Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 5A (147–151), 2011
DUA DASAWARSA KOLEKSI PISANG (MUSACEAE) KEBUN RAYA PURWODADI (1990–2010) Lia Hapsari UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI, Jl. Surabaya-Malang Km. 65, Tlp./Fax.: 0341-426046 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT In 90’s Purwodadi Botanic Garden was the leading botanic garden of its Musaceae collection in South East Asia. The collection reached over 166 numbers, including species, varieties and/or cultivated varieties (mostly cultivated varieties) which were collected through explorations, plants exchanging, grants, community or personal contribution, etc. The aim of this research was to review and evaluate the collection’s performance, its potential future benefits and its conservation strategy. Study through catalogues records and actual field inspections have been conducted on February to March 2010. The results showed that first collection was recorded in 1976 comprising Musa sp. and Heliconia sp. located on Vak VII and Vak XI.D. Since 80’s, due to total field re-arrangement collections, they were moved to Vak XXIV.A.B.D.E, consisting of Musa spp. only, Heliconia spp. was confirmed to be included in its own family Heliconiaceae. In 2010, it has been recorded indeed there are only 119 numbers left on the field. Through years, it has been added but unfortunately some numbers lost due to climate intolerance, pest and diseases outbreaking, ineffective cultivation practices, etc. Further conservation efforts; an effective monitoring and cultivation management strategy are required to keep this Musaceae germplasms continuously conserved and preserved for future. Key words: collection, conservation, Musaceae, Purwodadi Botanic Garden
PENGANTAR Asia-Pasifik, termasuk Indonesia merupakan daerah pusat asal usul dan pusat keanekaragaman tanaman pisang; pisang liar dan pisang budi daya. Para ahli taksonomi memperkirakan terdapat setidaknya 1000 kultivar pisang yang tersebar pantropically. Pisang yang dikenal pada saat ini merupakan hasil domestikasi dan seleksi yang dilakukan selama ribuan tahun, terfiksasi secara genetika dan bersifat tetap oleh cara perbanyakan vegetatif. Semua ini berevolusi bersama-sama pada habitat yang sama membentuk keanekaragaman yang tinggi (INIBAP, 2002). Kebun Raya Purwodadi yang kemudian dikenal dengan nama Hortus Iklim Kering Purwodadi, merupakan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melakukan kegiatan konservasi, penelitian dan pendidikan flora dataran rendah beriklim relatif kering. Kebun dengan luas areal 845.148 m2 pada ketinggian 300 m di atas permukaan laut ini, telah mengoleksi berbagai jenis tumbuhan dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Hingga Mei 2010, tercatat 174 suku, 909 marga, 1902 jenis, 1550 belum teridentifikasi pada tingkat jenis, 129 belum teridentifikasi di tingkat suku dan 2 belum teridentifikasi di tingkat genus, dengan total spesimen sebanyak 10.939 (Anonim, 2010). Di samping lingkungan koleksi kebun, terdapat juga lingkungan khusus (tematik) untuk pembibitan, anggrek, tumbuhan obat, paku-pakuan dan koleksi pisang.
Pada tahun 90-an, Kebun Raya Purwodadi pernah dikenal sebagai kebun raya se-Asia Tenggara, yang terdepan akan koleksi pisangnya, yang terdiri dari baik pisang jenis liar dan pisang kultivar. Dua dasawarsa (20 tahun) sudah terlampaui dan keberadaan koleksi pisang di Kebun Raya Purwodadi harus tetap terus dijaga kelestariannya. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha konservasi yang meliputi kegiatan inspeksi dan monitoring berkala serta manajemen strategi budidaya yang tepat. Koleksi pisang di Kebun Raya Purwodadi, merupakan sumber plasma nutfah yang sangat penting, yang perlu digali potensi dan manfaatnya sebagai sumber bahan pangan krusial yang mampu mendukung ketahanan pangan dan hubungannya dengan usaha peningkatan kualitas kultivar-kultivar pisang di masa depan. BAHAN DAN CARA KERJA Pengumpulan data primer dilakukan melalui kegiatan inventarisasi dan inspeksi langsung ke kebun koleksi pisang Kebun Raya Purwodadi-LIPI, Pasuruan yang berlokasi di lingkungan VI, Vak A, B, D dan E pada bulan Februari hingga Maret 2010. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran rekam jejak koleksi dari buku katalog, buku kebun dan buku penerimaan tanaman di Sub Bagian Data dan Registrasi Tanaman Koleksi, serta melalui wawancara langsung kepada kolektor pisang terkait dan pengamat lingkungan setempat.
