuran relatif kecil. dan warna yang lebih terang. Distribusi M. minor adalah pada kawasan hutan dataran rendah di FloresTimor pada ketinggian 400 hingga 750 m dpl (Ding Hao, 1978). Mangifera odorata Griff. Jenis M. odorata (kuweni) terkenal khas dengan ukuran daun yang relatif besar dbandingkan jenis-jenis mangga lainnya. Daun M. odorata memiliki karakter khas yaitu sangat kaku dan kasar bila diraba pada permukaan atasnya. Urat daunnya tampak terlihat jelas dan menonjol. Buah M. odorata juga memiliki karakter yang khas. Buah kuweni berbentuk bulat dengan ukuran relatif kecil. Jika buah telah masak, bau dapat tercium hingga jarak ratusan meter. Distribusi M. odorata meliputi Sumatra, Jawa dan Kalimantan (Ding Hao, 1978). Mangifera similis Blume
306
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Mangga jenis M. similis memiliki karakter khas pada daun. Daun M. similis memiliki warna kuning kehijauan. Mangga jenis M. similis dapat ditemukan di hutan dataran rendah pada ketinggian hingga 150 m dpl dengan penyebarannya meliputi kawasan Sumatra dan Kalimantan. M. similis yang dibudidayakan di Jawa sebenarnya berasal dari Bangka-Sumatra (Ding Hao, 1978).
5 cm
Gambar 4. Daun Mangifera similis Potensi Mangifera Mangga secara umum dikenal sebagai tanaman penghasil buah-buahan. Di bawah ini akan dijabarkan potensi mangga secara lebih terperinci. a Buah untuk konsumsi Mangga terkenal sebagai tanaman penghasil buah-buahan. Berapa jenis mangga hanya bisa dikonsumsi ketika belum matang. Ketika masak, daging buah tipis dan keras, misalnya pada M. gedebe. Berapa kemungkinan getahnya mengandung racun, misalnya pada M. lagenifera. Berapa memiliki cita rasa yang tinggi, misalnya M. pajang (Ding Hao, 1978). Di seluruh dunia, hanya sekitar 43% (24 spesies) mangga yang dapat dikonsumsi buahnya. Jenis mangga umum yang berpotensi sebagai buah untuk konsumsi yaitu Mangifera caesia (binjai), M. foetida (bachang), M. odorata (kuweni) dan M. indica (Chin, 2003). M. odorata termasuk jenis mangga yang digemari dan umumnya dibudidayakan di Kalimantan, Sumatra dan Jawa (Verheij dan Koronel, 1992). Mangifera casturi memiliki karakter buah yang unggul, meskipun buah tidak semanis jenis mangga lainnya. Keunggulan mangga kasturi terdapat aroma yang sangat kuat dan harum yang tidak dimiliki mangga jenis lainnya. b Makanan olahan (manisan) Tidak seluruh jenis mangga bisa dikonsumsi langsung, beberapa jenis mangga perlu diolah terlebih dahulu karena rasanya yang sangat asam, antara lain diolah menjadi manisan. Salah satunya selain M. indica adalah M. foetida (Verheij dan Koronel, 1992). c Kontruksi bangunan dan peralatan Batang Mangifera secara umum tidak banyak dimanfaatkan sebagai kontruksi bangunan maupun peralatan. Jenis mangga yang memiliki kayu yang cukup keras sehingga dapat digunakan bahan kontruksi ringan dan furnitur, salah satunya adalah M. minor (Ding Hao, 1978). d Bahan Baku Farmasi Senyawa saponin dari kulit batang Mangifera casturi diketahui memiliki senyawa antibakteri yaitu senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare dan penyakit kulit (Rosyidah dkk., 2010). Jenis M. indica, M. foetida dan M. odorata menunjukkan aktifitas antioksidan (Lukmandaru dkk., 2012). Selain itu, studi yang dilakukan oleh Wauthoz dkk. (2007) menunjukkan bahwa M. indica memiliki kandungan Mangiferin yang berpotensi bagi dunia kesehatan atau farmasi, antara lain berpotensi sebagai anti-alergi, anti-radang anti-diabet, anti-tumor hingga antivirus.
DAFTAR PUSTAKA 1. Bompard, J.M. 2009. Taxonomy and Systematics. In: Litz, R.E ( Ed.). The Mango: Botany, Production and Uses. CAB International, Wallingford, UK. 2. Chin, W.Y. 2003. Tropical Trees and Shrubs: A Selection for Urban Plantings. Sun Tree. USA. 3. Ding Hao. 1978. Anacardiaceae. Flora Malesiana Series I, Vol. 8, part 3: 395-548.
307
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
4. IPGRI. 2006. Descriptors for Manggo (Mangifera indica L.). International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy. 5. Kostermans, A.J.G.H dan Bompard, J.M. 1993. The Mangoes: Their Botany, Nomenclature, Horticulture and Utilization. Academic Press. 6. Lukmandaru, G., Vembrianto, K. dan Gazidy, A. A. 2012. Aktivitas antioksidan ekstrak metanol kayu Mangifera indica L., Mangifera foetida Lour, DAN Mangifera odorata Griff.vJurnal Ilmu Kehutanan 6 (1):18-29. 7. Risna, R.A., Kusuma, Y.W.C., Widyatmoko, D., Hendrian, R. dan Pribadi, D.O. 2010. Spesies Prioritas untuk Konservasi Tumbuhan Indonesia. LIPI Press. Jakarta. 8. Rosyidah, K., Nurmuhaimina, S.A., Komari, N. dan Astutu, M.D. 2010. Aktivitas Antibakteri Fraksi Saponin dari Kulit Batang Tumbuhan Kasturi (Mangifera casturi). Bioscientiae 7 (2): 25-31. 9. Verheij, E.W.M dan Coronel, R.E. 1992. Plant Resources of South-East Asia 2: Edible Fruits and Nuts. Prosea Fondation. Bogor. 10. Wauthoz, N., Balde, A., Balde, E.S., Van Damme, M. dan Duez, M. 2007. Ethnopharmacology of Mangifera indica L. Bark and Pharmacological Studies of its Main C-Glucosylxanthone, Mangiferin. International Journal of Biomedical and Pharmaceutical Sciences 1(2): 112-119.
PEMANFAATAN EKSTRAK FRAKSI NONPOLAR DAUN JERUK PURUT (Citrus hystrix) SEBAGAI BIOLARVASIDA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III
308
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Arif Nur Muhammad Ansori1*, Aulia Puspita Supriyadi1, Maria Veronika Kartjito2, Fauziah Rizqi1, Hebert Adrianto3, Hamidah1 1
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Kampus C Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia 2 Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Kampus C Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia 3 Ilmu Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kampus A Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
*Email:
[email protected] _________________________________________________________________________________________ ABSTRACT Larvicide from plants which are easily available in large quantities, popular, also safe for human and environment is needed to replace the chemical larvicides. The used of chemicals as larvicidal may causing resistance, health problem, and environment problem. The aim of this research was to obtain Lethal Concentration 90% (LC90) of non-polar extract fraction from kaffir lime (Citrus hystrix) leaf as biolarvicide. Non-polar fraction used in this research were n-hexane. This research is an experimental research with a Completely Randomized Design (CRD). Non-polar extract fraction of Citrus hystrix tested with concentrations of 0 ppm, 500 ppm, 1375 ppm, 2250 ppm, 3125 ppm, and rd 4000 ppm against the 3 instar larvae of Aedes aegypti. Every concentration was replicated five times. The number of mosquito larvae mortality was calculated after 24 hours of treatment. Then, data of the dead larvae were analyzed by probit. The results showed that non-polar (n-hexane) extract rd fraction from Citrus hystrix has biolarvicidal activity against the 3 instar larvae of Aedes aegypti with LC90 = 2,885 ppm. Keywords: Aedes aegypti, Biolarvicide, Citrus hystrix, n-hexane.
PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan permasalahan kesehatan global di daerah tropis dan penyakit endemis di 110 negara di dunia (Ranjit dan Kissoon, 2011). Indonesia adalah salah satu negara terbesar di wilayah endemik DBD, dengan populasi penduduk mencapai 251 juta jiwa (Karyanti et. al., 2014). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Pada tahun 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN dengan jumlah kasus DBD terbanyak dan predikat hiperendemis (Rehatta et. al., 2013). Penyebab utama munculnya epidemi penyakit tersebut adalah perkembangbiakan dan penyebaran nyamuk sebagai vektor penyakit yang tidak terkendali (Ratnaningsih, 2010). Pencegahan kasus seperti DBD diutamakan pada pengendalian vektor karena masih belum tersedia vaksin dan obat antivirus yang efektif (Scott dan Morrison, 2010; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), pengendalian vektor yang paling efektif dan efisien adalah dengan pemberantasan stadium larva. Bahan kimia yang digunakan selama ini untuk mengendalikan larva Aedes aegypti, yaitu temefos (organofosfat) (Mulyatno et. al., 2012). Tetapi penelitian terbaru mulai melaporkan telah terjadi resistensi larva Aedes aegypti terhadap temefos di Indonesia (Mulyatno et. al., 2012; Istiana et. al., 2012), Thailand (Sornperg et. al., 2009), Argentina (Llinas et. al., 2010), El Salvador (Lazcano et. al., 2009), dan Colombia (Gricales et. al., 2013). Kandungan kimia sintetik dalam temefos dalam jangka waktu lama menyebabkan kanker (Panghiyangani et. al., 2012). Larvasida temefos dapat masuk ke rantai makanan dan terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup (Tiwary et. al., 2007). Terkait kondisi ini memunculkan penelitian pengendalian vektor yang lebih aman untuk manusia dan ramah lingkungan, yaitu pengendalian dengan menggunakan larvasida hayati yang berbahan dasar dari tanaman (Adrianto et. al., 2014). Kristanti et. al. (2008) menyebutkan bahwa senyawa metabolit sekunder dalam tanaman dapat berpotensi sebagai biolarvasida nyamuk sehingga perlu diteliti lebih dalam manfaatnya.
309
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Citrus hystrix adalah salah satu tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan populer karena mengandung vitamin C dan memiliki peranan penting dalam masakan terutama di negaranegara Asia Tenggara (Rahman, 2013; Hongratanaworakit dan Buchbauer, 2007). Daun Citrus hystrix mengandung senyawa kimia yang merupakan metabolit sekunder seperti minyak atsiri, flavonoid, saponin, steroid, dan terpen (Prakash et. al., 2013; Intekhab dan Aslam, 2009). Senyawasenyawa ini bekerja sebagai racun pada larva nyamuk baik sebagai racun kontak maupun racun perut (Adrianto et. al., 2014). Diharapkan dari keunggulan tersebut daun Citrus hystrix dapat menjadi larvasida alternatif masa depan yang lebih aman dan ramah lingkungan. Eksplorasi aktivitas ekstrak daun Citrus hystrix selama ini lebih banyak menggunakan fraksi polar seperti etanol dan metanol serta diujikan ke nyamuk dewasa (Susilowati et. al., 2009). Fraksi nonpolar seperti n-heksan belum banyak diteliti. Maka penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam dan melihat kemampuan membunuh dari ekstrak daun Citrus hystrix fraksi nonpolar (nheksan) sebagai biolarvasida Aedes aegypti instar III melalui nilai letal konsentrasi 90% (LC90). METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan tanaman, yaitu: daun Citrus hystrix. Bahan kimia, yaitu: n-heksan, sebagai pelarut untuk maserasi serbuk daun Citrus hystrix; akuades, sebagai bahan pembuatan larutan ekstrak dan larutan Tween 20, untuk membantu mencampurkan ekstrak dengan air (homogenizer). Bahan kolonisasi nyamuk, yaitu: telur Aedes aegypti yang didapatkan dari Laboratorium Entomologi, Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga (ITD Unair); pakan ikan lele, untuk makanan larva; air mineral untuk medium kolonisasi larva. Alat Penelitian Alat pembuatan ekstrak, terdiri atas: stoples kaca besar bermulut lebar, untuk tempat perendaman ekstrak; erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, dan aluminium foil untuk menyaring filtrat; rotary evaporator, untuk menguapkan pelarut ekstrak. Alat kolonisasi nyamuk, terdiri atas: loyang plastik ukuran 30 × 20 × 6 cm, untuk pemeliharaan larva; pipet plastik bermulut lebar, untuk pemindahan larva. Alat uji hayati, terdiri atas: neraca analitik, untuk menimbang ekstrak; gelas ukur, untuk mengukur volume ekstrak; gelas plastik, untuk tempat uji biolarvasida; pengaduk kaca, untuk homogenitas larutan; hand counter, untuk menghitung jumlah larva uji; lampu senter, untuk melihat larva dalam larutan ekstrak. Cara Kerja Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu tahap koleksi dan membuat serbuk daun Citrus hystrix, pembuatan ekstrak daun, kolonisasi larva uji, dan uji hayati. Daun dikoleksi dari kota Surabaya lalu dikeringanginkan selama satu bulan lalu dibuat serbuk. Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Serbuk daun kering sebanyak 1 kg dimaserasi dengan pelarut n-heksan selama seminggu. Setelah satu minggu, maserat disaring dan diuapkan dengan alat rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak. Dalam penelitian ini ditetapkan konsentrasi yang digunakan adalah 0, 500, 1375, 2250, 3125, dan 4000 ppm dengan masing-masing konsentrasi lima kali ulangan. Selanjutnya dibuat larutan dari masing-masing ekstrak daun Citrus hystrix sesuai konsentrasi yang telah ditentukan. Ekstrak kental yang diperoleh ditimbang terlebih dahulu dalam (mg) sesuai yang diperlukan kemudian dilarutkan dengan lima tetes tween 20 sebelum dilarutkan dengan akuades supaya ekstrak tersebut tidak membentuk gumpalan-gumpalan saat dicampur dengan akuades. Selain itu pada kelompok kontrol menggunakan akuades dan juga ditambahkan lima tetes tween 20, agar semua larutan ekstrak maupun kontrol sama-sama mengandung tween 20 serta tidak memberikan kesan kematian larva disebabkan oleh tween 20. Masing-masing larutan ekstrak diukur volumenya, yaitu sebanyak 100 ml dan ditempatkan dalam gelas plastik trasparan. Selanjutnya dimasukkan 20 ekor (besar sampel sesuai standar World Health Organization (WHO) untuk uji toksisitas) larva instar III nyamuk Aedes aegypti ke dalam masingmasing gelas. Kemudian dilakukan pendedahan selama 24 jam setelah itu larva yang mati dihitung dan dicatat. Jumlah larva Aedes aegypti yang mati diamati setelah 24 jam. Data kematian larva instar III nyamuk Aedes aegypti dianalisis menggunakan software SPSS 16.0 dengan analisis probit, analisis tersebut untuk mencari konsentrasi ekstrak yang dapat membunuh 90% larva. HASIL DAN PEMBAHASAN
310
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Hasil penelitian menunjukkan ekstrak fraksi non polar daun Citrus hystrix memiliki potensi sebagai biolarvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti instar III. Hal ini terlihat adanya kematian larva Aedes aegypti setelah 24 jam pendedahan. Selain itu didapatkan grafik yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin tinggi pula jumlah larva Aedes aegypti yang mati (Gambar 1). Pada konsentrasi 3125 ppm dan 4000 ppm jumlah kematian larva Aedes aegypti sama yaitu sebesar 96% (LC90).
Gambar 1. Grafik jumlah mortalitas larva Aedes aegypti instar III yang diberi ekstrak fraksi nonpolar daun Citrus hystrix. Hasil uji aktivitas biolarvasida dari ekstrak fraksi nonpolar (n-heksan) daun Citrus hystrix dianalisis dengan analisis probit menggunakan software SPSS versi 16.0. Hasilnya, nilai letal konsentrasi 90% (LC90) dari ekstrak fraksi nonpolar daun Citrus hystrix memiliki aktivitas biolarvasida Aedes aegypti instar III dengan LC90 = 2.885 ppm. Hasil penelitian dari Adrianto et. al. (2014) menyebutkan bahwa ekstrak metanol daun jeruk purut (Citrus hystrix) memiliki toksisitas tertinggi dibandingkan kedua ekstrak metanol daun jeruk limau (Citrus amblycarpa) dan daun jeruk bali (Citrus maxima). Kematian larva akibat setelah pendedahan 24 jam oleh ekstrak fraksi nonpolar daun Citrus hystrix disebabkan adanya senyawa dalam ekstrak tersebut yang bersifat larvasida. Prakash et. al. (2013) dan Intekhab dan Aslam (2009) menyebutkan bahwa daun Citrus hystrix mengandung senyawa kimia yang merupakan metabolit sekunder seperti minyak atsiri, flavonoid, saponin, steroid, dan terpen. Menurut Adrianto et. al. (2014), senyawa-senyawa ini bekerja sebagai racun pada larva nyamuk baik sebagai racun kontak maupun racun perut. Indrayani (2006), menyebutkan bahwa senyawa steroid teridentifikasi dalam fraksi pelarut n-heksan. Diperkuat oleh Bahi et. al. (2014) yang mengatakan bahwa steroid adalah senyawa nonpolar yang dapat ditarik oleh pelarut n-heksan. Naufalin et. al. (2005) dan Simorangkir et. al. (2013), menemukan ada senyawa steroid, terpenoid, dan alkaloid dalam fraksi pelarut n-heksan. Reddy et. al. (2012) menemukan dalam ekstrak daun Citrus aurantifolia terdapat saponin yang bersifat nonpolar dan dapat ditarik oleh fraksi pelarut nonpolar. Senyawa saponin dalam ekstrak yang terminum oleh larva Aedes aegypti dapat mengiritasi mukosa traktus digestivus dan merusak membran sel larva Aedes aegypti. Menurunkan nafsu makan larva kemudian larva Aedes aegypti akan mati karena kelaparan (Minarni et. al., 2013). Steroid mempengaruhi pertambahan larva bersamaan juga mengiritasi saluran pencernaan larva yang mengakibatkan gejala anxiety serta kematian (Adrianto, 2014). Minarni et. al. (2013) menyebutkan bahwa senyawa golongan terpenoid berpotensi sebagai antifeedant terhadap serangga, bersifat larvasida, dan penolak serangga (repellent). Senyawa terpenoid golongan limonoid menyebabkan hilangnya koordinasi organ larva Aedes aegypti. Menurut Cahyadi (2009) senyawa alkaloid dapat
311
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa alkaloid tersebut masuk ke dalam tubuh larva maka alat pencernaannya akan terganggu. KESIMPULAN Nilai letal konsentrasi 90% (LC90) dari ekstrak fraksi nonpolar (n-heksan) daun jeruk purut atau Citrus hystrix memiliki aktivitas biolarvasida Aedes aegypti instar III dengan LC90 = 2.885 ppm. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dana hibah penelitian melalui Program Kreativitas Mahasiswa - Penelitian (PKM-P) tahun 2013, Departemen Biologi - Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga yang telah memberikan fasilitas laboratorium, Laboratorium Entomologi - Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga (ITD UNAIR) yang telah membantu penyediaan telur nyamuk Aedes aegypti, serta pihak lain yang telah membantu penelitian ini hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA 1. Adrianto, H. 2014. Aktivitas Biolarvasida Ekstrak Daun Citrus spp. Dan Pandanus amaryllifolius Terhadap Stadium Larva Aedes aegypti dengan Pendekatan Biosistematika Numerik. Tesis. Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga. 2. Adrianto, H., Yotopranoto, S., Hamidah. 2014. Effectivity of Kaffir Lime (Citrus hystrix), Nasnaran Mandarin (Citrus amblycarpa), and Pomelo (Citrus maxima) Leaf Extract against Aedes aegypti Larvae. Aspirator, Vol. 6, No. 1, 2014: 1-6. 3. Bahi, M., Mutia, R., Mustanir, Lukitaningsih, E. 2014. Bioassay on n-Hexane Extract of Leaves Cassia alata against Candida albicans. Jurnal Natural Vol. 14, No. 1, 5-10, Maret 2014, ISSN 1141-8513. 4. Cahyadi, R. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Pare (Momordica charantia L.) Terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro. 5. Grisales, N., Poupardin, R., Gomez, S., Fonseca-Gonzalez, I., Ranson, H. 2013. Temephos Resistance in Aedes aegypti in Colombia Compromises Dengue Vector Control. PLoS Negl Trop Dis 7(9): e2438. doi:10.1371/journal.pntd.0002438. 6. Hongratanaworakit, T., Buchbauer, G. 2007. Chemical Compositions and Stimulating Effects of Citrus hystrix Oil on Humans. Flavour & Fragrance J. 2007; 22:443-449. 7. Indrayani, L. 2006. Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun Pecut Kuda (Stachytarpheta jamaicensis L.Vahl) terhadap Larva Udang Artemia salina Leach. Skripsi. Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 8. Intekhab, J., Aslam, M. 2009. Isolation of Flavonoid from the Roots of Citrus sinensis. Malaysian Journal of Pharmaceutical Sciences. 2009; 7(1): 1–8. 9. Istiana, Heriyani, F., Isnaini. 2012. Status Kerentanan Larva Aedes aegypti terhadap Temephos di Banjarmasin Barat. Jurnal BUSKI, Epidemiology and Zoonosis Journal Vol. 4, No. 2, Desember 2012. 10. Karyanti, M. R., Uiterwaal, C. S. P. M., Kusriastuti, R., Hadinegoro, S. R., Rovers, M. M., Heesterbeek, H., Hoes, A. W., Bruijning-Verhagen, P. 2014. The Changing Incidence of Dengue Haemorrhagic Fever in Indonesia: A 45-year Registry-based Analysis. BMC Infectious Diseases 2014, 14:412. 11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 12. Kristanti, A. N., Aminah, N. S., Tanjung, M., Kusniadi, B. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga University Press. 13. Lazcano, J. A., Rodriguez, M. M., San Martin, J. L., Romero, J. E., Montoya, R. 2009. Assessing the Insecticide Resistance of an Aedes aegypti strain in El Salvador. Rev Panam Salud Publica 26: 229–234.
