KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI BERBAGAI TIPE HABITAT: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi
BOBY DARMAWAN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI BERBAGAI TIPE HABITAT: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi
BOBY DARMAWAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
3
RINGKASAN BOBY DARMAWAN. E34103018. “Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi”. Dosen Pembimbing: (1) MIRZA D. KUSRINI dan (2) AGUS P. KARTONO Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Penelitian mengenai amfibi di Indonesia masih sangat terbatas. Pulau Sumatera sebagai salah satu pulau besar, belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi terutama di areal Eks-HPH. Masyarakat sekitar hutan masuk dan merubah wilayah tersebut menjadi kebun karet dan kebun sawit. Perubahan kondisi habitat dan aktivitas manusia seperti itu akan berpengaruh terhadap keanekaragaman amfibi yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui keanekaragaman jenis amfibi di Eks-HPH PT RKI, (2) Membandingkan keanekaragam jenis berdasarkan tipe habitat. Penelitian dilakukan pada lima tipe habitat yang berbeda, terdiri dari: hutan primer, hutan sekunder, kebun karet, kebun sawit, dan areal bekas tebangan di Blok Kemarau dan Blok Pelepat Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Metode yang digunakan dalam pengambilan data amfibi adalah Visual Encounter Survey pada habitat terestrial dan akuatik. Analisis data dilakukan secara deskriptif serta statistik untuk menghitung kekayaan jenis, keanekaragaman jenis (H’), kemerataan jenis (E), frekuensi jenis, dan kesamaan jenis dalam program Minitab 13. Di Eks-HPH PT RKI ditemukan sebanyak 37 jenis amfibi dari 5 famili: Bufonidae (5 jenis), Megophrydae (3 jenis), Microhylidae (3 jenis), Ranidae (15 jenis), dan Rhacophoridae (11 jenis), termasuk 4 jenis ditemukan di luar plot pengamatan. Terdapat tiga jenis katak yang belum teridentifikasi, yaitu Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2, dan Rhacophorus sp.3. Keanekaragaman tertinggi terdapat di hutan sekunder (21 jenis) dan yang terendah terdapat di hutan primer (9 jenis). Nilai H’ tertinggi terdapat pada tipe habitat hutan sekunder (2,18), sedangkan terendah pada tipe habitat kebun sawit (1,44). Nilai E tertinggi diantara lima tipe habitat ini adalah hutan primer (E= 0,97) dan yang paling rendah adalah kebun sawit (E= 0,54). Karakteristik fisik seperti suhu udara, suhu air, dan kelembaban udara relatif di lokasi penelitian menunjukkan nilai yang sesuai bagi kehidupan amfibi secara umum. Suhu air berkisar antara 20° sampai 25,5°C dan suhu udara berkisar 20° sampai 32°C sedangkan kelembaban udara relatif berkisar 36% sampai 83% dengan pH 7 (netral) di semua lokasi. Selama penelitian ditemukan 5 jenis amfibi yang cacat. Kecacatan yang di temukan antara lain anophthalmy (salah satu matanya tidak ada), hemimelia (bagian ujung kakinya tidak ada), limb hyperextension (jari kaki membengkok), polydactyly (jari kaki tambahan), dan syndactyly ( jari kaki merapat). Persentase keseluruhan dari jenis amfibi yang mengalami kecacatan adalah 1,15% namun masih dianggap normal. Kata kunci: amfibi, keanekaragaman, eks-HPH PT RKI
4
SUMMARY BOBY DARMAWAN. E34103018. “Amphibian Diversity on Several Habitat Types: Case Study in Ex-Forest Concession PT Rimba Karya Indah Bungo Regency, Jambi”. Under supervised by MIRZA D. KUSRINI and AGUS P. KARTONO Amphibian is one of ecosystem compiler component having a real important role, both ecological and economical. Research about amphibian in Indonesia is still very limited. In Sumatra, one of Indonesia’s largest islands, there has been no research on amphibians, especially in ex-forest concessions. Locals around these areas then convert the land into forest and palm oil plantations. The change in habitat and human activities will have an effect to amphibian species of the area. This research aimed to study amphibian diversity in ex-forest concession PT RKI and compare species diversity based on habitat types. The study was implemented at five habitat types including primary and secondary forests, rubber and palm oil plantations, and logged-over area at Kemarau and Pelepat Blocks in ex-forest concession PT RKI Bungo Regency, Jambi. The data was collected by Visual Encounter Survey in terrestrial and aquatic transects. That data was analyzed descriptively as well as statistically to calculate species richness, diversity (H’), evenness (E), frequency and similarities using Minitab 13. There were 37 species recorded (Order Anura), consisting of 5 families: Bufonidae (5 species), Megophryidae (3 species), Microhylidae (3 species), Ranidae (15 species) and Rhacophoridae (11 species), including 4 species that were recorded outside of the transects. Three species (Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2, and Rhacophorus sp.3) have not been identified. The highest species diversity was in secondary forest (21 species), while the lowest species diversity in primary forest (9 species). The highest H’ value was in secondary forest (H’ = 2.18) while the lowest was in palm oil plantation (H’ = 1.44). The highest evenness index between five habitat types was primary forest (E = 0.97) and the lowest was in palm oil plantations (E = 0.54). Physical characteristics i.e. air temperature, water temperature, and relative humidity in research location showed a suitable value for amphibian life in general. Water temperature obtained ranges from 20° to 25,5°C and air temperature obtained ranges from 20° to 32°C while relative humidity was ranges from 36% to 83% with level of water pH 7 (neutral) in all locations. In this research, there were 5 physical defect amphibian type. These physical defect include anophthalmy (one eye missing), hemimelia (tip of the toe missing), limb hyperextension (bent toe), polydactyly (addition toe), and syndactyly (attached toe). Percentage of all amphibian with physical defects were 1,15% but still be assumed normal. Keyword: amphibian, diversity, ex-Forest Concession PT RKI
5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Pebruari 2008 Boby Darmawan E34103018
6 Judul Penelitian : Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi Nama
: Boby Darmawan
NRP
: E34103018
Departemen
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas
: Kehutanan
Menyetujui, Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. NIP. 131 878 493
Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. NIP. 131 953 388
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal lulus:
7
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia
serta
hidayah-Nya
akhirnya
penulis
dapat
menyusun
serta
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi” dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. Perhatian terhadap amfibi di Indonesia masih sangat kurang. Padahal ancaman kepunahan justru semakin besar dengan menurunnya kualitas habitatnya.
Perubahan
serta
fragmentasi
habitat
seperti
HPH
semakin
mengkhawatirkan terhadap kondisi habitat amfibi di Indonesia pada umumnya dan di Sumatera pada khususnya. Oleh karena itu penulis memilih tema ini untuk mengetahui keanekaragaman dan karakteristik habitat amfibi di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah.
Bogor, Pebruari 2008 Boby Darmawan E34103018
8
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Januari 1985 sebagai anak keempat dari empat bersaudara, keluarga Bapak Drh. Iskandar, MSc. dan Ibu Een Nuraeni. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1990 di TK Dian Peratiwi Kotamadya Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Papandayan I Kotamadya Bogor pada tahun 1991 dan lulus tahun 1997. Penulis melanjutkan ke SMP Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan ke SMU Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor dan memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), periode 2005-2006 sebagai Sekretaris Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) dan anggota Fotografi Konservasi (FOKA). Pada bulan Juli 2005 penulis melakukan kegiatan Forest Partnership Program kerjasama antara HIMAKOVA dan Tropenbos
International
Indonesia
di
Taman
Nasional
Betung
Kerihun
Kalimantan Barat. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Cagar Alam/Taman Wisata Alam Kamojang, dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Tasikmalaya. Pada bulan Februari-Maret 2007, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi” dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.
9
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang akan selalu penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drh. Iskandar, M.Sc. dan Een Nuraeni serta semua Saudaraku atas doa, kasih sayang, dan dukungannya. 2. Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. atas bimbingan dan nasehatnya kepada penulis serta pengalaman-pengalaman untuk ikut ke lapangan. 3. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. atas bimbingan dan saran yang diberikan sampai selesainya skripsi ini. 4. IUCN Amphibian Specialist Group bantuan dana yang telah diberikan untuk pelaksanaan penelitian ini serta Matthew Linkie dan Jeanne McKay yang telah membantu dalam pembuatan proposal. 5. Ir. Emi Karminarsih, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini. 6. Kepala Desa Renah Sungai Ipuh (Pak Ilyas), Ketua BPD Renah Sungai Ipuh (Pak Hasan), dan Kepala Desa Batu Kerbau (Pak Tafrizal) atas segala informasi dan bantuan selama di lapangan. 7. Bapak Sutis, Bapak Tabrani, Bang Tamrin, dan Bang Ishak yang bersedia menemani penulis selama di lapangan. 8. Tim Monitoring Harimau Sumatera (MHS) Bang Yoan Dinata, Bang Agung Nugroho, Bang Charlie, Bang Alex, Kang Iding, dan Anto serta staf pegawai TNKS Bang Simbolon, Pak Donal, Pak Firdaus, Pak Saksi, dan Bang Paijo yang memberikan informasi dan kerjasamanya. 9. Keluarga Ardiansyah dan Keluarga Ardiansyah Putra yang telah membantu penulis selama di Jambi. 10. Dra. Hellen Kurniati dan Mas Amir Hamidy yang membantu penulis mengidentifikasi spesimen-spesimen amfibi. 11. Teman-temanku ”Angkatan Komodo” KSH’40 dan Fakultas Kehutanan atas persaudaraan dan pertemanan selama ini, serta rekan-rekan Frog Team atas pengalaman dan kerjasamanya.
10 12. Rineka Dewi atas motivasi dan bantuan yang telah diberikan dari awal sampai akhir serta Deden, Adi, Imran, Lubis, Luthfi, Yuyun, Ruri, dan Reren atas kebersamaan, motivasi, dan kekeluargaannya. 13. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
skripsi
ini,
sehingga
penulis
mengharapkan
masukan
guna
menyempurnakan skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
i iii iv v
I.
PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Tujuan ........................................................................................... 1.3 Manfaat .........................................................................................
1 1 2 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1 Taksonomi ..................................................................................... 2.2 Ekologi ........................................................................................... 2.3 Habitat ........................................................................................... 2.4 Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Sumatera ................ 2.5 Manfaat dan Peranan .................................................................... 2.6 Kecacatan (Malformasi) .................................................................
3 3 3 4 6 6 7
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 3.1 Sejarah ........................................................................................... 3.2 Letak dan Luas .............................................................................. 3.3 Kondisi Fisik ................................................................................... 3.3.1 Iklim ....................................................................................... 3.3.2 Jenis Tanah dan Formasi Geologi ......................................... 3.3.3 Hidrologi ................................................................................ 3.3.4 Topografi ............................................................................... 3.4 Kondisi Biologi ............................................................................... 3.4.1 Tumbuhan ............................................................................. 3.4.2 Satwaliar ................................................................................ 3.5 Kondisi Setiap Tipe Habitat ............................................................ 3.5.1 Hutan Primer ......................................................................... 3.5.2 Hutan Sekunder .................................................................... 3.5.3 Kebun karet ........................................................................... 3.5.4 Kebun sawit ........................................................................... 3.5.5 Areal Bekas Tebangan ..........................................................
8 8 8 9 9 9 9 10 10 10 10 11 11 12 13 14 15
IV. METODE PENELITIAN ....................................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu ........................................................................... 4.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 4.3 Pengumpulan Data ........................................................................ 4.3.1 Jenis Data yang Dikumpulkan ............................................... 4.3.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 4.4 Analisis Data ..................................................................................
17 17 18 19 19 20 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 5.1 Hasil ............................................................................................... 5.1.1 Komposisi dan Keanekaragaman Jenis ................................ 5.1.2 Karakteristik Habitat Amfibi ................................................... 5.1.3 Kisaran Ukuran Tubuh, Aktivitas, dan Kecacatan ................ 5.1.4 Gangguan Terhadap Amfibi ..................................................
24 24 25 32 37 39
V.
ii 5.2 Pembahasan ..................................................................................
39
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 6.2 Saran .............................................................................................
45 45 45
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
46
LAMPIRAN .................................................................................................
49
iii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Karakteristik sungai dan arus beberapa sungai di Areal HPH PT RKI .....................................................................................................
10
2. Alat penelitian yang digunakan ...........................................................
18
3. Total usaha yang dilakukan di setiap tipe habitat ...............................
20
4. Daftar jenis amfibi yang ditemukan berdasarkan habitat dan tipe habitat .................................................................................................
24
5. Jenis-jenis amfibi spesialis yang dijumpai di habitat akuatik dan terestrial ..............................................................................................
26
6. Kondisi fisik di setiap habitat ..............................................................
33
7. Kisaran posisi umum masing-masing saat dijumpai .........................
34
8. Kisaran ukuran tubuh beberapa jenis amfibi .....................................
37
9. Kecacatan amfibi ..............................................................................
39
iv
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat hutan primer .......................................................................................
12
2. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat hutan sekunder ..................................................................................
13
3. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat kebun karet .......................................................................................
14
4. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat kebun sawit .......................................................................................
15
5. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat areal bekas tebangan .......................................................................
15
6. Peta lokasi penelitian ........................................................................
18
7. Ukuran tubuh pada katak....................................................................
19
8. Grafik frekuensi setiap jenis amfibi .....................................................
27
9. Tipe selaput pada Bufo asper dan Ansonia leptopus .........................
28
10. Tipe selaput pada Rana chalconota, Rana erythraea dan Rana nicobariensis .......................................................................................
29
11. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan habitat..............................
31
12. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan waktu pengamatan ..........
31
13. Grafik keanekaragaman dan kemerataan jenis amfibi........................
32
14. Data curah hujan dan jumlah hari hujan setiap bulan tahun 2005-2006 .........................................................................................
33
15. Dendrogram kesamaan jenis antar tipe habitat ..................................
36
16. Dendrogram kasamaan jenis antar lokasi .........................................
36
17. Polypedates macrotis sedang beraktivitas kawin (amplexus).............
38
18. Peta penyebaran Limnonectes paramacrodon ...................................
44
v
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Deskripsi jenis ....................................................................................
50
2. Data curah hujan Kabupaten Bungo tahun 2005-2006
...................
63
3. Data iklim di lokasi penelitian ............................................................
64
4. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di hutan primer ..............
66
5. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di hutan primer .........
67
6. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di hutan primer ...............
68
7. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di hutan primer .............
69
8. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di hutan sekunder .........
71
9. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di hutan sekunder ............................................................................................................
71
10. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di hutan sekunder ...........
72
11. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di hutan sekunder .........
73
12. Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis ...............................
74
13. Jenis-jenis katak di beberapa tipe habitat...........................................
77
14. Jenis-jenis katak di beberapa lokasi ...................................................
78
15 Perhitungan kesamaan jenis dan kesamaan lokasi ..........................
80
I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti serangga atau hewan invertebrata lainnya (Iskandar 1998) serta dapat digunakan sebagai bio-indikator kondisi lingkungan (Stebbins & Cohen 1997). Secara ekonomis amfibi dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani, hewan percobaan, hewan peliharaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen 1997). Indonesia memiliki dua dari tiga ordo amfibi yang ada di dunia, yaitu Gymnophiona dan Anura. Ordo Gymnophiona dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya, sedangkan ordo Anura merupakan yang paling mudah ditemukan di Indonesia mencapai sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh jenis Anura di dunia. Ordo Caudata merupakan satu-satunya ordo yang tidak terdapat di Indonesia (Iskandar 1998). Meskipun Indonesia kaya akan jenis amfibi, tetapi penelitian mengenai amfibi di Indonesia masih sangat terbatas. Pulau Sumatera sebagai salah satu pulau besar, belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi, baru terbatas di Kawasan Ekosistem Leuser (Mistar 2003), Sumatera Barat (Inger & Iskandar 2005), Sumatera Selatan (Sudrajat 2001) dan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (HIMAKOVA 2004, Ul-Hasanah 2006). Pulau Sumatera sebagai pulau dengan
beragam ekosistem dari pantai sampai pegunungan, memungkinkan
menjadi habitat berbagai jenis amfibi, bahkan masih memungkinkan untuk menemukan catatan baru seperti Philautus sp. dan Leptobrachium sp. di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Ul-Hasanah 2006) dan Megoprys parallela di Sumatera Barat (Inger & Iskandar 2005). PT
Rimba
Karya
Indah
(PT
RKI)
merupakan
perusahaan
yang
berkedudukan di Jambi dan bergerak dibidang HPH. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 119/Kpts-IV/88 tanggal 29 Februari 1988, perusahaan telah memperoleh Hak Pengusahaan Hutan seluas 87.000 ha yang terletak di wilayah Provinsi Jambi untuk jangka waktu 20 tahun terhitung sejak tanggal 12 Januari 1987. Areal yang dikelola perusahaan, diantaranya merupakan hutan alam tanah kering seluas 51.500 ha dan sisanya 35.000 ha merupakan hutan tanah rawa.
2 PT RKI telah meninggalkan wilayahnya sejak tahun 1999. Masyarakat sekitar hutan masuk dan merubah wilayah tersebut menjadi kebun karet dan kebun sawit. Perubahan kondisi habitat dan aktivitas manusia seperti itu akan berpengaruh terhadap keanekaragaman amfibi yang terdapat di dalamnya. Setiap jenis amfibi memiliki karakteristik habitat yang disukai, bahkan jenis tertentu memerlukan habitat yang spesifik. Beberapa jenis hanya dapat hidup di dalam hutan primer dan jenis lain dapat hidup di beragam habitat, mulai dari hutan sampai ke pemukiman penduduk. Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi tujuan manajemen dalam konservasi. Perubahan dalam kekayaan jenis dapat digunakan sebagai dasar dalam memprediksi dan mengevaluasi respon komunitas tersebut terhadap kegiatan manajemen (Nichols et al. 1998). Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tentang keanekaragaman amfibi di Eks-HPH PT RKI perlu dilakukan untuk mendata komunitas amfibi yang ada di berbagai tipe habitat. 1. 2 Tujuan Penelitian Penelitian tentang keanekaragaman amfibi diberbagai tipe habitat ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1). Menentukan tingkat keanekaragaman jenis amfibi di Eks-HPH PT RKI 2). Membandingkan keanekaragam jenis amfibi berdasarkan tipe habitat 1. 3 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian tentang keanekaragaman amfibi di berbagai tipe habitat ini adalah sebagai berikut: a). Dapat melengkapi data dan informasi mengenai jenis-jenis amfibi serta karakteristik habitatnya. b). Dapat memberikan masukan bagi pengelola kawasan hutan, terutama dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan keanekaragaman jenis amfibi.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Taksonomi Menurut Goin & Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai berikut: Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub-filum Vertebrata, Kelas Amphibia, serta Ordo Gymnophiona, Caudata dan Anura. Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4,000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa bertulang belakang yang pertama berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang reptil (Halliday & Adler 2000). Di Indonesia terdapat 10 famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Familifamili
tersebut
adalah
Bombinatoridae
(Discoglossidae),
Megophryidae
(Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998). Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis dari Ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia. Caudata merupakan satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Saat ini terdapat lebih dari 4,100 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh anura di dunia (Iskandar 1998). 2. 2 Ekologi Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk jenis amfibi yang berukuran kecil makanan utamanya adalah artropoda, cacing dan larva serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil. Pada saat berudu, kabanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis tertentu yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali. Kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya (Iskandar 1998). Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu (Duellman & Carpenter 1998)
4 Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar 2003, Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya
(Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi
digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000). Fertilisasi pada amfibi terjadi secara internal maupun eksternal. Sesilia adalah ordo yang melakukan fertilisasi internal. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana sesilia melakukan kawin. Caudata juga melakukan fertilisasi internal dan Anura melakukan fertilisasi eksternal (Goin & Goin 1971). Ordo Gymnophiona merupakan satwa yang hidup dalam tanah. Mereka menggunakan kepalanya untuk menggali dalam tanah untuk makan. Sesilia menyukai habitat tanah yang gembur dan lapisan serasah hutan tropis, seringkali dekat dengan aliran air. Salah satu famili dari sesilia bahkan hidup di dasar sungai (Halliday & Adler 2000). Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar Anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan
warnanya
menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar 1998). 2. 3 Habitat Menurut Alikodra (2002), habitat satwaliar yaitu suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Sedangkan Odum (1971) mengartikan habitat suatu individu sebagai tempat dimana individu tersebut hidup. Definisi lain dinyatakan oleh Goin & Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup. Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air yang mengalir, serta pada hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998). Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar 2003). Kebanyakan dari
5 amfibi hanya bisa hidup di air tawar, namun jenis seperti Fejervarya cancrivora diketahui mampu hidup di air payau (Iskandar 1998). Sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole 1998). Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994). Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar yaitu: 1). Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada manusia, 2). Jenis yang dapat berasosiai dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia, 3). Jenis yang tidak berasosiai dengan manusia. Habitat herpetofauna di Sumatera Selatan dibagi berdasarkan ada dan tidaknya modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh manusia maupun yang terjadi secara alami, diantaranya: hutan primer, hutan bekas tebangan, camp/bekas camp, jalan sarad, bekas kebun, kebun karet, sawah dan pemukiman. Salah satu penyebab penurunan jenis amfibi di dunia adalah kerusakan habitat hutan dan fragmentasi. Di hutan yang mengalami sedikit gangguan atau hutan dengan tingkat perubahan sedang memiliki jumlah jenis yang lebih kaya daripada kawasan yang sudah terganggu seperti hutan sekunder, kebun dan pemukiman penduduk (Gillespie et al. 2005). Hal yang sama juga terlihat dari penelitian Ul-Hasanah (2006). Katak yang terdapat di habitat yang tidak terganggu memiliki jumlah jenis yang lebih banyak. Ul-Hasanah (2006) menemukan 37 jenis katak di habitat yang tidak terganggu dan 31 jenis katak di habitat yang terganggu. Dari penelitiannya terlihat bahwa habitat sungai tidak terganggu didominasi oleh Leptophryne borbonica, Rana chalconota dan Limnonectes blythii. Habitat darat tidak terganggu didominasi oleh Bufo asper, Limnonectes blythii, Rana chalconota, Leptobrachium hasseltii, Megophrys nasuta, Leptophryne borbonica dan Limnonectes microdiscus. Habitat sungai terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Bufo asper dan Rana hosii, sedangkan habitat darat terganggu didominasi oleh
Rana chalconota, Rana
hosii, Fejervarya spp, Bufo biporcatus dan Bufo melanostictus.