148
Dua Dasawarsa Koleksi Pisang (Musaceae)
HASIL
PEMBAHASAN
Hasil analisis terhadap data hasil inspeksi langsung dari kebun dan penelusuran data koleksi pisang di Kebun Raya Purwodadi dari tahun ke tahun yang terekam ditampilkan dalam tabel dan gambar berikut ini.
Dari data hasil rekam jejak diketahui bahwa Kebun Raya Purwodadi pertama kali mengoleksi tanaman dari suku Musaceae pada tahun 1976, yang pada waktu itu terdiri dari Musa sp. dan Heliconia sp., masing-masing hanya terdiri dari 1 aksesi, terletak di vak VII dan vak XI.D. Pada tahun 1980, dilakukan perubahan tata letak dan peta lokasi tanaman koleksi, dimana sebagian tanaman koleksi ditata kembali berdasarkan sistem klasifikasi Engler dan Pranti, menurut kelompok suku dan marga, termasuk diantaranya koleksi pisang yang kemudian dipindahkan ke lingkungan VI, Vak XXIV A,B,D dan E. Di lokasi baru ini, koleksi pisang hanya terdiri dari Musa spp., Heliconia spp. untuk selanjutnya dikelompokkan ke dalam suku tersendiri yaitu Heliconiaceae yang berlokasi di vak V.D.II. Koleksi Pisang Kebun Raya Purwodadi 1990–2010
Gambar 1. Dinamika aksesi hilang, bertambah dan bertahan, koleksi pisang Kebun Raya Purwodadi (1990–2010)
Gambar 2. Daerah asal aksesi, koleksi pisang Kebun Raya Purwodadi (2010)
Pada tahun 90-an koleksi pisang Kebun Raya Purwodadi mencapai lebih dari 166 aksesi yang terdiri dari pisang jenis liar dan pisang kultivar dari jenis M. paradisiaca L. (Tabel 1). Diantara jenis pisang liar yang pernah dikoleksi dan dibanggakan di Kebun Raya Purwodadi adalah Pisang Tongkat Langit (M. troglodytarum L.) yang berasal dari Maluku dengan keistimewaan buah pisangnya agak besar dan panjang, bersegi dengan ujung membulat, panjang 7–15 cm, berperilaku tandan buah tegak menjulang ke langit, panjang 70–120 cm. Tidak seperti pisang kultivar yang biasa dikonsumsi dan dimanfaatkan secara luas, pisang liar tidak banyak dimanfaatkan secara ekonomis karena berbiji banyak dan rasanya yang kurang enak dimakan. Namun, peranan koleksi pisang jenis liar yang terpenting adalah sebagai sumber plasma nutfah untuk meningkatkan kualitas pisang di masa depan. Jika kualitas kultivar-kultivar yang ada ingin ditingkatkan maka pisang-pisang liar tersebut perlu dikoleksi, diinventarisasi, dikarakterisasi, dan dievaluasi potensinya, melalui persilangan atau kegiatan pemuliaan lainnya (Rusdy dan Yamada, 2001).
Tabel 1. Dinamika jumlah aksesi dan kultivar per jenis, koleksi pisang Kebun Raya Purwodadi (1990–2010) Spesies M. accuminata Colla M. balbisiana Colla M. borneensis Becc. M. ornata Roxb. M. troglodytarum L. M. Paradisiaca L. M. spp. (indet.) Total
1990 Aksesi 8 2 0 1 0 100 0 111
1999 Kultivar 3 1 0 1 0 93 0 98
Aksesi 8 2 0 1 1 153 1 166
2007 Kultivar 3 1 0 1 1 130 1 137
Aksesi 8 2 0 0 0 128 1 139
2010 Kultivar 3 1 0 0 0 112 1 117
Aksesi 7 2 1 0 0 105 4 119
Kultivar 3 1 1 0 0 96 4 105
Lia Hapsari
Pisang liar; Musa acuminata Colla dan Musa balbisiana Colla diyakini merupakan nenek moyang pisang budidaya yang memberikan kontribusi dengan yang disebut genom “A” dan genom “B”. Selain diploid, pisang-pisang yang dikonsumsi umumnya memiliki kromosom triploid, sedangkan hasil persilangan ada pula yang tetraploid. Sifat poliploidinya ada yang autoploid (AAA), ada pula yang alloploid (AAB dan ABB) (Simmonds, 1959). Dalam perjalanan evolusinya, sifat liar yang dicirikan dengan fertilitas bunga yang tinggi dan mampu membentuk biji, lama kelamaan mengalami perubahan dan selanjutnya tanaman kehilangan sebagian bahkan seluruh sifat ini, sehingga hampir semua klon-klon pisang budidaya steril dan tidak berbiji. Kekayaan poliploidi, karakteristik evolusi genom, dan sistem pewarisan genetik yang tidak biasa serta berbagai keunikan keragaman genetik yang lain, menjadikan pisang sebagai model dan materi yang sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Hal ini memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi peran-perannya pada fungsi-fungsi metabolik dasar dan produktivitas, berkaitan dengan program pemuliaannya (Megia, 2005). Beberapa jenis pisang liar diketahui resisten terhadap penyakit Panama, Fusarium oxysporium f. cubense, yang telah merusak banyak perkebunan-perkebunan pisang di dunia. Persilangan pisang-pisang liar tersebut dengan kultivar yang ada menghasilkan kultivar-kultivar tetraploid baru yang diketahui resisten terhadap penyakit Panama. Selain itu terdapat hibrid yang lain, tidak hanya resisten terhadap jamur layu tetapi juga resisten terhadap cacing penggerek (Radopholus similis) dan Sigatoka (Mycosphaerella musicola) (Rusdy dan Yamada, 2001). Ledakan berbagai penyakit yang menurunkan produktivitas secara drastis telah memacu penelitian ke arah perolehan klon-klon resisten. Program pemuliaan demikian memerlukan mobilisasi potensi genetika yang besar dan beragam untuk menyatukan semua sumber resistensi yang ada. Untuk itu diperlukan evaluasi menyeluruh pada seluruh sumber plasma nutfah yang ada serta pengetahuan yang lebih mendalam tentang keanekaragaman dan evolusi spesies dan sub spesies pada genus Musa (Megia, 2005). Selama 20 tahun pertanaman koleksi pisang di Kebun Raya Purwodadi terjadi kehilangan dan penambahan aksesi (Gambar 1). Dalam kurun waktu 10 tahun pertama pada tahun 2000, jumlah aksesi koleksi pisang Kebun Raya Purwodadi mengalami kenaikan, yang merupakan masa kejayaan koleksi pisang Kebun Raya Purwordadi, dimana hanya terdapat sedikit nomor aksesi yang hilang dan terdapat banyak penambahan nomor aksesi mencapai 58 nomor aksesi. Pada kurun waktu 10 tahun kedua jumlah koleksi mengalami penurunan, pada inspeksi terakhir bulan Maret 2010 tersisa 119 nomor aksesi. Terdapat kecenderungan
149
bahwa jumlah nomor aksesi pisang mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Dari hasil inventarisasi ini diketahui terdapat 70 aksesi yang masih bertahan selama 20 tahun sejak ditanam pertama kali (1990–2010). Selama kurun tahun pertanaman koleksi ini, beberapa aksesi yang hilang telah digantikan dengan aksesi yang baru baik dari pisang jenis liar maupun kultivar yang sama atau berlainan sehingga menambah dinamika koleksi pisang yang dikonservasi oleh Kebun Raya Purwodadi. Beberapa kultivar pisang koleksi Kebun Raya Purwodadi yang masih bertahan antara lain Pisang Ambon Hong, Bawean, Berlin, Billa, Byok, Emas, Gember, Gembrot, Jambe, Jaran, Kayu, Kreas, Nona, Rayap, Rejang, Rojo Bandung, Rojo Gintung, Rojo Kenongo, Rojo Ketan, Rojo Marto, Rojo Prentel, Santen, Seribu, Sobo Londo, Songgroito, Susu gabug, Sukun, Tlekung, Triolin, dan Willems. Pisangpisang kultivar koleksi tersebut diantaranya merupakan pisang kultivar lokal daerah setempat yang tidak dijumpai di daerah yang lain. Koleksi pisang ini dapat menjadi kebun pertahanan kultivar pisang Indonesia, banyak pisang kultivar lokal yang di daerah asalnya justru sudah punah karena kecenderungan budidaya masyarakat untuk menanam varietas tertentu saja yang lebih disukai dan lebih dihargai secara ekonomi di pasaran. Penambahan koleksi pisang di Kebun Raya Purwodadi diperoleh dari kegiatan tukar menukar spesimen, sumbangan dari instansi, masyarakat atau pribadi dan eksplorasi ke daerah-daerah, hutan-hutan dataran rendah di Indonesia, terutama dari wilayah Indonesia Timur (Gambar 2). Sebagian besar koleksi pisang berasal dari daerah Jawa Timur sebanyak 55% dari total koleksi, terutama berasal dari beberapa wilayah di sekitar kabupaten Pasuruan sebanyak 30 nomor aksesi. Keanekaragaman kultivar pisang Jawa Timur yang cukup tinggi ini, merupakan peluang untuk dilakukan inventarisasi, karakterisasi, dan evaluasi masing-masing potensi