312
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
14. Llinas, G. A., Seccacini, E., Gardenal, C. N., Licastro, S. 2010. Current Resistance Status to Temephos in Aedes aegypti from Different Regions of Argentina. Mem Inst Oswaldo Cruz 105: 113–116. 15. Minarni, E., Armansyah, T., Hanafiah, M. 2013. Daya Larvasida Ekstrak Etil Asetat Daun Kemuning (Murraya paniculata) terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Medika Veterinaria 7(1): 27-29. 16. Mulyatno, K. C., Yamanaka, A., Ngadino, Konishi, E., 2012. Resistance of Aedes aegypti to Temephos in Surabaya, Indonesia. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public Health 43(1): 29-33. 17. Naufalin, R., Jenie, B. S. L., Kusnandar, F., Sudarwamto, M., Rukmini, H. 2005. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Bunga Kecombrang terhadap Bakteri Patogen dan Perusak Pangan. Jurnal Teknol. dan Industri Pangan, Vol XVI No. 2 th. 2005. 18. Panghiyangani, R., Marlinae, L., Yuliana, Fauzi, Noor, D., Anggriyani, 2012. Larvaside Effect of Tumeric Rhizome Extract (Curcuma domestica) on Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever Aedes aegypti in Banjarbaru. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang 4(1): 1-6. 19. Prakash, U., Bhuvameswari, S., Balamurugan, A., Karthik, A., Deepa, S., Aishwarya, H., Manasveni, Sahana, S. 2013. Studies on Bio Activity and Phytochemistry of Leaves of Common Trees. International Journal of Research in Pharmaceutical Sciences. 2013; 4 (3): 476–481. 20. Rahman, A. 2013. Optimisation of Kaffir Lime Leaves (Citrus Hystrix) Volatile Oil Extraction by Pressurised Liquid Extraction (PLE) using Response Surface Methodology (RSM). Final Year Project Report. Food Science and Technology, Faculty of Applied Sciences, Universiti Teknologi Mara - Malaysia. 21. Ranjit, S., Kissoon, N. 2011. Dengue Hemorrhagic Fever and Shock Syndromes. Pediatr Crit Care Med. 2011 Jan;12(1):90-100. doi: 10.1097/PCC.0b013e3181e911a7. 22. Ratnaningsih, E., Asep, K., Lela, L. K. Efektivitas Larvasida Ekstrak Etanol Limbah Penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetiveria zizanoides) terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti, Culex sp., dan Anopheles sundaitus. Jurnal Sains Teknologi Kimia. 2010; 1 (1):11–15. 23. Reddy, L. J., Jalli, R. D., Jose, B., and Gopu, S. 2012. Evaluation of Antibacterial and Antioxidant Activities of the Leaf Essential Oil and Leaf Extract of Citrus aurantifolia. Asian Journal of Biochemical and Pharmaceutical Research 2(2): 346-354. 24. Rehatta, N. M., Hasan, H., Setyoningrum, R. A., Andajani, S., Ida, R., Umijati, S., Mertaniasih, N. M., Retnowati, E., Yotopranoto. 2013. Pedoman Survei Penyakit Tropis. Surabaya: Airlangga University Press. 25. Scott, T. W., Morrison, A. C. 2010. Vector Dynamics and Transmission of Dengue Virus: Implications for Dengue Surveillance and Prevention Strategies: Vector Dynamics and Dengue Prevention. Curr Top Microbiol Immunol 338: 115–128. 26. Simorangkir, M., Sitepu, M., Simanjuntak, P. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Ranti Hitam (Solanum blumei Nees Ex Blume) Terhadap Salmonella typhimurium. Prosiding SNYuBe 2013, hal. 382-389. 27. Sornperg, W., Pimsamarn, S., Akksilp, S. 2009. Resistance to Temephos of Aedes aegypti Linnaeus Larvae (Diptera: Culicidae). Journal of Health Science Vol. 18 No. 5 September October 2009. 28. Susilowati, D., Rahayu, M. P., Prastiwi, R. 2009. Efek Penolak Serangga dan Larvasida Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Aedes aegypti. Jurnal Biomedika. 2009; 2 (1): 56–65. 29. Tiwary, M., Naik, S. N., Tewary, D. K., Mittal, Yadav. 2007. Chemical Composition and Larvicidal Activities of the Essential Oil of Zanthoxylum armatum DC against Three Mosquito Vectors. Journal Vector Borne Disease 44: 198-204.
POPULASI SEL-SEL SPERMATOGENIK MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAN SENYAWA SPINASTEROL DAUN SENGGUGU (Clerodendron serratum L.) Desak Made Malini
313
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Program Studi Biologi FMIPA-UNPAD Email korespodensi:
[email protected]
ABSTRACT Plant senggugu ( C. serratum L. ) has been recognized by the public as a medicinal plant. One of them is that it can be used as a drug antifertility in men. The purpose of this study is to find out the potency of ethanol extract and spinasterol of Senggugu (C. serratum L.) leaves to the population of spermatogonia, primary spermatocytes and spermatid of mice (M. musculus). The study is conducted using complete random with 7x2 factor repeated 6 times.The treatment given to the ethanol extract is 250 mg/kg body weight, 500 mg/kg body weight and 1000 mg/kg body weight, as with spinasterol the amount is 26 mg/kg body weight and 52 mg/kg body weight, and as its controlling agent distilled water and DMSO solution is used. The treatmet is given orally once a day within 9 and 18 days as much as 0,5 ml. Data were analyzed by ANOVA followed by Duncan test. Based on observation and statistical analysis it has been found that both the dose and duration have very significantly affect on decreasing of cells spermatogenic. The decrease of population may due to antifertility effect of senggugu. It is concluded that spermatogenic cells development reduce after administration of ethanol extract and spinasterol of Senggugu (C. serratum L.) leaves. Key word : Clerodendron serratum, Mus musculus, spermatogenic cells, ethanol extract, spinasterol.
PENDAHULUAN Sumber daya alam yang terbatas dan pertambahan penduduk yang pesat menjadi permasalahan bagi Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk 250 juta jiwa pada tahun 2012 dan laju pertumbuhan penduduk 3,5 juta setiap tahun atau 1,49 persen setiap tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Salah satu cara yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk tersebut adalah dengan program Keluarga Berencana (KB). Program ini belum dapat berjalan secara optimal karena metode kontrasepsi pada wanita masih terdapat kelemahan, sebaliknya partisipasi pria dalam program ini masih sangat rendah (1,1%), dikarenakan oleh metode kontrasepsi pria yang umum dilakukan (vasektomi, kondom, dan coitus interuptus) memiliki beberapa kelemahan seperti dapat menimbulkan autoimun, iritasi dan bahkan kemandulan seumur hidup (Yatim,1998). Oleh karena itu, perlu disediakan suatu alat kontrasepsi untuk pria yang aman, nyaman, terjangkau, dan reversibel. Pada saat ini sedang dikembangkan penggunaan tanaman obat alami Indonesia sebagai alternatif antifertilitas pria (Depkes, 2005). Senyawa-senyawa golongan alkaloid, flavonoid, steroid, isoflavonoid, tanin, triterpenoid dan minyak atsiri dapat digunakan sebagai bahan dasar obat kontrasepsi (Fransworth et al.,1975). Salah satu tumbuhan yang memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai bahan antifertilitas pria adalah tumbuhan senggugu (Clerodendon serratum). Tumbuhan ini mengandung senyawa C30 sterol (senyawa spinasterol), diterpen klerodran dan apigenin (flavonoid) (Julaeha, 2006), dan dilaporkan juga memiliki aktivitas pest control antifertility dan efek antinoseptik (Grainge and Ahmed, 1988). Hasil penelitian Julaeha (2006) secara in vitro menunjukkan bahwa senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam daun tumbuhan ini mampu menurunkan motilitas dan viabilitas spermatozoa, serta meningkatkan abnormalitas spermatozoa Rattus norvegicus. Demikian juga dengan hasil penelitian Diantini dkk, (2008) secara in vivo, menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun senggugu yang diberikan pada mencit dan tikus secara oral dapat menurunkan motilitas dan viabilitas sperma serta menaikkan abnorrmalitas sperma. Selain parameter-parameter tersebut, fertilitas juga ditentukan oleh jumlah sel spermatozoa yang dihasilkannya. Spermatogenesis atau proses pembentukan spermatozoa di dalam tubulus seminiferus testis dimulai dari pembentukan sel spermatogonia, spermatosit, spermatid dan selanjutnya terjadi pematangan dan terbentuk
314
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
spermatozoa. sehingga keberadaan sel-sel spermatogenik (spermatogonia, spermatosit dan spermatid) di tubuli seminiferi testis dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan fertilitas suatu individu. Dengan demikian untuk mengendalikan fertilitas dapat dilakukan dengan cara mengontrol populasi sel-sel spermatogenik dan untuk melihat efek antifertilitas dari suatu bahan dapat menggunakan populasi sel-sel spermatogenik sebagai parameternya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengkaji apakah ada pengaruh ekstrak etanol dan spinasterol daun senggugu terhadap populasi sel-sel spermatogenik pada mencit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang potensi ekstrak etanol dan spinasterol daun sengugu dalam menurunkan fertilitas mencit jantan, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut dan pada akhirnya dapat diterapkan pada manusia. BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yang digunakan adalah: hewan uji mencit (M. musculus) jenis kelamin jantan, ekstrak etanol dan senyawa spinasterol yang diisolasi dari daun senggugu, larutan Bouin, alkohol, etanol, xylol, parafin, Hematoksilin Erlich-Eosin (HE), entelan. Penelitian dilakukan secara eksperimental di laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (7 X 2). Faktor pertama terdiri dari 7 perlakuan, yaitu 2 kontrol (DMSO dan akuades) dan 3 dosis ekstrak etanol (250, 500 dan 1000 mg/kg bb) serta 2 dosis spinasterol (26 dan 52 mg/kg bb). Faktor kedua terdiri dari 2 macam perlakuan waktu, yaitu 9 dan 18 hari. Setiap perlakuan masing-masing diulang 6 kali. Perlakuan diberikan secara gavage satu kali setiap hari. Selama perlakuan pakan dan minum diberikan secara ad libitum. Untuk mengamati populasi sel-sel spermatogenik dibuat preparat histologi penampang melintang tubulus seminiferus dari organ testis. Pada akhir perlakuan, keesokan harinya hewan uji mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan organ testisnya diisolasi. Testis dicuci bersih dengan larutan NaCl 0,9%, kemudian difiksasi dalam larutan formalin buffer, selanjutnya didehidrasi dengan alkohol yang konsentrasinya bertingkat secara bertahap (60, 70,80, 90 dan 95% masing-masing selama 30 menit). Selanjutnya dijernihkan dengan larutan xylol, kemudian diinfiltrasi dengan parafin cair dan organ di embedding dalam parafin. Setelah dingin dipotong menggunakan rotary microtome dengan ketebalan ± 6 μm. Pada tahap terakhir hasil potongan diwarnai dengan hematoksilin dan eosin (HE). Selanjutnya preparat dibersihkan, ditetesi entelan, dan ditutup dengan kaca penutup. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran objektif 40 kali, dilakukan pada lima tubuli seminiferi untuk setiap ulangan perlakuan. Perhitungan populasi sel spermatogenik meliputi: spermatogonia, spermatosit primer dan spermatid akhir. HASIL PENELITIAN Hasil pengamatan pengaruh perlakuan ekstrak etanol dan spinasterol daun senggugu (C. serratum) terhadap populasi sel-sel spermatogenik yaitu sel spermatogonium, spermatosit, dan spermatid ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil Analisis Variansi, perlakuan ekstrak etanol dan spinasterol daun senggugu memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah sel spermatogonium, spermatosit dan spermatid, sedangkan perlakuan waktu hanya berpengaruh nyata pada jumlah sel spermatid. Tabel 1. Rerata Jumlah Sel-sel Spermatogenik Pada Setiap Penampang Melintang Tubulus Seminiferus Mencit (M. musculus) Jantan yang diberi Perlakuan Ekstrak Etanol dan Spinasterol Daun Senggugu (C. serratum)
315
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Perlakuan
Waktu (hari)
Jumlah sel spermatogenik pada penampang melintang tubulus seminiferus (Rata-rata ± SD) Spermatogonium (sel)
Akuades (kontrol positif) DMSO (kontrol negatif) Ekstrak etanol 250 mg/kg bb Ekstrak etanol 500 mg/kg bb Ekstrak etanol 1000 mg/kg bb Spinasterol 26 mg/kg bb
9
66,43 ± 6,34 b
18 9 18 9 18 9 18 9 18 9 18
65,57 66,93 67,57 67,82 64,68 66,83 65,33 60,02 57,24 67,10 66,07
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
4,93 6,57 9,07 5,94 3,46 7,91 4,96 6,98 8,65 4,48 7,35
b b b b b b b a a b b
Spermatosit (sel) 80,03 ± 2,04 d 79,73 78,77 79,87 60,87 57,58 bc59,20 bc56,67 bc46,13
± ± ± ± ± ± ±
1,56 d 1,47 d 7,69 d 4,01 c 3,39 4,43 3,54
± 3,32 a 44,24 ± 4,65 a 57,70 ± 5,15 bc54,08 ± 7,42 b
Spermatid (sel) 95,53 ± 8,88 d 98,90 ± 6,09 97,8 0 ± 9,28 95,63 ± 8,97 55,57 ± 7,25 50,97 ± 6,18 51,87 ± 6,56 49,23 ± 6,01 50,93 ± 5,79 41,92 ± 7,67 53,23 ± 5,51 48,83 ± 7,18
d d d c c c c c b c c
9 66,22 ± 6,49 b 48,03 ± 6,27 a 49,30 ± 4,11 c Spinasterol 62,23 ± 7,23 52 mg/kg bb 18 47,77 ± 3,47 a 32,12 ± 5,27 a ab Keterangan: Analisis variansi yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% (P<0,05). Huruf yang sama dalam satu kolom antar-perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa jumlah sel-sel spermatogenik mencit menurun seiring dengan meningkatnya dosis dan waktu perlakuan.
Gambar 1. Rerata Jumlah Sel-sel Spermatogenik pada Setiap Penampang Melintang Tubulus Seminiferus Mencit (M. musculus) yang diberi Perlakuan Ekstrak Etanol dan Spinasterol Daun Senggugu (C. serratum). Keterangan: (A) jumlah sel spermatogonium, (B) jumlah sel spermatosit, (C) jumlah sel spermatid; P0=akuades, P1=DMSO, P2=ekstrak etanol
316
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
250 mg/kg bb, P3=ekstrak etanol 500 mg/kg bb, P4=ekstrak etanol 1000 mg/kg bb, P5=spinasterol 26 mg/kg bb, P6=spinasterol 52 g/kg bb.
(A) Akuades
(C) Ekstrak etanol 250 mg/kgbb
(B) DMSO
(D) Ekstrak etanol 500 mg/kgbb
(E) Ekstrak etanol 1000 mg/kg
bb
(F) Spinasterol 26 mg/kg bb
(G) Spinasterol 52 mg/kg bb
Gambar 2. Penampang Melintang Tubulus Seminiferus Mencit (M. musculus) Jantan Perlakuan Kontrol, Ekstrak Etanol dan Spinasterol Daun Senggugu dengan Pewarnaan HE dan Perbesaran Mikroskop 10x 40. (A) Akuades, (B) DMSO, (C) Ekstrak Etanol 250 mg/kg bb (D), Ekstrak Etanol 500 mg/kg bb, (E) Ekstrak Etanol 1000 mg/kg bb, (F) Spinasterol 26 mg/kg bb, (G) Spinasterol 52 mg/kg bb; (a) spermatogonium, (b) spermatosit, (c) spermatid, (d) sel Sertoly, (e) sel Leydig, (f) lumen, (g) spermatozoa.