6 2. 4 Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Sumatera Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan yang ektrim, kecuali daerah kutub dan gurun (Mistar 2003). Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis (Nussbaum 1998). Di Indonesia terdapat Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di Indonesia, tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998). Ordo Anura terdapat di seluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua (Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Sumatera terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae (Iskandar & Colijn 2000). Katak di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia memiliki kesamaan jenis yang tinggi dengan katak yang terdapat di Sumatera. Tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera lebih tinggi dibandingkan dengan kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan (Inger & Voris 2001). Di Pulau Nias, Kepulauan Batu (P. Pini dan P. Tanah Masa) dan Kepulauan Mentawai (P. Siberut dan P. Sipora) terdapat 23 jenis katak. Berdasarkan kekayaan jenisnya maka jumlah jenis katak yang dapat ditemukan di Pulau Siberut sebanyak 17 jenis, Kepulauan Batu 10 jenis dan Pulau Nias 9 jenis (Inger & Voris 2001). Di Pulau Siberut terdapat jenis katak endemik, yakni Rana Siberu. HIMAKOVA (2004) menemukan 13 jenis amfibi dari Ordo Anura di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, sedangkan Ul-Hasanah (2006) menemukan 44 jenis amfibi dari Ordo Anura yang termasuk dalam 5 famili, yakni: Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Sudrajat (2001) menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas Sumatera Selatan. HIMAKOVA (2006) menemukan 18 jenis amfibi dari Ordo Anura di Taman Nasional Way Kambas. 2. 5 Manfaat dan Peranan Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia, yakni peranan ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi memiliki peranan penting dalam rantai makanan sebagai konsumen sekunder. Amfibi memakan serangga sehingga dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama dalam
7 pengendalian populasi serangga. Selain itu, amfibi juga dapat berfungsi sebagai bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins & Cohen 1997). Peranan amfibi dari segi ekonomis dapat ditinjau dari pemanfaatan amfibi untuk kepentingan konsumsi. Beberapa jenis amfibi dari Ordo Anura diketahui memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti Fejervarya cancrivora, Fejervarya limnocharis, dan Limnonectes macrodon (Kusrini 2003). Selain untuk tujuan konsumsi, amfibi memiliki kegunaan yang lain yaitu sebagai binatang peliharaan, binatang percobaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen 1997). 2. 6 Kecacatan (Malformasi) Kecacatan pada amfibi sudah lama terjadi, tetapi jarang sekali dijelaskan dan sedikit sekali dokumentasi. Amerika Utara merupakan salah satu tempat yang ada laporan tentang kecacatan pada amfibi (Johnson et al. 2003). Sebanyak 38 jenis katak dan 19 jenis kodok ditemukan cacat di 44 negara bagian Amerika Serikat. Diperkirakan 60% dari populasi yang bermetamorfosis di kolam mengalami kecacatan (NARCAM 1999 dalam Meteyer 2000). Rana pipiens merupakan salah satu contoh yang mengalami kecacatan, kecacatan meningkat dari 0,4% pada tahun 1958-1963 menjadi 2,5% pada tahun 1996-1997 (Hoppe 2000 dalam Johnson et al. 2003). Beberapa hipotesis yang menjadi penyebab kecacatan amfibi antara lain hilang dan berubahnya fungsi habitat, pencemaran lingkungan, radiasi UV-B, kontaminasi kimia, terinfeksi penyakit dan perubahan iklim global (Cohen 2001, Beebee & Griffiths 2005). Hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan populasi amfibi. Radiansyah (2004) menemukan delapan klasifikasi kecacatan pada 6 jenis amfibi di Sungai Cilember, yang meliputi brachydactyly, ectrodactyly, polydactyly, ectromelia, ujung jari bengkak, daging tambahan, benjolan perut, dan kaki patah. Sedangkan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan terdapat 34 individu (4.89%) ketidaknormalan morfologis pada amfibi. Ketidaknormalan digolongkan sebagai parasit (52.94%), trauma (29.41%), ketidaknormalan perkembangan (11.76%) dan lainnya (5.88%). Ketidaknormalan tersebut mungkin disebabkan oleh parasit, predator, ketidaknormalan regenerasi, ketidaknormalan genetik atau polusi.
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3. 1 Sejarah PT Rimba Karya Indah (PT RKI) didirikan berdasarkan Akte Notaris M.Napitupulu SH, No 36 tanggal 8 Desember 1983 yang telah diubah dan ditambah terakhir dengan Akte Notaris Nyonya Sri Soetengse Abdoel Syakur, SH No 50 Tanggal 26 Maret 1985. Akte pendirian perusahaan telah disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI melalui Surat Keputusan No. C2-1143-HT 01.0.1TH. 1984 tanggal 18 Februari 1984. Perusahaan ini berkedudukan di Jambi dan bergerak dibidang HPH dan memperdagangkan
hasilnya.
Sesuai
dengan
Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan No. 119/Kpts-IV/88 tanggal 29 Februari 1988, perusahaan telah memperoleh Hak Pengusahaan Hutan seluas 87.000 ha yang terletak di wilayah Provinsi Jambi untuk jangka waktu 20 tahun terhitung sejak tanggal 12 Januari 1987. Areal yang dikelola perusahaan, diantaranya merupakan hutan alam tanah kering seluas 51.500 ha dan sisanya 35.000 ha merupakan hutan tanah rawa. Areal kerja HPH PT RKI semula bernama PT Windu Karya Indah dengan Perjanjian Pengusahaan Hutan (Forestry Agreement/FA) No FA/N/008/IV/1983 tanggal 4 April 1983. Selanjutnya terjadi perubahan nama perusahaan dari PT Windu Karya Indah menjadi PT Rimba Karya Indah (PT RKI) berdasarkan Addendum FA No. FA/N-AD/IV/1984 tanggl 10 April 1984 (Sarbi 2000). 3. 2 Letak dan Luas Luas areal yang diusahakan PT RKI sebagaimana tercantum dalam Forestry Agreement (FA) No FA/N/AD/038/IV/1984 tanggal 30 April 1984 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK. HPH) N0 13/Kpts-IV/87 tanggal 12 Januari 1987 adalah seluas 48.000 ha. Dalam perkembangan selanjutnya, luas areal kerja HPH PT RKI mengalami perubahan dari 48.000 ha menjadi 87.000 ha yang dikukuhkan berdasarkan addendum SK HPH No. 119/Kpts-IV/88 tanggal 29 Februari 1988. Berdasarkan status fungsi hutan berdasarkan TGHK dan hasil paduserasi TGHK-RTRWP tahun 1996, areal kerja HPH PT RKI sebagian besar berfungsi sebagai hutan produksi (Unit I dan Unit II), sedang sebagian kecil lainnya bukan sebagai hutan produksi (HL, TNKS, dan KBDPNP).
9 Areal kerja HPH PT RKI terbagi atas 2 (dua) unit, yaitu Unit-I (hutan tanah kering) di Kelompok Hutan Hulu Batang Tebo – Batang Kemarau dan Batang Pelepat – Hulu Batang Ole, serta Unit-II (hutan tanah rawa) di Kelompok Hutan Sungai Air Hitam Laut. Berdasarkan administrasi pemerintahan Unit-I termasuk dalam Kecamatan Tanah Tumbuh dan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo Tebo serta Kecamatan Muara
Bungo
dan
Kecamatan
Tabir,
Kabupaten
Sarolangun
Bangko.
Berdasarkan fungsi hutan menurut TGHK areal pada Unit-I sebagian besar berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap (HP) seluas 32.610 ha (63,32%), dan selebihnya berfungsi sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 14.395 ha (27,95%), dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 4.495 ha (8,73%). Berdasarkan RTRWP Provinsi Jambi pada tahun 1996, areal Unit-I sebagian besar berubah menjadi HPT, dan sebagian lagi berturut-turut befungsi sebagai HP, KBDPNP, HL serta menjadi kawasan TNKS (Sarbi 2000). 3. 3 Kondisi Fisik 3. 3. 1 Iklim Menurut klasifikasi iklim dari Schmidt & Ferguson, areal kerja HPH PT RKI termasuk kedalam tipe iklim A yang berarti daerah basah, dengan vegetasi hutan hujan tropis, dan bulan kering rata-rata 0,0-0,5 bulan. Curah hujan tahunannya untuk Unit-I termasuk sedang berkisar antara 100-441 mm/bln dengan curah hujan rata-rata sebesar 222 mm. Suhu udara di areal ini termasuk relatif sedang dengan suhu rata-rata bulanan sebesar 27,9 ºC (Unit-I). Kelembaban udara termasuk tinggi dengan kelembaban berkisar antara 77-97% dengan rata-rata 94% (Unit-I) (Sarbi 2000). 3. 3. 2 Jenis Tanah dan Formasi Geologi Tanah di areal HPH PT RKI ini terdiri dari Podsolik Merah Kuning (PMK) seluas 26.350 ha (30,29%), Organosol seluas 35.006 ha (40,24%), Latosol seluas 16.052 ha (18,44%), Litosol seluas 9.099 ha (10,46%) dan Aluvial seluas 493 ha (0,57%) (Sarbi 2000). 3. 3. 3 Hidrologi Areal kerja Unit-I termasuk kedalam Sub DAS Batang Tebo dan Sub DAS Pelepat yang keseluruhan termasuk DAS Batanghari. Adapun sungai-sungai yang mengalir di daerah ini antara lain S. Batang Tebo, S. Pelepat, S. Tabir dan
10 S. Kemarau. Keempat sungai tersebut merupakan sungai yang cukup terjal dengan substrat dasar pasir dan batu. Tabel 1. Karakteristik sungai dan arus beberapa sungai di Areal HPH PT RKI No 1 2 3 4
Sungai Batang Tebo Pelepat Tabir Kemarau
Lebar (m)
Kedalaman (m)
Panjang (km)
20-25 15-20 10-20 15-20
2-8 2-5 0,5-5 0,5-5
37,50 74,25 49,75
Kecepatan Aliran (m/dtk) 0,693 0,133 0,318 0,558
Debit (m3/dtk) 78.000 8.125 13.125 26.857
Di areal kerja HPH PT RKI Unit-I terdapat banyak aliran sungai. Sungaisungai ini pada umumnya tidak dapat digunakan sebagai sarana transportasi. Sungai-sungai tersebut banyak dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sarana MCK. Kualitas air dari catchment area yang mempunyai kawasan hutan di daerah hulunya baik saat hujan maupun tidak hujan tidak terjadi perubahan yang mencolok. Demikian juga dengan perubahan tingkat kuantitas fisik air karena sebagaian curah hujan masih mampu diresapkan ke dalam tanah di kawasan hutan (Sarbi 2000). 3. 3. 4 Topografi Areal kerja HPH PT RKI mempunyai topografi bervariasi dari datar sampai sangat curam. Ketinggian daerah ini bervariasi dari 190 mdpl hingga 1.670 mdpl (Sarbi 2000). 3. 4 Kondisi Biologi 3. 4. 1 Tumbuhan Di areal kerja HPH PT RKI terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dilindungi baik mutlak maupun bersyarat yaitu: jelutung (Dyera costulata), durian (Durio zibethinus), keruing (bersyarat), manggis hutan, rambutan hutan , asam hutan, kedondong (Nothopanax fruticosum), petai hutan dan terap (mutlak). Jenis pohon eksotik yang terutama digunakan untuk kegiatan rehabilitasi adalah Acacia mangium dan sengon (Sarbi 2000). 3. 4. 2 Satwaliar Keanekaragaman jenis satwaliar di areal kerja HPH PT RKI terutama di sebelah utara dan berbatasan langsung dengan TNKS menggambarkan tingginya keanekaragaman jenis satwaliar TNKS. Keseluruhan jenis satwaliar yang terdapat di HPH PT RKI adalah 95 jenis yang terdiri atas 15 jenis mamalia, 76 jenis burung dan 4 jenis reptil. Dari jumlah tersebut 41 jenis diantaranya
11 satwaliar yang dilindungi meliputi: 9 jenis mamalia, 30 jenis burung dan 2 jenis reptil (Sarbi 2000). Satwa mamalia besar penting yang berada di HPH PT RKI terutama pada Unit-I merupakan sasaran perlindungan penting dari pengelolaan TNKS. Jenisjenis tersebut diantaranya: harimau sumatera (Panthera tigris sumatrana) beruang madu (Helarctos malayanus), macan kumbang (Panthera pardus, kambing hutan (Capricornus sumatraensis), rusa sambar (Cervus unicolor), ungko (Hylobates agilis), siamang (Symphalangus syndactilus), dan tapir (Tapirus indicus). Selain itu terdapat berbagai jenis burung dilindungi seperti elang hitam (Ichtinaetus malayensis), elang rawa timur (Circus spilonotus), elang ular (Spilornis cheela), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), caladi batu (Meiglyptes tristis), pecuk-padi hitam (Phalacrocorax sulcirostris), pelatuk kundang (Reinwardtipicus validus), dan kuau raja (Argusianus argus). Untuk jenis-jenis reptilia dilindungi yang terdapat di HPH PT RKI diantaranya: biawak abu-abu (Varanus nebulanus), labi-labi (Chitra indica), kura-kura (Orlitia bornensis), dan sanca bodo (Phyton molurus) (Sarbi 2000). 3. 5. Kondisi Setiap Tipe Habitat yang Diteliti Deskripsi mengenai kondisi habitat diperoleh dari pengamatan langsung selama survey berlangsung seperti yang tercantum dalam bab 4 metodologi , wawancara dengan petugas dan masyarakat setempat. 3. 5. 1 Hutan Primer Lokasi hutan primer berada di hutan adat Desa Batu Kerbau, Blok Pelepat. Hutan ini relatif lebih terjaga karena dilindungi oleh adat masyarakat setempat sejak tahun 1988, namun belum ditetapkan sebagai hutan adat. Pada bulan Juli 2000 masyarakat Desa Batu Kerbau sepakat untuk bersama-sama mengukur dan memetakan Hutan Adat dan Lindung Batu Kerbau. Luas hutan ini adalah 472 ha. Berdasarkan hasil pemetaan dan berbagai pertemuan yang dilakukan, maka lahirlah “Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Desa Batu Kerbau Untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam”. Lokasi penelitian ini terletak memiliki ketinggian 375 mdpl pada koordinat 47M 0830536, UTM 9798085 dengan topografi berbukit-bukit. Jalur terestrial
sepanjang 800 meter memiliki kemiringan rata-rata 45o. Dari titik 0 dampai 500 m, kemiringan rata-ratanya 45o, 150 meter kemudian mulai landai sekitar 10o-30o dan 100 meter terakhir mendatar dan sedikit menurun. Jalur akuatik sepanjang
12 400 meter relatif landai dengan kemiringan antara 5 o – 15 o. Sungai ini memiliki substrat yang didominasi oleh bebatuan. Arus dari sungai ini relatif sedang dan memiliki air yang jernih (kecerahan 100%).
Gambar 1. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan) di tipe habitat hutan primer Jenis vegetasi yang terdapat di habitat hutan primer sangat beragam dan memiliki penutupan tajuk cukup rapat. Hasil dari analisis vegetasi di jalur terestrial ditemukan sebanyak 36 jenis pohon yang terdapat di sepanjang jalur pengamatan. Jenis vegetasi yang mendominasi jalur pengamatan yaitu batang skepung, kasainggang, tembalun dan meranti putih (Shorea bracteolata) dengan INP berturut-turut sebesar 28,63%; 26,64%; 23,25% dan 23,11%. Sedangkan pada jalur akuatik tidak terlalu banyak ditumbuhi tumbuhan bawah di kiri dan kanan sungai, lebih di dominasi oleh jenis pohon seperti batang skepung, kayu aro (Gardenia tubifera), dan bayur (Pterospermum sp.). Jenis-jenis satwaliar yang dijumpai di lokasi penelitian secara langsung maupun tidak langsung antara lain beruang madu (Helarctos malayanus), enggang gading (Buceros sp), tapir (Tapirus indicus), siamang (Symphalangus syndactilus) dan babi hutan (Sus sp). 3. 5. 2 Hutan Sekunder Lokasi hutan sekunder terletak di Desa Renah Sungai Ipuh, Blok Kemarau. Lokasi penelitian ini terletak memiliki ketinggian 534 mdpl pada koordinat 47M 786381, UTM 9812264 dengan topografi berbukit-bukit.
Sebanyak 18 jenis pohon ditemukan di sepanjang jalur pengamatan. Tiga jenis diantaranya merupakan jenis yang belum diketahui baik nama ilmiah maupun nama lokalnya. Jenis vegetasi yang sangat dominan pada jalur pengamatan yaitu Kayu mara dan Melangir dengan INP masing-masing sebesar 51,82% dan 47,39%. Pada tingkat semai dan pancang, meranti (Shorea sp) sangat dominan dengan INP tertinggi mencapai 50% pada tingkat pancang dan
13 29,69% pada tingkat semai. Di dalam hutan terdapat kubangan, ketika sudah hujan kubangan ini terisi air dan saat tidak hujan kering. Kubangan ini digunakan katak untuk bertelur. Berbeda dengan sungai yang ada di tipe habitat hutan primer, di hutan sekunder memiliki substrat yang bervariasi yaitu tanah, pasir, lumpur, dan serasah. Memiliki arus lambat sampai sedang. tepus (Amomum sp.) dan serdang merupakan tumbuhan bawah yang mendominasi di sisi kiri dan kanan sungai. Disekitar lokasi penelitian terdapat beberapa satwaliar lain yang dijumpai secara langsung maupun tidak langsung. Jenis-jenis satwaliar tersebut antara lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), simpai (Presbytis melalophos), napu (Tragulus napu) dan beberapa jenis burung seperti gagak hutan (Corvus enca), srigunting (Dicrurus sp), perenjak (Prinia sp), cipoh (Aegithina sp), elang hitam (Ictinaetus malayensis), dan kuau raja (Argusianus argus).