keunggulan buah, pemanfaatan dan produksinya, yang kemudian dapat menjadi bahan studi pengembangan tanaman pisang yang berpotensi sebagai ikon buah lokal unggulan Jawa Timur. Kendala dan Upaya Konservasi Koleksi pisang Kebun Raya Purwodadi menempati areal yang sama dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun. Gangguan berbagai faktor baik biotik maupun abiotik dalam kurun waktu yang demikian panjang, telah menimbulkan perjangkitan (outbreak) hama dan penyakit pada kebun koleksi pisang. Pertanaman menjadi lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit, yang disebabkan baik oleh serangga, cendawan, bakteri maupun virus. Untuk mencegah dan mengatasi terjadinya serangan hama dan penyakit tersebut, kebun koleksi pisang perlu dikontrol
150
Dua Dasawarsa Koleksi Pisang (Musaceae)
secara berkala, cermat dan teliti agar sejak dini sudah diketahui bila ada hama atau penyakit yang menyerang pertanaman. Rehabilitasi dan konservasi lahan pertanaman secara menyeluruh melalui kegiatan pemeliharaan dan cara-cara budidaya yang benar perlu diperhatikan untuk mempertahankan keberlangsungan pertanaman koleksi. Hama, Penyakit, dan Pengendaliannya Selama kurun waktu pertanaman koleksi, serangan hama dirasa tidak terlalu mengganggu secara signifikan. Ulat penggulung daun pisang (Erionota thrax), merupakan hama yang sering dijumpai menyerang pertanaman koleksi pisang. Kupu-kupu betina yang sudah dewasa menempelkan telurnya pada tepi daun bagian bawah. Telur yang menetas menjadi ulat langsung memakan daun di bagian tepi. Selanjutnya daun menggulung ke arah tulang daun sehingga daun-daun kelihatan terpotong dan tergulung (Simmonds, 1959). Hama belalang juga pernah dilaporkan menyerang pertanaman koleksi. Penyakit layu yang disebabkan oleh infeksi bakteri Pseudomonas solanacearum dan infeksi cendawan Fusarium oxysporium f. cubense, serta penyakit kerdil (Banana Bunchy Top Virus/BBTV) yang diakibatkan oleh virus, merupakan jenis penyakit yang sering ditemui menyerang pertanaman koleksi. Penyakit layu bakteri dan layu fusarium menunjukkan gejala luar yang mirip. Keduanya dapat dibedakan dengan melihat gejala awalnya dan dengan melihat gejala dalamnya. Tanaman muda yang terserang penyakit ini pertumbuhannya akan merana dan mati. Sedangkan tanaman pisang dewasa yang sudah berbuah dan terserang penyakit ini akan segera mati sehingga buahnya tidak dapat dipanen (Simmonds, 1959). Penyakit kerdil (BBTV) menyerang tanaman pisang pada berbagai tingkatan umur. Namun, penyakit ini lebih banyak menyerang tanaman pisang yang masih muda, daun menguning, mengecil, mengering, dan tanaman tumbuh tegak seperti kipas. Tanaman pisang yang telah terserang penyakit ini tidak dapat berproduksi sama sekali karena pertumbuhan tanaman terhambat dan tidak dapat disembuhkan karena belum ada obat yang efektif untuk membunuh virus (Simmonds, 1959; CTAHR, 1997). Usaha mengendalikan dan mengobati tanaman yang telah terinfeksi hama dan penyakit, dilakukan dengan cara mekanis, kimia dan biologi. Pengendalian secara mekanis, yaitu dengan langsung membunuh hewan yang menjadi hama atau dengan eradikasi atau pencabutan tanaman, pemangkasan bagian tanaman yang telah terinfeksi. Pengendalian secara kimia, dengan menggunakan pestisida, namun penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit pada kebun koleksi di kebun raya sangat dihindari, atas dasar prinsip konservasi. Pengendalian secara biologi,