317
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Hasil pengamatan pada penampang melintang tubulus seminiferus (Gambar 2) menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak etanol dan spinasterol dengan berbagai variasi dosis dan perlakuan waktu, menyebabkan terjadinya penurunan jumlah rata-rata sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit, dan spermatid) di dalam tubulus seminiferus secara nyata. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa telah terjadi gangguan proses spermatogenesis akibat pemberian perlakuan. Menurut Yatim (1998), terganggunya spermatogenesis ditandai dengan berkurangnya jumlah sel-sel spermatogenik pada tubulus seminiferus. Penurunan jumlah sel-sel spermatogenik pada penelitian ini diduga berkaitan erat dengan menurunnya kadar hormon testosteron dan sifat sitotosik dari senyawasenyawa kimia yang terdapat di dalam ekstrak etanol daun senggugu. Menurut Sutasurya (1988), spermatogenesis dapat terganggu dengan 2 cara, yaitu melalui efek sitotoksik dan hormonal. Senyawa yang bersifat sitotoksik akan berpengaruh langsung terhadap sel-sel germinal, sedangkan yang bersifat hormonal akan bekerja pada organ yang responsif terhadap hormon yang berkaitan dengan cara mengganggu keseimbangan sistem hormon. Hormon testosteron bersama-sama dengan FSH berfungsi merangsang diferensiasi sel-sel spermatogenik dan fungsi utamanya adalah pada proses spermiogenesis yaitu proses perkembangan atau perubahan morfologi dari spermatid yang bentuknya bulat menjadi sperma yang bentuknya oval dan berekor. Hormon testoteron juga berfungsi menjaga ikatan antara spermatid dengan sel Sertoli dan mengatur pelepasan spermatid matang ke dalam lumen tubulus seminiferus sebelum spermatozoa masuk ke epididimis (McLachan et al., 2002). Sehingga penurunan konsentrasi hormon testosteron dapat menyebabkan terjadinya penurunan spermatogenesis sebesar 65% yang ditandai dengan spermatogonia mengalami percepatan degenerasi sehingga sel-sel spermatogonia yang memasuki siklus spermatogenesis berkurang (McLachan et al., 2002). Penurunan konsentrasi hormon testoteron juga akan mengakibatkan kematian (apoptosis) sel-sel spermatogonium meningkat dan tentunya akan mengakibatkan jumlah sel spermatosit menurun, pematangan spermatosit menjadi terganggu, dan sel-sel spermatid yang belum matang terlepas ke dalam lumen (Robert, et al. 1994). Akibatnya jumlah semua jenis sel-sel spermatogenik yang dihasilkan oleh tubulus seminiferus akan menurun. Penurunan jumlah sel-sel spermatogenik selain karena pengaruh hormon, juga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa kimia yang bersifat antiproliferasi, yang terdapat di dalam ekstrak etanol daun senggugu. Nagdeva et al. (2012), mengungkapkan bahwa ekstrak etanol daun C.serratum dosis 300 mg/kg bb mempunyai potensi sebagai antikanker karena dapat menghambat perkembangan tumor atau menurunkan laju proliferasi sel yang cepat membelah (menghambat pertumbuhan sel) dan menyebabkan apoptosis. Hal ini terjadi karena ekstrak etanol mengandung senyawa-senyawa kimia yang dapat menghambat proliferasi. Jayaraj et al. (2011), menyatakan bahwa triterpenoid flavonoid yang terdapat di dalam ekstrak daun senggugu dapat menghambat perkembangan kanker kulit mencit. Hal yang sama juga ditemukan pada biji Polyalthia cerasoides yang mengandung diterpenoid klerodran, spinasterol dan [alpha]-spinasterol juga memiliki kemampuan sebagai antiproliferatif (Ravikumar et al., 2010). Menurut Richter et al. (2004) diterpen klerodran menghambat proliferasi sel kanker dan memiliki efek antiproliferasi melalui penghambatan topoisomerase II. Oleh karena itu diduga menurunnya jumlah sel-sel spermatosit pada penelitian ini disebabkan oleh senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam daun senggugu yaitu diterpen klerodran, spinasterol, apigenin dan saponin yang bersifat antiproliferatif. Dengan adanya zat-zat yang bersifat toksik atau antiproliferatif di dalam ekstrak dan senyawa spinasterol dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan jaringan sel. Akibatnya jumlah sel-sel spermatogenik menurun karena sel-sel spermatogenik merupakan sel-sel yang aktif melakukan pembelahan dan proliferasi dan sangat rentan terhadap polutan. KESIMPULAN Senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol dan spinasterol daun senggugu dapat menurunkan populasi spermatogonium, spermatosit dan spermatid. Semakin tinggi dosis dan lama perlakuan yang diberikan maka semakin menurun populasi sel-sel spermatogenik. DAFTAR PUSTAKA 1. Arsyad, K. M. 1986. Kemungkinan Pengembangan Kontrasepsi Pria, Majalah Medika, 12 (4). 2. Badan Pusat Statistik, 2012, Statistik Kesejahteraan Rakyat, Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS, Jakarta.
318
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
3. Diantini, A., D.Herdiana dan A.Subarnas. E. Julaeha. 2008. Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Senggugu (Clerodendrom serratum L.) Pada Mencit dan Tikus Jantan. Farmaka. Vol 6, No 3. 4. Fransworth, N.R., A.S.Bingel and Cordell. 1975. Potential Value of Plants as Source of New Antifertility Agents I. J. Pharmaceut. Sci. 64: 535-588. 5. Ganong, W.F.2001. Review of Medicinal Physiology. University of California, San Fransisco. 6. Graine, M., and S.Ahmed. 1988. Handbook of plant with Pest-control Properties, New York ; John Willey and Sons. 7. Guyton, A.C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Alih bahasa Dr Petrus Adrianto). EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 8. Li, H. , Zhang, M. , Yan, F. , Zhang, Z. and Li, Z. (2010) Effect of apigenin on the reproductive system in male mice. Health, 2, 435-440. 9. Mohamed, A.J., Elsnoussi Ali Hussin Mohamed, Abdalrahim F. A. Aisha, Anim Reprod Sci. 2008 Apr;105(1-2):23-51. 10. Nair, A.G.R., T.N.C.Vedantham, and S.S.Subramanian. 1984. Crystalline components of Clerodendron serratum. Current Science. 45 (10): 391. 11. Pokharkar, R.D., R.K. Saraswati, Kotkar S., 2010. Survey of plant having antifertility activity from werstern Ghat area of Maharashtrastate. J. Herbal Medicine and Toxicology 4(2) 71-75. 12. Prawiroharjo, 1982, Prince Henry's Institute of Medical Research,3 Monash Medical Centre, Clayton, Victoria, 3168, Australia 13. Ryokkynen, A. 2006. Effects of Phytoestrogens on The Reproduction and Weight Regulation of Mammals. PhD Dissertations in Biology, University of Joensuu. 82 pp. 14. Sagi, M. 1994. Embryologi Perbandingan pada Vertebrata, Yogyakarta. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. 15. Salisbury, G.W. and N.L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 16. Sanders, D.J., H.J.Minter, D.Howes, P.A.Hepburn. 2000. The Safety Evalutation of Phytosterol Esters Part:6. The Comparative Absorption and Tissue Distribution of Phytosterols in The Rat. Food Chem Toxicol. 38: 485-491. 17. Sutasurya, L. A., 1988. Evaluasi Bahan Anti Fertilitas Alami Melalui Pengukuran Organ-organ Reproduksi. Seminar Hasil Penelitian Pangan dan Gizi, Ilmu Hayati dan Bioteknologi PAU ,Yogyakarta. 18. Wang, G. and G.M.H.Waites. 1993. Research Strategy of the World Health Organization Task Force on Methods for the Regulation of Male Fertility and Need for Sperm Function Assay. In: Oshima and Henry Ed. Current Topics in Andrology. Japan Society of Andrology. 19. Whittaker, M.H., V.H.Frankos, A.P.M.Wolterbeek, D.H.Waalkens-Berendsen. 1999. Twogeneration Reproductive Toxicity Study of Plant Stanol Esters in Rats. Regul Toxicol Pharmacol. 29: 196-204. 20. Wrobel, K.H. 1998. Male Reproductve System. In: H.D.Dellman, and J.A.Eurell (Eds). Textbook of th Veterinary Histologi. 5 ed. Williams and Wilkins, Penisylvania. 21. Yatim, W. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Fisiologi komparatif pada hewan domestika dan laboratorium serta manusia. Penerjemah Keman, S. UI-Press Jakarta. P. 239-245. Penerbit Tarsito. Bandung. 22. Zhang, Fu-Ping; Pakarainen, Tomi; Poutanen, Matti; Toppari, Jorma; & Huhtaniemi, Ilpo. 2003. The Low Gonadotropin-Independent Constitutive Production of Testicular Testosterone is Sufficient to Maintain Spermatogenesis. PNAS. Vol. 100. No. 23. 13692-13697.
319
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
PENGARUH MATERIAL DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI Diospyros celebica Bakh. Dewi Ayu Lestari UPT Balai Konservasi Tumbuhan - Kebun Raya Purwodadi, LIPI Jl. Raya Surabaya – Malang KM. 65, Purwodadi, Pasuruan, 67163 Email:
[email protected]
ABSTRACT Diospyros celebica or ebony is an endemic plant species in eastern Indonesia were included in tribe Ebenaceae. Types of seeds D. celebica is recalcitrant, the seeds are not resistant to drying, lowstrength storage and without dormancy. Therefore, seed storage technique becomes essential. The purpose of storage is to maintain the viability of seeds in seed storage period certainly and maintain the plant genetic resource of conservation seeds. This study aimed to determine the effect of material and storage time on seed germination of D. celebica. The benefits of this research, which can find seed storage techniques for D. celebica appropriately in a long time. Seeds of D. celebica have a range of 2.4 to 3.6 cm long and 0.9 to 1.1 cm wide with an average weight of one grain of 1.22 grams and a diameter or thick seed of 0.77 cm. Seed color is dark brown with a flat surface and a shape like a half circle but an oval. Material of storage gives significant influence, but storage time not gives significant influence on germination percentage. The interaction between material and storage time significantly influenced on germination percentage. Seeds of D. celebica were stored in aluminum foil material for 2 and 4 weeks gives the best results and be able to germinate up to 43,33% and 23,33%. Keywords: seeds, Diospyros celebica, material, storage, germination
320
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
PENDAHULUAN Diospyros celebica atau yang lebih dikenal dengan eboni atau kayu hitam merupakan salah satu tanaman endemik di Indonesia bagian timur, yang menyebar secara alami di Sulawesi dan Maluku. Jenis tumbuhan ini termasuk dalam suku Ebenaceae. Pada umumnya tumbuh alami di daerah lembab pada hutan hujan dataran rendah sampai ketinggian 340 meter di atas permukaan laut, hutan monsoon atau hutan yang beriklim musiman, yang merupakan jenis paling dominan pada tipe hutan-hutan tersebut. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah berkapur, liat dan tanah dangkal berbatu, dengan curah hujan optimum untuk pertumbuhannya berkisar 2.000 - 2.500 mm/tahun dengan suhu 22-28 °C (Riswan, 2002; Hartati dan Kamboya, 2004). D. celebica berhabitus pohon yang dapat mencapai ketinggian 40 m, bentuk batang silinder dengan permukaan bersisik dan berwarna hitam. Daun tunggal bersilang berhadapan, bentuk elips memanjang dengan kisaran panjang 12-35 cm dan lebar 2,5-7 cm; pangkal daun tumpul agak menjantung, ujung daun runcing, urat-urat tulang daun terlihat menonjol pada kedua permukaannya. Bunga berwarna putih berukuran kecil dan pada umumnya bunga D. celebica terletak pada rantingranting di tengah tajuk. Buah berbentuk bulat telur, berwarna hijau muda saat muda dan berubah menjadi hijau tua kekuningan dengan bintik-bintik coklat saat buah masak (Hartati dan Kamboya, 2004; Kurniaty, 2011). Struktur kayunya yang sangat keras, berwarna hitam dengan garis-garis coklat, berserat halus dan mengkilat secara alami banyak dimanfaatkan untuk kerajinan pahat dan ukir, perkakas rumah tangga, perlengkapan interior, mebel, alat musik, kipas, kayu lapis mewah dan bahan bangunan. Hal ini dikarenakan kayu D. celebica tergolong kayu mewah, kualitas kayunya baik dengan nilai dekoratif dan komersial yang sangat tinggi (Hartutiningsih dan Utami, 2002; Rahman, 2008). Dalam perdagangan, kayu eboni diklasifikasikan dalam tiga kelompok nama yaitu eboni hitam (black ebony), eboni hitam bergaris (streaked ebony) dan eboni putih (white diospyros wood). Eboni dari golongan D. celebica, dalam dunia perdagangan termasuk dalam kelompok eboni hitam bergaris (Riswan, 2002). Jenis biji D. celebica adalah biji rekalsitran, yaitu biji yang tidak tahan terhadap pengeringan, daya simpannya rendah dan tanpa dormansi (Hartati dan Kamboya, 2004; Sumiasri dan Setyowati, 2006; Suita, 2008). Biji ini tidak dapat disimpan lama, karena akan menyebabkan hilangnya daya kecambah dan menimbulkan kematian biji; sehingga biji semacam ini harus segera disemaikan. Biasanya biji rekalsitran berukuran besar dan berdaging. Akibat sifat rekalsitran yang rumit, kegiatan manipulasi kondisi penyimpanan dan potensi penyimpanan menjadi terbatas, sekalipun biji dalam kondisi yang terbaik. Sehingga tehnik penyimpanan biji menjadi hal yang sangat penting untuk dikembangkan. Selain itu D. celebica tergolong kayu komersial yang tergolong langka dengan status konservasi “vulnerable” (Walujo, 2002; Mudiana, 2007; Kusmana dkk., 2011; IUCN, 2012). Tujuan penyimpanan biji adalah untuk mempertahankan viabilitas biji dalam periode simpan sepanjang mungkin, sehingga biji dapat ditanam pada musim yang sama di lain tahun atau musim yang berlainan pada tahun yang sama. Selain itu penyimpanan biji merupakan salah satu cara untuk mempertahankan sumber genetik tumbuhan. Metode penyimpanan biji yang tepat sangat diperlukan seiring dengan program persilangan tanaman dan konservasi biji (Sutopo, 1998; Agustin, 2011). Disamping lama penyimpanan biji, material pemyimpanan juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas biji, seperti kadar air, persentase perkecambahan dan kecepatan berkecambah. Berbagai cara penyimpanan biji seperti menggunakan bubuk arang, kertas amplop coklat, plastik dan lain-lain. Material penyimpanan biji pada dasarnya dapat digolongkan menjadi material yang kedap udara dan yang permeabel. Material yang kedap udara adalah material yang tidak memungkinkan terjadi pertukaran udara antara biji yang disimpan dengan lingkungannya. Sedangkan material penyimpanan yang permeabel adalah material yang masih memungkinkan terjadi pertukaran udara dengan lingkungannya (Widodo, 1991). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh material dan lama penyimpanan biji D. celebica terhadap perkecambahannya. Adapun manfaat dari hasil penelitian ini, yaitu dapat menemukan tehnik penyimpanan biji D. celebica secara tepat dalam jangka waktu yang lama. METODE Penelitian ini dilakukan di laboratorium biji dan rumah kaca pembibitan Kebun Raya Purwodadi, pada bulan September 2012 - Januari 2013. Biji D. celebica diperoleh dari buah yang
321
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
dipanen dari tanaman koleksi Kebun Raya Purwodadi di vak XVIII.D. pada tanggal 17 September 2012. Setelah buah dipanen kemudian dilakukan pemrosesan biji dengan cara mengupas, mencuci untuk menghilangkan daging buahnya lalu dikering-anginkan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain petridish, desikator, timbangan digital, oven, alat tulis, kamera digital, penggaris dan bak persemaian. Bahan yang digunakan antara lain biji D. celebica, plastik bening ukuran ¼ kg (17,5 x 9,5 cm), kertas putih ukuran A4 yang dibentuk seperti amplop, aluminium foil dan pasir. Karakterisasi biji dilakukan dengan cara menghitung ukuran (panjang dan lebar), diameter atau tebal, berat, warna, bentuk dan permukaan biji. Sampel biji yang diambil sebanyak 10 biji sebagai ulangan. Biji D. celebica yang telah dikering-anginkan, diukur kadar airnya untuk mendapatkan data kadar air biji awal. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven sesuai dengan prosedur standar dari The International Seed Testing Association (Draper et al., 1985), dengan cara mengambil sampel biji sebanyak 20-25 biji dan ditimbang berat basahnya. Masing-masing sampel diulang sebanyak 4 kali. Kemudian biji-biji tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 108 °C selama 18 jam. Selanjutnya biji dihitung berat keringnya setelah dikeluarkan dari oven dan didinginkan. Pengujian kadar air juga dilakukan pada 2 minggu dan 4 minggu setelah disimpan sesuai perlakuan. Formula yang digunakan untuk mengukur kadar air biji adalah: KA = Keterangan: KA (kadar air biji, %), BB ( berat basah, gr) dan BK (berat kering, gr) Pengujian daya perkecambahan biji dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan perlakuan sebagai berikut : Faktor 1 adalah material penyimpanan, meliputi : Kertas putih, ukuran A4 yang dibentuk seperti amplop Plastik bening, ukuran ¼ kg (17,5 x 9,5 cm) Aluminium foil Dibiarkan terbuka Faktor 2 adalah lama penyimpanan, meliputi : 0 minggu (kontrol, tanpa perlakuan) 2 minggu 4 minggu Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali dan masing-masing ulangan terdiri dari 15 biji. Biji disimpan pada suhu 18 °C. Pengujian daya perkecambahan ini dilakukan pada bak persemaian yang telah diisi pasir. Biji yang tidak diperlakukan disemai terlebih dahulu sebanyak 4 ulangan, masing-masing 15 biji. Selanjutnya 2 minggu setelah kontrol dilakukan penyemaian biji D. celebica yang telah disimpan pada media kertas, plastik, aluminium foil dan dibiarkan terbuka, masing-masing 4 ulangan dan sebanyak 15 biji untuk tiap ulangan. Hal yang sama juga dilakukan pada perlakuan 4 minggu penyimpanan. Penyiraman dilakukan setiap hari atau saat media pasir sudah terlihat mulai kering. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai kecambah mulai muncul di permukaan media pasir hingga tidak terjadi penambahan jumlah biji yang berkecambah. Parameter yang diamati adalah awal perkecambahan dan persentase perkecambahan. Persentase perkecambahan dihitung dengan formula sebagai berikut : % perkecambahan = Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan uji ANOVA (α = 0,05) dan uji lanjut Duncan dengan menggunakan aplikasi SPSS 20.
HASIL
322
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Berdasarkan hasil pengamatan deskriptif karakterisasi biji menunjukkan bahwa biji D. celebica memiliki kisaran panjang 2,4-3,6 cm dan lebar 0,9-1,1 cm dengan rata-rata berat satu biji sebesar 1,22 gram dan diameter atau tebal biji 0,77 cm. Warna biji coklat kehitaman dengan permukaan yang rata dan bentuk seperti setengah lingkaran tetapi lonjong. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartaty dan Kamboya (2004) yang menyatakan bahwa biji D. celebica berwarna coklat kehitaman berbentuk bulat panjang. Panjang 2-5 cm dan tebal 0,5-1,5 cm. Rata-rata berat satu biji 0,5-2 gram. Biji yang viabel ditandai dengan warna coklat kehitaman, tenggelam bila dimasukkan ke dalam air, memiliki titik tumbuh berwarna kuning kecoklatan dan tidak keriput (Hartaty dan Kamboya, 2004). Musim berbuah terjadi pada bulan September sampai Desember berdasarkan pemantauan buah masak di Kebun Raya Purwodadi. Menurut Hendromono dan Allo (2008), D. celebica yang tumbuh di Hutan Alam Palanro, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan berbuah masak sekitar bulan Oktober sampai Desember.