Gambar 2. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan) di tipe habitat hutan sekunder 3. 5. 3 Kebun karet Setelah HPH PT RKI tidak beroperasi lagi, pengelolaan wilayah ini berpindah tangan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo dan banyak masyarakat yang membuka lahan untuk ditanami karet. Setiap kepala keluarga mendapat bagian lahan sebesar 2 ha. Tipe habitat kebun karet terletak pada koordinat 47M 791159, UTM 9817412 dengan ketinggian 472 mdpl. Topografi habitat kebun karet ini relatif datar, tetapi pada jarak tertentu terdapat beberapa penurunan.Tanaman karet pada jalur pengamatan terestrial berumur ± 9 tahun dan ditanam dengan jarak tanam yang bervariasi 4 x 4 m, 4 x 5 m hingga 6 x 6 m. Rata-rata diameter pohon karet ini 19 sampai 21 cm dengan tinggi total ± 12 m. Penutupan tajuk bervariasi
14 dari jarang hingga rapat. Diantara tanaman karet tersebut ada beberapa petak yang ditanami tanaman sela seperti kopi (Coffea arabica) dan pinang (Areca catechu). Di bawah tegakan karet terdapat satu buah dua buah kubangan yang digunakan oleh babi. Jalur akuatik yang berada di tipe habitat kebun karet digunakan untuk kebutuhan sehari-hari oleh para penduduk yang berladang seperti minum, mencuci, dan mandi. Jalur ini merupakan sungai yang memiliki lebar 0,6 – 8,3 meter dengan kedalaman maksimum 50 cm. Sungai ini memiliki substrat batu, pasir, dan lumpur. Sungai ini memiliki arus lambat sampai sedang dan memiliki kecerahan 100% karena dapat terlihat sampai dasar.
Gambar 3. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan) di tipe habitat kebun karet Satwaliar yang dijumpai langsung di dalam habitat karet antara lain rangkong (Bucheros sp.), gagak hutan (Corvus enca), babi hutan (Sus sp.), beruk (Macaca nemestrina), rusa sambar (Cervus unicolor) dan kancil (Tragulus sp.). 3. 5. 4 Kebun sawit Tipe habitat kebun sawit terletak pada koordinat 47M 789463, UTM 9817270 dengan ketinggian 501 mdpl. Secara umum topografi tipe habitat ini adalah datar. Tanaman sawit yang mejadi jalur terestrial memiliki jarak tanam 10 x 10 m dan berumur 6 sampai 7 tahun. Di bawah tegakan ditumbuhi oleh tumbuhan bawah seperti resam, tepus (Amomum sp.), kirinyu (Eupatorium sp.), dan rerumputan. Diantara tanaman sawit ditanami tanaman sela berupa kopi dan sawit. Lokasi ini melewati jalan logging dan terdapat kubangan. Jalur pengamatan akuatik di tipe habitat ini berupa danau dengan diameter ± 50 m dan keliling 160 m. Danau ini memiliki kedalaman 2-5 meter dengan substrat lumpur serta arus air yang sangat lambat. Di sisi-sisi danau ditumbuhi
15 kirinyu (Eupatorium sp.), resam, tepus (Amomum sp.), pisang (Musa sp.), dan rumput. Satwaliar yang dijumpai secara langsung maupun tidak lansung antara lain rangkong (Bucheros sp), gagak hutan (Corvus enca), landak (Hystrix sp), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrana).
Gambar 4. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan) di tipe habitat kebun sawit 3. 5. 5 Areal Bekas Tebangan Tipe habitat terakhir yang menjadi lokasi pengamatan adalah areal bekas tebangan. Areal ini dibuka oleh masyarakat untuk dijadikan kebun seperti sawit atau karet. Lokasi areal bekas tebangan ini terletak pada koordinat 47M 791590, UTM 9818894 pada ketinggian 411 mdpl. Metode yang digunakan yaitu dengan cara
tebang
habis
semua
vegetasi
yang
ada
lalu
di
bakar
untuk
membersihkannya. Di tengah ada parit (sungai kecil) yang membelah areal tersebut. Lokasi ini berbatasan dengan kebun karet dan hutan sekunder.
Gambar 5. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan) di tipe habitat areal bekas tebangan Jalur pengamatan akuatik tipe habitat ini sama dengan tipe habitat kebun sawit, yaitu berupa danau. Danau ini memiliki diameter sekitar 80 m dan kelilingnya 310 m. Di sekitar danau ditumbuhi pohon kayu manis (Cinnamomum burmannii), tepus (Amomum sp.), resam, pisang hutan (Musa sp.) dan di tengah
16 danau ditumbuhi tumbuhan pandan (Pandanus sp.) dan walingi (Cyperus elatus). Kondisi air di danau
terlihat kehijauan karena ditumbuhi alga. Air danau
dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk mandi, minum, dan keperluan lainnya.
IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi pada bulan Juli-Agustus 2007. Pengambilan data dilakukan pada lima lokasi di tipe habitat yang berbeda (hutan primer, hutan sekunder, kebun sawit, kebun karet dan areal bekas tebangan). Penentuan tipe hutan didasarkan pengamatan visual dengan deskripsi sebagai berikut: 1. Hutan primer adalah hutan yang memiliki komposisi vegetasi alami, dengan strata tajuk lengkap, heterogen dan dilindungi adat (Hutan Adat Desa Batu Kerbau) sehingga sangat terjaga dari perusakan dan interaksi manusia. 2. Hutan sekunder adalah hutan yang telah mengalami penebangan dan sedang mengalami proses suksesi. 3. Kebun karet adalah hutan yang memiliki vegetasi yang didominasi oleh pohon karet diluasan areal tertentu. Kebun karet yang menjadi lokasi penelitian memiliki umur yang bervariasi. 4. Kebun sawit adalah hutan yang memiliki vegetasi yang didominasi oleh tanaman sawit dan memiliki umur yang seragam. 5. Areal bekas tebangan adalah areal yang memiliki vegetasi minimal bahkan tidak ada. Areal ini telah mengalami penebangan kemudian pembakaran dan didiamkan untuk beberapa minggu. Adapun deskripsi lengkap mengenai kondisi setiap tipe habitat disajikan pada Bab III. Kondisi Umum.
18
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian di Eks-HPH PT RKI 4. 2 Alat dan Bahan Objek yang akan diamati dalam penelitian ini adalah keanekaragaman amfibi di berbagai tipe habitat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Alat penelitian yang digunakan No. Alat A. Pembuatan transek pengamatan 1. Meteran (50m) 2. Kompas 3. Alat GPS 4. Tali rafia 5. Peta B. Pengumpulan spesimen 1. Headlamp dan baterai 2. Kantong spesimen 3. Spidol permanen 4. Jam tangan/stop watch 5. Alat tulis 6. Buku panduan identifikasi jenis amfibi 7. Kaliper 8. Timbangan/neraca pegas (5, 10, 100, 250 gr) 9. Tabung sampel 10. Kapas 11. Alat suntik
Penggunaan Pengukuran panjang transek Pengukuran arah transek Pembuatan transek dan titik lokasi Penandaan transek pengamatan Penentuan lokasi pembuatan transek Alat penerang survey malam Tempat pengumpulan spesimen sementara Penulisan label Pengukur waktu Pencatatan data lapangan Identifikasi jenis amfibi Pengukuran panjang tubuh amfibi (SVL) Pengukuran berat tubuh amfibi Tempat penyimpanan spesimen Pembuatan spesimen Pengawetan spesimen
19 Tabel 2. Lanjutan No. Alat 12. Kertas label dan benang 13. Kaca pembesar C. Pengukuran faktor lingkungan 1. Termometer 2. Higrometer 3. pH meter D. Alat Dokumentasi 1. Kamera, film dan baterai
Penggunaan Label spesimen Pengamatan ciri amfibi Pengukuran suhu udara danair Pengukuran kelembaban udara Pengukuran kemasaman air Pengambilan foto
Bahan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% yang digunakan untuk pengawetan specimen serta MS 222 untuk anaestesi amfibi. 4. 3 Pengumpualan Data 4. 3. 1 Jenis Data yang Dikumpulkan Adapun jenis-jenis data yang dikumpulkan yaitu : 1. Data satwa amfibi, meliputi : jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran snout-vent length yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka (Gambar 7) tiap jenis, jenis kelamin, waktu saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa di lingkungan habitatnya.
a
b
Sumber : Sholihat (2007)
Gambar 7. Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis hijau : a - b) 2. Data habitat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), meliputi: tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horisontal terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, suhu air, kelembaban udara, pH air, dan data fisik lainnya. 3. Data sekunder yang diperlukan adalah informasi tentang amfibi yang pernah ditemukan dan studi literatur tentang amfibi pada habitatnya.
20 Selain itu, curah hujan dan iklim dari stasiun klimatologi setempat juga diperlukan untuk menunjang data habitat. 4. 3. 2 Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi yaitu Visual Encounter Survey (VES) (Heyer et al. 1994). Teknik pelaksanaan metode di lapangan yaitu : 1. Orientasi lapangan dan penjelajahan sebagai langkah awal 2. Pembuatan jalur pengamatan pada masing-masing lokasi yaitu 400 m untuk habitat akuatik (sungai), habitat akuatik (danau) dengan cara mengelilingi danau tersebut, dan 800 m untuk habitat terestrial. Setiap lokasi terbagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu habitat akuatik dan habitat terestrial. 3. Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur pengamatan pada pagi dan malam hari selama 3 kali ulangan untuk setiap jalur. Pengamatan pagi hari dilakukan pada pukul 08.00-11.00 sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 20.00-23.00. Pengumpulan
sampel
dilakukan
dengan
menggunakan
senter.
Pengamatan dimulai saat di titik nol pada jalur. Setiap individu amfibi yang tertangkap dimasukan ke dalam kantong plastik yang kemudian dicatat waktu ditemukan, aktivitas/perilaku, posisi horizontal dan vertikal, tipe subtrat, dan informasi lain (Heyer et al. 1994). Tabel 3. Total usaha yang dilakukan di setiap tipe habitat Tipe Habitat H.primer H.sekunder K.karet K.sawit Areal bekas tebangan
Jumlah Pengamat 2 2 3 3 2 2 2 3
Total Usaha (menit) 1620 1430 2934 2796 1622 1047 1367 1857
Total Usaha (jam:menit) 27;00 23;50 48;54 46;36 27;20 17;27 22;47 30;57
akuatik
2
1120
18;40
terestrial Total
2
1003 16796
16;43 279;56
Habitat akuatik terestrial akuatik terestrial akuatik terestrial akuatik terestrial
21 4. Melakukan pengawetan spesimen amfibi yang belum teridentifikasi. Amfibi yang diawetkan hanya diambil maksimal dua individu untuk setiap jenis dan untuk jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya diambil gambarnya secara menyeluruh. Tata cara preservasi yaitu : - Terlebih dahulu identifikasi terhadap ciri umum dan ambil gambar pada saat spesimen masih hidup. Lalu menyiapkan alat dan bahan preservasi. - Sebelum dimatikan, spesimen dibuat pingsan dengan cara memasukan ke dalam air yang sudah dicampur dengan MS222. Setelah itu, amfibi dimatikan dengan cara menyuntik amfibi dengan alkohol 70% dibagian bawah tengkorak. - Setelah mati, spesimen disuntik dengan alkohol 70% ke dalam bagian tubuh seperti perut, femur, tibia, tarsus dan bisep. - Sebelum specimen kaku, mulut spesimen dimasukan kapas untuk memudahkan identifikasi dan diberi kertas label yang berisi keterangan spesimen tesebut. - Untuk sementara spesimen tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang telah beralaskan kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%. Bentuk spesimen diatur supaya mudah untuk keperluan identifikasi. - Spesimen kemudian dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70% sampai terendam. 5. Kegiatan
identifikasi
dilakukan
dengan
menggunakan
buku
Amphibian Fauna of Peninsular Malaysia (Berry 1975) dan
The The
Systematics and Zoogeography of The Amphibia of Borneo (Inger 2005). Selain itu pengecekan ulang dilakukan dengan membawa spesimen ke Museum Zoologi Cibinong,
Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Bogor. Adapun penamaan jenis menggunakan Berry (1975) serta Inger & Stuebing 1997). Adapun data habitat yang diambil berupa data suhu dan kelembaban hanya diambil di satu titik lokasi karena posisi lokasi yang dekat sehingga diasumsi bahwa mempunyai nilai suhu dan kelembaban yang sama, hal ini dinyatakan oleh Handoko (1995) bahwa suhu di permukaan bumi akan berubah dan makin rendah dengan bertambahnya lintang. Suhu, kelembaban serta cuaca diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan. Komponen habitat yang yang
22 diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara, suhu air, pH air, rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman badan air, substrat dasar perairan, jenis dan komposisi vegetasi, kerapatan vegetasi, penutupan tajuk dan jenis gangguan terhadap lokasi. 4. 4 Analisis Data 1. Kekayaan jenis amfibi Untuk menduga
besarnya keanekaragaman jenis digunakan Indeks
Kekayaan Jenis Jackknife. Persamaan indeks ini yaitu :
⎛ n -1⎞ S =s+⎜ ⎟k ⎝ n ⎠ Keterangan : S
= Indeks kekayaan jenis Jackknife
s
= Total jumlah jenis yang teramati
n
= Banyaknya unit contoh
k
= Jumlah jenis yang unik
Adapun keragamaman dari nilai dugaan (S) tersebut dihitung dengan persamaan berikut :
k2 ⎤ ⎛ n − 1 ⎞⎡ 2 var(S ) = ⎜ ⎟ ⎢∑ j fj − ⎥ n⎦ ⎝ n ⎠⎣
(
)
Keterangan : Var(S) = Keragaman dugaan Jackknife untuk kekayaan jenis fj
= Jumlah unit contoh di mana ditemukan jenis unik
k
= Jumlah jenis unik
n
= Jumlah total unit contoh
dengan demikian, maka penduga selang bagi indeks kekayaan jenis Jackknife adalah sebagai berikut :
S ± tα var( S ) di mana tα diperoleh dari tabel t-student dengan nilai derajat bebas =n-1 2. Keanekaragaman jenis amfibi Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan Indeks ShannonWiener (Brower & Zar 1997). Nilai ini kemudian akan digunakan untuk membandingkan kenekaragaman amfibi berdasarkan habitatnya.
23 H' = −
ni
ni
∑ N × ln N
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ni
= Jumlah individu jenis ke-i
N
= Jumlah individu seluruh jenis
3. Kemerataan jenis amfibi Kemerataan
jenis
(Evenness)
dihitung
untuk
mengetahui
derajat
kemerataan jenis pada lokasi penelitian (Bower & Zar 1977). E=
H' ln S
Keterangan: E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan
4. Indeks kesamaan tipe habitat Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan antar lokasi pengamatan berdasarkan jenis amfibi yang ditemukan. Kesamaan antar lokasi pengamatan dianalisis dengan menggunakan Ward’s Linkage Clustering dalam program Minitab 13. 5. Frekuensi jenis Frekuensi jenis dan frekuensi relatif dapat dihitung untuk mengetahui jenis yang paling sering ditemukan di lokasi. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Frekuensi Jenis =
Jumlah plot ditemukan jenis Jumlah total plot pengamatan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1 Hasil 5. 1. 1 Komposisi dan Keanekaragaman Jenis 5. 1. 1. 1 Komposisi Jenis Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di Eks-HPH PT RKI yaitu sebanyak 37 jenis dari 5 famili dimana 33 jenis dijumpai dalam plot pengamatan dan 4 jenis di luar plot pengamatan (Tabel 4). Jumah jenis dari masing-masing famili antara lain famili Bufonidae (5 jenis), famili Megophryidae (3 jenis), famili Microhylidae (3 jenis), famili Ranidae (15 jenis), dan famili Rhacophoridae (11 jenis). Ordo Gymnophiona tidak ditemukan selama pengamatan. Tabel 4. Daftar Jenis Amfibi yang Ditemukan Berdasarkan Habitat dan Tipe Habitat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Akuatik
Jenis Ansonia leptopus Bufo asper Bufo divergens Bufo parvus Leptophryne borbonica Leptobrachium hasseltii Leptobrachium hendricksoni Megophrys nasuta Kalophrynus pleurostigma Microhyla borneensis Microhyla heymonsi Fejervarya limnocharis Huia sumatrana Limnonectes blythi Limnonectes crybetus Limnonectes kuhlii Limnonectes malesianus Limnonectes microdiscus Limnonectes paramacrodon Occidozyga sumatrana Rana chalconota Rana erythraea Rana hosii Rana luctuosa Rana nicobariensis Rana picturata Polypedates colletii
HP
HS
√
√ √
Terestrial
KK
KW
√ √
√
BT
HP
HS
KK
KW
BT
√ √* √
√ √ √* √
√ √ √
√
√ √ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√
√* √
√ √
√* √
√ √ √
√
√
√ √ √
√ √ √
√ √
√
√
√
√
√
√
√ √ √
√
√
√
√ √ √
√
√
√
√
√ √* √
√
√
√ √ √
√
25 Tabel 4. Lanjutan No
Jenis
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Polypedates leucomystax Polypedates macrotis Polypedates otilopus Rhacophorus cyanopunctatus Rhacophorus nigropalmatus Rhacophorus pardalis Rhacophorus reinwardtii Rhacophorus sp.1 Rhacophorus sp.2 Rhacophorus sp.3
Akuatik HP
HS √
KK
Terestrial KW
BT
√ √ √
√
√
√
HP
HS
KK
KW
BT
√ √
√
√
√
√ √ √*
√
√
√ √* Total 8 13 9 12 10 5 13 8 10 7 Ket: HP: Hutan Primer; HS: Hutan Sekunder; KK: Kebun Karet; KW: Kebun Sawit; BT: Areal Bekas Tebangan; *: di luar plot
Dari 402 individu dari 33 jenis amfibi yang ditemukan, famili Ranidae memiliki jumlah individu terbanyak (76,62%), setelah famili Rhacophoridae (13,18%), famili Bufonidae (6,47%), famili Megophryidae (2,24%), dan famili Microhylidae (1,49%). Sedangkan spesies yang memiliki jumlah individu yang terbanyak adalah Rana chalconota (23,63%) dan Rana erythraea (20,90%), sedangkan jenis yang memiliki jumlah individu paling sedikit adalah Microhyla borneensis, Limnonectes microdiscus, Limnonectes paramacrodon, Polypedates colletii, Rhacophorus cyanopunctatus, Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2 sebesar 0,25%. Jenis-jenis tersebut hanya ditemukan satu individu. Terdapat tiga jenis katak pohon belum teridentifikasi yang ditemukan di Eks-HPH PT RKI (Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2, dan Rhacophorus sp.3). Rhacophorus sp.1 ditemukan di hutan sekunder, berwarna kecokalatan dengan titik-titik hitam, memiliki ciri-ciri empat jari tangan tidak berselaput penuh. Terdapat tonjolan pada sendi tibiotarsal serta di sisi kaki dan tangan terdapat kulit yang bergerigi. Jenis ini termasuk ke golongan Rhacophorus appendiculatus (Kurniati pers.com)1. Rhacophorus sp.2 memiliki warna putih saat masih hidup, mata besar, dan badan ramping. Empat jari tangan tidak berselaput penuh dan di femur terdapat warna kuning. Jenis ini ditemukan di areal bekas tebangan di antara semak. Rhacophorus sp.3 ditemukan di hutan primer. Habitatnya sangat spesifik di sekitat kubangan dengan tumbuhan bawah di sekitarnya. Jenis ini juga pernah di temukan oleh Kurniati dan memiliki habitat yang sama. Jenis ini memiliki warna
1
Dra. Helen Kurniati, divisi herpetofauna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 29 November 2007
26 coklat dan dapat berubah warna jadi kemerahan. Empat jari tangan tidak berselaput penuh. Terdapat bintik-bintik berwarna hitam dari selaput sampai tarsus dan di punggung terdapat titik berwarna kekuningan yang merupakan ciri khas dari jenis ini. Jenis yang ditemukan di akuatik (26 jenis) lebih tinggi daripada jenis yang ditemukan di terestrial (23 jenis).