dilakukan dengan menggunakan organisme lain yang merupakan musuh alaminya (CTAHR, 1997; Constantinides dan McHugh, 2003). Di Kebun Raya Purwodadi, beberapa kali telah dilakukan pengendalian penyakit secara biologi dengan menggunakan cendawan antagonis Gliocladium sp. untuk mengendalikan perkembangan cendawan Fusarium oxysporium f. cubense, penyebab penyakit layu. Penggunaan Pseudomonas fluorescens dan Gliocladium sp. yang diaplikasikan dengan cara penyiraman pada tanah di sekitar bibit tanaman pisang dapat menekan perkembangan penyakit layu fusarium di lapang, dengan intensitas pengaplikasian beberapa kali untuk hasil yang lebih baik (Djatnika dkk, 2003). Rehabilitasi dan Konservasi Lahan Lahan yang digunakan untuk pertanaman secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama akan mengalami kejenuhan, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk merehabilitasi dan mengkonservasi lahan. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melalui pemupukan. Pemupukan, melalui penambahan bahan organik, selain diperlukan untuk proses fisiologis dan morfologis tanaman, juga berfungsi untuk mengkonservasi tanah, meningkatkan dan mempertahankan kesuburan, tekstur dan sifat fisik tanah, meningkatkan populasi jasad renik dalam tanah, mengembalikan keseimbangan, mengganti dan menambah unsur-unsur hara yang telah hilang. Di samping itu juga harus diperhatikan, kegiatan pemeliharaan rutin berupa praktek-praktek budidaya pada umumnya antara lain menjaga sanitasi, pembuatan rorak dan pemangkasan. Iklim di Purwodadi yang relatif kering, dengan bulanbulan kering tanpa hujan sama sekali yang dapat berlangsung 4–6 bulan pada musim kemarau, membutuhkan pengelolaan sistem pengairan dan sistem drainase yang baik. Sistem pengairan yang baik berpengaruh terhadap pertumbuhan dan daya tahan tanaman serta mencegah perkembangan bibit penyakit. Pada kondisi penguapan yang tinggi di musim kemarau, pemanfaatan serasah sebagai mulsa, membuat saluran dan guludan dapat membantu untuk mengkonservasi lahan (Pratiwi, 2006). Konservasi ex situ merupakan bentuk konservasi yang paling umum di kebun raya. Peranan konservasi ex situ harus dilihat sebagai sarana menuju suatu tujuan akhir, tetapi bukan merupakan tujuan akhir itu sendiri, yaitu sebagai sumber materi untuk reintroduksi ke habitat yang rusak dan memperluas (menjaga) keberadaan suatu populasi, sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem, sebagai tempat penelitian dan pendidikan, sebagai tempat seleksi material untuk diintroduksi ke nurseri, pertanian, pertamanan, kehutanan dan sebagainya. Agar pelaksanaannya efektif, konservasi ex situ harus merupakan komitmen jangka panjang yang
Lia Hapsari
memerlukan program pemantauan dan investasi yang terus menerus. Selain itu harus dilakukan dengan dukungan penuh dari pemerintah dan melibatkan lembaga-lembaga terkait lainnya (Mursidawati dkk, 1998). KEPUSTAKAAN Anonim, 2010. Laporan Bulanan UPT BKT Kebun Raya Purwodadi. UPT BKT Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan. Djatnika I, Hermanto C, dan Eliza, 2003. Pengendalian Hayati Layu Fusarium pada Tanaman Pisang dengan Pseudomonas fluorescens dan Gliocadium sp.. Jurnal Hortikultura, 13(3): 205–211. Constantinides LN dan McHugh JJ, 2003. ���������������� Pest Management Strategic Plan for Banana Production in Hawaii. Workshop Summary. University of Hawaii, Honolulu, 3 of March 2003, 1–71.
151
CTAHR College of Tropical Agriculture and Human Resources, 1997. Banana Bunchy Top Virus. Plant Disease 12. INIBAP International Network for the Improvement of Banana and Plaintain, 2002. A Strategy for the Global Musa Genomics Consortium. Report of a meeting held in Arlington, USA. 17–20 Jul 2001. 1–43. Megia R, 2005. Musa as genomic model. Hayati, 12(4): 167–170. Mursidawati S, 1998. Strategi Konservasi Kebun Raya. Kebun Raya Bogor, Bogor. Pratiwi, 2006. Konservasi Tanah dan Air: Pemanfaatan Limbah Hutan dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang. 20 September 2006. Rusdy EN dan Yamada I, 2001. Pisang-pisang Liar di Indonesia. Puslitbang Biologi LIPI. Simmonds NW, 1959. Bananas. Longman Inc, New York.