Gambar 1. Biji D. celebica Hasil perhitungan daya kecambah dan kadar air biji D. celebica pada berbagai perlakuan penyimpanan dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 1. Hasil uji perkecambahan biji D. celebica pada berbagai perlakuan Perlakuan Persentase Awal Material Lama perkecambahan perkecambahan Kadar air (%) penyimpanan penyimpanan (%) (hst) Kontrol 0 minggu 81,67 a 12 b 44,32 a Plastik 2 minggu 26,67 c 13 b 16,12 b 4 minggu 25 c 14 b 11,43 bc Kertas 2 minggu 1,67 d 13 b 15,87 b 4 minggu 0d 0b 11,27 bc Aluminium foil 2 minggu 43,33 b 13 b 16,65 b Dibiarkan 4 minggu 23,33 c 19 a 11,07 bc terbuka 2 minggu 0d 0b 17,85 b 4 minggu 0d 0b 11,32 bc Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada α = 0,05. PEMBAHASAN Hasil uji perkecambahan biji D. celebica pada berbagai perlakuan menunjukkan bahwa biji D. celebica yang dikecambahkan pada perlakuan kontrol memiliki persentase perkecambahan yang berbeda nyata dengan biji yang dikecambahkan dari berbagai perlakuan (Tabel 1). Material penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan. Biji yang disimpan pada material plastik berbeda nyata dengan kontrol, kertas, aluminium foil yang disimpan selama 2 minggu dan biji yang dibiarkan terbuka. Tetapi tidak berbeda nyata dengan biji yang disimpan pada material aluminium foil yang disimpan selama 4 minggu. Sedangkan biji yang disimpan pada material kertas tidak berbeda nyata dengan biji yang dibiarkan terbuka. Hal ini dikarenakan biji yang disimpan dalam media kertas dan yang dibiarkan terbuka masih melakukan interaksi luar dengan lingkungannya sehingga kadar air biji berkurang dan berpengaruh terhadap daya kecambahnya. Lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada masingmasing biji yang disimpan dalam material berbeda. Persentase perkecambahan pada biji yang disimpan selama 2 minggu tidak berbeda nyata dengan biji yang disimpan selama 4 minggu, kecuali pada material penyimpanan aluminium foil. Perlakuan penyimpanan dalam aluminium foil selama 2
323
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
atau 4 minggu memberikan perbedaan yang nyata terhadap persentase perkecambahan biji D. celebica. Hal ini kemungkinan disebabkan karena aluminium foil yang kedap udara tidak memungkinkan terjadi sirkulasi udara dengan lingkungan luar. Pendapat senada juga disampaikan oleh Agustin (2011) yang menyatakan bahwa hasil uji penyimpanan pada biji Garcinia dulcis yang tergolong rekalsitran dan disimpan dalam aluminium foil memberikan hasil yang paling baik terhadap persentase dan kecepatan perkecambahan. Wadah simpan aluminium foil juga berpengaruh nyata terhadap rata-rata daya kecambah dan keserempakan kecambah pada biji Toona sureni. Hal ini dapat disebabkan oleh aluminium foil yang dapat menahan kelembaban relatif cukup tinggi, sehingga fluktuasi suhu dapat dikurangi. Kelembaban relatif yang tinggi menyebabkan pengeluaran kadar air biji relatif kecil. Penyimpanan dengan kondisi yang lembab terjaga juga dapat mencegah hilangnya viabilitas biji dan menjaga pola perkecambahannya (Kitchen dan Monsen, 2001; Risasmoko, 2006). Menurut Kurniaty (2011) dan Lemmens et al. (1995), biji D. celebica yang disimpan dalam aluminium foil selama 3 minggu masih dapat berkecambah dengan baik (58,89%) dengan kecambah awal 75%. Sedangkan biji yang ditanam sehari setelah pengumpulan akan berkecambah dalam waktu 17-65 hari dengan persentase perkecambahan sebanyak 85%. Sedangkan biji yang disimpan selama 12 hari dalam bubuk arang yang dibasahi mampu berkecambah sampai 70% dan setelah disimpan selama 20 hari perkecambahannya menurun menjadi 28%. Pada dasarnya tehnik penyimpanan biji yang sederhana dan mudah dilakukan adalah dengan memasukkan biji ke dalam karung goni basah (kelembaban 80-90%) dan secara kontinyu dijaga kelembabannya. Melalui cara tersebut persentase perkecambahannya dapat dipertahankan hingga 50-60% selama 2-3 minggu (Hartaty dan Kamboya, 2004). Awal perkecambahan biji D. celebica yang disimpan dalam material aluminium foil selama 4 minggu memberikan pengaruh yang nyata dibanding kontrol dan perlakuan yang lain. Biji D. celebica yang disimpan dalam material aluminium foil selama 4 minggu membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding yang lain untuk berkecambah. Biji D. celebica rata-rata berkecambah pada 12-19 hari dalam berbagai material dan lama penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan tidak mempengaruhi waktu biji tersebut berkecambah. Kadar air biji D. celebica pada perlakuan kontrol berbeda nyata dengan semua perlakuan penyimpanan. Hal ini dikarenakan kadar air biji akan mengalami penurunan seiring dengan waktu penyimpanan. Biji D. celebica yang tergolong rekalsitran akan kehilangan viabilitasnya seiring dengan penurunan kadar airnya. Penyimpanan biji dalam kondisi tertentu seperti kondisi yang panas kering dan dingin kering juga berpengaruh terhadap kadar airnya. Kadar air tersebut akan menurunkan persentase perkecambahannya hingga 4,61% (Liu et al., 2011). Daya kecambah suatu biji sangat ditentukan oleh kadar air suatu biji, sehingga biji yang disimpan sebaiknya memiliki kandungan air yang optimal (Risasmoko, 2006). Kadar air biji D. celebica mengalami penurunan setelah dilakukan perlakuan penyimpanan baik pada material plastik, kertas, aluminium foil atau dibiarkan terbuka. Bahkan untuk biji yang dibiarkan terbuka tidak mampu melakukan perkecambahan, baik yang disimpan selama 2 atau 4 minggu. Hal ini dikarenakan terjadi penguapan dalam suhu ruang sehingga kadar airnya turun dan biji tidak mampu berkecambah sama sekali. Menurut Alrasyid (2002), biji D. celebica yang segera disemai setelah dipanen akan berkecambah 85% dan cepat mengalami penurunan daya kecambahnya bila biji dibiarkan dalam tempat terbuka. Sedangkan biji yang disimpan dalam material plastik, kertas dan aluminium foil, kelembabannya tetap terjaga sehingga kadar airnya tidak menurun drastis (sampai 11%). Namun dengan kadar air yang cenderung rendah (± 11%), biji D. celebica masih mampu untuk berkecambah terutama biji yang disimpan pada material plastik dan aluminium foil. Menurunnya persentase perkecambahan berhubungan dengan penurunan kadar air biji. Salah satu indikasi untuk menggolongkan golongan biji tertentu adalah dengan melihat kadar air awalnya. Tingginya kadar air awal memperkuat dugaan bahwa D. celebica termasuk dalam jenis-jenis biji rekalsitran. Biji-biji yang bersifat rekalsitran akan kehilangan viabilitasnya jika kadar air biji semakin menurun, karena jenis biji ini sangat sensitif terhadap penurunan kadar air (Yuniarti dkk., 2008; Aprilianti dan Putri, 2009). KESIMPULAN Material penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata, namun lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan. Interaksi antara material dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap persentase perkecambahan. Biji D. celebica
324
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
yang disimpan dalam material aluminium foil selama 2 dan 4 minggu memberikan hasil yang terbaik serta mampu berkecambah hingga 43,33% dan 23,33%. DAFTAR PUSTAKA 1. Agustin, E.K. 2011. Pengaruh metode penyimpanan terhadap perkecambahan biji Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz. Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus 7A: 99-101. 2. Alrasyid, H. 2002. Kajian budidaya pohon eboni. Berita Biologi 6(2): 219-225. 3. Aprilianti, P. dan W.U. Putri. 2009. Studi sifat fisik biji kecapi (Sandoricum koetjape Burm. f. Merr.) dan penyimpanannya dalam suhu kamar. Buletin Kebun Raya Indonesia 12(2): 61-68. 4. Draper SR, Bass LN, Bould A, Gouling P, Hutin MC, Rennie WJ, Steiner AM, dan Tonkin JHB, 1985. Seed science and technology. International Seed Testing Associtaion. Zurich, Switzerland.13 (2). 5. Hartati, R.A. dan Kamboya. 2004. Diospyros celebica Bakh.: Informasi Singkat Benih No. 35. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor. 6. Hartutiningsih, M.S. dan N.W. Utami. 2002. Efektivitas pupuk organik dan pupuk N pada pertumbuhan bibit eboni (Diospyros celebica Bakh.). Berita Biologi 6(2): 283-287. 7. Hendromono dan M.K. Allo. 2008. Konservasi sumberdaya genetika eboni di Sulawesi Selatan. Info Hutan 5(2): 177-187. 8. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2012. Diospyros celebica. http://www.iucnredlist.org. Diakses 3 Desember 2012. 9. Liu, K., J.M. Baskin, C.C. Baskin, H. Bu, M. Liu, W. Liu dan G. Du. 2011. Effect of storage conditions of 489 species from high elevation grasslands of the eastern Tibet Plateau and some implications for climate change. American Journal of Botany 98(1): 12-19. 10. Kitchen, S.G. dan S.B. Monsen. 2001. Forage kochia seed germination response to storage time and temperature. J. Range Manage 54: 299-306. 11. Kurniaty, R. 2011. Diospyros celebica Bakh.: Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Jilid II. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. 5(1): 21-22. 12. Kusmana, C., M. Kalingga dan D. Syamsuwida. 2011. Pengaruh media simpan, ruang simpan dan lama penyimpanan terhadap viabilitas benih Rhizophora stylosa Griff. Jurnal Silvikultur Tropika 3(1): 82-87. 13. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara dan W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South East Asia 5(2). Timber Trees: Minor Commercial Timbers, Bogor. 14. Mudiana, D. 2007. Perkecambahan Syzygium cumini (L.) Skeels. Biodiversitas 8(1): 39-42. 15. Rahman, E. 2008. Flower biology of two Diospyros species neighborly live at CSC area: do pollen viability and tube growth rate shire endemic distribution. Jurnal Teknologi Lingkungan 9(3): 235241. 16. Risasmoko, A. 2006. Pengaruh kadar air awal, wadah dan periode simpan terhadap viabilitas benih suren (Toona sureni Merr). Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 17. Riswan, S. 2002. Kajian biologi eboni (Diospyros celebica Bakh.). Berita Biologi 6(2): 211-217. 18. Suita, E. 2008. Pengaruh ruang, media dan periode simpan terhadap perkecambahan benih kemenyan (Styrax benzoin Dryand). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 5(1): 45-52. 19. Sumiasri, N. dan N. Setyowati. 2006. Pengaruh beberapa media pada pertumbuhan bibit eboni (Diospyros celebica Bakh.) melalui perbanyakan biji. Biodiversitas 7(3): 260-263. 20. Sutopo, L. 1998. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 21. Walujo, E.B. 2002. Gatra etnobotani eboni (Diospyros celebica Bakh.). Berita Biologi 6(2): 251254. 22. Widodo, W. 1991. Pemilihan Wadah dan Bahan Pencampur pada Penyimpanan Benih Mahoni. Balai Teknologi Pertanian, Bogor. 23. Yuniarti, N., D. Syamsuwida dan A. Aminah. 2008. Pengaruh penurunan kadar air terhadap perubahan fisiologi dan kandungan biokimia benih eboni (Diospyros celebica Bakh). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 5(3): 191-198.
325
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
INDUKSI KALUS DARI EKSPLAN DAUN GANDARUSA ( Justicia gendarussa Burm. f.) DENGAN PEMBERIAN KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH NAA, IAA DAN BAP Dwi Kusuma Wahyuni, Nur Fadilah, Y. Sri Wulan Manuhara dan Bambang Prajoga Eko Wardoyo Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Airlangga Jl. Mulyorejo, Surabaya
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh NAA, IAA, dan BAP yang optimal menginduksi kalus dari eksplan daun Justicia gendarussa Burm.f.. penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan faktorial dengan 2 perlakuan. Parameter yang diamati adalah berat basah, berat kering, dan morfologi kalus. Berat basah dan berat kering dianalisis menggunakan Multivariate test. Sedangkan morfologi diamati secara deskriptif. Pengamatan dilakukan selama 8 minggu. Hasil Multivariate test menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh NAA, IAA, dan BAP berpengaruh terhadap berat basah dan berat kering kalus daun Justicia gendarussa Burm.f.. Perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh NAA, IAA dan BAP dari penelitian ini yang sesuai untuk berat basah (N1B0,5; I1B2) dan berat kering kalus (N0,5B1,5; I1B1,5). Sedangkan pengamatan terhadap morfologi kalus menunjukkan warna kalus putih, putih keruh, hijau, cokelat, cokelat muda dan hitam serta bertekstur kompak. Kata kunci: Justicia gendarussa Burm.f., NAA, IAA, dan BAP, induksi kalus.
PENDAHULUAN Perkembangan metode kontrasepsi pria masih sangat terbatas dibandingkan dengan kontrasepsi wanita. Peluang ini telah ditangkap sebagian ilmuwan Indonesia untuk mencoba menggali tanaman obat sebagai bahan pil kontrasepsi. Salah satu tanaman obat di Indonesia yang mempunyai efek antifertilitas adalah Justicia gendarussa Burm. f. (gandarusa). Tanaman gandarusa
326
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat di bagian tengah Papua sebagai obat kontrasepsi pria (Soeryowinoto dan Poedjoarianto, 1985). Standarisasi gandarusa yang berasal dari daerah Mojokerto telah dilakukan dan dihasilkan informasi yang sama dengan Materia Medika Indonesia (MMI) serta adanya informasi baru terhadap kadar flavonoid total, alkaloid total, air, tannin, dan minyak atsiri (Prajogo, 2002). Studi aktivitas gandarusa menemukan bahwa infus gandarusa diketahui menurunkan testosteron dan mempengaruhi spermatogenesis tikus (Prajogo, 2002). Memperhatikan adanya potensi pemanfaatan serta banyaknya kandungan senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder, perlu kiranya dilakukan pengembangan penelitian yang mengarah pada pencarian metoda yang efektif dan efisien untuk penyediaan bahan-bahan aktif bermanfaat dari gandarusa berupa metabolit sekunder dalam jumlah lebih banyak dan dalam waktu yang lebih singkat, mengingat sampai saat ini gandarusa belum dibudidayakan secara khusus di Indonesia. Salah satu metoda yang sering digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder dari tumbuhan adalah kultur jaringan. Kultur jaringan tumbuhan yang sering digunakan dalam produksi metabolit sekunder adalah kultur kalus dan kultur suspensi sel (Staba, 1980). Pada kultur kalus terdapat beberapa faktor yang dibutuhkan terutama dalam optimalisasi produksi metabolit sekunder, yaitu zat pengatur tumbuh 2+ (ZPT), nutrisi medium (nitrogen, fosfat, sukrosa, ion Cu ), elisitor, faktor fisika (cahaya, temperatur, pH, aerasi, kepadatan sel), dan faktor biologi (variasi sel, kemampuan biosintesis). ZPT yang digunakan Pada medium primer zat pengatur tumbuh dalam pembentukan kalus sering digunakan berupa sitokinin (BAP, BA, kinetin) dan auksin (IAA, NAA, atau 2,4-D). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pangan Fakultas Teknik Pangan, Universitas Tujuh Belas Agustus, Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai Mei 2013. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun ketiga dari pucuk tanaman Justicia gendarussa Burm. f., sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi bahan penyusun media Murashige dan Skoog (MS) serta zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin, spirtus, akuades steril, bayclin, topsin (antifungal) untuk sterilisasi eksplan, serta alkohol untuk sterilisasi ruang. Alat yang digunakan adalah autoklaf, Laminar Air Flow (LAF), timbangan analitik, kompor listrik, botol kultur, cawan petri, gelas beker, erlenmeyer, pipet, magnetic stirrer, scalpel, pinset, gelas ukur, bunsen, kertas saring, kertas payung, dan alluminium foil. Tahap persiapan dimulai dengan pembuatan larutan stok untuk media dasar MS, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan larutan stok zat pengatur tumbuh IAA, NAA, BAP 100 ppm. Sterilisasi alat dengan cara mencuci alat-alat dengan deterjen lalu dikeringkan. Setelah kering, alat-alat yang akan digunakan untuk penanaman dibungkus dengan kertas payung sedangkan botol kultur ditutup dengan aluminium foil, kemudian alat-alat tersebut disterilisasi dengan autoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 121C selama 15 menit. Setelah disterilkan, botol kultur, gelas ukur, dan erlenmeyer disimpan di ruang inkubasi, sedangkan scalpel, pinset, dan cawan petri disimpan dalam oven sebelum digunakan. Penanaman eksplan dilakukan secara aseptis di dalam LAF. Sterilkan permukaan daun gandarusa dengan cara merendam daun pada larutan bayclin 50 % dan digoyang-goyang selama 7 menit. Buang larutan chlorox dan bilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Letakkan daun gandarusa kedalam petridish yang telah dialasi kertas saring. Potong daun gandarusa dengan 2 ukuran 1cm kemudian letakkan dalam botol kultur dengan berbagai perlakuan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan faktorial dengan 2 perlakuan, yaitu kombinasi NAA dan BAP serta kombinasi IAA dan BAP masing-masing tiga kali pengulangan dengan taraf konsentrasi seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Kombinasi perlakuan hormon NAA dan BAP Konsentrasi ZPT NAA (ppm) 0,5 1
Konsentrasi ZPT BAP (ppm) 0,5 N0,5B0,5 N1B0,5
1 N0,5B1 N1B1
327
1,5 N0,5B1,5 N1B1,5
2 N0,5B2 N1B2
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
1,5 N1,5B0,5 Keterangan : N = NAA B = BAP
N1,5B1
N1,5B1,5
N1,5B2
Tabel 2. Kombinasi perlakuan hormon IAA dan BAP Konsentrasi ZPT IAA (ppm)
Konsentrasi ZPT BAP (ppm)
0,5 1 1,5 2 0,5 I0,5B0,5 I0,5B1 I0,5B1,5 I0,5B2 1 I1B0,5 I1B1 I1B1,5 I1B2 1,5 I1,5B0,5 I1,5B1 I1,5B1,5 I1,5B2 Keterangan : I = IAA B = BAP Pengamatan lama waktu terbentuknya kalus dilakukan dengan menghitung lama waktu (hari) eksplan membentuk kalus, dihitung mulai 1 hari setelah penanaman eksplan. Untuk pengamatan morfologi kalus dengan cara mengamati kalus secara visual, baik warna maupun tekstur kalus yang terbentuk dari eksplan. Berat basah ditentukan dengan cara menimbang berat segar kalus tanpa botol kultur dan media tanamnya setelah dikultur selama 8 minggu. Sedangkan berat kering kalus ditentukan dengan cara menimbang kalus yang telah di oven selama 1 hari. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Berat basah dan berat kering kalus dari eksplan daun Justicia gendarussa Burm. f. dengan pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh NAA, IAA, dan BAP Pertumbuhan merupakan peningkatan permanen ukuran organisme atau bagian dari tumbuhan yang merupakan hasil peningkatan jumlah dan ukuran sel. Berat basah tertinggi pada perlakuan kombinasi NAA dan BAP berdasarkan analisis statistik adalah N1B0,5 (1,3718±0,1100), dan berat basah terendah diperoleh N1,5B2 (0,4249±0,1102). Sedangkan untuk kombinasi IAA dan BAP, berat basah tertinggi diperoleh pada kombinasi dengan faktor konsentrasi I 1B2 (0,6691±0,0373) dan berat basah terendah diperoleh I1B0,5 (0,3145±0,1347). Untuk berat kering sendiri, berdasarkan hasil uji statistik diperoleh berat kering tertinggi (kombinasi NAA dan BAP) yaitu pada faktor konsentrasi N 0,5B1,5 (0,1913±0,0214), dan berat kering terendah diperoleh faktor konsentrasi N1,5B2 (0,0611±0,0168). Sedangkan untuk kombinasi IAA dan BAP berat kering tertinggi diperoleh faktor konsentrasi I 1B1,5 (0,6691±0,0373) dan berat kering terendah diperoleh I0,5B0,5 (0,0765±0,0106). Pada umumnya berat kering kalus akan meningkat dengan peningkatan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan, sebanding dengan dengan peningkatan berat basah kalusnya. Akan tetapi pada penelitian ini tidak demikian. Menurut Wardani et al., (2004) hal ini dikarenakan kemampuan absorbsi air untuk tiap sel berbeda-beda. Sel-sel yang mempunyai berat basah besar mengandung banyak air sehingga berat keringnya jauh lebih kecil. b. Morfologi kalus dari eksplan daun Justicia gendarussa Burm. f. dengan pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh NAA, IAA, dan BAP Pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh NAA,IAA dan BAP pada ekspan daun Justicia gendarussa Burm. f. memberikan respon yang berbeda-beda pada masing-masing eksplan. Warna yang teramati pada perlakuan kombinasi NAA dan BAP adalah putih, putih keruh, hijau, cokelat. Sedangkan warna yang teramati untuk kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP pada eksplan daun Justicia gendarussa Burm. f. adalah cokelat muda, cokelat, hijau, dan hitam. Menurut Wattimena (1991), Kalus yang berwarna hijau dikarenakan peningkatan konsentrasi sitokinin yang tinggi. Sedangkan kalus yang berwarna cokelat disebabkan senyawa fenol yang berada dalam kalus sudah mulai terbentuk (Wardani et al., 2004). Penampakan kalus pada semua kombinasi perlakuan menunjukkan bahwa tekstur kalus kompak. Menurut Indah dan Ermavitalini (2013) kalus yang baik untuk digunakan sebagai bahan penghasil metabolit sekunder yaitu memiliki tekstur kompak (non friable). Tekstur kalus yang kompak dianggap baik karena dapat mengakumulasi metabolit sekunder lebih banyak. KESIMPULAN
328
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh NAA, IAA dan BAP berpengaruh terhadap berat basah dan berat kering kalus eksplan daun Justicia gendarussa Burm. f.. Berat basah tertinggi pada perlakuan kombinasi NAA dan BAP berdasarkan analisis statistik adalah N1B0,5 (1,3718±0,1100), Sedangkan untuk kombinasi IAA dan BAP, berat basah tertinggi diperoleh pada kombinasi dengan faktor konsentrasi I1B2 (0,6691±0,0373). Untuk berat kering sendiri, berdasarkan hasil uji statistik diperoleh berat kering tertinggi (kombinasi NAA dan BAP) yaitu pada faktor konsentrasi N 0,5B1,5 (0,1913±0,0214), Sedangkan untuk kombinasi IAA dan BAP berat kering tertinggi diperoleh faktor konsentrasi I1B1,5 (0,6691±0,0373). DAFTAR PUSTAKA 1. Indah, P.N., and Ermavitalini, D., 2013, Induksi Kalus Daun Nyamplung (Calophyllum inophillum Linn.) pada Beberapa Kombinasi Konsentrasi 6-Benzilaminopurine (BAP) dan 2,4- Diklorofenoksi Asetat (2,4-D), Jurnal Sains dan Seni Pomits,Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITS, Surabaya 2. Prajogo, B.E.W., 2002, Aktivitas Antifertilitas Flavonoid Daun Justicia Gendarussa Burm. f., Disertasi, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 3. Soeryowinoto, M., and Poedjoarianto, A., 1985, Laporan Perjalanan ke Jayapura Sentani (Irian Jaya), Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 4. Staba, E.J., 1980, Secondary metabolism and biotransformation In Plant Tissue Culture as a Source of Biochemical. Ed. E. J. Staba. Florida: CRC Press, Inc. Boca Raton 5. Wardani, D.P., Solichatun., and Setyawan, A.D., 2004, Pertumbuhan dan Produksi Saponin Kultur Kalus Talinum paniculatum Gaertn. Pada Variasi Penambahan Asam 2,4-Diklorofenoksi Asetat (2,4-D) dan Kinetin, Biofarmasi,Jurusan Biologi FMIPA UNS, Surakarta 6. Wattimena, G.A., 1978, Zat Pengatur Tumbuh Tanaman, PAU, IPB, Bogor.