Empat belas jenis diantaranya hanya
ditemukan di habitat akuatik dan sebelas jenis hanya ditemukan di habitat terestrial. Jenis Rhacophorus nigropalmatus dan Rhacophorus reinwardtii ditemukan di habitat terestrial, tetapi biasanya kedua jenis ini hidup tidak jauh dari air seperti genangan atau kubangan. Sebanyak 18 jenis merupakan jenis yang spesialis, umumnya jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang hanya ditemukan di satu tipe habitat saja (Tabel 5). Tabel 5. Jenis-jenis amfibi spesialis yang dijumpai di habitat akuatik dan terestrial Tipe Habitat
Habitat Akuatik
Hutan primer
Habitat Terestrial
Leptophryne borbonica
Bufo parvus
Leptobrachium hendricksoni
Rana luctuosa Rhacophorus sp.3
Hutan sekunder
Ansonia leptopus
Microhyla borneensis
Limnonectes microdiscus
Polypedates colletii
Rhacophorus cyanopunctatus Rhacophorus sp.1 Kebun karet
Limnonectes paramacrodon
Rhacophorus nigropalmatus Leptobrachium hasseltii
Kebun sawit
Polypedates otilopus
Areal bekas tebangan
Huia sumatrana
─
Microhyla heymonsi Rhacophorus sp.2
Frekuensi jenis yang sering ditemukan adalah Rana chalconota (100%) dilanjutkan dengan
Bufo asper, Limnonectes blythi, Limnonectes kuhlii,
Limnonectes malesianus, Rana nicobariensis, dan Polypedates leucomystax masing-masing sebesar 80%. Di lokasi penelitian jenis Rana chalconota di temukan disemua tipe habitat. Jenis yang paling sedikit ditemukan adalah Ansonia leptopus, Bufo parvus, Leptophryne borbonica, Leptobrachium hasseltii, Microhyla borneensis, Huia sumatrana, Limnonectes microdiscus, Limnonectes paramacrodon, cyanopunctatus,
Polypedates
colletii,
Rhacophorus
Polypedates
nigropalmatus,
otilopus,
Rhacophorus
Rhacophorus reinwardtii,
Rhacophorus sp.1, dan Rhacophorus sp.2 masing-masing sebesar 20%. Jenis-
27 jenis ini hanya ditemukan di satu tipe habitat saja. Deskripsi jenis katak yang dijumpai disajikan pada Lampiran 1. R.chalconota P.leucomystax R.nicobariensis L.malesianus L.kuhlii L.blythi B.asper R.hosii R.erythraea O.sumatrana K.pleurostigma R.pardalis P.macrotis
Jenis
R.picturata L.crybetus F.limnocharis M.nasuta B.divergens Rhacophorus sp.2 Rhacophorus sp.1 R.reinwardtii R.nigropalmatus R.cyanopunctatus P.otilopus P.colletii L.paramacrodon L.microdiscus H.sumatrana M.borneensis L.hasseltii 0
20
40
60
80
Frekuensi (%)
100
120
L.borbonica B.parvus A.leptopus
Gambar 8. Grafik frekuensi setiap jenis amfibi di Lokasi Eks-HPH PT RKI Sebaran jenis Anura saat pengamatan bervariasi. Ansonia leptopus ditemukan di hutan sekunder. Jenis ini ditemukan di sisi sungai di vegetasi tumbuhan bawah atau di ranting pohon. Bufo asper ditemukan di sisi sungai atau danau. Jenis ini memiliki selaput renang yang penuh (Iskandar 1998). Hal ini menunjukan bahwa Bufo asper lebih bersifat akuatik daripada terestrial. Berbeda dengan Bufo asper, Bufo divergens juga di temukan di sekitar danau dan sungai. Namun, jika dilihat dari selaputnya yang tidak penuh jenis ini lebih terestrial daripada akuatik. Bufo parvus ditemukan di serasah hutan tipe habitat primer jauh dari perairan. Jenis ini telah beradaptasi dengan habitat terestrial dengan ditandakan selaput kaki yang tidak penuh. Leptophryne borbonica di temukan di sepanjang sungai hutan primer dengan substrat batu atau kayu roboh. Arus air sungai di hutan primer sedang dan jernih. Jenis ini dapat ditemukan dalam jumlah banyak di air yang jernih (Iskandar 1998).
28
Sumber: Berry (1975)
Gambar 9. Tipe selaput pada (a) Bufo asper dan (b) Ansonia leptopus Megophrys nasuta dan Leptobrachium hasseltii merupakan jenis terestrial jika dilihat dari selaputnya. Jenis ini biasanya dijumpai di serasah hutan. Katak ini tersaru dengan serasah untuk bertahan hidup (Iskandar 1998). Katak ini juga mengunjungi sungai kecil sampai medium untuk berkembang biak dan meletakan telurnya di tempat yang sepi (Inger & Stuebing 1997). Jenis-jenis Rana chalconota merupakan jenis yang ditemukan di semua tipe habitat yang diamati. Rana chalconota memiliki selaput kaki yang penuh, ini menandakan jenis ini lebih menyukai habitat akuatik. Jenis ini dapat tinggal di habitat yang terdapat air, bahkan dari dataran rendah sampai ketinggian lebih dari 1200 mdpl (Iskandar 1998). Rana erythraea dan Rana nicobariensis biasa berasosiasi dengan Rana chalconota di habitat akuatik danau. Ketiga jenis ini dapat dijumpai bertengger diantara rerumputan yang ada di sisi danau. Rana hosii lebih menyukai sungai daripada danau. Rana hosii biasanya selalu berhubungan dengan sungai (Iskandar 1998) dan tinggal di sungai yang jernih dan sungai besar (Inger 2005). Rana picturata ditemukan di sepanjang sungai yang berarus sedang di hutan primer dan hutan sekunder (Mistar 2003). Jenis ini biasa bertengger di ranting-ranting sisi sungai ± 20 sampai 50 cm dari permukaan air. Huia sumatrana merupakan jenis yang hidup di sungai yang berarus deras, jernih dan berbatu (Mistar 2003). Namun, jantan jenis ini ditemukan di habitat terestrial, bertengger di atas tumbuhan bawah ± 40 cm di atas permukaan tanah. Dari habitat akuatik ± 30 m berupa danau, tidak berupa sungai yang berarus deras.
29
Sumber: Berry (1975)
Gambar 10. Tipe selaput pada (a) Rana chalconota, (b) Rana erythraea, dan (c) Rana nicobariensis Fejervarya limnocharis lebih sering ditemukan di darat seperti jalan logging dan di atas tanah dari pada di perairan. Jenis ini memiliki selaput yang tidak penuh, berbeda dengan jenis Fejervarya cancrivora yang biasa hidup di sawah. Occidozyga sumatrana merupakan katak akuatik. Biasa ditemukan di dalam danau atau di genangan air. Mistar (2003) menemukan Occidozyga sumatrana di hutan areal bekas tebangan dan kebun karet sama seperti yang ditemukan di lokasi penelitian. Limnonectes crybetus, Limnonectes blythi, dan Limnonectes kuhlii sering ditemukan di atas permukaan tanah di sisi sungai. Ketiga jenis ini memiliki selaput yang penuh yang menandakan jenis tersebut lebih menyukai habitat akuatik. Limnonectes microdiscus merupakan katak yang tinggal di lantai hutan (Inger 2005). Jenis ini ditemukan di atas daun dengan ketinggian ± 50 cm dari permukaan sungai saat masih kecil. Limnonectes malesianus saat berukuran kecil lebih sering di temukan di serasah hutan. Namun, setelah dewasa katak ini selalu di temukan di perairan seperti diam di atas kayu atau tanah. Setelah di tangkap katak ini mengeluarkan makanannya berupa kepiting. Inger & Stuebing (1997) menyatakan bahwa
jenis ini
makan invertebrata dan katak kecil.
Limnonectes paramacrodon ditemukan di serasah di sisi sungai dengan substrat sungai pasir. Kalophrynus pleurostigma dan Microhyla borneensis ditemukan di serasah hutan. Kalophrynus pleurostigma terkadang ditemukan di dekat genangan air. Kedua jenis ini tinggal di lantai hutan dan bertelur di genangan air di dalam hutan (Inger & Stuebing 1997). Polypedates colletii ditemukan di batang tumbuhan bawah. Polypedates leucomystax ditemukan di terestrial, namun lebih sering ditemukan di danau di
30 antara rumput-rumput. Jenis ini berasosiasi dengan Rana nicobariensis, Rana erythraea, dan Rana chalconota. Sama seperti Polypedates leucomystax, Polypedates macrotis lebih sering ditemukan di habitat akuatik daripada habitat terestrial. Di lokasi pengamatan ditemukan jenis ini sedang amplexus di pinggiran danau. Polypedates otilopus jantan bersuara dari vegetasi di sekitar kolam dengan air yang tidak mengalir (Inger & Stuebing 1997). Jenis ini ditemukan di batang kitrinyu (Eupatorium sp.) dengan ketinggian mencapai 2,5 m dari permukaan air danau. Jenis ini kadang berasosiasi dengan jenis lain seperti Polypedates
macrotis
dan
Rhacophorus
pardalis
(Mistar
2003).
Saat
pengamatan jenis ini ditemukan secara bersamaan di lokasi yang sama. Rhacophorus sp.1 dan Rhacophorus cyanopunctatus ditemukan di aliran sungai dan diam di daun atau batang tumbuhan bawah. Habitat yang disukai adalah bagian sungai yang berarus lambat. Rhacophorus nigropalmatus dan Rhacophorus reinwardtii sering ditemukan di kubangan-kubangan bekas babi. Kedua jenis dapat memanjat sampai ketinggian ± 4 m di atas permukaan tanah bahkan lebih. Di lokasi penelitian Rhacophorus nigropalmatus lebih menyukai kebun karet dan Rhacophorus reinwardtii lebih menyukai hutan primer dan hutan sekunder. Rhacophorus sp.2 ditemukan di areal bekas tebangan yang agak jauh dari perairan. Jenis ini bertengger di ranting tumbuhan bawah. Kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat akuatik sudah mendatar. Pada kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat terestrial masih beranjak naik.Kurva akumulasi jenis amfibi pada habitat terestrial berpengaruh pada kurva akumulasi gabungan, sehingga kurva akumulasi gabungan masih beranjak naik (Gambar 11). Hasil perhitungan dengan Jackknife menunjukan bahwa kemungkinan jenis yang ada di lokasi tersebut masih bisa terus bertambah yaitu antara
33,2 ≅ 33 sampai 56,6 ≅ 57 dengan standard
deviasi 4,20 (selang kepercayaan 95%) dan jumlah jenis yang ditemukan di satu tipe habitat sebanyak 15 jenis.
31 40.00 35.00 Jumlah Jenis
30.00 25.00
Akuatik
20.00
Terestrial
15.00
Gabungan
10.00 5.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Usaha Pencarian
Gambar 11. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan habitat Jumlah jenis amfibi pada malam hari lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis amfibi pada siang hari (Gambar 12), terlihat dari jumlah jenis pada malam hari ditemukan 33 jenis, sedagkan pada siang hari hanya 11 jenis. Hal ini dikarenakan jenis amfibi termasuk satwa nokturnal (aktif pada malam hari), sehingga untuk melakukan penelitian amfibi (Anura) sebaiknya dilakukan pada waktu malam hari. Rana erythraea merupakan jenis yang paling banyak ditemukan pada siang hari. 40.00 35.00 Jumlah Jenis
30.00 25.00 Malam
20.00
Pagi
15.00 10.00 5.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Usaha Pencarian
Gambar 12. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan waktu pengamatan
32 5. 1. 1. 2 Keanekaragaman Jenis Hasil pehitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukan bahwa hutan sekunder (H’= 2,18) memiliki keanekaragaman tertinggi setelah hutan primer (H’= 2,12) dan kebun karet (H’= 2,09). Kebun sawit memiliki keanekaragaman yang paling rendah (H’= 1,44). Dari lima tipe habitat tersebut, yang memiliki kemerataan jenis yang paling tinggi adalah hutan primer (E= 0,97) dan yang paling rendah adalah kebun sawit (E= 0,54). 2,50 2,18
2,12
2,09
2,00
1,87
1,44
1,50
H' 1,00
E
0,97 0,78
0,77
0,72
0,54 0,50
0,00 Primer
Sekunder
Karet
Sawit
Bekas tebangan
Tipe Habitat
Gambar 13. Grafik Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Amfibi 5. 1. 2 Karakteristik Habitat Amfibi 5. 1. 2. 1 Faktor Fisik Cuaca pada saat pengamatan lebih sering mendung dan kadang disertai gerimis pada pagi hari sedangkan malam hari cuaca lebih sering cerah. Curah hujan yang berasal dari Stasiun Klimatologi Pelepat menunjukan bahwa di lokasi tersebut memiliki curah hujan yang tergolong sedang. Pada tahun 2006 curah hujan yang tertinggi ada di bulan Pebruari (295 mm) dan yang terendah di bulan Oktober (30 mm). Total curah hujan pada tahun 2006 adalah 2008 mm dengan rata-rata 167,33 mm. Jumlah hari hujan tahun 2006 terjadi pada bulan April (12 hari) dan yang terendah pada bulan Oktober (2 hari) dengan rata-rata jumlah hari hujan 7,25 hari.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
450 400 Curah Hujan (mm)
350 300 250 200 150 100 50 JA N FE '0 M B 5 A '0 APR '05 R 5 M '0 E 5 JU I '0 N 5 JU ' 0 AG L 5 S '05 SE '0 5 O P' K 0 N T 5 O '0 5 D V '0 ES 5 JA ' N 05 FE '0 M B' 6 A 06 APR '0 R 6 M '0 E 6 JU I ' N 06 JU ' 0 AG L 6 ' S 06 SE '0 6 O P' K 0 N T 6 O '0 D V '0 6 ES 6 '0 6
0
Jumlah Hari Hujan
33
Bulan Januari 2005- Desember 2006
Gambar
14.
Data curah hujan tahun 2005-2006
dan
jumlah
hari
hujan
setiap
bulan
Suhu air yang diperoleh berkisar 20 sampai 25,5°C dan suhu udara berkisar 20 sampai 33°C. Suhu air dan suhu udara terendah berada di hutan sekunder sedangkan suhu air dan suhu udara tertinggi berada di areal bekas tebangan. Kelembaban yang di peroleh berkisar 52 sampai 83%. Tabel 6. Kondisi fisik di setiap tipe habitat No
Tipe Habitat
1 2 3 4 5
Hutan Primer Hutan Sekunder Karet Sawit Areal bekas tebangan
Suhu (°C) Air Udara 22-23 22,5-25 20-21 20-32 22,5-24,5 20-27,5 22-23,75 20-28 22,25-25,5 21-27
Kelembaban (%) 70-81 73-83 52-75 51-78 36-81
pH Air 7 7 7 7 7
5. 1. 2. 2 Sebaran Ekologis Sebaran ekologis digambarkan dengan posisi saat amfibi ditemukan. Posisi tersebut dibedakan menjadi horizontal dan vertikal (Heyer et al. 1994). Posisi horizontal menggambarkan referensi terhadap badan air, disertai sifat naungan. Posisi vertikal di habitat terestrial digambarkan sebagai referensi terhadap posisi sub-permukaan pada permukaan tanah yang terbuka, permukaan tanah yang ternaungi dan di bawah tanah atau air.
34 Tabel 7. Kisaran posisi umum masing-masing jenis saat dijumpai Jenis Ansonia leptopus Bufo asper Bufo divergens Bufo parvus Leptophryne borbonica Leptobrachium hasseltii Megophrys nasuta Kalophrynus pleurostigma Microhyla borneensis Fejervarya limnocharis Huia sumatrana Limnonectes blythi Limnonectes crybetus Limnonectes kuhlii Limnonectes malesianus Limnonectes microdiscus Limnonectes paramacrodon Occidozyga sumatrana Rana chalconota
Rana erythraea Rana hosii Rana nicobariensis Rana picturata Polypedates colletii
Posisi Vertikal Horizontal Di atas batu dan daun Di tepi sungai sampai 2 m sampai 50 cm dpa* dta* Di atas batu, kayu, tanah Di tepi sungai hingga dan di dalam air lantai hutan, hingga 3,5 m dta* Di atas daun dan ranting Di tepian danau dan sampai 50 cm dpa* sungai hingga 2,5 m dta* Di serasah hutan Jauh dari perairan di temukan Di atas batu dan tanah di Di tengah sungai sampai sepanjang sungai tepian sungai Ditemukan di serasah hutan Ditemukan di serasah Di tepi sungai hutan Di lantai hutan Di tepi kubangan Di serasah hutan jauh dari perairan Di atas tanah Di tepi danau hingga 50 cm dta* Di atas daun tumbuhan bawah Di atas tanah dan serasah Di tengah hingga tepi hutan sungai hingga 3 m dta* Di atas tanah, kayu, batu, Di tepi sungai hingga 2 m dan serasah dta* Di dalam air, di atas Di tengah sungai sampai tanah, dan di atas batu tepi sungai dan danau Di atas rumput, tanah dan Di tepi danau serasah Di atas daun hingga 50 Di tepi sungai cm dpa* Di serasah di tepi sungai Di tepi sungai hingga 2 m dta* Di atas tanah atau lumpur Di tepi danau atau di dalam kubangan Di atas tumbuhan bawah Di tengah, tepian sungai tepi sungai hingga 2,5 m hingga jauh dari sungai dpa* Di dalam air, di atas Di tepi sungai atau danau rumput dan di atas daun hingga 3,5 m dta* hingga 2,5 m dpa* Di ranting dan kayu lapuk Di tepi sungai hingga 1,5 m dpa* Di dalam air, di atas Di tepi sungai atau danau rumput dan di atas daun hingga 2,5 m dta* hingga 1,5 m dpa* Di ranting dan akar hingga Di tepi sungai 80 cm dpa* Di ranting batang tumbuhan bawah hingga 50 cm
35 Tabel 7. Lanjutan Jenis Polypedates leucomystax Rhacophorus reinwardtii Polypedates macrotis Polypedates otilopus Rhacophorus cyanopunctatus Rhacophorus nigropalmatus Rhacophorus pardalis Rhacophorus sp.1 Rhacophorus sp.2
Posisi Vertikal Horizontal Di atas daun, ranting dan Di tengah hingga tepi di antara rerumputan danau dan di dalam hutan Di atas daun dan pohon Di dekat kubangan Di atas tanah, daun, Di tepi sungai hingga batang hingga 3,5 dpa* dalam hutan Di batang tumbuhan Di tepi danau hingga 3 m bawah hingga 2,5 dpa* dta* Di atas daun 2 m dpa* Di tepi sungai Di atas batang pohon hingga 4 m Di atas daun dan ranting hingga 2 m dpa* Di atas daun 1,5 m dpa* Di atas ranting tumbuhan bawah 30 cm di atas tanah
Di dekat kubangan Di tengah hingga tepi danau Di tepi sungai -
Ket: dta: dari tepian air; dpa: dari atas permukaan air
5. 1. 2. 3 Kesamaan Jenis Amfibi Antar Tipe Habitat
Pengelompokan dibagi menjadi tiga, yaitu tipe habitat hutan (hutan primer dan hutan sekunder), tipe habitat kebun (kebun karet dan kebun sawit), dan tipe habitat areal bekas tebangan. Hasil perhitungan indeks kesamaan dengan menggunakan Ward’s Linkage Clustering dalam Minitab13 menunjukan bahwa di lokasi Eks-HPH PT RKI terdapat 3 kelompok yaitu areal akuatik bekas tebangan dengan areal akuatik hutan tanaman (kebun) yang kemudian mengelompok dengan areal akuatik di kawasan hutan. Hutan terestrial merupakan kelompok tersendiri namun lebih memiliki kesamaan dengan habitat akuatik. Hal ini karena di areal hutan terestrial terdapat kubangan, sehingga ditemukan jenis-jenis amfibi yang biasa di habitat akuatik. Kelompok yang terakhir adalah areal terestrial bekas tebangan dengan hutan tanaman (Gambar 15).
36
S im ila r it y 2 7 .6 9
5 1 .7 9
7 5 .9 0
1 0 0 .0 0 B TA
KA
HA
HT
B TT
KT
T ip e H a b it a t
Ket: BTA: Bekas tebangan akuatik; KA: Kebun akuatik; HA: Hutan akuatik; HT: Hutan terestrial; BTT: Bekas tebangan terestrial; KT: Kebun terestrial
Gambar 15. Dendrogram kesamaan jenis antar tipe habitat Lokasi Eks-HPH PT RKI ini juga dibandingkan menggunakan Ward’s Linkage Clustering dengan beberapa lokasi di Sumatera yang telah dilakukan penelitian dan survei (Sudrajat 2001; HIMAKOVA 2004; Ul-Hasanah 2006; HIMAKOVA 2006) (Lampiran 16). Lokasi Eks-HPH PT RKI lebih memiliki kesamaan jenis dengan lokasi di Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas, Sumatera Selatan. Lokasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan lebih memiliki kesamaan jenis dengan Taman Nasional Way Kambas. Walaupun demikian, tingkat kesamaan relatif rendah yaitu lebih dari 50.
S im ila rity 4 6 .0 4
6 4 .0 3
8 2 .0 1
1 0 0 .0 0 S um s e l
Jam bi
L okasi
TNBBS
TNW K
Gambar 16. Dendrogram kesamaan jenis antar lokasi
37 5. 1. 3 Kisaran Ukuran Tubuh, Aktivitas dan Kecacatan (Malfomation) 5. 1. 3. 1 Kisaran Ukuran Tubuh Kisaran ukuran tubuh dinyatakan dalam panjang dari ujung moncong hingga kloaka (Snout-Vent Length). Nilai SVL beberapa jenis disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kisaran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis amfibi di Eks-HPH PT RKI Minimum Maximum Std. Mean (mm) (mm) Deviation 4 35.50 39.05 37.61 1.53 Ansonia leptopus 9 35.95 101.10 62.64 18.37 Bufo asper 4 34.35 44.75 37.34 4.96 Bufo divergens 3 18.80 23.20 20.77 2.24 Bufo parvus 13 29.00 58.55 48.93 8.65 Fejervarya limnocharis 2 31.45 32.10 31.78 0.46 Huia sumatrana 5 21.80 37.70 31.31 6.36 Kalophrynus pleurostigma 4 28.00 75.20 45.24 22.04 Leptobrachium hasseltii 5 28.85 39.75 32.59 4.18 Leptophryne borbonica 16 58.95 121.60 87.70 18.98 Limnonectes blythi 8 20.30 68.80 44.44 15.19 Limnonectes crybetus 16 16.00 54.55 35.62 12.34 Limnonectes kuhlii 14 16.70 123.60 47.36 30.19 Limnonectes malesianus 5 33.30 70.40 55.14 16.29 Megophrys nasuta 6 17.30 30.30 24.73 4.39 Occidozyga sumatrana 16 4.00 66.30 46.72 13.44 Polypedates leucomystax 9 33.35 80.15 48.99 13.73 Polypedates macrotis 7 60.50 76.45 66.70 4.87 Polypedates otilopus 71 31.10 62.70 40.31 6.36 Rana chalconota 43 22.45 75.00 49.45 18.61 Rana erythraea 4 34.65 81.30 50.90 21.66 Rana hosii 24 25.25 49.10 40.90 6.07 Rana nicobariensis 6 37.40 56.15 42.46 6.93 Rana picturata 3 82.95 87.80 84.73 2.67 Rhacophorus nigropalmatus 2 41.40 42.30 41.85 0.64 Rhacophorus pardalis Ket: Jumlah yang tercantum dalam tabel hanya jenis yang memiliki jumlah ≥ 2, tidak dilakukan perbedaan ukuran antar jenis kelamin Jenis
N
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kisaran ukuran tubuh ini memiliki interval yang bervariasi dan interval yang sangat jauh untuk beberapa jenis tertentu. Kisaran ukuran tubuh ini dapat menggambarkan perbandingan individu anakan (juvenile) dengan individu dewasa yang menunjukan adanya tingkatan umur. Kisaran terbesar adalah jenis Limnonectes malesianus dengan ukuran minimum 16,70 mm dan ukuran maksimum 123,60 mm dengan jumlah 14 individu. Sedangkan kisaran terkecil adalah jenis Huia sumatrana dengan jumlah 2 individu jantan, kisaran minimum 31,45 mm dan kisaran maksimum 32,10 mm.
38 5. 1. 3. 2 Aktivitas Saat Dijumpai Aktivitas yang sering ditemui saat pengamatan adalah aktivitas duduk. Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu (Duellman & Carpenter 1998). Jenis-jenis yang paling sensitif ketika saat ditemukan adalah genus Limnonectes antara lain Limnonectes macrodon, Limnonectes blythii, Limnonectes malesianus, dan Limnonectes kuhlii. Katak jenis ini akan segera melompat ke sekitar atau menyelam ke dalam air ketika pengamat mendekat. Jenis-jenis lain yang juga segera melompat saat ditemukan adalah Bufo asper, Bufo biporcatus, Ansonia leptopus, Fejervarya limnocharis, Rana nicobariensis, dan Rana hosii. Jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek, seperti famili Megophryidae hanya melakukan penyamaran dan bersembunyi (Iskandar 1998). Selain itu juga dijumpai jenis-jenis yang sedang bersuara. Aktivitas bersuara pada umumnya berhubungan dengan proses perkembangbiakan (Goin & Goin 1971). Jenis-jenis tersebut antara lain Ansonia leptopus, Rana erythraea, Rana
picturata,
Polypedates
leucomystax,
Rhacophorus
nigropalmatus,
Rhacophorus pardalis, dan Rhacophorus reinwardtii. Jenis Rana erythraea bersuara pada saat siang dan malam hari. Pada saat pengamatan hanya ditemukan satu jenis yang sedang melakukan perkawinan (amplexus) yaitu jenis Polypedates macrotis.
Gambar 17. Polypedates macrotis sedang berativitas kawin (amplexus) 5. 1. 3. 3 Kecacatan (Malfomation) Kecacatan di semua lokasi di Eks-HPH PT RKI ditemukan pada 5 jenis. Jenis Ansonia leptopus merupakan jenis yang memiliki persentase kecacatan yang paling besar (25%) dari 4 individu. Kecacatan yang di temukan antara lain anophthalmy (salah satu matanya tidak ada), hemimelia (bagian ujung kakinya tidak ada), limb hyperextension (jari kaki membengkok), polydactyly (jari kaki tambahan), dan syndactyly ( jari kaki merapat).
39 Tabel 9. Kecacatan amfibi di Eks-HPH PT RKI No
Jenis
N
1 2 3 4 5
Ansonia leptopus Fejervarya limnocharis Limnonectes crybetus Polypedates macrotis Rana chalconota
4 13 14 11 96
Jumlah Individu Cacat 1 1 1 1 1
Persentase (%)
Jenis Kecacatan
25,00 7,69 7,14 9,09 1,04
Syndactyly Hemimelia Anophthalmy Polydactyly Limb hyperextension
Jumlah 436 5 1,15 Ket: Jumlah merupakan seluruh amfibi yang tertangkap di luar dan dalam plot
Pesentase keseluruhan dari jenis amfibi yang mengalami kecacatan adalah 1,15%. Tingkat kecacatan masih dianggap normal jika persentase masih kurang dari 5% (Johnson et al. 2003). Persentase di lokasi Eks-HPH PT RKI kurang dari 5% sehingga masih wajar. Empat spesies tertangkap di hutan sekunder yaitu Ansonia leptopus, Limnonectes crybetus, Polypedates macrotis, dan
Rana
chalconota, sedangkan spesies Fejervarya limnocharis ditemukan di kebun sawit. Di tipe habitat kebun karet dan areal bekas tebangan tidak menemukan amfibi yang mengalami kecacatan. 5. 1. 4 Gangguan Terhadap Amfibi Pada lokasi penelitian, gangguan yang disebabkan oleh manusia sedikit sekali terjadi. Namun, secara tidak langsung bisa saja terjadi pada habitat amfibi. Gangguan yang ada di lokasi penelitian antara lain perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, penebangan, pembakaran, dan pencemaran air (pestisida). Perubahan hutan menjadi perkebunan dapat merubah komposisi amfibi yang ada, sedangkan untuk penebangan dan pembakaran dapat memusnahkan amfibi yang berada di sekitar wilayah tersebut. Pencemaran air yang dilakukan secara tidak langsung dapat menyebabkan kecacatan, penduduk menggunakan pestisida untuk mencari ikan dengan cara meracun. Amfibi memerlukan air untuk siklus hidupnya, karena memilki kulit yang permiabel dan lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan dibandingkan reptil, burung,
mamalia (Doyle 1998; Morell 1999b dalam Cohen 2001). Gangguan-gangguan tersebut dapat berpengaruh terhadap kulitas dan kuantitas amfibi. 5. 2 Pembahasan Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di Eks-HPH PT RKI lebih besar bila dibandingkan Sudrajat (2001) yang menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas Sumatera Selatan ataupun hasil penelitian HIMAKOVA (2004) yang
40 menemukan 13 jenis di Sukaraja, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan HIMAKOVA (2006) menemukan 18 jenis di Seksi Way Kanan, Taman Nasional Way Kambas. Namun bila dibandingkan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang ditemukan 44 jenis, jumlah yang ditemukan di Eks-HPH PT RKI tergolong rendah (Ul-Hasanah 2006). Perbedaan ini antara lain disebabkan perbedaan usaha dalam pencarian,
dan cakupan wilayah penelitian yang
memiliki perbedaan ketinggian, sehingga jenis-jenis yang berada di dataran tinggi seperti Philautus sp. dan Megophrys montana tidak ditemukan dalam penelitian ini. Walaupun areal kerja Eks-HPH PT RKI terletak di ketinggian 190 mdpl hingga 1.670 mdpl, namun lokasi penelitian memiliki ketinggian 350 sampai 550 mdpl. Berbeda misalnya dengan lokasi penelitian Ul-Hasanah (2006) yang terletak pada ketinggian 50 sampai 1200 mdpl. Kareakteristik fisik seperti suhu udara, suhu air dan kelembaban di lokasi penelitian menunjukkan nilai yang sesuai bagi kehidupan amfibi secara umum. Suhu udara yang diperoleh di lokasi penelitian berkisar 20° sampai 32°C. Sudrajat (2001) melaporkan di beberapa lokasi di Sumatera Selatan yaitu di Muara Banyuasin berkisar antara 25° sampai 27°C, Lahat antara 23° sampai 25°C dan di Musi Rawas antara 24° sampai 27°C. Sementara dari hasil penelitian Ul-Hasanah (2006) yang dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan mendapat kisaran suhu udara 19,46° sampai 25,77°C. Menurut Goin & Goin (1971) katak memiliki toleransi suhu antara 3 sampai 410 C, sehingga kisaran suhu udara yang diperoleh di lokasi penelitian dapat mendukung kehidupan amfibi. Amfibi selalu berasosiasi dengan air (Iskandar 1998). Amfibi memerlukan air untuk bertelur dan berkembang. Susanto (1999) mengatakan bahwa telurtelur yang sudah dikeluarkan biasanya akan menetas pada air yang suhunya 24 27°C. Berdasarkan kisaran suhu air yang diperoleh di lokasi penelitian yaitu berkisar antara 20° sampai 25,5°C bahwa lokasi tersebut dapat mendukung perkembangbiakan amfibi dewasa maupun pada saat berudu. Hal ini terbukti adanya berudu Megophrys nasuta di perairan hutan sekunder dan anakan Rana erythraea yang masih berupa katak berekor di danau. Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Kelembaban yang diperoleh di lokasi penelitian
berkisar
36%
sampai
83%.
Sementara
Ul-Hasanah
(2006)
memperoleh kisaran kelembaban antara 84% sampai 99%. Kondisi vegetasi yang relatif lebih terbuka daripada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
41 diduga menyebabkan kelembaban di lokasi penelitian lebih rendah. Selain kelembaban amfibi juga memerlukan derajat keasaman atau pH yang cukup. Menurut Payne (1986) menyatakan bahwa kisaran pH air yang berada di tropis adalah antara 4,3 sampai 7,5. Semua habitat akuatik yang ada di lokasi penelitian memiliki pH 7 atau netral. Jumlah katak yang cacat yang relatif rendah selama penelitian kemungkinan disebabkan oleh masalah alami, bukan oleh adanya faktor-faktor luas seperti pencemaran air. Kondisi
habitat di lokasi survei yang menunjukan gangguan manusia
terlihat dari jenis-jenis katak yang dijumpai selama penelitian. Jenis-jenis yang dijumpai di hutan relatif berbeda dengan habitat tak berhutan (kebun dan bekas tebangan). Berdasarkan gambar 15. habitat akuatik areal bekas tebangan memiliki kesamaan jenis dengan habitat akuatik kebun, yaitu sebesar 96,87. Hal ini karena habitat akuatik di areal bekas tebangan dan di kebun sawit memiliki karakteristik yang sama yaitu berupa danau.
Sepuluh jenis amfibi ditemukan di
habitat akuatik di kedua tipe habitat ini, yaitu Bufo asper, Fejervarya limnocharis, Limnonectes Polypedates
blythi,
Limnonectes
leucomystax,
Rana
malesianus, chalconota,
Occidozyga Rana
sumatrana,
erythraea,
Rana
nicobariensis, dan Rhacophorus pardalis. Jenis ini merupakan jenis yang menyebar luas bukan hanya di Sumatera tapi juga pulau-pulau lain di Indonesia (Inger & Stuebing 1997; Iskandar 1998; Inger 2005). Jenis yang paling sedikit ditemukan semisal Ansonia leptopus, Bufo parvus, Leptophryne borbonica, Leptobrachium hasseltii, Microhyla borneensis, Huia sumatrana, Limnonectes microdiscus, Limnonectes paramacrodon, Polypedates colletii, Polypedates otilopus,
Rhacophorus
cyanopunctatus,
Rhacophorus
nigropalmatus,
Rhacophorus reinwardtii, Rhacophorus sp.1, dan Rhacophorus sp.2 adalah jenisjenis ini memiliki sebaran yang sempit, kebanyakan di daerah berhutan (baik primer maupun sekunder) dan hanya ditemukan di satu tipe habitat saja. Jenisjenis tersebut lebih membutuhkan habitat yang relatif tidak terganggu, vegetasi yang lebih bervariasi, jauh dari aktifitas manusia dan lebih suka hidup di sungai yang jernih dan mengalir, sedangkan jenis-jenis yang ditemukan di tipe habitat areal bekas tebangan dan kebun merupakan jenis yang lebih bisa beradaptasi dengan habitat yang sudah terganggu. Secara total habitat hutan sekunder memiliki keanekaragaman tertinggi (21 jenis), sementara hutan primer memiliki jumlah jenis terendah yaitu 9 jenis. Hal ini juga sangat berbeda dengan hasil penelitian Ul-hasanah (2006) yang
42 menemukan bahwa hutan primer memiliki jumlah jenis lebih tinggi daripada daerah hutan terganggu. Hal ini diduga karena hasil penelitian di hutan primer memiliki luasan terbatas, sehingga tidak mendukung kehidupan amfibi. Namun hutan primer diduga memiliki fungsi penting sebagai
tempat berlindung bagi
jenis-jenis spesialis dimana dari hasil penelitian paling tidak ada satu jenis amfibi yang belum dideskripsikan dan diduga merupakan endemik. Namun jika dilihat dari indeks keanekaragaman, maka nilai H’ tertinggi dari lima tipe habitat terdapat pada tipe habitat hutan sekunder (2,18) dengan 21 jenis, sedangkan terendah pada tipe habitat kebun sawit (1,44) dengan 14 jenis. Nilai keanekaragaman di hutan sekunder tergolong sedang dan di kebun sawit tergolong rendah karena menurut Margalef (1972) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa tingkat kelimpahan jenis yang tinggi ditunjukkan dengan nilai Indeks Shannon-Wienner lebih dari 3,5; digolongkan sedang bila nilai indeks 1,5 sampai 3,5 serta rendah bila kurang dari 1,5. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan hasil Ul-Hasanah (2006) dan HIMAKOVA (2004) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan nilai H’ 0,87 sampai 2,26 pada habitat tidak terganggu dan nilai H’ 1,04 sampai 2,83 pada habitat terganggu serta di Sukaraja dengan nilai H’ 2,11. Sudrajat (2001) mendapatkan nilai H’ di Banyuasin, Lahat, dan Musi berturut-turut 1,83; 1,19 dan 0,89. Sedangkan keanekaragaman di Taman Nasional Way Kambas berkisar antara 0,67 sampai 2,02 (HIMAKOVA 2006). Berdasarkan gambar 16. lokasi Eks-HPH PT RKI lebih memiliki kesamaan jenis dengan lokasi Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas (Sumatera Selatan) dan lokasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan lebih memiliki kesamaan jenis dengan Taman Nasional Way Kambas. Hal ini bisa terjadi karena letak georafis antar anggota kelompok yang saling berdekatan. Letak geografis dapat menentukan jumlah jenis penghuninya (Alikodra 2002). Penyebaran satwaliar mempunyai pembatas-pembatas fisik seperti sungai, samudera dan gunung serta pembatas ekologis seperti batas tipe hutan dan jenis pesaing yang telah lebih lama beradaptasi di wilayah tersebut (Alikodra 2002). Menurut
Primack
et
al.
(1998)
bahwa
satwaliar
akan
semakin
beranekaragam bila struktur habitatnya juga beranekaragam. Ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas, yaitu: waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978), sedangkan menurut Goin & Goin (1971) kecocokan terhadap suhu dan kelembaban, penutupan tajuk dan
43 formasi tanah merupakan faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman.