329
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
TINGKAT PLOIDI ARTEMISIA ANNUA HASIL PERLAKUAN KOLKISIN SECARA IN VITRO BERDASARKAN METODE ‘SQUASHING’ DAN FLOWSITOMETRI Erwin Al Hafiizh*, Tri Muji Ermayanti, dan Deritha Ellfy Rantau Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong, 16911 *Email :
[email protected] _________________________________________________________________________________________
ABSTRAK Artemisia annua L. adalah tanaman obat antimalaria yang sudah dikenal sejak lama. Tanaman ini menghasilkan artemisinin yang saat ini dipergunakan untuk mengatasi resistensi Plasmodium falciparum terhadap beberapa obat anti-malaria. Penelitian utuk meningkatkan kadar artemisinin telah banyak dilakukan antara lain dengan modifikasi teknik budidaya, menentukan waktu panen yang tepat dan penyediaan bibit unggul. Tanaman poliploid telah terbukti dapat menghasilkan kadar artemisinin tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ploidi planlet setelah diberi perlakuan kolkisin secara in vitro untuk mendapatkan tanaman poliploid. Analisis tingkat ploidi dilakukan dengan dua metode yaitu ‘squashing’ dengan cara menghitung jumlah kromosom dan dengan flowsitometri yaitu dengan menentukan tingkat ploidi berdasarkan kandungan DNA. Perlakuan kolkisin diberikan terhadap kecambah berumur 1 minggu dengan konsentrasi 0,05; 0,1 dan 0,2% dengan waktu perendaman 1, 2 dan 3 hari. Setelah beberapa kali subkutur dilakukan analisis tingkat ploidi dengan menghitung jumlah kromosom menggunakan ujung akar untuk ‘squashing’ dan menggunakan daun untuk flowsitometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kontrol mempunyai jumlah kromosom diploid 2n=18 hasil menghitungan kromosom (squashing) maupun hasil analisis flowsitometer. Perlakuan konsentrasi dan lama perendaman kolkisin menghasilkan aksesi tanaman diploid maupun poliploid. Hasil analisis ‘squashing’ menunjukkan berbagai variasi tingkat plodi baik aneuploidi, miksoploid diploid-triploid, diploid-tetraploid maupum triploid-tetraploid serta tanaman triploid maupun tetraploid. Beberapa aksesi menunjukkan hasil tingkat ploidi yang tidak konsisten hasil analisis ‘squashing’ dan flowsitometri. Analisis tingkat ploidi perlu dilakukan setelah tanaman ditanam di lapangan untuk mendapatkan aksesi dengan tingkat ploidi yang stabil. Kata kunci: Artemisia annua L., flowsitometri, kolkisin, ploidi, squashing.
330
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
PENDAHULUAN Penyakit malaria merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negera berkembang, terutama di Afrika dan Asia Tenggara (Snow et al., 2005). Penyakit ini cukup serius dan beresiko tinggi karena dapat menyerang manusia dan menyebabkan kematian (Gusmaini dan Nurhayati, 2007). Menurut WHO (2009), pada tahun 2008 diperkirakan ada 253 juta kasus malaria yang mengakibatkan 863.000 kematian. Sekitar 85% kasus dan 89% tingkat kematian terjadi di Afrika di mana banyak negara berkembang. Artemisinin merupakan senyawa bahan kimia yang sangat efektif terhadap malaria. Sementara, biaya pengobatan penyakit ini sangat mahal, karena tingginya permintaan dan rendahnya produksi artemisinin yang dihasilkan dari tanaman Artemisia annua yaitu di bawah 1,2% dari berat kering daun (Kindermans et al., 2007). Selain efektif sebagai obat anti malaria, artemisinin juga dapat digunakan sebagai anti kanker (Efferth, 2007), herbisida (Chen and Zhang, 1987), anti HIV (Jung and Schinazi, 1994), parasit lain seperti schistosomiasis, dan beberapa virus seperti hepatitis B (Efferth 2009). Artemisia annua merupakan tanaman subtropis yang berasal dari daerah Cina kemudian tersebar ke Vietnam dan Malaysia, serta sudah banyak digunakan di negara-negara Afrika sebagai obat malaria (Ferreira et al., 2005). Tanaman A. annua mempunyai banyak spesies yaitu berkisar 200-400 spesies dan memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia (Gusmaini dan Nurhayati, 2007). Kendala yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas yaitu berkisar 0,01-0,5% dan ketersediaan bibit yang mengandung kadar artemisinin tinggi, sehingga pengembangan dalam skala industri kurang efektif. Salah satu teknik untuk meningkatkan keragaman genotip dari sumber genetik yang terbatas adalah melalui poliploidisasi. Semakin tinggi keragaman genetik yang diperoleh maka semakin tinggi peluang untuk memperoleh genotip unggul. Poliploid dapat disebabkan oleh senyawa-senyawa kimia seperti kolkisin, yang menghambat segresi kromosom selama pembelahan sel dan menyebabkan penggandaan kromosom (Pansuksan et al., 2014). Kolkisin dapat menyebabkan beberapa tanaman menghasilkan bunga atau umbi yang lebih besar, walaupun efeknya tidak dapat diperkirakan, namun hasil poliploidisasi sering menunjukkan efek peningkatan terhadap sifat fenotip suatu tanaman (Głowacka et al., 2009) dan peningkatan produksi metabolit sekunder (Banyai et al., 2010; Dhawan and Lavania 1996). Hasil penelitian Jesus-Gonzales and Wheathers (2003) menunjukkan bahwa tanaman A. annua tetraploid mampu menghasilkan artemisinin 6 kali lebih tinggi dibandingkan tanaman diploid. Penentuan tingkat ploidi sangat penting dalam perbanyakan aseksual pada tanaman hasil poliploidisasi dan untuk mendapatkan tanaman poliploid yang stabil, karena kemungkinan adanya ploidi kimera atau beberapa seri ploidi dalam jaringan tanaman (Rego et al., 2011). Analisis tingkat ploidi dilakukan dengan dua metode yaitu ‘squashing’ dengan cara menghitung jumlah kromosom dari ujung akar dan flowsitometri yaitu dengan menentukan tingkat ploidi berdasarkan kandungan DNA dari daun. Namun demikian, flowsitometri adalah alat yang paling efisien untuk mendeteksi tingkat ploidi tanaman (Dolezel et al., 2007; Ochatt et al., 2011; Lema-Ruminska, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ploidi planlet setelah diberi perlakuan kolkisin secara in vitro untuk mendapatkan tanaman poliploid. METODE PENELITIAN Bahan penelitian Bahan penelitian yang dipergunakan untuk perlakuan kolkisin adalah kecambah (semai) A. annua yang berumur 1 minggu dikecambahkan pada media MS (Murashige & Skoog, 1962). Media MS dipadatkan dengan agar 8 g/l dengan penambahan sukrosa 20 g/l tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Induksi tanaman poliploid dengan perlakuan kolkisin Induksi tanaman poliplod dilakukan dengan cara in vitro dengan merendam eksplan dalam larutan kolkisin pada konsentrasi 0,05; 0,1 dan 0,2%.. Eksplan kecambah yang berumur 1 minggu dan sudah berakar dengan tinggi 0,5 sampai 1 cm diredam dalam larutan kolkisin selama 1, 2 dan 3 hari, kemudian eksplan ditanam ke media MS tanpa ZPT dan diamati jumlah tunas yang hidup. Kultur diinkubasi pada suhu 26±2°C selama 6 minggu. Tiap perlakuan diulang 5 kali, tiap botol berisi 4 eksplan sehingga total eksplan yaitu 20 satuan percobaan.
331
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Analisis kromosom dengan metode ‘squashing’ Analisis jumlah kromosom dilakukan dengan metode ‘squashing’ Karp, A (1991) dan Jong, K (1997) menggunakan ujung akar. Ujung akar sepanjang 0,5-1,0 cm direndam dalam larutan paradiklorbenzen (PDB) selama 3-4 jam pada suhu ruang dilanjutkan dengan fiksasi dalam larutan asam asetat-etanol (1 : 3) selama satu malam dalam refrigerator. Setelah dicuci dengan akuades, akar kemudian dihidrolisis dengan larutan 5N HCl selama 15 menit, dicuci kembali, dilanjutkan dengan pewarnaan mengunakan acetoorcein (2% orcein dalam 45% asam asetat). Setelah itu ujung akar diletakkan di atas gelas objek, ditutup dengan gelas cover dan dipencet agar kromosom tersebar dengan baik. Pengamatan jumlah kromosom dilakukan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Pengambilan gambar dilakukan pada sel yang memiliki kromosom dengan sebaran terbaik. Penghitungan tidak dilakukan pada sel yang rusak ataupun kromosom yang tumpang tindih. Analisis ploidi dengan flowsitometri Analisis ploidi dilakukan dengan menggunakan prosedur menurut Hafiizh et al (2013). Sampel 2 daun dipotong dengan ukuran 0,5 cm dan diletakkan pada cawan petri, kemudian ditetesi 250 μl extraction buffer dan dicacah dengan silet. Cacahan daun disaring dengan celltrics 30 μm dan filtrat dimasukkan dalam tabung kuvet. Filtrat ditambahkan larutan Cystain PI yang berisi buffer dan pewarna DNA sebanyak 800 μl. Sampel dianalisis dan dibaca pada panjang gelombang 440 nm pada kecepatan 1000 nuclei per detik. Tanaman diploid dipergunakan sebagai standard dan kandungan DNA-nya dikalibrasi sehingga mendapatkan puncak apektrum pada channel 200. Tanaman triploid menunjukkan puncak pada channel 300 dan tetraploid menunjukkan puncak pada channel 400, dan tanaman miksoploid menunjukkan lebih dari satu puncak pada channel yang berbeda. Rata-rata kandungan DNA dari tiap-tiap sampel pada setiap puncak dibandingkan dengan tanaman kontrol diploid. Tingkat ploidinya ditentukan sesuai dengan kelipatan rata-rata kandungan DNA.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dua metode cara pengamatan ploidi yang dilakukan adalah metode squashing dan flowsitometri. Kedua metode ini dilakukan untuk mengkonfirmasikan bahwa tingkat ploidi hasil perlakuan kolkisin pada A. annua akan tetap stabil sehingga diperoleh aksesi yang dapat dipertahankan sama sifatnya untuk generasi berikutnya. Hasil pengamatan planlet A. annua kontrol (tanpa perlakuan kolkisin) tertera pada Gambar 1 dan Tabel 1. Hasil penghitungan jumlah kromosom yang dilakukan terhadap akar planlet A. annua menunjukkan bahwa 86% adalah jumlah kromosom diploid. Selebihnya adalah jumlah kromosom triploid dan aneuploid. Hasil analisis dengan flowsitometer menunjukkan kesesuaian yaitu diploid (Tabel 1). Dengan demikian menggunakan kedua metode ini telah dikonfirmasikan bahwa tanaman kontrol yang dihasilkan dari percobaan ini adalah diploid. Terdapat sebagian kecil akar yang mempunyai sel-sel dengan jumlah kromosom triploid dan aneuploid. Jumlah kromosom aneuploid yang ditemukan adalah lebih kecil dari jumlah diploidnya dan lebih besar dari jumlah triploidnya. Aksesi tanaman ini dapat dipergunakan sebagai acuan (referensi) pada saat melakukan analisis dengan menggunakan flowsitometer. Tanaman A. annua yang tumbuh di alam pada umumnya adalah tanaman diploid dengan jumlah kromosom 2n=2x=18 (Banyai et al., 2010; Jesus-Gonzalez and Weathers, 2003; Wallaart et al., 1999). Dengan perlakuan kolkisin diharapkan dapat diperoleh tanaman poliploid yang mempunyai kadar artemisinin tinggi. Tanaman poliploid telah terbukti mempunyai kadar metabolit sekunder lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman diploidnya (Jesus-Gonzales and Wheathers, 2003).
332
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Gambar 1. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing akar planlet A. annua tanpa perlakuan kolkisin Tabel 1. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua tanpa perlakuan kolkisin dan dengan perlakuan kolkisin 0,05%, dengan perendaman 1 hari Kode Aksesi
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36) 7,84 0 Aneuploid = 5,9
Kontrol
Diploid (%) (2n=2x=18) 86,3
K113
74,6
1,2
1,2
Aneuploid = 23,1
K115 K118
68 4,4
0 43,5
0 49,3
K1110
6,5
58,1
28,9
Aneuploid = 32 Aneuploid = 2,8 2n=6x=3,2 Aneuploid = 3,4
Flowsitometri Diploid Miksoploid (diploidtetraploid) Diploid Tetraploid Miksoploid (triploidhexaploid)
Perlakuan kolkisin kolkisin 0,05% dengan waktu perendaman 1 hari pada kecambah A. annua yang berumur 1 minggu menghasilkan 4 aksesi yang mempunyai tingkat ploidi berbeda-beda (Tabel 1). Hasil Pengamatan menunjukkan bahwa satu aksesi (K115) tetap mempunyai jumlah kromosom diploid yang ditunjukkan dengan analisis squashing dan flowsitometri dengan hasil yang sama. Aksesi diploid hasil perlakuan kolkisin 0,05% perendaman 1 hari mempunyai prosentase jumlah kromosom diploid yang lebih rendah dan mempunyai jumlah kromosom aneuploid lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kontrolnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya perlakuan kolkisin yang mempengaruhi pembelahan sel selama proses mitosis. Aksesi ini tidak mempunyai jumlah kromosom tepat pada jumlah triploid maupun tetraploidnya. Hasil analisis fowsitometri menunjukkan bahwa aksesi ini adalah tanaman diploid (Tabel 1). Hasil flowsitometri menunjukkan bahwa satu aksesi (K118) adalah tetraploid. Hasil squashing tanaman ini menunjukkan bahwa prosentase jumlah kromosom tetraploidnya hanya separo dari total jumlah kromosom yang diamati. Proporsi yang hampir sama adalah jumlah kromosom triploid. Prosentase jumlah kromosom diploid dan aneuploid sangat rendah (Tabel 1). Turunan dari aksesi ini perlu dianalisis kembali, baik secara squashing maupun dengan flowsitometri untuk konfirmasi tingkat ploidi yang sesuai. Dua aksesi lainnya yaitu K113 dan K1110 juga harus dikonfirmasikan kembali untuk menentukan tingkat ploidi yang lebih pasti karena hasil analisis squashing dibandingkan dengan analisis flowsitometri tidak sesuai. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hasil squashing K113 lebih didominasi oleh jumlah kromosom diploidnya, sedangkan hasil analisis flowsitometri menunjukkan tingkat ploid miksoploid antara diploid dan tetraploid. Konfirmasi juga perlu dilakukan kembali untuk aksesi K1110 oleh karena jumlah kromosom menunjukkan prosentase terbesar pada jumlah diploid kemudian diikuti jumlah tetraploid sedangkan hasil analisis flowsitometri menunjukkan hasil triploid-heksaploid. Tabel 2. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,05%, dengan perendaman 2 hari Kode Aksesi
Diploid (%)
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%)
333
Flowsitometri
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
(2n=2x=18)
(2n=3x=27)
(2n=4x=36)
K121
7,3
41,12
49,15
Aneuploid = 2,4
K122
39,5
32,4
8,1
K124
47,6
22,3
22,1
K127
41,0
23,1
28,3
K128
8,7
45,7
34,8
K129
0
33,3
16,7
K1213
13,3
40,0
40,0
Aneuploid = 20,1 2n=6x=2,0 Aneuploid = 6 2n=6x=2,6 Aneuploid = 5,1 2n=6x=2,2 Aneuploid = 8,7 2n=5x=16,7 Aneuploid = 33,3 2n=5x=6,7
Miksoploid (diploidtetraploid) Tetraploid Tetraploid Miksoploid (diploidtetraploid) Tetraploid Tetraploid Tetraploid
Terdapat tujuh aksesi hasil perlakuan kolkisin 0,05% dengan perendaman selama 2 hari (Tabel 2). Tingkat ploidi yang dihasilkan menurut metode squashing dan flowsitometri mempunyai sesesuaian yang rendah. Hasil analisis squashing aksesi K121 menunjukkan tingkat ploidi miksoploid triploid-tetraploid, sedangkan analisis flowsitometri menunjukkan hasil miksoploid diploid-tetraploid. Jumlah kromosom diploid dan aneuploid sangat rendah. Hasil analisis squashing aksesi K122 menunjukkan miksoploid diploid-triploid dengan jumlah sel aneuploid yang tinggi. Hasil analisis flowsitometri hanya tetraploid, jumlah kromosom tetraploid hasil squashing sangat rendah (Tabel 2). Ketidaksesuaian juga ditunjukkan pada lima aksesi lainnya. Dengan demikian konfirmasi hasil ini perlu dilakukan untuk mengetahui stabilitas ketujuh aksesi sehingga dapat disimpulkan tingkat ploidinya.
Tabel 3. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,05%, dengan perendaman 3 hari Kode Aksesi
Diploid (%) (2n=2x=18)
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36)
K133
22,2
66,7
0
K134
17,8
57,8
15,5
K135
76,2
0
0
K137
20,0
40,0
20,0
K139
20,0
20,0
40,0
K1312
15,7
39,5
42,1
Aneuploid = 11,1 2n=5x=2,2 Aneuploid = 6,7 Aneuploid = 23,8 2n=5x=20,0 Aneuploid = 0 2n=5x=10,0 2n=6x=5,0 Aneuploid = 5,0 2n=5x=2,7
Flowsitometri Miksoploid (diploidtetraploid) Miksoploid (diploidtetraploid) Diploid Diploid Triploid Miksoploid (diploidtetraploid)
Perlakuan kolkisin 0,05% dengan waktu perendaman 3 hari pada kecambah A. annua menghasilkan 6 aksesi yang dapat tumbuh dan mempunyai tingkat ploidi tertera pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis squashing dan flowsitometri hanya terdapat satu aksesi yaitu K135 yang menunjukkan tanaman diploid. Selain jumlah kromosom diploid, aksesi ini mempunyai jumlah kromosom aneuploid paling tinggi dibandingkan aksesi lainnya. Kelima aksesi lainnya tidak menunjukkan sesesuaian. Sebagian sel-sel akar aksesi K133 mempunyai jumlah kromosom diploid, namun prosentase tertinggi adalah triploid, sehingga tanaman ini dapat disebut sebagai tanaman miksoploid diploid-triploid, sedangkan hasil analisis flowsitometri adalah miksoploid diploid-tetraploid. Demikian halnya dengan aksesi K134. Hasil analisis squasing menunjukkan bahwa tanaman adalah miksoploid diploid-triploid-tetraploid dengan prosentasi terbesar pada level triploid, namun hasil
334
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
flowsitometri menunjukkan miksoploid diploid-tetraploid. Ketidaksesuaian juga terjadi pada ketiga aksesi lainnya. Untuk mengatasi ketidaksesuaian ini perlu dilakukan analisis ulang pada masingmasing aksesi dengan menggunakan tanaman yang berbeda. Perlakuan kolkisin 0,1% dengan lama perendaman 1 hari hanya menghasilkan 3 aksesi (Tabel 4). Satu aksesi tetap diploid (K214), artinya tidak ada pengaruh perlakuan kolkisin, sedangkan dua aksesi lainnya menurut analisis squashing adalah miksoploid diploid-tetraploid (K212) dan miksoploid diploid-triplod (K215). Namun demikian hasil analisis flowsitometri kedua aksesi ini bebeda. Pada kedua aksesi ini mempunyai kromosom aneuploid dengan prosentase besar terutama aksesi K215. Aksesi K212 mempunyai sel-sel dengan jumlah kromosom pentaploid dengan prosentase jumlah kromosom aneuploid yang cukup tinggi. Pada aksesi K215 mempunyai jumlah sel aneuploid yang paling tinggi.
Tabel 4. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,1%, dengan perendaman 1 hari Kode Aksesi
Diploid (%) (2n=2x=18)
K212
5
K214 K215
100 55,2
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36) 2n=5x=10 0 73 Aneuploid =12 0 0 0 5,3 0 Aneuploid = 39,5
Flowsitometri Triploid Diploid Diploid
Tabel 5. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,1%, dengan perendaman 2 hari Kode Aksesi
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36) 44,1 18,0 Aneuploid = 8,1 2n=5x=6,2 64,5 11,3 2n=6x=2,5 Aneuploid = 2,5
K221
Diploid (%) (2n=2x=18) 29,8
K222
13,0
K224
28,2
33,4
23,0
Aneuploid = 15,4
K226 K228
84,39 70
6,25 0
3,12 20
K229
9,1
49,6
22,7
Aneuploid = 6,4 Aneuploid = 10 2n=6x=4,5 Aneuploid = 14,1
Flowsitometri Tetraploid Triploid Miksoploid (diploidtetraploid) Tetraploid Tetraploid Tetraploid
Perlakuan kolkisin 0,1% dengan perendaman selama 2 hari menghasilkan enam aksesi A. annua poliploid (Tabel 5). Penghitungan jumlah kromosom dengan metode squashing menghasilkan 5 aksesi tanaman miksoploid diploid-triploid-tetraploid dan hanya satu aksesi miksoploid diploidtetraploid (K228). Namun demikian hasil analisis squashing ini kurang sesuai dengan hasil analisis flowsitometri. Dengan squashing, pada aksesi K222 ditemukan sebagian kecil sel berjumlah kromosom pentaploid dan heksaploid. Hanya K229 yang mempunyai aneuploidi lebih dari 10%, aksesi lainnya hanya mempunyai sedikit sel dengan jumlah kromosom aneuploid. Perlakuan kolkisisn 0,1% dengan lama perendaman 3 hari menghasilkan enam aksesi dengan jumlah kromosom yang bervariasi. Dengan metode sqashing ditemukan dua aksesi miksoploid diploid-triploi (K233 dan K235), satu aksesi miksoploid triploid-diploid (K237) dan tiga aksesi miksoploid diploid-triploid-tetraploid (K238, K2312 dan K2313). Satu aksesi bahkan mempunyai jumlah kromosom pentaploid dan heksaploid dalam jumlah kecil (K238). Hanya satu aksesi (K2313) yang tidak mempunyai jumlah kromosom aneuploid. Prosentase sel yang mempunyai
335
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
jumlah kromosom aneuploid terbesar adalah K233 (Tabel 6). Seperti pada aksesi lainnya dengan perlakuan kolkisin yang berbeda, analisis dengan flowsitometri juga menunjukkan ploidi yang kurang sesuai dengan hasil penghitungan jumlah kromosom. Hasil analisis flowsitometri yang mempunyai kesesuaian dengan hasil squashing adalah pada aksesi K235 dan K2313. Pada kedua aksesi ini jumlah kromosom dengan prosentase terbesar terdeteksi oleh flowsitometer dengan menunjukkan posisi spektrum (peak) triploid bila dibandingkan dengan kontrol posisi peak tanaman diploid. Sel-sel yang mempunyai jumlah kromosom selain triploid tidak terdeteksi oleh flowsitometer. Tabel 6. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,1%, dengan perendaman 3 hari Kode Aksesi
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36) 33,3 0 Aneuploid = 33,3 86,3 0 Aneuploid = 9,2 60 20 Aneuploid = 20 2n=5x=1,2 42,2 32,5 2n=6x=1,2 Aneuploid = 7,2
K233 K235 K237
Diploid (%) (2n=2x=18) 33,3 4,5 0
K238
15,7
K2312
47,0
17,7
35,3
Aneuploid = 0
K2313
33,3
57,1
4,8
Aneuploid = 4,8
Flowsitometri Diploid Triploid Tetraploid Tetraploid Miksoploid (diploidtriploid) Triploid
Tabel 7. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,2%, dengan perendaman 1 hari Kode Aksesi
Diploid (%) (2n=2x=18)
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36)
K312
81,3
0
0
K314
2,8
44,4
49,9
K315
0
44,5
25,9
K316
21,9
20,0
4,9
Aneuploid = 18,7 2n=5x=2,8 Aneuploid = 0,1 2n=6x=3,7 Aneuploid = 25,9 2n=5x=4,9 Aneuploid = 48,3
Flowsitometri Miksoploid (triploidtetraploid) Tetraploid Diploid Tetraploid
Perlakuan kolkisin yang lebih tinggi yaitu 0,2% dengan waktu perendaman 1 hari hanya menghasilkan 4 aksesi. Analisis squashing menghasilkan satu aksesi diploid (K312) dan 3 aksesi miksoploid (Tabel 7). Hasil penelitian menunjukkan aneuploidi rendah (K314) hingga tinggi hampir mencapai 50% (K316). Analisis flowsitometri menunjukkan tingkat ploidi yang tidak sesuai. Untuk mengkonfirmasi kedua teknik deteksi ini diperlukan analisis ulang tanaman yang berbeda dari aksesi yang sama. Tanaman yang mempunyai stabilitas ploidi merupakan tanaman yang secara genetik juga stabil. Pada A. annua, perlakuan kolkisin 0,2% selama 2 hari perendaman hanya menghasilkan empat aksesi dengan tingkat ploidi yang bervarasi. Hasil penghitungan jumlah kromosom (squashing) menunjukkan bahwa keempat aksesi adalah miksoploid dengan jumlah sel aneuploid 0-25% (Tabel 8). Analisis pada aksesi K321 dengan squashing menghasilkan tingkat ploidi miksoploid diploidtriploid-tetraploid dengan prosentase terbesar adalah tetraploid. Prosentasi jumlah kromosom tetraploid terbesar ini sesuai dengan hasil flowsitotetri yang menunjukkan tetraploid juga. Kesesuaian juga ditemukan untuk aksesi K326 yaitu menurut squasing dan flowsitometri miksoploid diploidtetraploid. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak konsistensi antara dua metode yang dipergunakan
336
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
untuk analisis. Prosentase besar yang dihasilkan pada squashing tidak selalu terdeteksi oleh flowsitometer. Tabel 8. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,2%, dengan perendaman 2 hari Kode Aksesi
Diploid (%) (2n=2x=18)
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36) Aneuploidi = 30,4 46,8 4,64
K321
18,2
K323
75,0
2,5
0
Aneuploid = 22,5
K325
3,8
30,8
57,7
2n=6x=7,7
K326
68,8
0
6,3
Aneuploid = 25
Flowsitometri Tetraploid Miksoploid (diploidtetraploid) Miksoploid (diploidtetraploid) Miksoploid (diploidtetraploid)
Perlakuan kolkisisn 0,2% dengan lama perendaman 3 hari hanya menghasilkan satu aksesi. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh tingginya konsentrasi dan lamanya waktu perendaman sehingga bersifat toksik terhadap sel A. annua. Hasil analisis squashing dan flowsitometri terhadap aksesi ini tidak sesuai. Tingkat ploidi hasil squashing adalah diploid-triploid dengan prosentase sel aneuploid rendah, sedangkan hasil analisis flowsitometri adalah miksoploid diploid-tetraploid (Tabel 9). Gambar 2 merupakan contoh hasil analisis flowsitometri yang sesuai dengan hasil penghitungan julah kromosom (squashing). Tabel 9. Prosentase jumlah kromosom hasil squashing dan flowsitometri planlet A. annua dengan perlakuan kolkisin 0,2%, dengan perendaman 3 hari Kode Aksesi K332
Diploid (%) (2n=2x=18) 83,3
Jumlah kromosom hasil Squashing Triploid (%) Tetraploid (%) Lain-lain (%) (2n=3x=27) (2n=4x=36) 11,1
0
337
Aneuploid = 5,6
Flowsitometri Miksoploid (diploidtetraploid)
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
Gambar 2. Histogram flowsitometer dan jumlah kromosom A. annua (A) diploid, (B) triploid (C) tetraploid, (D) miksoploid Hasil penelitian pada A. annua ini menunjukkan bahwa banyak ditemukan ketidak sesuaian antara analisis squashing dibandingkan dengan analisis menggunakan metode flowsitometri. Analisis squashing yaitu dengan menghitung jumlah kromosom secara teknis dipengaruhi oleh persiapan squashing yang akurat sehingga mendapat sel-sel dengan kerusakan minimum akibat squashing sehingga mendapatkan sel-sel utuh yang didalamnya tersebar kromosom dengan baik. Dengan demikian penghitungan jumlah kromosom dapat dilakukan dengan tepat. Kromosom yang rusak dan tumpang tindih dapat dihindari sehingga mendapatkan data yang akurat. Analisis ploidi dengan menggunakan flowsitometer merupakan metode yang lebih mudah dan cepat namun hanya merupakan analisis putatif. Hasil analisis dengan metode ini hanya mengetahui tingkat ploidi berdasarkan kandungan DNA pada kromosom. Dengan menggunakan flowsitometer hanya terdeteksi jumlah/kandungan DNA yang dianalogikan dengan jumlah kromosom (Dolezel et al., 2007; Ochatt et al., 2011; Lema-Ruminska, 2011). Dengan demikian penghitungan jumlah kromosom (squashing) adalah metode analisis tingkat ploidi yang lebih akurat dibandingkan dengan metode flowsitometri. Squashing lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan flowsitometri namun memerlukan waktu yang lebih lama dan ketelitian yang lebih tinggi. KESIMPULAN Hasil analisis ‘squashing’ menunjukkan berbagai variasi tingkat plodi baik aneuploidi, miksoploid diploid-triploid, diploid-tetraploid maupum triploid-tetraploid serta tanaman triploid maupun tetraploid. Beberapa aksesi menunjukkan hasil tingkat ploidi yang tidak konsisten hasil analisis ‘squashing’ dan flowsitometri. Penghitungan jumlah kromosom (squashing) adalah metode analisis tingkat ploidi yang lebih akurat dibandingkan dengan metode flowsitometri. Squashing lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan flowsitometri namun memerlukan waktu yang lebih lama dan ketelitian yang lebih tinggi. Flowsitometri adalah alat yang paling efisien untuk mendeteksi tingkat ploidi tanaman, namun hanya merupakan analisis putatif dan hanya mengetahui tingkat ploidi berdasarkan kandungan DNA pada kromosom. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr Didik Widyatmoko M.Sc. dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Wiguna Rahman SP dari UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI, Dr. Arthur Lelono dari Puslit Kimia-LIPI, Fajarudin Ahmad dan Herlina dari Puslit Biologi-LIPI, Dr. Witjaksono M.Sc. atas dukungannya pada penelitian ini. Terima kasih juga ditujukan kepada PT Kimia Farma yang telah memberikan bahan tanaman. Penelitian ini didanai oleh SubKegiatan Kompetitif Eksplorasi dan Pemanfaatan Terukur Sumber Daya Hayati (Darat dan Laut Indonesia) dengan judul Pengembangan Teknik Bidudaya Artemisia annua L. dan Peningkatan Ploidi untuk Perbaikan Kandungan Bahan Aktif Artemisinin. DAFTAR PUSTAKA 1. Banyai, W., C. Kirdmanee, M. Mii, K. Supaibulwatana, 2010. Overexpression of farnesyl pyrophosphate synthase (FPS) gene affected artemisinin content and growth of Artemisia annua L. Plant Cell Tissue Organ Cult. 103: 255-265 2. Chen, F.I. and G.H. Zhang, 1987. Studies on several physiological factors in artemisinin synthesis in Artemisia annua L. Plant Physiol. Commun. 5:26–30. 3. Dhawan, O.P., U.C. Lavania, 1996. Enhancing the productivity of secondary metabolites via induced polyploidy: a review. Euphy-tica 87:81–89 4. Dolezˇel J., J. Greilhuber, J. Suda, 2007. Flow cytometry with plants: an overview. In: Dolezˇel J, Greilhuber J, Suda J (eds) Flowcytometry with plant cells. Wiley, Weinheim, pp 41–65. 5. Efferth, T., 2007. Antiplasmodial and antitumor activity of artemisinin-from bench to bedside. Planta Medica 73:299-309. 6. Ferreira, J.F.S., J.C. Laughlin, N. Delabays, P.M.d. Magalhaes, 2005. Cultivation and genetics of Artemisia annua for increased production of the anti-malarial artemisinin. Plant Gen Resourc 3:206–229.
338
Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014 ISBN : 978-979-98109-4-6
7. Glowacka, K., S. Jezowski, Z. Kazcmarek, 2009. Polyploidization of Miscanthus sinensis and Miscanthus x giganteus by plant colchicine treatment. Ind Crop Prod 30:444-446 8. Gusmaini dan H. Nurhayati, 2007. Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia. Perspektif Vol. 6 No. 2: Hal 57 - 67 9. Hafiizh, E.A., T.M. Ermayanti, D.E. Rantau, 2013. Induksi tanaman poliploid dari kecambah in vitro Artemisia annua L. dengan perlakuan kolkisin. Prosiding Seminar Nasional Kimia Terapan Indonesia 5: 117-123. 10. Jesus-Gonzalea, L.D., P.J. Weathers, 2003. Tetraploid Artemisia annua hairy roots produce more artemisinin than diploids. Plant Cell Rep 21: 809–813 11. Jong, K., 1997. Laboratory manual of plant cytological technique. Royal Botanic Garden: Edinbugh. 12. Jung, M., R.F. Schinazi, 1994. Synthesis and in vitro anti-human immunodeficiency virus activity of artemisinin (Qinghaousu) related trioxanes. Bioorg. Med. Chem. Lett. 4:931–934
13. Karp, A., 1991. Cytological techniques, plant cell cultures manual.Lindsay, K, C4: 1-13 14. Kindermans, J.M., J. Pilloy, P. Olliaro, M. Gomes, 2007. Ensuring sustained ACT production and reliable artemisinin supply. Malaria Journal 6:125–130. 15. Lema-Ruminska J, 2011. Flow cytometric analysis of somatic embryos, shoots, and calli of the cactus Copiapoa tenuissima Ritt. forma monstruosa. Plant Cell Tiss Organ Cult. 16. Murashige, T. and F. Skoog, 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue cultures. Physiologia Plantarum, 15 : 473-497. 17. Ochatt, S.J., E.M. Patat-Ochatt, A. Moessner, 2011. Ploidy level determination within the context of in vitro breeding. Plant Cell Tiss Organ Cult 104:329–341 18. Pansuksan, K., R. Sangthong, I. Nakamura, M. Mii, K. Supaibulwatana, 2014. Tetraploid induction of Mitracarpus hirtus L. by colchicine and its characterization including antibacterial activity. Plant Cell Tiss Organ Cult 117:381–391 19. Rego, M.M., E.R. Rego, C.H. Bruckner, F.L. Finger, W.C. Otoni, 2011. In vitro induction of autotetraploids from diploid yellow passion fruit mediated by colchicine and oryzalin. Plant Cell Tiss Organ Cult 107:451–453. 20. Snow, R.W., A. C.A. Guerra, A.M. Noor, H.Y. Myint, S.I. Hay, 2005. The global distribution of clinical episodes of Plasmodium falciparum malaria. Nature, 434(7030): 214-217. 21. Wallaart, T.E., N. Pras, W.J. Quax, 1999. Seasonal variations of artemisinin and its biosynthetic precursors in tetraploid Artemisia annua plants compared with the wild-type. Planta Med 65: 723– 728 22. WHO, 2009. World malaria report 2009. World Health Organization,Geneva
339
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
TEST OF POTENTIAL CELLULOLYTIC BACTERIAL INDIGENOUS SUGARCANE TRASH (Saccharum officinarum L.) ON CELLULOSE Evy Ratnasari Ekawati*, Ni’matuzahroh**, Tini Surtiningsih**, Agus Supriyanto** *)
AAK Malang E-mail :
[email protected] **) Lecturer Department of Biology, Faculty of Science and Technology Airlangga University Surabaya
ABSTRACT This study aims to determine index hydrolytic value six isolates of cellulolytic bacterial (CB) were exploration from sugarcane trash to potential cellulolytic bacterial. This researches was an experimental research to indicate the cellulase activity of the cellulolytic bacterial determined by clear zone around the colony and index hydrolytic value on CMC - congo red agar plate were measured. The research datas were analyzed descriptively. The results of this study to six isolates of cellulolytic bacterial (CB) exploration from sugarcane trash were showed there result of passable, with the index hydrolytic value was estimated 5.4 up to 10.0, respectively. The maximum of index hydrolytic value was 10.0 by bacterial isolates CB1 and CB6. Keywords : Cellulose, Cellulolytic bacterial (Saccharum officinarum L.)