Heterogenitas habitat pada daerah tropis memiliki ketidakseragaman lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang lebih besar pada spesiestumbuhan untuk membentuk dasar sumberdaya bagi komunitas hewan yang sangat beranekaragam (Campbell 2004b). Nilai E tertinggi diantara lima tipe habitat ini adalah hutan primer (E= 0,97) dan yang paling rendah adalah kebun sawit (E= 0,54). Nilai E dikatakan semakin merata jika mendekati 1 dan dikatakan tidak merata jika mendekati 0. Hutan primer memiliki kemerataan yang tinggi karena di tipe habitat tersebut memiliki jumlah individu per jenis yang relatif sama, sedangkan pada tipe habitat kebun sawit terdapat jenis yang memiliki jumlah individu lebih dominan yaitu Rana erythraea (55 individu). Berdasarkan pengamatan jenis ini mudah ditemukan di sekitar danau (Iskandar 1998) dan dalam jumlah banyak. Kemerataan dapat digunakan sebagai indikator adanya jenis yang mendominasi pada suatu komunitas (Santosa 1995). Sehingga dominasi suatu jenis akan tinggi jika kemerataan rendah, begitu juga sebaliknya. Setelah ditinggalkan oleh PT RKI, pengelolaan kawasan hutan ini berpindah tangan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo. Saat ini kawasan hutan tersebut telah banyak berubah menjadi perkebunan karet dan sawit. Jika hal ini tidak diatur secara ketat oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo, maka jenis-jenis amfibi seperti Leptophryne borbonica, Leptobrachium hendricksoni, Bufo parvus, Rana luctuosa, dan Rhacophorus sp.3 yang ada di dalam hutan primer akan ikut musnah juga seiring dengan berubah fungsinya hutan, begitu juga dengan jenis yag ada di hutan sekunder. Padahal masih terdapat jenis-jenis amfibi yang belum ditemukan di kawasan Eks-HPH PT RKI. Katak di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia memiliki kesamaan jenis yang tinggi dengan katak yang terdapat di Sumatera. Tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera lebih tinggi dibandingkan dengan kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan (Inger & Voris 2001). Di Pulau Sumatera sendiri survei-survei amfibi belum menyeluruh, sehingga informasi beberapa jenis amfibi masih belum mencakup seluruh Sumatera. Hasil penelitian di daerah Eks-HPH PT RKI mendapat penemuan baru mengenai penyebaran
jenis
amfibi
di
Pulau
Sumatera.
Jenis-jenis
Bufo
asper,
44 Leptobrachium
hasseltii,
Megophrys
nasuta,
Kalophrynus
pleurostigma,
Microhyla heymonsi, Limnonectes kuhlii, Rana erythraea, Rana hosii, Rana nicobariensis,
Polypedates
leucomystax,
Polypedates
macrotis,
dan
Rhacophorus reinwardtii merupakan jenis-jenis yang memiliki penyebaran luas dan dijumpai diseluruh Pulau Sumatera, bahkan juga di pulau-pulau lain (IUCN, Conservation International & NatureServe 2006). Jenis Bufo divergens, Leptobrachium hendricksoni, Microhyla borneensis, Limnonectes blythi, Limnonectes microdiscus, Limnonectes paramacrodon, Rana luctuosa, Polypedates otilopus, Rhacophorus cyanopunctatus, Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2, dan Rhacophorus sp.3 belum ada laporan mengenai penyebaran jenis-jenis tersebut di Provinsi Jambi, walaupun hasil penelitian UlHasanah (2006) dan HIMAKOVA (2006) menemukan jenis Limnonectes blythi, Limnonectes
malesianus,
Limnonectes
paramacrodon,
Rana
picturata,
Polypedates colletii, dan Rhacophorus nigropalmatus di Propinsi Lampung.yang berdekatan
dengan
Eks-HPH
PT
RKI.
Sebagai
contoh,
Limnonectes
paramacrodon di Eks-HPH PT RKI, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas belum ditemukan sebelumnya (Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini memperkaya informasi mengenai cakupan penyebaran jenis ini di Sumatera. Sedangkan jenis Ansonia leptopus, Rana picturata, Rhacophorus nigropalmatus, dan Rhacophorus pardalis ditemukan di Provinsi Jambi (IUCN, Conservation International, & NatureServe 2006) tetapi belum ada laporan keberadaan jenis ini di sekitar lokasi penelitian.
Eks-HPH PT RKI
TNWK
TNBBS
Sumber: http://www.globalamphibians.org
Gambar 18. Peta penyebaran Limnonectes paramacrodon
VI. KESIMPULAN 6. 1 Kesimpulan Jumlah jenis amfibi yang ditemukan yaitu 37 jenis. Keanekaragaman di lokasi non hutan (sawit, karet dan bekas tebangan) jauh lebih rendah dibanding kawasan berhutan. Di dalam kawasan berhutan ditemukan jenis-jenis spesialis semisal Rana luctuosa, Rhacophorus cyanopunctatus, dan Rhacophorus sp.3 yang tidak dijumpai di kawasan non hutan. Diduga bila hutan mengalami degradasi habitat maka akan terdapat jenis-jenis yang punah dan digantikan oleh jenis-jenis mampu beradaptasi dengan lingkungan yang telah dipengaruhi oleh aktivitas manusia semisal Polypedates leucomystax dan Rana chalconotal. Hal ini menunjukkan pentingnya peran hutan bagi kehidupan amfibi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa areal eks-HPH masih menunjang keberagaman amfibi terutama untuk areal yang dibiarkan menjadi hutan kembali. Keberadaan hutan primer di areal lokasi diduga menjadi salah satu tempat berlindung bagi jenis-jenis spesialis oleh karena itu keberadaan hutan tersebut harus mendapat perhatian dari pengelola. 6. 2 Saran 1. Perlu dilakukan survei yang lebih menyeluruh di Pulau Sumatera untuk mendapatkan gambaran keanekaragaman jenis amfibi, terutama di tipe habitat yang berbeda untuk melengkapi data amfibi yang sudah ada di Pulau Sumatera. 2. Waktu pengambilan data diharapkan dapat dilakukan pada musim yang berbeda mengingat pengaruh iklim sangat berpengaruh terhadap pola perilaku amfibi.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Beebee TJC, Griffiths RA. 2005. The amphibian decline crisis : A watershed for conservation biology? Biological Conservation 125 : 271–285. Berry PY. 1975. The amphibian fauna of Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Tropical Pr. Brower JE, Zar JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Iowa: Brown. Cohen MM. 2001. Frog decline, frog malformations, and a comparison of frog and human health. American Journal of Medical Genetics 104:101-109. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004b. Biologi. Edisi Kelima – Jilid 3. Jakarta : Erlangga. Duellman WE, Carpenter CC. 1998. Reptile and Amphibian Behavior. In: HG Cogger dan RG Zweifel 1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. San Fransisco: Fog City Pr. Duellman WE, Heatwole H. 1998. Habitats and Adaptations. In: HG Cogger and RG Zweifel 1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. San Fransisco: Fog City Pr. Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. London: Johns Hopkins Univ. Pr. Gillespie G, Howard S, Lockie D, Scroggie M, Boeadi. 2005. Herpetofaunal richness and community structure of offshore islands of Sulawesi, Indonesia . Biotropica 37(2): 279-290. Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San Francisco: Freeman. Halliday T, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New York: Facts on File Inc. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar : Lan dasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Jakarta: Pustaka Jaya. Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Pr. [HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2004. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2004: Eksplorasi Ilmiah Keanekaragaman Hayati Satwa Indikator Kesehatan Lingkungan Hutan dan Tumbuhan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, Juni 2004. [HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2006. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2006: Eksplorasi Keanekaragam Hayati Flora Fauna dan Nilai Budaya Masyarakat Lokal untuk Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Juli 2006.
47 [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Conservation International, and NatureServe. 2006. Global amphibian assessment. http://www.globalamphibians.org diakses tanggal 21 Desember 2007. Inger RF. 2005. The Systematics and Zoogeography of the Amphibia of Borneo. Chicago: Field Museum of Natural History. Inger RF, Stuebing RB. 1997. A Field Guide to the Frogs of Borneo. Sabah: Natural History. Inger RF, Voris HK. 2001. The biogeographical relations of the frogs and snakes of Sundaland. Journal of Biogeography 28: 863–891. Inger RF, Iskandar DT. 2005. A collection of amphibians from West Sumatra, with description of a new spesies of Megophrys (Amphibia: Anura). The Raffles Bulletin of Zoology 53 (1): 133–142. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang LIPI. Iskandar DT, Colijn E. 2000. Premilinary checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna. Treubia: A Journal on Zoology of the IndoAustralian Archipelago. 31(3):1–133. Johnson PTJ, Lunde KB, Zelmer DA, Werner JK. 2003. Limb deformities as an emerging parasitic disease in amphibians: Evidence from Museum Specimens and Resurvey Data. Biological Conservation 17 : 1724-1737. Kminiak M. 2000. Amphibian Habitats. In: R Hofrichter 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbild Verlag GmbH. Krebs CJ. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Ecological Methodology. New York: Harper dan Row Publisher. Kusrini MD. 2003. Predicting the impact of the frog leg trade in Indonesia: An ecological view of the indonesian frog leg trade, emphasizing javanese edible frog species. Dalam: MD Kusrini, A Mardiastuti dan T Harvey 2003 Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Hal. 27-44. Lametschwandtner A, Tiedemann F. 2000. Biology and Physiology. In: R Hofrichter 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbild Verlag GmbH. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton University Press. Meteyer CU. 2000. Field Guide to Malformations of Frogs and Toads with Radiographic Interpretations. Biological Science Report USGS/BRD/BSR2000-0005. Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement. Nichols JD, Boulinier TJE, Hines KH, Pollock, Sauer JR. 1998. Estimating rates of local species extinction, colonization and turnover in animal communities. Ecological Application 8 (4): 1213-1225.
48 Nussbaum RA. 1998. Caecilians. In: HG Cogger and RG Zweifel 1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. San Fransisco: Fog City Pr. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: Saunders. Payne AI. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. Chichester: John Wiley and Sons. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Radiansyah S. 2004. Keanekaragaman spesies amfibi dan biologi populasi Limnonectes kuhlii di Sungai Cilember dalam Kawasan Wana Wisata Curug Cilember, Bogor-Jawa Barat. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santosa Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sarbi. 2000. Laporan Pemeriksaan HPH (Independent Concession Audits) PT Rimba Karya Indah Propinsi Jambi. Bogor: PT Moerhani Lestari dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan. Sholihat N. 2007. Pola pergerakan harian dan penggunaan ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stebbins RC, Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey: Princeton Univ. Pr. Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan ekologi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi) di Sumatera Selatan. Skripsi Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susanto H. 1999. Budidaya Kodok Unggul. Jakarta : Penebar Swadaya. Ul-Hasanah AU. 2006. Amphibian diversity in Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung-Bengkulu. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran
50 Lampiran 1. Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Eks-HPH PT RKI Famili Bufonidae 1. Ansonia leptopus Günther, 1872 Nama Inggris : Brown Slender Toad Deskripsi : Kodok bertubuh ramping dan berbitil. Kodok berwarna coklat kehitaman. Jantan memiliki SVL 30-40mm dan betina 45-65mm. Habitat : Terdapat didataran rendah pada ketinggian 50-700 mdpl. Penyebaran : Semenanjung Malaysia, Indonesia (Kalimantan dan Sumatera) Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Terdapat di tipe habitat hutan sekunder Photo by: Boby Darmawan
Status : Near Threatened (NT)
2. Bufo asper Gravenhorst, 1829 Nama Inggris : River Toad Deskripsi : Kodok berukuran besar dan kuat. Tekstur kulit berbintil kasar dengan warna coklat tua sampai kehitaman. Jari kaki berselaput renang penuh sampai ujung kecuali jari ke empat. Habitat : Kodok ini dapat dijumpai di sepanjang sungai dan anak sungai. Keluar pada malam hari dan siang hari bersembunyi. Penyebaran : Thailand, Myanmar, Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi) Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Terdapat di hutan primer, hutan sekunder, kebun karet dan bekas tebangan
Status : Least Concern (LC) 3. Bufo divergens Peters, 1871 Nama Inggris : Deskripsi : Kodok berukuran kecil, kulit berbintil kasar, pada bagian kepala terdapat sepasang supraorbital dan memiliki garis yang terang dari ujung moncong hingga kloaka. Habitat : kodok ini hidup di hutan primer dan sekunder tua ketinggian 700 mdpl. Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, Myanmar bagian selatan, Kamboja, Singapura, dan Indonesia (Sumatra, Pini dan Java). Photo by: Boby Darmawan
Status : Least Concern (LC)
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan sekunder, kebun karet, dan kebun sawit.
51 4. Bufo parvus Boulenger, 1887 Nama Inggris : Lesser Toad Deskripsi : Kodok berukuran kecil, terdapat alur supraorbital dan sepasang alur parietal. Paratoid tidak disertai benjolan. Moncong pendek. Habitat : Ditemukan di hutan primer dataran rendah dan daerah yang tidak tercemar Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, Myanmar, Kamboja dan Indonesia (Sumatera, Pini dan Jawa)
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di hutan primer
Status : Least Concern (LC) 5. Leptophryne bobonica Tschudi, 1838 Nama Inggris : Hourglass Toad Deskripsi : Kodok kecil, kelenjar paratoid tidak jelas. Terdapat tanda berbentuk seperti jam pasir di bagian belakang dan tanda berbentuk segitiga di belakang mata. Warna cokelat keabuan dan belakang paha kemerahan. Habitat : Kodok ini terdapat di daerah yang basah dengan air jernih dengan aliran lambat. Penyebaran : Semenanjung Malaysia, Thailand, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Jawa) Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH ditemukan di hutan primer
PT
RKI
: Hanya
Status : Least Concern (LC) Famili Megophrydae 6. Leptobrchium hasseltii Tschudi, 1838 Nama Inggris : Hasselt’s Litter Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang sampai besar. Kepala dan mata besar. Tekstur kulit halus, punggung kehitaman dengan bercakbercak bulat yang lebih gelap, permukaan perut keputih-putihan dengan bercak hitam. Habitat : Katak ini hidup di lantai hutan pada hutan primer dan sekunder. Penyebaran : Filipina (Palawan, Mindoro, Bohol, Basilan, dan Mindanao) dan Indonesia (Jawa, Sumatera, dan Kengean) Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di kebun karet
Status : Least Concern (LC)
52 7. Leptobrachium hendricksoni Taylor, 1962 Nama Inggris : Spotted Litter Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang sampai besar. Kepala dan mata besar. Katak ini mirip dengan L. hasseltii, tetapi memiliki mata berwarna merah. Habitat : Katak ini hidup di hutan primer sampai kebun karet. Penyebaran : Thailand, Malaysia, dan Indonesia ( Sumatera dan Kalimantan)
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH ditemukan di hutan primer
PT
RKI
: Hanya
Status : Least Concern (LC) 8. Megophrys nasuta Schlegel, 1858 Nama Inggris : Horned Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang sampai besar. Mata tertutup oleh kelopak perpanjangan dermal mata dan moncong. Tekstur kulit halus berwarna coklat kemerahan. Katak ini sangat mirip dengan serasah daun kering. Habitat : Katak ini hidup di lantai hutan dataran rendah dan submontana.
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, Pulau Tioman, Singapura, dan Indonesia (Sumatera, Bintan, Kalimantan dan Pulau Natuna) Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di
hutan sekunder, kebun karet, dan kebun sawit.
Status : Least Concern (LC) Famili Microhylidae 9. Kalophrynus pleurostigma Tschudi, 1838 Nama Inggris : Red Sided Sticky Frog Deskripsi : Katak bermulut sempit berukuran sedang, mulut runcing. Kulit tertutup bintil-bintil kecil dan mempunyai kelenjar yang mengeluarkan cairan lengket. Warna coklat kemerahan. Habitat : Katak ini hidup di lantai hutan antara serasah. Penyebaran : Filipina, Semenanjung Malaysia, Thailand, Singapura, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Pulau Natuna, dan Jawa). Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan sekunder, kebun karet, dan kebun sawit.
Status : Least Concern (LC)
53
10. Microhyla borneensis Parker, 1928 Nama Inggris : Bornean Narrow-mouthed Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil dengan kulit halus. Telinga tidak terlihat. Katak ini berwarna abu-abu sampai coklat di dorsal. Habitat : Katak ini ditemukan di hutan primer dataran rendah. Katak dewasa hidup di lantai hutan. Hidup pada ketinggian 70-550 mdpl. Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Kalimantan dan Sumatera) Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di hutan sekunder Photo by: Boby Darmawan
Status : Least Concern (LC)
11. Microhyla heymonsi Vogt, 1911 Nama Inggris : Dark Sided Chorus Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil. Tekstur kulit halus berwarna abu-abu dengan garis hitam memanjang dari ujung moncong sampai kunci paha (groin). Habitat : Katak ini hidup di hutan primer, hutan sekunder, sawah sampai belukar. Penyebaran : Cina, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaysia, Singapura dan Indonesia Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di bekas tebangan
Status : Least Concern (LC) Famili Ranidae 12. Fejervarya limnocharis Gravenhorst, 1829 Nama Inggris : Grass Frog Deskrips : Katak berukuran kecil, kepala runcing dan jari kaki setengah berselaput sampai pada ruas terakhir. Tekstur kulit berkerut, tertutup oleh bintil-bintil tipis yang biasanya memanjang, pararel dengan sumbu tubuh. Warna kulit kotor seperti lumpur dengan bercak-bercak yang lebih gelap yang kurang jelas tetapi simetris, terkadang dengan warna merah kehijauan dan sedikit semu kemerahan. Habitat : Katak ini hidup di sawah dan padang rumput di dataran rendah. Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran : Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, Hong Kong, India, Indonesia, Japan, Laos, Macau, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Singapura; Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Penyebaran di Ex-HPH PT RKI
: Ditemukan di kebun sawit dan bekas tebangan.
54 Status : Least Concern (LC) 13. Huia sumatrana Yang, 1991 Nama Inggris : Sumatran Torrent Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang dengan kaki yang ramping dan panjang bila dibandingkan dengan jenis katak lain. Tekstur kulit halus berwarna coklat pada bagian atas. Habitat : Katak ini hidup di sungai yang berarus deras, berbatu dan berair jernih pada ketinggian 200-1200 mdpl. Penyebaran : Endemik Sumatera
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di kebun sawit Status : Least Concern (LC)
14. Limnonectes blythi Boulenger, 1920 Nama Inggris : Blyth's River Frog Deskrips : Katak berukuran besar, kaki belakang panjang dan kuat, moncong tajam. Kulit halus dengan warna merah sampai coklat. Terdapat garis berwarna coklat gelap dari hidung sampai mata. Jantan memiliki kepala yang lebih besar daripada betina. Habitat : Terdapat di hutan primer sampai hutan sekunder
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran : Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Sumatera, Pulau Anambas dan Pulau Natuna).
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan primer, hutan sekunder, kebun karet, dan bekas tebangan.
Status : Near Threatened (NT) 15. Limnonectes crybetus Nama Inggris : Deskripsi : Katak berukuran sedang dengan warna coklat dengan bercak hitam. Jari kaki berselaput penuh. Habitat: Ditemukan di sungai hutan primer dan hutan sekunder. Habitat : Katak ini ditemukan di sungai yang tidak terganggu dataran rendah. Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan primer dan sekunder Photo by: Boby Darmawan
Status : -
55
16. Limnonectes kuhlii Tschudi, 1838 Nama Inggris : Kuhl's Creek Frog Deskripsi : Katak yang tambun (gemuk), kepala lebar,pelipis berotot, terutama pada yang jantan, jari berselaput sampai ke ujung jari. Kaki sangat pendek dan berotot. Tekstur kulit sangat berkerut, tertutup rapat oleh bintil-bintil berbentuk bintang yang tersebar di seluruh permukaan tubuh. Lipatan supratimpanik sangat jelas. Warna hitam marmer di seluruh bagian dorsum sampai kehitaman. Habitat : Katak ini hidup di perairan yang mengalir perlahan atau tenang. Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran : Utara Cina sampai Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Jawa dan Sumatera) Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan primer, hutan sekunder, kebun karet, dan kebun sawit.
Status : Least Concern (LC) 17. Limnonectes malesianus Kiew, 1984 Nama Inggris : Peat Swamp Frog Deskripsi belakang timpanum Terdapat kloaka.
: Katak berukuran besar, kaki berselaput renang tidak penuh, jelas, warna coklat kemerahan. garis tipis dari moncong sampai
Habitat : Terdapat di hutan primer, hutan sekunser dan kebun karet pada ketinggian 50300 mdpl.