indigenous,
Potential
Test,
Sugarcane
Trash
PENDAHULUAN Dalam budidaya tebu selain dihasilkan tebu dan gula, dihasilkan juga limbah padat organik yang kuantitasnya sangat besar. Salah satu kendala penanggulangan limbah padat ini adalah susunan limbah padat tebu terdiri atas selulosa dan lignin yang sulit untuk dirombak (Goenadi, 2006). Proses degradasi selulosa secara alami memerlukan bantuan mikroorganisme yang mengeluarkan enzim selulase (Pan et al., 2005). Selulosa merupakan rantai polisakarida yang mempunyai ikatan rantai β-1,4-glikosida. Produksi selulosa yang melimpah dapat digunakan sebagai bahan baku industri yang penting. Sayangnya, banyak limbah selulosa yang sering di bakar untuk mengurangi kuantitasnya. Sistem selulolitik dapat membantu menangani masalah limbah selulosa yang sudah merupakan masalah global saat ini (Gupta, 2011). Keberadaan bakteri selulolitik pada daduk tebu berfungsi sebagai pengurai bahan organik yang segera dirombak menjadi senyawa tertentu. Jenis bakteri selulolitik yang berperan dalam dekomposisi senyawa karbohidrat seperti Pseudomonas sp., Bacillus sp., Cytophaga sp., Sporocytophaga sp. dan Micrococcus sp. dikenal paling berperan dalam menguraian selulosa (Zobell, 1990; Rheinheimer, 1992; Martien, 2000). Proses dekomposisi selulosa di alam secara alami berlangsung lambat sehingga diperlukan bantuan, diantaranya dengan menggunakan bakteri selulolitik indigenous yang terdapat pada limbah daduk tersebut (Perez et al., 2002). Enzim selulase terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1,4-β-endoglukanase, 1,4-β-eksoglukanase dan β-glukosidase (selobiose). Endoglukanase bertanggung jawab dalam perombakan secara acak pada ikatan rantai selulosa β-1,4-glikosida. Eksoglukanase bertanggung jawab dalam perombakan
340
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
rantai selulosa akhir dan pemisahan fibril dasar dari ikatan selulosa. Hidrolisis β-1,4-glukosidase selobiosa menjadi glukosa (Shewale, 1982; Gupta, 2011). Hanya sinergisme dari tiga enzim tersebut yang mampu menghidrolisis selulosa menjadi glukosa atau kemungkinan mineralisasi menjadi H2O dan CO2 (Shamdu, 1992; Gupta, 2011). Penggunaan enzim selulase telah banyak diterapkan dalam berbagai proses industri,, salah satunya diterapkan untuk keperluan pertanian, seperti pembuatan kompos (Ekperigin, 2007; Vathanomsat, 2009; Gupta, 2011). Berdasarkan hal yang telah disebutkan di atas, perlu dilakukan uji potensial terhadap 6 isolat bakteri selulolitik indigenous limbah daduk yang telah dikarakterisasi, dimana nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bakteri pendegradasi limbah selulosa. Bakteri selulolitik tersebut selanjutnya digunakan dalam uji biodegradasi limbah daduk tebu. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 isolat bakteri selulolitik yang telah di karakterisasi dari limbah daduk tebu, media CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) Agar plate, congo red 0,1 %, media NA (Nutrient Agar), jangka sorong. Peremajaan isolat bakteri selulolitik Enam (6) Isolat murni diremajakan dengan cara diambil 1-3 koloni dari stok kultur pada NAS (Nutrient Agar Slant). Ditumbuhkan pada media NAS (Nutrient Agar Slant) baru dan diinkubasi pada 0 suhu 35 C selama 24 jam. Uji potensi bakteri selulolitik Isolat bakteri potensial selulolitik dipindahkan pada media CMC agar plate dengan cara ditutul pada 3 titik. Masing-masing cawan petri berisi 1 isolat. Pemberian tutulan pada media CMC agar plate 0 diupayakan sama. Inkubasi selama 4-7 hari dalam suhu 35 C. Setelah itu dilakukan pengujian ada tidaknya zona bening (clear zone) yang terbentuk pada media CMC agar. Pengamatan uji potensi selulolitik Pengujian zona bening (clear zone) dilakukan dengan menggunakan larutan congo red 0,1% sebagai larutan penguji dan NaCl 1% sebagai larutan pencuci. Sebanyak 2 ml larutan congo red 0,1% dituangkan ke dalam media yang berisi isolat, kemudian didiamkan selama 20-30 menit. Larutan dibuang dan dibilas dengan larutan NaCl 1%, kemudian diamati keberadaan zona bening (Clear zone). Diameter masing zona bening disekitar koloni bakteri diukur, kemudian di hitung nilai indeks hidrolisa dari masing-masing isolat. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Uji Potensi Selulolitik Uji potensi bakteri selulolitik dilakukan untuk mengetahui kemampuan selulolitik dari 6 isolat bakteri yang telah dikarakterisasi dari limbah daduk tebu yang dilakukan pada medium spesifik CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) sebagai media selektif untuk pertumbuhan bakteri selulolitik. Potensi bakteri sebagai dekomposer selulosa ditandai dengan terbentuknya zona bening (clear zone) disekitar koloni bakteri pada medium CMC Agar plate. Hasil uji potensi 6 isolat bakteri selulolitik indigenous limbah daduk tebu disajikan pada Tabel 1.
341
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
Gambar 1. Zona bening (clear zone) pada selulosa. Isolat BS2 pada medium CMC-congo red agar plate setelah inkubasi selama 7 hari. Terbentuknya zona bening (clear zone) di sekeliling koloni merupakan substansi yang dihasilkan dari enzim selulase ekstraseluler Tabel 1. Hasil uji potensi 6 isolat bakteri selulolitik indigenous limbah daduk tebu pada medium CMC-congo red agar plate umur 7 hari Diameter zona Kode isolat Indeks hidrolisa (cm) BS1
2,6
BS2
3,6
BS3
3,2
BS4
3,6
BS5
2,2
BS6
3,6
7,5 10,0 6,3 6,1 5,4 10,0
PEMBAHASAN Uji potensial yang dilakukan pada enam (6) isolat pada medium CMC-congo red agar plate yang diinkubasi secara arobik, didapatkan hasil terbentuknya zona bening (clear zone) (Tabel 1.). Diameter zona bening yang terbentuk sebesar 2,2 cm hingga 3,6 cm dengan kisaran indeks hidrolisa antara 5,4 hingga 10,0. Indeks hidrolisa maksimum sebesar 10,0 dicapai oleh isolat BS2 dan isolat BS6. Kisaran nilai indeks hidrolisa yang diperoleh hampir mirip dengan kisaran indeks hidrolisa yang pernah dilaporkan oleh Gupta et al (2012), dimana diameter zona bening selebar 5,0 cm dan indeks hidrolisa maksimum sebesar 9,8 dihasilkan oleh isolat bakteri CDB10 yang diisolasi dari siput. Hatami et al (2008) juga melaporkan kisaran nilai indeks hidrolisa antara 1,38 hingga 2,33 yang dihasilkan oleh isolat bakteri hasil isolasi dari lahan pertanian dan kisaran indeks hidrolisa sebesar 0,15 hingga 1,37 yang dihasilkan oleh isolat isolat bakteri hasil isolasi tanah hutan. Pemanfaatan selulosa oleh mikroorganisme mengindikasikan bahwa selulase dari mikroorganisme tersebut terletak dibagian luar sel. Selulase dihasilkan dari pemecahan beberapa komponen berbeda yang sulit dipisahkan. Lokasi selulase pada sebagian besar organisme mempengaruhi proses hidrolisis selulosa pada medium CMC-congo red agar plate (Lovine, 2006). Pemanfaatan selulosa oleh mikroba berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Bakteri pendegradasi selulosa secara aerobik memanfaatkan selulosa dengan menggunakan enzim selulase ekstraseluler (Rap, 1991). Bakteri pendegradasi selulosa secara anaerob mendegradasi selulosa melalui sistem selulase komplek (Schiwartz, 2001).
342
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa keenam isolat bakteri selulolitik indigenous limbah daduk tebu yang telah dikarakterisasi mempunyai potensi dalam mendegradasi selulosa dengan kisaran indeks hidrolisa sebesar 5,4 hingga 10,0. Indeks hidrolisa maksimum sebesar 10,0 dicapai oleh BS1 dan BS6. KEPUSTAKAAN 1. Ekperigin, M.M., 2007. Preliminary Studies of Cellulase Production by Acinetobacter anitratus and Branhamella sp. African Journal of Biotechnology. Vol.6. No.1. pp.28-33. 2. Goenadi Didiek Hadjar, Santi Laksmita Prima, 2006. Aplikasi Bioaktivator Super Dec dalam Pengomposan Limbah Padat Organik Tebu. Penelitian Bioteknologi Perkebunan. 3:173-180. 3. Gupta, P., Kalpara, S., and Avinash, S., 2011. Isolation of Cellulose Degrading Bacteria Determination of Their Cellulolytic potential. Int.J.Microbiol. Vol.2012. 4. Gupta, P., Samant, K., and Sahu, A., 2012. Isolation of Cellulose Degrading Bacteria and Determination of Their Cellulolytic Potential. Int.J.Microbiol. Vol.2012. p:5. 5. Hatami, S., Alikkhsani, H.A., Besharati, H., Salehrastin, N., Afroushes, M., and Jahromi, Z. Y., 2008. Investigation of Aerobic Cellulolytic Bacteria in Some of North Forest and Farming Soils. The American_Eurasian Journal of Agriculture and Environmental Sciense. Vol.5. pp : 713-716. 6. Lovine, C., Abazinge, M.., and Johnson, E., 2006. Location, Formation ang Biosynthetic Regulation of Cellulases in the Gliding Bacteria Cytophaga hutchinsonii. Int.J.Mol.Sci. ISSN 14220067. 7 : 1-11. 7. Martien Ronny, 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Selulolitik serta Kemampuannya dalam Memproduksi Enzim Selulase dengan Waktu Inkubasi yang Berbeda dari Hutan Mangrove Tegakan Rhizophora sp. di Desa Kemujan, Karimun Jawa. Skripsi Biologi. UNDIP. Semarang. 8. Pan, X., Xie, D., Gilkes, N.R., Greggg, D., Mabee, W., Pye, K., 2005. Biorefining of Softwood using Ethanol Organosolv Pulping Preliminary Evaluation of Process Streams for Manufacturer of Fuel-grade Ethanol and Co-products. Biotech Bioeng. 90:473-481. 9. Perez, J., Munoz-Dorado, J., Martinez, J., 2002. Biodegradation and Biologycal Treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin. Int. Microbiol. 5:53-63. 10. Rap, p. and Beerman, A., 1991. Bacterial Cellulases. p : 535-595. Marcel Dekker Inc. New York. th
11. Rheinheimer, 1992. Aquatic Microbiology. 4 Edition. John Wiley and Sons. Chishester. 12. Schwartz, W.H., 2001. The Cellulosome and Cellulose Degradation by Anaerobic Bacteria. Appl. Microbiol,Biotechnol. 56 : 634-649. 13. Shamdu, D.K and S. Bawa, 1992. Improvement of Cellulase Activity in Trichoderma. Applied Biochemistry and Biotechnology. Vol.34-35. No.1. pp:175-192. 14. Shewale, 1982. Glucosidase : its role in cellulase synthesis and hydrolysis of cellulose. Int Journal of Biochemistry. Vol. 14. pp : 435-443.
343
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
15. Vaithanomsat, P., S. Chuichulcherm and W. Apiwatanapiwat, 2009. Bioethanol Production from Enzymatically Saccharified Sunflower Stalks using Steam Explosion as Pretreatment. Proceedings of Worls Academy of Science, Engineering and Technology. Vol.37. pp. 140-143. 16. Zobell, C.E., 1990. Marine Microbiology. Bishen Singh Mahendra Pal Singh. Dehra Dun. India.
344
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
PROFIL PROTEIN SPERMATOZOA EPIDIDIMAL DAN TESTIKULAR MENCIT (Mus Musculus) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia Mangostana L.) Farida Ayu Rokhimaningrum*, Alfiah Hayati, Win Darmanto Universitas Airlangga, Mulyorejo 60115 Surabaya Jawa Timur *Email:
[email protected]
ABSTRACT Mangosteen (Garcinia mangostana L.) is well-known for its positive effect on human health, but there has been no further research about the effect of it on male reproduction. This study was designed to determine the effect of mangosteen pericarp extract with various doses and length of time administration toward protein profile of testicular and epididymal Mus musculus spermatozoa. This study using animal model of 28 male mice strain BALB/C, weight 20-25 gram which were divided into 7 groups; the control group was given 0,05 ml of 0.05 % CMC, P1, P2 and P3 group were given extract at various doses (75, 100 and 150 mg/kg body weight, respectively) for 7 days, while group P4, P5 and P6 were given extracts at dose (75, 100 and 150 mg/kg body weight, respectively) for 35 days. Proteins were isolated from testiscular and cauda epididymal spermatozoa then the concentration was measured and analyzed using SDS-PAGE electrophoresis. Data were analyzed descriptively by comparing the protein profile of control and the treatment group, both from testicular and epididymal spematozoa. The results showed that the 75 kDa protein testicular spermatozoa was only expressed at the control and 75 mg/kg dose at 7 days long treatment group, but at the other group it’s no longer expressed. Furthermore, protein 26 and 20 kDa were newly synthesized at 100 and 150 mg/kg for 35 days. Moreover, mangosteen peel extract at high doses and long-term cause no expression of several proteins; 80. 75, 60, 50, 20 kDa on epididymal spermatozoa. Keywords: epididymal spermatozoa, manggosteen, spermatozoan protein, testicular spermatozoa
PENDAHULUAN Saat ini Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Jumlah populasi berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencapai 237.556.363 (Badan Pusat Statistik, 2010). Jumlah ini mengalami peningkatan sejak pemerintah Hindia Belanda mengadakan sensus penduduk pada tahun 1930, penduduk nusantara adalah 60,7 juta jiwa hingga diperkirakan pada tahun 2013 mencapai 248,422,956 jiwa (Pusdatin, 2013). Oleh karena itu diperlukan adanya upaya pengendalian (kontrasepsi) dengan menyebabkan infertilitas pada individu betina maupun individu jantan. Infertilitas pada individu jantan pada umumnya disebabkan adanya gangguan pada saat pembentukan gamet jantan (spermatogenesis) dan perubahan biokimiawi (maturasi) pada spermatozoa saat meninggalkan testis menuju ke epididimis. Pada saat spermatogenesis, sintesis protein terjadi baik dalam tingkatan sel maupun pada tahap pembelahan sel. Proses yang terbentuk dapat mengalami perubahan-perubahan seiring dengan maturasi spermatozoa. Maturasi spermatozoa melibatkan perubahan morfologi dan biokimia (protein) pada membran spermatozoa sebagai respon dari sekresi epididimis berupa enzim, protein, glikoprotein yang merupakan proses esensial dari fertilisasi (Arrotéia et al., 2012). Selama proses spermatogenesis di testis dan maturasi spermatozoa di epididimis dapat terjadi apoptosis (kematian sel terprogram) yang disebabkan oleh kondisi fisiologi, paparan toksikan, gangguan hormon, dan lainlain (Weinbauer et al., 2010). Bahan toksik yang masuk pada sistem reproduksi jantan akan menimbulkan efek primer pada testis, yang efeknya berpotensi mengalir pada duktus efferen, epididimis dan spermatozoa (Hess, 1998). Membran spermatozoa tersusun dari protein yang sangat peka terhadap perubahan kondisi tersebut. Perubahan tersebut dapat memengaruhi fungsi utama
345
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
spermatozoa dalam fertilisasi. Protein yang berada di membran spermatozoa berperan sebagai antigen terutama kandungan glikoproteinnya. Keberhasilan fertilisasi spermatozoa diantaranya dipengaruhi oleh komposisi dan struktur protein, khususnya glikoprotein. Glikoprotein penyusun membran spermatozoa ini sangat peka terhadap bahan toksik (Hayati, 2007). Kulit buah manggis yang selama ini banyak terbuang, ternyata memiliki banyak khasiat, karena kandungan antioksidannya berupa senyawa xanthone dan turunannya. Senyawa turunan dari xanthone yaitu α-mangostin bersifat antiproliferasi terhadap sel kanker payudara (Moongkarndi et al., 2004) dan juga menginduksi apoptosis tehadap pertumbuhan leukemia cell line pada manusia dengan dosis 10 µM (Matsumoto et al., 2003). Garcinone E dilaporkan Ho et al. (2002) memiliki potensi efek sitotoksik terhadap semua hepatocellular carcinoma cell lines sebaik efek pada gastric dan lung cancer cell lines. Sejauh ini telah banyak dilakukan penelitian tentang manfaat senyawa xanthone dan turunannya yang ada di kulit buah manggis, namun belum ada penelitian yang menjelaskan apakah pemberian ekstrak kulit buah manggis pada dosis tinggi pada variasi lama waktu dapat berpengaruh terhadap protein spermatozoa, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak kulit buah manggis terhadap profil protein spermatozoa yang ada pada epididimis dan testis mencit. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian ini menggunakan 28 ekor mencit (Mus musculus) strain balb/c jantan dewasa usia 2-3 bulan dengan rata-rata berat badan 20-25 gram yang dikelompokkan secara acak menjadi 7 kelompok (1 kontrol dan 6 perlakuan). Kelompok kontrol diberikan larutan 0,05 % carboxymethyl cellulose (CMC) sebanyak 0,05 ml secara sub kutan. Kelompok perlakuan 1-3 (P1, P2, P3) diberi ekstrak kulit buah manggis pada dosis berturut-turut 75, 100 dan 150 mg/kg BB selama 7 hari, dan kelompok P4, P5 dan P6 diberi ekstrak kulit buah manggis pada dosis berturut-turut 75, 100 dan 150 mg/kg BB selama 35 hari. Pembuatan ekstrak etanol kulit buah manggis Kulit buah manggis yang sudah dikeringanginkan ditumbuk halus hingga menjadi serbuk. 1 kg serbuk dimaserasi menggunakan etanol 96% selama 24 jam dengan perbandingan 1:4 (1 gram serbuk : 4 ml etanol). Larutan disaring menggunakan kertas saring, dan filtrat yang didapatkan 0 dievaporasi dengan Rotary Vacum Evaporator pada suhu 40 C sampai menjadi ekstrak kasar (crude extract), kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -40⁰ C. Koleksi spermatozoa epididimis dan testis Spermatozoa mencit dikoleksi dengan cara epididimis dan testis dimasukkan ke dalam cawan berisi 2 ml larutan garam fisiologis kemudian dicacah halus dengan gunting bedah dan dibuat suspensi. Suspensi tersebut kemudian ditampung dalam microtube dan siap dianalisis. Isolasi protein spermatozoa epididimal dan testicular Suspensi spermatozoa disentrifus pada 3000 rpm selama 15 menit suhu 4° C untuk memisahkan spermatozoa dengan sel-sel lainnya seperti sel epithel, lemak, dan leukosit. Pelet dilakukan over night selama 24 jam. Setelah proses over night, pelet diresuspensi dalam keadaan hipo-osmotik dengan penambahan 10 µl buffer lisis, kemudian divortex selama 10 menit untuk homogenisasi. Homogenat ini disentrifus pada 6000 rpm selama 15 menit pada suhu 4°C untuk memisahkan protein dengan debris lainnya. Supernatan dipindah ke dalam microtube baru untuk disimpan pada suhu - 20⁰ C (Hayati dan Amin, 2013).
346
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
Pengukuran konsentrasi crude protein dengan metode Bradford Pengukuran konsentrasi crude protein dilakukan dengan metode Bradford protein assay menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis. Larutan blanko terdiri dari larutan Bradford 200 µl dan 800 µl akuades steril. Larutan sampel terdiri dari 10 µl suspensi sampel protein sampel, larutan Bradford 200 µl dan 790 µl akuades steril. Kadar protein masing-masing sampel dapat dihitung dengan memasukkan nilai asorbansi (OD) yang diukur pada panjang gelombang (λ = 595 nm) ke dalam persamaan regresi linear yang didapatkan dari grafik kurva standar protein. Keterangan:
x = konsentrasi protein y = nilai absorbansi (OD)
Elektroforesis Profil protein pada spermatozoa epididmal dan testikular dianalisis menggunakan teknik Sodium dodecyl sulphate-polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) berdasarkan berat molekul (Laemmli, 1970). Proses elektroforesis dilakukan dengan menggunakan konsentrasi separating gel 12,5% dan stacking gel 5%. 20 µl Sampel protein hasil isolasi ditambahkan 10 µl RSB (Reducing Sample Buffer) dipanaskan pada suhu 100⁰ C selama 2 menit, setelah itu didinginkan pada suhu kamar. Sampel yang telah didinginkan kemdian diinjeksikan sebanyak 25 µl ke dalam sumuran dan salah satu sumuran diinjeksikan marker protein. Running dilakukan pada tegangan 100 V, 48 mA selama 1-2 jam. Gel diwarnai dengan coomassie brilliant blue staining solution selama 2 jam lalu dicuci dengan larutan destaining solution sampai pita protein terlihat jelas. Pita protein didokumentasikan dan gel disimpan dalam larutan asam asetat 10%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak kulit buah manggis terhadap profil protein spermatozoa dapat dilihat dengan mengamati profil protein spermatozoa epididimal dan testikular. Profil protein dan pemisahan protein berdasarkan berat molekul (BM) telah diamati secara kualitatif dengan metode elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid (SDS-PAGE). Hasil elektroforesis berikut ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah manggis berpengaruh terhadap profil protein spermatozoa mencit (Gb. 1).
A
B
Gambar 1. Hasil isolasi protein spermatozoa (A) testikular, (B) epididimal mencit yang telah diberi perlakuan ekstrak kulit buah manggis dengan variasi dosis dan lama waktu perlakuan. Marker (M), kontroll (Ko) dan variasi perlakuan dosis dan lama waktu 75 mg/kg BB selama 7 hari (P1), 100 mg/kg BB selama 7 hari (P2), 150 mg/kg BB selama 7 hari (P3), 75 mg/kg BB selama 35 hari (P4), 100 mg/kg BB selama 35 hari (P5), 150 mg/kg BB selama 35 hari (P6). Hasil isolasi protein dengan metode elektroforesis SDS-PAGE terlihat pita protein tidak lurus (bengkok) dan smear. Hal ini terjadi kemungkinan pada saat pembuatan stacking gel proses homogenisasi kurang sempurna sehingga menyebabkan tingkat porositas gel kurang merata. Selain
347
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
itu, bengkok dan smear pita protein yang terbentuk juga bisa disebabkan oleh isolasi protein tidak murni, sehingga terdapat debris-debris baik dari lemak, karbohidrat dll. Terdapat beberapa hal yang memengaruhi keberhasilan analisa menggunakan metode elektroforesis SDS-PAGE sehingga pita protein tampak baik. Terbentuknya pita protein ditentukan dari kemurnian isolat, kebersihan isolat dan konsentrasi protein yang digunakan untuk uji elektroforesis (Pricilla, 2003). Tampak beberapa pita protein yang tebal dan tipis. Menurut Tung et al. (1995), perbedaan tebal tipisnya pita protein disebabkan oleh ekspresi suatu protein oleh gen penyandi protein. Selain itu juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah molekul-molekul protein yang bermigrasi (Cahyarini et al., 2004). Tabel 1. Berat molekul (BM) protein spermatozoa testikular dan epididimal Spermatozoa Testikular
Spermatozoa Epididimal
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
Berat Molekul Protein pada Variasi Perlakuan (kDa) Marker K0 P1 P2 P3 P4 P5 100 100 100 100 100 100 90 90 90 90 90 90 90 75 75 65 65 65 65 65 65 60 60 60 60 60 60 56 56 56 56 56 56 50 50 50 50 50 50 50 36 36 36 36 36 36 36 30 30 30 30 30 30 26 20 20 17 17 17 17 17 17 100 100 100 100 100 100 90 90 90 90 90 90 90 80 80 75 60 50 50 20 20
P6 100 90 65 60 56 50 36 30 26 20 17 100 90
Dari data BM pada tabel 1 menunjukkan bahwa protein yang spesifik pada spermatozoa testikular adalah protein BM 65, 56, 36, 30, 26 dan 17 kDa. Protein spermatozoa testikular pada kelompok kontrol dan pemberian dosis ekstrak kulit buah manggis 75 mg/kg BB selama 7 hari memiliki persamaan profil protein. Hal tersebut menunjukkan bahwa dosis 75 mg/kg BB dengan lama waktu perlakuan 7 hari tidak berpengaruh terhadap profil protein spermatozoa testikular. Protein BM 75 kDa tidak terekspresi pada perlakuan dosis 100, 150 mg/kg BB selama 7 hari. Dengan kata lain protein 75 kDa tersebut juga tidak terekspresi pada perlakuan dosis dan lama waktu lebih lama lagi yaitu dosis 75, 100, 150 mg/kg BB selama 35 hari. Tidak terekspresinya protein BM 75 kDa terjadi karena ekstrak kulit buah manggis pada dosis 100 mg/kg BB selama 7 hari telah memengaruhi profil protein spermatozoa mencit, sehingga protein yang seharusnya disintesis menjadi tidak disintesis lagi. Hilangnya protein BM 75 kDa ini kemungkinan akibat dari semakin tinggi dosis pemberian ekstrak kulit buah manggis akan menyebabkan akumulasi ROS yang tidak lagi dapat dinetralisasi oleh antioksidan spermatozoa sehingga menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Kadar ROS yang tinggi juga berpotensi menimbulkan efek toksik atau kerusakan membran spermatozoa, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas spermatozoa (Hayati, 2011). Peningkatan ROS akan menyerang polyunsaturated fatty acids (PUFA) sehingga menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid pada membran spermatozoa (Agarwal and Prabakaran, 2005). Peroksidasi lipid akan mengganggu struktur dan fungsi membran dengan cara mengacaukan struktur fosfolipid membran, merubah fluiditas membran dan meningkatkan aktivitas ekstra- atau intraseluler yang akhirnya mengubah struktur membran dan menginisiasi degradasi membran (Awda et al., 2009). Degradasi pada membran spermatozoa diduga menyebabkan terdegradasinya komponen dalam sel yang penting seperti protein, DNA, dan akhirnya terjadi kematian sel (Weecharangsan et al., 2006).
348
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
Hasil diatas sesuai dengan penelitian Hayati et al. (2014), dimana pada dosis pemberian ekstrak kulit buah manggis sebesar 100 mg/kg BB dapat menurunkan jumlah sel spermatogenik, kualitas spermatozoa (motilitas, morfologi, dan viabilitas) dan meningkatkan level malondialdehyde (MDA) pada mencit yang diberi 2-Methoxyethanol. Telah diketahui bahwa senyawa α-mangostin dan garcinone E pada ekstrak kulit buah manggis dapat bersifat sitotoksik, anti-proliferatif, dan mampu menginduksi terjadinya apoptosis (Moongkarndi et al., 2004; Ho et al., 2002). Diduga senyawa ini dapat meracuni sel spermatogenik yang menyebabkan kematian sel, sehingga tidak terjadi sintesis protein untuk pembentukan spermatozoa. Protein dengan BM 26 dan 20 kDa ditemukan spesifik hanya pada dosis 100 mg/kg BB dan 150 mg/kg BB selama 35 hari. Protein ini disintesis pada saat pemberian ekstrak kulit buah manggis dosis tinggi, sehingga diduga menyebabkan peningkatan ROS. DNA yang tersusun dari asam nukleat * sangat rentan terhadap kerusakan akibat ROS. Senyawa oksidan seperti radikal hidroksil (HO ) dapat menyebabkan hidroksilasi, pembukaan cincin, fragmentasi, transitory crosslinking protein-DNA, dan putusnya rantai yang mungkin mutagenik atau mematikan bagi sel, dan tentu menurunkan tingkat kesuburan (Awda et al., 2009). Pada konsentrasi tinggi, ROS dapat mengoksidasi nukleat asam, lipid, dan protein (Stadtman, 2004). Jika tidak diperbaiki, bentuk DNA dan RNA teroksidasi dapat menyebabkan kesalahan transkripsi/translasi, yang dapat menyebabkan sintesis protein abnormal yang lebih sensitif terhadap oksidasi oleh ROS (Stadtman, 2004). Ekspresi protein baru diduga disebabkan oleh adanya mutasi gen pengontrol ekspresi protein spermatozoa, sehingga menyebabkan terekspresinya protein 26 dan 20 kDa yang tidak ditemukan dalam kontrol. Sedangkan protein dengan BM 80 kDa spesifik hanya terekspresi pada kelompok kontrol dan dosis 75 mg/kg BB selama 7 hari. Hal ini berarti protein 80 kDa tersebut tidak mampu diekspresikan pada dosis lebih tinggi dan pemberian lebih lama. Di lain pihak, protein 75, 60, 50, dan 20 kDa hanya terekspresi pada kelompok kontrol. Hal tersebut dikarenakan pada dosis dan lama waktu tersebut diasumsikan telah memengaruhi profil protein spermatozoa epididimal sehingga protein tersebut tidak lagi muncul pada paparan dosis yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih lama lagi karena membran spermatozoa tersusun dari protein yang sangat peka terhadap bahan toksik. Berdasarkan penelitian dari Moongkarndi et al. (2004) ekstrak kulit buah manggis pada dosis tinggi dapat bersifat menjadi oksidan. Senyawa oksidan tersebut dimungkinkan dapat meningkatkan ROS pada sel spermatozoa sehingga sel mengalami stress oksidatif yang dapat memicu sel untuk melakukan mekanisme apoptosis. Hal ini menyebabkan berkurangnya sel spermatozoa (Huda, 2014). Sehingga konsekuensi dari peningkatan jenis konsentrasi oksidatif, beberapa makromolekul dapat mengalami modifikasi termasuk protein, RNA, DNA dan lipid (Katz and Orellana, 2012). Oksidasi pada protein menyebabkan kerusakan protein dan modifikasi protein serta asam amino. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya penghambatan enzim, denaturasi, dan degradasi protein (Hayati, 2011). Oksidasi dapat menyebabkan protein kehilangan fungsi dan struktur yang selanjutnya menyebabkan agregasi protein yang bersifat toksik terhadap sel. Kontrol dari peralatan translasi kadang-kadang dapat melindungi sel dengan cara menurunkan laju sintesis protein atau meningkatkan translasi dari protein spesifik yang akan melindungi sel, seperti chaperon dan protease. Namun, oksidasi pada peralatan translasi dapat juga meningkatkan laju kesalahan sehingga menyebabkan protein kurang stabil dan meningkatkan toksisitas dari stress oksidatif (Katz and Orellana, 2012).
349
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
Gambar 2. Grafik perbandingan jumlah protein yang terekspresi dari spermatozoa epididimal dan testikular mencit pada variasi dosis dan lama waktu perlakuan. Gb 2. Menunjukkan adanya pengurangan jumlah protein yang terekspresi pada spermatozoa secara keseluruhan mulai dari testis ke epididimis. Hal ini dapat diamati pada jumlah protein kelompok kontrol dan pemberian dosis ekstrak kulit buah manggis sebanyak 75, 100, 150 mg/kg BB selama 7 hari serta 75, 100, 150 mg/kg BB selama 35 hari. Hasil isolasi protein pada spermatozoa testikular berturut-turut sebanyak 10, 10, 9, 9, 9, 11 dan 11 jenis protein, sedangkan pada protein spermatozoa epididimal berturut-turut sebanyak 7, 3, 2, 2, 2, 2 dan 2 jenis protein.Pengurangan jumlah protein spermatozoa dari testis ke epididimis disebabkan oleh beberapa protein yang tidak terekspresi, serta terjadinya perubahan morfologi, biokimia, dan fisiologi dari spermatozoa pada saat mengalami maturasi di epididimis (Arrotéia et al., 2012). Selain itu pengurangan jumlah spermatozoa epididimal ini juga karena beberapa faktor diantaranya absorbsi epitel epididimis dan seleksi oleh sistem imunitas tubuh (Hayati, 2011). Banyaknya protein yang tidak terekspresi pada spermatozoa epididimal setelah pemberian ekstrak kulit buah manggis disebabkan karena ekstrak tersebut kemungkinan dapat meningkatkan kadar ROS yang masuk sistem reproduksi. Spermatozoa dibentuk di dalam tubulus seminiferus di testis. Pada tubulus seminiferus terdapat Blood Testis Barrier yang dikendalikan oleh tight junction yang dibentuk oleh dinding antar sel Sertoli, sehingga menghalangi substansi atau bahan toksik yang mengganggu atau menggagalkan proses spermatogenesis untuk masuk pada tubulus seminiferus (Hayati, 2011). Menurut Hess (1998), bahan toksik yang masuk pada sistem reproduksi jantan akan menimbulkan efek primer pada testis, yang efeknya berpotensi mengalir pada duktus efferen, epididimis dan spermatozoa. Pada epididimis tidak terdapat sel Sertoli seperti pada testis yang berperan sebagai Blood Testis Barrier sehingga sel spermatozoa tidak lagi terlindungi. Hal ini yang menyebabkan metabolit luar dapat langsung berhubungan dengan sel spermatozoa melalui pembuluh darah perifer (Weinbauer et al., 2010), sehingga spermatozoa epididimal lebih rentan terkena bahan toksik dan senyawa ROS yang terdapat pada ekstrak kulit buah manggis pada dosis tinggi. KESIMPULAN 1. Pemberian ekstrak kulit buah manggis berpengaruh terhadap profil protein pada spermatozoa testikular. Tampak bahwa protein dengan BM 75 kDa tidak terekspresi pada dosis tinggi dan lama waktu 35 hari. Pada perlakuan dosis 100 dan 150 mg/kg BB selama 35 hari memunculkan protein baru yaitu protein dengan BM 26 dan 20 kDa. 2. Pemberian ekstrak kulit buah manggis pada spermatozoa epididimal menyebabkan tidak terekspresinya beberapa protein yaitu protein dengan BM: 80. 75, 60, 50, 20 kDa.
350
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
3. Terdapat perbedaan antara profil protein spermatozoa epididimal dan testikular setelah pemberian ekstrak kulit buah manggis pada variasi dosis dan lama waktu perlakuan. Jumlah protein spermatozoa testikular 11 protein, sedangkan pada spermatozoa epididimal terdapat 7 protein. DAFTAR PUSTAKA 1. Agarwal, A. and S.A. Prabakaran, 2005, Mechanism, Measurement, and Prevention of Oxidative Stress in Male Reproductive Physiology, Indian Journal of Experimental Biology, 43: 963-974 2. Arrotéia, K.F., P.V. Garcia, M.F. Barbieri, M.L. Justino, L.A.V. Pereira, 2012, The Epididymis: Embryology, Structure, Function and Its Role in Fertilization and Infertility, Embryology - Updates and Highlights on Classic Topics, Prof. Luis Violin Pereira (Ed) 3. Awda, B. J., M. Mackenzie-Bell, M.M. Buhr, 2009, Reactive Oxygen Species and Boar Sperm Function, Journal Biology of Reproduction, 81: 553-561 4. Badan Pusat Statistik, 2010, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi, Badan Pusat Statistik, Jakarta 5. Cahyarini, R.D., A. Yunus, E. Purwanto, 2004, Identifikasi Keragaman Genetik Beberapa Varietas Lokal Kedelai di Jawa Berdasarkan Analisis Isozim, Journal of Agrosains 6(2): 79-85 6. Hayati, A. dan M.H.F Amin, 2013, Diktat Asistensi dan Petunjuk Praktikum Reproduksi Hewan, Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya 7. Hayati, A., 2007, Kajian Kualitas dan Protein Membran Spermatozoa Tikus (Rattus norvegicus) Akibat Pemaparan 2-Methoxyethanol, Disertasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 8. Hayati, A., L.N.A. Karolina, N.D. Subani, R. Yudiwati, 2014, The Potential of Garcinia mangostana Pericarp Extract on Spermatogenesis and Sperm Quality of Mice (Mus musculus) After 2Methoxyethanol Exposure, Journal of Applied Environmental and Biological Science. 4(4): 47-51 9. Hess, R.A., 1998, Effects of Enviromental Toxicants on the Efferent Ducts, Epididymis and Fertility, Journal of Reproduction and Fertility Supplement, 53: 247-259 10. Ho, C-K, Y-L Huang, C-C Chen, 2002, Garcinone E, A Xanthone Derivative, Has Potent Cytotoxic Effect Against the Hepatocellular Carcinoma Cell Lines, Journal of Planta Medica, 68: 975-979 11. Huda, Syamsul, 2014, Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Terhadap Konsentrasi, Viabilitas dan Integritas Membran Spermatozoa Mencit (Mus Musculus). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya 12. Katz, A. and Orellana, O., 2012, Protein Synthesis and the Stress Response, Santiago, University of Chile 13. Laemmli, U.K., 1970, Cleavage of Structural Protein During the Assembly of the Head of Bacteriophage T4, Journal of Nature, 227: 680-685 14. Matsumoto, K., Y. Akao, E. Kobayashi, K. Oguchi, T. Ito, T. Tanaka, M. Iinuma, Y. Nozawa, 2003, Induction of Apoptosis by Xanthones from Mangosteen in Human Leukemia Cell Lines, Journal of Natural Products, 66 (8): 1124-1127 15. Moongkarndi, P., N. Kosem, S. Kaslungka, O. Luanratana, N. Pongpan, N. Neungton, 2004, Antiproliferation, Antioxidation and Induction of Apoptosis by Garcinia Mangostana (Mangosteen) on SKBR3 Human Breast Cancer Cell Line, Journal of Ethnopharmacol, 90(1): 161-166
351
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
16. Pricilla, M.A., 2003, Profil Protein Antigen Larva Stadium Kedua (L2) Cacing Toxocara vitulorum, Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya. 17. Pusat Data dan Informasi, 2013, Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Indonesia, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 18. Stadtman, E.R., 2004, Role of Oxidant Species in Aging, Journal Current Medicinal Chemistry, 2004, 11:1105-1112 19. Tung, Y.C., S.F. Chang, Y.C. Ko, H.Y. Chen, K.H. Lin, 1995, Comparison of the Genetic Variation in Type I Dengue Virus Isolates in Taiwan, 1987-1992. The Kaohsiung Journal of Medicinal Sciences, 11: 243-249 20. Weecharangsan, W., P. Opanasopit, M. Sukma, T. Ngawhirunpat, U. Sotanaphun, P. Siripong, 2006, Antioxidative and Neuroprotective Activities of Extracts from the Fruit Hull of Mangosteen (Garcinia mangostana Linn.), Journal of Medical Principles and Practice, 15(4): 281-287 21. Weinbauer, G.F., C.M. Luetjens, M. Simoni and E. Nieschlag, 2010, Physiology of Testicular Function, Journal of Andrology, 17: 11-59, Springer-Verlag Berlin Heidelberg
352
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
353