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI bekas tebangan
Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Sumatera and Kalimantan)
: Ditemukan di hutan sekunder, kebun karet, kebun sawit, dan
Status : Near Threatened (NT) 18. Limnonectes microdiscus Boettger, 1892 Nama Inggris : Pygmy Creek Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil dengan tanda V terbalik berwarna hitam yang jelas pada bahu. Anggota tubuh cenderung panjang dan ramping. Jari kaki dengan dua ruas jari tidak berselaput. Tekstur kulit licin tanpabintil-bintil. Warna coklat kemerahan. Habitat : Katak ini hidup terbatas pada daerah hutan dari dataran rendah sampai ketinggian 1400 mdpl. Penyebaran : Jawa dan Sumatera Photo by: Boby Darmawan
56
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI
: Hanya terdapat di hutan sekunder
Status : Least Concern (LC) 19. Limnonectes paramacrodon Inger, 1966 Nama Inggris : Masked frog Deskripsi : Katak berukuran sedang sampai besar. Timpanum jelas dan barwarna hitam. Jari kaki kecuali jari ke empat memiliki selaput penuh. Habitat : Terdapat di anak sungai hutan primer Penyebaran : Semenanjung Malaysia dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, dan Natuna Besar) Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di kebun karet Photo by: Boby Darmawan
Status : Near Threatened (NT)
20. Occidozyga sumatrana Peters, 1877 Nama Inggris : Sumatran Puddle Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil, jari kaki berselaput penuh. Kulit berbintil dan tympanum tersembunyi. Habitat : Tedapat di kolam, genangan air di dalam hutan atau bekas tebangan. Penyebaran : Endemik Sumatera Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di kebun karet, kebun sawit, dan bekas tebangan. Status : Least Concern (LC) Photo by: Boby Darmawan
21. Rana chalconota Schlegel, 1837 Nama Inggris : White-lipped Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil sampai sedang. Jari kaki berselaput penuh sampai ke ujung dan paha bagian bawah berwarna kemerahan. Bibir berwarna putih. Kulit biasanya berwarna abu-abu kehijauan sampai coklat kekuningan. Habitat : Katak ini hidup di hutan primer sampai pemukiman. Penyebaran : Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi) dan Semenanjung Malaysia Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI: Ditemukan di semua tipe habitat
Status : Least Concern (LC)
57
22. Rana erythraea Schlegel, 1837 Nama Inggris : Green Paddy Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang dengan lipatan dorsolateral yang jelas berwarna kuning gading. Kaki berselaput penuh. Kulit berwarna hijau di antara lipatan dorsolateral. Habitat : Katak ini biasa hidup di genangan seperti danau. Penyebaran : Indo-Cina sampai ke Filipina, Sumatera, Jawa dan Kalimantan
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan sekunder, kebun sawit, dan bekas tebangan
Status : Least Concern (LC) 23. Rana hosii Boulenger, 1891 Nama Inggris : Poisonous Rock Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang sampai besar dan bertubuh ramping. Jari kaki belakang berselaput penuh. Kulit berwarana hijau dengan sisi tubuh biasanya hitam. Kulit dapat mengeluarkan racun yang berbau busuk. Habitat : Katak ini hidup di hutan primer dan hutan sekunder. Penyebaran : Thailand, Malaysia, dan Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder.
Status : Least Concern (LC) 24. Rana luctuosa Peters, 1871 Nama Inggris : Mahogany Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil sampai sedang. Tympanum terlihat jelas. Kulit halus dengan dorsal berwarna coklat tua dan memiliki garis putih yang membatasi dorsal dan samping tubuh katak. Habitat : Jenis ini merupakan katak serasah yang terdapat di dataran rendah dan submontana hutan primer.
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran : Malaysia, dan Kalimantan)
Thailand, Indonesia
Semenanjung (Sumatera dan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI ditemukan di hutan primer Status : Least Concern (LC)
:
Hanya
58
25. Rana nicobariensis Stoliczka, 1870 Nama Inggris : Cricket Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang, bertubuh ramping dengan kaki panjang dan jari kaki belakang setengah berselaput. Dorsum berwarna coklat muda dengan sisi tubuh berwarna lebih gelap. Habitat : Katak ini hidup di habitat yang telah terganggu. Penyebaran : Thailand, Pulau Nicobar sampai Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan). Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI bekas tebangan
: Ditemukan di hutan sekunder, kebun karet, kebun sawit, dan
Status : Least Concern (LC) 26. Rana picturata Boulenger, 1920 Nama Inggris : Spotted Steam Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil sampai sedang. Tympanum terlihat jelas. Kulit berwarna hitam dengan bercak berwarna kuning. Terdapat garis kuning putus-putus dari moncong ke mata dan sampai ke kloaka. Kaki belakang terdapat garis kuning. Habitat : Jantan terdapat di sepanjang sungai hutan primer dan sekunder. Betina lebih terestrial.
Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran : Semenanjung Malaysia dan Indonesia (Sumatera dan Kalimantan).
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder
Status : Least Concern (LC) Famili Rhacophoridae 27. Polypedates colletii Boulenger, 1890 Nama Inggris : Collet’s Tree Frog Deskripsi : Katak pohon berukuran sedang sampai besar. Moncong tajam, tympanum besar, dan supratimpanik jelas. Warna kulit biasanya terang dengan motif jam pasir di bagian dorsal. Habitat : Terdapat dalam hutan primer dan hutan sekunder, hidup di hutan dataran rendah. Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Sumatra, Kalimantan, dan Pulau Natuna). Photo by: Boby Darmawan
59 Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya terdapat di hutan sekunder.
Status : Least Concern (LC) 28. Polypedates leucomystax Gravenhorst, 1829 Nama Inggris : Four-lined Tree Frog Deskripsi : Katak berukuran sedang, jari melebar dengan ujung rata. Kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Jari tangan setengahnya berselaput, sedangkan jari kaki hamper sepenuhnya berselaput. Tekstur kulit halus tanpa bintil dan lipatan. Bagian bawah berbintil granular yang jelas. Warna biasanya coklat keabu-abuan, satu warna atau dengan bintik hitam atau dengan garis yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh. Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran Irian Jaya.
Habitat : Katak ini hidup di antara tetumbuhan atau sekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder.
: India, Cina Selatan, Indo-Cina, Filipina, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara dan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI bekas tebangan.
: Ditemukan di hutan sekunder, kebun karet, kebun sawit, dan
Status : Least Concern (LC) 29. Polypedates macrotis Boulenger, 1891 Nama Inggris : Dark-eared Tree Frog Deskripsi : Katak pohon berukuran sedang sampai besar. Warna kulit coklat dan terdapat garis berwarna coklat gelap yang menutupi timpanum sampai ke sisi tubuh. Habitat : Terdapat di hutan primer dan hutan sekunder Penyebaran : Semenanjung Malaysia dan Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan sekunder dan kebun sawit Photo by: Boby Darmawan
Status : Least Concern (LC)
30. Polypedates otilopus Boulenger, 1893 Nama Inggris : File-eared Tree Frog Deskripsi : Katak pohon berukuran sedang sampai besar. Terdapat gerigi di atas timpanum dan rahang menonjol. Kaki belakang dengan garis-garis hitam yang tidak berturan. Habitat : Terdapat dalam hutan primer sampai hutan sekunder, biasanya ditemukan di pinggir danau. Penyebaran : Kalimantan dan Sumatera Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di kebun sawit di pinggir danau Photo by: Boby Darmawan
Status : Least Concern (LC)
60
31. Rhacophorus cyanopunctatus Manthey & Steiof, 1998 Nama Inggris : Blue Spotted Tree Frog Deskripsi : Katak pohon berukuran kecil. Terdapat totol berwarna putih di bawah mata. Habitat : Terdapat di hutan primer dataran rendah, sungai dengan arus sedang. Penyebaran : Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Sumatera dan Kalimantan Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di sungai pad tipe habitat hutan sekunder Photo by: Boby Darmawan
Status : Least Concern (LC)
32. Rhacophorus nigropalmatus Boulenger, 1895 Nama Inggris : Wallace’s Flying Frog Deskripsi : Katak pohon berukuran besar. Moncong membulat. Kaki depan dan belakang berselaput penuh. Warna tubuh bagian dorsal hijau dengan bintik-bintik putih, bagian sisi berwarna kuning. Habitat : Terdapat di hutan primer atau hutan tebangan Penyebaran : Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan. Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di kebun karet dekat kubangan
Status : Least Concern (LC) 33. Rhacophorus pardalis Günther, 1859 Nama Inggris : Harlequin Tree Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil sampai sedang. Moncong membulat. Jari kaki depan dan belakang ketiga berselaput penuh berwarna merah. Habitat : Terdapat di hutan primer sampai hutan sekunder. Berkembang biak d kolam atau danau. Penyebaran : Semenanjung Sumatera, Kalimantan dan Filipina. Photo by: Boby Darmawan
Status : Least Concern (LC)
Malaysia,
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di kebun sawit dan bekas tebangan di pinggir danau.
61
34. Rhacophorus reinwardtii Schlegel, 1840 Nama Inggris : Green Flying Frog Deskripsi : Katak berukuran kecil sampai sedang. Jari berselaput sepenuhnya sampai piringan, berwarna hitam. Sebuah lipatan kulit terdapat di atas tumit dan anus, dan lipatan serupa sepanjang lengan. Warna hijau muda dengan kaki kuning atau oranye. Tekstur kult halus di bagian atas, perut dan samping tubuh, bagian bawah kaki berbintil-bintil kecil kasar. Habitat : Katak ini hidup di hutan primer atau sekunder. Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran : Cina Selatan sampai Malaysia, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder
Status : Least Concern (LC) 35. Rhacophorus sp.1 Nama Inggris : Deskripsi : Berwarna kecokalatan dengan titiktitik hitam, memiliki ciri-ciri empat jari tangan tidak berselaput penuh. Terdapat tonjolan pada sendi tibiotarsal serta di sisi kaki dan tangan terdapat kulit yang bergerigi. Jenis ini termasuk ke golongan Rhacophorus appendiculatus Habitat : Ditemukan dialiran sungai yang berarus sedang di sisi sungai pada tumbuhan bawah Photo by: Boby Darmawan
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di hutan sekunder. Status : -
36. Rhacophorus sp.2 Nama Inggris : Deskripsi : Warna putih saat masih hidup, mata besar, dan badan ramping. Empat jari tangan tidak berselaput penuh dan di femur terdapat warna kuning.
Jenis ini ditemukan di bekas
tebangan di antara semak. Habitat : Jenis ini ditemukan di tumbuhan bawah. Photo by: Boby Darmawan
Status : -
Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di bekas tebangan
62 37. Rhacophorus sp.3 Nama Inggris : Deskripsi : Jenis ini memiliki warna coklat dan dapat berubah warna jadi kemerahan. Empat jari tangan tidak berselaput penuh. Terdapat bintik-bintik
berwarna
hitam
dari
selaput
sampai tarsus dan di punggung terdapat titik berwarna kekuningan yang merupakan ciri khas dari jenis ini. Photo by: Boby Darmawan
Habitat : Habitatnya sangat spesifik di sekitat kubangan dengan tumbuhan bawah di sekitarnya. Penyebaran di Ex-HPH PT RKI : Hanya ditemukan di hutan primer Status : -
63 Lampiran 2. Data curah hujan Kabupaten Bungo tahun 2005-2006 Pos Pengamatan Hujan Pelepat 2005 Curah Hujan Hari Hujan (mm) Januari 323 8 Februari 233 5 Maret 416 8 April 143 8 Mei 100 5 Juni 180 5 Juli 60 3 Agustus 83 9 September 140 11 Oktober 284 8 November 298 9 Desember 423 18 2683 97 Jumlah 223.58 8.08 Rata-rata Sumber: BMG Jambi, 2007 Bln / Thn
2006 Curah Hujan Hari Hujan (mm) 191 9 295 10 270 10 258 12 190 7 134 6 71 6 63 3 169 8 30 2 179 8 158 6 2008 87 167.33 7.25
64
Lampiran 3. Data Iklim (Suhu Air, Suhu Udara, Kelembaban, dan Cuaca) di Lokasi Penelitian
Tanggal 22 Juli 2007 23 Juli 2007 24 Juli 2007 25 Juli 2007 26 Juli 2007 27 Juli 2007 6 Agust 2007 7 Agust 2007 8 Agust 2007 3 Agust 2007 4 Agust 2007 5 Agust 2007 17 Agust 2007 18 Agust 2007 19 Agust 2007 17 Agust 2007 18 Agust 2007 19 Agust 2007 25 Agust 2007 26 Agust 2007 27 Agust 2007 25 Agust 2007
Tipe habitat H. Sekunder H. Sekunder H. Sekunder H. Sekunder H. Sekunder H. Sekunder H. Sawit H. Sawit H. Sawit H. Sawit H. Sawit H. Sawit H. Primer H. Primer H. Primer H. Primer H. Primer H. Primer H. Karet H. Karet H. Karet H. Karet
Suhu air
Habitat Akuatik Akuatik Akuatik Terestrial Terestrial Terestrial Akuatik Akuatik Akuatik Terestrial Terestrial Terestrial Akuatik Akuatik Akuatik Terestrial Terestrial Terestrial Akuatik Akuatik Akuatik Terestrial
Pagi 20-20.5 20.5-21 20.8-21
Malam 21-21 21-21 21-21
23.5-23.75 22-22.5
23-23.75 22.5-22
22.5-22 22-22 22-22.5
22-22 22.5-22 22.5-23
24.5-24 22.5-24 23-23
23-23 23-23 23.8-23.8
Suhu udara Pagi 23-24 22.5-24 22-25 21-24.5 20.5-32 21.5-24 22.5-25.5 25.25-23.75 25-28 20-26 22-27.5 24.5-24 23-25 24-24.5 24.5-24 23-25 24-24.5 27.5-23 21.5-22 25-26
Malam 22.5-23 25-24 21.5-21 23-20 21-20 23.5-20.5 24-23 23.5-23 23.5-20.5 26-22 24-22.5 24.5-22.5 23-22.5 24-23.25 24.5-23.25 23-22.5 24-23.5 24.5-23.5 20.5-20 22.8-22.2 24.5-24 20.5-20
Kelembaban Pagi 76-76 80-83 77-68 73-76 81-43 76-76 72-60 62-56 65-54 59-52 73-51 70-80 77.5-73 76-76 70-80 77.5-73 76-76 55-59 68-68 52-53
Malam 80-81 75-80 76-82 80-82 80-82 78-80 75-77 76-76 69-70 55-68 73-74 75-78 80-81 74-78 74-79 80-81 74-78 74-79 74-75 75-73 66-73 74-75
Cuaca Pagi crh-crh mndg-mndg mndg-mndg brwn-brwn crh-crh crh-crh mndg-mndg brwn-crh brwn-brwn brwn-crh crh-crh mndg-mndg mndg-mndg grms-mndg mndg-mndg mndg-mndg grms-grms crh-hjn brwn-mndg crh-crh crh-hjn
Malam crh-hjn grms-grms Mndg-mndg crh-crh(hbs hjn) Mndg-mndg crh-crh crh-crh crh-crh crh-crh crh-crh crh-crh crh-crh crh-crh crh-crh brwn-crh crh-crh crh-crh brwn-crh grms-crh crh-crh brwn-brwn grms-brwn
64
65
Lampiran 3. (lanjutan) Tanggal 26 Agust 2007 27 Agust 2007 28 Agust 2007 29 Agust 2007 30 Agust 2007 28 Agust 2007 29 Agust 2007 30 Agust 2007
Tipe habitat H. Karet H. Karet Bekas Tebangan Bekas Tebangan Bekas Tebangan Bekas Tebangan Bekas Tebangan Bekas Tebangan
Terestrial Terestrial Akuatik
22.25-24.5
24-24
Suhu udara Pagi Malam 21.5-22 22.8-22.2 25-26 24.5-24 27-25.5 23-21
Akuatik
23.8-23.8
24.5-24.5
25-25.5
24-21.5
66-61
63-81
mndg-grms
Akuatik
24-24
25.5-25.5
26-33
22.5-21.5
56-36
78-80
crh-crh
Terestrial
27-25.5
23-21
57-64
70-80
brwn-mndg
Terestrial
25-25.5
24-21.5
66-61
63-81
brwn-mndg
Terestrial
26-33
22.5-21.5
56-36
78-80
crh-crh
Habitat
Suhu air Pagi Malam
Kelembaban Pagi Malam 68-68 75-73 52-53 66-73 57-64 70-80
Pagi brwn-mndg crh-crh mndg-mndg
Cuaca Malam crh-crh brwn-brwn grms-mndg crh-crh (purnama) crhcrh(purnama) grms-mndg crh-crh (purnama) crh-crh (purnama)
Keterangan : brwn : berawan; crh : cerah; grms : gerimis; hjn : hujan; mndg : mendung
65
66 Lampiran 4. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat semai di hutan primer No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama jenis Burahol Gadung Girut Kasai Konggo Merah Malin-malin Medang Meranti Pakis Paku Pinang-pinang Plangeh Plangeh putih Pule Rotan Selaginela Stawar Tepus Total
Habitus Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai
K 250 250 5000 4500 250 250 250 500 750 1250 250 250 250 750 1000 250 250 250 16500
KR 1.52 1.52 30.30 27.27 1.52 1.52 1.52 3.03 4.55 7.58 1.52 1.52 1.52 4.55 6.06 1.52 1.52 1.52 100.00
F 0.1 0.2 0.3 0.3 0.1 0.1 0.1 0.2 0.3 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.4 0.1 0.1 0.1 3
FR 3.33 6.67 10.00 10.00 3.33 3.33 3.33 6.67 10.00 6.67 3.33 3.33 3.33 3.33 13.33 3.33 3.33 3.33 100.00
INP 4.85 8.18 40.30 37.27 4.85 4.85 4.85 9.70 14.55 14.24 4.85 4.85 4.85 7.88 19.39 4.85 4.85 4.85 200.00
67 Lampiran 5. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat pancang di hutan primer No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama jenis Arang Aro Bandetan Batang Skepung Bendo Burahol Gundi Jambu-jambu Jelatang Jelutung Kandi Kasai Kayu Balik Angin Keling-keling Mano Medang Melinjo hutan Meranti Plangeh Putih Pulut Rambai Rambutan hutan Rengse Tara Tempreh Padi Total
Habitus Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang
K 80 200 40 80 40 120 80 40 120 120 120 200 120 80 40 40 40 480 40 40 40 40 40 40 40 2320
KR 3.45 8.62 1.72 3.45 1.72 5.17 3.45 1.72 5.17 5.17 5.17 8.62 5.17 3.45 1.72 1.72 1.72 20.69 1.72 1.72 1.72 1.72 1.72 1.72 1.72 100.00
F 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.1 0.2 0.1 0.1 0.4 0.3 0.2 0.1 0.1 0.1 0.5 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 4
FR 5.00 5.00 2.50 2.50 2.50 5.00 5.00 2.50 5.00 2.50 2.50 10.00 7.50 5.00 2.50 2.50 2.50 12.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 100.00
INP 8.45 13.62 4.22 5.95 4.22 10.17 8.45 4.22 10.17 7.67 7.67 18.62 12.67 8.45 4.22 4.22 4.22 33.19 4.22 4.22 4.22 4.22 4.22 4.22 4.22 200.00
68
Lampiran 6. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat tiang di hutan primer No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama jenis Aer-aer Aro Asem-asem Bakil Bandetan Bendo Kasai Kayu Balik Angin Kayu Mara Kedondong Ketapang Medang Meranti Meranti merah Pasung Semantung Slasa Total
Habitus Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang
LBDS 0.025 0.036 0.035 0.028 0.011 0.020 0.038 0.020 0.009 0.038 0.025 0.011 0.134 0.018 0.018 0.015 0.018
K 10 20 20 10 10 10 20 10 10 20 10 10 70 10 10 10 10 270
KR 3.70 7.41 7.41 3.70 3.70 3.70 7.41 3.70 3.70 7.41 3.70 3.70 25.93 3.70 3.70 3.70 3.70 100.00
F 10 20 20 10 10 10 20 10 10 10 10 10 50 10 10 10 10 240
FR 4.17 8.33 8.33 4.17 4.17 4.17 8.33 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17 20.83 4.17 4.17 4.17 4.17 100.00
D 0.25 0.36 0.35 0.28 0.11 0.20 0.38 0.20 0.09 0.38 0.25 0.11 1.34 0.18 0.18 0.15 0.18 5.01
DR 5.08 7.19 6.99 5.59 2.26 4.01 7.59 4.01 1.90 7.59 5.08 2.26 26.77 3.53 3.53 3.07 3.53 100.00
INP 12.95 22.93 22.73 13.46 10.13 11.89 23.33 11.89 9.77 19.17 12.95 10.13 73.53 11.40 11.40 10.94 11.40 300.00
68
69
Lampiran 7. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat pohon di hutan primer No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Jenis Anak Mersawa Bakeh Bakil Batang Ageh Batang Buah Kampuy Batang Konggo Merah Batang Lalan Batang Skepung Batang Ulai Rimbo Bayur Betung Kartuko Kasainggang Kawang Kayu Arang Kayu Balik Angin Kayu Bt Lintang Tanggo Kayu Etung Kayu Kelat Padi Kayu Pisang Kayu Sekubung Kayu Ubi Kedondong Pipit Kelukup Letung
LBDS 0.07 0.09 0.07 0.1 0.07 0.27 0.07 0.74 0.08 0.27 0.15 0.19 1.21 0.07 0.1 0.16 0.1 0.06 0.35 0.08 0.21 0.11 0.06 0.1 0.71
K 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 7.5 2.5 20 2.5 5 2.5 2.5 15 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 5 2.5 7.5 2.5 2.5 2.5 10
KR 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 4.29 1.43 11.43 1.43 2.86 1.43 1.43 8.57 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 2.86 1.43 4.29 1.43 1.43 1.43 5.71
F 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.3 0.1 0.6 0.1 0.2 0.1 0.1 0.4 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.3
FR 1.72 1.72 1.72 1.72 1.72 5.17 1.72 10.34 1.72 3.45 1.72 1.72 6.9 1.72 1.72 1.72 1.72 1.72 3.45 1.72 1.72 1.72 1.72 1.72 5.17
D 0.18 0.23 0.18 0.24 0.18 0.67 0.17 1.85 0.19 0.68 0.36 0.47 3.01 0.18 0.25 0.4 0.25 0.15 0.88 0.2 0.53 0.28 0.15 0.25 1.78
DR 0.65 0.83 0.65 0.89 0.65 2.46 0.61 6.86 0.7 2.5 1.34 1.75 11.17 0.65 0.93 1.48 0.93 0.56 3.24 0.74 1.95 1.02 0.56 0.93 6.58
INP 3.8 3.99 3.81 4.04 3.81 11.92 3.76 28.63 3.85 8.81 4.5 4.9 26.64 3.8 4.08 4.63 4.08 3.71 9.55 3.89 7.96 4.17 3.71 4.08 17.46
69
70
Lampiran 7. (lanjutan) No. 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama Jenis Medang Mempayang Meranti Meranti merah Meranti Putih Mersawa Rambutan Hutan Sembahyang Kunyi Tembalun Tembalun Bungo Tero Total
LBDS 0.25 0.64 0.14 0.05 2 0.42 0.09 0.2 0.84 0.64 0.06
K 7.5 5 5 2.5 5 10 2.5 2.5 15 2.5 2.5 175
KR 4.29 2.86 2.86 1.43 2.86 5.71 1.43 1.43 8.57 1.43 1.43 100
F 0.2 0.1 0.2 0.1 0.1 0.4 0.1 0.1 0.4 0.1 0.1 5.8
FR 3.45 1.72 3.45 1.72 1.72 6.9 1.72 1.72 6.9 1.72 1.72 100
D 0.63 1.6 0.35 0.13 5 1.05 0.23 0.5 2.1 1.6 0.15 26.99
DR 2.32 5.93 1.3 0.46 18.53 3.89 0.83 1.85 7.78 5.93 0.56 100
INP 10.05 10.51 7.6 3.62 23.11 16.5 3.99 5.01 23.25 9.08 3.71 300
70
71 Lampiran 8. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat semai di hutan sekunder No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Jenis Aer-aer Bandetan Belimbing Girut Jambu Jambu-jambu Kayu sisik Kedondong Medang Meranti Mindri Hutan Pakis Pasak Pasang Perlig lapur Plangeh Rotan Selaginela Tepus Total
Habitus Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai
K 250 1750 2250 4500 500 2000 500 250 250 5750 1000 1500 2500 250 500 250 500 1250 4250 30000
KR 0.83 5.83 7.50 15.00 1.67 6.67 1.67 0.83 0.83 19.17 3.33 5.00 8.33 0.83 1.67 0.83 1.67 4.17 14.17 100.00
F 0.10 0.40 0.20 0.40 0.10 0.50 0.10 0.10 0.10 0.40 0.10 0.20 0.30 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.30 3.8
FR 2.63 10.53 5.26 10.53 2.63 13.16 2.63 2.63 2.63 10.53 2.63 5.26 7.89 2.63 2.63 2.63 2.63 2.63 7.89 100.00
INP 3.46 16.36 12.76 25.53 4.30 19.82 4.30 3.46 3.46 29.69 5.96 10.26 16.23 3.46 4.30 3.46 4.30 6.80 22.06 200.00
Lampiran 9. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat pancang di hutan sekunder No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Jenis Aer-aer Bandetan Belimbing Belimbing Hutan Gundi Jambu Jambu-jambu Kayu Mara Medang Meranti Rong2 Trentang Total
Habitus Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang
K
KR 80 280 40 160 40 40 80 80 40 320 80 40 1280
6.25 21.88 3.13 12.50 3.13 3.13 6.25 6.25 3.13 25.00 6.25 3.13 100.00
F
FR 0.10 0.40 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.20 0.10 0.50 0.10 0.10 2.00
5.00 20.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 10.00 5.00 25.00 5.00 5.00 100.00
INP 11.25 41.88 8.13 17.50 8.13 8.13 11.25 16.25 8.13 50.00 11.25 8.13 200.00
72
Lampiran 10. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat tiang di hutan sekunder No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Jenis Aer-aer Bandetan Belimbing Hutan Kayu Mara Kubung Medang Kuning Meranti Pasak Plangeh X3. sp Total
Habitus Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang
LBDS 0.041 0.048 0.063 0.206 0.081 0.023 0.069 0.028 0.015 0.048
K 20 30 30 100 30 10 50 10 10 20 310
KR 6.45 9.68 9.68 32.26 9.68 3.23 16.13 3.23 3.23 6.45 100.00
F 20 20 30 50 30 10 40 10 10 10 230
FR 8.70 8.70 13.04 21.74 13.04 4.35 17.39 4.35 4.35 4.35 100.00
D 0.41 0.48 0.63 2.06 0.81 0.23 0.69 0.28 0.15 0.48 6.22
DR 6.59 7.72 10.13 33.12 13.02 3.70 11.09 4.50 2.41 7.72 100.00
INP 21.74 26.09 32.85 87.12 35.74 11.27 44.61 12.08 9.99 18.52 300.00
72
73
Lampiran 11. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat pohon di hutan sekunder No.
Nama Jenis
LBDS
K
KR
F
FR
D
DR
INP
1
Balam
0.07
2.50
1.64
0.10
2.27
0.17
1.26
5.17
2
Bandotan
0.13
2.50
1.64
0.10
2.27
0.33
2.52
6.43
3
Gundi
0.11
2.50
1.64
0.10
2.27
0.27
2.05
5.96
4
Jambu-jambu
0.11
2.50
1.64
0.10
2.27
0.27
2.05
5.96
5
Kayu Mara
0.68
35.00
22.95
0.70
15.91
1.70
12.96
51.82
6
Kayu Pasak
0.34
7.50
4.92
0.20
4.55
0.85
6.48
15.95
7
Kayu sisik
0.17
5.00
3.28
0.20
4.55
0.43
3.24
11.07
8
Kedondong Hutan
0.07
2.50
1.64
0.10
2.27
0.17
1.26
5.17
9
Kubung
0.56
25.00
16.39
0.70
15.91
1.40
10.68
42.98
10
Medang Kuning
0.42
10.00
6.56
0.40
9.09
1.05
8.01
23.66
11
Melangir
1.03
25.00
16.39
0.50
11.36
2.58
19.64
47.39
12
Melangir batu
0.09
2.50
1.64
0.10
2.27
0.21
1.63
5.54
13
Meranti
0.37
7.50
4.92
0.30
6.82
0.93
7.05
18.79
14
Pening-pening
0.45
10.00
6.56
0.30
6.82
1.13
8.58
21.95
15
Senggeris
0.08
2.50
1.64
0.10
2.27
0.20
1.53
5.44
16
X1. sp
0.06
2.50
1.64
0.10
2.27
0.14
1.09
5.00
17
X2. sp
0.45
2.50
1.64
0.10
2.27
1.13
8.64
12.56
18
X3. sp
0.07
5.00
3.28
0.20
4.55
0.18
1.33
9.16
Total
152.50
100.00
4.40
100.00
13.11
100.00
300.00
73
74 Lampiran 12. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis Hutan Primer No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Bufo asper Bufo parvus Leptophryne borbonica Limnonectes blythi Limnonectes crybetus Limnonectes kuhlii Rana chalconota Rana hosii Rana picturata Jumlah individu (N) Jumlah spesies (S) Index Shannon Weiner H' Index Kemerataan (E)
Ind (n) 3 3 5 5 5 5 8 3 2
pi 0.08 0.08 0.13 0.13 0.13 0.13 0.21 0.08 0.05
Ln pi -2.56 -2.56 -2.05 -2.05 -2.05 -2.05 -1.58 -2.56 -2.97
pi ln pi -0.20 -0.20 -0.26 -0.26 -0.26 -0.26 -0.32 -0.20 -0.15 -2.12
pi 0.04 0.02 0.03 0.07 0.06 0.01 0.01 0.01 0.03 0.01 0.01 0.01 0.05 0.44 0.01 0.01 0.01 0.09 0.01 0.05 0.01
Ln pi -3.20 -3.89 -3.49 -2.64 -2.79 -4.58 -4.58 -4.58 -3.49 -4.58 -4.58 -4.58 -2.98 -0.82 -4.58 -4.58 -4.58 -2.39 -4.58 -2.98 -4.58
pi ln pi -0.13 -0.08 -0.11 -0.19 -0.17 -0.05 -0.05 -0.05 -0.11 -0.05 -0.05 -0.05 -0.15 -0.36 -0.05 -0.05 -0.05 -0.22 -0.05 -0.15 -0.05 -2.18
39 9 2.12 0.97
Hutan Sekunder No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Jenis Ansonia leptopus Bufo asper Kalophrynus pleurostigma Limnonectes blythi Limnonectes crybetus Limnonectes kuhlii Limnonectes malesianus Limnonectes microdiscus Megophrys nasuta Microhyla borneensis Polypedates colletii Polypedates leucomystax Polypedates macrotis Rana chalconota Rana erythraea Rana hosii Rana nicobariensis Rana picturata Rhacophorus cyanopunctatus Rhacophorus reinwardtii Rhacophorus sp.1 Jumlah individu (N) Jumlah spesies (S) Index Shannon Weiner H' Index Kemerataan (E)
Ind (n) 4 2 3 7 6 1 1 1 3 1 1 1 5 43 1 1 1 9 1 5 1 98 21 2.18 0.72
75 Lampiran 12. (lanjutan) Kebun karet No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jenis Bufo asper Bufo divergens Kalophrynus pleurostigma Leptobrachium hasseltii Limnonectes blythi Limnonectes kuhlii Limnonectes malesianus Limnonectes paramacrodon Megophrys nasuta Occidozyga sumatrana Polypedates leucomystax Rana chalconota Rana hosii Rana nicobariensis Rhacophorus nigropalmatus Jumlah individu (N) Jumlah spesies (S) Index Shannon Weiner H' Index Kemerataan (E)
Ind (n) 3 4 1 4 2 12 8 1 2 1 1 28 1 3 3
pi 0.04 0.05 0.01 0.05 0.03 0.16 0.11 0.01 0.03 0.01 0.01 0.38 0.01 0.04 0.04
Ln pi -3.21 -2.92 -4.30 -2.92 -3.61 -1.82 -2.22 -4.30 -3.61 -4.30 -4.30 -0.97 -4.30 -3.21 -3.21
pi ln pi -0.13 -0.16 -0.06 -0.16 -0.10 -0.29 -0.24 -0.06 -0.10 -0.06 -0.06 -0.37 -0.06 -0.13 -0.13 -2.09
pi 0.01 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.07 0.03 0.04 0.03 0.28 0.07 0.01
Ln pi -5.29 -4.19 -4.60 -5.29 -4.19 -4.19 -4.19 -2.65 -3.50 -3.35 -3.50 -1.29 -2.65 -5.29
pi ln pi -0.03 -0.06 -0.05 -0.03 -0.06 -0.06 -0.06 -0.19 -0.11 -0.12 -0.11 -0.36 -0.19 -0.03 -1.44
74 15 2.09 0.77
Kebun sawit No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis Bufo divergens Fejervarya limnocharis Huia sumatrana Kalophrynus pleurostigma Limnonectes kuhlii Limnonectes malesianus Occidozyga sumatrana Polypedates leucomystax Polypedates macrotis Polypedates otilopus Rana chalconota Rana erythraea Rana nicobariensis Rhacophorus pardalis Jumlah individu (N) Jumlah spesies (S) Index Shannon Weiner H' Index Kemerataan (E)
Ind (n) 1 3 2 1 3 3 3 14 6 7 6 55 14 1 119 14 1.44 0.54
76 Lampiran 12. (lanjutan) Areal Bekas Tebangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Bufo asper Fejervarya limnocharis Limnonectes blythi Limnonectes malesianus Occidozyga sumatrana Polypedates leucomystax Rana chalconota Rana erythraea Rana nicobariensis Rhacophorus pardalis Rhacophorus sp.2 Jumlah individu (N) Jumlah spesies (S) Index Shannon Weiner H' Index Kemerataan (E)
Ind (n) 1 10 3 2 2 5 10 28 9 1 1 72 11 1.87 0.78
pi 0.01 0.14 0.04 0.03 0.03 0.07 0.14 0.39 0.13 0.01 0.01
Ln pi -4.28 -1.97 -3.18 -3.58 -3.58 -2.67 -1.97 -0.94 -2.08 -4.28 -4.28
pi ln pi -0.06 -0.27 -0.13 -0.10 -0.10 -0.19 -0.27 -0.37 -0.26 -0.06 -0.06 -1.87
77 Lampiran 13. Jenis-jenis katak di beberapa tipe habitat Jenis Ansonia leptopus Bufo asper Bufo divergens Bufo parvus Fejervarya limnocharis Huia sumatrana Kalophrynus pleurostigma Leptobrachium hasseltii Leptophryne borbonica Limnonectes blythi Limnonectes crybetus Limnonectes kuhlii Limnonectes malesianus Limnonectes microdiscus Limnonectes paramacrodon Megophrys nasuta Microhyla borneensis Occidozyga sumatrana Polypedates colletii Polypedates leucomystax Polypedates macrotis Polypedates otilopus Rana chalconota Rana erythraea Rana hosii Rana nicobariensis Rana picturata Rhacophorus cyanopunctatus Rhacophorus nigropalmatus Rhacophorus pardalis Rhacophorus reinwardtii Rhacophorus sp.1 Rhacophorus sp.2
BTA 0 1 0 0 1 0 0 0 0 3 0 0 1 0 0 0 0 2 0 4 0 0 10 26 0 5 0 0 0 1 0 0 0
KA 0 3 5 0 1 0 0 0 0 2 0 15 1 0 1 1 0 1 0 12 6 7 33 54 1 12 0 0 0 1 0 0 0
HA 4 5 0 0 0 0 1 0 5 12 11 6 0 1 0 0 0 0 0 0 3 0 49 0 4 0 10 1 0 0 0 1 0
BTT 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 0 4 0 0 0 0 0 0 1
KT 0 0 0 0 2 2 2 4 0 0 0 0 10 0 0 1 0 3 0 3 0 0 1 1 0 5 0 0 3 0 0 0 0
HT 0 0 0 3 0 0 2 0 0 0 0 0 1 0 0 3 1 0 1 1 2 0 2 1 0 1 1 0 0 0 5 0 0
78 Lampiran 14. Jenis-jenis katak di beberapa lokasi Jenis Ansonia leptopus Ansonia penangensis Bufo asper Bufo biporcatus Bufo divergens Bufo melanostictus Bufo parvus Bufo quadriporcatus Leptophryne borbonica Pelophryne brevipes Pelophryne sp. Pseudobufo subasper Leptobrachium hasseltii Leptobrachium hendricksoni Leptobrachium nigrops Leptobrachium sp. Megophrys montana Megophrys nasuta Kalophrynus pleurostigma Kaloula baleata Microhyla annectans Microhyla borneensis Microhyla butleri Microhyla heymonsi Microhyla palmipes Microhyla superciliaris Micryletta inornata Fejervarya cancrivora Fejervarya limnocharis Huia sumatrana Limnonectes malesianus Limnonectes blythi Limnonectes crybetus Limnonectes kuhlii Limnonectes laticeps Limnonectes macrodon Limnonectes microdiscus Limnonectes paramacrodon Limnonectes rhacodus Occidozyga leavis Occidozyga sumatrana Rana baramica Rana chalconota Rana crassiovis Rana erythraea
Sumsel √ √
TNBBS
TNWK
√ √
Jambi √ √ √
√ √ √
√ √ √ √
√
√ √
√ √
√ √
√ √ √
√
√ √ √ √ √ √
√ √
√ √
√ √ √
√ √
√
√ √ √
√
√ √ √ √
√ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √
√ √
√
√
√
√ √ √
√
√
√
√
79 Lampiran 14. (lanjutan) Jenis Rana hosii Rana luctuosa Rana nicobariensis Rana nigrovittata Rana picturata Rana signata Rana sp. Nov Nyctixalus pictus Philautus aurifasciatus Philautus sp.1 Philautus sp.2 Polypedates colletti Polypedates leucomystax Polypedates macrotis Polypedates otilophus Rhacophorus baluensis Rhacophorus barisani Rhacophorus bipunctatus Rhacophorus cyanopunctatus Rhacophorus nigropalmatus Rhacophorus pardalis Rhacophorus reinwardtii Rhacophorus sp.1 Rhacophorus sp.2 Rhacophorus sp.3
Sumsel √
√ √
√ √
TNBBS √
TNWK
√
√ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Jambi √ √ √ √
√ √
√ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
80 Lampiran 15. Pehitungan kesamaan jenis dan kesamaan lokasi Cluster Analysis of Variables: Sumsel, TNBBS, TNWK, Jambi Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage
Amalgamation Steps Step Number of Similarity clusters level 1 3 55.33 2 2 54.03 3 1 46.07
Distance level 0.893 0.919 1.079
Clusters New Number of obs. joined cluster in new cluster 1 4 1 2 2 3 2 2 1 2 1 4
Cluster Analysis of Variables: BTA, KA, HA, BTT, KT, HT Correlation Coefficient Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps Step Number of Similarity clusters level 1 5 96.87 2 4 64.21 3 3 55.94 4 2 44.41 5 1 27.69
Distance level 0.063 0.716 0.881 1.112 1.446
Clusters New Number of obs. joined cluster in new cluster 1 2 1 2 4 5 4 2 1 3 1 3 1 6 1 4 1 4 1 6